Anda di halaman 1dari 48

16

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian empiris yang menjadi acuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) meneliti Pengaruh Pertumbuhan

Ekonomi, PAD, dan DAU terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja

Modal dengan mengambil sampel Kabupaten/Kota di Pulau Jawa,

menemukan bahwa menunjukkan bahwa secara simultan seluruh variabel

independen yaitu Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), PAD, dan DAU

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel Belanja Modal.

Sedangkan secara parsial, dari ketiga variabel independen hanya dua

variabel yang signifikan mempengaruhi belanja modal. Variabel tersebut

adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU).

Sedangkan variabel Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) tidak signifikan

mempengaruhi Belanja Modal.

2. Rini Oktriniatmaja (2011), dengan judul Pengaruh Pendapatan Asli

Daerah, Dana Alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap

Pengalokasian Anggaran Belanja Modal dalam Anggaran Pendapatan Dan

Belanja Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota Di Pulau Jawa,

Bali Dan Nusa Tenggara, Hasil analisis menunjukkan bahwa PAD, DAU

dan DAK berpengaruh positif terhadap alokasi Belanja Modal baik secara
17

parsial maupun secara simultan. Uji beda antar daerah Jawa dan luar Jawa

menunjukkan bahwa Belanja Modal dan PAD daerah Jawa lebih tinggi

dibandingkan dengan daerah di luar Jawa. Sedangkan untuk DAU dan

DAK daerah luar Jawa lebih tinggi di bandingkan dengan daerah di Jawa.

3. Aulia Permatasari and Lismawati (2013), dengan judul pengaruh dana

alokasi umum, pendapatan asli daerah, sisa lebih pembiayaan anggaran,

luas wilayah, serta belanja barang dan jasa terhadap belanja modal, Hasil

pengujian hipotesis menunjukkan bahwa DAU berpengaruh negatif

terhadap belanja modal, PAD berpengaruh positif terhadap belanja modal,

SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja modal, luas wilayah

berpengaruh positif terhadap belanja modal, serta belanja barang dan jasa

berpengaruh positif terhadap belanja modal.

4. Dasa Febriyanti (2013), dengan judul Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,

Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus

terhadap Belanja Modal (Survei pada Pemerintah Kabupaten/Kota Se-

Sulawesi Tengah). Hasil analisis menunjukkan bahwa Pertumbuhan

Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana

Alokasi Khusus secara simultan berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Belanja Modal Pada Pemkab/Pemkot Provinsi Sulawesi Tengah,

hal ini dapat ditunjukkan dengan nilai R square sebesar 0,760 atau 76,0%

dan nilai F Change sebesar 27,642 dengan tingkat signifikan 0,000 dari

keempat variabel tersebut Dana Alokasi Umum berpengaruh dominan

terhadap Belanja Modal pada Pemkab/Pemkot Provinsi Sulawesi Tengah


18

dengan nilai t hitung sebesar 9,713 pada tingkat signifikan 0,000.

Sedangkan Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh secara parsial

terhadap Belanja Modal dengan nilai t sebesar -2,357 pada tingkat

signifikan 0,024, Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh secara parsial

terhadap Belanja Modal dengan nilai t sebesar – 0,385 pada tingkat

signifikannya 0,703 dan Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh secara

parsial terhadap Belanja Modal dengan nilai t sebesar 0,952 pada tingkat

signifikannya sebesar 0,348.

5. Happy Septariana Zega (2014), dengan judul Pengaruh Pendapatan asli

daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Sisa Lebih Pembiayaan

Anggaran dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal dengan Dana

Alokasi Khusus sebagai Variabel moderating pada Pemerintah

Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Hasil penelitian membuktikan bahwa

Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Sisa

Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah berpengaruh secara

simultan terhadap Belanja Modal. Secara parsial Pendapatan Asli Daerah,

Dana Alokasi Umum dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh

terhadap Belanja Modal sedangkan Dana Bagi Hasil dan Luas Wilayah

tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal pada kabupaten/kota di

Sumatera Utara. Dana Alokasi Khusus dapat memoderasi hubungan antara

Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Sisa

Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah dengan Belanja Modal.


19

Kemampuan prediksi dari kelima variabel tersebut terhadap Belanja

Modal sebesar 85,9% sedangkan sisanya sebesar 14,1%.

6. Irfan Anugrah Pangestu, Rina Arifati, Abrar Oemar, (2015), dengan judul

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi

Umum,Dana Alokasi Khusus, Dan Dana Bagi Hasil Terhadap

Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris Pada Seluruh

Kabupaten Di Provinsi Jawa Tengah Periode 2009 – 2013 ). Hasil

penelitian membuktikan bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi,

Pendapatan Asli Daerah , Dana Alokasi Umum , Dana Alokasi Khusus ,

Dana Bagi Hasil menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap Belanja

Modal.

Dari keenam penelitian tersebut diatas dapat di lihat persamaan dengan

penelitian ini dalam bentuk tabel berikut:

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian


1. Darwanto Pengaruh
 PAD & DAU  Varia Secara simultan
dan Pertumbuhan
menjadi bel inde PDRB,PAD, dan
YuliaYusti Ekonomi,
objek penden DAU berpengaruh
kasari Pendapatan Asli
penelitian (X) secara signifikan
(2007) Daerah (PAD),
pada variabel Pertum terhadap variabel
dan Dana
independen buhan belanja
Alokasi Umum
(X) Ekono modal,sedangkan
(DAU) terhadap
 Belanja mi, & secara parsial,dari
Pengalokasian
Modal Dana ketiga variabel
Anggaran
menjadi Bagi independen hanya
Belanja Modal
objek Hasil PAD dan DAU yang
penelitian signifikan
pada variabel mempengaruhi
Dependen belanja modal.
(Y)
20

No Nama Judul Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian


2. Rini Oktrini Pengaruh
 PAD, DAU  Varia Hasil analisis
atmaja Pendapatan Asli
& DAK bel menunjukkan bahwa
(2011) Daerah, Dana
menjadi indepen PAD, DAU dan
Alokasi Umum
objek den (X) DAK berpengaruh
Dan Dana
penelitian Dana positif terhadap
Alokasi Khusus
pada variabel Bagi alokasi Belanja
Terhadap
independen Hasil Modal baik secara
Pengalokasian
(X) parsial maupun
Anggaran
 Belanja secara simultan. Uji
Belanja Modal
Modal beda antar daerah
dalam
menjadi Jawa dan luar Jawa
Anggaran
objek menunjukkan bahwa
Pendapatan Dan
penelitian Belanja Modal dan
Belanja Daerah
pada variabel PAD daerah Jawa
Pada
Dependen lebih tinggi
Pemerintah
(Y) dibandingkan dengan
Daerah
daerah di luar Jawa.
Kabupaten/
Sedangkan untuk
Kota Di Pulau
DAU dan DAK
Jawa, Bali Dan
daerah luar Jawa
Nusa Tenggara
lebih tinggi di
bandingkan dengan
daerah di Jawa.

3. Aulia pengaruh dana Hasil


 DAU & PAD  Varia
Permatasari alokasi umum, pengujian hipotesis
menjadi bel
dan pendapatan asli menunjukkan bahwa
objek indepen
Lismawati daerah, sisa DAU berpengaruh
penelitian den (X)
(2013) lebih negatif terhadap
pada variabel SILPA,
pembiayaan belanja modal, PAD
independen Luas
anggaran, luas berpengaruh positif
(X) Wilayah
wilayah, serta terhadap belanja
 Belanja ,
belanja barang modal, SiLPA
Modal Belanja
dan jasa berpengaruh positif
menjadi Barang
terhadap terhadap belanja
objek Jasa dan
belanja modal modal, luas wilayah
penelitian Dana
berpengaruh positif
pada variabel Bagi
terhadap belanja
Dependen Hasil
modal, serta belanja
(Y)
barang dan jasa
berpengaruh positif
terhadap belanja
modal.

No Nama Judul Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian


21

4. Dasa Pengaruh  PAD, DAU  Varia Pertumbuhan


Febriyanti Pertumbuhan & DAK bel Ekonomi, Pendapatan
(2013) Ekonomi, menjadi indepen Asli Daerah, Dana
Pendapatan Asli objek den X Alokasi Umum dan
Daerah, Dana penelitian Pertumb Dana Alokasi Khusus
Alokasi Umum pada variabel uhan secara simultan
dan Dana X ekono berpengaruh positif
Alokasi Khusus  Belanja mi (PD dan signifikan
terhadap Modal RB) & terhadap Belanja
Belanja Modal menjadi Dana Modal Pada
(Survei pada objek Bagi Pemkab/Pemkot
Pemerintah penelitian Hasil Provinsi Sulawesi
Kabupaten/Kota pada variabel Tengah, dari keempat
Se-Sulawesi (Y) variabel tersebut
Tengah) hanya Dana Alokasi
Umum berpengaruh
dominan terhadap
Belanja Modal pada
Pemkab/Pemkot
Provinsi Sulawesi
Tengah.
5. Happy Pengaruh  PAD, DAU
 Varia PAD, DAU, DBH,
Septariana Pendapatan asli & Dana
bel inde SILPA, dan Luas
Zega (2014) daerah, Dana Bagi Hasil
penden Wilayah berpengaruh
Alokasi Umum, menjadi
(X) Sisa secara simultan
Dana Bagi objek
Lebih terhadap Belanja
Hasil, Sisa penelitian
Pembia Modal. Secara parsial
Lebih pada
yaan Pendapatan Asli
Pembiayaan variabel
Angga Daerah, Dana
Anggaran dan Independen
ran Alokasi Umum dan
Luas Wilayah (X)
 Varia Sisa Lebih
terhadap  Belanja
bel Pembiayaan
Belanja Modal Modal
Moderat Anggaran
dengan Dana menjadi
ing berpengaruh terhadap
Alokasi Khusus objek
yaitu Belanja Modal
sebagai penelitian
Dana sedangkan Dana Bagi
Variabel pada variabel
alokasi Hasil dan Luas
moderating dependen (Y)
Khu sus Wilayah tidak
pada
berpengaruh terhadap
Pemerintah
Belanja Modal. Dana
Kabupaten/Kota
Alokasi Khusus dapat
di Sumatera
memoderasi
Utara
hubungan antara
Pendapatan Asli
Daerah, Dana
Alokasi Umum, Dana
Bagi Hasil, Sisa
Lebih Pembiayaan
Anggaran dan Luas
Wilayah dengan
Belanja Modal.
22

No Nama Judul Persamaan Perbedaan Hasil Penelitian


6. Irfan Pengaruh  Varia
 PAD, DAU Hasil analisis
Anugrah pertumbuhan bel
& DAK menyatakan bahwa
Pangestu1), ekonomi, indep
menjadi variabel Pertumbuhan
Rina Arifati, pendapatan asli enden
objek Ekonomi ,
SE, M.Si, daerah, dana X
penelitian Pendapatan Asli
Akt2), Abrar alokasi Pertu
pada variabel Daerah , Dana
Oemar, umum,dana mbuh
independen Alokasi Umum ,
SE3), alokasi khusus, an
(X) Dana Alokasi Khusus
dan dana bagi ekono
 Belanja , Dana Bagi Hasil
hasil terhadap mi
Modal menunjukan
pengalokasian (PD
menjadi pengaruh yang
anggaran RB)
objek signifikan terhadap
belanja modal
penelitian Belanja Modal.
(studi empiris
pada variabel
pada seluruh
Dependen
kabupaten di
(Y)
provinsi jawa
tengah periode
2009 – 2013 )
Sumber: (Data Olahan)

2.2. Kajian Pustaka


2.2.1. Dana Alokasi Umum

2.2.1.1.Pengertian Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan

kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap

tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen

belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD.

Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antar daerah

untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi (id.wikipedia.org).

Dana Alokasi Umum terdiri dari:

1. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi

2. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota


23

Jumlah Dana Alokasi Umum setiap tahun ditentukan berdasarkan

Keputusan Presiden. Setiap provinsi/kabupaten/kota menerima DAU dengan

besaran yang tidak sama, dan ini diatur secara mendetail dalam Peraturan

Pemerintah. Besaran DAU dihitung menggunakan rumus/formulasi statistik yang

kompleks, antara lain dengan variabel jumlah penduduk dan luas wilayah yang

ada di setiap masing-masing wilayah/daerah ( id.wikipedia.org).

Dalam pengaturan keuangan menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 Dana

Alokasi Umum (DAU) adalah provisi berupa transfer antar pemerintah dari pusat

ke kabupaten dan kota yang disebut dengan dana alokasi umum dan dana alokasi

khusus. Dana Alokasi Umum adalah merupakan transfer yang bersifat umum

(block grant) yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan

mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan

dengan formula berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum

mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih

banyak dari pada daerah kaya. “Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah

dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemda

di Indonesia” (Kuncoro, 2004:30).

Secara definisi DAU dapat diartikan sebagai berikut:

1. Salah satu komponen dari dana perimbangan pada APBN, yang

pengalokasiannya didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal yaitu selisih

antara kebutuhan fiskal dengan kapital fiskal;


24

2. Instrumen untuk mengatasi horizontal balance yang dialokasikan dengan

tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dan penggunaannya

ditetapkan sepenuhnya oleh daerah;

3. Equalization grant berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan

kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan bagi

hasil SDA yang diperoleh daerah. (Kuncoro, 2004:29).

2.2.1.2. Alokasi Dana Alokasi Umum

DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Besaran

DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN)

Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan

untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan

antara provinsi dan kabupaten/kota (www.manajemen-pembiayaankesehatan.net).

2.2.1.3. Tahapan Perhitungan Dana Alokasi Umum

Tahapan Akademis Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi

formula DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan

tujuan untuk memperoleh kebijakan penghitungan DAU yang sesuai dengan

ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia. Tahapan

administratif dalam tahapan ini Departemen keuangan c.q. Direktorat Jenderal

Perimbangan Keuangan (DJPK) melakukan koordinasi dengan instansi terkait

untuk penyiapan data dasar penghitungan DAU termasuk didalamnya kegiatan

konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran

data yang akan digunakan. Tahapan Teknis Merupakan tahap pembuatan simulasi

penghitungan DAU akan dikonsultasikan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan


25

Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan dilakukan berdasarkan formula DAU

sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia serta

memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.Tahapan Politis Merupakan

tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara Pemerintah

dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan

mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU (storage.jak-stik.ac.id).

2.2.1.4. Formulasi Dana Alokasi Umum

1. Formula DAU

Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap)

yaitu selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan

kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa

jumlah gaji PNS daerah.

Rumus formula DAU

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)

Dimana:

AD = Gaji PNS Daerah

CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

2. Variabel DAU

Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan

untuk pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah

penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks

kemahalan konstruksi (IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) per kapita. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity)


26

yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan

Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

3. Metode Penghitungan DAU

Alokasi Dasar (AD) Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan

realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang

meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang melekat sesuai dengan

peraturan penggajian PNS yang berlaku. Celah Fiskal (CF) Untuk

mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu daerah dihitung dengan

mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF daerah dibagi

dengan total CF nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk CF

suatu daerah dihitung berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF, sebagai

berikut:

Kebutuhan Fiskal (KbF)

KbF = TBR (α1IP +α2IW + α3IPM +α4IKK +α5IPDRB/kap)

Dimana:

TBR = Total Belanja Rata-rata APBD

IP = Indeks Jumlah Penduduk

IW = Indeks Luas Wilayah

IPM = Indeks Pembangunan Manusia

IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi

IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita

α = Bobot Indeks ( Ridani, 2014).


27

Kebutuhan fiskal adalah dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah

untuk membiayai semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan

fungsi/kewenangan daerah dalam penyediaan pelayanan publik.

(www.manajemen-pembiayaankesehatan.net).

Kapasitas Fiskal (KpF)

KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA

Dimana:

PAD = Pendapatan Asli Daerah

DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak

DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya

Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi dan kewenangan-

kewenangannya yang diekspresikan dalam wujud kebutuhan fiskal

tersebut, setiap daerah memiliki dan dibekali kapasitas keuangan. Secara

umum, yang dimaksud dengan kapasitas fiscal adalah merupakan

kemampuan pemerintah daerah untuk menghimpun pendapatan

berdasarkan potensi yang dimilikinya (www.manajemen-

pembiayaankesehatan.net).

Landasan hukum pelaksanaan DAU adalah UU Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah.

Sebagai amanat UU No.33 Tahun 2004, alokasi yang dibagikan kepada

Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat minimal 26 persen dari total

penerimaan dalam negri netto. Dengan ketentuan tersebut maka,

bergantung pada kondisi APBN dan Fiscal Sustainability Pemerintah


28

Indonesia, alokasi DAU dapat lebih besar dari 26 persen dari total

pendapatan dalam negeri netto. DAU diberikan berdasarkan celah fiskal

dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan kebutuhan daerah yang

dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah, kebutuhan daerah dihitung

berdasarkan variabel-variabel yang ditetapkan undang-undang sedangkan

perhitungan kapasitas fiskal didasarkan atas Penerimaan Asli Daerah

(PAD) dan Dana Bagi Hasil yang diterima daerah. Sementara Alokasi

Dasar dihitung berdasarkan gaji PNS daerah.

Kebutuhan Fiskal dapat diartikan sebagai kebutuhan daerah untuk membiayai

semua pengeluaran daerah dalam rangka menjalankan fungsi/kewenangan daerah

dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam perhitungan DAU, kebutuhan daerah

tersebut dicerminkan dari variabel-variabel kebutuhan fiskal sebagai berikut :

1. Jumlah Penduduk

2. Luas Wilayah

3. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)

4. Indeks Kemiskinan Relatif (IKR)

Kapasitas fiskal daerah merupakan kemampuan pemerintah daerah untuk

menghimpun pendapatan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Potensi

penerimaan daerah merupakan penjumlahan dari potensi PAD dengan DBH Pajak

dan SDA yang diterima oleh daerah (manajemen-pembiayaankesehatan.net).

Berdasarkan UU diatas, setiap daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih

besar dari kebutuhan fiskal maka dapat menerima penurunan DAU, dan atau tidak

menerima sama sekali pada tahun berikutnya. Dasar inilah yang digunakan
29

pemerintah untuk memberikan predikat daerah “Kaya”. Daerah kaya berdasarkan

penetapan diatas tidak memperoleh DAU (manajemen-pembiayaankesehatan.net).

Hubungan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal yaitu Hampir

sama dengan PAD, yang mana DAU merupakan salah satu sumber pembiayaan

untuk belanja modal guna pengadaan sarana dan prasarana dalam rangka

pemberian pelayanan publik yang baik dari pemerintah daerah (agen) kepada

masyarakat (prinsipal). Bedanya, kalau PAD berasal dari uang masyarakat

sedangkan DAU berasal dari transfer APBN oleh pemerintah pusat untuk

pemerintahan daerah (Dasa Febriyanti, 2013).

2.2.2. Dana Alokasi Khusus

2.2.2.1. Pengertian Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN

yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu

mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan

prioritas nasional (Mursyidi, 2009 : 146).

Penjelasan UU Nomor 33 Tahun 2004, DAK dimaksudkan untuk

membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah tertentu yang

merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk

membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang

belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan

Daerah.
30

2.2.2.2. Tujuan Kebijakan Dana Alokasi Khusus

Kebijakan DAK secara spesifik: (www.depkeu.djpk.go.id)

1. Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan

keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan

penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang

telah merupakan urusan daerah.

2. Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah

pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain,

daerah tertinggal/ terpencil, daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk

kategori daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata.

3. Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan

diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di

bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur.

4. Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan

prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan,

dan infrastruktur.

5. Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan

lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus

di bidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan

cakupan dan kehandalan pelayanan prasarana dan sarana dasar dalam satu

kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan khusus di bidang

infrastruktur.
31

6. Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak

pemekaran pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan

khusus di bidang prasarana pemerintahan.

7. Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari

DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementerian/Lembaga

dan kegiatan yang didanai dari APBD.

8. Mengalihkan secara bertahap dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan

yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi

urusan daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran

Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasional dan

Departemen Kesehatan (Anggiat Situngkir, 2009) .

Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi pembangunan,

pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik dengan umur

ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Dengan

adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi pengalokasian

anggaran belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang

dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan publik (Dasa Febriyanti,

2013).

2.2.2.3. Penetapan Program dan Kegiatan

Dalam proses penetapan program dan kegiatan DAK, penetapannya diatur

dalam Pasal 52 PP No. 55 Tahun 2005 berbunyi :


32

1. Program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 50 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (1) dimuat dalam Rencana Kerja

Pemerintah tahun anggaran bersangkutan.

2. Menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK

dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri,

Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan

Nasional, sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

3. Menteri teknis menyampaikan ketetapan tentang kegiatan khusus

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Keuangan

(manajemen-pembiayaankesehatan.net).

Pasal 52 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2005 jelas dikatakan

bahwa program dan kegiatan yang akan didanai dari Dana Alokasi Khusus

merupakan program yang menjadi prioritas nasional yang dimuat dalam Rencana

Kerja Pemerintah. Kegiatan dan program yang akan didanai tersebut merupakan

program yang diusulkan oleh kementerian teknis yang melalui proses koordinasi

dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara

Perencanaan Pembangunan Nasional, sebelum ditetapkan dan sesuai dengan RKP.

Tahapan berikutnya adalah ketetapan program tersebut disampaikan kepada

Menteri Keuangan untuk dilakukan penghitungan alokasi DAK (manajemen-

pembiayaankesehatan.net).
33

2.2.2.4. Perhitungan Alokasi Dana Alokasi Khusus

Pasal 54 PP Nomor 55 Tahun 2005 mengatur bahwa perhitungan alokasi

DAK dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:

1. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK; dan

2. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.

Penentuan daerah tertentu menurut pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 55

Tahun 2005 tersebut harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria

teknis sebagaimana sudah diatur didalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan Keuangan Daerah

(manajemen-pembiayaankesehatan.net).

Formula perhitungan DAK berdasarkan tiga kriteria, yaitu :

1. Kriteria Umum (KU)

Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan

daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi

belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah, kemudian kemampuan keuangan

daerah juga dihitung berdasarkan indeks fiskal netto dan ditetapkan setiap

tahun.

KU=(PAD+DAU+DBH-DBH DR)-Belanja Gaji PNSD Daerah dengan

KU dibawah rata-rata KU secara Nasional adalah daerah yang menjadi

prioritas mendapatkan DAK.


34

2. Kriteria Khusus (KK)

Kriteria khusus ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus (Papua &

Papua Barat) serta karakteristik daerah. Karakteristik daerah meliputi:

1) Daerah Tertinggal;

2) Daerah perbatasan dengan negara lain;

3) Daerah rawan bencana;

4) Daerah Pesisir;

5) Daerah ketahanan pangan;

6) Daerah potensi pariwisata.

3. Kriteria Teknis (KT)

Kriteria ini berdasarkan pertimbangan dari berupa kondisi

kerusakan infrastruktur masing-masing bidang DAK dan ditetapkan oleh

kementerian teknis (bpkad.natunakab.go.id).

Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan

keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan

penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah

merupakan urusan daerah. DAK merupakan dana yang berasal dari APBN dan

dialokasikan ke daerah kabupaten/kota untuk membiayai kebutuhan tertentu yang

sifatnya khusus, tergantung tersedianya dana dalam APBN (Suparmoko, 2002)

dalam Idhamsya (2011) . Kebutuhan khusus adalah kebutuhan yang sulit

diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dan atau kebutuhan yang merupakan

komitmen atau prioritas nasional (Febriyanti, 2013).


35

Hubungan Dana Alokasi Khusus dengan Belanja Modal yaitu

sebagaimana kita ketahui bahwa DAK merupakan bantuan dana yang bersumber

dari APBN yang digunakan dalam pembiayaan kegiatan khusus suatu daerah yang

berupa bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain (Febriyanti, 2013).

2.2.3. Pendapatan Asli Daerah

2.2.3.1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan semua penerimaan yang

diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilahnya sendiri yang dipungut

berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (Halim, 2004:96). Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang

sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah

dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah

(www.kajianpustaka.com).

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Pasal 1. Pendapatan Asli

Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam

daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan

sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal

dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah

untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat (Situngkir, 2009).

Menurut Mardiasmo (2002:132) dalam Situngkir (2009), Pendapatan Asli

Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil
36

perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

2.2.3.2. Sumber Pendapatan Asli Daerah

Menurut Abdul Halim (2007: 96) dalam situngkir (2009) kelompok

Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan:

1. Pajak Daerah.

Sesuai UU Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan pajak untuk

Kabupaten/kota terdiri dari:

1) Pajak hotel,

2) Pajak restoran,

3) Pajak hiburan,

4) Pajak reklame,

5) Pajak penerangan jalan,

6) Pajak pengambilan bahan galian golongan C,

7) Pajak Parkir.

2. Retribusi Daerah.

Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi.

Terkait dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan retribusi untuk

kabupaten/kota meliputi objek pendapatan yang terdiri dari 29 objek.

3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan.

Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan

penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang


37

dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang

mencakup:

1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik

daerah/BUMD.

2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik

negara/BUMN.

3) Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau

kelompok usaha masyarakat.

4. Lain-lain PAD yang sah.

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain

milik Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan

daerah selain yang disebut di atas. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan

berikut:

1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan.

2) Jasa giro.

3) Pendapatan bunga.

4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.

5) Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat

dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah.

6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata

uang asing.

7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.

8) Pendapatan denda pajak.


38

9) Pendapatan denda retribusi.

10) Pendapatan eksekusi atas jaminan.

11) Pendapatan dari pengembalian.

12) Fasilitas sosial dan umum.

13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.

14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

Secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap

belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan

tersebut akan dialokasikan dalam belanja.

Abdullah & Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah

berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara

keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total

pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar,

terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis (Abdullah, 2004 dalam

Situngkir, 2009).

Abdullah (2004) dalam Febriyanti (2013) menemukan bahwa sumber

pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap

belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya

sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian

anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis.

Peningkatan pendapatan daerah dapat dilaksanakan melalui langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Intensifikasi, melalui upaya :


39

1) Pendapatan dan peremajaan objek dan subjek pajak dan retribusi

daerah.

2) Mempelajari kembali pajak daerah yang dipangkas guna mencari

kemungkinan untuk dialihkan menjadi retribusi.

3) Mengintensifikasi retribusi daerah yang ada.

4) Memperbaiki sarana dan prasarana pungutan yang belum memadai.

2. Penggalian sumber-sumber penerimaan baru (ekstensifikasi)

Penggalian sumber-sumber pendapatan daerah tersebut harus

ditekankan agar tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Sebab pada

dasarnya tujuan meningkatkan pendapatan daerah melalui upaya

ekstensifikasi adalah untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat.

Dengan demikian, upaya ekstensifikasi lebih diarahkan kepada upaya

untuk mempertahankan potensi daerah sehingga potensi tersebut dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan.

3. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Peningkatan pelayanan kepada masyarakat ini merupakan unsur

yang penting bahwa paradigma yang berkembang dalam masyarakat saat

ini adalah bahwa pembayaran pajak dan retribusi sudah merupakan hak

dari pada kewajiban masyarakat terhadap Negara, untuk itu perlu dikaji

kembali pengertian wujud layanan yang bagaimana yang dapat

memberikan kepuasan kepada masyarakat (Febriyanti, 2013).

Hubungan Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Modal adalah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan sumber pembiayaan untuk


40

anggaran belanja modal. PAD didapatkan dari iuran langsung dari masyarakat,

seperti pajak, restribusi, dan lain sebagainya. Tanggung jawab agen (pemerintah

daerah) kepada prinsipal (masyarakat) adalah memberikan pelayanan publik

(public service) yang baik kepada masyarakat melalui anggaran belanja modal,

karena masyarakat telah memberikan sebagian uangnya kepada pemerintah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pembiayaan untuk anggaran

belanja modal. PAD didapatkan dari iuran langsung dari masyarakat, seperti

pajak, restribusi, dan lain sebagainya. Tanggung jawab agen (pemerintah daerah)

kepada prinsipal (masyarakat) adalah memberikan pelayanan publik (public

service) yang baik kepada masyarakat melalui anggaran belanja modal, karena

masyarakat telah memberikan sebagian uangnya kepada pemerintah (Febriyanti,

2013).

2.2.4. Dana Bagi Hasil

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan

Antar Pemerintah Daerah, Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditransfer pemerintah

daerah terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu dana bagi hasil pajak dan dana bagi hasil

sumber daya alam. Pola bagi hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan

prosentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Dana Bagi Hasil

(DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah

dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Zainuddin, 2012).


41

Dasar hukum Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak

Yaitu :

1) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

2) UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan :

3) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan

4) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemeritah

Pusat dan Pemerintah Daerah.

5) Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

6) Peraturan Pemerintah (PP) N0. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah . (Sumber : www.depkeu.co.id) dalam (Zainuddin,

2012).

2.2.4.1.Dana Bagi Hasil Pajak

Penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) yang berasal dari pajak adalah bagian

daerah yang berasal dari : 1) Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); 2)

Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan 3) Pajak

Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh

WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Sedangkan Dana Bagi Hasil

(DBH) yang bersumber dari Sumber Daya Alam bersumber dari : 1) Kehutanan;

2) Pertambangan Umum; 3) Perikanan; 4) Pertambangan Minyak Bumi; 5)

Petambangan Gas Bumi; dan 6) Pertambangan Panas Bumi.

1) Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan


42

Berdasarkan UU No. 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan

Bangunan, maka penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) di bagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk pemerintah

daerah. Dana bagi hasil pajak dan bangunan untuk daerah sebesar 90%

(Sembilan Puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 16,2% (

enam belas dua persepuluh persen ) untuk Propinsi yang bersangkutan,

64,8% ( enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk

kabupaten/kota yang bersangkutan dan 9% ( Sembilan persen) untuk biaya

pemungutan.

Bagian pemerintah pusat sebesar 10 % (sepuluh persen)

dialokasikan kepada kabupaten dan kota. Alokasi untuk kabupaten dan

kota sebagaimana dimaksud dibagi dengan rincian sebagai berikut: 6,5%

(enam lima persepuluh persen) dibagikan secara merata kepada seluruh

kabupaten dan kota, dan 3,5% (tiga lima persepuluh persen) dibagikan

insentif kepada kabupaten dan kota yang realisasi penerimaan PBB sektor

pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya

mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.

Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Bumi dan Bangunan

ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan PBB dan biaya perolehan hak

atas tanah dan bangunan tahun anggaran bersangkutan; dan paling lambat

2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan.

Penyaluran dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan dilaksanakan secara

mingguan. Penyaluran PBB bagian pemerintah dilaksanakan 3 (tiga) tahap


43

yaitu bulan april, bulan agustus, dan bulan nopember tahun anggaran

berjalan. Penyaluran PBB bagian pemerintah dilaksanakan dalam bulan

nopember tahun anggaran berjalan.

2) Dana Bagi Hasil Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan

Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Biaya Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan, maka penerimaan negara dari BPHTB

dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah dan

80% (delapan puluh persen) untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah

sebesar 80% (delapan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:

16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan 64%

(enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan.

Bagian pemerintah 20% (Dua puluh persen) dialokasikan dengan porsi

yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota. Alokasi DBH PBB

ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan DBH BPHTB dilaksanakan

dalam 3 (tiga) tahap, yaitu bulan april, bulan agustus, dan bulan nopenber

tahun anggaran berjalan.

3) Dana Bagi Hasil PPH Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak

Penghasilan Pasal 21

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

maka Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPH Pasal 21 dibagi

dengan rincian sebagi berikut: 8% (delapan persen) untuk provinsi yang

bersangkutan; dan 12% (dua belas persen) untuk kabupaten /kota yang

bersangkutan.
44

Dana bgi hasil PPh WPOPDN dan PPh 21 dibagi dengan rincian

sebagai berikut: 8,4% ( delapan empat persepuluh persen) untuk

kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar; dan 3,6% (tiga enam

persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang

bersangkutan dengan bagian yang sama besar.

Alokasi DBH PPH WPOPDN dan PPh Pasal 21 di dasarkan atas

rencana penerimaan DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21. Alokasi DBH

PPH WPOPDN dan PPh Pasal 21 didasarkan atas prognosa realisasi

penerimaan DBH PPH WPOPDN dan PPh Pasal 21. Penyaluran DBH PPh

WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi

penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 tahun anggaran berjalan.

Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan secara

triwulan, dengan perincian sebagai berikut: penyaluran triwulan pertama

sampai triwulan ketiga masing-masing sebesar 20% (dua puluh persen)

dari alokasi sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1)

huruf ‘a’ dan penyaluran triwulan keempat didasarkan pada selisih antara

pembagian definitif sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 11 ayat (1)

huruf ‘b’ dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan

pertama sampai dengan triwulan ketiga. Dalam hal terjadi kelebihan

penyaluran karena penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan

ketiga yang didasarkan atas pembagian sementara lebih besar daripada

pembagian definitive maka kelebihan yang dimaksud diperhitungkan

dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya (Zainuddin, 2012).


45

2.2.4.2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No.

55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 58

Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (www.depkeu.co.id).

Dana Bagi Hasil (DBH) Buka Pajak berasal dari:

1) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan

Berdasarkan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pasal 157 UU

Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan sumber pendapatan daerah tentang

hasil pengelolaan kekayaan daerah maka DBH Sumber Daya Alam

Kehutanan dari Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi

Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). DBH Kehutanan

yang berasal dari IIUPH untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh persen)

dibagi dengan rincian; 16% (enam belas persen) untuk Provinsi yang

bersangkutan dan 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota

penghasil. DBH Kehutanan yang berasal dari PSDH untuk daerah sebesar

80% (delapan puluh persen) dibagi dengan rincian: 16% (enam belas

persen) untuk propinsi yang bersangkutan, 32% (tiga puluh dua persen)

untuk kabupaten/kota penghasil dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk

kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. DBH

Kehutanan yang berasal dari PSDH dibagikan dengan porsi yang sama

untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.

Dana bagi hasil Kehutanan yang berasal dari DR sebesar 40% (empat
46

puluh persen) dibagi kepada kabupaten/kota penghasil untuk mendanai

kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

2) Dana Bagi Hasil Pertambangan Umum

Berdasarkan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pasal 157 UU

Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan sumber pendapatan daerah tentang

hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan maka DBH

Pertambangan Umum berasal dari Iuran Tetap ( Land-rent); dan Iuran

Eksplorasi serta Iuran Eksploitasi (Royalty). DBH Pertambangan Umum

sebesar 80% (delapan puluh persen) yang berasal dari wilayah

kabupaten/kota dibagi dengan rincian 16% (enam belas persen) untuk

propinsi yang bersangkutan dan 64% (enam puluh empat persen) untuk

kabupaten/kota penghasil.

Dana bagi hasil pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh

persen) yang berasal dari wilayah kabupaten/kota dibagi dengan rincian:

16% (enam belas persen) untuk propinsi yang bersangkutan, 32% ( tiga

puluh dua persen) untuk Kabupaten/kota penghasil dan 32% (tiga puluh

dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan. DBH Pertambangan Umum, dibagi dengan porsi yang sama

besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan.

Dana bagi hasil Petambangan Umum yang berasal dari wilayah

propinsi adalah sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk propinsi yang

bersangkutan. DBH Pertambangan Umum sebesar 80% (delapan puluh


47

persen) yang berasal dari wilayah propinsi dibagi dengan rincian: 26%

(dua puluh enam persen) untuk propinsi yang bersangkutan dan 54% (lima

puluh empat persen) untu kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan. DBH Pertambangan Umum dibagikan dengan porsi yang

sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang

bersangkutan.

3) Dana Bagi Hasil Perikanan

Berdasarkan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pasal 157 UU

Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan sumber pendapatan daerah tentang

hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan maka DBH perikanan

berasal dari pungutan pengusaha perikanan dan pungutan hasil perikanan.

DBH perikanan untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh persen)

dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota.

4) Dana Bagi Hasil Pertambangan Minyak Bumi

Berdasarkan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pasal 157 UU

Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan sumber pendapatan daerah tentang

hasil pengelolaan kekayaan daerah maka DBH pertambangan minyak

bumi sebesar 15,5% (lima belas lima setengah persen) berasal dari

penerimaan negara sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari

wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen

pajak dan pungutan lainnya. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15

(lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 3% (tiga persen)

dibagikan untuk propinsi yang bersangkutan, 6% (enam persen) dibagikan


48

untuk kabupaten/kota penghasil dan 6% (enam persen) dibagikan untuk

seluruh kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. DBH

pertambangan minyak bumi sebesar 0,5% ( setengah persen) dibagi

dengan rincian sebagai berikut: 0,1% (satu persepuluh persen) untuk

propinsi yang bersangkutan, 0,2% (dua persepuluh persen) untuk

kabupaten/kota penghasil dan 0,2% (dua persepuluh persen) untuk seluruh

kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. DBH

pertambangan minyak bumi, dibagikan dengan porsi yang sama besar

untuk seluruh kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan.

Dana bagi hasil pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% (lima

belas setengah persen) berasal dari penerimaan negara sumber daya alam

pertambangan minyak bumi dari wilayah propinsi bersangkutan setelah

dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. DBH pertambangan

minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 15% (lima

belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 5% (lima persen)

dibagikan untuk propinsi yang bersangkutan dan 10% (sepuluh persen)

dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan. DBH

pertambangan minyak bumi sebesar 0,5% ( setengah persen) dibagi

dengan rincian sebagai berikut; 0,17% (tujuh belas perseratus persen)

dibagikan untuk propinsi yang bersangkutan; dan 0,33% (tiga puluh tiga

perseratus persen) dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota dalam propinsi

yang bersangkutan. DBH pertambangan minyak bumi, dibagikan dengan


49

porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota dalam propinsi yang

bersangkutan.

5) Dana Bagi Hasil Pertambangan Gas Bumi

Berdasarkan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pasal 157 UU

Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan sumber pendapatan daerah tentang

hasil pengelolaan kekayaan daerah maka DBH pertambangan gas bumi

sebesar 30,5% (tiga puluh setengah persen) berasal dari penerimaan negara

sumber daya alam pertambangan gas bumi dari wilayah propinsi yang

bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.

DBH pertambangan gas bumi sebesar 30% (tiga puuh persen) dibagi

dengan rincian sebagai berikut: 10% (sepuluh persen) dibagikan untuk

propinsi yang bersangkutan dan 20% (dua puluh persen) dibagikan untuk

seluruh kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan. DBH

pertambangan gas bumi sebesar 0,5% (setengah persen) dibagi dengan

rincian sebagai berikut: 0,17% (tujuh belas perseratus persen) dibagikan

untuk propinsi yang bersangkutan dan 0,33% (tiga puluh tiga perseratus

persen) dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota dalam propinsi yang

bersangkutan. DBH pertambangan gas bumi dibagikan dengan porsi yang

sama besar untuk seluruh kabupaten/kota dalam propinsi yang

bersangkutan.

6) Dana Bagi Hasil Pertambangan Panas Bumi

Berdasarkan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004. Pasal 157 UU

Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan sumber pendapatan daerah tentang


50

hasil pengelolaan kekayaan daerah maka DBH pertambangan panas bumi

berasal dari setoran bagian pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi.

DBH pertambangan panas bumi untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh

persen) dibagi dengan rincian: 16% (enam belas persen) untuk propinsi

yang bersangkutan, 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota

penghasil dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk seluruh kabupaten/kota

lainnya dalam propinsi yang bersangkutan. DBH pertambangan panas

bumi dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua

kabupaten/kota dalam propinsi yang bersangkutan.

Penyaluran DBH sebagaimana dilaksanakan berdasarkan realisasi

penerimaan sumber daya alam tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH

dilaksanakan secara triwulan. Penyaluran DBH sumber daya alam

dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum

negara ke rekening kas umum daerah.

Penyaluran DBH pertambangan minyak bumi dan pertambangan

gas bumi ke daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar harga

minyak bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari

penetapan dalam APBN tahun berjalan. Dalam hal asumsi dasar harga

minyak bumi yag ditetapkan dalam APBN perubahan melebihi 130%

(seratus tiga puluh persen), selisih penerimaan negara dari minyak bumi

dan gas bumi sebagai dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan

dengan menggunakan formula DAU. Ketentuan mengenai tata cata

penghitungan selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi
51

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Menteri Keuangan.

Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas

penggunaan anggaran pendidikan dasar yang berasal dari DBH minyak

bumi dan gas bumi. Menteri teknis melakukan pementauan dan evaluasi

teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Dana Reboisasi.

Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan

anggaran rehabilitasi hutan dan lahan yang berasal dari DBH dana

reboisasi. Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya

penyimpangan, Menteri Keuangan meminta aparat pengawasan fungsional

untuk melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan dapat dijadikan sebagai

bahan pertimbangan dalam pengalokasian DBH untuk tahun anggaran

berikutnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai

konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah

mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan

masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan.

Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola

potensi daerahnya yaitu potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,

dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Setiap daerah dituntut

untuk lebih meningkatkan kemampuan sumber daya manusia untuk dapat

menggali potensi yang ada dan mengelolanya sehingga pendapatan asli

daerah dapat terus meningkat dan ketergantungan pemerintah daerah


52

terhadap bantuan pemerintah pusat dapat berkurang. Melalui bagi hasil

penerimaan negara tersebut, diharapkan potensi penerimaan daerah

menjadi semakin meningkat dan daerah merasakan bahwa haknya atas

pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki masing-masing daerah

diperhatikan oleh pemerintah pusat (widjaja, 2002:46) dalam (Zainuddin,

2012).

2.2.4.3. Pertumbuhan Dana Bagi Hasil

Berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000),

mulai tahun anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari pajak penghasilan

(PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21/29 Orang Pribadi.

Ditetapkan PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai

kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya

alam tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN).

Pada umumnya setiap daerah memilik sektor unggulan sendiri-sendiri

dalam hal keuangan dan hal ini sangat bergantung pada pemerintah daerah itu

sendiri dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang ada. Demikian

halnya dalam sistem Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari pajak dan

sumber daya alam. Mekanisme bagi hasil pajak dan sumber daya alam bertujuan

untuk mengurangi ketimpangan vertical (Vertikal imbalance) pusat-daerah.

Namun, pola bagi hasil tersebut dapat berpotensi mempertajam ketimpangan

horizontal (horizontal imbalance) yang dialami antara daerah penghasil dan non

penghasil. Ketimpangan horizontal tersebut disebabkan karena dalam kenyataan

karakteristik daerah di Indonesia sangat beraneka ragam.


53

Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah

seperti di Riau, Aceh, Kalimantan Timur, dan Papua ( Astuti dan Joko, 2005:37

dalam Zainuddin,2012) yang berupa minyak bumi dan gas bumi (Migas),

pertambangan, dan kehutanan. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki

kekayaan alam yang besar namun karena struktur perekonomian mereka telah

tertata dengan baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan sehingga daerah

tersebut menjadi kaya. Hal tersebut sejalan denga pendapat Cristyanto (2005:81

dalam zainuddin, 2012) yang menyatakan bahwa potensi penerimaan daerah dari

pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan pajak

penghasilan dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa

daerah saja.

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan sumber pendapatan daerah yang

cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam

mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan

berasal dari pendapatan asli daerah selain Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi

Khusus (Zainuddin, 2012).

2.2.4.4. Kontribusi Dana Bagi Hasil Terhadap Pendapatan Daerah

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka Dana Bagi Hasil (DBH)

merupakan komponen dana perimbangan yang memiliki peranan penting dalam

menyelenggarakan otonomi daerah karena penerimaannya didasarkan atas potensi

daerah penghasil. Sumber Dana Bagi Hasil (DBH) meliputi Penerimaan dari

Pajak dan Sumber Daya Alam (SDA). Jika Pemerintah daerah menginginkan
54

transfer bagi hasil yang tinggi maka pemerintah daerah harus dapat

mengoptimalkan potensi pajak dan sumber daya alam yang dimiliki masing-

masing daerah, sehingga kontribusi yang diberikan Dana Bagi Hasil (DBH)

terhadap pendapatan daerah dapat meningkat.

Kuncoro (2007:113) menunjukan bahwa transfer dana bagi hasil diprediksi

mengalami penurunan, pemerintah daerah berupaya menaikan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) sebagai sumber dana pengganti bagi pembiayaan aktivitas belanja

pemerintah daerah. Hal tersebut dapat mendorong tercapainya otonomi daerah

melalui kemandirian keuangan dimana pemerintah daerah harus dapat memenuhi

pembiayaan daerah melalui pendapatan yang diperoleh berdasarkan potensi

daerah masing-masing. Dengan demikian ketergantungan pemerintah daerah

kepada pemerintah pusat dapat menurun dan kemandirian daerah pun dapat

tercapai.

2.2.4.5. Pentingnya Penggalian Potensi Dana Bagi Hasil

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka potensi pendapatan daerah dapat

diukur dari besarnya tingkat pertumbuhan dan kontribusi yang dihasilkan dari tiap

sektor pendapatan daerah, termasuk pertumbuhan dan kontribusi Dana Bagi Hasil

(DBH), Daerah harus mampu mengidentifikasi komponen DBH ( DBH Pajak atau

DBH SDA) manakah yang memberikan kontribusi positif dan masih berpotensi

untuk ditingkatkan. Potensi DBH dapat ditunjukan dengan matriks potensi yang

ditentukan berdasarkan hasil penghitungan tingkat pertumbuhan dan kontribusi

yang diberikan oleh masing-masing komponen DBH terhadap pendapatan daerah.


55

Komponen DBH bisa mempunyai tingkat pertumbuhan yang positif,

namun komponen tersebut tidak berpotensi untuk ditingkatkan karena

kontribusinya yang rendah terhadap DBH. Oleh sebab itu setiap daerah harus

dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, baik dari sektor pajak maupun

SDA, sehingga daerah tersebut memiliki sumber-sumber pendapatan yang baik

atau potensial (Zainuddin, 2012)..

2.2.5. Belanja Modal

2.2.5.1. Pengertian Belanja Modal

Belanja modal yaitu biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang-

barang modal yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain pembelian

tanah, gedung, mesin dan kendaraan, peralatan, instalasi dan jaringan, furniture,

software, dan sebagainya (Mahmudi, 2010 : 96).

Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap

dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja

modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan

bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (PP Nomor 24 Tahun 2005). Dengan

kata lain belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang

sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu

periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya

pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,

meningkatkan kapasitas dan kualitas aset (Anggiat Situngkir, 2009).

Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama:


56

1. Belanja Modal Tanah

Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan

untuk pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan

sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah,

pembuatan sertipikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan

perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap

pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang

digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan

kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan

manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin

dimaksud dalam kondisi siap pakai.

3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya

yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan termasuk

pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan

pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai

gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran/biaya

yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan

pembangunan/pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran


57

untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan

yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud

dalam kondisi siap pakai.

5. Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran/biaya yang

digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan

pembangunan/ pembuatan serta perawatan terhadap Fisik lainnya yang

tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan

dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk

dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian

barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum,

hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah ( www.ksap.org)

dalam (Situngkir, 2009).

Aset tetap merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan

publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah

mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja

modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik

untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik.

Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah,

sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak

jangka panjang secara finansial (Situngkir, 2009).


58

Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja yang

manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan

daerah serta akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya

pemeliharaan. Munir (2003) dalam Darwanto (2007) juga menyatakan

menyatakan hal sama. Bahwa belanja modal memiliki karakteristik spesifik

menunjukkan adanya berbagai pertimbangan dalam pengalokasiannya (Situngkir,

2009).

Berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah, pasal 53, belanja modal digunakan untuk

pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau

pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12

(dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam

bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan

jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan

aset tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga

beli/bangun aset. Sedangkan honorarium panitia pengadaan dan administrasi

pembelian/pembangunan untuk memperoleh setiap aset yang dianggarkan pada

belanja modal, dianggarkan pada belanja pegawai dan/atau belanja barang dan

jasa.

2.3. Kerangka Pemikiran

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan


59

Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kebijakannya sebagai daerah otonom

sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan

pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang diterima, maka

semakin besar pula kewenangan Pemerintah Daerah tersebut dalam melaksanakan

kebijakan otonomi. PAD sebenarnya merupakan andalan utama daerah untuk

mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembiayaan pembangunan, tetapi

penerimaan daerah dari unsur PAD saja belum mampu memenuhi kebutuhan

daerah apalagi dengan penambahan wewenang daerah jelas akan membutuhkan

dana tambahan bagi daerah sehingga daerah masih tetap membutuhkan bantuan

atau dana yang berasal dari pusat. Bantuan pusat ini biasa disebut Dana Alokasi

Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dana alokasi umum menyebabkan terjadinya transfer yang cukup

signifikan didalam APBN dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, dan

Pemerintah Daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberi

pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Darwanto dan Yustikasari (2007), Oktriniatmaja (2011), Febriyanti (2013),

dan Zega (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan

antara DAU dengan belanja modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat

hubungan antara pemberian dana transfer dari Pemerintah yaitu DAU, dengan

alokasi pengeluaran daerah melalui alokasi belanja modal. Semakin tinggi DAU

maka alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah

yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi untuk anggaran

belanja daerah (belanja modal ) akan meningkat.


60

Dana alokasi khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang

dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai

kegiatan khusus. Pemanfaatan DAK diarahkan pada kegiatan investasi

pembangunan, pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana fisik

dengan umur ekonomis yang panjang. Dengan adanya pengalokasian DAK

diharapkan dapat mempengaruhi belanja modal, karena DAK cenderung akan

menambah asset tetap yang dimiliki pemerintah guna meningkatkan pelayanan

publik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktriatmaja (2011), menyatakan

bahwa DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal. Hal ini

mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana transfer dari

Pemerintah Pusat (DAK) dengan alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui

belanja modal.

Pendapatan asli daerah bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada

daerah dalam mengoptimalkan potensi pendanaan daerah sendiri dalam

pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Bermula dari

keinginan untuk mewujudkan harapan tersebut, Pemerintah Daerah melakukan

berbagai cara dalam meningkatkan pelayanan publik, salah satu hal yang

dilakukan adalah dengan melakukan belanja untuk kepentingan investasi yang

direalisasikan melalui belanja modal. Peningkatan belanja modal diharapkan

mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada akhirnya mampu

meningkatkan tingkat partisipasi atau kontribusi publik terhadap pembangunan

yang tercermin dari adanya peningkatan PAD. Dengan kata lain, pembangunan

berbagai fasilitas sektor publik akan berujung pada peningkatan PAD. Pada
61

penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007), Oktriniatmaja

(2011), Permatasari (2013), dan Zega (2014) menyatakan bahwa terdapat

hubungan positif dan signifikan antara PAD dengan belanja modal. Hal ini dapat

diartikan bahwa semakin tinggi PAD maka pengeluaran Pemerintah atas belanja

modal pun akan semakin tinggi.

Dana bagi hasil yang menjadi sumber dana tersebut terlebih dahulu harus

melalui proses penganggaran yang melibatkan eksekutif dan legislatif. Pihak

eksekutif membuat draf anggaran kemudian disampaikan kepada legislatif untuk

dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan menjadi peraturan daerah. Namun

dalam penganggaran belanja modal untuk beberapa daerah masih terlalu kecil,

tidak sebanding dengan sumber dana yang diperoleh. Penelitian yang dilakukan

Irfan Anugrah Pangestu, Rina Arifati, dan Abrar Oemar (2015), menyatakan

Dana Bagi Hasil menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Modal,

sehingga dapat di tarik salah satu kesimpulan bahwa semakin tinggi Dana Bagi

Hasil maka semakin besar pula pengalokasian anggaran belanja modal pada

daerah tersebut.

Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja

modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini

didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk

kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan

publik. Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah dalam

APBD tentu sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut.
62

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis akan meneliti

mengenai Dana Alokasi Umum, Dana Dana Alokasi Khusus Pendapatan Asli

Daerah, dan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal (Survei Pada Pemerintah

Kabupaten dan Kota di Sulawesi Tengah) dengan paradigma konseptual

penelitian seperti yang digambarkan berikut ini:

Dana Alokasi
Umum
(x1)

Dana Alokasi
Khusus
(x2)
Belanja Modal
(y)
Pendapatan Asli
Daerah
(x3)

Dana Bagi Hasil


(x4)

Keterangan :

= Simultan

= Parsial

Gambar 2.1
Paradigma Konseptual Penelitian
63

2.4. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban yang bersifat sementara terhadap masalah

yang akan diteliti. Oleh karena itu, berdasarkan identifikasi masalah dan kerangka

pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis yang dirumuskan dalam

penelitian ini, adalah sebagai berikut :

1. Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan

Dana Bagi Hasil Secara Simultan Berpengaruh Signifikan terhadap

Belanja Modal.

2. Dana Alokasi Umum Secara Parsial Berpengaruh Signifikan Terhadap

Belanja Modal.

3. Dana Alokasi Khusus Secara Parsial Berpengaruh Signifikan Terhadap

Belanja Modal.

4. Pendapatan Asli Daerah Secara Parsial Berpengaruh Signifikan Terhadap

Belanja Modal.

5. Dana Bagi Hasil Secara Parsial Berpengaruh Signifikan Terhadap Belanja

Modal.

Anda mungkin juga menyukai