Galih Wicaksono
1. Pendahuluan
Sektor barang konsumsi adalah sektor yang selalu ada dekat dengan
kehidupan masyarakat, dengan kondisi saat ini yang mana masyarakat
masih banyak yang menggunakan uangnya untuk membeli kebutuhan
konsumsi maka industri ini memiliki prospek yang masih bagus. Sektor
barang konsumsi merupakan sektor yang memiliki tingkat profitabilitas yang
cukup baik.
Pada State Of Art ini diambil penelitian terdahulu sebagai panduan bagi penulis
untuk melakukan penelitian ini. Yang selanjutnya akan menjadi acuan dan
perbandingan dalam penelitian ini. Dalam State Of Art ini terdapat beberapa
jurnal.
2.2 Definisi
Pasar Modal
Pasar modal didefinisikan sebagai suatu situasi dimana penjual dan pembeli
dapat melakukan negosiasi terhadap pertukaran suatu komoditas atau
kelompok komoditas, dan komoditas yang diperjualbelikan di sini adalah modal
(Robbert, 1997) dalam (Supriantikasari & Utami, 2019) . Pasar modal
merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain “misalnya
pemerintah” dan sarana bagi kegiatan berinvestasi.
Salah satu sekuritas yang paling menarik dalam pasar modal salah satunya
ialah saham. Menurut Husnan (2005) dalam (Supriantikasari & Utami, 2019)
saham adalah tanda bukti kepemilikan dalam sebuah perusahaan.
Menurut Hery (2017) dalam (Baihaqi et al., 2019) menyatakan “harga sebuah
saham sangat dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran. Harga
saham cenderung naik apabila suatu saham mengalami kelebihan permintaan
dan cenderung turun jika terjadi kelebihan penawaran”. Sartono (2015) dalam
(Baihaqi et al., 2019) mendefinisikan “harga saham adalah sebesar nilai
sekarang atau present value dari aliran kas yang diharapkan akan diterima”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa harga saham merupakan nilai
sekarang yang diharapkan akan diterima dan ditentukan oleh kekuatan dan
permintaan.
Menurut (Supriantikasari & Utami, 2019) Return On Assets (ROA) adalah rasio
antara laba setelah pajak atau Net Income After Tax terhadap total assets. ROA
menunjukkan kinerja keuangan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih
dari aktiva yang digunakan untuk operasional perusahaan. Return On Asset
yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan dari setiap asset yang digunakan. Dengan melihat mengetahui
rasio ini kita bisa menilai apakah perusahaan efisien dalam memanfaatkan
aktivanya dalam kegiatan operasional perusahaan (Pandansari, 2012)
Hanafi (2008) dalam (Lutfi & Sunardi, 2019) menyatakan Return on Equity
mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan
modal tertentu. Kenaikan rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih dari
perusahaan yang bersangkutan. Jadi, para investor dapat menggunakan
indikator ROE sebagai bahan pertimbangan dalam memilih saham atau
menanamkan modalnya, karena rasio ini menunjukkan bahwa dengan kinerja
manajemen meningkat maka perusahaan dapat mengelola sumber dana
pembiayaan operasional secara efektif. (Pandansari, 2012) menyatakan pada
rasio ini menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham
terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah
pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham.
Earning Per Share (EPS) merupakan rasio perbandingan antara laba bersih
sebelum pajak dengan harga per lembar saham. EPS menunjukkan seberapa
besar keuntungan yang diberikan kepada investor dari setiap lembar saham
yang dimilikinya. Secara sederhana EPS menggambarkan jumlah uang yang
diperoleh untuk setiap lembar saham. (Supriantikasari & Utami, 2019)
Pemegang saham dan calon investor pada umumnya akan tertarik pada
Earning Per Share (EPS), karena EPS merupakan salah satu indikator
keberhasilan suatu perusahaan.
Menurut Hery (2017) dalam (Baihaqi et al., 2019) marjin laba kotor (Gross Profit
Margin) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya
presentase laba kotor atas penjualan bersih. Rasio ini di hitung dengan
membagi laba kotor terhadap penjualan bersih. Semakin besar laba yang
dihasilkan akan meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan.
Dengan demikian secara teori hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh (Baihaqi et al., 2019) dan (Indahsafitri et al., 2018) yang menunjukkan
bahwa GPM berpengaruh signifikan terhadap harga saham.
Menurut Batian dan Suhardjono (2006 : 299) dalam (Indarti, 2012) Net Profit
Margin adalah perbandingan laba bersih dan penjualan. Semakin besar NPM,
maka kinerja perusahaan akan semakin produktif, sehingga akan meningkatkan
kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut.
Dengan teori tersebut maka NPM dengan harga saham akan memiliki pengaruh
signifikan. Teori tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rinati,
2008), (Prawira et al., 2019) dan (Indahsafitri et al., 2018) dengan hasil
penelitian NPM memiliki pengaruh signifikan terhadap harga saham.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rinati, 2008) dan
(Pandansari, 2012) dengan hasil penelitian ada pengaruh signifikan terhadap
harga saham, namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Indarti, 2012) dan (Valintino & Sularto, 2013). Berdasarkan uraian diatas maka
dapat diusulkan hipotesis sebagai berikut :
Menurut teori diatas maka dapat diartikan RoE memiliki pengaruh signifikan
terhadap harga saham dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Indarti, 2012) (Lutfi & Sunardi, 2019) dan (Valintino & Sularto, 2013) namun
tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Rinati, 2008) dan
(Indahsafitri et al., 2018) dengan hasil tidak ada pengaruh signifikan RoE
terhadap harga saham. Maka dapat diusulkan hipotesis sebagai berikut :
Sejalan dengan hal diatas maka EPS memiliki pengaruh signifikan dan sejalan
dengan penelitian yang dilakukan (Indahsafitri et al., 2018) dan (Valintino &
Sularto, 2013) namun tidak sejalan dengan (Supriantikasari & Utami, 2019)
yang menghasilkan penelitian tidak sejalan dengan hasil penelitian EPS tidak
berpengaruh terhadap harga saham.
Kerangka Penelitian
Gross Profit Margin
Return on Equity
Hipotesis
Berdasarkan model kerangka penelitian di atas, maka dirumuskan hipotesis
sebagai berikut: