Analisis Isbal Sebagai Identitas Dan Kewajiban Agama
Analisis Isbal Sebagai Identitas Dan Kewajiban Agama
Isbal memiliki arti menjulurkan pakaian sampai dibawah mata kaki. Didalam islam
isbal dilarang bahkan dapat dikatakan hukumnya adalah haram. Banyak perspektif isbal yang
hingga saat ini masih pro kontra dalam masyarakat, karena saat ini banyak laki-laki yang
menjulurkan pakaiannya sampai batas bawah mata kaki. Adanya penggunaan isbal saat ini
sebenarnya tidak lepas juga dari tuntutan pekerjaan maupun adanya alasan lainnya, seperti
halnya kewajiban dalam pakaian kantor yang biasanya ada ketentuan untuk menutup mata
kaki. Adanya tuntutan ini yang lambat laun menjadikan isbal adalah hal yang biasa bagi
masyarakat muslim biasa, sehingga muncul adanya pro kontra seperti apa itu isbal hukumnya.
Banyak artikel yang ada didalam web saat ini membahas tentang isbal, artikel ini
bermacam-macam membahas isbal dari sudut pandang sang penulis. Sehingga kali ini saya
akan menganalisis bagaimana pandangan yang dibuat oleh penulis artikel dalam
menggabarkan Isbal.
ARTIKEL 1
Judul artikel : Syubhat Seputar Larangan Isbal
Penulis : Yulian Purnama
Web : https://muslim.or.id/8995-syubhat-seputar-larangan-isbal.html
Hasil analisis :
a. Respon Isu
Pada web muslim.or.id respon isu yang diberikan tentang isbal awal mulanya
adalah dengan memberikan pengertian apa itu isbal dalam islam.
“Isbal artinya menjulurkan pakaian melebihi mata kaki. Isbal terlarang dalam
Islam, hukumnya minimal makruh atau bahkan haram.”
Dalam kutipan ini penulis memberikan dasar dari apa itu isbal, sehingga
pembaca akan memahami bagaimana pengertian dari isbal. Lalu penulis juga
meanjutkan pembahasannya mengenai dalil yang ada dalam isbal.
“Dalil seputar masalah ini ada dua jenis: Pertama, mengharamkan isbal jika
karena sombong dan Kedua, hadits-hadits yang mengharamkan isbal secara
mutlak baik karena sombong ataupun tidak.”
Didalam artikel ini penulis membagi dalil yang menjadikan landasan kuatnya
tulisan ini menjadi 2 bagian, dimana dalam bagian pertama menjelaskan tentang
bagaimana dalil yang ada mengenai isbal karena terdapat rasa sombong yang
dibawanya saat menjulurkan pakaiannya sampai batas mata kaki. Untuk bagian
keduanya penulis mengambil dalil-dalil dimana yang didalamnya isbal itu mutlak
haram sehingga disini penulis memaparkan ketegasan tentang bagaimana hukum
isbal melalui hadist yang diriwayatkan.
c. Keberlindungan Isu
Dalam artikel yang dipaparkan oleh sang penulis ini dapat diambil garis
bahwa isu yang diambil oleh penulis berlindung pada hadist dan beberapa
kesepakatan yang sudah disepakati oleh ulama. Disini penulis juga menyusun
konsep pemikirannya dengan kontra terhadap isbal, dilihat dari cara penulisannya
yang sangat menekankan pada dalil yang sudah ada. Bahkan penulis juga menutip
beberapa artikel yang pro terhadap isbal sehingga dapat dipetakan bahwa penulis
mencoba menggiring pembaca untuk kontra terhadap isbal.
ARTIKEL 2
Judul artikel : Apakah Pakai Celana Melebihi Mata Kaki (Isbal) Otomatis Sombong?
Penulis : Abdul Wahab Ahmad
Web : http://www.nu.or.id/post/read/98334/apakah-pakai-celana-melebihi-mata
kaki-isbal-otomatis-sombong
Hasil analisis :
a. Respon Isu
Pada website nu.or.id memberikan respon isu yang berbeda dengan artikel
yang pertama, dimana pada artikel ini pada awalnya mengusung tentang Ta'abbudi
yang memiliki arti aspek yang berada di luar ranah akal sebab penentunya hanyalah
nash (teks ayat atau hadis).
“Semua yang bicara soal fiqih, wajib paham tentang aspek ta'abbudi dan
ta'aqquli. Ta'abbudi adalah aspek yang berada di luar ranah akal sebab
penentunya hanyalah nash (teks ayat atau hadis). Adapun ta'aqquli adalah
sesuatu yang bisa dinalar, sebab itu penentuannya adalah nalar itu sendiri.”
Disini penulis memaparkan tentang apa yang bisa dinalar dan apa yang tidak
bisa dinalar oleh manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa penulis ingin
mengajak pembaca untuk menggunakan nalarnya dalam memahami isi artikel yang
dibuatnya mengenai isbal.
b. Konsep yang diusung
Dalam penggambaran isbal ini penulis menyusun konsep penulisannya
dengan penalaran, dimana konsep pada awal artikel ini pembaca diajak untuk
membayangkan dan memahami tentang apa yang masuk diakal dan apa yang tidak
masuk diakal dengan menggambarkan 3 contoh dengan salah satu contohnya adalah
kutipannya yang berisi
“hewan yang mati tanpa sembelihan syar'i menurut nash adalah najis. Status
ini sudah final tak bisa ditawar dengan akal lagi. Entah hewan tersebut masih
segar sehingga menurut akal tak ada bedanya dengan yang disembelih atau
sudah busuk sehingga berpenyakit.”
Ada juga kutipan yang menuntun pambaca untuk memberi penalaran
“Sekarang, kita beralih pada kasus kesombongan. Apakah kesombongan
ini ta'abbudi ataukah ta'aqquli? “
Dari kutipan ini pembaca akan digiring pada sebuah penalaran tentang
kesombongan yang akan merambah pada kaitannya dengan isbal. Bahkan penulis
juga memaparkan penalarannya degan membagi kedalam 2 kelompok dimana
pemaparannya adalah sebagai berikut
“Bagi sebagian kelompok, berdasarkan beberapa nash umum tentang isbal, bila
bawahan seorang lelaki menjulur di bawah mata kaki, maka berarti dia
dianggap sombong. Tak peduli isi hatinya apa, yang penting tatkala dia isbal
maka langsung dianggap sombong. Nalar seperti ini menunjukkan bahwa
kesombongan dianggap sebagai ranah ta'abbudi yang tak bisa dijangkau akal
tetapi diputuskan murni oleh nash.”
Kelompok yang berikutnya adalah
“Bagi kelompok lainnya tidak demikian. Menjulurkan bawahan di bawah mata
kaki harus dilihat motifnya dulu di dalam hatinya. Bila motifnya adalah pamer
pakaian atau pamer status sosial yang menunjukkan dia adalah kelas atas, bukan
kelas pekerja kasar yang lumrahnya mengangkat bawahannya di atas maka kaki
agar tak ribet sewaktu bekerja, maka hukumnya adalah haram. Niat pamer itulah
yang menjadi wujud kesombongan. Sedangkan bila dalam hatinya tak ada motif
kesombongan seperti itu, namun semata karena kebiasan yang berlaku umum,
maka isbalnya tak mengapa dilakukan.”
Dari adanya kutipan ini penulis ingin mengajak para pembaca untuk saling
mengkaitkan isbal ini dengan penalaran mana yang masuk diakal dan mana yang
tidak masuk diakal sehingga akan menggiring para pembaca nanti kepada opini sang
penulis tentang bagaimana tanggapannya terkait dengan isbal.
c. Keberlindungan isu
Artikel yang terdapat dalam nu.or.id ini memiliki pondasi pada
penekanannya pada mana yang dapat dipikirkan secara rasional. Bahkan juga dalam
artikel ini penulis selalu menekankan bahwa pembaca haruslah selalu berpikir
tentang bagaimana yang dianggap rasional dan tidak. Dan dapat disimpulkan bahwa
penulis ini pro terhadap isbal, pro disini dapat dibuktikan dengan salah satu paragraf
yang ada diartikelnya
“Dengan demikian, asumsi sebagian kelompok bahwa kesombongan dapat
diputuskan keberadaannya semata karena nash belaka adalah asumsi yang
salah. Dalam kasus isbal, ada tidaknya kesombongan hanya bisa diukur dengan
ukuran yang dapat dinalar, seperti adanya indikasi pamer, angkuh dan
sebagainya.
Salah apabila tetiba semua isbal langsung mendapat vonis sombong tanpa bisa
ditawar lagi dengan alasan ada beberapa nash yang menyatakan bahwa isbal
adalah sombong. Ini jelas merupakan pembacaan nash yang tidak tepat. Yang
benar, isbal banyak terjadi karena motif sombong sehingga layak dilarang.
Adapun bila tanpa motif sombong maka tak mengapa.”
Bahkan dalam terkahir dari artikel ini sang penulis masih saja mengutip
tentang akal. Juga didalam artikel ini ada pondasi yang menguatkan juga yaitu tentang
kutipannya mengenai Nabi dan juga Abu Bakar yang pernah juga isbal.
ARTIKEL 3
Judul artikel : Ternyata Isbal Haram, Kata Siapa?
Penulis : Muhammad Ajib, Lc., MA
Web : https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=363
Hasil analisis :
a. Respon Isu
Dari artikel yang dimuat dalam rumahfiqih.com memberikan respon isu
mengenai isbal dengan kalimat pembuka mengenai agama islam dengan masalah
internalnya. Yang dimaksud dengan internalnya disini adalah tentang bagaimana
besarnya agama ini namun didalamnya tidak luput tentang adanya suatu masalah.
Salah satu yang dapat dikutip ini awalnya adalah
“Namun, di tengah arus kebangkitan Islam ini, bukan berarti tidak ada masalah
internal. Justru sering kali kita melihat sesama aktifis Islam saling serang hanya
karena perselisihan pemahaman fiqih saja, termasuk masalah ISBAL
(memanjangkan pakaian). Biasanya sikap keras dilancarkan oleh pihak yang
memahami bahwa ISBAL itu haram walaupun tanpa ada rasa sombong.
Sementara pihak yang diserang pun tentunya memberikan pembelaan dengan
berbagai hujjah yang mereka miliki.”
Disini penulis mencoba membuka opini publik tentang masalah internal yang
terjadi namun terkadang tidak disadari seperti salah satunya adalah isbal apakah itu
haram atau halal. Sehingga penulis mencoba mengajak pembaca untuk memahami
isbal dari beberapa sudut pandang dari beberapa penggambaran kelompok.
c. Keberlindungan isu
Setelah membagi kedalam kelompok sesuai dengan penjelasan sebelumnya,
penulis mengurai semua landasan yang menguatkan masing-masing kelompok.
Penguatan ini dari masing-masing kelompok memiliki perlindungan untuk
menguatkan pendapatnya, agar semakin kuat pendapatnya penulis mengutip beberapa
ulama yang mengatakan isbal itu termasuk kategori yang mana dengan merujuk dari
salah satu kelompok.
Seperti penjabaran kelompok pertama diperkuat dengan adanya kutipan dari
artikel sebagai berikut
“Kita mulai dari kelompok pertama yaitu ulama ulama yang mengatakan isbal
itu Haram secara Mutlaq : Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqolaniy berkata dalam
kitab fathul bari juz 10 halaman 264 : dan hasilnya adalah bahwa isbal itu
menyebabkan terseretnya pakaian. dan menyeret pakaian itu menyebabkan
sombong. walaupun orang yang berpakaian itu tidak bermaksud demikian.”
Dari kutipan ini kelompok petama lebih menitik beratkan kepada isbal itu
haram dan menggambarkannya dengan terseretnya pakaian yang dikenakan oleh
orang yang isbal. Ada juga kelompok kedua yang berlindung dari kutipan ulama yang
kutipan dalam artikelnya adalah
“Kemudian kelompok yang kedua yang mengatakan isbal itu makruh
diantaranya : Al-imam Asy-Syafi’iy berkata dalam kitab Fathul baari yang
dinukil oleh Al-imam Ibnu Hajar Al-Asqolani juz 10 halaman 263 : imam nawawi
berkata " isbal dibawah mata-kaki bagi yang sombong, namun jika tidak
sombong maka hukumnya makruh. ini juga nash dari imam syafi'iy. dan
dianjurkan pakaian itu sampai batas betis. dan diperbolehkan menurunkannya
sampai kedua mata-kaki. dan apa yang ada dibawah mata-kaki maka itu
dilarang jika karena sombong. jika tidak sombong maka makruh. karena hadist
yang melarang isbal sifatnya mutlaq. maka harus ditaqyid dengan hadits
muqoyyad.”
Pada kutipan ini menekankan makna kesombongan, dimana yang dengan
sombong atau tanpa sombong sebagai alat ukurnya. Dan ada juga kelompok ketiga
yang memiliki dasar patokannya yaitu sebagai berikut
“Selanjutnya kelompok yang ketiga yang mengatakan isbal itu boleh atau mubah
:Al-imam Abu Hanifah berkata dalam kitab Al-Adab Asy-Syar’iyah yang dinukil
oleh ibnu Muflih juz 3 halaman 521 : berkata shohibul muhit dari kalangan
hanafiyah dan diriwaatkan bahwa abu hanifah memanjangkan selendangnya.
dan menyeretnya sampai mengenai tanah. kemudian ditanya bukankah kita
dilarang? beliau jawab " larangan itu bagi orang yang sombong dan kita bukan
orang yang sombong. begitu juga ibnu taimiyah memilih pendapat tidak adanya
keharaman dan tidak menganggapnya makruh.”
Pada kelompok yang terkahir ini merujuk hampir sama dengan yang kedua
yaitu faktor kseombongan yang menjadi ukurannya dan melandasi pendapat kelompok
ketiga ini.
Dari artikel yang ditulis oleh penulis dapat diismpulkan bahwa penulis bersifat
nertal dalam tulisannya, disebut netral karena penulis mengambil 3 pandangan yang
mengambarkan bagaimana isbal itu. Dan menggiring pambaca untuk tidak asal
memberikan kesimpulan bahwa isbal itu halal atau haram dengan memberikan
kutipannya diakhir paragraf.
“Intinya memang masalah isbal ini adalah masalah khilafiyah yang didalamnya
terdapat ijtihad-ijtihad para ulama dalam memahami nash hadits dan
pengambilan hukum (istinbat) . kalo ada ungkapan “ ternyata isbal haram “ kata
siapa?? Ya jawabannya adalah kata ulama’ kelompok pertama tadi. Dan jika
ada ungkapan “ ternyata isbal boleh “ kata siapa?? Ya kata ulama kelompok
ketiga tadi. Silahkan kita menjalankan apa yang menjadi keyakinan yang
menurut kita adalah benar dengan merujuk pada aqwal para ulama kita, tanpa
ada sikap pengingkaran terhadap yang lain. Semoga Allah Ta’ala memberikan
pahala dan dinilai sebagai upaya taqarrub bagi siapa saja yang menaikkan
pakaiannya di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa harus diiringi sikap
merasa paling benar, keras, dan justru sombong karena merasa sudah
menjalankan sunah.”
Dari ketiga artikel yang saya ambil dari beberapa situs ini dapat dipetakan bahwa
setiap penulis memiliki gaya penulisan dan gaya pemikirannya masing-masing, dimana
ini dibuktikan dengan adanya perbedaan artikel yang memiliki sifat Pro, Kontra dan
Netral. Bahkan dari ketiga artikel ini memiliki penguatnya masing-masing dengan
adanya dalil-dalil dan pendapat dari beberapa ulama.
Pada dasarnya saya lebih menyukai artikel yang ketiga, dimana artikel ketiga ini
sifatnya netral, jadi setiap kelompok maupun kepercayaan dapat memasangkan diirnya
ada dimana tanpa adanya perdebatan yang rumit nantinya. Sehingga saya
menyimpulkan dalam analisis yang saya ambil dari ketiga artikel tersebut bahwa setiap
penulisan dari sebuah artikel memiliki daya tarik yang berbeda-beda tergantung dari
pola pikir sipenulis yang akan diangkat dan ini cukup menarik bagi saya karena dapat
memahami pemikiran penulis yang berbeda-beda tersebut.