Anda di halaman 1dari 3

Sekali Lagi Tentang Isbal

Oleh: Ust. Aceng Zakaria

Tentang hukum Isbal, telah saya tulis dengan panjang lebar dalam buku “Haramkah Isbal, dan
Wajibkah Jenggot?” Kemudian tulisan itu sebagiannya telah dimuat di majalah Risalah No. 4 Tahun
45 edisi Jumadi Tsani 1428 H/Juli 2007. Dari tulisan itu timbul pro dan kontra, yaitu ada yang setuju
dengan pendapat saya, seperti saudara Royhan Muhammad Syafiq dan ada juga yang tidak setuju
sekaligus memberikan kritikan terhadap tulisan saya dan telah dimuat dua kali dalam majalah
Risalah, yaitu saudara Buldan Muhammad Fatah.

Melalui tulisan ini saya sampaikan beribu terimakasih terhadap semua pihak yang telah membaca
tulisan saya, lebih khusus kepada yang telah memberikan tanggapan, baik yang pro atau yang
kontra. Mudah-mudahan dapat lebih menajamkan lagi kajian dan analisa tentang masalah Isbal.

Di sini saya akan mencoba untuk menulis lagi tentang hukum Isbal, tetapi tidak berarti saya ingin
memaksakan pendapat saya kepada seluruh pembaca dan tidak berarti juga saya mau menerima
pendapat orang lain, karena saya juga dituntut untuk mempertanggungjawabkan masalah tersebut
sesuai dengan ilmu yang saya miliki dengan menggunakan rumusan-rumusan istinbath yang berlaku.
Setiap orang berhak untuk mempertahankan pendapatnya selama pendapat itu benar dan juga
wajib meralat pendapatnya jika ternyata pendapat itu keliru.

Tentang Isbal

Sebagaimana telah maklum, bahwa hadits-hadits tentang isbal itu ada yang muthlaq, yaitu tanpa
menyebut khuyalâ’a (sombong), dan ada hadits-hadits muqayyad, yaitu dengan menyebut sombong.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum isbal, yaitu:

Pertama, isbal itu haram, baik karena sombong atau tidak. Hanya jika dilakukan karena sombong,
dosanya lebih besar.

Kedua, isbal itu haram jika dilakukan karena sombong, dan jika tidak karena sombong, maka tidak
terlarang.

Dalam menanggapi dua pendapat tersebut, saya setuju dengan pendapat yang kedua, mengingat:

1. Qaidah Ushul;

َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ َّ َّ ‫َو ْال ُح ْكم‬


‫الس َبب ف اثفقا ٳذا ال ُمق َّيد َعل ال ُمطل ُق ُيحََ َم ُل‬

“Hendaklah ditarik yang muthlaq kepada yang muqayyad, apabila keduanya sama sebab dan
hukumnya.”

Dalam hal ini, ternyata kasusnya sama yaitu isbal, dan sanksinya pun sama yaitu Allah tidak akan
melihat mereka. Silahkan dibaca kembali sanksi dalam hadits yang muthlaq dan sanksi dalam hadits
yang muqayyad (Haramkah Isbal dan Wajibkah Jenggot? Hal. 45).

2. Para ulama ahli hadits pun dalam hal ini sama berkesimpulan seperti itu, yaitu menarik muthlaq
kepada muqayyad, diantaranya:

a. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (lihat Fath al-Bâri, 10: 365/371).


b. Imam Syafi’i.
c. Imam Nawawi (lihat ‘Aun al-Ma’bud, 11: 142).
d. Imam Ibnu ‘Abdilbar.
e. Imam Ibnu Ruslan.
f. Imam asy-Syaukani (lihat Nail al-Authar, 2: 128).
g. Imam Abdullah bin Abdirrahman al-Bassâm (lihat Taudhîhu al-Ahkâm, 7: 314/315).

3. Jika isbal secara muthlaq tetap haram, berarti tidur memakai selimut sampai menutupi dua mata
kaki karena kedinginan, juga haram.

4. Pendapat yang menyatakan, bahwa “isbal itu haram baik karena sombong atau tidak, dan bila
isbal dilakukan karena sombong, maka hukumnya lebih keras dan lebih besar,” pendapat ini keliru
karena kenyataannya lebih berat sanksi dalam hadits yang muthlaq daripada sanksi dalam hadits
yang muqayyad.

5. Berdasarkan mafhum mukhalafah dari kata khuyalâ’a (karena sombong) yang berarti, jika tidak
karena sombong, tentu tidak terlarang. Bandingkan dengan firman Allah Swt:

َ َ ََ َ
َ ‫اّلل َق‬ َ ْ ‫م َر ًحا‬.َ
‫ال‬ ‫ثعال‬: ‫األرض ِف ت ْمش وال‬

“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong.”

Mafhumnya, jika tidak karena sombong, tentu saja tidak terlarang.

6. Jika mafhum mukhalafah ini tidak berlaku, berarti penyebutan khuyalâ’a tidak ada artinya atau
sia-sia, padahal mustahil Nabi saw menggunakan kata-kata yang laghâ atau sia-sia.

Tentang Hadits Abu Bakar

Sebetulnya tanpa hadits Abu Bakar juga sudah cukup alasan untuk menetapkan bahwa isbal yang
tidak karena sombong itu tidak terlarang. Menanggapi kasus Abu Bakar, ada dua pendapat para
ulama:

Pendapat pertama: Hadits Abu Bakar tidak bisa dijadikan takhshish (pengecualian) untuk
membolehkan isbal tanpa sombong, mengingat:

1. Abu Bakar tidak dengan sengaja menjulurkan pakaiannya, tetapi pakaian itu sendiri yang kadang
melorot.

2. Abu Bakar secara khusus telah mendapatkan rekomendasi dari Nabi saw, bahwa dia tidak
termasuk sombong.

Pendapat kedua: Hadits Abu Bakar dapat dijadikan takhshish untuk membolehkan isbal yang bukan
karena sombong, mengingat:
1. Ucapan Nabi saw terhadap Abu Bakar, yaitu; “Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal
itu karena sombong” ini tidak berarti khusus untuk Abu Bakar saja, mengingat ada qaidah ushul,
bahwa petunjuk yang khusus untuk salah seorang dari umat ini tetap menunjukkan umum kecuali
jika ada dalil yang menunjukkan khusus.

2. Para ulama hadits sama memahami hadits Abu Bakar merupakan takhshish, bahwa isbal yang
tidak sombong itu tidak terlarang, seperti Imam asy-Syaukani menyatakan, bahwa “kaitan illat haram
di sini adalah sombong, karena isbal itu kadang dilakukan karena sombong kadang tidak.”

Demikian juga ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam-nya menyatakan, bahwa: “Ucapan Nabi saw
kepada Abu Bakar itu adalah dalil atau bukti, bahwa mafhum dalam hal ini dapat berlaku, yaitu jika
isbal itu tidak karena sombong tidak terlarang.”
Demikian pula Syeikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Taudlîh al-Ahkâm-nya menyatakan bahwa:
“Hadits Abu Bakar itu dapat dijadikan takhshish akan keumuman hadits isbal.”
Demikianlah pendapat para ahli hadits dalam menanggapi hadits Abu Bakar. Berarti tidak
mengherankan jika ulama yang sekarang berpendapat bahwa hadits Abu Bakar itu dapat dijadikan
takhshish, karena para ulama pendahulu juga berpendapat demikian.

3. Abu Bakar menyatakan: “Kecuali jika aku menjaganya dengan cermat.” Ini menunjukkan, bahwa
Abu Bakar bisa kalau mau berusaha untuk tidak isbal (seperti pakai sabuk umpamanya). Maka
dengan isbalnya Abu Bakar itu menunjukkan, bahwa isbal yang bukan karena sombong itu itu boleh.
Untuk perbandingan, Nabi saw memerintahkan agar makan itu dengan tangan kanan, kemudian ada
seorang shahabat yang menyatakan; “Saya tidak bisa ya Rasulullah.” Rasul menjawab: “Bukan tidak
bisa, tetapi kamu itu sombong.” Dalam hal ini Nabi saw tidak memberikan kelonggaran karena
memang betul-betul haram.

Dalam kasus Abu bakar, andai isbal itu tetap haram walau tidak sombong, tentu saja Nabi saw akan
memaksa Abu Bakar untuk tidak isbal dan apa susahnya karena hanya tinggal pakai sabuk.

4. Mengenai rekomendasi Nabi saw terhadap Abu Bakar, tentu saja bukan hak prerogatif Nabi saw
saja untuk menilai seseorang sombong atau tidak, lebih-lebih karena sombong itu perbuatan hati,
berarti tergantung niatnya masing-masing. Berarti bisa saja yang tidak isbal itu sombong karena
tidak isbalnya atau yang isbal sombong karena isbalnya, seperti larangan dalam al-Quran tidak boleh
berjalan di muka bumi dengan sombong.

Dalam hal ini Nabi saw tidak menjelaskan, bagaimana kriteria sombong dalam berjalan, tentu saja ini
berpulang kepada dirinya masing-masing dan ciri khas daerahnya yang tentu saja berbeda sesuai
tuntutan dan kondisi daerahnya.
Demikian penjelasan saya tentang isbal yang merujuk kepada para ulama pendahuku (ulama salaf)
dan berdasarkan rumusan-rumusan yang berlaku, seperti qaidah-qaidah ushul dan yang lainnya.
Mudah-mudahan bermanfaat. Untuk kesimpulan akhirnya, saya serahkan saja kepada para
pembaca. Karena memang, untuk menajamkan lagi masalah ini, tentu saja diperlukan diskusi atau
dialog terbuka dengan hati yang ikhlas disertai semangat untuk mencari dan menerima kebenaran
dari siapapun datangnya. Wallâhu a’lam bis-shawâb.

Anda mungkin juga menyukai