Anda di halaman 1dari 2

Beribadah Sepanjang Malam

Sebagian kawan ada yang mempersoalkan tentang keabsahan melaksanakan ibadah sepanjang
malam ketika ia mendengar ada salah seorang kyai kharismatik berpuasa sepanjang tahun
(shaum-d-dahri) dan malamnya tidak pernah tidur demi melakukan ibadah, karena baginya hal
ini dinilai bertentangan dengan anjuran Nabi saw di dalam sebuah hadis yang agak cukup
panjang yang bercerita, bahwa ada beberapa lelaki yang berkata kepada Nabi Saw bahwa ia
berniat akan melaksanakan puasa sepanjang hari dan yang lainnya berkata akan beribadah di
malam hari tanpa tidur, lainnya lagi berkata ia tidak akan menikah, namun Nabi saw malah
mencegahnya seraya Nabi saw berujar, aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat malam dan aku
juga tidur”. Hadis lengkapnya dapat dilihat dalam Shahih Bukhari kitab an-nikah no. 5063. Atau
sebuah hadis yang realtif lebih singkat dimana sabda Nabi saw ditujukan kepada Abdullah bin
Amr bin Ash agar berimbang dalam beribadah karena badanmu memiliki hak akan hal tersebut
(Bukhari, kitab Shaum hadis no. 1976) Selain itu ia juga menganggap bahwa perbuatan tersebut
terlalu ekstrem (tatharruf) dan berlebihan.

Sebenarnya masalah melaksanakan ibadah sepanjang malam hal ini bukanlah hal yang baru,
Syaikh Abu Thalib al-Makki dalam karyanya; Quutul Qulub mencatat bahwa setidaknya ada
empat puluh orang tabi’in yang tidak tidur pada malam hari, sehingga mereka melaksanakan
shalat shubuh dengan wudhu shalat Isya, diantaranya Said bin al-Musayyib, Shafwan bin Salim,
Fudhail bin Iyadh, Wuhaib bin Ward, dll. Mereka ini adalah orang yang larut dalam kesenangan
ibadah di malam hari sebagaimana yang dikatakan oleh Sulaiman Ad-Daraniy di dalam Awariful
Ma’arif berkata:

‫اهل الليل في ليلهم اشد لذة من اهل اللهو في لهوهم‬

“para penggemar malam lebih merasakan keledzatan nikmat waktu malamnya dari pada para
penggemar hiburan dalam menikmati hiburannya (maksudnya senang dalam kelalaian)”

Sehingga, sebenarnya apa yang dilakukan oleh beberapa ulama kita di nusantara atau di tempat
yang lainnya yang mungkin ada yang membiasakan diri untuk tidak tidur sepanjang malam
bukanlah hal yang baru dan tidak pula dapat dikatakan bahwasanya mereka menyelisihi anjuran
kanjeng Nabi saw terkait hal ini, karena kita tidak merasakan pengalaman spiritual seperti yang
mereka rasakan ketika mereka berjumpa dengan waktu malam. Jadi sebenarnya orang yang
mempertanyakan gaya ibadah mereka yang bermodel seperti ini hanya didasari karena
ketidakfahaman dalam menilai besarnya cinta mereka kepada rabbnya, andaikan kita
memahaminya mungkin kita tidak akan mempersoalkannya. Imam Bushiri berkata dalam
Qasidah Burdah.

َ ‫ك َولَوْ َأ ْن‬
‫ص ْفتَ لَ ْم تَلُ ِم‬ َ ‫ ِمنِّي ِإلَ ْي‬# ً‫يَا اَل ِئ ِمي فِي ْالهَ َوى الع ُْذ ِري َم ْع ِذ َرة‬
“duhai para pencaci gejolak cintaku, kuhaturkan maafku kepadamu, andaikan engkau mengerti
gelora cintaku niscaya takkan pernah kau mencela derita cintaku”

Memang di dalam kitab Mughnil Muhtaj, pada dasarnya memakruhkan gaya membiasakan
ibadah sepanjang malam tanpa tidur (Qiyaam Kulli Laili Daa’iman). Namun muallif kitab
tersebut juga sangat bijak dalam berfatwa, ia memakruhkan beribadah dengan model tersebut
kalau hal demikian dapat membahayakan tubuh dan membuat madharat dalam perkara dunia dan
agama seseorang, namun bagi yang tidak merasakan kepayahan dan tidak memadharatkan maka
tidaklah dapat dihukumi makruh, selain itu muallif kitab tersebut mengutip pendapat Muhib At-
Thabariy

,‫ و اال فال‬,‫ و ان وجد نظر ان خشي منها محذذورا كره‬,‫ بمناجة هللا تعالى‬s‫ان لم يجد بذالك مشقة استحب له ال سيما المتلذذ‬
‫ورفقه بنفسه اولى‬.

“bagi orang yang tidak mendapati kepayahan dan madharat bagi badan, maka beribadah
sepanjang malam merupakan sebuah perkara yang disenangi, terlebih lagi bagi orang yang
merasakan keledzatan bermunajat kepada Allah, namun bagi orang yang mendapati kepayahan
maka hal ini perlu tinjauan, jika dikhawatirkan ada resiko bahaya, maka hukumnya makruh,
namun jika tidak didapati maka tidaklah dimakruhkan, dan berlaku santun terhadap diri sendiri
jauh lebih diutamakan.” (Mughnil Muhtaj: Kitabus Shalat, Juz 1, h. 348. Libanon-Beirut: Daarul
Makrifat).

Wal hasil, marilah kita berhusnudzan dengan para ulama.

A. Reza Fahlepi

Tangerang-Benda, 29 Mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai