Anda di halaman 1dari 3

Nama : Syamsul Rizal 1238

Nim : 212111064
Kelas : HES 3B
Matkul : TAFSIR

Pemikiran Epistemologi Kritis Nalar Arab Muhammad ‘Abed Al Jabiri


Dalam Konteks Hukum

Seorang tokoh mufassir sekaligus tokoh filusuf Arab Kontemporer yaitu Muhammad
Abed al-Jabiri yang sangat produktif dalam menghasilkan pemikiran kritis-kritisnya, baik dalam
bentuk makalah, artikel lepas hingga buku utuh. Terdapat kegelisahan beliau yang ia rasakan
dalam menganalisa kegagalan kebangkitan islam baik dalam dunia politik maupun kultural
yang disebabkan oleh tidak efektifnya upaya dalam kebangkitan islam yang diusung, dan telah
menyimpang dari mekanisnya sebenarnya. Muhammad ‘Abde al-Jabiri berupaya merealisasikan
kebangkitan islam dengan kritik nalar Arab karena atas keprihatinan beliau atas kegagalan
kebangkitan Islam. Dengan kritik nalar Arab ini Abid al-Jabiri membongkar dan menggali
lapisan-lapisan terdalam rancang banging pemikiran Arab untuk menguak “catat-catat
espitemologis” kemudian dibenahi dengan mencarai alternatif terbaik. Epistemologis menurut
al-Jabiri merupakan sebuah konsep, prinsip dasar dan aktivitas unutuk memperoleh
pengetahuan dalam suatu era historis tertentu. Abid al-Jabiri berupaya memperkenalkan
pemikiran Islam sebagai sebuah sitem, sebagai episteme yang terwujud dalam Nalar Bayani,
Nalar ‘Irfani, dan Nalar Burhani. Pembacaan terhadap wacana tradisi dalam pemikiran Arab-
Islam terdapat tiga pembacaan yang berbeda, pertama adalah pembacaan fundamentalisme,
kosep ini memandang sejarah sebagai sebuah momen yang dilebarkan kepada masa kini dengan
menempatkan faktor spiritual sebagai satu-satunya penggerak sejarah, d an factor yang lain
sebagai factor sekunder yang bergantung pada factor spiritual. Kedua, pembacaan liberal, yang
menjadi acuan dan konsepnya dalam sebuah tradisi. Ketiga, pembacaan marxisme, sebuah
rencana untuk memulihkan sebuah tradisi supaya dapat mendorong terjadinya revolusi dan
menjadi bagian fondasi bagi tradisi. Menurut Abed al-Jabiri ketiga metode pembacaan tersebut
dapat dengan mudah di salahkan karena adanya kelemahan utama yang melingkupinya, yang
mana metode yang digunakan sangat kurang objektivitas, perspektif dan historis.

Dalam permasalahan tersebut, Abed al-Jabiri dalam mengkaji dan mengkritisi sebuah
tradisi, beliau menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan historisitas, objektivitas, dan
kontinuitas. Dalam pendekatan “Historisitas” dan “Objektivitas” yang mempunyai arti sebagai
pemisah antara pembaca dan objek bacaannya, sedangkan ‘kontinuitas” berarti
menghubungkan sang pembaca dengan objek bacaannya. Kemudian, kebenaran pengetahuan
tersebut di validasi dengan menggunakan episteme nalar bayani, ‘irfani, dan burhani. Gagasan
modernitas al-Jabiri ini berupaya untuk membenahi sikap serta pendirian mengembangkan
sebuah metode dan visi modern tentang tradisi, sehingga menjadi sebuah pesan dan dorongan
perubahan, serta menghidupkan kembali berbagai mentalitas dan norma pemikiran beserta
seluruh apresiasinya.

Epistemologi dalam ilmu , akan membawa sebuah persoalan bagaimana segala sesuatu
itu tersedia, bagaimana kita dapat memahaminya, bagaimana kita dapat mengklasifikasi
eksistentsi setiap objek berdasar ruang dan waktunya. Epistemologi hukum merupakan sebuah
pengetahuan logika, etika, dan estetika, menjadikan sebuah gagasan kebenaran ilmiah,
mempersoalkan darimana unsur-unsur hukum yang ada, bagaimana seseorang dapat
memperoleh pengetahuan tentang hukum dan bagaimana seseorang dapat merumuskan
sebuah struktur-strukut pengetahuan tentang ilmu hukum dan kemudian akan menimbulkan
sebuah pertanyaan yang mendasar seperti contohnya, untuk apa sih penggunaan hukum, apa
saja batasan wewenang jangkauan hukum dan bagaimana hukum itu harus diarahkan kemana,
kemudian bagaimana kita dapat memporoleh jaminan-jaminan hak dan kewajiban hukum.
Disiplin dalam ilmu hukum mencangkup beberapa ajaran; ajaran yang menentukan apa
yang seharusnya dilakukan (prespektif), kedua, yang senyatanya dilakukan (deskriptif) dalam
hidup. Unsur hukum yang mencangkup unsur-unsur idiil serta unsur-unsur riil. Epistemologi
dalam konteks hukum ini berusah membuat hukum “dunia etis yang menjadi latar belakang
yang tidak dapat diubah oleh panca indra”. Epistemologis ini juga berusaha untuk menyatakan
bahwa unsur-unsur hukum merupakan sebagai objek pengetahuan ilmu hukum yang
seharusnya diteliti seiring dengan perkembangan dan persesuaiannya terhadap kondisi ruang
dan waktu dimana hukum itu di berlakukan dan juga segala sesuatu yang dapat mempengaruhi
sebuah hubungan-hubungan hukum di sebuah negara. Keseluruhan disiplin ilmiah tentang
hukum ( science concerned with law ), ilmu hukum (jurispendence) atau sebuah pengembangan
hukum teoritikal (theoritshime rechtsbeoefening)

Ilmu hukum mempunyai peranan untuk memberikan sebuah pengetahuan dan


kemampuan penugasan intelejtual tentang hukum baik terhadap pembentuk undang-undang,
terhadap hakim maupun para ilmuan hukum, pengetahuan yang dimaksud disini merupakan
pengetahuan tentang hukum yang harus dimiliki seseorang dalam menetapkan hak dan
kewajiban dalam situasi kemasyarakatan tertentu yang harus berdasarkan kaidah hukum yang
tercantum dalam suatu aturan hukum, yang kepatuhannya tidak disertakan pada kehendak
bebas orang yang bersangkutan, dan memiliki pretensi untuk memberikan sebuah kontribusi
solusi atau penyelesaian sebuah hukum yang konkrit yang berarti memberikan sebuah jawaban
atas pertanyaan apa dan hukuman apa yang berlaku bagi kenyataan-kenyataan
kemasyarakatan tertentu yang menimbulkan masalah-masalah hukum.

Dapat kita lihat dalam sebuah ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38 yang berati bahwa
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan mereka” ayat tersebut
sudah jelas bahwa mengenai sanksi yang didapat atau diterima seorang yang mencuri. Namun,
akan timbul permasalahan jika penyelesaian tersebut diterapkan untuk seorang pencopet atau
penjambret. Apakah seseorang yang mencuri tersebut hanya mencuri sebatang kayu juga dapat
di jatuhi hukuman dengan potong tangan, dan juga seseorang yang mencuri karena seorang itu
tidak mempunyai uang untuk makan dan memberi makan anak dan isteri-isterinya yang sudah
sangat kelaparan.

Dilihat pada pemikiran Abed al-Jabiri dalam mengkaji dan mengritisi sebuah tradisi
dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan “Historisitas” dan “Objektifitas”
yang berarti sebagai pemisah antara pembaca dan objek bacaannya, nah dalam kasus ini harus
dipikirkan apakah semua kasus pencurian dapat di hukum dengan hukuman potong tangan
ini. Tentunya tidak semua seorang yang mencuri dijatuhi hukuman dengan potong tangan, yang
dijatuhi hukuman potong tangan ini adalah seorang yang mencuri dengan diam-diam dan dia
dalam keadaan mampu atau juga sudah mempunyai uang yang cukup untuk kebutuhan dan
juga sudah melampaui harta nishabnya ketika di ambil dari tempatnya. Di laksanakan
hukuman potong tangan ini terdapat beberapa syarat yaitu ia seorang mukallaf yang berniat
unutuk mencuri, tidak dalam keadaan terpaksa, tidak juga terdapat hubungan kerabat dengan
yang dicuri dan yang terakhir tidak adanya subhat dalam melakukan pencurian, misalnya
seseorang dalam keadaan lapar sangat membutuhkan harta tersebut, nah dalam kasus seperti
ini tidak dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Contoh yang dapat di jatuhi hukuman potong
tangan ini adalah seorang koruptor karena dia melakukan secara diam-diam, pasti atas
kemauan sendiri, dan harta yang diambil sudah mencapai nisabhnya. Di Indonesia tidak
memungkinkan menggunakan hukum tersebut, Indonesia menggunakan hukuman pidana
untuk kasus pencurian-pencurian tersebut.

Abed al-Jabiri juga mengemukakan gagasan modernitas yang berupaya untuk


membenahi sikap serta pendirian mengembangkan sebuah metode dan visi modern, sehingga
menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan, serta menghidupkan kembali berbagai
mentalitas dan norma pemikiran beserta seluruh apresiasinya. Seiring dengan perkembangan
zaman modern yang sudah maju, kasus pencurian juga berevolusi yakni dengan online/jarak
jauh, contoh seperti halnya kasus peretasan atm, mencuri data-data diri. Lantas apakah juga
dapat dijatuhi hukuman potong tangan ini. Tentunya tidak, apabila seorang tersebut mencuri
meretas atm dengan keadaan sangat membutuhkan harta tersebut untuk makan, seorang
tersebut tidak dapat di jatuhi hukuman tersebut. Jika tidak dalam keadaan subhat dan sudah
mencapai nisabnya maka dapat dijatuhi hukuman tersebut. Lain halnya di Indonesia seorang
yang korupsi akan dijatuhi hukuman pidana dan dengan membayar denda.

Jadi pada kondisi tertentu hukuman potong tangan tidak dapat digunakan di semua
kasus pencurian. Dengan metode pendekatan ‘Historisitas’ dan ‘Objektivitas’ maka dapat
dipisahkan antara pembaca dengan objek bacaan nya. Dapat di lihat terlebih dahulu dengan
metode pendekatan-pendekatan dengan seorang pencuri tersebut mengapa ia sampai mencuri
apakah terdapat subhat didalamnya, apakah terdapat paksaan, apakah harta yang dicuri sudah
mencapai nisabhnya. jika di negara lain mungkin berbeda seperti seorang korupsi di Indonesia
yang pasti di copot jabantannya dan dihukum denda. Dengan gagasan modernitas yang digagas
Abed al-Jabiri juga dapat disimpulkan bahwa hukum yang telah ada sejak dulu dapat ditidak
digunakan karena mengikuti perkembangan zaman yang menimbulkan perkembangan atau
berbagai kejahatan yang beragam yang tidak terdapat di zaman dulu kemudian hukuman yang
sejak dulu ada direlevansikan terhadap perkembangan zaman,

Anda mungkin juga menyukai