Anda di halaman 1dari 7

PROGRAM PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN ANAK

NAMA : Putri Sanusi

NIM : PO713201181084

PROGRAM : Diploma III Keperawatan (Reguler)

KELOMPOK :D

ALAMAT : Jl. Andi Tonro 5 No. 4 B

NO HP : 085298878217

PRODI DIII KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR 2020

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN ….

A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang
diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat
kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Down Syndrome, dikenal juga sebagai trispmi 21, merupakan penyakit genetik yang paling umum
diketahui yang menyebabkan gangguan intelektual dan pertumbuhan. Penyakit ini umumnya
ditandai oleh gangguan pertumbuhan intelligence quotient (IQ) di bawah rata-rata, dan karakteristik
wajah yang khas, misalnya berupa ukuran kepala yang kecil dan bagian belakang kepala mendatar,
serta tangan yang pendek dan lebar.
Down Syndrome merupakan aneuploidi yang paling sering ditemukan, di mana angka prevalensi
secara global bervariasi 1 per 400-1500 kelahiran. Insidensi kelahiran bayi dengan Down Syndrome
meningkat seiring dengan meningkatnya usia ibu saat hamil. Kelainan genetik pada Down Syndrome
menyebabkan disabilitas intelektual dan meningkatnya risiko beberapa penyakit seperti gangguan
jantung, gangguan saluran pernapasan, gangguan hematologi, gangguan sistem indera, dan kelainan
sendi. Pada Down Syndrome, terjadi trisomi kromosom 21 pada sebagian atau seluruh sel dalam
tubuh yang menyebabkan ekspresi berlebih gen tersebut.
Skrining Down Syndrome dapat dilakukan pada masa prenatal melalui kombinasi ultrasonografi dan
pemeriksaan marker tertentu dalam serum maternal. Diagnosis Down Syndrome dapat dilakukan di
masa prenatal melalui prosedur amniosentesis di trimester kedua kehamilan atau pengambilan
sampel virus korion pada trimester pertama, serta pemeriksaan noninvasif seperti tes DNA janin cell-
free yang diisolasi dari darah ibu.
Tidak ada pengobatan untuk memperbaiki disabilitas intelektual pada penderita Down Syndrome.
Penatalaksanaan bertujuan untuk meningkatkan usia harapan hidup. Penatalaksanaan umumnya
meliputi konseling genetik, fisioterapi, medikamentosa untuk penyakit komorbid, serta pembedahan
untuk menangani gangguan spesifik seperti penyakit jantung bawaaan, katarak, dan sleep apnea.

2. Etiologi
Etiologi Down Syndrome adalah kegagalan pembelahan kromosom selama proses meiosis atau
nondisjunction meiotic. Etiologi ini trisomi 21 adalah akibat isokromosom yang menyebabkan
abnormalitas struktur kromosom yang seharusnya memiliki lengan panjang dan pendek menjadi
seluruhnya lengan panjang. Proses ini dapat terjadi pada perkembangan sel telur atau sperma.
Selain itu, trisomi 21 juga dapat timbul akibat translokasi Robertsonian di mana lengan panjang
kromosom 21 menempel dengan kromosom lain.

Tipe-tipe Down Syndrome yang sering dijumpai adalah:

Trisomi 21 klasik
Trisomi 21 klasik terdiri dari 3 salinan lengkap kromosom 21, sehingga pasien Down Syndrome tipe
ini memiliki 47 kromosom. Trisomi 21 klasik merupakan bentuk kelainan yang paling sering
ditemukan pada pasien Down Syndrome (95%). Trisomi 21 klasik merupakan hasil dari
nondisjunction meiotic chromosome 21 yang dapat terjadi pada saat pembentukan sel telur (90%)
ataupun sperma (10%).

Translokasi
Sekitar 5% pasien Down Syndrome disebabkan karena kelainan translokasi kromosom. Translokasi
kromosom menghasilkan 21 salinan normal kromosom 21 dan materi kromosom 21 yang melekat
pada lengan kromosom lain, misalnya kromosom lain, misalnya kromosom 13, 14, 15, dan 22. Pasien
Down Syndrome tipe ini tetap memiliki 46 kromosom. Translokasi dapat terjadi secara de novo
(baru) atau di salah satu orang tua (kebanyakan ibu) dengan fenotip normal namun hanya memiliki
45 kromosom.

Mosaik
Pada Down Syndrome tipe mosaik, nondisjunction terjadi setelah proses pembuahan, sehingga
trisomi 21 hanya terjadi pada beberapa sel tubuh saja. Gejala klinis dan gangguan medis yang timbul
umumnya lebih ringan dibandingkan dengan 2 tipe Down Syndrome lainnya

Faktor Pejamu
Faktor fisiologis yang sangat mempengaruhi insidensi Down Syndrome adalah usia ibu hamil.
Meningkatnya usia ibu meningkatkan risiko pembentuk oosit aneuploidi yang kemungkinan
disebabkan karena efek penuaan (aging) yang menjadikan sel telur lebih rentan. Efek penuaan sel
telur ditambah dengan akumulasi faktor toksik dari lingkungan menyebabkan gangguan pada proses
meiosis atau perubahan genetik seperti delesi mitokondria.

Penuaan indung telur juga dapat mengganggu segregasi kromosom karena berkurangnya kiasma,
dan gangguan frekuensi kiasma. Penuaan pada indung telur berkaitan dengan penurunan jumlah
oosit, penurunan jumlah folikel yang matur pada setiap siklus, dan perubahan keseimbangan
hormon reproduksi.
Penuaan indung telur juga berkaitan dengan kadar sinyal hormon yang tidak adekuat dan angka eror
pada proses meiosis yang lebih tinggi. Korelasi antara usia ibu saat terjadinya pembuahan dengan
kasus trisomi 21 klasik telah ditunjukkan pada beberapa studi dengan populasi dan periode waktu
yang berbeda. Risiko mengandung bayi dengan Down Syndrome adalah 1 per 1.400 pada ibu dengan
usia <25 tahun, yang kemudian dapat meningkatkan hingga 1 per 350 pada ibu yang hamil pada usia
>35 tahun. Angka tersebut terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia ibu mencapai 1 per
85 kelahiran pada ibu usia >40 tahun.

Gangguan rekombinasi genetik pada kromosom 21 merupakan faktor risiko yang mempengaruhi
insidensi Down Syndrome. Rekombinasi genetik adalah pertukaran informasi genetik antara dua
molekul DNA yang menghasilkan sebuah alel kombinasi baru. Gangguan pada proses rekombinasi
kromosom 21 berhubungan dengan peningkatan proporsi eror yang menyebabkan nondisjunction
maternal (kromosom ibu). Studi terhadap rekombinasi pada kromosom 21 menunjukkan hasil tidak
adanya pertukaran materi genetik atau hanya telomer tunggal yang mengalami pertukaran akan
meningkatkan risiko eror pada meiosis I. Sedangkan pertukaran perisentromerik akan meningkatkan
risiko eror pada meiosis II. Pertambahan usia ibu memicu proses pertukaran yang tidak optimal
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.

Faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor paternal (kromosom ayah). Sekitar 10% trisomi 21
disebabkan oleh nondisjunction paternal. Usia ayah yang tua, >49 tahun, memiliki korelasi dengan
meningkatnya risiko kelahiran bayi Down Syndrome diakibatkan lebih banyak jumlah sperma yang
mengalami aneuploidi. Ibu yang memiliki anak Down Syndrome memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk kembali hamil dengan janin yang mengalami Down Syndrome, risiko ini justru lebih tinggi
pada ibu yang berusia <35 tahun.

Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelahiran bayi dengan Down Syndrome antara lain adalah:

Paparan terhadap asap rokok: Peningkatan insidensi Down Syndrome pada wanita <35 tahun.
Paparan terhadap radiasi penguin: Peningkatan insidensi kelahiran Down Syndrome setelah
peristiwa Chernobyl pada area yang terpapar radiasi di Eropa.
Paparan terhadap bahan kimia beracun: memicu terjadinya nondisjunction kromosom yang
menimbulkan trisomi.
Defisiensi folat.
Riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal.
Status sosio-ekonomi orangtua.

3. Patofisiologi
Patofisiologi Down Syndrome diawali dengan adanya kromosom tambahan pada kromosom
autosomal 21. Kromosom ekstra tersebut dapat muncul akibat kegagalan pemisahan kromosom saat
proses gametogenesis (nondisjunction), akibat translokasi, ataupun mosaicism. Pada kasus yang
sangat langkah trisomi 21 dapat timbul akibat isokromosom yakni kondisi dimana terjadi duplikasi
pada salah satu lengan kromosom 21 bersamaan dengan delesi lengan kromosom tersebut. Ekstra
kromosom pada kromosom 21 tersebut menyebabkan kelainan ekspresi gen dengan menifestasi
yang bervariasi pada beberapa sistem organ dan menimbulkan variasi fenotip pada pasien Down
Syndrome.

Ada beberapa hipotesis dalam patogenesis molekular Down Syndrome yakni efek dosis gen (gene-
dosage effect), instabilitas perkembangan yang diperkuat (amplifier developmental instability), dan
critical region.
Efek Dosis Gen (Gene Dosage Effect)
Kelebihan kromosom 21 menyebabkan ekspresi gen 1,5 kali lipat akibat efek dosis gen. Overproduksi
protein tertentu yakni dikode oleh gen-gen pada kromosom ekstra 21 mengganggu keseimbangan
biokimia dan fungsi selular yang penting untuk perkembangan dan fisiologis organ-organ tertentu.
Fenotip pasien Down Syndrome diduga merupakan hasil langsung dari efek dosis gen ini.

Pada kasus defek kongenital jantung pada Down Syndrome didapatkan overekspresi gen DSCAM
(Down Syndrome Cell Adhesion Molecule) dan COL6A2 (collagen type VI aplha 2 chain) yang
berkolerasi dengan kejadian defek septum atrial. Pasien Down Syndrome yang mengalami leukemia
menunjukkan kelainan pada gen hematopoietik GATA1. Leukemia pada pasien Down Syndrome
menunjukkan 3 kelainan, yakni trisomi 21, mutasi GATA1, dan gangguan genetik lain yang belum
dapat ditentukan. Gen-gen lain yang berkaitan dengan patogenesis Down Syndrome adalah DOPEY
dan DYRK1A (proses pembelajaran dan memori), TTC3 dan PREP1 (perkembangan neurologis), serta
amyloid Beta precursor protein/APP, dual specificity tyrosine-y-phosphorylation regulated kinase
1A/DYRK1A, RCAN1 (risiko penyakit Alzheimer pada Down Syndrome)

Amplified Developmental Instability Hipotesis amplified developmental instability mengungkapkan


bahwa ekstra kromosom pada Down Syndrome mengakibatkan ketidakseimbangan genetik yang
menimbulkan gangguan homeostasis regulasi dan ekspresi beberapa gen lain.
Critical Region
Hipotesis critical region mengungkapkan bahwa hanya region kromosom tertentu pada lengan
panjang kromosom 21 yang menyebabkan fenotip Down Syndrome. Region ini dinamakan DSCR
(Down Syndrome Critical Region), berukuran 3,8-6,5 Mb yang terletak pada 21q21.22 dan terdiri dari
30 gen. Analisis molekular pada studi lain menunjukkan regio 21q22.1-q22.3 merupakan critical
region Down Syndrome, serta memiliki gen yang berkolerasi dengan defek jantung bawaan pasien
Down Syndrome. Sebuah gen baru, yakni DSCR1, yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2
diyakini sangat terlibat dalam patogenesis Down Syndrome karena banyak diekspresikan pada sel
otak dan jantung. Ekstra gen pada bagian proksimal 21q22.3 memberikan fenotip fisik yang khas
meliputi gangguan intelektual, kelainan bentuk wajah yang khas, kelainan bentuk tangan, dan
penyakit jantung bawaan yang dapat ditemukan hampir pada separuh pasien Down Syndrome.

4. Klasifikasi
Down Syndrome di bagi menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan kromosom 21 melepaskan diri pada
saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat
menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita
Down Syndrome. Dibeberapa kasus, translokasi Down Syndrome ini dapat diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang
ditimbulkan dari translokasi ini hampir semua dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.16
dengan kromosom 14 yang terjadi pada seorang pria (tanda panah).
2. Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, dimana hanya beberapa sel saja
yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang lahir dengan Down Syndrome mosaik
akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang
lahir dengan Down Syndrome trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya mengenai
sekitar 2-4% dari penderita Down Syndrome.
3. Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita Down
Syndrome, dimana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Angka kejadian trisomi 21
klasik ini sekitar 94%.
5. Komplikasi
a. Penyakit AlCheimer's (penyakit kemunduran susunan syaraf pusat)
b. Leukemia (penyakit dimana sel darah putih melipat ganda tanpa terkendali)

6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan penunjang yang
dapat membantu menegakkan diagnosa ini antara lain.

• pemeriksaan fisik penderita


• pemeriksaan kromosom
• ultrasonografi (USG)
• ekokardiogram (EKG)
• pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan radiologi didapatkan brachyaphali sutura dan frontale yang terlambat menutup .
Tulang ileum dan sayapnya melebar disertai sudut asetabular yang lebar. Pemeriksaan kariotiping
untuk mencari adanya translokasi kromosom. Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan
amnion atau vili karionik dapat dilakukan secepatnya pada kehamilan, bulan atau pada ibu
sebelumnya pernah melahirkan anak dengan Down Syndrome. Bila didapatkan janin yang dikandung
menderita Down Syndrome dapat ditawarkan terminasi kehamilan kepada orang tua.

Pada anak dengan Down Syndrome mempunyai jumlah kromosom 21 yang berlebih (3 kromosom )
di dalam tubuhnya yang kemudian disebut trisomi 21. Adanya kelebihan kromosom menyebabkan
perubahan dalam proses normal yang mengatur embriogenesis. Materi genetik yang berlebih
tersebut terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen
lainnya menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan
perkembangan fisik (kelainan tulang) SPP (penglihatan, pendengaran) dan kecerdasan yang terbatas.

7. Medikasi (Tindakan Medis, Pengobatan)

Penanganan Secara Medis


a. Pendengarannya: sekitar 70-80% anak Down Syndrome terdapat gangguan pendengaran
dilakukan tes pendengaran oleh THT sejak dini.
b. Penyakit jantung bawaan
c. Penglihatan: perlu evaluasi sejak dini
d. Nutrisi akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi / prasekolah
e. Kelainan tulang: dislokasi patela subluksasio pangkal paha ketidakstabilan atlantoaksial.

Bila keadaan terakhir ini sampai menimbulkan medula spinalis atau bila anak memegang kepalanya
dalam posisi seperti tortikolit, maka perlu pemeriksaan radiologis untuk memeriksa spina servikalis
dan diperlukan konsultasi neurolugis.

B. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis
- Identitas pasien
- Identitas orang tua
- Keluhan saat oengkajian: klien mengalami kelemahan otot dan hipotonia
- Riwayat Kesehatan Terdahulu
1. Penyakit yang pernah dialami: keterbelakangan fisik dan mental: tidak ada
2. Kecelakaan (termasuk kecelakaan lahir/persalinan): -
3. Operasi (jenis dan waktu): -
4. Penyakit kronis atau akurat: kronis
5. Imunisasi: -
- Riwayat Kesehatan Keluarga.
1. Penyakit yang pernah dideritakan keluarga: tidak ada
2. Lingkungan rumah dan komunitas: baik
3. Perilaku yang mempengaruhi kesehatan: tidak ada
4. Persepsi keluarga terhadap penyakit anak: kurangnya pengetahuan
- Keadaan umum: Lemas, kurang aktif, menangis lemah
- Tanda-tanda Vital
• Nadi : 120 × per menit
• Pernafasan : 50 × per menit
• Suhu : 37,5°c
- Antropometri
• Panjang badan : 66 cm
• Berat badan : 4000 gram
• Lingkar dada : 33 cm
• Lingkar kepala : 35 cm
- Tanyakan identitas pasien dan identifikasi keluarga
- Lakukan pengkajian perkembangan
- Dapatkan riwayat keluarga, terutama yang berkaitan dengan usia ibu atau anak lain
mengalami keadaan serupa

b. Inspeksi
- Bentuk kepala: Kepala pendek (brachyaphaly)
- Mata: Lipatan epikantus bagian dalam dan fisura palpebra serong (mata miring ke atas dan
keluar)
- Hidung: Kecil dengan batang hidung tertekan kebawah (hidung sadel)
- Lidah: Menjulur kadang berfisura, mandibula hipoplastik, (membuat lidah tampak besar),
palatum berlengkung tinggi
- Leher: Pendek tebal
- Abdomen: Muskulatur hipotonik (perut buncit, hernia umbilikus)
- Sendi: Hiperfleksibel dan lemas, tangan dan kaki lebar, pendek tumpul, garis simian (puncak
transversal pada sisi telapak tangan)

c. Palpasi
- Jantung: Ictus cordis teraba dengan getaran
- Paru: Gerakan pernapasan asimetris, terjadi retraksi dada
- Abdomen: Nyeri tekan (-), gelar tidak teraba

d. Perkusi
- Jantung: Tidak terkaji
- Paru: Redup / dullness
- AbdomenTimpani

e. Auskultasi
- Jantung: BJI & II regular, tidak terdengar gallop
- Paru: Wheezing
- Abdomen: BU (+)

f. Pemeriksaan Penunjang
-Skrining periode prenatal

1.Diagnosis Keperawatan
1. Defisit nutrisi berdasarkan dengan ketidakmampuan menelan makanan yang ditandai dengan otot
menelan lemah
2.Gangguan interaksi sosial berdasarkan dengan hambatan perkembangan yang ditandai dengan
merasa tidak nyaman dengan situasi sosial
3.Risiko tinggi cedera hiperekstensibilitas sendi, instabilitas atlantoaksial

3. Tujuan / Luaran

1. Nutrisi klien seimbang/adekuat


2. Kesulitan pemberian makan
3.Mengurangi risiko terjadinya cedera pada pasien dengan Down Syndrome.

4. Intervensi

- Anjurkan makanan yang tinggi kalsium


- Anjurkan pasien duduk setelah makan
- Anjurkan pemasukan makanan yang tinggi patasium secara tepat
- Anjurkan aktivitas bermain dan olahraga yang sesuai dengan maturasi fisik anak, ukuran,
koordinasi, dan ketahanan
- Ajari keluarga dan pemberi perawatan lain (mis: guru, pelatih) gejala instabilitas atlatoaksial

5. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subjektif dan objektif
yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah di capai atau belum. SIK perlu
langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisis masalah selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai