Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

dan
ASUHAN KEPERAWATAN
PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

Oleh

HEGA SERDIANSAH

P17210173025

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
D-III KEPERAWATAN MALANG
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan .......................................................................dan Asuhan Keperawatan


pada ......................... dengan Fraktur Femur di..................... .......................................

Nama : Hega Serdiansah


NIM : P17210173025
Prodi : D-III Keperawatan Malang

Malang, 12 Mei 2020

Pembimbing Institusi, Pembimbing Klinik/CI,

( ) ( )
FRAKTUR FEMUR

A. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya (Brunner & Suddarth, 2001). Fraktur merupakan salah satu gangguan atau
masalah yang terjadi pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan perubahan
bentuk dari tulang maupun otot yang melekat pada tulang. Fraktur dapat terjadi di
berbagai tempat dimana terdapat persambungan tulang maupun tulang itu sendiri.
Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2008) terbagi menjadi :

1. Fraktur leher femur

Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan


pada orang tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang
osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak anak jarang ditemukan fraktur ini
lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan
perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.

2. Fraktur subtrokanter

Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya


disebabkan trauma yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang
terjadi dibawah trokanter minor.

3. Fraktur intertrokanter femur

Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur.


Fraktur daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter
mayor dan minor. Frkatur ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada
klien yang jatuh dan mengalami trauma yang bersifat memuntir. Keretakan
tulang terjadi antara trokanter mayor dan minor tempat fragmen proksimal
cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat bersifat kominutif terutama
pada korteks bagian posteomedial.
4. Fraktur diafisis femur

Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia
dan biasanya karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian.

5. Fraktur suprakondilar femur

Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus


femur dan batas metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai
femur terjadi karena adanya tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan
aksial dan putaran sehingga dapat menyebabkan fraktur pada daerah ini.
Pergeseran terjadi karena tarikan otot.

B. Klasifikasi Fraktur Secara Umum

1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).

a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen


tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara


hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur

a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang.

b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang


tulang.

c. Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)

d. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

e. Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks


lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme


trauma

a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan


merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut


terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.

d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.

e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang
4. Berdasarkan jumlah garis patah.

a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.

b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.

c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.

5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua


fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.

b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang


juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:

a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah


sumbu dan overlapping).

b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling


menjauh).
6. Berdasarkan posisi frakur

Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :

a. 1/3 proksimal

b. 1/3 medial

c. 1/3 distal

7. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang


8. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan


lunak sekitarnya.

b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan


jaringan subkutan.

c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak


bagian dalam dan pembengkakan.

d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

C. Epidemologi

Fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya saja pada
fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada wanita tua dengan usia lebih dari
60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik, trauma yang dialami oleh
wanita tua ini biasanya ringan (jatuh terpeleset di kamar mandi) sedangkan pada
penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan. Sedangkan fraktur batang
femur, fraktur suprakondilar, fraktur interkondilar, fraktur kondilar femur banyak
terjadi pada penderita laki – laki dewasa karena kecelakaan ataupun jatuh dari
ketinggian. Sedangkan fraktur batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu
bermain dirumah atau disekolah.
D. Etiologi

Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai


kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Penyebab fraktur batang femur
antara lain (Muttaqin, 2011):

1. Fraktur femur terbuka, disebabkan oleh trauma langsung pada paha.

2. Fraktur femur tertutup, disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis.

E. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2001) terdiri atas :

1. Nyeri

Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Deformitas Tulang

Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung


bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi
dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot..

3. Pemendekan tulang

Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
dibawah tempat fraktur.

Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan panjang tungkai bawah adalah
masalah ortopedi yang biasanya muncul di masa kecil, di mana dua kaki seseorang
memiliki panjang yang tidak sama. Penyebab dari masalah Leg length
discrepancy (LLD), yaitu osteomielitis, tumor, fraktur, hemihipertrofi, di mana
satu atau lebih malformasi vaskular atau tumor (seperti hemangioma) yang
menyebabkan aliran darah di satu sisi melebihi yang lain. Pengukuran Leg length
discrepancy (LLD) terbagi menjadi, yaitu true leg length discrepancy dan
apparent leg length discrepancy.True leg length discrepancy adalah cara megukur
perbedaan panjang tungkai bawah dengan mengukur dari spina iliaka anterior
superior ke maleolus medial dan apparent leg length discrepancy adalah cara
megukur perbedaan panjang tungkai bawah dengan mengukur dari xiphisternum
atau umbilikus ke maleolus medial.

4. Krepitus tulang (derik tulang), terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang
lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna tulang, terjadi akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau hari.

F. Patofisiologi

Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana
fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua faktor
penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis
merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga
fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis merupakan kerusakan tulang terjadi
akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur.

Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan


adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume
darah menurun. COP atau curah jantung menurun maka terjadi perubahan perfusi
jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal
maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur terbuka dapat
mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi
dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi masalah
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.

G. Tahapan Bone Healing

1. Fase Hematoma

Apabila tejadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam system haversian mengalami robekan dalam daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma
yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan mengalami
robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi
darah kedalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunannya yang terletak beberapa
millimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan
menimbulkan suatu daerah cincin avaskular tulang yang mati pada sisi – sisi
fraktur segera setelah trauma. Waktu terjadinya proses ini dimulai saat fraktur
terjadi sampai 2 – 3 minggu.

2. Fase Proliferasi Seluler Subperiosteal dan Endosteal

Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel – sel osteogenik
yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada
daerah endosteum membentuk kalus interna sebagi aktivitas seluler dalam kanalis
medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka
penyembuhan sel berasal dari diferansiasi sel-sel mesenkimal yang berdiferensiasi
kedalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi
penambahan jumlah dari sel – sel osteogenik yang memberi penyembuhan yang
cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Jaringan
seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur.
Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang
meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologist kalus belum
mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radioluscen. Pada fase ini
dimulai pada minggu ke 2 – 3 setelah terjadinya fraktur dan berakhir pada minggu
ke 4 – 8.

3. Fase Pembentukan Kalus (Fase Union Secara Klinis)

Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap fragmen sel
dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada kondroblast membentuk
tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan
perlekatan polisakarida oleh garam – garam kalsium pembentuk suatu tulang yang
imatur. Bentuk tulang ini disebut moven bone. Pada pemeriksaan radiolgis kalus
atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama
terjadinya penyembuhan fraktur.

4. Fase Konsolidasi (Fase Union Secara Radiology)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan – lahan
diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi
struktur lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pada fase 3
dan 4 dimulai pada minggu ke 4 – 8 dan berakhir pada minggu ke 8 – 12 setelah
terjadinya fraktur.

5. Fase Remodeling

Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru akan membentuk
bagian yang meyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis.
Pada fase remodeling ini perlahan – lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan
tetapi terjadi osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan – lahan
menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi
system haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk
membentuk susmsum. Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8 – 12 dan
berakhir sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur femur
(Muttaqin, 2008), antara lain :

1. Fraktur Leher Femur

Komplikasi yang bersifat umum adalah trombosis vena, emboli paru,


pneumonias, dan dekubitus. Nekrosis avaskular terjadi pada 30% klien fraktur
femur yang disertai pergeseran dan 10% fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasi
fraktur lebih ke proksimal, kemungkinan terjadi nekrosis avaskular lebih besar.

2. Fraktur Diafisis Femur

Komplikasi dini yang biasanya terjadi pada fraktur diafisis femur adalah
sebagai berikut:

a. Syok terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walapun fraktur bersifat tertutup.

b. Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur femur.

c. Trauma pembuluh darah besar. Ujung fragmen tulang menembus jaringan lunak
dan merusak arteri femoralis sehingga menmyebakan kontusi dan oklusi atau
terpotong sama sekali.

d. Trauma saraf pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen dapat disertai
kerusakan saraf yang bervariasi dari neuropraksia sampai ke aksonotemesis.
Trauma saraf dapat terjadi pada nervus iskiadikus atau pada cabangnya, yaitu
nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.

e. Trombo emboli. Klien yag mengalami tirah baring lama, misalnya distraksi di
tempat tidur dapat mengalami komplikasi trombo-emboli.

f. Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang terkontaminasi. Infeklsi
dapat pula terjadi setelah dilakukan operasi.

Komplikasi lanjut pada fraktur diafisis femur yang sering terjadi pada klien
dengan fraktur diafisis femur adalah sebagai berikut:

a. Delayed Union, yaitu fraktur femur pada orang dewasa mengalami union dalam
empat bulan.
b. Non union apabila permukaan fraktur menjadi bulat dan sklerotik.

c. Mal union apabila terjadi pergeseran kembali kedua ujung fragmen. Mal union
juga menyebabkan pemendekan tungkai sehingga dipelukan koreksi berupa
osteotomi.

d. Kaku sendi lutut. Setelah fraktur femur biasanya terjadi kesulitan pergerakan
pada sendi lutut. Hal ini dapat dihindari apabila fisioterapi yang intensif dan
sistematis dilakukan lebih awal.

e. Refraktur terjadi pada mobilisasi dilakukan sebelum union yang solid.

I. Pemerikasaan Penunjang

1. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis fraktur.

2. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan fraktur,


juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.

3. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.

4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun


(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma)
peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal setelah trauma.

5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.

6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi mulpel
atau cedera hati.

J. Penatalaksanaan

1. Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mengetahui ada tidaknya
kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, cedera pada pembuluh darah dan
saraf. Intervensi tersebut meliputi:

a. Profilaksis antibiotik

b. Debridemen
Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sedikit mungkin
penundaan. Jika terdapat kematian jaringan yang mati dieksisi dengan hati-hati.
Luka akibat penetrasi fragmen luka yang tajam juga perlu dibersihkan dan
dieksisi.

c. Stabilisasi dilakukan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.

2. Fraktur femur tertutup

Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran kolaboratif dalam melakukan
asuhan keperawatan.

a. Terapi konservatif

b. Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan terapi definitif


untuk mengurangi spasme otot.

c. Traksi tulang berimbang denmgan bagian pearson pada sendi lutut. Indikasi
traksi utama adalah faraktur yang bersifat kominutif dan segmental.

d. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah union fraktur secara klinis.

3. Terapi Operasi

a. Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis atau distal femur

b. Mempengaruhi k nail, AO nail, atau jenis lain, baik dengan operasi tertutup
maupun terbuka. Indikasi K nail, AO nail terutama adalah farktur diafisis.

c. Fiksasi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur kominutif, infected


pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang hebat.

4. Fraktur Suprakondilar Femur, meliputi:

a. Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut


Pearson, cast bracing, dan spika panggul.
b. Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail-phorc dare screw
dengan berbagai tipe yang tersedia.

K. Prinsip Penanganan Fraktur Secara Umum

Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu: rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi.

1. Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum; riwayat
kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien, menentukan
kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.

2. Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk


mencegah jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:

a. Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi, dengan


tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)

b. Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi, dimana


beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang

c. Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan pergerakan,


yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan implant logam) dan
fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue, pin dan tehnik gips

Jenis-jenis Traksi, yaitu:

a. Traksi kulit

Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit dan memberikan


imobilisasi . Traksi kulit apendikuler (hanya pada ektermitas digunakan pada orang
dewasa) termasuk traksi ektensi Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop.

1) Traksi Buck
Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk traksi kulit dimana
tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau
temporer yang diinginkan . Digunakan untuk memberikan rasa nyaman
setelah cidera pinggulsebelum dilakukan fiksasi bedah. Traksi buck
merupakan traksi kulit yang paling sederhana, dan paling tepat bila dipasang
untuk anak muda dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi yang paling
sering untuk jenis traksi ini adalah untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca
trauma sebelum lutut tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut.

2) Traksi Russell

Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut yang fleksi
pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal melalui pita traksi
balutan elastis ketungkai bawah. Bila perlu, tungkai dapat disangga dengan
bantal agar lutut benar- benar fleksi dan menghindari tekanan pada tumit.

3) Traksi Dunlop

Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada


lengan bawah dalam posisi fleksi.

4) Traksi Kulit Bryant

Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami
patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak
yang berat badannya lebih dari 30 kg. kalau batas ini dilampaui maka kulit
dapat mengalami kerusakan berat.

b. Traksi Skelet

Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi ini digunakan
paling sering untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus dan tulang leher.

1) Traksi rangka seimbang

Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah


tulang pada korpus femoralis orng dewasa. Sekilas pandangan traksi ini
tampak komplek, tetapi sesunguhnya hanyalah satu pin rangka yang
ditempatkan tramversal melalui femur distal atau tibia proksimal. Dipasang
pancang traksi dan tali traksi utama dipasang pada pancang tersebut.
Ektermitas pasien ditempatkan dengan posisi panggul dan lutut membentuk
sekitar 35°.

2) Traksi 90-90-90

Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak- anak usia 3


tahun sampai dewasa muda. kontrol terhadap fragmen – fragmen pada fraktur
tulang femur hamper selalu memuaskan dengan traksi 90-90-90 penderita
masih dapat bergerak dengan cukup bebas diatas tempat tidur.

3. Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau


dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
cara fiksasi internal dan eksternal.

a. Fiksasi Internal

Fragmen tulang dapat diikat dengan skrup,pen, atau paku pengikat,plat logam
yang diikat dengan skrup,paku intramedular yang panjang (dengan atau tanpa
skrup pengunci) , ciscumferential bands, atau kombinasi dari metode ini.

b. Fiksasi Eksternal

Fraktur dipertahankan dengan skrup pengikat atau kawat penekan yang


melalui tulang diatas dan dibawah fraktur, dan dilekatkan pada suatu kerangka
luar.

4. Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi

Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang
mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan dielevasikan
sekitar 30˚

a. Static Contraction

Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa gerakan
pada sendi. Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah,
vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam
vena akan terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan
oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.

b. Passive Movement

Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan


dari luar sementara itu otot pasien lemas. Passive movement ada 2, yaitu :

1) Relaxed Passive Movement

Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien sudah
merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan dihentikan.

2) Forced Passive Movement

Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak sendi.


Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement, namun di sini pada
akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri.

c. Active Movement

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh pasien itu
sendiri. Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat menimbulkan “pumping
action” yang akan mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah ke
proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk tujuan mempertahankan
kekuatan otot, latihan koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi. Active
Movement terdiri dari :

1) Free Active Movement

Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan


sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang maka
nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi
dan memelihara kekuatan otot.

2) Assisted Active Movement


Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis
memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun
tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena
merangsang relaksasi propioseptif.

3. Ressisted Active Movement

Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh


pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan yang
diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat
meningkatkan kekuatan otot.

d. Hold Relax

Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot kelompok
antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian
dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan untuk
meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).

e. Latihan Jalan

Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat kembali
ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang penting untuk
pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan dengan
menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non weight bearing
atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing atau menumpu
berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik swing to ataupun
swing through dan dengan titik tumpu, baik two point gait, three point gait
ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri
walaupun masih menggunakan alat bantu.
L Pathway
Trauma pada tulang (Kecelakaan) Tekanan yang berulang (Kompresi) Kelemahan tulang abnormal (osteoporosis)

Fraktur femur

Patah tulang tertutup Patah tulang terbuka Resiko tinggi infeksi

Pembedahan Ansietas
Kerusakan struktur tulang
Kemampuan
Hambatan
pergerakan otot sendi Trauma jaringan
mobilitas
Patah tulang merusak jaringan menurun post pembedahan
fisik

Perubahan
Terputusnya kontinuitas jar.
permeabilitas Kerusakan integritas kulit
kapiler

Menekan saraf perasa nyeri


Kehilangan cairan ekstra sel
ke jaringan yang rusak
Stimulus
neurotransmitter nyeri

Resiko syok hipovolemik


Pelepasan mediator
prostaglandin

Menekan saraf perasa nyeri

Nyeri akut
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR

A. PENGKAJIAN

Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap pasien


dengan fraktur femur yaitu :

1. Identitas pasien

a. Nama : Nama pasien

b. Usia : Usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami


osteoporotik, penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan, fraktur
batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau disekolah

c. Suku : Suku pasien

d. Pekerjaan : Pekerjaan pasien

e. Alamat : Alamat pasien

2. Riwayat Keperawatan

a. Riwayat Perjalanan Penyakit

1) Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan : nyeri pada


paha

2) Apa penyebabnya, waktu : kecelakaan atau trauma, berapa jam/menit yang


lalu

3) Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll

4) Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan

5) Kehilangan fungsi

6) Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis


b. Riwayat Pengobatan Sebelumnya

1) Apakah klien pernah mendapatkan pengobatan jenis


kortikosteroid dalam jangka waktu lama

2) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal,


terutama pada wanita

3) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut

4) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir

3. Pemeriksaan Fisik

Mengidentifikasi tipe fraktur

a. Inspeksi daerah mana yang terkena

1) Deformitas yang nampak jelas

2) Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera

3) Laserasi

4) Perubahan warna kulit

5) Kehilangan fungsi daerah yang cidera

b. Palpasi

1) Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran

2) Krepitasi

3) Nadi, dingin

4) Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

4. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto Rontgen
1) Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung

2) Mengetahui tempat dan tipe fraktur

b. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik

c. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler

d. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun


(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1) Pre operasi

a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder pada
fraktur

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan


sekitar/fraktur

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan


jaringan lunak

d. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau pembedahan

2) Intra operasi

Resiko syok hipovolomik berhubungan dengan perdarahan akibat


pembedahan

3) Post operasi

a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post


pembedahan

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi


C. RENCANA KEPERAWATAN

1. Pre operatif

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri akut NOC NIC
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri
dengan spasme otot 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui karakteristik
dan kerusakan 3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, nyeri secara menyeluruh
sekunder pada Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, untuk menentukan
fraktur 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu kualitas dan faktor presipitasi intervensi selanjutnya
penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Mengetahui
menggunakan tehnik ketidaknyamanan perkembangan respon
nonfarmakologi untuk 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
mengurangi nyeri, mencari 4. Ajarkan tentang teknik non 3. Mengurangi peningkatan
bantuan) farmakologi nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
berkurang dengan menggunakan 6. Kolaborasikan dengan dokter jika dirasakan
manajemen nyeri ada keluhan dan tindakan nyeri 5. Mengetahui keefektifan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, tidak berhasil intervensi
intensitas, frekuensi dan tanda 6. Pengobatan medis untuk
nyeri) mengurangi nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman setelah
nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Hambatan NOC NIC
mobilitas fisik 1. Gerakan: aktif Latihan Kekuatan
berhubungan 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan dorongan pada 1. Pasien dapat termotivasi
dengan cedera 3. Perawatan diri: ADL klien untuk melakukan program untuk melakukan program
jaringan Kriteria Hasil : latihan secara rutin latihan
sekitar/fraktur 1. Klien meningkat dalam aktivitas Latihan untuk ambulasi 2. Mencegah resiko cedera
fisik 2. Ajarkan teknik ambulasi & 3. Memudahkan pasien
2. Mengerti tujuan dari peningkatan perpindahan yang aman kepada klien untuk melakukan
mobilitas dan keluarga. mobilisasi
3. Memverbalisasikan perasaan dalam 3. Sediakan alat bantu untuk klien 4. Pasien terus termotivasi
meningkatkan kekuatan dan seperti kruk, kursi roda, dan walker untuk tetap melakukan
kemampuan berpindah 4. Beri penguatan positif untuk ambulasi
4. Memperagakan penggunaan berlatih mandiri dalam batasan yang 5. Klien dan keluarga
alat Bantu untuk mobilisasi aman. memahami mobilisasi
(walker) Latihan mobilisasi dengan kursi dengan benar
roda 6. Klien termotivasi untuk
5. Ajarkan pada klien & keluarga memperkuat anggota
tentang cara pemakaian kursi roda & tubuh
cara berpindah dari kursi roda ke 7. Klien tidak akan
tempat tidur atau sebaliknya. mengalami kekakuan
6. Dorong klien melakukan latihan sendi dan keluarga dapat
untuk memperkuat anggota tubuh membantu klien untuk
7. Ajarkan pada klien/ keluarga mobilisasi
tentang cara penggunaan kursi roda
3. Resiko tinggi NOC : NIC :
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi 1. Untuk mencegah infeksi
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah yang ditularkan oleh
dengan fraktur Kriteria Hasil : dipakai pasien lain pasien lain
terbuka dan 1. Klien bebas dari tanda dan gejala 2. Gunakan sabun antimikrobia 2. Memotong rantai infeksi
kerusakan jaringan infeksi untuk cuci tangan 3. Memotong rantai infeksi
lunak 2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Cuci tangan setiap sebelum dan 4. Tenaga kesehatan dapat
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan mencegah infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas 4. Gunakan baju, sarung tangan nosokomial
normal sebagai alat pelindung 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Pertahankan lingkungan aseptik terjadi
selama pemasangan alat 6. Diet makanan tinggi
6. Tingktkan intake nutrisi protein untuk
7. Berikan terapi antibiotik bila mempercepat
perlu penyembuhan luka
7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
4. Ansietas NOC NIC
berhubungan Kontrol ansietas Penurunan kecemasan 1. Kecemasan tidak
dengan prosedur Kriteria hasil: 1. Tenangkan klien meningkat
pengobatan atau 1. Monitor intensitas kecemasan 2. Berikan informasi tentang 2. Pasien dapat memahami
pembedahan 2. Menyikirkan tanda kecemasan diagnosa prognosis dan tindakan terkait keadaannya
3. Mencari informasi untuk 3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi 3. Mengetahui tingkat
menurunkan kecemasan fisik pada tingkat kecemasan kecemasan untuk
4. Merencanakan strategi koping 4. Gunakan pendekatan dan menentukan intervensi
5. Menggunakan teknik relaksasi sentuhan selanjutnya
untuk menurunkan kecemasan 5. Temani pasien untuk mendukung 4. Empati petugas kesehatan
6. Melaporkan penurunan durasi dan keamanan dan penurunan rasa dapat dirasakan pasien
episode cemas takut 5. Kecemasan tidak
7. Melaporkan tidak adanya 6. Sediakan aktifitas untuk meningkat
manifestasi fisik dan kecemasan menurunkan ketegangan 6. Pengalihan terhadap
8. Tidak adaa manifestasi perilaku 7. Intruksikan kemampuan klien kecemasan yang dirasakan
kecemasan untuk menggunakan teknik pasien
relaksasi 7. Mengurangi kecemasan
pasien

2. Intra Operatif

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Resiko syok NOC NIC
hipovolomik Deteksi resiko Manajemen syok :volume 1. Mengetahui perkembangan
berhubungan dengan Kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan pasien
perdarahan akibat 1. Kenali tanda dan gejala yang perdarahan yang 2. Resiko syok hipovolemik
pembedahan mengindikasikan risiko konsisten tidak terjadi
2. Cari validasi dari risiko yg 2. Cegah kehilangan darah (ex : 3. Memenuhi kebutuhan
dirasakan melakukan penekanan pada cairan pasien
3. Pertahankan info terbaru tentang tempat terjadi perdarahan) 4. Mengetahui perubahan
riwayat keluarga 3. Berikan cairan IV komponen darah
4. Pertahankan info terbaru tentang 4. Catat Hb/Ht sebelum dan sesudah 5. Keseimbangan kebutuhan
riwayat pribadi kehilangan darah sesuai indikasi darah
5. Gunakan sumber informasi 5. Berikan tambahan darah (ex :
tentang risiko potensial platelet, plasma) yang sesuai

3. Post Operatif
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri NOC NIC 1. Mengetahui karakteristik
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri nyeri secara menyeluruh
dengan proses 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara untuk menentukan
pembedahan 3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, intervensi selanjutnya
Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, 2. Mengetahui
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu kualitas dan faktor presipitasi perkembangan respon
penyebab nyeri, mampu menggunakan 2. Observasi reaksi nonverbal dari nyeri
tehnik nonfarmakologi untuk ketidaknyamanan 3. Mengurangi peningkatan
mengurangi nyeri, mencari bantuan) 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 4. Ajarkan tentang teknik non 4. Meniminalkan nyeri yang
dengan menggunakan manajemen farmakologi dirasakan
nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 5. Mengetahui keefektifan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 6. Kolaborasikan dengan dokter jika intervensi
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) ada keluhan dan tindakan nyeri 6. Pengobatan medis untuk
4. Menyatakan rasa nyaman setelah tidak berhasil mengurangi nyeri
nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Kerusakan NOC : NIC 1. Tidak ada tekanan pada
integritas kulit Intergritas jaringan: kulit and membran Manajemen tekanan luka
berhubungan mukus 1. Anjurkan pasien untuk 2. Mencegah terbentuknya
dengan trauma Kriteria Hasil : menggunakan pakaian yang luka yang baru
jaringan post 1. Integritas kulit yang baik bisa longgar 3. Terhindar dari infeksi
pembedahan dipertahankan 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 4. Mencegah terjadinya
2. Melaporkan adanya gangguan sensasi 3. Jaga kebersihan kulit agar dekubitus
atau nyeri pada daerah kulit yang tetap bersih dan kering 5. Mengetahui perkembangan
mengalami gangguan 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi mobilisasi pasien
3. Menunjukkan pemahaman dalam pasien) setiap dua jam sekali 6. Mengetahui nutrisi yang
proses perbaikan kulit dan 5. Monitor kulit akan adanya dikonsumsi pasien
mencegah terjadinya sedera kemerahan 7. Pasien tetap terjaga
berulang 6. Monitor aktivitas dan mobilisasi perawatan dirinya
4. Mampumelindungi kulit dan pasien
mempertahankan kelembaban kulit 7. Monitor status nutrisi pasien
dan perawatan alami 8. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
3. Resiko tinggi NOC : NIC : 1. Untuk mencegah infeksi
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi yang ditularkan oleh
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah pasien lain
dengan luka Kriteria Hasil : dipakai pasien lain 2. Memotong rantai infeksi
operasi 1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun antimikrobia 3. Memotong rantai infeksi
gejala infeksi untuk cuci tangan 4. Tenaga kesehatan dapat
2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Cuci tangan setiap sebelum dan mencegah infeksi
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan nosokomial
3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Gunakan baju, sarung 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat tangan sebagai alat terjadi
pelindung 6. Diet makanan tinggi
5. Pertahankan lingkungan protein untuk
aseptik selama pemasangan alat mempercepat
6. Tingkatkan intake nutrisi penyembuhan luka
7. Berikan terapi antibiotik bila 7. Untuk mencegah atau
perlu mengobati infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT. Glora Aksara
Pratama.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik


Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone.

Siddiqui, Z. 2015. Rehabilitations Following Intramedullary Nailing Of Femoral Shaft


Fracture: A Case Report. International Journal of Physical Therapy &
Rehabilitation Science. Vol 1 (1): 30-35.

Anda mungkin juga menyukai