Anda di halaman 1dari 18

HUBUNGAN TAWAKAL DENGAN KECEMASAN

PADA MAHASISWA DI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Dosen Pengampu Wanadya Ayu Krishna Dewi, MA.

Disusun Oleh :

1. Marchelyna Afrisca Damayanti (18320128)


2. Chandra Fatwa Gerilia (18320151)
3. Nurul Khaerani Syani (18320232)
4. Syahnil Almizan (18320335)

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap manusia pasti pernah mengalami permasalahan dalam kehidupannya.
Masalah tidak memandang usia dan profesi seseorang, akan tetapi yang membedakannya
adalah seberapa besar masalah yang mereka hadapi. Hal ini berlaku juga bagi mahasiswa
yang pastinya tidak terlepas dari permasalahan, baik permasalahan pribadi ataupun
masalah yang berhubungan dengan perkuliahan yang sedang mereka jalani. Pada
umumnya, saat seseorang menghadapi suatu permasalahan akan disertai oleh kecemasaan
yang dirasakan orang tersebut. Menurut Wiramihardja (2005) kecemasan adalah suatu
perasaan yang bersifat umum, dimana seseorang merasa ketakutan ataupun kehilangan
kepercayaan dirinya yang tidak jelas asal maupun wujudnya.
Kecemasan merupakan sesuatu hal yang menimpa hampir setiap orang pada waktu
tertentu dalam menjalani kehidupannya. Kecemasan ialah reaksi normal terhadap situasi
yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan dapat muncul dengan sendirinya
atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi (Ramaiah, 2003).
Dalam buku yang berjudul Kesehatan Mental karangan Rochaman (2010), ia
menjelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif terkait ketegangan
mental yang membuat gelisah sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi
sebuah masalah atau tidak adanya perasaan aman. Perasaan yang tidak menentu itu
umumnya tidak menyenangkan yang kemudian menimbulkan atau disertai perubahan
fisiologis maupun psikologis.
Kecemesan yang muncul pada seseorang dapat diakibatkan oleh faktor iternal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dari dorongan dirinya sendiri
sedangkan faktor eksternal ialah faktor yang berasal dari luar diri individu. Menurut
Ramaiah (2003) ada beberapa faktor yang menunujukkan reaksi kecemasan, diantaranya
faktor lingkungan yang merupakan faktor eksternal dan faktor emosi yang ditekan
sebagai faktor internalnya serta adanya sebab-sebab fisik.
Lingkungan atau sekitar tempat tinggal individu akan mempengaruhi cara berfikir
individu tersebut tentang dirinya sendiri maupun orang lain. Selain itu kebiasaan yang ada
pada lingkungan juga akan mempengaruhi pola fikirnya. Kecemasan bisa terjadi jika
seseorang tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya, terutama jika dirinya

1
menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang cukup lama. Pikiran dan
tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Oleh
sebab itu perlu adanya penangan tindakan yang tepat untuk mengatasinya (Ramaiah,
2003).
Apabila dikaitkan dengan konsep tawakal salah satu faktor penyebab kecemasan
secara internal yaitu berkaitan dengan kondisi emosi yang dimiliki oleh seseorang.
Manusia pada umumnya sering menghadapi keputusasaan dan rasa tidak berdaya saat tak
mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan. Jika hal tersebut dibiarkan tanpa ada jalan
keluar atau solusi yang tepat, akan mengarahkan manusia tersebut pada masalah
psikologis khususnya terkait emosi seperti kecemasan. Hal ini dapat diatasi salah satunya
dengan tawakal.
Selanjutnya, yakni faktor eksternal penyebab kecemasan yaitu lingkungan yang pada
akhirnya mempengaruhi pola pikir seseorang. Sebagaimana diketahui tidak sedikit
manusia yang terbiasa bergantung pada manusia, merasa bahwa manusia lain dapat
menyelesaikan urusan dan permasalahannya yang selanjutnya berpengaruh pada pola
pikirnya untuk terus menerus dan terbiasa mengandalkan manusia. Padahal hakikatnya
manusia bukanlah makhluk sempurna dan tak luput dari kesalahan. Jika hal tersebut terus
berlangsung maka dapat menimbulkan kecemasan pada diri manusia sebab tidak
menemukan jalan keluar yang sesuai bahkan dapat berujung kekecewaan. Oleh sebab itu,
hal tersebut dapat diatasi melalui hanya pada Allah lah manusia menggantungkan segala
perkara dan urusannya.
Seseorang yang sepenuhnya bertawakal kepada Allah sejatinya ia akan senantiasa
mensyukuri apa yang telah Allah takdirkan kepada hamba-Nya dan senantiasa ikhlas
dengan segala sesuatu karena pada dasarnya apa yang terjadi merupakan takdir dari
Allah. Dengan hal itu, maka dapat membantu penerimaan seseorang terhadap hasil yang
ia peroleh. Sehingga ketika ia sudah dapat menerima segala sesuatunya maka akan
mengurangi bahkan menghilangkan rasa kecemasan yang ia miliki.
Dijelaskan pula oleh Rusandi (2017) wujud tawakal dalam islam sendiri
digambarkan melalui kesadaran manusia akan ketidakberdayaan dirinya kemudian
mengembalikan segalanya kepada Tuhan dan agama sebagai tempat bergantung. Iman
pun menuntut adanya tawakal sehingga orang beriman harus menyerahkan segala sesuatu
yang menjadi permasalahannya kepada Allah Swt secara mutlak setelah melalui usaha
semampunya. Selain itu, tawakal kepada Allah juga berarti menjadikan Allah sebagai

2
wakil dalam mengurusi segala urusan, dan mengandalkan Allah dalam menyelesaikan
segala urusan.
Zubaidi berkata di Taajul ‘Aruus, tawakal adalah percaya sepenuhnya dengan apa
yang di sisi Allah, dan memutus harapan apa yang di tangan manusia. Tawakal mestinya
hanya diperuntukkan dan ditujukan kepada Allah Swt semata yang merupakan Dzat yang
Mahasempurna. Namun, kenyataannya justru masih ada yang meletakkan tawakal kepada
selain Allah yakni terhadap harta benda, kekuasaan dan ilmu, juga terhadap sesama
manusia (Basri, 2008 dalam Rusandi, 2017).
Ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa tawakal memiliki beberapa komponen. Jika
tidak terpenuhi, maka tidak akan pernah mencapai hakikat tawakal, yaitu: Pertama,
mengetahui Nama Allah dan sifat-Nya. Kedua, menetapkan (meyakini sebab dan
musabab). Ketiga, kedalaman tauhid melalui tawakal dengan melepaskan ketergantungan
dengan sebab. Keempat, penyandaran hati kepada Allah dan kedamaian kepada-Nya.
Kelima, penyerahan / pemasrahan hati kepada Allah, seperti pasrahnya mayit kepada
yang memandikannya. Keenam, penyerahan terhadap apa yang Allah tetapkan. Ketujuh,
ridha dengan segala hasil yang Allah berikan.
Dengan bertawakal kepada Allah maka diasumsikan seorang mahasiswa muslim
seharusnya tidak lagi merasakan kecemasan, kekhawatiran maupun ketakutan akan hasil
yang akan diperoleh dari masalah maupun kesulitan yang dihadapi. Karena mereka
menganggap Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk umatnya. Namun, pada
kenyataannya masih banyak mahasiswa yang menyatakan bahwa dirinya telah bertawakal
kepada Allah SWT mengenai hasil atau nilai yang akan didapatnya tetapi masih
merasakan kekhawatiran apabila dirinya tidak mendapatkan nilai sesuai dengan yang
diharapkan.
Berdasarkan pernyataan di atas tersebut, maka untuk itu perlu diteliti lebih jauh
adakah hubungan antara tingkat tawakal dengan kecemasan yang dimiliki oleh mahasiswa
di Universitas Islam Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Adakah pengaruh antara tingkat tawakal dengan kecemasan yang dialami oleh
mahasiswa?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tawakal dengan
tingkat kecemasan yang dimiliki oleh mahasiswa.

3
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi gambaran mahasiswa serta peneliti
dan pembaca agar dapat menambah pengetahuan dan menerapkan konsep tentang tawakal
untuk menangani rasa kecemasan.

4
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Tawakal
A. Definisi Tawakal
Menurut Imam Al Ghazali (1989) tawakal ialah lurusnya keadaan hati
individu untuk pasrah dan berpegang teguh kepada Allah dalam mencari
kemaslahatan dan menolak kemudharatan yang menyangkut urusan dunia maupun
akhirat. Tawakal adalah penyerahan diri secara penuh kepada Allah. Bukan kepada
siapa yang disukai, tetapi penyerahan diri individu hanya kepada Allah. Bukan juga
penyerahan diri tanpa disertai dengan amal, tetapi penyerahan yang disertai dengan
ikhtiar, langkah dan gerak (Abdullah, 2015)
Selain itu, Ilyas (1999) mengungkapkan bahwa tawakal adalah sebuah
keimanan. Seseorang yang beriman memiliki urusan kehidupan dan semua manfaat
serta mudharat ada ditangan Allah. Oleh sebab itu, hendaknya kita menyerahkan
segala sesuatunya hanya kepada Allah dan menerima segala kehendak-Nya.
Seseorang yang menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan ikhlas maka ia
tidak akan takut terhadap masa depannya juga tidak kaget dengan hal tersebut. Hati
orang tersebut akan menjadi lebih tenang karena ia meyakini keadilan Allah. Oleh
karenanya, Islam menetapkan bahwa iman harus diikuti oleh sikap tawakal.
Tawakal adalah salah satu ibadah hati yang utama dan salah satu akhlak iman
yang paling agung (Qardhawi, 2015). Sedangkan dalam konsep barat sendiri, terdapat
konsep serupa dengan tawakal yakni Surrender to God. Wong-McDonald dan
Gorsuch (dalam Clements & Emarkova, 2012) menyatakan bahwa Surrender to God
merupakan sebuah tindakan aktif, bukan pasif berupa memberikan keinginan dan
tindakan yang individu percaya kepada Tuhan.
B. Aspek-Aspek Tawakal
Ibnu Qayyim (dalam Ningsih, 2013) mengemukakan beberapa aspek tawakal,
diantaranya :
1. Memiliki keyakinan terhadap kekuasaan dan kehendak Allah SWT.
Ketika individu mengetahui sifat-sifat Allah, ia akan meyakini kekuasaan
Allah. Individu akan menyadari bahwa segala yang Allah berikan adalah suatu
kecukupan untuk diri individu lalu mengembalikan urusan individu tersebut

5
kepada Allah. Ia akan lebih menerima terhadap keputusan yang sudah
dikehendaki oleh Allah kepadanya.
2. Mengetahui hukum sebab akibat akan urusan yang dikerjakan.
Individu yang meniadakan hal ini, berarti tawakal individu tersebut belum
sempurna. Individu mengetahui apa yang menjadi sebab individu bertawakal.
Oleh karena hal itu, tawakal individu akan menjadi lebih sempurna.
3. Memperkuat albu dengan tauhid.
Tawakal seorang hamba tidak dianggap benar apabila tauhidnya tidak benar.
Bahkan hakekat tawakal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih
terdapat rasa syirik, maka tawakal individu menjadi tidak sempurna. Seberapa
jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu kebenaran tawakal. Individu
memantapkan hati pada tauhid Islam, membersihkan hati dari segala hal yang
dilarang oleh agama.
4. Menyandarkan qalbu kepada Allah dan merasa tenang di sisi-Nya.
Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung
kepada Allah, sehingga di dalam hati individu tidak ada kegelisahan karena
godaan dan merasa tenang karena bergantung kepadaNya.
5. Memiliki prasangka yang baik kepada Allah.
Seberapa jauh prasangka baik individu terhadap Allah, maka sejauh itu pula
tawakal individu kepada Allah. Individu yang berbaik sangka kepada Allah akan
mendapatkan apa yang individu tersebut inginkan sesuai dengan apa yang
individu prasangkakan.
6. Menyerahkan qalbu sepenuhnya kepada-Nya dan menghalau apa saja yang
merintangi.
Ketundukan serta kepasrahan hati kepada Allah dan kemudian berusaha
menghadapi seluruh rintangan yang ia hadapi. Individu menundukkan hati dan
memasrahkan hati hanya kepada Allah, sehingga hal tersebut dapat membuatnya
dapat menghadapi segala rintangan.
7. Menyerahkan semua urusan kepada Allah.
Individu akan memasrahkan segala urusan yang telah dilakukan hanya kepada
Allah dengan penuh harapan dan tanpa pemaksaan serta tuntutan.

Berdasarkan pemaparan beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwasannya tawakal


adalah ketika individu menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah yang disertai dengan

6
ikhtiar (usaha) yang telah dilakukan individu dan ikhlas akan segala kehendak yang telah
ditetapkan oleh Allah.

2.2 Kecemasan
A. Definisi Kecemasan
Menurut Durand & David (2006) kecemasan merupakan keadaan suasana hati
yang memikirkan masa yang akan datang. Hal ini ditandai dengan adanya
kekhawatiran karena tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang akan
datang. Kecemasan dapat menyebabkan penderitanya merasa khawatir terhadap
sesuatu hal yang belum terjadi. Dampaknya seperti penderita akan mengalami rasa
ketakutan, merasa tidak aman, gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, panik,
tegang, bingung, dan sulit berkonsentrasi (Rizem, 2015).
Sebenarnya, kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami oleh siapa pun. Akan
tetapi cemas yang berlebihan apalagi sudah menjadi gangguan, akan menghambat
fungsi seseorang dalam kehidupannya. Menurut Kaplan, Sadock dan Grebb (dalam
Ningsih, 2013) kecemasan diartikan sebagai respon terhadap situasi tertentu yang
mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan,
perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan. Pada kadar yang
rendah, kecemasan membantu individu untuk bersiaga mengambil langkah-langkah
mencegah bahaya atau untuk memperkecil dampak bahaya tersebut.
Pada dasarnya setiap orang pastilah pernah mengalami kecemasan, namun
dalam bentuk yang berbeda. Di sisi lain, hampir pada setiap orang, mereka pun
mengalami kesulitan untuk dapat menggambarkan secara objektif apa yang mereka
rasakan. Adanya berbagai faktor yang menimbulkan perasaan cemas, takut atau
khawatir ini bahkan terkadang disebabkan oleh sesuatu yang tidak jelas. Namun
demikian, dampak dari kecemasan ini sangat bervariasi, bahkan ada yang sampai
membahayakan dari individu yang mengalaminya (Ningsih, 2013)
B. Jenis-Jenis Kecemasan
Menurut Spilberger (dalam Safaria & Saputra, 2012) menjelaskan kecemasan dalam
dua bentuk, yaitu:
1. Trait anxiety
Trait anxiety, yaitu adanya rasa khawatir dan terancam yang ada pada diri
seseorang terhadap kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya. Kecemasan ini

7
disebabkan oleh kepribadian individu yang memang memiliki potensi cemas
dibandingkan dengan individu yang lainnya.
2. State anxiety
State anxiety, merupakan kondisi emosional sementara pada diri individu
dengan adanya perasaan tegang dan khawatir yang dirasakan secara sadar serta
bersifat subjektif.
Sedangkan menurut Freud (dalam Ningsih, 2015) mengemukakan bahwa terdapat tiga
jenis kecemasan, yakni :
1. Kecemasan yang sumbernya obyektif/kecemasan nyata, yang juga disebut takut
(fear).
2. Kecemasan yang disebut kecemasan neurotik, yakni ialah kecemasan yang tidak
memperlihatkan sebab dan ciri-ciri khas yang obyektif.
3. Kecemasan sebagai akibat dari adanya keinginan yang tertahan oleh hati nurani
(conscience).
C. Faktor Penyebab Kecemasan
Blacburn & Davidson (dalam Safaria & Saputra, 2012) menjelaskan faktor-
faktor yang menimbulakan kecemasan, seperti pengetahuan yang dimiliki seseorang
mengenai situasi yang sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut mengancam atau
tidak memberikan ancaman, serta adanya pengetahuan mengenai kemampuan diri
untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi serta fokus kepermasalahannya).
Kemudian Adler dan Rodman (dalam Ghufron & Risnawita, 2014) menyatakan
terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu diantaranya :
1. Pengalaman negatif pada masa lalu.
Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak, yaitu
timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi
pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan juga
menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam
mengikuti tes.
2. Pikiran yang tidak rasional.
Pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu :
a. Kegagalan ketastropik, yakni adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu yang
buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta perasaan
ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi permasalahannya.

8
b. Kesempurnaan, yakni individu mengharapkan kepada dirinya untuk
berperilaku sempurna dan tidak memiliki kekurangan atau kecacatan. Individu
menjadikan ukuran kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang
dapat memberikan inspirasi.
c. Persetujuan
d. Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan dimana ini
terjadi pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.
D. Tingkat Kecemasan
Menurut Gail W. Stuart (dalam Anisa & Ifdil, 2016) kecemasan memiliki beberapa
tingkatan yang digambarkan dengan tingkat ansietas, diantaranya :
1. Ansietas ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Ansietas ini
menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya.
Ansietas ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreativitas.
2. Ansietas sedang
Memungkinkan untuk berfokus pada hal penting dan mengesampingkan yang
lain. Ansietas ini mempersempit pandangan individu. Dengan demikian, individu
selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk
melakukannya.
3. Ansietas berat
Ansieatas ini sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung
berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain.
Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut
memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

4. Tingkat panik
Berhubungan dengan terperangah serta ketakutan. Individu kehilangan kendali
terhadap dirinya, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan
menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan

9
pemikiran yang rasional.

2.3 Hubungan Tawakal Terhadap Tingkat Kecemasan Seseorang


Tawakal perlu dihidupkan dalam kehidupan setiap individu guna ketenangan pada diri
individu sendiri. Tawakal merupakan kepasrahan kepada Allah dan menerima segala
kehendak-Nya. Namun, tawakal juga harus disertai kerja keras atau usaha yang maksimal
(Ilyas, 1999), dan dalam hal ini kaitannya dengan individu adalah individu yang
bertawakal akan merasakan ketenangan dan kedamaian dalam hidupnya serta individu
juga mendapatkan kekuatan moril dan
spiritual (Qardhawi, 2015).

10
BAB III

PEMBAHASAN

Apabila dikaitkan dengan konsep tawakal, salah satu faktor penyebab kecemasan secara
internal yaitu berkaitan dengan kondisi emosi yang dimiliki oleh seseorang. Manusia pada
umumnya sering menghadapi keputusasaan dan rasa tidak berdaya saat tak mendapatkan
pertolongan yang dibutuhkan. Jika hal tersebut dibiarkan tanpa ada jalan keluar atau solusi
yang tepat, akan mengarahkan manusia tersebut pada masalah psikologis khususnya terkait
emosi seperti kecemasan. Hal ini dapat diatasi salah satunya dengan tawakal.
Selain faktor internal ada faktor lain yakni faktor eksternal penyebab kecemasan
dimana lingkungan yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir seseorang. Sebagaimana
diketahui tidak sedikit manusia yang terbiasa bergantung pada manusia, merasa bahwa
manusia lain dapat menyelesaikan urusan dan permasalahannya yang selanjutnya
berpengaruh pada pola pikirnya untuk terus menerus dan terbiasa mengandalkan manusia.
Padahal hakikatnya manusia bukanlah makhluk sempurna dan tak luput dari kesalahan. Jika
hal tersebut terus berlangsung maka dapat menimbulkan kecemasan pada diri manusia sebab
tidak menemukan jalan keluar yang sesuai bahkan dapat berujung kekecewaan. Oleh sebab
itu, hal tersebut dapat diatasi melalui hanya pada Allah lah manusia menggantungkan segala
perkara dan urusannya.
Seseorang yang sepenuhnya bertawakal kepada Allah sejatinya ia akan senantiasa
mensyukuri apa yang telah Allah takdirkan kepada hamba-Nya dan senantiasa ikhlas dengan
segala sesuatu karena pada dasarnya apa yang terjadi merupakan takdir dari Allah. Dengan
hal itu, maka dapat membantu penerimaan seseorang terhadap hasil yang ia peroleh.
Sehingga ketika ia sudah dapat menerima segala sesuatunya maka akan mengurangi bahkan
menghilangkan rasa kecemasan yang ia miliki.
Dijelaskan pula oleh Rusandi (2017) wujud tawakal dalam islam sendiri digambarkan
melalui kesadaran manusia akan ketidakberdayaan dirinya kemudian mengembalikan
segalanya kepada Tuhan dan agama sebagai tempat bergantung. Iman pun menuntut adanya
tawakal sehingga orang beriman harus menyerahkan segala sesuatu yang menjadi
permasalahannya kepada Allah Swt secara mutlak setelah melalui usaha semampunya. Selain
itu, tawakal kepada Allah juga berarti menjadikan Allah sebagai wakil dalam mengurusi
segala urusan, dan mengandalkan Allah dalam menyelesaikan segala urusan.
Zubaidi berkata di Taajul ‘Aruus, tawakal adalah percaya sepenuhnya dengan apa yang
di sisi Allah, dan memutus harapan apa yang di tangan manusia. Tawakal mestinya hanya

11
diperuntukkan dan ditujukan kepada Allah Swt semata yang merupakan Dzat yang Maha
sempurna. Namun, kenyataannya justru masih ada yang meletakkan tawakal kepada selain
Allah yakni terhadap harta benda, kekuasaan dan ilmu, juga terhadap sesama manusia (Basri,
2008 dalam Rusandi, 2017).
Ibnu al-Qayyim menyebutkan bahwa tawakal memiliki beberapa komponen. Jika tidak
terpenuhi, maka tidak akan pernah mencapai hakikat tawakal, yaitu: Pertama, mengetahui
Nama Allah dan sifat-Nya. kedua, menetapkan (meyakini sebab dan musabab). Ketiga,
kedalaman tauhid melalui tawakal dengan melepaskan ketergantungan dengan sebab.
Keempat, penyandaran hati kepada Allah dan kedamaian kepada-Nya. Kelima, penyerahan /
pemasrahan hati kepada Allah, seperti pasrahnya mayit kepada yang memandikannya.
Keenam, penyerahan terhadap apa yang Allah tetapkan. Ketujuh, ridha dengan segala hasil
yang Allah berikan.
Selain itu, kecemasan dapat dipandang sebagai sebuah gejala dan gangguan.
Normalnya kecemasan sebagai suatu gejala tidak memliki intensitas atau rentan waktu serta
berdampak secara signifikan pada individu yang mengalami gangguan kecemasan tersebut.
Kecemasan merupakan taraf ketegangan dan harapan terhadap sesuatu yang mengancam serta
membuat individu terus menerus merasa tidak bahagia, khawatir,dan pesimis terlepas dari
ada atau tidaknya suatu bahaya. Kehadiran seseorang atau teman yang mampu mengatasi
ketakutan tidak cukup berpengaruh pada individu yang mengalami kecemasan, justru
individu tersebut akan merasa bahwa tidak ada yang dapat membantunya dan memunculkan
ketidakpercayaan pada orang lain (Davidson, Neale, Kring, 2004). Freud juga
mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis kecemasan diantaranyaa kecemasan takut (fear),
kecemasan neurotic, kecemasan keinginan yang tertahan oleh hati nurani (conscience).
Ningsih (2013) juga mengemukakan aspek – aspek tawakal sebagai berikut :
1. Menyerahkan segala perkara kepada Allah setelah berusaha semaksimal mungkin.
2. Berkeyanikan yang benar terhadap kekuasaan dan kehendak Allah SWT dan pasrah
kepada-Nya.
3. Memiliki perasaan tenang dan tenteram dalam kondisi apapun.

Berdasarkan hal tersebut terdapat aspek dalam tawakal yang berkebalikan dengan definisi
kecemasan, sehingga dengan bertawakal semestinya dapat mengatasi kecemasan tersebut.

Beirut (1989) (Abu Hamid muhammad Al – Ghazali ) mengatakan bahwa Setiap


individu seringkali mengkhawatirkan banyak hal terlebih saat tidur di malam hari. Ketakutan
akan berkurangnya harta dan kekuasaan hingga terkadang menimbulkan upaya untuk

12
mempertahankan apa yang dimiliki bersamaan dengan kecemasan yang berlebihan yang
melenyapkan tawakal dari dalam dirinya dan menyebabkan timbulnya berbagai gangguan
jasmani maupun rohani. Oleh karenanya tidak sempurnalah tawakal kecuali dengan kuatnya
hati serta keyakinan bahwa semuanya tidak lepas dari takdir dan kehendak Yang Maha
Kuasa. Imam Al – Ghazali (Chirzin ,2004)menyatakan bahwa tawakal, iman, dan tauhid
saling berhubungan satu sama lain karena sesuai dan relevan terhadap Al – Qur’an dan
Hadist. Sebab lain yaitu tidak ditemukan bukti bahwa individu dengan keteguhan iman dan
tawakal serta menjalankan seluruh perintah mengalami sakit mental ataupun ketakutan dan
kecemasan.

Tawakal kepada Allah SWT dapat timbul melalui keyakinan terhadap rukun iman yang
pertama. Jika individu beriman dengan sesungguhnya, menghayati, serta mengamalkan yang
ia Imani, tentu ia tidak akan melakukan sesuatu atau perbuatan yang merugikan dirinya
maupun orang lain.. Individu yang beriman dan bertawakal kepada Allah akan menunjukkan
hal – hal sebagai berikut :

1. Melepaskan diri dari penguasaan orang lain.


2. Melapangkan hati dan menumbuhkan keberanian.
3. Menenangkan serta menentramkan hati dan jiwa.

Tiap individu terkadang merasa takut dan cemas karena berbagai sebab. Individu yang
beriman dan bertawakal tidak kesal dan berkeluh kesah dalam menghadapi apapun yang
dialami juga tidak takut ataupun cemas saat memikirkan dan menunggu masa yang akan
datang sebab DIA menutup segala pintu ketakutan sebagaimana firman Allah SWT dalam Al
– Qur’an yang artinya : “Sesungguhnya wali – wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati yaitu orang – orang yang beriman dan
mereka selalu bertakwa”. Seorang mukmin tidak akan pernah merasa takut dalam artian yang
sesungguhnya kecuali kepada Allah sebab pandangan, hati, dan kesadarannya selalu terpaut
dan terikat pada Alla SWT (Toha,Putra , 1978 (Soenaryo)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang yang beriman dan bertawakal
akan menjalankan seluruh perintah-Nya terutama dalam hal ibadah yakni solat, sebagaimana
disebutkan oleh Polloma dan Gallup (1991) bahwa solat yang dilakukan secara rutin dan
teratur akan berimbas dan berasosiasi dengan beberapa indicator well-being. Bagian dari
ibadah yakni solat yang dikemukakan sebelumnya dinyatakan pula dapat meminimalisir

13
gejala psikologis seperti kesepian, depresi, kecemasan, serta penyakit – penyakit fisik
(Kirkpatrick & Shaver, 1992).

Studi dan penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa individu – individu dengan
kadar tawakal rendah jika dibandingkan dengan individu yang bertawakal sepenuhnya
menunjukkan bahwa yang bertawakal sepenuhnya mengalami kepuasan hidup yang lebih
baik, keyakinan, dan peningkatan kesehatan (Clements & Ermakova, 2012). Dari hal tersebut
dapat dilihat bahwasanya tingkat tawakal seseorang dapat mempengaruhi cara mereka dalam
menyikapi sesuatunya termasuk perasaan cemas terhadap suatu hasil yang akan mereka
terima. Orang yang bertawakal akan cenderung menerima apa yang sudah di tetapkan karena
mereka mempercayai bahwasannya semua ketetapan sudah dikehendaki oleh Allah.Yang
terpenting mereka sudah berusaha (berikhtiar) sesuai dengan kemampuan mereka.

14
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis didapat kesimpulan bahwasannya tingkat tawakal seseorang dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan yang mereka alami. Semakin tinggi sikap tawakal
yang dimiliki oleh mahasiswa, maka semakin rendah kecemasan mahasiswa dalam
menerima hasil yang mereka peroleh. Sebaliknya, semakin rendah sikap tawakal yang
dimiliki mahasiswa, maka semakin tinggi kecemasan yang mereka rasakan. Hal ini
dikarenakan biasanya orang yang bertawakal akan menyerahkan semuanya kepada Allah
dan menerima hasil yang mereka dapat karena meyakini bahwa semua sudah
dikehendaki oleh Allah. Namun, yang perlu di ingat bahwasannya tidak semuanya
seperti itu karena terdapat juga individu yang memiliki tingkat tawakal yang tinggi
belum tentu sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah SWT karena ternyata mereka
pun masih merasakan kecemasan baik kecemasan yang tinggi maupun yang sedang
begitu juga sebaliknya.
4.2 Saran
Sebagai seorang muslim pastilah akan menilai diri sebagai seorang yang tawakal.
Namun, pemahaman akan arti tawakal sangatlah penting sehingga dapat membuat
individu lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Bagi mahasiswa dapat menjadi
masukan agar menanamkan sikap tawakal kepada Allah dan menerapkannya agar dapat
mengurangi kecemasan pada saat menghadapi tugas ataupun ujian beserta hasil yang
akan diterima.

15
Daftar Pustaka

Ahdha Sartika, I. N. (2015). Skala Tawakal kepada Allah : Pengembangan Ukuran - Ukuran
Psikologis Surrender to God dalam Perspektif Islam. Psikologika, 20, 129-140.

Al Ghazali, I., Al Hambali, I., Al Jauziyah, I. Q. (1989). Pembersih Jiwa. Bandung: Penerbit
Pustaka.

Basri, M. M. (2008). Indahnya Tawakal. Surakarta: Indiva Pustaka.

Ifdil, B Khairul. (2015). The Effectiveness of Peer-Helping to Reduce Academic-


Stress of Students. Addictive Disorders & Their Treatment, 14(4).

Liza, M. A. (2017). Integrasi Konsep Tawakal sebagai Alternatif Strategi Konseling. Seminar
Nasional Bimbingan dan Konseling Program Studi Bimbingan dan Konseling
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat (pp. 182-
187). Banjarmasin: ResearchGate.

Milla, H. (2015). HUBUNGAN TAWAKAL DENGAN KECEMASAN PADA JAMA'AH


PENGAJIAN AL-IMAN STASIUN JERAKAH SEMARANG. Skripsi UIN
Walisongo, 37-39.

Mulyana, A. (2015). Tawakal dan kecemasan mahasiswa pada mata kuliah praktikum. Jurnal
Ilmiah Psikologi. 2 (1) 17-24.

Ghufron, Risnawita, S. (2014). Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar- Ruzz Media

Ningsih, P. (2013). Pengaruh tawakal terhadap adversity quotient pada santri pondok
pesantren Al Ishlah Mangkang Kulon Tugu Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas
Ushuluddin Fakultas Ilmu Agama Islam Negeri Walisongo Semarang.

Qardhawi, Y. (2015). Ikhlas dan Tawakal. Jakarta Timur: Istanbul.


Rahmawati, S.W. (2013). Role of Religiousness/Spirituality in Resilience of Fisheries
College Cadets. Journal of Educational, Health, and Community Psychology 3 (1),
32-40.

Savitri, R. (2003). Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta: Pustaka Populer


Obor.

Wiramihardja, S. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai