Anda di halaman 1dari 22

SUKU OSING (BANYUWANGI)

MAKALAH
Disusun guna memenuhi sebagian tugas
Mata kuliah Wawasan Budaya Nusantara (MKK00102)
Program Studi Televisi dan Film
Jurusan Seni Media Rekam

Disusun oleh :
ZAIN ARIFIN ROCHMAT NIM 14148108
NAJWA ILHAM KELANA NIM 14148157

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2015

i
ii

DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
1.1 Suku Osing .....................................................................................................1
1.2 Letak suku Osing ............................................................................................2
II. WUJUD KEBUDAYAAN SUKU OSING
2.1 Wujud Budaya Idea ........................................................................................4
2.1.1 Agama yang dianut “Suku Osing” ........................................................4
2.1.2 Kepercayaan Mistis yang diyakini “Suku Osing” ................................4
2.2 Wujud Budaya Tindakan ................................................................................6
2.2.1 Seni Kuntulan ........................................................................................6
2.2.1.1 Pengertian Kesenian Kuntulan Banyuwangi ............................6
2.2.1.2 Asal-Usul Seni Kuntulan .........................................................7
2.2.1.3 Proses Terbentuknya Seni Kuntulan ........................................8
2.2.2 Bahasa Osing ........................................................................................12
2.2.2.1 Perkembangan Bahasa Osing ...................................................12
2.2.2.2 Penggunaan Bahasa Osing ........................................................13
2.3 Wujud Budaya Artefak ...................................................................................14
2.3.1 Produk Kerajinan Tangan Khas Suku Osing ........................................14
2.3.2 Adat dan Istiadat Suku Osing ...............................................................17
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................19
3.2 Saran .......................................................................................................19
3.3 Hambatan ....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Suku Osing
Suku Osing atau sering disebut juga dengan Suku Using merupakan
suku asli yang berasal dari Banyuwangi tepatnya di Jawa Timur. Menurut
Elvin, (2012) :
Secara Etimologis kata Osing dapat diartikan dengan kata 'TIDAK'
dalam Bahasa Indonesia atau ORA dalam Bahasa Jawa. Dalam
konteks kebahasaan Pigeaud (1929) berpendapat bahwa, kata OSING
bermakna ketertutupan penduduk asli Banyuwangi terhadap penduduk
pendatang, atau dapat juga diartikan sebagai penolakan penduduk asli
Banyuwangi dalam menerima dan hidup bersama dengan para
pendatang dari luar Banyuwangi.

Istilah itu telah menjadi nama suku Osing, namun dalam kehidupannya
mereka tidak lagi menolak orang asing masuk dan berdomosili di
Banyuwangi. Saat ini suku Osing berbaur dengan para pendatang dari etnis
lain.

Gambar1. Ritual adat Suku Osing


(Sumber:https://paketwisatabanyuwangi.files.wordpress.com/2014/01/193802_gandr
ung-lanang-salah-satu-kebudayaan-wisata-osing_663_382.jpg)

Tidak hanya Suku Osing saja yang berasal dari Jawa Timur tetapi ada
pula beragam jenis yang berasal dari Jawa Timurdiantaranya adalah suku
Jawa, Madura, Bali, Banjar, Melayu, Mandar dan suku Using yang

1
2

mayoritas penghuni kota Banyuwangi. Menurut Siti Lailatul Nur Azizah,


(2014:26) mengatakan bahwa :
Suku Using adalah suku asli dari Banyuwangi. Using secara
terminologis berasal dari kata sing-sering juga di ucapkan oleh suku
Using hing yang berarti “tidak”, kemudian di maknai sebagai orang-
orang yang “tidak” ikut mengungsi ketika terjadi Perang Puputan
Bayu, sehingga tetap menempati wilayah Blambangan yang sekarang
menjadi kota Banyuwangi.

Jadi secara garis besarnya masyarakat suku Osing tidak hanya ada di
Banyuwangi, tetapi meliputi beberapa daerah di Jawa Timur yang dulu
pernah dikuasai atau ikut wilayah Blambangan. Seperti sebagian Jember,
Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using
1.2 Letak suku Osing
Sebagian besar masyarakat suku Osing terdapat di kota Banyuwangi.
Banyuwangi adalah kabupaten yang berada di ujung timur propinsi Jawa
Timur. Menurut Luthviatin Novia (2014:2) :
Kabupaten ini terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, berbatasan
dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra
Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso
di barat.

Gambar 2. Peta wilayah kabupaten Banyuwangi


(Sumber:https://www.google.co.id/maps/@-8.1976741,114.0386385,9z?hl=id)
3

Dilihat dari letak geografis kota Banyuwangi dapat terlihat bahwa


Banyuwani dihimpit oleh gunung serta laut. Menurut Siti Lailatul Nur
Azizah (2014:23) :
Banyuwangi adalah daerah yang menjadi daerah perlintasan menuju
selat Bali, terdapat suku Osing. Suku Osing memiliki kebudayaan
yang merupakan perpaduan antara budaya Jawa, Madura, Arab, Cina,
Melayu dan Bali. Banyuwangi memiliki panorama alam yang
mempesona dan membentang dari wilayah utara sampai selatan, serta
wilayah barat sampai timur. Hamparan gunung, hutan, dan pantai
memberi corak berbeda pada masing- masing wilyah. Selain itu sangat
terkenal akan seni dan budaya lokalnya antara lain kesenian
Gandrung, Kuntulan, Damarwulan, Seblang, Barong, Angklung,
Kendang Kempul, dan Jaranan. Dari budaya itu Banyuwangi banyak
dikenal oleh masyarakat lokal maupun nonlokal, domestik maupun
mancanegara.

Dengan kata lain Banyuwangi memiliki tempat yang strategis. Tidak hanya
itu, letak dari Banyuwangi juga mendukung kekayaan alam yang berlimpah
dari hasil laut, maupun pertanian.
4

BAB II
WUJUD KEBUDAYAAN SUKU OSING

2.1 Wujud Budaya Idea


2.1.1 Agama yang dianut “Suku Osing”
Jika diperhatikan dari sejarahnya, suku Osing awalnya memeluk
ajaran Hindu-Budha yang diyakini sebagai agama mereka seperti halnya
kerajaan Majapahit. Tetapi Sebagian besar masyarakat Osing beragama
Islam, dan setengahnya lagi beragama Hindhu dan Budha. Mnurut Asep
Ruhimat (2011:288) :
Masyarakat Osing percaya pada para roh leluhur, reinkarnasi, moksa,
dan hukum karma. Mereka juga percaya kepada roh yang dipuja
(danyang) di sebuah tempat disebut Punden yang biasanya ada di
bawah pohon atau batu besar.

Meskupun saat ini agama mayoritas masyarakat Osing adalah Islam, hal
tersebut akibat berkembangnya kerajaan Islam di daerah Pantura (Pantai
Utara). Akan tetapi agama yang lain masih tetap ada di dalam Suku Osing.
2.1.2 Kepercayaan Mistis yang diyakini “Suku Osing”
Masyarakat Suku Osing sendiri memiliki beberapa kepercayaan yang
masih mereka pecayai sampai saat ini. Menurut Ensiklopedia Wujud
Kebudayaan Osing (2014) :
Masyarakat Osing masih memegang teguhnya tradisi dan budaya
yang erat kaitannya dengan hal mistis, ini menimbulkan banyak
persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya mengetahui sebagian
saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar tradisi
masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya
sebelum Islam.

Meskipun kepercayaan tersebut masih dilakukan oleh Suku Osing, tetapi


kepercayaan tersebut beberapa telah berubah dan menyesuaikan sesuai
dengan agama yang dianut oleh Suku Osing.
Ada beberapa keperccayaan Suku Osing yang sampai saat ini masih
mereka lakukan. Bahkan di zaman yang modern ini masih ada juga
5

kepercayaan yang berbau mistis yang dilakukan oleh Suku Osing.Menurut


Evan Permana (2009):
Beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan dunia
mistis antara lain:
1. Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/
Jaran Goyang. Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis
yang kita sukai. Jika orang terkena ilmu ini maka orang tersebut
tidak akan bisa menolak orang yang menyukainya. Image
bahwa jika seseorang disukai oleh orang yang berasal dari suku
Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. Padahal
mitos ini hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka.
2. Selametan setiap hari Senin dan Kamis di makam Buyut Cili
yang dilakukan oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun
sehabis melaksanakan suatu acara.
3. Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan
kepada perhitungan dan hari baik dan buruk, serta tanda tanda
alam yang terbaca.
4. Tata cara selamatan yang sering kali dilaksanakan setiap hari
tertentu dan pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan
ini lebih sering daripada daerah lain.
5. Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila
kita dianggap menyakiti orang yang berasal dari suku Osing.

Walaupun suku Osing awalnya memeluk ajaran Hindu-Budha yang


diyakini sebagai agama mereka seperti halnya kerajaan Majapahit dan
masyarakat Osing mayoritas beragama Islam. Menurut Asep Ruhimat
(2011) :
Penduduk suku Osing juga sebagian masih memegang kepercayaan
lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan yang kiblat
sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina. Sistem
kepercayaan di suku Osing masih mengandung unsur Animisme,
Dinamisme, dan Monotheisme.

Terbukanya suku Osing dalam menerima pengaruh dari luar ini membuat
kepercayaan mistis dan agama masih bercampur. Suku Osing merupakan
suku yang masih menjaga tradisi dan kepercayaan dahulu, dan tetap bisa
menerima agama Islam yang masuk ke wilayahnya saat itu.
6

2.2 Wujud Budaya Tindakan


2.2.1 Seni Kuntulan
2.2.1.1 Pengertian Kesenian Kuntulan Banyuwangi

Gambar 3. Kesenian Kuntulan


(Sumber:http://i.ytimg.com/vi/ev3TiN1kg0U/hqdefault.jpg )

Banyuwangi merupakan daerah yang kebudayaannya terbentuk dari


keberagaman suku yang pernah singgah di sana, antara lain Jawa, Madura,
Bali, Tionghoa dan lain-lain. Keberagaman suku tersebut membentuk
sebuah suku baru yang diduga menjadi suku asli Banyuwangi. Yaitu suku
Osing. Suku Osing merupakan hasil akulturasi budaya yang ada di
Banyuwangi, memiliki ciri tersendiri seperti: bahasa, adat istiadat, sistem
masyarakat, kesenian, ciri fisik dan pola pikir yang berbeda dengan suku
lainnya. Hingga saat ini budaya dan kesenian yang hidup di Banyuwangi
merupakan kesenian dan budaya asli maupun hasil akulturasi budaya
antaretnis yang sangat digemari antara lain, kesenian kuntulan. Menurut
Endy Barqah(2014:4) :
Kesenian kuntulan merupakan kesenian hasil dari akulturasi budaya
agama Islam dengan budaya asli Banyuwangi. Secara harafiah
kuntulan berasal dari bahasa Arab, tersusun atas dua suku kata, yaitu
kunyang artinya terjadi, dan lail yang artinya malam. Hal ini dapat
diartikan kuntulan dilaksanakan pada malam hari. Kesenian kuntulan
berawal dari kegiatan para santri yang selesai mengaji di malam hari
kemudian mengembangkan kesenianhadrah dengan menambahkan
7

jidor pantus dan jidor bass pada bagian musiknya, yang berfungsi
sebagai pengatur dan pengendali irama.

Namun penyajian kesenian ini kemudian berkembang dengan


gerakan-gerakan tari sederhana, seperti gerakan sholat, wudhu (bersuci) dan
berdo’a.Menurut Kristina Novi Susanti dalam makalah tentang Kesenian
Kuntulan Banyuwangi.

Seluruh pemain baik pemusik dan penari seluruhnya adalah laki-laki,


menggunakan kemeja putih, celana putih dan menggunakan peci (kopyah
hitam), serta pemakaian dengan nama kuntulan. Asumsi Masyarakat
awam disebut kuntulan karena kostumnya yang menyerupai burung
kuntul.

Hingga sekarang kesenian Kuntulan masih dilestarikan oleh Suku Osing.


Kesenian tersebut juga menjadi ciri khusus suku Osing dengan suku yang
lain dan sebagai warisan budaya mereka.

2.2.1.2 Asal-Usul Seni Kuntulan


Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kesenian Kuntulan ada
sejak awal datangnya para santri sebagai penyebar Islam. Menurut Kristina
Novi Susanti dalam makalah tentang Kesenian Kuntulan Banyuwangi
Kesenian Kuntulan awalnya dilahirkan dari lingkungan Pondok
Pesantren merupakan suku perguruan Islam tempat mendidik dan
mengembangkan santri (kader umat Islam) guna kelanjutan
perjuangan penyebaran Islam. Selain melakukan kegiatan belajar
agama Islam, para Santri juga melakukan aktivitas berkesenian yaitu
menyanyikan Shalawat Nabi berisi tentang puji-pujian (Barzanji)
kepada Nabi Muhammad SAW.

Dengan demikian penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Santri


bertujuan melakukan aktivitasberkesenian dengan menyanyikan Sholawat
Nabi.Selain itu, Masyarakat Using biasanya menyebut kesenian kuntulan
sebagai Kesenian Hadrah Kuntul dan Kundaran, akan tetapi kebanyakan
dari seluruh masyarakat Banyuwangi menyebutnya kesenian Kuntulan,
8

hanya berbeda penyebutanya saja, tetapi makna yang terkandung


didalamnya sama-sama mengandung unsur Islamnya.
Adapun Seni Kuntulan yang biasanya dilakukan oleh para santri ini
menyajikan Sholawat dengan melakukan tata cara sendiri Penyajian tersebut
menurut Kristina Novi Susanti dalam makalah tentang Kesenian Kuntulan
Banyuwangi adalah:
Penyajian ini berupa vocal puji-pujian oleh seorang rodat (penyannyi
yang menyanyikan lagu Arab) dan diiringi oleh permainan ritmis
terbang (rebana berjumlah 5 buah. Kesenian ini dimanfaatkan oleh
para santri sebgai seni pertunujan pada hari-hari besar Islam, seperti :
Maulid Nabi, Tahun Baru Islam (Muharram, Isra’ Mi’raj dan lain
sebagainya.

Dengan adanya penyajian tersebut kita dapat mempelajari kebudayaan-


kebudayaan yang selama ini belum kita kenal baik masyarakat dari suku
Osing sendiri maupun dari luar Suku Osing.

2.2.1.3 Proses Terbentuknya Seni Kuntulan


Proses Terbentuknya Seni Kuntulan sendiri sebenarnya berasal dari
kesenian Hadrah yang muncul pada awal. Kesenian Hadrah ini dulu
sebenarnya digemari oleh masyarakat suku banyuwangi namun karena ada
perkembangan zaman kesenian hadrah menjadi kuntulan. Menurut Siti
Lailatul Nur Azizah, (2014:42)
Sekitar tahun 1950 kesenian Hadrah muncul. Pada awalnya hadrah
sangat kental dengan nuansa Islam yang sifatnya mutlak, isinya 100%
dakwah Islam, sumbernya dari Kitab Berzanji. Instrumen musik yang
mengiringinya adalah rebana dan kendang. Penarinya laki-laki dengan
bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Tembang yang
dilantukan adalah bait-bait burdah dan pelakunya para santri yang ada
di pesantren tersebut. Pada waktu itu Hadrah sangat digemari oleh
masyarakat Banyuwangi, akan tetapi setelah perkembangan zaman
Hadrah mulai memudar dan munculah kesenian Handrah Kuntul atau
kesenian Kuntulan.
9

Hal tersebut membuat kesenian kuntulan yang berasal dari Banyuwangi


terus berkembang dan tidak menjadi masalah adanya pergantian dari
kesenian Hadrah menjadi kesenian Kuntulan.

Gambar 4.Kesenian Kuntulan


(Sumber : Siti Lailatul Nur 2014)

Dalam perkembangan selanjutnya, penyebab kesenian Hadrah mulai


memudar dan muncul kesenian Kuntulan dikarenakan mengalami berbagai
perubahan baik dalam instrument musik, tarian, busana, maupun
penampilanya. Setelah itu kesenian kuntulan berubah lagi menjadi kesenian
Kuntulan Wadon.Menurut Siti Lailatul Nur Azizah, (2014:45)
Kuntulan Wadon, muncul sekitar tahun 1955. Kesenian ini sudah
menyebar dibeberapa desa di Kecamatan Kabat dan Kecamatan
Rogojampi antara lain: Desa Badean, Tambong, Kawang,
Pengantingan dan Pendarungan. Tahun 1960-an kesenian Kuntulan
mengalami penurunan peminat, sampai akhirnya pada tahun 1979,
sebuah kelompok kesenian bernama Jingga Putih yang berada di
bawah pimpinan Sumitro Hadi melakukan perubahan bentuk
pertunjukan Kuntulan dari penari lanang (laki-laki) menjadi penari
wadon (perempuan). Bersama kelompok lain keseniannya, Sumitro
membuat karya-karya pertunjukan, seperti menciptakan tari jejer jaran
dawuk, rodat siirian, dan termasuk didalamnya Kuntulan Wadon.
Kelompok kesenian Jingga Putih berada di Desa Gladak, kecamatan
Rogojampi. Perubahan yang dilakukan oleh Sumitro Hadi didasari
karena penari perempuan lebih menarik dan tidak membosankan.

Perubahan penari ini juga diikuti dengan perubahan kostum dan tata rias
penari. Kostum yang digunakan tidak lagi kemeja dan celana putih, tetapi
10

berupa atasan kuning dan warna lain, penutup kepala dihiasi dengan hiasan
bunga, mirip omprok (penutup kepala) pada penari Gandrung atributnya
berupa kaus kaki dankaus tangan, dan tata rias yang digunakan sudah
menggunakan make up seperti warna bibir, pemerah pipi dan pewarna
kelopak mata.

Gambar 5. Kesenian Kuntulan Wadon.


(Sumber : Siti Lailatul Nur 2014)

Kesenian Kuntulan Wadon menjadi popular dikalangan masyarakat


suku banyuwangi pada waktu itu, banyak masyarakar Banyuwangi yang
menyukai dengan gaya dan penampilannya. Akan tetapi setelah adanya
berkembangnya zaman Kuntulan Wadon mengalami perubahan menjadi
kesenian Kundaran. Menurut Siti Lailatul Nur Azizah (2014:47)
Kundaran didirikan pada tanggal 1 Januari 1980 oleh Sahuni, seniman
asli dari Banyuwangi. Bersama kelompok kesenianya Sahuni
menciptakan perubahan baru terhadap pertunjukan kesenian Kuntulan
Banyuwangi. Sahuni memberikan ide pertujukan yang berbeda dengan
kesenian Kuntulan biasa, hampir secara keseluruhan peyajian
Kuntulan diubahnya. Perubahan tersebut meliputi: penambahan
ensambel musik pengiring Damarwulan, yaitu reong, (sepasang
kendang Bali lanang wadon), penambahan ensambel musik pengiring
Gandrung, yaitu: kendang, kethuk, kenong, kluncing (triangle), serta
11

penambahan pada instrumen pengiring kesenian Jaranan, berupa


slompret. Dengan demikian perubahan ini dinamakan “Kuntulan
Dadaran” karena pada dasarnya semua yang ada pada kesenian
kuntulan terdahulu diubah dengan sedemikian rupa, dan terciptalah
“seni pertunjukan”, (performance art).

Penyajian kesenian Kundaran lebih bersifat instrumental yang lebih banyak


menonjolkan komposisi musik dengan memadukan irama-irama baru ke
dalam irama musik Kuntulan, sehingga Kundaran lebih variatif dan meluas
dari pada kesenian Kuntulan terdahulu. Dengan demikian masyarakat lebih
menyukai kesenian ini karena sifatnya yang lebih bervariasi dan tidak
monoton.
Dalam wawancara bersama Sahuni selaku seniman Kuntulan, yang
ditulis oleh Siti Lailatul Nur Azizah(2014:48) mengenai bagaimana
perubahan kesenian Kuntulan dari waktu ke waktu dikatakan sebagai
berikut:
“Perubahan pada kesenian Kuntulan di karenakan pertemuaannya
dengan kesenian-kesenian khas Banyuwangi seperti Gandrung,
Damarwulan dan tarian lainnya, sehingga merubah bentuk asli
kesenian Kuntulan menjadi kesenian Kundaran atau Kuntulan
Dadaran (seni Kuntulan yang diperlebar). Kenapa bisa dinamakan
Kundaran? Karena pada kesenian ini lebih fleksibel dan melua, dari
musik, tarian juga mengalami perubahan dan penambahan pada alat
musik, tidak hanya itu saja para penari Kuntulan yang tadinya laki-
laki ikut berubah menjadi penari perempuan (Wadon). Sehingga
masyarakat Banyuwangi semakin tertarik, karena kesenian ini tidak
monoton. Sedangkan sifat dari kesenian Kuntulan dan Kundaran
sama-sama berdakwah Islam.”
12

Gambar 6.Kesenian Kundaran (Kuntulan Dadaran)


(Sumber : Siti Lailatul Nur 2014)

Hingga saat ini kesenian Kuntulan menjadi warisan budaya di Banyuwangi


dan tidak bisa ditinggalkan sebagai kebiasaan bagi warga Banyuwangi,
khusunya bagi orang-orang suku Osing.
2.2.2 Bahasa Osing
2.2.2.1 Perkembangan Bahasa Osing
Suku Osing adalah penduduk asli Jawa Timur akibat dari berakhirnya
kerajaan Majapahit, tentu sastra dan bahasa Osing di Blambangan memiliki
persamaan dengan sastra dan bahasa Jawa, Madura dan Bali yaitu berasal
dari bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Perkembangan
bahasa Osing sendiri bermula pada masa kerajaan Kediri. Menurut Kristina
Novi Susanti pada makalahnya perkembangan dari Bahasa Osing ini
mengalami puncak perkembangan pada masa pemerintahan kerajaan Kediri
(898-910) yang kemudian disebut dengan bahasa Kawi.

Menurut Thoedore S. Pieggeoud dalam bukunya literatut of Java yang


dikutip oleh Kristina Novi Susantipada arus lalu lintas di Jawa yaitu pada
zaman dahulu Jawa tersebar hanya melalui sungai Brantas dan Sungai Solo,
sehingga daerah yang tidak dilewati kedua sungai tersebut memiliki dialek
tersendiri yang berbeda dengan bahasa Jawa Kuno
13

Meski begitu, mereka menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa


Jawa pada umumnya. Suku Osing menggunakan bahasa daerahnya sendiri
yang dinamakan bahasa Osing, yang merupakan turunan langsung dari
bahasa Jawa Kuno yang dahulu digunakan pada masa kerajaan Majapahit.
Menurut Koentjaraningrat (1994) Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan
dalam kesusastraan Jawa-Bali yang tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup
sampai abad ke-20.

Pada perkembangannya saat ini, bahasa Osing semakin lama semakin


jarang digunakan dan menyusut. Menurut Irwan Abdullah (1999):
Terjadi dimensi perubahan diakibatkan masuknya bahasa Jawa dan
Madura dari masyarakat pendatang. Hal ini mengakibatkan terjadinya
keanekaragaman bahasa dalam masyarakat Banyuwangi, dan muncul
masalah mengenai keanekabahasan dan masalah sosiolinguistik
lainnya. Dimana proses persentuhan bahasa ibu dan bahasa
pendamping menimbulkan ketumpangtindihan (overlapping), alih
kode dan campur kode.

Walau terjadi percampuran bahasa di daerah Banyuwangi, bahasa Osing


masih dapat ditemukan pada beberapa daerah di kecamatan paling timur di
Banyuwangi. Beberapa penduduknya masih menggunakan bahasa Osing
dalam berinteraksi antar warganya. Sedangkan untuk berinteraksi dengan
orang luar daerah atau pendatang, mereka tidak lagi menggunakan bahasa
Osing.
2.2.2.2 Penggunaan Bahasa Osing
Meskipun penggunaan bahasa sangat banyak digunakan dan
mempunyai keanekaragaman bahasa, suku Osing sendiri mempunyai adanya
percampuran bahasa dan keanekaragaman bahasa yang digunakan akibat
tersebut Menurut Irwan Abdullah, dkk(1999):
Akibat dari pencampuran berbagai bahasa, sekarang ini bahasa Osing
memiliki 2 ragam bahasa. Yakni ragam biasa atau bahasa Osing dan
ragam halus atau bahasa Jawa-Osing (orang Osing menyebutnya
“besiki”).
14

Dalam dialek bahasa Osing, kosakata pada bahasanya terdapat penekanan


pada huruf, kekhususan atau palatalisasi (pergeseran akibat pengaruh
bahasa Madura), dan penambahan atau perubahan kata.

Ada beberapa kecamatan di daerah Banyuwangi yang masih


menggunakan Bahasa Osing, menurut Evan Permana (2009) antara lain :
1. Kabat 9. Sebagian Kota Banyuwangi
2. Rangojampi 10. Gambiran
3. Glagah 11. Singojuruh
4. Kalipuro 12. Sebagian Genteng
5. Srono 13. Licin
6. Songgon
7. Cluring
8. Giri

2.3 Wujud Budaya Artefak


2.3.1 Produk Kerajinan Tangan Khas Suku Osing
Dalam bidang industry, produk kerajinan tangan di Banyuwangi ini
bisa dibilang masih tradisional, mulai dari proses, teknologi hingga hasil
dari pembuatannya. Walaupun begitu, beragam kerajinan tangan dari
masyarakat ini memiliki sebuah ciri kekhasan atau ikon dari daerahnya.
Berikut beberapa kerajinan tangan khas Osing menurut Anastasia
Murdyastuti,dkk. (2013):
15

a. Motif batik Gajah Oling

Gambar 7. Motif Batik Gajah Oling


(Sumber :http://www.banyuwangibagus.com/2014/10/mengenal-batik-
khas-banyuwangi.html)

Motif batik Gajah Oling ini merupakan motif batik khas dari
Banyuwangi. Motif ini berbentuk sulur-sulur tanaman dan kembang di
ujungnya. Motif ini terdapat pada kain batik sebagai baju/busana adat,
seperti busana tari Gandrung, pakaian adat manten, Seblang, dan lain-lain.
Selain sebagai motif pada kain, Gajah Oling juga terdapat pada ornamen
pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing.

b. Tenunan dari serat pisang Abaca

Gambar 8.Tenun dari serat pisang abaca


(Sumber :http://fjb.kaskus.co.id/product/533df2aba4cb17516c8b4a14/tenun-
pelepah-pisang-abaka-dari-pulau-sanger-sulut )
16

Gambar 9. Serat pisang abaca


(Sumber :http://omahtenunku.blogspot.co.id/2014/06/potensi-
menggiurkan-serat-pisang-abaca.html )

Di desa Kemiren kecamatan Glagah, terdapat sebuah kerajinan


tangan dari tenunan yang dibuat dengan berbahan dasar serat pisang
Abaca. Pisang Abaca merupakan tanaman asli kepulauan Phillipines dan
Mindanao yang memiliki serat tipis tapi sangat kuat. Abaca tidak
menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi. Karena tidak mudah putus, serat
Abaca banyak dimanfaatkan untuk bahan baku tali tambang, kerajinan dan
mebel. Di Banyuwangi sendiri, tenunan dari Abaca ini dijadikan sebuah
kerajinan yang menarik, seperti kap lampu, tirai, taplak meja, dan tatakan
makan hingga bantalan kursi

c. Alat musik Angklung

Angklung di Banyuwangi ini selain sebagai alat musik pengiring


dalam pertunjukkan dan upacara adat, juga digunakan dalam mengiringi
gerak ani-anian padi. Angklung sekarang ini berkembang sangat pesat dan
mengalami banyak varian seperti Angklung Paglak, Angklung Tetak,
Angklung Dwi Laras dan Angklung Blambangan. Perbedaan penyebutan
ini berdasarkan kelengkapan perangkat musik dan jenis nada yang
dibawakannya.
17

Namun semua adalah jenis angklung khas Banyuwangi yang hadir di


tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini. Menurut Evan Permana
(2009) :

1. Angklung Paglak: terbuat dari bilah-bilah bambu yang


kemudian diatur dalam pangkan dengan nada slendro (Jawa).
Angklung Paglak dahulu digunakan dalam pesta perayaan
panen, yang kemudian berkembang hingga menjadi cikal bakal
kesenian angklung di Banyuwangi. Paglak adalah gubuk kecil
sederhana yang dibangun di sawah atau di dekat pemukiman.
Paglak dibangun dari bambu dan dibangun sekitar 10 meter di
atas tanah. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga
padi dari burung. Petani biasanya menjaga sawah sembari
bermain alat musik angklung dalam paglak tersebut. Karena itu,
seni ini disebut angklung paglak.
2. Angklung Dwi Laras : Merupakan hasil pengembangan dari
angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras
pelog dan laras slendro.
3. Angklung Blambangan : Angklung Blambangan merupakan
improvisasi dari angklung caruk. Terdapat instrumen musik
termasuk gong dan alat musik Gandrung.

2.3.2 Adat dan Istiadat Suku OSing


Di daerah Banyuwangi banyak sekali ditemukan adat dan tradisi yang
hingga sekarang masih dilakukan. Tradisi dan adat inipun tidak terlepas dari
pengaruh kepercayaan mistis yang diyakini dan kesenian yang telah
diwariskan. Beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing
selalu dipenuhi dengan iringan alat musik, tari, syair, dan lagu.
18

Berikut beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing di


Banyuwangi menurut Evan Permana (2009):

1. Tari Gandrung : Pertujukan tari sebagai ucapan syukur atas


hasil panen
2. Kebo-Keboan : Upacara adat untuk meminta kesuburan hasil
panen
3. Perang Bangkat : Upacara adat saat prosesi perkawinan
4. Geredhoan : Tradisi mencari jodoh oleh pemuda-pemudi suku
Osing
5. Barong Idher Bumi : Perayaan iring-iringan Barong untuk
menolak balak
6. Tari Seblang : Pertunjukan tari untuk menolak balak
7. Petik Laut/Larung Sesaji : Upacara adat sedekah laut oleh
nelayan dan penduduk di pesisi
19

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Suku Osing adalah salah satu dari sekian banyak suku di Jawa
terutama di Jawa Timur di Banyuwangi yang masih menjaga, melestarikan
dan melaksanakan kebudayaannya maupun adat dan tradisi. Dimana banyak
adat dan tradisinya dipengaruhi oleh kepercayaan mistis yang hingga kini
masih diyakini penduduknya. Kekhasan dan keunikan suku Osing ini
terdapat pada keberagaman kebudayaannya, berupa pencampuran antara
budaya Jawa dan budaya Bali. Beragam kebudayaan suku Osing ini yang
kemudian dibagi kedalam 3 wujud kebudayaan yang saling bergantung.
Dimana wujud budaya idea sebagai ideology dan gagasan yang mengatur
terbentuknya wujud budaya tindakan, dan wujud budaya artefak sebagai alat
wujud budaya tindakan.
3.2 Saran
Makalah ini ditujukan untuk semua orang dan para pembaca. Agar
mengerti perkembangan dan sejarah seni terutama dalam hal wawasan
budaya nusantara di Banyuwangi Suku Osing. Selain itu lebih banyak
mengabdi kepada orang yang awam tidak hanya seniman agar mengetahui
betul tentang dampak-dampak positif dan negatifnya dari Seni, agar semua
bisa membedakan baik dan buruknya suatu seni maupun melestarikan Seni
di Banyuwangi.
3.3 Hambatan
Hambatan dalam pembuatan makalah ini adalah masalah waktu yang
kami rasa begitu singkat serta bahan referensi yang kami rasa juga kurang
begitu banyak.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Anastasia Murdyastuti,dkk. 2013. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Kawasan
Wisata Using Berbasis Democratic Governance. Penelitian Unggulan
Universitas Jember.
Asep Ruhimat, dkk.2011.Ensiklopedia:Kearifan Lokal Jawa.
Azizah, Siti Lailatul Nur. 2014. Kesenian Kuntulan Dalam Suku Using Di
Banyuwangi Tahun (1950-1980): Studi Akulturasi Antara Unsur Islam
Dengan Kesenian Kuntulan. PhD Thesis. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Endy Barqah. 2014. Aplikasi Pola Ritme Kuntulan Pada Drumset. Tugas Akhir
Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia
Yogyakarta.
Evan Permana. 2009. Perancangan Film Dokumenter:Tribute to East Java
Heritage.Skripsi Universitas ITS.
Irwan Abdullah, dkk. 1999. Bahasa Nusantara:Posisi dan Penggunaanya
Menjelang Abad ke-21.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa (Jakarta:Balai Pustaka)
Novia, Luthviatin. 2014. IbM Kelompok Masyarakat Osing Dalam Pemanfaatan
Tumbuhan Obat Tradisional Suku Osing Banyuwangi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember halaman 2.
Susanti, Kristina Novi. Kesenian Kuntulan Banyuwangi: Pengamatan Kelompok
Musik Kuntulan Mangun Kerto.

Internet :
http://www.kompasiana.com/elvinhendrata/bahasa-
osing_55195b83a33311a817b6593f diakses pada tanggal 25 September
2015 pada jam 15:33 .
http://ensiklopedia.stikombanyuwangi.ac.id/utama/detail_content/38diakses pada
tanggal 26 September 2015 pada jam 07:04 WIB.

Anda mungkin juga menyukai