Anda di halaman 1dari 3

Bunga Trotoar

“Bungaku bunga liar

Bungaku bunga trotoar

Menggelar aneka barang

Menggelar mimpi yang panjang

Kaki lima menggelar resah

Di emperan toko besar

Koar mulutmu berkobar

Kaki lima makin menjalar”

Tahukah kawan, syair lagu siapa di atas? Lalu apa yang dimaksud bunga trotoar? Pasti
pemuda era 80-90an kenal sekali dengan Iwan Fals. Ya, syair di atas dinyanyikan oleh Iwan Fals.
Liriknya yang sarat makna, membuat kita miris dengan bunga trotoar sekaligus mengernyitkan
dahi. Ohya bunga trotoar dalam syair tersebut adalah para pedagang kaki lima.

Mengapa mengernyitkan dahi? Trotoar yang seharusnya menjadi jalur khusus bagi
pejalan kaki, eh malah beralih fungsi sebagai tempat berjualan yang subur, mekar liar tumbuh
dimana mana. Tahukah kawan, menurut Detik News, konon pada zaman Letnan Gubernur
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) kala itu Raffles memerintahkan pemilik gedung di
jalanan utama Batavia untuk menyediakan trotoar selebar lima kaki atau five foot ways untuk
pejalan kaki. Tapi kemudian disalahtafsirkan oleh penerjemah bahwa five foot yang seharusnya
lima kaki menjadi kaki lima. Nah, akibat salah tafsir ini sehingga makin maraklah bunga trotoar
alias pedagang kaki lima.

Terkait dengan trotoar dan bunganya, aku punya banyak kisah. Aku terlahir di daerah
perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sekitar tahun 80an akhir, kala itu aku masih duduk si
bangku SD. Kala itu sedang marak pembangunan trotoar di wilayah kecamatanku. Aku bersama
teman-teman sebaya senang sekali ada pembangunan trotoar, anggapan kami waktu itu “serasa
hidup di kota jika ada trotoar”
Pembangunan trotoar cukup memakan waktu lama, karena dikerjakan malam hari. Dan
kehidupan di sekitar kami tetap berjalan seperti biasa pada keesokan harinya. Nampaknya hanya
kami, para anak kecil, yang mempunyai kesibukan baru yaitu memantau perkembangan
pembangunan trotoar 3 kali sehari, yaitu pagi, siang, sore. Pagi ketika berangkat sekolah, siang
ketika pulang sekolah, sore ketika pulang mengaji dan bermain. Seperti minum obat saja ya, tapi
itulah yang membuat kami bahagia kala itu.

Kamipun tahu bahwa dibawah trotoar dibuat gorong-gorong yang dalam dan panjang
karena itulah kami selalu diingatkan oleh para orangtua agar hati-hati ketika melewati wilayah
pembangunan trotoar. Kami mengikuti setiap perkembangan pembuatan gorong-gorong, mulai
dari penggalian tanah, sampai trotoar ditutup.

Kala itu pembangunan trotoar sedang di sekitar pasar. Para pedagang tetap berjualan
seperti biasa walaupun di depannya ada galian gorong-gorong dan pembangunan trotoar yang
baru separuh jadi. Bagi kami, melewati pasar itu sungguh mengasyikkan apalagi dengan trotoar
di sepanjang jalan. Mengapa mengasyikkan? Karena kami bisa melihat beraneka macam jualan
mulai dari baju, mainan, sayur, buah, jajanan. Biasanya kami akan mampir membeli jajanan yang
murah meriah kala uang saku masih ada. Bila uang saku tak bersisa, maka kami hanya mampu
memandanginya kemudian memimpikannya. Kadang kami pun mengumpulkan uang saku yang
tersisa untuk membeli jajanan yang kami inginkan kemudian membaginya.

Ketika sedang memandangi satu per satu warna-warni kehidupan pasar, kamipun mulai
menakar sisa uang saku di kantong kami. Ehm, tiba-tiba terdengar bunyi khas serutan es.
Seketika itu pula kami menarik satu kesimpulan, kami mau membelinya. Dan semestapun
mendukung, ternyata uang kami cukup untuk membeli 4 es kepal berwarna merah. Masing-
masing satu.

Tanpa tedeng aling-aling, kami berebut berlari menuju abang es kepal. “Gubrak!”,
terdengar suara jatuh. Ternyata kawan kami yang terdepan tersandung palang kayu yang roboh.
Palang tersebut adalah penanda bahwa jalur di depan kami masih belum sempurna pembangunan
trotoarnya.

Alhasil, tas kawan kami yang jatuh ke gorong-gorong. Sebenarnya patut disyukuri bukan
badan kawan kami yang terpelanting ke gorong-gorong. Namun, reaksi orang pasar beragam, ada
yang ngomel-ngomel menyalahkan kami, ada yang menjerit, ada yang kebingungan, ada yang
menyalahkan para pekerja pembangunan trotoar, ada juga yang tanpa kata justru membopong
tubuh kawan kami ke tempat yang aman untuk diobati.

Dari kejadian tersebut kamipun mendapat kenangan manis karena diberi gratis masing-
masing satu es kepal. Kenangan manis sepanjang sejarah trotoar bagi kami menumbuhkan
harapan semoga trotoar kembali berfungsi sebagaimana mestinya namun tanpa menciderai bunga
trotoar alias pedagang kaki lima mencari nafkah agar para kurcaci tak bersedih.

PROFIL PENULIS

Nur Fitri Agustin (Umi Fitri), si bungsu dari


lima bersaudara yang berprofesi sebagai guru TK,
merupakan istri dari Kariri, serta ibu dari Jelita
(kelahiran 2009) dan Fikri (kelahiran 2011).
Alhamdulillah sudah merilis buku solo parenting,
beberapa antologi fiksi maupun nonfiksi serta artikel
parenting. Penulis juga merupakan perintis klub Guru
PAUD Sinau Cirebon, dengan harapan guru PAUD terus belajar dan berkilau dalam
dunia pendidikan. Penulis bisa dihubungi melalui FB: Nur Fitri Agustin dan WA:
081803873866 serta blog: www.nurfitriagustin.blogspot.com. Salam Edukasi Ramah
Anak!

Anda mungkin juga menyukai