Anda di halaman 1dari 23

REFRESHING

PENURUNAN KESADARAN

Siti Aisyah Desthi Wulansari

2015730122

Pembimbing:

dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019

0
DAFTAR ISI

Daftar Isi.................................................................................................................... 1
Kata Pengantar.........................................................................................................2
BAB I Pendahuluan....................................................................................... 3
BAB II Tinjauan Pustaka................................................................................ 5
II.1 Definisi penurunan kesadaran……………………………………….... 5
II.2 Etiologi penurunan kesadara................................................................... 8
II.3 Patofisiologi penurunan kesadaran……………………………………. 9
II.4 Penegakan diagnosis penurunan kesadaran.............................................14
II.5 Tatalaksana penurunan kesadaran...........................................................19
II.6 Prognosis................................................................................................. 22
BAB III Daftar Pustaka …………………………………....………………. 23

1
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr wb,
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang
Maha Esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan penulisan refreshing mengenai Penurunan Kesadaran.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan pernghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan
demi terselesaikannya refreshing ini khususnya kepada dr.Wiwin Sundawiyani,Sp.S,
selaku pembimbing.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan refreshing ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami dengan
rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan
usulan guna menyempurnakan refreshing ini.
Kami berharap semoga refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Wassalammu’alaikum wr wb.

Jakarta, 16 Januari 2020

Penulis
BAB I

2
PENDAHULUAN

Kesadaran mempunyai arti yang luas sekali. Maka dari itu, tidak mungkin
untuk membuat definisi yang singkat dan tepat. Sebagai teori kerja dalam bidang ilmu
kedokteran, kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang mencerminkan
pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Semua impuls aferen dapat disebut input
dan semua impuls eferen dapat dinamakan output susunan saraf pusat1.
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada dikedua hemisfer
serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS) dibatang otak. Jika
terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun
fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai
tingkatan. Ascending Reticular Activating System rangkaian atau network system
merupakan suatu yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu
diensefalon melalui brainstem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS
tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke subthalamus,
hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmitter kolinergik,
mono aminergik dan gamma amino butyric acid (GABA)2.
Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitive yang merupakan
manifestasi rangkaian inti – inti dibatangotak dan serabut – serabut saraf pada
susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf
pusat dimana kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap
lingkungan atau input – input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga sebagai
awareness2. Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem
anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
dengan berbagai tingkatan3.
Penurunan kesadaran merupakan suatu kegawatdaruratan neurologi akut
dengan ciri khas adanya gangguan otak yang bermakna yang memerlukan cara

3
pendekatan diagnostik, evaluasi serta penatalaksanaan yang cepat. Para klinisi yang
menghadapi pasien seperti ini harus segera melakukan pemeriksaan dan
penatalaksanaan yang serentak, menyeluruh, tetapi singkat yang dimulai dari
penilaian ABC (airway, breathing, corculation), dilanjutkan dengan penilaian tingkat
kesadaran pasien. Pemeriksaan fisik umum berguna sebagai petunjuk menemukan
etiologi tambahan, menjadi dasar diagnosis dan penatalaksanaan2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
PENURUNAN KESADARAN

II.1 Definisi
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar penuh atas dirinya
sendiri dan lingkungan sekitarnya. Komponen yang dapat dinilai dari suatu keadaan
sadar yaitu kualitas kesadaran itu sendiri dan isinya. Isi kesadaran menggambarkan
keseluruhan dari fungsi cortex serebri, termasuk fungsi kognitif dan sikap dalam
merespon suatu rangsangan. Pasien dengan gangguan isi kesadaran biasanya tampak
sadar penuh, namun tidak dapat merespon dengan baik beberapa rangsangan -
rangsangan, seperti membedakan warna, raut wajah, mengenali bahasa atau simbol,
sehingga seringkali dikatakan bahwa penderita tampak bingung4.
Penurunan kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak
dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung,
nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Jadi,
bila terjadi penurunan kesadaran maka terjadi disregulasi dan disfungsi otak dengan
kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam hal menilai penurunan
kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan diklinik yaitu kompos mentis,
somnolen, stupor atau sopor, koma ringan dan koma. Terminologi tersebut bersifat
kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif,
dengan menggunakan skala koma Glasgow4.

1. Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif4,5


Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca
indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan
dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan
waspada.
Somnolen atau keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai : latergi, obtudansi. Tingkat kesadaran ini ditandai
oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan
menangkis rangsang nyeri.

5
Sopor atau stupor berarti kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih
dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan
rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna.
Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban
verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan (semi-koma). Pada keadaan ini tidak ada respon terhadap rangsang
verbal. Reflex (kornea, pupil dan lain sebagainya) masih baik. Gerakan terutama
timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan
jawaban “primitif”. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan tidak ada jawaban sama
sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
Delirium adalah suatu keadaan mental abnormal yang dicirikan oleh adanya
disorientasi, ketakutan, iritabilitas, salah persepsi terhadap stimulasi sensorik, dan
sering kali disertai dengan halusinasi visual. Tingkah laku yang demikian biasanya
menempatkan penderita di alam yang tak berhubungan dengan lingkungannya,
bahkan kadang penderita sulit mengenali dirinya sendiri. Keadaan ini dapat juga
diselingi oleh suatu lucid interval. Biasanya delirium menimbulkan delusi seperti
alam mimpi yang kompleks sistematis serta berlanjut sehingga tak ada kontak sama
sekali dengan lingkungannya serta secara psikologis.
Penderita umumnya menjadi banyak bicara, bicaranya keras, menyerang, curiga, dan
agitatif. Keadaan ini timbulnya cepat dan jarang berlangsung lebih dari 4-7 hari
namun salah persepsi dan halusinasinya dapat berlangsung sampai berminggu-
minggu terutama pada penderita alkoholik atau penderita yang berkaitan dengan
penyakit vaskuler kolagen. Keadaan delinum biasanya tampil pada gangguan-
gangguan toksik dan metabolik susunan saraf seperti keracunan atropin yang akut,
sindroma putus obat (alkohol-barbiturat), porfiria akut, uremia, gagal hati akut,
ensefalitis, penyakit vaskuler kolagen. Bentuk status epileptikus yang melibatkan
sistem limbik sering kali juga menimbulkan sindrom yang sulit dibedakan dengan
keadaan delirium ini.

6
2. Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif5
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala
koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap
rangsang dan memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan/respons penderita
yang perlu diperhatikan adalah:

Mata:
 E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
 E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
 E3 membuka mata dengan rangsangsuara
 E4 membuka mata spontan

Motorik:
 M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
 M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
 M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
 M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
 M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
 M6 reaksi motorik sesuai perintah

Verbal:
 V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
 V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
 V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
 V4 bicaradengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
 V5 bicaradengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

7
Jika nilai GCS 14-13 menandakan somnolen, 12-9 sopor, dan kurang dari 8
menandakan koma.
Dua skala yang lebih sederhana ACDU (alert, confused, drowsy, unresponsive), dan
AVPU (alert, respon to voice, respon to pain, unresponsive). Skala AVPU adalah
cara mudah dan cepat untuk menilai tingkat kesadaran. Pemeriksaan ini ideal sebagai
penilaian awal dan cepat, yaitu terdiri dari:2
 Alert
 Respon terhadap suara
 Respon terhadap nyeri
 Penurunan kesadaran
AVPU termasuk ke dalam beberapa sistem skor peringatan dini untuk pasien – pasien
kritis, sebagai cara yang lebih sederhana dibanding dengan GCS, tetapi tidak cocok
untuk observasi jangka panjang2.

II.2 Etiologi Penurunan Kesadaran

Etiologi penurunan kesadaran secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu: gangguan
metabolik/fungsional dan gangguan struktural.2

1. Gangguan metabolik/fungsional
Gangguan ini antara lain berupa keadaan hipoglikemik/hiperglikemik, gangguan
fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi
obat-obatan, intoksikasi makanan serta bahan-bahan kimia, infeksi susunan saraf
pusat.

2. Gangguan struktural dapat dibagi lagi menjadi 2, yaitu:


a. Lesi supratentorial
i. Perdarahan intraserebral : ekstradural, subdural,
intraserebral
ii. Infark : emboli, thrombosis

8
iii. Tumor otak : Tumor primer, tumor sekunder,
abses, tuberkuloma
b. Lesi infratentorial
i. Perdarahan : serebelum pons
ii. Infark : batang otak
iii. Tumor : serebelum
iv. Abses : serebelum

II.3 Patofisiologi Penurunan Kesadaran


Penurunan kesadaran merupakan bentuk disfungsi otak yang melibatkan
hemisfer kiri ataupun kanan atau struktur - struktur lain dari dalam otakatau
keduanya6. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh
gangguan ARAS dibatang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus,
hipotalamus maupun mesensefalon7. Mekanisme fisiologis kesadaran dan koma mulai
memperoleh titik terang sejak penelitian yang dilakukan oleh Berger (1928) dan
kemudian Brcmcr (1937). Mereka menyimpulkan bahwa salah satu pusat kesadaran
berlokasi di daerah forebrain mengingat bahwa koma merupakan akibat yang terjadi
secara pasif bilamana rangsang sensorik spesifik pada forebrain dihentikan atau
diputus. Pada masa berikutnya Morrison dan Dempsey (1942) menemukan adanya
talamokortikal difus yang tak terpengaruh segala sistem sensorik primer yang
spesifik, atau dengan kata lain ternyata di samping hal di atas ada mekanisme
nonspesifik lain yang dapat mempengaruhi kesadaran. Hal ini diperjelas oleh
penemuan Moruni dan Mogoun pada tahun 1949 tentang suatu daerah tambahan pada
formasio rektikulatis yang terletak di bagian netral batang otak, yang bila dirangsang
akan menimbulkan aktivasi umum yang nonspesifik pada korteks serebri, yang
disebut sebagai Sistem Aktivasi Rektikuler Asendens (ARAS - Ascendence
Retricular Activating System). Sistem ini mencakup daerah-daerah di tengah batang
otak, meluas mulai dari otak tengah sampai hipotalamus dan ralamus, dan
menjabarkan bahwa struktur-struktur tersebut mengirimkan transmisi efek-efek

9
fisiologis difus ke korteks baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam
peranannya terhadap arousal kesadaran. Bilamana ARAS binatang yang sedang tidur
dirangsang secara langsung dengan elektrode maka akan menampilkan desinkronlsasi
gelombang EEG dan binatang ini segera akan menjadi bangun. Sebaliknya bila
ARAS digelombang EEG akan melambat dan terjadi koma (balikan walaupun
diberikan rangsangan yang kuat).
Secara anatomik, letak lesi yang menyebabkan penurunan kesadaran dapat dibagi
menjadi dua, yaitu : supratentorial (15%), infratentorial (15%)., dan difus (70%)
misalnya pada intoksikasi obat dan gangguan metabolik7.
1. Koma diensefelik7
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis di daerah
mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran) disebut koma diensefalik.
Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama, ialah koma
akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.
a. Lesi supratentorial pada umumnya berbentuk proses desak ruang atau space
occupying process, misalnya gangguan peredaran darah otak (GPDO atau stroke)
dalam bentuk perdarahan, neoplasma, abses, edema otak, dan hidrosefalus obstruktif.
Proses desak ruang tadi menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dan kemudian
menekan formasio retikularis di mesensefalon dan diensefalon (herniasi otak).
b. Lesi infratentorial meliputi dua macam proses patologik dalam ruang
infratentorial (fossa kranii posterior).pertama, proses diluar batang otak atau
serebelum yang mendesak sistem retikularis, dan yang kedua merupakan proses di
dalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak sistem retikularis
batang otak. Proses yang timbul berupa:
i. penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formasio retikularis)
ii. herniasi serebelum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebeli
yang kemudian menekan formasio retikularis di mesensefalon, dan
iii. herniasi tonsilo-serebelum ke bawah melalui foramen magnum dan sekaligus
menekan medula oblongata.
2. Koma kortikal-bihemisferik7

10
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada terkecukupinya penyediaan
oksigen. Pada individu sehat dengan konsumsi okesigan otak kurang lebih
3,5ml/100gr otak/menit maka aliran darah otak kurang lebih 50ml/100gr otak/menit.
Bila aliran darah otak menurun menjadi 25-50ml/gr menit/otak, mungkin akan terjadi
kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen dari aliran darah. Apabila aliran
darah turun lebih rendah lagi maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen secara
proporsional.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan teroksidasi
menjadi karbondioksida dan air. Untuk memelihara integritas neuronal, diperlukan
penyediaan ATP yang konstan untuk mengeluarkan ion natrium dari dalam sel dan
mempertahankan ion kalium di dalam sel. Apabila tidak ada oksigen maka terjadilah
glikolisis anaerob untuk memproduksi ATP. Glukosa dapat berubah menjadi laktat
dan ATP, tetapi energi yang ditimbulkannya kecil.
Dengan demikian oksigen dan glukosa memegang peranan yang sangat penting
dalam memelihara keutuhan kesadaran. Namun demikian, walaupun penyediaan
oksigen dan glukosa tidak terganggu, kesadaran individu dapat terganggu oleh adanya
gangguan asam basa darah, elekrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin.

a. Hipoventilasi diperkirakan berhubungan dengan hipoksemia, hiperkapnea,


gagal jantung kongestif, infeksi sistemik, serta kemampuan respiratorik yang tidak
efektif lagi. Dasar mekanisme terjadinya gangguan kesadaran apda hipoventilasi
belum diketahui secara jelas. Hipoksia merupakan faktor potensial untuk terjadinya
ensefalopati, tetapi bukan faktor tunggal karena gagal jantung kongestif masih
mempunyai toleransi terhadap hipoksemia dan pada kenyataannya tidak
menimbulkan ensefalopati. Retensi CO2 malahan berhubungan erat dengan gejala
neurologik. Sementara itu, munculnya gejala neurologiuk bergantung pula pada
lamanya kondisi hipoventilasi. Sebagai contoh, penderita dengan hiperkarbia kronis
tidak menunjukkan gejala neurologik kronis dan penderita yang mengalami
hiperkarbia akut akan segera mengalami gangguan kesadaran sampai koma.

11
b. Anoksia iskemik adalah suatu keadaan dimana darah masih cukup atau dapat
pula kurang cukup membwa oksigen tetapi aliran darah otak tak cukup untuk
memberi darah ke otak. Penyakit yang mendasari biasanya menurunkan curah
jantung, misalnya: infark jantung, aritmia, renjatan dan refleks vasofagal, atau
penyakit yang meningkatkan resistensi vaskular serebral misalnya oklusi arterial atau
spasme. Iskemia pada umumnya lebih berbahaya daripada hipoksia karena asam
laktat tidak dapat dikeluarkan.
c. Anoksia anoksik merupakan gambaran tidak cukupnya oksigen masuk
kedalam darah. Dengan demikian baik isi maupun tekanan ioksigen dalam darah
menurun. Keadaan demikian ini terdapat pada tekanan oksigen lingkungan yang
rendah (tempat yang tinggi atau adanya gas nitrogen) atau oleh ketidakmampuan
oksigen untuk mencapai dan menembus membran kapiler alveoli.
d. Anoksia anemik disebabkan oleh jumlah hemoglobin yang mengikat dan
membawa oksigen dalam darah menurrun. Sementara oksigen yang m,asuk ke dalam
darah cukup. Keadaan ini terdapat pada anemia maupun keracunan karbonmonoksida.
e. Hipoksi atau iskemia difus akut disebabkan oleh dua keadaan, ialah kadar
oksigen dalam darah menurun cepat sekali atau aliran darah otak menurun secara
mendadak. Penyebab utamanya antara lain: obstruksi jalan napas, obstruksi serebral
secara masif, dan keadaan yang menyebabkan menurunnya curah jantung secara
mendadak. Trombosis atau emboli termasuk purpura trombositopeni trombotika,
koagulasi intravaskularis diseminata, endokarditis bakterial akut, malaria falsiparum,
dan emboli lemak, semuanya mampu menimbulkan iskemia multifokal yang luas dan
secara klinis akan memberi gambaran iskemia serebral difus akut.
f. Gangguan metabolisme karbohidrat meliputi hiperglikemia, hipoglikemia dan
asidosis laktat. Diabetes melitus tidak mengangggu otak secara langsung. Delirium,
stupor dan koma biasanya merupakan gejala DM pada tahap tertentu.
g. Gangguan keseimbangan asam basa meliputi asidosis metabolik dan
respoiratorik serta alkalosis respiratorik dan metabolik. Dari 4 jenis gangguan asam
basa tadi, hanya asidosis respiratorik yang bertindak sebagai penyebab langsung
timbulnya stupor dan koma. Asidosis metabolik lebih sering menimbulkan delirium

12
dan obtundasi. Alkalosis respiratorik hanya menimbulkan bingung dan perasaan tidak
enak di kepala. Satu alasan mengapa gangguan keseimbangan asam basa sistemik
sering tidak mengganggu otak, ialah karena adanya mekanisme fisiologik dan
biokimiawi yang melindungi keseimbangan asam-basa di otak terhadap perubahan
pH serum yang cukup besar.
h. Uremia sering kali mengganggu kesadaran penderita. Namun demikian,
walaupun telah dilakukan penelitian yang cukup luas, penyebab pasti disfungsi otak
pada uremia belum diketahui. Urea itu sendiri bukan bahan toksik untuk otak, karena
infus dengan urea tidak menimbulkan gejala-gejala uremia; sementara itu
hemodialisis mampu memperbaiki gejala klinik uremia justru kedalam cairan dialisis
ditembahkan urea.
i. Koma hepatik sering dijumpai di klinik. Defisiensi atau bahan-bahan toksik
diperkirakan sebagai penyebab potensial koma hepatik, tetapi tidak satupun yang
memberi kejelasan tentang patofisiologinya. Meningkatnya kadar amonia dalam
darah di otak dianggap sebagai faktor utama terjadinya koma hepatik. Amonia, dalam
kadara yang tinggi dapat bersifat toksik langsung terhadap otak.
j. Defisiensi vit. B sering kali mengakibatkan delirium, demensia dan mungkin
pula stupor. Defisiensi tiamin dianggap yang paling serius dalam diagnosis banding
koma. Defisiensi tiamin menimbulkan penyakit Wernicke, suatu kompleks gejala
yang disebabkan oleh kerusakan neuron dan vaskular di substanta grisea, daerah
sekitar ventrikulus, dan akuaduktus.

13
II. 4 Penegakan Diagnostik Penurunan Kesadaran
Untuk mendiagnosis penurunan kesadaran tidaklah sulit. Yang menjadi
masalah apa yang menjadi penyebab penurunan kesadaran tadi dan bagaimana
siatuasi koma yang sedang dihadapinya (tenang, herniasi otak). Pendekatan
diagnostik tidak berbeda dengan kasus-kasus yang lainnya, yaitu melalui urutan
anamnesa, pemeriksaan fisik neurologik, dan pemeriksaan penunjang. Perbedaannya
terletak pada tuntutan kecepatan berpikir dan bertindak7.
1. Anamnesis (riwayat penyakit)2
Tanyakan pada pasien atau pada pengantar tentang lingkungan sekeliling saat awitan
terjadi serta perjalanan penyakitnya. Beberapa poin penting yang harus ditanyakan:
a. Awitan: waktu, lingkungan sekeliling.
Usia pasien merupakan bagian penting dari anamnesis. Pada pasien yang sebelumnya
sehat, usia muda, penurunan kesadarannya terjadi tida-tiba, kemungkinan
penyebabnya bisa keracunan obat, perdarahan subarachnoid, atau trauma kepala.
Sedangkan pada usia tua, penurunan kesadaran yang tiba-tiba lebih mungkin
disebabkan oleh perdarahan serebral atau infark.
b. Gejala-gejala yang mendahului secara terperinci (bingung, nyeri kepala,
kelemahan, pusing, muntah, atau kejang), gejala-gejala fokal seperti sulit bicara, tidak
bisa membaca, perubahan memori, disorientasi, baal atau nyeri, kelemahan motorik,
berkurangnya enciuman, perubahan penglihatan, sulit menelan, gangguan
pendengaran, gangguan melangkah atau keseimbangan, tremor.
c. Pemakaian obat-obatan atau alkohol.
d. Riwayat penyakit jantung, paru-paru, liver, ginjal, atau yang lainnya
.
2. Pemeriksaan fisik8
a. Tanda vital
Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan
tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada tidaknya aritmia.
b. Bau nafas dan pola pernapasan

14
Bau nafas dapat memberi petunjuk adanya proses patologik tertentu misalnya uremia,
ketoasidosis, intoksikasi obat, dan bahkan proses kematian yang sednag berlangsung.
Pemeriksaan pola pernafasan berupa:
 Cheyne-Stokes (pernapasan apnea, kemudian berangsur bertambah
besar amplitudonya)→gangguan hemisfer dan atau batang otak bagian
atas
 Kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) →gangguan di tegmentum
(antara mesensephalon & pons)
 Apneustik (inspirasi dalam diikuti penghentian ekspirasi selama waktu
yang lama) → gangguan di pons
 Ataksik (pernapasan dangkal, cepat, tak teratur) →gangguan di
fomartioretikularis bagian dorsomedial & medula Oblongata
c. Pemeriksaan kulit
Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda – tanda trauma, stigmata kelainan hati
dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada penderita dengan
trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan sangat berhati – hati
atau tidak boleh dilakukan jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan
itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis
untuk mencari ada tidaknya bruit.

d. Kepala
Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
e. Leher
Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur servikal (jejas,
kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
f. Toraks/abdomen dan ekstremitas.
Perhatikan ada tidaknya fraktur.

Pemeriksaan fisik neurologis8

15
Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara kualitatif
dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan neurologis meliputi
derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik2.
1). Umum
• Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma
• Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral
• Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama
(aktivitas
• seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).

2). Level kesadaran


• Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, soporo dan koma)
• Kuantitatif (menggunakanGCS)

3). Pupil
 Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya
 Simetris/reaktivitas cahaya normal, petunjuk bahwa integritas mesensefalon
baik.Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik(-), dicurigai suatu
koma metabolik
 Midposisi(2-5mm),ƒixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
 Pupil reaktif point-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiate kolinergik.
 Dilatasi unilateral danƒixed,terjadi herniasi.
 Pupil bilateral ƒixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik – iskemi global,
keracunan barbiturat.
 Funduskopi
Pada pemeriksaan funduskopik perhatikanlah keadaan papil. apakah ada edema,
perdarahan, dan eksudasi, serta bagaimana keadaan pembuluh darah Tekanan
intrakranlal yang meninggi dapat menyebabkan terjadinya edema papli. Pada

16
perdarahan subarakhnoid dapat dijumpai perdarahan subhiaMd. Pada retinopati
diabetik dapat dijumpai mikro-anerisma di pembuluh darah retina

• Refleks okulovestibuler/okulosefalik (dolls eye manuevre)


Pergerakan bola mata untuk melirik dan memfokuskan pandangan diatur oleh nervus
okulomotorius. Nuclei nervus oculomotor mendapat impuls aferen dari cortical,
tectal, dan tegmental sistem oculomotor, serta impuls langsung dari sistem vestibular
dan vestibule cerebellum. Reflex okulovestibuler diperiksa dengan menolehkan
kepala pasien, namun harus hati-hati pada pasien trauma yang dicurigai adanya
fraktur atau dislokasi dari tulang cervical. Selain dengan menolehkan kepala pasien,
dapat juga tes kalori. Respon normal dari gerakan yang menimbulkan impuls pada
vestibular menuju sistem okulomotor dan membuat mata berputar berlawanan arah
dengan gerakan yang diberikan pemeriksa. Pada pasien sadar, refleks memfokuskan
pandangan menutupi reflex tesebut, sehingga pemeriksaan doll’s eye tidak dilakukan
pada pasien sadar, namun pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Refleks okuloauditorik , bila dirangsang suara keras penderita akan menutup mata
maka gangguan di pons. Sedangkan pada refleks okulovestibular bila meatus autikus
eksteernus dirangsang air hangat akan timbul nistagmus ke arah rangsangan maka
gangguan di pons.
Pemeriksaan pupil berupa:
• Lesi di hemisfer →kedua mata melihat ke samping ke arah hemisfer yang
terganggu.Besar dan bentuk pupil normal. Refleks cahaya positif normal
• Lesi di talamus→kedua mata melihat ke hidung (medial bawah), pupil kecil,
reflekscahaya negatif.
• lesi di pons →kedua mata di tengah, gerakan bola mata tidak ada, pupil kecil,
reflekscahaya positif, kadang terdapat ocular bobing.
• lesi di serebellum→kedua mata ditengah, besar, bentuk pupil normal, refleks
cahaya positif normal
• gangguan N oculomotorius→pupil anisokor, refleks cahaya negatif pada pupil
yanglebar, ptosis

17
4). Pemeriksaan rangsang meningeal
5). Fungsi motorik
Perhatikan adanya gerakan pasien, apakah asimetrik (ada paresis). Gerak mioklonik
dapat dijumpai pada ensefalopati metabolik (mininya pada gagal hepar, uremta.
htpoksia). demikian juga gerak astcriksis Kejang miofokal dapat dijumpai pada
gangguan metaboik. Sikap dekortikasi (lengan dalam keadaan fleksi dan aduksi.
Sedangkan tungkai dalam keadaan okstensi) menandakan lesi yang dalam pada
hemisfer atau tepat di alas mesensefalon. Sikap deserebrasl (lengan dalam keadaan
ekstensi, aduksi dan endorotasl, sedangkan tungkai dalam sikap ekstensi) dapat
dijumpai pada lesi batang otak bagian atas. di antara nukleus ruber dan nukleus
vestibular
.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera, ada yang bersifat
terencana. Pemeriksaan laboratorium yang bersifat segera pada umumnya meliputi
pemeriksaan glukosa darah, jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan
analisis gas darah. Pada kasus tertentu (meningitis, ensefalitis, perdarahan
suabarahnoid) diperlukan tindakan pungsi lumbal dan kemudian dilakukan analisis
cairan serebrospinal.

18
b. Pemeriksaan elektrofisiologi pada kasus koma bersifat terbatas kecuali
pemeriksaan EKG. Pemeriksaan eko-ensefalografi bersifat noninvasif, dapat
dikerjakan dengan mudah, tetapi manfaat diagnostiknya terbatas. Apabila ada CT
scan maka pemeriksaan ekoensefalografi tidak perlu dikerjakan. Pemeriksaan
elektroensefalografi terutama dikerjakan pada kasus mati otak (brain death).
c. Pemeriksaan radiologik dalam penanganan kasus koma tidak selamanya
mutlak perlu. CT scan akan sangat bermanfaat pada kasus-0kasus GPDO, neoplasma,
abses, trauma kapitis, dan hidrosefalus. Koma metabolik pada umumnya tidak
memerlukan pemeriksaan CT scan kepala.

II.5 Penatalaksanaan penurunan kesadaran


Langkah pertama yang harus diperhatikan saat melakukan penilaian pada
pasien dengan penurunan kesadaran baik etiologi yang mendasarinya seperti kelainan
struktural maupun metabolik kondisi medis utama yaitu kondisi jalan napas, pola
pernafasan, dan sirkulasi untuk reperfusi dan oksigenasi sistem saraf pusat. Prinsip
tatalaksana pasien dengan penurunan secara umum adalah:2
• Oksigenasi
• Mempertahankan sirkulasi
• Mengontrol glukosa
• Menurunkan tekanan tinggi intrakranial
• Menghentikan kejang
• Mengatasi infeksi
• Menoreksi keseimbangan asam-basa serta keseimbangan elektrolit
• Penilaian suhu tubuh
• Pemberian thiamin
• Pemberian antidotum (contoh: nalokson pada kasus keracunan morfin)
• Mengontrol agitasi

1. Mengontrol jalan napas (airway)2

19
Jalan napas yang baik dan suplementasi oksigen yang adekuat merupakan tindakan
yang sangat penting dalam mencegah terjadinya kerusakan otak lebih lanjut akibat
kondisi penurunan kesadaran terutama pada kasus-kasus yang akut.
Tindakan menjaga jalan napas tetap baik yang paling sederhana adalah dengan
mencegah jatuhnya lidah ke dinding faring posterior dengan jaw lift maneuver yaitu
dengan mengekstensinya kepala samapi menyentuh atlanto-occipital joint bersamaan
dengan menarik mandibula ke depan. Manuver ini dapat memperlebar jarak antara
lidah dan dinding faring sekitar 25%. Manuver ini tidak boleh dilakukan pada
kecurigaan adanya fraj=ktur atau lesi pada daerah cervical.
Pemasangan oropharingeal tube dapat juga dilakukan untuk menjaga patensi jalan
napas pada pasien dengan penurunan kesadaran. Oral airway device dapat digunakan
untuk mencegah tergigitnya lidah pada pasien dengan penurunan kesadaran disertai
kejang. Sedangkan nasal airway juga dapat digunakan dengan menempatkan selang
oksigen ke lubang hidung maupun nasofaring. Nasal airway dapat digunakan pada
pasien dengan kecurigaan adanya lesi pada cervical dan kontraindikasi untuk
dilakukan maneuver jaw lift maupun head-tilt.
Tindakan intubasi merupakan indikasi untuk jalan napas tetap terjaga dengan baik
pada pasien dengan penurunan kesadaran dan gangguan fungsi bulber. Pasien dengan
GCS yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan
pernafasan walaupun masalah utamanya bukan pada sistem pernafasan. Pasien
dengan nilai GCS 8 harus dilakukan tindakan intubasi.

2. Pernafasan2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran perlu diperhatikan frekuensi pernafasan dan
pola pernafasan. Frekuansi pernafasan normal adalah 16-24 kali permenit dengan
pola nafas torakoabdominal. Pada psien dengan gangguan pernafasan seringkali
disertai retraksi otot-otot ekstrapulmonal, seperti rektarksi suprasternal, retraksi
supraklavikula, dan retraksi otot abdominal. Suara nafas tambahan juga perlu
diperhatikan pada pasien dengan penurunan kesadaran. Suplai oksigen binasal dapat
diberikan sesuai dengan oksigenasinya. Pada keadaan tertentu seperti kecurigaan

20
adanya penyakit paru yang berat dapat siperiksa analisis gas darah dan digunakan
ventilator bila terdapat kondisi gagal nafas.

3. Sirkulasi2
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, untuk monitor dan evaluasi kondisi
sirkulasi sebaiknya dipasang kateterisasi vena sentral untuk memudahkan dalam
monitoring cairan dan pemberian nutrisi. Selain itu pula optimalkan tekanan darah
dengan target Mean Arterial Pressure di atas 70mmHg. Pada kondisi hipovolemia
berikan cairan kristaloid isotonik seperti cairan NaCl fisiologis dan ringer laktat. Kita
harus menghindari pemberian cairan hipotonik seperti cairan glukosa maupun
dektrosa terutama pada kasus stroke kecuali penyebab penurunan kesadarannya
adalah kondisi hipoglikemi. Bila cairan infus sudah diberikan tetapi MAP belum
mencapoai target, maka diusahakan untuk pemberian obat-obatan vasopresor seperti
dopamine dan epinefrin/norepinefrin.

II.6 Prognosis
Prognosis penurunan kesadaran bersifat luas tergantung kepada penyebab,
kecepatan serta ketepatan dari pengobatan yang diberikan. Sehingga pemeriksaan dan
penegakan diagnosis pada kasus penurunan kesadaran harus dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah timbulnya kelainan yang sifatnya ireversible.
Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala adanya gangguan fungsi batang
otak, seperti doll’s eye, refleks kornea yang negatif, refleks muntah yang negatif;
Pupil lebar tanpa adanya refleks cahaya; dan GCS yang rendah (1-1-1) yang terjadi
selama lebih dari 3 hari2.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. 2012. Kesadaran dan fungsi luhur dalam neurologi


klinis dasar. Dian rakyat. Jakarta.
2. Dian S, Basuki A, 2012. Altered consciousness basic, diagnostic, and
management. Bagian/UPF ilmu penyakit saraf. Bandung.
3. Cavanna AE, Shah S, Eddy CM. 2011. Conscioussnes : A neurological
perspective. IOS press. UK
4. PlumF, PosnerJB, SaperCB, SchiffND. 2007. Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Ed. IV. Oxford University Press. NewYork.
5. Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental.
Balai penerbit FKUI. Jakarta.
6. Kelly JP. 2001. Loss of Consciousness: Pathophysiology and Implications in
Grading and Safe Return to Play. Journal of athletic training. Chicago
7. Harsono.2008.Koma dalam Buku Ajar Neurologi Klinis.GajahMada
University Press. Yogyakarta.
8. Wulandari DS. 2011. Penurunan kesadaran. Fakultas kedokteran universitas
yarsi. Serang

22

Anda mungkin juga menyukai