Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH PERILAKU INDIVIDU DAN PROSES MENTAL

STATES OF CONSCIOUSNESS / KEADAAN KESADARAN

Dosen pengampu: Prinska Damara Sastri , S.Psi., M.Psi, Psikolog

KELOMPOK 1

1. Antriyani 122123120002
2. Ayu R Utari 122123120027
3. Syifa Alifiya Rifa’ah 122123020023
4. Vikawati Priyani 122123120042
5. Wanangmum Fransisco Rocky Uropmabin 122123210058

UNIVERSITAS INDONESIA MEMBANGUN

BANDUNG

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mengenai State of Consciousness /
Keadaan Kesadaran ini dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas dari Ibu Prinska Damara Sastri, S.Psi., M.Psi, Psikolog sebagai Dosen
Pengampu mata kuliah Perilaku Individu dan Proses Mental. Sebagai salah satu tugas yang
diberikan kepada kami untuk bahan diskusi dan referensi bagi kami agar mengetahui lebih luas
tentang State of Consciousness / Keadaan Kesadaran.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Prinska Damara Sastri, S.Psi.,
M.Psi, Psikolog selaku dosen mata kuliah Perilaku Individu dan Proses Mental, berkat tugas
yang diberikan ini dapat menambah wawasan kami berkaitan dengan topik yang diberikan.
Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu
dalam proses penyusunan laporan ini semoga bermanfaat bagi kami serta pembaca.

Demikian makalah ini dibuat, atas disadari maka makalah ini jauh dari kata sempurna
baik dari kata penyimpanan, bahasa maupun penulisan. Maka kami berharap saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat menulis lebih baik lagi.

2
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR .......................................................................................................................Error!
Bookmark not defined.
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................3
BAB
I ................................................................................................................................................Error!
Bookmark not defined.
PENDAHULUAN...............................................................................................................................E
rror! Bookmark not defined.
A. Latar
Belakang ..........................................................................................................................Error!
Bookmark not defined.
B. Rumusan
Masalah .....................................................................................................................Error!
Bookmark not defined.
C. Tujuan Masalah .........................................................................................................................5
BAB II ................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN ................................................................................................................................6
A. Puzzle Kesadaran ....................................................................................................................6
B. Irama Sirkardian ...................................................................................................................10
C. Tidur dan Mimpi ...................................................................................................................13
D. Narkoba ..................................................................................................................................20
D.
Hipnose ...................................................................................................................................Er
ror! Bookmark not defined.
BAB III .............................................................................................................................................36
PENUTUP ........................................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................39

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesadaran telah menjadi satu topik terpenting dalam kajian psikologi. Namun,
meskipun kesadaran telah menjadi satu bagian yang penting dalam psikologi, kesadaran
merupakan konsep yang membingungkan dalam ilmu pengetahuan mengenai pikiran. Salah
satu penyebabnya adalah karena pengertian kesadaran sangat bervariasi sehingga tidak ada satu
pengertian umum yang dapat diterima semua pihak. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki
tiga tingkatan kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar
(unconscious). Konsep dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah
sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan
bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya dirasakan
oleh manusia semenjak kecil dari ibunya. Zeman (2001) menjelaskan tiga arti pokok kesadaran,
yaitu :
1. Kesadaran sebagai kondisi bangun/terjaga. Kesadaran secara umum disamakan dengan kondisi
bangun serta implikasi keadaan bangun. Implikasi keadaan bangun akan meliputi kemampuan
mempersepsi, berinteraksi, serta berkomunikasi dengan lingkungan maupun dengan orang lain
secara terpadu.Pengertian ini menggambarkan kesadaran bersifat tingkatan yaitu dari kondisi
bangun, tidur sampai koma.
2. Kesadaran sebagai pengalaman. Pengertian kedua ini menyamakan kesadaran dengan isi
pengalaman dari waktu ke waktu: seperti apa rasanya menjadi seorang tertentu sekarang.
Kesadaran ini menekankan dimensi kualitatif dan subjektif pengalaman.
3. Kesadaran sebagai pikiran. Kesadaran digambarkan sebagai keadaan mental yang berisi dengan
halhal proposisional, seperti misalnya keyakinan, harapan, kekhawatiran, dan
keinginan.
Makalah ini akan membahas jauh lebih dalam mengenai kesadaran dan mengapa
kesadaran bisa muncul dalam otak kita sebagai manusia. Untuk itu, kami selaku penulis
berharap agar makalah yang kami buat dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi siapapun
pembacanya
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Otak Dalam Mengatur Kesadaran?
2. Mengapa Manusia Memiliki Kesadaran?

4
C. Tujuan
1. Memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Individu dan Proses Mental pada Program Studi
Psikologi yang diampu oleh Ibu Prinska Damara S.Psi., M.Psi Psikologi.
2. Menginformasikan serta memaparkan teori-teori mengenai kesadaran dalam diri manusia.
3. Memperluas wawasan khususnya bagi kami selaku penulis dan para pembaca.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PUZZLE KESADARAN

Apakah kesadaran itu, dan bagaimana kesadaran itu muncul di dalam otak kita? Ketika
psikologi didirikan pada akhir tahun 1800-an, “proyek besarnya” adalah mengungkap beberapa
teka-teki kesadaran (Natsoulas, 1999). Minat ini berkurang selama dominasi behaviorisme pada
pertengahan abad ke-20, namun kebangkitan perspektif kognitif dan biologis telah
mengarahkan kita untuk memikirkan kembali konsepsi lama tentang pikiran.

1. KARAKTERISTIK KESADARAN

Dalam psikogi, kesadaran sering kali didefinisikan

sebagai kesadaran kita dari waktu ke waktu terhadap diri kita sendiri dan lingkungan. Diantara
ciri-cirinya, kesadaran adalah :

• Subjektif dan pribadi. Orang lain tidak bias secara langsung mengetahui apa realitas itu
bagi anda dan anda juga tidak bias langsung masuk ke dalam pengalaman mereka.

• Dinamis (selalu berubah). Meskipun rangsangan yang kita sadari terus berubah, kita biasanya
mengalami kesadaran sebagai aliran aktivitas mental yang terus mengalir, bukan sebagai
persepsi dan pikran yang terputus-putus (James, 1890/1950).

• Reflektif diri dan penting bagi perasaan diri kita. Pikiran menyadari kesadarannya sendiri.
Jadi, tidak peduli pada apa kesadaran anda terfokus.

Akhirnya, kesadaran adalah berhubungan erat dengan proses perhatian selektif. William
James mencatat bahwa “pikiran pada setiap tahap merupakan teater kemunginan-
kemungkinan yang simultan. Perhatian yang selektif adalah proses yang memfokuskan
kesadaran pada beberapa rangsangan dan mengesampingkan rangsangan yang lain. Jika
pikiran adalah teater aktivitas mental, maka kesadaran mencerminkan apapun yang diterangi
pada saat itu.

2. MENGUKUR KEADAAN KESADARAN

Para ilmuwan yang mempelajari kesadaran harus secara operasional mendefinisikan keadaan-
keadaan batin tertentu dalam kaitannya dengan respon-respon yang terukur.

6
Tindakan perilaku mencatat, antara lain, kinerja pada tugas-tugas khusus. Tindakan fisiologis,
membangun korespondensi antara proses tubuh dan kondisi mental. Melalui elektroda yang
ditempelkan pada kulit kepala, electroencephalograph (EEG) mengukur pola gelombang otak
yang mencerminkan aktivitas listrik yang sedang berlagsung dari kelompok besar neuron.
Pola yang berbeda berhubungan dengan kondisi kesadaran yang berbeda, seperti apakah anda
waspada, rileks atau dalam tidur rinan atau nyenyak. Teknik pencitraan otak memungkinkan
para ilmuwan untuk memeriksa otak secara lebih spesifik wilayah dan aktifitas yang
mendasari berbagai kondisi mental. Pengukuran fisiologis tidak dapat memberi tahu kita apa
yang dialami seseorang secara subjektif, namun pengukuran tersebut sangat berharga untuk
menyelidiki cara kerja batin seseorang.

3. TINGKAT KESADARAN

Banyak hal yang terjadi di dalam otak anda berada diluar akses sadar. Anda tidak secara sadar
merasakan proses otak yang menidurkan anda, membangunkan anda atau mengatur suhu
tubuh anda. Anda menyadari pikiran-pikiran anda, tapi tidak menyadari bagaimana otak anda
menciptakannya. Apalagi yang ada diluar kesadaran?

3.1 Sudut Pandang Freudian

Sigmund Freud (1900/1953) mengemukakan bahwa pikiran manusia terdiri dari tiga tingkat
kesadaran. Sadar pikiran pemikiran dan persepsi yang saat ini kita sadari. Alam bawah sadar,
peristiwa mental berada diluar kesadaran saat ini tetapi dapat dengan mudah diingat dalam
kondisi tertentu. Tidak sadar, peristiwa tidak dapat dibawa ke dalam kesadaran dalam
keadaan biasa. Kaum bheavioris dengan tegas mengkritik gagasan Freud. Bagaimanapun,
mereaka berusaha menjelaskan perilaku tanpa menggunakan proses mental yang disadari,
apalagi yang tidak disadari. Psikolog kognitif dan banyak psiklog psikodinamik kontemporer
juga mempermasalahkan aspek spesifik teori Freud. Namun, seperti yang akan kita lihat,
penelitian mendukung premis umum Freud bahwa proses bawah sadar dapat mempengaruhi
perilaku.

3.2 Sudut Pandang Kognitif

Psikolog kognitif menolak gagasan tentang pikiran bawah sadar yang didorong oleh dorongan
naluriah dan konflik yang ditekan. Sebaliknya, mereka memandang kehidupan mental sadar
dan tidak sadar sebagai bentuk pemrosesan informasi yang saling melengkapi dan bekerja
secara harmonis. Banyak aktivitas, seperti merencanakan liburan atau belajar, memerlukan
pemrosesan yang terkontrol (sadar) penggunaan perhatian dan usaha secara sadar. Kegiatan
lain melibatkan pemrosesan otomatis (tidak disadari) dan dapat dilakukan tanpa kesadaran
atau usaha.
7
Pemrosesan otomatis paling sering terjadi ketika kita melakukan tindakan rutin atau tugas
yang dipelajari denggan baik, khususnya dalam keadaan yang sudah biasa (Ouellette & Wood,
1998). Pemrosesan otomatis memiliki kelemahan utama karena dapat mengurangi peluang
kita menemukan cara baru untuk mengatasi maslaah (Langer, 1989). Pemrosesan terkontrol
lebih lambat dibandingkan pemrosesan otomatis, namun lebih fleksible dan terbuka terhadap
perubahan. Namun, banyak perilaku yang dipelajari dengan baik tampaknya dilakukan lebih
cepat dan lebih baik ketika pikiran kita berada dalam mode autopilot dan pemrosesan
terkontrol tidak lagi diperlukan.

Pemrosesan otomatis juga memudahkan perhatian terbagi, kemampuan untuk menghadiri


dan melakukan lebih dari satu aktivitas pada waktu yang sama. Namun perhatian yang terbagi
memiliki batas dan menjadi lebih sulit ketika dua tugas memerluan sumber daya mental yang
sama. Misalnya, kita tidak bias sepenuhnya memperhatikan pesan terpisah yang disampaikan
secara bersamaan melalui dua earphone.

4. PERSEPSI TIDAK SADAR DAN PENGARUH

Konsep pemrosesan informasi bawah sadar diterima secara luas di kalangan psikolog saat ini,
namun hal ini tidak selalu terjadi. Diperlukan penelitian yang sunguh-sungguh untuk
menunjukan bahwa rangsangan dapat dirasakan tanpa kesadaran dan pada gilirannya dapat
memengaruhi cara kita berperilaku atau merasakan. Mari kita lihat beberapa contoh.

Agnosia Visual

Wanita dengan agnosia visual, tidak dapat secara sadar melihat bentuk, ukuran atau orientasi
objek namun dia mengalami sedikit kesulitan dalam melakukan tugas memasukan kartu dan
menghindari rintangan ketika dia berjalan melintasi ruangan. Agar dapat melakukan tugas-
tugas ini dengan mudah, otaknya pasti telah memproses informasi akurat tentang bentuk,
ukuran dan sudut suatu benda. Dan jika dia mengaku tida sadar akan sifat-sifat ini, maka
pemrosesan informasi ini pasti terjadi pada tingkat bawah sadar (Goodale, 2000).

Ada banyak jenis agnosia visual. Misalnya saja orang dengan prosopagnosia dapat mengenali
objek secara visualtetapi tidak dapat megenali wajah. Ketika beberapa pasien ini bercermin,
mereka tidak mengenali wajah mereka sendiri. Meskipun kurangnya kesadaran, dalam tes
laboratorium pasien-pasien ini menunjukan pola aktivitas otak, gairah otonom, dan Gerakan
mata yang berbeda ketika mereka melihat wajah-wajah yang mereka kenal dan buka wajah-
wajah yang tidak mereka kenal (Young, 2003). Dengan kata lain, otak mereka mengeali dan
merespon perbedaan antara rangsangan yang akrab dan tidak dikenal, tapi ini pengenalan tidak
mencapai tingkat kesadaran.

8
Penglihatan Buta

Penderita agnosia tidak buta, namun mereka memiliki kondisi langka disebut penglihatan buta
mengalami kebutaan pada sebagian bidang penglihatanya namun dalam tes khusus
memberikan respon terhadap rangsangan pada bidang tersebut meskipun dilaporkan bahwa
mereka tidak dapat melihat rangsangan tersebut.

Cat Dasar

Orang-orang yang terkespos secara bawah sadar lebih cenderung melengkapi kata dasar
dengan kata-kata tertentu. Ini memberikan bukti dari proses yang disebut cat dasar. Paparan
terhadap suatu stimulus mempengaruhi bagaimana anda selanjutnya merespon terhadap
stimulus yang sama atau stimulus lainnya.

Ketidaksadaran Emosional

Psikolog psikodinamik modern menekankan bahwa diluar jenis proses bawah sadar, proses
emosional dan motivasi juga beroperasi secara tidak sadar dan memengaruhi perilaku
(Western, 1998). Sejumlah eksperimen mendukung pandangan bahwa proses bawah sadar
dapat memiliki rasa emosional dan motivasi (LaBar & LeDoux, 2006).

5. MENGAPA KITA MEMILIKI KESADARAN?

Koch berpendapat bahwa kesadaran mempunyai fungsi merangkum. Kesadaran memberikan


ringkasan sebuah representasi mental tentang apa yang terjadi di dunia anda setiap saat. Disisi
lain, kurangnya kesadaran diri akan membahayakan kemampuan anda untuk
mengesampingkan perilaku yang berpotensi berbahaya yang diatur oleh impuls atau
pemrosesan otomatis. Pemrosesan bawah sadar juga kurang siap menghadapi hal baru.
Kesadaran memungkinkan kita menghadapi situasi baru secara fleksibel dan membantu kita
merencanakan respon terhadap situasi tersebut (Koch, 2004; Langer, 1989).

6. DASAR SARAF KESADARAN

Dimanakah kesadaran muncul? Psikolog dan ilmuwan lain yang mempelajari otak sedang
mencari jawaban atas pertanyaan sulit ini.

9
Jendela ke Otak

Para psikolog menemukan banyak jalur otak untuk memproses informasi visual. Beberapa
peneliti telah mengeksplorasi persepsi sadar yang tercipta ketika are otak tertentu distimulasi
secara elektrik. Berdasarkan teknik ini para ahli saraf telah menemukan bahwa rangsangan
yang mengancam secara emosional diproses secara sadar dan tidak sadar melalui jalur saraf
yang berbeda. Jalur yang menghasilkan pengenalan secara sadar melibatkan korteks prefrontal
dan beberapa wilayah otak lainnya yang dilewati jalur pemrosesan bawah sadar (Morris &
Dolan, 2001).

Kesadaran sebagai Ruang Kerja Global

Kesadaran adalah ruang kerja global yang mewakili aktivitas terpadu dari beberapa modul di
berbagai area otak. Intinya, dari sekian banyak otak, modul dan rangkaian penghubung yang
aktif dalam sekejap, bagian tertentu menjadi tergabung dalam aktivitas terpadu yang cukup
kuat untuk menjadi persepsi atau pemikiran sadar (Koch, 2004).

B. IRAMA SIRKARDIAN: JAM BIOLOGIS HARIAN

Manusia telah beradaptasi dengan dunia dengan siklus siang malam 24 jam. Setiap 24
jam suhu tubuh, sekresi hormonal dan fungsi tubuh lainnya mengalami perubahan ritmis
yang memengaruhi kewaspadaan kita dan mempersiapkan perjalanan kita bolak balik atara
kesadaran bangun dan tidur. Insiklus biologis harian disebut ritme sirkardian.

Ritme sirkadian

a. Perubahan suhu inti tubuh,

b. Kadar melatonin dalam darah, dan

c. Derajat kewaspadaan adalah beberapa fungsi tubuh yang mengikuti pola siklus 24 jam
yang disebut ritme sirkadian. Manusia juga memiliki siklus biologis yang lebih panjang
dan pendek, seperti siklus menstruasi wanita selama 28 hari dan siklus aktivitas otak
selama sekitar 90 menit saat tidur. SUMBER: Diadaptasi dari Monk dkk., 1996.

1. MENJAGA WAKTU: OTAK DAN LINGKUNGAN

Sebagian besar ritme sirkadian diatur oleh otak inti suprachiasmatic (SCN), terletak
di hipotalamus merupakan jam sirkadian utama otak. Neuron di SCN memiliki siklus

10
aktivitas dan ketidakaktifan yang diprogram secara genetis, namun cahaya matahari dan
kegelapan membantu mengatur siklus ini. Saraf optik menghubungkan mata kita dengan
SCN, dan aktivitas SCN mempengaruhi sekresi melatonin kelenjar pineal. Pada gilirannya,
melatonin (hormon yang memberikan efek reaksi pada tubuh) mempengaruhi sistem otak
lain yang mengatur kewaspadaan dan kantuk.

Jam sirkadian kita bersifat biologis, namun isyarat lingkungan seperti siklus siang-
malam membantu menjaga neuron SCN pada jadwal 24 jam. Sebagian orang melakukan
eksperimen dengan tinggal di laboratorium atau gua bawah tanah tanpa jam dan tidak dapat
membedakan apakah di luar sedang siang atau malam, sehingga sebagian besar partisipan
masuk ke dalam siklus bangun-tidur alami, yang disebut aritme sirkadian yang berjalan
bebas, yaitu lebih dari 24 jam (Hillman et al., 1994).

2. GANGGUAN LINGKUNGAN TERHADAP Irama SIRCADIAN

Ritme sirkadian kita rentan terhadap gangguan baik oleh perubahan lingkungan yang
tiba-tiba maupun bertahap.

a. Jet leg adalah gangguan sirkadian yang terjadi secara tiba-tiba akibat terbang
melintasi beberapa zona waktu dalam satu hari. Jet leg, yang sering
menyebabkan insomnia dan penurunan kewaspadaan, merupakan kekhawatiran
yang signifikan bagi pebisnis, atlet, awak pesawat, dan orang lain yang sering
bepergian melintasi banyak zona waktu (Ariznavarreta et al., 2002). Biasanya,
orang menyesuaikan diri lebih cepat ketika terbang ke barat, mungkin karena
memperpanjang hari perjalanan lebih sesuai dengan siklus sirkadian alami yang
berjalan bebas (Revell & Eastman, 2005)

b. Kerja shift malam, merupakan gangguan sirkadian yang paling bermasalah bagi
masyarakat. Memulai shift kerja 8 jam pada jam 11 p.m atau tengah malam, saat
jam biologis Anda mendorong kantuk. Gangguan sirkadian ini, ditambah dengan
kelelahan akibat kurang tidur di siang hari, bisa menjadi penyebab bencana,
seperti kesalahan kinerja pekerjaan, kecelakaan lalu lintas yang fatal,serta
bencana teknik dan industri puncak antara tengah malam dan 6 a.m. (Akerstedt
dkk., 2001).

c. Gangguan afektif musiman (SAD) adalah kecenderungan siklus untuk menjadi


depresi psikologis selama musim-musim tertentu dalam setahun. Psikologis
selama musim-musim tertentu dalam setahun. Beberapa orang menjadi depresi
pada musim semi dan musim panas; namun, pada sebagian besar kasus, SAD
dimulai pada musim gugur atau musim dingin, ketika cahaya matahari
11
berkurang, dan kemudian meningkat pada musim semi (Rosenthal & Rosenthal,
2006)

3. MENGAKALI GANGGUAN JET LAG, GANGGUAN KERJA MALAM DAN DEPRESI


MUSIM DINGIN

a. Mengontrol Paparan Terhadap Cahaya

➢ Mengurangi Jet Lag, sebaiknya menunda siklus sirkadian dengan menghindari


cahaya terang di pagi hari dan memaparkan diri pada cahaya di sore hari. Ini
adalah aturan umum, namun waktu spesifik dan lama paparan cahaya bergantung
pada jumlah zona waktu yang dilintasi (Houpt et al., 1996). Bagi pelancong jet,
menghabiskan waktu di luar ruangan (bahkan saat cuaca mendung) adalah cara
termudah untuk mendapatkan paparan cahaya yang dibutuhkan.

➢ Menyesuaikan diri dengan Kerja Malam, dengan menjaga kamar tidur gelap
dan tenang untuk mendorong tidur siang hari serta menjaga jadwal tidur siang
hari bahkan pada hari libur (Boulos, 1998)

➢ Mengobati SAD Banyak ahli percaya bahwa fototerapi, yang melibatkan


paparan cahaya buatan terang yang diresepkan secara khusus dan tepat waktu,
merupakan pengobatan yang efektif untuk SAD dan kesedihan musim dingin
yang lebih ringan (Lam et al., 2006). Fototerapi beberapa jam setiap hari,
terutama di pagi hari, dapat mengubah ritme sirkadian sebanyak 2 hingga 3 jam
per hari (Neumeister, 2004). Fakta bahwa fototerapi efektif mengobati SAD
adalah bukti terkuat bahwa SAD dipicu oleh kurangnya sinar matahari di musim
dingin dan bukan oleh suhu yang lebih dingin.

b. Pengobatan Melatonin: Penggunaandan Perhatian

Hormon melatonin adalah pemain kunci dalam jam sirkadian otak yang merupakan
obat resep di beberapa negara dan tidak tersedia untuk umum di negara lain kecuali
Amerika yang menjadikan suplemen makanan tanpa resep. Resep ini tergantung pada
waktu penggunaannya, melatonin oral dapat menggeser beberapa siklus sirkadian maju
atau mundur sebanyak 30 hingga 60 menit per hari penggunaan Mengonsumsi melatonin
pada waktu yang salah dapat menjadi bumerang dan mempersulit penyesuaian harian.
Penggunaan di siang hari dapat menurunkan kewaspadaan (Graw et al., 1). Sehingga,
walaupun pengobatan ini menunjukkan beberapa keberhasilan tetapi perlu diperhaikan.

12
c. Jadwal Kegiaan Ulating

➢ Latihan fisik yang dilakukan pada waktu yang tepat dapat membantu menggeser
jam sirkadian (Mistlberger et al., 2000)

➢ Untuk mengurangi jet lag, dengan mulai menyinkronkan jam biologis ke zona
waktu baru terlebih dahulu. Sesuaikan jadwal tidur dan makan sebanyak 1
hingga 2 jam per hari, dimulai beberapa hari sebelum berangkat (Eastman et al.,
2005).

➢ Bagi pekerja dengan shift bergilir, gangguan sirkadian dapat dikurangi dengan
jadwal shift yang bergilir maju, bergerak dari shift siang ke shift malam hingga
shift malam, dibandingkan jadwal yang bergilir mundur dari shift siang ke
malam hingga shift malam (Knauth, 1996). Jadwal ke depan memanfaatkan
ritme sirkadian yang berjalan bebas. Ketika shift kerja berubah, lebih mudah
memperpanjang jam kerja daripada mempersingkatnya.

C. TIDUR DAN MIMPI

❖ TIDUR

1. Tahapan Tidur

Ritme sirkadian meningkatkan kesiapan untuk tidur dengan menurunkan


kewaspadaan, namun tidak mengatur tidur secara langsung. Sebaliknya, kira-kira
setiap 90 menit saat tidur, kita melewati tahapan berbeda di mana aktivitas otak dan
respons fisiologis lainnya berubah dengan cara yang secara umum dapat diprediksi
(Dement, 2005; Kleitman, 1963).

➢ Tahap 1: Saat tidur dimulai, pola gelombang otak menjadi lebih tidak teratur
dan lebih lambat, gelombang theta (3,5 hingga 7,5 cps) meningkat. Tahap ini
bentuk tidur ringan yang membuat mudah untuk dibangunkan. Mungkin
hanya akan menghabiskan beberapa menit saja yang dimana beberapa orang
mengalami mimpi, gambaran yang jelas, dan gerakan tubuh yang tiba-tiba.

➢ Tahap 2: Saat tidur menjadi lebih nyenyak, spindel tidur atau Semburan
aktivitas gelombang otak cepat selama 1 hingga 2 detik secara berkala (12
hingga 15 cps) sampai mulai muncul. Otot lebih rileks, pernapasan dan detak
jantung lebih lambat, mimpi mungkin terjadi, dan lebih sulit untuk
13
dibangunkan.

➢ Tahap 3: Tidur semakin nyenyak ditandai dengan kemunculan reguler sangat


lambat (0,5 hingga 2 cps) dan besar gelombang delta.

➢ Tahap 4: Gelombang delta semakin sering terjadi, dan ketika mendominasi


pola EEG. Tubuh rileks, aktivitas di berbagai bagian otak menurun, sulit
untuk dibangunkan, dan mungkin mengalami mimpi. Setelah 20 hingga 30
menit tidur, pola EEG berubah saat kembali melalui tahap 3 dan 2,
menghabiskan sedikit waktu di masing-masing tahap tersebut. Secara
keseluruhan, dalam waktu 60 hingga 90 menit setelah tidur,sudah
menyelesaikan siklus tahapan: 1-2-3-4-3-2. Pada titik ini, tahap tidur yang
sangat berbeda terjadi.

➢ Tidur REM: Pada tahun 1953, Eugene Aserinsky dan Nathaniel Kleitman
dari Universitas Chicago menemukan emas ilmiah ketika mereka
mengidentifikasi tahap tidur unik yang disebut Tidur REM,ditandai dengan
gerakan mata cepat (REM), gairah tinggi, dan sering bermimpi. Selama tidur
REM, gairah fisiologis dapat meningkat hingga ke tingkat siang hari. Denyut
jantung menjadi lebih cepat, pernapasan menjadi lebih cepat dan tidak
teratur, dan aktivitas gelombang otak menyerupai aktivitas terjaga aktif.
Meskipun setiap siklus melalui tahap-tahap tidur memakan waktu rata-rata
90 menit, tetapi seiring berjalannya waktu, tahap 4 dan kemudian tahap 3
hilang dan periode REM menjadi lebih lama.

2. Tidur Malam: Dari Otak ke Budaya

Otak mengarahkan perjalanan kita melalui tidur, namun otak tidak


mempunyai “pusat tidur” tunggal. Area tertentu di dasar otak depan (disebut otak
depan basal) dan di dalam batang otak mengatur tidur. Area batang otak lainnya—
termasuk tempat formasi retikuler melewati pons (disebut formasi retikuler
pontin)—memainkan peran kunci dalam mengatur tidur REM (Izac & Eeg, 2006).

Korteks motorik primer aktif, namun sinyal pergerakannya terhambat dan


tidak mencapai anggota tubuh. Area asosiasi di dekat korteks visual primer aktif,
yang mungkin mencerminkan pemrosesan gambar visual mimpi. Sebaliknya,
penurunan aktivitas terjadi di wilayah korteks prefrontal yang terlibat dalam fungsi
mental tingkat tinggi, seperti perencanaan dan analisis logis. Hal ini mungkin
menunjukkan bahwa pikiran kita yang tertidur tidak memonitor dan mengatur
aktivitas mentalnya dengan hati-hati seperti saat terjaga, sehingga memungkinkan
14
mimpi menjadi tidak logis dan aneh (Hobson et al., 2000).

Beberapa aspek tidur, seperti waktu dan lamanya, bervariasi antar budaya,
khususnya mereka yang hidup dalam budaya di iklim tropis, menikmati ritual
tradisional tidur siang selama 1 hingga 2 jam dan mengurangi lamanya tidur malam.
Norma budaya juga mempengaruhi beberapa perilaku terkait tidur. Beberapa
kebudayaan, orang tidur di lantai atau digantung di tempat tidur gantung, dan tidur
bersama keluarga.

3. Lama Waktu Tidur

a. ada perbedaan besar dalam jumlah tidur orang pada berbagai usia. Bayi baru
lahir rata-rata tidur 16 jam sehari, dan hampir separuh waktu tidurnya berada
dalam tahap REM. Namun seiring bertambahnya usia, akan mengalami
perubahan. Seperti, kurang tidur; Orang berusia 19 hingga 30 tahun rata-rata
tidur sekitar 7 hingga 8 jam setiap malam, dan orang dewasa lanjut usia rata-rata
hanya di bawah 6 jam. Tidur REM menurun drastis selama masa bayi dan anak
usia dini, namun tetap relatif stabil setelahnya. Di usia tua, hanya mendapatkan
sedikit tidur gelombang lambat.

b. Perbedaan jumlah tidur individu terjadi pada setiap usia. Survei tidur
menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga orang dewasa muda tidur antara jam 6,
sekitar 1 persen tidur lebih dari 10 jam setiap malam dan 1 persen kurang dari 5
jam.

4. Kurang Tidur

Mengakibatkan beberapa hal negatif pada tubuh, seperti mudah tersinggung,


pelupa, dan mual, serta dibutuhkan beberapa malam untuk pulih dari kurang tidur
yang berkepanjangan, dan kita tidak dapat mengganti seluruh waktu tidur yang telah
hilang.

5. Tujuan Tidur

a. Pemulihan tidur dan tubuh: Menurut model restorasi, tidur mengisi ulang tubuh
kita yang lelah dan memungkinkan kita pulih dari kelelahan fisik dan mental
(Hess, 1965).

b. Sebagai Adaptasi yang Berkembang: Model tidur evolusioner/sirkadian


menekankan bahwa tujuan utama tidur adalah untuk meningkatkan peluang

15
suatu spesies untuk bertahan hidup sehubungan dengan kerusakan
lingkungannya.

c. Konsolidasi Tidur dan Memori: Tingginya tingkat aktivitas otak dalam tidur
REM membantu kita mengingat peristiwa-peristiwa penting dengan
meningkatkannya konsolidasi memori, proses bertahap dimana otak mentransfer
informasi ke dalam memori jangka panjang (Smith dkk., 2004; Winson, 1990).
Berbeda dengan pandangan konsolidasi memori, beberapa peneliti berpendapat
bahwa fungsi tidur REM murni bersifat biologis. Aktivasi tidur REM yang
tinggi secara berkala menjaga otak tetap sehat selama tidur dan mengimbangi
periode rendahnya gairah otak selama tidur gelombang lambat yang nyenyak
(Vertes & Eastman, 2003). Saat ini, fungsi unik REM dan tahapan tidur lainnya
masih diperdebatkan.

6. Gangguan Tidur

a. Insomnia: mengacu pada kesulitan kronis dalam tertidur, tetap tertidur, atau
mengalami tidur nyenyak, sehingga seseorang yang mudah tertidur pun masih
bisa mengalami insomnia. Beberapa orang secara genetik cenderung mengalami
insomnia, selain itu, kondisi medis, gangguan mental seperti kecemasan dan
depresi, serta banyak obat-obatan dapat mengganggu tidur, begitu pula
kekhawatiran umum, stres di rumah dan di tempat kerja, kebiasaan gaya hidup
yang buruk, dan gangguan sirkadian seperti jet lag dan kerja shift malam. Salah
satu pengobatan, disebut kontrol stimulus, melibatkan pengondisian tubuh untuk
mengasosiasikan rangsangan di lingkungan tidur (seperti tempat tidur) dengan
tidur, bukan dengan aktivitas saat bangun tidur dan sulit tidur (Bootzin, 2002)

b. Narkolepsi: melibatkan rasa kantuk yang ekstrim di siang hari dan serangan tidur
yang tiba-tiba dan tidak terkendali yang dapat berlangsung kurang dari satu
menit hingga satu jam, dan dapat mengalami serangan tidur kapan saja. Orang
dengan narkolepsi juga mungkin mengalami serangan katapleksi, hilangnya
kekencangan otot secara tiba-tiba yang sering kali dipicu oleh kegembiraan dan
emosi kuat lainnya. Cataplexy adalah versi abnormal dari kelumpuhan otot
normal yang terjadi selama tidur REM malam hari, dan beberapa ahli
memandang narkolepsi sebagai kelainan di mana tidur REM mengganggu
kesadaran saat bangun. Penderita narkolepsi lebih rentan terhadap kecelakaan,
merasa kualitas hidupnya terganggu, dan mungkin salah didiagnosis oleh dokter
sebagai gangguan jiwa dibandingkan gangguan tidur (Kryger et al., 2002). Saat
ini belum ada obat untuk narkolepsi, namun obat stimulan dan tidur siang sering

16
kali mengurangi rasa kantuk di siang hari, dan obat antidepresan (yang menekan
tidur REM) dapat mengurangi serangan katapleksi.

c. Gangguan Perilaku Tidur REM: dimana tidak ada hilangnya tonus otot yang
menyebabkan kelumpuhan tidur REM yang normal. Jika terbangun, pasien RBD
sering melaporkan isi mimpi yang sesuai dengan perilaku mereka, seolah-olah
mereka sedang mewujudkan mimpinya. Dan mungkin saja akan menendang
dengan keras, melontarkan pukulan, atau bangun dari tempat tidur dan bergerak
dengan liar, meninggalkan kamar tidur dalam keadaan berantakan. Tak jarang
dapat melukai diri sendiri atau pasangan tidurnya. Penelitian menunjukkan
kelainan otak bisa mengganggu sinyal dari batang otak yang biasanya
menghambat pergerakan saat tidur REM.

d. Tidur berjalan: berjalan dalam tidur biasanya terjadi selama periode tidur
gelombang lambat. Sering kali menatap kosong dan tidak responsif terhadap
orang lain. Banyak dari mereka yang tampak samar-samar sadar akan
lingkungan saat mereka berjalan di sekitar furnitur, namun mereka dapat melukai
diri mereka sendiri secara tidak sengaja, seperti terjatuh dari tangga.
Kecenderungan untuk berjalan dalam tidur mungkin diturunkan, dan stres di
siang hari, alkohol, serta penyakit dan obat-obatan tertentu dapat meningkatkan
berjalan dalam tidur (Pressman, 2007). Perawatan mungkin termasuk
psikoterapi, hipnosis, dan membangunkan anak-anak sebelum mereka biasanya
berjalan dalam tidur (Frank et al., 1997). Namun bagi anak-anak, pendekatan
yang paling umum adalah menunggu sampai anak tersebut tumbuh besar sambil
menciptakan lingkungan tidur yang aman untuk mencegah cedera.

e. Mimpi Buruk dan Teror Malam: Mimpi buruk adalah mimpi buruk, dan hampir
semua orang mengalaminya. Seperti semua mimpi, mimpi ini lebih sering terjadi
selama tidur REM. Teror malam adalah mimpi menakutkan yang membuat
orang yang tidur hampir panik. Berbeda dengan mimpi buruk, teror malam
paling sering terjadi selama tidur gelombang lambat. yang membuat orang yang
tidur hampir panik. Berbeda dengan mimpi buruk, teror malam paling sering
terjadi selama tidur gelombang lambat.

f. Apnea Tidur: Berulang kali berhenti dan memulai kembali pernapasan saat tidur.
Apnea tidur paling sering disebabkan oleh penyumbatan pada saluran udara
bagian atas, seperti jaringan yang kendur karena otot kehilangan kekuatan saat
tidur. diobati dengan meminta orang yang tidur mengenakan masker yang terus
menerus memompa udara untuk menjaga saluran udara tetap terbuka (Sage et

17
al., 2001)

❖ MIMPI

Mimpi memainkan peran kunci dalam tatanan sosial di banyak budaya tradisional, seperti
Timiar (Senoi) di Malaysia (Greenleaf, 1973) Bagi Timiar, mimpi memberikan hubungan
dengan dunia roh, dan penafsiran mimpi, terutama jika dilakukan oleh dukun, sangat
dihargai.

1. Waktu Bermimpi

Sepanjang malam kita paling sering bermimpi saat tidur REM, saat banyak aktivitas,
wilayah otak adalah yang tertinggi. Bangunkan orang yang tidur REM dan memiliki
peluang sekitar 80 hingga 85 persen untuk mendapatkan mimpi. Sebaliknya, orang yang
terbangun dari tidur non-REM (NREM) hanya 15 hingga 50 persen untuk mendapatkan
mimpi. Selain itu, mimpi REM cenderung lebih hidup, aneh, dan seperti cerita
dibandingkan mimpi NREM. Menurut beberapa perkiraan, sekitar 25 persen mimpi
nyata yang kita alami setiap malam sebenarnya terjadi selama periode NREM (Solms,
2002)

2. Apa yang kita impikan?

Mimpi dapat berupa indah dan tak jarang sebagian orang bermimpi buruk, hal itu
disebabkan oleh latar belakang budaya, pengalaman hidup, dan kekhawatiran kita saat ini
yang dapat membentuk isi mimpi (Domhoff, 2001). Contoh: anak-anak Palestina yang
tinggal di wilayah kekerasan di Jalur Gaza lebih sering bermimpi tentang penganiayaan
dan agresi dibandingkan teman-teman mereka yang tinggal di wilayah tanpa kekerasan
(Punamäki & Joustie, 1998).

3. Tujuan dan Makna Mimpi

➢ Teori Psikoanalitik FreudSigmund Freud (1900/1953) percaya bahwa tujuan


utama bermimpi adalah pemenuhan keinginan, kepuasan keinginan dan
kebutuhan bawah sadar kita. Freud membedakan antara (1) mimpi konten
nyata,(cerita awal/benar) dan (2) kisahnya konten laten (keinginan tersembunyi)

➢ Teori aktivasi-sintesis, mimpi tidak memiliki fungsi tertentu, mimpi hanyalah


produk sampingan dari aktivitas saraf REM. Selama tidur REM, batang otak
membombardir pusat otak yang lebih tinggi dengan aktivitas saraf acak
(komponen aktivasi). Karena kita tertidur, aktivitas saraf ini tidak sesuai dengan

18
peristiwa sensorik eksternal apa pun, namun korteks serebral kita terus
melakukan tugasnya dalam menafsirkan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan
mimpi, sebuah persepsi yang memberikan kesesuaian terbaik dengan pola
aktivitas saraf tertentu yang ada setiap saat (komponen sintesis)

➢ Teori Kognitif Berdasarkan model mimpi pemecahan masalah, karena mimpi


tidak dibatasi oleh kenyataan, mimpi dapat membantu kita menemukan solusi
kreatif terhadap masalah dan kekhawatiran yang sedang kita hadapi (Cartwright,
1977). Namun hal ini tidak sama dengan menyelesaikan masalah ketika
bermimpi (Squier & Domhoff, 1998).

➢ Teori mimpi proses kognitif fokus pada proses bagaimana kita bermimpi dan
mengusulkan bahwa pikiran dalam mimpi dan bangun dihasilkan oleh sistem
mental yang sama di otak (Foulkes, 1982). Misalnya, penelitian menunjukkan
bahwa ada lebih banyak kesamaan antara proses mental bermimpi dan terjaga
dibandingkan yang diyakini secara tradisional (Domhoff, 2001).

4. Lamun Dan Fantasi Bangun

Lamunan adalah bagian penting dari kesadaran saat terjaga, memberikan rangsangan
selama periode kebosanan dan membiarkan kita mengalami berbagai emosi (Hartmann
et al., 2001). Lamunan biasanya melibatkan gambaran visual yang lebih besar
dibandingkan bentuk aktivitas mental lainnya, namun cenderung kurang jelas,
emosional, dan aneh dibandingkan mimpi malam hari (Kunzendorf et al., 1997). Di
dalam Kehidupan Rahasia Walter Mitty, penulis James Thurber menggambarkan Mitty
fiksi sebagai orang yang mengubah keberadaannya yang membosankan menjadi dunia
petualangan fantasi yang menggembirakan.

5. Faktor yang Berhubungan dengan Tidur dan Bermimpi

➢ Biologis

- Ritme sirkadian yang memengaruhi rasa kantuk dan kewaspadaan

- Evolusi siklus tidur-bangun yang bersifat adaptif pada setiap spesies

- Wilayah otak dan aktivitas saraf yang mengatur tidur dan bermimpi

- Proses genetik dan terkait usia yang memengaruhi lama dan pola tidur
19
- Faktor genetik yang mempengaruhi beberapa orang untuk mengalami
gangguan tidur

➢ Psikologis

- Mempelajari kebiasaan tidur yang memfasilitasi atau mengganggu tidur


malam yang nyenyak

- Kekhawatiran dan stres yang mungkin menghambat tidur

- Aktivitas kognitif saat tidur (misalnya mimpi, pikiran, gambar

- Masalah atau kekhawatiran yang sedang berlangsung yang mungkin muncul


dalam isi mimpi

➢ Lingkungan

- Siklus siang-malam dan isyarat waktu yang membantu mengatur ritme


sirkadian dan kesiapan tidur

- Peristiwa yang mengganggu ritme sirkadian dan mengganggu tidur

- Rangsangan malam hari yang memengaruhi kualitas tidur (misalnya ruangan


sepi atau bising)

- Peristiwa dan pengalaman dari kehidupan nyata yang muncul dalam isi
mimpi

- Norma budaya yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan tidur


(misalnya tidur bersama) dan makna yang melekat pada mimpi

D. NARKOBA

Seperti halnya tidur dan bermimpi, keadaan yang disebabkan oleh narkoba telah
membingungkan manusia selama berabad-abad. Obat-obatan tersebut mengubah kesadaran dengan
memodifikasi kimia otak, namun efek obat juga dipengaruhi oleh faktor psikologis, lingkungan, dan
budaya (Julien, 2005).

20
1. OBAT-OBATAN

Obat-obatan masuk ke aliran darah dan dibawa ke seluruh otak melalui jaringan luas pembuluh darah
kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini mengandung sawar darah otak, lapisan khusus sel padat yang
memungkinkan nutrisi penting melewatinya sehingga neuron dapat berfungsi. Penghalang darah-otak
menyaring banyak zat asing, namun beberapa, termasuk berbagai obat, dapat melewatinya. Begitu
masuk, mereka mengubah kesadaran dengan memfasilitasi atau menghambat transmisi sinaptik
(Julien, 2005).

1.1 Obat Sebagai Fasilitator Transmisi Sinaptik

Transmisi sinaptik melibatkan beberapa langkah dasar. Pertama, neurotransmitter disintesis


di dalam neuron prasinaps (pengirim) dan disimpan dalam vesikel. Selanjutnya,
neurotransmitter dilepaskan ke ruang sinaptik, tempat mereka berikatan dan menstimulasi
lokasi reseptor pada neuron postsinaptik (penerima). Ada beberapa pengaruh yang dapat
diakibatkan oleh obat agonis terhadap neurotransmitter;

● meningkatkan kemampuan neuron untuk mensintesis, menyimpan, atau melepaskan


neurotransmitter;
● mengikat dan menstimulasi tempat reseptor postsinaptik (atau memudahkan
neurotransmitter menstimulasi tempat tersebut);
● mempersulit penonaktifan neurotransmiter, misalnya dengan menghambat
pengambilan kembali.

1.2. Obat Sebagai Penghambat Transmisi Sinaptik

Bayangkan tindakan obat antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia. Untuk
mengembalikan aktivitas dopamin ke tingkat yang lebih normal, perusahaan farmasi telah
mengembangkan obat dengan struktur molekul yang mirip dengan dopamin, namun tidak
terlalu mirip. Saat mereka menempati lokasi tersebut, dopamin yang dilepaskan oleh neuron
prasinaps diblokir dan tidak dapat masuk, dan gejala skizofrenia biasanya berkurang. Obat
antagonis memiliki berbagai pengaruh terhadap neurotransmitter seperti;

● mengurangi kemampuan neuron untuk mensintesis, menyimpan, atau melepaskan


neurotransmitter; atau

21
● mencegah neurotransmitter berikatan dengan neuron pascasinaps, misalnya dengan
memasang dan menghalangi lokasi reseptor pada neuron pascasinaps

2. OTAK

Harus diingat bahwa otak mengandung bahan kimianya sendiri, endorfin, yang berperan utama
dalam menghilangkan rasa sakit. Obat-obatan seperti morfin dan kodein memiliki struktur
molekul yang mirip dengan endorfin. Obat agonis berperan untuk mengikat dan mengaktifkan
situs reseptor yang menerima endorfin. Sebagai analogi, bayangkan mencoba membuka
gembok dengan kunci. Biasanya molekul endorfin bertindak sebagai kunci, namun karena
bentuknya yang mirip, molekul opiat dapat masuk ke dalam kunci dan membukanya. Namun
sebaliknya, obat seperti antipsikotik yang digunakan untuk mengobati skizofrenia ( dengan
cara mengembalikan aktivitas dopamin ke tingkat yang lebih normal ) cocok dengan lokasi
reseptor dopamin tetapi tidak cukup baik untuk menstimulasinya.

3. TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN OBAT

3.1 Toleransi

Ketika suatu obat digunakan berulang kali, intensitas efek yang dihasilkan oleh
tingkat dosis yang sama dapat menurun seiring berjalannya waktu. Penurunan respon
terhadap suatu obat disebut toleransi. Jika suatu obat mengubah fungsi tubuh dengan cara
tertentu, misalnya dengan meningkatkan detak jantung, otak mencoba memulihkan
keseimbangan dengan memproduksi compensatory response yang merupakan reaksi
berlawanan dengan obat, seperti menurunkan detak jantung. Jika toleransi terhadap obat
berkembang dan orang tersebut tiba-tiba berhenti menggunakan obat tertentu, compensatory
response dalam tubuh dapat berlanjut dan tidak lagi diimbangi dengan efek obat serta orang
tersebut dapat mengalami reaksi kuat yang berlawanan dengan efek obat tersebut. Terjadinya
respon kompensasi setelah penghentian penggunaan narkoba dikenal sebagai penarikan.

22
3.2 Pembelajaran, Toleransi Obat dan Overdosis

Toleransi terhadap berbagai obat sebagian bergantung pada kebiasaan penggunaan


obat. Ketika penggunaan narkoba terus berlanjut, lingkungan fisik memicu respons
kompensasi yang semakin kuat, sehingga meningkatkan toleransi pengguna. Stimulus
lingkungan memicu respons kompensasi yang, tanpa adanya obat untuk menutupi efeknya,
menyebabkan pengguna merasakan gejala putus obat (Duncan et al., 2000). Jika pengguna
menggunakan dosis tinggi yang biasa digunakannya di lingkungan yang familiar, respons
kompensasi tubuh akan berada pada kekuatan penuh karena kombinasi reaksi kompensasi
terhadap obat itu sendiri dan juga terhadap rangsangan lingkungan yang sudah dikenal dan
terkondisi. Namun disisi lain, di sebuah lingkungan yang asing,respon kompensasi yang
terkondisi menjadi lebih lemah, dan obat memiliki efek fisiologis yang lebih kuat dari
biasanya (Siegel et al., 2000). Siegel menyimpulkan bahwa para pecandu tidak dilindungi
oleh respons kompensasi yang biasa mereka lakukan, sehingga mengakibatkan reaksi
“overdosis”.

3.3 Kecanduan dan Ketergantungan Narkoba

Kecanduan narkoba adalah pola penggunaan narkoba yang maladaptif yang


menyebabkan seseorang mengalami kesusahan besar atau secara substansial mengganggu
kehidupan orang tersebut.

Istilah ketergantungan psikologis sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana orang
sangat menginginkan suatu obat karena efeknya yang menyenangkan, meskipun mereka tidak
bergantung secara fisiologis. Namun, ini bukan istilah diagnostik, dan beberapa ahli obat merasa
istilah ini menyesatkan. Mengidam narkoba memang mempunyai dasar fisik; mereka berakar pada
pola aktivitas otak (Sun & Rebec, 2005)

23
3.4 Kesalahpahaman Mengenai Kecanduan Narkoba

Banyak orang secara keliru percaya bahwa jika suatu obat tidak menimbulkan toleransi
atau penghentian obat, maka seseorang tidak akan menjadi ketergantungan terhadap obat
tersebut. Pada kenyataannya, toleransi atau penghentian obat tidak diperlukan untuk
mendiagnosis kecanduan narkoba. Di kehidupan sekarang, masyarakat menganggap bahwa
motivasi untuk menghindari atau mengakhiri gejala putus obat adalah penyebab utama
kecanduan. Ketergantungan fisiologis seperti itu memberikan kontribusi yang kuat untuk
menggambarkan ciri-ciri ketergantungan obat, namun pertimbangkan hal-hal berikut:

● Orang bisa menjadi tergantung pada obat-obatan, seperti kokain, yang hanya menyebabkan
gejala putus obat ringan (Kampmann et al., 2002). Efek obat yang menyenangkan— sering
kali dihasilkan dengan meningkatkan aktivitas dopamine memainkan peran penting dalam
menyebabkan ketergantungan.
● Banyak pengguna narkoba yang berhenti dan berhasil melewati masa putus obat akhirnya
kembali menggunakan narkoba, meskipun secara fisiologis mereka tidak lagi bergantung.
● Banyak faktor yang mempengaruhi ketergantungan narkoba, termasuk kecenderungan
genetik, ciri-ciri kepribadian, keyakinan agama, pengaruh keluarga dan teman sebaya, serta
norma budaya.

4. DEPRESAN

Depresan menurunkan aktivitas sistem saraf. Dalam dosis sedang, mereka mengurangi
perasaan tegang dan cemas serta menghasilkan keadaan euforia yang rileks. Dalam dosis yang
sangat tinggi, depresan dapat memperlambat proses vital kehidupan hingga kematian.

4.1 Jenis-jenis Depresan

● Alkohol
Alkohol adalah narkoba yang paling banyak digunakan di banyak kebudayaan. Toleransi
tubuh terhadap alkohol berkembang secara bertahap dan dapat menyebabkan ketergantungan
fisiologis. Alkohol meredam sistem saraf dengan meningkatkan aktivitas GABA,
24
neurotransmitter penghambat utama otak, dan dengan menurunkan aktivitas glutamat,
neurotransmitter rangsang utama (Anton, 2001). Sedangkan untuk tingkat subjektif, alkohol
meningkatkan aktivitas beberapa neurotransmiter, seperti dopamin, yang menghasilkan
perasaan senang dan euforia (Lewis, 1996; Tupala & Tiihonen, 2004). Namun pada dosis
yang lebih tinggi, pusat kendali otak menjadi semakin terganggu, pemikiran dan koordinasi
fisik menjadi tidak teratur. Kebanyakan orang memiliki sikap negatif terhadap mengemudi
dalam keadaan mabuk dan mengatakan mereka tidak akan melakukannya. Mereka menyadari
bahwa kerugiannya seperti, resiko kecelakaan, cedera, kematian, dan penangkapan polisi
jauh melebihi kelebihannya misalnya, tidak perlu meminta tumpangan kepada seseorang.
Tara MacDonald dan rekan-rekannya beralasan bahwa ketika orang yang mabuk
memutuskan apakah akan mengemudi, mereka mungkin fokus pada pro atau kontra tetapi
tidak memiliki kapasitas perhatian untuk fokus pada keduanya. Maka dari itu mereka
memutuskan untuk melakukan sebuah penelitian mengenai pandangan orang-orang terhadap
minum dan mengemudi. Para peneliti berprediksi bahwa pada saat partisipan secara umum
ditanyakan pandangan mereka tentang minum dan mengemudi, kebanyakan jawaban yang
akan mereka terima adalah penolakan untuk melakukan hal demikian. Namun jika
ditanyakan kepada orang yang sedang dalam keadaan khusus jawabannya akan mengarah ke
hal negatif untuk melakukan hal demikian. Temuan dari kedua penelitian mendukung
prediksi tersebut. Peserta dalam keadaan sadar dan mabuk sama-sama menyatakan sikap
umum negatif terhadap minuman keras dan mengemudi dan menyatakan bahwa mereka tidak
akan mengemudi dalam keadaan mabuk. Namun ketika pertanyaan menyajikan keadaan
khusus, peserta yang mabuk menyatakan sikap yang lebih baik dan niat yang lebih besar
untuk mengemudi dibandingkan peserta yang tidak mabuk.
● Barbiturat dan Obat Penenang
Dokter meresepkan barbiturat (obat tidur) dan obat penenang (obat anti cemas, seperti
Valium) sebagai obat penenang dan relaksan. Seperti alkohol, mereka menekan sistem saraf
dengan meningkatkan aktivitas neurotransmitter penghambat GABA (Nishino et al., 2001).
Dosis ringan efektif sebagai obat tidur tetapi sangat membuat ketagihan. Ketika toleransi
meningkat, orang yang kecanduan mungkin mengonsumsi hingga 50 obat tidur sehari. Pada
dosis tinggi, barbiturat memicu bersemangat di awal, diikuti dengan bicara cadel, kehilangan
koordinasi, depresi, dan gangguan memori. Pengguna juga dapat mengalami overdosis

25
apabila dikonsumsi bersama alkohol, dapat menyebabkan ketidaksadaran, koma, dan bahkan
kematian.
5. STIMULAN

Sementara Stimulan meningkatkan penembakan saraf dan membangkitkan sistem saraf.


Stimulant meningkatkan tekanan darah, pernapasan, detak jantung, dan kewaspadaan secara
keseluruhan. Meskipun dapat meningkatkan suasana hati hingga mencapai titik euforia, hal tersebut
juga dapat meningkatkan sifat mudah marah.

5.1 Jenis-jenis Stimulan

● Amfetamin
Amfetamin adalah stimulan kuat yang diresepkan untuk mengurangi nafsu makan dan
kelelahan, mengurangi kebutuhan tidur, dan mengurangi depresi. Sayangnya, obat-obatan
tersebut digunakan secara berlebihan untuk meningkatkan energi dan suasana hati (Anthony
et al., 1997). Amfetamin meningkatkan aktivitas dopamin dan norepinefrin. Toleransi
berkembang, dan pengguna mungkin menginginkan efek yang menyenangkan. Akhirnya,
banyak pengguna berat mulai menyuntik dalam jumlah besar, menghasilkan lonjakan energi
secara tiba-tiba dan kenikmatan yang luar biasa. Dengan seringnya disuntik, mereka mungkin
tetap terjaga selama seminggu, sistem tubuh mereka berpacu dengan kecepatan yang sangat
tinggi. Menyuntikkan amfetamin sangat meningkatkan tekanan darah dan dapat
menyebabkan gagal jantung dan pendarahan otak (stroke); dosis tinggi yang diulang dapat
menyebabkan kerusakan otak (Ksir et al., 2008).
● Kokain
Kokain adalah bubuk yang berasal dari tanaman koka, yang tumbuh terutama di Amerika
Selatan bagian barat. Biasanya dihirup atau disuntikkan, membuat semangat, rasa
peningkatan kekuatan otot, dan euforia. Kokain meningkatkan aktivitas norepinefrin dan
dopamin dengan menghalangi pengambilan kembali. Dalam dosis besar, kokain dapat
menyebabkan muntah, kejang, dan delusi paranoid (Boutros et al., 2002).
● Ekstasi ( MDMA )
Ekstasi, juga dikenal sebagai MDMA (methylenedioxymethamphetamine), disintesis secara
buatan dan memiliki struktur kimia yang sebagian menyerupai metamfetamin (stimulan) dan
mescaline (halusinogen). Ekstasi menghasilkan perasaan senang, gembira, empati, dan

26
hangat. Pengaruh ekstasi pada otak terutama meningkatkan fungsi serotonin, yang
meningkatkan suasana hati seseorang tetapi dapat menyebabkan depresi agitasi. Setelah
obatnya habis, pengguna sering merasa lesu dan depresi akibat dari efek rebound yang
sebagian disebabkan oleh berkurangnya serotonin (Travers & Lyvers, 2005).

6. OPIAT

Opium merupakan produk opium poppy.Opium dan obat-obatan turunannya, seperti


morfin, kodein, dan heroin, disebut opiat. Opiat memiliki dua efek utama: meredakan nyeri dan
menyebabkan perubahan suasana hati, yang mungkin termasuk euforia. Opiat merangsang
reseptor yang biasanya diaktifkan oleh endorfin, sehingga menghasilkan pereda nyeri. Opiat juga
meningkatkan aktivitas dopamin, yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa opiat
menyebabkan euforia (Flores et al., 2006). Pengguna heroin merasakan sensasi yang intens
dalam beberapa menit setelah disuntik, namun mereka sering kali harus membayar mahal untuk
kesenangan sementara ini. Dosis tinggi dapat menyebabkan koma, dan overdosis dapat
menyebabkan kematian (Julien, 2005).

7. HALUSINOGEN

Halusinogen adalah obat kuat yang mengubah pikiran yang menghasilkan halusinasi.
Banyak yang berasal dari sumber alami; mescaline, misalnya, berasal dari kaktus peyote.
Halusinogen alami telah dianggap suci di banyak budaya suku karena kemampuannya
menghasilkan kondisi kesadaran yang tidak wajar dan kontak dengan kekuatan spiritual (Gambar
6.28). Halusinogen lain, seperti LSD (lysergic acid diethylamide, atau “acid”) dan phencyclidine
(“debu malaikat”) adalah sintetis. Halusinogen mendistorsi pengalaman sensorik dan dapat
mengaburkan batas antara kenyataan dan fantasi. Efek mental dari halusinogen selalu tidak dapat
diprediksi, bahkan jika dikonsumsi berulang kali. Ketidakpastian ini merupakan bahaya terbesar
dari halusinogen.

8. GANJA

Ganja atau mariyuana adalah psikotropika mengandung tetrahidrokanabinol sebagai


senyawa kimia utama yang membuat penggunanya mengalami euforia. Selain
tetrahidrokanabinol, ganja juga menghasilkan kanabidiol dan kanabinol. THC
(tetrahidrokanabinol) adalah bahan aktif utama ganja, dan mengikat reseptor pada neuron di

27
seluruh otak. Otak manusia sendiri pun memproduksi sendiri zat mirip THC yang disebut
cannabinoid (Devane dkk., 1992). Dengan penggunaan kronis, THC dapat meningkatkan
aktivitas GABA, yang memperlambat aktivitas saraf dan menghasilkan efek relaksasi (Ksir et al.,
2008). THC juga meningkatkan aktivitas dopamin, yang mungkin menyebabkan beberapa efek
subjektif yang menyenangkan (Maldonado & Rodriguez de Fonseca, 2002).

8.1 Kesalahpahaman Tentang Ganja

● Penggunaan kronis menyebabkan orang menjadi tidak termotivasi dan apatis terhadap segala
hal, suatu kondisi yang disebut sindrom amotivasi.
● Ganja menyebabkan orang mulai menggunakan obat-obatan yang lebih berbahaya. Tidak ada
pernyataan yang didukung oleh bukti ilmiah (Ksir et al., 2008; Rao, 2001).
● Penggunaan ganja tidak menimbulkan bahaya yang berarti. Faktanya, asap ganja
mengandung lebih banyak zat penyebab kanker dibandingkan asap tembakau. Pada dosis
tinggi, pengguna mungkin mengalami perubahan negatif dalam suasana hati, distorsi
sensorik, dan perasaan panik serta kecemasan. Meskipun penggunanya tinggi, ganja dapat
mengganggu waktu reaksi, berpikir, memori, belajar, dan keterampilan mengemudi (Lane et
al., 2005).
● Pengguna tidak bisa bergantung pada ganja. Sebenarnya, penggunaan mariyuana berulang
kali menghasilkan toleransi, dan pada dosis tertentu, beberapa pengguna kronis mungkin
mengalami gejala penarikan ringan, seperti kegelisahan. Orang yang menggunakan dosis
tinggi secara kronis dan tiba-tiba berhenti mungkin mengalami muntah-muntah, gangguan
tidur, dan mudah tersinggung. Sekitar 5 hingga 10 persen pengguna ganja mengembangkan
ketergantungan (Coffey et al., 2002).

9. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN EFEK NARKOBA

9.1 Faktor Biologis

Orang yang tumbuh dengan orang tua yang alkoholik dan non-alkohol memberikan
respons yang berbeda terhadap konsumsi alkohol dalam kondisi laboratorium. Orang dewasa
yang memiliki orang tua yang alkoholik biasanya menunjukkan reaksi hormonal dan

28
psikologis yang lebih cepat ketika kadar alkohol dalam darah meningkat, namun respons ini
menurun lebih cepat ketika kadar alkohol dalam darah menurun (Newlin & Thomson, 1997).
Dibandingkan dengan orang lain, mereka harus minum lebih banyak alkohol selama
beberapa jam untuk mempertahankan rasa mabuk. Secara keseluruhan, banyak ilmuwan
melihat bukti adanya peran genetik dalam menentukan daya tanggap dan kecanduan terhadap
alkohol (Knopik et al., 2004).

9.2 Faktor Psikologi

Pada tingkat psikologis, keyakinan dan harapan masyarakat dapat mempengaruhi


reaksi obat (George et al., 2000). Eksperimen menunjukkan bahwa orang mungkin
berperilaku seolah-olah mabuk jika mereka mengira telah mengonsumsi alkohol padahal
sebenarnya belum. Jika sesama peminum merasa senang dan suka berteman, dia mungkin
merasa diharapkan untuk merespons dengan cara yang sama. Faktor kepribadian juga
mempengaruhi reaksi dan penggunaan obat. Orang-orang yang mengalami kesulitan
menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup atau yang kontak dengan kenyataan sangat terbatas
mungkin sangat rentan terhadap reaksi narkoba yang parah dan negatif serta kecanduan
narkoba (Ray & Ksir, 2004).

9.3 Faktor Lingkungan

Lingkungan fisik dan sosial di mana suatu obat dikonsumsi dapat sangat
mempengaruhi reaksi pengguna. Seperti disebutkan sebelumnya, berada di lingkungan yang
akrab dengan penggunaan narkoba dapat memicu respons fisiologis kompensasi dan
keinginan mengidam. Selain itu, perilaku orang lain yang berbagi pengalaman menggunakan
narkoba memberikan isyarat penting tentang cara merespons, dan lingkungan yang tidak
bersahabat dapat meningkatkan kemungkinan terjerumus ke dalam narkoba seperti LSD
(Palfai & Jankiewicz, 1991). Pembelajaran budaya juga mempengaruhi bagaimana orang
merespons suatu obat (Bloomfield et al., 2002). Di banyak budaya Barat, peningkatan
agresivitas dan pergaulan bebas umumnya dikaitkan dengan mabuk berlebihan. Sebaliknya,
anggota budaya Camba di Bolivia biasanya meminum minuman berkadar 178 dalam jumlah
besar, tetap bersikap ramah dan tidak agresif di antara episode pingsan. Pada tahun 1700-an,
29
orang Tahiti yang diperkenalkan dengan alkohol oleh para pelaut Eropa awalnya bereaksi
dengan relaksasi yang menyenangkan ketika mabuk, tetapi setelahnya agresivitas mulai
ditunjukkan (Draw & Edgerton, 1969)

Secara keseluruhan kita dapat mengetahui bahwa:

● Narkoba mengubah kesadaran dengan memodifikasi aktivitas neurotransmitter. Agonis


meningkatkan aktivitas neurotransmitter, sedangkan antagonis menurunkannya.
● Toleransi berkembang ketika tubuh menghasilkan respons kompensasi untuk melawan efek
obat. Ketika penggunaan narkoba dihentikan, respons kompensasi berlanjut dan
menimbulkan gejala putus obat.
● Ketergantungan zat merupakan pola penggunaan narkoba yang maladaptif. Hal ini dapat
terjadi dengan atau tanpa ketergantungan fisiologis.
● Depresan, seperti alkohol, barbiturat, dan obat penenang, menurunkan aktivitas saraf.
Hambatan melemah yang sering dikaitkan dengan dosis alkohol rendah sebagian terjadi
karena alkohol menekan pusat penghambatan di otak.
● Amfetamin dan kokain adalah stimulan yang meningkatkan gairah dan meningkatkan mood.
Ekstasi menghasilkan kegembiraan tetapi juga dapat menyebabkan agitasi. Kecelakaan
depresi dapat terjadi setelah obat-obatan ini hilang. Penggunaan berulang kali dapat
menimbulkan efek psikologis negatif yang serius dan kerusakan tubuh.
● Opiat meningkatkan aktivitas endorfin, meredakan nyeri dan perubahan suasana hati yang
mungkin disertai euforia. Opiat penting dalam pengobatan tetapi sangat membuat ketagihan.
● Halusinogen, seperti LSD, sangat mendistorsi pengalaman sensorik dan dapat mengaburkan
batas antara kenyataan dan fantasi.
● Ganja menghasilkan relaksasi pada dosis rendah namun dapat menyebabkan kecemasan dan
distorsi sensorik pada dosis tinggi. Hal ini dapat mengganggu pemikiran dan refleks.
● Efek suatu narkoba bergantung pada aksi kimianya, lingkungan fisik dan sosial, norma
budaya dan pembelajaran, serta kecenderungan genetik, ekspektasi, dan kepribadian
pengguna.

E. HIPNOSE

30
Di Wina abad ke-18, dokter Anton Mesmer mendapatkan ketenaran karena menggunakan benda
bermagnet untuk menyembuhkan pasien. Dia mengklaim bahwa penyakit disebabkan oleh
penyumbatan cairan tubuh yang tidak terlihat dan teknik “magnetisme hewan” (yang kemudian
dinamai hipnose untuk menghormatinya) akan mengembalikan aliran normal cairan. Beberapa
dekade kemudian, ahli bedah Skotlandia James Braid menyelidiki fakta bahwa pasien yang
terhipnose sering kali mengalami kondisi trance sehingga mereka tampak tidak menyadari
lingkungan sekitar. Braid menyimpulkan bahwa mesmerisme adalah keadaan “tidur gugup” yang
dihasilkan oleh perhatian yang terkonsentrasi, dan dia menamainya kembali hipnose, setelah Hypnos,
dewa tidur Yunani.

1. STUDI ILMIAH HIPNOSE


Hipnose adalah keadaan sugestibilitas yang meningkat di mana beberapa orang dapat
mengalami situasi khayalan seolah-olah situasi tersebut nyata. Hipnosis menarik minat yang
besar karena banyak terapis yang menggunakannya dalam mengobati gangguan mental.
Induksi hipnosis adalah proses dimana seseorang (seorang peneliti atau penghipnotis)
mengarahkan orang lain (subjek) ke dalam hipnosis. Seorang penghipnotis mungkin meminta
subjek untuk duduk dan menatap objek di dinding, dan kemudian, dengan suara pelan, suruh
mata subjek menjadi berat. Tujuannya adalah untuk membuat subjek rileks dan
meningkatkan konsentrasinya. Berlawanan dengan kepercayaan umum, orang tidak dapat
dihipnotis tanpa kehendaknya. Bahkan ketika orang ingin dihipnotis, mereka berbeda dalam
hal seberapa rentan (yaitu, responsif) mereka terhadap sugesti hipnosis.Skala kerentanan
hipnosis berisi serangkaian saran lulus-gagal standar yang dibacakan kepada subjek setelah
induksi hipnosis.

2. PERILAKU HIPNOTIK DAN PENGALAMAN


Apakah hipnosis mengubah fungsi dan perilaku HIPNOSE psikologis seseorang? Mari kita
periksa beberapa klaim.
● Kontrol Yang Tidak Disengaja dan Berperilaku Melawan Kehendak Seseorang
Orang yang terhipnotis pengalaman secara subjektif tindakan mereka tidak disengaja (Kirsch,
2001). Martin Orne dan Frederick Evans (1965) menemukan bahwa subjek yang terhipnotis
dapat dibujuk untuk mencelupkan tangannya sebentar ke dalam larutan berbusa yang
menurut mereka bersifat asam dan kemudian melemparkan “asam” tersebut ke wajah orang

31
lain. Ini mungkin merupakan contoh yang mencolok dari kekuatan hipnosis untuk membuat
orang bertindak di luar keinginan mereka. Namun, Orne dan Evans menguji kelompok
kontrol yang diminta untuk berpura-pura bahwa mereka dihipnotis. Subyek-subyek ini sama
seperti subjek yang terhipnotis, yang memasukkan tangan mereka ke dalam “asam” dan
melemparkannya ke seseorang.
● Prestasi Luar biasa Secara Aksi
Demikian pula, hipnosis dapat mempunyai efek fisiologis yang mencolok. Dalam kasus ini
penghipnotis seringkali memperagakan hipnotis diatas panggung dan meminta penonton
melakukan pertunjukan fisik yang menakjubkan. Sebagai contoh, eksperimen klasik yang
melibatkan 13 orang yang sangat alergi terhadap racun daun pohon tertentu (Ikemi &
Nakagawa, 1962). Lima dari mereka dihipnotis, ditutup matanya, dan diberi tahu bahwa
sehelai daun dari pohon tidak berbahaya yang tidak mereka alergi menyentuh salah satu
lengan mereka. Faktanya, daun tersebut memang beracun, namun 4 dari 5 orang yang
dihipnotis tidak mengalami reaksi alergi. Selanjutnya, lengan lain dari masing-masing orang
yang terhipnotis digosok dengan daun dari pohon yang tidak berbahaya, namun ia diberi
informasi palsu bahwa daun tersebut beracun. Kelima orang tersebut menanggapi daun yang
tidak berbahaya tersebut dengan reaksi alergi.
● Toleransi Rasa Sakit
Ahli bedah Skotlandia James Esdaile melakukan lebih dari 300 operasi besar pada
pertengahan tahun 1800-an dengan menggunakan hipnosis sebagai satu-satunya obat bius.
Eksperimen mengkonfirmasi bahwa hipnosis sering kali meningkatkan toleransi rasa sakit
dan hal ini bukan disebabkan oleh efek plasebo (Montgomery et al., 2000). Bagi pasien yang
mengalami nyeri kronis, hipnosis dapat memberikan kelegaan yang bertahan selama
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun (Patterson, 2004). Kita tidak tahu persis
bagaimana hipnosis menghasilkan efek penghilang rasa sakit. Hal ini dapat mempengaruhi
pelepasan endorfin, mengurangi rasa takut pasien terhadap nyeri, mengalihkan perhatian
pasien dari nyeri, atau membantu mereka memisahkan nyeri dari pengalaman sadar (Barber,
1998).
● Amnesia Hipnotis
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 25 persen mahasiswa yang terhipnotis dapat
menyebabkan mengalami amnesia (Kirsch, 2001). Meskipun para peneliti sepakat bahwa
amnesia hipnotis dan pasca hipnotis terjadi, mereka memperdebatkan penyebabnya.

32
Beberapa orang percaya bahwa hal ini disebabkan oleh upaya sukarela untuk menghindari
memikirkan informasi tertentu, dan yang lain percaya bahwa hal ini disebabkan oleh
perubahan kondisi kesadaran yang melemahkan sistem memori normal (Kihlstrom, 1998;
Spanos, 1986).
● Hipnosis, Peningkatan Memori dan Kesaksian Saksi Mata
Berbeda dengan menyebabkan lupa, apakah hipnosis dapat meningkatkan daya ingat?
Lembaga penegak hukum terkadang menggunakan hipnosis untuk membantu ingatan para
saksi mata kejahatan. Dalam kasus terkenal tahun 1977 di California, sebuah bus yang
membawa 26 anak dan sopirnya menghilang tanpa jejak. Para korban, yang dikubur di bawah
tanah di dalam truk trailer yang ditinggalkan oleh tiga penculik, kemudian ditemukan dalam
keadaan hidup. Setelah penyelamatan, seorang ahli polisi menghipnotis sopir bus dan
memintanya untuk mengingat kembali kejadian tersebut dan sang pengemudi berhasil
mengingat dan menggambarkan truk pelaku. Dalam beberapa eksperimen, subjek yang
terhipnotis dan tidak terhipnotis dengan sengaja diberikan informasi palsu tentang suatu
peristiwa (misalnya, tentang perampokan bank). Nantinya, setelah subjek yang dihipnotis
dikeluarkan dari hipnotis, seluruh peserta diinterogasi. Orang yang sangat mudah disugesti
dan telah dihipnotis kemungkinan besar akan melaporkan informasi palsu tersebut sebagai
ingatan yang sebenarnya dan sering kali yakin bahwa ingatan palsu mereka akurat (Sheehan
et al., 1992).
3. TEORI HIPNOSIS
3.1 Teori Disosiasi
Beberapa peneliti mengusulkan teori disosiasi yang memandang hipnosis sebagai keadaan
berubah yang melibatkan pembagian (disosiasi) kesadaran. Ernest Hilgard (1977, 1991)
mengemukakan bahwa hipnosis menciptakan pembagian kesadaran di mana orang secara
bersamaan mengalami dua aliran kesadaran yang terputus satu sama lain. Aliran pertama
merespons sugesti penghipnotis, sedangkan aliran kedua—bagian kesadaran yang memantau
perilaku—tetap berada di latar belakang namun menyadari segala sesuatu yang terjadi.
Hilgard menyebut bagian kesadaran kedua ini sebagai pengamat tersembunyi.

3.2 Teori Sosial-Kognitif


Bagi ahli teori lain, hipnosis tidak mewakili keadaan khusus dari kesadaran yang terdisosiasi.
Alih-alih, teori sosial-kognitif mengusulkan bahwa pengalaman hipnosis dihasilkan dari

33
harapan orang-orang yang termotivasi untuk mengambil peran dihipnotis (Kirsch, 2001;
Spanos, 1991). Dalam sebuah penelitian klasik, Martin Orne (1959) menggambarkan
pentingnya ekspektasi tentang hipnosis. Selama demonstrasi di kelas, mahasiswa diberitahu
bahwa orang yang terhipnotis sering kali menunjukkan kekakuan otot tangan dominan secara
spontan. (Sebenarnya hal ini jarang terjadi.) Seorang kaki tangan dosen tersebut berpura-pura
terhipnotis dan, benar saja, dia “secara spontan” menunjukkan tangan yang kaku. Ketika
siswa yang menyaksikan demonstrasi tersebut kemudian dihipnotis, 55 persen di antaranya
menunjukkan tangan menjadi kaku tanpa ada sugesti dari penghipnotis. Peserta kelompok
kontrol melihat demonstrasi yang tidak menyebutkan atau menampilkan tangan yang kaku.
Tidak satu pun dari siswa ini yang menunjukkan tangan mereka menjadi kaku ketika mereka
dihipnotis.

4. OTAK YANG TERHIPNOTIS

Apakah dengan melihat ke dalam otak dapat membantu kita menentukan sifat hipnosis?
Untuk mengetahuinya perhatikan gambar berwarna dan gambar skala abu-abu pada gambar
diatas. Sekarang, lakukan dua tugas sederhana:
1. Perhatikan kembali gambar berwarna itu, bentuklah gambaran mentalnya, dan coba
hilangkan warnanya. Dengan kata lain, cobalah memvisualisasikannya seolah-olah itu adalah
sosok berskala abu-abu.
2. Selanjutnya, lihat gambar skala abu-abu, bentuklah gambaran mentalnya, dan coba
tambahkan warna padanya. Dengan kata lain, visualisasikan seolah-olah itu adalah sosok
berwarna.

Hasil studi pencitraan otak menyatu dengan temuan fisiologis lainnya yang mengarah pada
kesimpulan penting: Orang yang terhipnotis tidak berpura-pura melainkan mengalami
34
perubahan keadaan aktivasi otak yang sesuai dengan laporan verbal mereka (Raz & Shapiro,
2002). Dalam penelitian ini, ketika subjek yang terhipnotis secara mental menambahkan
warna pada gambar dan menghilangkan warna dari gambar tersebut, aktivitas otak mereka
berubah jauh melampaui apa yang dihasilkan oleh gambaran mental dalam keadaan tidak
terhipnotis. Demikian pula, penelitian lain mengungkapkan bahwa memberikan sugesti
pereda nyeri pada subjek yang dihipnotis tidak hanya menurunkan laporan subjektif mereka
mengenai nyeri namun juga menurunkan aktivitas di beberapa wilayah otak yang memproses
sinyal nyeri (Petrovic & Ingvar, 2002).

Secara keseluruhan kita dapat mengetahui bahwa:

● Hipnosis melibatkan peningkatan penerimaan terhadap sugesti. Orang yang terhipnotis


menganggap tindakannya tidak disengaja, namun hipnosis tidak memiliki kekuatan unik
untuk membuat orang berperilaku di luar kehendaknya, mengubah reaksi fisiologisnya, atau
melakukan prestasi luar biasa. Hipnosis meningkatkan toleransi rasa sakit, seperti halnya
teknik psikologis lainnya.
● Beberapa orang dapat digiring mengalami amnesia hipnotis dan amnesia pasca hipnotis.
Penggunaan hipnosis untuk meningkatkan daya ingat masih kontroversial. Hipnosis
meningkatkan bahaya bahwa orang akan mengembangkan ingatan yang menyimpang tentang
peristiwa sebagai respons terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan yang diajukan
oleh penghipnotis atau pemeriksa.
● Teori disosiasi memandang hipnosis sebagai perubahan keadaan kesadaran yang terbagi.
Teori sosial-kognitif menyatakan bahwa pengalaman hipnosis terjadi karena orang memiliki
harapan yang kuat tentang hipnosis dan sangat termotivasi untuk memasuki peran
terhipnotis.
● Pencitraan otak mengungkapkan bahwa orang yang terhipnotis menunjukkan perubahan
aktivitas saraf yang konsisten dengan pengalaman yang dilaporkan secara subyektif. Hal ini
mendukung pandangan bahwa hipnosis melibatkan keadaan yang berubah, namun apakah ini
merupakan keadaan disosiasi dan sejauh mana ekspektasi orang-orang menyebabkan keadaan
ini masih belum jelas.

BAB III
PENUTUP
35
Kesimpulan
Kesadaran mengacu pada kesadaran kita dari waktu ke waktu terhadap diri kita sendiri dan
lingkungan. Ini bersifat subyektif, dinamis, reflektif diri, dan penting bagi rasa identitas kita. Para
ilmuwan menggunakan laporan diri, perilaku, dan ukuran fisiologis untuk menentukan keadaan
kesadaran secara operasional. Freud percaya bahwa pikiran memiliki tingkatan sadar, prasadar, dan
tidak sadar. Dia memandang ketidaksadaran sebagai reservoir keinginan yang tidak dapat diterima
dan pengalaman yang tertekan. Psikolog kognitif memandang pikiran bawah sadar sebagai sistem
pemrosesan informasi dan membedakan antara pemrosesan terkontrol dan otomatis. Penelitian
terhadap agnosia visual, blindsight, dan priming mengungkapkan bahwa informasi yang diproses
secara tidak sadar dapat memengaruhi respons seseorang. Proses emosional dan motivasi juga dapat
terjadi secara tidak sadar dan mempengaruhi perilaku. Kesadaran meningkatkan kemampuan kita
untuk beradaptasi dengan lingkungan kita. Itu membuat informasi tersedia untuk wilayah otak yang
terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Ini juga membantu kita mengatasi situasi
baru dan mengesampingkan perilaku impulsif dan autopilot. Studi pencitraan otak terhadap orang
sehat dan orang yang mengalami kerusakan otak telah menemukan sirkuit saraf terpisah untuk
pemrosesan informasi sadar dan tidak sadar. Banyak ahli teori mengusulkan bahwa pikiran terdiri
dari modul pemrosesan informasi yang terpisah namun saling berinteraksi. Model ruang kerja global
mengusulkan bahwa kesadaran muncul dari aktivitas beberapa modul yang terpadu dan terkoordinasi
yang terletak di area otak berbeda.
Ritme sirkadian adalah siklus biologis 24 jam yang membantu mengatur banyak proses tubuh
dan memengaruhi kewaspadaan serta kesiapan kita untuk tidur. Inti suprachiasmatic (SCN) adalah
jam sirkadian utama otak. - Secara umum, kewaspadaan kita paling rendah terjadi pada dini hari
antara jam 12A.M. dan 6A.M. Kesalahan kinerja pekerjaan, kecelakaan industri besar, dan
kecelakaan mobil yang fatal mencapai puncaknya pada jam-jam ini. Ritme sirkadian kita yang
berjalan bebas kira-kira 24,2 jam, namun faktor lingkungan seperti siklus siangmalam membantu
mengatur ulang jam harian kita ke jadwal 24 jam. Jet lag, kerja shift malam, dan gangguan afektif
musiman (SAD) melibatkan gangguan lingkungan pada ritme sirkadian. Perawatannya termasuk
mengendalikan paparan cahaya, mengonsumsi melatonin oral, dan mengatur jadwal aktivitas harian.
Ritme sirkadian memengaruhi kecenderungan kita untuk menjadi orang yang suka bangun pagi atau
suka tidur, namun faktor budaya juga mungkin berperan.
Tidur memiliki lima tahapan utama. Tahap 1 dan 2 adalah tidur ringan, dan tahap 3 dan 4
adalah tidur gelombang lambat yang lebih dalam. Gairah fisiologis yang tinggi dan periode

36
pergerakan mata yang cepat menjadi ciri tahap kelima, tidur REM. Beberapa wilayah otak mengatur
tidur, dan jumlah tidur kita berubah seiring bertambahnya usia. Faktor genetik, psikologis, dan
lingkungan mempengaruhi durasi dan kualitas tidur. Kurang tidur berdampak negatif pada suasana
hati dan kinerja. Model restorasi mengusulkan hal itu kita tidur untuk memulihkan kelelahan fisik
dan mental. Model evolusi/sirkadian menyatakan bahwa setiap spesies mengembangkan siklus tidur-
bangun yang memaksimalkan peluangnya untuk bertahan hidup. Insomnia adalah gangguan tidur
yang paling umum, namun gangguan yang kurang umum seperti narkolepsi, gangguan perilaku tidur
REM, dan apnea tidur dapat menimbulkan konsekuensi yang serius. Berjalan dalam tidur biasanya
terjadi selama tidur gelombang lambat, sedangkan mimpi buruk paling sering terjadi pada saat tidur
REM. Teror malam menciptakan keadaan hampir panik dan biasanya terjadi pada tidur gelombang
lambat. Mimpi terjadi selama tidur tetapi paling sering terjadi selama periode REM. Mimpi buruk
sering terjadi. Latar belakang budaya kita, kekhawatiran terkini, dan peristiwa terkini memengaruhi
apa yang kita impikan. reud berpendapat bahwa mimpi memenuhi keinginan bawah sadar yang
muncul dalam bentuk terselubung dalam mimpi kita. Teori aktivasi-sintesis menganggap mimpi
sebagai upaya otak untuk menyesuaikan cerita dengan aktivitas saraf acak. Teori mimpi proses
kognitif menekankan bahwa pikiran dalam mimpi dan bangun dihasilkan oleh sistem mental yang
sama. Lamunan dan mimpi malam sering kali memiliki tema serupa. Orang-orang dengan
kepribadian yang cenderung berfantasi mempunyai lamunan yang jelas.
Narkoba mengubah kesadaran dengan memodifikasi aktivitas neurotransmitter. Agonis
meningkatkan aktivitas neurotransmitter, sedangkan antagonis menurunkannya. Toleransi
berkembang ketika tubuh menghasilkan respons kompensasi untuk melawan efek obat. Ketika
penggunaan narkoba dihentikan, respons kompensasi berlanjut dan menimbulkan gejala putus obat.
Ketergantungan zat merupakan pola penggunaan narkoba yang maladaptif. Hal ini dapat terjadi
dengan atau tanpa ketergantungan fisiologis. Depresan, seperti alkohol, barbiturat, dan obat
penenang, menurunkan aktivitas saraf. Hambatan melemah yang sering dikaitkan dengan dosis
alkohol rendah sebagian terjadi karena alkohol menekan pusat penghambatan di otak. - Amfetamin
dan kokain adalah stimulan yang meningkatkan gairah dan meningkatkan mood. Ekstasi
menghasilkan kegembiraan tetapi juga dapat menyebabkan agitasi. Kecelakaan depresi dapat terjadi
setelah obat-obatan ini hilang. Penggunaan berulang kali dapat menimbulkan efek psikologis negatif
yang serius dan kerusakan tubuh. Opiat meningkatkan aktivitas endorfin, meredakan nyeri dan
perubahan suasana hati yang mungkin disertai euforia. Opiat penting dalam pengobatan tetapi sangat
membuat ketagihan. Halusinogen, seperti LSD, sangat mendistorsi pengalaman sensorik dan dapat

37
mengaburkan batas antara kenyataan dan fantasi. Ganja menghasilkan relaksasi pada dosis rendah
namun dapat menyebabkan kecemasan dan distorsi sensorik pada dosis tinggi. Hal ini dapat
mengganggu pemikiran dan refleks. Efek suatu narkoba bergantung pada aksi kimianya, lingkungan
fisik dan sosial, norma budaya dan pembelajaran, serta kecenderungan genetik, ekspektasi, dan
kepribadian pengguna.
Hipnosis melibatkan peningkatan penerimaan terhadap sugesti. Orang yang terhipnotis
menganggap tindakannya tidak disengaja, namun hipnosis tidak memiliki kekuatan unik untuk
membuat orang berperilaku di luar kehendaknya, mengubah reaksi fisiologisnya, atau melakukan
prestasi luar biasa. Hipnosis meningkatkan toleransi rasa sakit, seperti halnya teknik psikologis
lainnya. Teori disosiasi memandang hipnosis sebagai perubahan keadaan kesadaran yang terbagi.
Teori sosial-kognitif menyatakan bahwa pengalaman hipnosis terjadi karena orang memiliki harapan
yang kuat tentang hipnosis dan sangat termotivasi untuk memasuki peran terhipnotis. Pencitraan otak
mengungkapkan bahwa orang yang terhipnotis menunjukkan perubahan aktivitas saraf yang
konsisten dengan pengalaman yang dilaporkan secara subyektif. Hal ini mendukung pandangan
bahwa hipnosis melibatkan keadaan yang berubah, namun apakah ini merupakan keadaan disosiasi
dan sejauh mana ekspektasi orang-orang menyebabkan keadaan ini masih belum jelas. Beberapa
orang dapat digiring mengalami amnesia hipnotis dan amnesia pascahipnotis. Penggunaan hipnosis
untuk meningkatkan daya ingat masih kontroversial. Hipnosis meningkatkan bahaya bahwa orang
akan mengembangkan ingatan yang menyimpang tentang peristiwa sebagai respons terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan yang diajukan oleh penghipnotis atau pemeriksa.

DAFTAR PUSTAKA
https://imuacid-
my.sharepoint.com/:b:/g/personal/prinska_damara_imu_ac_id/Eb207t6rNppHo3c_TyrF8HEBhBn1S
33fD8lolwF24UwExg?e=IyTZLc
38

Anda mungkin juga menyukai