Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBINEMIA

Untuk memenuhi tugas PKK Anak

Dosen pengampu : Dyah Dwi Astuti, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.An

Disusun Oleh :

MELIANA KRISNANDIAR

P27220018066

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA

2020
A. TEORI HIPERBILIRUBINEMIA
1. DEFINISI
Menurut Kristianti, dkk, (2015) hiperbilirubinemia adalah kondisi dimana
tingginya kadar bilirubin yang terakumulasi dalam darah dan akan menyebabkan
timbulnya ikterus, yang mana ditandai dengan timbulnya warna kuning pada
kulit, sklera dan kuku. Mathindas, dkk (2013) menjelaskan hiperbilirubinemia
ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah, baik oleh faktor
fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis ditandai dengan ikterus.
Ikterik neonatus adalah keadaan dimana mukosa neonatus menguning setelah
24 jam kelahiran akibat bilirubin tidak terkonjugasi masuk kedalam sirkulasi
( PPNI, 2017 ).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubinemia
merupakan peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang melebihi dari nilai
normal yang menyebabkan icterus.

2. ETIOLOGI
Mathindas, dkk (2013) menjelaskan etiologi ikterus yang sering ditemukan
ialah hiperbilirubinemia fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan
Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus,
dan polisitemi atau hiperviskositas. Sedangkan etiologi yang jarang ditemukan
yaitu defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom
Lucey- Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo- tiroid, dan hemoglobinopati.
Penyebab ikterik pada neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa factor, secara garis besar etioologi ikterik neonatus :
1. Penurunan Berat Badan abnormal (7-8% pada bayi baru lahir yang menyusui
ASI, >15% pada bayi cukup bulan)
2. Pola makan tidak ditetapkan dengan baik
3. Kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin
4. Usia kurang dari 7 hari.
5. Keterlambatan pengeluaran feses (meconium) (PPNI, 2017).
3. KLASIFIKASI
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis sering dijumpai pada bayi dengan berat lahir rendah, dan
biasanya akan timbul pada hari kedua lalu menghilang setelah minggu kedua.
Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua dan ketiga. Bayi aterm yang
mengalami hiperbilirubin memiliki kadar bilirubin yang tidak lebih dari 12
mg/dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan dapat hilang pada hari ke-14. Penyebabnya
ialah karna bayi kekurangan protein Y, dan enzim glukoronil transferase
b. Ikterus Patologis
Menjelaskan bahwa ikterus patologis merupakan ikterus yang timbul
segera dalam 24 jam pertama, dan terus bertambah 5mg/dl setiap harinya,
kadar bilirubin untuk bayi matur diatas 10 mg/dl, dan 15 mg/dl pada bayi
prematur, kemudian menetap selama seminggu kelahiran. Ikterus patologis
sangat butuh penanganan dan perawatan khusus, hal ini disebabkan karena
ikterus patologis sangat berhubungan dengan penyakit sepsis. Tanda-tandanya
ialah :
1) Ikterus muncul dalam 24 jam pertama dan kadar melebihi 12mg/dl
2) Terjadi peningkatan kadar bilirubin sebanyak 5 mg/dl dalam 24 jam
3) Ikterus yang disertai dengan hemolisis
4) Ikterus akan menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm , dan
14 hari pada bayi BBLR
(Atikah & Jaya, 2016)

Derajat ikterus pada neonatus menurut rumus Kramer

Zona Luas Ikterik Rata-rata Kadar Bilirubin


Bilirubin Serum ( mg)
( umol/L )
1 Kepala dan leher 100 5
2 Pusar- leher 150 9
3 Pusar- paha 200 11
4 Lengan dan 250 12
tungkai
5 Tangan dan kaki >250 16
Sumber : Atikah & Jaya (2016)
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI atau
susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar keatas, kejang, dan yang
paling parah bisa menyebabkan kematian (Mathindas, dkk 2013)
Menurut PPNI (2017) adapun gejala dan tanda mayor pada ikterik
neonatus yaitu:
1. Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total >2mg/dL, bilirubin
serum total pada rentang risiko tinggi menurut usia pada normogram spesifik
waktu)
2. Membran mukosa kuning
3. Kulit kuning
4. Sklera kuning

5. PATOFISIOLOGI
B
ilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada
langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme
oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat
digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-
paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir
tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam
plasma, terikat erat pada albumin.
Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin
baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat- obatan), bilirubin
yang bebas dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid
layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neuro-
toksisitas.
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana
bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan
konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pa- da saat lahir
namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan.
Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik
retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang
tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresi- kan kedalam
empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak
berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam
usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi
ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, kon jugasi, ekskresi,
dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini
berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang
terbatas pada hari-hari pertama kehidupan (Mathindas, dkk 2013).

6. PATHWAY
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Metode Visual
Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual,
sebagai berikut
1) Pemeriksaan dilakukan pada pencaha- yaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang
2) Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui
warna di bawah kulit dan jaringan subkutan
3) Keparahan ikterus ditentukan berdasar- kan usia bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentu-kan perlunya intervensi lebih lanjut.
Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena
hal ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan
morbiditas neonates.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan prinsip kerja
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang gelombang 450 nm).
Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus
yang sedang diperiksa.
d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

B
ilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh
karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum
yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar
bilirubin bebas, antara lain dengan metode oksidase-peroksidase.
Prinsip cara ini yaitu berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi
terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan
pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih
terarah.

P
emecahan heme menghasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang
ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan seba- gai indeks produksi
bilirubin (Mathindas, dkk 2013).

8. PENATALAKSANAAN
a. Fototerapi
Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5
mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus
difototerapi bila kon- sentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan
untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko
tinggi dan berat badan lahir rendah.
b. Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor
imunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat menurunkan
kemungkinan dilakukannya transfusi tukar.
c. Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang
rentan terhadap antibodi erirtosit maternal, menghilangkan eritrosit yang
tersensitisasi, mengeluarkan bilirubin serum, serta meningkatkan albumin
yang masih bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatannya dangan
bilirubin.
d. Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif
diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi
pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat
mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya melalui urin sehingga dapat
menurunkan kerja siklus enterohepatika (Mathindas, dkk 2013).

9. KOMPLIKASI
Komplikasi dari hiperbillirubinemia, yaitu :
a. Retardasi mental dan kerusakan neurologis
b. Gangguan pendengaran dan penglihatan
c. Kematian.
d. Kernikterus.
B. TEORI ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBINEMIA

1. PENGKAJIAN
a. Keadaan umum lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi).
Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot
(kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan
mengelupas (skin resh), sclera mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan
pada retina) perubahan warna urine dan feses.
b. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus, contoh : salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan atau data obyektifkter. Lahir
prematur / kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoxin dan aspixin.
3) Riwayat Post Natal
Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak
kuning.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak Polycythenia, gangguan
saluran cerna dan hati ( hepatitis ). Terdapat gangguan hemolisis darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi,
hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu
menderita DM
5) Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
6) Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahamann ortu terhadap bayi yang
ikterus.
c. Kebutuhan Sehari-hari
1) Nutrisi
Pada umumnya bayi malas minum (reflek menghisap dan menelan lemah)
sehingga BB bayi mengalami penurunan. Riwayat pelambatan / makanan
oral buruk, lebih mungkin disusui dari pada menyusu botol. Palpasi
abdomen dapat menunjukan pembesaran limpa, hepar.
2) Eliminasi
Biasanya bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan warna gelap
dan tinja berwarna pucat. Bising usus hipoaktif, pasase mekonium
mungkin lambat, feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama
pengeluaran bilirubin, urine gelap pekat, hitam kecoklatan ( sindrom bayi
bronze ).
3) Istirahat
Bayi tampak cengeng dan mudah terbangun, letargi, malas
4) Aktifitas
Bayi biasanya mengalami penurunan aktivitas, letargi, hipototonus dan
mudah terusik.
5) Personal hygiene
Kebutuhan personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu
d. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum lemah, Ttv tidak stabil terutama suhu tubuh (hipo/hipertemi).
Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot
(kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan
mengelupas ( skin resh ) bronze bayi syndrome, sclera mara kuning (kadang-
kadang terjadi kerusakan pada retina) perubahan warna urine dan feses.
1) Sirkulasi
a) Nadi apikal mungkin cepat dan atau tidak teratur dalam normal(120-
160 dpm)
b) Murmur jantung yang dapat didengar dapat menandakan paten ductus
arteriosus (PDA)
c) Pucat, menandakan anemia
2) Pernafasan
a) Mungkin dangkal, tidak teratur, pernafasan diagfragmatik intermittten
atau periodik(40-60 x/i)
b) Pernafasan cuping hidung, retraksi suprasternal, atau substernal,atau
derajat sianosis mungkin ada
c) Adanya bunyi ampelas pada auskultasi menanda sindrom disters
pernafasan (RDS)

3) Neorosensori
a) Sutura tengkorang dan fontanel tampak melebar, penonjolan fontanel
karena ketidak adekuatan pertumbuhan tulang mungkin terlihat
b) Kepala kecil dengan dahi menonjol, batang hidung cekung, hidung
pendek mencuat, bibir atas, dagu maju
c) Tonus otot dapat tampak kencang dengan fleksi ektremitas bawah dan
atas dan keterbatasan gerak
d) Pelebaran tampilan mata
e) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran
ekstraksi vakum. Edema umum, hepatosplenomegali, kehilangan
refleks moro mungkin terlihat
4) Pemeriksaan Laboratorium
a) Test comb pada tali pusat bayi baru lahir
Hasil positif test comb indirek menandakan adanya anti bodi Rh-
positif, Anti-A atau Anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari test
comb direk menandakan adanya sesitifitas ( Rh-positif, Anti-A, Anti-B
)sel darah merah dari neonates
b) Golongan darah bayi dan ibu
Mengidentifikasi inkompatibilitas ABO
c) Bilirubin total
Kadar direk ( terkonjugasi ) bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dl,
yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek ( tidak
terkonjugasi ) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam,
atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15
mg/dl pada bayi preterm ( tergantung pada berat badan)
d) Protein serum total
Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan,
terutama pada bayi preterm
e) Hitung darah lengkap

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Ikterik neonates b.d usia kurang 7 hari


b. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d ketidakseimbangan cairan (dehidrasi)
c. Deficit nutrisi b.d factor psikologis (keengganan untuk makan)
d. Termoregulasi tidak efektif b.d efek agen farmakologik (fototerapi)
e. Resiko cedera b.d kegagalan mekanisme tubuh
f. Resiko gangguan integritas kulit atau jaringan b.d terapi radiasi (fototerapi)
g. Menyusui tidak efektif b.d ktidakedekuatan reflek menghisap bayi
(PPNI, 2017)

3. INTERVENSI

DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


HASIL
1. Ikterik neonates Setelah dilakukan tindakan 1. Fototerapi: neonatus
b.d usia kurang 7 keperawatan selama 3 x 24 a. Kaji ulang riwayat
hari jam, maka didapatkan kriteria: maternal dan bayi
1. Adaptasi bayi baru lahir mengenai adanya
a. Warna kulit faktor risiko
b. Mata bersih terjadinya
c. Kadar bilirubin hyperbilirubinemia
normal 0,3-1,0 mg/dL b. Observasi tanda-tanda
2. Organisasi (Pengelolaan) (warna) kuning
bayi prematur c. Periksa kadar serum
a. Warna kulit bilirubin, sesuai
3. Fungsi hati , resiko kebutuhan, sesuai
gangguan. protokol dan
a. Pertumbuhan dan permintaan dokter.
perkembangan bayi d. Edukasikan keluarga
dalam batas normal mengenai prosedur dalam
b. Tanda-tanda vital perawatan isolasi.
bayi dalam batas e. Tutup mata bayi,
normal hindari penekanan yang
berlebihan.
f. Ubah posisi bayi
setiap 4 jam per protocol

2. Monitor tanda vital


a. Monitor nadi, suhu,
dan frekuensi
pernafasan dengan tepat
b. Monitor warna kulit suhu
dan kelembapan

2. Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi pemasukan dan


ketidakseimbangan keperawatan,selama 3 x 24 jam pengeluaran cairan
elektrolit b.d diharapkan tidak terjadi resiko 2. Perhatikan tanda-tanda
ketidakseimbangan ketidakseimbangan elektrolit dehidrasi
cairan (dehidrasi) dengan kriteria hasil : 3. Edukasi meningkatkan asupan
- turgor kulit baik, oral yaitu pemberian ASI
- wajah tidak tampak pucat 4. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian kebutuhan
cairan
3. Deficit nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor adanya penurunan
factor psikologis keperawatan,selama 3 x 24 jam berat badan
(keengganan untuk diharapkan adanya peningkatan 2. Monitor jumlah nutrisi dan
makan) berat badan dengan kriteria kalori
hasil : 3. Kaji adanya gangguan
- tidak ada tanda malnutrisi, menghisap dan menelan
- menunjukkan peningkatan 4. Kolaborasi dengan ahli gizi
fungsi pengecapan dan untuk menentukan jumlah
menelan, kalori dan nutrisi yang
- tidak ada penurunan berat dibutuhkan.
badan
4. Termoregulasi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu tubuh setiap 2
tidak efektif b.d keperawatan selama 3 x 24 jam jam sekali
efek agen diharapkan suhu dalam rentang 2. Monitor tekanan darah, nadi
farmakologik normal dengan kriteria hasil : dan respirasi
(fototerapi) - Suhu tubuh dalam rentang 3. Jelaskan pentingnya
normal termogulasi dan kemungkinan
- Nadi dan respirasi dalam efek negatif dari demam yang
batas normal berlebihan
- Tidak ada perubahan warna 4. Edukasi untuk memberikan
kulit pasien pakaian yang tipis
5. Kolaborasi pemberian
antipiretik

5. Resiko cedera b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji ststus neuorologis


kegagalan keperawatan selama 3 x 24 jam, 2. Hindarkan bayi dari
mekanisme tubuh diharapkan tidak ada resiko lingkungan yang berbahaya
cidera dengan kriteris hasil: 3. Edukasi keluaraga untuk
- klien terbebas dari cidera mencegah bahaya jatuh
4. Jaga keamanan lingkungan dan
pasien
6. Resiko gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor warna dan keadaan
integritas kulit atau keperawatan selama 3 x 24 jam, kulit setiap 4-8 jam
jaringan b.d terapi diharapkan integritas kulit 2. Oleskan lation/baby oil pada
radiasi (fototerapi) membaik dengan kriteria daerah yang tertekan
hasil : 3. Anjurkan pasien untuk
- Kadar bilirubin tidak menggunakan pakaian yang
menyimpang dari rentang longgar
normal (<10 mg/dl) 4. Mobilisasi pasien setiap 2 jam
- Warna kulit normal (tidak sekali
ikterik) Moorhead, (2016)

7. Menyusui tidak Setelah dilakukan tindakan 1. Evaluasi pola menghisap /


efektif b.d keperawatan selama 3 x 24 jam, menelan bayi
ktidakedekuatan diharapkan, pemeliharaan 2. Evaluasi pemahaman
reflek menghisap pemberian ASI tercukupi menghisap ibu tentang isyarat
bayi dengan kriteria hasil : menyusui dari bayi (misalnya
- Keberlangsungan efek rooting. Menghisap dan
pemberian ASI untuk terjaga)
menyediakan nutrisi bagi 3. Kaji kemampuan bayi untuk
bayi menghisap secara efektif
4. Ajarkan ibu cara menyusui
yang baik dan benar

4. IMPLEMENTASI
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan tindakan keperawatan
yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara
optimal.

5. EVALUASI
Dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keefektifan asuhan keperawatan yang
dilakukan dengan mengacu pada kriteria hasil.

DAFTAR PUSTAKA

Atikah, M.V. & Jaya. (2016). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, Balita,

Dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media

Herdman, T.H., & Kamitsuru, S. (2018). Nursing diagnoses: Definition and classification

2018-2020. New York: Thieme

Kosim, M.Sholeh, dkk.(2007). Hubungan Hiperbilirubinemia dan Kematian Pasien

yang Dirawat di NICU RSUP Dr Kariadi Semarang. Jurnal Sari Pediatri, Volume

9, Nomor 04
Kristiani, H.M. Etika, R. Lestari.P.(2015). Hyperbilirubinemia Treatment Of

Neonatus Jurnal Of Folia Medica Indonesian Vol. 51

Mathindas, S. Wiliar,R. Wahani,A .( 2013). Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.

Jurnal Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E.( 2016). Nursing outcomes

clasification (NOC). United Kingdom. Mocomedia

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor

T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi

dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Anda mungkin juga menyukai