Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN TBC

Disusun oleh :
1. Yaser Makatita G2A219013
2. Siti Erika Septiani G2A219014
3. Putri Wulansari G2A219015
4. Diah Rohana G2A219016
5. Lida Woryaningsih G2A219018

PROGRAM SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019/ 2020
KONSEP DASAR TBC PADA ANAK

1. PENGERTIAN
Tuberkulosis (TBC) adalah  penyakit akibat kuman Mycobakterium  tuberkculosis
sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru
yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000).
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim
paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal,
tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001).
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang
dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh
penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu
dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih
ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan
membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan menjadi positif, tidak semua anak yang
terinfeksi TB primer ini akan sakit TB.

2. ETIOLOGI/ FAKTOR RISIKO


a. Merokok pasif : Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak, sehingga
meningkatkan risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah fungsi sel, misalnya
dengan menurunkan tingkat kejernihan zat yang dihirup dan kerusakan kemampuan
penyerapan sel dan pembuluh darah (Reuters Health, 2007).
b. Resiko infeksi TBC : Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC
aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta lingkungan
yang tidak sehat. Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya
transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa
disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan karena kuman
TBC sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang terdapat batuk.
Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika ada sputum
pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada
sektret endobrokial anak.
c. Resiko penyakit TBC : Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum
berkembang sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara
bertahap seiring pertambahan usia. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi
mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi . Konversi
tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromis, diabetes
melitus, gagal ginjal kronik dan silikosis. Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan
yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.

3. PATOFISIOLOGI
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada TBC
anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar,
tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat lubang
untuk keluar melalui jalan napas. Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung
kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo,
2008).
Penyebab penyakit ini adalah mycobacterium tuberculosis. Penularan tuberculosis
paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab
dan gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi
ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat
masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel.
Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah
imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag yang
diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi
hipersensitifitas (lambat). Penularan TBC terjadi Karena menghirup udara yang mengandung
mycobacterium tuberculosis (M.Tb), di alveolus mycobacterium tuberculosis akan
difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan
makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan berkembangbiak dan menghancurkan makrofag.
Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kemotaksis kea rah M.Tb berada,
kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya.
Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid,
makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi
tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi.
Lesi pertama di alveolus (focus primer) menjalar ke kelenjar limfe hilus dan terjadi infeksi
kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan limfangitis akan membentuk kompleks primer.
Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau
hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian.
Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan
masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat
berkembangbiak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi
pneumonia, lesi endobronkhial, pleuritis atau TB Milier. Juga dapat menyebar secara
bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya.

4. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul. Pada
saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit. Beberapa
bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap
berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat
badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru
muncul gambaran flek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala
TBC yang benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau
anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh.
Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang,
ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu lama untuk
penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, Penyebab TBC adalah
kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC
(dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak
langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC anak sangat
sulit, karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa
dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis
anak TBC sedini mungkin. Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah
riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ini
ada, agak yakin anak positif TBC (Wirjodiardjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
a. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG sangat
cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus
dicurigai TBC, meskipun jarang.
b. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap bulan
berkurang.
c. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada, setelah
diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
d. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau tidak ada
alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena
TBC.
e. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa dicurigai sebagai
kemungkinan gejala TBC.
f. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang khas.
g. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux Test,
MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm.
Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif,
karena tidak memberikan reaksi terhadap MT.
Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan adalah dengan menemukan
adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau orang
yang diduga TBC.  Caranya? Yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak.  Pada
orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan.  Tapi lain ceritanya, pada anak-anak karena mereka,
apalagi yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak.  Karenanya, diperlukan
alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.
a. Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak spesifik (khas). 
Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya
tidak.  Atau underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB tetapi tidak
terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang tepat.  Diagnosa TBC pada anak
tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif. 
Karena tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya cara
untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji Tuberkulin (tes
Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah seseorang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk menegakkan
diagnosa atas penyakit TB.  Sebab tidak semua orang yang terinfeksi kuman TB lalu
menjadi sakit TB. 
b. Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah terinfeksi. 
Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi.  Ketika pada saat terinfeksi daya
tahan tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam
tubuh.  Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan
lama di dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala.  Atau pada orang lainnya
lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.
c. Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC, yang
telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan
bawah.  Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya untuk
diukur.  Yang diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk,
bukan warna kemerahannya (erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan
centimeter.  Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis sebagai 0
mm.
d. Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi berukuran
sama dengan atau lebih dari 10 mm.  Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun
yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau
lebih.  Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir,
masih kuat.  Pengecualian lainnya adalah untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan
HIV, sudah dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
e. Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi), artinya hasil
negatif padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB. Anergi dapat terjadi apabila anak
mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi),
sistem imun tubuhnya sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu,
baru saja divaksinasi dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja
terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang benar. Apabila dicurigai
terjadi anergi, maka tes harus diulang.

5. KOMPLIKASI
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
b. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi
bronchial.
c. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
b. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah)
positif untuk basil asam cepat.
c. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) : reaksi positif (area durasi 10 mm) terjadi
48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan
adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna
pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau
infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
d. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorax : dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium
lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk
rongga area fibrosa.
f. Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster : urien dan cairan
serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium tuberkulosis.
g. Biopsi jarum pada jaringan paru : positif untuk granula TB : adanya sel raksasa
menunjukan nekrosis.
h. Elektrolit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, ex : Hyponaremia,
karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat tidak normal
tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
i. Pemeriksaan fungsi pada paru : penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen
sekunder terhadap infiltrasi parenkim / fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit
pleural (TB paru kronis luas).

7. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksananaan Medis
Pengobatan TBC Kriteria 1 (tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita
TBC) dan Kriteria II (terinfeksi TBC/ tes tuberkulin positif, tetapi tidak menderita TBC
(gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan
pencegahan dengan pemberian INH 5 – 10 mg/kgbb/hari.
1) Pencegahan (profilaksis) primer
 Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+)
 INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-)
 Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau
sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
2) Pencegahan (profilaksis) sekunder
Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC.
Profilaksis diberikan selama 6 – 9 bulan.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas 2 kelompok yaitu :
 Obat primer : INH (isoniazid), Rifampicin, Ethambuthol, Streptomicin,
Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan oba-obat ini.
 Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin, dan Kanamisin.

Pengobatan TBC pada Anak


Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1) Jangka pendek. Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 – 3
bulan.
 Streptomisin inj 750 mg.
 Pas 10 mg.
 Ethambutol 1000 mg.
 Isoniazid 400 mg.
Kemudian dilanjutkan dengan jangka panjang, tata cara pengobatannya adalah setiap
2x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan
ditemukan terapi.
Terapi TB paru dapat dilakukan dengan minum obat saja, obat yang diberikan dengan
jenis :
 INH.
 Rifampicin.
 Ethambutol
Dengan fase selama 2x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan menjadi 6 -
9 bulan.
2) Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan dalam
pemeriksan sputum BTA (+) dengan kombinasi obat :
 Rifampicin.
 Isoniazid (INH).
 Ethambutol.
 Pyridoxin (B6).

Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan Rifampicin diberikan secara
bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan Rifampicin 15 mg/kgbb
Dosisi anak INH dan Rifampicin yang diberikan untuk kasus :
TBC tidak berat
 INH : 5 mg/kgbb/hari
 Rifampicin : 10 mg/kgbb/hari

TBC berat (milier dan meningitis)


 INH : 10 mg/kgbb/hari
 Rifampicin : 15 mg/kgbb/hari
 Dosis Prednison : 1-2 mg/khbb/hari (maksimal 60 mg)

b. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat dilakukan dengan
melakukan :
1) Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
2) Pemberian oksigen yang adekuat
3) Latihan batuk efektif
4) Fisioterapi dada
5) Pemberian nutrisi yang adekuat
6) Kolaborasi pemberian obat anti tuberkulosis (seperti: isoniazid, streptomisin,
etambutol, rifampicin, pirazinamid dan lain-lain)
7)   Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan perkembangan
anak yang menderita tuberculosis dengan membantu memenuhi kebutuhan aktivitas
sesuai dengan usia dan tugas perkembangan, yaitu (Suriadi dan Yuliani, 2001) :
 Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan,
keterampilan tangan, video game, televisi)
 Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus yang bervariasi
bagi anak.
 Melibatkan anak dalam mengatur jadual harian dan memilih aktivitas yang
diinginkan.
 Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit,
menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika
memungkinkan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
a. Identitas Data Umum
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
 Prenatal : kurang asupan nutrisi, terserang penyakit infeksi selama hamil.
 Intranatal : bayi terlalu lama di jalan lahir, terjepit jalan lahir, bayi menderita caput
sesadorium, cepal hematoma.
 Postnatal : kurang asupan nutrisi, bayi menderita penyakit infeksi, asfiksia icterus.
d. Riwayat Masa Lampau
 Penyakit yang pernah diderita
 Pernah di rawat di RS
 Obat-obatan yang digunakan/ riwayat pengobatan
 Riwayat kontak dengan penderita TBC
 Alergi
 Daya tahan tubuh yang menurun
 Imunisasi/ vaksinasi : BCG
e. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanda gejala klinis TBC serta terdapat benjolan/ bisul pada tempat-tempat kelenjar
seperti leher, inguinal, axila dan submandibular.
f. Riwayat Keluarga
Adakah yang menderita TBC atau penyakit infeksi lainnya. Biasanya keluarga ada yang
mempunyai penyakit yang sama.
g. Riwayat Kesehatan Lingkungan dan Sosial Ekonomi
 Lingkungan tempat tinggal
 Kondisi rumah
 Merasa dikucilkan
 Aspek psikososial (tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri)
 Biasanya pada keluarga yang kurang mampu
 Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama
dan biaya yang banyak.
 Tidak bersemangat dan putus harapan
h. Riwayat Psikososial Spiritual
Yang mengasuh, hubungan dengan anggota keluarga, hubungan dengan teman
sebayanya, pembawaan secara umum, pelaksanaan spiritual.
i. Pola Fungsi Kesehatan
Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
j. Pemeriksaan Fisik
k. Pemeriksaan Diagnostik dan Pengobatan
l. Pengkajian Tumbang menggunakan KMS, KPSP, KKA dan DDST
Kaji BBL, BB saat kunjungan

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan membran alveolar, proses infeksi.
b. Defisit pengetahuan tentang proses infeksi.
c. Risiko penyebaran infeksi b.d daya tahan tubuh menurun, malnutrisi, proses inflamasi,
kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
d. Ketidakpatuhan b.d pengobatan dalam jangka panjang
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia.
f. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orangtua b.d isolasi pasien

3. INTERVENSI
a. Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan membrane alveolar
 Tujuan : Anak akan mengalami pengurangan batuk dan dispnea
 Intervensi :
1) Berikan oksigen humidifier bagi anak dengan dispnea
R/: Dispnea masih dapat terjadi, hingga pemberian obat kemoterapetik dimulai
untuk mendapatkan efeknya, oksigen humidifier mengurangi dispnea dan
meningkatkan oksigenasi.
2) Tinggikan bagian kepala tempat tidur
  R/: Peninggian kepala menyebabkan otot diagframa mengembang
3) Berikan obat batuk ekspektoran sesuai dengan kebutuhan
R/: Ekspektoran membantu melepaskan mucus.

b. Deficit pengetahuan tentang proses infeksi


 Tujuan : Keluarga akan mengekspresikan pemahamannya tentang proses infeksi dan
pengobatan.
 Intervensi :
1) Ajarkan orangtua dan anak (jika tepat) tentang penularan dan pengobatan TB
R/: Pemahaman bagaimana penularan TB dan penanganannya membantu
mengurangi kecemasan dan peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan,
prosedur isolasi dan pengobatan yang diberikan.
2) Ajarkan orangtua dan anak (jika tepat) tentang bagaimana memberikan
pengobatan, berapa lama terapi pengobatan harus dijalani dan apa yang terjadi
bila anak tidak menjalani tuntas pengobatannya.
R/: Pemahaman bagaimana memberikan pengobatan dan risiko bila pengobatan
diberhentikan di awal akan meningkatkan kepatuhan.

c. Risiko penyebaran infeksi b.d daya tahan tubuh menurun, malnutrisi, proses
inflamasi, kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
 Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi
 Intervensi :
1) Review patologi penyakit fase aktif/ tidak aktif, menyebarnya infeksi melalui
bronchus pada jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah atau system limfe dan
potensial infeksi melalui batuk, bersin, tertawa, ciuman atau menyanyi.
R/: Membantu klien agar mau mengerti dan menerima terhadap terapi yang
diberikan untuk mencegah komplikasi.
2) Identifikasi orang-orang yang berisiko untuk terjadinya infeksi sperti anggota
keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan. Beritahukan kepada mereka
untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan terapi pencegahan.
R/: Pengetahuan dan terapi dapat meminimalkan kerentanan terjadinya
penyebaran.
3) Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk.
R/: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
4) Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
R/: Masker dapat mengurangi risiko penyebaran infeksi
5) Monitor temperature
R/: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi
6) Kolaborasi pemberian terapi untuk anak
R/: Kerjasama akan mempercepat proses penyembuhan.
7) Monitor sputum BTA. Klien dengan 3x pemeriksaan BTA negative, tetapi
diteruskan sampai batas waktu yang ditentukan.
R/: Pemantauan untuk terapi yang akan dilaksanakan selanjutnya.

d. Ketidakpatuhan b.d pengobatan dalam jangka panjang


 Tujuan : Orangtua dan anak akan mengikuti pedoman terapi
 Intervensi :
1) Kaji seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki orangtua dan anak tentang TB
dan hal ketidakpahaman yang dimilki.
R/: Pengkajian membantu menentukan apa yang orangtua dan anak butuhkan
untuk belajar agar membantu mereka memenuhi pengobatan jangka panjang.
2) Ajarkan orangtua dan anak (jika tepat) tentang program pengobatan dan alasan
menjalani pengobatan dengan tuntas, dan yakinkan tentang pendidikan yang
diperlukan.
R/: Pendidikan dan penguatan diberikan kepada orangtua dan anak dengan
informasi perlunya mengikuti program pengobatan dengan tuntas dan
menurunkan risiko kegagalan akibat deficit pengetahuan.
3) Identifikasi aletrnatif pemberi layanan yang dapat memberikan pengobatan anak
jika diperlukan.
R/: Hal ini menurunkan risiko pengabaian dosis yang dilakukan anak selama
pengobatan.

e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia.


 Tujuan : Anak menunjukkan tanda - tanda terpenuhinya kebutuhan nutrisi
 Intervensi :
3) Kaji nafsu makan anak dan fasilitasi anak dengan menyediakan makanan yang
menarik dan hangat.
R/: Dapat menjadi dasar dalam melakukan pendekatan pada anak saat memberi
makan sehingga anak akan dapat meningkatkan nafsu makannya.
4) Ijinkan anak untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak
meningkat.
R/: Memungkinkan anak akan mengkomsumsi makanan ektra sebagai tambahan
suplai nutrisi.
5) Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan
kualitas intake nutrisi.
R/: Dalam mengobati penyakit tuberkulosis diperlukan gizi yang cukup sehingga
pemberian makanan dengan diet tinggi protein dan kalori sangan diperlukan.
6) Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika kebutuhan nutrisi melalui oral
tidak mencukupi kebutuhan gizi anak.
R/: Pemberian makanan parenteral sangat perlu dilakukan jika anak tidak menelan
makanan atau muntah yang terus menerus.
7) Nilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan dan
membran mukosa)
R/: Indikator penilaian status nutrisi dapat menentukan jumlah nutrisi yang
dibutuhkan oleh anak.
8) Anjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan porsi kecil tetapi
sering.
R/: Porsi kecil tetapi sering memungkinkan anak dapat mengkomsumsi makanan
dengan cukup.
9) Timbang BB setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama.
R/: Untuk memantau status gizi atau perbaikan gizi anak.
10) Pertahankan kebersihan mulut anak.
R/: Dapat meningkatkan nafsu makan anak.
11) Jelaskan pentingnya intake nutrsisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit.
R/: Pendidikan kesehatan tentang nutrisi akan membuat orang tua dapat
berpartisipasi dalam memberikan gizi yang baik bagi anaknya.

f. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orangtua b.d isolasi pasien
 Tujuan : Orangtua tetap dapat menjalankan perannya.
 Intervensi :
1) Ajarkan orangtua tentang teknik isolasi yang benar
R/: Pemahaman dan mengikuti teknis isolasi dengan benar membantu mencegah
penularan TB yang memungkinkan orangtua bersama selama mungkin dengan
anaknya akan mengurangi perpisahan.
2) Motivasi orangtua dan anggota keluarga lainnya untuk mengunjungi anak secara
teratur
R/: Seringnya keluarga kontak akan mengurangi kecemasan terhadap perpisahan.

4. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama
melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.

5. EVALUASI
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subjektif
dan objektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai
atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan
analisa masalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI., 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI. Hal. 8
: 3 - 47.

Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Cetakan I.
Jakarta : Penerbit Salemba Medika.

Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Reuters Health, (2007). Merokok Pasif Dikaitkan Dengan Risiko TB Pada Anak-anak.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2. Alih Bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin
Asih, Jakarta : EGC.

Suriadi dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan Anak. Edisi
1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto.

Wirjodiardjo M. Buku Ajar Respirologi Anak. Ed 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI : 2008. Hal.
350 - 65.

https://www.slideshare.net/septianbarakati/makalah-tbc-pada-anak-42374525 diakses pada


tanggal 10 Mei 2020 Pukul 20.30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai