Disusun oleh :
1. Yaser Makatita G2A219013
2. Siti Erika Septiani G2A219014
3. Putri Wulansari G2A219015
4. Diah Rohana G2A219016
5. Lida Woryaningsih G2A219018
1. PENGERTIAN
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit akibat kuman Mycobakterium tuberkculosis
sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru
yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000).
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim
paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal,
tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001).
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang
dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh
penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Disamping itu
dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada penyakit TB harus lebih
ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan
membentuk imunitas sehingga uji tuberkulin akan menjadi positif, tidak semua anak yang
terinfeksi TB primer ini akan sakit TB.
3. PATOFISIOLOGI
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada TBC
anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar,
tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat lubang
untuk keluar melalui jalan napas. Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung
kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo,
2008).
Penyebab penyakit ini adalah mycobacterium tuberculosis. Penularan tuberculosis
paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab
dan gelap kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi
ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat
masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel.
Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah
imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag yang
diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi
hipersensitifitas (lambat). Penularan TBC terjadi Karena menghirup udara yang mengandung
mycobacterium tuberculosis (M.Tb), di alveolus mycobacterium tuberculosis akan
difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan
makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan berkembangbiak dan menghancurkan makrofag.
Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kemotaksis kea rah M.Tb berada,
kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya.
Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid,
makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi
tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi.
Lesi pertama di alveolus (focus primer) menjalar ke kelenjar limfe hilus dan terjadi infeksi
kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan limfangitis akan membentuk kompleks primer.
Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau
hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian.
Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan
masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat
berkembangbiak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi
pneumonia, lesi endobronkhial, pleuritis atau TB Milier. Juga dapat menyebar secara
bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya.
4. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul. Pada
saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit. Beberapa
bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap
berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat
badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru
muncul gambaran flek. Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala
TBC yang benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau
anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh.
Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang,
ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu lama untuk
penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, Penyebab TBC adalah
kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC
(dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak
langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC anak sangat
sulit, karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa
dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis
anak TBC sedini mungkin. Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah
riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ini
ada, agak yakin anak positif TBC (Wirjodiardjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
a. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG sangat
cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus
dicurigai TBC, meskipun jarang.
b. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap bulan
berkurang.
c. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada, setelah
diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
d. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau tidak ada
alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena
TBC.
e. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa dicurigai sebagai
kemungkinan gejala TBC.
f. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang khas.
g. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux Test,
MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm.
Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif,
karena tidak memberikan reaksi terhadap MT.
Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan adalah dengan menemukan
adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau orang
yang diduga TBC. Caranya? Yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak. Pada
orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan. Tapi lain ceritanya, pada anak-anak karena mereka,
apalagi yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak. Karenanya, diperlukan
alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.
a. Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak spesifik (khas).
Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya
tidak. Atau underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB tetapi tidak
terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang tepat. Diagnosa TBC pada anak
tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif.
Karena tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya cara
untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji Tuberkulin (tes
Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah seseorang terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk menegakkan
diagnosa atas penyakit TB. Sebab tidak semua orang yang terinfeksi kuman TB lalu
menjadi sakit TB.
b. Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah terinfeksi.
Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi. Ketika pada saat terinfeksi daya
tahan tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam
tubuh. Namun pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan
lama di dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala. Atau pada orang lainnya
lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.
c. Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC, yang
telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan
bawah. Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya untuk
diukur. Yang diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk,
bukan warna kemerahannya (erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan
centimeter. Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis sebagai 0
mm.
d. Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi berukuran
sama dengan atau lebih dari 10 mm. Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun
yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau
lebih. Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir,
masih kuat. Pengecualian lainnya adalah untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan
HIV, sudah dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
e. Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi), artinya hasil
negatif padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB. Anergi dapat terjadi apabila anak
mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi),
sistem imun tubuhnya sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu,
baru saja divaksinasi dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja
terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang benar. Apabila dicurigai
terjadi anergi, maka tes harus diulang.
5. KOMPLIKASI
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
a. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
b. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi
bronchial.
c. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada
proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
b. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah)
positif untuk basil asam cepat.
c. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) : reaksi positif (area durasi 10 mm) terjadi
48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan
adanya antibodi tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna
pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau
infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
d. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
e. Foto thorax : dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium
lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk
rongga area fibrosa.
f. Histologi atau kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster : urien dan cairan
serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium tuberkulosis.
g. Biopsi jarum pada jaringan paru : positif untuk granula TB : adanya sel raksasa
menunjukan nekrosis.
h. Elektrolit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, ex : Hyponaremia,
karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat tidak normal
tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
i. Pemeriksaan fungsi pada paru : penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen
sekunder terhadap infiltrasi parenkim / fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit
pleural (TB paru kronis luas).
7. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksananaan Medis
Pengobatan TBC Kriteria 1 (tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita
TBC) dan Kriteria II (terinfeksi TBC/ tes tuberkulin positif, tetapi tidak menderita TBC
(gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan
pencegahan dengan pemberian INH 5 – 10 mg/kgbb/hari.
1) Pencegahan (profilaksis) primer
Anak yang kontak erat dengan penderita TBC BTA (+)
INH minimal 3 bulan walaupun uji tuberkulin (-)
Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji tuberkulin ulang menjadi (-) atau
sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
2) Pencegahan (profilaksis) sekunder
Anak dengan infeksi TBC yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit TBC.
Profilaksis diberikan selama 6 – 9 bulan.
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas 2 kelompok yaitu :
Obat primer : INH (isoniazid), Rifampicin, Ethambuthol, Streptomicin,
Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan oba-obat ini.
Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin, dan Kanamisin.
Pengobatan TBC pada anak-anak jika INH dan Rifampicin diberikan secara
bersamaan, dosis maksimal perhari INH 10 mg/kgbb dan Rifampicin 15 mg/kgbb
Dosisi anak INH dan Rifampicin yang diberikan untuk kasus :
TBC tidak berat
INH : 5 mg/kgbb/hari
Rifampicin : 10 mg/kgbb/hari
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat dilakukan dengan
melakukan :
1) Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
2) Pemberian oksigen yang adekuat
3) Latihan batuk efektif
4) Fisioterapi dada
5) Pemberian nutrisi yang adekuat
6) Kolaborasi pemberian obat anti tuberkulosis (seperti: isoniazid, streptomisin,
etambutol, rifampicin, pirazinamid dan lain-lain)
7) Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan perkembangan
anak yang menderita tuberculosis dengan membantu memenuhi kebutuhan aktivitas
sesuai dengan usia dan tugas perkembangan, yaitu (Suriadi dan Yuliani, 2001) :
Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan,
keterampilan tangan, video game, televisi)
Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus yang bervariasi
bagi anak.
Melibatkan anak dalam mengatur jadual harian dan memilih aktivitas yang
diinginkan.
Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit,
menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika
memungkinkan.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas Data Umum
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Prenatal : kurang asupan nutrisi, terserang penyakit infeksi selama hamil.
Intranatal : bayi terlalu lama di jalan lahir, terjepit jalan lahir, bayi menderita caput
sesadorium, cepal hematoma.
Postnatal : kurang asupan nutrisi, bayi menderita penyakit infeksi, asfiksia icterus.
d. Riwayat Masa Lampau
Penyakit yang pernah diderita
Pernah di rawat di RS
Obat-obatan yang digunakan/ riwayat pengobatan
Riwayat kontak dengan penderita TBC
Alergi
Daya tahan tubuh yang menurun
Imunisasi/ vaksinasi : BCG
e. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanda gejala klinis TBC serta terdapat benjolan/ bisul pada tempat-tempat kelenjar
seperti leher, inguinal, axila dan submandibular.
f. Riwayat Keluarga
Adakah yang menderita TBC atau penyakit infeksi lainnya. Biasanya keluarga ada yang
mempunyai penyakit yang sama.
g. Riwayat Kesehatan Lingkungan dan Sosial Ekonomi
Lingkungan tempat tinggal
Kondisi rumah
Merasa dikucilkan
Aspek psikososial (tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri)
Biasanya pada keluarga yang kurang mampu
Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama
dan biaya yang banyak.
Tidak bersemangat dan putus harapan
h. Riwayat Psikososial Spiritual
Yang mengasuh, hubungan dengan anggota keluarga, hubungan dengan teman
sebayanya, pembawaan secara umum, pelaksanaan spiritual.
i. Pola Fungsi Kesehatan
Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan.
j. Pemeriksaan Fisik
k. Pemeriksaan Diagnostik dan Pengobatan
l. Pengkajian Tumbang menggunakan KMS, KPSP, KKA dan DDST
Kaji BBL, BB saat kunjungan
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan membran alveolar, proses infeksi.
b. Defisit pengetahuan tentang proses infeksi.
c. Risiko penyebaran infeksi b.d daya tahan tubuh menurun, malnutrisi, proses inflamasi,
kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
d. Ketidakpatuhan b.d pengobatan dalam jangka panjang
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia.
f. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orangtua b.d isolasi pasien
3. INTERVENSI
a. Gangguan pertukaran gas b.d kerusakan membrane alveolar
Tujuan : Anak akan mengalami pengurangan batuk dan dispnea
Intervensi :
1) Berikan oksigen humidifier bagi anak dengan dispnea
R/: Dispnea masih dapat terjadi, hingga pemberian obat kemoterapetik dimulai
untuk mendapatkan efeknya, oksigen humidifier mengurangi dispnea dan
meningkatkan oksigenasi.
2) Tinggikan bagian kepala tempat tidur
R/: Peninggian kepala menyebabkan otot diagframa mengembang
3) Berikan obat batuk ekspektoran sesuai dengan kebutuhan
R/: Ekspektoran membantu melepaskan mucus.
c. Risiko penyebaran infeksi b.d daya tahan tubuh menurun, malnutrisi, proses
inflamasi, kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.
Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi
Intervensi :
1) Review patologi penyakit fase aktif/ tidak aktif, menyebarnya infeksi melalui
bronchus pada jaringan sekitarnya atau melalui aliran darah atau system limfe dan
potensial infeksi melalui batuk, bersin, tertawa, ciuman atau menyanyi.
R/: Membantu klien agar mau mengerti dan menerima terhadap terapi yang
diberikan untuk mencegah komplikasi.
2) Identifikasi orang-orang yang berisiko untuk terjadinya infeksi sperti anggota
keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan. Beritahukan kepada mereka
untuk mempersiapkan diri untuk mendapatkan terapi pencegahan.
R/: Pengetahuan dan terapi dapat meminimalkan kerentanan terjadinya
penyebaran.
3) Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk.
R/: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
4) Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
R/: Masker dapat mengurangi risiko penyebaran infeksi
5) Monitor temperature
R/: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi
6) Kolaborasi pemberian terapi untuk anak
R/: Kerjasama akan mempercepat proses penyembuhan.
7) Monitor sputum BTA. Klien dengan 3x pemeriksaan BTA negative, tetapi
diteruskan sampai batas waktu yang ditentukan.
R/: Pemantauan untuk terapi yang akan dilaksanakan selanjutnya.
f. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orangtua b.d isolasi pasien
Tujuan : Orangtua tetap dapat menjalankan perannya.
Intervensi :
1) Ajarkan orangtua tentang teknik isolasi yang benar
R/: Pemahaman dan mengikuti teknis isolasi dengan benar membantu mencegah
penularan TB yang memungkinkan orangtua bersama selama mungkin dengan
anaknya akan mengurangi perpisahan.
2) Motivasi orangtua dan anggota keluarga lainnya untuk mengunjungi anak secara
teratur
R/: Seringnya keluarga kontak akan mengurangi kecemasan terhadap perpisahan.
4. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama
melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien.
5. EVALUASI
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subjektif
dan objektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai
atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan
analisa masalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI., 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Depkes RI. Hal. 8
: 3 - 47.
Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Cetakan I.
Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Mansjoer Arif, dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2. Alih Bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin
Asih, Jakarta : EGC.
Suriadi dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan Anak. Edisi
1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto.
Wirjodiardjo M. Buku Ajar Respirologi Anak. Ed 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI : 2008. Hal.
350 - 65.