Anda di halaman 1dari 145

MISTERI

DARI
GUNUNG MERAPI
Dalam Episode
HUTAN LARANGAN

MISTERI
DARI
GUNUNG
MERAPI
Dalam Episode
HUTAN LARANGAN

Karya : Asmadi Sjafar

Penerbit PT Elex Media Komputindo


Kelompok Gramedia _ Jakarta

Misteri Gunung Merapi

Dalam Episode HUTAN LARANGAN


Oleh Asmadi Sjafar

Desain & Tata Letak : Matizih


Desain Cover : Dul Halim

18100421
ISBN: 979-20-1783-0

Hak cipta Indonesia @ 2000

PT Elex Media Komputindo

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Diterbitkan pertama kali tahun 2000 oleh
PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia,
Anggota IKAPI, Jakarta

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi. atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
SATU

Hari semakin siang. Matahari sudah sepenggalah tingginya. Burung-burung berkicau, sudah
beterbangan lalu hinggap pada satu dahan dan pindah ke dahan lain. Ada yang mencari ulat untuk
makan mereka. Ada yang sedang mengajarkan anaknya terbang sehingga pohon pohon di desa
Seberang ramai dengan bunyi burung. Sementara itu binatang lain juga asyik mencari makan untuk
mengisi perut mereka yang kosong sejak tadi malam. Pohon-pohon jambu yang sedang berbuah
lebat, banyak diserbu oleh monyet-monyet untuk memetik buahnya. Sedangkan biawak liar,
berjalan berlahan-lahan mengintip mangsa.

Desa Seberang itu bagai desa mati, tidak berpenghuni. Sunyi sepi, kecuali bunyi binatang-binatang
liar yang berjalan kian kemari mencari mangsa.

Setiap rumah di Desa Seberang itu betul-betul Sepi. Karena orang-orang desa sudah pergi ke
sawah

1
untuk mengairi sawah-sawah mereka. Hanya di sebuah rumah sederhana, tampak seorang gads
yang cukup cantik. Gadis itu tidak ikut ke sawah bersama dengan kedua orang tuanya. Dia tinggal
sendiri di dalam rumah. Bahkan sekarang gadis itu berjalan mondar-mandir di dalam rumah.
Tampaknya gadis itu sedang gelisah.

“Maryamah. Bila hari sudah menjelang siang. datanglah ke sawahku. Aku menunggumu di sana.”
Kata-kata itu selalu terngiang di dalam telinganya.

Maryamah. Begitulah nama gadis yang menjadi kembang di desanya. Gadis cantik yang telah
menjadi rebutan pemuda-pemuda di desanya. Tapi yang berhasil memikat hati Maryamah adalah
seorang pemuda yang juga satu desa dengan dia. Pemuda tampan dan sederhana itu bernama
Aliman sehingga pemuda-pemuda lain menjadi mundur teratur. Apalagi telah didengar kabar,
bahwa seorang pemuda kaya raya yang berasal dari Desa Ilir ingin juga memikat diri Maryamah.
Bahkan pemuda itu memikat Maryamah dengan kekayaannya sehingga pemuda-pemuda desa
Seberang menghindar dari Maryamah. Karena anak orang kaya itu tidak mempedulikan halangan
apa pun. Yang penting, apa yang diingininya harus berhasil. Dan, dia tidak peduli bagaimana
keberhasilan itu bisa didapatkan.

Orang tua Aliman hanya mempunyai sawah sepetak kecil yang terletak di ujung desa. Maryamah
tahu betul letak sawah itu, karena mereka selalu membuat janji di sana.

Ketika hari sudah semakin siang. Maryamah Semakin gelisah. Karena janji dengan Aliman sudah

hampir sampai. Maka tidak lama kemudian Maryamah membuka pintu belakang rumahnya. Lalu
dia tutup kembali pintu itu perlahan-lahan, dan dia mulai melangkah menuju sawah orang tua
Aliman.
Maryamah berlari-lari kecil di bawah rerimbunan daun pohon-pohon randu yang banyak tumbuh
di desa, sambil sebentar-sebentar melihat kebelakang, kalau-kalau ada orang lain yang melihat dia.
Lalu tidak lama dia mulai menapak di pematang sawah yang licin. Karena embun pagi masih
membasahi rerumputan yang tumbuh di atas pematang. Beberapa ekor burung bangau dan
burung kepodang tampak hinggap di punggung kerbau yang sedang merumput. Burung kepodang
asyik mematoki binatang-binatang kecil yang ada di pungggung kerbau, sedangkan burung-burung
bangau asyik mencari binatang air yang banyak terdapat di sawah yang sedang dialiri air.

Setelah letih berjalan di pematang sawah yang sangat dikenalnya, akhirnya Maryamah sampai juga
ke sawah orang tua Aliman.

Di sawah yang sepi itu telah berdiri seorang pemuda tampan bernama Aliman. Pemuda itu
menyunggingkan senyum ketika dia tahu bahwa yang datang itu adalah kekasihnya, Maryamah.

“Tidak ada yang melihat kau kemari?" Aliman bertanya dengan tenang.

“Tidak ada, Kang.” Maryamah menjawab dengan nafas yang masih terengah-engah.

”Hayo kita duduk di sana. Di dangau orang tuaku."

“Ya." Jawab Maryamah tegang.

Lalu kedua muda-mudi itu berjalan menuju dangau yang terletak di sawah orang tua Aliman.
Setelah sampai, keduanya duduk di dangau kecil itu.

Suasana tetap menjadi sepi dan sunyi, karena keduanya masih membisu.

“Apa yang akan Kakang tanyakan padaku, Kang?” Maryamah mulai membuka percakapan.

“Aku mendengar kabar, bahwa kau telah dilamar oleh orang tua Raisman dari Desa llir. Betulkan
begitu, Maryamah?”

“Ya, Kang." Maryamah menjawab takut.

“Lalu apa jawab orang tuamu?”

“Bapak dan ibu hanya bisa mengiyakan. Karena bapak mempunyai hutang kepada orang tua
Raisman.” Aliman terkesiap mendengar keterangan Maryamah.

"Berapa besar hutang orang tuamu kepada orang kaya itu, Maryamah?” Aliman mulai berpikir
bagaimana caranya membayar hutang orang tua Maryamah.

“Hutang Bapak sangat besar sehingga Bapak tidak sanggup membayarnya, walaupun dengan
menjual sawah dan rumah."
“Oooh Bapakmu sudah terjerat hutang kepada orang kaya itu." Suasana kembali sepi. Angin
berhembus perlahan-lahan mempermainkan anak rambut di kepala Maryamah. “Kapan batas
hutang itu harus dibayar, Maryamah?"

“Hari ini. Kalau tidak, maka sebulan lagi aku akan dikawinkan dengan Raisman.” Maryamah berkata
lirih.

Mendengar kata-kata itu, muka Aliman menjadi pucat, karena sebulan lagi dia akan kehilangan

kekasih yang sangat dicintainya ini. Sedangkan untuk menolong orang tua Maryamah membayar
hutang kepada orang tua Raisman, tentu dia tidak sanggup. Karena, kedua orang tuanya pun
adalah petani yang mempunyai sawah tidak luas. Sedangkan orang tua Aliman tidak mempunyai
harta kecuali hanya sawah dan rumah tidak begitu bagus yang kini mereka tempati.

“Ah cukup menyedihkan berita ini, Maryamah." Aliman berkata sambil menatap jauh ke ujung
sawah yang terbentang luas. Maka dengan menguatkan hatinya, Aliman meminta Maryamah
pulang. Karena tidak ada lagi jalan lain yang bisa ditempuhnya.

“Aku tidak mau pulang, Kang. Aku tidak mau berpisah dengan Kakang?" Maryamah mulai terisak
menahan sedih.

“Lebih baik kau pulang dulu. Aku akan memikirkan jalan yang terbaik buat kita."

“Betul?"

“Betul”

“Kakang janji?"

“Aku belum pernah ingkar janji padamu, Maryamah.”

“Baiklah. Aku akan pulang. Besok pagi kita bertemu lagi di sini.“ Maryamah menyeka air matanya.

Jangan pagi hari, Maryamah. Lebih baik siang hari seperti sekarang ini. Karena orang-orang desa
sudah selesai mengairi sawah sehingga persoalan yang kau hadapi bisa kita pecahkan tanpa
diketahui oleh orang lain.”

5
“Ya. Kang. Aku pulang dulu.” Maryamah berdiri lalu berjalan meninggalkan dangau orang tua
Aliman. Sementara Aliman memandang kekasihnya dengan pandangan yang muram. Ketika sosok
tubuh Maryamah sudah hilang di balik rerimbunan daun-daun pohon randu, Aliman menarik nafas
panjang. Pandangannya menyapu seluruh sawah yang baru saja diairi itu. Gemericik air sawah
terdengar disela-sela sepoi angin gunung bertiup perlahan-lahan.
“Untuk apa besok aku bertemu lagi dengan Maryamah? Karena besok pun belum tentu aku bisa
memecahkan persoalan yang dihadapi oleh orang tua Maryamah.”

Di rumah Maryamah baru saja kedatangan tamu. Tamu yang dimaksud tidak lain adalah kedua
orang tua Raisman bersama dengan Raisman sendiri. Mereka ke sana ingin menentukan hari
pernikahan Raisman dengan Maryamah.

“Jadi kita tentukan saja hari perkawinan anak kita ini, Muntala."

“Aku akan coba membayar hutang-hutangku, Ranjadi. Hal ini tidak usah kita selesaikan dengan
menjodohkan kedua anak kita." Mendengar jawaban itu perasaan Ayah Raisman yang bernama
Ranjadi bagai dibakar. Karena seolah-olah dia ditantang oleh Ayah Maryamah sehingga dengan
cepat dia menjawab kata-kata Ayah Maryamah.

“Asal aku datang kemari kau selalu mengatakan akan membayar hutang-hutangmu." Mata Ranjadi
menatap tajam pada mata Muntala sehingga lakilaki tua itu menundukkan kepalanya. “Kapan kau

akan melunasi hutang-hutanmu, Muntala? Kapan? Sekarang sudah jatuh tempo untuk pelunasan
itu."

“Aku akan membayar hutang-hutangku dengan memberikan sawah dan rumah ini kepadamu."

“Sawah dan rumah ini. Tidak cukup, Muntala. Karena harganya baru seperempat dari hutang-
hutangmu padaku.” Orang tua Maryamah tambah menundukkan kepalanya. Sedangkan Raisman
memandang Ayahnya dan Ayah Maryamah bergantian. Dalam hatinya dia tetap berharap, agar
Ayah Maryamah mau menerima tawaran Ayahnya untuk mengawinkan dia dengan Maryamah.

“Pikirkanlah baik-baik. Jangan sampai aku berubah pikiran.”

“Baiklah. Tawaranmu aku terima." Jawaban Ayah Maryamah membuat perasaan Raisman menjadi
plong. Dia mulai berkhayal yang bukan-bukan. Namun khayalannya tiba-tiba diputuskan oleh kata-
kata Ayahnya.

“Hah, begitu." Ayah Raisman yang bernama Ranjadi berdiri lalu memegang pundak Ayah
Maryamah. Lalu dia meyakinkan jawaban Muntala sekali lagi. “Jadi kau mau mengawinkan anakmu
dengan anakku, hah?”

“Ya." Ayah Maryamah menjawab dengan jawaban hambar dan dingin.


“Kalau begitu kau harus memingit anakmu, Maryamah. Karena sebulan lagi kita akan mengadakan
pesta besar-besaran untuk merayakan perkawinan anak kita. Akan kita adakan pesta perkawinan
itu selama tujuh hari tujuh malam.

Seluruh orang desa ini akan kita beri makan sepuas-puasnya."


“Ya. Tapi aku tidak punya uang untuk pesta sebesar itu.”

“Kau tidak usah khawatir. Aku yang akan menanggung semua biaya pesta itu. Bahkan dari sekarang
akan aku bayar orang yang bisa menjaga anakmu dari gangguan orang lain. Sekarang kau cari
orang-orang untuk keperluan ini. Aku yang bayar mereka."

"Ya. Terima kasih."

“Maaf, Paman. Apakah Maryamah bisa aku temui sekarang?"

“Oh, bisa-bisa. Kenapa tidak?” Dengan rasa agak bangga Muntala menjawab pertanyaan Raisman.
Bahkan tidak lama kemudian Muntala memanggil Maryamah dengan panggilan wibawa seorang
Ayah terhadap anaknya.

“Kakang Munlata, Bukankah Maryamah tadi sedang pergi ke sawah?" Mendengar kata-kata istrinya
Muntala sedikit terkejut.

“Oh, aku tidak tahu kalau dia pergi ke sawah. Kapan dia pergi dan siapa yang dia temui di sawah
Nyi Surmi?”

“Sejak tadi dia pergi ke sawah. Aku bertemu dan berpapasan dengan dia tadi sepulang dari sawah.
Katanya dia ingin menemui Aliman di sana."

“Ah, masih saja dia menemui pemuda itu di sana." Muntala menjawab keterangan istrinya dengan
kecewa. Kecewa atas jawaban istrinya yang seha-rusnya tidak perlu disampaikan kepada kedua
orang tua Raisman dan Raisman sendiri. Tiba-tiba Ayah Raisman mengajukan pertanyaan.

“Siapa Aliman itu, Muntala?”

“Eeeee... pemuda yang selalu menemui Maryamah..." Muntala menjawab dengan hati-hati.

“Oh pacarnya? Begitu?” Kata-kata Muntala disambut dengan dingin oleh Ayah Raisman. Ayah
Maryamah yang bernama Muntala dan Ibunya yang bernama Nyi Surmi, hanya terdiam mendapat
jawaban seperti itu. Sedangkan Raisman berpikir keras mendapat kenyataan ini. Begitu pula kedua
orang tuanya. Rasanya berita seperti ini menjadi tamparan bagi Ranjadi dan Lisnaya. Sedangkan
kedua orang tua Maryamah begitu pula.

Suasana menjadi sunyi, sunyi bagai tidak ada orang di dalam rumah itu. Tiba-tiba Ranjadi bicara
memecah kesunyian.

“Bagaimana? Kita pulang sekarang?”

“Yaaah, baiklah.” Lisnaya menjawab ajakan suaminya.


“Jadi begitu saja, Muntala. Biarkan Maryamah menghabiskan sisa-sisa masa lajangnya. Mulai besok
dan selanjutnya harus kau pingit dia di rumah. Jangan beri kesempatan keluar lagi.”

“Ya, terima kasih. Akan saya laksanakan apa yang telah dipesankan padaku, Juragan.”

“Dan kau, Raisman. Kita pulang sekarang. Nanti baru kita lanjutkan pertemuan ini." Mereka lalu
berdiri dari tempat duduk. Tiba-tiba Raisman bicara sambil menahan marah.

“Maaf Ayah, maaf Ibu. Aku ingin ke sawah menemui Maryamah.” Kedua orang tua Raisman agak
berpikir mendapat jawaban anaknya. Ranjadi

tahu betul sifat Raisman sehingga Ranjadi bicara perlahan-lahan pada anaknya.

“Yaaah, terserah kamulah. Tapi jaga dirimu baik-baik. Jangan sampai terjadi hal yang tidak-tidak.”

“Ya. Ayah.” Raisman bicara sambil menahan marah.

Rombongan kecil itu berjalan meninggalkan rumah Maryamah. Orang tua Raisman menaiki kereta
kuda yang telah menunggu mereka. Sedangkan Raisman berjalan kaki meninggalkan rumah orang
tua Maryamah menuju sawah yang telah dikatakan oleh orang tua Maryamah. Sedangkan kedua
orang tua Maryamah hanya terdiam melihat langkah-langkah kaki Raisman. Pada wajah mereka
terlihat kegelisahan yang jelas sekali. Kegelisahan yan mungkin akan terjadi bila Raisman bertemu
denga Maryamah dan Aliman.

Lari kaki kuda-kuda penarik kereta sudah jauh meninggalkan rumah orang tua Maryamah. Begi
pula langkah kaki Raisman sudah semakin jauh menyusup ke bawah pohon-pohon bambu yang
tumbuh di sekeliling desa. Ayah Maryamah yang bernama Muntala hanya bisa menarik nafas
panjang, pertanda dia menahan kegelisahan yang sejak tadi sudah bermain di permukaan
wajahnya. Suasana desa semakin siang. Orang-orang desa mulai berkumpul di warung-warung
makanan sambil bercerita pengalaman yang mereka alami sejak pagi.

Di ujung sawah tampak seorang pemuda berjalan perlahan-lahan ke arah Aliman. Pemuda itu
berpakaian rapi. Pakaian yang dikenakannya adalah

10

pakaian yang selalu dikenakan oleh anak-anak orang kaya.

Darah Aliman berdesir cepat. Karena dia tahu bahwa pemuda itu adalah Raisman. Aliman ingin
beranjak dari tempat duduknya. Tapi sudah terlambat. Karena pemuda yang bernama Raisman itu
sudah melihat dirinya.

Langkah-langkah kaki Raisman terasa bagaikan langkah kaki raksasa yang sebentar lagi akan
menginjak lalu melumat tubuhnya sehingga keringat dingin keluar perlahan-lahan dari dahi
Aliman. Dan, tidak lama keringat itu sudah membasai seluruh tubuh Aliman sehingga Aliman
menjadi salah tingkah.

Ketika Raisman sudah semakin dekat, wajah pemuda itu tampak sinis pada dirinya sehingga
perlahan-lahan Aliman berdiri dari tempat dia duduk. Aliman berpikir, bahwa dia harus siap
menghadapi laki-laki ini sehingga tidak lama kemudian dia mulai bersiap menghadapi segala
kemungkinan, yang terburuk bagi dirinya.

“Kau yang bernama Aliman?”

“Ya, aku…” Aliman menjawab mantap.

“Kau tahu siapa aku?” Raisman bertanya sinis kepada Aliman.

“Tahu." Jawab Aliman tegang.

"Mana Maryamah?"

“Sudah pulang.”

“Pasti kau baru saja bertemu dengan Maryamah.”

“Ya." Kembali Aliman menjawab pertanyaan itu dengan mantap.

“Nah! Mulai sekarang kau harus menjauhi Maryamah!” Kata Raisman lagi.

11

“Kenapa aku harus menjauhi Maryamah?" Aliman bertanya dengan suara agak mulai tersendat di
kerongkongannya.

“Karena sebulan lagi kami akan resmi menjadi suami-istri.” Raisman menjawab dengan tenang.
“Perayaan pesta perkawinan sedang dipersiapkan oleh orang tuaku. Perayaan itu akan diadakan
tujuh hari tujuh malam.”

"Raisman melihatku seperti seekor kucing melihat seekor tikus. Sewaktu-waktu dia siap menerkam
aku.” Aliman bicara dalam hati.

“Hei! Kau dengar atau tidak kata-kataku!” Tiba-tiba terdengar bentakan Raisman pada dirinya.

“Aku dengar!” Aliman balas membentak. Bahkan bentakannya itu seolah-olah suatu tantangan
pada Raisman.

“Oh kau membentakku, hah? Kau tahu, kau sedang berhadapan dengan siapa, hah?”
“Aku tahu! Aku sedang berhadapan dengan laki-laki yang tidak tahu malu. Laki-laki yang merebut
kekasih orang! Walaupun perempuan yang direbutnya itu tidak sudi menjadi istrinya!" Aliman
mulai berkata kasar sehingga muka Raisman memerah.

“Kau tahu, bahwa Maryamah sudah mau menjadi istriku. Baru saja aku dan kedua orang tuaku ke
rumah Maryamah untuk menentukan hari perkawinan kami. Jadi kau tidak boleh lagi mendekati
Maryamah!” Raisman berkata dengan geram.

“Aku tidak ada urusan dengan rencana orang tuamu. Bagiku Maryamah adalah kekasihku! Dan
tidak satu orang pun yang bisa memisahkan kami!" Aliman kembali bicara mantap.

12

“Kalau begitu kau harus aku beri pelajaran, Aliman!“

"Aku yang ingin memberi pelajaran kepadamu. Karena kau telah lancang merebut kekasihku!”
Aliman balas membentak sehingga suasana panas telah terjadi diantara mereka.

“Kurang ajar kau!" Raisman mulai memasang kuda-kuda. Dirinya seperti ingin melumat lawannya.
Sedangkan Aliman berhati-hati menghadapi Raisman. Karena dia tahu, bahwa Raisman setiap hari
kerjanya hanyalah berlatih silat di bawah kedua tukang pukul orang tuanya yang hebat bernama
Lekan dan Kohar sehingga kemahiran Lekan dan Kohar bermain silat tidak diragukan lagi.
Sedangkan dirinya dulu hanya pernah berlatih silat pada seorang kawannya yang bernama Jaskam.
Aliman menyesal pada dirinya. Kenapa dulu dia tidak mencari guru yang bagus untuk berlatih silat.
Apalagi kata orang, bila Raisman berjalan, dia selalu membawa senjata. Tapi hari itu Aliman tidak
melihat senjata dibawa oleh Raisman.

“Kenapa aku mengeluarkan bentakan. Kenapa aku tidak sabar menghadapi pemuda kaya dan
angkuh ini.?"

Sementara dia melamun, tiba-tiba Raisman bergerak cepat. Sebuah tendangan keras melayang ke
rusuk kirinya.

“Nih, rasakan!" Sebuah angin tendangan meluncur deras ke rusuk kiri Aliman. Aliman terkesima.
Sedangkan tendangan itu tiba-tiba tepat mengenai sasaran sehingga Aliman mengerang menahan
sakit, karena rusuk kirinya dihajar oleh telapak kaki Raisman. “ Rasakan lagi, nih! Kiyaaat!"

13

Belum lagi dia sempat mengatur nafas, sebuah tendangan keras menghantam dadanya sehingga
Aliman terhempas ke tanah. Mata Aliman berkunang kunang. Dunia tampak bagai berputar. Belum
pulih kesadarannya, Aliman melihat samar-samar, bahwa Raisman mencabut sebilah belati dari
balik bajunya. Lalu perlahan-lahan belati itu dipermainkan Raisman di hadapannya. Sementara
senyum sinis tersungging dari bibir Raisman. Aliman terkejut. Dia berusaha bagkit agar terhindar
dari bahaya yang lebih besar. Tapi kesadarannya belum pulih. Matanya masih berkunang-kunang.
“Kau bukan tandinganku! Sekali pukul kau sudah tersungkur. Dan sekarang kau akan mampus di
tanganku, Aliman. Belati ini akan menghunjam di dadamu.” Raisman bicara sinis pada Aliman.
Belati ditangannya tadi masih dipermainkan di hadapa Aliman sehingga kesadaran Aliman
berangsur-angsur pulih.

Ketika Raisman perlahan-lahan jongkok di hadapan Aliman, maka Aliman mengumpulkan


tenaganya untuk membela diri. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih dia miliki, dia cepat berdiri lalu
melepaskan tendangan lurus ke arah pergelangan tangan Raisman yang memegang belati. Raisman
tidak siap akan diserang seperti itu sehingga tendangan itu tepat mengenai sasaran. Belati yang
ada di dalam genggaman Raisman terpental jauh ke tengah sawah.

Raisman terkejut mendapat serangan mendadak seperti itu sehingga Aliman tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Aliman kembali berdiri, lalu dia

14

melepaskan tendangan memutar mengarah ke dagu Raisman. Dan, ketika tendangan Aliman
menyambar dagu pemuda kaya itu, maka Raisman terjungkal ke belakang, melayang. Tidak lama
kemudian badan Raisman menghunjam menghantam air di dalam sawah. Air menyemburat keluar
dan meninggi. Hempasan air itu jatuh di sawah-sawah sekitarnya sehingga batang-batang padi
yang baru saja ditanam hancur berantakan terkena terpaan air tadi.

Aliman bertolak pinggang melihat Raisman bergelimang lumpur. Sedangkan matanya beringas
memandang lawan.

“Bagus juga seranganku tadi.” Aliman bicara dalam hati. “Kalau tidak, tentu aku sudah jadi bangkai
di hadapan Raisman ini." Sedangkan Raisman tidak memandang mata lawannya. Dia berdiri
perlahan-lahan dan sibuk membersihkan diri dari lumpur yang sudah menutupi hampir seluruh
mukanya. Setelah itu dia berjalan merangkak ke pematang sawah. Dan, duduk di tepi pematang.

“Kejadian ini tidak akan berhenti sampai di sini. Tapi akan berlanjut sampai kau menyembahku!
Lalu setelah itu kau akan mati perlahan-lahan oleh tanganku!" Raisman masih sempat
mengeluarkan ancaman.

Melihat keadaan itu, dengan muka sinis Aliman berjalan perlahan-lahan meninggalkan Raisman.
Setelah jauh dia berjalan, dia bergegas menuju desanya. Dia ingin sekali bertemu dengan
Maryamah dan menceritakan kejadian yang baru saja dia alami.

Hari sudah semakin sore. Maryamah baru saja sampai di rumah. Dia tidak tahu bahwa tadi
Raisman

15

dan kedua orang tua pemuda kaya itu beranjak dari rumahnya. Yang dia lihat di sekeliling halaman
rumahnya banyak laki-laki yang selama ini dia kenal sebagai tukang pukul di desanya. Dengan
perasaan cemas perlahan-lahan Maryamah masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Ketika
dia sampai di dalam rumah, sampai di dalam dapur, Maryamah langsung berhadapan dengan
Ibunya. Maryamah terdiam. Dia tidak langsung melangkahkan kaki. Karena wajah Ibunya agak
cemas.

“Ada apa, Bu?" Maryamah bertanya perlahan-lahan.

“Maryamah. Kau jangan keluar lagi. Karena kau sekarang harus memasuki masa pingitan Ayah dan
ibumu.“ Maryamah terkejut mendengar kata-kata ibunya sehingga kecemasan semakin merayapi
dirinya.

“Aku dipingit, Bu? Betul begitu, Bu?” Maryamah bertanya seolah-olah tidak percaya.

"Betul, anakku. Sebulan lagi kau akan dikawinkan dengan Raisman.“

“Sebulan lagi? Jadi... , jadi aku sudah dilamar oleh orang tua Raisman?"

“Iya, anakku. Kau akan hidup senang. Kau akan hidup tenteram bersuamikan Raisman."
Mendengar kata-kata ibunya yang jelas dan tanpa ada rasa cemas terhadap dirinya, maka
bayangan-bayangan kerinduan terhadap Aliman mulai menghantui dirinya. Karena tentu setelah ini
dia tidak bisa lagi keluar rumah sehingga Maryamah perlahan-lahan menitikkan air mata sambil
kepalanya dia letakkan di pundak ibunya.

16

”Kau tidak usah menangis anakku. Hapuslah air matamu" Nyi Surmi bicara perlahan-lahan sambil
membelai rambut anaknya.

"Aku tidak mau dijodohkan dengan Raisman, Buuu?” Maryamah berkata dalam isak tangisnya.
Namun ibunya Nyi Surmi menjawab dengan lemah lembut.

"Orang-orang yang akan berumah tangga selalu menangis di hadapan Ibunya." Tangis Maryamah
tidak dipedulikan oleh Nyi Surmi. Karena Nyi Surmi sudah sering melihat kejadian ini pada setiap
diri seorang gadis yang akan dipingit oleh orang tuanya.

Mendengar ada isak tangis di bagian dapur rumahnya, Ayah Maryamah datang ke belakang.
Langkah kaki Muntala terhenti ketika dia melihat Maryamah sedang menangis dalam pelukan
ibunya.

“Ada apa Surmi?"

“Ini, Kakang. Maryamah tidak mau bersuamikan Raisman.” Nyi Surmi bicara pada suaminya
Muntala, sambil mengangkat muka Maryamah dari dalam pelukannya.

“Aku... aku tidak mau dikawinkan dengan Raisman, Ayah..." Maryamah langsung menyampaikan
keberatan hatinya dengan terisak-isak kepada Muntala sehingga Muntala menjawab dengan
menghibur perasaan Maryamah.
“Kau harus mengikuti kata-kata orang tuamu, Maryamah. Karena pilihan kedua orang tuamu tidak
akan pernah buruk." Mendengar jawaban Ayahnya, Maryamah langsung berlari ke dalam sambil
menangis. Sesampai di depan kamar, pintu kamar dibuka dan langsung ditutup dari dalam.
Maryamah

17

seolah-olah tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Dia tidak lagi mempunyai orang yang bisa
melindunginya. Yang bisa untuk dia melepaskan segala perasaan yang mengganjal hatinya. Lamat-
lamat dia pun mendengar teriakan dari Ayahnya, bahwa dia tidak bisa lagi pergi ke mana-mana.
Karena orang-orang sudah mengelilingi rumah untuk menjaga dirinya.

Maryamah terus membanting diri sambil terisak di atas bale-bale reyot. Sementara Muntala dan
Nyi Sumii bicara perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh Maryamah.

Setelah lama membaringkan diri, dia teringat kata-kata Ayahnya, bahwa dirinya tidak bisa lagi pergi
dengan leluasa keluar rumah. Semua gerak-geriknya harus sepengetahuan kedua orang tuanya.

Maka dengan cepat dia bangkit dari atas bale-bale. Maryamah berjalan cepat mengintip dari balik
dinding rumah keluar. Tampak di luar hari sudah semakin sore. Bahkan mungkin sebentar lagi sore
akan berganti dengan malam. Sedangkan orang-orang yang berkeliaran di sekeliling rumahnya
masih tidak begitu siap untuk berjaga-jaga. Orang-orang yang ada di sekeliling rumahnya masih
ada yang duduk-duduk santai, bahkan masih ada yang belum muncul setelah siang tadi berjaga di
sekeliling rumah.

“Ini kesempatan baik." Maryamah berkata dalam hati. “Aku harus cepat pergi meninggalkan
rumah. Aku harus cepat pergi menuju rumah Aliman.“ Maryamah bergegas dan bersiap untuk
pergi meninggalkan rumah, sebelum orang-orang itu betul-betul bersiap menjaga dirinya.

18

Maryamah tidak mempedulikan apa yang harus dia bawa. Yang terlintas dibenaknya adalah bahwa
dia harus cepat keluar melalui jendela kamarnya. Sedangkan hari mulai hujan. Mula-mula hujan
turun rintik-rintik. Tidak lama kemudian hujan deras mengucur dari langit sehingga suasana
bertambah kelam.

Ketika jendela kamarnya dia buka sedikit, orang-orang yang ada di luar rumah sudah berlindung
dari tempias air hujan sehingga suasana agak lengang. Orang-orang itu tidak memperhatikan ada
gerakan dari daun jendela yang mulai terbuka. Mereka sibuk melindungi diri mereka dari derasnya
hujan.

Melihat keadaan itu, Maryamah memberanikan diri untuk membuka jendela lebih lebar. Setelah
jendela terbuka lebar, Maryamah mulai merangkak menaiki jendela. Dengan sekuat tenaga dia
mencoba naik ke bibir jendela yang sudah terbuka. Ujung jari kakinya mulai menyangkut dibibir
jendela. Dan, dengan kekuatan yang ada, satu, dua, tiga, tubuh Maryamah sudah naik ke atas
jendela kamar.
Maryamah memandang sebentar keluar jendela. Tidak ada yang tampak dari sana, kecuali kabut
dingin, air hujan yang mengucur deras dan malam yang mulai gelap.

Maryamah tidak mempedulikan hujan deras dan malam yang mulai gelap. Tujuan Maryamah
hanya satu, yaitu pergi secepatnya meninggalkan rumah dan menuju rumah Aliman.

Maryamah memberanikan dirinya untuk melompat ke bawah. Satu, dua, dan tiga. Maryamah
sudah melompat ke bawah. Kakinya menginjak tanah yang

19

basah dan becek. Maryamah tidak peduli pada keadaan di sekitarnya. Maryamah langsung berlari
menuju rumah kekasihnya. Maryamah berlari dan berlari terus. Dia tidak peduli apakah di
belakangnya ada yang melihat lalu mengejar. Maryamah berlari terus dalam suasana hujan deras
dan malam yang mulai gelap.

Rasa cemas pada diri Aliman semakin tebal. Karena Maryamah belum juga bisa dia temukan.
Bahkan setiap orang yang dia temukan suda menceritakan kepadanya, bahwa mulai besok
Maryamah akan dipingit oleh kedua orang tuanya sehingga rasa cemas semakin menyelimuti
dirinya.

Aliman melangkahkan kaki perlahan-lahan menuju rumahnya. Sedangkan pikirannya masih


berkecamuk tentang persiapan perkawinan Maryamah dengan Raisman yang akan berlangsung
satu bulan lagi. Bahkan masih terngiang-ngiang kata-kata Raisman ditelinganya bahwa laki-laki itu
akan melaksanakan ancaman pada dirinya.

Ketika hari sudah beranjak malam, hujan deras sudah menerpa di sekelilingnya, Aliman semaki
gelisah. Wajah Maryamah yang minta dilindungi selalu saja terbayang di matanya sehingga dengan
cepat dia berdiri dari duduk. Lalu dia bergegas menuju pintu rumah untuk berjalan menuju rumah
Maryamah.

Baru saja dia melangkah di dalam derasnya hujan, tiba-tiba dia berhenti. Sesosok bayangan yang
sangat dikenalnya sedang berdiri di ujung jalan.

“Kaaang?” Terdengar jerit seorang perempuan dengan sendu.

20

Aliman bergegas berlari menuju suara itu. Dia tahu betul, bahwa suara itu adalah suara Maryamah.
Setelah dekat Aliman melihat muka Maryamah yang penuh dengan percikan air hujan sedang
dalam keadaan cemas.

“Kaaang?” Tiba-tiba pecah tangis Maryamah. Sedangkan kepala Maryamah jatuh ke dalam
pelukan Aliman.

“Sudahlah, Maryamah. Aku sudah tahu semuanya." Kata Aliman membelai rambut kekasihnya.
“Dari mana Kakang tahu?“ Maryamah berkata dalam isak tangisnya. Sedangkan tubuhnya dia
angkat dari dalam pelukan Aliman. Aliman memegang tangan Maryamah dengan erat.

“Setelah kau pulang dari sawah tadi siang, aku pun bermaksud untuk pulang kerumahku. Tapi baru
saja aku melangkah, Raisman telah muncul di ujung sawah. Lalu perlahan-lahan dia mendekati
aku. Dan dengan senyum sinis dia menyampaikan padaku, bahwa satu bulan lagi kamu akan
dipersuntingnya.

“Ya," kata Maryamah dengan nada sedih. “Lalu Kakang?” Maryamah berhenti menangis dan
menyeka air mata dengan ujung bajunya.

“Lalu terjadi perkelahian antara kami.”

“Lalu, Kang?”

“Akhirnya aku dapat mengalahkannya. Bahkan aku dapat melemparkannya ke sawah yang
berlumpur sehingga dia mengancam akan membunuhku."

“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang. Kakang?"

“Orang tuamu bagaimana, Maryamah?”

21

“Bapak dan Ibu hanya pasrah. Bahkan bapak dan ibuku mulai besok pagi sudah mempersiapkan
untuk memingit aku." Kembali air mata Maryamah berlinang di pelupuk matanya.

“Kalau begitu kita lari saja malam ini. Mau?"

"Aku bersedia ke mana saja Kakang bawa. Asal aku bisa jauh dari Raisman." Air mata Maryamah
makin deras turunnya. Sementara hujan sudah semakin tipis.

“Cari ke sana! Mungkin dia menuju rumah Aliman!" tiba-tiba terdengar orang ramai berteriak-
teriak di kejauhan. Sementara cahaya obor berkelip-kelip di ujung jalan.

Aliman dan Maryamah terkejut. Mereka saling berpandangan. Sementara tangan mereka semakin
erat pegangannya.

“Kakang?” Maryamah berhenti menangis. Sedangkan Aliman tampak berpikir keras.

“Kenapa orang-orang desa ini mencariku Kakang?"

“Mungkin mereka disuruh oleh orang tuamu."

"Orang tuaku tidak mungkin menyuruh mereka mengejar aku.” Maryamah berkata cemas.

“Mungkin saja hal ini terjadi, Maryamah. Orang tuamu membayar mereka untuk mencarimu."
“Orang tuaku tidak punya uang untuk membayar mereka.”

“Tentu orang tuamu sudah diberi uang oleh orang tua Raisman. Uang itu sebagai tanda pengikat
dan juga untuk menjagamu dari hal-hal yang tidak mereka inginkan. Atau orang tua Raisman yang
mengupah orang-orang desa untuk mencarimu.”

22

“Ya. Mungkin juga begitu.”

”Pasti begitu. Kalau tidak, mana mungkin orang sebanyak itu mencarimu malam-malam begini."

Kedua muda-mudi itu masih berdiri diam. Tapi mereka sudah bertekad. Bahwa tidak ada orang
yang bisa memisahkan mereka lagi.

“Itu dia. Dia bersama dengan seorang laki-laki. Pasti itu Aliman. Kejar mereka!" Obor-obor yang
dibawa oleh orang-orang kampung itu sudah semakin dekat sehingga bayang-bayang yang timbul
dari cahaya obor-obor itu menjadi aneh.

“Orang-orang itu menuju ke mari, Kakang.”

“Kita lari ke Desa Baru."

“Rumah siapa di sana, Kang?”

“Rumah pamanku."

“Apakah paman Kakang sudah tahu tentang hubungan kita?"

“Sudah. Aku yang menceritakannya kepada Paman Bahtan. Dan pamanku berkata, kalau ada apa-
apa, larilah ke rumahnya.”

“Hayolah. Aku rela dibawa ke mana saja."

“Mari.”

Kedua muda-mudi itu berlari ke arah sawah yang letaknya tidak begitu jauh sari desa. Jalan yang
mereka tempuh gelap gulita. Tapi Aliman sudah hafal betul jalan yang mereka tempuh. Sementara
itu orang-orang desa masih mengejar mereka. Kedua muda-mudi itu berlari seolah-olah dikejar
oleh puluhan orang yang akan membunuh mereka Sehingga makin lama terasa semakin berat
langkah kaki mereka. Sementara langkah kaki orang-orang desa serasa sudah semakin dekat.

23
Ketika langkah kaki Aliman dan Maryamah sudah memasuki daerah persawahan, maka mereka
berlari lebih hati-hati. Karena pematang sawah sangat licin dibasahi oleh hujan yang tadi turun
deras sekali.
Ketika Maryamah sudah semakin tertinggal oleh Aliman. Bahkan tiba-tiba Maryamah berbelok ke
ki pematang sawah. Maka Aliman berteriak,

"Maryamah jangan ke sana! Kau harus ikuti aku!"

“Ya, Kaaang!" Maryamah menyahut sambil berlari. Tiba-tiba kaki Maryamah tergelincir dari atas
pematang sawah. Lalu kaki kanannya terperosok dalam sawah.

“Aduh Kaaaang... aku terpeleset Kaaang... Maryamah mengerang kesakitan.

“Hayo cepat. Orang-orang desa sudah semakin dekat.” Aliman berteriak memberi semangat.

“Tapi aku tidak bisa jalan, Kakaaang ... kakiku tidak bisa ditarik dari lobang iniii . . . ” Maryamah
bicara sambil menahan sakit.

“Tunggu!" Aliman berlari mendekati Maryamah. Setelah dekat. Lalu dengan sekuat tenaga Aliman
menarik kaki Maryamah dari lubang di tepi sawah sehingga kaki Maryamah bisa ditarik kembali.

“Hayo cepat kita lari dari sini!"

“Tunggu, Kang. Kakiku masih sakit.”

“Kita tidak punya waktu lagi Maryamah. Oran orang itu sudah semakin dekat kemari!"

“Ya ya.” Maryamah mencoba berdiri. Tapi kakinya tidak mau diajak berjalan. Kaki Maryamah masih
terasa sakit.

“Aduh, Kang. Bagaimana ini?”

24
“Kau harus paksakan kakimu berjalan, Maryamah! Kita sudah tak punya waktu lagi!"

“Ya, Kang ya," dengan menahan sakit, Maryamah berjalan terpincang-pincang.

“Nah, begitu!"

Dengan langkah terseret-seret, Maryamah berjalan dituntun oleh Aliman sehingga tidak lama
mereka sampai di sebuah tepi jurang yang tidak begitu dalam. Di bawah jurang itu terdengar air
sungai mengalir deras.

“Kau dengar air sungai di bawah itu, Maryamah?”

“Ya. Air Sungai Tumpari."

“Kita harus terjun ke dalam sungai itu!”


“Oh, bukankah Sungai Tumpari sedang banjir, Kakang?"

“Memang Sungai Tumpari sedang banjir. Tapi tidak ada jalan lain lagi yang bisa kita tempuh. Semua
jalan desa pasti sudah mereka jaga!”

“Tapi aku takut, Kakang. Aku tidak bisa berenang.”

“Kau bisa berpegangan padaku. Kita akan hanyut ke hilir. Nanti kita akan sampai di Desa Baru.
Karena sungai ini akan melewati Desa Baru. Apa lagi Sungai Tumpari adalah tempat aku berenang
dulu sewaktu kecil. Jadi aku tahu seluk-beluk sungai di bawah sana.”

“Itu mereka. Mereka berdiri di tepi jurang! Hayo kejar! Mereka pasti sudah tidak bisa lari!"

“Orang-orang itu sudah semakin dekat, Maryamah! Kalau kita tetap berdiri di sini, maka kita akan
dapat mereka tangkap.”

“Baik, Kang. Aku siap terjun ke dalam sungai itu!”

25

“Bagus! Satu ... dua ... tiga!” Aliman dan kekasihnya Maryamah melayang jatuh ke dalam jurang
yang tidak begitu tinggi. Lalu tidak lama keduanya sudah jatuh ke dalam sungai yang airnya cukup
deras, karena hari baru saja habis hujan.

“Kaang! Huop! Huop!”

"Jangan panik. Tetap pegangan padaku!"

“Ya… ya... Huop... huop... aku huop terminum air ini huop... ” Aliman cepat memegang dagu
kekasihnya agar Maryamah tidak banyak meminum air sungai yang mengalir cukup deras.
Sementara orang-orang desa di atas sana menjadi heran. Karena mereka tidak menemukan kedua
kekasih itu. Sayup-sayup terdengar pembicaraan mereka oleh Aliman.

“Hilang. Aliman dan Maryamah hilang.”

“Mungkin kedua orang itu jatuh ke dalam sungai.

“Tidak mungkin. Kalau mereka jatuh, pasti kita mendengar percikan airnya.”

“Mereka tentu telah disembunyikan oleh lelembut penghuni jurang ini.”

“Ah, kau ada-ada saja. Terlampau percaya pada hal-hal seperti itu.“

“Nanti kalau orang tua Raisman bertanya pada kita, bagaimana?”


Semakin lama suara orang-orang yang berdiri atas jurang itu semakin hilang. Sekarang yang
terdengar hanya gemuruh air sungai yang meng- hanyutkan Aliman dan Maryamah. Sedangkan
hari sudah semakin malam.

26

DUA

Malam sudah semakin sunyi. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan suara-suara binatang malam
yang lain. Sedangkan hujan sudah disapu bersih oleh angin yang bertiup kencang. Sekarang yang
tinggal hanya gerimis-gerimis kecil.Sementara bulan muncul malu-malu di ujung langit malam.

"Jadi orang tuamu sudah tahu kau kemari, Aliman?“ Paman Aliman yang bemama Bahtan
membuka pembicaraan.

"Sudah, Paman." Aliman menjawab dengan mantap. Walaupun udara malam masih membuat dia
dan Maryamah menggigil menahan dingin.

"Dan kau, Maryamah?"

"Orang tuaku belum tahu kejadian ini, paman." Maryamah menjawab lirih dengan giginya
gemeletuk menahan dingin.

27

“Kau tak usah memikirkan mereka. Aku kenal dengan Muntala dan Nyi Surmi. Besok aku akan
menemui mereka, bahwa kau sudah aman di rumahku.”

“Terima masih, Paman..." Kembali Maryamah mejawab lirih. Di wajahnya terbayang suatu harapan
baru pada Paman Aliman ini. Harapan akan keselamatan dirinya dan Aliman.

“Kalau tekad kalian sudah bulat. Besok aku kawinkan kalian di rumah ini.”

“Besok, Paman?" Maryamah bertanya dengan terkejut. Sedangkan istri Bahtan yang sejak tadi
hanya duduk diam diantara mereka tampak tersenyum kecil tanda percaya pada kata-kata
suaminya. Sementara itu suaminya berkata dengan semangat.

“Kalian berdua melarikan diri kemari untuk mengikat janji sehidup semati, bukan?”

“Ya, Paman.” Aliman dan Maryamah menjawab serentak.

“Nah, kalau memang begitu, niat baik itu harus dipercepat sehingga Raisman dan kedua orang
tuanya tidak akan mengganggu kalian lagi."

“Bagaimana dengan kakak Raisman yang tinggal di desa ini, Paman Bahtan. "
“Itu tidak usah kau pikirkan. Yang penting dia tidak akan mengganggumu bila kalian sudah
menikah."

“Ya, Paman." Aliman menjawab dengan mantap.

Aliman dan Maryamah tampak semakin mantap. Dalam hati mereka, mereka mengiyakan
pendapat saudara ayah Aliman itu.

Keesokan harinya, Aliman dan Maryamah dikawinkan oleh Bahtan. Upacara perkawinan itu

28

berlangsung sangat sederhana. Karena perkawinan Aliman dan Maryamah adalah perkawinan
yang sangat mendesak. Tidak ada pesta meriah. Tidak ada orang-orang yang datang mengucapkan
selamat kepada mereka, kecuali para tetangga terdekat Bahtan. Perkawinan itu betul-betul
perkawinan apa adanya.

Setelah kedua kekasih itu resmi menjadi suami-istri. Hari itu juga Bahtan pergi menemui kedua
orang tua Aliman dan kedua orang tua Maryamah.

Sedangkan Aliman dan Maryamah diam di rumah Bahtan dengan perasaan harap-harap cemas,
kalau-kalau kedua orang tua Raisman tidak menerima kejadian itu. Lalu mereka melakukan hal-hal
yang tidak masuk akal sehat. Mereka meneluh Maryamah atau Aliman. Atau mereka meneluh
kedua orang tua muda-mudi yang baru saja melangsungkan perkawinan itu.

Aliman lama memandang wajah istrinya itu karena wajah Maryamah selalu murung walaupun
mereka sudah resmi menjadi suami-istri.

“Kau tidak usah cemas, Maryamah. Bukankah dengan kita menikah, semua rencana Raisman
gagal?"

“Ya, Kang. Tapi yang aku khawatirkan, bila mereka mengambil jalan pintas. Mereka meneluh kita,
atau meneluh kedua orang tua kita.” Maryamah berkata lirih.

“Semua yang kau khawatirkan tidak akan terjadi, Maryamah. Percayalah. Tidak semudah itu orang
meneluh keluarga kita. Karena berat risikonya.”

“Yaaaah, baiklah.”

29

Di rumah Raisman berita perkawinan Maryamah dengan Aliman sudah mereka dengar dari mulut
Rosmina, Kakak Raisman, sehingga kedua orang tua Raisman marah besar. Segala sumpah serapah
keluar dari mulut Ayah Raisman yang bernama Ranjadi.

“Akan aku ambil sawah orang tua Maryamah yang tidak tahu diri itu! Biar dia tahu dengan siapa
dia berhadapan! Seenaknya dia membuat malu aku sekeluarga. Dianggap mereka siapa aku ini!
Dianggap mereka apa istriku ini? Budaknya apa? Seenaknya mereka memberi kebebasan kepada
anaknya, sehingga Maryamah dibawa lari dan diambil istri oleh Aliman! Lalu rencana perkawinan
anakku dengan anak mereka batal. Padahal aku telah memberi uang menyewa tukang-tukang
pukul untuk menjaga Maryamah. Tapi kenyataannya tetap saja Maryamah bisa dibawa lari oleh
cecunguk busuk itu!” Mata Ranjadi merah dan berapi-api melampiaskan rasa geramnya kepada
kedua orang tua Maryamah.

Bahkan Ibu Raisman pun ikut bicara.

“Kedua suami-istri itu memang harus diberi pelajaran yang setimpal dengan perbuatan mereka,
Kakang Ranjadi!”

“Harus! Harus kita beri pelajaran pada mereka. Bahkan aku sudah berniat untuk meneluh mereka.
Biar mereka muntah darah segar lalu tidak lama kemudian mati dengan mengenaskan."

“Ya, Kakang. Itu adalah balasan yang setimpal untuk perbuatan mereka.” Kata Lisnaya, istri Ranjadi
melampiaskan pula kemarahannya.

30

Suasana di rumah besar dan mewah itu tiba-tiba sunyi. Yang terdengar hanya ringkik beberapa
ekor kuda di kandang belakang.

Tiba-tiba ketika Lisnaya memandang kepada Raisman, Lisnaya jadi kasihan. Karena wajah anaknya
menunjukkan kesedihan.

“Sudah, Nak. Tidak usah kau pikirkan kejadian ini. Nanti Ibu carikan gadis yang lebih cantik dan
jauh lebih kaya dari Maryamah.”

“Aku masih mencintai Maryamah, Bu.” Raisman berkata lirih. “Tidak kutemui gadis secantik dia di
desa kita ini dan juga di desa-desa yang lain.”

“Maryamah sudah menjadi istri Aliman, Nak. Jadi tidak usah lagi kau mengharapkan perempuan
itu untuk jadi istrimu. Bahkan sebentar lagi Maryamah itu akan mati kena teluh Ayahmu."

“Ya, aku akan meneluh orang tua Maryamah dan orang tua Aliman. Lalu berikutnya Aliman,
berikutnya Bahtan beserta keluarganya yang sudah berani ikut campur dalam urusan ini, dan
terakhir adalah Maryamah sendiri. Biar dia tahu bahwa keluarga kita tidak bisa dipermainkan
seperti itu."

“Kalau yang lain tidak apa-apa Ayah teluh. Asal jangan Maryamah.” Raisman berkata lirih.
Sedangkan matanya mengharap betul Ranjadi tidak menjatuhkan hukuman kepada perempuan
yang bernama Maryamah. Karena Raisman tampaknya sangat mencintai perempuan yang baru
saja menjadi istri Aliman.

“Raisman, bagi kita kaum laki-laki pantang memakan makanan sisa yang sudah dimakan oleh orang
lain.”
31

“Bagiku bukan masalah sisa atau tidak Ayah. Tap ini masalah cintaku terhadap Maryamah.“
Raisman berkata dengan pandangan mata kuyu dan penuh harap. Ketika Ranjadi melihat
pandangan mata anak laki-laki satu-satunya itu. Ranjadi merasa kasihan walaupun di dalam
hatinya berkecamuk persoalan antara kasihan dan dendam terhadap orang-orang yang telah dia
sebutkan tadi.

“Betul apa yang dikatakan Ayahmu itu, Raisman Kau harus menurut kata-kata orang tuamu. Orang
tua tidak akan mengecewakan anaknya. Percayalah.

“Aku tidak mau mengawini gadis yang tidak aku cintai, Bu. Contohnya, kakakku Rosmina. Karena
dia tidak mencintai suaminya. Maka Mbak Yu Rosmina sudah menjadi janda. Dan lalu kawin lagi
dengan laki-laki lain. Tapi perkawinannya yang kedua ini pun hanya sebagai kedok saja. Agar orang
tidak mengatakan bahwa dia tidak laku."

Mendengar kata-kata Raisman, kedua orang tuanya terdiam. Begitu pula dengan Rosmina, Ranjadi
dan Lisnaya mengakui nasib yang dialami anak perempuan mereka. Belum satu tahun umur
perkawinan Rosmina, anak perempuan mereka sudah menjanda. Lalu kawin untuk kedua kalinya
dengan laki-laki yang juga tidak dia cintai. Tapi alangkah aibnya bila Raisman tidak kawin-kawin
karena mengharapkan Maryamah yang sudah menjadi isteri orang lain.

”Tapi kau harus kawin dengan gadis lain, Raisman. Setelah itu terserah padamulah. Apa kau akan
kawin dengan Maryamah atau dengan siapa saja tidak jadi soal bagiku.“

32

“Ya. Asal Maryamah jangan Ayah teluh. Biarkan dia hidup. Agar suatu saat nanti aku bisa
mempersunting dirinya. Kalau dia sudah menjadi janda.” Raisman masih mengharap tentang hal
itu. Ranjadi berpikir lama tentang permintaan Raisman. Sambil menarik napas panjang, Ranjadi
bicara perlahan-lahan.

“Kalau begitu permintaanmu, baiklah. Asal kau mau mempersunting gadis lain. Karena menunggu
janda Maryamah mungkin lama bagimu, Raisman. Bahkan mungkin sampai kau tua pun,
Maryamah belum tentu mau menjadi istrimu. Karena siapa tahu nanti dia sudah tahu penyebab
kematian kedua orang tuanya. ”

“Itu tidak masalah bagiku. Yang penting Maryamah jangan di teluh, Ayah.” Raisman berkata
dengan menghiba kepada Ayahnya sehingga perlahan-lahan luntur juga perasaan Ranjadi
mendengar kata-kata anaknya itu.

“Ya ya. Aku tidak akan meneluh Maryamah." Muka Raisman mulai menampakkan kecerahan,
walau semua yang diinginkannya belum tentu terlaksana. Tapi setidaknya wajah Raisman
membawa suasana lain di dalam rumah Ranjadi, terutama Ibu Raisman.
Semenjak kejadian perkawinan antara Maryamah dan Aliman itu, Raisman tidak pernah keluar
rumah. Raisman hanya mengurung diri saja didalam kamar, ia hanyut dalam mimpi yang suatu saat
akan membawanya kepelaminan bersama Maryamah.

Perkawinan Maryamah dan Aliman sudah berjalan beberapa bulan. Maryamah dan Aliman
sekarang tinggal di rumah kedua orang tua Maryamah.

33

Keduanya hidup bahagia. Tapi tidak lama kemudian Ayah Maryamah meninggal dunia. Dia
meninggal tidak ada penyebabnya kecuali muntah darah segar. Dan, tidak berselang lama, Ibu
Maryamah juga menyusul suaminya. Dia meninggal, juga dengan memuntahkan darah segar.
Padahal Maryamah sedang hamil muda. Sedang butuh seseorang untuk menjaganya. Butuh
seorang ibu untuk membimbing dia ke persalinan.

Dengan perasaan yang kacau balau, Maryamah tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu harus
mengadu kepada siapa. Pada saat itu Bahtan dan istrinya datang kepada Maryamah dan Aliman
untuk menyatakan belangsungkawa atas kejadian yang menimpa mereka.

Kejadian yang mnyedihkan itu lengkaplah sudah.

Ketika kedua orang tua Aliman juga mengalami hal yang sama sehingga Aliman dan Maryamah
sudah tidak mempunyai ayah dan ibu lagi. Alimam dan Maryamah hidup dalam suasana ketakutan.
Mereka mengarungi samudera kehidupan ini tanpa bimbingan dari orang tua. Bahkan kedua
suami-istri muda itu terbata-bata melangkah dalam menghadapi hari-hari mereka. Hari-hari yang
mereka sendiri tahu akan ke mana tujuannya.

Dalam kegalauan yang begitu hebat, Bahtan Istrinya mengunjungi mereka. Bahtan dan istrinya
memberikan semangat untuk tidak cepat menyerah menghadapi persoalan hidup yang begitu
berat kepada Maryamah dan Aliman. Bahkan mereka menjadi pengganti kedua orang tua
Maryamah sehingga semangat hidup dalam diri Maryamah dan

34

Aliman hadir kembali, rasa percaya diri dalam diri Maryamah dan Aliman muncul lagi.

Pada suatu malam Maryamah berbicara pada suaminya, bahwa Paman Bahtan dan istrinya selalu
hadir di saat mereka butuh pertolongan.

Namun kegembiraan itu hanya muncul sesaat di dalam kehidupan mereka. Karena prahara pun
datang kembali. Paman Bahtan tiba-tiba meninggal dunia tanpa sebab yang jelas.

Berita yang datang silih berganti itu membuat Maryamah dan Aliman hampir kehilangan
keseimbangan hidup mereka. Keduanya kembali bermuram durja. Bahkan Maryamah percaya,
bahwa pasti ada sebabnya orang-orang yang dia cintai itu meninggal dunia. Dia percaya bahwa
kepergian mereka pasti karena perbuatan teluh orang yang membenci dirinya. Tapi entah siapa
yang meneluh mereka. Dia belum berani menuduh orang. Walau dalam hatinya dia mulai meraba-
raba siapa orang tersebut.

Kini kedua suami-istri itu gamang sudah meniti kehidupan ini. Terutama Maryamah yang sedang
hamil. Tidak ada lagi orang-orang dekat yang mencintai dirinya hadir untuk memberi semangat
hidup, dalam menyongsong jabang bayi yang tidak lama lagi akan hadir ke dunia ini. Bahkan masih
terngiang-ngiang di telinganya kata-kata Aliman dulu. “Bahwa tidak semudah itu orang meneluh
keluarga kita. Karena pekerjaan itu berat risikonya." Tapi sekarang, hal itu sudah terjadi. Lalu pada
siapa dia harus mengadukan nasibnya itu.

Sementara di rumah Raisman di Desa Ilir telah terdengar kabar, bahwa Raisman telah memper-

35

sunting seorang gadis bernama Duhita. Duhita itu adalah seorang gadis cantik pencarian orang
tuanya.

Pesta perkawinan mereka dirayakan selama tujuh hari tujuh malam. Semua orang Desa Ilir
berpesta pora. Bahkan desa-desa terdekat pun merasakan gegap gempitanya suasana pesta yang
meriah itu.

Pesta itu adalah pelampiasan dendam Ayah Raisman kepada kedua orang tua Maryamah yang
telah almarhum. Seolah-olah Ayah Raisman ingin menunjukkan, bahwa dulu pesta meriah itu juga
akan dilaksanakan oleh Ayah Raisman kalau saja Maryamah tidak dibawa lari oleh Aliman.

Setelah pesta meriah itu berakhir. Suasana di rumah Raisman kembali sunyi. Tidak ada tawa ceria
dari penghuni rumah. Karena Raisman kembali murung seperti sedia kala.

Hal itu karena Raisman tidak pernah bahagia mempersunting Duhita sehingga Duhita bagaikan
barang pajangan yang tidak pernah disentuh oleh Raisman. Sedangkan pekerjaan Raisman sehari-
hari hanya menunggang kuda, atau berlatih silat atau berburu rusa ke dalam hutan.

Sikap Raisman itu membuat kedua orang tuanya menjadi gelisah. Karena sudah ingin menimang
cucu, terutama Ibu Raisman. Karena kecewa pada anaknya. Kedua suami-istri itu cepat sekali
menjadi tua. Bahkan tidak lama kemudian, keduanya pun meninggal dunia, karena menanggung
malu.

Kejadian ini sangat memukul perasaan Raisman sehingga laki-laki itu bertambah pendiam dan
mengurung diri.

36

Duhita menjadi bingung menghadapi suami yang tidak mau menyentuh dirinya. Bahkan terbersit di
benak Duhita untuk kembali saja ke rumah orang tuanya. Bahkan niatnya itu telah dia sampaikan
kepada Rosmina.
Melihat gelagat seperti itu, kakak Raisman yang bernama Rosmina, membujuk Duhita. Agar dia
mengurungkan niatnya itu. Rosmina meminta waktu kepada Duhita untuk bersabar barang sebulan
atau dua bulan lagi. Karena Raisman baru saja mendapat pukulan berat atas meninggalnya kedua
orang tua Raisman.

Dengan berat hati, permintaan Rosmina dipenuhi oleh Duhita sehingga Rosmina dapat mencarikan
dukun untuk mengubah sikap Raisman.

Setelah bertemu dengan seorang dukun yang bernama Keler, Rosmina berhasil mengobati adiknya
sehingga Raisman mulai bisa cerah kembali. Raisman bisa tersenyum lagi memandang hidup yang
tampak manis bila dilihat tapi pahit bila dirasakan.

Duhita sekarang bukanlah Duhita yang dulu lagi. Duhita yang mempunyai suami pemurung dan
selalu menyendiri. Tapi Raisman sekarang betul-betul menjadi seorang suami sebagaimana
diharapkan oleh Duhita. Walau sebenarnya dalam hati yang paling dalam, Raisman masih
mengharapkan cinta Maryamah yang belum bisa padam sampai saat itu sehingga Duhita hanya
dapat luarnya saja. Tidak dapat sampai ke relung hati yang paling dalam dari Raisman.

Bahkan perlahan-lahan timbul lagi niat Raisman untuk meneluh musuh besarnya yang bernama

37

Aliman. Karena laki-laki itulah penghalangnya untuk bisa kawin dengan Maryamah. Niat itu akan
dilaksanakannya sesuai pesan Ayahnya sebelum meninggal.

38
TIGA

Suatu hari, saat Maryamah sedang hamil, suami Maryamah yang bernama Aliman berada di
padang rumput, tempat rusa-rusa merumput. Aliman membawa perlengkapan berburu. Karena
istrinya, Maryamah sedang mengidam daging rusa gunung. Tapi sejak pagi sampai tengah hari,
tidak satu pun rusa yang dilihatnya. Aliman menjadi heran. “Ke mana rusa-rusa itu? Apakah
mereka sedang berada dalam hutan untuk berlindung dari teriknya sinar matahari?" kata Aliman
dalam hati. Setelah berpikir lama, Aliman berjalan masuk dalam hutan. Makin lama Aliman
melangkah, makin jauh masuk ke dalam hutan. Bahkan suatu ketika Aliman sudah sampai pada
suatu lembah yang tampak aneh. Di lembah itu dia melihat suasana tebing-tebing yang tinggi dan
menyeramkan. Di sana-sini banyak kelelawar-kelelawar besar bergelayutan

39

pada tebing-tebing batu yang curam. Dari mulut kelelawar-kelelawar itu menetes darah segar.
Seolah-olah binatang-binatang penghisap darah itu baru saja menghisap darah dari tubuh mangsa
mereka.

Suasana itu tidak pernah dia lihat di lembah mana-pun. Setiap langkah kaki Aliman terdengar
gemanya di sekeliling lembah. Gema langkah kakinya bersipongang menggema keseluruh lembah,
bahkan gema itu terasa mengelilingi dirinya. Tapi Aliman tidak peduli. Aliman sudah lupa pada
cerita-cerita yang tersebar di desanya. Bahwa hal-hal aneh itu sebuah pertanda, bahwa dia sudah
memasuki wilayah Hutan Larangan. Wilayah yang selama ini tabu untu dimasuki manusia. Kecuali
mendapat izin dari penghuninya.

Makin dia turun ke dalam lembah, makin terasa keanehan yang menyelimuti sekitarnya. Bahkan
seluruh jalan yang ada di dalam lembah semakin sulit untuk dilalui. Bahkan jalan-jalan di dalam
lembah itu tampak samar-samar. Jalan-jalan di sana tampak antara ada dan tidak ada. Bahkan
kalau pun ada, diinjak seperti menginjak rumput yang lembut.

Hutan Larangan adalah hutan yang banyak pantangannya sehingga tidak semua orang bisa masuk
dan keluar dengan selamat dari dalam hutan itu.

Namun Aliman tidak menyadari hal itu. Ia masih berjalan terus menginjak jalan yang lembut. Jalan
lembut itu terasa aneh. Jalan yang sebenarnya menuju ke Lembah Hantu. Suasana aneh makin
terasa. Tanpa disadari oleh Aliman, ia sudah berada di Lembah. Sedangkan Lembah Hantu sudah

40

semakin dalam. Tiba-tiba jalan itu mulai mendaki lagi menuju ke atas. Aliman tidak peduli. Dia
terus berjalan dengan semangat pantang menyerah. Walaupun Aliman berjalan diantara jurang
yang tinggi dan terjal. Tiba-tiba saja Aliman sudah sampai di Hutan Larangan yang semakin lebat
dan semakin aneh. Pohon-pohon yang tumbuh semakin aneh. Ada yang tumbuh meliuk-link bagai
dipelintir orang. Ada yang tumbuh lurus bagai tidak mengenal lelah. Bahkan ada yang tumbuh
saling terpelintir oleh pohon yang lain. Daun-daun pohon-pohon itu tumbuh lebat sehingga tanah
di bawahnya hampir tidak pernah tersentuh cahaya matahari. Sementara suara-suara aneh mulai
sayup-sayup terdengar. Aliman tidak peduli dengan hal-hal yang aneh itu. Ia terus berjalan.
Sedangkan dalam pikirannya hanya satu, yaitu dia harus membahagiakan istrinya.

Setelah letih berjalan, Aliman berhenti di bawah pohon beringin tua dan besar. Sedangkan hari
sudah menjelang sore. Matahari sudah mulai condong ke arah barat.

Ketika Aliman sedang duduk melepaskan lelah, tiba-tiba laki-laki itu dikejutkan oleh suara
gemerisik semak-semak, Aliman cepat menoleh ke arah suara tadi. Aliman melihat seekor rusa
jantan yang besar dan gemuk sedang berjalan.

“Ini yang kutunggu."

Dengan sangat hati-hati Aliman meraba tombak yang dibawanya. Lalu dia pegang gagang tombak
itu erat-erat.

Dengan keahlian seorang pemburu, dia berdiri dengan memegang gagang tombak itu erat-erat.

41

tidak berselang lama dia angkat tombak dalam genggamannya dan dia arahkan mata tombak itu ke
leher rusa yang tidak peduli pada keadaan sekitarnya. Rusa itu tetap berjalan perlahan-lahan.
Sedangkan Aliman tampak sangat tegang meng-hadapi rusa yang besar dan gemuk seperti itu,
karena sejak pagi tadi dia belum menemukan seekor rusa pun.

Tiba-tiba rusa itu berhenti berjalan dan melihat ke arahnya. Maka dengan cepat Aliman
mengambil ancang-ancang, dan tombak yang dipegangnya meluncur deras ke arah rusa yang
sedang berdiri memandangnya. Tombak Aliman menderu cepat menebas daun dan ranting yang
menghalangi dan tidak berapa lama kemudian, mata tombak meng-hantam rusa itu persis
dilehernya. Rusa itu terkejut dan menggeliat menahan sakit. Lalu tidak lama kemudian, binatang
itu menemui ajalnya.

Aliman sangat bahagia. Terbayang di matanya istrinya, Maryamah, akan sangat gembira dengan
hasil buruannya. Dengan melangkah ringan ke arah rusa yang sudah tidak bernyawa, Aliman
meraba gagang goloknya. Setelah dekat, Aliman berniat untuk menguliti tubuh rusa besar dan
gemuk itu. Ketika dia jongkok di sisi tubuh rusa. Tiba-tiba terdengar auman panjang. Aliman sangat
terkejut. Karena tiba-tiba saja dia melihat seekor harimau besar berdiri di atas sebuah batu besar
tidak jauh dari tempat dia jongkok.

“Pasti harimau itu minta bagian." Kata Aliman dalam hati. “Nanti akan aku beri satu paha rusa ini
untuk dia."

42

Golok yang ada di tangan Aliman mulai menguliti tubuh buruannya. Baru saja mata golok itu
meng-gores satu goresan di dekat kaki rusa. Tiba-tiba harimau tadi mengaum kembali sambil
berjalan mendekati Aliman.
Aliman terhenti menguliti rusa, karena harimau itu berjalan terus mendekati dirinya. Maka dengan
cepat Aliman bicara pada raja hutan itu.

“Kau tidak usah mendekatiku. Nanti akan aku beri sebuah paha rusa ini untukmu.”

Tapi harimau itu tidak peduli pada kata-kata Aliman. Dia terus berjalan mendekati Aliman sehingga
Aliman mundur perlahan-lahan kebelakang beberapa langkah. Ketika si Raja Hutan melewati
tubuh rusa yang baru saja mati ditombaknya. Raja hutan itu tidak berhenti. Dia terus berjalan ke
arah Aliman, dengan pandangan mata tetap tertuju pada Aliman sehingga Aliman tahu bahwa
dirinyalah yang jadi incaran harimau tersebut. Dengan tetap mundur perlahan-lahan, Aliman
menggenggam goloknya lebih kuat. Dan, dia bersiap untuk mempertaruhkan nyawanya dengan
binatang yang tampaknya tidak bersahabat dengan dirinya.

Ketika jarak keduanya sudah sangat dekat, maka dengan tiba-tiba binatang itu melompati Aliman
dengan keempat kakinya dia rentangkan. Dengan sigap Aliman melompat ke kanan sehingga
serangan pertama dapat dia hindarkan. Tapi harimau itu tidak memberi kesempatan untuk
berhenti dan bernapas.

Karena dengan cepat serangan kedua sudah dilancarkan. Dan, sebuah tamparan keras meng-

43

hantam pipi Aliman. Aliman jatuh terbanting ke tanah sedangkan goloknya terpental jauh dari
dirinya.

Aliman sadar, bahwa dirinya dalam bahaya sehingga dengan cepat dia memasang kuda-kuda untuk
menghadapi harimau yang kata orang bisa berkelahi dengan bersilat. Baru saja Aliman berdiri
dengan kuda-kuda yang kokoh. Tiba-tiba dirinya sudah jatuh kembali. Karena sebuah tamparan
keras dari si raja hutan itu sudah mendarat di pipinya. Kali ini Aliman jatuh terhempas lebih keras
ke tanah walaupun dia sudah memasang kuda-kuda, karena tamparan harimau itu sangat cepat.

Aliman menggeliat di tanah menahan sakit. Sedangkan harimau itu sudah bersiap untuk sebuh
serangan berikutnya. Aliman mencoba untuk berdiri. Tapi tidak bisa. Seluruh tenaga dalam
tubuhnya hilang seluruhnya.

Dengan kekuatan yang luar biasa, tubuh Aliman digigit persis pada baju yang dipakai Aliman dan
diangkat oleh binatang itu dengan kedua giginya lalu dibantingnya ke tanah. Aliman menggeliat.
Dia tidak bisa bergerak lagi. Seluruh tenaganya sudah luluh lantak oleh serangan binatang itu.
Ketika harimau itu mengangakan mulutnya untuk merobek tubuh Aliman, maka tiba-tiba
terdengar angin bertiup kencang sehingga daun-daun kayu di sekitar tempat itu bagai kuncup
tertiup angin. Ketika suara angin itu sudah reda, terdengar suara seorang laki-laki tua yang sangat
berwibawa sehingga harimau itu menghentikan serangannya.

“Bawa manusia itu kemari!" Kata laki-laki seorang tua. Maka tubuh Aliman diseret oleh harimau
besar
44

itu dengan giginya dan dibawa kehadapan laki-laki tua tadi. Sedangkan Aliman tidak bisa berbuat
apa-apa. kecuali pasrah pada keadaan sekelilingnya. Setelah sampai di hadapan laki-laki tua tadi.
perlahan-lahan Aliman membuka matanya. Dia melihat seorang laki-laki tua yang tampaknya arif.
Tapi kala itu kakek yang berdiri di hadapan tubuhnya yang sedang terbaring, sangat geram melihat
pada dirinya. Lalu dengan menahan marah, kakek itu bertanya.

“Siapa namamu?”

Dengan terbata-bata Aliman menjawab “Nama. ..ku.... A. ...liman"

“Kenapa kau bunuh rusa itu?”

“Aku....aku membunuh rusa itu untuk....untuk istriku yang se...sedang hamil.” Kembali Aliman
menjawab dengan terbata-bata karena takut.

“Kau tahu bahwa kau sudah membunuh rusa kencana milikku?” Nada bicara kakek itu mulai
meninggi, pertanda bahwa dia sedang menahan marah.

“Aku. . . aku tidak tahu." Kembali Aliman menjawab dengan terbata-bata.

“Kau tahu kalau kau sudah masuk ke dalam Hutan Larangan, bukan?"

“Eeee... eeeee... aku tidak tahu." Aliman mulai berbohong untuk membela dirinya. Walaupun
sebenarnya dia tahu akan hal itu sehingga tiba-tiba kakek itu bicara dengan nada semakin tinggi.

“Kau tahu! Tapi kau pura-pura tidak tahu! Bahkan seluruh penduduk desamu juga tahu, bahwa
tidak ada seorang pun yang boleh masuk ke dalam Hutan Larangan ini tanpa seizinku!” Kakek itu
menatap mata

45

Aliman dengan tajam sehingga Aliman tidak berani memandang mata kakek yang seolah-olah
mem-punyai pengaruh aneh pada dirinya. Melihat sikap Aliman yang diam tanpa merasa bersalah
sedikitpun, maka kakek itu mulai bicara dengan marah.

“Aku bernama Kakek Jabat! Aku penguasa Hutan Larangan yang berada dilereng Gunung Merapi
ini! Aku penguasa Gunung Merapi. Segala lelembut dan makhluk halus yang ada di sini tunduk
pada kata-kataku! Tunduk pada peraturan yang telah aku buat sehingga siapa saja, walau manusia
sekali pun, juga harus tunduk bila telah memasuki Hutan Larangan ini! Tapi kau tidak. Bahkan kau
telah membunuh rusa kencana kesayanganku dengan tanganmu!”

Kakek tua yang bernama Jabat itu berhenti sebentar. Lalu dengan nada masih marah, Kakek Jabat
melanjutkan kata-katanya.
“Karena kau telah menghilangkan nyawa binatang kesayanganku, maka kau harus menebus
dengan nyawamu sendiri!"

Kata-kata Kakek Jabat terdengar oleh Aliman bagaikan petir menyambar di siang hari sehingga
Aliman memohon dengan sangat kepada Kake Jabat. Bahkan Aliman berusaha bangkit untuk
mencium telapak kaki Kakek Jabat. Tapi seluruh tubuhnya masih juga tidak bisa digerakkan
sehingga tubuh Aliman diam saja di tanah yang telah basah oleh darah yang mengalir dari luka-
luka di tubuh Aliman. Sementara mulutnya terus mengeluarkan kata-kata yang sangat memohon
belas kasihan or-ang tua itu, Aliman bicara sambil meratap.

46

“Kakek Jabat... Aku mohon ampun atas perbuatanku... Aku rela berkorban apa saja... Tapi jangan
nyawaku sebagai ganti dari rusa kencana yang telah aku bunuh Kakek Jabat.... Kalau nyawaku yang
Kakek Jabat minta. . Bagaimana nanti dengan anak yang akan dilahirkan oleh istriku... Bila anak
kami itu lahir ke dunia... Tentu anak itu tidak akan mempunyai ayah lagi..."

Mendengar kata-kata Aliman yang meratap di kakinya, rasa belas kasihan Kakek Jabat cepat sekali
mengalahkan marah yang telah memuncak pada dirinya sehingga perlahan-lahan rasa marah dari
Kakek Jabat hilang perlahan lahan. Lalu berganti dengan rasa belas kasihan pada diri pemuda itu.
Tidak lama setelah itu, Kakek Jabat berkata, “Baiklah. Aku urungkan niatku untuk meminta
nyawamu. Dan sebagai gantinya akan aku tentukan ketika anakmu sudah lahir nanti."

Aliman berusaha meraih telapak kaki Kakek Jabat. Dia ingin mencium telapak kaki kakek itu. Tapi
niatnya tidak kesampaian, karena Aliman tidak bisa menggerakkan kedua tangannya.

“Kakek. .. Tolong aku kakek. .. Tubuhku tidak bisa aku gerakkan …” Aliman memohon kepada Kakek
Jabat.

Melihat kejadian itu. Kakek Jabat jatuh kasihan pada laki-laki yang telah masuk ke dalam Hutan
Larangan dan membunuh rusa kencana kesayangan Kakek Jabat. Kakek Jabat mengulurkan
tangannya. Dan, dengan sekali usap pada muka Aliman, maka bekas luka pada tubuh laki-laki itu
hilang tanpa berbekas sedikit pun. Seluruh persendian pada tubuh

47

Aliman bisa digerakkan seperti sedia kala sehingga Aliman bisa berdiri kembali.

“Aneh. Hanya satu kali mengusap mukaku. Seluruh luka di tubuhku hilang seketika. Tangan dan
kakiku bisa aku gerakkan kembali. Kini aku bisa berdiri lagi." Aliman bicara dalam hati.

Kakek Jabat mulai tersenyum ramah. Seolah-olah dia telah membaca isi hati Aliman.

“Kepandaian itu hanyalah sebagian kecil dari kepandaian-kepandaian yang aku miliki, Aliman.
Masih banyak kepandaian lain yang belum kau lihat dariku." Kakek Jabat bicara tanpa
membanggakan ilmu yang dimilikinya. Sementara Aliman masih terkagum-kagum pada kehebatan
orang tua yang dianggapnya sebagai makhluk halus penghuni Hutan Larangan.
“Sekarang pulanglah kau ke kampungmu: Katakan pada istrimu dan juga pada orang-orang
kampungmu: kau telah bertemu dengan penguasa Hutan Larangan ini. Bahkan katakan kepada
mereka, bahwa Hutan Larangan ini tidak boleh dimasuki oleh siapa pun tanpa seizinku!"

“Ya, Kakek Jabat." Aliman menjawab dengan penuh hormat. Maka tiba-tiba Kakek Jabat hilang dari
hadapan Aliman. Begitu pula dengan harimau yang menerkam Aliman tadi dan juga rusa yang
sudah mati terbunuh.

Aliman terkesima melihat semua kejadian itu. Lama dia terdiam. Karena semua yang dialaminya
seperti di dalam mimpi saja. Ketika hari sudah mulai senja, Aliman baru sadar, bahwa dia harus
keluar dari dalam Hutan Larangan.

48

Ketika malam tiba, barulah Aliman sampai di rumahnya. Semua yang dia alami, dia ceritakan pada
istrinya. Maryamah, perempuan muda dan cantik itu termenung mendengar cerita suaminya dan
merenungkan nasib bayi yang sedang dikandungnya. Tapi agar suaminya tidak sedih melihat
sikapnya, Maryamah cepat mengubah sikap. Dia buang rasa kecewa di dalam dirinya, karena
Aliman tidak membawa rusa yang dijanjikan. Bahkan dengan cepat dia siapkan makanan yang
sudah dinanti-nantikan suaminya, karena Aliman tampak sudah sangat lapar.

Hari demi hari telah terlewati. Bahkan bulan pun sudah berganti. Kedua suami-istri itu mulai lupa
pada kejadian dalam Hutan Larangan. Bahkan kini Aliman dan Maryamah sedang menunggu
kelahiran anak pertama mereka.

Akhirnya tibalah hari yang dinantikan itu. Maryamah melahirkan seorang bayi laki-laki yang
mungil, Maryamah dan Aliman gembira bukan main. Lama Aliman memandang bayi laki-laki yang
mungil itu. Bahkan terbayang di matanya, bagaimana sulitnya dia dulu mendapatkan Maryamah
dari tangan laki-laki yang bernama Raisman.

“Kakang Aliman?" tiba-tiba Maryamah bicara lembut kepada Aliman sehingga Aliman sadar dari
lamunannya.

“Kakang melamun?" Maryamah bertanya sambil tersenyum.

“Eee... ya.” Tiba-tiba saja Aliman menjawab sekenanya.

“Apa yang Kakang lamunkan, Kang?"

49

“Eeee....tidak ada.”

Lalu keduanya terdiam. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Sedangkan malam semakin
larut. Yang terdengar hanyalah Bunyi binatang-binatang malam.
“Kakang?" Kembali Maryamah bicara lembut pada suaminya.

“Ada apa. Istriku?” Aliman memandang Maryamah dengan pandangan lembut.

“Sudah satu minggu kita mempunyai bayi laki-laki yang lucu dan mungil ini. Tapi sampai sekarang
bayi ini belum kita beri nama.” Perlahan-lahan Maryamah duduk sambil memandang suaminya.

“Oh ya. Anak ini belum kita beri nama.”

“Apakah Kakang sudah mempunyai nama untuk anak kita ini, Kang Aliman?" Kembali Maryamah
bertanya lembut.

“Aku belum mempunyai persiapan nama untuk si mungil ini, Maryamah."

“Kalau aku yang memberi nama, boleh kan Kakang?"

“Kau sudah mempunyai persiapan nama untuk dia?”

“Sudah Kakang... ” Maryamah menjawab sambil tersenyum.

“Oh, boleh. Kenapa tidak?" Aliman memberikan persetujuan pada istrinya.

“Selama aku hamil dulu, Kakang telah pergi ketempat-tempat yang jauh untuk bertanya pada
orang-orang pandai. Apakah bayi kita nanti akan jadi orang yang baik dan berguna kelak. Bahkan
pada permulaan aku hamil dulu. Aku mengidam daging

50

rusa sehingga Kakang sampai masuk ke dalam Hutan Larangan untuk mencari rusa yang aku
inginkan."

"Ya, aku sampai masuk ke dalam Hutan Larangan." Tiba-tiba saja Aliman memotong pembicaraan
tanpa ada rasa penyesalan di dalam dirinya. Sementara Maryamah kembali teringat dengan
perjanjian itu. Perjanjian dengan Kakek Jabat yang sudah disetujui suaminya sehingga Maryamah
menjadi takut. Takut sekali.

“Bahkan ketika itu aku telah bertemu dengan penguasa Hutan Larangan.”

“Ah, sudahlah Kakang. Tidak usah kita ingat-ingat lagi perjanjian itu. Aku takut mendengarnya.”
Maryamah memotong kata-kata suaminya.

"Ya, baiklah. Jadi siapa nama anak ini, Maryamah?” Aliman bertanya dengan serius.

“Karena Kakang sering pergi mengembara, maka aku ingin memberi nama anak kita ini dengan
nama SEMBARA." Aliman memandang istrinya dengan penuh rasa sayang.

“Kakang setuju bukan kalau anak kita ini kita beri nama Sembara?"
"Ya. Aku setuju saja.” Aliman menjawab sekenanya.

“Terima kasih, Kang." Maryamah tampak sangat bahagia, karena nama yang diberikan pada
anaknya disetujui oleh Aliman. Namun rasa was-was pada diri Maryamah semakin tebal sehingga
dia mulai merasa cemas.

“Kenapa tiba-tiba pucat, Istriku? Kau sakit?"

“Tidak, Kakang. Aku hanya agak kurang enak badan."

51

“Kalau begitu tidurlah. Mungkin kau kecapaian setelah seharian menjamu para tetangga yang
datang.”

“Ya." Kembali Maryamah menjawab sekenanya sehingga Aliman bertambah bingung.

Tiba-tiba terdengar angin kencang bertiup di sekitar rumah mereka. Angin kencang itu seolah-olah
akan menyapu apa yang ada di sekitar rumah itu sehingga keduanya saling berpandangan. Tidak
lama kemudian Aliman mulai merasakan sesuatu. Aliman mulai ingat kejadian beberapa bulan
yang lalu di dalam Hutan Larangan. Aliman kembali teringat ketika Kakek Jabat datang, didahului
oleh tiupan angin kencang seperti yang terjadi sekarang ini. Seketika itu Aliman pun menjadi pucat
wajahnya. Inilah pertanda bahwa penguasa Hutan Larangan itu akan datang kembali.

Belum selesai keduanya saling menatap dengan tatapan cemas. Angin kencang itu mulai reda, lalu
hilang sama sekali. Namun perasaan kedua suami-istri itu masih saja cemas. Bahkan Aliman mulai
me-rasa was-was, angin kencang itu mengingatkan dia pada pertemuan pertama dengan Kakek
Jabat dulu.

Tiba-tiba anak mereka yang masih bayi menangis keras. Lalu anak itu kejang-kejang sehingga
kedua orangtuanya menjadi semakin cemas.

“Bagaimana ini, Kang? Sembara menangis terus." Maryamah menjadi sangat cemas.

“Bara? Sembara?” Aliman memanggil-manggil anaknya dengan nama yang baru saja mereka
berikan kepada bayi mungil itu sambil menggosok-gosok tubuh anak itu dengan tangannya. Tapi
anaknya tidak

52

juga berhenti menangis. Bahkan sekarang tubuhnya menjadi kejang-kejang. Sedangkan matanya
mulai terbalik-balik.

“Oh, kenapa begini dia, Kakang?” Maryamah bicara dengan rasa cemas.

“Akan aku panggilkan dukun untuk mengobati anak kita.”


“Ya, Kang." Maryamah terus memegang tubuh anaknya yang mulai kaku.

Ketika Aliman baru saja akan melangkah. Tiba-tiba di hadapannya sudah berdiri penguasa Hutan
Larangan yang bernama Kakek Jabat sehingga Aliman tidak jadi meneruskan langkah kakinya.

“Kau tidak usah mencari dukun, Aliman.”

“Oh, Kakek Jabat.” Aliman bicara nanar.

“Ya. Aku sudah hadir di ruangan ini, Aliman.” KakekJabat bicara dengan ramah di hadapan Aliman
dan Maryamah. Namun kedua suami-istri itu terkejut bukan main. Sementara anak mereka yang
diberi nama Sembara mulai diam. Tubuhnya tidak kejang-kejang lagi. Bahkan bayi itu sekarang
sudah mulai tenang dan bahkan tersenyum. Seolah-olah bayi itu mendapatkan kawan.

“Kau tentu ingat pada perjanjian kita beberapa bulan yang lalu, Bukan?"

“Eh ya, Kakek Jabat.” Aliman menjawab dengan bibir yang gemetaran. .

“Nah, sekarang aku menuntut janji itu padamu.”

Aliman masih terdiam. Dia tidak bisa menjawab kata-kata Kakek Jabat. Dia tidak bisa berpikir. Dia
hanya memandang istrinya dengan pandangan kosong.

53

Melihat suaminya seperti itu, maka Maryamah memberanikan diri untuk bicara pada Kakek Jabat.

“Maaf, Kakek Jabat. Kami berdua belum tahu janji apa yang Kakek Jabat tuntut kepada kami. ”

“Suamimu tentu sudah bicara padamu Maryamah Suamimu sudah aku bebaskan dari hutang
nyawa padaku."

"Ya, Kakek Jabat. Kakang Aliman sudah mence-ritakan semua kejadian dalam Hutan Larangan itu
padaku.” Maryamah menjawab masih dalam keadaan cemas.

Dengan suara bulat dan berat Kakek Jabat meneruskan kata-katanya. “Yaaah, sebenarnya suamimu
orang yang baik.” Kakek Jabat bicara sambil tersenyum. Tapi senyum itu bagaikan sebuah anak
panah yang menghunjam di dada Aliman.

“Nah, aku ingin minta anakmu ini untuk aku bawa ke dalam Hutan Larangan. Ke puncak Gunung
Merapi.” Kakek Jabat bicara dengan suara mantap.

“Oh Kakek Jabat. Jangan ambil anak kami. Dia adalah buah hati kami. Aku mohon Kakek Jabat.
Jangan ambil anak kami ini.” Maryamah bicara sambil menggendong bayi yang tadi sedang tertidur
dalam buaiannya. Merasa tubuhnya digendong oleh ibunya. Sembara kecil merasa bertambah
aman.
“Oh tentu. Tentu bukan sekarang waktunya aku ambil bayi ini. Tapi aku tunggu delapan belas tahun
lagi. Karena dia tentu butuh asuhanmu. Sedangkan aku kemari hanya untuk mengingatkan janjiku
pada kalian." Kakek Jabat bicara tetap sambil tersenyum.

“Nanti, delapan belas tahun lagi, aku akan bawa dia. Lalu akan aku angkat dia sebagai raja di
kerajaan

54

Kencana Biru. Karena dia sudah aku tetapkan sebagai penggantiku.”

“Ya, Kakek…." Maryamah menjawab dengan perasaan tidak karuan. Sedangkan Aliman menjadi
semakin cemas.

55

56
EMPAT

Malam itu bulan sedang purnama, sehingga warna desa yang bernama Desa Seberang menjadi
keperak-perakan disiram cahaya bulan. Daun-daun pisang, daun-daun jambu air. pucuk-pucuk
bambu, pucuk-pucuk daun beringin. atap-atap rumah penduduk semuanya berwarna perak.

Seluruh pintu dan jendela rumah penduduk telah tertutup rapat. Penghuni desa sudah tertidur
dan dibuai mimpi. Sedangkan dikejauhan tampak seekor musang sedang berlari-lari kecil
mengintai mangsa. Sedangkan puluhan ekor kalong asyik memakan buah beringin yang sedang
berbuah lebat dan banyak tumbuh didalam hutan.

Hutan Larangan. Hutan yang masih angker bagi penduduk disekitar kakaki Gunug Merapi, masih
menunjukkan keangkerannya. Cahaya bulan yang

57

berwarna perak menyiram seluruh pucuk-pucuk daun di permukaan hutan, menambah angkernya
hutan itu. Bahkan pohon-pohon tinggi yang tampak bagaikan raksasa-raksasa jangkung bergerak
perlahan tertiup angin kesana kemari menambah seram suasana. Sedangkan dikejauhan terdengar
sekali-sekali anjing hutan melolong panjang pertanda merindukan bulan. Bahkan kata orang-orang
tua di Desa Seberang anjing itu melolong, karena melihat hal-hal aneh yang tidak bisa dilihat oleh
mata manusia.

Di sebuah rumah di Desa Seberang, seorang pemuda yang sejak senja tadi tidak bisa memejamkan
matanya bangkit dari pembaringan. Lalu melangkah menuju pintu depan rumahnya. Lama dia
berdiri diam. Tidak lama kemudian dengan tersenyum kecil, dia meraih pasak pintu dan membuka
pintu rumah. Perlahan-lahan dia duduk di muka pintu rumah sambil matanya menyaput seluruh
sosok gunung dan hutan yang berwarna perak dikejauhan.

Sembara. Nama yang tidak asing lagi bagi penduduk Desa Seberang. Dia adalah seorang pemuda
gagah dengan tubuh tegap dan dada yang bidang. Tubuhnya cukup tinggi. Sedangkan rambutnya
ikal berombak. Sementara bulu matanya melentik mengiringi hidungnya yang mancung dan raut
wajahnya yang sangat tampan.

Tatapan mata Sembara tetap tertuju pada Gunung Merapi yang jauh diujung desanya. Bahkan
tidak lama kemudian pemuda gagah itu tersenyum kecil memandang ke arah Gunung Merapi.
Seolah-olah

58

dia sedang tersenyum pada seseorang di gunung yang jauh itu.

Ketika pintu rumahnya berderit dibuka, Ibu Sembara yang bernama Maryamah, tersentak bangun.
Sambil matanya nanar memandang langit-langit kamar, Maryamah memasang telinga baik-baik.
Namun suasana sekeliling rumah tetap sunyi. Tidak ada suara apa-apa lagi kecuali suara jangkrik
dan cacing tanah.
Namun perasaan Maryamah tetap tidak enak. Maka perlahan-lahan perempuan yang masih
tampak cantik itu bangun dari tidurnya. Dan juga dengan perlahan-lahan dia berjalan membuka
pintu kamar.

Ketika dia melihat ke arah pintu depan rumahnya, Maryamah terkesiap. Darahnya mengalir cepat.
Karena dia melihat pintu rumahnya telah terbuka.

Mata Maryamah melihat seorang laki-laki duduk membelakanginya di depan pintu rumah. Setelah
agak lama memandang punggung laki laki itu, Maryamah tahu, bahwa yang duduk itu adalah
anaknya. Tak heran bila perempuan yang masih muda itu sudah tahu siapa yang membuka pintu di
rumahnya.

Perlahan-lahan Maryamah melangkahkan kakinya mendekati anak yang sangat dia sayangi. Setelah
sampai, dia berhenti persis di belakang anaknya.

“Belum tidur kau, Nak?” Sapa Maryamah lembut.

“Mataku belum bisa dipejamkan, Bu." Sembara menjawab sambil matanya tetap tertuju ke arah
Gunung Merapi yang tampak di kejauhan. Maryamah memperhatikan sikap anaknya itu. Maka
Maryamah bertanya ingin tahu.

59

"Apa yang kau lihat, Sembara?”

“Aku melihat seseorang tertawa padaku, Bu. Maryamah terkesiap mendapat jawaban seperti itu.
Lalu dengan cepat lagi Maryamah bertanya.

“Di mana?

“Di sana, Bu. " Telunjuk Sembara menunjuk lurus ke arah Gunung Merapi.

“Di gunung itu?"

“Ya, di gunung itu.”

Tiba-tiba darah Maryamah berdesir cepat. Pikiran Maryamah galau memikirkan apa yang dilihat
anaknya. Tapi dia masih kurang percaya, sehingga dia bertanya sekali lagi.

“Siapa yang kau lihat di gunung itu, Anakku?"

Dengan masih menatap ke arah gunung yang tampak berwarna perak itu, Sembara menjawab,
“Aku melihat seorang kakek berjubah putih dengan ikat kepala yang juga putih.” Kembali darah
Maryamah berdesir cepat. Bahkan kini jantungnya berdebar keras. "Apakah perjanjian itu sudah
tiba saatnya sekarang?" Katanya bertanya dalam hati.

“Apakah kau kenal dengan kakek itu, Anakku?" Maryamah kembali bertanya.
“Kenal.”

“Di mana kau kenal dengan kakek itu Sembara?" Maryamah bertanya lebih jauh”.

Sambil menolehkan kepalanya ke arah Maryamah Sembara menjawab, “Didalam mimpi. Bahkan
aku sering bermimpi bertemu dengan kakek itu.”
“Kau pernah pergi ke gunung itu, Sembara?"

60

"Sering, dalam mimpi. Bahkan sejak aku kecil, aku sudah sering pergi bermain ke gunung itu
sehingga aku sudah berkenalan dengan orang-orang penghuni di gunung itu."

Kini Maryamah tahu sudah, bahwa perjanjiannya dengan kakek penghuni sekaligus penguasa
Gunung Merapi sampai sudah. Dan tidak terasa delapan belas tahun sudah berlalu. Dan sekarang
anak yang sangat dicintainya itu harus dilepaskannya. Tapi apakah dia sanggup untuk berpisah
dengan anaknya? Karena selama delapan belas tahun, kasih sayang telah dicurahkannya kepada
Sembara. Apalagi sekarang Maryamah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali anaknya yang bernama
Sembara.

Memang delapan belas tahun yang lalu Maryamah pemah berjanji dengan penguasa Gunung
Merapi. Bahkan beberapa bulan ketika dia masih hamil, suaminya pernah berjanji pada penguasa
Gunung Merapi. Sampai sekarang, saat Sembara yang sekarang adalah pelipur laranya dikala suka
dan duka sudah dewasa. Janji itu masih terngiang dalam lubuk hatinya.

Maryamah terdiam. Perlahan-lahan Maryamah berjalan ke ruang depan. Lalu dia duduk
termenung sambil menghadap ke Gunung Merapi. Tapi yang dipikirkannya tidak sama dengan yang
dipikirkan oleh anaknya, Sembara. Maryamah tampak sangat cemas akan kehilangan anaknya.

Saat itu, Maryamah juga melihat seorang kakek berdiri di Gunung Merapi yang jauh itu. Kakek itu
tersenyum lembut ke arahnya. Senyum lembut kakek itu bagi Maryamah adalah sebagai pertanda
bahwa

61

dia akan berpisah dengan anaknya sehingga dengan cepat Maryamah berlari ke kamarnya. Lalu dia
duduk di atas pembaringan dengan pandangan mata sangat ketakutan.

Tiba-tiba tanpa diketahui dari mana datangnya, kakek yang dia lihat berdiri jauh di Gunung Merapi
tadi, kini sudah berdiri di hadapannya.

Maryamah sangat terkejut. Tapi dia mencoba menenangkan diri setenang-tenangnya. Walaupun
kakek itu tersenyum lembut kepadanya.

Dengan terbata-bata Mayamah bertanya kepada kakek yang tampaknya baik hati itu.
“Kakek sudah ingin mengambil anakku?"

Dengan senyum tetap mengambang di bibirnya, kakek itu menganggukkan kepala.

Tiba-tiba Maryamah bagaikan di sambar petir sehingga dia berpegang kuat ke tepi pembaringan,
agar dirinya tidak jatuh, karena sebentar lagi dia akan kehilangan anak yang sangat dia cintai itu.

“Kau seharusnya tidak perlu cemas, Maryamah. Bukankah perjanjian kita delapan belas tahun yang
lalu sudah sampai saatnya?"

“Ya, Kakek Jabat.” Jawab Maryamah terbata-bata “Tapi aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
Hanya anakkulah satu-satunya buah hatiku. Sembaralah satu-satunya pelipur lara bagiku. Kalau dia
kakek ambil, sama juga kakek membunuhku perlahan-lahan.” Air mata Maryamah mulai deras
meleleh di pipinya.

Kakek yang bernama Jabat itu lama terdiam. Dia pandang Maryamah dalam-dalam. Pandangannya
seolah-olah menuduh Maryamah berkelit lagi dalam

62

soal janji. Setelah memandang Maryamah sampai ke lubuk hati yang paling dalam, Kakek Jabat
menarik napas panjang.

Kini perlahan-lahan tampak dalam diri kakek itu berkecamuk perasaan kasihan dan perasaan ingin
mengambil Sembara sesuai janji yang telah mereka sepakati delapan belas tahun yang lalu. Wajah
yang menunjukkan ketidakpuasannya pada janji Maryamah sirna sudah, walaupun hal itu belum
dia ungkapkan kepada Maryamah.

Bahkan Kakek Jabat menjadi trenyuh melihat Maryamah terisak menangis seperti itu. Rasa welas
asih telah menyelimuti diri Kakek Jabat yang arif itu.

Sementara dalam isak tangisnya pikiran Maryamah jauh melayang ke masa delapan belas tahun
yang lalu. Dimasa itu. Dimasa Maryamah butuh seorang suami untuk bahu-membahu dengan dia
menghadapi hidup yang terasa semakin berat. Tiba-tiba saja Aliman telah meninggalkan
Maryamah untuk selama-lamanya. Aliman meninggal dunia persis seperti yang dialami kedua
orang tuanya dulu.

Kematian Aliman ini membuat Maryamah merasa limbung. Dia merasa hidup ini sudah tidak enak
lagi untuk dijalani. Hidup ini bagaikan cobaan pahit yang tidak kepalang tanggung beratnya.

Tapi semua cobaan hidup di saat itu masih bisa diatasi Maryamah perlahan-lahan. Maryamah
mulai sibuk mengurusi Sembara. Apalagi anaknya itu kini tumbuh dengan sehat sehingga perlahan-
lahan Sembara telah menjadi pelipur lara bagi dirinya yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi di
dunia ini. Tapi kini dia harus berpisah dengan anaknya.

63
“Maryamah?” tiba-tiba Maryamah tersentak dari lamunan masa lalunya, maka dengan cepat dia
hapus air mata yang menggenangi pelupuk mata dengan ujung bajunya..

“Ya, Kakek Jabat?”

“Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan."

"Ya, kalau Kakek Jabat tetap ingin mengambil anakku. Maka aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Kecuali menangis dan menangis sepanjang hari sampai hidupku ini surut dari dunia ini.” Kembali
air mata Maryamah jatuh berderai kepangkuannya.

“Tidak. Aku tidak akan mengambil buah hatimu itu. “ Jawab Kakek Jabat perlahan-lahan.

“Betul, begitu Kakek Jabat?” Maryamah bertanya seolah-olah tidak percaya.

“Betul. Kau boleh mengasuh anakmu itu sampai kapan pun.”

“Oh, Kakek Jabat. Kakek ternyata adalah orang tua yang sangat arif.“ Lalu Maryamah bersimpuh
mencium kaki Kakek Jabat itu. Sampai Kakek Jabal mengangkat dia dari keadaan seperti itu.

"Jangan! Jangan kau lakukan hal ini kepadaku! Aku tidak berbuat yang luar biasa padamu. Aku,
hanya mengubah niatku."

“Tapi Kakek Jabat telah menolong hidupku ini." Isak tangis kebahagiaan kini menyelimuti diri
Maryamah.

“Sudahlah. Sekarang aku minta padamu, aku ingin membawa Sembara ke negeriku. Setelah itu,
Sembara akan aku kembalikan lagi padamu.”

“Oh silakan, Kakek Jabat. Aku tidak keberatan. Asal Sembara bisa tetap bersamaku." Maryamah

64

bicara sambil tersenyum. Senyum kebahagiaan yang selama delapan belas tahun ini tidak pernah
dia rasakan lagi.

“Sekarang panggilkan Sembara ke mari, Maryamah."

“Ya, Kek.” Dengan bergegas Maryamah berlari keluar memanggil anaknya. Sementara air mata
kebahagiaan terus membasahi pipinya.

Sesampai di dekat Sembara, Maryamah berkata kepada anaknya dengan penuh kebahagiaan.

“Sembara, anakku.”

“Ada apa, Bu?" Sembara bertanya heran.


“Kau dipanggil." Maryamah berkata dengan senyum kebahagiaan.

“Di panggil? Siapa yang memanggilku, Bu? Dan Ibu kenapa menangis?" Sembara bertanya bertubi-
tubi sehingga Maryamah menjadi sadar, bahwa dia masih menangis ketika berhadapan dengan
anaknya.

“Bu? Kenapa Ibu menangis?”

”Ibu menangis karena bahagia, anakku." Maryamah menyeka air mata yang masih mengambang
dipelupuk matanya.

“Bahagia? Bahagia kenapa, Bu?” Sembara bertambah heran.

“Ibu sudah bertemu dengan Kakek Jabat. Dan sekarang Kakek Jabat ingin bertemu denganmu,
Nak." Maryamah berkata dengan lancar sekali sehingga Sembara menjadi terkesima.

“Kakek Jabat?”

“Ya, Nak. Kakek Jabat menunggumu di dalam."

“Oh, baik. Akan aku temui Kakek Jabat di dalam rumah kita ini.” Sembara berdiri lalu bergegas

65

menuju ruang tengah rumahnya. Baru saja Sembara melangkah dua langkah. Langkahnya telah
terhenti. Karena di hadapannya telah berdiri Kakek Jabat yang tampak sangat arif itu.

“Pangeran?”

“Ya, Kakek Jabat." Sembara menjawab denga hormat.

“Malam ini aku sudah bicara dengan Ibumu bahwa aku telah membatalkan janjiku untu
membawamu pergi untuk selama-lamanya. Aku hanya akan membawamu ke dalam Hutan
Larangan untuk beberapa hari agar kau kenal dengan kehidupanku. Kau pun kenal dengan
kehidupan kaumku di Hutan Larangan. Kau juga kenal dengan kerajaan Kencana Biru yang aku
pimpin.” Kakek Jabat bicara sambil tersenyum, sementara Sembara kebingungan sehingga berkali-
kali dia melihat pada ibunya. Sedangkan Maryamah begitu pula. Dia sangat heran melihat anaknya
sudah sangat kenal dengan Kakek Jabat. Bahkan Kakek Jabat me-manggil nama anaknya bukan
Sembara. Tapi Pangeran.

“Kau tidak usah bingung, Pangeran. ibumu pasti mengizinkanmu pergi bersamaku.”

“Aku izinkan dan aku relakan anakku pergi bersamamu, Kakek Jabat. Asal dia kembali lagi
berkumpul denganku di rumah ini." Maryamah berkata sambil menegaskan ucapan Kakek Jabat
tadi kepadanya.

“Aku tidak akan melanggar janjiku kepadamu Maryamah. Percayalah.”


66

"Ya, Nak. Pergilah bersama Kakek Jabat ini ke Hutan Larangan. Semoga kau tidak akan
menyusahkan Kakek Jabat sesampai di sana."

“Baik, Bu. Aku akan menjaga diriku selama dalam perjalanan nanti."

“Hah, Pangeran. Mari kita berangkat."

“Baik, Kakek Jabat." Lalu Sembara mencium tangan Ibunya sehingga perempuan muda yang masih
tampak cantik itu kembali terharu melepas kepergian anaknya.

Baru saja Maryamah melihat Kakek Jabat dan Sembara melangkah satu langkah, tiba-tiba
keduanya hilang dari hadapan Maryamah sehingga perempuan itu terkesima melihat kejadian di
depan matanya.

“Aku baru sadar, bahwa Kakek Jabat yang aku hadapi tadi bukanlah seorang manusia. Tapi raja dari
kerajaan makhluk halus bernama kerajaan Kencana Biru yang berada di puncak Gunung Merapi."

67

68
LIMA

Matahari sudah tinggi. Hari sudah beranjak siang. Warna langit semakin biru. Pertanda musim
hujan masih belum akan datang sehingga panas masih terasa menyengat kulit. Namun dua muda-
mudi itu masih duduk di sana. Duduk di bawah pohon Angsana yang tumbuh rimbun di tepi jalan
antara Desa Ilir dengan desa Seberang. Bahkan kedua muda-mudi itu tambah asyik berbincang-
bincang.

“Farida?”

“Kakang Sembara?”

“Ayahmu tahu hubungan kita?"

“Tidak tahu, Akang."

“Oh, belum tahu ya? Kalau beliau tahu, bagaimana?"

“Entahlah, Kang. Aku belum berani mengatakannya." Suasana kembali sepi. Masing-masing

69

menatap jauh ke ujung langit. Di sana tampak seekor burung elang terbang jauh di angkasa sambil
matanya tajam mengintai mangsa.

“Kalau ibu Kang Sembara sudah tahu hubungan kita?" Gadis cantik yang bernama Farida itu
membuka pembicaraan.

“Sudah.”

"Apakah beliau menyetujui hubungan kita ini, Kakang?"

“Aku tidak tahu.Tapi beliau tidak pernah melarang aku menemuimu."

“Berarti hubungan kita direstui oleh Ibu Kang Sembara.“

“Semoga saja begitu.” Sembara menjawab sekenanya.

“Semoga saja begitu? Maksud Kakang?"

"Yaaa, Ibuku belum mengatakan iya atau tidak. Karena beliau belum pernah bertemu denganmu."

“Oh, begitu."
“Kau mau sekarang ke rumahku?"

“Sekarang?"

“Ya. Kenapa?”

“Hari sudah semakin siang, Kakang. Aku belum minta izin kepada Ayah untuk keluar rumah.“

“Kalau Ayahmu tahu kau menemuiku di sini, bagaimana Farida?”

"Aku akan berbohong kepada Ayah. Akan aku katakan bahwa aku dari rumah teman sehingga aku
baru sampai di rumah sesiang ini."

Mendengar kata-kata Farida, Sembara menarik nafas panjang. Lalu dia berpikir lagi tentang masa
lalu, hubungan orang tuanya dengan orang tua

70

Farida. Bahkan sampai Ayahnya meninggal dunia ketika dia masih kecil, hubungan orang tuanya
dengan orang tua Farida masih tidak dia ketahui dengan pasti hal yang sebenarnya. Seolah-olah
ada yang disembunyikan oleh Ibunya kepadanya, bila dia bertanya tentang masa lalu hubungan
kedua keluarga itu. Seolah-olah ada suatu ganjalan yang masih belum mau diungkapkan ibunya
kepadanya.

“Kakang melamun?” Sembara terkejut tiba-tiba ditanya begitu sehingga lamunannya sirna
seketika. Lalu Sembara menjawab dengan hati-hati.

“Eh, tidak. Eeee... aku berpikir. Lebih baik sekarang kau pulang ke rumahmu. Nanti Ayahmu
bingung mencarimu, Farida.”

“Baiklah, Kakang. Aku pulang sekarang.”

“Hati-hati di jalan, Farida.“

"Ya, Kakang."

Farida berdiri perlahan-lahan. Setelah menatap pada Sembara dengan tatapan sayang, maka Farida
berjalan menuju ke rumahnya di Desa Ilir. Setelah sampai di tikungan jalan, akhirnya Farida hilang
dari pandangan mata Sembara.

Sembara sebenarnya ingin sekali menemani kekasihnya itu sampai di rumahnya. Tapi hati kecil
Sembara mengatakan jangan. Karena masa lalu orang tuanya dengan orang tua Farida masih
menjadi tanda tanya baginya. Dia ingin menghilangkan ganjalan itu. Dia ingin hubungan ibunya
dengan Ayah Farida menjadi lebih baik sehingga hubungannya dengan Farida akan berjalan mulus.

Itu yang terpikir oleh Sembara. Padahal hubungan Raisman dengan Maryamah tidak semudah
yang
71

diperkirakan Sembara. Hubungan kedua orang yang umur mereka mulai beranjak sore itu adalah
hubungan cinta. Cinta Raisman yang ternyata bertepuk sebelah tangan. Akhirnya Raisman menjadi
kecewa pada Maryamah. Lalu hubungan keduanya menjadi retak. Bahkan patah arang karena telah
menyangkut harga diri dan martabat keluarga sehingga hubungan itu belum tentu akan bisa
disambung lagi.

Ketika hari sudah menjelang sore, pemuda gagah yang sedang jatuh cinta itu sampai di rumahnya.
Sementara itu Ibunya, Maryamah, sudah menunggunya sejak siang tadi.

“Baru sampai kau, Sembara?"

“Ya, Bu." Sembara menjawab lembut pada ibunya.

“Duduklah. Ibu mau bertanya padamu."

“Ya, Bu." Perlahan-lahan Sembara duduk di atas tikar di hadapan ibunya. Sedangkan dalam diri
Sembara timbul pertanyaan. Apa yang akan ditanyakan ibunya kepadanya.

Tidak lama kemudian suasana hening sejenak. Setelah itu Maryamah kembali bertanya.
Pertanyaan seorang Ibu yang sangat sayang pada anaknya

“Dari mana saja kau, Nak?"

“Pagi tadi aku mengurusi air untuk sawah kita. Lalu setelah itu aku pergi ke rumah kawan."

“Laki-laki atau perempuankah kawanmu itu, Nak?” Ketika ditanya begitu. Sembara menjadi
bingung. Dia tidak bisa berbohong pada Ibunya. Bahkan pada siapa pun juga.

“Kenapa kau diam, Sembara?"

72

“Eeeee ... kawanku itu perempuan, Bu." Sembara berkata jujur.

“Faridakah namanya?"

“Ya, Bu." Sembara menjawab sambil terkejut dan malu-malu. Namun dalam dirinya Sembara
bertanya. Dari mana Ibunya tahu kalau nama gadis itu Farida.

“Yaah, anak Raisman itu memang cantik.”

“Ibu pernah melihat Farida, Bu?" Perasaan Sembara mulai agak tenang.
“Aku belum pernah melihat Farida. Tapi aku yakin anak itu pasti cantik. Kecantikannya itu dia dapat
dari almarhum ibunya." Maryamah berkata sambil membayangkan wajah almarhumah Ibu Farida
yang bernama Duhita.

“Kenapa Ibu Farida meninggal, Bu?” Sembara mulai berani balik bertanya pada Ibunya.

“Entahlah, Nak?" .

"Apakah mungkin Ayah Farida tidak memperhatikan Ibu Farida? Ataukah ada hal-hal lain?”

“Semenjak Ibu menikah dengan Ayahmu. Ibu tidak pernah tahu lagi kehidupan Raisman. Apalagi
desa ini berjauhan dengan Desa Ilir sehingga hubungan itu menjadi terputus."

Suasana kembali sepi. Sementara langit semakin memerah. Pertanda senja semakin temaram.
Maryamah menatap jauh. Karena saat-saat seperti sekarang itulah terlintas masa lalu yang indah
bagi dirinya bersama suaminya almarhum sehingga dari bibir Maryamah tersungging senyum.

Tiba-tiba Maryamah sadar, bahwa di hadapannya ada anaknya, Sembara, sehingga kenangan indah
itu cepat dibuangnya. Tentunya agar Sembara tidak

73

bertanya tentang masa lalu. baik yang indah mau pun yang pahit pada dirinya. Sedangkan Sembara
bersiap-siap ingin menanyakan masa lalu Maryamah dari sisi yang kelam. Karena berita itu sudah
sangat sering dia dengar dari orang-orang desa.

"Bu. Boleh aku bertanya?"

“Boleh. Apa salahnya?"

“Aku mendengar cerita, kalau kakek dan nenek dari pihak Ayah maupun dari pihak ibu meninggal
karena diteluh orang. Juga Ayahku meninggal dengan cara yang sama. Betul begitu, Bu?”

Tiba-tiba Maryamah terkejut. Dia tidak menyangka akan ditanya tentang hal itu. Tapi dengan cepat
dia menyimpan rasa terkejutnya. “Siapa yang bilang begitu padamu, Nak?”

“Banyak orang yang mengatakan begitu pada Bu."

“Yaaa tidak, anakku.”

“Oh, tidak?”

“Tentu tidak. Orang-orang itu hanya bicara sekenanya saja.”

“Kalau memang hal itu terjadi. Kita harus menuntut balas, Bu."

"Pada siapa kita menuntut balas, anakku?”


“Kepada orang yang telah membunuh kedua kakek dan nenekku dan juga orang yang telah
membunuh Ayahku!”

“Kita hidup di dunia ini sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, anakku. Dan Ibu bukanlah orang
yang suka berbuat hal yang tidak-tidak kepada orang lain." Maryamah memandang wajah anaknya
dengan tersenyum. Walau di balik senyum itu ter-

74

simpan rasa pedih yang tidak ingin diungkapkannya kepada siapa pun. Termasuk kepada anaknya.
Pedih yang mungkin akan dibawanya sampai ke liang kubur.

"Jadi, Ibu tidak tahu pembunuh itu, Bu?"

“Ya tidak, anakku. Bahkan Ibu menyangsikan apakah betul kedua orang tua Ibu dan kedua orang
tua Ayahmu dan juga Ayahmu di bunuh dengan cara halus seperti itu.”

“Oh, begitu."

"Yah, kematian mereka karena memang sudah waktunya, Anakku."

Suasana kembali sunyi, ibu dan anak itu hanyut dalam pikiran masing-masing.

“Lalu kematian Ibu Farida Ibu juga tidak tahu dengan pasti”

“Maksudmu?”

“Di teluh orang misalnya?”

“Ibu rasa kematian Duhita juga karena sudah saatnya dia dipanggil oleh Sang Pencipta.”

“Oh, bukan di teluh orang?"

“Bukan.”

“Dan, apakah Ayah Farida kawin lagi, Bu?" Sembara bertanya ingin tahu.

Janda cantik itu menarik napas panjang. Setelah itu baru dia menceritakan secara singkat kisah
hidup musuh besarnya yang bernama Raisman. Namun dia berusaha tidak menyinggung-
nyinggung hubungan Raisman dengan dirinya. Karena hubungan itu memang tidak ingin dia ungkit-
ungkit lagi.

“Setelah kematian istrinya, lama Raisman menduda. Mungkin kematian Duhita sangat

75
memukul perasaannya sehingga akhirnya Raisman kawin lagi dengan seorang perempuan yang
ber-nama Ipin. Dari istri keduanya itu, dia mempunyai anak, juga seorang perempuan yang
bernama Sri Bulan. Kata orang, Sri Bulan itu juga cantik seperti kakaknya Farida. Bahkan wajah
mereka bagai pinang dibelah dua. Hanya sayang, istri keduanya itu dia ceraikan.”

“Di mana rumah mereka, Bu?”

“Entahlah, Nak. Ibu tidak tahu di mana Ipin dan anaknya tinggal. Karena Ibu tidak ingin mengetahui
banyak tentang kehidupan Raisman."

Kasihan juga Pak Raisman itu.”

“Kasihan kenapa, Anakku?"

“Hidupnya jadi luntang-lantung tidak karuan."

"Raisman itu orang kaya. Dia tidak akan luntang-lantung hanya karena hal-hal seperti itu.
Kekayaannya dia dapatkan dari kedua orang tuanya.”

“Maksudku Bukan dia luntang-lantung karena miskin. Tapi luntang-lantung karena tidak bahagia."

“Mungkin juga." Maryamah menjawab sekenanya. Karena dia tidak mau anaknya bertanya tentang
hal itu lagi.

“Apakah Pak Raisman itu pernah datang kemari, Bu?"

“Sejak delapan belas tahun yang lalu, tidak pernah lagi dia menginjakkan kakinya ke rumah ini."

"Kenapa begitu, Bu?"

“Ibu tidak tahu, Anakku."

“Apakah Pak Raisman kecewa pada kita sehingga dia tidak mau lagi datang ke rumah ini?”

76

“Tidak ada. Hanya karena dia orang kaya. Tentu dia tidak mau bergaul dengan kita. Karena
mungkin dia menganggap kita tidak sederajat dengannya."

“Ah, masak dia hanya bergaul dengan orang-orang yang sederajat dengan dia?" Sembara terus
mengejar Ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang hampir-hampir membuka rahasia
Maryamah yang selama ini dia tutupi dengan rapi. Namun Maryamah berusaha menjawab dengan
kata-kata yang selalu menutup lobang-lobang jebakan itu sehingga dia selamat dari pertanyaan-
pertanyaan anaknya.

“Anakku, Raisman itu orang yang selalu gila pangkat, derajad dan harta. Bila kita bisa memenuhi
semua itu, kita akan bisa mendekati dia.”
“Oh begitu. Hem baiklah. Aku akan mencoba mendekati Pak Raisman dengan hal-hal yag Ibu
katakan itu sehingga aku bisa lebih leluasa mendekati Farida."

“Oh, jangan! Jangan anakku! Dari mana kita mendapatkan kekayaan yang menyamai kekayaan dia?
Dan Ibu tidak mau kalau kau mendekati Raisman. Akibatnya tidak baik buat kita.”

“Tidak baik kenapa, Bu?"

“Pokoknya jangan. Jauhilah dia.”

“Aneh. Aku tidak boleh mendekati Pak Raisman. Berarti Ibuku tidak menyetujui hubunganku
dengan Farida." Sembara berkata dalam hatinya. Sementara perlahan-lahan suasana sore telah
berganti dengan malam.

“Mari kita tutup pintu-pintu rumah dan jendela. Karena hari sudah malam.“

77

“Ya, Bu.” Sembara menjawab dengan malas. Sementara kata-kata ibunya tadi masih terngiang-
ngiang di telinganya.

Kedua lalu bangkit dari duduk mereka dan masuk ke dalam kamar masing-masing. Sedangkan
malam yang pekat sudah menyelimuti seluruh desa.

78

ENAM

Malam semakin larut. Bulan yang sedang purnama sudah menampakkan diri separuh malam
sehingga warna indah yang lembut nampak menyelimuti seluruh atap rumah di Desa Seberang.

Ibu Sembara sudah tidur pulas. Sementara Sembara masih gelisah berbaring di atas ranjangnya.
Dia berbalik ke kiri dan ke kanan. Kadang-kadang dia diam menelentang menatap langit-langit
kamar. Dia betul-betul tidak bisa tidur malam itu. Matanya sulit untuk dipejamkan. Pikirannya
selalu tertuju kepada Farida. Apalagi ketika Ibunya mengatakan padanya. Bahwa Ayah Farida tidak
boleh didekati.

Saat dia tidak bisa tidur seperti itu, tiba-tiba di luar terdengar angin bertiup agak kencang.
Sembara terpana mendengar angin bertiup seperti itu. Apalagi ketika di kamarnya lamat-lamat
tercium bau

79

kemenyan. Sembara cepat duduk dari pembaringan. Baru saja Sembara akan berdiri dari
rajangnya, angin di luar sudah reda. Dan, di kamarnya sudah berdiri sosok tubuh laki-laki tua renta.
“Oh, Kakek Jabat.“ Sembara cepat memberi hormat kepada laki-laki tua yang memang bernama
Kakek Jabat.

"Ya, aku datang Pangeran." Kakek Jabat menja-wab sambil tersenyum.

Sembara duduk bersila dengan sikap hormat di hadapan Kakek Jabat. Sedangkan suasana di dalam
kamar Sembara terasa sunyi.

"Ibumu tampaknya sudah tidur pulas, Pangeran.“

"Ya, Kakek Jabat. Mungkin Ibu terlampau letih siang tadi.”

“Sebenarnya aku ingin mengajakmu pergi ke tempatku malam ini. Tapi karena Ibumu sudah tidur
pulas, maka sebaiknya besok pagi saja kau menyusulku ke Hutan Larangan, Pangeran."

"Apakah ada yang ingin Kakek Jabat sampaikan padaku?”

”Ada yang ingin aku sampaikan padamu, Pangeran."

“Apa yang akan Kakek Jabat sampaikan padaku?“

”Tapi aku lebih suka bicara padamu bila kita sudah berada di Hutan Larangan. Karena di sini
mungkin saja ada telinga yang akan medengar pembicaraan kita. Jadi besok pagi kau minta izin
pada Ibumu untuk pergi menemuiku di Hutan Larangan.”

“Baik, Kakek Jabat. Besok pagi aku akan masuk ke Hutan Larangan menemui Kakek Jabat.“

80

“Nah, Pangeran. Aku kembali dulu ke Hutan Larangan."

“Ya, Kakek Jabat.”

Maka dengan cepat Kakek Jabat hilang dari hadapan Sembara. Sedangkan Sembara masih duduk
bersila dengan hikmat. Sembara masih berpikir tentang kata-kata Kakek Jabat padanya tadi, bahwa
bila bicara dalam kamarnya ada telinga yang akan mendengar pembicaraan mereka. Setelah dia
tidak bisa memecahkan arti kata-kata Kakek Jabat, Sembara pun tertidur. Bahkan saat esok
menjelang, Sembara masih tidur pulas. Baru ketika Ibunya membangunkan Sembara. Pemuda itu
bangun dari tidurnya. Lalu dengan cepat Sembara berkemas-kemas untuk pergi ke Gunung Merapi.
"Mau ke mana kau pagi-pagi begini, anakku?" Maryamah bertanya pada anaknya. Ketika dia
melihat Sembara sudah rapi. Ada sebilah golok terselip pada pinggang anaknya. Seolah-olah
Sembara akan pergi jauh.

“Aku akan pergi ke Hutan Larangan, Bu."

“Hutan Larangan? Untuk apa Anakku?”


“Tadi malam Kakek Jabat datang padaku. Beliau menyuruhku minta izin pada Ibu untuk pergi ke
Hutan Larangan pagi ini."

“Oh, rupanya tadi malam Kakek Jabat datang Padamu?"

“Ya, Bu."

“Berapa lama kau pergi ke Hutan Larangan itu Sembara? Satu hari?"

“Aku belum tahu, Bu. Mungkin bisa lebih.”

“Lebih dari satu hari?

81

“Mungkin, Bu.”

Maryamah gelisah mendengar kata-kata anaknya. Karena dia maklum bahwa anaknya akan pergi
lama meninggalkan rumah. Namun dengan berat hati dia izinkan Sembara pergi. Karena Kakek
Jabat sudah berbaik hati padanya untuk membiarkan anaknya tetap tinggal bersamanya.

“Jadi lbu mengizinkan aku?" Sembara bertanya dengan nada gembira.

“Ya. Ibu mengizinkan kau pergi ke Hutan Larangan.”

“Oh terima kasih, Bu. Terima kasih.”

Setelah Sembara mencium tangan ibunya. maka dengan berbekal keberanian yang sudah
dimilikinya sejak kecil, Sembara melangkah dengan enteng keluar rumahnya menuju Hutan
Larangan yang letaknya tidak begitu jauh dari desa Seberang. Sementara Ibunya Maryamah
memandang anaknya dengan pandangan sedih. Karena selama ini dia belum pernah berpisah
dengan anaknya walau satu malam sekali pun. Namun kesedihannya itu dia pendam dalam-dalam.
Dia selalu berdoa agar anaknya selamat sampai kembali di rumah.

82

TUJUH

Langkah kaki Sembara masih saja ringan menempuh perjalanan menuju Hutan Larangan.

Walaupun dia sudah melewati semak belukar, lalu kini berganti dengan hutan perdu yang mulai
lebat. Seolah-olah dia sudah sering menempuh perjalanan menuju Hutan Larangan itu. Padahal
baru satu kali dia menginjakkan kaki ke Hutan Larangan itu.
Ketika hutan perdu sudah tidak tampak lagi, ketika binatang-binatang hutan sudah mulai jarang
ditemui, Sembara menghentikan langkahnya. Dia berdiri sambil melihat berkeliling. Di sekitar
Sembara berdiri, hanya ada hutan lebat yang sunyi. Tidak ada satu binatang hutan pun yang dia
jumpai sehingga Sembara menjadi heran.

“Pada malam itu aku baru sampai di sini. Sekarang ke mana lagi aku harus melangkahkan kakiku?"
Sembara seolah-olah kehilangan arah.

83

Sembara memang sudah pernah memasuki Hutan Larangan. Hutan bagi penduduk desa adalah
hutan yang tidak boleh dimasuki kalau tidak ada izin dari penguasa hutan. Tapi dia tidak bingung
seperti saat itu.

Tiba-tiba di kejauhan dia melihat seekor Burung yang berbulu indah terbang di kejauhan, lalu
terbang ke dalam hutan dan hilang di dalam lebatnya daun-daun dalam Hutan Larangan. Sembara
terpesona melihat burung itu. Bahkan dia tidak tahu apa nama Burung yang dia lihat tadi. Hutan
Larangan ini yang tampak aneh baginya di pagi itu. Hutan yang belum pernah dia duga akan seperti
itu bentuknya bila dilihat pada pagi hari. Pohon-pohon dalam hutan yang tumbuh berbelit-belit
dan tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Bahkan ada pohon-pohon yang tumbuh tinggi
lurus menjulang ke angkasa. Sedangkan lamat-lamat dikejauhan tampak tebing-tebing terjal yang
juga aneh. Tebing-tebing itu menandai bahwa di sana ada jurang yang menganga dalam.

Ketika dia masih berdiri heran, tiba-tiba Sembara terkejut mendengar suara auman harimau.
Auman harimau itu begitu dahsyat. Tapi sosok harimau itu tidak bisa dia temui sehingga
membuyarkan lamunan Sembara.

Ketika suasana sudah sunyi, Sembara kembali memberanikan diri melangkah masuk ke hutan, ke
arah burung yang terbang tadi. Kali ini langkahnya tidak lagi ringan seperti tadi. Bahkan langkah
kaki Sembara sangat hati-hati.

84

Baru beberapa langkah dia mengayunkan kakinya. Tiba-tiba Sembara terkejut, karena ada suara
yang menyapa dirinya. Sembara menghentikan langkahnya. Dia memperhatikan sekeliling
tempatnya berdiri. Dan ketika dia menoleh ke arah datangnya suara tadi, di sana sudah berdiri
seorang laki-laki tua yang tidak lain adalah Kakek Jabat.

“Kakek Jabat.” Sembara cepat memberi hormat.

“Akhirnya kau datang juga ke mari, Pangeran.”

“Aku datang karena telah mendapat izin dari Ibuku."

“Bagus. Ibumu rupanya mengerti apa yang aku katakan dulu padanya sehingga dia memberi izin
padamu. Walaupun Ibumu sangat keberatan atas kepergianmu sekarang ini, Pangeran.”
“Tapi Ibu tampak tersenyum padaku, Kakek Jabat."

“Itukan yang tampak olehmu, Pangeran. Sebenarnya Ibumu sedih kau tinggalkan. Karena dia
merasa khawatir akan keselamatanmu dan juga atas keselamatan dirinya sendiri selama kau tidak
ada di rumah.” Kakek Jabat bicara sambil tersenyum kepada Sembara. Sedangkan Sembara
menjadi cemas mendengar kata-kata Kakek Jabat.

“Kau tidak usah khawatir, Pangeran. Semoga Ibumu selamat selama kau tidak di rumah."

“Yaaah semoga begitu, Kakek Jabat.” Sembara menjawab sambil menarik napas panjang.

"Aku panggil kau kemari, karena aku akan memberimu beberapa macam ilmu, untuk penjaga
dirimu. Kalau aku di sana, di rumahmu aku

85

mengatakan ini, aku khawatir akan ada orang yang mendengarkan kata-kataku."

“Jadi aku akan diberi ilmu Kakek Jabat?"

“Ya.”

“Oh, terima kasih, Kakek Jabat.” Sembara tampak gembira sekali.

“Sudah, kita tidak boleh mempunyai pikiran yang lain di Hutan Larangan ini kecuali tujuan kita
untuk menuntut ilmu. Jadi jangan kau pikirkan lagi Ibumu. Mari kita meneruskan perjalanan ke
sana.”

“Baik, Kakek Jabat.”

“Dalam kehidupanmu nanti, mungkin akan banyak bahaya yang akan kau hadapi bila dibandingkan
dengan hidupmu sekarang.”

“Dari mana Kakek Jabat tahu hal itu?"

“Aku tidak melihatnya. Tapi aku memperkirakan bahaya akan banyak menghadangmu kelak,
Pangeran. Untuk itu kau kuajak kemari untuk belajar menghadapi bahaya itu."

“Aku sudah pernah belajar silat di desaku, Kakek Jabat. Saya kira pelajaran itu sudah cukup bagiku
untuk membela diri.”

“Pelajaran silat yang kau dapat di desamu belum cukup untuk membela diri dari bahaya yang akan
kau hadapi. Karena guru silat yang kau temui itu belum sehebat bahaya yang akan kau hadapi.
Kalau kau tidak percaya, nanti akan kau rasakan bagaimana dahsyatnya bahaya yang akan kau
hadapi itu.”

“Baik, Kakek Jabat. Aku akan mengikuti nasihat Kakek Jabat.”


86

"Kalau sudah bulat tekadmu. Aku akan mengajakmu berjalan masuk jauh ke Hutan Larangan ini.
Kau mau, Pangeran?”

"Aku bersedia Kakek Jabat."

“Nah, mari kita berjalan lebih jauh masuk ke dalam Hutan Larangan ini."

“Baik!“

Kakek Jabat dan Sembara mulai berjalan lebih jauh masuk ke dalam hutan yang semakin lama
semakin lebat sehingga tidak ada cahaya matahari lagi yang bisa menembus sampai ke tanah.
Karena daun-daun dalam hutan sudah sedemikian rapatnya. Kakek Jabat berjalan di depan.
Sedangkan Sembara berjalan di belakangnya. Sembara harus susah-payah untuk menembus hutan
yang lebat. Sedangkan Kakek Jabat dengan enteng masih berjalan di depan mendahului Sembara.

Ketika perjalanan mereka sudah jauh dari perbatasan Hutan Larangan, Kakek Jabat berhenti
berjalan.

Lalu kedua makhluk yang berlainan dunia itu duduk di sebuah batu yang penuh ditumbuhi lumut.

”Aneh. Batu yang aku duduki lumutnya sangat tebal. Berarti batu ini tidak pernah diduduki orang.”
Sembara berkata dalam hati. Tidak lama kemudian Sembara berkata pada Kakek Jabat.

“Apakah kita sudah sampai ke tempat yang kita tuju, Kakek Jabat?”

“Apa kau suka duduk di batu ini?"

”Yaah, suka juga, walaupun batu ini terasa dingin sekali."

87

“Batu ini lumutnya tebal. Maka, rasanya dingin sekali. Tapi kalau kau melihat dengan mata hatimu,
maka kau bukan melihat batu lagi. Tapi sebuah tempat duduk yang indah.”

“Melihat dengan mata hatiku? Aku belum pernah tahu bagaimana melihat dengan mata hati,
Kakek Jabat.”

“Kau memang belum pernah tahu apa itu melihat dengan mata hati. Tapi kau pernah belajar
tentang hal itu dalam mimpimu?”

“Ya. Aku pernah belajar tentang hal itu dalam mimpiku.”

“Pergunakanlah. Karena yang kau dapatkan dalam mimpimu adalah ilmu yang sebenarnya.”
“Akan aku coba.”

Sembara mulai memejamkan matanya. Lalu dia mulai mengatur nafasnya perlahan-lahan.
Sedangkan mata hatinya mencoba melihat sekeliling yang ada di sekitar tempat dia duduk. Maka
perlahan-lahan Sembara melihat dia duduk di sebuah singgasana yang indah. Begitu juga batu
yang diduduki oleh Kakek Jabat. Bahkan perlahan-lahan dia melihat beberapa orang dayang
memberi hormat pada dia dan pada Kakek Jabat sehingga Sembara bergumam perlahan-lahan.
“Luar biasa. Aku melihat batu yang aku duduki dan juga batu yang diduduki oleh Kakek Jabat
sebenarnya terbuat dari singgasana yang indah. Di hadapanku dan juga di hadapan Kakek Jabat
berdiri beberapa dayang memberi hormat kepada kami."

88

“Bagus! Kau telah melihat dengan mata hatimu, bahwa tempat yang kita duduki ini adalah
singgasana kerajaan Kencana Biru, Pangeran."

“Oh begitu, Kakek Jabat?"

“Ya begitu.”

“Tapi mana kerajaan Kencana Biru itu, Kakek Jabat?"

“Karena kau belum resmi jadi penggantiku, maka kerajaan Kencana Biru belum bisa kau lihat
dengan jelas. Hanya singgasananya yang aku pindahkan ke mari. Tapi suatu saat nanti, bila ilmu
melihat dengan mata hatimu sudah tajam, kau pasti akan bisa melihat kerajaan Kencana Biru itu.
Dan yang patut kau ingat, bahwa kerajaan Kencana Biru itu bukan di sini tempatnya. Tapi di puncak
Gunung Merapi."

“Baiklah. Aku akan bersabar. Walaupun dalam mimpi, aku sudah sering melihat bahkan masuk ke
dalam kerajaan Kencana Biru.”

“Bagus. Sekarang mari kita teruskan perjalanan kita.”

“Baik, Kakek Jabat."

Sembara membuka matanya perlahan-lahan. Dia sekarang melihat Kakek Jabat berdiri dan
melangkah. Gemerisik daun-daun terdengar jelas diinjak oleh Kakek Jabat. Lalu tiba-tiba Kakek
Jabat hilang dari hadapan Sembara, sehingga Sembara terkejut.

“Kakek Jabat?” Sembara memanggil KakekJabat dengan perasaan cemas. Tapi tidak ada jawaban.
Bahkan suara langkah kaki Kakek Jabat pun tidak terdengar lagi. Yang ada hanyalah kesunyian
Hutan Larangan yang semakin ke dalam semakin lebat dan

89

rapat sehingga suasana hutan pun sudah semakin gelap.


“Kakek Jabaaat!” Sembara memanggil Kakek Jabat dengan suara lebih keras. Namun yang
terdengar hanyalah pantulan suaranya sendiri.

Kini Sembara berdiri bingung. Dia tidak melihat sosok Kakek Jabat. Perlahan-lahan Sembara duduk
bersila di tanah yang lembab. Lalu dia mencoba melihat dengan mata hatinya. Namun yang terlihat
hanyalah suasana gelap belaka.

“Kemana Kakek Jabat itu? Apakah dia dibawa lari oleh anak Buahnya?" Suasana tetap sunyi dan
gelap. Tidak ada suara sedikit pun.

“Kalau Kakek Jabat meninggalkan aku. Aku akan pergi sendiri meneruskan perjalanan menuju
puncak Gunung Merapi. Aku ingin tahu apa yang akan menghadang aku dalam perjalanan nanti.”
Maka dengan tekad yang Bulat, Sembara meneruskan perjalanannya ke arah langkah kaki
KakekJabat tadi.

Dia mulai melangkahkan kakinya. Sedangkan di hadapannya tetap hutan lebat dan gelap. Tapi dia
tidak peduli. Dia sudah bertekad untuk meneruskan perjalanannya menuju puncak Gunung
Merapi.

Ketika Sembara sedang mendaki jalan yang sempit. Tiba-tiba dia dihalangi oleh segulung rambut
yang terurai panjang.

“Rambut siapa yang terurai panjang begini?" Sembara melihat rambut panjang itu tergantung di
pucuk pohon beringin besar. Maka Sembara menguakkan rambut tergantung panjang itu per-
lahan-lahan. Tapi rambut panjang itu tetap saja ada di hadapannya. Bahkan sekarang rambut
panjang

90

itu bertambah banyak sehingga seluruh hutan yang ada di hadapan Sembara menjadi tirai rambut.

Lama Sembara terdiam dan berpikir. Apa maksud rambut ini menghalangi perjalanannya.

“Pasti ada orang yang memiliki rambut ini. Tapi orang itu tidak bisa aku lihat dari sini."

Maka dengan sopan Sembara bicara pada pemilik rambut panjang yang tidak bisa dia lihat dengan
mata telanjang.

“Aku permisi untuk lewat.” Sembara bicara dengan hormat. Namun rambut panjang itu tetap saja
ada di hadapannya.

“Kalau begitu baiklah. Aku akan lewat. Karena aku sudah permisi padamu." Maka dengan perlahan
Sembara menguakkan tirai rambut agar dia bisa lewat. Tiba-tiba saja rambut itu bergerak ingin
membelitnya. Seolah-olah rambut itu mempunyai mata. Dengan cekatan Sembara melompat ke
belakang, sehingga dia selamat dari bahaya.
“Aneh. Dia tidak memberiku jalan. Kalau begitu apa boleh buat, aku harus mempergunakan
kekerasan untuk melewati tirai rambut ini." Sembara cepat mencabut golok yang terselip di
pinggangnya.

“Uh!” Golok di tangan Sembara dia cabut dari sarungnya. Dalam cahaya remang-remang itu dia
membabatkan goloknya ke arah tirai rambut yang ada di hadapannya.

“Uch! Uch! Uch!" Lalu Golok itu berkelebat cepat membabat rambut yang terurai di hadapannya
sehingga tirai rambut itu terbabat putus dan jatuh ke tanah. Entah dari mana datangnya, terdengar
suara menjerit memekakkan telinga. Lalu setelah itu ada

91

suara berdebam jatuh ke tanah. Menyaksikan keadaan itu Sembara melompat beberapa langkah
ke belakang.

“Siapa yang menjerit itu? Seperti orang terkena golokku.“ Sembara memperhatikan sekelilingnya.
Tapi keadaan sekeliling Sembara tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali makhluk-
makhluk penghuni Hutan Larangan yang sejak tadi memang memperhatikan gerak-gerik Sembara.
Tapi kehadiran mereka tidak pernah diketahui oleh pemuda gagah pilihan Kakek Jabat itu.

“Aneh. Sungguh-sungguh aneh. Sekarang tirai rambut ini sudah aku babat. Bahkan seluruh tirai
rambut yang mengelilingiku sudah hilang. Tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Yang ada hanya
seonggok rambut yang cukup besar terletak di hadapanku." Sembara masih memperhatikan
onggokan rambut yang ada di hadapannya. Sedangkan golok yang ada dalam tangannya perlahan-
lahan dia sarungkan kembali.

“Rambut siapa ini?” Sembara bicara dalam hati. Dengan hati-hati Sembara mendekati ingin
memegang rambut yang ada di hadapannya. Tapi tiba-tiba dalam onggokan rambut yang besar itu
ada seorang laki-laki sedang tergeletak di tanah. Ketika kepala laki-laki itu menyembul dari dalam
onggokan rambut. Tampak rambut yang tumbuh di kepala laki-laki itu papat terputus oleh golok
Sembara.

“Kurang ajar!" Tiba-tiba laki-laki berbadan tinggi besar itu membentak Sembara.

“Oh maaf. Siapa ki Sanak ini?"

92

“Aku pemilik rambut yang kau babat tadi." Laki-laki itu bangkit perlahan-lahan dan berdiri di
hadapan Sembara. Mata laki-laki itu garang menatap Sembara.

“Ah maaf. Aku tidak berniat untuk menyerang ki Sanak."

“Tapi rambutku yang panjang sudah kau babat dari kepalaku! Berarti kau memang ingin
membunuhku!" Laki-laki itu bicara dengan pandangan mata berang kepada Sembara. Sedangkan
badannya masih diselubungi oleh beberapa gumpal rambutnya yang telah terbabat putus.
“Aku tidak sengaja."

"Jangan mengelak lagi. Kau memang ingin membunuhku!“

“Maaf, ki Sanak. Sekali lagi aku mohon maaf. Aku tidak berniat menyerang ki Sanak. Bahkan kenal
pun aku tidak dengan ki Sanak. Yang aku babat hanya rambut panjang yang menghalangi jalanku.”

“Kau kurang ajar. Kau tidak mempedulikan aku." Laki-laki itu berbicara masih dengan nada yang
tinggi.

“Kalau ada rambut, berarti ada pemiliknya. Dan pemilik rambut yang terurai itu adalah aku! Tahu!"

“Maaf! Sekali lagi aku mohon maaf. Aku tidak melihat ki Sanak tadi. Jadi..." Sembara tidak bisa
meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba pukulan laki-laki itu tepat membungkam mulutnya.
Bahkan Sembara sampai terhuyung, lalu jatuh ke belakang.

“Sialan. Aku telah kena pukul.” Sembara bicara dalam hati.

“Hayo bangun! Hayo cepat bangun! Kalau kau ingin merasakan lagi pukulanku!"

93

“Rasanya aku sulit bicara dengan laki-laki ini. Padahal aku betul-betul tidak tahu kalau rambut itu
milik laki-laki ini.” Dengan perasaan aneh dan mulut bengkak, Sembara bangun perlahan-lahan.
Namun baru saja dia mulai berdiri, maka tiba-tiba sebuah tendangan lurus, menyambar tepat di
dadanya. Sembara kembali jatuh terjengkang ke belakang.

“Hayo bangun." Kembali laki-laki bicara dengan nada mengejek.

“Kalau ki Sanak sudah berani masuk ke tempatku ini, maka tentu ki Sanak sudah siap menghadapi
segala bahaya!" Perlahan-lahan emosi Sembara mulai terpancing untuk menghadapi laki-laki itu,
sehingga Sembara bertekad untuk menghadapi laki-laki itu dengan kekerasan pula.

“Tidak mempan. Ilmu silat yang aku pelajari tidak mempan menghadapi laki-laki ini. Aku selalu
kalah cepat menghadapi dia. Aku harus bangkit. Aku akan mencoba menghadapi dia dengan ilmu
yang pernah aku pelajari dalam mimpi. Semoga saja ilmu itu bisa aku pergunakan. Kalau tidak bisa
juga, apa boleh buat. Berarti, nasibku oleh penguasa jagad ini sudah ditentukan di sini."

“Hayo! Atau kau mengaku kalah menghadapi aku, hah?” Laki-laki itu bicara mengejek Sembara.

“Baik! Akan aku hadapi ki Sanak!” Sembara berkata dengan wajah tegang.

“Bagus! Kalau ki Sanak sudah memutuskan untuk mengadu jiwa dengan aku!" Baru saja laki-laki itu
selesai bicara. Maka sebuah tendangan kembali dikirimkannya ke muka Sembara. Tendangan ini
tampaknya tidak main-main. Bahkan tendangan ini
94

dilepaskannya dengan kekuatan penuh sehingga kepala Sembara bisa berputar terkena tendangan
yang keras dan ganas ini.

Tapi dengan kesigapan seorang pemuda yang terlatih. Apalagi Sembara sudah sering berlatih diri
dalam mimpi yang selalu mendatangi dia, tendangan itu dapat di tepis oleh Sembara. Lalu
Sembara melenting ke udara dan mendarat menjejakkan kaki di hadapan laki-laki itu dengan kuda-
kuda yang sudah siap untuk bertahan kembali bila diserang.

“Oh pantas kau berani membabat rambutku. ternyata kau punya mainan anak muda.”

“Maaf. Aku mohon maaf sekali lagi. Karena aku tidak melihat keberadaan ki Sanak di sini.”

"Jangan banyak bicara lagi! Dan tahanlah seranganku ini! Kiyaaaat! Kiyaaaat!” Kali ini pun serangan
laki-laki aneh itu datang bagaikan badai. Angin gerakan tangan dan kaki laki-laki itu keras sekali
sehingga daun-daun kering yang terhampar di tanah beterbangan bagaikan tertiup angin kencang.
Namun, kali ini Sembara sudah siap menghadapinya sehingga dia tidak terkejut lagi menghadapi
serangan yang dahsyat ini. Karena kuda-kudanya sangat kokoh berdiri.

Ketika serangan itu sampai pada Sembara, Sembara mengulurkan kedua tangannya sehingga kedua
tangannya berbenturan dengan tangan laki-laki aneh itu. Bunyi keras terdengar dalam hutan yang
sunyi. Lalu disambung dengan teriakan keduanya. Tidak lama kedua tubuh Sembara dan laki-laki
aneh itu, terbang ke udara dan jatuh terhempas ke tanah.

95

Sekarang suasana diam senyap. Yang terdengar hanya nafas Sembara yang tersengal-sengal.
Karena dia baru saja mengerahkan seluruh tenaga untuk menghadang serangan hebat itu.
Sedangkan suara laki-laki aneh itu tak terdengar sama sekali. Bahkan ketika Sembara menolehkan
kepalanya. Laki-laki aneh lawannya itu tidak tampak. Hanya Hutan Larangan yang kembali sunyi.

Sembara bangkit perlahan-lahan. Sedangkan matanya awas melihat ke sekeliling.

“Berhasil. Aku berhasil mempergunakan ilmu yang aku pelajari dalam mimpi." Sembara tampak
agak bahagia bisa mempergunakan ilmu yang dia pelajari dalam mimpi. Ilmu melenting ke udara
sambil menahan serangan lawan sehingga semangatnya untuk bertarung menjadi lebih besar lagi.

“Tapi ke mana laki-laki tadi? Aku tidak melihat sosoknya di sekitar tempat ini.” Sembara bicara
sendiri dengan nafas yang masih memburu.

“Aku harus tetap waspada. Aku khawatir kalau tiba-tiba dia muncul dan menyerangku.” Suasana
sunyi dalam Hutan Larangan itu betul-betul sangat mencekam sehingga tidak ada makhluk-
makhluk penghuni Hutan Larangan yang berani menggerakkan tubuh mereka menyaksikan
perkelahian itu. Walaupun makhluk-makhluk Hutan Larangan sudah menyaksikan perkelahian itu
sejak tadi.
Namun suasana dalam Hutan Larangan tetap sunyi. Tidak ada tanda-tanda ada orang lain dalam
hutan itu kecuali Sembara. Tapi tiba-tiba tumpukan rambut yang teronggok sejak tadi diam,
perlahan-lahan bergerak. Makin lama gerakan rambut-rambut

96

itu semakin besar sehingga membuat Sembara semakin terkejut.

“Apa ini?"

Rambut-rambut itu tetap bergerak. Bahkan gerakan itu berputar cepat menuju ke arah Sembara.
Lalu rambut-rambut itu berubah menjadi ular. Sembara menjadi terkesiap.

“Ular. Rambut-rambut berubah menjadi ular.” Sembara melangkah mundur sambil menghitung
jumlah rambut yang sudah berubah menjadi ular.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga
belas, empat belas, lima bel... oh ular-ular kecil ini banyak sekali. Dan mereka sedang merayap ke
arahku. Aku harus melangkah mundur lagi menjauhi ular-ular ini.“ Sembara melangkah mundur
lebih jauh, agar jarak dia dan ular-ular kecil itu bisa lebih jauh. Tapi langkah mundur Sembara itu
tidak membuat ular-ular itu kehilangan jejak. Bahkan kini gerakan mereka sudah semakin cepat.

“Mereka rupanya memang mengejar dan menyerangku.”

“Eeeeach.…."

“Suara apa itu?” Sembara terkejut.

“Suara itu datang dari tengah-tengah tumpukan rambut yang teronggok di sebelah sana.”

“Kau jangan mengelak terus, ki Sanak. Hadapilah aku!”

“Dari dalam onggokan rambut itu tersembul kepala ular yang lebih besar.”

“Hayo hadapi aku!” Suara itu bicara sambil menahan marah pada Sembara.

97

“Pasti ular besar ini adalah laki-laki tadi. " Sembara bicara dalam hati. Sementara ular-ular kecil
kembali semakin dekat pada Sembara.

“Aku akan hadapi, ki Sanak. Asal ki Sanak meng-hentikan ular-ular kecil yang mendatangi aku ini!”

“Mereka itu adalah bagian dari tubuhku sehingga kau juga harus siap menghadapi mereka.” Ular
besar itu bicara dengan suara geram.

“Kalau begitu, baik. Aku akan hadapi kalian!” Sembara bicara dengan mantap.
Kini perkelahian berubah bentuk, bukan lagi perkelahian antara dua orang yang bertarung dengan
hebat. Tapi perkelahian antara ratusan ekor ular kecil dipimpin oleh seekor ular besar dengan laki-
laki gagah bernama Sembara.

“Sekarang ular-ular kecil ini sudah mengelilingi aku. Mereka mengelilingi aku dengan warna-warna
tubuh yang indah sekali. Berarti bisa mereka juga akan sehebat warna yang mereka miliki. Aku
harus hati-hati.” Sembara sekarang harus bersiap dari serangan ular-ular yang akan datang dari
segala arah sehingga keringat dingin mulai mengalir dari tubuh pemuda gagah itu.

“Ha ha ha. Kenapa kau takut, ki Sanak? Hah?"

“Karena kau curang. Kau mengepung aku dengan pasukanmu!" Sembara bicara dengan nada
bergidik

“Kalau kau takut. Maka tidak ada jalan lain, kau harus keluar dari Hutan Larangan ini dengan syarat
nyawamu harus kau tinggalkan di sini!“

“Berarti tidak ada jalan lain bagiku, kecuali mati?"

“Terserah apa pendapatmu. Yang penting kau harus pergi dari dalam hutan ini dengan mening-

98

galkan nyawamu!" Ular besar itu bicara dengan geram.

“Baik! Aku akan bertarung denganmu untuk mempertahankan hidupku!" Sembara berkata dengan
tegas.

Selesai Sembara berkata begitu, puluhan ular kecil ini sudah menyerang Sembara dengan serangan
kilat sehingga Sembara tidak mempunyai kesempatan untuk membela diri. Tiba-tiba, Sembara
sudah digigit oleh puluhan ular kecil. Sembara menahan sakit yang luar biasa. Bahkan sekarang
muka Sembara mulai membiru terkena bisa ular-ular kecil itu.

“Ha ha ha ha ha ha ha. Kau tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama ki Sanak. Karena bisa kawan-
kawanku itu akan menewaskanmu! Ha ha ha ha ha."

Sembara masih bisa mendengar ejekan ular besar. Tapi dia tidak bisa menjawab ejekan itu. Karena
lehernya seperti tercekik. Sedangkan mulutnya mulai mengeluarkan busa.

“Aaach... aku… aku… leherku....eeech... Leherku seperti dicekik oleh.. oleh kekuatan besar....
eeech.." Sembara berkata dalam hatinya.

Bagi Sembara suasana dalam Hutan Larangan bagaikan dalam neraka. Sakit yang dirasakannya
tidak tertahankan lagi. Bahkan tidak ada tanda-tanda satu orang pun atau satu makhluk pun yang
bisa menolongnya.
“Tolooong! Tolooong!” Sembara mencoba menjerit minta tolong. Tapi memang tidak ada
pertolongan apa pun yang datang kepadanya. Karena suaranya tidak keluar sama sekali. Bahkan dia
merasakan sakit yang luar biasa.

99

“Aku… aku.. harus menolong diriku sendiri... aku.. eech.. aku harus melakukan semedi seperti yang
pernah... yang pernah aku.... lakukan dalam mimpiku.…ech.. .ech... ech...Aku harus mela-kukan
...... semedi penyembuhan diriku.. eeh… ech...ech…”

Dengan menahan rasa sakit yang tidak terta-hankan, Sembara mulai duduk bersila lalu menutup
mata dan mengatur keluar masuk nafas perlahan-lahan. Sedangkan rasa sakit yang masih
mencekik lehernya dia tahan sebisa mungkin. Sedangkan dia mencoba membayangkan bahwa ada
sinar putih masuk dari ubun-ubunnya. Maka sinar putih yang dibayangkan oleh Sembara benar-
benar turun dari atas langit, lalu turun ke ubun-ubun dan menjalar perlahan-lahan kelehernya.
Lama sekali sinar putih itu menerobos ke seluruh lehernya. Bahkan sinar putih itu perlahan-lahan
menyelimuti dadanya sehingga Sembara kini merasa lehernya mulai longgar. Sementara puluhan
ekor ular yang berada di dekatnya terus berusaha menggigit tubuh Sembara. Tapi Sembara tidak
mempedulikan. Dia tidak pedulikan belitan ular-ular itu. Dia tidak pedulikan rasa sakit yang datang
dari gigitan ular-ular itu. Dia terus melakukan semedi sehingga seluruh sinar putih itu dia rasakan
menyelimuti seluruh tubuhnya.

Sekarang Sembara mulai merasakan kesembuhan secara perlahan-lahan. Semakin lama


kesembuhan itu semakin besar sehingga Sembara sekarang sudah merasakan kelonggaran yang
luar biasa pada kerongkongannya. Dan ketika tubuh

100

sembara di serang hebat oleh ular besar yang masih ada di hadapannya. Sembara tidak bergeming
sedikit pun. Bahkan membuka mata pun tidak dia lakukan.

Hanya saja di hadapan Sembara sudah tergeletak ular besar yang menyerangnya tadi. Ular itu
merintih-rintih kesakitan.

Ketika Sembara menyelesaikan semedinya, perlahan-lahan dia buka matanya. Sembara jadi heran.
Ketika dia melihat laki-laki yang menyerangnya tadi menggeletak di hadapannya menahan sakit,
Sembara merasa heran. Bahkan rasa geramnya terhadap musuh yang baru saja dia hadapi sirna
begitu saja. Lalu dia menyapa dengan ramah kepada musuhnya itu.

“Kenapa, ki Sanak? Apakah ki Sanak sedang sakit?”

“Aku... aku... minta ampun... aku mengaku kalah..." Ular besar itu merintih menahan sakit.

“Kalau kau tidak mengampuni aku. Maka aku akan mati perlahan-lahan.”

Sembara memperhatikan ular besar itu. Perlahan-lahan tampak oleh Sembara bahwa di dekat
mulut ular itu terdapat luka yang menganga lebar. Sedangkan darah segar mengalir dari luka itu.
Sembara cepat sadar, bahwa dia telah melukai ular besar itu sehingga nyawa ular itu terancam
bahaya. Walaupun dia tidak tahu dengan cara apa dia bisa melukai ular itu.

“Maaf, ki Sanak. Aku tidak tahu bagaimana caranya ki Sanak bisa terluka seperti itu.”

“Ketika aku membenturkan kepalaku ke tubuhmu, tiba-tiba mulutku seperti disobek oleh kekuatan
besar

101

sehingga mulutku luka seperti ini.” Ular besar itu bicara mengiba-iba.

“Baiklah aku ampuni kesalahan ki Sanak padaku. Hanya aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa
menyembuhkan luka yang ki sanak derita." Sembara bicara dengan rasa prihatin yang mendalam.

“Oh, betulkah ki sanak mengampuni aku."

“Aku tidak pernah berbohong pada orang lain."

“Oh, dengan pengampunan yang ki Sanak berikan padaku, maka luka yang aku derita akan segera
sembuh.” Perlahan-lahan ular besar itu menggeliat sebentar. Lalu tiba-tiba luka yang menganga
dekat mulutnya telah bertaut kembali lalu ular besar itu berubah bentuk menjadi manusia.
Sedangkan puluhan ekor ular kecil yang berada di sekeliling Sembara hilang. Sembara terkejut
bukan main melihat kejadian itu. Lalu sembara ingat pada mulutnya yang bengkak. Dengan cepat
dia raba. Tapi bengkak di mulutnya sudah hilang sama sekali.

“Aneh. Sungguh-sungguh aneh. Aku belum pernah melihat dan mengalami kejadian seperti ini."

“Pangeran. Namaku Bisa Seribu. Engkau telah menyelamatkan jiwaku. Maka aku akan
mengabdikan hidupku pada Pangeran."

“Dari mana ki Sanak tahu nama yang diberikan Kakek Jabat padaku?”

“Aku adalah pengikut Kakek Jabat yang tidak tahu diri sehingga aku menentang nama yang
diberikan Kakek Jabat pada Pangeran. Apalagi aku mendengar dari Kakek Jabat, bahwa suatu saat
nanti Pangeran akan menggantikan kedudukan Kakek Jabat di kerajaan Kencana Biru. Aku sudah
berniat untuk

102

membunuh dirimu bila Pangeran masuk ke Hutan Larangan ini.”

“Oh, begitu." Sembara menjadi terkesima men-dengar penuturan Bisa Seribu kepada dirinya.

“Sekarang Pangeran sudah bisa melanjutkan perjalanan menuju kerajaan Kencana Biru tanpa ada
gangguan lagi dariku. Dan kalau Pangeran membutuhkan bantuanku. Panggil saja namaku tiga kali.
Maka aku akan datang.”
“Terima kasih. Sekali lagi terima kasih. Dan sekarang ke mana aku harus berjalan menuju kerajaan
Kencana Biru, Bisa Seribu?”

“Teruslah Pangeran berjalan ke arah pohon Buluh perindu yang tumbuh berjajar itu. Maka
Pangeran akan sampai di kerajaan Kencana Biru."

“Mana pohon Buluh Perindu yang kau katakan itu, Bisa Seribu?”

“Itu Pangeran. Daun-daun pohon Buluh Perindu yang ditanam berjajar menuju puncak Gunung
Merapi itu sudah tampak dari sini."

“Oh, ya terima kasih. Aku sudah bisa melihatnya.”

“Pergilah Pangeran meneruskan perjalanan sebelum malam datang.”

“Kalau hari mulai malam, bagaimana Bisa Seribu?”

“Banyak gangguan Pangeran. Dan pasti Pangeran akan kewalahan menghadapi gangguan-
gangguan itu.”

“Aneh. Kakek Jabat tidak memberikan petunjuk padaku, bahwa dalam Hutan Larangan masih
banyak gangguan. Pada hal Hutan Larangan adalah wilayah kekuasaan Kakek Jabat." Sembara
bicara dalam hati.

103

“Baiklah Bisa Seribu. Aku akan menuruti petunjukmu. Dan sekarang aku akan meneluskan
perjalananku: menuju puncak Gunung Merapi."

“Selamat jalan, Pangeran.”.

“Terima kasih. Dan selamat tinggal.”

Dengan badan yang sudah segar. Sembara kembali meneruskan perjalanan. Sedangkan Bisa Seribu
memandang Sembara dengan pandangan yang penuh rasa kagum.

104

DELAPAN

Hari sudah semakin siang. Matahari sudah mulai sepenggalah tingginya. Tapi di Hutan Larangan
tanda-tanda alam itu tidak bisa terlihat. Karena dalam Hutan Larangan suasana masih saja gelap
seperti akan menjelang malam. Daun-daun dari pohon yang lebat masih saja menyelimuti hutan
yang angker itu. Sedangkan binatang-binatang hutan masih saja belum tampak melintas di jalan
yang sedang ditempuh oleh Sembara.
Pemuda dari Desa Seberang itu tidak peduli dengan suasana hutan seperti itu. Dia terus saja
melangkah dengan langkah yang ringan. Sedangkan matanya mengawasi pohon-pohon Buluh
Perindu yang masih tampak samar-samar di depan matanya.

Setelah agak lama berjalan. Langkah kaki Sembara kini mulai dia percepat. Karena cahaya

105

terang sudah mulai tampak di depan matanya. Pertanda hutan tidak terlalu lebat. Sinar matahari
sudah mulai bisa menembus gelap yang sepanjang jalan masih saja menyelimuti Hutan Larangan.

Ketika langkah kaki Sembara sudah menginjak sebuah batu karang di ujung jalan yang dia tempuh,
dia berhenti melangkah. Karena sinar matahari sudah menyilaukan mata. Daun-daun lebat yang
melin-dungi Hutan Larangan sudah tidak tampak lagi. Yang ada kini hanya pohon-pohon Buluh
Perindu yang masih tegak berjajar memagari jalan yang akan dia tempuh. Sembara semakin yakin,
bahwa dia menempuh jalan yang benar. Dia yakin di ujung jalan yang terbentang di hadapannya
berdiri kerajaan Kencana Biru.

Sembara meneruskan perjalanannya menyusuri jalan yang tampak mulai tidak bersahabat. Batu-
batu karang yang agak terjal sudah menantinya. Tapi bagi Sembara hal itu tidak menjadi halangan.
Karena dia yakin, bahwa sebentar lagi dia akan bertemu dengan Kakek Jabat yang sejak
diperbatasan Hutan Larangan tadi hilang dari hadapannya.

Ketika kaki Sembara mau melangkah, tiba-tiba dia terkejut mendengar jeritan seorang perempuan
di ujung jalan itu. Jeritan itu memilukan siapa saja yang mendengar sehingga Sembara semakin
heran. Kenapa ada perempuan menjerit minta tolong di tengah-tengah lereng Gunung Merapi
yang tidak pernah dilalui manusia.

“Tolooong Toloooong!” Kembali jeritan perempan itu terdengar dikejauhan.

106

"Apakah suara jeritan itu suara perempuan?" Sembara masih berpikir keras. Tiba-tiba terdengar
lagi suara jeritan yang memilukan hati.

“Aku tidak peduli. Apakah itu suara perempuan atau bukan. Aku harus menolong teriakan
perempuan yang malang itu.” Kata Sembara dalam hati.

“Aku tidak mau diseret seperti ini! Aku tidak mauuuu!" Kembali terdengar jeritan perempuan itu
mengiba-iba sehingga Sembara berlari ke arah suara tadi.

Setelah sampai di tempat suara itu berasal, Sembara melihat seorang perempuan dan dua laki-laki
dalam jurang yang cukup dalam. Perempuan itu diseret oleh dua laki-laki yang sama sekali tidak
dikenalnya. Perempuan itu akan mereka bawa ke dalam sebuah goa yang terletak di dekat tempat
mereka berdiri. Ketika kedua laki-laki yang tidak dikenalnya masih menyeret perempuan malang
itu, tiba-tiba saja perempuan itu melihat ke arah Sembara. Lalu dia minta tolong pada Sembara.
Melihat kejadian itu Sembara berteriak keras, agar kedua laki-laki di bawah sana menghentikan
perbuatan mereka.

“Apa urusanmu dengan kami, hah?" Begitu jawab salah seorang laki-laki yang sedang memegang
tangan perempuan itu dengan lantang.

“Tolong akuuuu! Aku akan mereka perkosaaa!” Perempuan itu berteriak sambil menangis.

“Kurang ajar! Tunggu aku di bawah! Kalau kalian betul laki-laki!" Sembara berteriak dengan kasar.

“Turun kalau kau berani!" Mendengar tantangan itu. Sembara melompat ke sebuah batu yang ada
di

107

bawah tempatnya berdiri, dan dalam waktu yang singkat Sembara sudah berlarian dari batu yang
satu ke batu yang lain di tepi jurang terjal. Sembara melompat dengan enteng sehingga dalam
waktu yang tidak begitu lama. Sembara sudah sampai di bawah jurang.

Di hadapan Sembara tampak dua orang pemuda bertubuh kekar sedang memegang tangan perem-
puan muda yang terus menangis tersedu-sedu. Perempuan muda itu memandang Sembara seolah-
olah minta pertolongan.

“Lepaskan dia atau kalian akan berhadapan dengan aku!" Sembara berkata dengan tegas pada
kedua laki-laki itu.

“Kami tidak akan melepaskan perempuan ini. Karena kami sudah susah payah mendapatkan dia!“
Salah seorang pemuda menjawab tantangan Sembara.

“Kalau begitu, kalian harus berhadapan dengan aku!”

“Mari kita bertarung!" Kata pemuda tadi. Sedangkan pemuda yang lain tetap memegang tangan
perempuan malang itu.

“Aku memang ingin bertarung denganmu!” Sembara menjawab dengan tegas.

“Nah, ini bagianmu!" Pemuda itu melepaskan sebuah tendangan hebat ke arah Sembara. Namun
Sembara tidak gegabah seperti menghadapi Bisa Seribu sehingga tendangan itu dapat dielakkan
oleh Sembara. Bahkan Sembara bisa melepaskan tendangan balasan yang menuju dada pemuda
itu. Bahkan tendangan Sembara menyambar hebat ke

108

arah dada lawannya. Lawannya terpental ke belakang.


Melihat kejadian itu pemuda yang masih memegang tangan perempuan tadi, melepaskan
pegangannya. Dia bahkan langsung menyerang Sembara. Kini Sembara menghadapi dua lawan
sekaligus.

Serangan pemuda yang kedua lebih dahsyat dari kawannya. Karena tendangannya mengarah ke
muka Sembara, sedangkan tangannya mencekal ke arah bawah perut pemuda Desa Seberang.

Dua serangan itu sama bahayanya sehingga Sembara terpaksa melakukan salto ke belakang
beberapa kali untuk menghindari serangan yang datang beruntun.

Lompatan Sembara tampaknya akan bisa menyelamatkan dirinya. Namun, pemuda yang seorang
lagi ikut melompat ke belakang Sembara dan dengan cepat dia sudah menunggu dengan
tendangan mautnya sehingga tubuh Sembara dapat disambar oleh tendangan itu dan tubuh
Sembara yang sedang salto itu berputar di udara dan dengan cepat terhempas ke tanah.

“Uuach.. uuuach..." Sembara mengeluh kesakitan. Dunia bagaikan berputar. .

“Bangun kau! Hayo bangun!" Kedua pemuda itu mengejek Sembara.

“Kita beri pukulan sekali lagi biar dia mampus!"

“Tidak usah! Biarkan dia sekarat seperti itu. Kita teruskan pekerjaan tadi, yang belum selesai.”

“Tapi aku sudah kena tendang dia tadi!"

109

”Bukankah dia sekarang sedang sekarat terkena tendanganmu?"

“Ya, hayolah. Kita pegang lagi perempuan itu. Kita bawa perempuan itu ke dalam goa. Lalu kita
teruskan niat kita untuk memperkosanya!”

"Jangan. Aku mohon, jangan aku di perkosa…. Aku minta ampun pada ki Sanak berdua.…"
Perempuan itu memohon dengan mengiba-iba kepada kedua pemuda tadi. Sedangkan Sembara
masih menggeliat menahan sakit.

“Hayo! Kau harus mengikuti kemauan kami!"

“Ampun! Aku mohon ampun! Ki Sanaaak! Tolong ampuni akuuu!" Perempuan itu menjerit-jerit
minta ampun. Bahkan dia masih minta tolong pada Sembara. Sedangkan kedua pemuda tadi terus
menyeretnya masuk ke dalam goa.

Setelah hilang suara perempuan itu dari dalam goa. Sembara bangun perlahan-lahan. Dia masih
memegang pinggangnya yang terkena tendangan dahsyat. Sakit Sembara perlahan-lahan hilang. Ini
suatu keanehan besar.
Ketika terdengar jeritan yang memilukan hati dari dalam goa, Sembara mencoba berjalan dengan
tidak mempedulikan lagi rasa sakit yang dideritanya. Dia terus berjalan dan berjalan masuk ke
dalam goa.

Sesampainya di sana, Sembara melihat perempuan itu sedang diikat tangannya oleh kedua
pemuda tadi. Setelah itu kedua kaki perempuan itu juga mereka ikat.

Dengan rasa sakit yang masih tersisa pada pinggang Sembara, pemuda gagah asal Desa Sebe-

110

yang memperhatikan gerak-gerik kedua pemuda tadi dari balik sebuah batu karang.

Jangan! Jangan buka bajukuuu!”

“Kau tidak bisa lagi berteriak minta tolong! Pemuda pahlawanmu itu sedang menunggu maut di
depan goa ini!"

“Aku mohon, jangan ki Sanak... Aku betul-betul memohoon .......... Jangan, buka bajukuuu ..... ”
Perempuan itu bicara dengan nada memelas sambil masih menangis.

“He he he he. Walau kau memohon dengan cara apa pun. Bajumu tetap kami buka.”

"Jangan! Jangan kataku!"

Melihat kelakuan yang tidak senonoh dari dua pemuda itu. Tiba-tiba rasa marah di dada Sembara
tidak tertahankan lagi. Rasa sakit pinggang yang di deritanya tiba-tiba saja hilang, sehingga
Sembara membentak dangan marah.

“Berhenti!”

“Hah! Kau masih bisa berdiri, ki Sanak?" Kedua pemuda itu bicara serentak dengan nada tidak
percaya.

“Bahkan membunuh kalian pun aku sanggup!” Sembara bicara dengan geram sambil perlahan-
lahan berjalan mendekati kedua pemuda itu sambil meraba gagang goloknya.

“Oh, begituuu?" Salah seorang dari dua pemuda itu bicara dengan nada menantang. Sedangkan
mereka mulai beranjak dari sisi perempuan yang sudah tidak berdaya.

“Kau tidak usah cemas, ni Sanak. Aku akan berkorban demi keselamatanmu!"

111

“Terima kasih, ki Sanak. Perempuan itu bicara dengan suara yang tersendat.
Baru saja perempuan itu selesai bicara, dua serangan kilat datang menerpa Sembara. Satu pukulan
serangan datang dari sebelah kiri dan satu pukulan serangan lagi datang dari sebelah kanan.

Dengan cepat Sembara melejit ke udara sehingga kedua serangan itu dapat dihindarkannya.
Bahkan kedua serangan itu menghantam kawan yang ada di hadapannya sehingga kedua pemuda
itu jatuh terjengkang ke bekalang.

“Kurang ajar!"

“Kau harus kami beri pukulan yang mematikan agar kau tidak bisa bergerak lagi!”

“Aku siap menghadapi serangan kalian yang berikutnya!" Sembara berkata dengan mantap
sehingga kedua laki-laki itu mulai memasang kuda kuda. Namun kuda-kuda keduanya tampak aneh
sehingga membuat lawannya berpikir melihat kuda-kuda itu. Tapi Sembara tidak mau berpikir
lama, karena dia takut terjebak dengan hal-hal seperti itu. Bahkan Sembara mulai duduk bersila
sambil memusatkan pikiran untuk menahan serangan kedua laki-laki yang ada di hadapannya.

Ketika sudah agak lama. Maka Sembara membuka mata. Tapi kedua laki-laki itu sudah tidak ada di
hadapannya. Yang ada sekarang adalah dua buah cahaya merah sedang terpampang mantap di
hadapan Sembara. Dan cahaya itu mulai bergerak mengelilingi Sembara sehingga Sembara yakin
kedua laki-laki tadi telah berubah menjadi kedua cahaya merah. Makin lama gerakan kedua cahaya

112

merah itu semakin cepat membuat Sembara terkejut, karena kedua lawannya bukanlah lawan yang
enteng. Bahkan lebih berat dari Bisa Seribu yang baru saja dia kalahkan. Maka Sembara dengan
cepat teringat pengalamannya dalam mimpi. Dia pernah menghadapi dua cahaya merah seperti
itu. Sehingga Kakek Jabat mengajarkan pada Sembara sebuah ilmu yang bernama aji Wajrahosa,
yaitu rapalan ilmu yang bila dilepaskan pada musuh, maka dari tangan Sembara keluar gemuruh
halilintar yang akan menghanguskan tubuh orang yang dihadapinya.

Kini sebuah cahaya merah dengan cepat melesat ke arah dada dan sebuah lagi ke arah kepala
Sembara. Angin gerakan kedua cahaya itu bagaikan angin badai sehingga rambut Sembara tertiup
kencang. Sembara cepat merentangkan kedua tangannya. Dan dari telapak tangan Sembara keluar
cahaya biru disertai kilatan petir menyambar kearah kedua cahaya itu. Kini tampak dua cahaya
pecah berantakan. Dan dari kedua cahaya itu terdengar jeritan yang mengerikan. Lalu suasana
kembali sunyi. Yang terdengar hanya desah napas Sembara dan suara kagum dari perempuan yang
sejak tadi menonton perkelahian itu dengan perasaan cemas.

Sembara membuka matanya. Lalu dia sendiri heran melihat hasil dari ilmu Wajrahosa yang
menakjubkan. Karena ilmu Wajrahosa keluar dari kedua telapak tangan Sembara berupa sinar biru
dengan bunyi petir yang sangat hebat. Sehingga kedua sinar merah yang sedang mengepung
dirinya hancur berantakan.

113
“Ternyata ilmu-ilmu yang aku pelajari dalam mimpi bukan hanya permainan mimpi belaka. Tapi
ilmu-ilmu yang hebat dan bisa dibuktikan dan diandalkan." Sembara bicara sendiri dalam hatinya.

"Pangeran, ilmumu sangat hebat sehingga aku telah terlepas dari kejaran kedua orang tadi. Bahkan
kedua orang tadi telah sirna dari hadapanku.”

"Siapakah ni Sanak ini sebenarnya? Kenapa ni Sanak tiba-tiba saja memanggilku dengan panggilan
Pangeran? Kenapa ni Sanak dikejar-kejar oleh kedua orang tadi? Siapa sebenarnya kedua orang
tadi?"

Sembara bertanya beruntun kepada perempuan muda itu.

“Aku bernama Cambuk Kilat. Melihat ilmu Wajrahosa yang ki Sanak miliki, aku tahu sudah, bahwa
ki Sanak adalah Pangeran yang disebut-sebut oleh Kakek Jabat. Sedangkan kedua orang tadi
bernama Kumba dan Kumbu. Mereka ingin mendapatkan Cambuk Kilat itu dariku sehingga mereka
rela berbuat tidak senonoh terhadap diriku."

“Cambuk Kilat? Aku baru mendengar nama itu.”

“Cambuk Kilat yang aku miliki bisa menghancurkan apa saja Pangeran, bila orang yang meme-gang
Cambuk Kilat itu menginginkannya. Bahkan Cambuk Kilatku ini lebih dahsyat dari ilmu yang
Pangeran miliki. Hanya sayang. Aku tidak sempat mempergunakan Cambuk Kilat ini. Mereka telah
membungkam kekuatanku sehingga tadi aku berada dalam bahaya besar. Kalau saja Pangeran tidak
datang. Maka sekarang aku tentu sudah menjadi milik Kumba dan KumBu.” Perempuan yang
bernama

114

Cambuk Kilat itu bercerita masih dalam suasana sangat ketakutan.

"Jadi, ni Sanak bernama Cambuk Kilat?”

“Betul Pangeran....” Cambuk Kilat menjawab masih dalam suasana ketakutan.

“Sekarang kedua orang tadi ke mana dia, Cambuk Kilat?"

“Mereka sudah hangus terbakar terkena aji Wajrahosa yang Pangeran miliki. Kalau saja mereka
manusia biasa. Tentu mayat mereka akan terkapar hangus di hadapan kita. Tapi karena mereka
adalah penghuni Hutan Larangan ini, maka jasad mereka tidak tampak oleh kita.”

“Penghuni Hutan Larangan? Aku jadi tidak mengerti maksudmu Cambuk Kilat?” Sembara bertanya
heran kepada Cambuk Kilat.

“Mereka adalah penghuni Hutan Larangan ini, Pangeran. Tapi karena mereka berkhianat pada
Kakek Jabat, mereka menerima hukuman tadi, yaitu sirna dari muka Bumi ini."
“Mereka menerima hukuman? Jadi Kakek Jabat sudah menyampaikan pada mereka, bahwa
mereka akan menerima hukuman?"

"Jauh hari sebelum kejadian ini, mereka sudah diperingatkan oleh Kakek Jabat. Tapi mereka malah
menantang Kakek Jabat untuk bertarung. Namun Kakek Jabat menghindari pertarungan itu.
Bahkan Kakek Jabat mengatakan pada mereka, bahwa yang akan menghadapi mereka bukan Kakek
Jabat, tapi seorang pemuda yang tidak lain adalah Pangeran sendiri. Dan janji Kakek Jabat itu
sekarang telah terbukti.“

115

“Aneh. Aku sudah dijanjikan untuk bertarung oleh Kakek Jabat dengan Kumba dan Kumbu.”
Sembara bicara dalam hati.

“Sekarang aku menyerahkan diriku kepada Pangeran."

“Oh, jangan! Jangan begitu Cambuk Kilat. Aku Bukan orang yang ..... " Belum lagi Sembara
meneruskan perkataannya, Cambuk Kilat dengan cepat memotong kata-kata Sembara.

“Maksudku, aku menyerahkan diriku untuk Pangeran pergunakan bila Pangeran perlu. Karena
ujudku yang lain adalah seperti ini.” Tiba-tiba saja perempuan yang bernama Cambuk Kilat itu
telah berubah ujud menjadi sebuah cambuk berwarna putih yang indah sekali. Sembara menjadi
kagum melihat sebuah cambuk terletak di atas tanah di hadapannya. Cambuk itu mengeluarkan
sinar putih yang menyilaukan mata. Ketika Sembara masih terkagum-kagum pada ujud cambuk itu,
tiba-tiba cambuk itu hilang entah ke mana. Yang terdengar sekarang adalah suara Cambuk Kilat
yang bicara pada Sembara.

“Kalau sewaktu-waktu Pangeran membutuhkan aku, panggillah namaku tiga kali. Maka aku akan
hadir dalam genggaman tangan Pangeran.”

“Terima kasih, Cambuk Kilat.”

Sekarang suasananya kembali sunyi. Yang ada hanyalah angin semilir sepoi-sepoi menerpa wajah
Sembara yang sedang berdiri di mulut goa yang sepi.

Sembara memandang ke arah jalan yang di kiri kanannya masih ditumbuhi pohon buluh perindu.
Mata pemuda itu terus mengikuti jalan yang semakin

116

lama tampak semakin menanjak. Lalu setelah lama memandang, di ujung jalan itu tampak samar-
samar wuwungan atap sebuah rumah. Tapi Sembara tidak melihat sebuah istana, sehingga
pemuda itu tampak kecewa.

"Lalu di mana istana Kencana Biru yang dikatakan oleh Kakek Jabat itu? Apakah aku tersesat?”
Sembara bertanya dalam hati.
"Kalau aku bertanya pada Cambuk Kilat, pasti dia tahu. Tapi dia sudah tidak ada dalam goa. Atau
mungkin dia masih ada di sana? Sebaiknya aku lihat dulu." Sembara membalikkan diri lalu masuk
kembali ke dalam goa. Ketika Sembara sampai dalam goa, dia tidak menemukan Cambuk Kilat. Goa
itu kosong dan sepi sehingga Sembara tambah kecewa.

“Betul. Cambuk Kilat memang tidak ada di dalam goa ini. Ah, pada siapa aku harus bertanya?"
Sembara berdiri diam. Sembara sedang berpikir keras.

“Bagaimana kalau aku memanggil Cambuk Kilat. Sambil aku ingin mencoba janji perempuan itu
padaku.” Dengan mengheningkan cipta. Sembara memusatkan seluruh pikirannya pada
perempuan yang bernama Cambuk Kilat. Lalu mulutnya komat-kamit menyebut nama Cambuk
Kilat.

“Cambuk Kilat ..... Cambuk Kilat ......... Cambuk Kilat ...... datanglah... aku butuh bantuanmu..."
Maka tiba-tiba dalam genggaman tangan kanan Sembara sudah ada sebuah cambuk putih yang
tampak indah. “Oh. kau menepati janjimu rupanya Cambuk Kilat. sehingga kau sudah hadir di
tanganku.”

117

“Sekali aku berjanji, janji itu akan aku penuhi sepanjang hidupku, Pangeran."

“Aku ingin bertanya padamu Cambuk Kilat. Dimana letak istana Kencana Biru itu.

“Kalau itu yang pangeran tanyakan, aku tahu. Jadi Pangeran terus saja berjalan ke puncak Gunung
Merapi ini. Maka Pangeran akan sampai di istana yang Pangeran maksudkan. Tapi maaf, Pangeran.
Aku hanya berjanji untuk membantu Pangeran dalam perkelahian, bukan sebagai penunjuk jalan.
Sekali lagi, aku mohon maaf. ”

“Tapi aku tidak melihat wuwungan...” Tiba-tiba saja cambuk dalam genggaman Sembara itu hilang
entah ke mana. Sembara menghentikan kata-katanya.

“Ah, dia hilang.” Wajah Sembara menampakkan rasa kecewa. Sembara jadi maklum, bahwa
Cambuk Kilat tugasnya bukan sebagai penunjuk jalan, tapi membantu Sembara dalam perkelahian.

“Sebaiknya, aku terus berjalan menyusuri jalan yang diapit oleh pohon-pohon buluh perindu itu."
Maka sekali lompatan Sembara sudah sampai kembali di luar goa. Lalu pemuda itu berlari-lari kecil
menyusuri jalan yang semakin lama semakin terjal. Tapi semangatnya untuk bertemu dengan
Kakek Jabat tidak pernah padam, karena dia panasaran dengan suasana yang dialaminya. Banyak
yang akan dia tanyakan kepada laki-laki tua penguasa Gunung Merapi itu. Semangatnya semakin
menyala untuk bisa sampai di puncak Gunung Merapi. Sementara hari sudah tepat tengah hari,
namun angin gunung semakin kencang bertiup sehingga terasa menusuk

118

sampai ke tulang sum sum. Suasana dingin makin terasa.


"Aku harus terus mendaki puncak Gunung Merapi ini. Aku harus menemui Kakek Jabat."

Dengan berlari-lari kecil Sembara terus mendaki jalan yang menuju puncak Gunung Merapi, dia
tidak pedulikan tiupan angin gunung yang semakin terasa dingin menusuk tulang.

“Pangeran, kau harus kembali ke desamu, karena Ibumu membutuhkan pertolonganmu." Tiba-tiba
terdengar suara aneh menyapa dirinya sehingga Sembara menghentikan langkah kakinya.

“Cepatlah, Pangeran!”

“Kau pasti bukan Kakek Jabat."

"Aku memang bukan Kakek Jabat.”

"Jangan-jangan ini adalah gangguan lagi yang aku hadapi.“ Sembara berkata dalam hati. Karena
suara itu bukanlah suara Kakek Jabat yang sangat dikenalnya.

"Kalau kau tidak menghiraukan kata-kataku. Kau akan menyesal..."

“Kau siapa?"

“Aku adalah adik Kakek Jabat. Namaku Daksa. Aki Daksa."

“Kalau kau menampakkan dirimu padaku. Baru aku percaya.“

“Baik. Aku akan menampakkan diriku di hadapanmu," Tiba-tiba saja hadir seorang laki-laki tua
yang mirip dengan Kakek Jabat sehingga Sembara hampir saja mengira bahwa itu adalah Kakek
Jabat.

“Rupanya kau hampir saja mengira aku Kakek Jabat, Pangeran.”

119

“Aku memang mengira kau adalah Kakek Jabat Hanya saja suaramu yang tidak sama dengan suara
Kakek Jabat.”

“Kenapa kau memanggilku dengan nama Pangeran?"

“Bukankah Kakek Jabat juga memberimu gelar dengan gelar Pangeran?”

“Berarti dia bukan orang lain bagi Kakek Jabat.“

“Rupanya kau masih menduga bahwa aku berbohong padamu, Pangeran?"

“Baiklah. Sekarang aku percaya padamu.”

“Terima kasih kalau kau sudah mempercayai aku."


“Tapi aku harus terus mendaki Gunung Merapi ini.”

“Masih banyak waktumu untuk bisa kembali kemari. Sekarang pulanglah. Kau sedang ditunggu-
tunggu Ibumu di Desa Seberang. Kalau Pangeran membutuhkan pertolonganku, panggillah namaku
tujuh kali. Maka aku akan hadir di hadapanmu.”

“Baiklah. Aku pulang sekarang. Tapi, kenapa orang-orang itu duduk bersila di sana, Aki Daksa?”

"Mereka sedang melakukan semedi.”

“Oh apa yang diingini mereka dalam semedi?”

“Suatu saat kau akan tahu dan akan bisa melakukannya. Sekarang pulanglah. Kau ditunggu ibunya
di Desa Seberang." Tanpa menunggu lagi. Sembara berbalik arah, dia berlari turun ke arah kaki
Gunung Merapi yang tampak jauh di bawah sana. Bahkan untuk berlari ke arah kaki gunung yang
tinggi itu mungkin dia membutuhkan waktu setengah hari perjalanan. Tapi dia tidak peduli. Dia
terus berlari dan berlari. Ketika sampai di sebuah batu yang besar dan

120

datar. dia berhenti sebentar untuk mengucapkan terima kasih kepada Aki Daksa. Tapi sosok Ki
Daksa itu tidak ditemuinya. Yang ada hanyalah bukit-bukit batu yang gersang sehingga Sembara
heran.

121

122

SEMBILAN

Di Desa Ilir, hari sudah beranjak siang. Suasana desa tampak sepi. Karena orang-orang desa sedang
beristirahat dari sengatan matahari siang. Mereka lebih memilih duduk di warung-warung sambil
menikmati penganan daripada berkeliaran di jalan-jalan desa.

Tidak jauh dari warung-warung yang ada di tepi jalan, tampak sebuah rumah yang mewah. Rumah
itu adalah milik orang kaya yang bernama Raisman. Tidak banyak kesibukan di rumah itu kecuali
Raisman yang dari tadi tampak gelisah. Sebentar-sebentar dia mundar-mandir dari beranda rumah
lalu masuk lagi ke dalam rumah. Sedangkan dua pembantu setianya tampak cemas melihat sikap
tuan mereka. Mereka ingin membantu kesulitan tuan mereka, tapi mereka tidak berani
mengajukan diri. Suasana malah jadi tegang tidak karuan.

123
Ketika sampai di beranda depan, Raisman duduk perlahan-lahan di sebuah kursi yang di
hadapannya terbentang kolam ikan yang luas, dengan ikan-ikan emas yang besar-besar.

“Aneh. Kenapa tiba-tiba saja aku ingin bertemu dengan Maryamah? Apakah cintaku pada
perempuan cantik itu belum juga padam?” Raisman bertanya pada dirinya sendiri.

“Padahal sudah delapan belas tahun lebih aku tidak tahu lagi tentang kehidupan perempuan itu."
Raisman memandang jauh ke depan rumahnya, sawah yang menghijau terbentang luas di hadapan
rumah mewah itu. Tapi pandangan mata laki-laki yang masih di bilang muda, bahkan baru
menginjak usia kira-kira tiga puluh delapan tahun itu tidak memandang ke sana. Pandangannya
kosong, hampa, seolah-olah tidak mencerminkan semangat hidup berlimpah yang telah ada di
sekitarnya.

“Yaaah, sejak dulu aku memang mencintai dia. Cintaku itu tidak pernah padam walau barang
sekejap pun juga. Dan apa salahnya sekarang aku temui dia untuk menyambung hubungan yang
sudah terputus itu. Bukankah sekarang sudah tidak ada lagi panghalang bagiku?” Raisman masih
bicara pada dirinya sendiri.

“Lekan?”

“Ya, Juragan?"

“Kau tahu Desa Seberang, bukan?

“Saya tahu, Juragan ....... "

“Dan kau tahu rumah Maryamah, bukan?”

“Oh tentu saja saya tahu, Juragan.…..”

124

“Nah, sekarang kau dan Kohar siapkan kereta kudaku."

“Juragan akan ke sana?"

“Ya. Aku akan menemui Maryamah.”

“Menemui Maryamah, Juragan?"

“Kenapa? Maryamah masih tinggal di sana, bukan?"

“Sepengetahuan saya, Maryamah memang masih tinggal di sana, Juragan.”

“Nah, kita ke sana sekarang.

“Baik, Juragan. Hayo Kohar!"


“Ya." Tanpa banyak bicara Lekan dan Kohar bergegas ke belakang rumah untuk mempersiapkan
kereta kuda majikan mereka. Sedangkan Raisman menunggu di beranda rumah dengan tidak
sabar. Karena kesempatan itu sudah sangat lama ditunggu oleh laki-laki yang tampak masih gagah
itu.

Dari balik pintu rumah, anak gadisnya yang bernama Farida sejak tadi mengintip sikap Ayahnya.
Bahkan dia mendengar pembicaraan Ayahnya dengan Lekan dan Kobar.

Ketika Ayahnya akan pergi ke rumah Maryamah, timbul harapan bahwa hubungannya dengan
Sembara bisa terbuka dan berjalan secara terang-terangan di hadapan Ayahnya. Karena Farida
berpikir, bahwa hubungannya dengan Sembara secara samar-samar sudah diketahui oleh Ayahnya,
sehingga sekarang Ayahnya akan berbicara dengan Ibu Sembara yang bernama Maryamah tentang
hubungannya dengan pemuda tampan itu. Padahal Farida tidak tahu, bahwa Raisman ke sana ingin
menemui Maryamah, karena ada kisah lama yang

125

sudah terputus selama delapan belas tahun lebih. Kisah cinta yang dipaksakan oleh Ayahnya
terhadap Mayamah sehingga terjadilah bencana kehidupan yang dialami Maryamah selama
hidupnya sekarang ini.

Untuk meyakinkan harapannya, dengan cepat dia bergegas ke belakang menemui Lekan dan Kohar.
Kedua pembantu setia itu dia temui di kandang kuda, Mereka sedang mempersiapkan kereta kuda
Ayahnya.

“Kang Lekan?"

“Oh, Den Farida ..... ada apa, Den?"

“Betul, Ayah akan pergi ke Desa Seberang?"

“Betul, Den. Ini kereta kuda beliau sedang kami siapkan."

“Untuk menemui Ibu Sembara, bukan?”

“Betul, Den.”

“Den Farida rupanya mendengar pembicaran Juragan Raisman pada kami tadi?"

“Kebetulan aku mendengarnya, Kang Kohar.“ Farida menjawab cepat.

“Untuk apa Ayah ke sana, Kang Lekan?"

“Oh, saya dan Kohar tidak tahu, den. Hanya Juragan mengatakan, bahwa beliau sekarang akan ke
rumah Maryamah."
”Eeeee.. baiklah..." Farida tampak agak putus asa mendengar jawaban kedua pembantu setia itu.
Padahal dia juga tahu, bahwa Ayahnya memang tidak mengatakan apa-apa kepada kedua
pembantu itu. Tidak berselang lama, Lekan dan Kahar sudah siap mendandani kereta kuda itu.
Bahkan kuda yang

126

akan menarik kereta pun sudah dipersiapkan oleh keduanya. Beberapa saat kemudian kereta kuda
sudah berjalan menuju halaman depan rumah Raisman.

Kereta kuda itu dikusiri oleh kusir kereta yang bernama Andah. Sedangkan Lekan dan Kohar duduk
disamping kusir kereta. Kuda penarik kereta itu berlari perlahan-lahan menuju kehalaman depan
rumah Raisman. Akhirnya kuda penarik kereta itu sudah berhenti di depan rumah.

Raisman yang sejak tadi menunggu di depan ru-mah, dengan cepat berjalan menuju kereta kuda.
Dengan langkah mantap, laki-laki itu naik ke atas kereta yang siap membawanya ke Desa Seberang.
Sementara Farida mengintip dari jarak yang cukup jauh.

Kereta kuda sudah bergerak menuju Desa Seberang. Warung-warung di tepi jalan dilewati oleh
Raisman dan rombongannya. Semakin lama semakin jauh Desa Ilir ditinggalkan oleh kereta kuda
yang tampak cukup mewah bagi orang kaya seperti Raisman. Lalu kini yang tampak adalah sawah-
sawah terhampar hijau. Sedangkan rerimbunan pohon mengelilingi dari kejauhan.

Kuda penarik kereta itu masih terus berlari sesuai irama sejak semula. Tapi lari kuda itu terasa lama
bagi Raisman sehingga Raisman tampak gelisah duduk di atas kereta. Bahkan tiba-tiba Raisman
bicara pada kusir keretanya.

“Apa kuda ini tidak bisa lebih cepat lagi larinya, Andah!"

127

“Oh ya Juragan, bisa." Andah menjawab dengan hormat. Lalu Andah dengan cepat mencambuk
kuda supaya lari lebih cepat.

“Hus! Hus! Hus! Hiyaaaa!” Bunyi cambuk keras sekali sampai di punggung binatang itu sehingga
kuda penarik kereta berlari lebih cepat dari semula, Dan, roda-roda kereta kuda tampak lebih
cepat berputarnya.

Ketika hari menjelang sore, kereta kuda yang membawa Raisman sudah mendekati tapal batas
Desa Seberang. Kali ini wajah laki-laki itu tampak mulai tegang. Padahal dia sering sekali datang ke
Desa Seberang untuk urusan dagang. Tapi wajahnya tidak tegang seperti sekarang ini. Bahkan
duduk Raisman pun mulai tidak karuan. Sebentar pindah ke kiri, sebentar pindah ke kanan.
Kejadian ini diperhatikan oleh Kohar dan Lekan sehingga kedua orang itu jadi serba salah.

“Juragan, kita sudah hampir sampai.” Tiba-tiba Kohar bicara memecahkan kegelisahan Raisman.
Tapi Raisman diam saja sehingga kedua pembantu dan kusir kereta jadi salah tingkah.
Ketika kereta kedua sudah memasuki desa Seberang, Raisman baru bertanya pada kedua
pembantunya.

“Kita sudah sampai, Kohar?"

"Ya, Juragan. Kita sudah memasuki Desa Seberang.”

“Hem, kalau begitu kurangi kecepatannya."

“Baik, Juragan.” Kusir Andah menjawab hormat. Lalu kuda penarik kereta mulai berlari perlahan-
lahan. Kedua pembantu Raisman jadi heran. Tapi mereka

128

tidak berani bicara. Mereka harus mengikuti kemauan majikan mereka.

Orang-orang Desa Seberang tampak tidak peduli melihat kereta kuda Raisman memasuki desa
mereka karena kereta kuda itu sudah sangat sering melintas di jalan desa.

"Kenapa lari kuda ini begitu lambat, Andah?”

“Bukankah sebentar lagi kita akan sampai, Juragan?”

“Lebih cepat sedikit!"

”Oh ya baik, Juragan. Lari kuda ini akan saya percepat." Kusir Andah menjadi heran mendengar
kata-kata majikannya. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak kecuali memacu lebih cepat lagi lari kuda
penarik kereta.

“Kurang kencang, Andah!” Tiba-tiba Raisman bicara dengan nada membentak.

“Baik, Juragan... " Maka, Andah lebih mempercepat lagi kuda berlari sehingga orang-orang yang
duduk di atas kereta harus berpegangan kuat agar tidak terpental jatuh ke atas jalan desa.

Tidak lama setelah kuda berlari kencang, maka tiba-tiba kuda berhenti di depan sebuah rumah
yang sederhana. Semua penumpang kereta tersentak ke depan. Lalu terhenyak kembali ke
belakang.

“Kita sudah sampai, Juragan.…" Kusir Andah menyampaikan kepada Raisman dengan sangat
hormat.

“Hem, ya.” Raisman turun perlahan-lahan dari atas kereta kuda. Sedangkan kedua pembantu
Raisman mengikuti jejak majikan mereka.

129
Raisman memandang rumah itu agak lama. Di pelupuk matanya terbayang kembali kisah delapan
belas tahun yang lalu. Bagaimana dia sering lewat di depan rumah itu untuk mengintip Maryamah
yang ketika itu masih muda belia.

Setelah hanyut sebentar dalam lamunan masa lalunya. Raisman melangkahkan kakinya menuju
halaman rumah Maryamah. Sedangkan suasana sekitar rumah itu tetap sepi. Seolah-olah tidak ada
penghuninya.

Ketika rombongan kecil itu sampai di depan pintu rumah, Raisman berhenti lalu mengetuk pintu
rumah Maryamah.

Tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki dari dalam rumah menuju pintu. Lalu perlahan-lahan
pintu rumah terkuak.

“Oh...eee... Kakang... Raisman?” Terdengar suara Maryamah menyambut tamunya dengan terbata-
bata.

“Ya... aku....” Raisman menjawab kaku. Bahkan dalam hatinya, Raisman terpesona melihat kecan-
tikan Maryamah yang tidak pernah berubah.

“Boleh, aku masuk?”

“Eeee, masuklah…”

“Terima kasih ..... ” Raisman menjawab dengan nada masih terdengar kaku.

“Kalian tunggu di luar!”

“Baik, Juragan,…" Serentak Kohar dan Lekan mengiyakan perintah majikan mereka. Sedangkan
Raisman melangkah ke dalam ruang tengah yang masih seperti delapan belas tahun yang lalu.

130

"Silakan duduk, Kaang...?” Tiba-tiba terdengar suara lembut mempersilakan dia duduk sehingga
Raisman pun duduk seperti diperintah oleh kekuatan lain.

Tanpa diduga oleh laki-laki yang ingin menyambung lagi kisah lamanya, Maryamah sudah duduk di
hadapannya.

“Ada perlu apa Kakang datang ke rumah ini, Kakang Raisman. " Maryamah bertanya dengan tegar.
Walau bibirnya terasa bergetar menahan segala macam perasaan yang selama ini selalu dia
sembunyikan.

“Aku hanya ingin berkunjung saja ke mari karena sudah lama sekali aku tidak ke rumah ini."
Raisman menjawab dengan senyum yang tampak dipaksakannya.

“Oooh.. .” Maryamah menjawab dengan jawaban dingin.


“Anakmu mana, Maryamah?”

“Sedang keluar sebentar...,” kembali Maryamah menjawab dengan jawaban dingin sehingga
suasana kaku terus melilit keduanya.

Raisman memperhatikan rumah itu dengan pandangan matanya, bahkan sampai ke sudut-sudut
rumah tidak luput dari perhatiannya. Seolah-olah mencari sesuatu.

Pandangan mata Raisman menimbulkan kecurigaan pada Maryamah. Mungkin Raisman sudah
mengetahui hubungan anaknya dengan Sembara. Apalagi tadi Raisman sudah menanyakan
anaknya pada Maryamah. Begitu Maryamah menduga-duga atas kedatangan Raisman yang tidak
dia sangka-

131

sangka ini sehingga Maryamah bertanya dengan hati-hati pada Raisman.

“Ada yang Kakang cari di rumahku ini, Kakang Raisman?"

“Oh, tidak.”

Suasana kembali sepi. Yang terdengar hanya nafas Maryamah yang mulai tidak teratur. Nafas
seorang janda yang was-was didatangi tamu yang sangat dikenalnya. Apalagi sudah tiga minggu ini
Sembara belum juga kembali ke rumah itu. Kalau terjadi apa-apa pada dirinya, Maryamah tidak
bisa berbuat lain kecuali pasrah pada nasibnya.

“Aku kemari hanya ingin bertamu, Maryamah!" tiba-tiba Raisman berkata memecah kesunyian
sehingga Maryamah jadi heran. Tapi sikap waspada masih dia perhatikan betul. Walaupun rasa
lega mulai menjalari seluruh tubuhnya.

“Rumahmu ini masih seperti dulu."

“ Rumah ini peninggalan kedua orang tuaku..."

“Apakah dulu suamimu tidak meninggalkan apa-apa untukmu, Maryamah?"

“Walaupun begini, kami hidup bahagia, Kakang Raisman..." Maryamah menjawab dengan hati-hati

“Kalau saja dulu kau menjadi istriku. Aku akan bisa memberimu lebih dari ini, Maryamah...”

“Aku tahu. Tapi aku sudah bahagia dengan keadaan ini.....”

“Yaah. Kebahagiaan memang tidak ditentukan oleh harta yang kita miliki. Tapi dari sini, dari lubuk
hati kita yang paling dalam.” Raisman mulai berkata seperti seorang pemuka agama yang sedang
menyampaikan khotbahnya.
132

Setelah itu suasana sunyi kembali membelit mereka sehingga Maryamah berharap agar laki-laki
yang pernah tergila-gila pada dia dulu, cepat beranjak dari rumahnya. Karena dia tidak mau cerita
lama terlulang lagi saat sekarang ini. Sedangkan Raisman sedang mencari-cari kata lain supaya
pembicaraannya bisa mengena di hati Maryamah.

“Dulu aku juga begitu. Istriku yang bernama Duhita aku buatkan rumah besar dan indah dengan
isinya yang lengkap. Semua itu agar dia senang tinggal di rumah besar itu. Tapi semuanya sirna.
Karena dari dalam hati yang paling dalam tidak ada kecocokan. Dari hati yang paling dalam tidak
ditemukan kebahagiaan." Raisman berkata dengan terbata-bata.

“Bahkan akhirnya Duhita meninggal dunia karena kebahagiaan tidak dia dapatkan dari perkawinan
kami." Raisman seolah-olah menyesali dirinya sendiri. Bahkan raut muka Raisman tampak murung
saat dia bercerita. Maryamah terpana melihat laki-laki yang masih tegap itu luluh dengan cerita
perkawinannya dengan almahumah Duhita. Bahkan Maryamah heran. Kenapa laki-laki yang duduk
di hadapannya ini bisa begitu. Lalu tanpa disadarinya Maryamah berkata.

"Aku turut berduka atas kejadian itu, Kakang..."

“Terima kasih. Tapi kau tidak usah sedih, Maryamah. Ini sudah nasibku.”

Suasana kembali sunyi seperti tadi. Maryamah hanyut dengan sikap Raisman yang baik terhadap
dirinya. Sedangkan Raisman sedang berpikir keras, bagaimana cara dia menyampaikan rasa cinta
yang

133

tidak pernah padam pada Maryamah. Bahkan kalau bisa, hari itu juga dia ingin melamar
Maryamah untuk dijadikan istrinya.

“Eeeee, Maryamah..."

“Ya, Kakang?”

“Aku.... Aku ingin menyampaikan sesuatu padamu…”

“Menyampaikan apa, Kakang?”

“Eeeee.. ah bingung aku mengatakannya...."

“Jangan-jangan dia akan menyampaikan....Ah, aku tidak berani menduga-duga. Aku takut, kalau dia
akan menyampaikan masalah dulu padaku. Sedangkan aku sudah melupakan kisah lama itu dalam
hidupku."

“Bolehkah aku bicara padamu?”


“Boleh, asal tidak menyangkut tentang hal-hal yang bisa menyudutkan hidupku dan hidup anakku."

“Oh, tidak. Sama sekali tidak. Bahkan ini akan menyangkut kebahagianmu untuk masa men-
datang.” Raisman bicara lancar sekali. Seolah-olah dia mendapat angin dari sikap Maryamah.
Sementara perempuan itu curiganya mulai bertambah. Ketika mendengar kata-kata Raisman
mengenai dirinya.

“Eee begini...” Raisman menahan sebentar kata-katanya. Sedangkan Maryamah sudah menduga
apa yang akan disampaikan Raisman pada dirinya. Maryamah jadi pucat, karena dia tidak mau hal
itu terjadi lagi.

“Aku ingin melamarmu untuk jadi istriku.. .." Tiba-tiba kata-kata itu meluncur dengan tenang dari
mulut Raisman. Namun Maryamah bagai disambar petir mendengar kata-kata yang begitu tenang
itu.

134

“Hal ini aku sampaikan. Karena selama ini aku memang selalu mencintaimu. Cintaku tidak pernah
padam padamu, Maryamah.” Sementara Maryamah merasa dirinya mulai oleng. Apa yang selama
ini dia takutkan menjadi kenyataan. Tapi Maryamah berusaha tegar. Dia berusaha agar tidak
pingsan di hadapan Raisman.

“Itu sebabnya aku datang kemari. Setelah delapan belas tahun cintaku padamu aku simpan saja...
Bukankah sekarang sudah tidak ada penghalang lagi? Aku sudah menduda. Sedangkan kau sudah
menjanda....?" Raisman berkata dengan manis. Sedangkan nafas Maryamah mulai memburu.
Maryamah mencoba mengatur nafas agar kembali tenang. Maryamah menahan dirinya agar tidak
mbuh.

Melihat kejadian itu Raisman bertambah yakin, kalau-kalau cintanya kali ini akan berbalas. Dia
merasa tidak akan bertepuk sebelah tangan lagi.

“Aku akan membahagiakanmu. Aku akan memenuhi apa saja yang kau minta padaku." Maryamah
masih diam. Maryamah masih berusaha menenangkan dirinya.

“Bagaimana, Maryamah? Kau maukan jadi istriku?“

Dengan menguatkan diri, Maryamah berusaha menjawab pertanyaan Raisman. Dia memilih kata-
kata agar laki-laki itu tidak tersinggung padanya. Karena dia tahu. Kalau hal itu terjadi, maka
bencana baru akan datang lagi pada dirinya. Bahkan pada anaknya Sembara yang sampai sekarang
belum pulang juga ke rumah.

135

“Kakang Raisman, kita sudah sama-sama tua. Rasanya sudah tidak pantas bagiku untuk berumah
tangga lagi!" bibir Maryamah bergetar ketika menyampaikan kata-katanya.
“Kau salah Maryamah. Umurku baru menginjak kira-kira tiga puluh delapan tahun. Sedangkan
umurmu aku kira tidakjauh berbeda dengan umurku. Yaah, mungkin sekitar tiga puluh lima tahun."

“Tapi aku sudah tidak memikirkan hal itu lagi, Kakang Raisman. Bagiku sekarang bagaimana
mengurus anakku yang sudah mulai dewasa.” Sekarang Maryamah sudah mulai menemukan
dirinya lagi sehingga Maryamah bicara dengan nada yang mantap. Maryamah sudah tidak
mempedulikan apa yang akan terjadi di belakang hari pada dirinya. Dia siap menghadapi segala
kemungkinan.

“Kau harus pikirkan kata-katamu, Maryamah...”

“Sejak dulu, sejak kematian suamiku, aku sudah bertekad tidak akan menikah lagi, Kakang... Yang
aku pikirkan hanyalah bagaimana aku bisa membesarkan anakku Sembara sampai dia jadi
orang...... Jadi aku mohon maaf kalau sikapku ini menyinggung perasaan Kakang." Maryamah
bicara lancar sekali, sehingga Raisman terpana mendengar kata-katanya. Bahkan laki-laki yang
cepat naik darah itu mulai tersinggung pada kata-kata Maryamah.

“Jadi, betul-betul kau menolak lamaranku?”

“Kakang Raisman. masih banyak perempuan lain yang bersedia menjadi istri Kakang. Bahkan
Kakang bisa mencari perempuan yang lebih cantik dan lebih muda dari diriku!”

136

“Baiklah! Kalau kau menolak, aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Tapi ingat! Jangan sampai
keputusanmu ini kelak membuat kau menyesal!" Raisman bicara sambil berdiri. Sementara giginya
dia katupkan, pertanda dia sedang menahan kecewa yang teramat sangat.

Langkah-langkah kaki Raisman cepat sekali beranjak dari ruang tamu rumah Maryamah. Tidak
lama kemudian, pintu rumah itu di banting oleh Raisman. Maryamah terkejut. Raisman sudah
berada di luar rumah. Dan tidak lama berselang, terdengar suara kereta kuda yang membawa
Raisman ke rumah itu dipacu kencang. Sedangkan Maryamah tetap duduk dengan pikiran galau.
Dia merasa menyesal berkata begitu. Tapi dia tidak bisa berbuat lain. Selain menolak lamaran
Raisman pada dirinya. Kini dia berdoa, agar anaknya Sembara tidak mendapat halangan. Karena
Sembara sedang menjalin hubungan cinta dengan Farida, anak Raisman. Tapi apakah Raisman mau
berbesan dengan dia? Apakah Raisman mau menjalin hubungan dengan cara lain dengan dia?

137

138

SEPULUH

Raisman sudah lama sampai di rumah. Namun seisi rumah jadi takut ketika melihat Raisman yang
hanya diam dengan muka berkerut dan berlipat-lipat. Apalagi Farida, anaknya, gadis cantik itu ingin
mendengarkan apa yang dibicarakan Ayahnya di rumah Sembara. Tapi Farida tidak berani bertanya
pada Ayahnya. Karena Ayahnya tidak mau bicara sepatah kata pun pada dirinya.

Setelah Ayahnya masuk ke kamar, Farida berlari ke belakang rumah menemui Lekan atau Kohar
untuk menanyakan apa yang telah terjadi pada Ayahnya. Ketika dia sudah sampai di depan pintu
kamar Kohar, Farida mengetuk pintu kamar pembantu setia itu.

“Kang Kohaaar? Buka pintuuuu!" Dengan cepat pintu kamar itu dibuka oleh penghuninya.

“Ada apa, Den?" Kohar bertanya dengan hormat.

139

”Kang Kohar tadi mengantar Ayah ke rumah Sembara, bukan?”

“Betul, Den...."

“Lalu kenapa Ayah jadi cemberut begitu, Kang Kohar? Apa yang telah terjadi di sana?"

“Aduh saya juga tidak tahu, Den. Karena Juragan tidak bicara apa-apa pada saya dan juga pada
Lekan ....... ”

“Apakah Kang Kohar tidak mendengar pembicaraan mereka?”

“Tidak, Den. Kami di suruh oleh Juragan menunggu di luar rumah sehingga kami tidak tahu apa
yang dibicarakan oleh Juragan dengan Ibu Sembara… Hanya saja ketika Juragan keluar dari rumah
itu, Juragan tampak sudah cemberut. Bahkan Juragan sempat membanting pintu rumah itu, Den
Farida...."

“Aah, aneh. Apa yang telah dibicarakan Ayah dengan Ibu Sembara sehingga Ayah jadi marah
seperti itu?” Perlahan-lahan Farida kembali ke dalam rumahnya. Sambil berjalan, dia berpikir
terus, apa yang telah terjadi antara Ayahnya dengan Ibu Sembara sehingga Ayahnya marah seperti
itu. Apakah Ibu Sembara menolak lamaran Ayahnya? Atau, Ayahnya marah pada Ibu Sembara?
Karena Ayahnya memang tidak suka pada Sembara? Kalau itu yang terjadi, maka kiamatlah dunia
bagi Farida. Karena Farida sangat mencintai Sembara. Pemuda tampan yang selalu melingkari
dalam hidupnya.

Kini Farida bertekad, dia akan menanyakan pada Ayahnya. Apa yang telah terjadi di rumah
Sembara sehingga Ayahnya begitu marah.

140

Langkah kaki Farida sekarang berhenti di muka pintu kamar Ayahnya. Lama gadis itu berdiam diri.
Sebelum dia mengetuk pintu kamar Raisman.

Setelah berpikir bolak-balik, maka Farida memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ayahnya.
“Siapa!” Terdengar suara Ayahnya dari dalam.

“Saya Ayah,... Farida..." Farida menjawab perlahan-lahan. Tiba-tiba pintu kamar Raisman terbuka
cepat. Bahkan Raisman sudah berdiri di muka pintu. Sambil bertolak pinggang, Raisman
melontarkan pertanyaan pada anaknya.

“Perlu apa, kamu?"

“Eh, ingin menanyakan kunjungan Ayah ke Desa Seberang" Farida berkata terbata-bata.

“Kau ingin tahu kunjunganku ke Desa Seberang?"

“Ya, Ayah” Farida mulai berani menjawab pertanyaan Ayahnya karena dia melihat sikap Ayahnya
yang memberikan kesempatan pada dia untuk bertanya.

“Kau tidak perlu tahu hasil kunjunganku ke sana!" Raisman menjawab dengan ketus. Namun Farida
belum mengetahui sikap Ayahnya itu sehingga dia semakin berani melanjutkan pertanyaannya.
“Eh saya hanya ingin tahu saja, bagaimana penerimaan Ibu Maryamah terhadap Ayah ...... "

"Jangan kau sebut-sebut lagi nama itu! Muak aku mendengarnya!” Raisman membentak anaknya.
Farida terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan terasa seluruh tubuhnya berdiri kaku di hadapan
Ayahnya.

“Hayo! Pergi kau! Aku tidak mau diganggu!”

141

“Ya, Ayah ...... "Farida menjawab lesu! Lalu gadis cantik itu pergi meninggalkan Raisman yang
masih berdiri di muka pintu kamarnya. Tidak lama pintu kamar Raisman dibanting.

Mendengar pintu dibanting, Farida berjalan cepat menuju kamarnya, tiba-tiba di luar rumah dia
melihat bayangan kakak Ayahnya yang bernama Rosmina sehingga Farida berhenti berjalan. Lalu
perlahan-lahan anak gadis Raisman itu mengintip dari balik pintu.

Ketika Rosmina melangkah masuk ke dalam rumah, maka dengan cepat Farida menyambut bibinya
itu.

“Apa kabar, Bibi Rosmina?"

“Oh, Farida? Ayahmu ada?

“Ada Bibi. Ayah sedang berada di kamar....”

“Kalau begitu aku langsung saja menuju kamarnya."

“Tapi Bibi. . . ."


"Kenapa? Apakah Ayahmu sedang sakit? Ataukah Ayahmu sedang tidak mau ditemui?"

“Ayah sedang marah.”

“Marah kenapa?"

“Tidak tahu, Bibi...”

“Kau tahu Ayahmu sedang marah?”

“Baru saja aku diusirnya keluar dari dalam kamar.”

“Berarti Ayahmu sedang marah padamu.”

“Bukan, Bibi.”

“Lalu marah pada siapa?"

“Ayah baru saja pulang dari Desa Seberang. Sesampai di rumah Ayah marah-marah."

142

“Desa Seberang. Apa yang dikerjakan Ayahmu di sana?"

“Ayah mengunjungi rumah Ibu Sembara.”

“Rumah Maryamah, maksudmu?"

"Ya, Bibi."

“Rumah Maryamah. Jangan-jangan...." Rosmina tidak jadi meneruskan kata-katanya. Karena dia
tidak ingin Farida tahu kisah cinta Raisman dengan Maryamah yang telah terjadi beberapa belas
tahun yang lalu. Sedangkan Farida hanya terbengong-bengong mendengarkan kata-kata Bibinya.

“Sudah. Kamu tidak usah heran. Biar Bibi yang bicara pada Ayahmu."

“Ya, Bibi.“ Farida menjawab sekenanya. Sedangkan pikirannya malayang jauh kepada hubungan
cintanya dengan Sembara. Hubungan yang sulit untuk diputuskan begitu saja. Bahkan Farida sudah
menduga, bahwa hubungan cintanya dengan Sembara sudah diketahui oleh pihak keluarganya
sehingga bibinya yang bernama Rosmina pun tidak dia lihat lagi melintas dihadapannya menuju
kamar Raisman. Farida terus melamun pada Sembara yang sampai kini belum juga kembali ke
rumahnya dalam perjalanan aneh yang baru saja dia alami.

Sesampai di depan pintu kamar Raisman. Rosmina mengetuk pintu perlahan-lahan. Suasana senja
masih saja meneyelimuti rumah Raisman. Jawaban dari dalam kamar tidak kunjung tiba sehingga
Rosmina mengetuk pintu sekali lagi. Kali ini ketukannya agak keras sehingga terdengar jawaban
dari dalam yang juga keras.
143

“Siapa!” Suara Raisman terdengar keras dan parau.

“Aaaku!” Kata Rosmina lemah lembut. Tiba-tiba pintu kamar terkuak perlahan. Dan terlihat
Raisman berdiri bertolak pinggang.

““Masuklah, Kak!" Kali ini suaranya tidak lagi sekeras tadi. Tapi masih terasa mengandung
kejengkelan. Perlahan-lahan Rosmina masuk ke kamar Raisman. Lalu dia duduk di salah satu ujung
tempat tidur Raisman yang besar dan indah.

“Kau sore ini tidak begitu cerah tampaknya. Ada persoalan apa yang membuatmu seperti ini,
Raisman?"

"Persoalan yang dulu juga. . .”

“Persoalan yang dulu bagaimana?”

"Persoalan yang dulu!”

“Aku tidak mengerti maksudmu, Adikku…" Rosmina berkata dengan lemah-lembut sehingga
kemarahan Raisman mulai mereda. Bahkan perlahan-lahan Raisman duduk di ujung tempat tidur
yang lain.

"Apa kau sedang marah pada anakmu, Farida?”

“Tidak."

“Lalu?"

“Aku baru saja kembali dari Desa Seberang."

“Kau baru saja berkunjung ke rumah Gopala?"

“Bukan."

“Ke rumah Lopati?"

“Bukan."

“Setahuku di Desa Seberang hanya kedua laki-laki itu yang akrab denganmu, Raisman." Rosmina

bertanya pura-pura tidak tahu.

144
“Aku baru saja berkunjung ke rumah seorang perempuan."

“Perempuan? Siapa perempuan itu?"

“Maryamah..." Raisman menyebut nama itu dengan tenang. Sedangkan Rosmina seolah-olah
terkejut mendengar nama itu. Setelah itu Rosmina agak lama menatap wajah adiknya.

“Kau, kau....."

“Ya. Aku datang untuk melamarnya jadi istriku. Tapi dia menolakku mentah-mentah sehingga aku
jadi sakit hati.”

“Raisman. .. Kenapa kau ulang lagi kisah lama itu. Apa kau tidak sadar, kau akan ditolak oleh
Maryamah? Sejak dulu kau telah ditolak oleh perempuan itu!" Keduanya berdiam diri. Suasana
kembali sepi.

“Aku tidak terima perlakuan ini!"

“Dari dulu aku sudah katakan padamu, bahwa kau tidak akan bisa mendapatkan Maryamah. Tapi
kau tidak percaya sehingga jadinya seperti ini!”

“Aku akan membalasnya! Aku akan membalas penghinaan ini!”

“Dari dulu kita sudah dihina. Tapi kau tidak percaya sehingga kau bersumpah akan melamarnya
suatu waktu nanti. Tapi bagaimana akhirnya?"

“Aku berpikir, mungkin setelah belasan tahun berlalu sikapnya akan berubah. Tapi ternyata tidak.
Bahkan dia semakin tegar bagai batu karang." Suasana kembali sepi. Yang terdengar hanya desah
nafas Raisman menahan marah.

“Lalu dengan cara apa kau akan membalaskan sakit hatimu ini, hah? Apa kau akan menyuruh orang
untuk membunuh Maryamah?"

145

“Tidak! Aku akan membalaskan sakit hatiku ini dengan caraku sendiri.”

“Dengan cara apa, hah? Dengan cara meneluh dia? Menyantet dia?”

“Aku akan menyantet dia."

“Cara itu yang dilakukan oleh kedua orang tua kita dulu. Dan cara itu sudah kuno.”

“Justru cara itu yang paling hebat sehingga orang tidak tahu, kalau kita yang membunuh dia.”

“Yaah terserah sajalah. Tapi cara itu terlampau lama. Lebih baik kau suruh orang membunuh dia
sehingga pekerjaan itu cepat selesai dan hasilnya memuaskan.“
“Pokoknya aku ingin membalaskan sakit hatiku ini dengan caraku sendiri!” Raisman tetap
bersikeras ingin membalaskan sakit hatinya terhadap Maryamah dengan cara dia sendiri. Padahal
Maryamah menolak lamaran Raisman tidak dengan kasar. Tapi dengan sopan-santun. Rosmina jadi
kesal dengan sikap adiknya yang selalu keras kepala. Walaupun dalam hati Rosmina ada cara lain
untuk membalaskan sakit hati itu. Walaupun Bukan dengan cara menyantet perempuan yang
bernama Maryamah.

Ketika Rosmina keluar dari kamar Raisman, Farida sudah menyambutnya dengan pertanyaan-
pertanyaan yang membingungkan Rosmina sehingga Rosmina berdiri diam memandang
kemenakannya itu.

“Aku tidak mengerti arah pertanyaanmu, Farida. Pertanyaan-pertanyaanmu tidak ada


hubungannya dengan apa yang dialami oleh Ayahmu di sana.”

“Yaaah aku hanya bertanya, apakah Ayah marah karena sikap Ibu Maryamah padaku, Bibi."

146

“Tidak ada hubungan marah Ayahmu karena sikap Maryamah padamu, Farida. Ayahmu marah
karena persoalan lain. Dan kau tidak perlu tahu persoalan itu ..... Eeeeh tapi tunggu dulu." Suasana
menjadi tegang. Apalagi Rosmina memandang Farida dengan pandangan menyelidik, sehingga
gadis cantik itu menunduk malu.

“Apa kau sudah kenal dengan Maryamah?"

“Be… belum, Bibi...” Farida menjawab dengan jawaban orang yang sedang kebingungan.

“Tapi kenapa kau bertanya seperti tadi. Seolah-olah kau sudah kenal dengan Maryamah.”

“Aku.... Aku hanya menduga-duga saja....”

"Kalau kau tidak tahu persoalan yang sebenarnya, tidak pantas kau menduga-duga. Karena ini
persoalan orang tua. Bukan persoalanmu!”

“Ya, Bibi. . ..” Farida menjawab gugup. Bahkan dari raut wajahnya tampak bahwa dia mulai
ketakutan. Karena dia tahu sifat bibinya yang suka betindak semaunya tanpa memikirkan orang
lain suka atau tidak.

“Bilang pada Ayahmu, bahwa aku pulang!“

“Ya, Bibi...” Dengan langkah enteng Rosmina keluar dari rumah Raisman. Lalu ia melintas di
halaman rumah dan hilang dari pandangan mata Farida. Sedangkan gadis cantik itu duduk lesu
memikirkan nasibnya. Nasib seorang gadis yang tidak mempunyai ibu lagi. Karena kasih sayang
seorang ibulah yang bisa menenangkan hatinya yang sedang gundah.

Hari semakin sore. Bahkan sekarang perlahan-lahan berubah menjadi senja. Semua warna di luar
147

sana sudah berubah menjadi lembayung. Lampu-lampu minyak di halaman rumah sudah
dihidupkan oleh pembantu rumah yang setia. Bahkan lampu di ruangan rumah besar itu pun juga
dinyalakan oleh pembantu rumah yang setia itu. Sementara Farida masih duduk dengan lesu.

Ketika pembantu rumah itu berlalu dari dalam ruangan rumah yang besar, ternyata ada sepasang
mata yang sedang memperhatikan dia dari balik dinding halaman rumah. Mata itu berwarna
merah dan cekung ke dalam. Hidung pemilik mata itu pesek namun tampak bengis berada dalam
raut wajah aneh itu. Rambutnya panjang tidak karuan. Sedangkan bibirnya yang sumbing sudah
tidak pantas berada di bawah hidung yang aneh itu.

Perasaan Farida mulai tidak enak. Dia merasa ada yang memperhatikannya dari luar sana sehingga
tiba-tiba Farida menoleh ke arah pandangan mata yang merah dan tajam itu. Mata merah itu
beradu pandang dengan pandangan mata Farida. Gadis itu terkejut.

“Siapa?" Farida bertanya cepat. Tapi tidak ada jawaban. Farida bergegas dari tempat duduknya dan
berjalan ke tempat pemilik mata itu berdiri. Sesampai di sana Farida melihat sekilas punggung dari
wajah aneh itu, hilang di balik rerimbunan pohon di halaman rumah. Yang tampak kini hanya
seekor burung hantu memandang Farida dengan pandangan tajam. Lalu burung hantu itu terbang
dalam keremangan senja. Angin semilir meniup seluruh tubuh gadis itu sehingga membuat bulu
kuduk Farida berdiri pertanda takut. Dalam benaknya masih terbayang mata merah yang
memandang tajam pada

148

dirinya. Dia tidak tahu siapa pemilik mata yang menakutkan itu.

Farida berjalan cepat meninggalkan ruangan besar dalam rumah. Gadis itu masuk ke kamarnya lalu
mengurung diri di sana. Sedangkan pikirannya berkecamuk dengan apa yang baru saja dia lihat
tadi. Apalagi kejadian itu baru saja dialaminya.

149

150

SEBELAS

Hari sudah larut malam. Suasana desa Seberang sangat sepi. Tapi Maryamah belum juga bisa
memejamkan matanya. Dia masih menelentangkan diri di tempat tidur sambil memandang langit-
langit kamar. Kejadian tadi sore tetap menyelimuti pikiran Maryamah. Perempuan yang masih
tampak cantik itu tidak bisa mengatakan kejadian tadi sore itu kepada siapa pun. Bahkan kepada
anaknya sendiri. Karena Sembara sudah lebih dari tiga minggu belum juga pulang ke rumah.
Tiba-tiba di luar sana terdengar ketukan pintu perlahan sekali. Walaupun ketukan itu terdengar
perlahan. Tapi cukup membuat Maryamah tersentak dari pembaringan. Dia duduk perlahan-lahan.

Suasana kembali sepi. Tidak terdengar suara apa-apa kecuali suara jangkrik dan beberapa binatang
malam sedang mencari makan.

151

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu perlahan seperti tadi sehingga Maryamah memperhatikan lebih
cermat. Dan, ketika ketukan pintu Itu terdengar semakin keras. Maka Maryamah berdiri dan
berjalan keluar kamarnya.

“Siapa?" Maryamah bertanya agak keras.

“Aku Bu, Sembara.…” Jawaban di luar sana membuat Maryamah tampak gembira. Wajahnya cerah
dan langkahnya tampak lebih cepat ke arah pintu depan rumahnya.

Setelah pintu dibuka, maka Ibunya memandang Sembara dengan pandangan cemas bercampur
sedih sehingga Sembara jadi heran.

“Kenapa, Bu? Apa yang Ibu risaukan?"

“Kau lama sekali baru pulang, Nak. Ibu cemas padamu....” Maryamah berkata lirih.

“Lama sekali? Bukannya aku pergi baru satu hari, Bu?"

“Kau sudah hampir satu bulan tidak pulang ke rumah, Nak. Ibu sangat cemas padamu.”

“Hampir satu bulan? Ah apa iya, Bu?"

“Iya, Nak. Bahkan ada kejadian-kejadian yang perlu Ibu rundingkan denganmu. Tapi kau tidak ada
sehingga Ibu bingung mau berunding dengan siapa...."

“Satu bulan. Apa iya aku pergi sudah hampir satu bulan? Bukankah aku baru tadi pagi
meninggalkan rumah ini?"

“Anakku, ini pertanda kau memang pergi ke tempat makluk-makluk halus. Dunia mereka dengan
dunia kita berbeda, Nak. Waktu mereka juga berbeda dengan kita. Begitu kata orang-orang tua
dulu.”

152

"Jadi sudah hampir satu bulan. .. Aneh. Sungguh-sungguh aneh."

“Mari, Nak. Mari masuk ke dalam. Tidak baik kita bicara di depan pintu seperti ini. Apalagi hari
masih malam...."
"Ya, Bu…." Maka Ibu Sembara melangkah ke dalam rumah. Sedangkan Sembara memasak pintu
rumah lalu setelah itu mengikuti Ibunya dari belakang. Setelah sampai di ruang tengah, keduanya
duduk ditikar. Keduanya diam. Masing-masing hanyut dengan pikiran mereka sendiri. Tiba-tiba Ibu
Sembara membuka pembicaraan.

”Kau sudah terlampau lama meninggalkan rumahmu, anakku. Ibu cemas memikirkan nasibmu.
Tapi untunglah kau selamat pulang pergi. Kini rasa cemas Ibu sirna."

“Maaf, Bu. Aku tidak tahu kalau aku sudah meninggalkan rumah hampir satu bulan. Padahal yang
baru saja aku alami hanyalah satu hari perjalanan."

“Bukankah dari tadi Ibu sudah mengatakan padamu, bahwa perbedaaan waktu para makhluk halus
itu berbeda dengan waktu yang kita miliki. Lihatlah Buktinya. Badanmu sudah kurus. Matamu
cekung ke dalam. Pertanda kau sangat letih di perjalanan yang kau katakan hanya satu hari,
anakku...” Sembara lalu memperhatikan tubuhnya. Dia sendiri heran. Kenapa baru sekarang dia
tahu bahwa badannya agak kurus?

“Ya... badanku agak kurus sekarang....”

“Lalu bagaimana kau bisa tiba-tiba pulang, anakku?"

153

“Aku berjumpa dengan seorang laki-laki di Gunung Merapi. Dia mengatakan padaku, bahwa aku
harus segera pulang karena Ibu sedang membu-tuhkan bantuanku."

“Laki-laki itu baik hati. Siapa nama laki-laki itu Sembara?"

“Aki Daksa."

“Aki Daksa. Nama itu singkat dan aneh terdengar bagi Ibu."

“Nama orang-orang penghuni Hutan Larangan itu kadang-kadang memang aneh. Tapi mereka pada
umumnya baik.” Sembara bercerita bersemangat. Apalagi dia merasakan pengalaman baru.

“Jadi apa yang telah terjadi pada Ibu?”

“Tadi sore Ibu kedatangan seorang tamu yang sudah sangat lama tidak Ibu jumpai. Ibu yakin, kau
tentu juga sudah kenal dengan orang itu.”

“Siapa orang itu, Bu?"

“Raisman, Ayah Farida.” Mendengar nama itu, tiba-tiba saja wajah Sembara berubah. Kalau saja
hal itu terjadi siang hari, maka Ibunya bisa memandang wajah anaknya yang sebentar pucat
sebentar merah. Tapi Maryamah tidak memperhatikan wajah anaknya Dia masih mencerita
kejadian sore hari.
“Kau tentu kenal dengan Ayah Farida kan, anakku?"

“Ya. Tapi aku belum pernah bertemu muka dengan Ayah Farida." Sembara menjawab dengan kata-
kata agak tersendat di kerongkongannya. Karena dia yakin, bahwa kedatangan Raisman ke
rumahnya tentu ada hubungannya antara dia dengan Farida. Tapi sayang Sembara maupun Farida
salah

154

menduga. Karena kedatangan Raisman ke rumah Maryamah bukan untuk mempertegas hubungan
mereka. Tapi mempertegas cinta Raisman kepada Maryamah yang selama ini sudah lama
terpendam. Maka dengan rasa hati-hati Sembara langsung bertanya apa yang dibicarakan Raisman
pada ibunya. Apakah Raisman membicarakan hubungan dia dengan Farida? Atau malah ada
masalah lain yang dibicarakan oleh laki-laki kaya itu?

Lalu Maryamah menjawab dengan hati-hati sekali. Karena dia tahu hubungan anaknya dengan
Farida sehingga dia memilih kata-kata agar anaknya tidak tersinggung, tapi tentang cinta Raisman
pada dirinya juga tidak dia ungkapkan pada Sembara.

Mendengar keterangan ibunya, Sembara hanya bisa menarik nafas panjang. Dia tidak habis
mengerti, kenapa ibunya begitu cemas pada Raisman? Apakah betul kalau seseorang berhubungan
dengan laki-laki kaya itu segalanya bisa berubah? Bisa berubah baik atau bisa berubah buruk
dalam hidup orang yang dihubungi Raisman?

Pertanyaan itu disimpan saja oleh Sembara sampai dia beranjak berangkat tidur. Sementara
Maryamah sudah agak tenang pikirannya, karena anak laki-laki yang diandalkan untuk melindungi
dirinya sudah pulang. Karena Maryamah sudah tahu betul, bahwa pandangan mata Raisman ketika
meninggalkan rumahnya, adalah pandangan mata yang penuh dengan dendam. Dendam yang bisa
berakhir dengan kematian bagi dirinya.

Ketika hari pagi, ketika burung-burung mulai berkicau bangun dari sarang mereka, Sembara sudah

155

pergi ke sawah menggantikan tugas Ibunya, untuk menjaga air sawah mereka. Benih-benih padi
yang baru saja ditanam masih membutuhkan air.

Pagi hari yang masih diselimuti kabut itu, Sembara berdiri memandang ke seluruh permukaan
sawah. Samar-samar dia melihat orang lain juga mengatur air ke sawah-sawah mereka. Sembara
menarik nafas panjang. Dalam pikirannya alangkah nikmatnya hidup ini, karena para tetangga di
desanya hidup berdampingan dengan damai. Tapi kenapa dalam kedamaian itu masih saja ada
orang yang bersikap sinis bahkan dengki pada Ayahnya almarhum. Sampai laki-laki itu tewas
dengan mengenaskan. Apa salah Ayahnya?

Dia iri pada kawan-kawannya yang masih mempunyai Ayah dalam hidup mereka. Sebab, ayah
adalah pendamping hidup disamping seorang ibu bagi seorang anak sehingga kalau ada hal-hal
yang berat seperti ini, Ayahlah yang harus turun tangan menyelesaikan. Karena, bila seorang ayah
ada dalam keluarga, rasa hormat orang akan ada pada keluarga itu. Bila seorang ibu ada dalam
keluarga, rasa kasih sayang orang akan ada pada keluarga itu.

Tiba-tiba dia ingat pada Kakek Jabat. Dia ingin menyampaikan rasa kekecewaannya itu pada Kakek
Jabat. Tapi dia berpikir, bahwa Kakek Jabat belum tentu mau menemuinya. Karena Kakek Jabat
masih sibuk di istananya, di puncak Gunung Merapi. Lalu dia teringat pada adik Kakek Jabat yang
bernama Aki Daksa. Dia ingat janji laki-laki aneh itu ketika akan berpisah dengan dirinya di Gunung
Merapi.

156

“Kalau engkau membutuhkan pertolonganku, panggillah namaku tiga kali. Maka aku akan segera
hadir di hadapanmu." Begitu kata Ki Daksa pada dirinya.

“Aku ingin mencoba. Semoga Ki Daksa menepati janjinya." Kata Sembara dalam hati sehingga
Semb'ara kini siap-siap untuk memanggil nama itu.
Pagi hari yang masih berkabut itu, Sembara mulai mengheningkan diri memusatkan sukma kepada
sosok Ki Daksa. Suasana sekitar memang benarbenar sunyi. Lalu mulut Sembara komat-kamit
memanggil nama Ki Daksa sebanyak tiga kali.

Tidak berapa lama, terdengar suara halimun bertiup sehingga Sembara agak terkejut. Tiba-tiba
sosok laki-laki bertubuh tua sudah berdiri di hadapannya. Sedangkan kepala laki-laki itu diikat
dengan sehelai kain berwarna hitam. Tangannya yang kasar dan kakinya yang kukuh berdiri seolah-
olah menancap ke tanah. Sedangkan kedua matanya memandang Sembara dengan pandangan
lembut. Sosok laki-laki itu kembali membuat Sembara terkejut. Ketika yang berdiri di hadapannya
itu adalah Aki Daksa, Sembara seolah-olah tidak percaya. Begitu dipanggil begitu Ki Daksa hadir di
hadapannya secepat kilat.

”Engkau memanggil aku, Pangeran?”


“Bet.. betul, Ki Daksa....” Sembara menjawab agak gugup. Rasa terkejutnya sampai kini belum juga
hilang.

“Apa yang bisa aku bantu, Pangeran?”

“Aku.... Aku... ingin tahu... apakah betul aku sudah meninggalkan rumah hampir satu bulan?“

157

“Betul, Pangeran. Engkau telah meninggalkan Desa Seberang hampir satu bulan lamanya. Walau
yang kau rasakan baru saja berjalan satu hari mendaki Gunung Merapi."

“Jadi, betul aku sudah pergi hampir satu bulan lamanya?” Sembara berkata dalam hati.

“Selama aku tinggalkan. Kenapa Ibuku agak takut setelah laki-laki yang bernama Raisman datang
ke rumah menemui Ibuku. . .?"
“Laki-laki itu pendendam, Pangeran. Itu yang membuat Ibu Pangeran takut. Bahkan laki-laki itu
sekarang sedang mempersiapkan pembalasan kepada Ibu Pangeran. Dia sedang mempersiapkan
sebuah keris untuk meneluh Ibu Pangeran."

“Keris? Kenapa harus takut pada sebuah keris?"

“Ibu Pangeran memang tidak tahu apa yang sedang dilakukan laki-laki itu. Tapi keris itu keris
bertuah. Isi dalam keris itu bisa membuat orang lain celaka. Bahkan bisa membuat orang lain
meninggal dunia. Keris itu sekarang yang sedang disiapkan untuk membalaskan sakit hatinya pada
Ibu Pangeran."

“Bahaya. Ibuku dalam bahaya." Sembara bergumam dalam kecemasannya. Kecemasan Sembara
itu bisa dibaca oleh Ki Daksa sehingga Ki Daksa menghibur Sembara. Walau dalam hati Ki Daksa
juga tercermin rasa cemas yang mendalam.

“Pangeran, tidak usah cemas. Aku akan membantu Pangeran sekuat tenagaku."

“Terima kasih, Ki Daksa. Dalam hal ini aku memang perlu bantuan Aki Daksa." Sembara masih
menunduk lesu. Dan ketika tidak ada jawaban dari Aki Daksa. Sembara mendongakkan kepalanya.

158

Sosok Ki Daksa sudah tidak tampak di hadapannya. Yang tampak hanya kabut tebal mulai tersaput
awan sehingga sawah yang sedang mulai tumbuh jelas terlihat.

“Aneh. Ki Daksa tiba-tiba saja sudah pergi. Aku tidak tahu dia pergi. Apa memang begitu tabiat
laki-laki yang baru aku kenal itu? Ah, wajah Ki Daksa mirip dengan Kakek Jabat. Hanya saja dia agak
pendek dan umurnya lebih muda dari Kakek Jabat."

Kini dalam keheningan pagi, Sembara duduk di atas pematang sawah. Di matanya terbayang wajah
kekasihnya. Tapi rasanya kekasihnya itu sudah semakin jauh dengan dirinya. Bahkan mungkin juga
sudah sulit untuk dia temui. Walau selama ini Farida juga sulit untuk dia temui. Karena percintaan
mereka memang tidak satu orang pun tahu kecuali Ibu Sembara yang bernama Maryamah. Namun
mereka masih bisa membuat pertemuan secara sembunyi-sembunyi. Sebab selama ini kehadiran
Sembara di Desa Ilir tidak dicurigai oleh Ayah Farida sehingga lebih mudah bagi Sembara untuk
membuat janji dengan Farida.

Perasaan Sembara serasa diiris-iris. Wajah Farida selalu membayang di pelupuk matanya. Rasa
ingin bertemu kian membara. Tapi keinginan itu tidak bisa dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
Karena dinding penghalang terlampau kuat untuk ditembus.

Tiba-tiba Sembara tersentak dari lamunan. Dia ingin segera pulang. Dia ingin segera menemui
ibunya. Dia ingin mempersiapkan segala sesuatu untuk menyelamatkan ibunya dari segala
serangan yang dilancarkan Raisman.

159
Sembara kini berdiri. Bahkan sudah melangkah menuju rumahnya. Sedangkan orang-orang desa
masih bekerja menunggu air yang sedang mengalir ke sawah-sawah mereka.

160

DUA BELAS

Malam yang amat gelap sedang menyelimuti Desa Ilir. Tidak satu bintang pun tampak di atas langit
malam. Sebagian besar orang-orang
desa sedang dibuai alunan mimpi, kecuali Raisman.

Laki-laki itu tidak tidur. Dia sedang duduk bersila di kamarnya. Sedangkan kedua tangan laki-laki itu
tergenggam sebuah keris pusaka peninggalan almarhum Ayahnya. Tangan kanan memegang
gagang keris. Sedangkan di tangan kiri memegang sarungnya. Keris itu diberi nama oleh ayahnya.
keris Setan Kober. Karena dalam keris itu memang bersemayam makhluk halus yang bernama
Mbah Kober.

Dari nama keris itu saja sudah tersirat keganasan keris Setan Kober bila dipergunakan oleh
pemiliknya. Karena setiap keris itu dicabut, satu nyawa harus melayang dari dalam raganya

161

Selain keris yang ada dalam tangan Raisman, ada lagi tempat pedupaan, kain putih yang sudah
dibentangkan di depan kakinya dan bunga tujuh rupa yang diletakkan dalam sebuah baskom kecil.

Lama Raisman menggenggam keris tersebut. Sedangkan matanya terpejam erat. Hanya mulut
Raisman terlihat komat-kamit membaca mantra. Perlahan-lahan tangan Raisman tampak bergetar.
Lalu tangan kanan laki-laki itu menarik gagang keris dari sarungnya. Setelah keris keluar dari
sarungnya, keris itu dicium Raisman, lalu diletakkan di atas sehelai kain putih yang ada di hadapan
kakinya.

Perlahan-lahan Raisman membakar kemenyan dalam pedupaan. Kemenyan mulai terbakar oleh
bara yang menyala kecil sehingga keluar asap dari pedupaan. Makin lama asap itu semakin tebal.
Akhirnya seluruh ruangan kamar dipenuhi oleh asap yang keluar dari pedupaan.

Raisman masih memandangi asap bergumpal-gumpal yang mengitari seluruh ruangan. Bahkan ada
segumpal asap yang mulai mengitari dirinya.

Setelah asap itu berubah menjadi sesosok bentuk, maka Raisman tersenyum pada sosok aneh itu.

“Aku sekarang hadir di hadapanmu, Raisman..." Terdengar suara parau keluar dari sebentuk bibir
aneh perlahan-lahan. Seolah-olah si pemilik bibir aneh itu baru saja keletihan berjalan dari tempat
yang jauh.

“Selamat datang, Mbah Kober..."


“Hem... terima kasih ......... ” Suasana kembali sunyi.

“Sudah lama sekali kau tidak memanggil aku Raisman.…. Sudah hampir sepuluh tahun ....“

162

“Karena aku sibuk, Mbah sehingga baru kali ini aku memanggil Mbah Kober hadir di hadapanku....”
Raisman bicara sopan kepada makhluk yang sudah tampak jelas di hadapan dirinya. Wajah
makhluk ini persis seperti wajah yang pernah terlihat oleh Farida ketika hari senja. Bahkan
sekarang seluruh sosok tubuhnya jelas terlihat. Mulai dari ujung kepala sampai ke ujung kaki yang
penuh ditumbuhi bulu kasar.

“Hem... lalu apa perlumu memanggil aku?”

“Aku ingin minta tolong kepada Mbah Kober. ..”

“Pertolongan apa?”

“Aku ingin Mbah Kober membunuh Maryamah yang tinggal di Desa Seberang!”

“Aku tahu perempuan itu. Dan tugasmu ini sama dengan tugas yang aku terima dari almarhum
kedua orang tuamu dulu.”

“Ya, Mbah… sama..."

“Baik. Akan aku laksanakan. Tapi kali ini aku minta sebuah syarat…"

“Syarat? Bukankah selama ini aku selalu mengurus Mbah? Selalu memberikan sesajen untuk
Mbah? Tentu dengan itu aku tidak perlu lagi memenuhi syarat yang Mbah minta!"

“Syarat ini aku ajukan ...... karena kau sudah terlampau lama tidak memanggil aku seperti pada
malam ini..... Tapi terserah padamu. Namun kalau syarat dariku tidak kau penuhi. Aku tidak akan
menjalankan tugas yang kau berikan padaku." Raisman mulai kesal mendengar kata-kata makhluk
halus itu. Tapi demi terlaksananya keinginan untuk membunuh Maryamah. Maka syarat yang
diajukan

163

itu akhirnya ditanyakan oleh Raisman kepada Mbah Kober.

“Apa syarat yang harus aku penuhi, Mbah?”

“Aku menginginkan seorang perawan untukku!" Dengan tenang mbah Kober mengajukan syarat.
Dengan tenang pula Raisman menyanggupi syarat itu sehingga semuanya berjalan seperti yang
diinginkan.
“Besok malam aku akan datang lagi kemari untuk menjemput gadis itu.”

"Baik, Mbah. Akan aku sediakan." Perlahan-lahan tubuh Mbah Kober hilang dari hadapan Raisman.
Bahkan asap tebal yang masih bergumpal-gumpal pun hilang. Yang tinggal kini hanya asap kecil
dan dupa yang masih hidup. Sedangkan Raisman tersenyum kecil mendengar syarat yang baru saja
diajukan oleh Mbah Kober.

Malam berikutnya, ketika janji Raisman kepada Mbah Kober harus dipenuhi, Raisman sudah siap
dengan menyerahkan seorang gadis desa yang dibujuk oleh Raisman melalui kedua orang
kepercayaannya, yaitu Kohar dan Lekan.

Gadis desa yang bernama Rasmi itu menurut saja, karena Raisman menjanjikan bahwa Rasmi akan
dikawinkan dengan tukang kebim yang masih muda. Apalagi kedua orang tua gadis itu sudah diberi
uang yang cukup.

Malam sudah semakin larut. Mbah Kober melalui media keris yang dipegang Raisman belum juga
hadir di kamar laki-laki kaya itu. Sedangkan asap dupa sudah menyelimuti seluruh ruangan kamar
yang cukup luas. Suasana pengap mulai terasa menye-

164

sakkan dada. Tapi Raisman tidak beranjak dari tempat duduknya.

Tiba-tiba, lampu dalam kamar Raisman mati sehingga suasana gelap mencekam sekali. Ayah Farida
tersentak sebentar. Tapi dia cepat-cepat menguasai dirinya. Dia tahu bahwa hal itu adalah
perbuatan Mbah Kober.

Benar saja. Tiba-tiba terdengar suara Mbah Kober yang berat dan parau.

“Siapa yang kau sediakan untukku, Raisman?”

“Aku telah menyiapkan seorang perawan seperti permintaan mbah."

“Aku sudah melihat gadis yang kau sediakan untukku. Dan gadis itu bukan seleraku.”

“Tapi, Mbah.…” Raisman mencoba menjelaskan kepada makhluk halus itu. Tapi Mbah Kober cepat
memotong kata-kata Raisman.

“Gadis itu kurang cantik bagiku." Raisman terpana mendengarkan kata-kata Mbah Kober. Raisman
memang tahu, bahwa gadis yang disediakannya memang gadis yang tidak begitu cantik. Bahkan
boleh dikatakan bahwa Rasmi adalah gadis kampung yang buruk.

“Kau harus tahu seleraku, Raisman. Aku mau gadis cantik. Bahkan gadis tercantik yang ada di desa
ini.”

"Maaf, Mbah. Permintaan Mbah sulit aku penuhi. Karena tidak ada di desa ini gadis seperti yang
Mbah katakan.”
“He he he he he. Kau salah. Kau tidak membuka matamu lebar-lebar Raisman. Karena gadis yang
aku inginkan itu tidak jauh tempatnya dari rumahmu ini. Bahkan dari kamarmu ini. He he he he.”

165

“Dari kamarku ini? Siapa gadis itu, Mbah?“ Raisman bertanya dengan muka yang mulai pucat.

"Jangan-jangan anaknya yang dimaksud oleh Mbah Kober." Begitu kata-kata Raisman dalam hati.

“Farida." Tiba-tiba tubuh Raisman rasanya bagaikan disambar petir. Karena apa yang dia duga,
sekarang menjadi kenyataan.

“Kenapa kau diam? Kau tidak mau memper-sembahkan anakmu itu kepadaku? Demi tugas berat
yang akan aku laksanakan?" Raisman lama terdiam. Suasana kamar yang gelap itu semakin terasa
gelap, segelap perasaan yang dirasakan oleh Raisman. Anak yang selama ini dia sayangi harus dia
serahkan kepada mahkluk halus yang pasti akan melumat seluruh tubuh Farida sampai ketulang-
tulang gadis itu. Bahkan dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya nanti, kalau Farida sudah
dibawa oleh Mbah Kober.

“Baik. Kalau kau tidak mau menyerahkan Farida untukku. Maka sebagai gantinya aku minta
nyawamu!"

“Oooh....” Raisman menjawab dengan terbata-bata.

“Paling lambat aku akan datang menjemputmu besok malam."

"Jangan, Mbah. Jangan. Aku belum ingin mati."

"Jadi kau serahkan anakmu padaku?”

“Ya, Mbah. Ya.....” Raisman menjawab dengan terbata-bata. Dia tidak peduli lagi pada keselamatan
anaknya. Yang penting dirinya harus selamat dari bahaya kematian.

“Baik. Kalau begitu kau bawa Farida kemari, ke hadapanku."

166

“Aku minta jangan sekarang, Mbah. Beri aku waktu untuk membujuk anakku ...... ”

“Jadi, kapan kau menyanggupinya! Hah?"

“Lusa, Mbah.”

“Lusa? Kau tidak bohong padaku?"

"Tidak, Mbah ....... "


“Kalau kau bohong, aku akan minta nyawamu sebagai gantinya. Ha ha ha. " Perlahan-lahan suara
Mbah Kober hilang dari kamar itu. Sedangkan lampu minyak dalam kamar Raisman menyala
kembali. Raisman terkejut. Peluh yang sejak tadi mengalir deras di tubuhnya telah membasahi baju
yang dia pakai. Padahal malam itu teramat dingin. Kabut telah menyelimuti seluruh desa. Raisman
tidak bisa berpikir. Rasanya malam itu sangat menjepit hidupnya.

Keesokan harinya, ketika matahari sudah sepenggalah tingginya, ketika Raisman baru saja bangun
dari tidurnya, badannya terasa sakit. Dia tidak tahu lagi apakah Rasmi yang sejak kemarin sore
telah menunggu di rumahnya masih ada atau tidak. Bahkan dia tidak peduli tentang nasib
perempuan lugu itu. Yang dia pikirkan adalah dirinya dan diri anaknya, Farida.

Ketika perlahan-lahan dia bangun dari atas tempat tidur, dia berjalan menguakkan pintu kamar. Di
halaman rumah, dia melihat Kohar dan Lekan sedang membersihkan halaman rumah. Dia berjalan
ke beranda rumah. Lalu langkah kakinya berhenti di sana. Tangannya dia angkat seolah-olah ingin
memanggil kedua orang itu. Tapi niat itu dia urungkan. Karena kata-katanya tidak keluar. Yang ada

167

hanya keluhan dari mulutnya yang kering. Karena tubuhnya begitu letih setelah bertemu dengan
Mbah Kober tadi malam.

Lama dia memperhatikan kedua orang kepercayaannya itu membersihkan halaman rumah. Dan
ketika Kohar dan Lekan memandang padanya. Maka dengan serentak kedua orang itu berlari-lari
kecil menuju ke hadapannya.

“Juragan memanggil kami?"

“Tidak...." Raisman menjawab lesu.

“Oh baik, Juragan...” Kata mereka serempak.

“Tapi tunggu dulu...."

“Hamba Juragan..." Kembali serentak kedua pembantu itu menjawab hormat.

“Apakah Rasmi masih ada di rumah ini?”

“Masih Juragan… " Jawab Lekan dan Kohar. Bahkan Lekan meneruskan kata-katanya.

“Dia pagi ini sedang berdandan mempercantik diri...."

“Untuk apa?"

“Bukankah dia akan segera dikawinkan oleh Juragan dengan tukang kebun?"

“Tidak jadi. Bahkan tukang kebun baru yang aku janjikan untuk dia itu juga tidak ada.“
“Eh.... lalu. . .lalu kami harus bertindak bagaimana terhadap Rasmi, Juragan?”

“Suruh saja dia pulang ke rumahnya.”

"Oh, lalu bagaimana dengan uang yang telah Juragan berikan kepada kedua orang tua Rasmi,
Juragan?”

"Biarkan saja. Tidak usah kalian minta lagi kepada kedua orang tua gadis itu..."

168

“Baik, Juragan...”

“Sudah. Pergilah antarkan gadis itu ke rumah kedua orang tuanya....."

“Baik, Juragan.” Lalu kedua orang pembantu setia Raisman itu segera berjalan ke belakang rumah
untuk mengantarkan Rasmi kembali pulang ke rumah kedua orang tua gadis itu. Dalam perjalanan
itu. Lekan dan Kohar bertanya-tanya dalam hati mereka. Kenapa tiba-tiba Juragan mereka berubah
sikap terhadap Rasmi. Padahal biasanya tidak pemah hal itu terjadi. Sekali perintah dikeluarkan
oleh Juragan mereka, tidak bisa perintah itu ditarik kembali. Walaupun oleh Raisman sendiri sekali
pun.

Hari terasa cepat berlalu. Baru saja matahari menyiram seluruh Desa Ilir. Kini telah berganti dengan
senja, lalu berubah menjadi malam.

Raisman tersentak dari lamunannya. Dengan cepat dia bangkit dari tempat duduk. Lalu berjalan ke
kamar Farida. Setelah berjalan menuju ke depan kamar anak gadis yang sangat dia sayangi itu, ia
berhenti. Lama dia memandang pintu kamar yang tertutup rapat. Lalu dalam benaknya terbayang
bagaimana kalau dia tidak jadi mempersembahkan anak gadisnya kepada Mbah Kober. Raisman
tahu betul apa yang akan dilakukan oleh Mbah Kober. Dia tahu betul tabiat makhluk halus
peliharaan kedua orang tuanya itu.

Mbah Kober tidak akan segan-segan membunuh dia. Bila kemauan Mbah Kober tidak dituruti oleh
Raisman, bahkan kedua orang tuanya pun telah menjadi korban keganasan makhluk halus yang
selama ini menguasai kehidupan keluarganya.

169

“Mau rasanya aku membuang peliharaan ini. Tapi aku tidak sanggup. Aku tidak bisa
membuangnya. Karena tidak akan ada orang yang berani meno-longku untuk menantang Mbah
Kober.” Lama Raisman berdiam diri. Dia sedang mempertimbangkan kabaikan dan keburukan bila
menantang Mbah Kober. Akhirnya dia putuskan untuk memberikan Farida kepada Mbah Kober.

“Tidak ada jalan lain. Aku harus memberikan Farida demi keselamatkan diriku." Maka perlahan-
lahan dia mengetuk pintu kamar anaknya. Ketukan pintu itu berulang-ulang dia lakukan. Namun
kamar Farida tidak juga terbuka. Bahkan jawaban dari Farida pun tidak terdengar dari dalam.
“Farida?" Raisman memanggil Farida perlahan-lahan.

“Kemana anak ini? Tidak dia jawab panggilanku.” Raisman bertanya dalam hatinya.

Farida?" Kembali Raisman memanggil nama anaknya agak lebih keras. Tapi tetap jawaban dari
Farida tidak terdengar. Akhirnya Raisman mendobrak pintu kamar Farida.

Ketika pintu kamar sudah terbuka, Farida tidak ada dalam kamar. Raisman curiga.

“Kosong. Kamar ini kosong? Kemana dia?” Dengan bergegas Raisman keluar kamar lalu memanggil
Kohar dan Lekan. Dengan bergegas kedua pembantu setia itu berlari menuju kehadapan tuan
mereka. Lalu keduanya bersikap hormat terhadap Raisman.

“Cepat kalian cari Farida!"

170

“Oh Den ayu tidak ada dalam kamarnya, Juragan?”

"Jangan banyak tanya! Cepat cari dia dan bawa kemari!"

“Baik, Juragan ..... " Dengan penuh hormat kedua orang itu berlalu dari hadapan Raisman. Tidak
lama kemudian terdengar derap dua ekor langkah kaki kuda berlari menjauh. Pertanda kedua
orang kepercayaannya pergi mencari Farida dengan menunggang kuda.

Laki-laki kaya tapi juga bernasib malang terduduk di depan rumahnya. Sementara angin malam
yang dingin mulai menusuk tulang. Binatang-binatang malam tidak terdengar bunyi mereka.
Mungkin binatang-binatang itu masih bersembunyi di sarang-sarang untuk menghindari udara
dingin yang memang terasa luar biasa.

Ketika hari sudah pagi, Farida belum juga kembali ke rumahnya. Sementara itu, Raisman masih
menunggu dengan geram. Saat-saat seperti itu memang terasa bagi Raisman, bahwa Farida tidak
perlu lagi dikasihani. Gadis itu harus dia korbankan kepada Mbah Kober, sehingga tidak ada lagi
yang bisa menghalangi niatnya untuk membunuh Maryamah.

Tiba-tiba dari kejauhan terlihat Kohar dan Lekan menunggang kuda, sedangkan Farida duduk di
atas kuda yang yang dikendarai oleh Kohar.

Raisman cepat berdiri. Giiginya gemeletuk menahan marah. Sedangkan tangannya dia ke-palkan.

171

Setelah kedua kuda itu mendekat, Kohar dan Lekan melompat turun. Keduanya memberi hormat.

“Dimana kau temukan dia, Kohar?"


“Hamba dan Lekan menemukan Den Farida di tengah jalan di dekat Desa Seberang, Juragan..."

"Turun, kamu!" Raisman membentak Farida dengan bengis.

Maka perlahan-lahan Farida turun dari punggung kuda. Wajah gadis itu pucat pasi melihat
kemarahan Ayahnya.

“Dari mana kamu, hah!" Farida tidak menjawab pertanyaan Ayahnya, sehingga di rumah Raisman
suasana pagi yang cerah menjadi mencekam. “Hayo jawab!" Farida tetap tidak menjawab sehingga
Raisman bertanya kepada Kobar.

“Mau kemana dia, Kohar!”

“Maaf, Juragan. Den Farida tidak menjawab pertanyan hamba..."

“Sekarang jawab pertanyaanku! Mau kemana kau tadi malam, hah? Mau lari dari rumah ini, ya?"
Raisman kembali bertanya dengan nada kasar.

“Saya ingin pergi ke rumah Sembara, Ayah...." Kata-kata Farida yang ketakutan terasa menyambar
muka Raisman, sehingga wajahnya yang sudah merah padam menjadi biru menahan marah.

“Kau tahu, anak siapa pemuda itu?”

“Tahu, Ayah. Kakang Sembara adalah anak Ibu Maryamah.....”

“Dan kau tahu betapa malunya aku mendengar kejadian ini?" Farida tidak menjawab. Dia hanya
menitikkan air mata.

172

Melihat anaknya menangis, Raisman semakin marah. Bahkan dia sudah menuduh Farida berbuat
yang tidak-tidak dengan pemuda dari Desa Seberang itu. Padahal kemarahan itu hanya karena
cintanya tidak diterima oleh Ibu Sembara yang bernama Maryamah.

“Saya hanya butuh perlindungan Ayah. Saya hanya butuh orang yang mau mengasihi diri saya.
Karena selama ini saya tidak menemukan kasih sayang di rumah ini....”

“Mulai sekarang kau tidak boleh keluar rumah. Bahkan keluar kamar saja kau tidak aku izinkan!”
Mendengar hukuman yang diberikan Ayahnya, Farida berlari masuk ke dalam kamar. Dia
hempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Sedangkan air mata tidak bisa dibendung lagi di pipi yang
merah merekah.

Sementara Raisman masih memberikan petunjuk kepada Kohar dan Lekan cara untuk menjaga
Farida.
Hari semakin siang, matahari semakin tinggi. Sementara itu Raisman sudah bersiap-siap untuk
menyambut kedatangan mbah Kober nanti malam. Dia siap mengorbankan anak gadisnya, Farida
demi keselamatan dirinya, demi ambisi dirinya.

173

174

TIGA BELAS

Suasana Desa Seberang siang hari itu diliputi mendung yang pekat. Di ujung langit terdengar guruh
berdentum berkali-kali sehingga orang-orang perempuan desa bergegas mengangkat apa yang
mereka jemur. Ada yang mengangkat jemuran. Ada yang mengangkat penganan yang mereka
jemur sejak pagi. Begitu pula Ibu Sembara yang bernama Maryamah. Dia mengemasi jemuran
yang dia jemur sejak pagi. Melihat hal itu, anaknya bergegas membantu Ibunya. Bahkan Sembara
mengambil-alih pekerjaan Ibunya. Maryamah tersenyum kecil melihat sikap anaknya. Dia tidak
menyangka, bahwa anaknya itu betul-betul tulang punggung dalam menapaki hidup menjelang
sore umurnya.

Setelah selesai mengangkat Jemuran yang memang hanya beberapa lembar, Sembara duduk
termenung di beranda depan rumah. Dia melamun

175

ke arah Gunung Merapi. Di pelupuk mata Sembara terbayang bagaimana dia bertemu dengan
Kakek Jabat yang tidak sempat memperkenalkan dia dengan penghuni istana Kencana Biru di
puncak gunung karena Ibu Sembara menghadapi masalah yang tidak bisa dianggap enteng. Hal itu
didengar Sembara dari seorang laki-laki kekar bernama Ki Daksa. Dan memang, masalah yang
dihadapi oleh Ibu Sembara ternyata sangat berbahaya. Bahaya yang tidak bisa dihadapi hanya
dengan duduk sambil merenda oleh perempuan itu. Tapi harus bekerja keras dan berusaha untuk
menyelamatkan dirinya dari bahaya kematian.

Sembara terus melamun. Bahkan dalam lamunannya terbayang oleh Sembara bagaimana Farida
berjalan menempuh suasana malam untuk bertemu dengan dirinya. Tentu ada hal yang perlu
disampaikan oleh kekasihnya itu kepada Sembara. Belum selesai Farida menceritakan apa yang
sedang terjadi di rumahnya di Desa Ilir, Sembara sudah menyuruh Farida kembali pulang. Perasaan
Sembara tidak enak bicara dengan Farida tengah malam buta seperti itu. Apalagi pertemuan itu
tidak diketahui oleh siapa pun termasuk oleh Ibunya. Ketika Farida pulang, dia ingin sekali
menemani Farida sampai ke Desa llir. Akan tetapi, hati kecilnya mengatakan, jangan sehingga dia
tidak berani melanggar larangan hati kecilnya itu. Walaupun larangan itu belum pernah dia uji
kebenarannya.

Memang akhir-akhir ini perasaan Sembara lebih tajam sejak dia kembali dari Hutan Larangan.
Gunung Merapi.

176
Lamunan Sembara terputus ketika suara Ibunya menyapa dirinya.

"Apa yang sedang kau lamunkan, Naaak?"

”Oh, eh tidak Bu.”

“Apa kau belum puas juga melamun ke arah Gunung Merapi itu? Bukankah kau sudah pergi ke
sana. Anakku?"

“Aku melamun, karena aku belum sampai masuk ke dalam istana yang diperintah oleh Kakek
Jabat.” Sembara mengalihkan pertanyaan Ibunya.

“Suatu saat nanti kau pasti akan sampai ke istana yang kau katakan itu."

Tiba-tiba petir menyambar hebat. Hujan pun turun perlahan-lahan. Makin lama makin lebat
sehingga Ibunya Maryamah pindah ke dalam rumah. Sedangkan Sembara tetap duduk di beranda
depan rumahnya.

Dalam suasana hujan lebat itu, Sembara seolah-olah melihat Farida dalam bahaya walaupun dia
tidak tahu bahaya apa yang sedang dihadapi oleh kekasihnya. Dan ketika dia mencoba menegaskan
pandangannya. Bayangan itu hilang ditelan air hujan.

Sembara bangkit dari duduknya. Lalu dia masuk ke dalam kamar untuk menenangkan
perasaannya. Ketika Sembara masuk ke dalam kamar, kembali bayangan Farida tampak olehnya.
Kali ini lebih jelas. Dia melihat Farida menggapai-gapai minta tolong kepadanya. Sembara tertegun.
Setelah agak lama, kembali bayangan itu hilang dari pandangan matanya.

Sembara berdiri sambil berpikir: Apakah betul Farida dalam bahaya? Yang dia dengar dari mulut

177

Farida tadi malam, hanyalah bahwa Farida sedang menghadapi kemarahan Ayahnya yang tidak
tahu berasal dari persoalan apa dan dari siapa. Yang jelas bahwa Farida sedang menghadapi
kemarahan Ayahnya, marah yang tidak pernah sebelum ini dia alami. Karena itulah, akhirnya
Sembara memutuskan nanti malam pergi ke rumah Farida di Desa Ilir. Dia ingin juga bertemu
dengan Farida tanpa diketahui oleh siapa pun.

Setelah hujan reda, di luar rumahnya ada orang memanggil-manggil namanya. Ketika Sembara
keluar, ia melihat sahabat karibnya sejak kecil sedang berdiri di halaman rumah. Sahabat karibnya
itu bernama Basir. Tubuh Basir agak gemuk. Sedangkan sifatnya lugu dan juga lucu. Basir tidak
mempunyai ilmu apapun untuk diandalkan. Dia tidak bisa berkelahi, apalagi menghadapi lawan-
lawan yang tangguh walaupun keberanian Basir boleh juga diandalkan.

Kedatangan Basir membuat Sembara tampak bahagia karena Basir bisa menghibur dirinya.

“Hei kau Basir? Hayo masuk....”


“Ya, Sembara.” Kata Basir dari jauh. Lalu pemuda itu melangkah masuk ke rumah Sembara. Setelah
pemuda itu sampai di rumah, lalu dia duduk di atas tikar di rumah Sembara.

“Bajumu basah. Lebih baik kau ganti dengan bajuku daripada nanti kau sakit.“

“Ah, tidak apa-apa. Waktu kita kecil dulu. Kita sering mandi di kali, lalu pulang dengan baju basah.
Kita tidak pernah sakit, bukan? Dan baju yang aku pakai ini tidak begitu basah. Nanti juga kering
sendiri."

178

“Yah, terserah padamulah.…” Dengan tenang Sembara menjawab perkataan Basir.

“Mau apa kau mencariku kemari? Sampai-sampai kau mau hujan-hujanan?”

“Sebenarnya sudah hampir satu bulan aku mencarimu ke rumah ini. Tapi kau tidak pernah ada di
rumah. Baru tadi aku melihatmu dari jauh mengangkat jemuran sehingga aku kemari dalam
keadaan hujan-hujan.“

“Eh, Nak Basiiir?”

“Oh ya, Bu. Saya mencari Sembara. Dan sekarang saya bisa bertemu dengan dia."

“Ya. Sembara baru saja pulang beberapa hari yang lalu." Dengan tersenyum Ibu Sembara bicara
pada Basir. Bahkan Basir sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Maryamah.
“Sembara, Sudah beberapa kali Basir datang mencarimu kemari. Tapi kau belum juga pulang.
Agaknya Basir kecewa.” Kata Ibu Sembara sambil berdiri dan berjalan ke belakang rumah.

“Tentu ada hal penting yang akan kau sampaikan padaku, bukan? Sampai beberapa kali kau
mencariku kemari.”

“Ah tidak juga. Hanya aku kangen saja padamu. Karena kau pergi tidak memberitahukan aku.“

“Oh ya sudah.”

Basir tampak bahagia bisa bertemu kembali dengan sahabat karibnya itu. Keduanya terlibat
perbincangan dari yang ringan sampai pada hal serius. Mulai dari mengembala kerbau sampai
pada persoalan Farida. Bahkan ketika membicarakan tentang Farida, Sembara harus agak berbisik.
Agar

179

tidak terdengar oleh Ibunya yang sedang pergi ke belakang rumah.

“Kau tentu tahu bagaimana keadaan Farida sekarang, bukan?” Sembara berkata pada Basir dengan
wajah yang serius.
“Kenapa Farida, Sembara?"

“Oh jadi kau belum tahu?”

“Aku memang tidak tahu. Karena selama kau tidak ada. Aku tidak pernah bertemu dengan Farida."

“Farida dalam bahaya!”

“Dalam bahaya? Dari mana kau tahu?"

“Semenjak aku kembali dari Gunung Merapi. Perasaanku bertambah tajam sehingga aku
merasakan ada bahaya sedang mengancam Farida.”

“Ah, kau sekarang seperti seorang dukun saja.” Basir bicara dengan santai. Seolah-olah hal itu
Bukan persoalan yang harus disembunyikan.

“Ssssst jangan keras-keras. Nanti Ibuku mendengar pembicaraan kita.” Tiba-tiba Sembara memberi
peringatan pada Basir sehingga pemuda itu cepat-cepat menutup mulutnya.

“Jadi apa tindakanmu, Sembara?"

“Aku harus menyelamatkan Farida dari bahaya yang akan datang itu.” Sembara berkata sambil
tetap berbisik.

“Kapan kau akan menyelamatkan Farida?”

“Malam nanti! Dan kau harus ikut menemaniku, Basir."

“Malam nant? Ke mana kita malam nanti, Sembara?”

“Kita pergi ke rumah Farida di Desa Ilir."

180

“Baik. Aku akan menemanimu ke Desa Ilir." walau apa pun kata Sembara, Basir tetap percaya pada
sahabatnya itu. Basir sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Sembara walaupun Basir belum
tahu ilmu apa yang telah ditempuh Sembara selama berada di Hutan Larangan, di atas Gunung
Merapi.

Kedua sahabat itu lalu berunding mengatur perjalanan mereka ke Desa ilir. Desa yang selama ini
bisa ditempuh dalam setengah hari perjalanan bila berjalan kaki. Dan juga desa yang selama ini
tempat tinggal Farida.

Ketika hari sudah menjelang tengah malam, ketika langit begitu kelam, ketika bintang gemintang
tidak satu pun muncul di atas langit, Sembara dan Basir sudah mendekati Desa ilir. Bahkan pintu
gerbang desa sudah mereka lalui.
Kini mereka mendekati rumah Farida, rumah kekasih Sembara yang sedang dalam bahaya.
Walaupun Sembara tidak tahu perasaan cinta Raisman terhadap ibunya, cinta itu tidak akan bisa
dilupakan seumur hidup oleh Raisman. Bahkan Ibunya, Maryamah, tidak menaruh cinta sedikit
pun pada laki-laki itu sehingga cinta itu berbalik benci yang tidak terkirakan. Rasa benci itu telah
menyelimuti seluruh perasaan Raisman. Maka Raisman mau berbuat apa saja, bahkan
mengorbankan anaknya sendiri pun dia rela demi balas dendam yang harus terlaksana.

Dengan penerangan lampu seadanya, dari kejauhan Sembara dan Basir sudah dapat melihat Ayah
Farida duduk di muka rumahnya. Laki-laki itu

181

duduk bersama dengan anak gadisnya yang bernama Farida.

Setelah melihat sekeliling yang ternyata sepi, Sembara mengajak Basir lebih mendekat ke rumah
Raisman. Agar gerak-gerik Raisman bisa mereka lihat lebih jelas, Basir mengikuti langkah kaki
Sembara perlahan-lahan walaupun dalam hati Basir terasa perasaan takut mulai mengganggu
dirinya.

Ketika kedua orang itu sudah semakin dekat, mereka berhenti di bawah pohon Mahoni yang
tumbuh di tepi jalan. Sedangkan pandangan mata mereka tetap tertuju pada Raisman dan Farida.

Ketika kedua pemuda itu mencoba duduk pada akar pohon yang tumbuh menonjol di dekat
mereka, tiba-tiba terasa angin kencang bertiup ke arah rumah Raisman. Basir memegang akar
pohon yang mereka duduki. Sementara dalam tiupan angin itu, tampak sesosok tubuh yang aneh
dan tampak mengerikan. Sayang Basir tidak bisa melihat bentuk tubuh yang menakutkan itu.

Sosok tubuh itu tidak melihat kehadiran mereka. Bahkan sosok tubuh itu terus melangkah ke arah
rumah Raisman. Lalu dia berhenti di hadapan laki-laki yang sedang dimabuk kebencian itu.

Raisman tampak berbicara dengan laki-laki aneh itu. Sementara anaknya Farida sama dengan Basir.
Farida tidak melihat apa-apa, kecuali tiupan angin yang dirasakannya begitu kencang sehingga
rambutnya yang panjang bermain-main tertiup angin yang sedang membawa bencana.

Sekarang Sembara dan Basir melihat Raisman berdiri dan membimbing tangan anaknya masuk ke

182

dalam rumah. Farida tampak menurut saja kemauan Ayahnya. Seolah-olah gadis itu sudah berada
di bawah pengaruh aneh.

Sembara berbisik pada Basir agar tetap diam di sana. Sedangkan Sembara akan mencoba masuk ke
dalam rumah Raisman. Basir agak menolak keinginan Sembara. Tapi karena Sembara sudah
memberi tahu akibat yang akan terjadi, dengan rasa berat, Basir mengikuti kemauan Sembara.

“Kau berjaga-jaga di sini agar bila Farida dibawa, kau bisa melihat kemana Farida dibawa oleh
makhluk halus itu.”
“Ya. . Basir menjawab dengan rasa takut semakin menggerayangi seluruh tubuhnya.

Angin kencang mulai reda tiupannya. Dengan berlari-lari kecil, maka tubuh pemuda itu dengan
cepat sudah berada di halaman rumah Raisman. Lalu tanpa diketahui oleh orang-orang penghuni
rumah, Sembara masuk ke dalam rumah Raisman sehingga Basir terpana melihat keberanian
kawannya itu.

Sesampai di rumah, Sembara tidak menemukan di mana Farida dan Raisman berada. Ruang tengah
rumah itu dalam keadaan kosong dan sepi. Padahal Farida sudah dibaringkan di kamar Raisman. Di
sebelah kanan Farida duduk Ayahnya. Sedangkan di sebelah kiri Farida, Mbah Kober sedang
memberikan ramuan ke tubuh Farida sehingga gadis itu menggeliat menahan nyeri.

Sembara mencoba mencari kekasihnya ke seluruh rumah yang belum pernah dimasukinya
sehingga pencarian itu memakan waktu yang cukup lama.

183

Satu persatu ruangan di rumah itu dijelajahinya. Tapi tidak membawa hasil sehingga Sembara
putus asa. Namun Sembara tidak sadar, kalau di kamar Raisman, orang yang dicarinya ada di sana.
Sembara tidak memasuki ruangan itu. Karena kekuatan Mbah Kober sedang bergerak di kamar itu,
Sembara mera-sa enggan memasuki kamar itu, bahkan kalau saja pintu kamar dibukanya. Maka
Sembara akan berhadapan dengan Ayah Farida yang bernama Raisman.

Dalam kebingungan seperti itu, tiba-tiba Sembara ingat pada Ki Daksa. Laki-laki tegap yang selalu
bersedia dipanggil bila Sembara membutuhkan pertolongan.

Dengan mengucapkan nama Ki Daksa sebanyak tiga kali, tiba-tiba Ki Daksa sudah hadir di hadapan
Sembara.

“Engkau memanggilku, Pangeran?”

“Betul Ki Daksa! Aku memanggil Ki Daksa, karena aku butuh pertolongan Aki.”

“Apa yang bisa aku kerjakan untukmu, Pangeran?"

“Tolong tunjukkan di mana Farida berada dalam rumah ini, Ki Daksa."

“Hem, itu soal mudah, Pangeran. Farida berada dalam kamar Ayahnya, Raisman."

“Yang mana kamar Raisman, ki?” .

“Itu! Kamar yang sejak tadi selalu tertutup rapat."

“Kalau begitu akan aku masuki kamar itu. Aku sudah siap untuk bertempur dengan Ayah Farida.”
“Sayang, Pangeran. Sukma Farida sudah tidak ada di sana. Dia sudah dibawa oleh Mbah Kober ke
tempat persemayamannya. Yang akan Pangeran temui di sana hanyalah badan kasarnya saja. Dan
itu

184

tidak ada gunanya." Mendengar keterangan Ki Daksa, detak jantung Sembara terasa berhenti
berdenyut. Tapi dia kumpulkan kekuatan untuk bertanya lebih lanjut.

“Kemana sukma Farida dibawa oleh Mbah Kober, Ki?"

“Ke dasar danau yang bernama Danau Batu Perak. Danau itu terletak di atas sungai yang mengalir
antar Desa Seberang dan Desa Ilir ini."

"Aah, tentu akan memakan waktu lama bila aku susul ke sana." Dengan rasa kecewa yang teramat
dalam, Sembara mengeluh dalam hatinya. .

“Memang Pangeran. Bila sukma Farida tidak bisa Pangeran rebut dari tangan Mbah Kober, besok
pagi Farida sudah pasti akan menjadi mayat. Sedangkan sukma Farida akan menjadi istri Mbah
Kober.” Aki Daksa bicara pada Sembara, seolah-olah Ki Daksa mendengar keluhan Sembara.

“Aku tidak bisa menolong Farida, Ki Daksa. Daya upayaku tidak membawa hasil.”

“Kalau saja Pangeran bisa melakukan semedi, Pangeran akan bisa menolong sukma Farida
sehingga sukma itu kembali ke dalam tubuh kasarnya."

“Aku tidak tahu cara melakukan semedi yang Ki Daksa maksudkan.”

“Bukankah ketika Pangeran sampai di tempat kita bertemu di puncak Gunung Merapi. Pangeran
melihat sederetan orang sedang melakukan semedi?"

“Ya. Aku melihat orang-orang sedang duduk melakukan semedi. Tapi aku tidak begitu
mempedulikan hal itu, Ki Daksa."

185

“Nah, lakukanlah semedi seperti orang-orang yang Pangeran lihat di puncak Gunung Merapi itu.
Tentu Pangeran akan bisa. Karena aku tahu, dalam tubuh Pangeran sudah mengalir kepandaian
untuk mekakukan hal-hal yang sulit dilakukan oleh manusia biasa.”

“Baik, akan aku coba. Asal Ki Daksa mendampingi aku dalam semedi itu.”
"Aku akan mendampingi Pangeran dalam semedi nanti.” Dengan semangat yang mulai tumbuh
kembali, Sembara duduk di ruang tengah rumah Raisman. Lalu dengan ketekunan yang luar biasa,
Sembara mulai melakukan semedi. Sementara Aki Daksa mendampingi orang kepercayaan Kakek
Jabat ini.
Sembara duduk di lantai dengan bersila. Tangannya dia atur sedemikian rupa di depan dadanya
yang bidang. Sedangkan nafasnya dia atur keluar-masuk perlahan-lahan. Sementara keheningan
mulai mencekam di sekeliling diri pemuda itu, yang terdengar bagi pemuda ini hanyalah detak
jantungnya sendiri. Bahkan lama kelamaan detak jantung itu pun tidak terdengar lagi.

Semakin lama Sembara semakin larut dengan keheningan yang dia rasakan sehingga tidak lama
kemudian Sembara mencapai titik hening yang tanpa dia sadari itulah titik hening yang diperlukan.

Dalam titik hening seperti itu, sukma Sembara mulai berjalan ke dalam kamar Raisman. Di kamar
itu memang ada Raisman dan Farida yang sedang tertidur pulas. Raisman sebentar-sebentar
melihat ke tubuh anaknya. Sedangkan anaknya yang bernama

186

Farida tidak bergerak sama sekali. Seolah-olah tubuh Farida itu sudah tidak bernyawa lagi.

Dengan cepat sukma Sembara bergerak ke arah danau yang ditunjukkan oleh Aki Daksa. Sesampai
di sana, suasana sangat gelap. Tidak ada penerangan sedikit pun yang bisa menerangi sekeliling
danau. Tidak ada bulan atau pun bintang di atas langit. Namun sukma Sembara bisa melihat
didalam gelap seperti itu. Sukma Sembara melihat air danau tidak bergerak. Danau itu bagaikan
danau mati. Sembara menjadi cemas. Karena berarti sukma kekasihnya sudah tidak ada disekitar
danau. Tiba-tiba air danau begerak dan dari dalam danau terdengar pintu dibuka. Lalu suasana
kembali tenang. Sembara yakin, suara itu merupakan suatu pertanda bahwa sukma kekasihnya
berada dalam danau. Maka tanpa berpikir lama lagi, Sembara masuk ke dalam danau. Semakin
lama semakin dalam. Ketika kaki Sembara sampai di dasar danau. Pemuda itu tidak menemukan
air danau, yang ada hanya sebuah rumah berhalaman luas. Pintu rumah itu terbuka lebar.
Sedangkan penghuninya berada di dalam.

Ketika Sembara berdiri di depan pintu rumah, Sembara melihat seorang laki-laki setengah baya
menghampirinya. Wajah laki-laki itu buruk sekali. Lalu laki-laki itu bertanya kepada Sembara. Apa
keperluannya ke rumah itu dan bagaimana dia bisa sampai ke sana.

Sembara menjawab pertanyaan laki-laki itu sekenanya. Lalu Sembara menyampaikan keinginannya
untuk bertemu dengan Farida.

187

Mendengar nama Farida disebut, tiba-tiba Farida muncul dari dalam rumah. Lalu dengan cepat
gadis itu menghampiri Sembara. Bahkan Farida memeluk Sembara sambil menangis tersedu-sedu.

Melihat keadaan yang tidak memungkinkan, laki-laki yang sebenarnya adalah Mbah Kober bersiap-
siap menyerang Sembara. Sembara pun begitu pula. Dalam waktu sekejap terjadilah perkelahian
yang cukup seru. Perkelahian antara cucu angkat kesayangan Kakek Jabat dengan makhluk siluman
penghuni keris pusaka Raisman yang tinggal di Danau Batu Perak.

Walau perkelahian itu berjalan seru, bagi Sembara Bukanlah perkelahian yang harus
mempertaruhkan jiwa. Karena dalam waktu yang tidak begitu lama. Mbah Kober sudah terdesak
oleh pukulan-pukulan aneh yang dilepaskan oleh Sembara. Akhirnya Mbah Kober hilang begitu
saja dari hadapan Sembara ketika pemuda itu melepaskan pukulan hebat ke arah Mbah Kober.
Pemuda itu jadi heran.

“Kemana perginya makhluk jahat itu?” Ketika Sembara melihat ke dalam rumah yang ditempati
Mbah Kober, Sukma Farida sudah tidak ada lagi di sana. Sembara jadi cemas. Dia khawatir, jangan-
jangan sukma kekasihnya itu dibawa pergi oleh Mbah Kober.

Sembara cepat bergegas keluar dari dalam rumah Mbah Kober. Sukma Sembara cepat melesat ke
rumah Raisman. Sesampai di rumah itu, dia melihat Farida sudah sadar dari pingsannya. Berarti
sukma Farida sudah kembali ke dalam badan kasarnya.

188

Melihat keadaan itu, Sembara jadi gembira. Dia telah menyelamatkan jiwa Farida dari bahaya
makhluk yang mengerikan itu.

Perlahan-lahan Sembara mengakhiri semedinya. Ketika Sembara melihat ke sebelah ke kanannya.


Tampak Ki Daksa masih duduk bersila di sampingnya.

“Sudah selesai semedimu, Pangeran?"

“Sudah. Ki." Sembara menjawab sambil tersenyum.

"Tugasku menyelamatkan kekasihku sudah selesai. Dan aku perkirakan laki-laki yang bernama
Mbah Kober itu tidak berani lagi datang mengganggu Farida.”

"Belum tentu juga, Sembara. Mungkin Mbah Kober akan datang lagi membuat perhitunganmu.
Sedangkan sekarang dia pasti sedang letih habis bertarung denganmu. Tapi tidak usah kau pikirkan
sekarang. Yang penting kau pergi ke tempat kawanmu, Basir. Kasihan dia. Sejak tadi malam dia
menunggumu di sana. Mungkin dia sedang dalam ketakutan.

“Oiya. Basir masih menungggu di sana.” Pergilah ke sana. Sebelum kawanmu itu lari karena
ketakutan. Kata Ki Daksa kepada Sembara.

“Baik, Ki Daksa. Dan aku berterima kasih atas petunjuk yang aki berikan padaku." Sembara
tersenyum ke arah Aki Daksa. Tapi orang yang diajaknya bicara sudah tidak ada. Yang ada hanyalah
angin pagi berhembus perlahan-lahan masuk ke dalam rumah sehingga Sembara agak terkejut.

189

“Ah, sudah pergi dia dari hadapanku." Kini Sembara maklum. Dia harus cepat-cepat pula keluar
dari rumah itu. Sebelum pemilik rumah memergoki keberadaannya di sana.

Setelah berlari-lari kecil seperti ketika dia masuk tadi, akhirnya Sembara menemui Basir yang
masih duduk di atas akar pohon mahoni di tepi jalan .
“Basir?"

“Oh. Sembara... Aku betul-betul ketakutan duduk di sini sejak tadi malam.”

“Kenapa?"

“Bagaimana aku tidak takut. Semenjak tadi burung gagak berbunyi terus di sekitar rumah Raisman.
Sedangkan kau enak-enak duduk di rumah

“Aku tidak duduk-duduk di rumah Raisman. Tapi, ya sudah. Sudah. Yang penting sekarang apakah
kau sudah berhasil menyelamatkan Farida?"

“Menyelamatkan Farida?"

“Ya. Bukankah tugasmu adalah memegang Farida kalau dia keluar dan lewat di sini?”

“Ah, bagaimana aku bisa memegang Farida? Melihat dia saja sejak tadi aku tidak pernah.”

“Berarti Farida tidak lewat di sini, bukan?"

“Ah aku tidak mengerti maksudmu, Sembara?”

“Yah nanti aku ceritakan apa yang telah terjadi di rumah itu. Sekarang kita harus kembali ke Desa
Seberang, sebelum orang-orang rumah itu melihat kita di sini."

“Oh, ya ya. Mari kita kembali ke Desa Seberang... Tapi aku tidak kuat berjalan, Sembara."

“Kenapa? Kau letih?"

“Aku lapar. Lapaaar sekali...”

190

“Nanti kalau sudah agak jauh dari rumah itu. Kita cari warung yang menjual makanan untuk
pengganjal perut kita."

“Betul ya. Nanti kalau sudah jauh dari rumah itu kita cari warung makanan. ya?"

“Ya ya!" Lalu kedua sahabat itu berdiri dan mulai berjalan meninggalkan pohon mahoni yang
tumbuh di tepi jalan di depan rumah Raisman. Makin lama jalan mereka makin jauh meninggalkan
pohon mahoni yang tumbuh kekar. Sementara Basir sudah mulai menuntut janji Sembara untuk
mencari warung yang menjual makanan. Sedangkan hari sudah bertambah pagi. Matahari sudah
mulai menam-pakkan sinarnya di ufuk Trmur.

Ketika di tengah jalan ada sebuah warung menjual penganan, Basir menuntut pada sahabatnya itu
untuk membeli makanan di warung itu. Tapi Sembara terus berjalan sehingga Basir jadi heran.
“Hei, Sembara? Kenapa kau tidak berhenti berjalan?”

“Maaf, Basir. Aku sebenarnya tidak membawa uang. Maka aku tidak berani berhenti di warung itu.”

“Ah, kau. Betul-betul kelakuanmu membuatku jadi kesal.“ Basir pun berjalan terseok-seok. Tapi
Sembara tidak peduli. Dia semakin cepat berjalan menuju Desa Seberang sehingga mau tidak mau
Basir berlari-lari mengikuti dari belakang.
Orang-orang Desa Ilir tidak peduli dengan kejadian itu. Yang berjalan masih saja meneruskan
perjalanan mereka. Sedangkan yang makan di warung meneruskan makan. Mereka menganggap
kejadian itu biasa saja. Padahal baru saja terjadi

191

sesuatu di rumah Raisman, suatu usaha pembu-nuhan yang sangat mengerikan.

Pagi hari sudah menyongsong kehidupan di Desa Ilir. Bahkan siang hari sudah mulai menapak desa
yang aman tenteram itu.

Perlahan-lahan Farida menggeliat dari tidurnya. Sedangkan Ayahnya Raisman jadi heran dengan
kejadian itu. Raisman mengharapkan Farida tewas malam itu sebagai tumbalnya pada Mbah Kober.
Tapi ternyata tidak. Bahkan Farida sadar perlahan-lahan dari pingsannya yang sudah berlangsung
sejak tengah malam tadi. Kekecewaan terbayang di wajah laki-laki serakah itu. Terbayang
pembunuhan yang sudah akan bisa dilihatnyabesokpagi pada diri Maryamah musnah sudah
sehingga wajah Raisman jadi murung. Lalu perlahan-lahan dia lihat keris pusaka yang bernama
keris Mbah Kober itu masih tergeletak di kamarnya. Masih terletak di atas meja kecil yang ditaburi
kembang tujuh rupa. Perlahan-lahan Raisman meraih keris tersebut. Lalu dia nyalakan dupa untuk
memanggil penghuni keris yang bernama Mbah Kober.

Ketika asap dupa sudah mengepul ke udara. ketika asap dupa sudah memenuhi ruangan kamar
yang cukup luas itu, Raisman mulai membaca mantra pemanggil Mbah Kober. Suasana kembali
sepi. Sementara Farida sudah semakin sadar. Bahkan mata gadis itu mulai melihat sekelilingnya.

Raisman masih menunggu kedatangan Mbah Kober. Kareha dia ingin bertanya, apa sebenarnya
yang terjadi sehingga gagal seperti ini. Atau, Farida memang harus sadar dulu, sebelum sukmanya
dibawa pergi untuk selamanya oleh Mbah Kober.

192

Harapan Raisman belum kesampaian. Bahkan Farida sudah semakin sadar sehingga anak gadisnya
itu memanggil-manggil nama Sembara dalam suasana ketakutan.

Raisman sadar, bahwa Mbah Kober tidak hadir di kamarnya. Raisman sadar bahwa usahanya untuk
mengorbankan anaknya gagal malam itu sehingga dia berniat untuk melakukan usaha itu pada
keesokan malam. Raisman berdiri untuk keluar dari dalam kamar. Tapi ketika Farida duduk sambil
memanggil nama Sembara. Raisman diam. Matanya geram melihat pada Farida. Lalu dengan kesal
dia bertanya pada anak gadisnya yang sebenarnya sangat dia sayangi itu.
“Kenapa kau panggil anak Maryamah itu, hah?"

“Karena Kakang Sembara yang telah menyelamatkan aku, Ayah...” Farida menjawab sambil air
mata menetes dipangkuannya.

“Apa yang telah dia lakukan padamu, hah?”

“Aku.... aku telah diselamatkan oleh Kakang Sembara dari ajakan lakilaki setengah baya sehingga
aku bisa kembali ke rumah ini.... ” Tangis Farida semakin menjadi-jadi. Sedangkan Raisman duduk
kembali di atas tempat tidur di dekat kepala anaknya.

Pandangan mata Raisman nanar memandang wajah anak gadisnya yang selalu menyebut-nyebut
nama Sembara. Raisman ingin sekali siang itu cepat berganti dengan malam karena pada malam
itulah dia bisa memanggil kembali isi keris yang bernama Mbah Kober. Tapi sayang, waktu tidak
bisa dia tentukan. Karena penentu waktu bukan dia tapi Sang Maha Pencipta.

193
194

EMPAT BELAS

Hari semakin siang. Matahari sudah hampir tepat berada di atas kepala sehingga panasnya mulai
menggigit Walaupun udara dingin masih terasa menusuk tulang. Maklum, Desa Ilir dan Desa
Seberang adalah dua desa yang terletak tidak jauh dari lereng Gunung Merapi sehingga
suasananya tetap dingin. Apalagi kemarin pagi sampai sore seharian udara mendung dan kadang-
kadang diselingi hujan sehingga penduduk desa enggan keluar rumah.

Farida, anak gadis laki-laki kaya yang bernama Raisman baru saja bangun dari tidurnya. Seluruh
persendiannya terasa sakit sehingga dia sulit menggerakkan tubuhnya. Sedangkan dalam tidurnya
tadi, berkali-laki dia mengigau menyebut nama Sembara. Kejadian itu membuat Ayahnya, Raisman,
curiga.

195

Setelah anaknya betul-betul sudah bangun dari tidurnya, teh hangat yang disediakan oleh
pembantu rumah sudah dihabiskan oleh Farida. Maka Raisman mulai bertanya pada Farida.

“Kenapa kau selalu menyebut-nyebut nama Sembara? Apa kau kenal dengan laki-laki itu?“ Ketika
pertanyaan itu diajukan pada Farida, muka gadis cantik itu pucat. Bibirnya bergetar pertanda takut
walau kecantikannya tidak sirna karena perubahan wajahnya.

“Kenapa kau diam? Hayo jawab!" Raisman mendesak anaknya dengan beritakan.

“Ya, Ayah. Aku kenal dengan Kakang Sembara..…” Farida menjawab pertanyaan Ayahnya. Karena
dia tahu sifat Ayahnya yang tidak boleh ditentang sedikit pun.

“Kakang Sembara katamu ..... ? Di mana kau kenal dia. Dan apa hubunganmu dengan pemuda itu?"
“Kakang Sembara yang telah menyelamatkanku dari tangkapan laki-laki tua yang bernama Mbah
Kober, Ayah...." Tiba-tiba Raisman terkejut mendengar nama Mbah Kober disebut-sebut oleh
Farida. Tapi untuk menutupi keterkejutannya, Raisman terus bertanya pada Farida.

"Huh! Kau mulai melantur. Aku tidak melihat siapa-siapa di ruangan ini. Aku tidak melihat laki-laki
yang bernama eeeee... siapa nama laki-laki tua yang kau sebutkan tadi?”

“Mbah Kober, Ayah...." Farida semakin takut.

”Ya aku tidak melihat Mbah Kober masuk kemari. Bahkan aku tidak melihat Sembara masuk

kemari.”

196

“Tapi apa yang aku alami ini betul, Ayah. Aku betul-betul dibawa oleh Mbah Kober ke rumahnya.
Aku akan dijadikan istrinya. Lalu Kakang Sembara datang menolongku.... Kalau tidak, tentu aku
sudah jadi istri Mbah Kober, Ayah.…" Farida menjawab dengan lemah.

“Aaah kau jangan bicara melentur seperti itu. Kau hanya tidur nyenyak di kamarku ini. Dan dalam
tidurmu mungkin kau bermimpi bertemu dengan Sembara dan juga dengan …eeee Mbah Kober..."
Farida menjadi semakin takut melihat kemarahan Ayahnya sehingga dia tidak berani lagi
meneruskan kata-katanya. Tapi apa yang dialaminya itu betul-betul bukan mimpi. Bahkan apa yang
dia alami seolah-olah seperti kejadian sebenarnya.

Dalam kamar itu suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanya bunyi cicak yang berkali-kali
berbunyi setiap Farida bicara sehingga membuat Raisman mulai was-was.

"Jangan-jangan mengenai Sembara itu betul-betul terjadi. Kalau tidak mengapa cicak itu selalu saja
berbunyi setiap Farida bicara.” Begitu Raisman berkata dalam dirinya. Namun rasa curiga itu dia
simpan saja dalam hati. Tidak berani dia ungkapkan pada anaknya Farida.

”Tiba-tiba terdengar langkah kaki seseorang di rumah Raisman sehingga Raisman memandang ke
arah pintu kamar. Tidak lama kemudian pintu kamar Raisman terbuka. Lalu Rosmina hadir di muka
pintu itu.

“Hei anakmu sakit, Raisman?"

“Ya, Farida agak pusing sedikit.”

197

“Oh, betul begitu?” Rosmina melangkah ke arah Farida duduk. Lalu memegang kening gadis itu.

”Tidak panas." Rosmina berkata perlahan.


“Saya hanya lemas, Bibi. Tubuh saya letih sekali...." Farida bicara memelas sekali. Bahkan Farida
ingin mendapat pertolongan dari Bibinya itu.

“Kenapa anakmu ini, Raisman?”

“Ya, dia sakit sehingga tadi malam aku bawa dia ke kamarku ini untuk aku rawat.”

“Oh, begitu.”

“Ada yang akan Mbak Yu bicarakan padaku, Mbak Yu Rosmina?"

“Heeem ya .......... ” Rosmina agak bingung menghadapi pertanyaan Raisman seperti ini. Tapi dia
diam saja.

“Mari kita bicara di luar agar di sini tidak mengganggu Farida.”

“Mari...." Rosmina kembali bingung menghadapi suasana seperti ini. Tapi dia tetap diam.
Sementara Raisman sudah melangkah keluar kamar, lalu duduk di ruang tengah rumahnya. Lalu
Rosmina pun duduk di hadapan Raisman. Sedangkan mukanya masih menyiratkan tanda tanya.

“Aku aneh melihat sikapmu, Raisman? Ada apa sebenarnya? Kenapa aku yang harus bicara
padamu? Apa yang akan aku bicarakan?"

“Sebenarnya bukan Mbak Yu yang akan bicara padaku. Tapi aku yang akan bicara pada Mbak Yu.
Karena ada hal penting yang harus aku bicarakan berdua saja dengan Mbak Yu."

“Hem. Apa yang akan kau bicarakan padaku, Raisman?”

198

“Mengenai Farida?“

“Kenapa anakmu itu?"

“Tadi malam dia sakit. Lalu aku suruh dia tidur di kamarku. Selama tidur, dia selalu mengigau."

“Apa yang dia igaukan?"

“Dia selalu menyebut-nyebut nama anak Maryamah."

“Sembara maksudmu?“

“Ya, Sembara. Bahkan sampai tadi pun dia selalu mengigau menyebut-nyebut nama pemuda itu.
Aku jadi curiga pada anak Maryamah yang bernama Sembara itu. Jangan-jangan anakku sudah
diguna-gunainya. sehingga Farida selalu mengingat dia saja.”

“Lalu apa keinginanmu sekarang?”


"Aku ingin mengetahui, apakah betul Farida diguna-gunai oleh Sembara?"
“Kalau tidak?”

"Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Tapi kalau ya.... maka kita harus berusaha untuk mencegahnya,
Mbak Yu.”

“Sebaiknya kita santet saja pemuda itu. Bila dia memang mengguna-gunai Farida." Rosmina bicara
sekenanya.

"Jangan. Sebaiknya, jangan."

“Kenapa jangan? Apakah kau ingin langsung saja membunuh pemuda itu?"

“Itu juga jangan.”

"Jangan? Aneh kau ini Raisman? Disantet jangan. Dibunuh juga jangan. Lalu maumu apa?”

“Aku tidak ingin mencelakai orang. Aku hanya ingin mengetahui saja. apa iya Sembara yang telah
mengguna-gunai Farida. Hanya itu."

199

“Ah aneh. Kau sungguh-sungguh aneh ..... Atau ..eeeeee ..... karena Sembara itu anak Maryamah?”

“Bukan. Bukan itu. Aku hanya ingin tahu saja. Cuma itu.”

“Yaaah, terserahlah. Tapi kalau kau tidak sanggup membunuhnya. Atau kalau kau tidak sanggup
menyantetnya. Aku punya orang yang bisa menger-jakan kedua hal itu."

Suasana kembali sunyi. Kedua kakak dan adik itu hanyut dalam pikiran mereka masing-masing.
Rosmina ingin sekali menyelesaikan masalah ini secepat mungkin: Membunuh atau kalau tidak
menyantet Sembara. Sedangkan Raisman takut melakukan hal itu. Karena dia mulai meraba-raba
tentang kehebatan Sembara.

Apakah iya Mbah Kober yang begitu ganas bisa ditaklukkan oleh pemuda itu? Apakah betul Mbah
Kober gagal karena takut pada pemuda itu? Kalau ya. Maka habislah andalan Raisman. Bahkan
hidup Raisman pada masa mendatang akan dikemudikan oleh Sembara. Dan ini tidak boleh terjadi.
Raisman harus pandai-pandai mempelajari hal ini. Agar dia tidak dikemudikan oleh anak
Maryamah itu.

“Masih ada yang akan kau katakan lagi padaku?"

“Tidak Mbak Yu. Hanya itu.”

“Nah ini ada berita bagus untukmu."


“Berita apa, Mbak Yu?"

“Kau masih ingat Juragan yang bernama Darwis?"

”Juragan Darwis? Darwis yang mana, Mbak Yu? Darwis yang tinggal di Desa Seberang?” Raisman
menjawab acuh tak acuh.

200

“Bukan dia. Tapi Darwis yang tinggal di depan rumahku."

"Oh, aku pikir Darwis yang tinggal di Desa Seberang ........ Kenapa dia. Mbak Yu Rosmina?" Raisman
mulai menaruh perhatian.

“Anaknya baru saja kembali dari kota."

“Anaknya? Anaknya yang mana. ya?”

“Anaknya cuma satu, Raisman. Yaitu laki-laki. Nama anak itu Mardian."

"Mardian. Ah, lupa aku yang mana anak itu.“

"Itu karena kau selalu memusatkan perhatianmu pada Desa Seberang sehingga apa yang terjadi di
desa lain kau tidak tahu. Padahal jarak desa ini dengan rumahku tidak begitu jauh."

“Yah lupakan tentang Desa Seberang. Sekarang kenapa anak Juragan Darwis itu.”

“Anak Juragan Darwis itu hebat sekarang. Kabarnya, di kota dia banyak berkawan dengan orang-
orang Belanda. Kawannya orang-orang kita hanya sedikit. Itu pun orang-orang pilihan.”

"Jadi apa maksud Mbak Yu mengabarkan tentang anak Juragan Darwis itu kepadaku?”

“Bukankah anakmu sudah dewasa, Raisman. Sudah pantas dia kita carikan jodoh. Apalagi sekarang
anakmu sudah banyak yang mengincarnya. Jadi, kalau Farida sudah mendapat jodoh. Tidak akan
ada lagi orang yang mengganggu anakmu itu."

"Yaah nanti akan aku pikirkan."

"Jangan nanti. Sekarang sudah harus kau pikirkan. Bahkan sekarang kau sudah harus
merencanakan pesta pernikahan anakmu itu." Didesak oleh Rosmina seperti itu, Raisman merasa
tersudut.

201

Padahal pikiran Raisman bukan tertuju pada jodoh Farida, tetapi pada persoalan yang baru saja
dialami oleh dirinya.
Suasana kembali sepi. Yang terdengar di ruang tengah itu hanya suara angin bertiup agak kencang.
Tiba-tiba Rosmina bertanya lagi pada Raisman.

“Lalu apa rencanamu sekarang, Raisman?”

“Rencana? Aku tidak mengerti maksud Mbak Yu ..... “

“Jadi kau memang tidak punya rencana apa-apa, kan?"

“Aku memang tidak mempunyai rencana apa-apa kecuali ingin mengetahui apakah Farida ini
diguna-gunai oleh Sembara atau tidak. Hanya itu.”

“Soal siapa yang mengguna-gunai Farida, sebaiknya kita lupakan. Karena tidak mungkin anak
Maryamah itu berani mengguna-gunai anakmu. Ikuti kata-kataku. Besok atau lusa kita ke rumah
Juragan Darwis. Lalu kita bicara masalah anak kita dengan anaknya.”

“Bagaimana besok saja.”

“Jadi kau masih ingin tahu apakah Sembara mengguna-gunai anakmu? Begitu?"

“Ya! Begitu.”

“Kalau kau masih panasaran, nanti malam aku akan ke rumah Dukun Keler. Akan aku tanya pada
dukun itu, apakah dia melihat di alam gaibnya, bahwa Sembara mengguna-gunai Farida."

“Terima kasih, Mbak Yu.…” Raisman menjawab perlahan-lahan.

“Nah, aku pulang dulu. Besok aku kembali lagi mengabarkan hal itu padamu.”

202

“Ya, Mbak Yu. Terima kasih..."

Dengan bergegas Rosmina keluar dari rumah Raisman. Rumah yang dulu adalah rumah almarhum
kedua orang tua mereka. Tapi sekarang Rosmina menempati rumah pemberian orang tua mereka.
Rumah yang lebih besar dan lebih mewah sehingga rumah itu diberikan oleh almarhum kedua
orang tua mereka kepada Raisman.

Tanpa diketahui, kereta kuda Rosmina berangkat meninggalkan halaman rumah yang luas. Namun
Raisman tidak mempedulikan hal itu. Pikirannya tertuju pada saat nanti malam. Dia akan bisa
bertemu kembali dengan Mbah Kober. Dia akan bertanya pada Mbah Kober, lalu dia akan
menyaksikan bagaimana Farida dibawa oleh makhluk halus itu ke tempat persemayamannya di
dasar Danau Batu Perak. Lalu beberapa hari kemudian dia akan mendengar dari orang-orang
bahwa Maryamah mati secara mengenaskan tanpa sebab yang jelas.

Kini malam yang dinantikan Raisman itu sampai sudah. Suasana malam itu sungguh-sungguh sepi.
Jangkrik saja tidak terdengar bunyinya.
Farida sedang tertidur pulas di kamarnya karena tadi malam gadis itu keletihan tidak tidur.
Sedangkan Ayahnya Raisman mulai kembali membakar kemenyan untuk memanggil makhluk halus
yang bernama Mbah Kober. Keris di tangan Ayahnya sedang dipegang erat-erat. Sedangkan mulut
Raisman berkomat-kamit membaca mantra pemanggil. Mata laki-laki itu tertutup rapat, pertanda
dia sangat serius membaca mantra yang sedang dia lontarkan itu.

203

Setelah seluruh ruangan dipenuhi oleh asap dupa yang semakin tebal, tiba-tiba dari dalam asap
dupa itu terdengar suara parau yang berat. Raisman tampak gembira dengan suara itu sehingga
Raisman membaca mantra pemanggil semakin kencang. Karena dia tahu, itulah suara Mbah Kober
yang sejak tadi siang sudah ditunggunya.

Ketika suara itu sudah terdengar semakin dekat, perlahan-lahan Raisman membuka mata. Di
hadapan Raisman kini sudah hadir Mbah Kober dengan bentuknya yang masih garang.

“Apalagi yang kau butuhkan dariku, Raisman!”

“Maaf, Mbah Kober. Aku ingin bertanya pada Mbah Kober: Apakah Sembara sedang mengguna-
gunai anakku, Farida....?”

“Kenapa kau bertanya begitu padaku?”

“Aku hanya ingin tahu Mbah Kober."

“Tentu, tentu saja dia berbuat begitu. Karena dia menginginkan anak gadismu itu!"

“Apakah Mbah Kober masih bersedia menghadapi laki-laki itu, Mbah?"

“Kenapa tidak? Malam ini aku sudah membuat janji dengan Sembara, bahwa dia dan aku akan
bertarung untuk memperebutkan Farida. Setelah itu Farida akan jadi milikku, bukan?"

“Oh ya, Mbah.… terima kasih, Mbah Kober."

“Hem. Ada lagi yang akan kau tanyakan padaku, hah?”

“Eh tentu setelah semua itu selesai, Maryamah akan Mbah Kober bunuh, bukan?"

“Bangsaku pantang mengingkari janji. Karena hal itu adalah janjiku padamu, Raisman!”

204

“Terima kasih, Mbah... terima kasih.... Aku rela menyerahkan anakku, Farida, asal janji itu bisa
dilaksanakan." Raisman sangat menghormati lawan bicaranya. Sedangkan Mbah Kober sudah tidak
ada di hadapan Raisman. Mbah Kober sedang berada di kamar Farida. Mbah Kober sedang
memegang tangan Farida yang masih tertidur pulas. Dan ketika tangan yang halus itu disentakkan,
Farida terkejut lalu dia bangun dari tidurnya.

“Ooo siapa kau? Siapaaaa?" Farida terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Karena wajah
yang sangat ditakutinya itu mulai samar-samar muncul di hadapan Farida.

"Aku Farida... aku kekasihmu...”

“Oooh Tolooong! Tolooong aku Ayaaaah!” Jeritan Farida itu semakin lama semakin jauh. Bahkan
lama kelamaan jeritan Farida hilang dari dalam rumah. Sedangkan Raisman hanya tersenyum kecut
mendengar jeritan anaknya yang memilukan hati.

Tubuh kasar Farida sudah terkulai di atas pembaringannya. Tubuh kasar itu seolah-olah tidak
bernyawa lagi.

Mbah Kober sedang membopong sukma Farida sambil berlari kencang menuju Danau Batu Perak.
Lari Mbah Kober bagaikan angin topan sehingga sukma Farida tersentak-semak dalam bopongan
makhuk halus yang bentuknya menyeramkan.

Dalam keremangan malam, berkelebat sosok lain berlari di belakang Mbah Kober. Sosok itu tidak
lain adalah sukma Sembara. Ketika Mbah Kober melihat ke belakang, dia tahu bahwa sosok yang
mengejarnya

205

adalah sukma Sembara. Maka Mbah Kober mem-percepat larinya. Kejar-mengejar mulai terjadi.
Seolah-olah mereka sedang mempertahankan nyawa mereka sendiri.

Ketika kedua sosok itu sudah mendekati Sungai Tampari, gemuruh air mengalir mulai terdengar.
Sedangkan sosok Mbah Kober mempercepat larinya, Karena dia tahu, sebentar lagi dia akan
sampai di tepi Danau Batu Perak. Melihat keadaan itu sosok sukma Sembara juga mempercepat
larinya, agar dia bisa mendekati sosok Mbah Kober. Karena bila tidak, maka dia akan kembali
masuk ke danau yang luas dan gelap itu.

Kedua sukma itu berlari di atas batu-batu besar dan licin. Yang satu ingin cepat bisa meraih dan
menghempaskan tubuh lawannya. Sedangkan yang lain ingin segera bisa sampai di tepi danau.

Ketika gemuruh air sudah tidak terdengar lagi, ketika suasana sudah semakin sunyi kembali, Mbah
Kober tahu, bahwa dia sudah sampai di tepi danau. Dia sudah bersiap-siap untuk melompat ke
dalam danau, sambil memegang sukma Farida yang masih terkulai lemas.

Baru saja dia akan melompat ke danau yang dalam dan luas itu, tiba-tiba tubuhnya terjatuh.
Sedangkan sukma Farida melayang jauh ke udara.

Dengan kecepatan bagaikan kilat, sesosok bayangan melesat ke udara malam menyambut sukma
Farida yang sedang melayang kembali jatuh ke tanah. Sukma yang letih itu tidak terhempas ke tepi
danau yang tampak gelap.
206

Baru saja sukma Sembara akan membawa lari sukma Farida yang masih tidak sadarkan diri, tiba-
tiba terdengar bentakan dari tepi danau sehingga sukma Sembara berhenti berlari.

"Kalau kau ingin membawa kembali sukma gadis itu! Hadapi dulu aku!"

“Oh, baik!” Sukma Sembara menjawab tegas sehingga perlahan-lahan dia turunkan sukma Farida
dari pangkuannya.

Setelah keduanya berhadapan, maka pertarungan pun tak terhindari. Bahkan, sukma Sembara
mengeluarkan seluruh kepandaiannya sehingga dalam sekejap sukma Sembara sudah memegang
cambuk kilat di tangannya.

Melihat kejadian itu Mbah Kober tidak mau mengambil risiko, dengan cepat dia mengirim
serangan ke arah tangan Sembara sehingga laki-laki perkasa itu tidak sempat melepaskan pukulan
cambuk kilatnya. Bahkan Sembara menarik cepat tangan yang sedang memegang cambuk kilat
sehingga serangan ganas itu luput dari hadapan Sembara.

Kini laki-laki tampan ini lebih berhati-hati karena setiap saat Mbah Kober bisa saja melepaskan
serangan yang dia kehendaki. Sedangkan Mbah Kober dengan terkekeh-kekeh melihat Sembara
yang masih dalam keadaan terkejut. Bahkan tertawa Mbah Kober semakin menjadi-jadi, ketika
Sembara masih terpaku melihat keadaan dirinya.

Pada saat seperti itulah tiba-tiba berkelebat pukulan cambuk Kilat Sembara ke arah muka Mbah
Kober. Dan ketika pukulan Cambuk Kilat itu

207

mengenai sasaran, bunga api bersinar terang di sekitar danau. Sedangkan jeritan Mbah Kober
terdengar bagaikan orang sedang menahan sakit yang teramat sangat.
Sembara tidak memberi kesempatan. Dia kembali melepaskan serangan cambuk Kilatnya sehingga
kembali bunga api bersinar terang di udara malam. Dan kembali lagi terdengar jeritan yang
memilukan hati. Bahkan serangan demi serangan datang bertubi-tubi. Akhirnya tubuh Mbah Kober
terkulai lemas di tepi danau. Tiba-tiba terdengar rintihan dari laki-laki seram yang betuknya sangat
mengerikan itu.

“Aku mohon ampun padamu, Pangeran. Aku mengaku kalah. Aku tidak tahu kalau yang aku hadapi
ini adalah orang kepercayaan Kakek Jabat. Aku tidak berani lagi melawanmu ........"

“Dari mana kau tahu kalau aku adalah orang kepercayaan Kakek Jabat?"

“Aku tahu dari pukulan-pukulan yang kau lepaskan padaku ..... "

“Aku memang orang kepercayaan Kakek Jabat. Sekarang aku minta padamu! Supaya kau membawa
kembali sukma Farida ini ke dalam tubuh kasarnya di rumah Ayah Farida yang bernama Raisman!"
“Baik.... Akan aku bawa kembali sukma gadis ini kepada tubuh kasarnya ..... "

“Dan satu lagi permintaanku: Aku tidak mau kau kembali lagi ke dalam keris Raisman. Kau harus
tetap tinggal di sini. Kalau kau kembali lagi dan mau disuruh oleh Raisman, kau akan aku
hancurkan!"

“Tidak... aku tidak akan kembali lagi ke dalam keris itu. Aku berjanji... Kalau aku tetap kembali ke

208

dalam keris itu dan melakukan segala suruhan pemilik keris itu, aku bersedia Pangeran han-
curkan....”

“Bagus. Sekarang kau antarkan kembali sukma kekasihku ini ke dalam badan kasarnya!"

“Baik, Pangeran....” Dengan berdiri tertatih-tatih, Mbah Kober membawa kembali sukma Farida
yang sudah jatuh lunglai di tepi danau. Sedangkan Sembara menggiringinya dari belakang.

Sesampai di rumah Raisman, sukma itu langsung dibawa ke dalam kamar Raisman. Lalu sukma itu
dimasukkan kembali ke dalam tubuh kasarnya. Setelah memberi hormat, Mbah Kober berlalu dari
tempat itu dengan terseok-seok. Mbah Kober kembali ke dasar danau, tempat dia bersemayam.

Melihat kejadian itu sukma Sembara mengikuti Mbah Kober dari belakang. Bahkan ketika Mbah
Kober berhenti di tepi danau batu Perak pun sukma Sembara masih mengikutinya.

Tiba-tiba, ketika Mbah Kober duduk di tepi Danau Batu Perak, perlahan-lahan tubuh Mbah Kober
runtuh satu persatu. Lalu kini yang tinggal hanya seonggok tulang yang sudah tidak ada artinya.

“Kenapa jadi begini?” Sembara bertanya dalam hatinya.

“Tolong, Pangeran. Tolong aku..."

“Apa yang harus aku lakukan untukmu, Mbah Kober?"

“Tolong kebumikan tulang-tulangku ini sehingga aku bisa tentram di alam baka ...... " Mbah Kober
berkata lirih.

209

“Dan juga... tolong kebumikan tulang-belulang kekasihku yang bernama Putri Kencana....
kebumikan tulang-belulangnya di samping kuburanku. ..“

“Dimana tulang-belulang Putri Kencana itu, Mbah Kober?"

“Di dasar danau ini ....... ,


“Baik akan aku lakukan demi ketentramanmu di alam sana….”

Maka dalam satu kali gerakan sukma Sembara sudah terjun ke dasar danau. Dan tidak begitu lama
sukma Sembara sudah membawa tulang-belulang manusia yang umurnya mungkin sudah ratusan
tahun.

Baru saja sukma Sembara meletakkan tulangbelulang itu di samping tulang-belulang Mbah Kober,
tiba-tiba Kakek Jabat hadir di samping Sembara.

“Oh, Kakek Jabat.…" Sembara terkejut dengan kehadiran Kakek Jabat.

“Ya… kali ini aku yang datang padamu, Pangeran.... Aku datang ingin menceritakan kisah kedua
tulang-belulang ini padamu. Agar kau tahu cerita mereka....” Kakek Jabat bicara dengan penuh
wibawa. Sementara Sembara memberi hormat kepada laki-laki tua itu.

“Kedua orang ini dulu bukanlah asli penduduk di sekitar Gunung Merapi ini. Mereka adalah orang-
orang yang berasal dari tanah Jawadwipa. Yang lakilaki bernama Kanya Prawira. Sedangkan yang
perempuan tetap bernama Putri Kenanga...”

“Kanya Prawira? Namanya cukup bagus, Kakek Jabat..."

210

“Memang begitu. Dia itu dulu adalah seorang perwira di suatu kerajaan.…” Kakak Jabat memulai
ceritanya.

“Zaman itu adalah zaman kerajaan Majapahit sedang melakukan peperangan dengan kerajaan
Pajajaran. Dalam peperangan itu terdapat seorang perwira kerajaan yang bernama Kanya Prawira.
Kanya prawira bertempur hebat sekali. Dia tidak peduli siapa yang dia hadapi. Setiap musuh pasti
habis dibabat oleh senjatanya. Tapi malang tidak dapat dielakkan. Untung tidak dapat diraih.
Pasukan yang dipimpin Kanya Prawira kalah dalam peperangan sehingga mereka yang masih hidup
menyerah kepada musuh. Hanya Kanya Prawira dan kekasihnya, putri Kenanga, yang tidak mau
tunduk kepada lawan mereka sehingga mereka memutuskan untuk lari dari tanah Jawa dan
menyeberang ke pulau Swarna Dwipa ini sehingga Kanya Prawira dan Putri Kenanga sampai mati
didalam Danau Batu Perak ini.”

“Apakah mereka tidak sempat menjadi suami istri, Kakek Jabat”

“Putri Kenanga adalah seorang putri kerajaan. Ada banyak sekali syarat yang harus dipenuhi oleh
Kanya Prawira atau Mbah Kober untuk bisa mempersunting Putri Kenanga. Padahal syarat itu
sudah tidak diperlukan lagi oleh mereka karena mereka adalah orang-orang pelarian.” Suasana
terasa sunyi. Tidak ada yang bicara sedikit pun. Keduanya sedang hanyut pada pikiran masing-
masing.

“Yaaaah tapi itulah hidup. Hidup yang sulit kita tebak apa yang akan terjadi selanjutnya.…. Akhirnya

211
mereka tidak sempat menjadi sepasang suami-istri di alam dunia ini. Tapi semoga mereka akan
bisa bersatu di alam sana nanti. Untuk itu kau penuhilah permintaan Mbah Kober atau Kanya
Prawira untuk bisa berkubur di samping kuburan orang yang dia cintai semasa hidupnya."

“Ya, Kakek Jabat. Akan aku laksanakan permin-taan Mbah Kober atau Kanya Prawira ini.”

"Kalau begitu aku bisa meninggalkan engkau sendirian di sini, Pangeran.”

“Kakek Jabat akan pergi?"

“Betul, cucuku. Karena masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan."

“Kenapa tidak ...... ” Sebelum Sembara meneruskan kata-katanya, Kakek Jabat sudah memotong.
Seolah-olah lanjutan kata-kata Sembara sudah diketahui oleh Kakek Jabat.

“Adikku, Ki Daksa, juga tidak bisa hadir di sampingmu, Pangeran. Dan kau juga tidak harus selalu
bergantung pada kami. Karena nanti dalam hidupmu banyak hal yang harus kau selesaikan sendiri.
Jadi belajarlah mandiri. Jangan selalu tergantung pada pertolongan orang lain."

“Ya, Kakek Jabat. Kata-kata kakek akan aku camkan dalam hatiku.” Sementara Kakek Jabat . sudah
hilang, entah ke mana.

Akhirnya setelah selesai menguburkan kedua tulang-belulang yang sejarahnya penuh kesedihan
itu, sukma Sembara kembali pada jasadnya. Dan dalam kesadaran kembali kedaam dunai fana,
Sembara mendapat pelajaran dari Kakek Jabat: kita tidak boleh bergantung pada orang lain.
Selama hal itu masih

212

bisa kita kerjakan sendiri. Karena suatu saat nanti ada hal-hal yang harus kita lakukan sendiri,
tanpa harus menunggu pertolongan orang lain.

213

214

LIMA BELAS

Pagi-pagi sekali pada hari berikutnya, Rosmina sudah sampai di rumah adiknya Raisman.

Bahkan tanpa menunggu kereta kudanya berhenti dengan baik, Rosmina sudah meluncur dari atas
kereta. Lalu dia langsung menuju kamar Raisman.

“Bagaimana, Mbak Yu?" Tiba-tiba pertanyaan Raisman sudah meluncur ke hadapan Rosmina
sehingga perempuan yang masih muda itu harus menarik nafas dulu untuk menjawab pertanyaan
adiknya. Setelah selesai dia mengatur nafas dengan baik, baru dia jawab pertanyaan yang
sebenarnya sudah dia persiapan sejak tadi, sejak dari rumah.

“Ya. Farida sudah diguna-guna oleh Sembara sehingga dia selalu teringat pada laki-laki itu.”

"Nah, betulkan kataku…. Anakku itu sedang dalam keadaan tidak sadar. Nama Sembara selalu jadi
Pembicaraannya.“

215

“Tapi kau tidak usah cemas. Kata dukun Keler hal ini persoalan kecil. Satu hari pun bisa
disembuhkan. Lalu setelah itu kita perkenalkan Farida dengan anak Juragan Darwis.”

“Siapa nama anak Juragan Darwis itu, Mbak Yu?”

“Ah masak kau lupa, Raisman?”

“Aku betul-betul lupa, Mbak Yu."

“Nama pemuda gagah itu adalah Mardian. Bahkan ketika aku mencari berita tentang Mardian ke
rumah tetangga di sebelah rumahnya. Tetangga itu mengatakan, bahwa Mardian sekarang bukan
Mardian yang dulu.”

“Maksud Mbak Yu?"

“Ah kau ini bagaimana, Raisman? Mardian itu sekarang pergaulannya sudah tinggi. Dia tidak mau
lagi bergaul dengan anak-anak desa sebaya dengan dia. Sekarang dia bergaul dengan anak-anak
orang Belanda. Bahkan dia juga bergaul dengan tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda itu. Nah
apa tidak hebat anak Juragan Darwis itu sekarang?”

“Ya. Dia hebat ...... " Rosmina memuji Mardian itu setinggi langit sehingga Raisman jadi bertambah
ingin tahu tentang kehidupan Mardian.

“Selama ini Mardian itu tinggal sendirian, Mbak Yu. Kok sampai dia sudah tidak mau bergaul
dengan anak-anak desa sebaya dengan dia. ”

“Kan aku sudah katakan padamu kemarin. Mardian itu selama ini tinggal di kota. Bahkan kalau
tidak salah Mardian itu baru saja dari Seberang.

“Oh, pantas kalau begitu."

“Apa kerja Mardian itu di sana, Mbak Yu?”

216

“Mungkin saja berdagang atau apalah. Yaaah maklumlah orang tuanya adalah orang berada. Jadi
keadaan mereka tidakjauh berbeda dengan keadaan kita, Raisman.”
"Yaah memang orangtuanya orang kaya sehingga apa saja yang dikerjakan oleh anaknya tentu akan
menghasilkan uang. Tidak seperti anak-anak desa di sini. Paling-paling hanya membantu orang
tuanya mengairi sawah mereka. Itu pun kalau sawah orang tuanya tidak tergadai."

"Jadi, maukan kau menjodohkan anakmu dengan anak Juragan Darwis itu, Raisman?”

“Yaaah aku mau."

“Nah, jadi. Sekarang kita obatkan dulu Farida pada Mbah Keler. Setelah sembuh baru kita bertamu
ke rumah Juragan Darwis di rumahnya."

“Baik. Baik." Raisman tampak mulai cerah wajahnya. Sedangkan Rosmina begitu pula. Kali ini
mereka akan mendapatkan untung berlipat-lipat. Karena calon menantu mereka adalah anak
Juragan terkaya di seluruh desa yang ada di sekitar kaki Gunung Merapi itu.

217

218

ENAM BELAS

Sudah dua hari dua malam hujan turun tidak henti-hentinya. Bahkan menjelang tengah tadi malam
hujan semakin deras. Baru menjelang pagi hujan mulai reda. Maka orang-orang desa pergi melihat
sawah-sawah mereka yang dikhawatirkan terendam air. Bahkan di Desa Ilir masih saja banyak
orang berbondong-bondong ke arah sungai yang ada ditepi desa. Karena tadi malam baru saja
terjadi banjir besar sehingga sawah-sawah banyak yang terendam air. Padahal baru saja sawah-
sawah itu ditanami oleh penduduk desa. Apalagi sebagian dari sawah-sawah yang terendam air itu
dimiliki oleh Juragan Darwis dan Raisman. Namun di antara orang-orang desa yang berbondong-
bondong itu tidak terlihat Juragan Darwis maupun Raisman. Yang tampak hanya beberapa orang
suruhan mereka saja yang sibuk mengurusi sawah-sawah yang terendam itu.

219

Sedangkan air yang bergemuruh masih saja meliputi seluruh sawah sehingga batang-batang padi
yang baru tumbuh patah dan rebah mengikuti arah deras air yang mengalir cepat…

Menjelang tengah hari padi-padi yang baru tumbuh di sawah-sawah itu tampak kembali. Karena
air sawah yang menggenang sudah Surut. Orangorang desa turun ke sawah menegakkan kembali
batang-batang padi mereka yang rebah. Bahkan banyak batang padi mereka cabut lalu mereka
buang, karena sudah tidak bisa lagi tumbuh dengan benar di sawah yang baru saja kering.

Wajah-wajah para petani itu tampak muram. Mereka bingung. Karena persiapan beras mereka
untuk musim panen mendatang pasti tidak ada. Mereka tidak habis pikir. Kenapa tiba-tiba air bisa
menggenangi sawah-sawah mereka. Padahal dulu, hujan deras bagaimana pun, tidak pernah ada
peristiwa seperti ini yang menimpa sawah-sawah mereka. Apalagi letak sawah-sawah itu tinggi dan
bertingkat tingkat sehingga tidak akan mungkin hal itu bisa terjadi.
Di rumah Raisman, wajah laki-laki itu tidak tampak murung sedikit pun. Apalagi Rosmina. Kedua
kakak dan adik itu tenang-tenang saja dengan kejadian hari itu. Mereka tidak memikirkan panen
pada tahun mendatang. Mereka tidak memikirkan persediaan beras. Karena beras mereka
berlimpah ruah di lumbung padi.

Sementara di rumah Juragan Darwis tampak agak berbeda. Di rumah itu kedua orang tua Mardian
tampak cemas. Karena sampai pagi itu Mardian

220

belum juga pulang sehingga orang tua Mardian gelisah. Terutama lbu Mardian yang bernama
Lasmi. Perempuan itu sangat cemas dengan anaknya sehingga tanpa menunggu lagi izin dari
suaminya, Lasmi berlari ke arah sawah-sawah yang terendam. Dari kejauhan Lasmi melihat bahwa
sawah-sawah sudah mulai mengering. Air yang menggenangi sawah-sawah sudah mulai
bergemuruh hanyut ke arah sungai. Tapi yang membuat dia heran ialah bahwa anaknya Mardian
tampak dalam air yang bergemuruh itu. Mardian berteriak-teriak minta tolong. Tapi tidak satupun
orang-orang di sekitar sawah itu yang mendengar teriakan anaknya sehingga Lasmi berlari
mengejar anaknya yang semakin lama semakin jauh hanyut dibawa arus air menuju sungai yang
ada di bawah jurang. Bahkan ketika Lasmi sudah hampir sampai ke dekat anaknya. Mardian sudah
lebih dahulu jatuh ke sungai dengan teriakan yang memilukan hati. Lasmi menjerit dahsyat.
Bahkan Lasmi masih mengejar anaknya turun ke bawah sungai. Namun ketika dia akan terjun ke
bawah sungai yang berair deras, tiba-tiba tangan Lasmi dipegang oleh suaminya. Lasmi masih
berteriak-teriak. Dan ketika tangan itu menyentakkan dirinya, Lasmi terbangun. Dia lihat Juragan
Darwis memegang tangannya sambil menunjukkan wajah yang keheranan. Maka Lasmi
menghempaskan dirinya ke dada Juragan Darwis sambil menangis terisak-isak dalam pelukan
suaminya.

“Kau pasti sedang bermimpi.”

“iya, Kakang. Aku bermimpi. Mimpi yang buruk Sekali," Kata Lasmi sambil menangis sesenggukan.

221

“Mimpi apa sampai kau menangis seperti ini, istriku?"

"Aku bermimpi, bahwa sawah kita dan sawah orang orang desa terendam banjir besar. Anehnya,
saWah Raisman berada di dekat sawah kita dan sawah merekajuga terendam air. Padahal desa kita
dengan deSa Raisman berjauhan letaknya. Lalu anak kita Mardian hanyut ditelan arus sungal. Aku
berteriak-teriak minta tolong. Tapi tidak ada satu orang pun yang menolong anak kita. Bahkan
mereka tidak mendengar teriakanku maupun teriakan Mardian sehingga Mardian hanyut dan lalu
jatuh ke dalam sungai yang ada di bawah sawah itu."

”Sungai? Bukankah di dekat sawah kita tidak ada sungai?"


“Tapi dalam mimpiku sungai itu ada di bawah sawah. Bahkan sungai itu berada di dasar jurang
sehingga Mardian tidak bisa aku tolong.” Lasmi masih tetap menangis dalam pelukan suaminya.

“Sudahlah. Mimpi itukan permainan tidur. Tidak usah kau pikirkan.”

“Tapi mimpi itu sangat mengganggu pikiranku, Kakang.“

“Kalau kau tidak percaya, lebih baik kau lihat Mardian di kamarnya. Mardian pasti sedang tertidur
pulas.”
“Aku memang ingin melihat Mardian di kamarnya, Kakang. Aku takut anak itu tengah mendapat
bahaya." Dengan cepat Lasmi beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke kamar Mardian. Ketika
pintu kamar dibuka, tampak Mardian sedang tidur pulas sehingga Lasmi menjadi tenang. Namun
ketika dia

222

sampai lagi di kamarnya, mimpi tadi kembali membelit pikirannya sehingga Lasmi kembali tegang.

“Sudah kau lihat, bukan?”

“Ya Kakang, sudah.”

“Lalu apa lagi yang kau pikirkan, Lasmi?”

“Pikiranku masih tentang mimpi yang baru saja aku alami, Kakang Darwis....”

“Tidak usah kau pikirkan lagi, mimpi itu hanya permainan tidur. Sekarang tenangkan pikiranmu.
Kita tidur kembali dan besok bangun pagi akan terasa lega."

“Aku tidak bisa tidur, Kakang. Aku tidak bisa memejamkan mataku. Mimpi tadi masih terbayang
jelas dipelupuk mataku. Aku takut, Kakang. Jangan-jangan mimpi itu suatu pertanda buruk bagi
kita.” Lasmi berjalan ke tepi tempat tidur. Lalu dengan lesu dia duduk termenung. Sedangkan
Juragan Darwis menemani istrinya yang sedang diguncang mimpi yang sangat menakutkan.
Sementara malam masih panjang. Binatang-binatang malam masih terdengar berlarian kesana
kemari mencari makan.

Menjelang pagi Lasmi baru bisa memejamkan matanya. Lasmi pulas dalam tidurnya.

Melihat istrinya sudah tidur kembali, perlahan-lahan Juragan Darwis tidur di samping istrinya.

Keesokan hari, pagi teramat cerah. Burung-burung sudah bangun dan keluar dari sarang mereka.
Lalu binatang-binatang itu mengembangkan sayap menyambut hari yang sudah bermandikan
cahaya matahari pagi. Bahkan burung yang jantan menari-nari menunjukkan keindahan bulunya
kepada sang

223
betina sehingga burung betina mulai terpikat melihat keindahan bulu sang jantan.

Orang-orang yang bekerja di rumah Juragan Darwis sudah memulai kegiatan mereka.

“Lasmiii, hayo bangun. Hari sudah pagi.” Suara Juragan Darwis berat dan terdengar iba pada
istrinya.

"Ya, Kakang. ..." Dengan rasa malas yang teramat sangat Lasmi bangun perlahan-lahan. Lasmi
duduk di tepi tempat tidur. Sedangkan pikirannya kembali disergap bayangan mimpi tadi malam
yang sangat menakutkan itu. Ketika hari sudah mulai siang. Lasmi dan Juragan Darwis duduk, di
beranda rumah mereka. Pandangan mata Lasmi jauh menerawang ke depan rumah, ke jalan raya.
Orang-orang yang hilir mudik di jalan raya tampak membungkukkan badan memberi hormat
kepada pasangan suami istri itu. Juragan Darwis memberi salam pada orang-orang yang lewat.
Kecuali Lasmi. Lasmi tidak memperhatikan mereka. Bahkan Lasmi tidak melihat mereka. Yang
tampak didepan matanya adalah mimpi buruk tadi malam. Bahkan kini pikirannya tertuju pada
makna mimpi yang pasti berakibat buruk bagi anaknya Mardian.

“Kau melamun lagi, Lasmi?"

“Eh aku memikirkan arti mimpi tadi malam, Kakang Darwis."

“Kan sudah aku katakan, jangan kau pikirkan lagi arti mimpimu tadi malam. Yang harus kita
pikirkan sekarang ialah pekerjaan apa yang akan kita berikan pada anak kita Mardian agar dia tidak
berpikir lagi untuk kembali ke tanah Jawa, agar dia betah tinggal di desanya ini."

224

“Yang mengirim dia ke tanah Jawa kan Kakang sendiri. Bukan aku."

Maksudku dia aku kirim ke sana agar dia bisa melihat negeri orang. Dia bisa melihat cara orang
bertani di sana. Maksudku, agar pikirannya terbuka untuk mengembangkan pertanian di desa ini.”

“Tapi tidak pernah kita tahu apa yang telah dia lihat di sana. Kecuali berfoya-foya bersama
temantemannya di tanah Jawa." Lasmi bicara sambil cemberut. Sedangkan nada bicaranya
memojokkan suaminya, Juragan Darwis, yang dia anggap sudah terlampau jauh memanjakan anak
mereka satusatunya itu.

“Kitakan tidak pernah tahu dengan pasti. Apakah dia berfoya-foya di sana ataukah tidak.” Juragan
Darwis menjawab kata-kata istrinya dengan lemah lembut.

“Memang kita tidak pernah tahu dengan pasti apa yang dia kerjakan di sana, Kakang. Tapi setiap
hari dia selalu mengelus-elus senjata berburu yang dia bawa dari tanah Jawa.” Lasmi kembali
menyanggah kata-kata suaminya dengan ketus.

“Apa salahnya kalau dia mengelus-elus senjata berburunya. Nanti dia akan mengelus-elus istrinya."

“Itukan nanti, Kang. Bukan sekarang!”


“Bukankah kita menyuruh dia pulang untuk mengawinkan dia dengan gadis di sini, Lasmi? Dengan
Farida anak Raisman misalnya?”

"Iya, Kang. Tapi kan Raisman belum datang untuk melamar anak ldta?”

“Tapi kan Kakak Raisman sudah datang kepada kita? Dan lagi dulu Raisman pernah bicara pada kita

225

tentang hubungan anak kita dengan anaknya yang bernama Farida itu.”

”Aah Kakang. Pikiran orang kan bisa berubah.“

Lasmi menjawab sekenanya. Kata-kata Lasmi itu memicu Juragan Darwis untuk menjawab dengan
tegas.

"Memang betul istriku. Tapi masalah melamar anak orang tidak bisa diubah-ubah begitu saja. Ada
syaratnya untuk membatalkan suatu lamaran. Dan pembatalan itu belum pernah kita terima secara
resmi dari Raisman." Suasana mulai memanas antara Juragan Darwis dan istrinya sehingga Lasmi
memilih diam daripada menjawab kata-kata suaminya. Sedangkan Juragan Darwis masih
bersemangat menunggu jawaban istrinya.

"Kenapa kau diam, hah? Hayolah jawab kata-kataku tadi!”

“Aku tidak ingin berdebat. Kakang. Lebih baik kita pikirkan apa yang hams dikerjakan oleh Mardian
selama anak itu berada di sini, di desa ini"

"Kan dari tadi aku sudah katakan padamu, lebih baik kita pikirkan apa yang pantas dikerjakan anak
kita. Tapi jawabanmu lain.“

"Ya. Aku yang salah."

Suasana kembali sunyi. Juragan Darwis sedang hanyut dengan pikirannya sendiri. Begitu pula
Lasmi. Keduanya tidak berkata-kata agak lama. Sampai pada suatu ketika Juragan Darwis membuka
pembicaraan.

“Besokpagi suruh Mardian kesawah. Suruh dia mengawasi orang-orang yang sedang bekerja di
sawah kita"

“Ya. Besok akan aku suruh dia ke sawah.“

226

Ketika Lasmi bertemu dengan anaknya yang sedang melihat kuda-kuda yang dibersihkan oleh
pengurus kuda-kuda Juragan Darwis, Lasmi menyampaikan pesan suaminya kepada Mardian. Tapi
jawaban Mardian acuh tak acuh saja. Bahkan anak itu lebih mementingkan urusannya
dibandingkan apa yang disuruh oleh Juragan Darwis.

“Mardiaaan! lni Ayahmu yang menyuruhmu ke sawah besok pagi. Bukan Ibumu..." Lasmi bicara
pada anak semata wayang itu dengan lemah lembut.

“Tapi aku besok pagi sudah ada janji, Bu."

"Dengan siapa kau berjanji, Mardian?"

“Besok pagi aku sudah berjanji dengan tuan Rene untuk pergi berburu, Bu."

“Oh, dengan kepala onderneming itu?"

“Ya, Bu. Tolong sampaikan pada Ayah.”

“Kau sajalah yang bicara pada Ayahmu. Jangan Ibu.“

“Ibu sajalah. Jangan aku. "

“Kau yang harus bicara pada Ayahmu. Itu Ayahmu sedang ada di sana."

"Ibu saja. Kan yang mengatakan itu padaku Ibu, bukan Ayah.” Mardian bicara masih dalam suasana
acuh tak acuh sehingga membuat Lasmi jadi heran.

“Kok sejak kau kembali dari tanah Jawa kau jadi begini, Mardian?"

“Orang-orang Belanda juga begitu pada anak-anak mereka, Bu. Jadi Ibu tidak usah cemas.”

“Orang-orang Belanda? Jadi selama kau di sana kau bergaul dengan orang-orang Belanda?" Lasmi
mulai curiga pada anaknya.

227

“Selama aku di tanah Jawa aku memang bergaul dengan orang-orang Belanda. Dan banyak hal
yang menguntungkan aku bergaul dengan mereka dibandingkan aku bergaul dengan orang-orang
kita.” Mardian mulai bicara serius pada Ibunya. Sedangkan Lasmi hanya termenung melihat sikap
anaknya yang jauh berubah.

“Ibu tidak usah cemas. Aku sudah banyak tahu tentang hidup yang sebenarnya dari orang-orang
Belanda itu. Bukan cara hidup yang ditempuh oleh orang-orang kita. Apalagi orang-orang di desa
ini.”

“Ibu tidak mengerti anakku. Yang jelas, kau disuruh pulang oleh Ayahmu supaya kau menikah
dengan orang desa kita di sini."

“Aku sudah tahu. Dan aku sudah siap untuk menikah dengan orang di sini."
“Kau sudah melihat calon istrimu, Mardian?"

“Sudah. Anak Pak Raisman"

“Dari mana kau tahu hal itu?”

“Hal itu bukan lagi rahasia Ibu. Semua orang juga sudah tahu rencana perkawinanku dengan anak
Pak Raisman." Mardian tersenyum pada Ibunya. Sedangkan basmi hanya terdiam memandang
anak satu-satunya ini.

"Aneh mengapa orang-orang desa ini tahu akan hal ini? Padahal berita ini masih rahasia. Berita ini
belum diberi tahukan kepada mereka.” Lasmi bergumam dalam hatinya. Padahal Lasmi tidak tahu
dan tidak sadar. Berita ini bisa saja tersebar, karena dari mulut orang-orang yang ada di sekitar
dirinya.

“Bagaimana, pak. Sudah selesai kuda hitam ini dirawat?"

228

“Oh, Den Mardian akan memakai kuda tunggangan ini, Den?"

“Kalau aku berdiri di sini, berarti aku akan memakai kuda tunggangan ini."

“Kalau begitu jangan si Elang Hitam ini, Den. Kakinya agak sakit. Lebih baik Den Mardian memakai
kuda Gagak Merah ini, keadaannya baik Larinya pun tidak kalah dengan si hitam ini."

“Yaah bagiku yang mana saja asal dia tidak rewel di jalan."

“Oh baik, Den. Tapi akan saya pasang dulu pelana kuda ini.

“Pasanglah, cepat."

"Baik, Den Mardian.” Dengan berlari-lari kecil pengurus kuda Juragan Darwis yang bernama Batung
dan sudah tidak muda itu mengambil pelana kuda di kandangnya yang tidakjauh dari tempat dia
mengurus kuda-kuda tadi. Lalu dengan cepat pula dia sudah sampai di dekat si Gagak Merah
sambil menenteng pelana kuda. Dengan cepat dia pasang pelana kuda itu pada punggung Gagak
Merah. Setelah selesai, dia mempersilahkan Mardian menaiki kuda yang. bernama Gagak Merah.

“Silakan, Den. Ini tali pelana si Gagak Merah." Pengurus kuda-kuda tunggangan Juragan Darwis
yang bernama Batung memberikan tali kuda kepada Mardian dengan sikap hormat. Sedangkan
Mardian mengambil tali pelana kuda itu dengan acuh tak acuh. Lalu dengan sekali lompat Mardian
sudah sampai di atas punggung kuda yang sebentar lagi akan membawa pemuda itu keluar rumah.

"Mau kemana kau, Naaak?"

229
“Aku mau keluar sebentar, Bu. Bosan aku di rumah terus."

“Hati-hati di jalan, Nak."

“Ya, Bu!" Lalu dalam sekali sentakan Mardian sudah terbang bersama kuda Gagak Merah milik
orang tuanya. Dan dalam sekejap sosok anak muda dan kuda Gagak Merah sudah semakin jauh
dan jauh.

“Aah, anak itu tidak pernah perlahan-lahan menunggang kuda.”

“Yaaah, anak muda sekarang memang begitu, Juragan istri."

Kata-kata Batung tidak diperdulikan oleh Lasmi. Dia masih risau memikirkan sikap Mardian yang
akhir-akhir ini tidak ada sopan-santun terhadap orang tua. Sedangkan Mardian dan kuda Gagak
Merah sudah hilang dari pandangan mata. Yang tampak hanyalah warna pohon-pohon dengan
dedaunan hijau menyelimuti seluruh jalan desa, membuat sejuk suasana sehingga kerisauan yang
dialami oleh
keluarga Juragan Darwis seolah-olah tidak pernah terjadi.

230

TUJUH BELAS

Malam baru saja merayap di seluruh pelosok desa. Suasana tampak agak temaram karena Bulan
sabit begitu malas bersinar. Sedangkan udara dingin sudah menyelimuti desa sejak sore tadi.
Puncak Gunung Merapi yang tadi siang tampak bersih ditempa sinar matahari, kini mulai remang-
remang disiram cahaya bulan sabit. Keremangan malam itu juga menyerap di selumh Desa llir
sehingga seluruh penduduk desa malas keluar rumah. Mereka lebih suka meringkuk di atas tempat
tidur untuk menghindari udara dingin, bahkan teramat dingin.

Di rumah Raisman suasana juga terasa sepi. Karena Raisman dan penghuni rumah yang lain lebih
memilih tidur daripada bicara di ruang tamu. Apalagi tidak ada yang akan dibicarakan.

231

Di atas tempat tidur, Raisman tidak bisa meme-jamkan matanya. Pikirannya masih saja pada
persoalan keris pusaka yang menjadi milik keluarganya. Karena keris itu sekarang tidak ada isinya
lagi sehingga keris itu tidak berguna sama sekali bagi Raisman dan keluarganya. Dengan malas
Raisman bangkit kembali dari tidurnya. Dia buka peti kecil tempat menyimpan benda pusaka itu.
Dia ambil dan dia amati keris itu dengan seksama. Mulai dari ujung sarung sampai kepangkalnya.
Setelah lama lalu dia letakkan kembali keris itu pada tempat semula. Dan perlahan-lahan kembali
Raisman duduk di tepi tempat tidur.

Pikiran laki-laki itu masih tertuju pada makhluk halus bemama Mbah Kober yang selama ini
sebagai penghuni keris pusaka yang ada dalam peti itu. Bahkan selama ini pun Mbah Kober bisa
diminta bantuannya untuk kepentingan keluarga Raisman, tapi sekarang semua itu sudah berlalu.
Karena Mbah Kober sudah tidak bisa datang lagi. Perjanjian Mbah Kober dengan dunia fana ini
sudah berakhir.

Hanya saja Raisman tidak mengerti kenapa Mbah Kober tidak bisa kembali hadir dalam keris
pusaka itu. Yang diketahui oleh Raisman hanyalah, bahwa Mbah Kober tidak mau datang bila
dipanggil oleh Raisman.

Tapi Raisman tidak begitu kecewa karena urusannya dengan keluarga Maryamah sudah dia
lupakan. Bahkan bagi Raisman persoalan itu sudah berlalu. Hanya kini anaknya Farida masih belum
mau diajaknya berunding untuk masa depan gadis cantik itu sehingga Raisman merasa kecewa.
Memang

232

terkadang terlintas di pikirannya, bahwa dia ingin mempergunakan kekerasan kepada Farida.

Suasana itu selalu mengganggu Raisman sehingga perlahan-lahan dia berdiri dan menuju pintu
kamar.

Di luar kamar Raisman, Farida juga tidak bisa tidur. Dia keluar dari dalam kamarnya dan duduk di
ruang tengah rumah. Gadis itu tampak kusut pikirannya. Sudah beberapa kali Ayahnya datang
padanya membicarakan calon suami untuknya. Tapi Farida tidak pernah tertarik. Walaupun Farida
belum tahu siapa calon suaminya dan dimana dia tinggal. Bagi Farida yang ada dalam hatinya
hanyalah Sembara. Lain dari pemuda itu tidak pernah dia tertarik walaupun pemuda yang diajukan
Ayahnya adalah pemuda kaya.

Tiba-tiba pintu kamar Ayahnya terbuka perlahan-lahan sehingga Farida dibuatnya terkejut. Ketika
Raisman keluar dari dalam kamar, Farida menatap Ayahnya agak lama. Lalu perlahan-lahan gadis
itu menundukkan kepalanya.

“Belum tidur kau, Farida?”

“Belum, Ayah." Farida menjawab perlahan-lahan. Sedangkan Raisman berjalan mendekati


anaknya. Lalu setelah dekat dia berhenti lalu duduk di atas tikar yang ada di depan anaknya.

Suasana kembali sepi. Kedua Ayah dan anak itu sedang hanyut dalam pikiran masing-masing.
Tibatiba Raisman berkata pada Farida.

Kata-kata Raisman membuat Farida agak terkejut. Tapi dengan cepat dia hilangkan rasa terkejutnya
itu.

233

“Aku lebih suka kau masih bangun tengah malam begini sehingga apa yang akan aku bicarakan
padamu bisa kau terima dengan pikiran jernih. Dan kalau sudah begitu, aku akan mengatakan
padamu, siapa calon suamimu, siapa orang tuanya dan dimana dia tinggal. ” Farida mulai gelisah
lagi mendengar kata-kata Ayahnya karena Farida sudah tahu apa yang akan dibicarakan Ayahnya
kepadanya. Sekarang apakah dia akan tetap diam mendengarkan kata-kata Ayahnya yang
sebenarnya bertentangan dengan hati kecilnya? Ataukah dia membantah? Tapi bila dia
membantah, tidak akan pernah lagi Ayahnya akan mau mengakuinya sebagai anak. Karena
membantah adalah suatu perbuatan dosa terhadap orang tua sehingga Farida lebih memilih diam
daripada dia menjawab kata-kata Ayahnya.

Keadaan kembali sunyi. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Raisman maupun dari mulut
Farida sehingga yang terdengar hanya hembusan angin semilir yang menambah dingin suasana
malam. Tibatiba dengan perlahan Raisman mulai bicara lagi kepada anaknya.

“Farida. Di Desa Baru ada seorang pemuda yang baru saja pulang dari tanah Jawa. Pemuda itu
bukan orang yang belum Ayah kenal. Kedua orang tua pemuda itu sudah sangat Ayah kenal. Kedua
orang tuanya sangat kaya. Bahkan kalau dibandingkan dengan kekayaan kita. Maka kekayaan kita
tidak ada arti bagi mereka." Di sini Raisman berhenti bicara. Dia ingin melihat sikap anak gadisnya.
Namun Farida tetap diam. Dia tidak melakukan gerakan apa-apa yang membuat Ayahnya curiga.
Walau dalam hatinya

234

telah bergejolak rasa menampik yang tidak bisa dia katakan pada Ayahnya. Farida tetap pada
kekasihnya Sembara. Apalagi pemuda itu telah menyelamatkan hidupnya dari cengkraman Mbah
Kober, piaraan Ayahnya. Bahkan Mbah Kober itu piaraan turun-temurun dari nenek moyang pihak
Ayahnya.

Melihat anak gadisnya diam saja, Raisman berpendapat, bahwa Farida ingin mendengarkan
ceritanya lebih lanjut sehingga Raisman meneruskan ceritanya.

“Farida, nama pemuda itu Mardian. Sedangkan Ayahnya bernama Juragan Darwis dan ibunya
bernama Lasmi. Dia anak satu-satunya dari pasangan suami-istri itu. Rumah mereka terletak di
Desa Baru." Di sini Raisman berhenti bicara. Dia memandang anaknya dengan wajah yang berbinar.

“Mardian dari Desa Baru…?" Farida bergumam mendengar nama Mardian disebut oleh Ayahnya
sehingga Raisman bertambah antusias menceritakan tentang keadaan keluarga kaya itu.

“Betul, anakku. Nama anak Juragan Darwis itu Mardian. Apakah kau pernah kenal dengan dia?”
Farida hanya menggelengkan kepalanya. Dalam hati Farida terbayang wajah Sembara yang selama
ini selalu ada dalam hatinya. Wajah Sembara yang selalu tampak melindungi dirinya. Sedangkan
Raisman tambah semangat meneruskan cerita.

“Rumah yang terbagus dan terbesar di Desa Baru itu adalah rumah Juragan Darwis. Bahkan besok
siang, kalau bibimu datang kemari, aku akan merundingkan dengan bibimu rencana kita melamar
Mardian untuk calon suamimu." Kata-kata Raisman

235
keluar dengan tenang dan senyum puas. Sedangkan bagi Farida, kata-kata itu bagaikan sambaran
petir yang maha dahsyat sehingga dia harus menekan kuat-kuat ke lantai agar dirinya tidak terkulai
pingsan.

Suasana kembali sunyi, karena Farida tidak ada reaksi sama sekali.

“Jadi kau tenang-tenang saja, anakku. Besok aku akan berunding dengan Bibimu, Rosmina." Farida
tetap diam sehingga dengan malas Raisman berdiri dan melangkah pergi ke kamarnya melepaskan
lelah. Tugasnya menyampaikan maksud baik kepada anaknya, Farida, sudah selesai. Bahkan
dengan diamnya Farida, berarti sangat setuju dengan kata-kata Raisman tadi.

Ketika suasana di ruang tengah itu kembali sunyi, maka perlahan-lahan terdengar isak tangis yang
tertahan oleh Farida. Bahkan makin lama isak tangis itu makin menjadi-jadi sehingga Farida segera
berlari masuk ke dalam kamarnya untuk menumpahkan segala rasa kecewa yang sedari tadi
berusaha dia tahan. Dia tidak mau kalau tangisnya akan terdengar oleh Raisman sehingga Ayahnya
akan curiga padanya.

Di kamar yang cukup luas, Farida menumpahkan segala rasa kecewa melalui tangisnya. Dalam isak
tangis itu, Farida merindukan belaian seorang ibu. Andaikata Ibunya yang bernama Duhita masih
ada, andaikata ibunya tidak lebih dulu pergi mendahuluinya, tentu hal ini tidak akan terjadi.
Bahkan Ibunya akan membela dia dari keinginan Ayahnya, Raisman, tentang perjodohan yang
dirasakan Farida sangat berat sebelah ini. Farida tidak diberi kesem-

236

patan untuk memilih. Farida tidak diberi kesempatan untuk bicara. Dan memang sejak dahulu
perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Mereka tidak pernah diberi kesempatan bicara.
Perkawinan selalu ditentukan oleh orangtua masing-masing. Karena sejak dahulu memang begitu
aturan yang sudah terpatri. Tidak bisa diubah lagi.

Tapi kini semua tentang Ibunya Duhita sudah berlalu. Semua itu tinggal kenangan sehingga bila ada
yang tidak bisa dia selesaikan sendiri, tidakada tempat dia mengadukan nasib, kecuali Sembara.
Tapi apa hendak dikata Persoalan yang timbul pada dirinya adalah persoalan antara dia dan
Sembara sehingga Farida hanya bisa tenggelam dalam tangis yang dia rasakan sendiri.

Di kamar Raisman. laki-laki kaya itu juga tidak bisa memejamkan matanya. Tapi dia bukan karena
menangis. Dia malah tersenyum-senyum memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya, pada
keluarganya dengan keluarga Juragan Darwis. Pasti Juragan Darwis beserta istrinya akan tersenyum
simpul mendengar dia melamar anak Juragan Darwis untuk disandingkan dengan anaknya. Karena
Farida adalah seorang gadis kembang di desanya. Bahkan di seluruh desa yang ada di kaki Gunung
Merapi. Tidak ada gadis yang bisa menandingi kecantikan Farida baik dari wajah, sampai pada
tubuh tinggi semampai dan kulit yang kuning sehingga dia merasa bahagia bisa mempunyai anak
seperti Farida.

Pikiran Raisman masih terus pada rencana dia dan Rosmina pergi melamar anak Juragan Darwis
sehingga ketika malam sudah berganti dini hari, baru
237

dia tertidur karena keletihan. Ketika pagi sudah menyambut di ambang pintu rumahnya, bahkan di
seluruh Desa Ilir, Raisman belum juga bangun. Dia masih tertidur pulas di kamar. Sedangkan orang-
orang di rumah Raisman sudah sibuk mengerjakan peker-jaan mereka masing-masing.

Pintu kamar Farida tampaknya masih belum terbuka. Gadis itu juga masih tertidur pulas di
kamarnya sehingga orang-orang yang bekerja di rumah Raisman bertanya-tanya. Kenapa Ayah dan
anak itu belun juga bangun. Namun mereka takut untuk membanguan kedua Juragan mereka.
Mereka takut kena damprat Raisman yang cepat naik darah.

Suasana rumah yang dulu begitu gembira, kini tidak ada tawa sama sekali. Apalagi sejak Farida
sakit, lalu ketika Farida dapat disembuhkan oleh Sembara pun, suasana murung selalu menyelimuti
rumah besar berhalaman luas itu.

Ketika hari sudah beranjak siang, pintu kamar Raisman terbuka perlahan-lahan. Itu karena
Rosmina sudah sampai di sana dan mengetuk pintu kamar adiknya. Sambil berjalan malas ke ruang
tengah, Raisman menatap kakaknya, Rosmina, yang siang itu sudah tampak rapi.

Ketika keduanya sudah duduk di atas tikar pandan yang ada di ruang tengah, Rosmina bertanya
pada adiknya.

"Kenapa kau bangun siang begini, Raisman? Apakah kau tidak tidur tadi malam?”

“Mataku tidak bisa dipejamkan, Mbak Yu. Baru menjelang pagi aku bisa tidur.” Raisman menjawab

238

sambil menguap. Pertanda sisa-sisa kantuknya masih terasa.

“Apa yang kau pikirkan sampai kau tidak bisa tidur? Memikirkan calon menantumu?” Rosmina
bertanya sambil menyelidik.

“Aku memang memikirkan calon menantuku. Bahkan aku telah memikirkan berapa malam pesta
yang akan kita gelar pada hari perkawinan anakku nanti." Raisman mulai sigap berunding dengan
kakaknya sehingga Rosmina pun semangat mendengarkan kata-kata Raisman.

“Kalau aku menginginkan pesta selama empat puluh hari empat puluh malam, biar orang-orang
desa tahu bahwa kita betul-betul kaya sehingga kita memang pantas berbesan dengan Juragan
Darwis.”

“Sebaiknya pesta itu kita adakan tujuh hari tujuh malam saja." Raisman bicara bersemangat.

“Tujuh hari tujuh malam pun sudah lebih dari cukup. Karena orang tidak pernah mengadakan
pesta selama itu, kecuali perkawinan Mbak Yu dan dan perkawinanku dulu." Raisman menambahi
katakatanya.
“Yaaah, baiklah." Rosmina menjawab agak lesu.

Nah, sekarang bagaimana caranya kita pergi melamar anak Juragan Darwiis itu, Mbak Yu?”

“Terlebih dahulu akan aku jajaki dulu kemungkinannya. Apakah mereka bersedia kita datangi.
Kalau ya, hari apa mereka mau menerima kita. Setelah itu baru kita berangkat ke sana."

“Oh, aku pikir bisa sekarang kita berangkat ke sana.”

239

“Aneh. Kau tampak sudah tidak sabar untuk mempertemukan anakmu dengan anak Juragan
Darwis itu, Raisman."

"Akhir-akhir ini Farida sering mendapat gangguan dari pemuda-pemuda desa ini. Bahkan juga dari
pemuda-pemuda di luar Desa ilir ini sehingga aku berpendapat, sebaiknya Farida cepat-cepat
menikah sehingga tidak ada lagi yang mengganggu dia."

“Oooh begitu? Kenapa baru sekarang kau bicara?"

“Karena aku pikir hal ini akan berhenti bila kita sudah mencarikan jodoh untuk Farida."

“Orang-orang seperti itu harus diberi pelajaran. Kalau tidak, mereka akan semakin kurang ajar
pada kita."

“Yaaah, sudahlah. Aku akan menunggu berita dari Mbak Yu, Rosmina saja.”

"Kau tunggulah, besok siang. Aku akan memberikan kabar lagi padamu, Raisman.”

“Baik, Mbak Yu Rosmina. Akan aku tunggu berita tentang keluarga Juragan Darwis besok siang.”

Perlahan-lahan Rosmina bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke belakang rumah. Di sana dia
melihat-lihat halaman belakang yang penuh dengan jemuran padi. Sementara Raisman tampak
kecewa karena keinginannya hari itu tidak bisa terkabul. Padahal laki-laki hampir separuh baya itu
sudah tidak tidur semalaman memikirkan yang akan terjadi hari ini. Hari yang dia anggap sangat
berarti bagi dirinya dan bagi anaknya, Farida.

240

DELAPAN BELAS

Pagi itu sangat cerah. Pemandangan dari rumah Juragan Darwis ke arah Gunung Merapi terlihat
jelas. Celah-celah gunung yang dihimpun oleh beberapa batu padas tampak menonjol sehingga
hutan yang menyelimuti lereng lain dari gunung itu menambah indahnya suasana gunung yang
tidak berkabut.
Di halaman belakang rumah Juragan Darwis tampak ada sedikit kesibukan karena anak mereka
yang bernama Mardian sedang bersiap-siap untuk pergi berburu bersama dengan orang Belanda
yang bernama Rene Van Denberg.

Salah satu kuda pacu yang dimiliki oleh Juragan Darwis sudah syarat dimuati barang-barang
keperluan berburu Mardian. Sedangkan pengurus kuda Juragan Darwis masih membawa barang-
barang lain yang akan dibawa oleh Mardian.

241

“Sudah. Tidak usah dimuati lagi dengan barang-barang yang tidak perlu, Sompang."

“Kata Den Mardian ini juga perlu, Juragan.” Dengan sopan pengurus kuda-kuda Juragan Darwis
yang bernama Sompang menjawab kata-kata majikannya.

“Tapi panci ini kan tidak perlu dibawa, Sompang?"

“Saya kurang begitu tahu, Juragan. Saya hanya disuruh memuatkan panci ini ke pelana kuda.”

“Ah! Bagaimana?" Juragan Darwis mengomel mendapat jawaban yang tidak memuaskan. Lalu
dengan keras dia memanggil anaknya.

“ Mardiaan? Mardiaaaan!”

“Ya, Ayaah?" Terdengar jawaban Mardian dari kejauhan.

“Kemari sebentar!” Kembali Juragan Darwis menjawab dengan lantang dan keras. Sedangkan dari
kejauhan tampak Mardian berjalan bergegas menemui Ayahnya. Setelah dekat Mardian bertanya
pada Juragan Darwis.

“Ada apa Ayah memanggil aku?”

“Kamu kan mau pergi berburu. Lalu untuk apa membawa panci ini?" Juragan Darwis bertanya
dengan nada sedikit aneh.

“Untuk memasak makanan, Ayah.”

“Makanan? Bukankah kau membawa bekal untuk berburu, Mardian?"

“Kalau tiba-tiba aku bermalam, tentu aku harus memasak makanan, Ayah."

“Bermalam? Kau mau bermalam?”

“Iya, Ayah."

242
“Tidak usah. Kau tidak perlu bermalam Mardian. Kalau kau tidak berhasil menangkap buruanmu,
kau pulang kembali, lalu keesokan harinya kau bisa lanjutkan perburuanmu.”

“Kan kalau berburu tidak bisa ditentukan satu hari, Ayah. Bisa dua hari. Bahkan bisa sampai satu
minggu.

“Tidak perlu. Kau tidak boleh menginap dalam hutan. Apalagi kau tidak begitu tahu seluk-beluk
hutan di sini.”

“Yah, tidak usah dimuatkan panci itu, Sompang!”

Mardian bicara dengan nada kecewa.

“Ya, Den..."

Sedangkan Sompang mengikuti perintah yang disampaikan majikannya.

“Nah, begitu kan beres. Jadi kuda ini juga tidak terlampau banyak membawa beban.”

“Ya, Ayah...” Mardian menjawab dengan nada masih kecewa.

“Nah, apa lagi yang akan kau bawa?"


"Tidak ada, Ayah."

“Kalau begitu, pergilah. Semoga kau bisa membawa binatang buruanmu ke rumah."

“Ya, Ayah...”

“Dan kau harus menjaga kuda ini. Karena kuda ini adalah kuda kesayanganku."

“Ya, Ayah...”Dengan cepat Mardian melompat ke punggung kuda tinggi besar dan berwarna hitam.
Lalu dalam satu kali sentakan kuda itu sudah berlari menderu memecahkan kesunyian pagi.
Bahkan hanya dalam tiga kali tarikan nafas kuda

243

hitam yang bernama Bulan Sabit sudah hilang di tikungan jalan.

Mendengar deru kuda yang barlari kencang, istri Juragan Darwis yang bernama Lasmi berlari
keluar. Lalu dia berhenti di samping suaminya.

“Siapa yang menunggang kuda itu, Kakang Darwis?"

“Mardian."

“Oh, sudah berangkat dia.”


“Sudah."

"Ah, pasti dia kecewa sehingga makanan yang aku sediakan tidak dimakannya.”

“Tadi aku melarang dia untuk menginap dalam perburuannya nanti. Mungkin dia kecewa karena
aku larang.”

“Seharusnya Kakang tidak melarang dia. Kakang harus membiarkan dia menginap dalam
perburuan. Bukankah dia harus bersenang-senang, Kakang?”

“Bukankah kita menyuruh dia pulang bukan untuk bersenang-senang. Tapi untuk mencarikan
jodoh untuk dia, Lasmi. Dan jodoh untuk Mardian sudah di ambang mata. Bibi Farida sudah
beberapa kali menanyakan tentang keadaan Mardian pada tetangga.”

“Yah, terserahlah. Aku hanya khawatir, kalau-kalau Mardian kecewa dengan larangan Kakang tadi."

“Biar saja. Dia harus tahu, bahwa kita melarangnya karena sayang. Bukan karena benci pada dia."

“Aku khawatir: Kalau dia akan berbuat yang tidak-tidak lagi. Karena kecewa pada kita.”

“Tidak mungkin. Tidak mungkin dia akan berbuat aib seperti dulu lagi sehingga untuk menutupi
aib itu

244

kita mengirimnya pergi ke Batavia. Sedangkan anak gadis yang telah dicemarkan kehormatannya,
terpaksa kita kawinkan dengan salah seorang pegawai kita dengan biaya yang mahal."

“Yaah, sebaiknya kita bicara di dalam saja. Nanti di sini didengar oleh para pekerja ini.”

“Ya ..... " Kedua suami-istri itu melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Sompang terus
membereskan barang-barang yang tidak jadi dibawa oleh Mardian. Pembicaraan kedua majikannya
memang dia dengar. Tapi tampaknya Sompang tidak peduli dengan apa yang dibicarakan oleh
Juragan Darwis dan istrinya, Lasmi. Karena dia memang tidak mau tersangkut dalam hal-hal buruk
yang akan terjadi.

Setelah kedua suami-istri itu sampai di rumah, mereka duduk di atas tikar yang terhampar di ruang
tengah. Bahkan di samping tikar biasa, ada lagi tikar permadani yang terhampar bagus di ruang
tengah.

Permadani semacam itu jarang sekali dimiliki oleh orang-orang di desa mereka sehingga hanya
orang-orang berada saja yang memiliki tikar seperti itu. Bahkan Raisman dari Desa Ilir pun tidak
mempunyai tikar seperti itu. Di samping harganya mahal, memesannya pun harus jauh ke pulau
Jawa.
Kedua suami-istri itu duduk termenung, Lasmi hanyut dengan kegelisahannya. Sedangkan Juragan
Darwis sedang berpikir apa yang harus dia lakukan, agar anak mereka semata wayang itu tidak
berulah seperti dulu lagi.

245

“Seharusnya Kakang Darwis tidak bertindak seperti tadi. Karena aku khawatir Mardian akan
berbuat nekad lagi."

“Kau terlampau berpikir yang bukan-bukan. Lebih baik kita tegas-tegas saja pada dia. Bukankah
Mardian sudah banyak berubah, Lasmi? Mardian sudah banyak bergaul dengan orang-orang
Belanda sehingga sikapnya pasti jauh berbeda bila dibandingkan dengan dia dulu."

“Ya, memang. Tapi aku hanya khawatir, Kakang. Hanya itu."

“Sudahlah. Yang penting sekarang, kalau Mardian pulang kita katakan pada dia, bahwa sebentar
lagi dia akan menikah dengan gadis pilihan kita. Gadis itu tidak kalah cantiknya dengan gadis-gadis
yang pernah dia jumpai di tanah Jawa.”

“Ya. . .. tapi kapan orang tua Farida datang kemari, Kakang?"

“Mungkin besok atau lusa." '

“Kalau tidak... bagaimana?"

"Ya kita harus tetap menunggu mereka, istriku….."

“Bagaimana kalau kita saja yang ke rumah Farida."

“Kita ke rumah Farida? Aneh. Masak harus kita ke rumah mereka. Bukankah seharusnya mereka
yang datang melamar anak kita Jangan melanggar adat. Lasmi."

“Bukan melanggar adat, Kakang Darwis. Hanya kita mempercepat urusan ini saja.”

“Tapi peraturan yang sudah ada sejak jaman nenek moyang kita dahulu, jangan kita langgar."

“Yaaah. terserah Kakang sajalah.”

246

Suasana kembali diam. Suasana kembali sunyi. Kedua suami-Istri itu sedang hanyut dengan pikiran
mereka masing-masing. Sementara Mardian masah memacu kudanya secepat tadi.

Pohon-pohon di sekitar desa terasa perlahan-lahan ditiup angin. Suasana menjadi sunyi. Sesunyi
hati kedua orang tua Mardian.

247
248

RIWAYAT HIDUP

Lahir di Bukittinggi, 9 Oktober 1949. Dari kecil Asmadi Sjafar hidup di lingkungan keluarga tentara.

Ketika berumur empat tahun, ia masuk Taman Kanak Kanak di TK Xaverius, Bukittingi. Lalu pindah
ke TK Kartika di kota Padang.

Ia menempuh Sekolah Rakyat berpindah-pindah. Dari kota Padang Panjang di Sumatera Barat,
pindah ke kota Sidikalang, Sumatera Utara. Dari sana pindah lagi ke kota Kabanjahe, Sumatra
Utara. Kemudian pindah lagi ke kota Kotacane di Daerah Istimewa Aceh. Ia pindah lagi ke Tanjung
Selamat di Medan Sumatra Utara. Dan akhirnya menyelesaikan Sekolah Rakyat di kota Padang
tahun 1960.

249

Sekolah Menengah Pertama diselesaikannya di SMP Desa Putera di Lenteng Agung Jakarta.
Kemudian ia masuk ke SMA Pangudi Luhur Jakarta, dan menyelesaikan SMA di SMA Don Bosco
Padang pada tahun 1968, jurusan Ilmu Pengetahuan Alam.

Pernah mengikuti kuliah pada pendidikan Teater dan Film di Jakarta.

Tahun 1972 sampai sekarang bergabung dengan grup Teater Remaja Jakarta. (Tahun 1975 grup ini
adalah salah satu grup senior yang ditetapkan oleh Dewan Kesenian Jakarta).

Ia aktif menulis untuk naskah-naskah panggung, radio, televisi, skenario film, sinetron.

Ia pernah bermain hampir di semua panggung di seluruh Indonesia.

Ia menjadi sutradara panggung maupun sutradara sandiwara radio.

Pernah pula beberapa kali ia memenangkan lomba penulisan naskah panggung tingkat nasional.

Sekarang penulis bekerja pada Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen
Pendidikan Nasional.

250

Edited by Mujahid Ilmu


S-book by koh Awie Dermawan
E-book by Mujahid Ilmu
Diupload pertama kali untuk member grup fb kolektor ebook
https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/

Anda mungkin juga menyukai