Anda di halaman 1dari 19

BAB IX NILAI BUDAYA & PERILAKU BISNIS DI ASIA TENGGARA

Menelisik budaya dan ekonomi di negara-negara Asia Tenggara akan terlihat memiliki kemiripan filosofi
dan kebijakan ekonomi negara bumiputera atau pribumi di negara-negara tersebut. Dominasi etnis
Tionghoa di bidang ekonomi di negara-negara Asia Tenggara banyak melihat fenomena yang tidak dapat
dilepaskan dari pembahasan budaya. Karena keterbatasan ruang dalam bab ini hanya membahas nilai
budaya dan bisnis beberapa negara Asia Tenggara saja.

NILAI BUDAYA & PERILAKU BISNIS DI SINGAPURA

Singapura adalah masyarakat multi-etnis, Tionghoa sekitar 77%, India sekitar 6%, Melayu sekitar 15%,
dan ekspatriat sekitar 2% (http://geert-hofstede.com). Dari presentasi tersebut terlihat seperti negara-
negara ASEAN lainnya, populasi dominan Singapura adalah Tionghoa, sedangkan di negara-negara
ASEAN lainnya etnis Tionghoa menjadi warga minoritas. Terkait penelitian, dalam diskusi yang
dipaparkan berikut ini, mencoba membanding-kan ekonomi budaya Tionghoa dengan para tetangga
pribumi mereka, khusus dalam masalah Singapura membandingkan ekonomi yang berhubungan dengan
warga Tionghoa dan Melayu.

Perbandingan Warga Melayu dan Tionghoa di Singapura


Penduduk Singapura sebagian besar terdiri dari etnis Tionghoa dan sebagian besar Melayu. Baik orang
Melayu maupun Tionghoa, mereka sama-sama migran bagi Singapura, namun pola-pola mereka
berbeda. Migrasi orang Melayu ke Singapura, bersifat individualistis, kecuali sejumlah buruh kontrak
dari Jawa. Sebaliknya, migrasi kebanyakan etnis tionghoa ke singapura dengan kontrak dlam jumlah
besar terutama pada akhir abad ke 19, baik melalui rekrutmen sukarela maupun yang terkait dengan
utang kepada agen tenaga kerja, kapten kapal atau pengelola rumah-rumah pemondokan di
Singapura. Para migran ini kemudian menjadi anggota kongsi atau kelompok pekerja di bawah
seorang kontraktor. Mereka juga bergabung dengan keluarga atau keluarga pura-pura (quasi-kin),
yaitu orang-orang sekampungnya atau yang berasal dari daerah yang sama atau dialek bahasa yang
sama (Li, 1999).

Tania Murray Li, profesor di fakultas Sosiologi dan Antropologi Sosial di Universitas Dalhousie, Halifax,
Nova Scotia, menjelaskan mengapa mereka tiba di Singapura, membahas tentang kelompok-kelompok
tersebut sebagai pegawai, pekerja upahan. Misalnya pada tahun 1931 hanya 30% orang Melayu yang
terlibat dalam produksi utama, namun demikian juga dengan orang Tionghoa. Menjelang 1959 orang
Melayu pada umumnya tidak lebih buruk dari orang Tionghoa dengan kedudukan mantap mereka
sebagai pegawai orang Eropa (Li, 1999).

Jadi citra kemiskinan orang Melayu sebenarnya merupakan sensasi. Dalam periode sejak tahun 1959,
alokasi pendapatan yang signifikan terbuka antara komunitas Melayu dan Tionghoa. Menurut Tania
Murray Li (1999) paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan pemisahan kemudian pada ekonomi
orang Tionghoa dan orang Melayu di Singapura:

Pertama, faktor struktural dan diskriminasi. Faktor ini disebabkan oleh karena perubahan stereotip-
stereotip etnis. Anggapan umum orang Singapura terhadap orang Melayu adalah mereka yang ingin
membentuk masyarakat berwajah pedesaan, tidak berubah, dan miskin selamanya. Stereotip-stereotip
ini mendorong para perencana kota untuk memindahkan orang Melayu ke wilayah pinggiran agar
mereka dapat terus bertani atau menjadi nelayan dan menempatkan orang Tionghoa yang dianggap
berjiwa wirausaha di pusat kota, meskipun sebenarnya tiga orang orang Tionghoa sebagai pegawai,
bukan pengusaha (Li , 1999). Menurut Li diskriminasi berdasarkan stereotip-stereotip etnis merupakan
faktor umum yang merintangi kemajuan orang Melayu di bidang pekerjaan. Orang Tionghoa
menghargai orang Melayu, menganggap orang Melayu pemalas, atau paling tidak, mereka lebih tertarik
pada kegiatan-kegiatan keagamaan, kesenian, atau sosial dan relatif tidak tertarik pada materi
pendidikan. Iklim membalikkan ini yang membebaskan orang Melayu menjadi calon pengusaha dengan
posisi terbatas (Li, 1999).

Kedua, dimensi-budaya dan ekonomi. Orang Melayu di Singapura memiliki persepsi bahwa orang
Tionghoa memeroleh keuntungan melalui penipuan dalam berdagang, dan hal ini tidak dapat dilakukan
oleh mereka karena keberatan berdasarkan nilai-nilai moral dan agama yang merupakan bagian dari
citra diri para pengusaha Melayu, dan oleh karena itu mereka memusatkan dirinya pada pasar orang
Melayu (Li, 1999).

Heterogenitas Budaya Bisnis Etnis Tionghoa di Singapura

Ng (2006) menjelaskan bahwa bisnis etnis Tionghoa di Singapura dapat menghubungkan ke dalam tiga
kategori tergantung pada perspektif sifat-sifat budaya mereka.

Pertama, kelompok Tionghoa yang sangat berorientasi budaya adalah generasi pertama dan kedua
imigran Tionghoa dari daratan china, dan pandangan mereka sebagai kelompok yang sangat tradisional
dan konservatif. Perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh kelompok pertama ini akan menerima
anggota bukan-keluarga hanya setelah melihat pengabdian mereka dalam jangka waktu yang lama di
perusahaan tersebut. Setiap keputusan akhir bisnis perusahan-perusahaan tersebut pada akhirnya
ditentukan pada keputusan anggota keluarga. Mayoritas tipe dari bisnis etnis Tionghoa ini pada
umumnya kecil dan tradisional. Menurut survei yang dilakukan oleh Kamar Dagang dan Industri China
Singapura (SCCCI), mereka menghabiskan kurang dari 2 persen dari pengeluaran bisnis mereka untuk
menyediakan fasilitas IT (Straits Times, 2004, Nge, 2006).

Kedua, kelompok kedua ini memiliki sejarah panjang dan telah terlibat dalam bisnis-bisnis konglemerasi
besar. Sekalipun perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar saham, kontrol manajemen masih ada
di tangan para pendiri atau anggota keluarga pendiri perusahaan. Perusahaan- perusahaan etnis
Tionghoa kategori kedua terlibat dalam industri mulai dari manufaktur ringan, real estat dan properti,
hotel dan perbankan. Jumlah yang meningkat dari konglemerasi-konglemerasi bisnis besar ini bahkan
menambahkan bisnis mereka dengan merambah ke bisnis teknologi komputer, telekomunikasi dan e-
bisnis (Nge, 2006).

para konglomerat besar etnis Tionghoa di Singapura pada umumnya memperluas operasi bisnis mereka
terutama melalui merger dan akuisisi. Contoh klasiknya adalah United Overseas Bank (UOB) yang
dimiliki oleh Wee Keng Chiang (ayah dari Wee Cho Yaw) dan enam sahabatnya dengan nama United
Chinese Bank (UCB). UCB mengubah nama menjadi UOB pada tahun 1965 kompilasi Wee Cho Yaw
menjadi direktur pengelola. Pada tahun 1971, UOB memperoleh 53 persen saham Chung Khiaw Bank
(CKB) dan kemudian 55 persen saham Lee Wah Bank pada tahun berikutnya. Pada tahun 1974, Wee
Cho Yaw mengambil alih kepemimpinan UOB. Pada tahun 1984 UOB mengambil alih 70 persen saham
Far Eastern Bank. Untuk memperbesar binis perbankannya UOB kemudian mengambil alih 87 persen
saham Bank Industri dan Perdagangan pada tahun 1987. Sebelum tahun 1999, semua bank yang telah
diambil alih di-merger di bawah payung grup UOB. Pada tahun 2002, UOB bersaing dengan
Development Bank of Singapore (DBS), perusahaan negara, untuk mengakuisisi Overseas Union Bank
(OUB), akhirnya UOB muncul sebagai pemenang. UOB menjadi salah satu dari tiga bank besar di
Singapura (Nge, 2006).

Ketiga, kelompok bisnis Tionghoa ketiga di Singapura, memiliki ciri kebalikan dari dua kelompok
sebelumnya, paling tidak berkaitan dengan budaya mereka, dan lebih tidak bergantung pada garis
keuturunan keluarga tradisional. Dengan latar belakang pendidikan Inggris dengan latar belakang
engineering. Mereka mungkin saja sebelumnya bekerja dengan perusahaan-perusahaan multinasional
(MNCS) atau perusahaan-perusahaan pemerintah (korporasi terkait pemerintah / GLCS), dan
selanjutnya mereka keluar dan menjadi rekanan perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya untuk
pergi ke subkontraktor atau pemasok untuk perusahaan-perusahaan tersebut . Bisnis-bisnis utama
mereka di bidang teknologi, e-commerce dan operasi-operasi berbasis pengetahuan (operasi berbasis
pengetahuan) (Nge, 2006).

Model Dimensi Budaya Hofstede

Mengacu pada dimensi budaya model Hofstede, berikut ini skor budaya Singapura:

Pertama, Skor dimensi jarak kekuasaan Singapura tinggi (74) yang sebagian besar didukung oleh budaya
Konfusianisme. Kekuasaan terpusat dan para manajer mengatur sebagai bos mereka. Para karyawan
mengharapkan apa yang harus mereka lakukan. Kontrol yang diharapkan dan sikap terhadap para
manajer perlindungan formal. Komunikasi dilakukan secara tidak langsung dan arus informasi bersifat
selektif.

Kedua, tingkat individualisme masyarakat Singapura rendah (skor 20) menunjukkan pengaruh
Konfusianisme terhadap masyarakat kolektivistik. Komunikasi dilakukan secara tidak langsung dan
harmoni harus dijaga, dan konflik harus dibuka. "Iya" tidak harus berarti "iya. Pertalian memiliki dasar
moral dan ini harus memiliki prioritas lebih tinggi dari tugas. Sikap terhadap orang lain harus menghargai
dan diperuntukkan bagi manajer dan orang-orang yang bergantung pada posisi sangat penting.

Ketiga, tingkat lintas budaya Maskulinitas Singapura ada pada aras "menengah" (skor 48), namun lebih
ke arah sisi feminim, Tampil sederhana dan rendah hati karena hal yang sangat penting. Konflik yang
dihindari dalam kehidupan pribadi juga di tempat kerja dan konsensus adalah yang paling penting.
tingkat penghindaran putaran

Keempat, tingkat penghindaran ketidakpastian Singapura sangat rendah (skor 8). Orang Singapura
menyebut masyarakat mereka sebagai, "Negara baik. Anda akan mendapatkan denda untuk segalanya"

Kelima, Orang Singapura sangat berorientasi jangka panjang (skor 72) sebagai orientasi dari nilai
Konfusianisme (http://geert-hofstede.com).

NILAI BUDAYA & PERILAKU BISNIS DI MALAYSIA

Walau tidak sama dengan jumlah orang Tionghoa di Singapura, jumlah warga Tionghoa di Malaysia juga
cukup signifikan. Perkiraan demografi Malaysia terdiri dari 52 warga Melayu, Tionghoa 30 persen, India
8 persen, dan 10 persen diterima warga di luar tiga kelompok tersebut. Peletz (1999) melihat ada
perbedaan budaya ekonomi dan perilaku bisnis Minangkabau di Negeri Sembilan Malaysia. Berikut ini
akan diberikan gambaran tentang mempelajari budaya Melayu dan Tionghoa di Malaysia.
Perbandingan budaya Melayu dan Tionghoa di Malaysia

Michael G. Peletz, profesor antropologi di Colgate College, mengupas yang mendukung orang Melayu,
Minangkabau dan Tionghoa di Negeri Sembilan Malaysia dengan sangat menarik dari sisi perilaku
budaya ekonomi mereka. Menurut Peletz (1999) warga desa Melayu di Negeri Sembilan sangat
terdorong untuk menangani tanaman terutama untuk dijual karena sistem-sistem kekeluargaan gender
mereka. Setelah perkawinan, seorang pria laki-laki harus pindah ke desa dan lingkungan kelahiran
istrinya. Kemampuan ekonomi dan status sosial serta harga dirinya dirumuskan pada tingkat tertentu
dalam hubungan di antara keduanya menafkahi istri dan anak-anak, membangun rumah untuk istri dan
anak-anak yang biasanya di atas tanah warisan istri, dan memperluas tanah pertanian sang istri. Hak
milik yang diperoleh diumumkan sebagai pencarian suami-istri, tetapi bagian terbesar adalah hak istri
dan anak-anak-anak-anak kompawinan berakhir oleh karena perceraian atau kematian.

Kemudian Peletz (1999) membandingkan perilaku ekonomi orang Melayu Negeri Sembilan ini dengan
perilaku ekonomi Tionghoa. Pertama, pemenuhan kewajiban untuk moyang dan anggota-anggota
keluarga yang lebih luas menjadi penentu kegiatan ekonomi dan etika kewirausahaan di kalangan etnis
Tionghoa. Hal seperti itu kurang terasa kuat dalam kasus Melayu. Kedua, pengembangan kepedulian
yang membudaya ke penyiapan tabungan untuk anak-anak yang mendorong karir ekonomi dan sosial
begitu tinggi di antara orang Tionghoa, namun tidak di kalangan orang Melayu. Ketiga, kepedulian akan
penyelamatan atau pengembangan garis keturunan yang dikembangkan dalam keluarga-keluarga
Tionghoa, namun hal ini tidak terlihat pada orang Melayu di Negeri Sembilan. Kemudian Empat, tidak
ada tradisi kerja sama ekonomi di antara semua anggota keluarga rumah tangga atau keluarga di antara
orang Melayu, seperti kaitannya dengan "perusahaan keluarga" Tionghoa yang menurut Redding
cenderung menjadi "benteng keluarga."

Menurut Ho Khai Leong (2006) selama dua perubahan komunitas bisnis Tionghoa di Malaysia pernah
pada tekanan yang luar biasa untuk bersaing dengan komunitas bisnis Bumiputra lokal dan perusahaan-
perusahaan multinasional di Malaysia. Namun oleh karena kegigihan, keuletan dan strategi mereka,
membuat komunitas Tionghoa bertahan.

Model Dimensi Budaya Hofstede

Mengacu pada dimensi-budaya model Hofstede, berikut ini adalah gambaran budaya Malaysia:

Pertama, dimensi budaya jarak kekuasaan sangat tinggi di Malaysia (skor 100) yang artinya masyarakat
menerima tatanan hirarkis di mana setiap orang menerima hadiah masing-masing tanpa membutuhkan
justifikasi lebih lanjut.

Kedua, individualisme masyarakat Malaysia rendah (skor 26) yang lebih menunjukkan masyarakat
kolektivis.

Ketiga, Maskulinitas masyarakat Malaysia sangat rendah (skor 26) menunjukkan nilai dalam masyarakat
ini menunjukan kepedulian terhadap orang lain dan kualitas hidup.

Keempat, tingkat penghindaran ketidakpastian mencerminkan masyarakat Malaysia rendah (skor 36)
yang menunjukkan sikap lebih santai dan toleran.

Kelima, orientasi jangka panjang masyarakat Malaysia rendah (skor 41) menunjukkan bagaimana
mereka memiliki budaya normatif (http://geert-hofstede.com).
NILAI BUDAYA & PERILAKU BISNIS DI THAILAND

Pertama jarak kekuasaan dalam masyarakat tinggi namun relatif rendah dari rata-rata negara Asia (71).
Ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam masyarakat ini diterima. Menurut Petison (2010)
sebagian besar perusahaan (pemasok) yang diminta oleh orang Thailand memulai sebagai bisnis
keluarga dan masih dikelola oleh para anggota keluarga termasuk perusahaan yang telah terdaftar di
pasar modal. Karena itu sangat penting bagi para ekspatriat yang bekerja dengan orang Thailand untuk
meminta perhatian mereka dengan berbagai hirarki dalam perusahaan-perusahaan Thailand. System
hirarki pada perusahaan thailand merefleksikan perhatian orang Thailand pada perbedaan kewenangan
orang-orang dalam organisasi. Sistem hirarki pada perusahaan Thailand

Hasil wawancara Petison (2010) dengan orang Thailand yang memiliki posisi aras operasional, misalnya
supervisor, mereka menjelaskan bahwa kadang-kadang mereka ingin berbicara atau berkonsultasi
dengan para ekspatriat namun memahami struktur hirarki, mereka harus berbicara dengan atasan
langsung mereka dan mencari informasi tersebut diteruskan ke manajer ekspatriat di perusahaan
mereka. Kadang-kadang ini menyebabkan masalah komunikasi.

Sebaliknya masalah komunikasi lintas budaya ini juga terjadi pada manajer ekspatriat yang tidak
menyadari budaya Thailand, memberikan komentar atau kritik kepada atasan di bawah bawahan
mereka. Misalnya manajer ekspatriat berkata, "Apakah kamu tidak melihat apa yang salah di sana?
Mengapa sebagai supervisor, kamu hanya bisa lewat begitu saja tanpa mengatakan apa pun atau
mengoreksi apa yang salah?" Jika komentar atau kritik yang disampaikan langsung, Sementara kritik itu
benar, di depan para bawahannya, itu akan membuat pengawas tersebut kehilangan muka. Kehilangan
kemajuan dapat menyebabkan pengawas ini berkompromi dengan bekerja dengan para bawahannya
(Petison, 2010)

Kedua, individualisme dalam masyarakat Thailand rendah (skor 20) karena karakteristik masyarakat ini
sangat bermanfaat kolektivis. Menurut Petison (2010) para ekspatriat Jepang menyadari karakteristik
budaya kolektivis Thailand. Dalam kasus ekspatriat baru Jepang pada departemen pembelian
(pembelian) yang baru bergabung dengan pabrik mobil di Thailand, mereka meminta untuk mengadakan
pertemuan untuk membangun hubungan dengan para pemasok Thailand. Mereka menyadari tentang
budaya "Pak Puad" (persahabatan) dari orang Thailand. Seorang ekspatriat yang diwawancarai
mengatakan, "Memang perlu membangun hubungan bisnis, namun juga perlu perusahaan untuk
memilih para pemasok yang sesuai yang berpotensi dan berkualitas. Kami tidak ingin hanya karena
mereka adalah teman staf kita. Kami perlu menjamin kualitas mobil kami. Namun demikian yg di
jelaskan ekspatriat ini menekankan pentingnya mempertimbangkan budaya kolektivitas orang Thailand.

Ketiga, maskulinitas masyarakat Thailand rendah (skor 34) dan bermakna lebih femininitas. Thailand
memiliki tingkat maskulinitas tertinggi dibandingkan rata-rata nilai maskulinitas negara-negara Asia (53)
dan rata-rata dunia (50). Ini menunjukkan masyarakat yang kurang tegas dan kurang memiliki kemauan
untuk bersaing. Menjelaskan menurut temuan Hofstede ada celah yang sangat besar antara orang
Thailand dan Jepang pada dimensi budaya ini. Orang Thailand berorientasi budaya feminim, sedangkan
orang Jepang sangat maskulin (skor 95). Dari sudut pandang orang Jepang, kurangnya sikap prevemtif
orang Thailand yang dapat menyebabkan masalah di kemudian hari, namun sebaliknya orang Thailand
mempercayai semua masalah dapat diatasii dan karena mereka berharap agar orang Jepang tidak terlalu
kuatir.

Tingkat penghindaran ketidakpastian masyarakat Thailand tinggi (skor 64). Meskipun penghindaran
ketidakpastian orang Thailand yang tinggi, namun dalam hubungan kerjasama dengan ekspatriat Jepang,
misalnya, penghindaran mengeluarkan orang Jepang lebih tinggi (skor 92) dari pada orang Thailand.
Karena itu, menurut Petison (2010) para ekspatriat Jepang berkomentar antara orang Thailand dan
orang Jepang memiliki perbedaan mengenai waktu. Persepsi orang Thailand tentang durasi lebih lama
daripada orang Jepang. Persepsi orang Thailand satu hari ada 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan,
sementara persepsi orang Jepang itu hanya 24 jam. Maksudnya, mungkin orang Thailand akan berkata,
"Ada 24 jam dalam satu hari, maka masih ada waktu untuk menyelesaikan pekerjaan, santai saja."
Namun orang Jepang mungkin akan berkata, "Satu hari hanya ada 24 Keempat, penghindaran selai,
maka cepat selesaikan pekerjaanmu .

Kelima,orientasi jangka panjang orang Thailand rendah (skor 32) mentransformasikan budaya Thailand
lebih dari pragmatis normatif (http://geert-hofstede.com). Dalam hal ini ada perbedaan juga antara
waktu orang Thailand dengan orang Jepang misalnya, karena orang Jepang sangat berorientasi jangka
panjang (skor 88). Orang Jepang memperhatikan apa yang terjadi sekarang. Sementara untuk orang
Thailand yang berorientasi jangka pendek membuat orang Thailand sangat baik dalam menyelesaikan
masalah, lebih baik dibandingkan orang Jepang (Petison, 2010).

NILAI BUDAYA & PERILAKU BISNIS DI FILIPINA

Seperti halnya di negara-negara Asia Tenggara lainnya, para pelaku bisnis Tionghoa lebih
memperdebatkan bisnis yang dibandingkan dengan Menggunakan bisnis pribuminya. bisnis-bisnis para
konglomerasi di Filipina, sebagian besar bisnis yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa lainnya adalah
perusahaan-perusahaan kecil dan menengah (Lihat dan Juan, 2006).

David L. Szanton, direktur eksekutif Program Kajian- kajian Wilayah dan Internasional, Universitas
California-Berkeley, meninjau struktur-struktur sosial kewirausahaan masyarakat pribumi dan orang
Tionghoa di Filipina dalam laporan penelitiannya di Estancia, Iloilo, sebuah kota pembuat kapal di
Filipina. Szanton menjelaskan tiga kelas sosial di kota tersebut, yaitu para pengelola perlengkapan
menangkap ikan (pengusaha Filipina), para nelayan dan pekerja (Filipina) dan para pedagang Tionghoa
(Szanton, 1999).

Para pedagang tionghoa memilih tetap mempertahankan perannya Sebagai Para pedagang yang
menyediakan perlengkapan kapal dan penangkapan ikan serta menampung ikan hasil tangkapan dan
melakukan diversifikasi bisnis di bidang perdagangan lainnya. walaupun para pedagang Tionghoa
memiliki kapal-kapal penangkapan ikan, mereka tidak mengoperasika bisnisnya dalam penangkapan ikan
sendiri namun pada umumnya mereka menggunakan orang Filipina. Hal ini terjadi karena orang Filipina
yang paling tidak terampil dalam menangkap ikan itu sendiri, sekalipun dipermalukan jika diperintah
oleh seorane Tionghoa, apalagi di depan rekan-rekannya. Dengan menggunakan orang Filipina untuk
mengelola ikan hasil tangkapan, pedagang Tionghoa dapat membeli ikan hasil tangkapan 10-20 persen
di bawah harga pasar (Szanton (999).
Di sisi lain, sekalipun ada orang orang Filipina yang mencari untuk masuk ke dalam bidang Perdagangan,
mereka tidak dapat mengalahkan para pedagang Tionghoa. Dengan kekuatan jaringan yang dimiliki oleh
para pedagang Tionghoa, mereka dapat mengatur jalur pasokan barang-barang dagangan, membuat
barang-barang di toko mereka lebih rendah dari para pedagang Filipina. pedagang Filipina sendiri juga
mengambil barang dari pedagang Tionghoa untuk dijual oleh pedagang karena harga barang-barang
pada pedagang Tionghoa memang lebih murah (Szanton, 1999).

Keberlangsungan bisnis-bisnis etnis Tionghoa di Estancia Hal ini disebabkan para pengusaha Filipina
mendapatkan pekerjaan-pekerjaan di hal pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta
(pekerjaan kerah putih) dan tidak untuk memenangkan bisnis kerahasiaan mereka. Sementara para
pelaku bisnis Tionghoa bahkan sejak dini telah menyiapkan anak-anak mereka untuk memulai bisnis-
bisnis Keluarga (Szanton, 1999).

Pertumbuhan bisnis Tionghoa Filipina pada waktu pergantian abad yang lalu lalu mengalokasikan orang
Tionghoa setara dengan para elit tradisional dalam artian pengakumulasian kekayaan sebelum tahun
1990-an. Enam taipan, dua di antaranya adalan Henry Sy dan Lucio Tan, yang bermigrasi dari Cina ke
Filipina paska Perang Dunia II, ada di antara tiga orang Filipina yang masuk dalam daftar 500 orang
terkaya di dunia dalam 2005 Forbes. Orang terkaya Filipina yang ketiga adalah Jaime Zobel de Ayala,
yang berasal dari keluarga elit kelahiran Spanyol, yang dibangunnya sebagai pusat bisnis dan keuangan
berskala tinggi (Palanca, 2006).

Di tingkat nasional, beberapa putaran terakhir, para pelaku bisnis Tionghoa menguasai area bisnis yang
dikelola tradisional oleh orang-orang Filipina Spanyol. Mereka menantang para elit Filipina di bidang
bisnis seperti perbankan, produksi makanan dan pembangunan real estat. Di bidang Perbankan, satu
bank terbesar yang dimiliki oleh elit Filipina tradisional. Bank-bank yang disponsori oleh kalangan bisnis
Tionghoa seperti China Banking Corporation dan Philiphine Bank of Communications relatif kecil
dibandingkan dengan bank tersebut. Bank Terbesar tersebut oleh Ayalas, keluarga Filipina Spanyol.
Namun demikian kemudian bank tersebut dengan kuat ditantang oleh Metropolitan Bank dan Trust
Company milik etnis Tionghoa yang didirikan oleh George Ty (salah satu dari enam taipan) pada tahun
1960. Banco de Oro yang diminta oleh Henry Sy yang sebelumnya hanya merupakan bank simpanan,
namun kemudian tumbuh menjadi bank besar. Bank Nasional Philiphine, Lucio Tan, sejak tahun 2000
merger dengan bank miliknya sendiri (Allied Bank). Melawan bisnis Tionghoa menentang dan
mengambil posisi pemimpin dalam industri perbankan (Palanca, 2006).

Di bidang industri makanan dan minuman, San Miguel Corporation (SMC) adalah perusahaan raksasa
milik orang Filipina Spanyol yang didirikan pada tahun 1851 yang telah memperoleh posisi monopoli
dalam pasar produk bir, makanan dan minuman lainnya lebih dari satu abad. Namun kemudian harus
bersaing dengan pabrik-pabrik bir milik Lucio Tan dan Universal Robina Corporation milik Gokongwei,
dan dua perusahaan minuman lain produk manakan dan minuman yang terkait dengan produk-produk
SMC (Palanca, 2006).

Para pelaku bisnis Tionghoa juga terlibat dalam bisnis properti yang sebelumnya telah dilindungi cukup
lama oleh para pengusaha Filipina Spanyol, karena mereka adalah para pemilik tanah yang luas pada
masa itu, sementara memadukan etnis Tionghoa tidak memiliki tanah sebelum mereka memeroleh
kewarganegaraan mereka tahun 1970-an. Namun demikian, pengembang perumahan terbesar saat ini
adalah orang Tionghoa Filipina melalui jaringan kerjasama mereka dengan para pebisnis Tionghoa di
Asia Tenggara. Misalnya kerjasama dengan Liem Sioe Liong dari Indonesia dan Robert Kuok dari
Malaysia dan konglomerat Filipina (Andrew Gotium, Henry Sy, Lucio Tan, dan George Ty) dalam
pembangunan Shangri-La Plaza di Mandaluyong dan Klub Golf Dataran Tinggi Tagaytay di Kota Tagaytay
City, demikian pula Ayalas (konglomerat Filipina Spanyol yang pembangun Kota Makati (Palanca, 2006).

Walaupun saling bersaing, menurut Palanca (2006), antara para konglomerat Tionghoa dan elit Filipina
juga ikut serta dalam kerjasama. Kerjasama kedua kelompok tsb yaitu merger dan akuisisi

Dimensi Budaya Hofstede

Mengacu pada dimensi-dimensi model budaya Hofstede, berikut ini adalah gambaran dari budaya
Filipina.

Pertama, jarak kekuasaan masyarakat Filipina sangat tinggi (skor 94) yang menunjukkan bahwa Filipina
adalah masyarakat hirarkis.

Kedua, individualisme rendah (skor 32) menunjukkan masyarakat kolektivistis.

Ketiga, maskulinitas tinggi (skor 64) menunjukkan bahwa Filipina adalah masyarakat maskulin. Di negara
maskulin masyarakatnya "hidup untuk bekerja," para manajer setuju, para pesaing, dukungan dan
konflik harus segera terselesaikan.

Keempat, penghindaran ketidakpastian rendah (skor 44).

Kelima, target jangka panjang orang filipina rendah (skor 27) yang diterjemahkan masyarakat ini lebih
normatif menyetujui pragmatis (http: // geert- hofstede.com).

NILAI BUDAYA & PERILAKU BISNIS DI VIETNAM

Perkembangan Stigmatisasi Perdagangan

Malarney (1999) menulis tentang hubungan stigma negara, prestise keluarga dan perkembangan
perdagangan di Delta Sunga Merah Vietnam, mulai masa prakolonial untuk masa revolusi dan
komunikasi komunis. Menurut Malarney (1999) pada periode pra kolonial perniagaan (perdagangan)
dan perdagangan (perdagangan) mendapat stigma negatif dari negara pada masa prakolonial. Pepatah
populer di Vietnam yang mengatakan, "Trong nong, uc thuong" ("hargai pertanian, abaikan
perdagangan") memerangkap mereka ke dalam stigmatisasi kultural terhadap perniagaan dan
perdagangan.

Masyarakat terbagi dalam empat lapisan prestise- stigma (tu dan), yang mana tergantung pada lapisan
puncak mereka yang menjadi ahli berpendidikan-penguasa (si), kemudian di bawahnya adalah kaum tani
(nong), di bawahnya lagi adalah para perajin dan ahli kerajinan tangan (cong), dan lapisan yang paling
bawah dan terstigmatisasi negatif adalah kaum pedagang (thuong). Perdagangan dilihat oleh
masyarakat Vietnam pada saat pertemuan profesi, dan diam-diam menyimpan niat sampai tiba untuk
menggorok leher orang (Giau 1973: 42, dalam Malarney, 1999). Sementara kelas yang paling bergengsi
adalah ahli berpendidikan-pejabat. Seperti ada pepatah dari masa prakolonial: "Jika seorang laki-laki
menjadi penguasa, seluruh bangsa dapat meminta bantuannya" (mot nguoi lam quan, ca bo duoc nho)
(Malarney, 1999).
Kemudian pendudukan Perancis atas Vietnam Utara pada tahun 1880-an dan proses pembangunan
ekonomi kolonial pada masa itu mulai menantang stigmatisasi awal terhadap perdagangan dan
kewirausahaan. Banyak intelektual Vietnam juga mempertanyakan apakah Vietnam bisa menjadi
bangsa berkuasa dan merdeka jika perdagangan terus menerus distigmakan. Sebenarnya Nguyen
Truong Kepada, seorang intelektual Katolik Vietnam pada tahun 1860-an mengatakan bahwa elit
Vietnam perlu memberi perhatian penuh pada bisnis dan perdagangan demi Vietnam. Kemudian pada
tahun 1920-an, lebih banyak lagi kebebasan intelektual yang mendukung kewirausahaan sebagai
kegiatan yang sah, dengan persetujuan perdagangan bebas Vietnam akan tetan miskin dan tergantung.
Karena penaklukan Perancis menyebabkan menurunnya prestise para elit dan pejabat Vietnam,
perdagangan dan perniagaan kemudian mulai meningkatkan perolehan (Malarney, 1999).

Namun kemudian pada tahun 1954, struktur prestise dan stigma yang disetujui oleh kegiatan
masyarakat ditata ulang. Slogan- slogan seperti "semuanya melayani produksi," bersemangat
"persekutuan buruh-tani" (lien minh cong nong). Setiap keluarga, setiap orang dewasa bekerja bagi
seluruh masyarakat, seluruh bangsa dan negara mengecam segala bentuk kapitalisme.

Meskipun perdagangan terstigmatisasi di Vietnam pada masa prakolonial, namun bagian dari
stigmatisasi ini menyatakan perdagangan yang harus dilakukan kaum wanita (Malarney, 1999).
Kemudian Luong (1999) menjelaskan peran kewirausahaan yang didonimasi oleh kaum wanita di
Vietnam.

Merosotnya prestise anggota partai juga instansi pemerintah dan ketiadaan lagi stigmatisasi
pergadangan, penilaian masyarakat terhadap nilai-nilai antikomersial yang telah dimulai. Penilaian
ulang ini mulai terlihat dari jumlah yang berkurang calon mahasiswa karena memilih muda yang memilih
perguruan tinggi yang membuat mereka memperoleh pekerjaan yang dibayar rendah (Malarney, 1999).

Model Dimensi Budaya Hofstede

Mengacu pada dimensi-dimensi model budaya Hofstede, berikut ini adalah gambaran aras budaya
Vietnam.

Pertama, jarak berkuasa di Vietnam tinggi (skor 70) yang menunjukkan masyarakat menerima tatanan
hirarkis dan setiap orang menerima harus justifikasiasinya.

Kedua, individualisme di Vietnam rendah (skor 20) yang menunjukkan bahwa ini adalah masyarakat
kolektivistis.

Ketiga, maskulinitas masyarakat Vietnam relatif rendah (skor 40) sehingga dapat digunakan sebagai
masyarakat feminimnitas, yang setara, solidaritas dan kualitas dalam kehidupan kerja mereka.

Keempat, tingkat penghindaran ketidakpastian orang Vietnam rendah (skor 30).

Kelima, orientasi jangka panjang orang Vietnam relatif tinggi (skor 57), menunjukkan bahwa mereka
memiliki budaya pragmatis, yang percaya pada kebenaran sangat berkaitan dengan interaksi, konteks
dan waktu (http://geert-hofstede.com).

NILAI BUDAYA & PERILAKU BISNIS DI INDONESIA

Identitas etnis tionghoa di Indonesia dapat dijelaskan dalam dua hal yaitu :
Pertama, identitas etnis tionghoa di Indonesia yang terbagi dalam stratifikasi sosial.

Kedua, identitas berdasarkan dialek bahasa.

Lim dan Mead (2011: 7) mengatakan bahwa siapapun yang ingin mengenal orang Tionghoa Indonesia
harus memahami pembagian sosio-kultural di antara komunitas Tionghoa, yaitu Peranakan (berdarah
campuran) dengan Totok (berdarah asli Tionghoa). Istilah Melayu untuk Peranakan mengacu pada
orang Tionghoa yang berdarah asli Tionghoa namun lahir di luar Cina dan keturunan campuran antara
orang Tionghoa dan non Tionghoa.

Pertama, ada yang membandingkan antara Peranakan dan Totok di Indonesia dengan mengacu di mana
mereka dilahirkan . peranakan mengacu pada org tionghoa yang lahir di indonesie yang dibedaakan
dengan istilah singkeh atau singkek yaitu org tionghoa yang lahir di china dan berimigrasi ke indinesia

kedua, ada juga yang membandingkan Peranakan dan Totok dari perspektif budaya, yang mana dari
perspektif ini Peranakan mengacu pada orang Tionghoa yang telah tinggal di Indonesia lebih dari seratus
tahun yang dikarakteristik oleh akulturasi mereka dengan budaya pribumi lokal. Istilah dari perspektif
ini istilah totok mengacu pada orang Tionghoa yang berdarah asli Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia
sekitar permulaan abad ke-20 mauoun keturunan yang lahir di Indonesia yang kurang terakulturasi
dengan budaya pribumi lokal dan masih mempertahankan identitas orang Tionghoa (Oetomo 1987; Lim
dan Mead , 2011: 7). Jadi, perbedaan antara Peranakan dan Totok ini bisa dilihat hanya dengan
lamanya tinggal di Indonesia, namun juga pola pernikahannya. Para migran mula-mula sebagian besar
adalah laki-laki yang kemudian menikahi perempuan lokal, jadi harus berurusan dengan budaya lokal.
Banyak Peranakan yang lahir dari perkawinan campuran tersebut, berayahkan Tionghoa dan beribukan
pribumi, seperti contoh realnya adalah komunitas Tionghoa Benteng di Tangerang yang sangat
berakulturasi dengan budaya lokal (Lim dan Mead, 2011: 7).

Lim dan Mead (2011: 9) memberikan karakteristik yang membedakan antara karakteristik Peranakan
dan Totok.

Pertama dari segi kultur. Budaya lokal lebih memengaruhi budaya Tionghoa Peranakan, Tionghoa Totok
lebih lanjut oleh budaya Tionghoa.

Kedua, dari segi bahasa Tionghoa Peranakan tidak bisa lagi berbicara dalam bahasa Tionghoa dialek,
namun Tionghoa Totok masih dapat berbicara dalam bahasa Tionghoa seperti Bahasa Hokkian, Teochiu,
Hakka, Kanton dll.

Sementara Ketiga, dari cara makan, Tionghoa Peranakan tidak menggunakan sumpit, tetapi
menggunakan sendok dan garbu atau dengan tangan saja, sementara Tionghoa Totok masih makan di
mangkok dengan menggunakan sumpit, dan makan bubur untuk makan.

Keempat, Tionghoa Peranakan senang makanan yang merupakan kombinasi antara makanan lokal
(menggunakan santan, bumbu-bumbu, kunyit dll) dengan makanan yang dapat dinikmati sebagai
makanan asli orang Tionghoa, namun bercita rasa lokal, sedangkan Tionghoa Totok lebih suka makanan
yang menggunakan 'lima bumbu' tradisional yang dikenal dalam bahasa Hokkian dengan istilah ngo-
hiong; sayuran tumis, contoh kubis, pete cina, tambahkan kecambah tahu.

Kelima, Tionghoa Peranakan lebih suka memakai pakaian yang lebih menarik, lebih modern, namun
Tionghoa Totok lebih suka memakai pakaian tradisional Tionghoa dengan warna tertentu.
Keenam, orang Tionghoa lebih suka beroriantasi pada waktu luang (boros) dan boros, dan lebih
berorientasi kelas, sementara orang Tionghoa lebih suka bekerja keras, lebih hemat, dan lebih egaliter.
Keenam, sikap menentang bisnis, Tionghoa Peranakan cenderung tidak berani mengambil risiko bisnis,
sementara Tionghoa

Ketujuh, sikap terhadap agama tradisional, Tionghoa Peranakan tidak lagi sembahyang di Klenteng dan
memeluk agama Tionghoa; Khusus di kalangan kelas atas kaum Peranakan dikarakteristik oleh
westernisasi, dan banyak yang memeluk agama Kristen. Sementara Tionghoa Totok masih
menggunakan meja abu di rumah mereka dan menyembah dewa leluhur dan dewa-dewa dan masih
sembahyang di kuil Tionghoa tradisional, misalnya Klenteng.

Kedelapan, untuk acara pernikahan dan pemakaman, Tionghoa Peranakan lebih mudah disederhanakan
atau dihilangkan sama sekali dengan cara pernikahan tradisional Tionghoa, demikian juga halnya dengan
upacara pemakaman, sementara Tionghoa Totok masih merupakan wahana rekreasi dalam ritual
pernikahan mereka dan menyediakan persembahan untuk orang mati di kuburan (Lim dan Mead, 2011:
9). Tentu saja karakteristik di atas hanya jika dilihat dari segi pandang Umum. Karena Tionghoa Benteng
yang merupakan komunitas Tionghoa Peranakan masih sangat mempertahankan nilai besar nilai-budaya
Tionghoa tradisional. Khusus untuk pesta pernikahan dan pemakaman orang mati, menyelamatkan
meja abu di rumah dll.

Dalam stratifikasi sosial antara Tionghoa Peranakan dan Tionghoa Totok menurut Mely G. Tan (2008:
19), Tionghoa Peranakan lebih unggul dari Tionghoa Totok pada zaman Belanda, Tionghoa Peranakan
tentang makanan yang mapan sekarang ekonomi mereka lebih rendah. Di sisi lain, Tionghoa Totok
memandang rendah Tionghoa Peranakan karena mereka memiliki darah campuran dan tidak lagi dapat
berbicara dalam dialek bahasa Tionghoa tertentu.

Identitas berdasarkan dialek bahasa, etnis Tionghoa yang diberikan homogen. Mereka memiliki
keberagaman menurut dialek bahasa dan suku. Identitas mereka menurut suku dan dialek bahasa asal
mereka di Cina sebelum datang ke Nanyang, khususnya ke Indonesia. Pertama, Suku Hokkian yang
berasal dari Provinsi Fukien atau Fujian di Cina dengan ibu kotanya Fuzhou, suatu wilayah yang dipilih
oleh selat dengan Taiwan, sehingga antara orang Fukien dan Taiwan ada kemiripan dalam dialek bahasa
mereka (Lim dan Mead, 2011: 12). Menurut Jones (1996: 29-32; Lim dan Mead, 2011: 14) mayoritas
orang Hokkian di Indonesia berasal dari dua distrik di daratan China, yaitu Zhangzhou dan Quanzhou
bersama imigran dari Amoy.

Menurut Kinasih (2007: 90) suku ini adalah yang paling banyak menerima orang Tionghoa perantauan
(Tionghoa perantauan) atau yang sering disebut dengan istilah hoakiau dan mereka adalah para
pedagang termasyur. Adalah orang Tionghoa yang datang ke Jawa sebelum abad ke-19 berasal dari
suku Hokkian tersebut. Untuk suku Hokkian di Solo menurut Kinasih (2007: 90-91) Ada beberapa sub
suku, yaitu:

(1) Ming Ang yang banyak tinggal di Surakarta Selatan yang sebagian besar bekerja sebagai petani sawah
dan kebun teh dan palawija,
(2) Hok Jia yang menyebar merata di Surakarta yang menguasai sektor industri batik atau pertanian,
jaringan pemasaran dan manufaktor lain yang berkembang di Solo;
(3) Hing Hua yang banyak dijumpai di Kemlayan dan menggeluti bidang otomotif, bengkel motor dan
suku cadang; dan
(4) Hok Ciu yang berasal dari Ibu Kota Tiongkok dan di Solo mereka memiliki usaha perdagangan logam
mulia dengan toko emas di Coyudan, Pasar Klewer.

Kedua, Tio Chiu atau bahasa Mandarin Chaozhou sebagian besar berasal dari wilayah Chaoshan bagian
timur Propinsi Guangdong. Orang-orang berdialek Tio Chiu ini awalnya berasal dari Provinsi Fujian yang
direlokalisasi ke sebelah timur Provinsi Guangdong sekitar permulaan abad ke 10 (Lim dan Mead, 2011:
21). Kelompok Tio Chiu pada awal kedatangannya adalah buruh di pertambangan- dan pertambangan
yang dikelola Belanda (Kinasih, 2007: 91).

Di Indonesia, orang-orang berdialek Tio Chiu ini sebagian besar tinggal di sepanjang pesisir timur
Sumatra, di Kepulauan Riau dan di Kalimantan Barat, khususnya di sekitar Pontianak (Adelaar 1996: 698;
Lim dan Mead, 2011: 21). Di Kalimantan Barat orang Cina berdialek Tio Chiu ini lebih memilih menetap
di wilayah-wilayah dan menjadi para pedagang, berbeda dengan orang orang Tionghoa berdialek Hakka
yang bekerja di pertambangan dan pertanian dan kemudian menjadi pedagang kecilan kecil di
pedalaman (Heidhues 2003 : 31; Lim dan Mead, 2011: 21). Di Pontianak orang Tio Chiu mengatur
perdagangan besar di Kampung Lama atau istilah dalam dialek Tio Chiu "Lao Pho Hau" dan orang-orang
Khek yang terpinggirkan pindah ke Kampung Baru (Sin Pout Hau) dan menjadi pedagang kecil-kecilan.
Dua daerah itu, Lao Pho Hau dan Sin Pout diambil oleh jembatan Sungai Landak.

Ketiga, Suku Hakka atau Khek. Menurut Lim dan Mead (2011: 19) tidak seperti orang-orang Hokkian,
orang-orang yang berdialek Hakka atau suku Khek tidak dapat menghubungkan dari asal daerahnya di
Cina karena mereka menyebar di Cina. Mereka adalah orang-orang dari utara yang bermigrasi ke China
selatan. Populasi orang Hakka yang cukup banyak adalah di sebelah timur dan timur laut Provinsi
Guangdong. Jumlah populasi yang cukup signifikan dari orang Hakka juga ditemukan di Propinsi Fujian,
Jiangxi, Guangxi, Hunan, dan Sichuan.

Orang-orang Hakka mulai berdatangan ke Kalimantan pada permulaan abad ke-19 (Heidhues 2003; Lim
and Mead, 2011: 19), namun hari ini jumlah mereka mendukung populasi orang Tionghoa bukan hanya
di Kalimantan, tetapi juga di Jakarta dan Jawa Barat (Skinner) 1963: 102-103, Jones 1996: 21-22; Lim
dan Mead, 2011: 19).

Menurut Kinasih (2007: 91) suku Hakka ini merupakan anak dari suku Han yang menyebar ke seluruh
dunia. Mereka memiliki budaya mengecilkan kaki yang merupakan hak milik perempuan. Saat ini di
Jakarta dan Jawa mereka bergelut banyak di bidang perdagangan.

Sepak terjang kepiawaian orang Tionghoa di Indonesia sudah ada sejak zaman Belanda. Menurut Ong
Hok Ham (2008: 389) kedudukan orang-orang Tionghoa Perantauan di Asia Tenggara telah lama
digunakan oleh orang Eropa sebagai bagian yang paling penting dalam rantai distribusi, perdagangan
eceran maupun sebagai pembeli hasil pertanian untuk kemudian dijual ke perusahaan-perusahaan
Eropa. Kedudukan mereka sejak lama, yakni sejak tumbuhnya kekuasaan kolonial di kawasan ini.
Namun Ong Hok Ham, berbeda pendapat dengan penulis lain yang menganggap bahwa orang Tionghoa
Perantaun menerima posisi strategis karena proteksi dan favoritisme dari para penguasa kolonial.
Menurut Ong Hok Ham karena bangsa Eropa dan Tionghoa baik datang ke Asia Tenggara untuk
berdagang, maka mempertemukan mereka dalam relasi bisnis (Ong Hok Ham, 2008: 39). Namun
demikian pada awalnya, karena kemudian ada yang membuktikan tidak terbaik dan perlindungan
kolonial terhadap para pelaku bisnis Tionghoa di Batavia karena Belanda membutuhkan mereka untuk
menghidupkan kembali bisnis dan perdagangan di Batavia.
Souw Beng Kong adalah Kapitan pertama di Batavia. Souw Beng Kong lahir di Tang Oa, kota pelabuhan
Amoy, Provinsi Hokkian sekitar tahun 1580. Souw Beng Kong pertama berlabuh di Pelabuhan Banten
dan memiliki hubungan dekat dengan Sultan Banten. Sultan Banten senang dengan melepaskan Souw
Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainya dalam memajukan perdagangan di kesultanan Banten
(Setiono, 2008: 93-97; Purwanto, 2012: 102).

Pada tahun 1611 Pieter Kedua menjadi Gubernur Jendral VOC di Maluku mengutus bawahannya Jan
Pieterszoon Coen untuk membeli Souw Beng Kong dengan tujuan membeli hasil bumi khusus lada dari
Banten. Dari sana ada persaingan antara Jan Pieterszoon Coen dan Sultan Banten untuk merekrut Souw
Beng Kong. Oleh karena kesalahan fatal yang dilakukan oleh Sultan Banten dengan mengeluarkan untuk
membongkar rumah-rumah orang Tionghoa di pantai Banten yang mempertimbangkan
pemandangannya dalam menangani pelabuhan Banten, maka berangsur-angsur orang-orang Tionghoa
di bawah pimpinan Souw Beng Kong dan Lim Lak / Lim Lacco pindah ke Batavia. Menabur Beng Kong
sendiri akhirnya ditunjuk sebagai Kapitan Tionghoa pertama sesuai surat keputusan Gubernur Jendral
pada tanggal 18 Agustus 1620, demikian juga selanjutnya Lim Lacco (Setiono, 2008: 93-97; Purwanto,
2012: 102-103).

Gelombang transfer orang-ora.ng Tionghoa dari Banten ke Batavia, menyebabkan partisipasi orang
Tionghoa di Batavia semakin meningkat. Sementara tahun 1644 terjadi masalah besar di Tiongkok yang
diakhiri dengan jatuhnya Dinasti Ming (Zheng Chenggonge atau Koxinga) oleh Dinasti Qing (Mancu), dan
hasilnya ini menyebabkan datangnya hutan-hutan dari Tiongkok ke Batavia. Misalnya Dagh-Registrasi
menerima tiba di hutan yang membawa total 4.000 orang (Vermuelen, 2010: 18-19). Jumlah itu terus
meningkat bahkan pada tahun 1719 di wilayah sekitar Batavia terdapat 7.550 orang Tionghoa, di mana
3.135 orang adalah laki-laki dewasa. Sementara pada tahun 1739 jumlah mereka menjadi 10,474 orang
sedangkan 4,837 orang laki-laki dewasa (Vermuelen, 2010: 18-25; Purwanto, 2012: 105).

Selain Souw Beng Kong, ada juga para Kapitan Tionghoa penerusnya yang kaya raya di Batavia, seperti
halnya Souw Beng Kong ada Lim Lacco, Phoa Bing Gam dan Gan Dji Ko (Lohanda, 2007: 45). Kemudian
ada juga Tionghoa Kapitan yang kaya raya di Batavia yang bernasif tragis di akhirnya berlalu. Dia adalah
Nie Hoe Kong. Ia memiliki tanah yang luas, sekitar 13 atau 14 penggilingan tebu yang disewakan kepada
orang-orang Tionghoa lainnya. Dia tinggal di rumah besar dan mewah dengan semua yang mahal
(Hoetink, 2007: 2). Namun demikian, tragis, karena ia menjadi korban kerusuhan dan pembantaian di
Batavia pada tahun 1740.

Berbagai aktivitas ekonomi Tionghoa begitu menonjol sepanjang era kolonial Belanda. Sebelumnya di
era kerajaan-kerajaan sebelum datangnya Belanda. Pada era kolonial mereka menggunakan antara
produsen pribumi dengan para pemborong Belanda (Tan, 2008: 11). Sebelum kerusuhan tahun 1740, di
Batavia orang-orang Tionghoa sudah memulai usaha seperti hotel, rumah menghisap madat dan toko-
toko (Vermeulen, 2010: 39).

Sebagaimana dibahas oleh Blusse (1986: 78-79; dalam Ong Hok Ham, 1989: 157), orang-orang Tionghoa
di Batavia pada masa kolonial banyak mengelola usaha baik sebagai para pengrajin, pedagang,
kontraktor dan kuli. Pada abad ke-18 mereka memulai bisnis pabrik gula dan menjadi pedagang yang
memfasilitasi antara Belanda dan masyarakat pribumi baik di kota maupun di pedalaman (Blusse 1986:
78-79; Ong Hok Ham, 1989: 157).
Pada awal masa kolonial, Belanda pernah mencoba untuk mendorong imigrasi orang Tionghoa dari Cina
ke Batavia. Namun akhirnya VOC takut melepaskan monopoli perdagangan dan strutur politik
otoriternya, akhirnya VOC lebih baik membangun rekanan bisnis saja dengan etnis Tionghoa. Bahkan
pada tahun 1655 Belanda menetapkan Dewan Boedelmeesters, yang beranggotakan dari dua belah
pihak, yaitu orang Belanda dan orang Tionghoa untuk warisan warisan dari orang Tionghoa yang
meninggal tanpa anak (Ong Hok Ham, 1989: 157-158).

Etnis Tionghoa menikmati perlindungan dari Belanda dalam bisnis mereka dan tinggal di dalam benteng
Belanda. Sejak berdirinya Batavia pada tahun 1619 sampai akhir pemerintahan VOC pada tahun 1800
(pemerintahan VOC kemudian digantikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda), hubungan antara Belanda
dan etnis Tionghoa pada umumnya baik. Namun pada tahun 1740 terjadi pembantaian terhadap etnis
Tionghoa di Batavia, hubungan itu menjadi retas yang kemudian diikuti oleh apa yang disebut perang
Olanda-Cina (Belanda-Cina) yang juga menyebabkan perang perebutan hubungan di antara para raja
Jawa yang kemudian memecah belah dengan yang disebut dengan yang pro-Tionghoa dan pro-Belanda
(Ong Hok Ham, 1989: 158).

Model hubungan Tionghoa-Belanda di Batavia menjadi model hubungan di antara mereka di seluruh
Jawa kompilasi VOC menambah kekuatan perdagangan dan militernya. Setiap kota kolonial yang
penting akan memiliki tempat tinggal terpisah dari populasi Tionghoa. Orang-orang Tionghoa menjual
porselin, kain, sutra dan kertas dari Cina dan membeli rempah-rempah untuk dikirim ke China. Pada
abad ke-17, VOC membangun benteng dan gudang di sepanjang pesisir utara Jawa seperti misalnya di
Semarang, Jepara dan Pekalongan (Ong Hok Ham, 1989: 158).

Pada tahun 1672, komunitas Tionghoa di Semarang cukup banyak dan memainkan peran yang cukup
penting diangkatlah sebagai seorang Tionghoa Kapitan di Semarang, sama halnya untuk masyarakat
Tionghoa di Batavia juga dipimpin oleh seorang Kapitan. Pada tahun 1678 Semarang dan sekitarnya
diserahkan kepada VOC oleh Sultan Mataram, sehingga kemudian Semarang menjadi pusat kegiatan
perluasan VOC ke berbagai daerah di Jawa dan dalam perbaikan dengan para raja Mataram di Jawa
Tengah. Namun setelah pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, hal tersebut
menyebabkan orang-orang Tionghoa di Semarang dan berbagai tempat di Jawa bangkit melawan
Belanda, namun kemudian menikmati masa damai kembali pada tahun 1742-1825. Setelah berhasil
Gianti pada tahun 1755, kesultanan mula -mula terbagi menjadi tiga dan kemudian menjadi empat
kerajaan, jadi Belanda kemudian naik menjadi yang paling berkuasa di Jawa (Ong Hok Ham, 1989: 158).

Ketika kedamaian dipulihkan setelah tahun 1740, Semarang menjadi kota yang makmur dan orang-
orang Tionghoa secara alami berbagi kemakmuran ini dengan Belanda. Orang-orang Tionghoa
membawa produk-produk dari pedalaman ke kota-kota Pesisir dan menjual barang-barang yang dibeli
dari Eropa untuk para petani di pedesaan. Perdagangan beras yang penting juga di tangan orang-orang
Tionghoa (Ong Hok Ham, 1989: 158).

Oei Tiong Ham adalah putra dari Oei Tjie Sien. Oei Tjie Sien adalah generasi pertama dari keluarga yang
datang dari Tiongkok ke Indonesia. Oei Tiong Ham lahir pada tahun 1866 dan pada usia 18 tahun, pada
tahun 1884, Oei Tjie Sien dinikahkan oleh Oei Tjie Sien menikahkan dengan salah satu putri keluarga
Goei yang kaya di Semarang (Ong Hok Ham, 1989).

Oei Tiong Ham adalah seorang Tionghoa yang sukses di masa damai itu. Dia mendirikan Oei Tiong Ham
Kepedulian dan terlibat dalam perdagangan internasional, mengelola pabrik gula, perbankan, jasa
pengiriman dan usaha-usaha yang berkaitan dengan hal tersebut. Kepedulian Oei Tiong Ham menjadi
konglomerasi bisnis pertama di Asia Tenggara yang dirintis dari bisnis kecil keluarga (Ong Hok Ham,
1989: 156). Sebagai raja pedagang mapan dan yang ditunjuk pemerintah Belanda sebagai Majoor
Tionghoa di Semarang, Oei Tiong Ham yang dibesarkan di kampung para petani opium peranakan pada
abad Sembilan belas itu, membangun bisnis yang menguntungkan yang berhubungan dengan lokal di
Asia Tenggara sebelum Perang Dunia II yang menyediakan operasi perdagangan yang luas hingga
memiliki cabang-cabang di India, Cina dan bahkan Inggris. Bisnis perdagangan di bidang perdagangan,
pabrik gula, perkapalan dan real estat. Menurut Studwell (2007: 252) banyak uang untuk ekspansi bisnis
Oei Tiong Ham diterima dari opium dan konsesi dikumpulkan pajak.

Pada tahun 1920-an seorang Oei Tiong Ham merelokasi binisnya ke Singapura tempat ia meninggal pada
tahun 1924 dan kemudian putra Oei mengambil alih manajemen, namun pada tahun 1961 bisnis
keluarga yang diperlukan di Indonesia di nasionalisasikan (Studwell, 2007: 252). Hal yang diajukan oleh
Ong Hok Ham (1989) bahwa setelah masa kemerdekaan Oei Tiong Ham Kepedulian diambil alih oleh
pemerintah Soekarno pada tahun 1960-an dengan mempertanyakan perusahaan yang telah melakukan
penghitungan keuangan tertentu (Ong Hok Ham, 1989: 175). Namun operasi-operasi perusahaan
keluarga di luar negeri, terutama di Singapura, Malaysia dan Thailand masih dijalankan oleh putranya,
Oei Tjong Le yang juga bekerja bersama Khoo Tect Puat dalam mendirikan Malayan Banking Corp pada
tahun 1960-an dan menjadi ketua pertamanya (Studwell , 2007: 252)

Menurut Ong Hok Ham (1989: 175), Oei Tiong Ham membangun karir bisnisnya yang relatif terbebas
dari patronase dengan pemerintah karena ia juga tidak banyak terlibat dalam kontrak-kontrak dengan
pemerintah dan militer yang dilakukan oleh para pedagang lain. Dengan tanpa perlu melakukan
patronase dengan pemerintah dan relatif terbebas dari korupsi dan kolusi birokrasi, Oei Tiong Ham
dapat lebih mengkonsentrasikan seluruh kekuatannya pada ekspansi bisnis dan rasionalisasi.

Setiap tekanan dan penindasan yang merupakan etnis Tionghoa alami dari penguasa kolonial,
perjuangan dan kesadaran baru itulah yang dapat diacuhkan dan juga sangat dibutuhkan untuk
menghidupkan kembali bisnis dan ekonomi. Para penguasa kolonial dan para raja pun menyadari itu.

Walaupun perusahaan Belanda dinasionalisasikan pada Februari 1959, di era pemerintahan Soekarno,
etnis Tionghoa, termasuk Sino-Indonesia, masih negosiasi perdagangan, sebagai distributor produk-
produk konsumsi (termasuk produk-produk impor) dan sebagai pengepul atau pemborong hasil
pertanian untuk para petani pribumi dan sebagai para pemberi pinjaman uang juga (Engkau, 2010: 64).
Aktivitas ekonomi etnis Tionghoa pada saat itu begitu kuat, sehingga kompilasi pemerintah mengambil
langkah untuk mengurangi dominasi ekonomi Tionghoa melalui kebijakan meningkatkan para
pengusaha pribumi mudah. Mengurangi aktivitas ekonomi Tionghoa lebih sulit dari mengeliminasi
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda. Itu salah satu dari jumlah orang Tionghoa lebih besar dari
pada orang Belanda dan aktivitas-aktivitas ekonomi Tionghoa di daerah pedesaan lebih terkait erat
dengan aktivitas-aktivitas ekonomi penduduk pribumi (Thee, 2010: 64).

sejak zaman Belanda para bisnismen Tionghoa telah memiliki dan mengendalikan kebanyakan
penggilingan padi di Indonesia. Pada tahun 1952, paling sedikit ada 138 dari 154 penggilingan padi di
Jawa Timur diserahkan oleh para pengusaha Tionghoa (Anspach, 1969; Wie, 2010: 65). Selain
penggilingan padi, etnis Tionghoa juga menguasai usaha perusahaan- perusahaan transportasi dan
bongkar muat di pelabuhan, baik orang Tionghoa yang masih berstatus WNA maupun WNI (Sino-
Indonesia).
Pada permulaan pemerintahan Orde Baru, prioritas pembangunan ekonomi membuka peluang bagi
orang Tionghoa. Berkat pengalaman panjang perdagangannya dan kecerdasan binis, akses ke modal,
kemampuan manajerial dan teknis, jaringan bisnis dengan para pebisnis Tionghoa di wilayah Asia Timur
dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan para pemegang kekuasaan, para pengusaha
Tionghoa dapat membantu melancarkan kegiatan-kegiatan ekonomi, perkebunan yang berskala besar,
manufaktur, real estat dan perbankan, jadi kemakmuran mereka lebih besar pada zaman kolonial
Belanda dan era Soekarno (Thee, 2006; Thee, 2010: 70).

Menurut Ong Hok Ham (2008: 27) pertumbuhan kapitalisme paska 1965 merupakan bagian integral dari
era pembangunan Orde Baru, sehingga para sarjana ekonomi, politik dan sosial mengisolasi
perkembangan kapitalisme masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa. Yoshihara Kunio menulis buku
yang merupakan hasil penelitiannya selama lebih kurang lima tahun sejak tahun 1970. Buku yang
berjudul Judul Bangkitnya Kapitalisme Ersazt di Asia Tenggara yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan judul Kapitalisme Semu Asia Tenggara dan diterbitkan oleh LP3ES, 1990.
Dalam buku ini Kunio paling tidak disebut beberapa taipan dan konglomerat Tionghoa Indonesia di era
Orde Baru - di samping kapitalis besar Tionghoa di negara- yaitu, Kok Ha Ang yang negara Asia Tenggara
lainnya mencari karirnya dalam perdagangan tekstil yang kemudian digunakan patungan dengan Toray
(Easterntex dan Century Textile Industry) yang kemudian terjun dalam distribusi dimulai mobil dan
sebagai agen Honda (Imora Motor dan Prospect Motor); Tjie Siem Hoan (Ciputra) kepala PT
Pembangunan Jaya, salah satu perusahaan konstruksi dan real estat terbesar: Jan Darmadi yang pada
era Orde Baru pernah memeroleh monopoli kasino di Jakarta pada akhir tahun 1960-an dan juga
permainan prioritas pada tahun 1980-an, ia menggunakan modalnya membeli real estat dan memiliki
Skyline Building dan mitra usaha Union Textile Industries; Husain Djojonegoro pemilik Internasional
yang memproduksi batere ABC; Go Ka Him pemilik Dharmapala; Go Swie Kie besanan Go Ka Him
pemilik Gedung Sewu dan juga bergerak di bidang perdagangan dan real estat dan rekanan Robert Kuok
dari Malaysia (Kunio, 2007: 321-323).

Kunio (2007) juga menyebut Le Mong Meng (Gunawan Mumin Ali) pengendali perbankan Bank Pan
Indonesia (Bank Panin); Michael Budi Hartono tokoh utama di belakang PT Djarum Kudus; Mintardjo
Halim pemilik Sandratex; Kian Seng (Bob Hasan) yang terjun di bidang pelayaran, manufaktur,
perdagangan dan konstruksi; Yap Swie Kie (Soetopo Jananto) pendiri Berkat Group; Jauw Tjing Kie
pendiri Yasinta Poly; Lie Siong Thay (Susanta Lyman) yang terjun di bidang pengolahan kayu dan
melakukan diversifikasi ke penambangan batubara, manufaktur mobil dan produksi barang keramik;
Liem Bian Khoen (Sofjan Wanandi) yang memimpin Grup Wanandi; Liem Eng Hway (Adil Nurimba)
kelompok pemilik Gesuri, salah satu grup pelayaran terbesar di Indonesia; Liem Sioe Liong (Sudono
Salim) pemiliki kelompok bisnis terbesar di Indonesia; Liem Soei Ling pemilik PT Sampoerna yang
memproduksi rokok Dji Sam Soe; Liem Tjoen Ho (Sjamsul Nursalim) pemilik PT Gajah Tunggal; Liem Hen
Sin (Henry Onggo) pemilik Kompleks Ratu Plaza; Ong Ka Huat (Kaharuddin Ongko), pemiliki kelompok
Arya Upaya; Tan Tjie Hin (Hendra Rahardja) yang bergerak di bidang agen dan memproses motor
Yamaha, real estat, perbankan dan perhotelan dan Gajah Mada Plaza; Lee Mo Sing (Mochtar Riady)
pemilik grup Lippo. Kunio (2007) juga menyebut Kho Kie Piang (Akie Setiawan), Robby Cahyadi, Tjia Kian
Liong (William Soeryadjaya), Tan Kiong Liep (Teguh Soetantyo), Liem Hway Ho (Sutjioto Sosrodjojo), Tan
Siong Kie, Raja Ning, Tjoe Yan Hwie (Budhiwidjaya Kusumanegara), Tjoa Jien Hwie (Surya Wonowidjojo),
Tjong A Fie, Bong Dinyanyikan, Ng Boen Hwa ( Halim Wibowo), dan Oei Ek Tjhong (Eka Cipta Wijaya)
(Kunio, 1991: 323-337).
Redding (1993) menyebutkan bahwa golongan etnis Tionghoa di ASEAN, khususnya di Indonesia, unggul
dalam bidang ekonomi swasta dan warga Tionghoa di Indonesia mayoritas atau 2,1% dari populasi,
namun mereka lebih terkait dengan daru modal swasta di dalam negeri (Ong Hok Ham, 2008: 229).
Hefner (2000) menulis bahwa di Indonesia orang Tionghoa hanya sekitar 4% dari jumlah penduduk,
namun diperkirakan mereka menguasai 70-75% perusahaan menengah dan besar swasta (Hefner, 2000:
26).

Para Pedagang Jawa

Dengan melihat keberhasilan etnis tionghoa dalam perdagangan di Indonesia membuat stereotip hanya
merekalah yang memiliki perdagangan atau bisnis, yang mana hal tersebut tidak diperlukan oleh para
tetangga pribumi mereka, misalnya orang Jawa. melihat kemenangan rakyat Tionghoa dalam

Penguasaan pada perdagangan skala besar oleh orang Tionghoa sukses dapat diingkari, namun bukan
berarti orang Jawa, misalnya, tidak memiliki jiwa perdagangan. Ambil contoh sejarah perjumpaan Islam
dengan Indonesia melalui interaksi perdagangan. Para pedagang dari Persia dan Gujarat sibuk bersama
para pedagang Indonesia dan di sanalah kemudian menyebarkan agama Islam dimulai. Diperlihatkan
oleh JC ven Leur (1955, dalam Darmaputera, 1997), kondisi sehari-hari di pelabuhan pada tahun 1595
seperti berikut ini:

"Datanglah dalam kelompok besar orang-orang Jawa dan orang-orang bangsa dari bangsa-bangsa lain,
seperti Turki, Cina , Bengali, Arab, Persia, Gujarat dan lain-lain, sehingga orang sulit sekali bergerak ...
Orang-orang Cina membawa semua jenis sutra, orang-orang Jawa membawa ayam, telur bebek, dan
beraneka macam buah-buahan. "

Darmaputera (1997: 15) menjelaskan tentang masyarakat Islam -wilayah Pesisir. Menurut Alexander
(1999: 285) "kelompok-kelompok orang Jawa yang berdagang di pasar berkali-kali disebut dalam
laporan-laporan kolonial." Kemudian di era yang mendukung para tokoh nasional seperti Tirtoadisuryo,
mengembangkan Sarekat Dagang Islamiyah pada tahun 1909 untuk mendukung pedagang pribumi dan
pada tahun 1911 di Surakarta dia bersama dengan H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam
sebagai koperasi pedagang batik pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang Tionghoa (Ricklefs,
2008). Hal senada juga disampaikan oleh Geertz Pada awalnya, tahun 1911 untuk memulai dominasi
orang Batik Tionghoa dalam industri (dalam Alexander, 1999: 286).

Menurut Alexander (1999: 286) "pertalian historis antara Islam, perdagangan, dan komunitas-
komunitas pantai utara serta banyaknya orang Jawa telah menunaikan ibadah haji" telah mendukung
yang penuh. Misalnya Geertz (1965, dalam Alexander, 1999: 286) menjelaskan hubungan antara
meminta pengumpulan kekayaan yang cukup dengan biaya naik haji ke Mekah. Karena dapat
membantu, agama mendorong dan menggerakkan otoritas ekonomi untuk kegiatan-kegiatan ekonomi.
Jadi yang berhasil diperdagangkan orang Jawa tentang motif agama. Mereka bekerja keras, hemat dan
menabung agar dapat menunaikan ibadah naik haji (Alexander, 1999: 287).

Peran wanita dalam kegiatan perdagangan orang Jawa sangat dominan. Orang Jawa membedakan dua
kategori pedagang .. yaitu juragan dan bakul. Juragan pada umumnya merupakan Pedagang besar yang
umumnya laki-laki Tionghoa, juga juragan wanita Jawa. Bakul adalah para pedagang yang membeli hasil
panen para petani untuk dijual kepada para juragan. Bakul sendiri terutama adalah para wanita Jawa
(Alexander, 1999: 292).
Seorang bakul yang ideal adalah seorang periang dan suka berteman atau dalam istilah Jawa grapyak
sumeh yang mampu memainkan negosiasi yang hebat. Ia mampu melakukan tawar-menawar yang
bertele-tele agar mendapatkan harga murah dari para petani dan mendapat untung besar dari
penjualan kepada juragan. Mengapa para wanita Jawa lebih dominan dalam perdagangan? Mereka
berkata, "Nyanyikan wadon nek golek duwit ulet" (wanita ulet dalam mencari uang). Mereka agresif
menggunakan kemampuan dinamis dan keahlian tawar-menawarnya (Alexander, 1999: 296-297, 301).

Alexander (1999) menjelaskan apa yang membedakan pedagang Tionghoa dan pedagang Jawa dan
bisnis orang Tionghoa. Semuanya tidak lepas dari budaya.

Pertama, bisnis Tionghoa pada umumnya merupakan bisnis keluarga dan warisan, di semua anggota
keluarga dapat digunakan untuk mendukung dan mengembangkan bisnis keluarga. Bisnis orang Jawa
lebih dari sekedar keahlian perorangan dan wanita yang memegang kendali dan kurang mendapat
sumber daya dari keluarga, misalnya dari anak-anak.

Kedua, keluarga Tionghoa bukan hanya mewariskan bisnis kepada anak-anak mereka, namun juga
mewariskan ketrampilan bisnis kepada anak-anak mereka. Namun, sedikit wanita pedagang Jawa yang
mewariskan ketrampilan dagang kepada anak-anak yang lebih menyukai untuk berkarier atau menjadi
pegawai negeri.

Ketiga, keluarga Tionghoa akan menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam bisnis pedagangan,
namun keluarga Jawa akan mengivestasikan keuntungan dari keuntungan jual beli tanah atau beli untuk
pendidikan anak atau investasi jangka panjang. Para pedagang Jawa tidak ingin mengambil lebih banyak
dengan menginvestasikan keuntungan untuk modal dagang. Dengan demikian skala perdagangan orang
Tionghoa semakin membesar, sementara skala perdagangan orang Jawa relatif tidak berubah. Investasi
di bidang pendidikan anak-anak mereka juga menunjukkan ada kemungkinan agar anak-anak mereka
tidak mengikuti jejak orangtuanya sebagai pedagang, namun dapat pekerjaan di kantoran.

Keempat, keluarga Tionghoa pada umumnya lebih banyak memiliki jaringan, baik untuk jaringan
pemasok maupun konsumen mengenai para pedagang Jawa. Itulah hal-hal yang dapat menjelaskan
Pedagang Tionghoa lebih unggul dari pedagang Jawa.

Model Dimensi Budaya Hofstede

Mengacu pada dimensi-dimensi model budaya Hofstede, berikut ini adalah gambaran aras budaya
Indonesia.

Pertama, jarak kekuasaan di indonesia tinggi yang menunjukan bergantung pada hirarkis,
ketidaksetaraan hak antara pemegang kekuasaan dan bukan pemegang kekuasaan. Perbedaan status,
hak, atau pun kebebasan antara pemimpin dan anggota kelompok lain diterima sebagai sesuatu yang
lazim di Indonesia, namun demikian pemimpin dalam masyarakat Indonesia tidak dapat berkuasa
semena mena. Karena meskipun masyarakat Indonesia menerima hirarki kekuasaan, tetapi yang
diharapkan adalah implementasi yang bijak dari hirarki kekuasaan. Walauapun jarak kekausaaan tinggi,
namun kepemimpinan tetap diharapkan melibatkan bawahan dengan sambal tetap menampilkan
wibawa kekuasaannya, memberi arahan dan mengambil keputusan dengan tegas (Panggabean dkk,
2014: 97)
Kedua, individualisme di Indonesia rendah (skor 14 ) yang menunjukkan masyarakat kolektivitis.
Budaya guyub dalam konteks masyarakat Indonesia, berasosiasi dengan kelompok atau kolektif, dan
bukan individu, dan berorientasi pada relasi. Karena itu, di dalam dunia kerja Indonesia sangat
menjunjung tinggi kerja kekeluargaan yang penuh persahabatan dan rasa nyaman yang menjadi faktor
kepuasan kerja utama, lebih dari faktor pemenuhan atau pun fasilitas (Panggabean dkk, 2014: 74-75).

Ketiga, maskulinitas orang Indonesia rendah (skor 46). Dengan demikian sebaliknya nilai feminimnitas
orang Indonesia tinggi yang dibahas dengan nilai-nilai keharmonisan, dikedepankan. Dimensi
penghindaran konflik adalah salah satu faktor yang mengemuka saat orang Indonesia menemukan
perbedaan budaya (Panggabean dkk, 2014: 78).

Keempat, penghindaran prioritas orang Indonesia rendah (skor 48). Ketidakpastian sebagai perasaan
terancam oleh situasi yang tidak pasti dan tidak diketahui. Seseorang dengan penghindaran menentang
yang kuat berperilaku kaku, sedangkan seseorang yang berkendudukan cenderung lemah berperang
fleksibel (Hofstede 2001, Yoo dan Donthu, 2005). Orang-orang dengan penghindaran perdebatan yang
lemah menerima menerima tanpa banyak ketidaknyamanan, suka mengambil risiko, dan memilih
mendukung yang lebih besar terhadap pembaharuan-pemikiran dan perlindungan yang berbeda dengan
apa yang mereka inginkan. Mereka tidak membutuhkan detail hal-hal tentang deskripsi pekerjaan,
produk dan cara-cara penggunaan produk. Namun sebaliknya, orang-orang yang tingkat
penghindarannya berlawanan, tinggi-hati dan hati-hati dengan lingkungan (Yoo dan Donthu, 2005,
Purwanto, 2015). dan

Kelima, orientasi jangka panjang orang Indonesia tinggi (skor 62) yang diterjemahkan memiliki budaya
pragmatis (http://geert-hofstede.com). Pepatah dalam bahasa Jawa, "Alon-alon, waton, kelakon,"
sering dimaknai secara negatif karena tenang mereka pada alon-alon-nya (pelan-pelan). Namun dalam
konteks filsafat Jawa, penyelesaian pepatah ini bukan pada alon-alon-nya, namun pada kelakon-nya.
Suatu pekerjaan tidak boleh dikerjakan secara penuh dan sembarangan, namun harus dikerjakan dengan
cermat hingga tuntasnya (kelakon) pekerjaan tersebut. Penuntasan pekerjaan dengan sempurna
menjadi tujuan utama dalam bekerja, dan bukan mempercepat proses kerja dengan membalikkan
kesempurnaan hasil kerja. Paradigma Setiap pekerjaan menyempurnakan kesempurnaan hasil, dari
pada pencapaian penyelesaian pendek yang tidak sempurna. Watonosiasi pada metode atau pedoman.
Jadi dalam melakukan pekerjaan orang harus dalam pemahaman sabar, teliti, cermat dan penuh kehati-
hatian, dan dalam arti mengambil petunjuk kerja atau metode kerja, dan kelak atur terselesaikannya
pekerjaan dengan sempurna

Anda mungkin juga menyukai