Anda di halaman 1dari 12

PERAN ETNIS CINA DALAM PERKEMBANGAN EKONOMIPOLITIK INDONESIA PADA MASA ORDE BARU

Irawan Satria Pradana (24209)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah. Dalam proses perkembangan bangsa Indonesia sampai saat ini,Etnis cina merupakan salah satu elemen penting yang turut andil dalam proses terbentuknya Indonesia.Etnis cina yang merupakan kaum imigran yang tersebar di seluruh dunia, telah ada di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan,tepatnya pada masa kerajaan di Nusantara.Keberadaan Etnis Cina di Indonesia tidak terlepas dari tujuan mereka untuk berdagang dan mendirikan bisnis. Namun demikian, seiring berjalanya waktu,Etnis Cina yang menetap di indonesia juga telah melahirkan suatu budaya baru,hasil asimilasi budaya asli mereka dengan budaya Indonesia,yang kemudian menjadi sebuah identitas dan melahirkan klasifikasi masyarakat baru yang sering disebut Cina Peranakan. Eksistensi dan peran Etnis cina di Indonesia semakin besar dari waktu ke waktu. Etnis Cina telah berhasil merasuk dan menjadi suatu bagian dari tatanan masyarakat indonesia yang plural. Mereka menjadi fondasi ekonomi pasca kemerdekaan, dengan kegiatan perdagangan yang begitu intens dan skala yang besar. Menjadikan Etnis cina sebagai pemegang kontrol atas kegiatan perekonomian di Indonesia pada saat itu. Ditambah lagi,kedekatan para pengusaha Etnis Cina dengan pemerintah yang berkuasa, yang pada saat itu dipegang oleh Soeharto, semakin memperlancar usaha mereka dalam menjalankan bisnis. Selain itu,Etnis Cina yang telah berkembang di banyak wilayah di Indonesia juga telah berhasil membentuk suatu lapisan masyarakat baru yang terstruktur dan terorganisir, dan mereka juga telah merasa sebagai satu bagian dari masyarakat indonesia, yang kemudian memunculkan keinginan Etnis Cina untuk turut berpartisipasi dalam menyuarakan tuntutan serta pendapat mereka dalam perpolitikan Indonesia, Yang kemudian baru terwujud secara nyata pasca Reformasi.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kami selaku penulis mencoba mengangkat topik yang berkaitan dengan peranan Etnis Cina dalam perkembangan ekonomi-politik Indonesia, khususnya pada masa Orde baru.

B. Landasan Konseptual a. Landasan Konseptual Untuk membatasi permasalahan agar lebih sistematis dan fokus, serta untuk membantu saya menganalisis paper yang saya angkat, saya akan menggunakan konsep behavioural approach dan konsep neo-patrimonialisme.

Behavioural Approach Konsep ini digunakan agar obyek penelitian menjadi lebih terspesialisasi. Maka dari itu, saya memilih konsep ini untuk membantu membatasi permasalahan agar lebih sistematis dan fokus. Pendekatan ini menekankan pada pola-pola yang dibentuk oleh individu, dalam konteks ini yakni prilaku Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Karakter dan kepercayaan Soeharto sangat mempengaruhi sistem sosial dan politik Indonesia saat itu, termasuk mempengaruhi perekonomian Indonesia. Karena hal inilah, penulis memilih behavioiral approach sebagai salah satu landasan konseptual untuk menganalisis paper ini. Konsep Neo-Patrimonialisme Max Weber, yang pertama kali mengemukakan konsep ini, merumuskan bahwa dalam birokrasi patrimonial, individu dan golongan yang berkuasa mengontrol kekuasaan dan otoritas jabatan untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka. Investasi-investasi yang mengalir masuk akan mendapatkan jaminan keamanan dengan perlindungan dari patronpatron yang berkuasa di kalangan elit pemerintah.( Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990)). Pada hakikatnya patrimonialisme bukan suatu hambatan, namun apabila patrimonialisme berlangsung dalam periode yang lama, birokrasi patrimonial ini dapat menjadi hambatan bagi pembangunan ekonomi. Karena struktur ini penuh dengan ketidakpastian, sementara kapitalis industri menginginkan adanya hukum yang bersih dan struktur yang dapat diramalkan. Contoh

patrimonialisme sebagai hambatan dapat kita temukan dalam kebijakan mobil nasional yang dikeluarkan Soeharto pada 1996. General Motors saat itu baru menginvestasikan $110juta untuk merakit kendaraan di Indonesia merasa dirugikan dengan keputusan Soeharto yang begitu memihak bisnis mobil Tommy.

Richard Robison adalah salah satu pakar ekonomi dari Australia yang turut menguatkan opini beberapa ahli lainnya bahwa jenis birokrasi yang berjalan di Indonesia ketika itu adalah birokrasi patrimonial. Beliau mengungkapkan bahwa fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia pada dasarnya memang berakar dari birokrasi patrimonial. Bagaimana bisa? Misalkan saja, Soeharto sebagai patron memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Tentu hubungan ini adalah simbiosis mutualisme. Pengusaha, bawahan dan orang-orang yang mendapat perlindungan dari Soeharto tersebut juga akan memberikan dukungan mereka kepada Soeharto. Sehingga, bahkan bukan hanya praktek korupsi yang terjadi, namun juga praktek kolusi, nepotisme dan monopoli di negeri ini.

C. Hipotesis

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa kesuksesan usahausaha Etnis cina di indonesia juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah, yang saat itu dipegang oleh Soeharto.. Selain itu, hubungan timbal-balik antara pemerintah dan para pengusaha Etnis Cinapun memiliki dampak yang berarti bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Padahal, dampak dari hubungan saling ketergantungan tersebut tidak memberi keuntungan bagi kesejahteraan warga Indonesia di sektor lain, karena terdapat banyak sektor penting selain ekonomi yang terabaikan, misalnya pembangunan dan masalah pemerataan kesejahteraan, karena perkembangan perekonomian pada saat itu hanya menguntungkan kaum Pengusaha besar. Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan yang mendasari makalah ini, hipotesis yang kami ajukan adalah bahwa Peranan Etnis Cina dalam perkembangan ekonomi-politik Indonesia tidak hanya memberi dampak positif bagi Indonesia,namun juga mempunyai sisi negatif, yaitu mengabaikan pengembangan negara di sektor lain,serta menyuburkan

praktik KKN, serta memotong arus aspirasi masyarakat, dengan sibuknya pemerintah menjaga dan mendukung kaum Pengusaha.

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Latar belakang Kedatangan Etnis Cina di Indonesia. Bangsa cina merupakan bangsa perantau yang didominasi oleh kaum pedagang. Kondisi sosiologis di Cina sebagai sebuah negeri yang sempat dijuluki Tirai Bambu karena penerapan sistem komunis totaliternya. Merupakan tipologi masyarakat yang cenderung berkelana dan berjuang hidup dengan cara berdagang dan bisnis. warga Cina Peranakan pada tahun 1930 setidaknya nampak jelas bahwa peranan mereka lebih banyak dibidang perdagangan. Sebelumnya, telah muncul klasifikasi warga Cina keturunan/peranakan (yang lahir di Indonesia) dan warga Cina totok atau asli. Keduanya memang sangat berperan dalam bidang perdagangan di Indonesia, pada tahun 1930-an. Terutama warga Cina Asli yang menurut analisa, pada pasca kemerdekaan, yang lebih mendominasi arus perdagangan di Indonesia. Peranan kuat atas perekonomian di Indonesia yang dilakukan oleh orang-orang Eropa dan warga Cina memang cukup banyak dicatat dalam sejarah. Semacam terdapat pembagian peran kala itu pasca pra-kemerdekaan; Eropa yang berperan sebagai eksportir dan importir, warga pribumi sendiri berperan sebagai petani nelayan, pedagang eceran, dll, sedangkan peran warga Cina peranakan berada diposisi tengah-tengah sebagai pedagang perantara atau distributor besar. Memasuki Tahun 1986 sampai Agustus 1999 merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan Keluarga Cendana. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi point istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas. Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dan dibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang menyakitkan dengan adanya krisis moneter. Kalangan bawah bergerak karena ketidakpuasan terhadap situasi dan

kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunya tercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko serta pusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnya mantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.

Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yang memiliki usaha. Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari ke luar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnis Cina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminan keamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan. B.Peran dan Loyalitas Politik Etnis Cina di Indonesia. Menurut Dr.Leo Suryadinata dalam bukunya Dilema Minoritas Tionghoa, yang disana membagi zaman pergerakan di Indonesia sebelum kemerdekaan menjadi 2 tahap; tahap pergerakan proto-nasionalis (1908-1926), dan tahap nasionalisme Indonesia sesungguhnya (1927-1942), dimana konsep tentang negara bangsa, lambang, bendera, dan lagu kebangsaan mulai munscul. Sebenarnya sejak tahap proto-nasionalis, warga minoritas Tionghoa, dalam buku tersebut, sudah mulai tersisih dari pergerakan. Ditandai dengan terbentuknya Tiong Hoa Hwee, organisasi pertama warga Tionghoa yang terbentuk 1900, 8 tahun lebih awal dari Boedi Utomo yang terbentuk 1908. Saat penjajahan Belanda di Indonesia, Pemerintah Hindia-Belanda mengklasifikasikan penduduk Indonesia menjadi 3 bagian berdasarkan etnis atau bersifat rasial, dan masing-masing memiliki aturan perundang-undangan dari pemerintah HindiaBelanda yang berbeda; Orang-orang Eropa (Belanda), Orang Timur Asing (termasuk warga Tionghoa,dan Arab), dan Pribumi (masyarakat Indonesia). Orang-orang Tionghoa, sebenarnya pada sejak tahun 1900 tersebut telah keluar dari status Tionghoa Lokal dan kembali menganggap diri mereka masih merupakan bagian warga Cina. Adapun pergerakan Indonesia yang ketika itu terdapat Indische Partij dan Partai Komunis Indonesia hanya berlaku bagi keanggotaan orang Indonesia Asli. Dan gerakan Syarikat Islam malah bernada anti-Tionghoa. Pada saat itu warga Tionghoa secara politis

memang tidak diberikan tempat yang layak hingga pada kebebasan berpolitik praktis sekalipun. Namun, pada tahap kedua, menurut Dr. Leo Suryadinata, tahap nasionalis sesungguhnya, dimana muncul Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang memberikan kesempatan warga Tionghoa peranakan untuk bergabung sebagai anggota. Bahkan Ketua Gerindo, Amir Syarifuddin mengatakan bahwa kewarganegaraan seseorang tidak ditentukan oleh darah, warna kulit, atau bentuk muka akan tetapi oleh 3 faktor, yaitu: tujuan, cita-cita, dan keinginan yang kuat.(Suryadinata;1986). Namun muncul pro-kontra terkait kebijakan Gerindo tersebut apalagi mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia. Terdapat insiden yang terjadi pada tahun 1918 yakni huru-hara anti-Tionghoa yang terjadi di Kudus, yang melibatkan Syarikat Islam, dengan warga Tionghoa setempat. Peristiwa tersebut menuai pro-kontra terkait sebab-musabat insiden itu terjadi, ada yang berpendapat etnis Tionghoa menjadi awal kerusuhan, dan etnis Tionghoa menyatakan Syarikat Islam bertanggung jawab atas insiden tersebut, dikarenakan perbedaan persepsi mengenai bangsa, dan pengaruh warga Tionghoa secara ekonomi memang sangat kuat kala itu. Maka,terdapat suatu pendapat khusus mengenai alasan pendirian Syarikat Dagang Islam yang sebenarnya memiliki tujuan untuk memajukan perdagangan pribumi muslim dan berusaha mendobrak monopoli ekonomi warga Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa. Sebenarnya pada tahun itu pula, warga Tionghoa sudah diberikan kesempatan, mesti kecil untuk bergabung dalam keanggotaan Insulinde, Indische Partij yang berubah nama dan bersikap sedikit longgar terhadap Tionghoa peranakan. Dan perlu diketahui pada saat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, seluruh perwakilan organisasi kepemudaan dari berbagai suku (kecuali Irian Jaya), hadir dalam pengesahan sidang kepemudaan Indonesia tersebut, namun disana tidak terdapat satu pun organisasi Tionghoa peranakan yang menghadiri sidang sumpah pemuda, melainkan seorang saja, yang bernama Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman, yang mewakili Jong Sumatranen Bond. (Leo Suryadinata;1986). Analisa yang terbentuk pada saat zaman penjajahan secara politis, umumnya pergerakan Indonesia menolak minoritas Tionghoa dalam organisasi-organisasi politik, dan sekaligus menolak mereka untuk masuk dalam pencitraan bangsa Indonesia.Perspektif yang dibangun mengenai bangsa Indonesia yang merupakan warga Indonesia asli. Menjadi buah pemikiran kaum nasionalis Islam hingga nasionalis sekuler. Cara pandang tersebut

berimplikasi pada sistem kenggotaan partai atau organisasi pergerakan kala itu. Serta sikap pribumi terhadap minoritas Tionghoa. Namun belakangan sikap tersebut berubah pasca kemerdekaan dan berimplikasi pada sistem keanggotaan organisasi politik bagi warga Tionghoa. Pasca kemerdekaan Indonesia, setidaknya mulai muncul titik terang keikutsertaan warga Tionghoa peranakan dalam perpolitikan Indonesia. UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit bahwa semua warga negara berkedudukan sama didepan hukum. Dan pada September 1946, Bung Hatta meyakinkan orang Tionghoa bahwa mereka mendapat kedudukan dan hak yang sama dengan orang Indonesia asli. Kebijakan politik Indonesia dalam menyikapi warga Tionghoa, sebenarnya tidak lepas dengan kondisi RRC sebagai negeri asal penduduk Tionghoa. Kondisi RRC yang ketika itu dinilai sebagai kekuatan komunis terbesar di dunia, mendapat perhitungan yang matang dari Indonesia. Selain itu, pemerintah pasca kemerdekaan sedang gencar-gencarnya meminta dukungan dari beberapa negara untuk mengakui kedaulatan NKRI, negara yang pertama mengakui; Mesir dan India. Namun, peran politik warga Tionghoa sempat terjebak pada kondisi instabilitas kedua negara, terutama kecurigaan pemerintah RI akan kondisi dan status RRC sebagai negara komunis. Terbukti, salah satunya disaat pemerintahan Hatta yang non-komunis mulai mencurigai aktifitas dikedutaan RRC di Indonesia, dengan duta besar pertama RRC saat itu,Wang Jen-Shu. Peran secara individual warga Tionghoa secara politis memang tidak begitu signifikan apalagi kalau dihadapakan pada kondisi pasang surut pemerintah RI dengan RRC, menyebabkan ruang politik warga Tionghoa masih terbatas pada organisasi bentukkan mereka sendiri yang sifatnya masih tradisional, dan bercorak ekonomi. Kebijakan pemerintah Soekarno dengan Jakarta-Peking-Pyongyang-nya dulu pun tidak berdampak cukup signifikan pada kesempatan warga Tionghoa masuk dalam jajaran kabinet maupun jabatan politis lainnya. Bahkan kebijakan pemerintah dalam UUD 1945 menyatakan bahwa presiden Indonesia merupakan warga negara Indonesia asli. Berarti, secara tidak langsung mengubur harapan warga keturunan untuk bercita-cita tinggi, menjadi presiden.

Orde baru sebagai rezim pemerintah berlabel republik terlama didunia, berhasil membuka kran bagi warga Tionghoa perawakan untuk sedikit bernafas lega, mesti angin pasca PKI masih sesekali berhembus dan berimplikasi pada kehidupan mereka sehari-hari. Namun, hubungan antara pemerintah dengan para pengusaha kakap asal Tionghoa menjadikan mereka mendapat tempat yang layak dikalangan birokrasi pemerintah, dan sedikit mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah, khususnya dibidang ekonomi. Sebelum akhirnya Orde Baru tumbang pada Mei 1998, dan berganti kepada era reformasi. Disana sudah muncul kepemimpinan Tionghoa peranakan yang berhasil menjabat sebagai salah satu menteri yang paling strategis. Kwik Kian-Gie, sosok warga Tionghoa yang berhasil menduduki jabatan strategis pada pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Sebenarnya, kalau dikatakan warga Tionghoa memiliki loyalitas terhadap Indonesia. Sudah terbukti dari sikap mereka turut dalam memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia pasca kemerdekaan. Para investor asing terutama Tionghoa. Sudah lama berkecimpung ditengah arus pasar bebas. Selain itu, cukup banyaknya warga Tionghoa yang mampu berasimilasi dalam kehidupan mereka dimasyarakat, hidup menyatu dengan masyarakat Indonesia. Mengakui kedaulatan Negara Indonesia dengan bersedia menjadi warga negara Indonesia dengan menggunakan prasyarat yang telah dibuat pemerintah. Loyalitas mereka pun nampak pada kesediaan mereka menggunakan bahasa Indonesia dan segala atribut nasional Indonesia, melakukan pendidikan yang bercampur dengan pribumi, sebelum akhirnya ada juga diantara mereka yang enggan bersekolah di negeri dan lebih memilih berpendidikan disekolah swasta, yang diketahui hanya merupakan bentuk pencarian kearah kualitas pendidikan formal. Saat ini tidak ada yang mesti dikhawatirkan mengenai kondisi warga Tionghoa yang sudah puluhan tahun berdomisili di negara Indonesia. Loyalitas tidak semata diukur dengan kemampuan mereka mempelajari dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, namun Tionghoa menjadi sebuah unsur terpenting dalam proses pembangunan bangsa Indonesia kearah perubahan dan perbaikan. Itu merupakan bagian dalam proses mengisi pembangunan di Indonesia, dari aspek ekonomi, politik, dan kebudayaan.Tionghoa menjadi entitas yang utuh dalam kebudayaan Indonesia, sebagai bagian multikulturalisme dalam berbangsa.

BAB III KESIMPULAN

Kedekatan Soeharto dengan para pengusaha Etnis Cina memang tidak selalu berkonotasi negatif. Ada beberapa pengusaha Etnis Cina yang dapat mengembangkan usahanya sendiri hingga berkembang pesat sehingga mampu menopang perekonomian Indonesia. Akan tetapi, kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa dalam beberapa kasus, bisnis tidak dapat dipisahkan dari politik. Begitu juga sebaliknya. Berkembangnya perusahaan-perusahaan konglomerasi Etnis Cina di era Soeharto, adalah akibat birokrasi patrimonial yang berlaku saat itu. Dalam jenis pemerintahan patrimonial seperti itu, praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) hampir tidak dapat dihindari lagi. Soeharto, yang saat itu adalah pemegang kekuasaan utama di Indonesia, menjadi patron paling kuat dan memberikan perlindungan kepada pengusaha, bawahan dan orang-orang yang loyal kepadanya. Sebagai balasan, aktor-aktor yang telah dilindungi Soeharto memberikan dukungan kepadanya. Praktek KKN dalam struktur birokrasi patrimonial tersebut berimplikasi pada pertumbuhan usaha usaha Etnis Cina di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun. Sebagai pengusaha yang terkenal paling dekat dengan Soeharto, Liem Siong Liong berhasil membawa Grup Salim menjadi grup konglomerat terbesar di Indonesia saat itu, bahkan di Asia Tenggara. Sebagai grup bisnis dengan skala besar, tentu Grup Salim dan konglomerat lainnya juga membawa implikasi yang positif terhadap Indonesia. Salah satunya adalah, mereka mampu bersaing di pasar global karena memiliki sarana dan dana yang cukup. Namun tidak sedikit pula dampak negatif dari dukungan pemerintah terhedap usahausaha Etnis Cina yang berlebihan ini. Salah satunya, para Pengusaha Besar adalah salah satu aktor krusial yang melatarbelakangi krisis 1997. Karena ingin mengembangkan imperium bisnis mereka dengan cara yang instan, beberapa pengusaha mulai meminjam modal dari luar negeri tanpa banyak pertimbangan. Dampak dari kecerobohan mareka terjadi pada tahun 1997, ketika Indonesia diterpa krisis moneter. Ketika nilai rupiah terus merosot dan mereka kesulitan mengembalikan pinjaman, mereka mulai menjual sahamnya. Sehingga permintaan akan valuta asing berubah menjadi rush pada 14 Agustus 1997.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur: Suryadinata,Leo, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, 1999, Jakarta: Pustaka LP3S Dilema Minoritas Tionghoa, 1986, Jakarta : Grafiti Press Soetoprawiro,Koerniatmanto, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia, 1994, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Kansil, CST, Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia, 1996, Jakarta : Sinar Grafika Wang, G. W., dan Jennifer Cushman. (1991). Perubahan indentitas orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka Utama Grafika. Mackie, J.A.C. (1991). Peran ekonomi dan identitas etnis Cina Indonesia dan Muangthai dalam Wang Gung Wu dan Jennifer Cushman, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggar. Jakarta: Pustaka Utama Grafika. Muhaimin, Jahja A, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990)

Situs Internet

Sejarah kelahiran kaum Tionghoa di indonesia (http://web.budaya-tionghoa.net/tokoh-adiaspora/sejarah-tionghoa)

Anda mungkin juga menyukai