Anda di halaman 1dari 7

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Era Reformasi indonesia ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak /ibu Guru
pada . Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Era Reformasi
indonesia bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu Guru, yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai saya .

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Pada era reformasi sekarang ini, media massa berkembang sangat pesat, tidak seperti
pada masa orde baru, perkembangan media massa pada saat itu tidak bebas dalam perannya
untuk menyuarakan kepentingan public. Media yang mengancam kekuasan Negara
mengalami bayangbayang akan adanya pembredelan dan pengensoran. Dalam sejarahnya
pada Tahun 1945 sampai dengan 1950- an, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan
untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Di penghujung Tahun 1945,
pertumbuhan pers semakin baik, yang ditandai oleh mulai beredarnya surat kabar di tanah air
seperti Koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent,
Indonesia News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia (Ishak Salim,
2013: 4). Pada Tahun 1950-1960- an, masa ini pers menjadi pers partisan yang memiliki
tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya. Masa ini merupakan masa
pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak
didirikannya partai politik dalam memperkuat sistem pemerintahan parlementer. Pers masa
itu merupakan alat propaganda dari partai politik. Beberapa partai politik memiliki media
atau koran sebagai corong partainya. 2 Seiring dengan berkembangnya rezim orde baru,
menandai tumbuhnya pers komersial di Indonesia. Pers mengalami depolitisasi dan
komersialisasi pers. Pada Tahun 1973, pemerintah orde baru mengeluarkan peraturan yang
memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai yaitu, Golkar, PDI dan PPP.
Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa
terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik. Pada Tahun 1982,
lahir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1982 (code of intreprise) yang menegaskan bahwa
urusan-urusan perusahaan dalam Undang-Undang ini penguasa tidak memiliki kewenangan
untuk mengatur pers. Agar dapat mengawasi pers departemen penerangan mengeluarkan
peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 Tentang surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah penerbitan pers, yang izin penerbitannya dicabut
oleh departemen penerangan akan langsung ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang
mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah dan pers
yang seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya. Selanjutnya 1990-an pers
Indonesia mengalami repolitisasi lagi. Yang dimaksudkan, bahwa pada Tahun 1990 ini,
sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang
pemerintah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde
Baru. Kemudian pada tahun 1994, ada tiga majalah 3 mingguan yang ditutup, yaitu Tempo,
Detik, dan Editor. Ketiganya di bredel, karena pemberitaannya tergolong kritis kepada
penguasa. Tindakan refresif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari
banyak kalangan secara merata disejumlah kota. Dan pada hari itu juga terjadi adanya
Deklarasi Sirnagalih dan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan inti dari Deklarasi
ini adalah menuntut dipenuhinya hak public atas informasi, menentang pengekangan pers,
menolak wadah tunggal untuk jurnalis. (http://aji.or.id/read/sejarah.html) Lalu, Pada Tahun
1990-1997, pers mulai mengalami komersialisasi dan diversifikasi media yang banyak
dilakukan oleh kelompok-kelompok besar. Sayangnya, industri pers harus menelan pil pahit
lagi, yaitu dengan adanya krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia pada Juli
1997 berimbas pada industri pers. Saat itu harga kertas Koran membumbung tinggi, banyak
wartawan dan karyawan-karyawan perusahaan pers rela dipotong gajinya bahkan ada yang
mengalami PHK. Berbagai cara dilakukan oleh surat kabar untuk bisa eksis, seperti
mengurangi jumlah halaman.(Hisyam, 2003: 395) Setelah reformasi bergulir Tahun 1998,
pers Indonesia mengalami perubahan luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan,
kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi. Dan departemen Penerangan, yang dulu
dikenal sebagai lembaga pengontrol media, dibubarkan. Lalu Undang-Undang Pers pun
diperbaiki sehingga menghapus ketentuanketentuan yang menghalangi kebebasan pers pada
masa ini pula terbentuk 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ini ditandai
dengan terbukanya kran kebebasan informasi dan kebebasan ini ditunjukkan dengan
dipermudahnya pengurusaan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Fenomena ini juga
ditandai dengan munculnya ratusan mediamedia baru di indonesia baik secara cetak dan
elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. (Pramono, Materi Mata Kuliah, Hukum
Media Massa, 2015) .

Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang diamanatkan oleh UUD RI Tahun 1945
adalah pemerintahan demokratis, desentralistis, bersih dari praktek Kolusi, Korupsi dan
Nepotisme (KKN), serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik secara adil. Ketentuan
tentang bentuk pemerintahan seperti tersebut tertuang dalam berbagai Undang-Undang
sebagai pelaksanaan dari UUD RI Tahun 1945 yang merupakan sublimasi cita-cita luhur
bangsa Indonesia. Untuk menyelenggarakan pemerintahan seperti tersebut perlu dibangun
aparatur negara yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek KKN,
berintegritas tinggi, serta berkemampuan dan berkinerja tinggi. Sesuai publikasi Bank Dunia
yang baru saja dirilis, Investing in Indonesia’s Institutions for InclusIIe and Sustainable
Development menunjukkan konsekuensi dari tranformasi Indonesia menjadi negara
berpendapatan menengah. Permintaan masyarakat akan pelayanan publik bermutu, dan cepat
akan mengalami peningkatan.
BAB II

ISI

Peran Pemerintah Pusat dibatasi untuk menangani hanya hal-hal yang berhubungan dengan
pertahanan, kebijakan luar negeri, kebijakan fiskal-moneter dan makro ekonomi, peradilan dan
agama. Yang tidak kalah penting adalah bahwa Daerah menerima bagian pendapatan yang lebih
besar dari produksi sumber daya alam lokal. Sebelumnya, Daerah selalu merasa tidak nyaman
melihat mayoritas pendapatan dari sumber daya alam lokal mengalir kepada para pemangku
kepentingan di Ibukota Jakarta. Namun, karena tidak setiap daerah di Indonesia diberkati dengan
sumber daya alam yang melimpah, kesenjangan di antara daerah kaya dan miskin meningkat.

Seiring dengan kekuasaan, korupsi juga terdesentralisasikan ke tingkat daerah. Muncul “negara-
negara bayangan” tempat elit daerah memegang kendali kekuasaan, bisnis dan aliran dana. Salah
satu korban dari era baru ini adalah lingkungan hidup Indonesia. Izin-izin penebangan dan
pertambangan dalam skala besar diberikan oleh otoritas lokal (terutama di pulau-pulau yang kaya
sumber daya seperti Sumatera dan Kalimantan) sebagai ganti bayaran uang yang besar.
Pemberian izin ini biasanya dilakukan tanpa proses administratif maupun pengawasan yang
layak. Sekarang, hampir 20 tahun kemudian, konsekuensi dari tindakan-tindakan ini masih tetap
terasa karena sering ada ketidakjelasan tentang ukuran wilayah konsesi karena pemerintahan
yang lemah di era pasca-Suharto.

Proses desentralisasi juga disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan di daerah-daerah di


Indonesia. Kekerasan ini terkait kuat dengan aspek etnis atau agama karena munculnya
persaingan untuk posisi politik lokal dalam kaitannya dengan kebangkitan identitas daerah.
Untuk informasi lebih lanjut tentang topik ini, kunjungi bagian Kekerasan Etnis dan Agama.

Peran Pemerintah Pusat dibatasi untuk menangani hanya hal-hal yang berhubungan dengan
pertahanan, kebijakan luar negeri, kebijakan fiskal-moneter dan makroekonomi, peradilan dan
agama. Yang tidak kalah penting adalah bahwa Daerah menerima bagian pendapatan yang lebih
besar dari produksi sumber daya alam lokal. Sebelumnya, Daerah selalu merasa tidak nyaman
melihat mayoritas pendapatan dari sumber daya alam lokal mengalir kepada para pemangku
kepentingan di Ibukota Jakarta. Namun, karena tidak setiap daerah di Indonesia diberkati dengan
sumber daya alam yang melimpah, kesenjangan di antara daerah kaya dan miskin meningkat.

Seiring dengan kekuasaan, korupsi juga terdesentralisasikan ke tingkat daerah. Muncul “negara-
negara bayangan” tempat elit daerah memegang kendali kekuasaan, bisnis dan aliran dana. Salah
satu korban dari era baru ini adalah lingkungan hidup Indonesia. Izin-izin penebangan dan
pertambangan dalam skala besar diberikan oleh otoritas lokal (terutama di pulau-pulau yang kaya
sumber daya seperti Sumatera dan Kalimantan) sebagai ganti bayaran uang yang besar.
Pemberian izin ini biasanya dilakukan tanpa proses administratif maupun pengawasan yang
layak. Sekarang, hampir 20 tahun kemudian, konsekuensi dari tindakan-tindakan ini masih tetap
terasa karena sering ada ketidakjelasan tentang ukuran wilayah konsesi karena pemerintahan
yang lemah di era pasca-Suharto.
Proses desentralisasi juga disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan di daerah-daerah di
Indonesia. Kekerasan ini terkait kuat dengan aspek etnis atau agama karena munculnya
persaingan untuk posisi politik lokal dalam kaitannya dengan kebangkitan identitas daerah.
Untuk informasi lebih lanjut tentang topik ini, kunjungi bagian Kekerasan Etnis dan Agama.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lahirnya reformasi tak lepas dari Jatuhnya rezim Orde Baru yang memiliki gaya politik
kekuasaannya yang cenderung otoriter, represif dan tidak demokratis. Dengan kekuatan
utamanya, Golkar dan Militer. Orde Baru berhasil mempertahankan kelangsungan
kekuasaannya selama tiga dasawarsa lebih. Sikap perlawanan dan oposisi yang dilakukan
oleh kelas menengah muslim dan non muslim berhasil dipatahkan mengingat betapa
sangat berkuasanya rezim ini dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Baru
setelah krisis ekonomi menjalar ke Indonesia dan memporakporandakan perekonomian
nasional, arus deras perlawanan yang dilakukan mahasiswa dengan rakyat semakin
menemukan momentumnya untuk menjatuhkan rezim Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri
lagi, akhirnya rezim Soeharto (Orde Baru) jatuh, dan digantikan wakilnya, B. J. Habibie.
Era Reformasi yang sering disebut sebagai era keterbukaan dan kebebasan politik telah
menciptakan sebuah kondisi yang mendukung bangkitnya kembali politik Islam dan
tumbuhnya gagasan-gagasan tentang formalisasi syariat Islam di Indonesia.

B. Saran

Dari hasil penelitian ini, peneliti dapat melihat perjuangan politik Islam di
Indonesia, yang mengalami perjalanan panjang. Indonesia adalah negara mayoritas
penduduk Islam bukan berarti negara Islam. kita juga harus bisa memberikan toleransi
terhadap semua kalangan.

Anda mungkin juga menyukai