Anda di halaman 1dari 3

1.

Pertumbuhan studi perbandingan pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari fenomena


munculnya negara-negara baru di dunia. Pada tahun 1945, tepatnya setelah berakhirnya
Perang Dunia II, telah lahir sekitar 70 negara merdeka baru. Negara-negara tersebut
termasuk bagian dari negara-negara sedang berkembang yang berjuang menjadi negara
merdeka dari kekuasaan negara-negara kolonial.

Beberapa negara baru lahir di Eropa bagian timur setelah perang dunia pertama yang
meruntuhkan kerajaan Turki dan Austo-Hungaria. Kelahiran negara-negara baru yang lebih
masif terjadi pada akhir tahun 1940 hingga 1960 yang sebagian besar terjadi di wilayah
Timur Tengah, Afrika Utara, dan Afrika Selatan Subsahara. Setelah masa tenang, sejumlah
kecil negara-negara kepulauan menjadi independen terutama di Pasifik dan Karibean.

Gelombang munculnya negara-negara merdekaberikutnya terjadi di akhir tahun 1980,


sebagai hasil dari runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia. Sampai periode pertengahan 1990-
an lebih dari 170 negara telah lahir. Sebagian besar dari mereka memiliki tingkat populasi
penduduk yang berjumlah kecil, kecuali dua negara besar (Cina/Tiongkok dan India yang
memiliki populasi penduduk seribu juta jiwa) dan sejumlah kecil negara-negara yang
berpenduduk padat (Indonesia, Brazil, Rusia, Jepang, Bangladesh, Pakistan, dan Nigeria)
yang memiliki penduduk di antara lebih dari 250 juta jiwa dan beberapa lainnya lebih dari
100 juta jiwa.

Munculnya negara-negara baru tersebut telah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
karakter perkembangan studi perbandingan pemerintahan. Tidaklah mengejutkan jika
negara-negara di kawasan Eropa Timur dan di kawasan Amerika Selatan menjadi pusat
kajian. Dan studi perbandingan pemerintahan kemudian meningkatkan fokusnya pada
negara-negara sedang berkembang di wilayah lainnya. Berbagai permasalahan yang terjadi
di negara-negara sedang berkembang ini semakin rumit sehingga memerlukan solusi dengan
melakukan kajian perbandingan lintas negara (Blondel, 1995: 7).

2. A. Masih terbayang dalam ingatan kita ketika Indonesia pada tahun 1998 dihantam krisis
multidimensial yang tidak berkesudahan karena ketidaksiapan infrastruktur ekonomi
menghadapi kepanikan pasar uang di Asia Timur. Krisis yang pada awalnya terjadi di Korea
Selatan dan Taiwan menjalar hingga mencapai Thailand dan Indolesia. Capital flight besar-
besaran yang terjadi dalam waktu singkat mendepresiasi nilai tukar mata uang lokal secara
tajam. Di Indonesia, nilai tukar rupiah melemah hingga hampir 800 persen, dari 2000
menjadi 18000 rupiah per satu dollar Amerika. Kondisi ini meruntuhkan bangunan ekonomi
yang selama 32 tahun diarsiteki oleh orde baru.

Berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia yang tidak kunjung pulih, Negara-negara di
Asia timur justru bisa segera memulihkan ekonomi domestik. Krisis yang menghantam
Indonesia pada awalnya terjadi hanya di sektor ekonomi, justru, semakin meluas dan
merambat ke wilayah sosial dan politik. Krisis ekonomi mengakibatkan lemahnya nilai tukar
rupiah sehingga banyak perusahaan harus gulung tikar karena semakin tingginya ongkos
produksi untuk bahan baku berbasis impor. Terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-
besaran semakin menurunkan daya beli masyarakat dan pada kesempatan yang sama harga
beragam kebutuhan pokok merangkak naik. Hal ini menimbulkan masalah sosial lain berupa
membengkaknya angka pengangguran. Dampaknya adalah munculnya krisis politik berupa
hilangnya kepercayaan publik terhadap regim orde baru yang lengser dan digantikan oleh
orde reformasi ditengah semakin terpuruknya masyarakat dalam ketidakpastian.

B. Analisis atas perilaku tidak hanya dilakukan pada level individu tapi bisa juga
dilakukan terhadap organisasi maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi
tersebut. Ruang lingkup analisis bukan hanya konteks (context) tapi juga tindakan
(conduct) yang dilakukan sehingga ketika individu tersebut adalah aktor pembuat
keputusan pada tingkat elit negara maka analisis bergeser ke level Negara.
Konsekuensinya, struktur Negara menjadi alat yang dapat digunakan oleh
individu untuk mempengaruhi perilaku masyarakat melalui penggunaan institusi
(rules and regulations).

3. A. Kegiatan ini didesain agar peserta mampu memiliki pemahaman tentang dinamika dan
konteks kebijakan publik kesehatan di Indonesia melalui konsep analisis kebijakan, teknik
analisis kebijakan, pengambilan keputusan, dan dokumentasi saran kebijakan (policy
brief/policy memo).

Setelah mengikuti pelatihan ini diharapkan peserta akan mampu menguasai proses analisis
kebijakan publik, yang dinilai dari kemampuan:

Menjelaskan konsepsi dan manfaat analisis kebijakan yang secara rasional bisa dijalankan
Menjelaskan berbagai Teknik dalam analisis kebijakan
Menunjukkan berbagai kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan
Mampu merumuskan solution analysis secara sederhana namun subtantif ke dalam
dokumentasi kebijakan, berupa policy brief.
Memahami teknik komunikasi dan advokasi kebijakan.
Hal yang dihasilkan
Program ini diharapkan dapat menghasilkan dokumen Analisis Kebijakan dan Policy Brief di
berbagai topik prioritas untuk disampaikan ke stakeholder terkait serta disajikan dalam
berbagai pertemuan ilmiah.

Kegiatan dilakukan dengan Blended Learning dan berasarkan modul dari LAN. Peserta dapat
mengikuti dengan menggunakan teknologi jarak-jauh.

B. Indonesia secara formal mendeklarasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945.


Sejak tanggal tersebut, Indonesia menunjukkan gejala disintegrasi dan elitisme di dalam
kehidupan politiknya. Gejala disintegrasi (berupa secession) sekurangnya terjadi dalam
aneka pemberontakan Negara Islam Indonesia, PRRI-Permesta, PKI Madiun, berdirinya
gerakan politik semacam Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, dan Organisasi
Papua Merdeka.

Berbagai fenomena ini menunjukkan kecenderungan umum belum selesainya proses


integrasi politik Indonesia. Gejala lain yang juga mendorong munculnya pertanyaan
bagaimana sesungguhnya pola integrasi yang terjadi tanggal 17 Agustus 1945? Integrasi
semacam apa yang terjadi pada tanggal tersebut, mengingat segera setelah deklarasi
kemerdekaan tersebut, Indonesia terus dirundung oleh aneka peristiwa yang dekat dengan
disintegrasi.

Dalam 3 era Demokrasi yang berlangsung di Indonesia, yaitu Demokrasi Liberal I (1953 –
1957), Demokrasi Pancasila (selama Orde Baru), dan Demokrasi Liberal II (pasca reformasi
1998), proses integrasi seolah belum selesai. Pola tetap hubungan pusat-daerah seperti
belum terbangun sempurna, sementara keterlibatan warganegara di dalam pengambilan
keputusan di tingkat pusat (juga daerah) seolah tersekat oleh elitisme politik yang terbentuk
oleh oligarki partai politik. Keresahan politik yang dialami pada level warganegara seperti
mengalami distorsi manakala telah dimobilisasi oleh partai politik, sehingga perundang-
undangan yang kemudian muncul kerap bukan merupakan jawaban paralel atas tuntutan
yang masuk dari level warganegara. Perundang-undangan yang terbentuk justru merupakan
penyesuaian kepentingan elit politik yang mereka terjemahkan ke dalam bentuk undang-
undang.

Sebagai contoh, di dalam menyikapi fenomena hubungan pusat-daerah, amandemen UUD


1945 memang telah menempatkan senator sebagai wakil daerah dengan nama Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). DPD sebagai wujud respresentasi daerah di pemerintahan pusat
malah menjadi semacam manequin politik: Ia ada, tetapi jumlahnya tidak boleh lebih dari
1/3 jumlah total anggota DPR dari partai politik, tidak memiliki kewenangan dan veto dalam
membentuk legislasi berkenaan dengan kepentingan daerah, dan hanya boleh bicara atau
berkomentar seputar undang-undang yang berkenaan dengan otonomi daerah.

4.

Anda mungkin juga menyukai