Dari tahun 1949 hingga 1956 pemerintah Indonesia menerapkan satu sistem yang disebut
demokrasi liberal, setelah itu terjadi transisi ke sistem politik demokrasi terpimpin yang
berlangsung dari tahun 1957 hingga 1965. Berbeda dengan periode sebelumnya pada jaman
demokrasi terpimpin kekuasaan militer dan Presiden Sukarno sangat besar sedangkan pada
periode demokrasi liberal kekuasaan ada di tangan sejumlah partai politik yang dua
diantaranya Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Indonesia juga pernah
mengalami sistem politik yang sangat demokratis yakni pada periode 1949 – 1956 yang
menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Selama periode 1950an
struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial.
b. Perekonomian.
Periode ekonomi ini dimulai sejak proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945) sampai
jatuhnya presiden Sukarno pada tahun 1965 ( yakni satu eriode yang mencakup 20 tahun ).
Perekonomian Indonesia pada waktu itu bisa dikatakan sebagai ekonomi perang. Pada awal
periode tersebut dapat dibayangkan masih terjadi perang antara kaum revolusioner Indonesia
dengan pemerintah Belanda yang pada waktu itu dibantu oleh Inggris dan Australia. Perang
tersebut dikenal dengan aksi polisionil pertama dan kedua yakni kaum penjajah Belanda
dibantu oleh Inggris melancarkan perang mengembalikan daerah jajahannya, sampai
akhirnya terjadi penyerahan Kedaulatan Rakyat pada tahun 1949. Setelah itu NKRI mulai
memperoleh pengakuan Internasional. Situasi politik dalam negeri waktu itu tidak kondusif
untuk kemajuan perekonomian. Terjadi banyak pertentangan politik, satu kelompok
menginginkan negara kesatuan sedangkan sedangkan kelompok lain menghendaki negara
federasi dan kelompok lainnya lagi menginginkan negara agama. Negara federasi dapat
berkembang namun tidak lama, sekitar tahun 1950an dengan UUD 1950. Pada periode itu
juga dilaksanakan pemilihan umum yang pertama.
Sementara keadaan politik yang demikian membuat keadaan perekonomian pada saat itu
tidak mendapat cukup perhatian pemerintah. Dimulai dengan situasi politik sekitar 1950, saat
di mana keuangan Indonesia semakin memburuk, inflasi yang sangat tinggi dan
dilaksanakanlah kebijakan moneter yang sangat drastis yakni sinering (pengguntingan uang
rupiah, setengah lembar diganti dengan uang baru dan dikembalikan dengan pemiliknya,
setengahnya lagi ditukar dengan obligasi Negara. Setelah dilakukannya sinering keadaan
perekonomian Indonesia bukannya bertambah baik, harga-harga terus mengalami kenaikan
seirama dengan keadaan politik di dalam maupun luar negeri. Peraturan politik Luar Negeri
(anti neokolonialisme dan liberalisme) telah menggiring NKRI untik mengalihkan hubungan
baiknya dengan Negara-negara sosialis Eropa timur, Rusia dan Tiongkok (blok sosialis).
Sebagai imbalannya, antara lain Rumah Sakit Persahabatan dan Stadion olah raga Senayan di
Jakarta merupakan hasil dari batuan Rusia. Pada akhir periode pimpinan Bung Karno (1965)
sekali lagi dilaksanakan kebijakan moneter yang sangat drastis yakni menukar uang lama
menjadi uang baru dengan perbandingan Rp1000 uang lama diganti dengan Rp1uang baru.
b. Perekonomian.
Periode ekonomi ini mulai ketika jatuhnya Orde Lama (masa pemerintahan
Sukarno) pada tahun 1965/6 sampai jatuhnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998. Jadi
masa Orde Baru itu adalah 32 tahun. Dari uraian di atas jelas bahwa pemerintahan Presiden
Sukarno menomorsatukan politik dibandingkan ekonomi, dan oleh karenanya
perekonomian pada masa kepemimpinannya sangat tidak baik. Pemerintahan Presiden
Sukarno jatuh karena demonstrasi rakyat pada demonstrasi mana dielu-elukan “politik no,
ekonomi yes”.
Tindakan pertama yang diambil oleh pemerintah Orde Baru adalah untuk
menstabilkan keadaan politik dan ekonomi. Stabilisasi ekonomi dilaksanakan dengan
kebijakan, antara lain sebagai berikut :
1) Untuk jangka pendek kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor sedangkan
untuk jangka panjang kebutuhan akan dipenuhi melalui pembangunan yang
direncanakan setiap lima tahun
2) Liberalisasi perdagangan Luar Negeri dengan memperkenankan swasta untuk turut
aktif dalam perdagangan luar negeri dan liberalisasi sistem devisa. Sistem devisa
diubah dari sistem di mana devisa secara sepenuhnya dikuasai oleh negara, menjadi
sistem di mana kepemilikan devisa bebas oleh masyarakat dan kurs mata uang asing
ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Dengan kata lain sistem devisa diubah
dari Exchange Control menjadi Floating Exchange Rate.
1) Di sektor keuangan negara. Pembelanjaan APBN pada masa Orde Lama selalu
memakai sistem anggaran defisit dimana ini berarti bahwa pengeluaran negara selalu
lebih besar daripada penerimaannya. Dalam keadaan demikian dank arena
Pemerintahan Orde Baru tidak menghendaki anggaran belanja defisit maka
dibentuklah apa yang dikenal dengan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia)
– organisasi negara-negara maju yang member bantuan kepada Indonesia.
2) Tabungan swasta Asing (sumber pembiayaan lua negeri). Pada umumnya hal ini niasa
dilihat dari beda antara ekspor dan impor dan sumber lain. Warisan Orde Lama dalam
hal ini juga sangat tidak menjanjikan dan oleh karena itu untuk memobilisasi dana lur
negeri diundangkanlah UU Penanaman Modal Asing (UU PMA), yang pada waktu
itu mengharuskan investor asing mempunyai partner pengusaha dalam negeri atau
bentuk usahanya adalah Joint Venture.
3) Tabungan domestik swasta. Tabungan ini berasal dari masyarakat umum dan
perusahaan, yang jumlahnya pada saat itu hanya Rp 1 per orang, jumlah yang sangat
kecil dan tidak cukup untuk pembiayaan pembangunan. Untuk mengatasi hal ini
diundangkanlah UUPMDN (undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri)
Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru ini memberikan peluang yang
sangat luas kepada sektor swasta, terutama swasta asing. Bidang-bidang yang boleh
dijamah oleh swasta asing diperbaharui tiap tahun, akhirnya pada 1971 timbul
demonstrasi mahasiswa yang menentang dominasi perusahaan asing yang dikenal dengan
Malari (Mala Petaka Januari). Keadaan demikian ini telah menimbulkan perdebatan yang
hangat mengenai sistem dan arah pembangunan agar yang miskin juga ikut menikmati
hasil-hasil pembangunan. Akibat dari diskusi ini muncullah kebijakan yang dikenal
dengan delapan alur pemerataan pada Pelita III. Trilogi pembangunan diubah dari
Stabilisasi-Pertumbuhan-Pemerataan menjadi Pemerataan-Pertumbuhan-Stabilisasi.
Perubahan trilogi pembangunan ini lebih bersifat teoritis dan tidak tampak jelas dalam
praktek. Buktinya dominasi besar terus berlanjut, kredit lebih banyak ditujukan kepada
perusahaan besar, perusahaan besar bebas meminjam uang di luar negeri. Dari hal ini
timbullah istilah Sistem Ekonomi Pancasila.
Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru, yang merupakan
awal dari pemerintahan transisi. Pada awalnya Pemerintahan Habibie disebut
pemerintahan reformasi. Akan tetapi, setahun berlalu masyarakat mulai melihat bahwa
sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
Bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul
di mana-mana dan masalah Suharto tidak terselesaikan. Akhirnya banyak kalangan
masyarakat menyebutnya sebagai pemerintahan transisi.