KU 4184
Kelompok 5A
Dimas Satriawulan ( 12206072 )
Alvin Derry Wirawan ( 12206024 )
Mela Kusumadewi ( 10506086 )
Febrina ( 10506072 )
Muhammad Iqbal ( 13505060 )
Hamzah Syawaludin ( 10106007 )
Desca Widayanti ( 10107020 )
SOSIOTEKNOLOGI
2009
I. Latar Belakang
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki keanekaragaman
budaya yang khas, salah satunya ialah kebudayaan Minang oleh masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat. Perlu diketahui bahwa kebudayaan Minang sangat
kompleks dan berbeda dari kebudayaan pada umumnya, misalnya system matrilineal
yang menganggap bahwa kaum perempuan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan
kaum laki-laki.
Selain itu, orang Minang hampir ada di setiap penjuru Indonesia karena adanya
budaya merantau bagi masyarakat Minangkabau, khususnya bagi kaum lelaki. Juga,
banyak kita jumpai orang Minang yang berprofesi sebagai pedagang, terutama dalam
usaha rumah makan padang yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bahkan sampai ke
luar negeri.
Dalam kesempatan ini, kami akan melakukan penelitian terhadap kebudayaan
Minang, yang melingkupi aspek formal maupun informal. Aspek formal berupa tujuh
unsur kebudayaan dalam masyarakat Minang dan system matrilineal, sedangkan aspek
informal berupa aktivitas perekonomian masyarakat Minang, seperti system bagi hasil
dalam rumah makan padang.
II. Tujuan
- Mengetahui gambaran dasar dari kebudayaan Minang.
- Mengetahui system matrilineal, budaya merantau, dan system bagi hasil rumah
makan padang yang terdapat pada kebudayaan Minang.
- Mengetahui pendapat mahasiswa terhadap budaya Minang.
1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam
suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan
terhadap nilai yang dipegangnya.
2. Biaya ialah akibat yang dinilai negative yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya
itu dapat berupa waktu, usaha, konflik dan kondisi-kondisi lainnya.
3. Hasil dan laba ialah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang
individu merasa tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan
lain yang mendatangkan laba.
Grusky mengatakan bahwa dalam tiap kehidupan sosial yang kompleks, barang-barang
yang dianggap bernilai tinggi didistribusikan secara tidak merata; sehingga hanya ada
sebagian masyarakat yang dapat mengaksesnya dan sebagian besarnya tidak. Hal ini lah yang
kemudian menjadi salah satu faktor penentu adanya stratifikasi sosial.
Seperti kata Grusky, tiap kehidupan sosial yang komplek akan melahirkan stratifikasi sosial.
Konsep fakta Sosial merupakan landasan cara berpikir mengenai masyarakat yang
hidup. Di situ ada manusia berpikir dan bertingkah laku dalam hubungan satu dengan
yang lain. Manusia–manusianya disebut individu sedangkan cara pikiran – pikiran
yang mereka keluarkan dan tingkah laku mereka disebut gejala atau fakta individual.
Teori ini digunakan untuk menganalisa sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial
yang merupakan salah satu dari 7 unsur kebudayaan.
V. Metode Penelitian
1. Studi Literatur
Studi literatur digunakan untuk mencari landasan teori dan pengetahuan umum
seputar kebudayaan Minang sebagai dasar untuk mendapatkan informasi seoptimal
mungkin sebagai bahan yang akan menjawab rumusan masalah.
2. Wawancara
Wawancara merupakan tanya jawab langsung dengan koresponden. Pertanyaan
dalam wawancara sudah ditentukan dan isinya mengenai kebudayaan Minang. Kami
berhasil mewawancarai sebanyak 5 koresponden dari UKM ITB ( Unit Kesenian
Minangkabau ) dan dari pemilik rumah makan padang.
3. Kuesioner
Penyebaran kuesioner dilakukan di beberapa program studi di ITB. Data
kuesioner didapat dari sekitar 100 responden yang dipilih secara acak, sehingga hasil
yang diperoleh dapat mewakili tujuan dari penelitian kelompok kami.
1. Bahasa
Bahasa Minangkabau atau dalam bahasa asal, Baso Minang adalah sebuah bahasa
Austronesia yang digunakan oleh kaum Minangkabau di Sumatra Barat, di barat Riau, Negeri
Sembilan (Malaysia), dan juga oleh penduduk yang telah merantau ke daerah-daerah lain di
Indonesia. Terdapat beberapa kontroversi mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan
bahasa Melayu. Hal ini disebabkan kemiripan dalam tatabahasa mereka. Ada pendapat yang
mengatakan bahasa Minangkabau sebenarnya adalah dialek lain dari bahasa Melayu
sedangkan pendapat lain mengatakan bahasa Minangkabau adalah sebuah bahasa dan bukan
sebuah dialek.
Secara garis besar, daerah pemakaian bahasa Minangkabau dibedakan dalam dua
daerah besar, yaitu daerah /a/ dan daerah /o/. Berikut ini adalah contoh dialek bahasa
Minangkabau:
Bahasa Melayu Dialek /a/ Dialek /o/
Penat Panek Ponek
Apa A Ano
Mana Ma Mano
Lepas Lapeh Lopeh
4. Organisasi Sosial
Kelompok kekerabatan masyarakat Minangkabau yaitu paruik, kampueng, dan suku.
Suku dan kampueng dapat dianggap sebagai kelompok formal. Suku dipimpin oleh seorang
penghulu suku, sedangkan kampueng oleh penghulu andiko atau datuek kampung. Selain
kelompok paruik, kampueng, dan suku, masyarakat Minangkabau tidak mengenal organisasi
masyarakat adat yang lain. Dengan begitu instruksi dan aturan pemerintah, administrasi
masyarakat pedesaan, biasanya disalurkan kepada penduduk desa melalui panghulu suku dan
panghulu andiko.
Di samping memiliki seorang penghulu suku, sebuah suku juga mempunyai seoarang
dubalang atau manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan sebuah suku, sedangkan manti
berhubungan dengan tugas-tugas keamanan.
Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis
matrilineal. Seorang termasuk keluarga ibunya bukan keluarga ayahnya. Begitu juga tanah
dan harta warisan akan diwariskan kepada anak perempuan. Perkawinan dalam budaya
Minangkabau sebenarnya tidak mengenal mas kawin. Namun keluarga pengantin wanita akan
memberi sejumlah uang atau barang untuk menjemput pengantin pria. Uang tersebut biasanya
disebut uang jemputan. Akan tetapi yang penting dalam perkawinan Minangkabau adalah
pertukaran benda lambing antara kedua keluarga berupa cincin atau keris. Dalam masyarakat
Minangkabau tidak ada larangan bagi seseorang untuk memiliki lebih dari satu istri. Orang-
orang dengan kedudukan sosial tertentu terkadang suka melakukan perkawinan poligami.
Secara kasar stratifikasi sosial dalam masyarakat Minangkabau yang hanya berlaku
dalam kesatuan sebuah desa tertentu saja, atau sekelompok desa yang berdekatan, membagi
masyarakat ke dalam tiga lapisan besar, yaitu bangsawan, orang biasa, dan orang yang paling
rendah. Lapisan terakhir ini mungkn dapat dihubungkan dengan ‘budak’ dalam arti yang
lebih ringan. Mengenai pola kepemimpinan dapat dikatakan bahwa sulit untuk melihat suatu
pola yang jelas dalam masyarakat Minangkabau. Kita tidak dapat mengatakan dengan jelas
siapa yang menjadi pemimpin bagi suatu paruik. Setiap orang dewasa boleh dikatakan
memiliki hak sebagai pemimpin. Perintah atau saran seseorang mungkin akan dituruti oleh
anggota keluarganya, tetapi ini tergantung pada kewibawaan pribadi dari orang tersebut.
5. Sistem Pengetahuan
Anak-anak lelaki usia 7 tahun biasanya akan meninggalkan rumah mereka untuk
tinggal di surau di mana merka diajarkan ilmu agama dan adat Minangkabau. Di usia remaja,
mereka digalakkan untuk meninggalkan perkampungan mereka untuk menimba ilmu di
sekolah atau menimba pengalaman di luar kampung dengan harapan mereka akan pulang
sebagai seorang dewasa yang lebih matang dan bertanggungjawab kepada keluarga dan
nagari (kampung halaman). Selain dikenali sebagai seorang pedagang, masyarakat
Minangkabau juga berhasil melahirkan beberapa penyair, penulis, negarawan, ahli fikir dan
para ulama. Ini mungkin terjadi kerana budaya mereka yang memberatkan penimbaan ilmu
pengetahuan. Sebagai penganut agama Islam yang kuat, mereka cenderung kepada ide untuk
menggabungkan ciri-ciri Islam dalam masyarakat yang moden.
Berikut adalah beberapa orang Minangkabau yang berhasil menjadi orang yang
terkemuka:
1. Abdul Muis sebagai penulis, wartawan, dan pejuang kebangsaan
2. Chairil Anwar sebagai pujangga
3. Buya Hamka sebagai cendekiawan Islam
4. Prof Dr Emil Salim sebagai ahli ekonomis dan bekas menteri Indonesia
5. Haji Agus Salim sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia
6. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Indonesia yang pertama dan salah seorang
proklamator negara Indonesia
7. Rasuna Said sebagai menteri wanita pertama di Indonesia
8. Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin gerakan Padri
9. Tuanku Nan Renceh sebagai ketua dalam Perang Padri
10. Yusof Ishak sebagai presiden pertama Singapura
11. Ir. Fazwar Bujang Direktor Utama syarikat PT. Krakatau Steel Indonesia
6. Sistem Religi
Hampir seluruh masyarakat Minangkabau menganut agama Islam, walaupun sebagian
besar dari mereka hanya menganut agama sebagai simbolis tanpa melakukan ibadah dan
kewajibannya. Boleh dikatakan mereka tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lain selain
yang diajarkan oleh agama Islam. Walaupun demikian masih banyak juga orang yang
percaya akan hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam, seperti hantu-hantu dan kekuatan gaib.
Selain itu, banyak orang menganggap bahwa sistem matrilinear yang dianut masyarakat
Minangkabau bertentangan dengan aturan Islam yang menekankan sistem patrilinear. Padahal
sesungguhnya terdapat banyak kesamaan antara faham Islam dengan faham Minangkabau.
Berikut ini merupakan contoh dari beberapa kesamaan faham Islam dan
Minangkabau:
1. Faham Islam: Menimba ilmu adalah wajib.
Faham Minangkabau: Anak-anak lelaki harus meninggalkan rumah mereka untuk
tinggal dan belajar di surau (langgar, masjid).
2. Faham Islam: Mengembara adalah kewajiban untuk mempelajari tamadun-tamadun
yang kekal dan binasa untuk meningkatkan iman kepada Allah.
Faham Minangkabau: Para remaja harus merantau (meninggalkan kampung halaman)
untuk menimba ilmu dan bertemu dengan orang dari berbagai tempat untuk mencapai
kebijaksanaan, dan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Falsafah merantau juga
berarti melatih orang Minangkabau untuk hidup mandiri, kerana ketika seorang pemuda
Minangkabau berniat merantau meninggalkan kampungnya, dia hanya membawa bekal
seadanya.
3. Faham Islam: Tidak ada wanita yang boleh dipaksa untuk menikah dengan lelaki yang
tidak dia cintai.
Faham Minangkabau: Wanita yang menentukan dengan siapa yang ia ingin menikah.
4. Faham Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih tinggi daripada bapak.
Faham Minangkabau: Bundo Kanduang adalah pemimpin/pengambil keputusan di
Rumah Gadang.
Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minangkabau sehingga mereka yang tidak
mengamalkan Islam dianggap telah keluar dari masyarakat Minangkabau.
7. Kesenian
Dari segi kesenian, masyarakat Minangkabau mempunyai beberapa kesenian dan
upacara adat yang unik. Berikut ini adalah kesenian tradisonal Minangkabau:
1. Randai merupakan teater rakyat yang meliputi pencak, musik, tarian dan drama
2. Saluang Jo Dendang, serunai bambu, dan nyanyian
3. Talempong yaitu musik bunyi gong
4. Tari Piring merupakan gerakan tarian menyerupai gerakan para petani semasa bercocok
tanam
5. Tari Payung yaitu tarian yang menceritakan kehidupan muda-mudi Minang yang selalu
riang gembira
6. Tari Indang
7. Pidato Adat yang juga dikenal sebagai Sambah Manyambah (sembah-menyembah),
upacara berpidato, dilakukan di setiap upacara-upacara adat, seperti rangkaian acara
pernikahan (baralek), upacara pengangkatan pangulu (penghulu), dll
8. Pencak Silat, tarian yang gerakannya adalah gerakan silat tradisional Minangkabau.
Selain upacara dan perayaan adat, masyarakat Minangkabau juga memiliki beberapa
kesenian kerajian tangan, seperti:
1. Kain Songket, ditenun dengan tangan dan mempunyai corak rumit benang emas atau
perak. Songket hanya diapakai oleh golongan bangsawan. Kehalusan dan corak songket
menggambarkan pangkat dan kedudukan tinggi seorang pembesar.
Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu
masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Menurut
Muhammad Radjab (1969), sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali
dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara
laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Sistem matrilineal ini diturunkan secara turun – menurun dari satu generasi ke gengerasi
lainnya lalu disepakati dan disetujui. Tidak ada ketentuan yang pasti dan jelas tentang
peranan seorang perempuan dalam sistem matrilineal dan tidak ada sanksi hukum apabila
terjadi pelanggaran. Dengan kata lain, tidak ada kitab undang – undang atau buku rujukan
mengenai sistem matrilineal yang dianut oleh orang minang. Bahkan tetap dipertahankan
walaupun adanya hukum faraidh dalam pembagian harta dalam islam. Hal ini dapat dilihat
dari adanya penggolongan harta menjadi “pusako tinggi” yang tetap dijaga dan “pusako
rendah” yang dapat dibagikan.
Sistem matrilineal tersebut bertujuan untuk menjaga dan melindungi harta pusaka
(rumah gadang, tanah pusaka, sawah, lading) suatu kaum dari kepunahan, bukan untuk
mengangkat atau memperkuat peranan perempuan. Peran perempuan dalam sistem
matrilineal adalah sebagai pengikat, pemelihara, dan penyimpan, sehingga tidak
diikutsertakan dalam penentuan peraturan atau perundang – undangan adat sedangkan laki –
laki berperan untuk mengatur dan mempertahankannya. Sistem matrilineal ini telah tertanam
kuat dalam masyarakat orang minang walaupun sistem patrilineal dikenalkan pula oleh islam.
Bahkan harta yang diperoleh oleh laki – laki orang minang cenderung memberikan hartanya
kepada anak perempuannya atau dengan kata lain hartanya tersebut dijadikan sebagai
“pusako tinggi”. Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau sebagai
berikut:
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
Punya “ninik mamak” (kakak laki – laki atau adik laki – laki dari ibu)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi
Tiga sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :
1. Sistem Kelarasan Koto Piliang
2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3. Sistem Kelarasan Panjang
1. Sako
Sako merupakan milik kaum yang tidak berbentuk material dan diturunkan menurut
sistem matrilineal seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah, dan penghormatan yang
diberikan masyarakat kepadanya. Sako ini merupakan hak laki – laki di dalam kaumnya
dan tidak dapat diberikan kepada perempuan dalam keadaan apa pun. Sistem
pewarisannya tergantung pada sistem adat yang dianut kaum tersebut. Contoh:
a. Kaum yang menganut sistem kelarasan Koto Piliang akan mewariskan sakonya
berdasarkan patah tumbuah. Berdasarkan hal tersebut , gelar selanjutnya harus
diberikan kepada kemenakan langsung dari ninik mamak (penghulu) yang memegang
gelar tersebut sebelumnya dan tidak bisa diberikan kepada orang lain dengan alasan
apapun. Gelar ini akan disimpan sampai kaum tersebut mempunyai laki – laki
pewaris.
b. Kaum yang menganut sistem kelarasan Bodi Caniago akan mewariskan sakonya
berdasarkan lilang baganti. Berdasarkan hal tersebut gelar selanjutnya dapat
diwariskan kepada laki – laki dalam kaumnya berdasarkan kesepakatan anggota kaum
itu. Pergantian ini disebut gadang balega.
Pemberian gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) ada tiga tingkatan, yaitu :
a. Gelar yang diwariskan dari ninik mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar
pusaka kaum, berdasarkan batali darah.
b. Gelar yang diberikan kelarga ayah (bako) kepada anak pisangnya (anak – anak dari
saudara laki – laki kita). Gelar ini hanya gelar panggilan dan hanya untuk menaikkan
status sosial atau keperluan lainnya seorang anak pisang. Gelar tersebut hanya
digunakan untuk dirinya sendiri dan tidak dapat diwariskan. Gelar ini disebut sebagai
gelar yang berdasarkan batali adat.
c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah
berjasa menurut ketentuan tertentu. Gelar ini disebut gelar yang berdasarkan batali
suto. Selain itu, gelar ini hanya dipakai oleh dirinya sendiri dan tidak dapat
diwariskan, serta dapat dicabut kembali apabila orang tersebut merusak nama baik
raja, kaum, dan nagari.
2. Pusako
Pusako adalah milik suatu kaum yang didapat secara turun – menurun berdasarkan sistem
matrilineal yang berbentuk material seperti sawah, ladang, rumah gadang, dan lain – lain.
Semua hal tersebut dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya dan laki – laki
hanya berhak untuk mengaturnya, tidak untuk memilikinya.
Kedudukan harta pusako terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Pusako Tinggi
Pusako tinggi merupakan harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun – temurun
berdasarkan garis ibu (matrilineal). Pusaka ini tidak boleh dijual tetapi dapat
digadaikan apabila :
o gadih gadang indak balaki (sudah tua tetapi masih belum menikah)
o maik tabujua tangah rumah (orang yang sudah meninggal tetapi tidak diurusi
karena tidak ada uang)
o rumah gadang katirisan (rumah gadang rusak, misalnya bocor)
b. Pusako Rendah
Pusako randah adalah harta pusaka yang didapatkan selama perkawinan antara suami
dan istri. Pusaka ini disebut harata bawaan yang berarti modalnya berasal dari
masing–masing kaum. Harta ini diwariskan kepada anak, istri, dan saudara laki-laki
berdasarkan hukum pembagian harta dalam islam.
Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-
abad silam. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat
bahwa orang Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang-
orang kulit putih datang ke sana. Sebuah laporan pertengahan Abad ke-19 yang tersimpan
dalam arsip di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The
Minangkabau State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya),
dikenal dengan nama Negeri Sembilan di Malaysia. Hasil studi para sarjana asing maupun
ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul dan
berkembang sejak berabad-abad silam.
Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah
taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang
menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan
konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Dengan demikian, tujuan
merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar),
mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat/pekerjaan/jabatan (Navis, 1999).
Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik
dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka
yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Selaras
dengan tujuan merantau (mencari harta, ilmu atau pangkat) dalam rangka mengembangkan
diri dan mencari kehidupan yang lebih baik, maka orang Minang di perantauan memiliki
berbagai profesi dan lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang, saudagar
atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuwan, mubaligh serta orang
berpangkat sebagai pejabat pemerintah atau kaum professional (dokter, dosen, eksekutif
BUMN atau perusahaan swasta, wartawan, sastrawan, dan lain-lain).
Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang unik dan selalu menjadi ciri khas
mereka. Yakni kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Kecintaan kepada
kampung halaman mereka ditunjukkan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang
tinggi kepada negeri asal dan adat-budayanya. Kedua, di mana tempat mereka berada, mereka
membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se-nagari asal, se-kabupaten,
atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.
Asal-usul Elite Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa
salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke-19 adalah karena mereka berhasil
merespon dan memanfaatkan dengan tepat pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di
Minangkabau. Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter, semangat
mandiri dan jiwa merdeka yang mereka miliki. Mereka memulai dari usaha kecil, katakanlah
kaki lima, kemudian tumbuh berkat kemampuan entrepreneurship-nya yang tinggi menjadi
saudagar kelas menengah dan bahkan besar.
Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang Minang sukar
diperintah, sehingga mereka sering dianggap kurang cocok untuk jenis pekerjaan tertentu.
Misalnya di militer atau birokrasi yang sangat hirarkis sentries. Merekanya cocoknya jadi
saudagar, pengusaha, diplomat, politisi, wartawan, sastrawan dan pekerjaan-pekerjaan tak
terperintah lainnya. Termasuk di sini menjadi pedagang kaki lima sebagai bentuk pekerjaan
orang merdeka.
A. Adat Minangkabau
Daerah Sumatera Barat atau Minangkabau adalah daerah yang penduduknya relatif
homogen dibanding dengan daerah lainnya. Homogennya adalah dalam hal penduduknya
yang relatif didominasi oleh suku Minangkabau dengan adatnya yang spesifik. Kebudayaan
Minangkabau, secara sederhana dapat digambarkan dengan merujuk pada mamang adat,
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi syarak, syarak bersendi
kitabullah). Artinya, kebudayaan Minangkabau terjalin suatu hubungan sintesis antara dua
unsur, yaitu antara adat Minangkabau dan Agama Islam, sehingga unsur satu topang-
menopang, tukuk-menukuk dan bilai-membilai dengan unsur lainnya secara harmonis.
Adat dalam arti umum adalah norma dan budaya. Norma adalah aturan-aturan da
budaya adalah kebiasaan. Dalam arti hukum, adat adalah pedoman atau patokan dalam
bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul, berpakaian, bermasyarakat, dan lain-lain. Jadi,
adat Minangkabau adalah pedoman atau patokan orang Minang dalam kesehari-hariannya
baik itu bersikap, berbicara, bertindak tanduk, bermasyarakat dan lain-lain.
Adat Minangkabau, sebelum Islam masuk menjadikan alam sebagai guru, tempat
belajar tentang kehidupan. Terdapat fatwa adat yang menegaskan alam jadi guru bagi orang
Minangkabau, yaitu :
“Panakiak pisau sirauit, ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak ka nyiru,
nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadikan
guru”. (Panakik pisau seraut, ambil galah batang lintabuang, Selodang jadikan nyiru,
yang setitik jadikan laut, Yang sekepal jadikan gunung, Alam terkembang jadikan
guru).
Oleh karena alam dijadikan guru oleh orang Minangkabau, maka banyak fenomena
alam dijadikan tuntunan dalam masyarakat Minangkabau. Tuntunan tersebut dihimpun dalam
berbagai fatwa adat yang disajikan dalam bentuk pepatah-petitih, gurindam, pantun dan
sebagainya. Tuntunan tersebut mencakup hampir segala aspek kehidupan seperti sosial,
budaya, politik, ekonomi dan ekologi/lingkungan. Berikut disajikan beberapa contoh aspek
kehidupan.
Aspek Sosial
“Ka lurah samo manurun, ka bukik samo mandaki”
(Ke lembah sama menurun, ke bukit sama mendaki)
Inti : Pentingnya kerjasama dalam kehidupan.
Aspek Budaya
“Pucuak pauah sadang tajelo, panjuluak bungo linggundi, nak jauah silang sangketo,
pahaluih baso jo basi”. (Pucuk pauh sedang terjela, penjuluk bungo linggundi, agar jauh
silang sengketa, perhalus budi pekerti)
Fatwa adat ini mengingatkan orang Minangkabau untuk memperhatikan budi pekerti
agar tidak terjadi perselisihan atau konflik.
Aspek Politik
“Bakati samo barek, maukua samo panjang, tibo di mato indak dipiciangkan, tibo
diparuik indak dikampihkan, tibo didado indak dibusuangkan”. (Menimbang sama berat,
mengukur sama panjang, tiba di mata tidak dipejamkan, tiba di perut tidak dikempiskan, tiba
di dada tidak dibusungkan)
Berlaku adil merupakan prinsip yang harus dipakai orang Minang dalam hidup ini.
Aspek Ekonomi
“Indak tukang nan mambuang kayu, nan bungkuak ka singka bajak, nan luruih ka
tangkai sapu, satampok ka papan tuai, nan ketek kapasak suntiang”. (Tidak tukang yang
membuang kayu, jika bungkuk untuk bingkai bajak, yang lurus untuk tangkai sapu, yang
sebesar telapak tangan untuk papan tuai, yang kecil untuk pasak sunting)
Pepatah adat ini menegaskan bahwa tidak ada yang terbuang dan tidak berguna dalam
hidup ini, sehingga tingkat efisiensi dan efektifitas yang optimal bisa dicapai. Perekonomian
sangat dipentingkan oleh adat Minangkabau. Hal ini dapat dipahami, sebab atas dasar
ekonomi yang sehatlah masyarakat akan menjadi makmur dan kebudayaan akan dapat
dikembangkan serta pembangunan dapat dilaksanakan. Pepatah adat memfatwakan :
“Dek ameh sagalo ameh, dek padi sagalo jadi, elok lenggang di nan data, rancak
rapak di hari paneh, manjilih di tapi aie, mardeso di paruik kanyang”. (Karena ada emas
segala jadi, karena ada padi segala beres, elok lenggang pada yang datar, baik barisan di hari
panas, kebersihan di tepi air, memilih di perut kenyang).
Jika ditinjau lebih mendalam, dasar dan ikatan ekonomi ternyata turut menjadikan
adat Minangkabau itu kuat dan kokoh, sanggup bertahan dari zaman ke zaman, karena adat
itu mempunyai nilai utama tentang ekonomi. Dan nilai ekonomi bukanlah berdasarkan enak
seseorang, tetapi “lamak dek awak, lamak dek urang, elok dek awak katuju dek urang ”, yaitu
elok dan enak dalam dan dengan bersama.
Aspek Ekologi/Lingkungan
“Gabak di hulu tando ka hujan, cewang di langik tando ka paneh”.
(Mendung di hulu tanda akan hujan, terang di langit tanda akan hari akan panas)
Mamangan adat ini menunjukkan kearifan ekologis masyarakat Minangkabau
terhadap cuaca.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa adat Minangkabau merupakan nilai, norma,
simbol dan tuntunan hidup yang dikontruksi dari realitas alam. Sementara alam itu sendiri,
menurut Islam, bertebaran banyak ayat-ayat Tuhan, bagi siapa yang bisa membacanya.
Belajar kepada alam telah memberikan rasionalitas dan kearifan dalam hubungan horizontal
antara sesama manusia, makhluk dan lingkungan di muka bumi ini.
Data Kuesioner
Orang Minang
Bukan Orang Minang
68
Berdomisili di … ?
14
Sumbar
18 Luar Sumbar
Lainnya (bukan orang Minang)
68
66
pernah
ga pernah
100
Menurut Anda, budaya Minang itu seperti
apa ?
29 jiwa entrepreneur tinggi
31
teliti dalam keuangan
perantau
kekeluargaan
15 25
Dari hasil kuesioner yang telah disusun, dapat kami simpulkan secara kasar bahwa
terdapat cukup banyak komunitas Minang di lingkungan kampus ITB, dan mereka pun cukup
tahu tentang kebudayaan Minang yang kami tanyakan.
Saran
Sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, budaya Minangkabau pun patut
dilestarikan. Pengaruh budaya luar dan akulturasi seharusnya dapat disesuaikan dengan
budaya aslinya, sehingga nilai-nilai luhur dari suatu budaya tersebut tidak terhapuskan atau
bahkan menghilang. Setiap masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota lain atau ke
negara lain seharusnya tetap menjunjung tinggi budaya aslinya dan juga melestarikannya.
Bahkan jika memungkinkan, seseorang dapat menyebarkan budaya aslinya di tempat yang
lain, sehingga kekayaan budaya Indonesia tidak mudah luntur dan masyarakat dapat semakin
mencintai kekayaan bangsa Indonesia sendiri.