Anda di halaman 1dari 27

Laporan Antropologi Kelompok 5A

KU 4184

Dosen : Dr. Chairil Nur Siregar, M.S.


Tema : Kebudayaan Minang

Kelompok 5A
Dimas Satriawulan ( 12206072 )
Alvin Derry Wirawan ( 12206024 )
Mela Kusumadewi ( 10506086 )
Febrina ( 10506072 )
Muhammad Iqbal ( 13505060 )
Hamzah Syawaludin ( 10106007 )
Desca Widayanti ( 10107020 )

SOSIOTEKNOLOGI

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2009
I. Latar Belakang
Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki keanekaragaman
budaya yang khas, salah satunya ialah kebudayaan Minang oleh masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat. Perlu diketahui bahwa kebudayaan Minang sangat
kompleks dan berbeda dari kebudayaan pada umumnya, misalnya system matrilineal
yang menganggap bahwa kaum perempuan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan
kaum laki-laki.
Selain itu, orang Minang hampir ada di setiap penjuru Indonesia karena adanya
budaya merantau bagi masyarakat Minangkabau, khususnya bagi kaum lelaki. Juga,
banyak kita jumpai orang Minang yang berprofesi sebagai pedagang, terutama dalam
usaha rumah makan padang yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bahkan sampai ke
luar negeri.
Dalam kesempatan ini, kami akan melakukan penelitian terhadap kebudayaan
Minang, yang melingkupi aspek formal maupun informal. Aspek formal berupa tujuh
unsur kebudayaan dalam masyarakat Minang dan system matrilineal, sedangkan aspek
informal berupa aktivitas perekonomian masyarakat Minang, seperti system bagi hasil
dalam rumah makan padang.

II. Tujuan
- Mengetahui gambaran dasar dari kebudayaan Minang.
- Mengetahui system matrilineal, budaya merantau, dan system bagi hasil rumah
makan padang yang terdapat pada kebudayaan Minang.
- Mengetahui pendapat mahasiswa terhadap budaya Minang.

III. Rumusan Masalah


- Bagaimana gambaran dasar mengenai kebudayaan Minang ?
- Bagaimana system matrilineal, budaya merantau, dan system bagi hasil rumah
makan padang yang terdapat pada kebudayaan Minang ?
- Bagaimana pemahaman mahasiswa tentang budaya Minang ?

IV. Landasan Teori


a. Teori Pertukaran Sosial ( Thibault dan Kelley )
Teori ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai
suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang lain karena
mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya.

Konsep-konsep dari teori ini adalah :

1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam
suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan
terhadap nilai yang dipegangnya.
2. Biaya ialah akibat yang dinilai negative yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya
itu dapat berupa waktu, usaha, konflik dan kondisi-kondisi lainnya.
3. Hasil dan laba ialah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang
individu merasa tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan
lain yang mendatangkan laba.

b. Teori Stratifikasi Sosial ( David Grusky )

Grusky mengatakan bahwa dalam tiap kehidupan sosial yang kompleks, barang-barang
yang dianggap bernilai tinggi didistribusikan secara tidak merata; sehingga hanya ada
sebagian masyarakat yang dapat mengaksesnya dan sebagian besarnya tidak. Hal ini lah yang
kemudian menjadi salah satu faktor penentu adanya stratifikasi sosial.
Seperti kata Grusky, tiap kehidupan sosial yang komplek akan melahirkan stratifikasi sosial.

c. Teori Sosial ( Emile Durkheim )

Konsep fakta Sosial merupakan landasan cara berpikir mengenai masyarakat yang
hidup. Di situ ada manusia berpikir dan bertingkah laku dalam hubungan satu dengan
yang lain. Manusia–manusianya disebut individu sedangkan cara pikiran – pikiran
yang mereka keluarkan dan tingkah laku mereka disebut gejala atau fakta individual.
Teori ini digunakan untuk menganalisa sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial
yang merupakan salah satu dari 7 unsur kebudayaan.

V. Metode Penelitian
1. Studi Literatur
Studi literatur digunakan untuk mencari landasan teori dan pengetahuan umum
seputar kebudayaan Minang sebagai dasar untuk mendapatkan informasi seoptimal
mungkin sebagai bahan yang akan menjawab rumusan masalah.

2. Wawancara
Wawancara merupakan tanya jawab langsung dengan koresponden. Pertanyaan
dalam wawancara sudah ditentukan dan isinya mengenai kebudayaan Minang. Kami
berhasil mewawancarai sebanyak 5 koresponden dari UKM ITB ( Unit Kesenian
Minangkabau ) dan dari pemilik rumah makan padang.

3. Kuesioner
Penyebaran kuesioner dilakukan di beberapa program studi di ITB. Data
kuesioner didapat dari sekitar 100 responden yang dipilih secara acak, sehingga hasil
yang diperoleh dapat mewakili tujuan dari penelitian kelompok kami.

VI. Analisis dan Pembahasan


Dalam bab ini, kami akan memaparkan dan membahas tujuh unsur kebudayaan dalam
masyarakat Minangkabau, system matrilineal, budaya merantau, system bagi hasil
dalam aktivitas perekonomian masyarakat Minangkabau, dan hasil data kuesioner
yang telah kami sebarkan.

Tujuh Unsur Kebudayaan

1. Bahasa
Bahasa Minangkabau atau dalam bahasa asal, Baso Minang adalah sebuah bahasa
Austronesia yang digunakan oleh kaum Minangkabau di Sumatra Barat, di barat Riau, Negeri
Sembilan (Malaysia), dan juga oleh penduduk yang telah merantau ke daerah-daerah lain di
Indonesia. Terdapat beberapa kontroversi mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan
bahasa Melayu. Hal ini disebabkan kemiripan dalam tatabahasa mereka. Ada pendapat yang
mengatakan bahasa Minangkabau sebenarnya adalah dialek lain dari bahasa Melayu
sedangkan pendapat lain mengatakan bahasa Minangkabau adalah sebuah bahasa dan bukan
sebuah dialek.
Secara garis besar, daerah pemakaian bahasa Minangkabau dibedakan dalam dua
daerah besar, yaitu daerah /a/ dan daerah /o/. Berikut ini adalah contoh dialek bahasa
Minangkabau:
Bahasa Melayu Dialek /a/ Dialek /o/
Penat Panek Ponek
Apa A Ano
Mana Ma Mano
Lepas Lapeh Lopeh

Contoh perbandingan bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu:


1. Bahasa Minangkabau: Sarang kayu di rimbo tak samo tinggi, kok kunun manusia
Bahasa Melayu: Pohon di rimba tidak sama tinggi, apa lagi manusia
2. Bahasa Minangkabau: Indak buliah mambuang sarok disiko!
Bahasa Melayu: Tidak boleh membuang sampah di sini!
3. Bahasa Minangkabau: A tu nan ka karajo ang?
Bahasa Melayu: Apa yang kamu sedang kerjakan?

2. Sistem Teknologi dan Alat Produksi


Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau contohnya yaitu bentuk
desa dan bentuk tempat tinggal. Desa mereka disebut nagari dalam bahasa Minangkabau.
Nagari terdiri dari dua bagian utama yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari ialah daerah
kediaman utama yang dianggap pusat sebuah desa. Berbeda dengan taratak yang dianggap
sebagai daerah hutan dan ladang. Di dalam nagari biasanya terdapat sebuah masjid, sebuah
balai adat, dan pasar. Mesjid merupakan tempat untuk beribadah, balai adat merupakan
tempat sidang-sidang adat diadakan sedangkan pasar dan kantor kepala nagari terletak pada
pusat desa atau pada pertengahan sebuah jalan memanjang dengan rumah-rumah kediaman di
sebelah kiri dan kanannya.
Rumah adat Minangkabau biasa disebut rumah gadang dan merupakan rumah
panggung. Bentuknya memanjang dengan atap menyerupai tanduk kerbau. Ukuran rumah
juga didasarkan kepada perhitungan jumlah ruang yang terdapat dalam rumah itu. Sebuah
rumah gadang terdiri dari jumlah ruangan dalam bilangan yang ganjil, mulai dari tiga. Jumlah
ruangan yang biasa adalah tujuh, namun ada sebuah rumah gadang yang mempunyai tujuh
belas ruangan. Sebuah rumah gadang biasanya memiliki tiga didieh yang digunakan sebagai
kamar dan ruangan terbuka untuk menerima tamu atau berpesta. Selain itu beberapa rumah
gadang juga memiliki tempat yang disebut anjueng (anjung) yaitu bagian yang ditambahkan
pada ujung rumah dan dianggap sebagai tempat kehormatan. Berikut gambar rumah gadang
di Minangkabau:

Gambar. Rumah Gadang


3. Sistem Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat Minangkabau hidup dari bercocok tanam. Di daerah yang
subur dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang mengusahakan sawah, sedangkan pada
daerah subur yang tinggi banyak orang menanam sayur mayur untuk perdagangan. Pada
daerah yang kurang subur, penduduknya hidup dari tanaman-tanaman seperti pisang, ubi
kayu, dan sebagainya. Pada daerah pesisir, mereka bisa menanam kelapa. Di samping hidup
dari pertanian, penduduk yang tinggal di pinggir laut atau danau juga dapat hidup dari hasil
tangkapan ikan. Ada berbagai hal yang menyebabkan banyak orang Minangkabau kemudian
meninggalkan sektor pertanian. Ada yang disebabkan karena tanah mereka memberikan hasil
yang kurang atau karena kesadaran bahwa dengan pertanian mereka tidak dapat menjadi
kaya. Orang-orang sejenis ini biasanya beralih ke sektor perdagangan dan merantau dengan
harapan mereka akan kembali sebagai orang yang dewasa dan bertanggung jawab.
Kehidupan perdagangan di Minangkabau kebanyakan dikuasai oleh penduduk
Minangkabau sendiri. Selain itu, ada juga masyarakat yang hidup dari kerajinan tangan,
seperti kerajinan perak bakar dari Koto Gadang, sebuah desa dekat Bukittinggi dan
pembuatan kain songket dari Silukang, sebuah desa dekat Sawah Lunto.

4. Organisasi Sosial
Kelompok kekerabatan masyarakat Minangkabau yaitu paruik, kampueng, dan suku.
Suku dan kampueng dapat dianggap sebagai kelompok formal. Suku dipimpin oleh seorang
penghulu suku, sedangkan kampueng oleh penghulu andiko atau datuek kampung. Selain
kelompok paruik, kampueng, dan suku, masyarakat Minangkabau tidak mengenal organisasi
masyarakat adat yang lain. Dengan begitu instruksi dan aturan pemerintah, administrasi
masyarakat pedesaan, biasanya disalurkan kepada penduduk desa melalui panghulu suku dan
panghulu andiko.
Di samping memiliki seorang penghulu suku, sebuah suku juga mempunyai seoarang
dubalang atau manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan sebuah suku, sedangkan manti
berhubungan dengan tugas-tugas keamanan.
Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis
matrilineal. Seorang termasuk keluarga ibunya bukan keluarga ayahnya. Begitu juga tanah
dan harta warisan akan diwariskan kepada anak perempuan. Perkawinan dalam budaya
Minangkabau sebenarnya tidak mengenal mas kawin. Namun keluarga pengantin wanita akan
memberi sejumlah uang atau barang untuk menjemput pengantin pria. Uang tersebut biasanya
disebut uang jemputan. Akan tetapi yang penting dalam perkawinan Minangkabau adalah
pertukaran benda lambing antara kedua keluarga berupa cincin atau keris. Dalam masyarakat
Minangkabau tidak ada larangan bagi seseorang untuk memiliki lebih dari satu istri. Orang-
orang dengan kedudukan sosial tertentu terkadang suka melakukan perkawinan poligami.
Secara kasar stratifikasi sosial dalam masyarakat Minangkabau yang hanya berlaku
dalam kesatuan sebuah desa tertentu saja, atau sekelompok desa yang berdekatan, membagi
masyarakat ke dalam tiga lapisan besar, yaitu bangsawan, orang biasa, dan orang yang paling
rendah. Lapisan terakhir ini mungkn dapat dihubungkan dengan ‘budak’ dalam arti yang
lebih ringan. Mengenai pola kepemimpinan dapat dikatakan bahwa sulit untuk melihat suatu
pola yang jelas dalam masyarakat Minangkabau. Kita tidak dapat mengatakan dengan jelas
siapa yang menjadi pemimpin bagi suatu paruik. Setiap orang dewasa boleh dikatakan
memiliki hak sebagai pemimpin. Perintah atau saran seseorang mungkin akan dituruti oleh
anggota keluarganya, tetapi ini tergantung pada kewibawaan pribadi dari orang tersebut.

5. Sistem Pengetahuan
Anak-anak lelaki usia 7 tahun biasanya akan meninggalkan rumah mereka untuk
tinggal di surau di mana merka diajarkan ilmu agama dan adat Minangkabau. Di usia remaja,
mereka digalakkan untuk meninggalkan perkampungan mereka untuk menimba ilmu di
sekolah atau menimba pengalaman di luar kampung dengan harapan mereka akan pulang
sebagai seorang dewasa yang lebih matang dan bertanggungjawab kepada keluarga dan
nagari (kampung halaman). Selain dikenali sebagai seorang pedagang, masyarakat
Minangkabau juga berhasil melahirkan beberapa penyair, penulis, negarawan, ahli fikir dan
para ulama. Ini mungkin terjadi kerana budaya mereka yang memberatkan penimbaan ilmu
pengetahuan. Sebagai penganut agama Islam yang kuat, mereka cenderung kepada ide untuk
menggabungkan ciri-ciri Islam dalam masyarakat yang moden.
Berikut adalah beberapa orang Minangkabau yang berhasil menjadi orang yang
terkemuka:
1. Abdul Muis sebagai penulis, wartawan, dan pejuang kebangsaan
2. Chairil Anwar sebagai pujangga
3. Buya Hamka sebagai cendekiawan Islam
4. Prof Dr Emil Salim sebagai ahli ekonomis dan bekas menteri Indonesia
5. Haji Agus Salim sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia
6. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden Indonesia yang pertama dan salah seorang
proklamator negara Indonesia
7. Rasuna Said sebagai menteri wanita pertama di Indonesia
8. Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin gerakan Padri
9. Tuanku Nan Renceh sebagai ketua dalam Perang Padri
10. Yusof Ishak sebagai presiden pertama Singapura
11. Ir. Fazwar Bujang Direktor Utama syarikat PT. Krakatau Steel Indonesia

6. Sistem Religi
Hampir seluruh masyarakat Minangkabau menganut agama Islam, walaupun sebagian
besar dari mereka hanya menganut agama sebagai simbolis tanpa melakukan ibadah dan
kewajibannya. Boleh dikatakan mereka tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan lain selain
yang diajarkan oleh agama Islam. Walaupun demikian masih banyak juga orang yang
percaya akan hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam, seperti hantu-hantu dan kekuatan gaib.
Selain itu, banyak orang menganggap bahwa sistem matrilinear yang dianut masyarakat
Minangkabau bertentangan dengan aturan Islam yang menekankan sistem patrilinear. Padahal
sesungguhnya terdapat banyak kesamaan antara faham Islam dengan faham Minangkabau.
Berikut ini merupakan contoh dari beberapa kesamaan faham Islam dan
Minangkabau:
1. Faham Islam: Menimba ilmu adalah wajib.
Faham Minangkabau: Anak-anak lelaki harus meninggalkan rumah mereka untuk
tinggal dan belajar di surau (langgar, masjid).
2. Faham Islam: Mengembara adalah kewajiban untuk mempelajari tamadun-tamadun
yang kekal dan binasa untuk meningkatkan iman kepada Allah.
Faham Minangkabau: Para remaja harus merantau (meninggalkan kampung halaman)
untuk menimba ilmu dan bertemu dengan orang dari berbagai tempat untuk mencapai
kebijaksanaan, dan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Falsafah merantau juga
berarti melatih orang Minangkabau untuk hidup mandiri, kerana ketika seorang pemuda
Minangkabau berniat merantau meninggalkan kampungnya, dia hanya membawa bekal
seadanya.
3. Faham Islam: Tidak ada wanita yang boleh dipaksa untuk menikah dengan lelaki yang
tidak dia cintai.
Faham Minangkabau: Wanita yang menentukan dengan siapa yang ia ingin menikah.
4. Faham Islam: Ibu berhak dihormati 3 kali lebih tinggi daripada bapak.
Faham Minangkabau: Bundo Kanduang adalah pemimpin/pengambil keputusan di
Rumah Gadang.
Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minangkabau sehingga mereka yang tidak
mengamalkan Islam dianggap telah keluar dari masyarakat Minangkabau.
7. Kesenian
Dari segi kesenian, masyarakat Minangkabau mempunyai beberapa kesenian dan
upacara adat yang unik. Berikut ini adalah kesenian tradisonal Minangkabau:
1. Randai merupakan teater rakyat yang meliputi pencak, musik, tarian dan drama
2. Saluang Jo Dendang, serunai bambu, dan nyanyian
3. Talempong yaitu musik bunyi gong
4. Tari Piring merupakan gerakan tarian menyerupai gerakan para petani semasa bercocok
tanam
5. Tari Payung yaitu tarian yang menceritakan kehidupan muda-mudi Minang yang selalu
riang gembira
6. Tari Indang
7. Pidato Adat yang juga dikenal sebagai Sambah Manyambah (sembah-menyembah),
upacara berpidato, dilakukan di setiap upacara-upacara adat, seperti rangkaian acara
pernikahan (baralek), upacara pengangkatan pangulu (penghulu), dll
8. Pencak Silat, tarian yang gerakannya adalah gerakan silat tradisional Minangkabau.

Dalam kebudayaan Minangkabau terdapat beberapa upacara dan perayaan


Minangkabau seperti:
1. Turun mandi yaitu upacara pemberkatan bayi
2. Sunat rasul yaitu upacara bersunat
3. Baralek yaitu upacara pernikahan
4. Batagak pangulu yaitu upacara pelantikan penghulu. Upacara ini akan berlangsung
selama 7 hari saat seluruh kaum kerabat dan ketua-ketua dari kampung yang lain akan
dijemput
5. Turun ka sawah yaitu upacara kerja gotong-royong
6. Manyabik yaitu upacara menuai padi
7. Hari Rayo yaitu perayaan Hari Raya Idul Fitri
8. Hari Rayo yaitu perayaan Hari Raya Idul Adha
9. Maanta pabukoan yaitu mengantar makanan kepada ibu mertua sewaktu bulan
Ramadan
10. Tabuik yaitu perayaan Islam di Pariaman
11. Tanah Ta Sirah yaitu perlantikan seorang Datuk (ketua puak) apabila Datuk yang
sebelumnya meninggal dunia
12. Mambangkik Batang Tarandam yaitu perlantikan seorang Datuk apabila Datuk yang
sebelumya telah meninggal 10 atau 50 tahun yang lalu (mengisi jabatan yang telah lama
dikosongkan)

Selain upacara dan perayaan adat, masyarakat Minangkabau juga memiliki beberapa
kesenian kerajian tangan, seperti:
1. Kain Songket, ditenun dengan tangan dan mempunyai corak rumit benang emas atau
perak. Songket hanya diapakai oleh golongan bangsawan. Kehalusan dan corak songket
menggambarkan pangkat dan kedudukan tinggi seorang pembesar.

Gambar. Kain Songket


2. Sulaman
3. Ukiran kayu
4. Pahatan emas dan perak
SISTEM MATRILINEAL

Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu
masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Menurut
Muhammad Radjab (1969), sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
2. Suku terbentuk menurut garis ibu
3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami)
4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali
dipergunakan, sedangkan
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya
7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara
laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
Sistem matrilineal ini diturunkan secara turun – menurun dari satu generasi ke gengerasi
lainnya lalu disepakati dan disetujui. Tidak ada ketentuan yang pasti dan jelas tentang
peranan seorang perempuan dalam sistem matrilineal dan tidak ada sanksi hukum apabila
terjadi pelanggaran. Dengan kata lain, tidak ada kitab undang – undang atau buku rujukan
mengenai sistem matrilineal yang dianut oleh orang minang. Bahkan tetap dipertahankan
walaupun adanya hukum faraidh dalam pembagian harta dalam islam. Hal ini dapat dilihat
dari adanya penggolongan harta menjadi “pusako tinggi” yang tetap dijaga dan “pusako
rendah” yang dapat dibagikan.
Sistem matrilineal tersebut bertujuan untuk menjaga dan melindungi harta pusaka
(rumah gadang, tanah pusaka, sawah, lading) suatu kaum dari kepunahan, bukan untuk
mengangkat atau memperkuat peranan perempuan. Peran perempuan dalam sistem
matrilineal adalah sebagai pengikat, pemelihara, dan penyimpan, sehingga tidak
diikutsertakan dalam penentuan peraturan atau perundang – undangan adat sedangkan laki –
laki berperan untuk mengatur dan mempertahankannya. Sistem matrilineal ini telah tertanam
kuat dalam masyarakat orang minang walaupun sistem patrilineal dikenalkan pula oleh islam.
Bahkan harta yang diperoleh oleh laki – laki orang minang cenderung memberikan hartanya
kepada anak perempuannya atau dengan kata lain hartanya tersebut dijadikan sebagai
“pusako tinggi”. Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau sebagai
berikut:
1. Basuku (bamamak bakamanakan)
Punya “ninik mamak” (kakak laki – laki atau adik laki – laki dari ibu)
2. Barumah gadang
3. Basasok bajarami
4. Basawah baladang
5. Bapandan pakuburan
6. Batapian tampek mandi
Tiga sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :
1. Sistem Kelarasan Koto Piliang
2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago
3. Sistem Kelarasan Panjang

Pengaturan Harta Pusaka


Harta pusaka secara terminologi Minangkabau adalah harato dan pusako. Harato
adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh kaum dalam wujud material seperti sawah, ladang,
rumah gadang, ternak, dll. Pusako adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh kaum dan dan
diwariskan turun – temurun baik yang nampak maupun tidak.
Selain itu dikenal juga istilah sako dan pusako.

1. Sako
Sako merupakan milik kaum yang tidak berbentuk material dan diturunkan menurut
sistem matrilineal seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah, dan penghormatan yang
diberikan masyarakat kepadanya. Sako ini merupakan hak laki – laki di dalam kaumnya
dan tidak dapat diberikan kepada perempuan dalam keadaan apa pun. Sistem
pewarisannya tergantung pada sistem adat yang dianut kaum tersebut. Contoh:
a. Kaum yang menganut sistem kelarasan Koto Piliang akan mewariskan sakonya
berdasarkan patah tumbuah. Berdasarkan hal tersebut , gelar selanjutnya harus
diberikan kepada kemenakan langsung dari ninik mamak (penghulu) yang memegang
gelar tersebut sebelumnya dan tidak bisa diberikan kepada orang lain dengan alasan
apapun. Gelar ini akan disimpan sampai kaum tersebut mempunyai laki – laki
pewaris.
b. Kaum yang menganut sistem kelarasan Bodi Caniago akan mewariskan sakonya
berdasarkan lilang baganti. Berdasarkan hal tersebut gelar selanjutnya dapat
diwariskan kepada laki – laki dalam kaumnya berdasarkan kesepakatan anggota kaum
itu. Pergantian ini disebut gadang balega.
Pemberian gelar kehormatan atau gelar kepenghuluan (datuk) ada tiga tingkatan, yaitu :
a. Gelar yang diwariskan dari ninik mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar
pusaka kaum, berdasarkan batali darah.
b. Gelar yang diberikan kelarga ayah (bako) kepada anak pisangnya (anak – anak dari
saudara laki – laki kita). Gelar ini hanya gelar panggilan dan hanya untuk menaikkan
status sosial atau keperluan lainnya seorang anak pisang. Gelar tersebut hanya
digunakan untuk dirinya sendiri dan tidak dapat diwariskan. Gelar ini disebut sebagai
gelar yang berdasarkan batali adat.
c. Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah
berjasa menurut ketentuan tertentu. Gelar ini disebut gelar yang berdasarkan batali
suto. Selain itu, gelar ini hanya dipakai oleh dirinya sendiri dan tidak dapat
diwariskan, serta dapat dicabut kembali apabila orang tersebut merusak nama baik
raja, kaum, dan nagari.

2. Pusako
Pusako adalah milik suatu kaum yang didapat secara turun – menurun berdasarkan sistem
matrilineal yang berbentuk material seperti sawah, ladang, rumah gadang, dan lain – lain.
Semua hal tersebut dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya dan laki – laki
hanya berhak untuk mengaturnya, tidak untuk memilikinya.
Kedudukan harta pusako terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Pusako Tinggi
Pusako tinggi merupakan harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun – temurun
berdasarkan garis ibu (matrilineal). Pusaka ini tidak boleh dijual tetapi dapat
digadaikan apabila :
o gadih gadang indak balaki (sudah tua tetapi masih belum menikah)
o maik tabujua tangah rumah (orang yang sudah meninggal tetapi tidak diurusi
karena tidak ada uang)
o rumah gadang katirisan (rumah gadang rusak, misalnya bocor)
b. Pusako Rendah
Pusako randah adalah harta pusaka yang didapatkan selama perkawinan antara suami
dan istri. Pusaka ini disebut harata bawaan yang berarti modalnya berasal dari
masing–masing kaum. Harta ini diwariskan kepada anak, istri, dan saudara laki-laki
berdasarkan hukum pembagian harta dalam islam.

Peranan Laki – Laki


Laki-laki mempunyai hak untuk mengatur segala sesuatu yang ada di dalam
perkauman, baik pengaturan pemakaian, pembagian harta pusaka sedangkan perempuan
sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.
Peran laki – laki dalam kebudayaan minangkabau yang berdasarkan sistem matrilineal, yaitu:
1. Sebagai Kemenakan
Pada awalnya seorang laki-laki menjadi seorang kemenakan atau dalam isltilah
kekerabatan disebut ketek anak urang. Pada saat ini kemenakan harus memenuhi segala
aturan, aset-aset, dan semua anggota keluarga kaumnya. Anak kemenakan dikelompokan
menjadi tiga kelompok berdasarkan penentuan status kemenakan sebagai pewaris sako
dan pusako, yaitu :
o Kemenakan di bawah daguak (dago)
Merupakan penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya.
o Kemenakan di bawah pusek
Merupakan penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah).
o Kemenakan di bawah lutuik
Pada umumnya kemenakan di bawah lutuik tidak diikutsertakan dalam pewarisan
sako dan pusako kaum.
2. Sebagai Mamak
Setelah kemenakan dewasa, dia akan menjadi seorang mamak yang bertanggung jawab
terhadap kemenakannya. Mereka mulai ikut mengatur walaupun tanggung jawab tertinggi
berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi lagi, yaitu penghulu kaum.
3. Sebagai Penghulu
Pada tahapan berikutnya, seorang mamak akan bertanggung jawab penuh terhadap
kaumnya, yaitu sebagai penghulu. Gelar kebesaran yang diberikan disebut datuk. Ia
berkewajiban untuk menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka, dan
bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.
Seorang laki-laki selalu diajarkan hal di bawah ini terhadap kaumnya: Kalau tidak dapat
menambah harta pusaka kaum, jangan mengurangi harta pusaka tersebut atau dengan kata
lain menjual, menggadai, atau menjadikan harta tersebut milik pribadi.
Dalam ajaran adat, peranan seorang laki-laki dalam kaum, yaitu :
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak bakampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari

Peranan Laki-Laki di Luar Kaum


Seorang laki-laki selain berperan dalam kaum yaitu sebagai kemenakan, mamak, atau
penghulu, dia pun memiliki peran sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum istrinya
apabila dia telah menikah. Jadi, seorang suami menjadi duta kaumnya di dalam kaum
isterinya, dan sebaliknya. Satu sama lain harus saling menghormati (menjaga keseimbangan
dalam berbagai hal). Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya.
Seorang laki-laki di dalam kaum isterinya disebut sebagai sumando (semenda) yang
dapat dikelompokan menjadi :
a. Sumando ninik mamak
Sumendo yang dapat ikut memberikan ketenteraman baik kepada kaum istri maupun
terhadap kaumnya sendiri, mencari jalan keluar suatu persoalan dengan bijaksana. Dia
merupakan orang yang arif dan bijaksana.
b. Sumando kacang miang
Sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena membuat masalah atau
memperkeruh permasalahan yang telah ada
c. Sumando lapik buruk
Sumando yang hanya memikirkan anak istrinya dan tidak peduli terhadap persoalan-
persoalan lainnya.

Kaum dan Pesukuan


- Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan
anggota kaum dari keturunan tersebut.
- Di dalam sebuah kaum, unit terkecil disebut samande yang berasal dari satu ibu (mande).
- Unit yang lebih luas dari samande disebut saparuik. Maksudnya berasal dari nenek yang
sama.
- Kemudian saniniak maksudnya adalah keturunan nenek dari nenek.
- Yang lebih luas dari itu lagi disebut sakaum.
- Kemudian dalam bentuknya yang lebih luas, disebut sasuku. Maksudnya, berasal dari
keturunan yang sama sejak dari nenek moyangnya. Suku artinya seperempat atau kaki.
Jadi, pengertian sasuku dalam sebuah nagari adalah seperempat dari penduduk nagari
tersebut. Karena dalam sebuah nagari harus ada empat suku besar. Padamulanya suku-
suku itu terdiri dari Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya, karena
bertambahnya populasi masyarakat setiap suku, suku-suku itu pun dimekarkan. Koto dan
Piliang berkembang menjadi beberapa suku; Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci,
Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang,
Pagacancang, Patapang, Melayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang, Bijo
dll. Bodi dan Caniago berkembang menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang,
Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dll. Dalam majelis peradatan
keempat pimpinan dari suku-suku ini disebut urang nan ampek suku.
- Dalam sebuah nagari ada yang tetap dengan memakai ampek suku tapi ada juga
memakai limo suku, maksudnya ada nama suku lain; Malayu yang dimasukkan ke sana.
Sebuah suku dengan suku yang lain, mungkin berdasarkan sejarah, keturunan atau
kepercayaan yang mereka yakini tentang asal sulu mereka, boleh jadi berasal dari
perempuan yang sama. Suku-suku yang merasa punya kaitan keturunan ini disebut
dengan sapayuang. Dari beberapa payuang yang juga berasal sejarah yang sama, disebut
sahindu.Namun, yang lazim dikenal dalam berbagai aktivitas sosial masyarakat
Minangkabau adalah; sasuku dan sapayuang saja. Sebuah kaum mempunyai keterkaitan
dengan suku-suku lainnya, terutama disebabkan oleh perkawinan. Oleh karena itu, kaum
punya struktur yang umumnya dipakai oleh setiap suku.

Struktur di dalam Kaum


Di dalam sebuah kaum, strukturnya sebagai berikut:
a. Mamak yang dipercaya sebagai pimpinan kaum yang disebut Penghulu bergelar datuk.
b. Mamak-mamak di bawah penghulu yang dipercayai memimpin setiap rumah gadang
karena di dalam satu kaum kemungkinan rumah gadangnya banyak dan disebut sebagai
tungganai dan bergelar datuk pula.
Di bawah tungganai ada laki-laki dewasa yang telah kawin juga, berstatus sebagai mamak
biasa. Di bawah mamak itulah baru ada kemenakan.

Struktur Tali Perkawinan dengan Suku Lain


Akibat dari sistem matrilienal yang mengharuskan setiap anggota suku harus kawin
dengan anggota suku lain maka keterkaitan akibat perkawinan melahirkan suatu struktur yang
lain, struktur yang mengatur hubungan anggota sebuah suku dengan suku lain yang terikat
dalam tali perkawinan tersebut.
a. Induak bako anak pisang
Induak bako anak pisang merupakan dua kata yang berbeda. Induak bako adalah semua
ibu dari keluarga pihak ayah. Bako adalah semua anggota suku dari kaum pihak ayah.
Induak bako punya peranan dan posisi tersendiri di dalam sebuah kaum pihak si anak.
b. Andan pasumandan
Andan pasumandan juga merupakan dua kata yang berbeda. Pasumandan adalah pihak
keluarga dari suami atau istri. Suami dari rumah gadang A yang kawin dengan isteri dari
rumah gadang B, maka pasumandan bagi isteri adalah perempuan yang berada dalam
kaum suami. Andan bagi kaum rumah gadang A adalah anggota kaum rumah gadang C
yang juga terikat perkawinan dengan salah seorang anggota rumah gadang B.
c. Bundo Kanduang
Dalam masyarakat Minangkabau dewasa ini kata Bundo Kanduang mempunyai banyak
pengertian pula, antara lain;
a). Bundo kanduang sebagai perempuan utama di dalam kaum, sebagaimana yang
dijelaskan di atas.
b). Bundo Kanduang yang ada di dalam cerita rakyat atau kaba Cindua Mato. Bundo
Kanduang sebagai raja Minangkabau atau raja Pagaruyung.
c). Bundo kanduang sebagai ibu kanduang sendiri.
d). Bundo kanduang sebagai sebuah nama organisasi perempuan Minangkabau yang
berdampingan dengan LKAAM.
Bundo kanduang sebenarnya adalah Bundo Kanduang sebagai perempuan utama.
Bundo kanduang sebagai perempuan utama. Apabila ibu atau tingkatan ibu dari mamak
yang jadi penghulu masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau
mandeh atau niniek. Dialah perempuan utama di dalam kaum itu. Perempuan yang
disebut bundo kanduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari
seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat
menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Perempuan-
perempuan setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan
baik, diapun sering dijadikan perempuan utama di dalam kaum. Secara implisit
tampaknya, perempuan utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan
atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.

Budaya Merantau Masyarakat Minangkabau

Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-
abad silam. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat
bahwa orang Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang-
orang kulit putih datang ke sana. Sebuah laporan pertengahan Abad ke-19 yang tersimpan
dalam arsip di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The
Minangkabau State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya),
dikenal dengan nama Negeri Sembilan di Malaysia. Hasil studi para sarjana asing maupun
ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul dan
berkembang sejak berabad-abad silam.
Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah
taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang
menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan
konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Dengan demikian, tujuan
merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar),
mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat/pekerjaan/jabatan (Navis, 1999).
Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik
dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka
yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Selaras
dengan tujuan merantau (mencari harta, ilmu atau pangkat) dalam rangka mengembangkan
diri dan mencari kehidupan yang lebih baik, maka orang Minang di perantauan memiliki
berbagai profesi dan lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang, saudagar
atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuwan, mubaligh serta orang
berpangkat sebagai pejabat pemerintah atau kaum professional (dokter, dosen, eksekutif
BUMN atau perusahaan swasta, wartawan, sastrawan, dan lain-lain).
Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang unik dan selalu menjadi ciri khas
mereka. Yakni kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Kecintaan kepada
kampung halaman mereka ditunjukkan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang
tinggi kepada negeri asal dan adat-budayanya. Kedua, di mana tempat mereka berada, mereka
membangun ikatan-ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se-nagari asal, se-kabupaten,
atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.
Asal-usul Elite Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa
salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke-19 adalah karena mereka berhasil
merespon dan memanfaatkan dengan tepat pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di
Minangkabau. Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter, semangat
mandiri dan jiwa merdeka yang mereka miliki. Mereka memulai dari usaha kecil, katakanlah
kaki lima, kemudian tumbuh berkat kemampuan entrepreneurship-nya yang tinggi menjadi
saudagar kelas menengah dan bahkan besar.
Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang Minang sukar
diperintah, sehingga mereka sering dianggap kurang cocok untuk jenis pekerjaan tertentu.
Misalnya di militer atau birokrasi yang sangat hirarkis sentries. Merekanya cocoknya jadi
saudagar, pengusaha, diplomat, politisi, wartawan, sastrawan dan pekerjaan-pekerjaan tak
terperintah lainnya. Termasuk di sini menjadi pedagang kaki lima sebagai bentuk pekerjaan
orang merdeka.

Sistem Bagi Hasil Dalam Aktivitas Perekonomian Masyarakat


Minangkabau

A. Adat Minangkabau
Daerah Sumatera Barat atau Minangkabau adalah daerah yang penduduknya relatif
homogen dibanding dengan daerah lainnya. Homogennya adalah dalam hal penduduknya
yang relatif didominasi oleh suku Minangkabau dengan adatnya yang spesifik. Kebudayaan
Minangkabau, secara sederhana dapat digambarkan dengan merujuk pada mamang adat,
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendi syarak, syarak bersendi
kitabullah). Artinya, kebudayaan Minangkabau terjalin suatu hubungan sintesis antara dua
unsur, yaitu antara adat Minangkabau dan Agama Islam, sehingga unsur satu topang-
menopang, tukuk-menukuk dan bilai-membilai dengan unsur lainnya secara harmonis.
Adat dalam arti umum adalah norma dan budaya. Norma adalah aturan-aturan da
budaya adalah kebiasaan. Dalam arti hukum, adat adalah pedoman atau patokan dalam
bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul, berpakaian, bermasyarakat, dan lain-lain. Jadi,
adat Minangkabau adalah pedoman atau patokan orang Minang dalam kesehari-hariannya
baik itu bersikap, berbicara, bertindak tanduk, bermasyarakat dan lain-lain.
Adat Minangkabau, sebelum Islam masuk menjadikan alam sebagai guru, tempat
belajar tentang kehidupan. Terdapat fatwa adat yang menegaskan alam jadi guru bagi orang
Minangkabau, yaitu :

“Panakiak pisau sirauit, ambiak galah batang lintabuang, salodang ambiak ka nyiru,
nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadikan
guru”. (Panakik pisau seraut, ambil galah batang lintabuang, Selodang jadikan nyiru,
yang setitik jadikan laut, Yang sekepal jadikan gunung, Alam terkembang jadikan
guru).

Oleh karena alam dijadikan guru oleh orang Minangkabau, maka banyak fenomena
alam dijadikan tuntunan dalam masyarakat Minangkabau. Tuntunan tersebut dihimpun dalam
berbagai fatwa adat yang disajikan dalam bentuk pepatah-petitih, gurindam, pantun dan
sebagainya. Tuntunan tersebut mencakup hampir segala aspek kehidupan seperti sosial,
budaya, politik, ekonomi dan ekologi/lingkungan. Berikut disajikan beberapa contoh aspek
kehidupan.

Aspek Sosial
“Ka lurah samo manurun, ka bukik samo mandaki”
(Ke lembah sama menurun, ke bukit sama mendaki)
Inti : Pentingnya kerjasama dalam kehidupan.
Aspek Budaya
“Pucuak pauah sadang tajelo, panjuluak bungo linggundi, nak jauah silang sangketo,
pahaluih baso jo basi”. (Pucuk pauh sedang terjela, penjuluk bungo linggundi, agar jauh
silang sengketa, perhalus budi pekerti)
Fatwa adat ini mengingatkan orang Minangkabau untuk memperhatikan budi pekerti
agar tidak terjadi perselisihan atau konflik.
Aspek Politik
“Bakati samo barek, maukua samo panjang, tibo di mato indak dipiciangkan, tibo
diparuik indak dikampihkan, tibo didado indak dibusuangkan”. (Menimbang sama berat,
mengukur sama panjang, tiba di mata tidak dipejamkan, tiba di perut tidak dikempiskan, tiba
di dada tidak dibusungkan)
Berlaku adil merupakan prinsip yang harus dipakai orang Minang dalam hidup ini.
Aspek Ekonomi
“Indak tukang nan mambuang kayu, nan bungkuak ka singka bajak, nan luruih ka
tangkai sapu, satampok ka papan tuai, nan ketek kapasak suntiang”. (Tidak tukang yang
membuang kayu, jika bungkuk untuk bingkai bajak, yang lurus untuk tangkai sapu, yang
sebesar telapak tangan untuk papan tuai, yang kecil untuk pasak sunting)
Pepatah adat ini menegaskan bahwa tidak ada yang terbuang dan tidak berguna dalam
hidup ini, sehingga tingkat efisiensi dan efektifitas yang optimal bisa dicapai. Perekonomian
sangat dipentingkan oleh adat Minangkabau. Hal ini dapat dipahami, sebab atas dasar
ekonomi yang sehatlah masyarakat akan menjadi makmur dan kebudayaan akan dapat
dikembangkan serta pembangunan dapat dilaksanakan. Pepatah adat memfatwakan :
“Dek ameh sagalo ameh, dek padi sagalo jadi, elok lenggang di nan data, rancak
rapak di hari paneh, manjilih di tapi aie, mardeso di paruik kanyang”. (Karena ada emas
segala jadi, karena ada padi segala beres, elok lenggang pada yang datar, baik barisan di hari
panas, kebersihan di tepi air, memilih di perut kenyang).
Jika ditinjau lebih mendalam, dasar dan ikatan ekonomi ternyata turut menjadikan
adat Minangkabau itu kuat dan kokoh, sanggup bertahan dari zaman ke zaman, karena adat
itu mempunyai nilai utama tentang ekonomi. Dan nilai ekonomi bukanlah berdasarkan enak
seseorang, tetapi “lamak dek awak, lamak dek urang, elok dek awak katuju dek urang ”, yaitu
elok dan enak dalam dan dengan bersama.
Aspek Ekologi/Lingkungan
“Gabak di hulu tando ka hujan, cewang di langik tando ka paneh”.
(Mendung di hulu tanda akan hujan, terang di langit tanda akan hari akan panas)
Mamangan adat ini menunjukkan kearifan ekologis masyarakat Minangkabau
terhadap cuaca.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa adat Minangkabau merupakan nilai, norma,
simbol dan tuntunan hidup yang dikontruksi dari realitas alam. Sementara alam itu sendiri,
menurut Islam, bertebaran banyak ayat-ayat Tuhan, bagi siapa yang bisa membacanya.
Belajar kepada alam telah memberikan rasionalitas dan kearifan dalam hubungan horizontal
antara sesama manusia, makhluk dan lingkungan di muka bumi ini.

B. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Dalam Falsafah Adat Minangkabau


Falsafat adat Minangkabau adalah keseimbangan (equilibrium) dan keadilan (justice),
kedua prinsip ini juga tercakup dalam prinsip dasar ekonomi Islam. Prinsip keseimbangan
terdiri dari kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimony) dan menjauhi pemborosan
(extravagance). Dalam falsafah adat Minangkabau, nilai kesederhanaan ditunjukkan oleh:
“balabiah ancak-ancak, bakurang sio-sio, diagak mangko diagiah, dibaliak mangko
dibalah, bayang-bayang sapanjang badan” (Berlebihan berarti ria, kalau kurang sia-
sia, dihitung dulu baru dibagi, dibalik dulu baru dibelah, baying-bayang sepanjang
badan).
Arti filosofi hidup sederhana dalam mamangan adat ini adalah kesederhanaan
ditempatkan dalam tataran proporsional dengan memperhartikan beban jangan melebihi dari
kemampuan. Nilai berhemat diakui dalam falsafah adat Minangkabau yang dikutip dalam
pepatah-petitih adat berikut :
“bahimat sabalun habih, sadiokan payuang sabalun hujan”
(berhemat sebelum habis, sediakan payung sebelum hujan)
Maknanya adalah sikap hidup hemat dilakukan untuk menghindari ketiadaan atau
kemelaratan di masa tua/depan. Sedangkan nilai menjauhi pemborosan, juga dikenal dalam
falsafah adat Minangkabau berikut ini :
“wakatu ado jan dimakan, lah abih baru dimakan”
(ketika ada jangan dimakan, sudah habis baru dimakan)
Maksud fatwa ini adalah ketika tenaga masih kuat dan usia masih muda bekerjalah
sekuat tenaga dan kumpulkan harta sebanyak mungkin, sedangkan pada waktu tua menikmati
apa yang diperoleh ketika muda. Prinsip keadilan terdiri dari nilai keadilan sosial, keadilan
ekonomi dan keadilan distribusi pendapatan. Nilai keadilan sosial dikandung dalam fatwa
adat berikut ini :
“gadang jan malendo, panjang jan manindih, cadiak jan manjua kawan, nan tuo
dihormati, nan ketek disayangi, samo gadang baok bakawan” (Besar jangan
melindas, panjang jangan menindas, cerdik jangan menjual kawan, yang tua
dihormati, yang kecil disayangi, sama besar bawa berkawan)
Ini dimaksudkan agar kita saling menghormati dan saling tenggang rasa. Nilai
keadilan ekonomi dikenal dalam falsafah adat Minangkabau. Nilai tersebut termuat dalam
fatwa adat berikut :
“mandapek sama balabo, kahilangan samo marugi, maukua samo panjang, mambilai
samo laweh, baragiah samo banyak, manimbang samo barek”. (Mendapat sama
berlaba, kehilangan sama merugi, mengukur sama panjang, menyambung sama lebar,
berbagi sama banyak, menimbang sama berat)
Prinsip profit and lost sharing diakui oleh fatwa adat diatas. Bagaimana prinsip
tersebut dilaksanakan ? menurut mamang adat dikatakan :
“gadang kayu gadang bahannyo, ketek kayu ketek bahannyo”
(besar kayu besar bahannya, kecil kayu kecil pula bahannya)
Maknanya adalah besar atau kecil suatu untung rugi didasarkan atas besarnya
sumbangan yang diberikan pada suatu usaha. Nilai keadilan distribusi pendapatan mendapat
tempat dalam falsafah adat Minangkabau. Nilai tersebut terkandung dalam fatwa adat berikut:
“nan lamah makanan tueh, nan condong makanan tungkek”.
(Yang lemah perlu ditunjang, yang miring perlu ditopang)
Maknanya adalah orang yang lemah (ekonomi) perlu ditolong. Siapa yang menolong?
Mamangan adat mengingatkan :
“adat badunsanak, dunsanak dipatahankan, adat bakampuang, kampuang
dipatahankan, adat banagari, nagari dipatahankan, adat babangso, bangso
dipatahankan”. (Adat bersaudara, saudara dipertahankan, adat berkampung, kampung
dipertahankan, adat bernagari, nagari dipertahankan, adat berbangsa, bangsa
dipertahankan)
Jadi setiap orang Minangkabau memiliki kewajiban untuk membela saudara,
kampung, nagari dan bangsa yang mengalami situasi dan kondisi yang lemah.

C. Sistem Bagi Hasil Pada Rumah Makan Padang


Rumah Makan Padang Sebagai Ciri Khas Orang Minangkabau
Rumah Makan Padang telah menjadi trade mark bagi Urang Awak, yang tersebar di berbagai
pelosok tanah air dan manca negara. Bahkan ada suatu guyon dari salah seorang guru penulis di SMA
yang mengatakan :”jika Planet Mars menjadi Bumi Kedua dan manusia bumi telah pindah kesana,
maka yakinlah tidak akan lama kemudian akan ada Rumah Makan Padang disana”.
Rumah Makan Padang dapat diartikan sebagai suatu usaha rumah makan yang
dikelola/dimiliki oleh Orang Padang atau Urang Awak (sebutan khas Orang Minangkabau). Pada
kenyataannya nama rumah makannya sangat beragam seperti Saribundo, Simpang Raya, Nasi Kapau
(sebuah nama yang diambil dari suatu daerah di Bukittinggi yaitu Kapau) dan sebagainya. Yang
sangat menarik adalah nama Rumah Makan Padang atau Restoran Padang tidak ada di daerah
Minangkabau (Sumatera Barat), hanya ada di daerah atau kawasan lain. Tidak semua Rumah Makan
Padang dikelola atau dimiliki oleh orang yang berasal dari daerah Minangkabau, ada yang dikelola
oleh suku lain seperti Suku Jawa dengan jenis makanan yang sama hanya rasa yang berbeda dan ada
juga yang hanya sekedar memakai nama “Restoran Padang” sebagai penglaris saja.
Tradisi Merantau Urang Awak mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha Rumah Makan
Padang. Dengan tingkat populasi Urang Awak yang tersebar di berbagai daerah dan negara
memungkinkan usaha ini mudah memperoleh konsumen, apalagi selera Urang Awak yang cukup
fanatik akan masakan “kampuang sendiri”, dan masakan khas Minangkabau seperti Rendang dan
Dendeng Balado dapat diterima oleh lidah suku atau etnis lainnya.

Penerapan Sistem Bagi Hasil Pada Rumah Makan Padang


Telah disinggung sebelumnya bahwa rumah makan merupakan salah satu mata pencaharian
orang Minang yang dalam aktivitas usahanya menggunakan sistem bagi hasil. Sebagaimana halnya
dengan asal asul rumah makan, penerapan bagi hasil pada rumah makan juga tidak diperoleh data
yang konkret mengenai kapan dan siapa yang memulainya.
Penerapan sistem bagi hasil tersebut telah ada didasarkan atas falsafat adat Minangkabau
mengenai perekonomian yaitu Prinsip Keseimbangan dan Keadilan yang merupakan akar dari nilai
tolong menolong dan bagi hasil berdasarkan profit dan lost sharing. Dengan kata lain falsafah
tersebutlah yang mendasari Orang Minangkabau menerapkan bagi hasil dalam usahanya, termasuk
usaha rumah makan.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penerapan sistem bagi hasil pada rumah
makan Padang, maka dapat diberikan contoh salah satu rumah makan dari sekian banyak rumah
makan yang ada di Kota Padang, yaitu : RUMAN MAKAN XXX.
Dalam bisnis rumah makan Padang ini, pemilik modal juga bertindak sebagai pengelola.
Jumlah karyawan yang dimiliki adalah sebanyak 10 yang terdiri dari tukang masak, tukang sanduak,
pelayan (tukang hidang), tukang cuci piring dan kasir. Sistem Bagi Hasil yang diterapkan didasarkan
atas keahlian/posisi dan kerajinan karyawan dengan pembagian hasil menggunakan sistem “mato”
dengan pola sebagai berikut :
Pemilik Modal dan Pengelola : 50 mato
Kasir : 10 mato
Tukang Masak : 15 mato
Tukang Sanduak Nasi : 10 mato
Tukang Hidang/Pelayan : 5 mato
Tukang Cuci Piring : 5 mato
Zakat : 5 mato
Bagi hasil dilakukan 1 x 100 hari dan dalam masa itu setiap karyawan berhak memperoleh
pinjaman. Setiap harinya karyawan memperoleh makan, minum dan uang rokok. Jumlah keuntungan
yang dibagi setelah dikurangi dengan biaya-biaya operasional usaha.
Dari bagi hasil yang diterapkan oleh rumah makan ini juga tercermin falsafah adat
Minangkabau mengenai perekonomian, dimana adanya prinsip keseimbangan dan keadilan.
Seimbang, apabila melihat kepada porsi bagi hasilnya dan keadilan, apabila dilihat dari penentuan
jumlah mato yang disesuaikan dengan keahlian dan kerajinan si karyawan.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Rumah Makan Padang merupakan salah satu mata pencaharian Urang Awak (orang
Minangkabau) yang hingga saat ini telah menjadi trade mark orang Minangkabau.
2. Adat Minangkabau memberikan pedoman dan patokan bagi Orang Minangkabau dalam
bersikap, bertindak tanduk, bermasyarakat, berbicara dan lainnya. Falsafah Adat
Minangkabau dari segi aspek ekonomi yaitu Prinsip Prinsip Keseimbangan dan Keadilan
yang merupakan akar dari nilai tolong menolong dan bagi hasil berdasarkan profit dan
lost sharing. Falsafah tersebutlah yang mendasari Orang Minangkabau menerapkan bagi
hasil dalam kegiatan usahanya, seperti usaha rumah makan padang.
3. Sistem Bagi Hasil ternyata telah dipakai oleh Orang Minangkabau sejak dulu (sebelum
Islam masuk) dalam melakukan kegiatan usahanya.

Data Kuesioner

Dalam pengamatan kami tentang “Mengenal Kebudayaan Minang Lebih Dekat”,


dilakukan juga penyebaran kuesioner di lingkungan kampus ITB. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa banyak komunitas Minang di lingkungan mahasiswa dan sejauh mana
mereka mengenal kebudayaan Minang itu sendiri.
Berikut ini adalah hasil kuesioner yang kami ambil dari 100 responden dan telah
disusun dalam bentuk grafik :

Apakah Anda orang Minang ?


32

Orang Minang
Bukan Orang Minang

68
Berdomisili di … ?
14
Sumbar
18 Luar Sumbar
Lainnya (bukan orang Minang)

68

Pernah denger sistem 'matrilineal' ?


2
32
pernah + ngerti
pernah + ga ngerti
ga pernah sama sekali

66

Pernah denger budaya 'merantau' di


Padang?
pernah + ngerti
9
pernah + ga ngerti
ga pernah sama sekali
50
41

Pernah punya temen orang Minang?

pernah
ga pernah

100
Menurut Anda, budaya Minang itu seperti
apa ?
29 jiwa entrepreneur tinggi
31
teliti dalam keuangan
perantau
kekeluargaan

15 25

Dari hasil kuesioner yang telah disusun, dapat kami simpulkan secara kasar bahwa
terdapat cukup banyak komunitas Minang di lingkungan kampus ITB, dan mereka pun cukup
tahu tentang kebudayaan Minang yang kami tanyakan.

VII. Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
1. Budaya Minang sangat kompleks dan adat istiadatnya masih sangat kuat, meliputi
berbagai aspek kehidupan ( sistem matrilineal, budaya merantau, bagi hasil
Rumah Makan Padang, dll )
2. Dari hasil kuesioner, dapat diketahui bahwa mahasiswa sudah cukup mengetahui
tentang kebudayaan Minang.

Saran
Sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, budaya Minangkabau pun patut
dilestarikan. Pengaruh budaya luar dan akulturasi seharusnya dapat disesuaikan dengan
budaya aslinya, sehingga nilai-nilai luhur dari suatu budaya tersebut tidak terhapuskan atau
bahkan menghilang. Setiap masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota lain atau ke
negara lain seharusnya tetap menjunjung tinggi budaya aslinya dan juga melestarikannya.
Bahkan jika memungkinkan, seseorang dapat menyebarkan budaya aslinya di tempat yang
lain, sehingga kekayaan budaya Indonesia tidak mudah luntur dan masyarakat dapat semakin
mencintai kekayaan bangsa Indonesia sendiri.

Anda mungkin juga menyukai