Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1 Toksikologi................................................................................................. 5
2.2 Formaldehid................................................................................................ 6
2.3Keracunan Formaldehid............................................................................... 14
2.4 Penanganan Keracunan Formalin...............................................................23
2.5 Temuan Post Mortem pada Keracunan Formalin....................................... 24
2.6 Aspek Medikolegal..................................................................................... 27
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 44
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 44
3.2 Saran .......................................................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Formaldehid merupakan aldehida berbentuk gas dengan rumus kimia H2CO;

Senyawa ini dapat dihasilkan dari pembakaran bahan yang mengandung karbon

dan biasa terkandung dalam asap pada kebakaran hutan, knalpot mobil atau motor

dan asap tembakau; meskipun dalam udara bebas formaldehid berada dalam

wujud gas tetapi zat ini dapat larut dalam air dan biasa disebut dengan formalin;

Dalam kehidupan sehari – hari formalin mempunyai beberapa fungsi diantaranya

untuk industri sintesis, kosmetik, fungisida, tekstil, dan cairan pengawet;

Walaupun terdapat berbagai macam kegunaan yang bermanfaat dalam berbagai

bidang, apabila tidak dipergunakan dengan tepat dan sesuai aturan yang berlaku

zat ini dapat mempengaruhi kesehatan tubuh manusia; Seseorang dapat terpapar

formalin dengan berbagai cara antara lain dengan terhirup, peroral, dan melalui

kulit yang nantinya akan berdampak kepada gangguan fungsi organ dalam tubuh

manusia; Gejala yang ditimbulkan beragam, mulai dari yang bersifat akur serta

ringan seperti sesak dan pusing sampai dengan menimbulkan respon syok dan

meningkatkan resiko terjadinya kanker yang keduanya dapat mengakibatkan

kematian.1

Ambang batas yang ditentukan oleh American Conference of Govermental

and Industrial Hygienist (ACGIH) yaitu 0,4 ppm, National Institute for

1
2

Occupational Safety and Health (NIOSH) yaitu 0,016 ppm selama periode 8 jam

dan 0,1 ppm selama periode 15 menit, International Programme on Chemical

Safety (IPCS) yaitu 0,1 ml/L atau 0,2 mg perhari dalam air minum dan 1,5 mg-14

mg perhari dalam makanan; Penelitian World Health Organization (WHO)

menyebutkan kadar formalin baru akan menimbulkan toksifikasi atau pengaruh

negatif jika mencapai 6 gram; Meskipun terdapat batas ambang penggunaan yang

aman, pemakaian formalin tetap tidak dibenarkan dan dilarang untuk

dipergunakan pada bahan konsumsi manusia.2-4

Meskipun sudah jelas bahwa penggunaan formalin dilarang untuk konsumsi

manusia, fakta yang ada membuktikan bahwa akhir – akhir ini marak

diberitahukan bahwa formalin sering digunakan untuk mengawetkan makanan;

Hal ini tentunya membuat keresahan pada masyarakat , karena masyarakatn

beranggapan bahwa formalin hanya digunakan untuk mengawetkan jenazah,

walaupun sebenarnya formalin cukup luas untuk digunakan dalam berbagai

keperluan di berbagai bidang; Badan Pengawasan Obat dan Makan (BPOM) telah

melakukan penelitian dari berbagai propinsi di Indonesia yaitu pada jajanan anak

sekolah dasar seperti bakso tusuk, es, dan sosi panggang; Tidak hanya itu saja,

petugas gabungan dari Dinas Kelautan, Perikanan, dan Peternakan menemukan

produk makanan berformalin di tiga pasar tradisional di berbagai daerah yaitu

ikan asin kering dan cumi-cumi; Saat diteliti terlihat warna ungu pekat yang

menandakan kadar formalin yang sangat tinggi dan melebihi batas yang

diperbolehkan; Fakta – fakta di atas sangat bertentangan dengan PERMENKES


3

RI No 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Bahan Makanan Tambahan yang

menyatakan bahwa formalin termasuk salah satu bahan tambahan yang dilarang

dipergunakan dalam makanan karena bersifat karsinogenik dan membahayakan

kesehatan, PP NO 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan UU

NO 7 tahun 1996 tentang pangan dan UU NO 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen.5

Berdasarkan uraian diatas maka, perlu dibahas lebih dalam mengenai

formalin, efek samping yang dapat ditimbulkan pada tubuh manusia, serta aspek

medikolegal penyalahgunaan formalin yang ada di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Mengetahui pengetahuan dasar tentang formalin, fungsi formalin dalam

bidang industri sintetis, kosmetik, fungisida, tekstil dan cairan pengawet,

mekanisme masuknya formalin ke dalam tubuh, dampak keracunan formalin baik

akut maupun kronik, ambang batas kadar formalin yang diperbolehkan masuk ke

dalamm tubuh perharinya serta aspek medikolegal pada penyalahgunaan formalin.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

1. Meningkatkan pengetahuan dasar tentang formalin.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui fungsi formalin dalam industri sintetis, kosmetik, fungisida,

tekstil dan cairan pengawet.


4

2. Mengetahui mekanisme masuknya formalin ke dalam tubuh.

3. Mengetahui dampak keracunan formalin baik akut maupun kronik.

4. Mengetahui ambang batas kadar formalin yang diperbolehkan masuk ke

dalam tubuh.

5. Mengetahui aspek medikolegal pada penyalahgunaan formalin.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Bagi mahasiswa

Menambah wawasan dalam bidang kedokteran forensik, dan khususnya

mengenai intoksikasi formalin

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat melengkapi literatur terkait kasus di bidang toksikologi,

mengenai pengetahuan dasar tentang formalin, manfaat dan efeknya terhadap

tubuh manusia serta aspek medikolegal pada penyalahgunan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Toksikologi

2.1.1 Definisi

Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun,

gejala gejala dan pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan

pada korban yang meninggal.6 Racun adalah zat yang bekerja pada tubuh secara

kimiawi dan fisiologi dalam dosis toksik yang akan menyebabkan gangguan

kesehatan atau mengakibatkan kematian.6

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Keracunan

Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan, yaitu:

a) Cara masuk

Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi.

Cara masuk lain berturut-turut ialah intravena, intramuskular,

intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling lambat ialah bila melalui

kulit yang sehat.6

b) Umur

Kecuali untuk beberapa jenis tertentu, orang tua dan anak-anak lebih

sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi prematur lebih rentan terhadap

5
6

obat karena ekskresi melalui ginjal belum sempurna dan aktivitas

mikrosom dalam hepar belum cukup.6

c) Kondisi tubuh

Penderita penyakit ginjal pada umumnya lebih mudah mengalami

keracunan.Pada penderita demam dan penyakit lambung, absorpsi

dapat terjadi dengan lambat.Bentuk fisik dan kondisi fisik, misalnya

lambung berisi atau kosong.6

d) Kebiasaan

Kebiasaan sangat berpengaruh pada racun golongan alkohol dan

morfin, sebab dapat terjadi toleransi, tetapi toleransi tidak dapat

menetap, jika pada suatu ketika dihentikan, maka toleransi akan

menurun lagi. 6

e) Waktu Pemberian

Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorpsi terjadi

lebih baik, sehingga efek akan timbul lebih cepat. Jangka pemberian

waktu lama (kronik) atau waktu singkat/sesaat.6

2.2 Formaldehid

2.2.1 Definisi

Senyawa kimia formalin (juga disebut metanal), merupakan aldehida

berbentuk gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida awalnya disintesis

oleh kimiawan Rusia Aleksandr Butlerov tahun 1859, tapi diidentifikasi oleh
7

Hofmfman tahun 1867. Formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan

yang mengandung karbon. Terkandun dalam asap pada kebakaran hutan,

knalpot, mobil dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida

dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan

hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil sekali

juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk

manusia.3,7

2.2.2 Sifat dan Struktur Kimia

Meskipun dalam udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas

tetapi bisa larut dalam air. Formaldehida mempunyai satuan internasional

yaitu ppm atau parts per million dalam bentuk gas ataupun cair (biasanya

dijual dalam kadar larutan 37% menggunakan merk dagang “formalin” atau

“formol”). Dalam ait, formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali

yang ada dalam bentuk imonomer H2CO. Umumnya, larutan ini mengandung

beberapa persen metanol untuk membatasi polimerisasinya. Formalin adalah

larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10-40%.7

Meskipun formaldehida menampilkan sifat kimiawi seperti pada

umumnya aldehida, senyawa ini lebih reaktif daripada aldehida lainnya.

Formaldehida merupakan elektrofil, bisa dipakai dalam reaksi substitusi

aromatik elektrofilik dan senyawa aromatik serta bisa mengalami reaksi adisi

elektrofilik dan alkena. Dalam keberadaan katalis basa, formaldehida bisa

mengalami reaksi Canizzaro, menghasilkan asam format dan metanol.


8

Formaldehida bisa membentuk trimer siklik, 1,3,5-trioksana atau polimer

linier poliooksimetilena. Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat gas

formaldehida berbeda dari sifat gas ideal, terutama pada tekanan tinggi atau

udara dingin.7

Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam

format, karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya

tidak kemasukan udara. Struktur formaldehida berupa gas dalam suhu

ruangan, tetapi gas tersebut dengan cepat akan berubah menjadi berbagai

derivat. Salah satu derivat yang penting dari formaldehid adalah trioxane,

merupakan trimer dari formaldehid dengan rumus bangun (CH2O)3. Ketika

larut dalam air, formaldehid akan berubah menjadi H2C(OH)2 bentuk cair dari

formaldehid disebut formalin 100%. Formalin mengandung larutan yang

tersaturasi oleh formaldehid (30-5-% metanol sebagai stabilizer).7

2.2.3 Sumber

Secara industri, formaldehida dibuat dari oksidasi katalitik metanol.

Katalis yang paling sering dipakai adalah logam perak atau campuran oksida

besi dan molibdenum serta vanadium. Dalam sistem oksida besi yang lebih

sering dipakai (proses Formox), reaksi metanol dan oksigen terjadi pada

2500C dan menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia 4

2 CH3OH + O2 2 H2CO + 2 H2O


9

Katalis yang menggunkan perak biasanya dijalankan dalam temperatur

yang lebih tinggi, kira-kira 6500C , dalam keadaan ini akan ada dua reaksi

kimia sekaligus yang menghasilkan formaldehida : satu seperti yang diatas,

sedangkan satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi 4

CH3OH  H2CO + H2
Bila formaldehida ini dioksidadi kembali, akan menghasilkan asam

format yang sering ada dalam larutan formaldehida dalam kadar ppm.

Didalam skala yang lebih kecil, formaldehida bisa juga dihasilkan dari

konversi etanol, yang secara komersial tidak menguntungkan.4

2.2.4 Fungsi

Formaldehida dapat digunakan untuk membasmi sebagian besar

bakteri, sehingga sering digunakan sebagai disinfektan dan juga sebagai bahan

pengawet. Sebagai disinfektan, formaldehida terkenal juga dengan nama

formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih lantai, kapal, gudang dan

pakaian. Formaldehida juga dipakai untuk mengeringkan kulit, misalnya

mengangkat kutil. Larutan dari formaldehida sering dipakai dalam

membalsem untuk memastikan bakteri serta untuk sementara mengawetkan

bangkai.4

Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksi

polimer dan rupa-rupa bahan kimia. Jika digabungkan dengan fenol, urea, atau

melamina, formaldehida menghasilkan resintermoset yang keras. Resin ini


10

dipakai untuk lem permanen, misalnya yang dipakai untuk kayu lapis/tripleks

atau karpet. Juga dalam bentuk busanya sebagai insulasi. Lebih dari 50%

produksi formaldehida dihabiskan untuk produksi resin formaldehida. Untuk

mensintesis bahan-bahan kimia, formaldehida dipakai untuk produksi alkohol

polifungsional seperti pentaeritriol, yang dipakai untuk membuat cat bahan

peledak. Turunan formladehida yang lain adalah metilena difenil diisosianat,

komponen penting dalam cat dan busa poliuretana, serta heksametilena

tetramina, yang dipakai dalam resin fenol-formaldehida untuk membuat RDX

(bahan peledak). Sebagai formaldehi, larutan senyawa ini sering digunakan

sebagai insektisida serta bahan baku pabrik-pabrik resin plastik dan bahan

peledak.4

2.2.5 Farmakokinetik

Dalam tubuh manusia formaldehida dimetabolisme menjadi asam

format oleh beberapa sistem enzim termasuk komplek formaldehid

dehydrogenase (FDH) pada beberapa jaringan atau oleh hidrogen peroksida

sistem katalase. FDH berperan dalam pelepasan format dengan memecah thio

ester dengan glutathion. Efisiensi dari metabolisme format oleh katalase

sangat berhubungan dengan konsentrasi tetrahidrofolat pada hepar. Dalam

tubuh manusia, asam format secara lambat dimetabolisme jadi karbondioksida

dan air oleh reaksi enzimatik yang bergantung folat. Folat adalah vitamin

esensial yang ditemukan pada buah segar dan sayuran. Metabolisme yang

lambat pada tubuh manusia seringkali menyebabkan akumulasi asam format


11

yang dapat menyebabkan asidosis metabolik. Formaldehid dapat dibedakan

menjadi endogen dan eksogen. Formaldehid endogen berada dalam tubuh

sebagai bentuk intermediat dari metabolisme sel dan jaringan. Normalnya

diproduksi selama metabolisme dari serin, glisin, metioninm dan kolin.7

a. Absorbsi

Formaldehid adalah unsur yang reaktif dan mudah larut dalam air

sehingga dengan cepat diabsorbsi jaringan gastrointestinal, bila masuk dengan

mekanisme peroral. Terdapat dua mekanisme absorbsi formaldehid. Yang

pertama formaldehid secara cepat dimetabolisme menjadi asam format di

sistem pencernaan yaitu di hepar dan kemudian secara cepat langsung

diabsorbsi. Yang kedua formaldehid diabsorbsi secara cepat baru kemudian

dimetabolisme menjadi asam format dalam darah.7

b. Distribusi

Formaldehida tidak secara langsung diabsorbsi dalam bentuk molekul

utuh ke dalam aliran darah, kecuali berada dalam dosis yang sangat tinggi

sehingga melampaui kapasitas jaringan. Formaldehida didistribusikan ke

berbagai organ seperti ginjal, limpa, hepar, dan sebagainya untuk mengalami

metabolisme lebih lanjut. Toksisitas tidak terletak pada distribusi organ

melainkan pada tempat kontak dengan formaldehid yang terpapar pada

jaringan.7

c. Metabolisme
12

Formaldehida yang merupakan zat asing (xenobiotik) akan mengalami

proses detoksifikasi di hepar melalui beberapa tahapan yaitu hidroksilasi dan

konjugasi. Fungsi hidroksilasi bertujuan mengubah xenobiotik aktif menjadi

inaktif, sedangkan fase konjugasi berfungsi mereaksikan xenobiotik inaktif

dengan zat kimia tertentu dalam tubuh menjadi zat yang larut sehingga mudah

diekskresi baik lewat empedu maupun urin.7

d. Ekskresi

Karena adanya perubahan yang cepat dari formaldehid menjadi asam

format, proses ekskresi melalui ginjal tidak dipengaruhi toksisitas

formaldehid. Metabolisme dari asam format juga dapat berlanjut dengan

proses oksidasi pada atom karbon sehingga dihasilkan karbondioksida yang

dapat dikeluarkan lewat jalan napas.7

2.2.6 Farmakodinamik

Daya kerja formaldehid adalah menekan terhadap fungsi sel-sel dan

mengakibatkan nekrosis jairngan-jaringan. Pada keracunan formaldehid akan

menyebabkan kerusakan sel dalam berbagai jaringan. Konsentrasi asam

format yang tinggi dalam tubuh akan secara cepat menimbulkan nekrosis sel-

sel hepar, ginjal, jantung dan otak. Penumpukan asam format akan

menyebabkan nekrosis metabolik. Asam format juga merupakan inhibitor dari

mitokondria sitokrom oksidase yang menghasilkan histotoksik. Selain itu

formaldehid bersifat korosif jika tertelan dalam keadaan aktif, akan

menyebabkan kerusakan pada saluran yang dilaluinya seperti kerusakan pada


13

mulut dan tenggorokan, teriritasinya lambung, perdarahan saluran

perncernaan, menimbulkan gejala sulit menelan, mual, muntah dan diare

hebat, nyeri kepala sampai dengan koma. Gejala akut lainnya dapat mengenai

organ hepar, jantung, otak, limpa, pankreas, dan sistem saraf.8

2.2.7 Pengaruh terhadap tubuh

Formaldehid merupakan salah satu polutan dalam ruangan yang sering

ditemukan. Apabila kadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg, formaldehi yang

terhisap bisa menyebabkan iritasi kepala dan membran mukosa yang

menyebabkan keluarnya air mata, pusing, tenggorokan serasa terbakar, serta

kegerahan. Jika terpapar formaldehid dalam jumlah banyak, misalnya

terminum bisa menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia, formaldehid

dikonversi menjadi asam format yang meningkatkan keasaman darah, tarikan

napas jadi pendek dan sering, hipotermia, juga koma atau kematian.8

Dalam tubuh, formaldehid bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh

protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal. Binatang

percobaan yang menghisap formaldehid terus-menerus terserang kanker

dalam hidung dan tenggorokannya, sama juga dengan yang dialami oleh para

pegawai pemotongan papan artikel. Tapi ada studi yang menunjukkan apabila

formaldehid dalam kadar yang lebih sedikit, seperti yang digunakan dalam

bangunan, tidak menimbulkan pengaruh karsinogenik terhadap makhluk

hidup yang terpapar zat tersebut.8


14

Tabel 1.Rute dan Dosis Letal Formaldehid


Spesies Rute LD50 Studi
Rat Oral 800 Smyth et al (1941)
Subcutaneous 420 Skog (1950)
Intravenous 87 Langecker (1954)
Mouse Subcutaneous 300 Skog (1950)
Rabbit Dermal 270 Lewis and Tatkin
(1980)
Guinea pig Oral 260 Smyth et al (1948)
LD50 : median lethal dose

2.3 Keracunan Formaldehid

2.3.1 Per Oral

Menelan larutan yang mengandung formaldehid 10-40% dapat

menyebabkan iritasi yang berat dan peradangan pada mulut, tenggorokan dan

perut. Nyeri perut yang parah akan terjadi, dapat diikuti kehilangan kesadaran

dan kematian. Menelan sedikitnya 30 mL (1 oz) dari larutan yang

mengandung formaldehid 37% telah dilaporkan dapat menyebabkan kematian

pada orang dewasa. Sedangkan menelan larutan yang encer dari formaldehid

(0,03-0,04%) dapat menyebabkan rasa tidak nyaman di perut dan faring.7,9

Penelanan larutan yang mengandung formaldehid dapat menyebabkan

berbagai macam gejala lokal dan sistemik. Gejala lokal efek korosif setelah

tertelan dapat menyebabkan eritema, erosi, ulserasi dan perforasi di mulut,

laringofaring, kerongkongan, perut dan duodenum, yang dapat menyebabkan

gejala seperti mual, muntah, sakit perut dan gangguan pernapasan. Kemudian

diare, hematemesis dan melena bisa berkembang. Bahkan setelah berminggu-


15

minggu sampai berbulan-bulan, stenosis terutama esophagus dan pylorus

dapat terjadi karena efek korosif pada mukosa. Efek sistemik yang dapat

terjadi adalah syok, tidak sadar, kejang dan kegagalan pernafasan akut. Asam

formiat dapat menyebabkan nekrosis koagulasi cepat dan presipitasi protein

sel-sel di jantung, otak, ginjal dan hati dan fiksasi jaringan. Pada intoksikasi

berat, komplikasi yang sering terjadi berupa gagal ginjal dan anuria karena

nekrosis tubulus ginjal. Asam formiat juga dapat menyebabkan anion gap

metabolic acidosis.10

Studi epidemiologi dari potensial bahaya karsinogenik dari

formaldehid secara ingesti belum diidentifikasi. Belum ada penelitian yang

mengindikasikan bahwa formaldehid menimbulkan karsinogenik ketika

diberikan secara oral pada binatang percobaan. Bagaimanapun, diketahui

bahwa reaktivitas biologikal makromolekul dari zat tersebut di jaringan atau

organ pada kontak pertama, mengakibatkan perubahan secara histologi dan

sitogenetik pada traktus aerodigestif, termasuk mukosa oral dan

gastrointestinal, yang sudah diobservasi pada tikus yang mendapatkan

formaldehid secara oral. Observasi dan pertimbangan tambahan dari

formaldehid dapat mencetuskan timbulnya tumor dengan kesimpulan bahwa

paparan yang rendah dari formaldehid tidak dapat mengeliminasi potensial

bahaya karsinogenik dari formaldehid secara oral.2,7,11

2.3.2 Per Inhalasi


16

Formaldehid adalah senyawa karbon organik yang sering digunakan

pada lingkungan pekerjaan (rumah sakit, tekstil, kertas, komponen resin dan

kayu). Formaldehid adalah gas tidak berwarna yang memiliki bau yang tajam

dan mengiritasi membran mukosa dari hidung, tenggorokan dan mata. Efek

toksik dari formaldehid umumnya terjadi pada semua yang bekerja dan

memiliki kontak yang dekat dengan formaldehid seperti petugs pengawetan

jenazah, anatomis, teknisi histologi dan mahasiswa kedokteran adalah orang-

orang yang memiliki paparan yang tinggi terhadap formaldehid. Sistem

respirasi adalah target utama dari formaldehid. Dilaporkan bahwa setelah

tikus menghirup formaldehid, volume formaldehid lebih besar pada paru-paru

dibandingkan di dalam darah, otak, hati, dan ginjal. Cedera paru akut

disebabkan karena sel epitel saluran pernapasan mengalami kerusakan dan

kehilangan fungsinya. Cedera awal dari jaringan mencetuskan untuk

diproduksinya faktor pertumbuhan dan sitokin yang menstimulasi respon

inflamasi dari sel epitel pulmonal dengan mengaktifkan seri dari jalur signal

intracelular. Formaldehid secara langsung merupakan karsinogen dan

menimbulkan resiko kanker pada manusia yang diklasifikasikan oleh The

International Agency for Research on Cancer (IARC) sebagai genotoksik

lemah, probable agen karsinogenik untuk manusia (grup 2A). Paparan

terhadap formaldehid adalah faktor predisposisi untuk terjadinya kanker di

rongga hidung, sinus paranasal, dan leukemia. Menurut WHO, formaldehid

tidak memiliki potensi tinggi karsinogenik pada manusia (WHO IARC, 2006;
17

Takeuchi, 2004). Formaldehid dianggap memiliki efek karsinogenik lemah

melalui pembentukan protein cross-link dan proliferasi sel di saluran

pernafasan manusia.12

Menghirup formaldehid menyebabkan iritasi berat pada saluran

pernapasan atas dan mata. Konsentrasi 0,5-2,0 ppm pada beberapa individu

mungkin menyebabkan iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan.

Konsentrasi dari 3 sampai 5 ppm mungkin juga menyebabkan lakrimasi pada

mata yang tidak dapat ditoleransi pada beberapa orang. Konsentrasi 10 sampai

20 pm mungkin menyebabkan kesulitan bernapas, rasa terbakar pada hidung

dan tenggorokan, batuk dan lakrimasi berat pada mata, dan 25 sampai 30 ppm

menyebabkan rusaknya saluran respirasi yang berat yang mengarah pada

edema pulmonal dan pneumonia. Konsentrasi 100 ppm secara cepat

membahayakan bagi kesehatan. Menghirup formaldehid dengan konsentrasi

yang tinggi (>120 mg/m3) menyebabkan hipersalivasi, dyspnea akut, muntah,

kejang otot, kejang-kejang dan akhirnya kematian. Pemeriksaan histopatologi

menunjukkan adanya iritasi pada saluran pernapasan, penyempitan

broncoalveolar, dan edema paru, efek ini ditemukan secara mikroskopis pada

tikus yang terpapar formaldehid (10 ppm) selama 4 jam termasuk lesi siliar,

pembengkakan selular dan sekresi berlebihan dari sel goblet.7,9

2.3.3 Kontak Langsung


18

Formalin dapat menyebabkan iritasi kulit yang parah. Kontak dengan

formalin menyebabkan perubahan warna putih, pengeringan, retak, dan

bersisik. Kontak yang lama dan berulang dapat menyebabkan mati rasa dan

pengerasan atau penyamakan kulit. Orang yang pernah terpapar sebelumnya,

apabila terpapar lagi dapat bereaksi dermatitis eksim alergi atau gatal-gatal.

Formalin yang terciprat di mata bisa menyebabkan luka mulai dari

ketidaknyamanan sementara hingga kekeruhan kornea permanen yang parah,

dan kehilangan penglihatan. Tingkat keparahan efeknya tergantung pada

konsentrasi formaldehid dalam larutan dan apakah mata dibilas dengan air

atau tidak segera setelah terpapar.9

Belum ada studi tentang kematian pada manusia setelah paparan kulit

terhadap formaldehida. Paparan dermal berulang pada tikus untuk larutan

yang mengandung hingga 10% formaldehida tidak menghasilkan peningkatan

mortalitas. Iversen menerapkan 4% formaldehida ke kulit tikus Sencar dua

kali seminggu selama 58 minggu. Tidak ada peningkatan mortalitas yang

diamati. Demikian pula, aplikasi dari 1 atau 10% formaldehida ke punggung

tikus Oslo selama 2 hari / minggu selama 60 minggu tidak mempengaruhi

mortalitas.7

2.3.4 Keracunan Formaldehid pada Otak


19

Bagian otak yang sering terkena dampak pada keracunan formaldehid

adalah putamen dan nervus optikus. Pada putamen sering terjadi nekrosis

karena kebutuhan metabolismenya yang tinggi dan terletak pada daerah yang

memiliki perfusi vaskular yang tinggi. Sedangkan pada nervus optikus

terpengaruh karena di tempat ini terjadi penumpukan dari asam format,

dengan adanya paparan zat toksik yang terus menerus ataupun dengan kadar

tinggi dapat juga mengakibatkan nekrosis sel. Setelah masuk ke dalam tubuh,

formaldehid dengan cepat akan berdifusi ke banyak jaringan termasuk otak.

Pemaparan jaringan jangka panjang akan menyebabkan neurotoksisitas yang

ireversibel dan berhubungan dengan gangguan neurodegeneratif dan kanker

otak (astrositoma). Selain pada otak, formaldehid dapat ditemukan di cairan

cerebrospinal. Hal ini dikarenakan formaldehid mudah melewati sawar otak

dan berefek pada neuroglia dan sel saraf.3,13,14

2.3.4.1 Gejala Klinis pada Sistem Saraf

Neurotoksisitas pada beberapa struktur dan fungsi dari SSP dan/atau

sistem saraf perifer yang berkaitan dengtan paparan zat kimia. Gangguan

sistem saraf karena paparan kronis bahan kimia industry biasanya sangat sulit

untuk sembuh dan cenderung bertahap menjadi lebih serius bahkan setelah

paparan dihentikan. Efek neuropsikologis yang dapat terjadi meliputi depresi

SSP seperti nyeri kepala, pusing, gangguan koordinasi, iritabel, gangguan

emosi, gangguan keseimbangan, kesulitan konsentrasi, daya ingat menurun

dan gangguan perilaku namun penjelasan secara ilmiah masih belum jelas.9
20

Penumpukan asam format pada nervus optikus dapat menyebabkan

penglihatan kabur yang disebut sebagai “badai salju”. Namun kesadaran

relatif tetap baik. Hilangnya penglihatan secara total dapat disebabkan oleh

berhentinya fungsi mitokondria pada saraf optik yang mengalami hiperemi,

edem dan atrofi. Paparan yang lama dari formaldehid (14-30 tahun) dapat

menyebabkan neurotoksisitas ireversibel dan berkaitan dengan kanker otak

(astrositoma). Selain itu formaldehid yang terhirup dapat menyebabkan

gangguan perilaku dan kelainan memori.3,9,13,14

2.3.5 Keracunan Formalin Pada Hepar

Paparan formalin dalam makanan dapat menimbulkan stress oksidatif

dan menyebabkan terjadinya reaksi peroksidasi senyawa biologis yang

terdapat pada sel dan jaringan hepar terutama pada lemak membran sel hepar.

Semakin tinggi dosis paparan formalin, akan semakin tinggi potensi

kerusakan. Kerusakan bisa bertambah serius bahkan sampai dengan kematian

sel yang ditandai dengan semakin tinggi produksi malondialdehid (MDA).

Senyawa radikal bebas, terutama radikal hidroksil (OH) dapat menyebabkan

terjadinya reaksi peroksidasi asam lemak tak jenuh pada membran sel. Reaksi

peroksidasi pada asam lemak tak jenuh lebih lanjut menghasilkan senyawa

malondialdehid (MDA). Pada tahap ini konsumsi oksigen pada hepar akan

diikuti metabolisme anaerobic yang akan menghasilkan asam laktat. Jika

keadaan ini berlangsung terus menerus, maka akan menyebabkan

penumpukan asam laktat yang akan menurunkan pH darah dan menyebabkan


21

asidosis. Selain itu, hipoksia jaringan hepar juga dapat secara langsung

menyebabkan kerusakan hepatoseluler yang pada akhirnya dapat menjadi

nekrosis sel hepar.15,16

Efek terhadap hepar seperti peningkatan enzim hepar pada serum telah

dilaporkan terjadi pada manusia yang mengalami keracunan formaldehid akut

akibat tertelan. Menurut penelitian Vargova, terjadi kerusakan hepatoseluler

yang ditemukan pada tikus yang diberikan formaldehid selama 4 minggu

dengan dosis 80 mg/kgBB/hari, namun penelitian lain tidak menemukan efek

ke hepar yang berhubungan dengan paparan formaldehid secara per oral. Dari

penelitian-penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hepar bukan

merupakan target organ pada keracunan formaldehid. Namun pernah

dilaporkan bahwa 30 ml formaldehid dengan kadar 37% menyebabkan

kematian pada seorang dewasa.15,16

2.3.6 Keracunan Formalin pada Ginjal

Hasil metabolisme akhir formalin adalah asam format yang

diekskresikan melalui urin sebagai garam natrium atau dioksidasi lebih lanjut

menjadi H2O dan CO2. Proses detoksifikasi ini akan efektif bila paparan

formalin dalam jumlah sedikit. Tetapi jika paparan formalin dalam jumlah

tinggi, maka akan menyebabkan asidosis dan kerusakan pada ginjal sehingga

dapat menyebabkan dysuria, anuria, pyuria, hematuria dan meningkatnya

kadar format pada urin. Selain itu, paparan formalin dalam jumlah besar akan

menyebabkan organ ini akan menyebabkan pengerasan pada ginjal. Ginjal


22

akan kaku dan mengalami kebocoran. Glomerulus akan mengalami kebocoran

dan akhirnya mengalami kerusakan permanen dalam sistem filtrasinya. Bila

paparan terjadi terus menerus, tubuli menjadi keruh dan ginjal tidak mampu

menjalankan fungsinya.15,16

Gagal ginjal dilaporkan berhubungan dengan paparan formaldehid per

oral, dimana dilaporkan seseorang yang menelan 624 mg/kgBB formaldehid

(formalin) terjadi anuria setelah 7,5 jam dari paparan dan keadaannya terus

emburuk hingga mengalami kematian 28 jam kemudian. Data mengenai

hubungan paparan formaldehid terhadap efek pada ginjal yang dilakukan pada

hewan percobaaan sangat terbatas. Menurut penelitian Tit pada tikus,

dilaporkan terjadi oliguria dan hematuria dengan dosis pemberian formaldehid

109 mg/kgBB/hari selama 27-82 minggu. Adapun penelitian Appelman,

terjadi oliguria pada tikus yang terpapar formaldehid secara inhalasi dengan

dosis 10 ppm selama 52 minggu. 15,16

2.3.7 Keracunan Formalin pada Lambung

Paparan akut akibat formalin yang tertelan dapat menyebabkan luka

korosif pada mukosa saluran cerna, mual, muntah, nyeri, hematemesis,

perforasi gaster, gastritis korosid serta edem dan ulserasi esofagus. Adapun

komplikasi lebih lanjut yaitu striktur dan perforasi esofagus. 15,16

2.4 Penanganan Keracunan Formalin


23

Pertolongan yang dibutuhkan tergantung pada konsentrasi cairan dan

gejala yang dialami korban. Bila terhirup, tindakan awal yang harus dilakukan

adalah memastikan safety untuk diri sendiri sebelum menolong orang lain

dengan cara menggunakan alat pelindung diri. Kemudian pindahkan korban dari

daerah paparan ke tempat yang lebih aman atau di lingkungan terbuka dengan

udara yang baik. Posisikan korban dengan nyaman dan bila korban kesulitan

bernapas, berikan oksigen masker selanjutnya segera bawa korban ke Rumah

Sakit untuk penanganan lebih lanjut. 16,17

Bila terkena kulit, penolong memakai alat pelindung diri untuk

menghindari kontak langsung dengan korban. Lepaskan pakaian dan perhiasan

korban yang terkontaminasi formalin kemudian siram kulit dengan air mengalir

selama 30 menit. Segera bawa korban ke Rumah Sakit dan jika memungkinkan

tetap aliri kulit dengan air mengalir selama perjalanan. 19,20

Bila terkena mata, penolongan menggunakan sarung tangan membuka

mata korban dan membilasnya dengan air selama 30 menit. Selama dibilas, mata

korban dipertahankan terbuka. Apabila korban menggunakan kontak lensa, tidak

perlu dilepas terlebih dahulu karena mata harus segera dibilas dengan air.

Apabila tersedia, dapat menggunakan cairan NaCl 0,9% untuk membilas. Segera

bawa korban ke Rumah Sakit dan tetap bilas mata ketika perjalanan. Perlu

diperhatikan untuk berhati-hati supaya tidak mengenai mata yang tidak

terkontaminasi atau wajah korban. 16,17


24

Bila tertelan, segera cuci mulut korban dengan air. Sebelum ke Rumah

Sakit, berikan arang aktif (norit) bila memungkinkan. Jangan lakukan

rangsangan muntah karena akan menimbulkan resiko trauma korosif pada

saluran cerna bagian atas. Di Rumah Sakit, tim medis segera melakukan bilas

lambung. 16,17

Pencegahan paparan langsung terhadap formalin harus dilakukan

khususnya bagi pekerja industry. Agar tidak terhirup, gunakan alat pelindung

seperti masker atau kain. Lengkapi sistem ventilasi dengan penghisap udara

(exhaust fan) yang tahan ledakan. Gunakan pelindung mata berupa kaca mata

pengaman yang tahan terhadap percikan. Sediakan juga kran air untuk mencuci

mata di temat kerja yang berguna apabila terjadi kecelakaan kerja. Agar tidak

terkena kulit, gunakan sarung tangan dan pakaian pelindung yang tahan terhadap

bahan kimia. Hindari makan, minum dan merokok selama bekerja dan selalu

mencuci tangan sebelum makan. 16

2.5 Temuan Post Mortem pada Keracunan Formalin

2.5.1 Otak

Bagian otak yang sering terkena dampak adalah putamen dan

nervus optikus. Pada putamen sering terjadi nekrosis karena kebutuhan

metabolismenya yang tinggi dan memiliki perfusi vascular yang

tinggi. Sedangkan pada nervus optikus terjadi penumpukan asam

format dan paparan zat toksik terus menerus atau kadar yang tinggi
25

dapat menyebabkan nekrosis sel. Pada pemeriksaan post-mortem

secara mikroskopis dapat ditemukan tanda asfiksia seperti bintik

perdarahan (tardieu spot). Kemudian terdapat tanda edema otak seperti

otak yang tampak lebih berat, gyrus melebar, sulcus menyempit, batas

substansia grisea dan alba tak tegas. Pada jaringan otak juga akan

terjadi hipoksia yang mengakibatkan sel-sel otak menjadi nekrosis,

maka akan dijumpai jaringan otak yang nekrotik mencair dan

meninggalkan rongga yang berisi cairan. Perdarahan juga akan timbul,

sering terjadi pada khiasma optikum, thalamus, putamen, yang akan

terlihat sebagai jendalan darah.15,16

Melalui CT-Scan, dapat terlihat lesi hiperdens pada substansia

alba, sedangkan hipodens pada putamen mencerminkan terjadinya

nekrosis. Pada pemeriksaan MRI dapat ditemukan hipointens pada

daerah yang nekrosis dan hiperintens pada daerah perdarahan. Pada

pemeriksaan mikroskopis yaitu dengan Hematoxylin Eosin (HE) maka

akan terlihat nekrosis sel-sel otak, perdarahan, kavitas, infiltrasi

makrofag yang luas. Formalin dan metabolitnya dapat ditemukan

konsentrasinya di otak maupun dalam cairan cerebrospinal. 15,16

2.5.2 Hepar

Pada penelitian dengan sampel tikus, otopsi hepar dapat

ditemukan terjadi penambahan berat dan ukuran. Pada pemeriksaan

mikroskopis, akan menunjukkan hyperplasia sel, hyperkeratosis,


26

metaplasia skuamosa dan penambahan jaringan adipose yang

menggantikan sel hepar normal. Selain itu juga terjadi penurunan level

trigliserida hepar. 15,16

2.5.3 Ginjal

Pada penelitian dengan kelompok kontrol tikus, otopsi pada

ginjal akan ditemukan degenerasi tubulus renal dengan derajat yang

bervariasi. Pada hamper semua kasus didapatkan bercak nekrosis pada

parenkim ginjal, juga didapatkan bendungan pada kapiler peritubular,

pelebaran dan bendungan pada kapiler-kapiler glomerulus,

pembengkakan pada lapisan endotel pembuluh darah ginjal dan

proliferasi sel-sel mesangial. Penelitian pada tikus yang mendapatkan

inhalasi formalin didapatkan peningkatan sel adipose pada jaringan

ginjal. 15,16

2.5.4 Lambung

Hasil penelitian yang dilakukan pada tikus menunjukkann

adanya hubungan antara paparan formalin per oral dengan jumlah sel

gaster yang mengalami erosi dan ulserasi. Hal ini sesuai dengan teori

bahwa formalin dengan dosis tinggi merupakan iritatif kuat yang dapat

merusak mukosa lambung. 15,16


27

2.6 Aspek Medikolegal

1. UU NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN

KEAMANAN PANGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 67

(1) Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman, higienis,

bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya

masyarakat.

(2) Keamanan Pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis,

kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan

kesehatan manusia.

Pasal 68

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan

Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.

(2) Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.

(3) Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan wajib

menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2).


28

(4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala

usaha Pangan.

(5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi

pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).

Pasal 69

Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan melalui:

a. Sanitasi Pangan;

b. pengaturan terhadap bahan tambahan Pangan;

c. pengaturan terhadap Pangan Produk Rekayasa Genetik;

d. pengaturan terhadap Iradiasi Pangan;

e. penetapan standar Kemasan Pangan;

f. pemberian jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan; dan

g. jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan

Bagian Kedua

Sanitasi Pangan

Pasal 70

(1) Sanitasi Pangan dilakukan agar Pangan aman untuk dikonsumsi.


29

(2) Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses produksi,

penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan.

(3) Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi

persyaratan standar Keamanan Pangan.

Pasal 71

(1) Setiap Orang yang terlibat dalam rantai Pangan wajib mengendalikan risiko

bahaya pada Pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi,

maupun dari perseorangan sehingga Keamanan Pangan terjamin.

(2) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,

penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan wajib:

a. memenuhi Persyaratan Sanitasi; dan

b. menjamin Keamanan Pangan dan/atau keselamatan manusia.

(3) Ketentuan mengenai Persyaratan Sanitasi dan jaminan Keamanan Pangan

dan/atau keselamatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

Pasal 72

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71

ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda;
30

b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;

c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;

d. ganti rugi; dan/atau

e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme

pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Pengaturan Bahan Tambahan Pangan

Pasal 73

Bahan tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam Pangan untuk

mempengaruhi sifat dan/atau bentuk Pangan.

Pasal 74

(1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan

sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan

manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan.

(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran.


31

Pasal 75

(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dilarang

menggunakan: a. bahan tambahan Pangan yang melampaui ambang batas maksimal

yang ditetapkan; dan/atau b. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan

Pangan.

(2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dilarang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

Pasal 76

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75

ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. denda;

b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;

c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;

d. ganti rugi; dan/atau

e. pencabutan izin.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme

pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diatur dalam Peraturan Pemerintah


32

2. UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi kepada konsumen

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pasal 3

Perlindungan konsumen bertujuan : 

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;
33

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari

ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut

hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian

hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dan berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha

produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan

konsumen.

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama

Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4

Hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa

tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
34

c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 5

Kewajiban konsumen adalah : 

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.
35

Bagian Kedua

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6

Hak pelaku usaha adalah  :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad

tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum

sengketa konsumen;

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian

konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hakl-hal yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah : 

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;
36

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat

dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa

yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

3. PERMENKES No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas

PERMENKES No. 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan Makanan

Tambahan

Bahan Tambahan makanan yang dilarang digunakan pada makanan

1. Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya

2. Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt)

3. Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC)

4. Dulsin (Dulcin)

5. Kalium Klorat (Potassium Chlorate)

6. Kloramfenikol (Chloramphenicol)
37

7. Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)

8. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

9. Formalin (Formaldehyde)

10. Kalium Bromat (Potassium Bromate)

4. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR DAN

PERSYARATAN KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA INDUSTRI

Pasal 1

Pengaturan standar dan persyaratan kesehatan lingkungan kerja industri bertujuan

untuk :

a. mewujudkan kualitas lingkungan kerja industry yang sehat dalam rangka

menciptakan pekerja yang sehat dan produktif

b. mencegah timbulnya gangguan kesehatan, penyakit akibat kerja dan kecelakaan

kerja; dan

c. mencegah timbulnya pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri.

Pasal 3

(1) Standar kesehatan lingkungan kerja industri meliputi :

a. nilai ambang batas faktor fisika dan kimia;

b. indikator pajanan biologi; dan


38

c. standar baku mutu kesehatan lingkungan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kesehatan lingkungan kerja industri

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

(1) Untuk memenuhi standard dan persyaratan kesehatan lingkungan kerja industry

sesuai dengan Peraturan Menteri ini, setiap industri harus melakukan pemantauan

secara berkala.

(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerjasama dengan

pihak lain yang memiliki kompetensi di bidang hygiene industry, kesehatan kerja

dan/atau kesehatan lingkungan.

(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara

a. pengamatan, pengukuran, dan surveilans faktor fisik, kimia, biologi, dan

penanganan beban manual, serta indikator pajanan biologi sesuai potensi bahaya

yang ada di lingkungan kerja; dan

b. pemeriksaan, pengamatan, pengukuran, surveilans, dan analisis risiko pada

media lingkungan.

(4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu)

tahun sekali, atau setiap ada perubahan proses kegiatan industri yang berpotensi

meningkatkan kadar bahaya kesehatan lingkungan kerja, dan/atau sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.


39

(5) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan evaluasi.

Pasal 6

(1) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dilakukan oleh

tenaga yang telah memperoleh pendidikan dan/atau pelatihan di bidang kesehatan

kerja atau hygiene industry.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemantauan

indikator pajanan biologi dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah memperoleh

pendidikan dan/atau pelatihan mengenai indikator pajanan biologi (biomarker).

(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dilakukan oleh

tenaga kesehatan lingkungan.

Pasal 7

(1) Proses pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi metode

pengambilan sampel, jumlah sampel, analisis laboratorium, dan interpretasi hasil

pengukuran

(2) Proses pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai

dengan standar

(3) Analisis laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di

laboratorium yang terakreditasi.


40

Pasal 9

(1) Industri harus melakukan upaya pengendalian bahaya, upaya kesehatan

lingkungan, dan/atau surveilans kesehatan kerja apabila tidak memenuhi standar dan

persyaratan kesehatan lingkungan kerja industry berdasarkan hasil pemantauan dan

evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

(2) Upaya pengendalian bahaya sebagaimana pada ayat(1) meliputi:

a. eliminasi;

b. substitusi;

c. pengendalian teknis;

d. pengendalian administrasi; dan/atau

e. pemakaian alat pelindung diri,

sesuai dengan kebutuhan.

(3) Upaya kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

penyehatan, pengamanan, dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

(4) Surveilans kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

penhumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan diseminasi sebagai satu

kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan informasi yang objektif, terukur,

dapat diperbandingkan antarwaktu, antarwilayah, dan antarkelompok pekerja dan

masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan.


41

Pasal 10

(1) Menteri, pimpinan instansi terkait, kepala dinas kesehatan daerah provinsi, dan

kepala dinas kesehatan daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan kewenangan

masing-masing.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

melalui :

a. advokasi dan sosialisasi;

b. bimbingan teknis; dan/atau

c. pelatihan

(3) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

menteri, pimpinan instansi terkait, kepala dinas kesehatan daerah provinsi, kepala

dinas kesehatan daerah kabupaten kota dapat memberikan penghargaan, atau

rekomendasi pemberian sanksi kepada pihak terkait.

NILAI AMBANG BATAS LINGKUNGAN KERJA INDUSTRI

NAB Bahan Kimia

NAB bahan kimia dalam ppm atau mg/m3 sebagaimana tercantum pada Tabel

13 adalah konsentrasi rata-rata pajanan bahan kimia tertentu yang dapat diterima oleh

hampir semua pekerja tanpa mengakibatkan gangguan kesehatan atau penyakit dalam

pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam perhari dan 40 jam
42

perminggu. NAB terdiri dari TWA, STEL dan Ceiling dengan pengertian sebagai

berikut:

a. TWA (Time Weighted Average) adalah konsentrasi ratarata tertimbang waktu

di tempat kerja yang dapat diterima oleh hampir semua pekerja tanpa

mengakibatkan gangguan kesehatan atau penyakit, dalam pekerjaan sehari-

hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam perhari dan 40 jam perminggu.

b. STEL (Short Term Exposure Limit) adalah konsentrasi rata-rata tertinggi

dalam waktu 15 menit yang diperkenankan dan tidak boleh terjadi lebih dari 4

kali, dengan periode antar pajanan minimal 60 menit selama pekerja

melakukan pekerjaannya dalam 8 jam kerja perhari.

c. Ceiling adalah konsentrasi bahan kimia di tempat kerja yang tidak boleh

dilampaui selama jam kerja.

Tabel 2. NAB Bahan Kimia

No Parameter Nomor Notasi NAB TWA NAB STEL NAB Ceiling


CAS (C)
Ppm mg/m3 ppm mg/m3 ppm mg/m3
138 Formaldehyde 50-00- DSEN, 0,5
0 RSEN,
A2
URT &
Eye irr

Keterangan :

 DSEN (dermal sensitization) : bukti yang spesifik rute pajanan melalui kulit

yang menyebabkan sensitisasi


43

 RSEN (respiratory sensitization) : bukti yang spesifik rute pajanan melalui

jalur pernapasan yang menyebabkan sensitisasi

Jika seseorang sudah mengalami sensitisasi walaupun hanya satu kali, maka

pajanan berikutnya terhadap bahan kimia yang sama walaupun pada kadar

yang sangat rendah, biasanya dapat mengakibatkan reaksi alergi yang

berat/serius.Jika mengevaluasi bahan kimia dengan notasi ‘sens’ maka penting

untuk dipahami bahwa nilai NAB tidak diperuntukkan untuk melindungi

mereka yang sudah mengalami efek sensitisasi, sehingga bagi mereka pajanan

terhadap bahan kimia tersebut harus dihindari

 A2 : diduga karsinogenik pada manusia. Terdapat bukti yang terbatas akan

sifat karsinogenik pada manusia dan bukti yang cukup akan sifat karsinogenik

pada hewan percobaan dengan relevansi pada manusia.

 URT : Upper Respiratory Tract

 irr : Irritation
45

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Senyawa kimia formalin (disebut metanal), merupakan aldehida berbentuk

gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida mempunyai satuan

internasional yaitu ppm ( parts per million). Formaldehida dibuat dari

oksidasi katalitik metanol.

2. Formalin mempunyai beberapa fungsi diantaranya untuk industri sintetis,

kosmetik, fungisida, tekstil dan cairan pengawet.

3. Keracunan formalin dapat terjadi melalui 3 cara : inhalasi, ingesti, kontak

langsung.

4. Efek akut keracunan formalin pada manusia dapat mengiritasi saluran

nafas atas (inhalasi), memproduksi iritasi pada mata dengan gejala

terbakar, gatal kemerahan, dan mata berair (mata), iritasi pada kulit dan

dermatitis kontak alergi (kulit), gangguan berat pada saluran cerna

(ingesti).

5. Efek kronik keracunan formalin dapat meningkatkan resiko kanker

hidung, sinus, nasofaringeal, orofaringeal dan paru. Pada pemeriksaan

postmortem pada otak yang paling dering terkena adalah putamen dan

nervus optikus.
46

6. Ambang batas yang ditentukan oleh American Conference of

Govermental and Industrial Hygienist (ACGIH) yaitu 0,4 ppm, National

Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yaitu 0,016 ppm

selama periode 8 jam dan 0,1 ppm selama periode 15 menit, International

Programme on Chemical Safety (IPCS) yaitu 0,1 ml/L atau 0,2 mg perhari

dalam air minum dan 1,5 mg – 14 mg perhari dalam makanan. Penelitian

WHO menyebutkan kadar formalin baru akan menimbulkan toksifikasi

atau pengaruh negatif jika mencapai 6 gram.

3.2 Saran

Kurangnya informasi mengenai formalin dan menurut data yang ada insidensi

keracunan formalin di masyarakat luas masih seperti gunung es, tidak semua kasus

keracunan formalin dilaporkan sehingga total kasus keracunan formalin sangat sedikit

diketahui. Sehingga perlu lebih banyak lagi penelitian epidemiologi mengenai

keracunan formalin tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

1. James H Bedino. Embalming Chemistry: Glutaraldehyde Versus


Formaldehyde. Expanding Encyclopedia in Mortuary Practice. 2003.
2. World Health Organization. Formaldehyde. Geneva. World Health
Organization. 2001.p.38.
3. Toxicity of Ingested Formalin. Pandey, C.K et al. 360-66. India. Nature-
America.2000.Vol 19.
4. Fe,Lu.Toksikologi, Dasep Aas, Organ Sasaran dan Penentuan Resiko, Jakarta:
Universitas Indonesia, 2006 hal 380-1.Vol 2.
5. Tim Permata Press. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Permata Press: Jakarta. 2008.
6. A.Budianto, W Widyatmaka, S Sudiono. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1997. Hal : 71-86.Vol 1.
7. Toxicological Profile for Formaldehid, Atlanta, USA : U.S Department of
Health and Human Services Agency for Toxicity Substances, 1999.
8. J. Sudiono, et al. Ilmu Patologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2003. Hal 4-
5.
9. Abdu H, Kinfu Y, Agalu A. Toxic effects of formaldehyde on the nervous
system. 2014;3(3):50–9.
10. Vos H, Luinstra M, Pauw R. Survival of a formalin intoxication : a case
report. 2017;25(4):133–6.
11. Budiawan. 2008. Peran Toksikologi Forensik dalam Menangkap Kasus
Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal
Forensic Science. I(I):35-39
12. Mohamed El-Ashtokhy M, Ahmed HM, Ibrahim OY.Anatomical and
Histological Effects of Formaldehyde Inhalation on the Lung of Albino Ra.
Journal of American Science 8(9):395-404.2012.
13. Lian CB and Ngeow W. The adverse effect of formalin: a warning against
mishandling. Volume 7. Malaya: Annal dent univ malaya. 2000. P56-58
14. Songur A et al. The toxic effecr of formaldehyde on the nervous system
anatomi. Diunduh dari:
http://www.Anatomidernergi.org/beige/the%20toxic%20effect
%20formaldehyde.pdf
15. Dimenstein IB, et al. A Pragmatic Approach to Formalin Safety in
Anatomical Pathology, The American Journal of Clinical Pathology, 2009;
40, 740-746
16. Koplan JP, et a;. Toxicological Profile for Formaldehyde. ATSDR. 2009; p 9-
165
17. Jayalakshmi K, et al. a silent killer in laboratory – Formaldehyde; Review of
effects and management. Journal of oral and maxillofacial pathology,
2011;2(2):13-19.

Anda mungkin juga menyukai