Uli Kozok
Prakata
Buku saya “Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak” yang
diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2009 sudah
lama habis terjual. Hal itu menunjukkan adanya minat untuk mempelajari
dan lebih mengetahui aksara Batak. Buku terbitan tahun 1999 itu
sekarang diterbitkan ulang dengan berbagai tambahan dan perbaikan.
Bagian yang mengalami revisi mendasar adalah bagian yang membahas
porhalaan (kalender Batak). Untuk itu, saya sangat berhutang budi pada
Bapak H.J.A. Promes, seorang ahli Batak asal Belanda, atas masukannya
yang sangat berharga. Selain itu pemulis juga menambahkan satu BAB
tentang cap Singamangaraja yang didasari atas artikel berbahsa Inggris
yang pernah diterbitkan di majalah Indonesia and the Malay World
(Kozok 2000c). Artikel itu disajikan kembali dalam bahasa Indonesia
setelah direvisi secara menyeluruh.
Seyogyannya dalam buku ini terdapat juga bagian buku mengenai
program komputerasi aksara Batak yang belakangan ini dikembangkan
oleh pengarang bekerjasama dengan Leander Seige. Akan tetapi karena
program tersebut bagaimanapun berada di Internet maka kami persilakan
para pembaca untuk singgah di laman untuk mengikuti perkembangan
aksara Batak yang terkini:
http://transtoba2.seige.net
serta
http://ulikozok.com
Daftar Isi 7
I
Surat Batak
1 PENDAHULUAN
muat surat Batak1. Hal ini menunjukkan bahwa orang Batak bangga atas
prestasi nenek moyangnya yang telah mampu menciptakan sebuah tulis-
an sendiri dan mengarang ribuan naskah yang kini tersimpan di museum-
museum mancanegara. Sayangnya, tidak satu pun dari susunan aksara
Batak tersebut memberikan gambaran yang jelas dan lengkap. Hal ini di-
akibatkan oleh beberapa faktor, pertama karena aksara Batak sudah lama
tidak digunakan lagi, dan kedua karena bentuk-bentuk aksara Batak di-
pengaruhi oleh varian-varian aksara yang mulai akhir abad ke-19 sudah
diangkat untuk mencetak buku-buku yang bersifat keagamaan dan pendi-
dikan untuk keperluan zending dan pengajaran. Sebagai hasil dari faktor-
faktor tersebut, maka apa yang dianggap sebagai aksara baku sering me-
rupakan hasil penyimpangan. Kendatipun akasara Batak kini dijadikan
pelajaran wajib bagi murid SD dan SMP, mutu buku pelajaran masih
sangat kurang. Buku pelajaran bahasa daerah (Toba) misalnya yang di-
sarankan oleh Kantor Wilayah Provinsi Sumatra Utara Departemen Pen-
didikan dan Kebudayaan sebagai buku bacaan di sekolah lanjutan tingkat
pertama penuh dengan kesalahan dan kejanggalan.
Keadaan di perguruan tinggi juga memprihatinkan. Sebagaimana te-
lah dialami pengarang saat menjadi dosen luar biasa di jurusan sastra
daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara mahasiswa pada
umumnya tidak dapat membaca sebuah naskah Batak karena surat Batak
yang telah mereka pelajari ternyata kurang lengkap dan kerap kali ma-
lahan salah. Salah satu penyebab adalah bahwa sampai sekarang belum
ada buku yang secara lengkap membahas seluk-beluk kelima surat Batak
dengan segala variasinya. Diharapkan bahwa buku ini dapat mengisi ke-
kosongan tersebut.
Buku ini terutama bermaksud untuk mempersiapkan mahasiswa dan
khalayak yang menaruh minat pada budaya Batak agar mereka dapat
membaca dan mengalihaksarakan naskah-naskah Batak. Karangan ini
juja merangkap sebagai pedoman untuk menulis surat Batak – baik pakai
1. Lihat misalnya (Marbun dan Hutapea 1987; Sarumpaet 1994; Sihombing 1986;
Situmorang 1983; Tampubolon 2002a; Tampubolon 2002b).
Pendahuluan 11
|
2 BAHASA DAN KESUSASTRAAN
2.1 Bahasa
Kelima suku Batak memiliki
Proto-Batak
bahasa yang satu sama lain mem-
punyai banyak persamaan. Namun
demikian, para ahli bahasa membe-
PSB
dakan sedikitnya dua cabang baha-
PNB
sa-bahasa Batak yang perbedaan-
PT
nya begitu besar sehingga tidak
PAM
memungkinkan adanya komunikasi
Alas Karo Dairi Si To An Ma
antara kedua kelompok tersebut.
2. Bahasa purba adalah sebuah bahasa yang menjadi perintis dari bahasa yang saling
berhubungan yang membuat sebuah rumpun bahasa. Bahasa purba tersebut dapat
direkonstruksikan dengan metode komparatif yang dapat menentukan kekerabatan
bahasa-bahasa dengan membandingkan bentuk dari kata-kata seasal.
3. Dalam hal ini rumpun utara yang melestarikan bentuk aslinya, namun banyak contoh
lainnya di mana bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan (PBS).
Bahasa dan Kesusastraan 15
2.2 Sastra
Sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat
dalam bentuk fabel, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-
torhanan, turi-turian, huling-hulingan – semua itu tidak pernah ditulis,
tetapi diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Walaupun orang
Batak sudah berabad-abad memiliki tulisan tersendiri, mereka tidak per-
nah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Membuat
catatan, mengeluarkan dokumen-dokumen, mencatat utang-piutang atau
pengeluaran rumah-tangga, mencatat silsilah marganya – semuanya ini
tidak pernah dilakukan dengan menggunakan pena melainkan secara li-
san saja. Orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk tiga tujuan:
1. Ilmu kedukunan (hadatuon)
2. Surat-menyurat (termasuk surat ancaman)
3. Ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandai-
ling).
Tiga perempat naskah membahas hal-hal yang berkaitan dengan ilmu
kedukunan atau hadatuon. Yang berhak untuk menulis perihal hadatuon
adalah para dukun (datu). Pengetahuannya terutama ditulis pada buku
kulit kayu, tetapi kadang-kadang mereka juga menggunakan bambu atau
tulang kerbau.
Diperkirakan terdapat sekitar 1.000 hingga 2.000 pustaha yang kini
disimpan dalam koleksi-koleksi museum atau perpustakaan di mancane-
gara, terutama di Belanda dan Jerman. Sebuah koleksi yang besar juga
terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta.
Pustaha dan isinya akan diteliti dengan lebih mendalam pada BAB ber-
ikut.
Tidak semua naskah Batak ditulis oleh para datu. Dalam hampir
setiap koleksi terdapat surat yang ditulis oleh orang biasa, atau seorang
raja. Juga surat ancaman (T,S pulas, K musuh běrngi) sering ditemu-
kan. Surat seperti itu mengandung ancaman terhadap pihak yang mem-
perlakukan si penulis secara tidak wajar, misalnya karena kecurian ker-
bau atau upah yang tidak dibayar. Di banyak daerah, terutama Karo, Si-
malungun, Angkola dan Mandailing banyak terdapat ratapan (K bilang-
bilang, S suman-suman, M andung) yang membahas penderitaan si pe-
Bahasa dan Kesusastraan 17
nulis yang terbuang oleh sanak saudara, kematian orang tua atau kerabat
lainnya serta juga percintaan yang gagal. Bahan yang dipakai untuk su-
rat, surat ancaman, serta ratapan biasanya bambu. Di Karo ratapan terse-
but ditulis pada sebuah ruas bambu yang diberi tutup dan dipakai sebagai
tempat kapur sirih (tagan pěrkapurěn) atau tempat tembakau (tagan
pěrtimbakon). Di Simalungun, di samping tempat kapur sirih juga par-
lilian (tempat untuk menyimpan lidi yang dipakai untuk bertenun) sering
ditulisi ratap-tangis, sedangkan di Angkola dan Mandailing bambu yang
panjangnya bisa mencapai empat atau lima ruas biasanya dipakai untuk
menulis sebuah andung. Ratap-tangis andung juga dikenal di Toba dan
Pakpak, tetapi hanya sebagai tradisi lisan saja.
Kebiasaan menulis surat, surat ancaman dan ratap-tangis ini menun-
jukkan bahwa di zaman dulu bukan saja sang datu bisa menulis dan
membaca. Kemungkinan besar bahwa angka keberaksaraan di zaman
prakolonial telah mencapai 30–50 persen dari kaum laki-laki.
Kendati demikian, hanya sang datu-lah yang pandai menulis pustaha.
Mereka adalah penulis profesional dan mereka juga merupakan lapisan
penduduk dengan mobilitas yang paling tinggi. Seorang murid (sisean)
sering merantau jauh agar dapat berguru kepada seorang datu yang
terkenal. Dalam pustaha Perpustakaan Nasional, No. D 2 misalnya,
disebut bahwa penulis pustaha tersebut yang berasal dari Pangaribuan di
daerah Habinsaran, merantau sampai ke dataran tinggi Karo untuk bergu-
ru pada seorang datu terkenal yang juga menjadi raja (sibayak) di kam-
pung Kuta Bangun. Mobilitas yang sangat tinggi ini mungkin juga meru-
pakan salah satu sebab mengapa kita sering dapat menjumpai kata-kata
dan aksara-aksara dari daerah lain di dalam sebuah pustaha.
Daftar ini masih dapat diperpanjang dengan puluhan atau bahkan le-
bih dari seratus kata lainnya. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut
mengenai hata poda dianjurkan untuk membaca karya Sarumpaet
(1982), Hariara (1987), atau merujuk pada kamus-kamus bahasa Batak,
terutama kamus Van der Tuuk (1861) dan Warneck (1977).
Dari beberapa contoh tersebut menjadi jelas bahwa idiolek poda ter-
utama berdasarkan rumpun bahasa Batak Selatan dengan pengecualian
kata lobe yang diambil dari rumpun bahasa Batak Utara. Selain itu juga
tampak banyaknya kata pinjaman dari bahasa Melayu seperti jaha,
dongan, turun, bajik, d=um=atang, dan juga dari bahasa Sanskerta
(purba).
deelen van de Battaksche gemeente voor den invloed van het Islamisme de vlugt
hebben moeten nemen.” Dikutip dari Voorhoeve (1927:314).
5. “Wat Pertibie en Mandheling betreft, kan ik verzekeren, dat in eerstgenoemd land-
schap geen poestaha's hoegenaamd zijn te verkrijgen, en zij in het laatstgenoemde
hoogst zeldzaam zijn te vinden. De Padries hebben deze boeken overal met veel
godsdienstijver opgespoord en verbrand, de bezitters daarvoor hooge boeten afge-
perst; zij gebruiken hier hetzelfde argument als Omar bij de Alexandrijnsche
boekerij.” (Willer 1846:391)
6. Penginjil Meerwaldt (1922:295) misalnya menulis: “De boeken door de datoe's met
zooveel opoffering van tijd en moeite geschreven, zij dienden hen, die, gelijk wij in
Hand. 19 : 19 lezen, ijdele kunsten pleegden, en waren dus rijp, om, evenals daar, ten
vure gedoemt te worden.”
3 BAHAN-BAHAN REFERENSI
3.1 Perkamusan
Kebanyakan kamus bahasa-bahasa Batak masih berbahasa asing –
Belanda atau Jerman. Berkat upaya Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sudah ada beberapa
kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia, tetapi kebanyakan masih belum
memenuhi standar. Dibandingkan dengan kamus asing, kamus-kamus
keluaran Pusat Bahasa pada umumnya kurang lengkap, dan juga sangat
kekurangan dari segi metodologi penyajian data. Hal itu menjadi jelas
bila kita menyimak kamus Karo (Siregar et al. 1985), Simalungun
(Zubeirsyah 1985), Toba (Tambunan 1977) dan Angkola-Mandailing
(Siregar 1977). Keakuratan data keempat kamus tersebut tidak terlalu
dapat diandalkan dan kurang bermanfaat sebagai referensi sehingga kita
masih tetap harus menggunakan kamus-kamus asing.
Kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia yang lebih baik justru
dibuat oleh orang yang bukan akademik. Kamus Pakpak-Dairi – Indone-
sia yang disusun oleh T. R. Manik (1977) cukup bermutu. Sayang sekali
kamus tersebut diterbitkan oleh Pusat Bahasa tanpa memberi kesempatan
kepada penyusun untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi
selama proses penyuntingan. Japorman E. Saragih (1989) telah menyu-
sun kamus Simalungun–Indonesia yang sederhana tetapi sangat berguna
untuk melengkapi kamus Simalungun–Simalungun yang dikarang oleh
Wismar Saragih (1936). Salah satu contoh kamus Batak – Indonesia
yang bermutu adalah Kamus Toba – Indonesia yang disusun oleh J.P.
Sarumpaet (1994). Kamus ini sangat berguna terutama karena kosakata-
nya yang kontemporer, tetapi kurang bermanfaat bagi seorang filolog
yang meneliti naskah-naskah lama sehingga kita masih tetap tergantung
pada kamus Van der Tuuk dan Warneck.
22 Surat Batak
Setelah lebih dari seratus tiga puluh tahun, kamus Van der Tuuk ma-
sih merupakan referensi yang sangat penting bagi bahasa Toba, Dairi,
dan Angkola-Mandailing (Tuuk 1861). Tidak kalah penting adalah
kamus Toba – Jerman yang disusun oleh Warneck dan, dalam edisi
keduanya, dilengkapi oleh Winkler dengan sejumlah kata khas hadatuon
yang kerap terdapat dalam pustaha (Warneck 1906; 1977).
Untuk bahasa Angkola-Mandailing, selain kamus Van der Tuuk ma-
sih ada kamus Angkola-Mandailing – Belanda yang disusun oleh Eggink
(1936).
Untuk bahasa Pakpak-Dairi, selain kamus Van der Tuuk yang kurang
lengkap memuat kata-kata Pakpak-Dairi, hanya ada kamus Pakpak-
Dairi – Indonesia yang disusun oleh Tindi Raja Manik (1977).
Karena pendudukan Jepang maka upaya P. Voorhoeve untuk menyu-
sun kamus Simalungun – Belanda tidak pernah rampung. Kamus-kamus
Simalungun yang ada semua berbahasa Indonesia.
Kamus Karo-Belanda pertama disusun oleh misionaris M. Joustra
(1907). Kamus tersebut disusun dalam aksara Batak. Kemudian J.H.
Neumann (1951) yang juga menjadi misionaris zending Belanda di
Tanah Karo, menyusun sebuah kamus Karo-Belanda beraksara Latin.
Dalam kamus tersebut, semua lema kamus Joustra dimasukkan sehingga
yang pertama tidak dibutuhkan lagi sebagai referensi.
|
4 PENGADAAN NASKAH
250
200
150
100
50
0
Pustaha Bambu Tulang Kertas
Kulit kayu dapat diolah menjadi sebuah buku yang disebut pustaha
yang bentuk dan ukurannya bisa berbeda-beda. Pustaha yang sederhana
hanya terdiri dari laklak yang dilipat-lipat, dan tidak memiliki sampul
Pengadaan Naskah 29
Tolong, sekitar lima kilometer dari Tomok, ternyata bahwa para pengra-
jin hanya bisa menulis beberapa huruf saja, tetapi tidak mengerti artinya.
Hasilnya adalah sebuah ‘naskah’ yang ‘teksnya’ dikarang oleh orang
yang buta huruf, yang kemudian dijual kepada masyarakat sebagai hasil
ciptaan budaya Batak.
Walaupun kebanyakan naskah yang dihasilkan sebagai cenderamata
sangat rendah nilainya, ternyata masih ada juga pengrajin naskah yang
memiliki ketrampilan dan dapat menghasilkan naskah yang lebih luma-
yan bobotnya. Sebagai contoh kami perkenalkan dua pengrajin yang
termasuk pada kategori tersebut.
Informan pertama berasal dari Lumban Dolok, Tomok. Teks-teks
pustaha yang dibuatnya diambil dari pustaha-pustaha asli yang pernah
dibacanya. Namun huruf yang digunakan merupakan huruf "baru" dan
bukan huruf asli seperti yang dipakai di pustaha-pustaha zaman dulu.
Pustaha-pustaha yang diciptakannya terkesan agak terburu-buru dan ku-
rang rapi.
Informan kedua, Nanti Sidabutar dari Siharbangan, Tomok, belajar
surat Batak dari ayahnya yang juga pernah menjadi pengrajin pustaha.7
Mendiang ayahnya juga menjadi datu yang masih menguasai sebagian
dari pokok-pokok yang dibahas di pustaha. Dia juga sering membaca
pustaha-pustaha asli. Teksnya kemudian disalin sehingga pustaha yang
dibuatnya mirip dengan pustaha yang asli. Hurufnya juga sangat menye-
rupai huruf yang lazim dipakai dalam pustaha asli.
Informan kedua ini kemudian kami mintai untuk memperagakan
langkah demi langkah proses pembuatan naskah. Perlu diingat bahwa
cara pembuatannya tidak sama dengan cara yang dipakai oleh para datu
seratus tahun yang lalu. Tentu sudah banyak yang berubah, tetapi dalam
banyak hal, proses pembuatannya masih hampir persis sama dengan da-
hulu kala. Jika perlu, keterangan narasumber dilengkapi dengan ketera-
ngan yang didapat dari studi kepustakaan.
7. Ternyata Nanti Sidabutar dan ayahnya yang sekarang sudah almarhum pernah juga
menjadi narasumber René Teygeler yang menulis bahwa tahun 1990 ia mengunjungi
sebuah keluarga di desa Siharbangan, Samosir (Teygeler 1993:595). Hal itu baru saya
ketahui beberapa bulan setelah pertemuan saya dengan Nanti Sidabutar.
32 Surat Batak
8. Harganya pada tanggal wawancara (31/10/1998) mencapai sekitar Rp. 2.000 per
meter (€0,30) untuk kupasan yang lebarnya sekitar 40 cm.
Pengadaan Naskah 33
9. Menurut Teygeler, istilah tarugi hanya menunjuk pada bahan yang dipakai, ialah lidi
pohon enau, sedangkan istilah untuk kalam adalah suligi (Teygeler 1993:605).
10. Karena kurang lengkapnya informasi mengenai cara penulisan pustaha belum dapat
dikonfirmasikan dengan pasti apakah pustaha selalu ditulis dari bawah ke atas. Bisa
saja hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan karena naskah bambu memang harus
ditulisi dari bahwah ke atas (lihat BAB berikut).
Pengadaan Naskah 37
|
5 PUSTAHA DAN ISINYA
VI. Nujum
a. Nujum Perbintangan
1. Pormesa na Sampulu Duwa 22 26
2. Panggorda na Uwalu 23 21
3. Pehu na Pitu 1 4
4. Pormamis na Lima 28 22
5. Tajom Burik 3 1
6. Pane na Bolon 24 25
7. Porhalaan 8 9
8. Ari Rojang 13 6
9. Ari na Pitu 13 9
10. Sitiga Bulan 4 0
11. Ketika Johor 5 0
12. Pangarambui 36 31
13. Lain-lain 16 20
b. Nujum dengan memakai binatang
1. Aji Nangkapiring 23 31
2. Manuk Gantung 12 38
3. Aji Payung 10 14
4. Porbuhitan 8 12
5. Gorak-gorahan Sibarobat 3 2
6. Lain-lainnya 14 6
c. Nujum-nujum Lainnya
1. Rambu Siporhas 11 25
2. Panampuhi 8 23
3. Pormunian 3 4
4. Parombunan/Partimusan 5 12
5. Hariara Masundung di Langit 4 2
42 Surat Batak
6. Parsopoan 1 1
7. Tondung 4 1
8. Simonang-monang/Rasiyan dsb. 11 8
9. Lain-lain 17 21
5.1 Cerita
Bidang folklor jarang sekali disentuh dalam pustaha. Folklor terma-
suk legenda dan cerita lainnya (turi-turian), pantun (umpama dan um-
pasa), teka-teki (torhan-torhanan), nyanyian (ende), dan lain-lain pada
umumnya diturunkan secara lisan, demikian juga dengan silsilah marga
yang juga tidak pernah dibahas dalam pustaha. Satu-satunya turi-turian
yang sekali-sekali dimuat di pustaha adalah cerita Si Aji Donda Hatahut-
an yang membahas asal-usul tunggal panaluan. Cerita tersebut ditemu-
kan dalam empat pustaha (Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or.
8929; Perpustakaan Nasional Perancis, Paris, Mal. Pol. 260; Perpustaka-
an Chester Beatty, Dublin, 1101; dan Linden-Museum Stuttgart 27210).
Sebab kenapa pada daftar di atas tercantum jumlah yang lumayan besar,
yakni 17 cerita rakyat yang terdapat di beberapa pustaha, ialah karena
banyak di antara naskah tersebut berasal dari koleksi Van der Tuuk atau
koleksi Ophuisen dan dibuat atas permintaan kedua orang Belanda terse-
but!
Pangulubalang
Dalam katalog Manik dan Voorhoeve terdapat 90 pustaha yang
berkaitan dengan pangulubalang, semacam roh yang dijadikan huluba-
lang sang datu untuk memusnahkan musuh dan roh-roh jahat.
Pustaha dan Isinya 43
Tunggal Panaluan
Cukup jarang dapat kita temukan teks-teks yang memberi petunjuk
tentang pembuatan dan penggunaan tongkat sakti orang Batak. Tunggal
panaluan itu sendiri telah banyak dibahas (lihat misalnya daftar pustaka
di Tobing 1956:156) antara lain oleh Tobing sendiri, dan juga oleh
Voorhoeve (1961:15). Dalam buku Voorhoeve tersebut terdapat trans-
literasi dari sebagian besar pustaha Chester Beatty Library, Dublin, MS.
1001. Waktu saya bertemu dengan Liberty Manik di tahun 1986, beliau
sedang merencanakan untuk menerbitkan naskah Linden-Museum Stutt-
gart 27210 yang telah ditransliterasikannya. Pustaha Karo tersebut yang
masuk ke Linden-Museum pada tahun 1883 secara mendalam menjelas-
44 Surat Batak
kan pemakaian tunggal panaluan dan juga turi-turian Si Aji Donda Ha-
tahutan, yakni cerita tentang asal-usul tunggal panaluan. Sayang sekali,
setelah Liberty Manik meninggal beberapa tahun yang silam, pihak-pi-
hak yang berkepentingan tidak dapat mencapai kesepakatan tentang apa
yang mau diperbuat dengan harta warisan beliau yang antara lain terma-
suk transliterasi ratusan naskah Batak. Dikhawatirkan warisan mendiang
Liberty Manik harus dianggap telah hilang.
Pamunu tanduk (pembunuh tanduk) yang juga disebut pamuhu tan-
duk (penangkal tanduk) adalah ilmu yang dapat menetralkan ilmu hitam
yang dikirim oleh musuh dalam sebuah tanduk. Pamunu tanduk memang
sering diasosiasikan dengan pagar (penolak bala), tetapi di beberapa
pustaha pamunu tanduk juga dikaitkan dengan panggulubalang dan di-
pakai untuk menyerang musuh.
Cara tembak-menembak (pamodilon/tembak) juga dipelajari di
pustaha, baik dari segi tehnik penembakan (termasuk cara menuangkan
berbagai jenis peluru) maupun dari segi ilmu gaib (sesajen yang harus
diberikan, mantra-mantra yang perlu diucapkan dsb.).
Gadam adalah semacam racun yang dikenakan pada musuh sehingga
kulitnya menjadi bersisik seperti pada penderita kusta.
rang). Pagar itu kemudian dapat diberi kepada seseorang untuk dimakan
(pagar panganon), dijunjung (pagar sihuntion ini hanya dipakai oleh
seorang perempuan yang hamil) atau digantung, misalnya dekat tempat
tidur seseorang yang sakit (pagar di halang ulu modom). Sebuah pagar
dapat juga diberikan kepada sebuah keluarga (pagar sabagas) atau
bahkan kepada seluruh isi kampung (pagar sahuta) untuk menolak se-
gala macam bala yang disebabkan oleh roh-roh yang jahat dan guna-guna
orang. Oleh karena itu pembuatan pagar selalu diiringi mantra-mantra
yang berbunyi: “pagari hami, so hona begu, so hona aji ni halak”
(lindungilah kami agar tidak kena roh jahat dan guna-guna orang). Cara
pembuatan pagar sahuta dapat dibaca dalam naskah Perpustakaan Uni-
versitas Leiden, Cod. Or. 3405 yang telah dicetak dalam bahasa Batak
berikut dengan terjemahan ke dalam bahasa Belanda (Boer 1946).
Azimat
Di zaman dahulu hampir setiap orang Batak memakai azimat untuk
melindungi diri. Sebagian azimat didatangkan dari luar, misalnya dari
Aceh, Melayu atau Minangkabau karena azimat tersebut dianggap sangat
ampuh. Azimat tradisional Batak terdiri dari sebiji timah hitam (simbora)
berbentuk bulat-torak yang berongga untuk menampung tali pengikat
yang digantungkan di leher. Karena terbuat dari timah hitam (timbel),
azimat pada umumnya disebut porsimboraon yang termasuk juga azimat
gigi beruang atau harimau misalnya. Instruksi pembuatan azimat beserta
mantra-mantranya juga sering dapat ditemukan dalam pustaha.
Sarang bodil atau sarang tima(h) adalah semacam azimat yang dapat
menangkal peluru musuh dan bisa dibuat dari tulang kerbau yang ditulisi
dengan beberapa mantra. Azimat dan sarang tima sering ‘dipagari’
(diberi pagar) agar lebih ampuh. Instruksi mengenai pembuatan azimat
tersebut beserta mantra-mantranya terdapat di beberapa pustaha.
Pencegah Pencurian
Sungguhlah bukan hal yang sederhana untuk menentukan ilmu sihir
yang mana termasuk ilmu yang menyambung dan yang menghancurkan
hidup karena ilmu yang melindungi dapat juga digunakan untuk
menghancurkan musuh. Hal itu menjadi jelas bila kita perhatikan ilmu
songon dan pohung yang oleh Manik dimasukkan dalam ilmu putih
46 Surat Batak
karena merupakan sejenis ilmu yang preventif ialah agar barang kita ja-
ngan dicuri orang. Di lain pihak, ilmu tersebut juga dapat dikatakan se-
bagai ilmu hitam karena maksudnya bukan saja untuk menghindarkan
pencurian, tetapi malahan untuk membunuh si pencuri!
Bukan saja sekarang, juga di zaman dahulu pencurian sudah menjadi
persoalan yang serius. Kebanyakan pencurian tidak terjadi di kampung
yang senantiasa ramai dan dijaga, melainkan di ladang yang sering sepi –
apalagi di malam hari. Hasil kebun biasa dilindungi dengan cara gaib.
Ilmu pencegah pencurian disebut pohung atau songon. Pohung dan
songon adalah semacam patung (gana-gana) yang didirikan di ladang
untuk melindungi hasil kebun. Ilmu tersebut dapat dikatakan bersifat
menangkal karena mencegah terjadinya pencurian. Bahwa ilmu ini dapat
juga dikelompokkan pada ilmu yang “menghancurkan kehidupan” men-
jadi jelas bila kita membaca mantra (tabas) yang berkaitan dengan ilmu
ini: “Surung ma ho batara pangulubalang ni pohungku, ama ni pungpung
jari-jari, ina pungpung jari-jari, batara si pungpung jari, surung pamung-
pung ma jari-jari ni sitangko sinuanku onon, surung bunu” yang berarti:
“Marilah Batara Hulubalang pohung-ku, ayah jari-jari yang cacat, ibu
jari-jari yang cacat, Batara jari-jari yang cacat, kudungkan jari-jari yang
mencuri tanamanku ini, bunuh!” (Voorhoeve 1975:96). Satu lagi ilmu
sihir yang bertujuan untuk menangkal pencurian hasil ladang disebut
piluk-piluk.
merah, dan putih yang dipilin menjadi satu (bonang manalu). Benang tri-
warna tersebut kemudian dimasukkan ke jarum dan ditusukkan pada je-
ruk sampai tembus. Jeruk yang satu ditanam persis di bawah tempat tidur
perempuan yang hendak dipikat, dan yang satu lagi digantungkan dengan
benang triwarnanya di dekat tempat tidur orang yang hendak memelet
perempuan tersebut. Lalu jeruk yang digantung itu digoyang-goyangnya
sepanjang malam – hal mana akan mengakibatkan bahwa perempuan
yang dimaksud akan jatuh hati padanya atau menjadi gila (Winkler
1925:182).
Porpangiron mengandung petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan
acara berlangir – mencuci kepala dengan air yang diberi air jeruk dan
ramuan lainnya untuk mencapai kesucian spiritual.
Porsili adalah sebuah patung berupa manusia yang biasanya diukir
dari pokok pisang dan digunakan sebagai tumbal. Patung ini sering digu-
nakan dalam upacara penyembuhan dan dibawa ke rumah pasien untuk
diolesi dengan daki si penderita. Kemudian patung tersebut diusung ke
luar rumah dan dibuang di perempatan jalan atau dilemparkan ke jurang.
Dengan demikian patung ini dijadikan tumbal (kata dasar porsili adalah
sili (silih, ganti, tukar) agar roh-roh jahat yang menyebabkan sakit me-
ngira bahwa orang itu sudah mati. Cara pembuatan porsili diterangkan
dalam naskah Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 3405 (Boer
1946).
Satu lagi ilmu yang dapat dipakai sang datu untuk menyembuhkan
adalah ambangan yang bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dari tu-
buh penderita.
Jenis ilmu yang disebut pamapai ulu-ulu atau dalam bahasa Pakpak
panungkuni takal-takal menunjukkan bahwa orang Batak pernah mela-
kukan pengayauan. Pengayauan adalah pembunuhan yang dilakukan
untuk memenggal kepala orang, suatu adat kebiasaan beberapa suku
bangsa di Indonesia seperti misalnya suku Dayak. Adat tersebut dahulu
kala dilakukan oleh banyak suku bangsa, termasuk Jawa, Bali, dan juga
suku Batak seperti dibuktikan oleh 20 teks yang terdapat dalam pustaha
(Voorhoeve 1975:106).
48 Surat Batak
pleks ini. Cukup bila disebut beberapa nujum perbintangan yang lazim
terdapat di pustaha-pustaha.
Pormesa na Sampuludua
Pormesa na Sampuludua adalah gugusan bintang dalam lengkung
langit yang dua belas (sampuludua) jumlahnya. Kata pormesa terdiri dari
awalan por-, yaitu awalan kuno yang sekarang bisanya menjadi par-, dan
mesa yang berasal dari bahasa Sanskerta meṣa. Meṣa (domba jantan)
adalah rasi pertama dalam astrologi Hindu yang dalam astrologi Barat
dikenal sebagai Aries. Dengan demikian arti pormesa na sampuludua
berarti kedua belas rasi yang dalam bahasa Indonesia dinamakan min-
takulburuj atau zodiak. Pada daftar berikut terdapat kedua belas rasi
dalam lima bahasa – Sanskerta, Batak Karo dan Toba, Indonesia dan
Latin. Saya ikutsertakan bahasa Latin, karena nama rasi dalam bahasa
Latin lebih populer daripada yang dipinjam dari bahasa Sanskerta dan
Arab. Kebanyakan nama rasi berasal dari bahasa Sanskerta, tetapi
beberapa rasi juga mempunyai nama kedua yang dipinjam dari bahasa
Arab. Rasi nesa misalnya juga disebut burjamhal, dan rasi kanya juga
disebut sunbulat atau burjusumbulat. Karena bangsa Indonesia tidak lagi
menimba ilmu dari India atau Arab melainkan dari Eropa dan Amerika,
maka nama rasi yang dipinjam dari bahasa Arab dan Sanskerta sudah
kurang populer dan mulai diganti oleh nama rasi yang diambil dari baha-
sa Latin (dengan penyesuaian ejaan, mis. pisces yang dalam bahasa Latin
berarti ‘ikan’ menjadi pises, dan cancer ‘kepiting’ menjadi kanser).
Karena rata-rata orang tidak memahami bahasa Latin atau Sanskerta
maka arti dari rasi tersebut umumnya tidak diketahui. Oleh sebab itu
daftar di bawah ini dilengkapi dengan kolom yang memuat terjemahan
setiap rasi. Perlu diketahui bahwa arti kebanyakan rasi dalam bahasa
Latin dan Sanskerta persis sama, misalnya arti gemini dan mithuna
adalah anak kembar, virgo dan kanya dalam kedua bahasa juga
mempunyai satu arti, yaitu gadis. Yang berbeda hanya rasi makara
(kaprikornus): Capricornus adalah semacam kambing liar sementara
makara adalah semacam mahluk penghuni lautan.
50 Surat Batak
♈ Aries
Meṣa
Aries
Nesa
domba jantan Mesa
Mesa
♉ Taurus
Vriṣabha
Taurus
Wrisaba
lembu jantan Morsoba
Měrsěeba
♊ Gemini
Mithuna
Gemini
Mintuna
anak kembar Nituna
Mětuna
♋ Cancer
Karkaṭa
Kanser
Karkata
kepiting Harahata
Měrkata
♌ Leo
Singha
Leo
Singa
singa Singa
Singa
♍ Virgo
Kanyě
Virgo
Kanya
gadis Hania
Kania
♎ Libra
Tulě
Libra
Tula
neraca Tula
Tula
♏ Scorpio
Vrṣṭika
Skorpio, Kala
Kricika
kala Mortiha
Měrtika
♐ Sagittarius
Dhanu
Sagitarius
Danuh
pemanah
panah
Dano
Dahanu
♑ Capricornus
Makara
Kaprikornus
Makara
kambing liar
mahluk laut
Mahara
Makara
♒ Aquarius
Kumbha
Akuarius
Kumba
penuang air
kendi
Morhumba
Kumba
♓ Pisces
Mina
Pises
Mina
ikan Mena
Mena
Menarik untuk dicatat bahwa orang Batak memberi arti yang pada
umumnya berbeda. Hanya satu rasi diberi arti yang sesuai dengan arti
aslinya, yaitu mena yang diartikan denghe (ikan). Semua rasi lainnya
diberi arti baru. Binatang yang asing bagi orang Batak seperti domba dan
singa diganti dengan binatang yang lebih dikenal, yaitu hambing (kam-
bing) dan babiat (harimau). Penyimpangan yang lebih jauh terdapat pada
harahata – seharusnya kepiting – yang diartikan tohuk atau rikrik
(kodok). Kadang-kadang arti yang baru disebabkan oleh bunyi kata yang
Pustaha dan Isinya 51
Panggorda na ualu
Panggorda (Karo: panggurdaha) adalah delapan dewa yang masing-
masing menguasai satu mata angin. Urutan dan nama kedelapan pang-
gorda tidak selalu sama: 1. Garoda/gorda, 2. Dieak gora/deak gora, 3.
sua, 4. sangmusiha/sangbunia, 5. sorpa/singa, 6. sangbinae/hania, 7.
hania umbunu/sorpa, 8. tola umbunu dano/morsaboa.
Arti kedelapan panggorda juga tidak selalu sama. Garoda (Gorda)
diartikan halili (elang) atau onggang (enggang) – pokoknya sejenis bu-
rung (gorda/garoda = Garuda).
Seperti dikatakan tadi, pormesa na sampuludua dan panggorda na
ualu dapat ditandingkan. Pada hari pertama dalam sebulan, mesa
(kambing) yang menentukan, tetapi kalau hasilnya kurang cocok, dapat
pula diperhatikan panggorda na ualu. Panggorda pertama adalah gorda,
dan kalau kambing dan enggang berkelahi, menanglah enggang. Karena
panggorda hanya ada delapan, maka pormesa kesembilan bertanding
dengan panggorda pertama dst.
Kalau kedua belas pormesa dan kedelapan gorda sudah dikonsultasi-
kan, tetapi hasilnya belum juga memuaskan, masih ada jalan keluar de-
ngan membuka nujum ketiga yang disebut pehu na pitu.
Pehu na pitu
Pehu adalah tujuh dewa yang masing-masing menguasai satu hari
pada satu minggu yang terdiri atas tujuh hari. Nujum ini membentuk
suatu kesatuan dengan kedua nujum yang disebut di atas. Nujum ini
52 Surat Batak
biasanya dibuka kalau hasil kedua nujum di atas tidak menunjukkan hasil
yang memuaskan karena ketujuh pehu tersebut dapat membunuh kedua
belas pormesa dan kedelapan gorda. Nujum ini dapat juga dibuka
sendirian (tanpa sebelum mengkonsultasikan pormesa dan gorda),
misalnya pada acara kelahiran anak, persiapan perang dsb. Nama dari
ketujuh pehu adalah 1. artia sanggasti, 2. suma simonang barita, 3. ang-
gara patimosna, 4. muda sampe tua, 5. boraspati pidoras, 6. singkora
sunggu sori, 7. samisara sunggu raja.
Pormamis na lima
Kelima pormamis adalah dewa yang masing-masing menguasai satu
ketika (dalam bahasa Melayu nujum ini disebut Ketika Lima): Mamis di
na sogot (pagi-pagi), bisnu di na pangului (pagi), sori di na hos (siang),
hala di na guling (sore), dan borma di na bot (malam). Nujum ini dibuka
sebelum mengadakan acara perkawinan atau acara lain yang berkaitan
dengan uang. Maksudnya ialah untuk mengetahui waktu yang tepat un-
tuk melakukan acara termaksud. Nujum pormamis sering dibuka bersa-
maan dengan dua nujum lainnya yang disebut lamadu na onom dan
rambu matoga na opat dengan maksud untuk mengetahui baik hari mau-
pun waktu yang cocok untuk melakukan suatu upacara.
Kelima pormamis adalah 1. mamis, 2. bisnu, 3. sori, 4. hala, 5.
borma. Empat dari kelima pormamis ini adalah dewa Hindu: Vishnu, Sri,
Kala, dan Brahma. Nujum ini banyak persamaan dengan ketika lima di
mana ketika pertama dinamakan maheswara – salah satu nama dewa
Shiwa. Karena itu dapat disimpulkan bahwa mamis adalah Shiwa. Tetapi
hal itu tidak penting bagi orang Batak yang menggunakan nujum ini un-
tuk mengetahui apa suatu ketika adalah baik atau buruk.
Pane na Bolon
Nujum ini pada hakikatnya sama dengan nujum naga besar yang
dikenal oleh masyarakat Melayu. Nujum pane na bolon (pane besar)
biasanya dibuka pada saat mau mengadakan perang atau kalau mau
mendirikan kampung baru. Pane besar adalah dewa yang mengelilingi
bumi (banua tonga) dan dalam perjalanannya menempati keempat mata
angin selama masing-masing tiga bulan. Pada setiap kali berpindah ia
Pustaha dan Isinya 53
mendirikan sebuah kampung baru, dan sesuai dengan adat Batak meng-
adakan sebuah pesta besar. Untuk menjamu tamunya ia membutuhkan
jiwa manusia yang biasa diambilnya pada saat perang atau wabah penya-
kit. Hal tersebut membuat pane na bolon menjadi dewa yang sangat di-
takuti, dan hanya sang datu-lah yang dapat mengetahui keberadaannya
dan bagaimana menghindarinya.
Sang datu perlu mempertimbangkan letaknya pane, bagian-bagian
tubuh, dan organ-organnya. Kutipan berikut ini diambil dari sebuah
pustaha:
Ianggo di bulan si pahasada ro di bulan si pahadua di
purba ma ulu ni ompunta Pane na Bolon, di pastima
ma ia ihurna. Jaha hita laho porang masibodilan, tu-
mundalhon agoni ma hita dohot nariti ia porang masi-
bodilan. Ia porhehe ni ompunta Pane na Bolon di bo-
ras si pati ni tangkup; ia ari portolo: di muda ni pol-
tak, di boras si pati ni poltak, di suma ni mangadop, di
mula ni holom, di anggara na begu, di samisara bulan
mate, di hurung. I ma na jadi porporangon; dapot ma
anak ni raja dohot anggi ni suhut dohot boru sihabo-
lonan dohot anak silitonga jala tumading na [d]i borti-
an. Ia hamateanna di pea-pea ia so di punsu ni tor jala
singgalak do halak mate, ale amang suhutnami, oi.
(Tobing 1956:125-126)
Mulai bulan pertama hingga bulan ketiga kepala sang
Pane na Bolon berada di timur, dan ekornya di barat.
Kalau kita mengadakan perang bedil, pastikan agar
selalu membelakangi tenggara dan barat daya. Ada-
pun hari bangkitnya Pane na Bolon hari ke-12. Hari-
hari berikut ini cocok untuk memerangi musuh kita:
hari keempat, kelima, ke-18, ke-24, ke-28 dan ke-29.
Dalam peperangan tersebut jatuhlah korban sebagai
berikut: anak raja, adik raja, menantu raja, dan anak
tengah; yang terakhir meninggalkan anak dalam
kandungan. Orang yang mati itu ditemukan terlentang
di puncak gunung atau di rawa-rawa, wahai raja kami.
Kemudian teksnya diteruskan tentang apa yang terjadi pada triwulan
kedua bila kepala Pane na Bolon berada di selatan dan ekornya di utara.
Letaknya Pane bukan saja perlu diperhatikan bila mau mengadakan
54 Surat Batak
11. Walaupun ‘paha-’ dalam si pahasada dst. hanya merupakan awalan untuk mem-
bentuk bilangan urutan, awalan tersebut sering dianggap sebagai kata sendiri se-
hingga sering dapat dijumpai cara penulisan si paha sada atau dalam bahasa Karo si
paka sada; bandingkan Van der Tuuk (1971:187).
56 Surat Batak
Toba Karo
1 Artia Aditia
2 Suma Suma pultak
3 Anggara Nggara telu uari
4 Muda Budaha
5 Boraspati Beraspati pultak
6 Singkora Cukera enem berngi
7 Samisara Belah naik
8 Antian ni aek Aditia naik
9 Suma ni mangadop Suma na siwah
10 Anggara sampulu Nggara sepuluh
Pustaha dan Isinya 57
bulan purnama yang jatuh pada hari Singkora Purnama/Cukera Lau atau
Samisara Purnama/Belah Purnama. Oleh karena itu kedua hari diberi
tambahan purnama.
Sama dengan matahari perjalanan bulan pun dari timur ke barat, akan
tetapi perjalanan bulan lebih lambat sehingga sesudah hari Aditia bulan
makin ketinggalan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada minggu perta-
ma setelah bulan baru. Posisi bulan pada jam 18:00 kian hari kian tinggi
yang dalam bahasa Melayu/Indonesia disebut sebagai ‘timbul’ akan teta-
pi dalam bahasa Batak istilahnya naik. Semakin timbulnya bulan terjadi
seiring dengan semakin bertambah besar (poltak/pultak) bulan sabit.
Oleh sebab itu maka keenam hari menyusul Artia/Aditia kerap diberi
tambahan poltak atau pultak yaitu Suma ni poltak, Anggara ni poltak,
Muda ni poltak, Boraspati ni poltak, Singkora ni poltak, dan Samisara ni
poltak sementara hanya sebagian dari keenam hari itu dalam bahasa Karo
diberi tambahan pultak: Suma pultak, Anggara telu hari, Budaha,
Beraspati pultak, Cukera Enem Berngi, Belah naik. Oleh sebab itu juga
maka mata angin barat dalam pustaha sering disebut sebagai hasundutan
ni mataniari, hapoltahan ni bulan.
Di daerah Karo sampai sekarang masih sering dipakai sebuah kalen-
der yang menggunakan tarikh Masehi maupun Batak. Di bawah tiap hari
Masehi dicetak hari menurut kalender Batak Karo berikut dengan ke-
terangan tentang baik-buruknya hari tersebut. Pada kalender tersebut
(yang dicetak oleh Toko Barus di Kabanjahe) hari ke-14 disebut belah
purnama raya sedangkan hari ke-15 adalah hari tula.
Kebetulan saya memiliki dua edisi dari kalender tersebut, yakni ta-
hun 1983 dan 1991. Setelah dicek, terdapat beberapa hal yang membuat
saya ragu apakah kalender tersebut sesuai dengan penanggalan Batak
yang tradisional. Pada kalender ini tanggal 29 Maret 1983 adalah hari
belah purnama raya bulan si paka-IX. Bulan purnama memang jatuh
pada hari tersebut (terbit jam 19:13). Di bulan berikut bulan purnama
jatuh pada tanggal 27 April (terbit jam 18:42). Perlu diketahui bahwa ku-
run waktu antara bulan purnama ke bulan purnama rata-rata 29,53 hari
(12 jam, 44 menit, dan 2.8 detik) sehingga dua belas bulan membentuk
satu tahun kamariah yang panjangnya 354.36 hari, sedangkan tiap bulan
Batak memiliki 30 hari. Tidak diketahui bagaimana orang Batak dahulu
60 Surat Batak
berjumlah 360 hari. Karena tahun kamariah tidak dapat digunakan untuk
tujuan yang berkaitan dengan bercocok tanam (menentukan bulan semai-
an dsb.) maka perlu ditambah satu bulan sehingga sesuai dengan lama-
nya perjalanan bumi mengitari matahari (365 hari). Hal tersebut dicapai
dengan menambah bulan ke-13 yang dinamakan bulan lobi-lobi atau
lamadu. Namun demikian, menurut Winkler (1913:443) bulan ke-13 ini
tidak berfungsi sebagai bulan kabisat. Sang datu selalu ikut memperhi-
tungkan bulan yang berikut (misalnya bulan lima dan enam, atau bulan
12 dan 13 - dan kalau tidak ada bulan 13 maka diambil bulan satu) untuk
mendapat kepastian dalam menentukan hari yang baik.
Pada diagram porhalaan yang sering diukir di suatu ruas bambu,
tampak 12 atau 13 bulan dengan masing-masing 30 harinya yang dibuat
dengan garis yang membujur dan melintang. Selain itu tampak pula be-
berapa garis sudut-menyudut yang masing-masing berpangkal pada hari
ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 di bulan pertama. Pada bulan kedua, hari
yang kena garis diagonal tersebut adalah hari ke-6, ke-13 dan seterusnya.
Hari-hari ini dikenal sebagai ari na pitu – hari-hari yang ketujuh yang
harus dihindarkan bila hendak memulai suatu pekerjaan yang baru. Se-
lain ari na pitu tersebut ada pula gambar kala jengking (hala) yang sudah
disebut di atas. Pada hari yang ditempati kepala, badan atau ekornya, ti-
dak boleh dilakukan upacara apa pun. Hari-hari yang lain ditandai de-
ngan bermacam-macam lambang yang tidak selalu seragam. Hari yang
baik biasanya ditandai dengan sebuah titik yang melambangkan butir
padi, sedangkan hari yang tak menentu ditandai dengan tanda silang.
Hari-hari yang lain biasanya kurang menguntungkan. Beberapa hari juga
ditandai dengan huruf. Hari yang ditandai Ha, Na, Ta dan O adalah hari
yang baik, huruf Ra menandai hari yang dapat diragukan, sedangkan hu-
ruf Pa, Sa, La, Nga, Ngu, Hu, dan Ba menandai hari yang buruk.
Hampir tidak ada kegiatan yang penting yang dilakukan tanpa meng-
gunakan porhalaan – menentukan saat persemaian, waktu panen, hari
perkawinan, mulai membangun atau memasuki rumah baru, mengadakan
perjalanan, berperang, dsb.
62 Surat Batak
Ari Rojang
Nujum yang masih erat berkaitan dengan porhalaan adalah ari
rojang yang jumlahnya 30 dan setiap hari diberi nama binatang. Di alam
Melayu nujum ini dikenal sebagai rejang, dan hari-harinya adalah 1.
kuda, 2. kijang, 3. harimau, 4. Kucing, dsb., tetapi di Batak tidak ada ke-
seragaman sehingga tidak mungkin memberikan daftar yang akurat.
Menurut sebuah pustaha dari koleksi Van der Tuuk (Leiden Cod. Or.
3402, hal. 142), nujum ari rojang dibuka pada kesempatan sebagai ber-
ikut:
Ia ulaon ni ari rojang, molo halak laho mordalan ba-
rang laho mangoli barang laho mortunggu barang la-
ho mortiga-tiga ditilik ma i; di si ma diboto na deng-
gan barang na dae. Molo tole ma ibana borhat diba-
hen ma pangalomuk dohot panahut. I ma ulaonni.
(Voorhoeve 1975:183)
Nujum rejang ini dibuka bila mau mengadakan per-
jalanan, pesta perkawinan, menagih utang, atau ber-
jualan agar diketahui baik buruknya hari. Kalau mau
mulai mengadakan suatu kegiatan agar dipersembah-
kan sajian yang membuat [dewa yang menguasai hari
tersebut] menjadi jinak dan takut. Demikianlah man-
faat nujum ini.
Porbuhitan
Persembahan seekor kerbau yang ditambat di borotan (tiang persem-
bahan) merupakan salah satu upacara yang paling penting bagi orang
Batak yang menganut agama leluhur. Upacara ini dihadiri oleh seluruh
bius13 dan dirayakan pada pergantian tahun (mangase taon atau mamele
taon) dengan maksud untuk memulihkan keselarasan dengan alam seme-
sta14. Upacara bius juga sering diadakan kalau suatu bius diguncang oleh
12. Ketujuh bahan (hasea) adalah gelang kuningan, daun sirih, baja (semacam getah
kayu yang keluar kalau kayunya dibakar), minyak kelapa, bunga-bungaan, dan se-
buah anting-anting emas.
13. Bius (di Samosir disebut buyus, dan di tempat lain bus) adalah gabungan beberapa
horja (federasi kampung) yang semarga atau yang terdiri dari beberapa marga yang
masih berada dalam satu ikatan genealogis. Biasanya mempunyai pusat tertentu yang
merupakan onan (pekan). Horja bius telah dibahas dalam beberapa karangan (Korn
1953; Situmorang 1993b; Tobing 1956:152; Vergouwen 1933:86; Winkler 1925:138;
Ypes 1932:160), sedangkan porbuhitan dibahas secara mendalam oleh Voorhoeve
(1958:132-133).
14. Upacara mangase taon diuraikan panjang lebar dalam buku The Toba-Batak High
God, transcendence and immanence oleh Anicetus B. Sinaga (1981).
64 Surat Batak
hanya kata asing yang ditulis dengan aksara Nya. Tilaha dalam bahasa
Batak berarti ‘kematian anak’, tetapi secara etimologi padanan tilaha
adalah ‘celaka’ sehingga tilahannya dengan huruf Nya dapat dianggap
berasal dari bahasa Melayu ‘celakanya’, dan dalam kaitan dengan nujum
dapat diartikan ‘[pertanda yang] kurang baik’. Sedangkan kata tuwannya
dipakai sebagai lawannya tilaha sehingga dapat disimpulkan bahwa
tuwannya berasal dari Melayu ‘tuah=nya’ (untung, bertuah). Jelas juga
bahwa nama di sini bukan dipakai dalam arti Batak (nama = hanya),
melainkan dalam arti Melayu.15 Arti buhit yang terdapat dalam kata
Pusuk Buhit (nama sebuah gunung) serta dalam beberapa nama kampung
kurang jelas, namun kemungkinan berarti ‘tinggi’. Dalam nujum ini di-
katakan bahwa nama tuwanni atau nama tilahan adalah buhit yang dalam
nujum ini disebut Mangameru, Bayo Tora, dan masih banyak nama lain.
Nama yang paling sering terdapat adalah “Mangameru” yang berasal dari
Mahěmeru – gunung suci dalam mitologi India. Jelas bahwa nujum
porbuhitan ini banyak menunjuk pengaruh asing, terutama India dan
Melayu, dan hal itu memang benar bagi sebagian besar nujum Batak.
Pada umumnya pengaruh India itu tidak langsung masuk ke tanah Batak
melainkan melalui budaya Melayu sebagai perantara.
jatuhkan di tempat berisi air yang telah disediakan. Dari cara jatuhnya
dapat dilihat apa kedua jodoh cocok atau tidak (Winkler 1925:189).
Masih banyak ramalan-ramalan lain yang dapat disebut di sini seperti
pangharhari (meramal dengan memperhatikan tanda-tanda pada telur
yang direbus dan kemudian dibelah dua), parmunian (membaca tanda-
tanda alam dan mimpi), parombunan (membaca tanda pada awan), atau
ruji-rujian ialah potongan-potongan bambu yang diikat seperti ikat
kunci. Masing-masing potongan bambu mengandung beberapa kata atau
kalimat. Ikatan tersebut ditaruh di atas kepala orang yang disuruh
memilih salah satu potongan bambu. Dari kata-kata yang tertulis di atas-
nya ketahuan bagaimana nasibnya atau apa harinya cocok untuk melaku-
|
kan suatu pekerjaan.
6 AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA
16. Yang dimaksud dengan “aksara Nusantara” adalah aksara-aksara turunan India yang
terdapat di kepulauan Asia Tenggara.
Aksara Batak dan Sejarahnya 69
Ketiga aksara ini sangat mirip sekali dan disebut Hanacaraka menu-
rut lima aksara yang pertama. Menurut De Casparis, ketiga tulisan terse-
but berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksara Kawi secara
langsung berasal dari aksara Palawa (Casparis 1975).
2. Surat Ulu (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan
Serawai)
Surat Ulu, yang kadang-kadang juga dinamakan aksara Ka-Ga-Nga
menurut bunyi ketiga aksara pertama, sangat mirip satu sama lain dan di-
pakai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi
yakni Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Kerinci
(surat incung) digunakan di Kabupaten Kerinci, propinsi Jambi, di seki-
tar kota Sungaipenuh. Dataran tinggi di pegunungan Bukit Barisan ini
berbatasan dengan propinsi Sumatra Barat dan propinsi Bengkulu.
Aksara yang ada di kabupaten Rejang-Lebong, Propinsi Bengkulu,
juga dikenal sebagai aksara Rencong. Masih di kabupaten Bengkulu dan
di perbatasan Bengkulu-Sumatra Selatan terdapat beberapa suku bangsa
yang memiliki aksara yang hampir sama dengan aksara Rejang-Lebong,
yakni aksara Lembak, Pasemah, dan Serawai. Aksara Lampung berbeda
sedikit dari Surat Ulu, tetapi masih banyak memiliki persamaan.
3. Surat Batak (Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, Pakpak-
Dairi, Karo)
4. Aksara Sulawesi (Bugis, Makasar, dan Bima)
Di Sulawesi terdapat dua aksara yang berbeda. Yang pertama adalah
aksara Makasar Kuno. Naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara
tersebut sangat sedikit jumlahnya karena sejak abad ke-19 tidak dipakai
lagi. Aksara kedua adalah aksara Bugis yang kemudian juga digunakan
oleh orang Makasar menggantikan aksara Makasar Kuno. Pada hakikat-
nya aksara Bugis-Makasar tersebut persis sama, perbedaannya hanya ada
pada jumlah huruf karena Bugis mempunyai empat aksara tambahan.
Aksara Bugis-Makasar pernah juga digunakan di Bima dan Ende (bekas
daerah taklukan Makasar), namun naskah dari kedua daerah tersebut
sangat langka sekali. Sama dengan di Sumatra, orang Bugis pun mena-
makan aksaranya surat: Surat Bugis.
70 Surat Batak
nn
Pada kolum pertama tabel di atas terlihat huruf Na sebagaimana ditu-
lis di India pada awal dan pertengahan milenium pertama. Kolom kedua
memperlihtakan aksara yang sama sekitar seribu tahun kemudian (abad
ke-14). Ternayata dalam kurun waktu seribu tahun bentuk Na Majapahit
itu tidak berubah jauh dengan bentuk Palawa; bagian bawah masih ham-
pir sama, namun bagian atas disederhanakan. Kolom ke-3 dan ke-4 mem-
perlihatkan dua bentuk aksara yang juga dari abad ke-14, tetapi diguna-
kan di Sumatra, persisnya di Dharmasraya, di perbatasan Sumatra Barat
dan Jambi. Walaupun bentuknya berbeda, kedua aksara berasal dari masa
dan tempat yang sama. Keduanya digunakan pada abad ke-14 di dalam
kerajaan Malayu. Yang pertama ditulis pada naskah Tanjung Tanah yang
berasal dari Dharmasraya, dan yang kedua ditemukan pada bagian bela-
kang patung Amoghapasa yang ditulis oleh Adityawarman dan ditemu-
kan di Dharmasraya juga. Bentuk Na naskah Tanjung Tanah tidak berbe-
da jauh dengan bentuk aksara Bali Baru namun Jawa Baru sudah makin
menjauh dari aksara asalnya.
Jelas kelihatan di sini bahwa aksara Palawa dan Kawi masih sangat
mirip, dan juga Batak q, yakni Na-kuno, masih cukup dekat dengan
aksara Palawa dan Kawi, sementara Batak n (Na-Baru) merupakan
penyederhanaan bentuk q.
Dengan adanya sejumlah naskah kuno, terutama prasasti dan naskah
yang ditulis di lempengan-lempengan tembaga atau emas, maka sejarah
aksara Jawa dapat ditelusuri kembali sampai pada awal perkembangan
aksara Kawi. Orang Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Bugis, Makasar
72 Surat Batak
dan juga orang Filipina pada umumnya tidak mengenal prasasti atau nas-
kah logam, dan hanya menggunakan bahan yang mudah lapuk seperti
bambu, kulit kayu (Sumatra), dan lontar (Sulawesi). Naskah yang masih
ada pada umumnya tidak lebih tua daripada 200 tahun sehingga kita ti-
dak tahu banyak tentang sejarah perkembangan aksara-aksara Nusantara
tersebut. Diduga bahwa semua tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali
berasal dari sumber yang sama yang dianggap berada di Sumatra bagian
selatan pada masa kejayaan Sriwijaya.
Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara
Batak adalah aksara Kerinci (surat incung), aksara Lebong, Lembak,
Lintang, Pasemah, Rejang, Serawai (surat ulu), serta aksara Lampung.
Sama dengan daerah Batak, daerah-daerah tersebut juga agak terpencil di
daerah pegunungan sehingga kurang terpengaruh oleh pengaruh-penga-
ruh asing yang dibawa dari seberang lautan dan secara lambat merembet
dari pesisir ke pedalaman. Salah satu pengaruh budaya asing adalah ma-
suknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam bersebar
pula tulisan Arab yang di Melayu terkenal sebagai tulisan Jawi. Aksara
"Arab gundul" tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli
yang kemudian hilang sama sekali. Karena daerah-daerah yang disebut di
atas berada di pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru
dirasakan pada abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat bertahan
sampai pada abad ke-20. Besar kemungkinan bahwa aksara Minangka-
bau dan Melayu juga pernah ada, tetapi kemudian digantikan oleh tulisan
Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas.
Aksara-aksara surat ulu di Sumatra bagian selatan banyak memiliki
persamaan dengan huruf Batak. Huruf Ka, Ga, dan Ha hampir sama ben-
tuknya, dan juga huruf Da masih banyak menunjukkan persamaan.
Tabel 7: Persamaan Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Incung
Ha a h h
Sebagian nama anak huruf (lihat BAB 6.1.2) juga sangat mirip.
Selain itu semua aksara Sumatra dan termasuk juga sebagian aksara
Sulawesi dan Filipina memiliki persamaan yang struktural yang membe-
dakannya dengan aksara India, Asia Tenggara, Jawa, dan Bali. Ciri-ciri
khas aksara-aksara Sumatra, Sulawesi, dan Filipina adalah
kesederhanaannya.
Dibandingkan dengan aksara-aksara India yang memiliki empat pu-
luhan aksara ditambah belasan tanda diakritik, tulisan-tulisan Nusantara
jauh lebih sederhana. Tulisan Jawa dan Bali memiliki 20 aksara dan 10
diakritik, tulisan Lampung memiliki 20 aksara dan 12 diakritik, tulisan
Makasar 19 aksara dan 5 diakritik, dan tulisan Tagalog hanya 15 aksara
dan dua diakritik.
Tulisan-tulisan India dan juga tulisan Sunda, Jawa, dan Bali mem-
punyai tanda “pasangan”, ialah tanda diakritik penanda konsonan yang
ditulis untuk menutup konsonan lain di depannya. Tulisan-tulisan
Nusantara di luar Jawa dan Bali tidak menggunakan pasangan sehingga
jumlah huruf yang harus dihafal jauh berkurang.
Kesederhanaan dalam bentuk aksaranya juga adalah ciri-ciri khas
bagi aksara-aksara tersebut. Bila dibandingkan dengan aksara Jawa atau
Bali, tampak bahwa aksara Sumatra, Sulawesi dan Filipina mempunyai
bentuk yang lebih sederhana. Bentuk yang berlengkung-lengkung telah
diganti oleh bentuk yang lebih bersegi yang lebih sesuai untuk menulis di
permukaan yang keras seperti di kulit bambu.
Aksara-aksara tersebut juga memperkenalkan sebuah hal yang baru
yakni aksara-aksara yang didahului bunyi sengau. Batak (Karo) memiliki
dua huruf tambahan yakni Mba dan Nda, aksara Kerinci dan Rencong
menambahkan dua lagi yakni Ngga dan Nja. Aksara Bugis juga mem-
punyai empat aksara yang bersengau ialah Ngka, Mpa, Nra, dan Nca.
Perlu dicatat bahwa gejala tersebut tidak ada pada aksara Batak selain
Karo, dan juga tidak ada di Lampung, Makasar, dan Filipina.
Karena persamaan-persamaan yang tadi disebut, dapat diduga bahwa
semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari satu aksara
purba. Aksara purba tersebut kemungkinan besar tercipta di daerah Su-
74 Surat Batak
matra selatan pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya. Ak-
sara purba tersebut dapat dipastikan tercipta di bawah pengaruh aksara-
aksara Palawa yang telah berkembang di wilayah tersebut, namun diolah
sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi lebih sederhana supaya
lebih mudah dipelajari, lebih sesuai untuk bahasa-bahasa setempat (yang
dari segi bunyi jauh lebih sederhana daripada bahasa-bahasa India), dan
juga lebih sesuai untuk menulis di atas bambu. Bagaimana persisnya
perkembangan aksara Sumatra selanjutnya, bagaimana hubungannya
dengan kerabat-kerabat lainnya di Filipina dan di Sulawesi, dan bagai-
mana persisnya peranan aksara Jawa dalam pembentukan aksara Sumatra
tidak diketahui dan mungkin juga kelak tidak akan diketahui.
Walaupun pengetahuan kita tentang masa lampau aksara Batak sa-
ngat terbatas, kita dapat mengetahui sedikit tentang sejarah perkemba-
ngan aksara Batak dengan cara memperbandingkan aksara Batak satu
sama lain, dan juga dengan aksara Nusantara lainnya. Ternyata penelitian
yang demikian yang sampai sekarang belum pernah dilakukan, sangat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan
dan arah penyebaran aksara Batak. Analisa ini dimulai pada ina ni surat.
Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalungun
memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa,
s dan 0, dan juga varian Ha k (yang sangat mirip dengan varian-
varian Angkola-Mandailing h dan w) terdapat di Mandailing dan di
Simalungun, tetapi tidak di Toba. Hal itu menunjukkan bahwa ada ke-
mungkinan besar bahwa sudah sangat dini aksara Batak dari Mandailing
masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya dengan garis horisontal yang
melengkung juga menunjukkan pengaruh Mandailing. Menurut Van der
Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta t dan Wa w dipakai di
"Toba Timur", sedangkan varian f dan v dipakai di daerah "Toba Ba-
rat". Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan daerah mana yang dimak-
sud dengan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi kalau Van der Tuuk
benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Mandai-
ling, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana ak-
sara Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba
Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Simalungun) di
dareah antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Ak-
sara Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkembangan yang ber-
arti, tetapi berubah sedikit bentuknya sehingga semua aksara kelihatan
seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana kelihatan
sekali pada huruf Ma dan Ra.
Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis huruf: Toba
Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan: t, dan w, dan Toba
Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara: f dan v. Bentuk utara ini
dapat dianggap sebagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba
Barat ke Pakpak-Dairi (f dan v) dan Karo (hanya f). Perlu dite-
gaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba Timur’ dan ‘Toba
Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asalnya terlalu sedikit. Lagi
pula, bentuk huruf mana yang dipakai oleh salah seorang juga sangat
tergantung pada gurunya. Sifat datu yang suka mengembara turut menga-
burkan batas-batas antara daerah.
Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling belakangan
menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya berkem-
bang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai
Surat Batak 81
M Talinga
|
S Hatalingan T Hatadingan
| |
K Kětelengan P Ketadingin
o, u
Bo
Diakritik yang berbentuk x memiliki makna [o] kecuali di Karo di
mana bunyinya adalah [u]. Di Mandailing diakritik ini bernama siala ulu.
Siala tidak ada artinya, tetapi ulu berarti ‘kepala’, barangkali karena le-
taknya yang ‘mengepalai’ huruf induknya. Selain diakritik ini ada lagi
diakritik /i/ yang sama posisinya, dan juga namanya agak mirip yakni
ulua.
Di Toba siala ulu dipersingkat menjadi siala saja, dan terdapat pula
nama kedua untuk diakritik tersebut yakni sihora. Di Pakpak-Dairi na-
manya persis sama (kalau ditulis), tetapi diucapkan sikora karena makna
huruf h di Toba adalah [ha] sedangkan di Pakpak-Dairi selalu [ka]. Si-
malungun sihorlu, dan Karo sikurun masih mirip bunyinya dengan si-
hora, namun kurang jelas bagaimana kepastiannya:
M Siala Ulu
|
T Siala T Sihora
|
P Sikora (S Sihorlu, K Sikurun)
u, ě
Bu (M, T, S, P) Be (K, P)
Diakritik ini terdapat dua kali di Pakpak, sekali sebagai tanda yang
mewakilkan bunyi [u] dan sekali lagi sebagai tanda yang mewakilkan
bunyi [ə], yaitu ě-pepet. Yang pertama disebut kaběrětěn, yang kedua
kaběrětěn podi. Silsilah aksara ini jelas sekali. Kata kaběrětěn berasal
dari Mandailing boruta (juga disebut buruta) yang menurunkan bentuk
Toba haboruan dan haborotan. Kedua nama ini merupakan hasil
interpretasi dari kata boruta dan buruta. Boruta jelas dianggap sebagai
gabungan kata boru ‘anak perempuan’ dan akhiran -ta ‘kita’.
Sebagaimana dapat dilihat pada Mandailing talinga yang menjadi
Simalungun hatalingan, dan Mandailing amisara yang menjadi Toba
hamisaran, terdapat kecenderungan untuk menambah imbuhan ha-...-an.
Dengan demikian boru=ta menjadi ha=boru=an. Sebagaimana juga
terjadi dalam hal hatalingan yang menjadi hatadingan (ialah interpretasi
makna berdasarkan letaknya), diakritik ini pula mendapatkan nama
keduanya haborotan (ha=borot=an) karena ia bersatu atau ‘tertambat’
(artinya borot adalah ‘tambat’) pada huruf induknya.
M Boruta (Buruta)
|
T Haboruan T Haborotan
| |
P Kaběrětěn [u],
P Kaběrětěn Podi [ə] S Haboritan [u]
|
K Kěběrětěn [ə]
ng
B^ (India Anusvara)
Nama diakritik ini adalah amisara di Mandailing yang bunyinya
mirip sekali dengan nama diakritik ini di India yakni anusvara. Di Toba
dan Simalungun ditambah dengan bunyi sengau [n] dan imbuhan ha-...-
84 Surat Batak
M Amisara
|
T Hamisaran T S Haminsaran T Paminggil
|
P Kebincaren
|
K Kěbincarěn
M Uluwa
|
T Uluwa T Haluain (Hauluan), S Haluan
|
P Kaloan K Kělawan
o (ou)
BO
L Kětulung (au), R Katulung (au)
Surat Batak 85
M T (?)
|
S Hatulungan [ou]
|
K Kětolongen [o]
puji sebagai tata bahasa pertama di Hindia Belanda yang disusun secara
ilmiah, dan karya ini dianggap sedemikian penting sehingga diterbitkan
kembali dalam terjemahan bahasa Inggris lebih dari 100 tahun kemudian
(Tuuk 1971). Dengan begitu kita memiliki tiga versi dari buku yang
(hampir) sama yang masing-masing mempunyai bagian mengenai aksara
Batak yang menguraikan secara terperinci dan sangat akurat tiap-tiap
aksara Batak (Pakpak, Toba dan Angkola-Mandailing). Penjelasannya
sedemikian lengkap sehingga tidak banyak yang masih dapat ditambah.
Ini sungguhlah merupakan prestasi yang luar biasa apalagi mengingat
bahwa pada zaman Van der Tuuk menyusun tata bahasanya, Tanah
Batak masih merupakan terra incognita di peta ilmiah. Pantai Danau
Toba belum pernah dijejaki oleh kaki Eropa (Van der Tuuk sendiri
menjadi orang Eropa pertama yang melihat danau Toba) – apalagi Tanah
Karo atau Simalungun yang namanya saja belum pernah didengar orang
Eropa.
Melihat betapa lengkap dan akurat data yang disajikan oleh Van der
Tuuk mengenai bahasa dan aksara Angkola-Mandailing, Toba dan Pak-
pak, seharusnya pengetahuan kita saat ini lebih luas lagi, mengingat ke-
majuan di segala bidang selama seratus tahun terakhir ini. Sedihnya,
pengetahuan kita mengenai aksara Batak tidak bertambah, dan malahan
terjadi kemerosotan yang sangat memprihatinkan. Kini, yang masih di-
ketahui orang, termasuk yang menganggap dirinya sebagai ahli, sangat
sedikit, tak sampai sebatas pengetahuan yang dimiliki Van der Tuuk dan
yang sudah diwariskan beliau dalam tiga edisi bukunya dan dalam dua
bahasa.
Dalam edisi pertama, di halaman 2, sudah disebut bahwa aksara Toba
memiliki dua jenis aksara untuk Ta dan Wa, yaitu t dan f untuk Ta
serta w dan w untuk Wa. Diberi lagi keterangan bahwa t dan w
dipakai di Toba bagian timur, sedangkan f dan w dipakai di Toba
bagian barat. Sayangnya, kepastian mengenai daerah mana yang ‘barat’
dan mana yang ‘timur’ tidak diberikan. Karena surat Batak sudah tidak
dipakai lagi sejak minimum 70 tahun lalu, maka sekarang sulit sekali
atau bahkan mustahil untuk mengetahui varian surat mana yang pernah
dipakai di daerah mana. Yang dapat kita lakukan hanya statistik saja.
Penulis sendiri telah meneliti ratusan naskah Batak Toba dari berbagai
88 Surat Batak
garis kiri atas yang di kedua buku tersebut berrbentuk lurus dan sejajar
dengan garis tengah. Huruf lain yang menurut hemat saya juga kurang
mengena adalah A yang berbentuk x (Betz 1873; Schreiber 1874).
Ternyata para penyiar agama masih kurang puas sehingga percetakan
R.L. Friderichs & Comp. di Elberfeld merancang sebuah huruf Toba
yang masih berdasarkan aksara Spin & Zoon, tetapi menunjukkan bebe-
rapa perubahan. Bentuk huruf tersebut dipakai untuk mencetak karangan-
karangan para penginjil seperti L.I. Nommensen (1877; 1878; 1885b;
1902) dan Taute (1889). Bentuk huruf cetakan ini kemudian juga dipakai
oleh Pangarongkoman Mission – percetakan zending di Laguboti
(Lumbantobing 1916). Dibandingkan dengan huruf cetakan yang
terdahulu, perbedaan yang paling mencolok adalah pada bentuk Na yang
diberi garis lurus yang memanjang jauh ke kiri sehingga berbentuk 6.
Yang dipertahankan adalah bentuk yang melengkung yang kelihatan
pada aksara Pa, Ga, La dan Wa. Dan sebagaimana juga dilakukan oleh
Van der Tuuk, juga pada aksara ini varian Toba untuk huruf Ta dan Wa
yakni t dan w, tidak dipakai.
R.L. Friderichs & Comp. juga merancang sebuah jenis huruf untuk
Angkola-Mandailing. Huruf-huruf yang berbeda dengan aksara Toba
adalah A x, Ha h, Ma 0, Sa s, dan Na n (Asselt 1876; Leipold
1880; Schreiber dan Leipold 1879; Schreiber 1875; Zahn 1875). Di
kemudian hari diputuskan untuk tidak mempertahankan bentuk huruf A
yang menjadi A (Schütz 1902).
Toba Mandailing
VdT Z LD VdT Z LD
a A A a A x a
ha h h h h h h
pa p p p p p p
na 4 6 6 N N N
wa w w w w w w
ga G g g g g g
ma M M 0 M 0 0
sa s s s s s s
ya y y y y y y
la L l l l l l
i I I [ I I [
u U U ] U U ]
urutan Nga dan La terbalik pula. Pola yang hampir sama juga terdapat di
dua pustaha yang berasal dari Toba ialah pustaha D 49 dan D 50 Perpus-
takaan Nasional. Di D 50 urutan huruf Ga Ja Da Ra juga disisipkan anta-
ra Ya dan Nga, sedangkan posisi Nya adalah sesudah dan bukan sebelum
La. Urutan ha, ka, ba, pa, na, wa, ma, ta, sa, ya, ga, ja, da, ra, nga… ter-
dapat pula di D 49, dan huruf Nya di sini diurutkan pada posisi akhir
mengikuti huruf U. Urutan yang persis sama terdapat pula di pustaha Or.
3479/Or.3488, Perpustakaan Universitas Leiden, yang ditulis oleh Guru
Saitan ni Aji bermarga Pohan Simanjuntak dari kampung Pagaran Bari-
ngin (Voorhoeve 1977:51). Naskah-naskah tersebut menunjukkan bahwa
ada kelonggaran dalam urutan abjad yang mungkin disebabkan oleh
karena urutan abjad tergantung pada kebiasaan di masing-masing daerah
yang mengikuti pola yang sedikit berbeda.
Pada abjad Karo huruf [ tidak menjadi Nya melainkan Ca. Menarik
untuk dicatat bahwa dalam urutan abjad Karo posisinya adalah sesudah
La atau sesudah U. Hal itu memperkuat hipotesis saya bahwa Ca-nya
Karo yang juga sering ditulis c atau c berasal dari Nya Toba/
Mandailing mengingat pola yang terlihat pada pustaha Jakarta D 49 dan
D 50 yang huruf [ juga berada sesudah U atau sesudah La.
Dalam abjad Karo terdapat dua huruf yang tidak dapat ditemukan
dalam surat Batak lainnya, yakni Mba dan Nda. Kedua huruf tersebut
merupakan ciptaan kemudian dan jarang dipakai. Huruf-huruf tersebut
juga tidak biasa dimasukkan dalam abjad Karo. Kalaupun dimasukkan,
posisinya biasanya sesudah Ca.
2. Surat Batak versi Toba mempunyai urutan kedua yang sangat ber-
beda; urutan ini juga dipakai di Angkola:
a ha ma na ra ta sa pa la ga ja da nga ba wa ya nya i u18
3. Menurut Van der Tuuk urutan di Mandailing lain lagi:
a ha na ma ta ra ja ga la pa sa da nya ba wa nga ya i u ka ca
4. Menurut Van der Tuuk pula, urutan Dairi (Pakpak) berbunyi:
18. Dalam naskah kertas Van der Tuuk (Perpustakaan Univ. Leiden, Cod. Or. 3421, hal.
83 letaknya aksara Nya adalah sesudah U.
96 Surat Batak
pa na ka ma ra ba ja sa la ga nga ha da wa ta ya i u
5. Dalam tiga buku sekolah zaman dulu, dua di antaranya dari
Angkola dan satu lagi dari Mandailing, terdapat urutan yang berbeda lagi
(Asselt 1876; Schütz 1902; 1872). Penulis-penulis ketiga buku tersebut
memasukkan huruf yang ber-tompi (Ka dan Ca) dalam urutan aksara,
padahal tompi adalah tanda diakritik dan bukan aksara.19 Adapun urutan
aksara Angkola-Mandailing menurut ketiga buku ini:
a ha ka ga nga sa ca ja ta da na pa ba ma ya ra la wa nya i u.
Urutan abjad ini mengikuti urutan abjad India yang juga dipakai oleh
Van der Tuuk dalam menyusun kamus bahasa Batak (Tuuk 1861).
Kemungkinan besar urutan abjad ini tidak pernah dipakai oleh orang
Batak.
6. Berikut ini satu ‘varian’ yang sering dipakai di sekolah-sekolah
dalam pelajaran aksara Batak. Urutannya adalah:
a ha na ra ta ba wa i ma nga la pa sa da ga ja ya u nya
Dapat diduga bahwa urutan ini adalah ciptaan baru, khusus untuk
tujuan mempelajari surat Batak di sekolah-sekolah, dan tidak memiliki
dasar tradisional. Urutan ini mudah diingat oleh anak-anak sekolah
karena membentuk kalimat: aha na rata baoa i mangalapa sada gaja
berarti kira-kira: “apa yang hijau orang itu memotong seekor gajah”.
19. Tompi adalah diakritik yang dapat ditempatkan di atas huruf Ha dan Sa untuk meng-
ubahnya menjadi Ka dan Ca. Diakritik tersebut hanya dipakai di Mandailing.
Surat Batak 97
ha a a K h h
ka k k K k k
ba b b B b b
pa p p P p p
na n n N n n
wa w w W wv w
ga g g G g g
ja j j J j j
da d d d d d
ra r r r r r
ma m m m m m
ta t t t ft t
sa s s s s s
ya y y y y y
nga < < < < <
la l l l l l
nya [ [ [
ca c C c c
nda q
mba B
i I I I I I
u U U U U U
A / Ha
a (KPTM) Mungkin inilah bentuk huruf A yang paling umum
yang saya gunakan untuk mewakili keseluruhan aksara Batak kecuali
Simalungun. Bentuknya mirip dengan huruf a yang digunakan oleh
penerbit kolonial Landsdrukkerij Batavia (1872; Doli 1901; Nommensen
98 Surat Batak
20. Untuk keterangan definisi ‘serif’ dan istilah-istilah lainnya silakan merujuk pada
daftar istilah.
Surat Batak 99
Ha / Ka
k (KPT) h f (M) Van der Tuuk menggunakan bentuk
huruf k untuk Ha di Toba dan Pakpak-Dairi, dan bentuk h di Man-
dailing, sedangkan penerbit Landsdrukkerij menggunakan h untuk
Toba dan Mandailing. Kadang-kadang mustahil untuk menentukan apa-
kah bentuk huruf yang terdapat dalam salah satu naskah lebih mirip k
atau h, tetapi ada kecenderung ke arah bentuk h dalam naskah-nas-
kah Mandailing. Pada beberapa naskah Mandailing juga ditemukan
varian f.
Huruf ini melambangkan [ha] atau [ka] di Simalungun, Toba, dan
Mandailing, tetapi selalu bermakna [ka] di Pakpak dan Karo. Di Man-
dailing, aksara Ha (h) yang ditambahi dua garis pendek di atasnya
(k) yang disebut tompi, kadang-kadang digunakan untuk membedakan
Ka dan Ha. Perlu dicatat bahwa tompi itu adalah penemuan kemudian
dan tidak selalu digunakan. Tompi itu tidak pernah digunakan dalam
naskah-naskah Toba atau Simalungun.
k (S) Dalam surat Batak versi Simalungun huruf Ha dimodifi-
kasikan sedemikian rupa sehingga kedua garis miring menjadi dua garis
horisontal pendek yang terpisah dari garis lengkung di atasnya.
Bentuk huruf Ka di Karo sering berserif : K.
Ba
b (PSTM) Bentuk huruf Ba seperti ini ditemukan di dalam
hampir semua naskah-naskah Simalungun, Pakpak, Toba, dan Mandai-
ling. Bentuk siku di bawahnya lebih nyata pada naskah-naskah bambu
sedangkan pada naskah pustaha yang hurufnya ditulis dengan kalam
yang agak lebar bentuk sikunya tidak begitu tampak dan kadang-kadang
huruf Ba kelihatan berbentuk oval saja seperti halnya di Karo.
b (K) Di Karo, huruf Ba selalu berbentuk oval. Sebagaimana
disebutkan di atas, bentuk ini juga kadang-kadang digunakan di dalam
100 Surat Batak
Pa
p (KPTM) Pada hampir semua naskah-naskah Karo, Pakpak dan
Toba huruf Pa berbentuk garis lurus horisontal.
Varian melengkung p juga sering dipakai, terutama di Mandailing.
Penerbit Landsdrukkerij menggunakan huruf Pa yang melengkung untuk
huruf Toba meskipun varian yang lurus lebih umum.
p (S) Di Simalungun, huruf Pa kadang-kadang berbentuk garis
horisontal lurus atau melengkung seperti disebut di atas, tetapi varian p
berbentuk tilde adalah bentuk yang paling umum dalam naskah-naskah
Simalungun.
Na
n Van der Tuuk menggunakan varian 4, dengan garis yang
memanjang ke kiri di atas bentuk oval untuk huruf Na di Toba dan Pak-
pak, sedangkan bentuk n digunakannya untuk huruf Na di Mandailing.
Akan tetapi penerbit Landsdrukkerij menggunakan bentuk n untuk Na
di Toba dan Mandailing dan Joustra juga menggunakan n untuk Na di
Karo.
Pada semua surat Batak bentuk huruf Na dapat bervariasi. Kadang-
kadang, garis lurus berada tepat di atas oval (3), tetapi biasanya garis
itu agak memanjang ke kiri. Garis itu dapat juga berbentuk miring (5),
atau melengkung dan bersatu dengan oval di bawahnya sehingga menjadi
n. Bentuk n ini sering terdapat dalam naskah Mandailing. Di daerah
lain bentuk yang garis lurus memanjang ke kiri n lebih umum.
Selain bentuk-bentuk yang disebut di atas, terdapat juga varian q
dan v yang agak bebeda. Varian ini dikenal sebagai "Na kuno" karena
bentuknya yang memang sangat mirip dengan huruf yang sama pada ak-
sara Kawi (Jawa/Sumatra kuno). Varian ini saya temukan dalam enam
naskah Mandailing (Leiden Or. 3567, Berlin IC 12636, 36841, 37389,
Surat Batak 101
37390, 37396), dan dua naskah Toba (Jakarta D82, Berlin IC 389878c).
Saya belum pernah melihat bentuk ini dalam naskah-naskah Karo dan
Simalungun sehingga dapat disimpulkan bahwa varian ini hanya dikenal
dalam naskah-naskah selatan. Varian pertama huruf ini berbentuk simpul
dengan garis lurus horisontal di atasnya (q). Dalam naskah Berlin IC
37389 tidak terdapat garis lurus horisontal, dan dalam naskah Berlin IC
39878c bentuk simpul diputar 90°, dan ujung kanan dari garis horisontal
bersambung ke ujung atas simpul sehingga berbentuk v.
Wa
w (KTM) Huruf Wa Van der Tuuk dan Joustra berbentuk w.
Menurut hasil evaluasi naskah yang saya lakukan bentuk Wa yang paling
umum adalah w meskipun terdapat juga varian-varian yang cenderung
mengarah ke bentuk seperti disajikan oleh Van der Tuuk. Bentuk huruf
yang dipakai oleh penerbit Landsdrukkerij berada di antara bentuk w
dan w.
w (S) Seperti biasa dalam aksara Simalungun serif-serifnya se-
lalu terputus.
w (PT) Varian aksara Wa ini sangat umum di Pakpak dan sering
ditemukan di Toba. Di Mandailing dan dalam naskah-naskah kulit kayu
Karo varian ini sangat jarang ditemukan, dan tidak pernah dipakai dalam
naskah bambu Karo. Di 31 naskah Toba yang saya amati, bentuk w ter-
dapat dalam 11 naskah sedangkan bentuk w digunakan dalam 20 nas-
kah. Jadi sekitar sepertiga naskah Toba menggunakan bentuk aksara Wa
ini.
Ga
g (KPTM) Huruf ini berbentuk garis lengkung horisontal yang
memiliki garis miring bersambung di ujung kanan. Kadang-kadang garis
horisontal itu dapat juga lurus.
g (S) Sebagaimana biasanya di aksara Simalungun, garis di
ujung kanan itu terputus dan letaknya sejajar dengan garis di atasnya.
102 Surat Batak
Ja
j (TM) Bentuk huruf Ja persis sama dengan bentuk huruf Da
dengan penambahan sebuah garis lurus di sebelah kanannya.
j (KPS) Penyederhanaan huruf ini terjadi di bagian utara tanah
Batak, khususnya di daerah Simalungun, Karo, dan Pakpak.
Da
d (KPSTM) Bentuk huruf Da ini paling umum ditemukan dalam
semua naskah Batak kecuali naskah bambu Karo.
D (K) Varian inilah yang ditemukan dalam naskah-naskah bambu
Karo, sedangkan dalam naskah kulit kayu Karo bentuk huruf biasa d
yang digunakan.
Dewasa ini, huruf Da cenderung ditulis dengan garis miring yang ter-
lalu vertikal. Bentuk tersebut sebenarnya tidak pernah ada dalam naskah-
naskah Batak.
Ra
r (KPTM) Pada huruf ini, kedua garis horisontal yang sejajar
biasanya melengkung dengan garis miring di ujung kanan garis bawah,
tetapi garis-garis horisontal itu kadang-kadang lurus baik dengan garis
miring yang bersambung di ujung sebelah kanan maupun dengan garis
putus. Kalau garis ketiga ini terputus maka letaknya biasanya sejajar
dengan garis yang di atasnya, tetapi lebih pendek seperti berikut ini: R.
r (S) Dalam aksara Simalungun, ketiga garis biasanya lurus dan
terputus. Garis yang paling atas selalu memanjang ke kiri melewati garis
di bawahnya. Pada umumnya, garis atas juga lebih pendek dari garis te-
ngah, tetapi lebih panjang dari garis bawah.
Ma
m (S) Bentuk huruf Ma memiliki beberapa varian. Di Simalungun
bentuknya terdiri atas tiga unsur dasar yakni: 1. Garis atas-kiri yang
horisontal dan agak melengkung. 2. Garis tengah yang miring dan agak
panjang. 3. Garis bawah-kanan berupa garis miring terbalik.
Surat Batak 103
Ta
Dalam hal bentuk huruf Ma, dapat ditunjukkan bahwa varian-varian
huruf m, m, dan 0 yang tampaknya tak berhubungan sebenarnya
masing-masing memiliki unsur-unsur dasar yang sama. Dalam hal ben-
tuk huruf Ta ada dua varian, yaitu f dan t. Ternyata, kedua varian
tidak memiliki unsur-unsur dasar yang sama, melainkan merupakan dua
varian yang sama sekali tidak berhubungan.
104 Surat Batak
1. t Ta Utara (KPT)
Bentuk Ta ini merupakan satu-satunya bentuk yang ada di Karo. Di
Toba terdapat bentuk utara maupun selatan. Bentuk selatan kini sering
dianggap sebagai bentuk "asli" Toba, padahal hanya 40% naskah Toba
yang menggunakan bentuk selatan (t), sedangkan 60% naskah Toba
menggunakan bentuk utara (f).
Pada penulisan huruf Ta utara ini terdapat sedikit variasi: 1. Serif atas
bisa berbentuk seperti serif bawah pada contoh ini (melengkung ke
dalam). 2. Kedua serif memanjang ke kiri dan ke kanan seperti misalnya
dalam bentuk huruf Ta yang digunakan oleh Joustra: t. Setelah dila-
kukan pengamatan pada sekitar 50 naskah bambu, ternyata bentuk f
yang paling umum digunakan.
2. t Ta Selatan (STM)
Bentuk huruf Ta selatan adalah satu-satunya varian yang digunakan
di Simalungun dan Mandailing. Meskipun Ta utara lebih umum dipakai
dalam naskah-naskah Toba, baik Van der Tuuk maupun Nommensen
menggunakan bentuk Ta selatan. Mungkin itu sebabnya maka sekarang
ini hanya varian selatan yang masih dikenal. Tidak terdapat varian-varian
yang berarti mengenai Ta selatan ini.
Sa
s (KPST) Bentuk huruf Sa ini paling umum terdapat dalam nas-
kah-naskah meskipun terdapat sejumlah varian.
Di Karo kadang-kadang digunakan varian z dan bentuk simetris x.
Di Toba bentuk s ini satu-satunya yang digunakan, tetapi jarang digu-
nakan di Mandailing. Di Simalungun terdapat varian z dengan serif
bawah yang terputus, dan sebuah varian lagi yang bentuknya sangat ber-
beda, yakni:
s (S) Varian Sa ini adalah bentuk yang paling umum di Si-
malungun. Varian Sa Simalungun lainnya adalah 0 dan 1, tetapi
bentuk-bentuk ini agak jarang ditemukan dalam naskah.
Varian x juga kadang-kadang digunakan di Mandailing.
Surat Batak 105
Ya
y (KPSTM) Serif huruf ini biasanya berupa garis lurus horisontal
pendek, tetapi khususnya di Simalungun dan Mandailing, serif tersebut
sering melengkung dan terputus seperti berikut ini: y.
NGa
< (KPSTM) Bentuk inilah satu-satunya yang digunakan dalam
semua aksara Batak.
La
l (KPTM) Aksara La berbentuk seperti Ga yang terbalik. Kete-
rangan yang diberikan untuk huruf Ga berlaku juga untuk huruf La
l (S) Lihat Ga
Ca
Bunyi [c] hanya terdapat di Karo, Pakpak, dan Mandailing. Di Pak-
pak tidak ada aksara yang khusus digunakan untuk Ca, dan aksara Sa
dipakai untuk menulis [c]. Mandailing juga menggunakan huruf Sa
dengan penambahan tompi sehingga menjadi Ca: c dan x= – band. Ha
h yang, bila dibubuhi tompi, menjadi Ka (h=). Tompi boleh
digunakan, boleh tidak.
c C dan (K) Karo memiliki dua varian Ca, ialah c dan C.
Tingkat penggunaan kedua bentuk ini hampir sama. Karena Ca dan Nya
memiliki bentuk yang serupa (C) sedangkan huruf Nya tidak terdapat di
Karo, maka dapat disimpulkan bahwa Ca berasal dari huruf Nya dan
bentuk C lebih tua daripada c. Bentuk yang diberi oleh Joustra agak
berbeda sedikit (c) karena garis panjang tidak melengkung dan
memanjang ke kiri. Tingkat penggunaan kedua subvarian Cdan c
hampir sama.
106 Surat Batak
NYa
[ (STM) Hanya bahasa Mandailing mengenal fonem [ñ]. Kendati
demikian, huruf [ juga digunakan dalam urutan aksara Toba dan
Simalungun, tetapi jarang sekali digunakan.
NDa
{ (K) Bentuk huruf ini sama dengan kebalikan huruf Da. Varian-
varian lainnya adalah q, [, { dan }. Varian yang terakhir diangkat
Joustra di dalam kamusnya. Varian { lebih sering digunakan daripada
varian yang disajikan Joustra. Lihat keterangan selanjutnya di BAB 7.5.
Mba
B Huruf Mba ini juga hanya ada di Karo. Terdapat tiga varian,
yakni B, f, dan v. Perlu dicatat bahwa huruf B tidak pernah digu-
nakan untuk Ba di Karo. Lihat keterangan selanjutnya di BAB 7.5.
I
I Bentuk ini hanya memiliki sedikit variasi. Biasanya ketiga
garis lurus, tetapi kadang-kadang bisa agak melengkung sedikit. Kedua
garis bawah bisa sama panjangnya. Aturan tersebut berlaku untuk semua
surat Batak.
U
U Bentuk huruf U adalah sama dengan kebalikan huruf I. Ke-
terangan varian I berlaku juga untuk U.
Be (ě)
(KP) Anak ni surat ini disebut kěběrětěn di Karo, dan kaběrětěn podi
(kaběrětěn akhir) di Pakpak (band. diakritik u). Di Karo, letaknya huruf
ini selalu di belakang ina ni surat, di Pakpak dapat juga diletakkan di be-
lakang huruf (Tuuk 1971:31) walaupun letak yang biasa adalah di atas
ina ni surat (Voorhoeve 1975:42). Voorhoeve tidak menjelaskan secara
pasti di bagian atas mana huruf ini diletakkan, terutama jika digabungkan
dengan penggunaan anak ni surat lain seperti Ng yang juga diletakkan di
atas ina ni surat. Fonem [ə] hanya terdapat di Karo dan Pakpak.
Bila kata kěběrětěn disesuaikan dengan penghafalan Batak Selatan,
hasilnya adalah haborotan, karena awalan ke- di Karo menjadi ha- di
selatan, akhiran -en menjadi -an, dan fonem [ə] di Batak Utara menjadi
[o] di Batak Selatan. Dari uraian ini menjadi jelas bahwa kedua anak ni
surat kěběrětěn dan haborotan pada hakikatnya tidak berbeda.
BE (e)
Anak ni surat ini disebut kětelengěn di Karo, kětadingin di Pakpak,
hatalingan di Simalungun, hatadingan di Toba, dan talinga di Mandai-
ling. Bentuknya berupa tanda hubung yang diletakkan di atas sebelah kiri
ina ni surat.
Surat Batak 109
Bi (i)
(KPTM) Anak ni surat ini disebut kělawan di Karo, kaloan di Pak-
pak, dan uluwa di Mandailing dan Toba. Di Toba dikenal empat istilah
lagi, yakni haluain, hauluan, haulian dan siulu. Anak ni surat ini
berbentuk lingkaran kecil yang diletakkan di belakang ina ni surat. De-
ngan demikian, huruf Ba b menjadi Bi bi.
Bi (i)
(KS) Di Simalungun anak ni surat ini disebut haluan, di Karo nama-
nya sama dengan varian i yang di atas, yakni kělawan. Di Simalungun
inilah anak ni surat satu-satunya untuk i, sedangkan di Karo dipakai
sebagai salah satu varian di samping i yang berupa lingkaran kecil de-
ngan tingkat penggunaan yang hampir sama. Letaknya juga di belakang
ina ni surat (bi).
Bo (o, u)
(PSTM) Anak ni surat ini disebut sikora di Pakpak, sihora dan siala
di Toba, dan siala ulu di Mandailing.
Di semua surat Batak kecuali Karo tanda kali kecil ini diletakkan di
belakang ina ni surat untuk menandai bunyi [o].
(K) Di Karo, anak ni surat ini dinamakan sikurun, dan berbunyi [u].
Bo (o)
(K) Anak ni surat ini disebut kětolongěn. Di Karo, anak ni surat un-
tuk bunyi [o] diletakkan di atas sebelah kanan ina ni surat. Terdapat dua
varian, yakni bo dan bO yang dua-duanya berbunyi [o].
BO (o)
(S) Anak ni surat ini disebut hatulungan. Hanya di surat Batak Si-
malungun terdapat anak ni surat /ou/ yang bentuknya sama dengan
varian kedua kětolongěn Karo. Dengan demikian, huruf b menjadi
[bou] (bO).
(K) Varian o ini juga bernama kětolongěn.
110 Surat Batak
Bu (u)
(PSTM) Anak ni surat ini sama bentuknya dengan diakritik [ě] di
atas, tetapi letaknya agak ke bawah sedikit. Di Toba anak ni surat ini
disebut haborotan atau haboruan, di Simalungun haboritan, dan di
Mandailing boruta atau buruta. Istilah haborotan berasal dari kata borot
(tambat). Borotan adalah tambatan kerbau atau kuda. Istilah haborotan
mengacu pada kenyataan bahwa anak ni surat ini ‘tertambat’ pada ina ni
surat sehingga ina ni surat dan anak ni surat bersatu. Letak anak ni surat
/u/ di aksara Toba adalah:
AKBPNWGJDRMTSY>L]
Varian /tu/ dan /nu/ adalah F dan Q.
Di Mandailing /pu/ dan /lu/ sedikit berbeda, menjadi P dan L.
Untuk varian-varian Ha, Ma, dan Sa di Mandailing, anak ni surat U
diletakkan dengan cara berikut ini: H dan F (hu), 1 (mu), dan S
(juga ditulis v) serta X(su).
Di Simalungun, letak U adalah seperti berikut:
AHBPNWGJDRMTSY>L]
Masih perlu dicatat suatu hal yang agak aneh di sini. Di Simalungun
dan di Mandailing terdapat varian Sa yang berbentuk x. Bila digabung
dengan anak ni surat u maka di Simalungun diakritik itu diletakkan di
atas huruf Sa menjadi S (su), sedangkan di Mandailing letaknya anak
ni surat adalah pada tempat yang biasa, yakni X.
B^ (ng)
(KPSTM) Anak ni surat ini disebut kěbincarěn di Karo dan Pakpak,
haminsaran di Simalungun dan Toba, dan amisara in Mandailing. Di
Toba juga dikenal dengan istilah paminggil. Bentuknya berupa tanda
hubung yang diletakkan di atas sebelah kanan ina ni surat mengubah ak-
sara b Ba berubah berbunyi [bang] b^.
Bh (h)
(KPS) Anak ni surat ini disebut kějěringěn di Karo, hajoringan di
Simalungun, dan sikorjan di Pakpak. Bentuknya berupa tanda = yang
Surat Batak 111
B\ (Tanda Bunuh)
(PTM) Anak ni surat ini disebut pangolat. Bentuknya berupa garis
miring ke bawah yang diletakkan di belakang ina ni surat. Anak ni surat
ini berfungsi menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat sebagaimana
terlihat pada contoh berikut ini: tm\bk\ tambak (PTM)
B- (Tanda Bunuh)
(KS) Anak ni surat ini disebut pěněngěn di Karo dan panongonan di
Simalungun. Letaknya, dan juga fungsinya persis sama dengan pangolat
ialah untuk menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat.
Sa hanya ditambah saja sebuah garis kecil. Bentuk ini sudah jauh
menyimpang dari aksara s yang lazim terdapat dalam pustaha-pustaha.
yang garisnya lurus saja. Satu lagi huruf yang perlu disinggung di sini,
yakni aksara Ma dalam kata ‘puskesmas’ yang berbentuk m. Bentuk ini
jarang sekali dapat ditemukan di pustaha Toba yang selalu menggunakan
bentuk m. Aksara Ma seperti terdapat pada papan tersebut lebih umum
terdapat di Angkola dan Mandailing.
Satu lagi contoh aksara yang menyimpang secara ekstrem dari aksara
asli terlihat pada gambar berikut. Teks, yang merupakan doa “Bapak
kami yang ada di surga”, bermaksud untuk berbunyi:
Ale Amanami na di banua / ginjang. Sai Pinarbadia ma / Goar-Mu.
Sai ro ma Harajaon- / Mu. Sai saut ma lomo ni / roham di banua tonga
on.
to^aaon\ to<ano\
|
7 PEDOMAN MENULIS AKSARA BATAK
Bunyi [a] yang melekat pada ina ni surat dapat diubah menjadi vokal
lain dengan menambahkan anak ni surat. Huruf Ga (g) misalnya dapat
diubah menjadi gE Ge seperti dalam kata bligE Balige.
Selain itu, ada dua diakritik yang menambahkan bunyi [ng] atau [h]
pada ina ni surat, contohnya adalah b^kr Bangkara, atau rumh
rumah [K].
Dua jenis diakritik dapat dikombinasikan: pti^ pating [K], reh
rěh [K].21 Bila terdapat kombinasi dari anak ni surat yang letaknya di
belakang ina ni surat (yakni i, u, atau e) dan anak ni surat /h/ atau /ng/
(yang terletak di atas-kanan ina ni surat) maka anak ni surat /h/ atau /ng/
agak bergeser ke kanan sehingga posisinya tepat di atas anak ni surat i,
u, atau e. Perlu dicatat bahwa aturan ini tidak selalu dipatuhi.
Pada suku kata tertutup yang terdiri dari urutan Konsonan - Vokal -
Konsonan, anak ni surat yang menandai vokal selalu diletakkan di antara
ina ni surat yang kedua dan tanda bunuh seperti terlihat pada contoh ini:
gko\ gok; borti- borit [S]; sni-tk- sintak [K].
21. Perhatikan bahwa ejaan bahasa-bahasa Batak yang dipakai sekarang tidak membeda-
kan e-taling [e] seperti dalam kata sedan (mobil) dan e-pepet yang diucapkan [ə] se-
perti dalam kata sedan (sedu-sedan).
118 Surat Batak
U, maka huruf a dipakai bila vokal-vokal [e], [ǝ], dan [o] berada pada
awal suku kata. Dengan demikian aE dibaca [e], ao dibaca [o] dan
sebagainya: aEtkE\ etek, aakE\ aek, amo\P ompu,
ani\d inda, aN\d^ undang (perihal kedua contoh terakhir
lihat juga BAB berikut).
22. Saya belum mengevaluasikan naskah-naskah Pakpak dan Simalungun atas cara pe-
nulisan diftong.
120 Surat Batak
pt. Demikian juga dengan kata tonggal yang selalu ditulis togal,
banci menjadi baci, nangkih menjadi nakih, sampur menjadi sapur dan
sebagainya:
banci tonggal
=baci
bci =togal
togl-
nande lanja
=nade
ndE =laja
lj
sampur tangkal
=sapur
spru- =takal
tkl-
Demikian juga dengan kata nande yang sering ditulis nade, dan kata
mambur yang sering ditulis mabur walaupun terdapat aksara Nda dan
Mba. Tingkat penggunaan kedua aksara tersebut tidak terlalu tinggi.
Hanya sekitar 40% naskah Karo yang menggunakan aksara itu. Ke-
mungkinan besar kedua aksara tersebut masih relatif baru, meskipun te-
lah digunakan pada naskah Karo yang paling lama. Perlu dicatat bahwa
umur naskah-naskah Karo yang berada di museum-museum di dalam dan
di luar negeri jarang melebihi 120 tahun.
23. Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud sebagai fonetis adalah abjad Latin dan
bukan ejaan bahasa-bahasa yang ditulis dengan abjad Latin. Bahasa Indonesia misal-
nya memiliki ejaan yang fonetis, berarti bahwa tiap bunyi bahasa (fonem) dapat ditu-
lis dengan salah satu huruf (grafem) dengan hanya beberapa pengecualian (misalnya
fonem [e] dan [ə] yang diwakili satu grafem /e/ saja), sementara ejaan bahasa Inggris
yang juga menggunakan abjad Latin sama sekali tidak fonetis.
Pedoman Menulis Aksara Batak 121
ruh menulis kata yang sama dengan surat Batak. Jika kita tidak mengua-
sai bahasa Batak Toba, tentu kita akan menulis mrin karena kita
tidak tahu bahwa kata marina terdiri atas dua morfem yakni awalan
{mar-} dan kata dasar {ina}. Struktur morfemik inilah yang turut mem-
pengaruhi cara menulis surat Batak, dan ada kecenderungan untuk
menandai batas-batas morfemis dengan menulis mr\In
Demikian juga dengan kata taringot tr\I<to\ atau parulian
pr\Ulian\. Perlu dicatat, bahwa aturan ini tidak selalu
diperhatikan oleh penulis naskah-naskah Batak. Cukup banyak naskah
yang menulis kata maringan mri<n\ dan bukan
mr\I<n\.
7.9 Latihan
Latihan 1
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Jawaban
soal ini terdapat di halaman 151.
Latihan 2
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhati-
kanlah bahwa anak ni surat harus dipakai untuk menulis /h/ dan /ng/ se-
bagai penutup suku kata. Jangan lupa membedakan /ě/ yang diucapkan
seperti dalam kata ‘beri’, yakni e-pepet, dan e-taling yang diucapkan se-
perti dalam kata ‘beda’.
sungsang
ngarang
Latihan 3
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak.
Latihan 4
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhati-
kanlah penggunaan ina dan anak ni surat untuk menulis /i/ dan /u/. Lihat
BAB 7.2.
Toba Karo
uli
ido
guru
begu
Latihan 5
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhati-
kanlah penggunaan Wa dan Ya. Lihat BAB 7.4.
Toba Karo
dua
biar
sea
124 Surat Batak
|
8 TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN
Transliterasi I / Penyalinan
Penyalinan naskah huruf demi huruf dari aksara Batak menjadi aksa-
ra Latin. Proses tersebut mesti dilakukan sedemikian rupa sehingga teks
asli dapat direkonstruksikan. Transliterasi seperti ini disebut dalam baha-
sa Inggris diplomatic transliteration.
Ralat
Transliterasi II / Penyuntingan
Teks naskah yang telah diralat disalin kembali sesuai dengan ejaan
yang disempurnakan dengan menambah pungtuasi seperlunya. Trans-
literasi ini disebut dalam bahasa Inggris critical transliteration.
Terjemahan & Catatan
Teks naskah diterjemahkan ke dalam bahasa tujuan dan diberi pen-
jelasan tentang latar belakang budaya, tempat, waktu, dan sebagainya
sehingga terjemahan dapat dipahami oleh orang yang tidak mengenal
latar belakang budayanya.
Pendokumentasian
Pengumpulan segala informasi tentang naskah dan penulisnya yang
berguna.
ubah atau memperbaiki teks aslinya. Sebagai contoh saya ambil keempat
baris pertama naskah D 98 dari koleksi Perpustakaan Nasional.24
mn-dpto-hno-amo-Pnmins<p-
jlnmro-Mliynm^gmo-gmirEsidNE-
tpian-nUlidohot-Twn-nmiTan-
p>hM-
Transliterasi I
1. mandapothon ompu nami
2. na saṅap jala na mormuliya na maŋgom
3. --gami residen tapian na Uli
4. dohot tuwan nami tuan paṅuhum
Aksara Batak mengenal dua cara untuk menulis /ng/ dan /i/ yaitu
dengan menggunakan ina ni surat dan anak ni surat. Karena demikian
maka kita menggunakan tanda ṅ untuk mentransliterasi <, sedangkan
tanda ŋ dipakai untuk mentransliterasi anak ni surat B^. Demikian juga
perlu dibedakan antara ina ni surat I dan U yang ditransliterasikan
dengan menggunakan huruf besar sedangkan anak ni surat untuk /i/ dan
/u/ ditransliterasikan dengan huruf kecil:
ani\ddo^ indadoŋ
Id Ida
UhmM\ Uhum
p>hM\ paṅuhum
Pada teks naskah sering terdapat kesalahan yang dibuat penulis. Ke-
salahan-kesalahan tersebut tidak boleh diperbaiki, tetapi harus ikut
ditransliterasikan juga. Hal itu kita hadapi pada baris kedua dan ketiga di
mana manggomgomi ditulis manggomgami. Pada tahap transliterasi ini
kita harus membiarkan teksnya dalam bentuk asli. Karena itu, kita juga
harus tetap mentransliterasikan Tan- sebagai tuan dan Twn-
sebagai tuwan walaupun artinya sama saja.
Perhatikanlah bahwa di zaman pernaskahan tanda penghubung belum
dikenal. Penulis naskah ini misalnya memisahkan kata manggomgomi
24. Teks naskah ini telah saya ubah sedikit supaya dapat digunakan sebagai contoh.
128 Surat Batak
setelah huruf Ma sehingga sihoru (o) dan pangolat (\) jatuh pada baris
berikut. Hal ini tidak dapat disalin secara akurat dengan huruf Latin.
Oleh karena itu kita memisahkannya maŋgom / --gami dengan menggu-
nakan dua tanda penghubung sebagai tanda bahwa kedua unsur terakhir
dari gmo- telah jatuh pada baris berikut.
Sering terjadi bahwa kita tidak bisa memastikan huruf mana yang
tertulis karena ada huruf yang sangat mirip, misalnya huruf Karo é /e/
dan k Ka yang bentuknya bisa hampir serupa. Kalau tidak dapat dipas-
tikan huruf mana yang tertulis, hal itu perlu dicatat, misalnya dengan
menggarisbawahi huruf tersebut pada transliterasi sehingga pembaca
tahu bahwa aksara tersebut kurang jelas terbaca. Atau kita sajikan dua al-
ternatif kalau kita tidak tahu dengan pasti huruf mana yang dimaksud.
Dalam hal ini /e/ /ka/ dalam transkripsi dapat dipakai sebagai kode yang
mensinyalir adanya dua kemungkinan membaca huruf tersebut. Acap
kali juga terjadi bahwa penulis menghapus beberapa huruf, sebuah kata,
atau bahkan satu baris. Bila huruf yang terhapus tak terbaca lagi, cukup
bila ditandai dengan kode ØØØ misalnya, untuk menandai ada beberapa
huruf yang terhapus, sedangkan /ØpaØ/ bisa dipakai sebagai kode untuk
menandai bahwa huruf Pa telah dihapus. Sistem transliterasi serta kode-
kode yang digunakan tentu boleh berbeda dengan sistem yang dianjurkan
di sini. Pokoknya ada konsistensi pada penerapan sistem tersebut, dan
sistem itu harus juga memenuhi syarat dasar, ialah kesanggupan menca-
tat teks asli dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga teks asli dapat
direkonstruksikan. Agar sistem transliterasi yang dipakai dapat diandal-
kan dari segi metodologinya, sebaiknya disisipkan sebuah BAB yang
menjelaskan sistem transliterasi yang digunakan.
Sebuah pustaha terdiri dari halaman-halaman yang terdiri dari lipat-
an-lipatan kulit kayu alim. Pada umumnya halaman-halaman tersebut
ditulisi pada kedua sisi. Agar lebih mudah mencari kembali bagian yang
pernah ditransliterasikan dalam naskah asli, setiap halaman perlu diberi
nomor. Dalam hal itu, kita perlu mencari sisi kulit kayu pustaha itu
dimulai. Biasanya tempat itu ditandai oleh bindu na godang. Sisi laklak
yang terdapat awal teks dinamakan sisi A, sedangkan sisi yang satu lagi
menjadi sisi B. Kemudian halaman pertama dari sisi A diberi nomor A1.
Perhatikan bahwa halaman A1 sering tidak terlihat karena pada pustaha
Pedoman Menulis Aksara Batak 129
yang diberi sampul kayu (lampak), halaman A1 (dan demikian juga hala-
man B yang terakhir) dilem pada lampak-nya, dan teksnya baru mulai
pada halaman A2 atau A3.
8.2 Ralat
Yang kita lakukan pada tahap kedua ini adalah mengubah teks asli
sedemikian rupa sehingga segala kesalahan yang dibuat oleh penulis di-
perbaiki. Hal ini sangat sensitif mengingat bahwa kita melakukan ko-
reksi, penambahan atau pengurangan pada sebuah teks yang berasal dari
zaman dulu. Belum tentu penulis naskah akan setuju dengan intervensi
yang kita lakukan, dan kita harus menjaga agar jangan kita membuat in-
terpretasi yang tidak sesuai dengan teks dan zamannya. Pada teks yang di
atas, terdapat satu kesalahan yang memang perlu diralat:
Ralat
B 2–3 maŋgomgami maŋgomgomi
Selain itu terdapat beberapa kata atau istilah yang menurut hemat
saya tidak patut diralat karena bukan merupakan kesalahan, tetapi me-
mang sengaja ditulis sedemikian rupa: yang dimaksud penulis naskah itu
dengan Tapian na Uli tentu adalah Keresidenan Tapanuli. Hal itu dapat
dijelaskan dalam catatan (lihat di bawah). Istilah kedua yang tidak sepe-
nuhnya betul adalah ‘residen’ yang berasal dari bahasa Belanda Resident,
ialah kepala pemerintahan dalam sebuah keresidenan (setingkat pro-
vinsi). Yang dimaksud penulis naskah ini dengan residen tentu adalah
wilayah keresidenan. Hal tersebut juga cukup bila disebut di dalam
catatan.
fungsi untuk menyambung dua vokal – kata tuwan dan mormuliya di-
ubah menjadi tuan dan mormulia (penyuntingan kecil seperti itu tidak
perlu disebut satu-satu dalam ralat). Langkah kedua adalah memperbaiki
semua kesalahan yang telah disebut dalam ralat. Tentu masih perlu
dibubuhkan titik, koma, dan tanda-tanda baca lainnya agar teks kita
mendapatkan sebuah struktur dan dapat lebih mudah dipahami.
Setelah diralat dan diedit akhirnya teks contoh muncul dalam bentuk
seperti ini:
Transliterasi II
Mandapothon ompu nami na sangap jala na mormulia na
mangomgomi residen Tapian na Uli dohot tuan nami tuan
panguhum.
Dalam naskah-naskah kuno sering terdapat kata-kata atau imbuhan
yang sekarang sudah jarang dipakai lagi. Dalam teks contoh kita awalan
mor- dalam kata mormulia sekarang kedengaran agak kuno dan biasanya
ditulis marmulia. Apakah perlu mormulia diganti dengan marmulia saja?
Saya kira sebaiknya tidak, karena awalan mor- menambah kesan kekuno-
an naskah tersebut dan merupakan ciri-ciri khas pada hampir setiap nas-
kah. Demikian juga dengan awalan /tor-/ dan /por-/ atau dengan awalan
da- yang umum dipakai dalam pustaha menggantikan pasif di- seperti
dalam contoh asa dabuat… (agar diambil …).
Dalam naskah-naskah Karo juga terdapat sejumlah kata-kata dan im-
buhan kuno. Beberapa contoh adalah awalan pasif ni- (misalnya
nitadingkěn) atau akhiran -an yang kerap kali menggantikan akhiran -ěn
(misalnya ukurěn menjadi ukuran), kemudian kata bantu ni yang
menunjukkan kepunyaan sering ditulis nu (misalnya kata nu surat). Se-
lain itu ada beberapa kata, terutama yang memiliki diftong [au] seperti
dalam kata lau dan laut, yang selalu ditulis layo dan lawit.
Kata-kata seperti itu yang lazim dan berulang-ulang dipakai dalam
naskah-naskah sebaiknya dibiarkan dalam bentuk asli untuk melestarikan
khazanah pernaskahan yang khas.
Pedoman Menulis Aksara Batak 131
8.4 Terjemahan
Menerjemahkan adalah sebuah seni tersendiri dan sangat sulit untuk
memberi petunjuk-petunjuk tentang cara-cara penerjemahan yang baik
karena cara penerjemahan tergantung juga pada jenis naskah. Untuk
menerjemahkan sepucuk surat tidak perlu keahlian seperti pada penerje-
mahan sebuah karya sastra misalnya. Sebagai pedoman yang kasar, per-
hatikanlah agar terjemahan tidak terlalu harafiah sekaligus tidak terlalu
bebas pula. Kalau kita menganggap terjemahan terlalu harafiah atau telah
menjadi terlalu bebas, hal itu masih bisa diluruskan dengan menam-
bahkan catatan-catatan yang dapat menerangkan terjemahannya. Pada
penerjemahan karya sastra, apalagi puisi, lebih baik bila dipilih terje-
mahan yang lebih bebas. Contoh ini dikutip dari naskah Tropenmuseum
Amsterdam No. 137-647.
Transliterasi
Ape dah kam la bage ningku
ajangku enda la ne kal min těrturi-turikěn
dah kam la bage ningku
padan jandiku ma mehuli
ndube kap jadikěn aku sirang ras těman sada gantang perpangirěn, sada
cuan perbajan
e nge kěpekěn ngobah turang běru Simbiring ndube
e nge maka kěri suina kuakap
O nande bibiku karinana kataku
Terjemahan
Sudah demikianlah adanya
nasibku sudah sangat berantakan
lihatlah sendiri, kataku:
nasibku sudah buruk
karena telah saya dipisahkan dengan teman hidup saya
beru Sembiring yang telah meninggal
tiada penderitaan yang lebih besar
O semua ibu dan bibiku kataku
Buku, skripsi, atau makalah ilmiah akan dibaca oleh orang yang be-
lum tentu memiliki pengetahuan mengenai sejarah, sistem kekerabatan,
dan budaya setempat. Oleh karena itu pembaca perlu dituntun agar teks
yang disajikan dapat dipahami tanpa mendapat kesulitan. Kalau sebuah
132 Surat Batak
8.5 Pendokumentasian
Segala informasi mengenai naskah yang ditransliterasikan perlu di-
kumpulkan. Misalnya bahan yang dipakai, bentuknya, ukurannya, orna-
men-ornamen yang terdapat pada naskah, dan apa terdapat kerusakan
yang dapat menghambat proses transliterasi. Bila di perpustakaan atau
museum terdapat katalog atau daftar inventaris perlu dicari informasi
mengenai tahunnya naskah itu diperoleh, dari mana dan dari siapa.
Seorang penulis pada umumnya menulis lebih dari satu naskah, dan ke-
mungkinan dapat ditemukan naskah-naskah yang penulisnya sama. Hal
itu juga patut dicatat.
Pedoman Menulis Aksara Batak 133
mkaiyoarikutEnubil^bil^kni-bu
luhtgn-éqmn-ai<n-nurinuri
kne-atEmesuwilre<di<disi
mn-turni-kne-mmsikrokro
mre-gnberEsibiri^silps-
melum^sitre-bbatEmesu
wilre<di<dipe<iqokul
meaulinqEbibikukrin
ktkuéqtur^kuturikne-
Transliterasi 1
1. maka hiyo hari kute nu bilaŋ bilaŋ kin bu
2. luḥ tagan henda man hiṅan nuri nuri
3. kěn hate měsuwi la rěṅadi ṅadi si
4. man turinkěn mama si karo karo
5. měrgana běre sibiriŋ si lapas
6. mělumaŋ si těrbaba hate měsu
7. wi la rěṅadi ṅadi peṅindoku la
8. měhuli nande bibiku karina
9. kataku henda turaŋ kuturikěn
Kata ai<n- dalam baris kedua bisa saja ditransliterasikan
menjadi ingan ‘tempat’. Tetapi dengan transliterasi itu tidak menjadi
jelas bahwa tulisannya adalah ai<n- dan bukan I<n-. Oleh
karena itu I<n- sebaiknya ditransliterasikan "Ingan" dengan
catatan bahwa huruf I adalah transliterasi untuk aksara I, sedangkan
aksara a ditransliterasi menjadi /ha/. Bila kita mentransliterasikan
ai<n- menjadi ingan, juga tidak menjadi jelas bahwa /ng/ adalah
< dan bukan kombinasi n plus g atau malahan anak ni surat Ng.
Karena itu < sebaiknya ditransliterasi menjadi /ṅ/ dan anak ni surat Ng
seperti dalam bil^ /bilang/ ditransliterasi /ŋ/ menjadi /bilaŋ/.
134 Surat Batak
Transliterasi 2
1. Maka io ari kute nu bilang-bilang kin buluh tagan enda
2. man ingan nuri-nurikěn ate měsui la ěrngadi-ngadi
3. si man turinkěn mama si Karo-Karo měrgana, běre Simbiring
4. si lampas mělumang
5. si těrbaba ate měsui la ěrngadi-ngadi
6. pengindoku la měhuli
7. nande bibiku karina kataku
8. enda, turang, kuturikěn.
Terjemahan
1. Inilah ratap-tangis di bambu yang menjadi tabung
2. sebagai tempat untuk menceriterakan tentang penderitaanku yang
tiada habisnya
3. menceriterakan tentang aku yang bermarga Karo-Karo, běre Sem-
biring
4. yang cepat menjadi yatim piatu
5. yang penderitaannya tiada habisnya
6. nasibku yang malang ini
7. O semua nande dan bibiku, kataku
8. inilah, sayang, ceriteraku.
Catatan
1 Yang dimaksud dengan tagan ‘tabung’ ialah tempat kapur sirih
yang terbuat dari bambu
3 Běre, marga ibunya
7 Nande bibiku, sapaan untuk para perempuan pada umumnya
8 Turang ‘saudara perempuan’, yang dimaksud adalah kekasihnya.
Pedoman Menulis Aksara Batak 135
Latihan 6
Naskah berikut berasal dari Museum voor Volkenkunde Leiden No.
326-1, dan dihadiahkan kepada museum tersebut pada tahun 1882. Nas-
kah ini adalah sebuah surat ancaman (musuh běrngi) yang dilengkapi
dengan tombak dan senapan yang diukir dari bambu untuk memperkuat
ancamannya. Bahannya adalah sepotong bambu yang dibelah dua yang
panjangnya 23 cm, dan lebarnya 4,5 cm.
Buat transliterasi (I dan II) dan terjemahkanlah surat ini. Perhatikan-
lah bahwa teks ini mengandung beberapa kesalahan yang mesti diralat.
édmekucgnu-surt-kre-naidomn-
tuwn-myru-limrtsu-sre-pidEl
niglrituwn-myru-duwbre-<iédk
usuluhb^sl-kusuluhhaimegod^rs-krin
nninsinuwn-ai<n-kunil<ti-me
g<^édimektkuninsiwn-kttuU
Latihan 7
Teks berikut adalah kutipan yang telah diringkas dari satu halaman
pustaha D2 Perpustakaan Nasional. Naskah tersebut berasal dari Panga-
ribuan, Habinsaran, dan berasal dari koleksi Franz Junghuhn yang mem-
belinya pada tahun 1840-an saat ia menjadi orang Eropa pertama yang
berkunjung ke daerah tersebut (Junghuhn 1847). Transliterasikan teks
berikut ini (Transliterasi I & II). Kemudian terjemahkan teks yang diha-
silkan. Ingat bahwa dalam teks terdapat beberapa kata yang kini tidak
diketahui lagi. Cari arti kata-kata tersebut dalam kamus. Gunakanlah
kamus Warneck (1977) atau Van der Tuuk (1861) karena sebagian kata
tidak ada dalam kamus Sarumpaet (1994)!
podnipnLnLdiMsN\
fasdbofomhifmon^di
bisrngod^alEdFaolo
mSw^nsddohfo\
nDwfLmnsddibhnE\nDw
nsddohfo\nfoLfL
mnfoLdibhnE\nsdalEdF
136 Surat Batak
nsddohfo\naopf\f
LmnsddibhnE\naopf\
asUl^mhoLpdi
podnisimon^mon^alEGR
pinn\fN\niajiaolom
SSw^Grmmno\f^laF\
niajiaoIasI<fo\mdm^
Latihan 8
Teks berikut diambil dari naskah Museum für Völkerkunde Berlin
No. 9886b. Surat yang ditulis oleh Ompu ni Marlopuk ini kepada
penginjil Ludwig Ingwer Nommensen masuk ke koleksi museum pada
tahun 1879. Tahun itu Nommensen masih berkedudukan di dareah Silin-
dung hingga dapat disimpulkan bahwa penulis surat ini juga berasal dari
Silindung atau daerah yang tidak terlalu jauh dari Silindung.
Transliterasikan teks berikut ini (Transliterasi I & II). Kemudian ter-
jemahkanlah teks yang dihasilkan. Ingat bahwa dalam teks terdapat be-
berapa kata yang kini tidak diketahui lagi. Cari arti kata-kata tersebut
dalam kamus. Gunakanlah kamus Warneck (1977) dan Van der Tuuk
(1861)!
IyhoalErjHl3-daHSrf-3iaoP3i
ml-lopK-FhoFw3-3mE3-sEf-a
Hafo^sodoMhifIdao^diMSIhlk-
aHD^doMhifN^<diMSIhlh-aHp
d3-fFmo<so-Srf-aHasFaf-fo
33-3mo-pEFwf-foIy3mr-3i<fo-fo
Fwf-mhofo^gih3o-do<3-Mpd3-fI
33o-aspbro-hf-mdo<3-mi33o-ahP-3i
am3-s3ia^3gboloado^lolMbolosop
Fat-tmo-MHf3-dmroh3iFw3-did
ho-hopEaHf^hho-homFw3-3^<diMSIdE
baHIdao^boIaHf^hho-mr-fg3-MS
HaHdiHfh-KIy3malo-dorohm-pbr
o-hf-mDaLsmi-a^hP3iam3-s3ia^3g
9 AKSARA KOMPUTER
9.1 Karo
Tombol Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
-
- tanda bunuh, paten
^ B^ ng diakritik /ng/
a a a, ha V. 1
b b ba
c c ca V. 1
d d da V. 1
e Be e diakritik /ě/ (pepet)
f f mba V.2
g g ga
h Bh h diakritik /h/, hanya digunakan pada akhir
suku kata seperti kata ‘rumah’
i Bi i diakritik /i/ V. 1
j j ja
k k ka V.1
l l la
m m ma
n n na V. 1
o Bo o diakritik /o/ V. 1
p p pa
q q nda V. 1
r r ra V. 1
s s sa V. 1
t t ta
u Bu u diakritik U
v v mba V. 3
w w wa
140 Surat Batak
x x sa V. 2
y y ya
z z sa V. 3
{ { nda V. 3
{ } nda V. 4
é é é (aksara A + diakritik E
9.2 Pakpak
Tmbl Huruf Makna Tmbl Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
0 B0 e diakritik /ě/ V. 2
< < nga > > ngu
a a a A A u
b b ba B B bu
c c ca C C cu lihat Sa
d d da D D du
e Be e diakritik /ě/ V. 1
E BE é diakritik /é/
g g ga G G gu
h Bh ha diakritik /h/
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku
Aksara Komputer 141
l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
p p pa P P pu
r r ra R R ru
s s sa S S su
t t ta T T tu
U U u
w w wa W W wu
y y ya Y Y yu
\ B\ tanda bunuh
^ B^ diakritik /ng/
9.3 Simalungun
Tmbl Huruf Makna Tmbl Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
-
B- tanda bunuh
e BE é E BE é diakritik /é/
g g ga G G gu
h Bh h diakritik /h/
H H hu = ku
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku = hu
l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
O BO ou diakritik /ou/
p p pa P P pu
r r ra R R ru
s s sa S S su varian Sa yang paling
umum
t t ta T T tu
U U u
w w wa W W wu
y y ya Y Y yu
z z sa Z Z sa varian Sa (tidak terlalu
sering dipakai)
^ B^ ng diakritik /ng/
Aksara Komputer 143
9.4 Toba
Tmbl. Huruf Makna Tmbl. Huruf Makna Catatan
< < nga > > ngu
a a a A A u
b b ba B B bu
d d da D D du
e BE é E BE é diakritik /é/
f f ta F F tu V. 2
g g ga G G gu
h h ha H H hu
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku
l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
p p pa P P pu
q q na Q Q nu V.2 (Na kuno)
r r ra R R ru
s s sa S S su
t t ta T T tu V. 1
U U u
144 Surat Batak
v v wa V V wu V. 2
w w wa W W wu V. 1
y y ya Y Y yu
[ [ nya ] ] nyu
\ B\ tanda bunuh
^ B^ diakritik /ng/
9.5 Mandailing
Tmbl. Huruf Makna Tmbl. Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
0 0 ma 1 1 mu V. 2
2 2 ha 3 3 hu V. 3
4 4 ma 5 5 mu V. 3
6 6 na 7 7 nu V. 2
< < nga > > ngu
= B== Tompi (tanda diakritik yang mengubah Ha menjadi Ka,
dan Sa menjadi Ca)
a a a A A u
b b ba B B bu
c c ca C C cu
d d da D D du
e BE é E BE é diakritik /é/
f f ha F F hu V. 2
g g ga G G gu
Aksara Komputer 145
h h ha H H hu V. 1
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku V. 1
l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
p p pa P P pu
q q Q Q Na kuno
r r ra R R ru
s s sa S S su /su/ V.1 (Lihat ‘v’)
t t ta T T tu
U U U
v v su /su/ V.2
w w wa W W wu
x x sa X X su V. 3 (tidak terlalu
sering dipakai)
y y ya Y Y yu
Z z sa Z Z su V. 4 (tidak terlalu
sering dipakai)
[ [ nya ] ] nyu
\ B\ tanda bunuh
^ B^ diakritik /ng/
146 Surat Batak
}
10 VARIAN-VARIAN AKSARA BATAK
nah saya temukan di Simalungun, atau Mandailing, tetapi hal itu tidak
berarti bahwa varian itu tidak pernah dipakai di sana.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa daftar berikut hanya bisa
memberikan gambaran umum yang disarikan dari kenyataan yang ada.
Di samping itu, kita tidak boleh lupa bahwa pengelompokan etnis adalah
sesuatu yang artifisial. Di zaman dulu, perasaan etnis tidak begitu ber-
kembang seperti sekarang ini, dan semua etnis Batak biasanya menyebut-
kan diri sebagai Batak saja. Pengelompokan orang Batak menjadi suku
Mandailing, Angkola, Toba, Pakpak, Simalungun, atau Karo adalah se-
suatu yang masih relatif baru. Karena itu, dalam tradisi surat Batak tidak
dikenal konsep surat Batak Toba, surat Batak Karo, dsb. Yang ada hanya
surat Batak saja, dan variasi-variasi tidak hanya terdapat antara etnis. Di
beberapa daerah Toba misalnya, huruf Ta dan Wa ditulis f dan w, di
lain tempat dipakai t dan v. Hal itu menunjukkan bahwa variasi-
variasi yang ada bukan saja terbatas pada golongan-golongan etnis, tetapi
di dalam suatu suku Batak pun sistem tulisan sudah bisa menunjukkan
variasi-variasi yang cukup berarti.
Varian-Varian Aksara Batak 149
Karo Simalungun
a aA a
ha =a k
ka kK =ha
ba b b
pa pp p
na nN3 n3N
wa w w
ga g g
ja j j
da dD d
ra rR r
ma m8 m
ta tt t
sa sx z s01z
ya y y
nga < <
la l l
nya [
ca cCX
nda q[{}
mba Bvf
i I I
u U U
150 Surat Batak
Toba Mandailing
a aa aa
ha h hf2
ka =ha kf= 2=
ba bb bb
pa pp pp
na n3Nqv n3Nqv
wa ww w
ga g g
ja jj jj
da d d
ra r r
ma m8Mm m8Mm
ta ft t
sa s sxz
ya y yy
nga < <
la l l
nya [ [
ca c x= z=
nda
mba
i I I
u U U
Varian-Varian Aksara Batak 151
11 JAWABAN
Latihan 1
Karo Pakpak Simalung. Toba Mandailing
am am am am am
bp bp bp bp bp
sd sd sd sd sd
t[ t[ t[
kc|kC kc
rt rt rt rt rt
n< n< n< n< n<
l< l< l< l< l<
Karo Pakpak Simalung. Toba Mandailing
am am am am am
bp bp bp bp bp
sd sd sd sd sd
t[ t[ t[
kc|kC kc
rt rt rt rt rt
n< n< n< n< n<
152 Surat Batak
Latihan 2
Karo Pakpak Simalungun Toba Mandailing
beru beR
sudu SD SD SD SD
ligE ligE ligE ligE ligE
molo molo molo molo molo
m^m^ m^m^ m^m^ m^m^ m^m^
rumh Rmh Rmh
su^s^ S^s^ S^s^ S^s^ S^s^
Karo Pakpak Simalungun Toba Mandailing
beru beR
sudu SD SD SD SD
ligE ligE ligE ligE ligE
molo molo molo molo molo
m^m^ m^m^ m^m^ m^m^ m^m^
rumh Rmh Rmh
su^s^ S^s^ S^s^ S^s^ S^s^
Catatan: atau l=gE atau vD ZD XD
Latihan 3
Karo Pakpak Simalungun
Toba Mandailing
pk\pk\ pk\pk\
lm\lm\ lm\lm\
lti\ | lti\ lti\
TtP\ | FfP\ TtP\
pri\ pri\
dolko\ dolko\
srE\srE\ srE\srE\
154 Surat Batak
Latihan 4
Toba Karo
Uli Uli | auli
Ido Ido | aido
GR guru
bEG bEgu
Latihan 5
Toba Karo
Da | Dw duw
biar\|biyr\ biyr-
sEa | sEy sEy
Latihan 6
Transliterasi 1
1. heda mě kucagun surat kěrna hido man
2. tuwan mayur lima ratus sěrpi de la niga
3. lari tuwan mayur duwa běrṅi heda kusu
4. luḥ baŋsal kusuluḥhi mě godaŋ ras karinana ni
5. na si nuwan hiṅanku ni laṅit měgaṅaŋ he di mě kata
6. ku nina si wan kata tuU.
Ralat:
1. cagun Menurut kamus Neumann (1951:321) semestinya
canggung. Namun demikian, bentuk ca(ng)gun lazim
dipakai di musuh běrngi.
4. godaŋ S gudaŋ (bahasa Melayu)
5. měgaṅaŋ S měgajaŋ
6. wan S nuwan (band. baris 5)
Varian-Varian Aksara Batak 155
Transliterasi 2
Enda mě kucanggun surat kěrna ido man Tuan Mayur lima ratus
Sěrpi. De la nigalari Tuan Mayur dua běrngi enda, kusuluh bangsal, ku-
suluhi mě gudang ras karinana nina Si Nuan. Inganku ni langit
měganjang. E di mě kataku nina Si [Nu]an kata tu[h]u.
Terjemahan
Surat ini saya gantung karena piutang saya kepada Tuan Mayur se-
banyak 500 Serpi. Kalau tidak dibayar dalam tenggang waktu dua hari,
kubakar bangsal, kusuluhi gudang bersama segala [isinya] kata Si Nuan.
Tempatku di langit nan tinggi. Demikianlah kataku, kata Si Nuan, kata
ini benar.
Catatan
Canggung: Surat musuh běrngi digantung pada pintu rumah. Ada
kemungkinan yang dimaksud dengan Tuan Mayur adalah pangkat mili-
ter, namun kurang jelas mengapa orang militer yang disebut pada hal
yang berutang adalah perusahaan swasta. Menurut hemat saya Mayur
adalah tiruan ucapan nama Jerman Maier atau nama yang mirip. Sěrpi
adalah bahasa Karo untuk dolar Spanyol yang merupakan mata uang
yang paling populer di Tanah Karo sebelum mata uang Belanda diperke-
nalkan pada tahun 1907. Di kemudian hari, orang Karo masih sering
menggunakan istilah sěrpi untuk Gulden Belanda.
Bangsal dan gudang: Yang dimaksud adalah bangsal dan gudang
tembakau. Puluhan bangsal tembakau dibakari orang Karo karena seng-
keta tanah atau masalah lainnya.
Inganku ni langit měganjang adalah kiasan biasa pada seorang
musuh běrngi karena ia, selama melakukan tindakan ancaman, harus
menyembunyikan diri di alam bebas, biasanya di hutan rimba. Untuk
informasi selengkapnya mengenai adat musuh běrngi lihat C.J. Westen-
berg (1914).
Latihan 7
Transliterasi I
poda ni panalu nalu di musunta asa daboto ma hita mo
156 Surat Batak
Transliterasi II
Poda ni panalu-nalu di musunta. Asa daboto ma hita monang di bisara na
godang ale datu olo ma suang!
Na sada dohot na dua, talu ma na sada dibahen na dua.
Na sada dohot na tolu, talu ma na tolu dibahen na sada ale datu!
Na sada dohot na opat, talu ma na sada dibahen na opat.
Asa ulang ma ho lupa di poda ni si monang-monang ale guru Pinantun ni
aji. Olo ma suang guru Mamontang laut ni aji oi, asa ingot ma damang!
Catatan:
Kedua baris terakhir merupakan dialog antara sang datu dan muridnya
(sisean):
Datu: “Asa ulang ma ho lupa di poda ni si monang-monang ale guru
Pinantun ni aji.”
Sisean: Olo ma suang guru Mamontang laut ni aji oi, asa ingot ma
damang!
Latihan 8
Terjemahan yang ada di bawah tidak dilengkapi dengan keterangan
karena keterbatasan waktu untuk menyelesaikan naskah buku ini.
Transliterasi I
iya ho ale raja hulanda ahu surat ni opu ni
mallopuk tu ho ale tuwan namenset a
hu atoŋ so domu hita Idaoŋ dimusuI halak
ahu duŋ domu hita nuŋṅa dimusuI halak ahu pa
danta tumoṅos surat ahu asa tuat to
nannom pe tuwat to Iya na marniṅot to
tuwat ma ho toŋgihon doṅanmu padanta I
non asa paborhat ma doṅanminon ahupni
aman saniang naga bolo adoŋ lolamu bolo so pa
Varian-Varian Aksara Batak 157
tuat tommu hutanda ma roha ni tuwan didok
---ho pe ahu taŋkok ho ma tuwan nuŋṅa dimusuI de
ba ahu idaoŋ boI ahu taŋkok martagan musu
hu ahu di hutakku Iya na maol do roham pabor
--hat ma dua lusim aŋkupuni aman saniaŋ naga
Transliterasi II
Iya ho ale raja Hulanda. Ahu surat ni Ompu ni Marlopuk tu ho, ale tuan
Nomensen. Ahu, atong so domu hita, indaong dimusui halak ahu. Dung
domu hita nungnga dimusui halak ahu. Padanta tumongos surat ahu. Asa
tuat ho. Nannon pe tuat ho. Iya na marningot ho, tuat ma ho, tonggihon
donganmu padanta inon. Asa paborhat ma donganminon, ahupni Ama ni
Saniang Naga, bolo adong lolomu. Bolo so patuatonmu hutanda ma roha
ni tuan. Didok ho pe ahu tangkok; ho ma tuan. Nungnga dimusui deba
ahu. Indadong boi ahu tangkok. Martagan musungku ahu di hutangku.
Iya na maol do roham paborhat ma dua lusim, angkupuni Ama ni
Saniang Naga.
Terjemahan
Kepada Anda, raja dari Belanda. Ini surat Ompu ni Marlopuk kepada
Anda, tuan Nommensen. Kalau saya, ketika kita masih belum bekerja
sama, saya tidak dimusuhi orang. Sejak kita bekerjasama, saya dimusuhi
orang. Kita ada janji, saya akan menyurati Anda. Datanglah kemari.
Sebagaimana lazim Anda datang. Kalau Anda ingat, datanglah kemari,
ajak kawan Anda sesuai dengan janji kita. Agar kawan Anda berangkat,
bersama dengan Ama ni Saniang Naga, jika sudah bertemu. Kalau tidak
Anda suruh ia datang, maka saya tahu hati Tuan yang sebenarnya. Kata
Anda agar saya datang ke tempat Anda; Andalah tuan. Sudah ada yang
memusuhi saya. Saya tidak lagi bisa datang ke tempat Anda. Musuhku
akan menyerang saya di kampungku. Kalau Anda baik hati kepada saya,
kirimlah dua lusin orang kemari, termasuk Ama ni Saniang Naga.
}
Daftar Istilah
Definisi sebagian istilah berikut dikutip dari Kamus Linguistik yang disu-
sun oleh Harimurti Kridalaksana (1983). Tanda panah di depan satu kata
berarti bahwa kata tersebut terdapat juga dalam daftar ini.
i. Müller (1892:518)
Teks Batak
CAP A
Cap A tertera pada sepucuk surat yang ditujukan kepada penyiar aga-
ma Ingwer Ludwig Nommensen tertanggal 6 March 1899. Bentuknya
bundar dengan diameter 60mm dan terdapat sepuluh geriginya (Gambar
23). Surat tersebut ditulis oleh Heman Silaban (Raja Pangantul), dan kini
berada di arsip VEM. Ketika pertama kali melihat cap tersebut penulis
tidak dapat membaca satu huruf pun. Sesudah cap itu dilihat dari berba-
gai perspektif akhirnya penulis coba membacanya dengan menggunakan
kaca cermin. Ternyata cermin itu sangat membantu dan hurufnya dapat
2. Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 penggunaan kertas terbatas pada
wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda, dan para raja bisanya menulis
suratnya di atas seruas bambu.
3. VEM adalah hasil persatuan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dengan Bethel-
Mission di tahun 1971.
Cap Singamangaraja 171
4. Ternyata kesalahan yang sama pernah juga terjadi pada sebuah cap dari Minangkabau
dan satu lagi dari Perak (Annabel Gallop, email 09-03-2000).
5. Selain di Toba, kedua aksara ini juga digunakan di Pakpak dan Karo sehingga disebut
Ta- dan Wa-utara untuk membedakannya dengan Ta-dan Wa-selatan (t dan w) yang
dipakai di Angkola dan Mandailing, dan juga di sebagian Toba.
6. Pangolat adalah tanda baca yang mematikan bunyi [a] yang terbawa oleh setiap
aksara sehingga [pa], misalnya, menjadi [p]. Dalam aksara Jawa tanda bunuh ini
dikenal sebagai paten dan dalam bahasa Sanskerta bernama virama.
7. Gelar Singamangaraja sering diawali dengan kata si yang dipakai di depan nama diri.
172 Surat Batak
Baris kedua kurang jelas. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, baris
ini bukan kelanjutan baris pertama! Aksara pertama mirip dengan huruf
Ra r yang terbalik disusul oleh sebuah titik. Aksara berikut sepintas
kelihatan seperti Ba b namun bisa juga menjadi aksara Ta t. Saya
menduga bahwa Ta ini adalah huruf awal kata tian- tian (dari).
Anak ni surat I serta huruf A cukup jelas, namun huruf berikut, yang
menurut dugaan kita Na tidak begitu jelas. Huruf Na itu diikuti oleh
sebuah garis kecil yang, menurut interpretasi kami, adalah pangolat.
Kata tian seharusnya diikuti oleh kata Bangkara sebagaimana halnya
dengan cap B baris 5–6 karena Singamangaraja berasal dari kampung
Bangkara (dibaca ʻBakkaraʻ). Akan tetapi kata terakhir jelas terbaca
sebagai si si dan kelanjutannya singamangaraja ada di baris berikut!
Baris berikut dapat dibaca si<m<rj singamangaraja. Hu-
ruf Nga sama aneh bentuknya seperti di cap B. Sebagaimana akan diurai-
kan di bawah orang yang menciptakan cap B menggunakan bentuk yang
sangat aneh untuk huruf Ma. Di cap A "huruf" yang kita anggap Ma ben-
tuknya begitu aneh sehingga sama sekali tidak dapat dibaca, namun se-
suai dengan konteks harus merupakan huruf Ma di dalam kata singa-
mangaraja. Huruf berikut kurang jelas dan paling dekat dengan huruf Ta
t atau Ya y. Huruf terakhir baris ini adalah Ra r yang dilanjutkan
di baris 4 menjadi raja.
Baris 4 bermula dengan Ja j disusul Ro ro. Sisa baris ini tidak
terbaca.
Baris ini sama sekali tidak terbaca kecuali dua kali huruf Na. Dalam
makalah tahun 2000 penulis menawarkan transliterasi “ma (?) ta ba na ta
na”. Dalam baris ini memang ada dua aksara yang kelihatan seperti Ta-
selatan t. Akan tetapi Ta yang terdapat di baris 1 dan 2 cap ini bukan
Ta-selatan melainkan Ta utara t.
Transliterasi yang saya beri tahun 2000 berbunyi “ma (or sa) hu bu
(?) na”. Huruf pertama memang kurang jelas terbaca namun lebih mirip
dengan Ma m daripada Sa. Huruf kedua jelas Hu. Aksara berikut jelas
bukan Bu melainkan Ta dan huruf terakhir adalah Na sehingga baris
terakhir dapat dibaca “ma hutana”.
CAP B
Cap Singamangaraja 173
Cap B paling jelas terbaca pada surat No. 2 sementara cap di surat
No. 3 hampir sama sekali tidak terbaca. Telah tiga kali dilakukan upaya
untuk merekonstruksi cap B yang kini berada di Museum Nasional
(Gambar 26). Ketiga reproduksi (oleh Müller, Warneck, dan Gobée)
cukup akurat dan hanya ada perbedaan-perbedaan kecil yang akan diurai-
kan di bawah ini.
Dalam berbagai publikasi terdapat berbagai transliterasi (alih aksara)
dan terjemahan (alih bahasa) cap ini.10
1. Yang paling tua transliterasi dan terjemahan Müller (1892:518).
Transliterasi Müller kemudian dicontoh oleh Baharadja (1939),
sementara transliterasi Baharadja dicontoh Tampubolon (1964:84;
2002a:145), dan transliterasi Tampubolon dicontoh lagi oleh Batara
Sangti (1978:23)!
Ahussap tuwana sisangamangaraja tiyan bagara.
Inilah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bagara.11 (Müller 1892:518)
2 Transliterasi kedua bermasalah karena ada dua aksara yang tidak
dikenal Warneck sehingga tuan dibaca tangan dan tian dibaca mian.
Selain itu, ma sap dibacanya sasap:
Ahu sasap tangan Singamangaraja mian Bakara.
Aku cap dari tangan Singamangaraja yang berdiam di Bakara.12
(Warneck 1909:128)
3. Tampoebolon memadukan transliterasi Müller dengan Warneck akan
tetapi hasilnya kurang memuaskan:
10. Ejaan lama diubah hingga sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
11. Dies ist der Siegel des Herrn, des Si Singamangaraja aus Bagara. Terjemahan yang
sama ada di Gobée (No. 4) dan Sidjabat (No.6).
12. Ich bin das Siegel der Hand des Singamangaraja, der wohnt in Bakara.
Cap Singamangaraja 175
Ahussap Mü
Ahu sasap Wa, Ta, Ma
Ahu sahap Lu, Si, Mh
Ahu ma sap Go
Menurut Müller ucapan yang benar adalah ahu tsap (= ahu cap) se-
mentara ejaannya ahussap. Dalam bahasa Toba memang terdapat perbe-
daan antara ejaan dan ucapan. Kata pintu misalnya diucapkan pittu,
Bangkara diucapkan Bakkara, dan unsok diucap [utsok]. Dalam bahasa
Batak Toba tidak terdapat aksara Ca, namun ada gugusan konsonan [ts]
seperti di dalam kata unsok yang agak mirip dengan [c], misalnya pohon
lansat diucap ʻlatsatʻ (yang di Mandailing dieja dan diucap lancat).
Dengan demikian ejaan ahussap (yang seharusnya ditulis ahunsap) bisa
diucap ahutsap atau ahucap sehingga terdapat dua kata yaitu ahu dan
cap. Interpretasi Müller sangat menarik namun mungkin agak terlalu
berani karena kata untuk ‘cap’ dalam bahasa Batak adalah sahap, dan,
kalau memang si penulis ingin menulis ahussap, maka anak ni surat /u/
tidak boleh dipasang pada aksara Ha melainkan harus dipasang pada
aksara Sa sehingga seharusnya ditulis ahS\sp\ dan bukan
aHs\sp\!
Interpretasi Warneck (ahu sasap) menyiratkan bahwa garis yang ada
sesudah aksara Sa hanya sesuatu goresan yang timbul pada cap itu, dan
bukan tanda bunuh. Masalah pada interpretasi ini adalah bahwa kata
sasap ‘tulang belikat’ tidak masuk dalam konteks kalimat ini.
Interpretasi ketiga (ahu sahap) sama sekali tidak didukung oleh teks
karena huruf pertama di baris kedua jelas bukan Ha (h) melainkan Sa.
Si penulis ternyata hendak memaksakan arti sahap (cap) yang sesuai
dengan konteks tetapi tidak sesuai tengan teks.
Interpretasi keempat, yaitu oleh Gobée, juga menampikkan adanya
tanda bunuh sesudah aksara terakhir di baris pertama. Kami tidak tahu
darimana Gobée memperoleh gambar cap yang ia gunakan (Gambar 26
ii) namun bukan dari Müller atau Warneck karena pada rekonstruksi
Müller dan Warneck ada garis kecil setelah huruf Nga sementara di
reproduksi Gobée tidak terdapat titik kecil itu! Beda dengan penulis
lainnya Gobée membaca aksara ini Ma dan bukan Sa. Bentuk aksara ini
memang berbeda sedikit dengan tiga Sa lainnya yang ada di baris kedua
dan baris keempat yang sangat mirip dengan bentuk Sa biasa s.
Walaupun aksara ketiga dalam baris pertama ini tidak sangat mirip
178 Surat Batak
dengan kedua varian Ma yaitu m, dan M, dan juga cukup berbeda
dengan Ma yang terdapat di baris empat (aksara pertama), masih tetap
terbuka kemungkinan bahwa aksara ini adalah Ma sehingga ada tiga
kata, yaitu: ahu ma sap ‘aku-lah cap’.
Menarik untuk dicatat bahwa dalam kamus Warneck (Warneck 1906)
memang ada lema sap, namun artinya bukan ‘cap’ melainkan
“beschmiert” (berlumuran). Lema sap dalam arti ‘cap’ baru ada dalam
kamus Sarumpaet (1994). Menurut kamus Warneck (1906), kata untuk
‘cap’ adalah sahap, dan bukan sap, sementara di kamus Van der Tuuk
(1861) sama sekali belum ada istilah Batak untuk ‘cap’! Hal ini
mengisyaratkan bahwa kata sahap dan sap, keduanya kata pinjam dari
bahasa Melayu, pada pertengahan abad ke-19 belum termasuk dalam
perbendaharaan bahasa Toba.
Tuwana Mü, Ta
Tuana Go, Ma
Tuwan Lu
Tuan Si
Tangan Wa, Ni, Mh
Ketiga huruf ini sebenarnya cukup jelas tuwana Twn. Hanya ada
dua transliterasi yang jauh menyimpang, yaitu Marbun dan Hutapea yang
secara bebas membuat interpretasi yang tidak didukung oleh teks, dan
Warneck yang ternyata tidak mengenal varian Wa w yang di samping
w lazim digunakan di Toba. Sebab maka Warneck tidak mengetahui
varian itu barangkali karena bentuk Wa w diangkat oleh zending
sebagai bentuk yang "baku" yang dipakai oleh percetakan di Laguboti.
Karena tidak mengenal aksara w maka Winkler membacanya Nga <.
Di samping itu, yang dilakukan Warneck adalah "menambah" tanda
bunuh sesudah aksara Na agar dibaca N.
Hal ini juga dilakukan oleh hampir semua penulis lain. Seha-
rusnya memang ada tanda bunuh sesudah aksara Na karena yang
dimaksud tentu tuan.
Cap Singamangaraja 179
Sisangamangaraja Mü
Singamangaraja Go, Si, Wa,
Ni, Mh
Kedua huruf pertama adalah Sa diikuti oleh diakritik /i/ hingga mem-
bentuk kata si yang digunakan di depan nama diri. Sisanya membentuk
kata Sangamangaraja yang seharusnya berbunyi Singamangaraja. Huruf
terakhir baris 3 adalah huruf Nga (<) yang bentuknya agak aneh, dan
hampir menyerupai aksara Wa (w). Huruf Nga yang aneh ini terdapat
juga di baris 4. Baris 4 sangat mudah dibaca dan terdiri dari Ma M, Nga
<, Ra r, dan Ja j.
Pada rekonstruksi Müller (1892) dan Gobée (1917) (Gambar 26 i dan
iii), baris ketiga tampak seperti dalam gambar di atas, akan tetapi pada
rekonstruksi Warneck terdapat garis kecil sesudah huruf Nga yang keli-
hatan seperti pangolat, namun ternyata hanya merupakan sebuah titik
yang kebetulan muncul ketika cap itu dibubuhkan pada kertas. Sebagai-
mana sudah diuraikan di atas, pada reproduksi Gobée garis pada akhir
baris 1 (yang kelihatan di reproduksi Müller dan Warneck) juga tidak
tampak. Dari situ bisa kita simpulkan bahwa kedua garis kecil pada
ujung baris 1 dan 3 bukan bagian dari teks sehingga tidak boleh diinter-
pretasikan sebagai tanda bunuh (pangolat). Dengan demikian interpretasi
Müller yang membaca huruf-huruf pertama sebagai ahussap tidak dapat
dipertahankan.
Munculnya garis-garis kecil itu pada rekonstrusksi Warneck dan
Müller dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk ketelitiaan dalam
mencetak stempel pada kertas, jumlah jelaga yang dioleskan pada
stempel, jenis kertas yang dipakai dan sebagainya.
tiyan Mü
tian Ma
mian Wa, Ta, Sa
sian Go, Mh
Bagara Mü
Bakara Ma
Bakkara Wa, Ta, Sa
Ketiga aksara Ba, Ga, dan Ra ini membentuk kata Bagara. Yang di-
maksud ialah kampung Bangkara (b^hr), tempat asalanya Singama-
ngaraja. Kata Bangkara diucap dan sering juga ditulis (dalam huruf
Latin) Bakkara. Akan tetapi dalam teks beraksara Batak jarang sekali ada
yang menulis kata menurut lafalannya. Selain itu lafalannya Bakkara dan
bukan Bagara! Hal ini menjadi petunjuk bahwa pendesain cap ini kurang
mengetahui kaedah-kaedah aksara Batak. Di samping itu, bentuk ketiga
huruf ini juga agak aneh. Bentuk yang lebih lazim adalah bgr.
Berdasarkan uraian di atas kita tiba pada interpretasi cap B:
aHm / sp\Fv / nsis< / m<rj / tiy /
n\bg / r
ahu ma sap tuwana si sangamangaraja tiyan bagara
Sesudah semua kesalahan diperbaiki kita tiba pada rekonstruksi teks
yang, menurut tafsiran kami, seharusnya berbunyi:
aH m sp\ Fvn\ si si< m<rj
Cap Singamangaraja 181
tiyn\ b^hr
ahu ma sap tuwan si singamangaraja tiyan Bangkara
atau dalam ejaan bahasa Batak yang menurut EYD:
Ahu ma sap Tuan Si Singamangaraja tian Bangkara
Sayalah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara.
CAP C
Cap C yang digambarkan oleh Lumbantobing (1967:87) konon
dipakai oleh putra sulung Singamangaraja Sutan Nagari. Bentuknya
bundar dengan sebelas gerigi (Gambar 25). Cap ini lebih baru dibanding-
kan cap A dan B. Hal ini tampak karena 1. semua kesalahan diperbaiki,
dan 2. aksara Batak yang digunakan bukan bentuk aksara Batak asli me-
lainkan meniru bentuk aksara cetakan yang digunakan oleh zending.
aH sp\6isisi<m<rjsi16\bkr
Ahu sap ni Si Singamangaraja sian Bakara
Tian diganti dengan padanannya sian, dan kampung Bangkara tidak
lagi dieja Bagara melainkan Bakara. Dari segi teknologinya cap ini tentu
lebih bagus daripada kedua pendahulu.
Aksara A dipakai di garis 1 (huruf pertama) dan di garis 5 (huruf
ketiga). Di baris pertama aksaranya tampil dalam bentuk yang biasa,
yaitu a, namun di baris kelima bentuknya mirip dengan varian yang
lebih lazim digunakan di Mandailing, yaitu 1. Demikian juga dengan
aksara Ma: m. Ini varian yang jarang sekali dapat ditemukan, dan hanya
di Angkola dan Mandailing sementara di Toba aksara Ma selalu
berbentuk m (atau kadang-kadang M). Huruf Na juga menggunakan
bentuk yang tidak lazim digunakan, yaitu 6 sementara bentuk Na yang
umum dipakai memiliki lingkaran yang lebih besar dan garis horisontal
di atas dan hanya sedikit mengarah ke kiri: n. Sebagaimana akan
diuraikan di bawah, ketiga varian inilah yang diperkenalkan oleh para
penyiar agama Kristen asal Jerman sebagai huruf cetakan sehingga dapat
kita simpulkan bahwa pendesain cap C belajar aksara Batak di sekolah
zending. Cap ini juga memiliki teks dengan huruf Jawi (Arab-Melayu),
namun teks berbahasa Melayu itu sayang tidak terbaca. Tampaknya pada
ketika cap itu didesain aksara Batak dibubuhkan dengan sangat teliti
182 Surat Batak
sementara tulisan Jawi mungkin hanya dianggap sekadar perhiasan saja
sehingga dibuat dengan kurang teliti. Namun kita harus sangat berhati-
hati dalam menarik kesimpulan seperti ini mengingat bahwa hanya ada
satu surat yang mengandung cap ini. Teraan pada surat ini tampaknya
cukup jelas sehingga penulis cenderung untuk menganggap bahwa cap
ini kurang sempurna dalam hal tulisan Jawi.
CAP D
Di dalam arsip Nommensen di VEM terdapat sepucuk surat bercap
yang tertanggal 29 Mei 1904. Cap itu bergerigi delapan. Sayang tulisan-
nya terlalu kabur sehingga tidak terbaca dengan jelas, namun tampaknya
cap itu dicetak sedemikian rupa sehingga huruf pada stempelnya tampil
secara positif. Artinya, sama dengan cap A, tulisannya sesudah tertera
pada kertas akan tampil dalam bentuk cerminan sehingga hanya dapat
dibaca dengan menggunakan kaca cermin. Cap ini dimiliki oleh Raja
Pane. Pane adalah salah satu kerajaan kecil di daerah Simalungun, dan
aksara cap itu juga jelas aksara Simalungun.
Penanggalan
Dalam bukunya tentang kesultanan Aceh di zaman Iskandar Muda
Denys Lombard menulis: “Kedaulatan Sultan dilambangkan oleh keris
dan cap”19 (Lombard 1967:78). Lambang kerajaan Singamangaraja yang
paling utama adalah keris yang bernama gaja dompak. Carle masih
menyebut tiga lambang kerajaan lainnya, yaitu lembing hujur siringis,
batu asah pungga haomasan, dan labu (tempat air) tabu-tabu
sitarapullang Carle (1990:322). Ada pula yang menambahkan tikar lage
hamoasan, dan pedang podang halasan, sementara menurut Situmorang
(1993a:55) lambang kerajaannya malahan enam belas – tetapi cap tidak
pernah disebut sebagai lambang kerajaan Singamangaraja. Hal ini men-
jadi petunjuk bahwa dinasti Singamangaraja belum lama memiliki cap
sehingga belum sempat diangkat menjadi lambang kerajaannya.
19. “L’autorité suprême du Sultan était symbolisée de deux façons, par le kris et le
sceau.”
184 Surat Batak
20. “Natürlich vorausgesetzt, dass die muhammedanische Datirung richtig gelesen ist.”
21. Bandingkan catatan kaki 32.
Cap Singamangaraja 185
sempat berhubungan dengan orang Eropa22, 3. Angka yang ada di cap itu
sendiri kurang mendukung interpretasinya: Hanya angka pertama dan
angka terakhir memang mirip dengan angka 1 dan 2, namun di gambar
Warneck seolah-olah angka 1 itu bersatu dengan teks yang ada di sebelah
kirinya. Angka kedua lebih mirip dengan 6. Karena mustahil cap itu dari
abad ke-17 (pada zaman itu sama sekali belum ada orang Eropa yang
pernah singgah di daerah Batak) maka Gobée menginterpretasikannya
sebagai 8 yang, menurut hemat kami, merupakan bacaan yang terlalu
dipaksa-paksa. Angka berikut pun tidak terlalu mirip dengan angka 5 –
sulit dibayangkan alasan maka garis horisontal yang seharusnya berada
di atas menjadi lepas sehingga posisinya bukan di atas melainkan di
samping.
Karena tahun yang ada di cap itu tidak dapat diinterpretasikan secara
meyakinkan maka kita tidak dapat mengetahui dengan pasti pada tahun
berapa ketiga cap itu dibuat sehingga kita harus mencari petunjuk-
petunjuk lainnya yang dapat membantu kita untuk memecahkan masalah
penanggalan. Klaim bahwa cap sudah ada di abad ke-18 atau malahan di
abad ke-16 (Sidjabat 1983) harus ditolak karena cap hanya dapat
digunakan di kertas sementara pada abad ke-18 orang Batak belum
mengenal kertas dan masih menulis di bambu dan kulit kayu.
Untuk sementara kita hanya bisa bertolak pada surat yang dibubuhi
cap sebagai terminus ante quem. Surat bercap (dengan cap B) yang
paling tua ditulis pada tahun 1897.23 Satu-satunya surat yang dibubuhi
cap A bertanggal 1897. Di sini timbul pertanyaan: Kalau cap A adalah
pendahulu cap B, kenapa cap A masih dipakai pada saat sudah ada cap
B?
Ternyata masing-masing cap hanya boleh digunakan oleh orang-
orang tertentu. Pada kebanyakan surat bercap B disebut bahwa surat itu
ditulis oleh (atau atas nama) Singamangaraja XII dengan menggunakan
22. Van der Tuuk, yang datang ke Sibolga pada tahun 1850, menjadi orang Eropa
pertama yang melihat Danau Toba pada kunjungannya ke Bangkara untuk bertemu
dengan Singamangaraja XI. Zending Jerman dimulai di Mandailing dan baru pada
tahun 1864 mereka mulai masuk ke daerah Silindung.
23. Mengingat artikel Müller diterbitkan pada tahun 1892 maka harus ada surat yang
lebih lama namun penulis kurang mengetahui keberadaannya.
186 Surat Batak
pembukaan Ahu (atau kami) surat ni Si Singamangaraja – Akulah surat
Si Singamangaraja.24 Tampaknya hanya Singamangaraja sendiri yang
boleh menggunakan cap B. Menurut Lumbantobing (1967:87) cap C
digunakan oleh anak Singamangaraja Sutan Nagari. Cap A tertera pada
surat yang ditulis oleh Heman Silaban alias Raja Pangantul, salah satu
penasehat Singamangaraja. Tampaknya cap A harus digunakan untuk
surat yang tidak langsung atas nama beliau.
Kendatipun mustahil untuk menentukan kapan cap pertama dibuat,
penulis cenderung bahwa ketiga cap itu dibuat di masa bertahtanya
Singamangaraja XII, yaitu antara tahun 1875 dan 1907.
Tradisi Surat-Menyurat
Masyarakat tradisional Batak sering dianggap sebagai masyarakat
yang masih berada di ambang keberaksaraan dan yang menggunakan
tulisannya “terutama untuk tujuan yang berkaitan dengan ilmu gaib”
(Drakard 1999:172). Pustaha-pustaha Batak ditulis oleh para datu
(dukun) yang menjadi ahli kalam dalam masyarakat Batak. Orang hanya
wajib belajar tulisan Batak kalau mau menjadi datu. Namun kebanyakan
raja pandai menulis, hal itu bukan wajib, dan cukup banyak raja, yang
buta huruf. Menurut Sitor Situmorang (komunikasi lisan) Singamanga-
raja XII tidak pandai membaca, dan memang tidak ada satu surat pun
yang berasal dari tangannya sendiri. Kendatipun demikian, diperkirakan
sekitar 30–50% pria Batak pandai menulis sebelum kedatangan zending
dan pemerintah kolonial dengan pendidikan formalnya (Kozok 2000b).
Hal itu antara lain tampak dari naskah-naskah yang jelas tidak ditulis
oleh para datu. Dalam koleksi-koleksi naskah Batak terdapat cukup
banyak surat dari para raja kepada pemerintah kolonial atau kepada pihak
zending. Di Karo dan Simalungun ada pula semacam adat yang disebut
pulas atau musuh berngi (musuh pada malam hari). Orang yang merasa
diperlakukan dengan tidak adil dan gagal mencari keadilan bersembunyi
di hutan dan keluar pada malam hari untuk memberitahu tuntutannya
yang disertai ancaman melalui surat yang digores pada tabung bambu
24. Satu-satunya surat yang tidak menggunakan formula pembukaan itu adalah surat
Singamangaraja kepada kontelir Van Dijk yang fotonya ada di buku Lumbantobing
(1967:103). Surat itu bermula dengan: Alana mambahen surat ahu tu hamu
alealengku on do ‘Alasan maka saya menulis surat kepada sahabatku...’.
Cap Singamangaraja 187
Kebanyakan publikasi dalam aksara Batak pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 dicetak oleh percetakan R.L. Friderichs & Comp di
Elberfeld (Wuppertal, Jerman)25, namun ada juga buku yang dicetak oleh
Landsdrukkerij (percetakan negeri) di Batavia.26 Pada dasawarsa kedua
abad ke-20 dibuka pula percetakan zending (pangarongkoman mission)
di Laguboti.27 Namun pada saat itu pihak zending sudah memutuskan
agar selanjutnya semua buku sebaiknya dicetak dengan menggunakan
huruf Latin dengan alasan biaya yang lebih rendah, dan juga karena
orang Batak pada saat itu lebih suka menggunakan huruf Latin daripada
aksara Batak. Di kolom 2 saya cantumkan aksara yang digunakan oleh
R.L. Friderichs di Elberfeld, di kolom 3 aksara yang digunakan oleh
Landsdrukkerij di Batavia, di kolum 4 aksara percetakan zending di
Laguboti, dan di kolum 5 saya cantumkan varian-varian aksara yang
lazim dipakai dalam naskah-naskah asli Batak.
Elberfeld Batavia Laguboti Pustaha
a A a A aa
na 4 4 6 n3Nqv
wa w w w ww
ma M 0 M m8M
ta t t t ft
sa s s s s
ha h h h hh
i I [ I I[
Bentuk aksara yang digunakan dalam surat Si Singamangaraja lebih
mirip dengan aksara yang distandardisasi oleh zending daripada aksara
yang lazim terdapat di pustaha dan naskah Batak lainnya. Dalam naskah
asli Batak (Toba) bentuk f, misalnya lebih umum daripada bentuk t.
28. Anehnya, dari buku tersebut ada dua edisi yang kedua-duanya diterbitkan pada tahun
yang sama. Edisi pertama dicetak di Elberfeld dan cetakan kembali (herdruk) dicetak
di Batavia sehingga ada dua buku pelajaran aksara Toba yang masing-masing
menggunakan aksara yang berbeda!
Cap Singamangaraja 191
olah terdiri dari satu coretan saja. Hal ini barangkali sudah menjadi
kebiasaan anak-anak sekolah yang, demi mempercepat penulisannya,
menulis Ma dengan hanya menggunakan satu coretan saja.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa surat-surat Si Singamanga-
raja ditulis oleh orang yang pernah dididik di sekolah zending.
Sayang tidak terlalu banyak diketahui tentang kedua penasehat Si-
ngamangaraja Guru Heman Silaban dan Manase Simorangkir. Lumban-
tobing (1967:85) menyebut Manase sebagai salah satu dari 26 panglima
Singamangaraja. Menurut Sidjabat anak perempuan tertua Singamanga-
raja bernama Rinsan kawin dengan Ompu Onggung yang berjanji akan
menyediakan pasukan Singamangaraja dengan bedil setan (bedil canggih
yang dipakai oleh tentara Belanda). Setelah setahun tinggal di kediaman
Si Singamangaraja di Pearaja, Dairi, Ompu Onggung pergi. Karena tak
kunjung pulang maka Rinsan kawin dengan Manase, perkawinan mana
menghasilkan tiga anak. Manase gugur dalam pertempuran pada
ekspedisi Colijn bulan November 1904. Ompu Onggung lalu meminta
kembali Rinsan untuk kemudian mengkhianati mertuanya dengan berse-
kongkolan dengan Belanda (Sidjabat 1983:241). Menurut Beck “Ompu
Onggung menjadi raja Batak pertama yang membantu pemerintah mela-
wan Singa Mangaraja sehingga atas jasanya ia dianugerahi dengan
bintang perak dan sebuah pedang kebesaran”29 (Beck 1917:457). Heman
Silaban, guru injil di Siborong-borong, ternyata berperan besar dalam
menghubungkan Ompu Onggung dengan Si Singamangaraja XII “karena
ia mengetahui bahwa Asisten Residen Welsink sangat suka pada Ompu
Onggung.” (Sidjabat 1983:311).
Baik Sitor Situmorang (korespondensi email 3-2-00) maupun Jan S.
Aritonang (email 6-3-00) yang melakukan penelitian di arsip RMG untuk
publikasinya mengenai sejarah Batak (Aritonang 1988; Situmorang
1993b; Situmorang 1993a; ) memastikan bahwa Heman Silaban dan
Manase Simorangkir pernah menjadi siswa di institut keguruan zending
29. “De eerste Bataksche radja, die het Gouvernement steunde en hielp tegen Singa
Mangaradja was Ompoe ni Onggoeng, deze kreeg daarvoor o.a. de silveren ster van
verdienste en de prachtsabel.” Kematian Manase dan pengkhianatan Ompu Onggung
juga disebut oleh Sinambela (1992:55).
192 Surat Batak
di Pansur Na Pitu. Mengapa kedua pemuda yang berpendidikan itu
meninggalkan zending dan pindah ke kubu musuh? Kecewakah mereka
dengan pihak zending? Ataukah mereka berusaha untuk menjembatani
kedua pihak yang bermusuhan? Sangat menarik untuk mengetahui alasan
mereka namun hal ini diluar jangkauan makalah ini.
Keempat cap itu jelas merupakan tahap baru dalam perkembangan
budaya tulis di daerah Batak. Cap hanya dapat digunakan pada kertas,
media tulis yang baru mereka kenal, dan tidak bisa digunakan pada
media tulis tradisional seperti bambu, tanduk, dan kulit kayu. Selain
surat-surat Singamangaraja tidak banyak naskah Batak yang ditulis di
kertas. Dari sekitar 500 naskah Batak yang didata di Jerman hanya
delapan ditulis pada kertas! Pada awal abad ke-20 kertas hanya
digunakan pada wilayah yang telah tunduk pada pemerintah Belanda.
Surat para raja kepada Nommensen hampir semua ditulis di atas bambu,
sehingga Singamangaraja XII merupaakan salah satu raja pertama yang
menggunakan kertas. Tidak diketahui darimana ia mendapatkan ide
untuk menciptakan capnya sendiri, namun ketiga capnya memperlihatkan
pengaruh kuat dari tradisi cap Melayu sehingga dapat dipastikan bahwa
ia menerima stimulus untuk menciptakan capnya dari kawasan pesisir
Barat, atau dari Aceh.
30. “King Si Singamangaraja VII of the holy dynasty of the Batak sealed a treaty of
friendship with the Acehnese king and asked him to make a royal seal for his
kingdom.”
Cap Singamangaraja 193
31. Menurut Tampubolon (1964:85) Ompu Sotaronggal (Raja Manubung Langit) adalah
Singamangaraja kelima, sementara menurut Lumbantobing Ompu Sotaronggal
menjadi Singamangaraja kedelapan, sementara menurut Situmorang (1993b:213) ia
malahan Singamangaraja kesembilan! Dalam buku kecil tentang dinasti
Singamangaraja oleh Simanjuntak (1986). Ompu Sotaronggal menjadi raja dari tahun
1741 (ketika ia berumur 19 tahun) hingga 1788. Tanggal tersebut bertentangan
dengan tanggal yang dianjurkan oleh seorang “sejarahwan” Batak lainnya, Manurut
Batara Sangti (1978) beliau dilahirkan pada tahun 1725. Pengarang yang lebih dapat
diandalkan seperti Sidjabat (1983) dan Situmorang (1993b) menolak usaha-uasaha
untuk menentukan masa kerajaan ke-12 Singamangaraja karena memang tidak ada
dasar historisnya.
32. “De gebrekkige Bataksche letters doen vermoeden dat de stempel door een
Atjehschen volgeling van den Singa Mangaradja is vervaardigd.”
33. “Mungkin pula yang membuat stempel itu ialah orang dari suku Aceh, suatu dugaan
kalau diperhatikan tulisan aksara Batak yang kurang sempurna.”
194 Surat Batak
anggap cap yang pertama masih penuh kekurangan, cap B sudah lebih
baik, dan akhirnya pada cap C aksara Batak bentuknya tidak lagi aneh
seperti sebelumnya dan malahan yang diangkat adalah aksara Batak versi
zending. Kenyataan bahwa pada cap C tulisan Jawi kurang sempurna
dibandingkan cap B mungkin karena tulisan Jawi dianggap hanya se-
kadar hiasan untuk menunjukkan bahwa wawasan Singamangaraja tidak
terbatas pada Tanah Batak saja, dan bahwa beliau menganggap dirinya
setara dengan raja-raja lain di Sumatra, atau malahan lebih tinggi meng-
ingat dalam salah satu surat ia menyebut diri sebagai penguasa pulau
Sumatra!
Kendatipun ketiga cap Si Singamangaraja XII dibuat oleh seorang
tukang suku Batak di tanah Batak, stimulus untuk membuat cap itu
sendiri tentu berasal dari luar. Sudah pada tahun 1783 dilaporkan bahwa
orang Batak “menyembah sultan Minangkabau”34 (Marsden 1975:376) –
dalam kosmologi Batak Minangkabau, di samping Aceh, dan Barus,
memang dianggap sebagai salah satu sumber ilmu terutama. Namun
sesudah perang Padri maka pengaruh Minangkabau di daerah Batak
makin menyusut sehingga lebih besar kemungkinan bahwa stimulus
untuk membuat cap berasal dari pesisir barat atau dari Aceh.
Namun penulis tidak setuju bahwa cap Singamangaraja itu
pemberian Sultan Aceh. Alasan pertama sudah dikemukakan di atas,
yaitu huruf Jawi tentu lebih sempurna bila cap itu memang buatan Aceh.
Alasan kedua, cap-cap dari daerah Singkil dan Rantau Panjang, yang
memang pemberian Sultan Aceh, menyebut pemegangnya sebagai
‘khadam Sultan Aceh’ atau ‘wakil Raja Aceh’ (Annabel Gallop, email
09-03-2000). Karena Si Singamangaraja tidak melihat dirinya sebagai
wakil, apalagi khadam (budak) Aceh maka Sultan Aceh pun tidak punya
alasan untuk memberinya sebuah cap.
Namun demikian, tentu ada kemungkinan bahwa stimulus untuk
membuat cap berasal dari Aceh mengingat bahwa Si Singamangaraja
punya hubungan yang erat dengan berbagai daerah di Aceh. Selain Aceh,
Barus juga perlu dipertimbangkan sebagai sumber inspirasi. Orang Batak
cenderung untuk menyebut pesisir barat dari Singkil hingga teluk Tapian
Kesimpulan
Sudah lebih dari seratus tahun berlalu sejak Müller untuk pertama
kali membahas cap Singamangaraja. Sejak itu, cap Si Singamangaraja
dibahas dalam puluhan buku dan makalah, namun tanpa menghasilkan
sesuatu yang dapat menerangkan asal usul cap Si Singamangaraja. Para
penulis yang membahas cap Singamangaraja pada umumnya hanya
menulis ulang apa yang sudah ditulis sebelumnya.
Karena berulang-ulang dikumandangkan maka seolah-olah sudah
menjadi kenyataan bahwa cap Singamangaraja adalah pemberian Sultan
Aceh yang secara turun-temurun berada di tangan dinasti Singamanga-
raja. Setelah diteliti secara lebih mendalam ternyata kedua klaim tersebut
tidak dapat dibenarkan. Ketiga cap Singamangaraja ternyata bukan pem-
berian Sultan Aceh melainkan hasil kerajinan orang Batak sendiri. Sejak
ratusan tahun para pandai besi di tanah Batak terbiasa menghasilkan ber-
bagai produk kerajinan, namun tehnik pembuatan cap masih belum dike-
tahui sehingga harus melalui berbagai percobaan untuk menghasilkan
cap yang dianggap lebih memuaskan.
Kekurangan yang ada tidak hanya pada aksara Batak namun juga
pada tulisan Jawi (Arab Melayu) sehingga dapat dismpulkan bahwa
tukang besi yang ditugaskan menempah cap itu kurang mengetahui baik
tulisan Batak maupun huruf Jawi.
Mengingat bahwa ketiga cap menunjukkan tahap perkembangan dari
hasil yang serba kurang (cap A) hingga hasil yang lebih sempurna (cap
C), dan mengingat bahwa cap C ditempah dengan bantuan seorang lulus-
an sekolah zending maka dapat disimpulkan bahwa ketiga cap dibuat di
masa kerajaan Si Singamangaraja XII (1875–1907).
Aksara "modern" yang ditemukan di cap C juga digunakan pada su-
rat yang ditulis oleh penasehat Si Singamangaraja XII Manase Simorang-
196 Surat Batak
kir dan Heman Silaban sehingga terdapat kemungkinan bahwa mereka
terlibat dalam pembuatan cap C yang dibuat di sekitar tahun 1890-an.
Dengan memiliki sebuah cap yang merupakan lambang kerajaan
utama di alam Melayu, dan melalui gelar berian sendiri sebagai “raja
marga-marga Batak” dan bahkan “penguasa pulau Sumatra” maka Si
Singamangaraja XII tidak lagi melihat dirinya sebagai raja imam negeri
Sumba melainkan sebagai pembela kebudayaan dan identitas Batak
melawan imperialisme Belanda dan hegemoni budaya Barat.
}
Cap Singamangaraja 197
Gambar 30: Surat serta cap Raja Pane (Simalungun, tahun 1904)
Kepustakaan
Program, 1990.
Drakard, Jane. A Kingdom of words. Language and power in
Sumatra. New York, Oxford University Press, 1999.
Eggink, H.J. Angkola- en Mandailing-Bataksch - Nederlandsch
Woordenboek. Bandoeng, A.C. Nix & Co, 1936.
Fischer, H.W. Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums.
Band VIII. Batakländer. Mit Anhang: Malaiische Länder an
der Nordost-Küste Sumatras. [Sumatra II]. Leiden, E.J. Brill,
1914.
Fischer, H.W. Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums.
Band XIV. Sumatra Supplement. Leiden, E.J. Brill, 1920.
Francisco, Juan R. Philippine Palaeography. Quezon City,
Linguistic Society of the Philippines, 1973.
Gobée, E. Dr. Neubronner van der Tuuk's bezoek aan Si Singa
Mangaradja in 1853 van Bataksche zijde toegelicht.
Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkkundig
Genootschap 34. 1917, hal. 366–369.
Haberlandt, M. Ueber die Batta-Schrift. Mittheilungen der
Anthropologischen Gesellschaft in Wien 16. 1886, hal. 7–10.
Hariara, J.M. Poestaha parsiajaran manjaha Soerat Batak.
Lagoeboti, Zendelingsdrukkerij, 1928.
Hariara, J.M. Hata Batak maninggoring. Bagian rangsa ni andung
dohot hadatuon. Jakarta, Balai Pustaka, 1987.
Heine-Geldern, Robert. Le Pays deP'i-k'ien, Le Roi au Grand Cou
et Le Singa Mangaradja. Bulletin de l'Ecole Française
d'Extrême-Orient 49. 1959, hal. 361–404.
Heyne, K. De nuttige planten van Nederlandsch-Indië. Buitenzorg,
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel in
Nederlandsch Indië, 1927.
Iwabuchi, Akifumi. The people of the Alas Valley: a study of an
ethnic group of Northern Sumatra. Oxford, England ; New
York, Clarendon Press, 1994.
Joustra, Meint. Karo-Bataksch Woordenboek. Leiden, E.J. Brill,
1907.
Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 2.Teil. Berlin, G.
Reimer, 1847.
Korn, V.E. Batakse Offerande. Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde 109. 1953, hal. 32–51; 97-127.
Kozok, Uli., Batak Script and Literature. Sibeth, Achim, ed., The
Batak: Peoples of the Island of Sumatra. New York, Thames
and Hudson, 1991, hal. 100–114.
<Kepustakaan> 203