Anda di halaman 1dari 209

SURAT BATAK

SEJARAH PERKEMBANGAN TULISAN BATAK

Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak


dan
Cap Si Singamangaraja XII

Uli Kozok

Ecole française d'Extrême-Orient


KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
2009
Daftar Isi

SURAT BATAK .....................................................8


1 PENDAHULUAN ....................................................9
2 BAHASA DAN KESUSASTRAAN .......................13
2.1 BAHASA.....................................................................14
2.2 SASTRA .....................................................................16
2.3 HATA PODA ...............................................................17
2.4 PUNAHNYA SEBUAH TRADISI .................................19
3 BAHAN-BAHAN REFERENSI..............................21
3.1 PERKAMUSAN ..........................................................21
3.2 INVENTARISASI NASKAH .........................................22
3.3 NASKAH BATAK DI DUNIA MAYA ............................27
4 PENGADAAN NASKAH ........................................28
4.1 JENIS BAHAN NASKAH ............................................28
4.2 PROSES PEMBUATAN PUSTAHA ............................30
4.3 PROSES PEMBUATAN NASKAH BAMBU ................37
5 PUSTAHA DAN ISINYA ........................................39
5.1 CERITA ......................................................................42
5.2 ILMU HITAM ..............................................................42
5.3 ILMU PUTIH ...............................................................44
5.4 ILMU-ILMU LAINNYA ................................................46
5.5 OBAT (TAOAR, TAMBAR, DAON)..............................48
5.6 ILMU NUJUM ............................................................48
6 AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA ..............67
6.1 ASAL USUL AKSARA BATAK ....................................67
6.2 AKSARA BATAK MASUK PERCETAKAN ..................86
6.3 URUTAN AKSARA BATAK ........................................94
6.4 INA NI SURAT ............................................................96
6.5 ANAK NI SURAT ........................................................106
6.6 PENYIMPANGAN DARI AKSARA BATAK .................111
Daftar Isi 5

7 PEDOMAN MENULIS AKSARA BATAK ...........116


7.1 ANAK NI SURAT ........................................................116
7.2 AKSARA A DAN HA ...................................................117
7.3 AKSARA I DAN U .......................................................118
7.4 VOKAL GANDA & DERETAN VOKAL ........................118
7.5 NASALISASI ..............................................................119
7.6 KENDALA MORFEMIK ..............................................120
7.7 KONSONAN GANDA .................................................121
7.8 AWALAN -ER .............................................................122
7.9 LATIHAN ....................................................................122
8 TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN .............125
8.1 TRANSLITERASI I / PENYALINAN.............................126
8.2 RALAT ........................................................................129
8.3 TRANSLITERASI II / PENYUNTINGAN ......................129
8.4 TERJEMAHAN ...........................................................131
8.5 PENDOKUMENTASIAN .............................................132
8.6 CONTOH TRANSLITERASI........................................133
9 AKSARA KOMPUTER ..........................................137
9.1 KARO .........................................................................138
9.2 PAKPAK .....................................................................140
9.3 SIMALUNGUN ...........................................................141
9.4 TOBA .........................................................................143
9.5 MANDAILING .............................................................144
10 VARIAN-VARIAN AKSARA BATAK ...................147
11 JAWABAN ...............................................................151
CAP SINGAMANGARAJA XII ..........................163
KEPUSTAKAAN ...................................................201
6 Surat Batak

Prakata
Buku saya “Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak” yang
diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2009 sudah
lama habis terjual. Hal itu menunjukkan adanya minat untuk mempelajari
dan lebih mengetahui aksara Batak. Buku terbitan tahun 1999 itu
sekarang diterbitkan ulang dengan berbagai tambahan dan perbaikan.
Bagian yang mengalami revisi mendasar adalah bagian yang membahas
porhalaan (kalender Batak). Untuk itu, saya sangat berhutang budi pada
Bapak H.J.A. Promes, seorang ahli Batak asal Belanda, atas masukannya
yang sangat berharga. Selain itu pemulis juga menambahkan satu BAB
tentang cap Singamangaraja yang didasari atas artikel berbahsa Inggris
yang pernah diterbitkan di majalah Indonesia and the Malay World
(Kozok 2000c). Artikel itu disajikan kembali dalam bahasa Indonesia
setelah direvisi secara menyeluruh.
Seyogyannya dalam buku ini terdapat juga bagian buku mengenai
program komputerasi aksara Batak yang belakangan ini dikembangkan
oleh pengarang bekerjasama dengan Leander Seige. Akan tetapi karena
program tersebut bagaimanapun berada di Internet maka kami persilakan
para pembaca untuk singgah di laman untuk mengikuti perkembangan
aksara Batak yang terkini:

http://transtoba2.seige.net
serta
http://ulikozok.com
Daftar Isi 7
I

Surat Batak
1 PENDAHULUAN

Buku ini menguraikan tradisi dan sejarah tulisan Batak, terutama


aksara Batak, dan naskah Batak yang ditulis dengan surat (aksara) Batak.
Dengan demikian buku ini bukan pengantar teori filologi yang umum,
melainkan pengantar filologi Batak yang isinya terutama mencakup
dasar-dasar filologi Batak serta penerapannya. Dengan demikian ruang
lingkup karangan ini lebih bersifat praktek daripada teori dan dimaksud-
kan agar para mahasiswa Batakologi dapat secara ringkas dan praktis
memperoleh pengetahuan yang mempersiapkannya untuk membaca dan
mentransliterasi (mengalihaksarakan) naskah-naskah Batak. Pembaca
yang ingin mengetahui secara lebih mendalam studi filologi Indonesia
serta teorinya dipersilakan untuk membaca buku-buku yang telah ada,
khususnya Pengantar Teori Filologi (Baried et al. 1994) dan Principles
of Indonesian Philology (Robson 1988).
Para filolog yang meneliti naskah Batak telah banyak menyumbang-
kan pengetahuan tentang kesusastraan Batak sebagaimana tertulis di kulit
kayu, bambu, dan tulang kerbau. Hampir semua karangan para ahli terse-
but tertulis dalam bahasa asing – bahasa Jerman, Inggris, dan Belanda,
dan malahan seorang filolog Batak asli, Dr. Liberty Manik, memilih me-
nulis dalam bahasa Jerman. Tulisan mengenai naskah Batak dalam baha-
sa Indonesia masih sangat langka sehingga banyak orang kurang menge-
tahui tentang isi buku-buku kulit kayu yang sangat dibanggakan orang
Batak itu. Oleh sebab itu dimasukkan beberapa BAB yang menguraikan
baik isi pustaha dan naskah-naskah lainnya maupun proses pengadaan
naskah tersebut.
Para penulis buku bertopik kebudayaan Batak pada umumnya tidak
luput memasukkan satu BAB, atau paling tidak sebuah tabel yang me-
10 Surat Batak

muat surat Batak1. Hal ini menunjukkan bahwa orang Batak bangga atas
prestasi nenek moyangnya yang telah mampu menciptakan sebuah tulis-
an sendiri dan mengarang ribuan naskah yang kini tersimpan di museum-
museum mancanegara. Sayangnya, tidak satu pun dari susunan aksara
Batak tersebut memberikan gambaran yang jelas dan lengkap. Hal ini di-
akibatkan oleh beberapa faktor, pertama karena aksara Batak sudah lama
tidak digunakan lagi, dan kedua karena bentuk-bentuk aksara Batak di-
pengaruhi oleh varian-varian aksara yang mulai akhir abad ke-19 sudah
diangkat untuk mencetak buku-buku yang bersifat keagamaan dan pendi-
dikan untuk keperluan zending dan pengajaran. Sebagai hasil dari faktor-
faktor tersebut, maka apa yang dianggap sebagai aksara baku sering me-
rupakan hasil penyimpangan. Kendatipun akasara Batak kini dijadikan
pelajaran wajib bagi murid SD dan SMP, mutu buku pelajaran masih
sangat kurang. Buku pelajaran bahasa daerah (Toba) misalnya yang di-
sarankan oleh Kantor Wilayah Provinsi Sumatra Utara Departemen Pen-
didikan dan Kebudayaan sebagai buku bacaan di sekolah lanjutan tingkat
pertama penuh dengan kesalahan dan kejanggalan.
Keadaan di perguruan tinggi juga memprihatinkan. Sebagaimana te-
lah dialami pengarang saat menjadi dosen luar biasa di jurusan sastra
daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara mahasiswa pada
umumnya tidak dapat membaca sebuah naskah Batak karena surat Batak
yang telah mereka pelajari ternyata kurang lengkap dan kerap kali ma-
lahan salah. Salah satu penyebab adalah bahwa sampai sekarang belum
ada buku yang secara lengkap membahas seluk-beluk kelima surat Batak
dengan segala variasinya. Diharapkan bahwa buku ini dapat mengisi ke-
kosongan tersebut.
Buku ini terutama bermaksud untuk mempersiapkan mahasiswa dan
khalayak yang menaruh minat pada budaya Batak agar mereka dapat
membaca dan mengalihaksarakan naskah-naskah Batak. Karangan ini
juja merangkap sebagai pedoman untuk menulis surat Batak – baik pakai

1. Lihat misalnya (Marbun dan Hutapea 1987; Sarumpaet 1994; Sihombing 1986;
Situmorang 1983; Tampubolon 2002a; Tampubolon 2002b).
Pendahuluan 11

tangan maupun dengan komputer dengan menggunakan aksara Batak


yang dikomputerkan.
Bahan-bahan untuk penulisan buku ini berasal dari berbagai sumber
melalui penelitian kepustakaan, penelitian lapangan, dan terutama dari
pengalaman penulis yang telah lima belas tahun berkecimpung di bidang
sastra Batak dan telah membaca dan mentransliterasikan ratusan naskah
Batak. Penelitian khusus untuk penulisan buku ini dilakukan selama tiga
minggu di Museum für Völkerkunde Berlin, dan di Perpustakaan Nasio-
nal Republik Indonesia di Jakarta. Jumlah naskah yang dievaluasi dan
dipetakan dalam upaya perbandingan aksara mencapai kira-kira 200 nas-
kah, kira-kira separuh di antaranya adalah buku kulit kayu (pustaha) dan
sisanya merupakan naskah yang ditulis di atas bambu, tulang, dan kertas.
Kedua ratus naskah tersebut berasal terutama dari daerah Simalungun,
Toba, dan Angkola-Mandailing. Evaluasi naskah Karo berdasarkan kira-
kira 200 naskah Karo telah dilakukan penulis waktu menulis disertasinya
(Kozok 2000a), sedangkan naskah Pakpak-Dairi memang sangat langka,
dan penulis hanya menemukan sekitar lima naskah saja yang jumlahnya
tentu belum cukup untuk sebuah evaluasi yang mendalam. Oleh karena
itu, hasilnya yang menyangkut surat Batak Pakpak-Dairi bersifat se-
mentara saja.

Definisi istilah ‘Batak’


Kita tidak mungkin menulis mengenai ‘Batak’ tanpa memberikan
definisi dulu dengan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Dewasa
ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang dipakai bila merujuk kepada
kelompok etnis Batak selain Toba, yaitu Karo, Pakpak-Dairi,
Simalungun serta Angkola-Mandailing. Keempat etnis tersebut sekarang
jarang menyandang predikat Batak, namun di zaman prakolonial, dan
juga masih di awal penjajahan Belanda, mereka lazim menyebut diri
sebagai Batak (Mandailing sudah mulai dijajah pada tahun 1835, tetapi
kebanyakan daerah Batak baru menjadi teritorial pemerintahan kolonial
pada tahun 1904 atau 1907). Salah satu alasan maka predikat Batak kini
jarang dipakai oleh keempat etnik tersebut berkaitan dengan kenyataan
bahwa orang Toba cenderung menyebut diri sebagai Batak dan bukan
12 Surat Batak

sebagai Toba. Dengan demikian maka Batak sering dianggap sinonim


dengan Toba.
Jadi mengapa orang Batak Toba lebih suka menggunakan predikat
Batak ketimbang Toba? Sebabnya ialah karena "Toba" sebenarnya nama
daerah dan bukan nama suku bangsa. Pada intinya Toba merujuk pada
dua daerah saja, yaitu Toba Humbang dan Toba Holbung, sementara
Habinsaran, Samosir, Silalahi, Silindung, Uluan, dan beberapa daerah
kecil lainnya sebenarnya tidak termasuk daerah Toba. Akan tetapi karena
kesamaan dari segi bahasa dan budaya penduduk daerah-daerah itu lazim
disebut etnis Toba, terutama oleh orang luar (orang Karo misalnya
menyebutnya kalak Teba ‘orang Toba’), dan kemudian juga oleh para
ahli bahasa dan antropologi. Karena sampai sekarang, banyak orang
Samosir masih tetap merasa janggal bila mereka disebut Toba, dan lebih
suka menggunakan istilah Batak saja.
Buku ini mengenai aksara Batak, yang dalam bahasa-bahasa Batak
disebut Surat Batak. Sekarang sistem tulisan yang ada di Sumatra Utara
suka dibedakan antara aksara Toba, Karo, dsb, tetapi dulu semua orang
Batak, termasuk Karo, Simalungun, dan Mandailing, menggunakan
hanya satu istilah: surat Batak.
Oleh karena itu, dan demi menjaga kesederhanaan tulisan ini, istilah
‘Batak’ digunakan bila merujuk kepada semua sub-etnis ‘Batak’, se-
dangkan istilah Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba dan Angkola-
Mandailing digunakan bila merujuk pada suatu kelompok sebagaimana
telah ditunjukkan pada gambar di halaman berikut.

|
2 BAHASA DAN KESUSASTRAAN

Gambar 1: Peta Linguistik Sumatra Utara


14 Surat Batak

2.1 Bahasa
Kelima suku Batak memiliki
Proto-Batak
bahasa yang satu sama lain mem-
punyai banyak persamaan. Namun
demikian, para ahli bahasa membe-
PSB
dakan sedikitnya dua cabang baha-
PNB
sa-bahasa Batak yang perbedaan-
PT
nya begitu besar sehingga tidak
PAM
memungkinkan adanya komunikasi
Alas Karo Dairi Si To An Ma
antara kedua kelompok tersebut.

Gambar 2: Rumpun Bahasa Batak


Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan,
sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Baha-
sa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri
di antara rumpun utara dan rumpun selatan, namun menurut ahli bahasa
Adelaar (1981) secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang da-
ri rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum ba-
hasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk.
Semua dialek bahasa Batak berasal dari satu bahasa purba (proto-
language) yang sebagian kosa katanya dapat direkonstruksikan.2 Li-
nguistik historis komparatif adalah bidang linguistik yang menyelidiki
perkembangan bahasa dari masa ke masa serta menyelidiki perbandingan
satu bahasa dengan bahasa lain. Dengan metode tersebut dapat diketahui
bahwa misalnya kata untuk bilangan 3 (tiga) dalam bahasa Batak Purba
adalah tělu. Bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh rumpun Batak
Utara, sedangkan rumpun Batak Selatan mengalami pergeseran dari [ə]
menjadi [o] sehingga tělu berubah menjadi tolu.3 Dengan cara perban-

2. Bahasa purba adalah sebuah bahasa yang menjadi perintis dari bahasa yang saling
berhubungan yang membuat sebuah rumpun bahasa. Bahasa purba tersebut dapat
direkonstruksikan dengan metode komparatif yang dapat menentukan kekerabatan
bahasa-bahasa dengan membandingkan bentuk dari kata-kata seasal.
3. Dalam hal ini rumpun utara yang melestarikan bentuk aslinya, namun banyak contoh
lainnya di mana bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan (PBS).
Bahasa dan Kesusastraan 15

dingan yang demikian, linguistik historis komparatif dapat menentukan


hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa yang seasal.
Adapun bahasa Alas secara linguistik dapat digolongkan dalam rum-
pun bahasa Batak Utara, namun dari segi budaya suku Alas tidak terma-
suk kebudayaan Batak. Ada kemungkinan bahwa di masa dahulu orang
Alas juga pernah menggunakan sebuah varian surat Batak mengingat
bahwa dari segi budaya, sistem kekerabatan, dan terutama dari segi ba-
hasa, Alas masih cukup banyak memiliki persamaan dengan Batak,
khususnya Batak Karo (Iwabuchi 1994). Karena orang Alas sudah lama
memeluk agama Islam, maka huruf Jawi dipakai untuk surat-menyurat
sebelum abjad Latin diperkenalkan.
Walaupun bahasa Karo dan bahasa Simalungun merupakan dua ba-
hasa yang begitu berbeda sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain, di
daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada masalah komuni-
kasi karena di situ masing-masing bahasa memiliki banyak kata yang
dipinjam dari seberang perbatasan. Dan bukan saja dari segi bahasa, dari
segi budaya pula tidak ada perbedaan yang mencolok di antara kampung-
kampung Simalungun dan Karo di daerah perbatasan. Demikian juga
halnya di daerah perbatasan antara bahasa/budaya Karo dan Pakpak atau
Pakpak dan Toba.
Bahasa Toba, Angkola, dan Mandailing tidak banyak berbeda. Ma-
lahan Angkola dan Mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai
sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa
Angkola-Mandailing saja. Dengan adanya kesinambungan linguistik
antara suku-suku Batak, tidak mengherankan bahwa tiada juga perbeda-
an-perbedaan yang jelas antara varian-varian surat Batak. Secara umum
dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat Batak, ialah Karo, Pakpak,
Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Namun, kita harus meng-
ingat bahwa baik dari segi bahasa, budaya maupun tulisan tidak selalu
ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku Batak tersebut karena
kelima suku Batak itu mempunyai induk yang sama.
16 Surat Batak

2.2 Sastra
Sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat
dalam bentuk fabel, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-
torhanan, turi-turian, huling-hulingan – semua itu tidak pernah ditulis,
tetapi diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Walaupun orang
Batak sudah berabad-abad memiliki tulisan tersendiri, mereka tidak per-
nah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Membuat
catatan, mengeluarkan dokumen-dokumen, mencatat utang-piutang atau
pengeluaran rumah-tangga, mencatat silsilah marganya – semuanya ini
tidak pernah dilakukan dengan menggunakan pena melainkan secara li-
san saja. Orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk tiga tujuan:
1. Ilmu kedukunan (hadatuon)
2. Surat-menyurat (termasuk surat ancaman)
3. Ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandai-
ling).
Tiga perempat naskah membahas hal-hal yang berkaitan dengan ilmu
kedukunan atau hadatuon. Yang berhak untuk menulis perihal hadatuon
adalah para dukun (datu). Pengetahuannya terutama ditulis pada buku
kulit kayu, tetapi kadang-kadang mereka juga menggunakan bambu atau
tulang kerbau.
Diperkirakan terdapat sekitar 1.000 hingga 2.000 pustaha yang kini
disimpan dalam koleksi-koleksi museum atau perpustakaan di mancane-
gara, terutama di Belanda dan Jerman. Sebuah koleksi yang besar juga
terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta.
Pustaha dan isinya akan diteliti dengan lebih mendalam pada BAB ber-
ikut.
Tidak semua naskah Batak ditulis oleh para datu. Dalam hampir
setiap koleksi terdapat surat yang ditulis oleh orang biasa, atau seorang
raja. Juga surat ancaman (T,S pulas, K musuh běrngi) sering ditemu-
kan. Surat seperti itu mengandung ancaman terhadap pihak yang mem-
perlakukan si penulis secara tidak wajar, misalnya karena kecurian ker-
bau atau upah yang tidak dibayar. Di banyak daerah, terutama Karo, Si-
malungun, Angkola dan Mandailing banyak terdapat ratapan (K bilang-
bilang, S suman-suman, M andung) yang membahas penderitaan si pe-
Bahasa dan Kesusastraan 17

nulis yang terbuang oleh sanak saudara, kematian orang tua atau kerabat
lainnya serta juga percintaan yang gagal. Bahan yang dipakai untuk su-
rat, surat ancaman, serta ratapan biasanya bambu. Di Karo ratapan terse-
but ditulis pada sebuah ruas bambu yang diberi tutup dan dipakai sebagai
tempat kapur sirih (tagan pěrkapurěn) atau tempat tembakau (tagan
pěrtimbakon). Di Simalungun, di samping tempat kapur sirih juga par-
lilian (tempat untuk menyimpan lidi yang dipakai untuk bertenun) sering
ditulisi ratap-tangis, sedangkan di Angkola dan Mandailing bambu yang
panjangnya bisa mencapai empat atau lima ruas biasanya dipakai untuk
menulis sebuah andung. Ratap-tangis andung juga dikenal di Toba dan
Pakpak, tetapi hanya sebagai tradisi lisan saja.
Kebiasaan menulis surat, surat ancaman dan ratap-tangis ini menun-
jukkan bahwa di zaman dulu bukan saja sang datu bisa menulis dan
membaca. Kemungkinan besar bahwa angka keberaksaraan di zaman
prakolonial telah mencapai 30–50 persen dari kaum laki-laki.
Kendati demikian, hanya sang datu-lah yang pandai menulis pustaha.
Mereka adalah penulis profesional dan mereka juga merupakan lapisan
penduduk dengan mobilitas yang paling tinggi. Seorang murid (sisean)
sering merantau jauh agar dapat berguru kepada seorang datu yang
terkenal. Dalam pustaha Perpustakaan Nasional, No. D 2 misalnya,
disebut bahwa penulis pustaha tersebut yang berasal dari Pangaribuan di
daerah Habinsaran, merantau sampai ke dataran tinggi Karo untuk bergu-
ru pada seorang datu terkenal yang juga menjadi raja (sibayak) di kam-
pung Kuta Bangun. Mobilitas yang sangat tinggi ini mungkin juga meru-
pakan salah satu sebab mengapa kita sering dapat menjumpai kata-kata
dan aksara-aksara dari daerah lain di dalam sebuah pustaha.

2.3 Hata Poda


Dalam menulis sebuah pustaha, para datu menggunakan sebuah
ragam bahasa yang lazim disebut hata poda. Kata poda (pědah di dialek
utara) dalam bahasa sehari-hari diartikan ‘nasehat’, tetapi dalam pustaha
artinya lebih mendekati ‘instruksi’ atau ‘petunjuk’. Ragam hata poda
yang hanya dipakai di pustaha ini, merupakan sejenis dialek kuno
18 Surat Batak

rumpun bahasa Batak Selatan dan banyak bercampur dengan kata-kata


yang dipinjam dari bahasa Melayu. Karena kekunoannya, dialek tersebut
juga menjamin bahwa hanya seorang datu yang telah mempelajari ragam
bahasa ini dapat mengerti isi pustaha. Kerahasiaan ini merupakan salah
satu sebab mengapa isi pustaha sangat sukar dimengerti – petunjuk-pe-
tunjuk yang diberikan pada umumnya hanya dapat dipahami oleh sese-
orang yang sudah memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah
yang dibicarakan.
Walaupun seorang datu harus menguasai bahasa poda sebelum ia
mulai menyusun sebuah pustaha, hal itu tidak berarti bahwa bahasa yang
dipakai di pustaha-pustaha adalah murni hata poda. Tentu banyak kata
dari masing-masing bahasa daerah ikut memperkaya bahasa yang dipakai
dalam pustaha. Tetapi ada pula banyak naskah yang kalau dilihat dari
segi bahasa, tempat asalnya tidak dapat diketahui karena ditulis dalam
ragam hata poda tersebut.
Standardisasi yang dilakukan dalam penulisan pustaha seperti halnya
menggunakan bahasa poda sebagai ragam bahasa penulisan pustaha,
juga terdapat pada tulisannya. Jika seorang datu Karo misalnya menulis
sebuah pustaha, ia cenderung untuk mengubah aksara Karo sedemikian
rupa hingga tampak lebih selatan. Untuk mencapai itu, ia akan menghin-
darkan penggunaan diakritik e-pepet (kěběrětěn) dan menggantinya
dengan diakritik /o/ (kětolongěn). Karena keseragaman baik bahasa mau-
pun tulisan, bentuk-bentuk aksara sebagaimana terdapat dalam sebuah
pustaha tidak selalu mewakili bentuk-bentuk aksara yang biasanya dipa-
kai di daerah asal datu yang mengarang pustaha tersebut. Hal itu dapat
terjadi bukan saja karena kecenderungan untuk menyesuaikan tulisan
dengan bentuk selatan, tetapi juga karena para datu sering memperoleh
pengetahuannya, termasuk kepandaian membaca dan menulis, dari
seorang datu dari lain daerahnya. Oleh sebab itu, sebuah perbandingan
aksara seperti dilakukan di BAB 6 sebaiknya dilakukan berdasarkan
naskah-naskah bambu dan bukan pustaha agar mendapatkan sebuah
gambaran yang lebih akurat.
Sebagai contoh ragam hata poda, saya berikan di sini beberapa kata
yang lazim dipakai dalam penulisan sebuah pustaha:
Bahasa dan Kesusastraan 19

Tabel 1: Ragam Hata Poda

Hata Poda Batak Toba Batak Karo Melayu


jaha molo adi jika
purba habinsaran kěbincarěn timur
dongan dohot ras dengan
turun tuat, susur susur turun
inon on enda ini
lobe jolo lěbe dulu
bajik uli uli bajik
dumatang ro rěh datang
da- (pasif) di- i- di-

Daftar ini masih dapat diperpanjang dengan puluhan atau bahkan le-
bih dari seratus kata lainnya. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut
mengenai hata poda dianjurkan untuk membaca karya Sarumpaet
(1982), Hariara (1987), atau merujuk pada kamus-kamus bahasa Batak,
terutama kamus Van der Tuuk (1861) dan Warneck (1977).
Dari beberapa contoh tersebut menjadi jelas bahwa idiolek poda ter-
utama berdasarkan rumpun bahasa Batak Selatan dengan pengecualian
kata lobe yang diambil dari rumpun bahasa Batak Utara. Selain itu juga
tampak banyaknya kata pinjaman dari bahasa Melayu seperti jaha,
dongan, turun, bajik, d=um=atang, dan juga dari bahasa Sanskerta
(purba).

2.4 Punahnya sebuah tradisi


Waktu ahli bahasa Belanda Herman Neubronner van der Tuuk meng-
adakan perjalanannya ke Sipirok pada tahun 1852, beliau telah mencatat
bahwa daerah tersebut “sangat kekurangan atas pustaha, datu, dan babi”
sebagai akibat masuknya agama Islam ke daerah tersebut.4 Enam tahun

4. “Een algemeene schaarschte in poestahas, datoes en varkens, welke laatste bestand-


20 Surat Batak

sebelumnya, Willer, seorang civiel gezaghebber (pegawai pamongpraja)


di Mandailing, juga sudah menulis bahwa di daerah Pertibi (Angkola)
tidak lagi terdapat pustaha, sedangkan di Mandailing sudah menjadi sa-
ngat jarang. Dijelaskannya bahwa kaum Padri berusaha sedapat-dapatnya
untuk memusnahkannya.5
Ternyata bukan kaum Padri saja yang benci pada produk-produk para
datu. Penginjil-penginjil Jerman bersama dengan pendeta-pendeta pribu-
mi memilih jalan yang sama pula dan secara besar-besaran mereka mem-
bakar pustaha serta obyek-obyek "kekafiran" lainnya.6 Pada tahun 1920-
an agama Kristen sudah memasuki daerah-daerah pedalaman termasuk
Samosir, Dairi serta dataran tinggi Karo dan Simalungun. Walaupun ke-
banyakan penduduk di daerah tersebut saat itu masih bertahan pada aga-
ma nenek moyangnya, boleh dipastikan bahwa pada waktu itu sudah
hampir tidak ada lagi datu yang menulis pustaha.
Pada saat itu juga, tidak ada lagi buku, baik terbitan zending maupun
pemerintah, yang dicetak dengan menggunakan aksara Batak. Setahu
saya buku terakhir yang dicetak dalam aksara Batak adalah Porgolat-
anta: Buku sidjahaon ni anak sikola karangan Arsenius Lumbantobing
(1916) yang terbit di Balige pada tahun 1916, dan naskah-naskah asli
yang masih ditulis setelah tahun itu jumlahnya sangat sedikit sekali.

deelen van de Battaksche gemeente voor den invloed van het Islamisme de vlugt
hebben moeten nemen.” Dikutip dari Voorhoeve (1927:314).
5. “Wat Pertibie en Mandheling betreft, kan ik verzekeren, dat in eerstgenoemd land-
schap geen poestaha's hoegenaamd zijn te verkrijgen, en zij in het laatstgenoemde
hoogst zeldzaam zijn te vinden. De Padries hebben deze boeken overal met veel
godsdienstijver opgespoord en verbrand, de bezitters daarvoor hooge boeten afge-
perst; zij gebruiken hier hetzelfde argument als Omar bij de Alexandrijnsche
boekerij.” (Willer 1846:391)
6. Penginjil Meerwaldt (1922:295) misalnya menulis: “De boeken door de datoe's met
zooveel opoffering van tijd en moeite geschreven, zij dienden hen, die, gelijk wij in
Hand. 19 : 19 lezen, ijdele kunsten pleegden, en waren dus rijp, om, evenals daar, ten
vure gedoemt te worden.”
3 BAHAN-BAHAN REFERENSI

3.1 Perkamusan
Kebanyakan kamus bahasa-bahasa Batak masih berbahasa asing –
Belanda atau Jerman. Berkat upaya Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sudah ada beberapa
kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia, tetapi kebanyakan masih belum
memenuhi standar. Dibandingkan dengan kamus asing, kamus-kamus
keluaran Pusat Bahasa pada umumnya kurang lengkap, dan juga sangat
kekurangan dari segi metodologi penyajian data. Hal itu menjadi jelas
bila kita menyimak kamus Karo (Siregar et al. 1985), Simalungun
(Zubeirsyah 1985), Toba (Tambunan 1977) dan Angkola-Mandailing
(Siregar 1977). Keakuratan data keempat kamus tersebut tidak terlalu
dapat diandalkan dan kurang bermanfaat sebagai referensi sehingga kita
masih tetap harus menggunakan kamus-kamus asing.
Kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia yang lebih baik justru
dibuat oleh orang yang bukan akademik. Kamus Pakpak-Dairi – Indone-
sia yang disusun oleh T. R. Manik (1977) cukup bermutu. Sayang sekali
kamus tersebut diterbitkan oleh Pusat Bahasa tanpa memberi kesempatan
kepada penyusun untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi
selama proses penyuntingan. Japorman E. Saragih (1989) telah menyu-
sun kamus Simalungun–Indonesia yang sederhana tetapi sangat berguna
untuk melengkapi kamus Simalungun–Simalungun yang dikarang oleh
Wismar Saragih (1936). Salah satu contoh kamus Batak – Indonesia
yang bermutu adalah Kamus Toba – Indonesia yang disusun oleh J.P.
Sarumpaet (1994). Kamus ini sangat berguna terutama karena kosakata-
nya yang kontemporer, tetapi kurang bermanfaat bagi seorang filolog
yang meneliti naskah-naskah lama sehingga kita masih tetap tergantung
pada kamus Van der Tuuk dan Warneck.
22 Surat Batak

Setelah lebih dari seratus tiga puluh tahun, kamus Van der Tuuk ma-
sih merupakan referensi yang sangat penting bagi bahasa Toba, Dairi,
dan Angkola-Mandailing (Tuuk 1861). Tidak kalah penting adalah
kamus Toba – Jerman yang disusun oleh Warneck dan, dalam edisi
keduanya, dilengkapi oleh Winkler dengan sejumlah kata khas hadatuon
yang kerap terdapat dalam pustaha (Warneck 1906; 1977).
Untuk bahasa Angkola-Mandailing, selain kamus Van der Tuuk ma-
sih ada kamus Angkola-Mandailing – Belanda yang disusun oleh Eggink
(1936).
Untuk bahasa Pakpak-Dairi, selain kamus Van der Tuuk yang kurang
lengkap memuat kata-kata Pakpak-Dairi, hanya ada kamus Pakpak-
Dairi – Indonesia yang disusun oleh Tindi Raja Manik (1977).
Karena pendudukan Jepang maka upaya P. Voorhoeve untuk menyu-
sun kamus Simalungun – Belanda tidak pernah rampung. Kamus-kamus
Simalungun yang ada semua berbahasa Indonesia.
Kamus Karo-Belanda pertama disusun oleh misionaris M. Joustra
(1907). Kamus tersebut disusun dalam aksara Batak. Kemudian J.H.
Neumann (1951) yang juga menjadi misionaris zending Belanda di
Tanah Karo, menyusun sebuah kamus Karo-Belanda beraksara Latin.
Dalam kamus tersebut, semua lema kamus Joustra dimasukkan sehingga
yang pertama tidak dibutuhkan lagi sebagai referensi.

3.2 Inventarisasi Naskah


Tugas seorang filolog adalah untuk menguraikan sebuah naskah
sedemikian rupa sehingga naskah tersebut tersedia dalam bentuk yang
dapat dibaca dan dipahami oleh kalangan yang lebih luas. Karena nas-
kah-naskah Batak sering sulit dimengerti dan juga karena faktor lainnya
(kerusakan atau hilangnya bagian sebuah naskah misalnya) biasanya kita
mesti membaca beberapa naskah dari jenis yang serupa untuk dapat me-
mahami isi naskah yang sedang dipelajari. Katakanlah seseorang ingin
meneliti surat-menyurat antara penginjil Nommensen dan raja-raja Toba.
Sudah barang tentu peneliti tersebut akan merasa kurang kalau hanya
membahas satu atau dua naskah karena informasi yang diperolehnya ti-
dak cukup. Maka ia akan berusaha untuk mencari sebanyak-banyaknya
Bahan-Bahan Referensi 23

naskah yang dapat dipelajarinya. Untuk itu ia perlu mengetahui di mana


saja tersimpan surat-surat seperti ini. Untuk itu, tersedia sejumlah buku
referensi.
1. Manik, Liberty. Batak-Handschriften. Vol. XXVIII, Verzeichnis
der orientalischen Handschriften in Deutschland. Penyunting: W. Voigt.
Wiesbaden: Franz Steiner Verlag 1973.
Katalog ini adalah salah satu referensi yang terpenting yang memuat
semua naskah Batak yang ada di Jerman, berjumlah sekitar 500 naskah;
dilengkapi dengan suplemen oleh Theodore G.Th. Pigeaud dan P. Voor-
hoeve berjudul Handschriften aus Indonesien: Bali, Java und Sumatra.
Vol. XXVIII, 2, Verzeichnis der orientalischen Handschriften in
Deutschland; disunting oleh D. George. Stuttgart: Franz Steiner Verlag
Wiesbaden 1985. Kedua katalog ini berbahasa Jerman.
2. Voorhoeve, Petrus. Codices Batacici. Codices Manuscripti XIX.
Leiden: Universitaire Pers 1977.
Deskripsi dari sekitar dua ratus naskah yang tersimpan di Perpusta-
kaan Universitas Leiden, termasuk koleksi-koleksi Van der Tuuk dan
Ophuijsen. Karangan yang berbahasa Belanda ini merupakan salah satu
sumber yang sangat penting. Di Universiteitsbibliotheek Leiden terdapat
juga ribuan lembar berisi transliterasi dan deskripsi ratusan naskah Batak
dari puluhan koleksi mancanegara. Bahan yang sangat berharga ini di-
kumpulkan oleh Voorhoeve selama puluhan tahun. Koleksi tersebut telah
diinventariskan oleh P. Voorhoeve dan Uli Kozok (1993).
3. Voorhoeve, Petrus. A catalogue of the Batak manuscripts in the
Chester Beatty Library. Dublin: Hodges Figgis & Co.Ltd. 1961.
Penguraian yang sangat teliti dan luas atas 51 naskah koleksi Per-
pustakaan Chester Beatty di Dublin, Irlandia. Naskah yang dibahas seca-
ra amat teliti adalah naskah 1101 karena pustaha Karo ini merupakan
salah satu dari hanya beberapa pustaha yang menjelaskan cara pembuat-
an dan penggunaan tunggal panaluan. Seluruh teks pustaha tersebut
ditransliterasikan dan bagian-bagian yang kurang lengkap dapat dileng-
kapi dengan mengambil teks dari dua naskah Karo lainnya yang juga
bertopik tunggal panaluan. Katalog ini dilengkapi dengan suplemen oleh
24 Surat Batak

P. Voorhoeve berjudul “Supplement to the Batak Catalogue. The Chester


Beatty Library” yang dimuat di majalah Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde 124 (3) 1968.
4. Ricklefs, M.C., dan P. Voorhoeve. Indonesian Manuscripts in
Great Britain. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in
British Public Collections. Vol. 5, London Oriental Bibliographies.
Oxford: Oxford University Press 1977.
Karangan ini berupa katalog naskah-naskah Indonesia, termasuk pu-
luhan naskah dari daerah Batak yang ada di berbagai museum dan per-
pustakaan di Britania Raya. Katalog tersebut dilengkapi dengan Addenda
et Corrigenda yang dimuat di Bulletin of the School of Oriental and Af-
rican Studies, University of London, Vol. XLV, Part 2, 1982.
5. Voorhoeve, Petrus. Catalogue of Indonesian Manuscripts. Part 1,
Batak Manuscripts. Copenhagen: The Royal Library 1975.
Katalog berbahasa Inggris ini menguraikan dengan sangat teliti dan
luas isi 86 naskah Batak koleksi Perpustakaan Kerajaan Denmark.
Bagian pertama buku ini yang berjudul Comparative observations on
some typical designs in Batak manuscripts ditulis oleh Carl Schuster dan
membandingkan ornamen-ornamen yang lazim terdapat di dalam nas-
kah-naskah Batak (seperti bindu matoga dan bindu matogu, tapak raja
Suleman dsb.) dengan ornamen-ornamen di India dan juga luar India.
Bagian kedua katalog ini yang ditulis oleh Voorhoeve dibagi atas
enam bagian. BAB pertama yang berjudul “Mythology” berkaitan de-
ngan makhluk halus sangat berbahaya yang bernama Sirudang Gara yang
diuraikan di naskah BAT.1. BAB kedua berjudul “Aggressive Magic”
dan menguraikan teks-teks yang mengandungi ajaran ilmu gaib yang
bertujuan untuk memusnahkan musuh (songon, pangulubalang dsb.).
BAB ketiga berjudul “Protective Magic” terutama berisikan pagar dan
azimat serta ajaran untuk memperoleh kekebalan. BAB keempat berjudul
“Divination” (ramalan), BAB kelima berkaitan dengan tambar dan tawar
(obat-obatan), dan BAB keenam membahas beberapa naskah bambu dan
tulang seperti bilang-bilang (ratap-tangis), surat, dan pulas (surat ancam-
an).
Bahan-Bahan Referensi 25

Katalog ini dilengkapi dengan sebuah BAB tambahan yang meng-


andung transliterasi teks-teks yang diambil dari 22 pustaha dan yang ber-
kaitan dengan pengayauan (pemenggalan kepala orang). Perlu ditambah
di sini bahwa selama ini orang Batak hanya dikenal karena antropofagi-
nya (makan daging manusia), dan tidak ada tanda-tanda yang menunjuk-
kan bahwa pengayauan sebagaimana dikenal dari suku Dayak misalnya
pernah ada di tanah Batak. Teks-teks yang disajikan Voorhoeve mem-
buktikan bahwa pengayauan ternyata pernah juga dilakukan orang Batak.
6. Petrus Voorhoeve. Elio Modigliani’s Batak Books, Archivio per
l’Antropologia e la Etnologia Vol. CIX-CX, 1979–1980, Hal. 61–96
Kisah Elio Modigliani yang pernah dianggap oleh orang Batak seba-
gai utusan Raja Rum telah diceritakan oleh Sitor Situmorang dalam buku
“Guru Somalaing dan Modigliani ‘Utusan Raja Rom’. Sekelumit sejarah
lahirnya gerakan Ratu Adil di Toba” (Situmorang 1993a). Tokoh Itali
yang telah banyak mempengaruhi sejarah orang Batak membawa pulang
20 pustaha dan empat naskah bambu dari perjalanannya ke tanah Batak
pada tahun 1890 yang kini tersimpan di kota kelahirannya Firenze.
7. Poerbatjaraka, R. Ng., P. Voorhoeve, dan C. Hooykaas, Indo-
nesische Handschriften. Bandung 1950.
Katalog berbahasa Belanda ini antara lain juga memuat daftar dari
beberapa naskah Batak yang ada di Perpustakaan Nasional Republik In-
donesia.
8. Saragih, Japorman Edison, Pustaha-pustaha laklak dan surat-surat
buluh yang berasal dari daerah Batak, Sumatera Utara Perpustakaan
Nasional (stensilan) (Saragih 1973).
Daftar naskah Batak di Perpustakaan Nasional yang lebih lengkap
(namun banyak mengandung kesalahan) telah disusun oleh J. E. Saragih
yang dapat dibaca di ruangan naskah Perpustakaan Nasional. Daftar ini
juga sangat penting karena menunjuk kepada map berkode Vt. yang ber-
isi transliterasi-transliterasi sebagian besar naskah Batak yang ada di Per-
pustakaan Nasional. Transliterasi itu sangat berguna karena dibuat oleh
orang yang memiliki pengetahuan yang sangat mendalam mengenai isi-
isi pustaha. Perlu diingat bahwa transliterasi yang dibuat pada awal abad
26 Surat Batak

ini tidak merupakan transliterasi yang ilmiah, melainkan transliterasi


praktis yang tanpa memberi indikasi apa pun memperbaiki kesalahan
atau kekurangan yang ada pada naskah asli.
9. Haruki Yamamoto dan Andreas S. Lingga, “Catalogue of the
Batak Manuscripts in the Simalungun Museum.” Nampo-Bunka 17, No-
vember 1990:1–18
Artikel ini merupakan sebuah daftar inventaris yang memuat deskrip-
si oleh sembilan belas pustaha yang dimiliki Museum Simalungun di Pe-
matang Siantar.
Demikianlah daftar bahan-bahan referensi berupa daftar inventaris
beberapa koleksi. Daftar ini masih dapat dilengkapi dengan katalog in-
ventaris beberapa koleksi yang lebih kecil, antara lain Tenri Central
Library, Tenri, Jepang (Yamamoto 1992), Royal Art and History Muse-
ums di Brussels, Belgia (Persoons 1986), Perpustakaan John Rylands di
Manchester, Inggris (Voorhoeve 1951), Museum Antropologi (Museum
voor Volkenkunde) Leiden, Belanda (Fischer 1914; 1920), Linden-
Museum Stuttgart, Jerman (Kozok 2003) serta koleksi H.H. Bartlett,
pengarang The Labors of the Datu (Bartlett 1973), yang diinventariskan
oleh Voorhoeve (1980).
Sekilas pandang daftar ini bisa kelihatan mengagumkan. Hal ini ter-
utama berkat kegiatan Petrus Voorhoeve yang, mulai tahun 1927 sewak-
tu ia menerbitkan disertasinya berjudul Overzicht van de volksverhalen
der Bataks (Peninjauan terhadap cerita-cerita rakyat Batak) hingga pada
tahun 1996 ketika beliau menemui ajalnya, menekuni sastra lisan dan
filologi Batak. Sumbangan Voorhoeve pada filologi Batak memang luar
biasa. Dilahirkan di tahun 1899 di Vlissingen, provinsi Zeeland, negeri
Belanda, beliau mempelajari bahasa dan sastra Indonesia di Universitas
Leiden. Setelah tamat ia ditugaskan di Pematang Siantar sebagai taal-
ambtenaar (pegawai bahasa) dengan tugas untuk menyusun kamus Sima-
lungun yang tak pernah terbit karena sebagian besar bahan yang telah di-
kumpulkannya hancur terbakar di zaman Jepang. Beliau sendiri dikirim
ke Burma untuk bekerja paksa untuk mesin perang Nippon, sedangkan
isteri dan anak-anaknya diinternir di Jaranguda, Berastagi. Kembali ke
negeri Belanda ia menjadi kepala bagian pernaskahan di Perpustakaan
Bahan-Bahan Referensi 27

Universitas Leiden sampai mencapai usia pensiun. Masa jabatannya di


perpustakaan tersebut dan juga setelah pensiun merupakan masanya yang
paling produktif sehingga ia menerbitkan puluhan buku dan artikel
seputar bahasa dan sastra, dan terutama filologi Aceh, Batak, Jawa, dan
Sumatra bagian selatan.
Alangkah miskinnya filologi Batak kalau tidak ada orang ini yang
menyumbangkan seluruh jiwa dan raga pada dunia pernaskahan Nusan-
tara. Tetapi apakah dayanya seorang diri menghadapi ratusan bahkan
ribuan naskah yang terpencar di mancanegara. Hingga kini, belum ada
orang yang menghitung jumlah naskah Batak yang ada di Belanda yang
barangkali mencapai beberapa ratus atau bahkan seribu lebih. Naskah-
naskah yang ada di museum-museum terbesar seperti di Tropenmuseum
Amsterdam atau di Museum Geraldus van der Leeuwen, Groningen,
misalnya, tidak pernah diinventariskan sehingga pengetahuan kita
tentang koleksi-koleksi ini sangat minim. Demikian juga dengan naskah-
naskah yang ada di Austria (misalnya di Museum für Völkerkunde Wien,
Vienna) atau di berbagai koleksi lainnya di Eropa dan luar Eropa.

3.3 Naskah Batak di Dunia Maya


Salah satu masalah bagi mahasiswa Indonesia adalah bahwa lebih
dari 90% naskah-naskah Batak berada di luar negeri. Upaya "pengemba-
lian" naskah Batak ke tanah air telah dirintis oleh penulis melalui dunia
maya. Pranala (link) untuk mengakses situs internet adalah:
http://ulikozok.com
Dalam bilik tersebut terpajang sejumlah naskah Batak dari berbagai
koleksi luar negeri. Naskahnya dapat langsung dibaca di situ, didown-
load atau dicetak serta dibawa pulang untuk menghemat biaya.

|
4 PENGADAAN NASKAH

4.1 Jenis Bahan Naskah


Naskah-naskah Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan:
kulit kayu (laklak), bambu, dan tulang kerbau. Di antara 500 naskah
Batak yang ada di berbagai koleksi di Jerman, naskah kulit kayu dan
bambu yang paling banyak, yakni masing-masing sekitar 43%, sedang-
kan naskah tulang 12% dan naskah kertas hanya 2%. Kertas sudah ada di
Tanah Batak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi jarang
digunakan kecuali di sekolah-sekolah dan untuk menulis dengan huruf
Latin.
Tabel 2: Jenis-jenis naskah (di Jerman)

Ratapan Surat Surat Ancaman Hadatuon

250

200

150

100

50

0
Pustaha Bambu Tulang Kertas

Kulit kayu dapat diolah menjadi sebuah buku yang disebut pustaha
yang bentuk dan ukurannya bisa berbeda-beda. Pustaha yang sederhana
hanya terdiri dari laklak yang dilipat-lipat, dan tidak memiliki sampul
Pengadaan Naskah 29

kayu untuk menjilidnya, sedangkan pustaha yang mewah, sampulnya


(lampak) dapat memiliki ukiran yang indah sekali. Ukurannya pun dapat
berbeda sekali – dari pustaha yang kecil berukuran sekitar 3 x 5 cm
hingga pustaha besar yang ukurannya bisa mencapai 40 x 25 cm. Proses
pembuatan pustaha diuraikan di BAB berikut.
Tulang kerbau yang dipakai sebagai bahan tulis pada umumnya tu-
lang rusuk dan tulang bahu. Proses penulisan sama dengan di bambu
yakni dengan ujung pisau, dan bekas goresan pisau itu kemudian dihi-
tamkan.
Bambu adalah bahan yang sangat praktis karena dapat diperoleh ka-
pan dan di mana saja. Hampir semua jenis bambu dapat dipakai dan jenis
mana yang dipilih tergantung pada jenis naskah yang mau dihasilkan.
Naskah-naskah bambu yang paling panjang biasanya ditemukan di Ang-
kola dan Mandailing. Naskah bambu seperti itu yang panjangnya dapat
mencapai 5 ruas berukuran sekitar 1,5–2 meter dengan diameternya seki-
tar 5–8 cm biasanya dipakai untuk menulis sebuah ratapan (andung).
Naskah yang begini sangat berbeda dengan ratapan di Karo dan Simalu-
ngun yang hampir selalu ditulis pada tabung-tabung bambu yang dipakai
sebagai tagan pěrkapurěn (tempat kapur sirih), tagan pěrtimbakon (tem-
pat tembakau), dan di Simalungun juga sebagai parlilian (tempat
menyimpan lidi yang dipakai dalam bertenun). Bambu yang dipakai
untuk tagan pěrkapurěn biasanya jenis bambu yang kulitnya tipis dan
selalu dipakai satu ruas saja yang bukunya menjadi dasar tabung, sedang-
kan tutupnya terbuat dari kayu atau dipakai sumbat bambu. Tinggi
tabung tersebut antara 10 sampai 20 cm dan diameternya 2,5 hingga 4
cm. Tempat tembakau juga beruas satu dan diberi tutup dari kayu. Ting-
ginya sekitar 10–15 cm dengan diameter antara 7 dan 9 cm. Parlilian
hanya digunakan di Simalungun sebagai tempat untuk menulis sebuah
ratapan. Bambunya biasanya agak tinggi dengan ukuran sekitar 30 x 4
cm. Ketiga jenis tagan ini biasanya dihiasi dengan bermacam-macam
ornamen. Tempat-tempat lain yang terbuat dari bambu dan ditulisi ratap
tangis adalah tuldak (torak) dan běluat (suling).
Sekedar untuk melengkapi daftar ini masih dapat disebut naskah
yang ditulis di tali pinggang yang dipakai sebagai azimat terutama dalam
masa perang untuk menangkal peluru musuh. Sebuah tali pinggang bia-
30 Surat Batak

sanya terdiri atas sejumlah kepingan-kepingan tulang bersegi empat yang


dipotong dari tulang bahu kerbau. Masing-masing kepingan tulang diberi
dua lubang untuk memasang tali katun yang dipakai untuk mengikat
kepingan-kepingan tulang tadi.
Bahan tulis yang paling banyak digunakan di Jawa, Bali, dan Sula-
wesi yakni lontar tidak dipakai di Sumatra, dan demikian juga naskah
yang terbuat dari logam serta prasasti di batu-batu besar. Tradisi seperti
itu tidak pernah ada di tanah Batak, dan itu juga salah satu sebab meng-
apa kita tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai sastra Batak di
zaman pra-Eropa – maksudnya zaman sebelum naskah Batak yang per-
tama dibawa dari Sumatra ke Eropa yang terjadi pada akhir abad ke-18.
Semua naskah Batak terbuat dari bahan yang pada suhu yang panas dan
kelembaban udara yang tinggi di daerah yang beriklim tropis dan subtro-
pis tidak dapat bertahan lama.

4.2 Proses Pembuatan Pustaha


Kini, tradisi pembuatan pustaha sudah lama usai. Dan bukan pustaha
saja, demikian juga dengan naskah-naskah lainnya yang ditulis pada
ruas-ruas bambu atau di tulang-tulang rusuk kerbau. Sudah punah me-
mang, tetapi masih ada sisa-sisa yang bertahan walaupun dalam keadaan
yang menyedihkan dan memprihatinkan. Yang dimaksud adalah industri
cenderamata yang di samping berbagai jenis kitsch dan barang rongsok-
an juga menghasilkan obyek kesenian seperti debata hidup, tunggal
panaluan, dan juga naskah-naskah Batak untuk dijual pada wisatawan
lokal maupun mancanegara di pusat-pusat parawisata seperti Parapat dan
Kecamatan Simanindo, pulau Samosir.
Terutama naskah-naskah baru yang diciptakan cukup memprihatin-
kan. Para pembeli tidak bisa membaca surat Batak dan para penghasil
mengetahui hal itu. Konsekuensi yang logis adalah bahwa surat Batak
dipakai sebagai hiasan saja. Kebanyakan naskah (bambu maupun
pustaha) yang terjual di Medan, Parapat, Berastagi dan Samosir adalah
naskah tiruan yang "teksnya" hanya terdiri atas rantaian huruf-huruf yang
tidak berarti. Setelah dicek ke kampung pembuatannya seperti Sosor
Pengadaan Naskah 31

Tolong, sekitar lima kilometer dari Tomok, ternyata bahwa para pengra-
jin hanya bisa menulis beberapa huruf saja, tetapi tidak mengerti artinya.
Hasilnya adalah sebuah ‘naskah’ yang ‘teksnya’ dikarang oleh orang
yang buta huruf, yang kemudian dijual kepada masyarakat sebagai hasil
ciptaan budaya Batak.
Walaupun kebanyakan naskah yang dihasilkan sebagai cenderamata
sangat rendah nilainya, ternyata masih ada juga pengrajin naskah yang
memiliki ketrampilan dan dapat menghasilkan naskah yang lebih luma-
yan bobotnya. Sebagai contoh kami perkenalkan dua pengrajin yang
termasuk pada kategori tersebut.
Informan pertama berasal dari Lumban Dolok, Tomok. Teks-teks
pustaha yang dibuatnya diambil dari pustaha-pustaha asli yang pernah
dibacanya. Namun huruf yang digunakan merupakan huruf "baru" dan
bukan huruf asli seperti yang dipakai di pustaha-pustaha zaman dulu.
Pustaha-pustaha yang diciptakannya terkesan agak terburu-buru dan ku-
rang rapi.
Informan kedua, Nanti Sidabutar dari Siharbangan, Tomok, belajar
surat Batak dari ayahnya yang juga pernah menjadi pengrajin pustaha.7
Mendiang ayahnya juga menjadi datu yang masih menguasai sebagian
dari pokok-pokok yang dibahas di pustaha. Dia juga sering membaca
pustaha-pustaha asli. Teksnya kemudian disalin sehingga pustaha yang
dibuatnya mirip dengan pustaha yang asli. Hurufnya juga sangat menye-
rupai huruf yang lazim dipakai dalam pustaha asli.
Informan kedua ini kemudian kami mintai untuk memperagakan
langkah demi langkah proses pembuatan naskah. Perlu diingat bahwa
cara pembuatannya tidak sama dengan cara yang dipakai oleh para datu
seratus tahun yang lalu. Tentu sudah banyak yang berubah, tetapi dalam
banyak hal, proses pembuatannya masih hampir persis sama dengan da-
hulu kala. Jika perlu, keterangan narasumber dilengkapi dengan ketera-
ngan yang didapat dari studi kepustakaan.

7. Ternyata Nanti Sidabutar dan ayahnya yang sekarang sudah almarhum pernah juga
menjadi narasumber René Teygeler yang menulis bahwa tahun 1990 ia mengunjungi
sebuah keluarga di desa Siharbangan, Samosir (Teygeler 1993:595). Hal itu baru saya
ketahui beberapa bulan setelah pertemuan saya dengan Nanti Sidabutar.
32 Surat Batak

Pada hakikatnya, sebuah pustaha terdiri dari laklak dan lampak.


Laklak adalah "kertasnya", sedangkan lampak adalah sampul bukunya.
Laklak adalah kulit kayu alim, sebuah pohon yang tumbuh di kawasan
hutan dataran tinggi. Pohon alim (Latin: Aquilaria) banyak dijumpai di
daerah Barus hulu, di sekitar Pardomuan, Kab. Dairi, dan juga di daerah
Pulau Raja, Kab. Asahan, terutama di Kecamatan Bandar Pulau, tetapi
tidak terdapat di daerah yang padat penduduk seperti di Karo, Toba, Si-
lindung atau di Samosir. Kulit kayu dikupas dari pokoknya dalam kupas-
an yang panjangnya menurut narasumber kami dapat mencapai sampai
tujuh meter, dan lebarnya hingga 60 cm tergantung pada besarnya po-
hon.8 Namun hasil studi kepustakaan menunjuk bahwa ternyata ada
pustaha yang laklaknya mencapai 15 meter lebih. Pustaha yang sangat
panjang tersebut kini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden (Or.
3428) (Teygeler 1993:605). Kulit kayu pustaha tersebut masih utuh dan
tidak disambung-sambung seperti sering terdapat pada pustaha lain.
Kalau tidak terdapat potongan laklak yang cukup panjang, dua potong
dapat dijadikan satu dengan cara menjahit atau merekatnya.
Kulit kayu yang dipakai sebagai bahan dasar pustaha bukanlah kulit
luar (yang sudah kering dan mati) melainkan lapisan dalam yang tidak
keras melainkan liat. Sebagai langkah pertama kulitnya dipotong sesuai
dengan lebar dan panjangnya pustaha yang diinginkan. Kemudian kulit
luarnya yang sudah kering dipisah dari kulit dalamnya (Lihat Gambar 3).

8. Harganya pada tanggal wawancara (31/10/1998) mencapai sekitar Rp. 2.000 per
meter (€0,30) untuk kupasan yang lebarnya sekitar 40 cm.
Pengadaan Naskah 33

Gambar 3: Kulit dalam dipisahkan dari kulit luar.

Gambar 4: Laklak dilipat dan lipatannya ditokoh.


34 Surat Batak

Gambar 5: Kedua sisi laklak diratakan.

Gambar 6: Laklak ditulisi dari bawah ke atas. Kalam (tarugi)


dimasukkan ke bolpoin kosong agar lebih enak dipegang.
Pengadaan Naskah 35

Proses tersebut sangat mudah bila kulitnya masih berair (baru


diambil dari pohonnya), tetapi kalau sempat menjadi kering proses
pengupasan makan waktu lebih lama.
Setelah proses pemisahan kulit dalam dan kulit luar selesai, bagian-
bagian yang masih kasar dilicinkan dengan pisau. Kulit dalam yang su-
dah bersih kemudian diketam dengan memakai parang dan untuk mem-
buatnya lebih licin, kulitnya digosok pakai kertas pasir. Informan kami
tidak dapat menjelaskan apa yang dipakai oleh para datu dahulu kala
waktu kertas pasir belum ada, tetapi menurut dia, kalau bahannya masih
segar dan berair, proses pelicinan itu sebenarnya tidak perlu karena
kulitnya dapat dipisahkan dari kulit dalam secara mudah dan tanpa
meninggalkan bekas-bekas. Menurut Heyne, daun-daun yang kasar dipa-
kai sebagai pengganti kertas pasir untuk melicinkan permukaan kulit
kayu (Heyne 1927:567). Laklak yang sudah bersih itu kemudian dilipat
seperti akordeon. Lipatannya lalu ditokok-tokok dengan martil kayu agar
terlihat rapi lipatannya dan kedua belah sisi laklak dipotong dengan pisau
sehingga lurus (hal itu tidak selalu dilakukan dan banyak dapat dijumpai
pustaha yang sisi kanan kirinya tidak rata). Setelah itu, laklaknya sudah
siap untuk digunakan sebagai bahan tulisan. Namun, agar pustahanya
lebih mudah terjual, diusahakan agar barang itu kelihatan seperti sudah
antik. Untuk itu, seluruhnya laklak dioleskan zat pewarna yang disebut
permagan (kaliumpermanganat). Langkah ini tentu tidak ada di zaman
dahulu, dan menurut sumber kepustakaan ada dua langkah lainnya (yang
tidak diketahui oleh narasumber kami) yang harus diambil sebelum lak-
laknya siap untuk ditulisi. Langkah pertama adalah mengoleskan larutan
tepung beras dan air pada kulit kayu supaya menjadi licin dan agar tin-
tanya mudah lengket. Setelah kering, pustaha digarisi sesuai dengan
banyaknya baris yang mau ditulis pada setiap halaman. Garis halus
tersebut yang hampir tidak kelihatan membantu penulis agar setiap baris
menjadi lurus dan rapi. Sebagai penggaris (balobas) dipakai sebatang
bambu, dan garis halus tersebut dibuat dengan pisau bambu (panggorit).
36 Surat Batak

Setelah zat pewarna sudah kering, pustaha ditulisi dengan menggu-


nakan kalam dari lidi enau (tarugi), dan tinta merek Parker.9 Pengrajin
mengakui tidak mengetahui resep untuk pembuatan mangsi yang dulu di-
pakai sebagai tinta. Menurut Warneck (1906) bahan utama mangsi ada-
lah getah baja dan jeruk nipis (unte). Baja adalah sejenis pohon kecil
yang kalau kayunya dibakar mengeluarkan getah hitam yang juga dipa-
kai untuk menghitamkan gigi (manghihir). Getah tersebut dicampur de-
ngan air jeruk dan kadang-kadang juga bahan-bahan lainnya seperti da-
pat dibaca di resep pustaha laklak Museum Simalungun No. 252
(Saragih dan Dalimunte 1979). Teygeler (1993:606) menyebut 15 resep
mangsi yang sebagian besar berdasarkan getah baja atau getah damar.
Pada proses penulisan, laklaknya terletak melintang di hadapan pe-
nulis yang kemudian mulai mengisi halaman pertama dengan menulis
huruf-hurufnya dari bawah ke atas.10 Perlu dicatat bahwa hurufnya tidak
dibaca dari bawah ke atas melainkan dari kiri ke kanan (posisi laklak pa-
da saat penulisan melintang sedangkan bila dibaca posisinya membujur).
Proses penulisan berjalan lancar dan cukup cepat. Seperti dalam pustaha
yang asli, setiap bagian baru diawali bindu godang, sebuah ornamen
yang agak besar, sedangkan tiap akhir alinea ditandai dengan bindu na
metmet. Selain itu tidak terdapat tanda-tanda baca apa pun dan spasi
antarkata pun tidak ada.
Setelah diisi dengan teks dan gambar, dibuat pula lampak, sebuah
sampul yang biasa terbuat dari kayu. Menurut narasumber kami, jenis
kayu yang dipakai pada umumnya kayu ingul. Sekali-sekali dapat dite-
mukan pustaha yang lampaknya terbuat dari tulang kerbau atau kulit ru-
sa. Sampul atas biasanya dihiasi dengan ukiran cecak atau ornamen lain-
nya, sedangkan sampul bawah biasanya polos saja. Kedua sampul dilem
pada kedua ujung lembaran laklak. Kadang-kadang sampul dilubangi dan
diikat dengan rompu, pilinan tiga, tujuh atau sembilan tali rotan.

9. Menurut Teygeler, istilah tarugi hanya menunjuk pada bahan yang dipakai, ialah lidi
pohon enau, sedangkan istilah untuk kalam adalah suligi (Teygeler 1993:605).
10. Karena kurang lengkapnya informasi mengenai cara penulisan pustaha belum dapat
dikonfirmasikan dengan pasti apakah pustaha selalu ditulis dari bawah ke atas. Bisa
saja hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan karena naskah bambu memang harus
ditulisi dari bahwah ke atas (lihat BAB berikut).
Pengadaan Naskah 37

4.3 Proses Pembuatan Naskah Bambu


Jenis bambu yang dipakai tergantung pada obyek atau bentuk naskah
yang mau dihasilkan. Yang terbaik adalah jenis-jenis bambu berkulit
halus yang disebut bulu suraton. Diambil bambu yang sudah tua karena
bambu yang muda terlalu rawan terhadap serangan serangga.
Alat untuk menulis adalah pisau (raut) yang runcing. Untuk mem-
buat garis-garis panjang yang melingkari bambu dipakai pisau bambu
karena raut itu runcing, tetapi tidak tajam. Pisau raut dipakai baik untuk
mengukir ornamen maupun aksara. Bambu biasanya ditulisi sedemikian
rupa sehingga tulisannya sejajar dengan panjangnya bambu. Teksnya
biasanya mengisi seluruh panjangnya ruas tetapi bagian buku tidak ditu-
lisi karena permukaannya kurang rata. Gelombang-gelombang yang ada
di sekitar buku sering ditutup dengan membuat ukiran-ukiran atau de-
ngan meratakannya. Karena bambu itu bulat, sangatlah penting untuk
memegangnya erat-erat sehingga tidak ada goresan yang meleset.

Gambar 7: Pembuatan naskah bambu oleh Nanti Sidabutar.


38 Surat Batak

Bekas goresan pisau kemudian dihitamkan dengan menggunakan ke-


miri yang dibakar hingga minyaknya ke luar. Campuran abu dan minyak
itu hitam pekat dan lengket untuk selama-lamanya pada bekas goresan
pisau sehingga tulisan dan ornamen-ornamen sangat mencolok di atas
permukaan bambu yang kuning.
Karena bentuk bambu yang bulat serta panjang memang tidak mudah
untuk menulisinya. Untuk menghindari agar bambu itu tidak bergeser
saat ia ditulisi maka ujungnya yang satu bersandar di bagian perut penu-
lis dan ujungnya yang satu lagi dipegang dengan tangan kiri. Dalam ke-
adaan seperti itu, terpaksa penulis menulis aksara-aksara mulai dari
bawah ke atas dan bukan dari kiri ke kanan! Hal itu juga dilakukan supa-
ya penulis tidak melukai diri kena ujung pisau yang runcing pada saat
menulis. Cara penulisan dari bawah ke atas telah juga dilaporkan oleh
Van der Tuuk (1971), dan hal yang sama juga dilakukan orang-orang
Filipina bila menulis di bambu dengan aksaranya yang masih serumpun
dengan aksara Batak (Francisco 1973:19; Postma 1971:6).

|
5 PUSTAHA DAN ISINYA

Untuk mengetahui isi pustaha, sebuah referensi yang amat berguna


adalah buku Winkler (1925) yang berjudul Die Toba-Batak auf Sumatra
in gesunden und kranken Tagen. Johannes Winkler (1874–1958),
seorang dokter zending yang mulai tahun 1901 ditugaskan di daerah
Toba, berguru pada seorang datu yang bernama Ama Batuholing
Lumbangaol. Dengan bantuannya Winkler mengetahui dan mencatat isi
pustaha serta perihal ilmu kedukunan (hadatuon) pada umumnya. Beliau
membedakan tiga jenis ilmu yang paling banyak terdapat dalam pustaha-
pustaha Batak:
1. Die Kunst, das Leben zu erhalten (Ilmu yang menyambung hidup)
2. Die Kunst, das Leben zu vernichten (Ilmu yang menghancurkan
hidup)
3. Ilmu Nujum
Pengelompokan yang dilakukan Liberty Manik (1973) dan Petrus
Voorhoeve (1977:519) masih berpedoman pada sistem Winkler, tetapi
lebih terinci. Pengelompokan mereka disajikan di bawah ini dengan rin-
cian berapa jumlahnya pustaha yang memuat topik tersebut. Rincian di
bawah ini berdasarkan evaluasi 461 pustaha, 214 di antaranya diinventa-
riskan oleh Manik, dan 247 lagi oleh Voorhoeve. Naskah bambu, tulang,
dan kertas tidak disertakan dalam tabel berikut ini. Terutama ramalan
yang berkaitan dengan ilmu perbintangan, dan khususnya porhalaan
sering ditulis pada ruas-ruas bambu, sedangkan teks-teks azimat seperti
sarang timah, sering terdapat pada naskah tulang.
40 Surat Batak

Tabel 3: Statistik Isi Pustaha (berdasarkan 461 pustaha)


L.M. P.V. Total
I. Cerita (turi-turian) 6 11
II. Ilmu Hitam
1. Pangulubalang 39 51
2. Tunggal Panaluan 2 4
3. Pamunu Tanduk 13 30
4. Pamodilan/Tembak 7 16
5. Gadam 2 0
6. Lain-lain 15 28
III. Ilmu Putih
1. Pagar 59 68
2. Sarang Timah 3 1
3. Porsimboraon 6 5
4. Songon 2 1
5. Piluk-piluk 4 1
6. Lain-lain 3 24
IV. Ilmu-ilmu lainnya
1. Tamba Tua 3 5
2. Dorma 4 15
3. Porpangiron/Paranggiron 6 6
4. Porsili 12 11
5. Ambangan 4 1
6. Pamapai Ulu-ulu 4 7
V. Obat 32 39
Pustaha dan Isinya 41

VI. Nujum
a. Nujum Perbintangan
1. Pormesa na Sampulu Duwa 22 26
2. Panggorda na Uwalu 23 21
3. Pehu na Pitu 1 4
4. Pormamis na Lima 28 22
5. Tajom Burik 3 1
6. Pane na Bolon 24 25
7. Porhalaan 8 9
8. Ari Rojang 13 6
9. Ari na Pitu 13 9
10. Sitiga Bulan 4 0
11. Ketika Johor 5 0
12. Pangarambui 36 31
13. Lain-lain 16 20
b. Nujum dengan memakai binatang
1. Aji Nangkapiring 23 31
2. Manuk Gantung 12 38
3. Aji Payung 10 14
4. Porbuhitan 8 12
5. Gorak-gorahan Sibarobat 3 2
6. Lain-lainnya 14 6
c. Nujum-nujum Lainnya
1. Rambu Siporhas 11 25
2. Panampuhi 8 23
3. Pormunian 3 4
4. Parombunan/Partimusan 5 12
5. Hariara Masundung di Langit 4 2
42 Surat Batak

6. Parsopoan 1 1
7. Tondung 4 1
8. Simonang-monang/Rasiyan dsb. 11 8
9. Lain-lain 17 21

5.1 Cerita
Bidang folklor jarang sekali disentuh dalam pustaha. Folklor terma-
suk legenda dan cerita lainnya (turi-turian), pantun (umpama dan um-
pasa), teka-teki (torhan-torhanan), nyanyian (ende), dan lain-lain pada
umumnya diturunkan secara lisan, demikian juga dengan silsilah marga
yang juga tidak pernah dibahas dalam pustaha. Satu-satunya turi-turian
yang sekali-sekali dimuat di pustaha adalah cerita Si Aji Donda Hatahut-
an yang membahas asal-usul tunggal panaluan. Cerita tersebut ditemu-
kan dalam empat pustaha (Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or.
8929; Perpustakaan Nasional Perancis, Paris, Mal. Pol. 260; Perpustaka-
an Chester Beatty, Dublin, 1101; dan Linden-Museum Stuttgart 27210).
Sebab kenapa pada daftar di atas tercantum jumlah yang lumayan besar,
yakni 17 cerita rakyat yang terdapat di beberapa pustaha, ialah karena
banyak di antara naskah tersebut berasal dari koleksi Van der Tuuk atau
koleksi Ophuisen dan dibuat atas permintaan kedua orang Belanda terse-
but!

5.2 Ilmu Hitam


Dalam katalog-katalog naskah Batak terdapat puluhan cara untuk
menyerang dan membunuh musuh. Hal itu dapat dilakukan dengan racun
atau dengan ilmu sihir yang bertujuan untuk menghancurkan musuh.
Berikut ini beberapa contoh:

Pangulubalang
Dalam katalog Manik dan Voorhoeve terdapat 90 pustaha yang
berkaitan dengan pangulubalang, semacam roh yang dijadikan huluba-
lang sang datu untuk memusnahkan musuh dan roh-roh jahat.
Pustaha dan Isinya 43

Cara pembuatan pangulubalang telah dijelaskan oleh Winkler (1925)


dan Warneck (1909:64-66). Versi yang hampir sama juga terdapat di da-
lam Kamus Budaya Batak Toba (Marbun dan Hutapea 1987:124).
Pada hakikatnya, pangulubalang adalah roh anak laki-laki atau per-
empuan yang mati dibunuh. Seorang anak kecil diculik dari kampung
orang yang diasuh oleh seorang datu. Segala keinginan anak itu dipe-
nuhi, tetapi ia diwajibkan untuk selalu harus patuh dan setia kepada tu-
annya. Akhirnya sang korban dengan ikhlas bersedia mau dijadikan pa-
ngulubalang. Si anak kemudian dibunuh dengan cairan timah yang men-
didih yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian mayatnya dipo-
tong-potong dan dicampur dengan berbagai binatang dan bahan lainnya
dan dibiarkan membusuk. Air yang keluar kemudian ditampung dan di-
masukkan ke dalam guri-guri (cawan), sedangkan sisanya dibakar sam-
pai menjadi abu (pupuk) dan juga disimpan. Kemudian diadakan pesta
besar (pangulubalang adalah milik marga, bukan milik seorang datu)
untuk memanggil begu (roh) anak yang dibunuh tadi. Pupuk yang diha-
silkan dapat dipakai untuk menjiwai bermacam-macam patung yang ter-
buat dari batu, tanah, atau kayu. Oleh karena itu patung-patung tersebut
juga sering disebut pangulubalang walaupun fungsi patung tersebut
adalah sebagai pagar atau pohung. Patung pangulubalang tersebut meru-
pakan patung penolak bala yang diletakkan di kampung sendiri, sedang-
kan pangulubalang yang menjadi hulubalang sang datu dalam perang
melawan kampung orang dikirim ke daerah musuh.

Tunggal Panaluan
Cukup jarang dapat kita temukan teks-teks yang memberi petunjuk
tentang pembuatan dan penggunaan tongkat sakti orang Batak. Tunggal
panaluan itu sendiri telah banyak dibahas (lihat misalnya daftar pustaka
di Tobing 1956:156) antara lain oleh Tobing sendiri, dan juga oleh
Voorhoeve (1961:15). Dalam buku Voorhoeve tersebut terdapat trans-
literasi dari sebagian besar pustaha Chester Beatty Library, Dublin, MS.
1001. Waktu saya bertemu dengan Liberty Manik di tahun 1986, beliau
sedang merencanakan untuk menerbitkan naskah Linden-Museum Stutt-
gart 27210 yang telah ditransliterasikannya. Pustaha Karo tersebut yang
masuk ke Linden-Museum pada tahun 1883 secara mendalam menjelas-
44 Surat Batak

kan pemakaian tunggal panaluan dan juga turi-turian Si Aji Donda Ha-
tahutan, yakni cerita tentang asal-usul tunggal panaluan. Sayang sekali,
setelah Liberty Manik meninggal beberapa tahun yang silam, pihak-pi-
hak yang berkepentingan tidak dapat mencapai kesepakatan tentang apa
yang mau diperbuat dengan harta warisan beliau yang antara lain terma-
suk transliterasi ratusan naskah Batak. Dikhawatirkan warisan mendiang
Liberty Manik harus dianggap telah hilang.
Pamunu tanduk (pembunuh tanduk) yang juga disebut pamuhu tan-
duk (penangkal tanduk) adalah ilmu yang dapat menetralkan ilmu hitam
yang dikirim oleh musuh dalam sebuah tanduk. Pamunu tanduk memang
sering diasosiasikan dengan pagar (penolak bala), tetapi di beberapa
pustaha pamunu tanduk juga dikaitkan dengan panggulubalang dan di-
pakai untuk menyerang musuh.
Cara tembak-menembak (pamodilon/tembak) juga dipelajari di
pustaha, baik dari segi tehnik penembakan (termasuk cara menuangkan
berbagai jenis peluru) maupun dari segi ilmu gaib (sesajen yang harus
diberikan, mantra-mantra yang perlu diucapkan dsb.).
Gadam adalah semacam racun yang dikenakan pada musuh sehingga
kulitnya menjadi bersisik seperti pada penderita kusta.

5.3 Ilmu Putih


Penolak Bala (Pagar)
Manik mencatat 59 naskah yang mengandung instruksi untuk mem-
buat bermacam-macam penolak bala yang disebut pagar. Pembuatan pa-
gar adalah suatu proses yang sangat rumit, dan hanya boleh dilakukan
pada hari yang baik dengan memperhatikan bermacam-macam tanda-
tanda. Sebuah pagar bisa terbuat dari bermacam-macam bahan, terutama
tumbuhan, tetapi dapat juga mengandung kepala, usus atau bulu ayam
misalnya. Ramuan tersebut harus dikumpulkan pada tempat-tempat ter-
tentu seperti di tempat keramat yang disebut sombaon. Proses pembuatan
bisa makan berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Semua bahan
itu kemudian dimasak dan ditumbuk halus menjadi semacam pasta atau
bubuk yang disimpan di tanduk kerbau yang berukiran (naga morsa-
Pustaha dan Isinya 45

rang). Pagar itu kemudian dapat diberi kepada seseorang untuk dimakan
(pagar panganon), dijunjung (pagar sihuntion ini hanya dipakai oleh
seorang perempuan yang hamil) atau digantung, misalnya dekat tempat
tidur seseorang yang sakit (pagar di halang ulu modom). Sebuah pagar
dapat juga diberikan kepada sebuah keluarga (pagar sabagas) atau
bahkan kepada seluruh isi kampung (pagar sahuta) untuk menolak se-
gala macam bala yang disebabkan oleh roh-roh yang jahat dan guna-guna
orang. Oleh karena itu pembuatan pagar selalu diiringi mantra-mantra
yang berbunyi: “pagari hami, so hona begu, so hona aji ni halak”
(lindungilah kami agar tidak kena roh jahat dan guna-guna orang). Cara
pembuatan pagar sahuta dapat dibaca dalam naskah Perpustakaan Uni-
versitas Leiden, Cod. Or. 3405 yang telah dicetak dalam bahasa Batak
berikut dengan terjemahan ke dalam bahasa Belanda (Boer 1946).

Azimat
Di zaman dahulu hampir setiap orang Batak memakai azimat untuk
melindungi diri. Sebagian azimat didatangkan dari luar, misalnya dari
Aceh, Melayu atau Minangkabau karena azimat tersebut dianggap sangat
ampuh. Azimat tradisional Batak terdiri dari sebiji timah hitam (simbora)
berbentuk bulat-torak yang berongga untuk menampung tali pengikat
yang digantungkan di leher. Karena terbuat dari timah hitam (timbel),
azimat pada umumnya disebut porsimboraon yang termasuk juga azimat
gigi beruang atau harimau misalnya. Instruksi pembuatan azimat beserta
mantra-mantranya juga sering dapat ditemukan dalam pustaha.
Sarang bodil atau sarang tima(h) adalah semacam azimat yang dapat
menangkal peluru musuh dan bisa dibuat dari tulang kerbau yang ditulisi
dengan beberapa mantra. Azimat dan sarang tima sering ‘dipagari’
(diberi pagar) agar lebih ampuh. Instruksi mengenai pembuatan azimat
tersebut beserta mantra-mantranya terdapat di beberapa pustaha.

Pencegah Pencurian
Sungguhlah bukan hal yang sederhana untuk menentukan ilmu sihir
yang mana termasuk ilmu yang menyambung dan yang menghancurkan
hidup karena ilmu yang melindungi dapat juga digunakan untuk
menghancurkan musuh. Hal itu menjadi jelas bila kita perhatikan ilmu
songon dan pohung yang oleh Manik dimasukkan dalam ilmu putih
46 Surat Batak

karena merupakan sejenis ilmu yang preventif ialah agar barang kita ja-
ngan dicuri orang. Di lain pihak, ilmu tersebut juga dapat dikatakan se-
bagai ilmu hitam karena maksudnya bukan saja untuk menghindarkan
pencurian, tetapi malahan untuk membunuh si pencuri!
Bukan saja sekarang, juga di zaman dahulu pencurian sudah menjadi
persoalan yang serius. Kebanyakan pencurian tidak terjadi di kampung
yang senantiasa ramai dan dijaga, melainkan di ladang yang sering sepi –
apalagi di malam hari. Hasil kebun biasa dilindungi dengan cara gaib.
Ilmu pencegah pencurian disebut pohung atau songon. Pohung dan
songon adalah semacam patung (gana-gana) yang didirikan di ladang
untuk melindungi hasil kebun. Ilmu tersebut dapat dikatakan bersifat
menangkal karena mencegah terjadinya pencurian. Bahwa ilmu ini dapat
juga dikelompokkan pada ilmu yang “menghancurkan kehidupan” men-
jadi jelas bila kita membaca mantra (tabas) yang berkaitan dengan ilmu
ini: “Surung ma ho batara pangulubalang ni pohungku, ama ni pungpung
jari-jari, ina pungpung jari-jari, batara si pungpung jari, surung pamung-
pung ma jari-jari ni sitangko sinuanku onon, surung bunu” yang berarti:
“Marilah Batara Hulubalang pohung-ku, ayah jari-jari yang cacat, ibu
jari-jari yang cacat, Batara jari-jari yang cacat, kudungkan jari-jari yang
mencuri tanamanku ini, bunuh!” (Voorhoeve 1975:96). Satu lagi ilmu
sihir yang bertujuan untuk menangkal pencurian hasil ladang disebut
piluk-piluk.

5.4 Ilmu-Ilmu lainnya


Tamba tua (tambah tuah) adalah semacam ilmu yang dapat men-
datangkan kekayaan dan terutama juga keturunan, dan sering diterapkan
pada laki-laki atau perempuan yang menderita kemandulan dan untuk
mengobati laki-laki yang lemah syahwat. Salah satu naskah yang pan-
jang-lebar menguraikan tamba tua adalah pustaha IC 12636 Museum
Antropologi Berlin.
Dorma, dari bahasa Sanskerta dherma, (Melayu derma), adalah ilmu
untuk memikat hati seorang perempuan. Winkler memberikan sebuah
contoh dari ilmu pelet tersebut: bahannya adalah dua biji jeruk purut
(unte mungkur) dan benang tiga warna, masing-masing berwarna hitam,
Pustaha dan Isinya 47

merah, dan putih yang dipilin menjadi satu (bonang manalu). Benang tri-
warna tersebut kemudian dimasukkan ke jarum dan ditusukkan pada je-
ruk sampai tembus. Jeruk yang satu ditanam persis di bawah tempat tidur
perempuan yang hendak dipikat, dan yang satu lagi digantungkan dengan
benang triwarnanya di dekat tempat tidur orang yang hendak memelet
perempuan tersebut. Lalu jeruk yang digantung itu digoyang-goyangnya
sepanjang malam – hal mana akan mengakibatkan bahwa perempuan
yang dimaksud akan jatuh hati padanya atau menjadi gila (Winkler
1925:182).
Porpangiron mengandung petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan
acara berlangir – mencuci kepala dengan air yang diberi air jeruk dan
ramuan lainnya untuk mencapai kesucian spiritual.
Porsili adalah sebuah patung berupa manusia yang biasanya diukir
dari pokok pisang dan digunakan sebagai tumbal. Patung ini sering digu-
nakan dalam upacara penyembuhan dan dibawa ke rumah pasien untuk
diolesi dengan daki si penderita. Kemudian patung tersebut diusung ke
luar rumah dan dibuang di perempatan jalan atau dilemparkan ke jurang.
Dengan demikian patung ini dijadikan tumbal (kata dasar porsili adalah
sili (silih, ganti, tukar) agar roh-roh jahat yang menyebabkan sakit me-
ngira bahwa orang itu sudah mati. Cara pembuatan porsili diterangkan
dalam naskah Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 3405 (Boer
1946).
Satu lagi ilmu yang dapat dipakai sang datu untuk menyembuhkan
adalah ambangan yang bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dari tu-
buh penderita.
Jenis ilmu yang disebut pamapai ulu-ulu atau dalam bahasa Pakpak
panungkuni takal-takal menunjukkan bahwa orang Batak pernah mela-
kukan pengayauan. Pengayauan adalah pembunuhan yang dilakukan
untuk memenggal kepala orang, suatu adat kebiasaan beberapa suku
bangsa di Indonesia seperti misalnya suku Dayak. Adat tersebut dahulu
kala dilakukan oleh banyak suku bangsa, termasuk Jawa, Bali, dan juga
suku Batak seperti dibuktikan oleh 20 teks yang terdapat dalam pustaha
(Voorhoeve 1975:106).
48 Surat Batak

5.5 Obat (Taoar, Tambar, Daon)


Dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain, perihal perobatan tidak
terlalu sering disinggung dalam pustaha. Dari 501 naskah Batak di Jer-
man yang diinventariskan oleh Manik, resep obat-obatan hanya terdapat
pada 33 naskah. Menarik untuk dicatat bahwa ke-33 naskah tersebut se-
muanya pustaha. Berarti tidak ada satu pun naskah bambu atau naskah
tulang yang mengandung resep obat-obatan. Jumlah pustaha dalam ka-
talog Manik sebanyak 214, berarti bahwa hanya sekitar 15% pustaha
mengandung obat-obatan.
Banyak obat-obatan yang disebut dalam pustaha berguna untuk me-
netralkan racun (bisa, rasun) dan sebagai obat anti guna-guna (aji).
Sering juga terdapat obat penyakit dan infeksi kulit seperti kusta
(gadam), dan borok (baro gaja). Selain itu ada obat yang dapat meng-
obati sakit perut, sakit gigi (tungkolon), penyakit anak-anak, penyakit
setelah bersalin (rianon), malaria (arun), disentri (rojan) dan sebagainya.
Banyak di antara obat-obatan adalah ramuan yang dipijat pada bagian
tubuh yang sakit (pandampol).
Bagi yang ingin lebih mengetahui obat-obatan tradisional Batak di-
anjurkan untuk membaca karya Winkler dan Römer yang semuanya ber-
bahasa Jerman (Römer 1907; Winkler 1907; 1925).

5.6 Ilmu Nujum


Boleh dikatakan bahwa tidak ada pustaha yang tidak mengandung
ramalan. Ilmu nujum mungkin ilmu yang paling penting bagi orang Ba-
tak dahulu kala, dan sebagian besar isi pustaha berkaitan dengan topik
tersebut.
Cara untuk meramal ada seribu satu macam dan yang disebut di sini
hanyalah yang paling sering disebut dalam pustaha.

5.6.1 ILMU PERBINTANGAN


Banyak ramalan bertolak pada ilmu perbintangan. Di sini bukan
tempatnya untuk menjelaskan astrologi orang Batak yang sangat kom-
Pustaha dan Isinya 49

pleks ini. Cukup bila disebut beberapa nujum perbintangan yang lazim
terdapat di pustaha-pustaha.

Pormesa na Sampuludua
Pormesa na Sampuludua adalah gugusan bintang dalam lengkung
langit yang dua belas (sampuludua) jumlahnya. Kata pormesa terdiri dari
awalan por-, yaitu awalan kuno yang sekarang bisanya menjadi par-, dan
mesa yang berasal dari bahasa Sanskerta meṣa. Meṣa (domba jantan)
adalah rasi pertama dalam astrologi Hindu yang dalam astrologi Barat
dikenal sebagai Aries. Dengan demikian arti pormesa na sampuludua
berarti kedua belas rasi yang dalam bahasa Indonesia dinamakan min-
takulburuj atau zodiak. Pada daftar berikut terdapat kedua belas rasi
dalam lima bahasa – Sanskerta, Batak Karo dan Toba, Indonesia dan
Latin. Saya ikutsertakan bahasa Latin, karena nama rasi dalam bahasa
Latin lebih populer daripada yang dipinjam dari bahasa Sanskerta dan
Arab. Kebanyakan nama rasi berasal dari bahasa Sanskerta, tetapi
beberapa rasi juga mempunyai nama kedua yang dipinjam dari bahasa
Arab. Rasi nesa misalnya juga disebut burjamhal, dan rasi kanya juga
disebut sunbulat atau burjusumbulat. Karena bangsa Indonesia tidak lagi
menimba ilmu dari India atau Arab melainkan dari Eropa dan Amerika,
maka nama rasi yang dipinjam dari bahasa Arab dan Sanskerta sudah
kurang populer dan mulai diganti oleh nama rasi yang diambil dari baha-
sa Latin (dengan penyesuaian ejaan, mis. pisces yang dalam bahasa Latin
berarti ‘ikan’ menjadi pises, dan cancer ‘kepiting’ menjadi kanser).
Karena rata-rata orang tidak memahami bahasa Latin atau Sanskerta
maka arti dari rasi tersebut umumnya tidak diketahui. Oleh sebab itu
daftar di bawah ini dilengkapi dengan kolom yang memuat terjemahan
setiap rasi. Perlu diketahui bahwa arti kebanyakan rasi dalam bahasa
Latin dan Sanskerta persis sama, misalnya arti gemini dan mithuna
adalah anak kembar, virgo dan kanya dalam kedua bahasa juga
mempunyai satu arti, yaitu gadis. Yang berbeda hanya rasi makara
(kaprikornus): Capricornus adalah semacam kambing liar sementara
makara adalah semacam mahluk penghuni lautan.
50 Surat Batak

Tabel 4: Dua Belas Rasi Bintang


Bahasa Latin B. Indonesia Terjemahan Bahasa Toba
Bah. Sanskerta Bahasa Karo

♈ Aries
Meṣa
Aries
Nesa
domba jantan Mesa
Mesa

♉ Taurus
Vriṣabha
Taurus
Wrisaba
lembu jantan Morsoba
Měrsěeba

♊ Gemini
Mithuna
Gemini
Mintuna
anak kembar Nituna
Mětuna

♋ Cancer
Karkaṭa
Kanser
Karkata
kepiting Harahata
Měrkata

♌ Leo
Singha
Leo
Singa
singa Singa
Singa

♍ Virgo
Kanyě
Virgo
Kanya
gadis Hania
Kania

♎ Libra
Tulě
Libra
Tula
neraca Tula
Tula

♏ Scorpio
Vrṣṭika
Skorpio, Kala
Kricika
kala Mortiha
Měrtika

♐ Sagittarius
Dhanu
Sagitarius
Danuh
pemanah
panah
Dano
Dahanu

♑ Capricornus
Makara
Kaprikornus
Makara
kambing liar
mahluk laut
Mahara
Makara

♒ Aquarius
Kumbha
Akuarius
Kumba
penuang air
kendi
Morhumba
Kumba

♓ Pisces
Mina
Pises
Mina
ikan Mena
Mena
Menarik untuk dicatat bahwa orang Batak memberi arti yang pada
umumnya berbeda. Hanya satu rasi diberi arti yang sesuai dengan arti
aslinya, yaitu mena yang diartikan denghe (ikan). Semua rasi lainnya
diberi arti baru. Binatang yang asing bagi orang Batak seperti domba dan
singa diganti dengan binatang yang lebih dikenal, yaitu hambing (kam-
bing) dan babiat (harimau). Penyimpangan yang lebih jauh terdapat pada
harahata – seharusnya kepiting – yang diartikan tohuk atau rikrik
(kodok). Kadang-kadang arti yang baru disebabkan oleh bunyi kata yang
Pustaha dan Isinya 51

asli. Misalnya vriṣabha yang menjadi morsoba dan diartikan sobasoba


(kumbang) atau sabasaba (kupu-kupu). Hal yang sama terjadi pada rasi
nituna yang diartikan tuna (cacing), dan kemudian diterjemahkan ke da-
lam bahasa Karo sebagai gayo (cacing). Hal itu juga terjadi pada rasi
dano yang diartikan aek (air, sungai) atau dano (danau).
Nujum pormesa na sampuludua dibuka kalau mendirikan rumah
baru, membuka lahan pertanian, mengadakan pesta perkawinan, mencari
benda yang hilang, dan banyak lagi hal. Bila nujum yang berkaitan de-
ngan kedua belas pormesa kurang menguntungkan, maka dibuka nujum
panggorda na ualu.

Panggorda na ualu
Panggorda (Karo: panggurdaha) adalah delapan dewa yang masing-
masing menguasai satu mata angin. Urutan dan nama kedelapan pang-
gorda tidak selalu sama: 1. Garoda/gorda, 2. Dieak gora/deak gora, 3.
sua, 4. sangmusiha/sangbunia, 5. sorpa/singa, 6. sangbinae/hania, 7.
hania umbunu/sorpa, 8. tola umbunu dano/morsaboa.
Arti kedelapan panggorda juga tidak selalu sama. Garoda (Gorda)
diartikan halili (elang) atau onggang (enggang) – pokoknya sejenis bu-
rung (gorda/garoda = Garuda).
Seperti dikatakan tadi, pormesa na sampuludua dan panggorda na
ualu dapat ditandingkan. Pada hari pertama dalam sebulan, mesa
(kambing) yang menentukan, tetapi kalau hasilnya kurang cocok, dapat
pula diperhatikan panggorda na ualu. Panggorda pertama adalah gorda,
dan kalau kambing dan enggang berkelahi, menanglah enggang. Karena
panggorda hanya ada delapan, maka pormesa kesembilan bertanding
dengan panggorda pertama dst.
Kalau kedua belas pormesa dan kedelapan gorda sudah dikonsultasi-
kan, tetapi hasilnya belum juga memuaskan, masih ada jalan keluar de-
ngan membuka nujum ketiga yang disebut pehu na pitu.

Pehu na pitu
Pehu adalah tujuh dewa yang masing-masing menguasai satu hari
pada satu minggu yang terdiri atas tujuh hari. Nujum ini membentuk
suatu kesatuan dengan kedua nujum yang disebut di atas. Nujum ini
52 Surat Batak

biasanya dibuka kalau hasil kedua nujum di atas tidak menunjukkan hasil
yang memuaskan karena ketujuh pehu tersebut dapat membunuh kedua
belas pormesa dan kedelapan gorda. Nujum ini dapat juga dibuka
sendirian (tanpa sebelum mengkonsultasikan pormesa dan gorda),
misalnya pada acara kelahiran anak, persiapan perang dsb. Nama dari
ketujuh pehu adalah 1. artia sanggasti, 2. suma simonang barita, 3. ang-
gara patimosna, 4. muda sampe tua, 5. boraspati pidoras, 6. singkora
sunggu sori, 7. samisara sunggu raja.

Pormamis na lima
Kelima pormamis adalah dewa yang masing-masing menguasai satu
ketika (dalam bahasa Melayu nujum ini disebut Ketika Lima): Mamis di
na sogot (pagi-pagi), bisnu di na pangului (pagi), sori di na hos (siang),
hala di na guling (sore), dan borma di na bot (malam). Nujum ini dibuka
sebelum mengadakan acara perkawinan atau acara lain yang berkaitan
dengan uang. Maksudnya ialah untuk mengetahui waktu yang tepat un-
tuk melakukan acara termaksud. Nujum pormamis sering dibuka bersa-
maan dengan dua nujum lainnya yang disebut lamadu na onom dan
rambu matoga na opat dengan maksud untuk mengetahui baik hari mau-
pun waktu yang cocok untuk melakukan suatu upacara.
Kelima pormamis adalah 1. mamis, 2. bisnu, 3. sori, 4. hala, 5.
borma. Empat dari kelima pormamis ini adalah dewa Hindu: Vishnu, Sri,
Kala, dan Brahma. Nujum ini banyak persamaan dengan ketika lima di
mana ketika pertama dinamakan maheswara – salah satu nama dewa
Shiwa. Karena itu dapat disimpulkan bahwa mamis adalah Shiwa. Tetapi
hal itu tidak penting bagi orang Batak yang menggunakan nujum ini un-
tuk mengetahui apa suatu ketika adalah baik atau buruk.

Pane na Bolon
Nujum ini pada hakikatnya sama dengan nujum naga besar yang
dikenal oleh masyarakat Melayu. Nujum pane na bolon (pane besar)
biasanya dibuka pada saat mau mengadakan perang atau kalau mau
mendirikan kampung baru. Pane besar adalah dewa yang mengelilingi
bumi (banua tonga) dan dalam perjalanannya menempati keempat mata
angin selama masing-masing tiga bulan. Pada setiap kali berpindah ia
Pustaha dan Isinya 53

mendirikan sebuah kampung baru, dan sesuai dengan adat Batak meng-
adakan sebuah pesta besar. Untuk menjamu tamunya ia membutuhkan
jiwa manusia yang biasa diambilnya pada saat perang atau wabah penya-
kit. Hal tersebut membuat pane na bolon menjadi dewa yang sangat di-
takuti, dan hanya sang datu-lah yang dapat mengetahui keberadaannya
dan bagaimana menghindarinya.
Sang datu perlu mempertimbangkan letaknya pane, bagian-bagian
tubuh, dan organ-organnya. Kutipan berikut ini diambil dari sebuah
pustaha:
Ianggo di bulan si pahasada ro di bulan si pahadua di
purba ma ulu ni ompunta Pane na Bolon, di pastima
ma ia ihurna. Jaha hita laho porang masibodilan, tu-
mundalhon agoni ma hita dohot nariti ia porang masi-
bodilan. Ia porhehe ni ompunta Pane na Bolon di bo-
ras si pati ni tangkup; ia ari portolo: di muda ni pol-
tak, di boras si pati ni poltak, di suma ni mangadop, di
mula ni holom, di anggara na begu, di samisara bulan
mate, di hurung. I ma na jadi porporangon; dapot ma
anak ni raja dohot anggi ni suhut dohot boru sihabo-
lonan dohot anak silitonga jala tumading na [d]i borti-
an. Ia hamateanna di pea-pea ia so di punsu ni tor jala
singgalak do halak mate, ale amang suhutnami, oi.
(Tobing 1956:125-126)
Mulai bulan pertama hingga bulan ketiga kepala sang
Pane na Bolon berada di timur, dan ekornya di barat.
Kalau kita mengadakan perang bedil, pastikan agar
selalu membelakangi tenggara dan barat daya. Ada-
pun hari bangkitnya Pane na Bolon hari ke-12. Hari-
hari berikut ini cocok untuk memerangi musuh kita:
hari keempat, kelima, ke-18, ke-24, ke-28 dan ke-29.
Dalam peperangan tersebut jatuhlah korban sebagai
berikut: anak raja, adik raja, menantu raja, dan anak
tengah; yang terakhir meninggalkan anak dalam
kandungan. Orang yang mati itu ditemukan terlentang
di puncak gunung atau di rawa-rawa, wahai raja kami.
Kemudian teksnya diteruskan tentang apa yang terjadi pada triwulan
kedua bila kepala Pane na Bolon berada di selatan dan ekornya di utara.
Letaknya Pane bukan saja perlu diperhatikan bila mau mengadakan
54 Surat Batak

perang, tetapi juga pada acara-acara penting lainnya, seperti misalnya


membangun rumah. Kalau sang Pane diketahui berada di selatan, sebaik-
nya pembangunan dimulai dengan dinding barat dan timur, dan pendirian
dinding lainnya perlu ditunda dulu agar tidak terjadi hal yang tidak di-
inginkan. Pane na Bolon sering dikaitkan dengan halilintar. Di salah satu
pustaha dapat kita baca tentang poda ni panjujur ni pane na bolon…
(petunjuk tentang nujum Pane na Bolon yang berbunyi:

Poda ni panjujur ni pane na bolon na umboto porhas


manoro dohot hilap sumormin dohot gontam, daboto
ma manghuling, na paboa ari tula dohot suma ni ho-
lom. Di panjujur ni pane na bolon do dajujur porpane-
an. Ia manoro do pane na bolon, dadabu ma ajinta
inon. Ianggo gontam dope manghuling dohot sormin
humilap, inda poro manoro ajinta inon. Ia manghuling
do giring-giring ni pane na bolon inon torang arina
inon, manoro ma pane na bolon. Ia torruhut hita do
inon dohot rambu siporhas, i pe hita asa na tongon da-
tu ninni halak na torop, ale Datu Pangarambu ni Aji.
Ulang so ingot di ari, ulang dipaboa ho inon di halak
legan, ale amang! (Winkler 1956:31)
Petunjuk perihal nujum Pane na Bolon yang mengeta-
hui kilat yang menyambar, serta kilap yang berkilau,
yang bergemuruh, yang mengumumkan hari tula, dan
suma ni holom. Dalam memperhitungkan Pane na
Bolon dimintalah nasehat nujum Pane. Kalau me-
nyambar Pane na Bolon maka diterapkanlah sihir ini.
Kalau masih bergemuruh dan mengilap, sihir ini be-
lum menyambar. Kalau berbunyi giring-giring Pane
na Bolon, maka menyambarlah Pane na Bolon di pagi
buta. Kalau kita mengetahui aturan ini serta nujum
rambu ni porhas, barulah kita betul-betul datu yang
diakui oleh rakyat banyak, wahai Datu Pangarambu ni
Aji! Jangan lupa pada hari-harinya, jangan beritahu
kepada yang tidak berkepentingan, Bapak!
Dari kutipan tersebut menjadi jelas bahwa ilmu kedukunan dianggap
sebagai suatu ilmu yang sifatnya rahasia dan hanya boleh diketahui oleh
para datu dan sisean (muridnya).
Pustaha dan Isinya 55
Porhalaan
Porhalaan ialah kalender Batak yang terdiri atas dua belas bulan
dengan masing-masing 30 hari. Kalender tersebut tidak pernah dipakai
untuk penanggalan melainkan untuk tujuan meramal hari yang baik yang
disebut panjujuron ari. Orang Batak dahulu kala tidak pernah mengeta-
hui angka tahun karena memang tidak pernah dihitung. Bulan dihitung
dengan mengurutkannya sebagai bulan pertama (bulan si pahasada),
kedua (si pahadua), dan seterusnya hingga bulan kesepuluh.11 Bulan ke-
sebelas dinamakan bulan li, dan bulan kedua belas dinamakan bulan hu-
rung.
Hari pertama setiap bulan (bona ni bulan) biasanya jatuh pada hari
yang menyusul bulan mati, dan bulan purnama jatuh pada hari keempat
belas. Permulaan tahun, yang dalam bahasa Toba disebut bona ni taon,
dapat ditentukan ketika rasi Skorpio (siala poriama) terbit di ufuk timur
dan rasi Orion (siala sungsang) terbenam di ufuk barat yaitu di bulan
Mei. Bila bulan sabit yang masih sangat tipis kelihatan menjelang
maghrib di sebelah utara Orion sebelum terbenam di ufuk barat, ialah
awal tahun baru kalender Batak (yang pada tahun 2001 jatuh pada
tanggal 23 Mei). Empat belas hari kemudian bulan purnama terbit di
ufuk timur dan mengambil posisi sebelah utara rasi Skorpio. Dari rasi
Skorpio (kala) kalender Batak dapat namanya, yakni porhalaan.
Diagram kalender dengan 12 bulan dan 30 hari sering diukir pada ruas-
ruas bambu. Pada setiap bulan terdapat gambar kala yang menempati tiga
hingga empat hari. Pada bulan pertama letaknya bulan purnama (hari
ke-14) masih dekat dengan Skorpio, sedangkan pada bulan-bulan berikut
bulan purnama makin menjauh dari rasi bintang tersebut.
Dalam bahasa Batak tidak ada istilah ‘minggu’, tetapi setiap bulan
dapat dibagi atas empat minggu yang masing-masing tujuh hari. Nama
ketujuh harinya dipinjam dari bahasa Sanskerta. Dalam dalam Sanskerta
hari pertama adalah Aditya (matahari) dan yang kedua Soma (bulan).
Kelima hari berikut dinamakan menurut salah satu bintang siarah, yakni

11. Walaupun ‘paha-’ dalam si pahasada dst. hanya merupakan awalan untuk mem-
bentuk bilangan urutan, awalan tersebut sering dianggap sebagai kata sendiri se-
hingga sering dapat dijumpai cara penulisan si paha sada atau dalam bahasa Karo si
paka sada; bandingkan Van der Tuuk (1971:187).
56 Surat Batak

Anggara (Marikh, Mars), Budha (bintang Utarid, Mercurius), Brihaspati


(Musytari, Yupiter), Syukra (bintang Johar, bintang timur, Zuhara,
Zohrah, Zuhrat, Venus), dan Syanaiscara (Zohal, Saturnus). Sistem tujuh
hari tersebut dipinjam dari India, tetapi dari nama-nama hari dalam
kalender Batak Karo tampak bahwa ada sistem asli Batak, ialah dengan
menghitung ketiga puluh hari tersebut. Perhatikan misalnya hari ketiga
(Nggara telu uari), keenam (Cukera enem berngi), kesembilan (Suma na
siwah), kesepuluh (Nggara sepuluh), kesembilan belas (Beraspati sepu-
luh siwah), dan hari kedua puluh (Cukera dua puluh). Hari ke-7, ke-14,
ke-21, dan ke-28 dalam kalender Karo juga masih menunjukkan nama
yang asli, yakni bělah, bělah purnama, bělah turun, dan mate bulan.
Pada hari kedua dan kelima terdapat tambahan pultak (bertambah besar),
sedangkan setelah bulan purnama pada hari ke-14 terdapat tambahan
cěpik (berkurang), měděm (tidur), mate (mati), holom (kelam), buni
(sembunyi), gok (penuh), duduk (akhir), yang semuanya menandakan bu-
lan yang makin mengecil. Ada pula beberapa nama hari atau tambahan
yang kurang jelas maksudnya. Hari kedelapan kalender Toba (antian ni
aek) misalnya jelas merupakan penyimpangan dari bentuk aditia naik.
Kurang jelas adalah tambahan mangadop (menghadap) dan tangkěp
(tangkap).
Tabel 5: Nama Hari menurut Kalendar Batak

Toba Karo
1 Artia Aditia
2 Suma Suma pultak
3 Anggara Nggara telu uari
4 Muda Budaha
5 Boraspati Beraspati pultak
6 Singkora Cukera enem berngi
7 Samisara Belah naik
8 Antian ni aek Aditia naik
9 Suma ni mangadop Suma na siwah
10 Anggara sampulu Nggara sepuluh
Pustaha dan Isinya 57

11 Muda ni mangadop Budaha ngadep


12 Boraspati ni tangkop Beraspati tangkep
Boraspati tinangkop
13 Singkora purnama Cukera lau
Cukera dudu
14 Samisara purnama Belah purnama
15 Tula Tula
Belah purnama raya
16 Suma ni holom Suma cepik
17 Anggara ni holom Nggara enggo tula
Nggara petula
18 Muda ni holom Budaha gok
Budaha ha
19 Boraspati ni holom Beraspati sepuluh siwah
20 Singkora mora turun Cukera dua puluh
Singkora dua pulu
21 Samisara mora turun Belah turun
22 Antian ni angga Aditia turun
Antian ni anggara
23 Suma ni mate Suma na mate
24 Anggara na begu Nggara si mbelin
Anggara ni begu
25 Muda ni mate Budaha medem
26 Boraspati ni gok Beraspati medem
27 Singkora duduk Cukera mate
28 Samisara bulan mate Mate bulan
29 Hurung Dalin bulan
30 Ringkar Samisara
58 Surat Batak

Sebagaimana juga halnya di ka-


wasan Nusantara lainnya, hari baru
bermula pada ketika matahari ter-
benam. Penentuan awal bulan dapat
dilakukan dengan perhitungan seca-
ra matematis dan astronomis untuk
menentukan posisi bulan (hisab)
atau dengan mengamati penampak-
an bulan sabit (rukyat).

Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang setelah matahari ter-


benam karena intensitas cahaya bulan sabit yang masih amat tipis sangat
redup dibanding dengan cahaya matahari. Karena, menurut pengetahuan
kita, orang Batak di zaman dahulu belum dapat menentukan posisi bulan
secara matematis maka awal bulan ditentukan dengan cara rukyat. Apa-
bila bulan sabit terlihat (hilal), maka pada petang waktu setempat telah
memasuki bulan (kalender) baru dengan hari Artia/Aditia. Bulan sabit
akan kelihatan di ufuk barat dekat dengan tempatnya matahari terbenam.
Beberapa saat kemudian bulan sabit pun terbenam di ufuk barat atau
menghilang di balik gunung (bagi mereka yang tinggal di pedalaman).
Secara astronomis, bulan baru bisa terjadi pada pagi, siang, sore, atau
malam. Apabila bulan baru terjadi sesudah jam 12 siang maka pada pe-
tang hari bulan sabit masih terlalu dekat pada matahari sehingga tidak
terlihat (pada saat bulan baru waktu bulan terbenam hampir sama dengan
waktu matahari tenggelam). Karena hilal tidak terlihat, maka awal bulan
ditetapkan mulai petang keesokan harinya walaupun secara astronomis
sudah bermula sehari lebih awal! Oleh sebab itu maka bona ni bulan
biasanya jatuh pada hari pertama atau malahan hari kedua sesudah
peristiwa bulan baru astronomis. Setelah tujuh hari bulan terbit pada jam
12 siang dan terbenam sekitar jam 12 malam. Pada saat itu nampak bulan
separuh dari bumi. Ketika ini bisa jatuh pada hari Samisara/Belah Naik
atau pada hari Antian ni Aek/Aditia Naik tergantung apakah bona ni
bulan dirukyat pada satu atau dua hari setelah hilal. Oleh sebab itu maka
nama kedua hari itu diberi tambahan naik. Tujuh hari kemudian adalah
Pustaha dan Isinya 59

bulan purnama yang jatuh pada hari Singkora Purnama/Cukera Lau atau
Samisara Purnama/Belah Purnama. Oleh karena itu kedua hari diberi
tambahan purnama.
Sama dengan matahari perjalanan bulan pun dari timur ke barat, akan
tetapi perjalanan bulan lebih lambat sehingga sesudah hari Aditia bulan
makin ketinggalan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada minggu perta-
ma setelah bulan baru. Posisi bulan pada jam 18:00 kian hari kian tinggi
yang dalam bahasa Melayu/Indonesia disebut sebagai ‘timbul’ akan teta-
pi dalam bahasa Batak istilahnya naik. Semakin timbulnya bulan terjadi
seiring dengan semakin bertambah besar (poltak/pultak) bulan sabit.
Oleh sebab itu maka keenam hari menyusul Artia/Aditia kerap diberi
tambahan poltak atau pultak yaitu Suma ni poltak, Anggara ni poltak,
Muda ni poltak, Boraspati ni poltak, Singkora ni poltak, dan Samisara ni
poltak sementara hanya sebagian dari keenam hari itu dalam bahasa Karo
diberi tambahan pultak: Suma pultak, Anggara telu hari, Budaha,
Beraspati pultak, Cukera Enem Berngi, Belah naik. Oleh sebab itu juga
maka mata angin barat dalam pustaha sering disebut sebagai hasundutan
ni mataniari, hapoltahan ni bulan.
Di daerah Karo sampai sekarang masih sering dipakai sebuah kalen-
der yang menggunakan tarikh Masehi maupun Batak. Di bawah tiap hari
Masehi dicetak hari menurut kalender Batak Karo berikut dengan ke-
terangan tentang baik-buruknya hari tersebut. Pada kalender tersebut
(yang dicetak oleh Toko Barus di Kabanjahe) hari ke-14 disebut belah
purnama raya sedangkan hari ke-15 adalah hari tula.
Kebetulan saya memiliki dua edisi dari kalender tersebut, yakni ta-
hun 1983 dan 1991. Setelah dicek, terdapat beberapa hal yang membuat
saya ragu apakah kalender tersebut sesuai dengan penanggalan Batak
yang tradisional. Pada kalender ini tanggal 29 Maret 1983 adalah hari
belah purnama raya bulan si paka-IX. Bulan purnama memang jatuh
pada hari tersebut (terbit jam 19:13). Di bulan berikut bulan purnama
jatuh pada tanggal 27 April (terbit jam 18:42). Perlu diketahui bahwa ku-
run waktu antara bulan purnama ke bulan purnama rata-rata 29,53 hari
(12 jam, 44 menit, dan 2.8 detik) sehingga dua belas bulan membentuk
satu tahun kamariah yang panjangnya 354.36 hari, sedangkan tiap bulan
Batak memiliki 30 hari. Tidak diketahui bagaimana orang Batak dahulu
60 Surat Batak

kala mengimbangi kekurangan tersebut. Pada kalender yang disebut di


atas hal ini memang diperhitungkan dengan cara bahwa setiap bulan se-
cara berganti-ganti mempunyai 29 atau 30 hari. Dengan demikian satu
tahun tidak mempunyai 360 hari melainkan hanya 354 hari. Saya hampir
yakin bahwa kalender ‘tradisional’ tersebut tidak berpangkal dalam tra-
disi tetapi disesuaikan dengan tarikh Hijrah karena ternyata tahun baru
Hijrah yang jatuh pada tanggal 13 Juli 1991 (1 Muharam 1412H) identik
dengan pergantian tahun Batak (hari Aditia, bulan si paka sada), kemu-
dian hari pertama bulan kedua identik dengan tanggal 1 Safar 1412H,
bulan si paka telu mulai pada tanggal 1 Rabiulawal dan seterusnya.
Kelompok Batak yang hingga kini masih menggunakan penanggalan
Batak adalah Parmalim. Parmalim adalah aliran kepercayaan yang ber-
dasar pada agama leluhur Batak. Penulis sudah tiga kali menyaksikan
acara si pahasada, ialah pada tanggal 2-4-1985, 8-4-1989, dan
30-3-1991. Menurut kalender Batak yang tradisional, tiap bulan berakhir
dengan mati bulan. Acara pertama dan ketiga dirayakan oleh Parmalim
yang berpusat di Huta Tinggi. Baik tanggal 2-4-1985 maupun 30-3-1991
tidak mungkin merupakan awal tahun (atau awal bulan). Acara 1985
diadakan tiga hari sebelum bulan purnama (hari ke-11 atau Muda ni
mangadop) dan acara 1991 diadakan pada bulan purnama atau hari
ke-14. Tidak diketahui bagaimana Parmalim Hutatinggi menentukan si
pahasada-nya, tetapi jelas tidak menurut cara tradisional Batak.
Acara si pahasada yang saya saksikan tahun kemudian (1989) dilak-
sanakan oleh kelompok Parmalim yang berpusat di Silaen. Kelompok
Parmalim ini tidak mempunyai hubungan dengan Parmalim Hutatinggi
dan merupakan sebuah aliran kepercayaan yang tersendiri. Acara terse-
but juga tidak bertepatan dengan hari Aditia, tetapi dekat sekali: 8.4.1989
adalah hari kedua (Suma). Akan tetapi konstelasi bintang yang terdapat
pada hari itu tidak sesuai dengan awal tahun Batak yang seharusnya jatuh
pada 5 Juni 1989!
Sebuah porhalaan sering diukir di sebuah ruas bambu. Ada yang ber-
bulan dua belas dan ada pula yang berbulan tiga belas. Bulan ke-13 dipa-
kai untuk menyesuaikan tahun kamariah dengan tahun matahari. Karena
kalender Batak berdasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi maka
satu tahun terdiri atas 12 bulan dengan masing-masing 30 hari sehingga
Pustaha dan Isinya 61

berjumlah 360 hari. Karena tahun kamariah tidak dapat digunakan untuk
tujuan yang berkaitan dengan bercocok tanam (menentukan bulan semai-
an dsb.) maka perlu ditambah satu bulan sehingga sesuai dengan lama-
nya perjalanan bumi mengitari matahari (365 hari). Hal tersebut dicapai
dengan menambah bulan ke-13 yang dinamakan bulan lobi-lobi atau
lamadu. Namun demikian, menurut Winkler (1913:443) bulan ke-13 ini
tidak berfungsi sebagai bulan kabisat. Sang datu selalu ikut memperhi-
tungkan bulan yang berikut (misalnya bulan lima dan enam, atau bulan
12 dan 13 - dan kalau tidak ada bulan 13 maka diambil bulan satu) untuk
mendapat kepastian dalam menentukan hari yang baik.
Pada diagram porhalaan yang sering diukir di suatu ruas bambu,
tampak 12 atau 13 bulan dengan masing-masing 30 harinya yang dibuat
dengan garis yang membujur dan melintang. Selain itu tampak pula be-
berapa garis sudut-menyudut yang masing-masing berpangkal pada hari
ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 di bulan pertama. Pada bulan kedua, hari
yang kena garis diagonal tersebut adalah hari ke-6, ke-13 dan seterusnya.
Hari-hari ini dikenal sebagai ari na pitu – hari-hari yang ketujuh yang
harus dihindarkan bila hendak memulai suatu pekerjaan yang baru. Se-
lain ari na pitu tersebut ada pula gambar kala jengking (hala) yang sudah
disebut di atas. Pada hari yang ditempati kepala, badan atau ekornya, ti-
dak boleh dilakukan upacara apa pun. Hari-hari yang lain ditandai de-
ngan bermacam-macam lambang yang tidak selalu seragam. Hari yang
baik biasanya ditandai dengan sebuah titik yang melambangkan butir
padi, sedangkan hari yang tak menentu ditandai dengan tanda silang.
Hari-hari yang lain biasanya kurang menguntungkan. Beberapa hari juga
ditandai dengan huruf. Hari yang ditandai Ha, Na, Ta dan O adalah hari
yang baik, huruf Ra menandai hari yang dapat diragukan, sedangkan hu-
ruf Pa, Sa, La, Nga, Ngu, Hu, dan Ba menandai hari yang buruk.
Hampir tidak ada kegiatan yang penting yang dilakukan tanpa meng-
gunakan porhalaan – menentukan saat persemaian, waktu panen, hari
perkawinan, mulai membangun atau memasuki rumah baru, mengadakan
perjalanan, berperang, dsb.
62 Surat Batak

Ari Rojang
Nujum yang masih erat berkaitan dengan porhalaan adalah ari
rojang yang jumlahnya 30 dan setiap hari diberi nama binatang. Di alam
Melayu nujum ini dikenal sebagai rejang, dan hari-harinya adalah 1.
kuda, 2. kijang, 3. harimau, 4. Kucing, dsb., tetapi di Batak tidak ada ke-
seragaman sehingga tidak mungkin memberikan daftar yang akurat.
Menurut sebuah pustaha dari koleksi Van der Tuuk (Leiden Cod. Or.
3402, hal. 142), nujum ari rojang dibuka pada kesempatan sebagai ber-
ikut:
Ia ulaon ni ari rojang, molo halak laho mordalan ba-
rang laho mangoli barang laho mortunggu barang la-
ho mortiga-tiga ditilik ma i; di si ma diboto na deng-
gan barang na dae. Molo tole ma ibana borhat diba-
hen ma pangalomuk dohot panahut. I ma ulaonni.
(Voorhoeve 1975:183)
Nujum rejang ini dibuka bila mau mengadakan per-
jalanan, pesta perkawinan, menagih utang, atau ber-
jualan agar diketahui baik buruknya hari. Kalau mau
mulai mengadakan suatu kegiatan agar dipersembah-
kan sajian yang membuat [dewa yang menguasai hari
tersebut] menjadi jinak dan takut. Demikianlah man-
faat nujum ini.

5.6.2 NUJUM DENGAN MEMAKAI BINATANG


Banyak ramalan berkaitan dengan binatang kurban, biasanya ayam
atau kerbau. Ada pula ramalan yang menggunakan leher babi atau anjing
yang dipotong yang disebut Aji Payung.
Pormanuhon (Aji Nangkapiring, Manuk Gantung)
Ramalan yang memakai ayam sebagai binatang kurban disebut por-
manuhon (manuk = ‘ayam’) yang dapat dibagi atas dua ramalan yang
agak berbeda: Aji Nangkapiring dan Manuk Gantung.
Ramalan Aji Nangkapiring dibuka sebelum melakukan sesuatu yang
penting, seperti mendirikan kampung atau rumah baru, mempersiapkan
perang, mengadakan perkawinan, dan juga untuk mengetahui sebab se-
buah penyakit. Ramalan ini cukup rumit dan biayanya besar sehingga
Pustaha dan Isinya 63

hanya orang kaya, atau seisi kampung yang sanggup melaksanakannya.


Secara ringkas, apa yang dilakukan pada ramalan tersebut adalah memo-
tong seekor ayam yang kemudian ditutup dengan sebuah keranjang. Oleh
karena itu ramalan tersebut juga dinamakan manuk di ampang (ayam di
keranjang). Bila ayam sudah mati, keranjangnya dibuka dan diperhatikan
letaknya ayam itu terhadap keempat sudut keranjang, terhadap desa na
ualu (kedelapan mata angin), terhadap hasea na pitu, yaitu tujuh jenis ra-
muan yang bersamaan dengan ayam ditaruh di bawah keranjang terse-
but12, dan terhadap datu yang duduk menghadap keranjang tersebut. Ra-
malan ini disebut Aji Nangkapiring menurut nama yang diberikan kepada
ayam jago yang dipotong (Winkler 1907:207; Tobing 1956:143).
Nujum manuk gantung juga termasuk pormanuhon, tetapi cara ra-
malannya berbeda sedikit. Ramalan ini biasanya dibuka pada saat sebuah
kampung diancam perang, atau pada saat sebuah kampung mengadakan
pagar. Setelah ayam itu dipotong, diperhatikan tanda-tanda pada paruh,
mata, bulu, dsb. Kemudian ayam itu dibelah dan diperhatikan tanda-
tanda di bagian dalamnya (Winkler 1925).

Porbuhitan
Persembahan seekor kerbau yang ditambat di borotan (tiang persem-
bahan) merupakan salah satu upacara yang paling penting bagi orang
Batak yang menganut agama leluhur. Upacara ini dihadiri oleh seluruh
bius13 dan dirayakan pada pergantian tahun (mangase taon atau mamele
taon) dengan maksud untuk memulihkan keselarasan dengan alam seme-
sta14. Upacara bius juga sering diadakan kalau suatu bius diguncang oleh

12. Ketujuh bahan (hasea) adalah gelang kuningan, daun sirih, baja (semacam getah
kayu yang keluar kalau kayunya dibakar), minyak kelapa, bunga-bungaan, dan se-
buah anting-anting emas.
13. Bius (di Samosir disebut buyus, dan di tempat lain bus) adalah gabungan beberapa
horja (federasi kampung) yang semarga atau yang terdiri dari beberapa marga yang
masih berada dalam satu ikatan genealogis. Biasanya mempunyai pusat tertentu yang
merupakan onan (pekan). Horja bius telah dibahas dalam beberapa karangan (Korn
1953; Situmorang 1993b; Tobing 1956:152; Vergouwen 1933:86; Winkler 1925:138;
Ypes 1932:160), sedangkan porbuhitan dibahas secara mendalam oleh Voorhoeve
(1958:132-133).
14. Upacara mangase taon diuraikan panjang lebar dalam buku The Toba-Batak High
God, transcendence and immanence oleh Anicetus B. Sinaga (1981).
64 Surat Batak

bencana, misalnya wabah penyakit atau musim kemarau yang berkepan-


jangan. Juga pada acara penting lainnya seperti mendirikan kampung
baru, atau wafatnya seorang raja tua dapat diadakan persembahan kerbau
dengan nujum porbuhitan. Saat kerbau yang dikurbankan ditikam de-
ngan tombak dan jatuh mati merupakan ketika yang sangat penting bagi
sang datu. Dari cara jatuh dan letaknya kerbau yang dipotong itu dapat ia
ramalkan berbagai hal sebagaimana telah ditetapkan di pustaha yang di-
milikinya. Nujum porbuhitan kadang-kadang dibahas panjang lebar da-
lam sebuah pustaha dan bisa mengisi puluhan halaman. Sebagai contoh
disajikan di sini kutipan ringkas saja dari sebuah pustaha Karo (Perpus-
takaan Kerajaan, Copenhagen, BAT. 32) yang ditulis dalam ragam baha-
sa hata poda (lihat BAB 2.3).
Jaha horbo marobo mangadoppon otara buhit manga-
meru nama tuwanni pusuk ni tali morsihotingan.
(Voorhoeve 1975:134-135)
Kutipan tersebut secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“Jika kerbau rebah menghadap utara [maka] nama
[daripada] tuah ini [adalah] bukit Mahameru; ujung
tali saling terkait.”
Kemudian dijelaskan bagian daging yang mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dimakan oleh pihak yang berperan dalam pesta tersebut,
sajian apa yang perlu dipersembahkan, dan sebagainya.
Kalau kerbau jatuh menghadap barat daya misalnya, hal ini bukan
pertanda yang baik melainkan pertanda yang buruk: “Jaha horbo marobo
mangadoppon nariti, buhit bayo tora tilahan ni horbo inon” (Jika kerbau
rebah menghadap barat daya [maka nama daripada] celaka kerbau ini ini
[adalah] bukit Bayo Tora).
Kedua kutipan di atas tidak mudah dimengerti, tetapi sangat menarik
bila disimak secara lebih mendalam. Dalam hampir semua nujum porbu-
hitan, tetap terdapat beberapa kata kunci yakni nama, buhit, mangameru,
tuwanni atau tuwannya, dan tilahan atau tilahannya. Menarik untuk dica-
tat bahwa tuwannya dan tilahannya ditulis dengan aksara Nya karena
bunyi tersebut tidak ada dalam bahasa Toba. Selain pada kedua kata
tersebut huruf Nya hanya terdapat pada kata irisannya (timur laut). Kata
ini memang berasal dari bahasa asing (Sanskerta aiśěnī). Pada umumnya
Pustaha dan Isinya 65

hanya kata asing yang ditulis dengan aksara Nya. Tilaha dalam bahasa
Batak berarti ‘kematian anak’, tetapi secara etimologi padanan tilaha
adalah ‘celaka’ sehingga tilahannya dengan huruf Nya dapat dianggap
berasal dari bahasa Melayu ‘celakanya’, dan dalam kaitan dengan nujum
dapat diartikan ‘[pertanda yang] kurang baik’. Sedangkan kata tuwannya
dipakai sebagai lawannya tilaha sehingga dapat disimpulkan bahwa
tuwannya berasal dari Melayu ‘tuah=nya’ (untung, bertuah). Jelas juga
bahwa nama di sini bukan dipakai dalam arti Batak (nama = hanya),
melainkan dalam arti Melayu.15 Arti buhit yang terdapat dalam kata
Pusuk Buhit (nama sebuah gunung) serta dalam beberapa nama kampung
kurang jelas, namun kemungkinan berarti ‘tinggi’. Dalam nujum ini di-
katakan bahwa nama tuwanni atau nama tilahan adalah buhit yang dalam
nujum ini disebut Mangameru, Bayo Tora, dan masih banyak nama lain.
Nama yang paling sering terdapat adalah “Mangameru” yang berasal dari
Mahěmeru – gunung suci dalam mitologi India. Jelas bahwa nujum
porbuhitan ini banyak menunjuk pengaruh asing, terutama India dan
Melayu, dan hal itu memang benar bagi sebagian besar nujum Batak.
Pada umumnya pengaruh India itu tidak langsung masuk ke tanah Batak
melainkan melalui budaya Melayu sebagai perantara.

5.6.3 NUJUM-NUJUM LAINNYA


Rambu siporhas adalah sebuah tali ijuk yang panjangnya sekitar satu
meter. Pada tujuh bagian tali tersebut diikat dengan bonang manalu,
(benang triwarna). Nujum ini dibuka pada saat perang. Semua laki-laki
yang ikut perang duduk di atas tikar yang dibentangkan di halaman kam-
pung. Sang datu duduk terpisah dengan kain ulos ragidup di depannya.
Kemudian datu mulai mengucapkan mantra dan melemparkan rambu
siporhas di atas ulos yang terbentang di depannya. Dari letaknya tali
yang dilempar tadi sang datu dapat meramal apakah mereka menang atau
kalah (Voorhoeve 1975:145).
Nujum panampuhi dibuka untuk menentukan cocok tidaknya jodoh,
dan juga untuk meramal hasil perang. Untuk tujuan yang pertama diam-
bil sebiji jeruk yang kedua ujungnya dipotong. Kedua potongan lalu di-

15. Kata ‘nama’ sendiri berasal dari bahasa Sanskerta.


66 Surat Batak

jatuhkan di tempat berisi air yang telah disediakan. Dari cara jatuhnya
dapat dilihat apa kedua jodoh cocok atau tidak (Winkler 1925:189).
Masih banyak ramalan-ramalan lain yang dapat disebut di sini seperti
pangharhari (meramal dengan memperhatikan tanda-tanda pada telur
yang direbus dan kemudian dibelah dua), parmunian (membaca tanda-
tanda alam dan mimpi), parombunan (membaca tanda pada awan), atau
ruji-rujian ialah potongan-potongan bambu yang diikat seperti ikat
kunci. Masing-masing potongan bambu mengandung beberapa kata atau
kalimat. Ikatan tersebut ditaruh di atas kepala orang yang disuruh
memilih salah satu potongan bambu. Dari kata-kata yang tertulis di atas-
nya ketahuan bagaimana nasibnya atau apa harinya cocok untuk melaku-

|
kan suatu pekerjaan.
6 AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA

Surat Batak sering diklasifikasikan sebagai sebuah silabogram,


namum ini jelas keliru karena aksara Batak – sebagaimana juga aksara-
aksara lainnya di Nusantara – merupakan bagian dari rumpun tulisan
Brahmi (India) yang lebih tepat dapat diklasifikasikan sebagai abugida
(paduan antara silabogram dan abjad). Sebuah abugida terdiri dari aksara
yang melambangkan sebuah konsonan sementara vokal dipasang pada
aksara sebagai diakritik. Abugida adalah jenis tulisan yang bersifat
fonetis dalam arti bahwa setiap bunyi bahasanya dapat dilambangkan
secara akurat.

6.1 Asal Usul Aksara Batak


Paleografi adalah ilmu tentang tulisan-tulisan kuno. Di banyak
masyarakat yang mengenal tulisan terdapat naskah-naskah kuno yang
umurnya dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Aksara yang
terdapat pada naskah-naskah kuno pada umumnya berbeda dengan ak-
sara yang terdapat dalam naskah yang lebih baru. Dengan cara memper-
bandingkan aksara-akasara yang terdapat dalam naskah-naskah lama,
kita dapat menyusun semacam silsilah aksara.
Sebagian besar sistem tulisan yang ada di Afrika, Eropa, dan Asia
berasal dari satu sumber, yakni aksara Semit Kuno yang menjadi nenek
moyang tulisan-tulisan Asia (Arab, Ibrani dan India) maupun Eropa
(Latin, Yunani dsb.)
Aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang ter-
tua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni
India Utara dan India Selatan. Aksara Nagari dan Palawa masing-masing
berasal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya pernah dipa-
kai di berbagai tempat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Casparis
68 Surat Batak

1975). Yang paling berpengaruh adalah aksara Palawa. Semua tulisan


asli Indonesia berinduk pada aksara tersebut.
Pada Gambar 8 dapat dilihat di mana secara garis besar tempatnya
aksara Batak dalam silsilah tulisan sedunia.

Gambar 8: Silsilah Aksara


Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf yang masing-masing di-
sebut ina ni surat dan anak ni surat. Sistem tulisan yang demikian juga
dipakai oleh semua abjad India dan abjad-abjad turunannya. Dan me-
mang aksara Batak dan demikian juga semua aksara Nusantara lainnya
yang berinduk pada aksara India).16 Namun demikian, kerabat surat Ba-
tak yang paling dekat adalah aksara-aksara Nusantara, dan khususnya
yang di Sumatra. Tulisan Nusantara asli dapat dibagi atas lima kelom-
pok:
1. Aksara Hanacaraka (Jawa, Sunda, Bali)

16. Yang dimaksud dengan “aksara Nusantara” adalah aksara-aksara turunan India yang
terdapat di kepulauan Asia Tenggara.
Aksara Batak dan Sejarahnya 69

Ketiga aksara ini sangat mirip sekali dan disebut Hanacaraka menu-
rut lima aksara yang pertama. Menurut De Casparis, ketiga tulisan terse-
but berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksara Kawi secara
langsung berasal dari aksara Palawa (Casparis 1975).
2. Surat Ulu (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan
Serawai)
Surat Ulu, yang kadang-kadang juga dinamakan aksara Ka-Ga-Nga
menurut bunyi ketiga aksara pertama, sangat mirip satu sama lain dan di-
pakai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi
yakni Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Kerinci
(surat incung) digunakan di Kabupaten Kerinci, propinsi Jambi, di seki-
tar kota Sungaipenuh. Dataran tinggi di pegunungan Bukit Barisan ini
berbatasan dengan propinsi Sumatra Barat dan propinsi Bengkulu.
Aksara yang ada di kabupaten Rejang-Lebong, Propinsi Bengkulu,
juga dikenal sebagai aksara Rencong. Masih di kabupaten Bengkulu dan
di perbatasan Bengkulu-Sumatra Selatan terdapat beberapa suku bangsa
yang memiliki aksara yang hampir sama dengan aksara Rejang-Lebong,
yakni aksara Lembak, Pasemah, dan Serawai. Aksara Lampung berbeda
sedikit dari Surat Ulu, tetapi masih banyak memiliki persamaan.
3. Surat Batak (Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, Pakpak-
Dairi, Karo)
4. Aksara Sulawesi (Bugis, Makasar, dan Bima)
Di Sulawesi terdapat dua aksara yang berbeda. Yang pertama adalah
aksara Makasar Kuno. Naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara
tersebut sangat sedikit jumlahnya karena sejak abad ke-19 tidak dipakai
lagi. Aksara kedua adalah aksara Bugis yang kemudian juga digunakan
oleh orang Makasar menggantikan aksara Makasar Kuno. Pada hakikat-
nya aksara Bugis-Makasar tersebut persis sama, perbedaannya hanya ada
pada jumlah huruf karena Bugis mempunyai empat aksara tambahan.
Aksara Bugis-Makasar pernah juga digunakan di Bima dan Ende (bekas
daerah taklukan Makasar), namun naskah dari kedua daerah tersebut
sangat langka sekali. Sama dengan di Sumatra, orang Bugis pun mena-
makan aksaranya surat: Surat Bugis.
70 Surat Batak

5. Aksara Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagbanwa, Mangyan)


Seperti juga halnya dengan ketiga kelompok di atas, aksara Filipina
juga merupakan suatu kelompok yang mempunyai beberapa sistem tulis-
an yang satu sama lainnya banyak menunjukkan persamaan.
Keempat aksara adalah Sulat Bisaya, Sulat Tagalog, Surat Tagbanwa,
dan Surat Mangyan.
Naskah yang paling lama pada umumnya ditulis pada bahan yang da-
pat bertahan lama seperti di batu atau di lempengan logam. Batu bertulis
yang paling tua di Indonesia adalah prasasti Raja Mulavarman yang dite-
mukan di Kutai, Kalimantan Barat yang ditulis pada tahun 322 Saka
(tahun 400 Masehi). Hampir sama tua (450 M) adalah prasasti Raja Pur-
navarman yang ditemukan di Ci Aruten, Jawa Barat. Kedua prasasti ter-
sebut beraksara Palawa, dan berbahasa Sanskerta. Prasasti-prasasti Sriwi-
jaya dari abad ke-7 juga masih menggunakan aksara Palawa, tetapi baha-
sanya lain, yakni bahasa Melayu Kuno. Lambat-laun aksara Palawa ter-
sebut berubah bentuknya sehingga pada abad kedelapan menurunkan ak-
sara Kawi (baik di Sumatra maupun di Jawa). Aksara Kawi tersebut ma-
sih relatif mirip dengan aksara induknya, tetapi di sepanjang abad aksara
itu berkembang lagi dan bentuk hurufnya berubah. Sebagai akibat perke-
mbangan tersebut, pada abad ke-14 terbentuk beberapa aksara serumpun,
termasuk Sumatra (prasasti Adityawarman) dan Jawa (prasasti Majapa-
hit) yang sudah sangat berbeda dari aksara Palawa. Sedangkan aksara Ja-
wa hanacaraka (abad kedelapan belas hingga kini) juga jauh berbeda
dengan aksara Kawi di zaman Majapahit. Bila kita perhatikan perubahan-
perubahan yang terjadi di sepanjang abad menjadi jelas bahwa perubahan
itu tidak terjadi secara mendadak melainkan secara berkesinambungan.
Sebagai contoh, mari kita simak sejarah perkembangan huruf Na.
Pada naskah Batak ditemukan empat bentuk Na. Yang berbentuk
boleh dianggap yang paling tua karena masih mirip dengan bentuk aksara
Palawa dan Kawi (kolom 2–4). Na-kuno ini memiliki varian yang
memperlihatkan perkembangan ke arah bentuk baru n dan n.
Aksara Batak dan Sejarahnya 71

Tabel 6: Perkembangan Bentuk Aksara Na

Palawa Maja- Amogha Tj. Bali Jawa Batak


pahit pasa Tanah Baru Baru

nn
Pada kolum pertama tabel di atas terlihat huruf Na sebagaimana ditu-
lis di India pada awal dan pertengahan milenium pertama. Kolom kedua
memperlihtakan aksara yang sama sekitar seribu tahun kemudian (abad
ke-14). Ternayata dalam kurun waktu seribu tahun bentuk Na Majapahit
itu tidak berubah jauh dengan bentuk Palawa; bagian bawah masih ham-
pir sama, namun bagian atas disederhanakan. Kolom ke-3 dan ke-4 mem-
perlihatkan dua bentuk aksara yang juga dari abad ke-14, tetapi diguna-
kan di Sumatra, persisnya di Dharmasraya, di perbatasan Sumatra Barat
dan Jambi. Walaupun bentuknya berbeda, kedua aksara berasal dari masa
dan tempat yang sama. Keduanya digunakan pada abad ke-14 di dalam
kerajaan Malayu. Yang pertama ditulis pada naskah Tanjung Tanah yang
berasal dari Dharmasraya, dan yang kedua ditemukan pada bagian bela-
kang patung Amoghapasa yang ditulis oleh Adityawarman dan ditemu-
kan di Dharmasraya juga. Bentuk Na naskah Tanjung Tanah tidak berbe-
da jauh dengan bentuk aksara Bali Baru namun Jawa Baru sudah makin
menjauh dari aksara asalnya.
Jelas kelihatan di sini bahwa aksara Palawa dan Kawi masih sangat
mirip, dan juga Batak q, yakni Na-kuno, masih cukup dekat dengan
aksara Palawa dan Kawi, sementara Batak n (Na-Baru) merupakan
penyederhanaan bentuk q.
Dengan adanya sejumlah naskah kuno, terutama prasasti dan naskah
yang ditulis di lempengan-lempengan tembaga atau emas, maka sejarah
aksara Jawa dapat ditelusuri kembali sampai pada awal perkembangan
aksara Kawi. Orang Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Bugis, Makasar
72 Surat Batak

dan juga orang Filipina pada umumnya tidak mengenal prasasti atau nas-
kah logam, dan hanya menggunakan bahan yang mudah lapuk seperti
bambu, kulit kayu (Sumatra), dan lontar (Sulawesi). Naskah yang masih
ada pada umumnya tidak lebih tua daripada 200 tahun sehingga kita ti-
dak tahu banyak tentang sejarah perkembangan aksara-aksara Nusantara
tersebut. Diduga bahwa semua tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali
berasal dari sumber yang sama yang dianggap berada di Sumatra bagian
selatan pada masa kejayaan Sriwijaya.
Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara
Batak adalah aksara Kerinci (surat incung), aksara Lebong, Lembak,
Lintang, Pasemah, Rejang, Serawai (surat ulu), serta aksara Lampung.
Sama dengan daerah Batak, daerah-daerah tersebut juga agak terpencil di
daerah pegunungan sehingga kurang terpengaruh oleh pengaruh-penga-
ruh asing yang dibawa dari seberang lautan dan secara lambat merembet
dari pesisir ke pedalaman. Salah satu pengaruh budaya asing adalah ma-
suknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam bersebar
pula tulisan Arab yang di Melayu terkenal sebagai tulisan Jawi. Aksara
"Arab gundul" tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli
yang kemudian hilang sama sekali. Karena daerah-daerah yang disebut di
atas berada di pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru
dirasakan pada abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat bertahan
sampai pada abad ke-20. Besar kemungkinan bahwa aksara Minangka-
bau dan Melayu juga pernah ada, tetapi kemudian digantikan oleh tulisan
Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas.
Aksara-aksara surat ulu di Sumatra bagian selatan banyak memiliki
persamaan dengan huruf Batak. Huruf Ka, Ga, dan Ha hampir sama ben-
tuknya, dan juga huruf Da masih banyak menunjukkan persamaan.
Tabel 7: Persamaan Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Incung

Surat Batak Surat Ulu Surat Incung


Ka k k k
Ga g g g
Da d d d
Aksara Batak dan Sejarahnya 73

Ha a h h
Sebagian nama anak huruf (lihat BAB 6.1.2) juga sangat mirip.
Selain itu semua aksara Sumatra dan termasuk juga sebagian aksara
Sulawesi dan Filipina memiliki persamaan yang struktural yang membe-
dakannya dengan aksara India, Asia Tenggara, Jawa, dan Bali. Ciri-ciri
khas aksara-aksara Sumatra, Sulawesi, dan Filipina adalah
kesederhanaannya.
Dibandingkan dengan aksara-aksara India yang memiliki empat pu-
luhan aksara ditambah belasan tanda diakritik, tulisan-tulisan Nusantara
jauh lebih sederhana. Tulisan Jawa dan Bali memiliki 20 aksara dan 10
diakritik, tulisan Lampung memiliki 20 aksara dan 12 diakritik, tulisan
Makasar 19 aksara dan 5 diakritik, dan tulisan Tagalog hanya 15 aksara
dan dua diakritik.
Tulisan-tulisan India dan juga tulisan Sunda, Jawa, dan Bali mem-
punyai tanda “pasangan”, ialah tanda diakritik penanda konsonan yang
ditulis untuk menutup konsonan lain di depannya. Tulisan-tulisan
Nusantara di luar Jawa dan Bali tidak menggunakan pasangan sehingga
jumlah huruf yang harus dihafal jauh berkurang.
Kesederhanaan dalam bentuk aksaranya juga adalah ciri-ciri khas
bagi aksara-aksara tersebut. Bila dibandingkan dengan aksara Jawa atau
Bali, tampak bahwa aksara Sumatra, Sulawesi dan Filipina mempunyai
bentuk yang lebih sederhana. Bentuk yang berlengkung-lengkung telah
diganti oleh bentuk yang lebih bersegi yang lebih sesuai untuk menulis di
permukaan yang keras seperti di kulit bambu.
Aksara-aksara tersebut juga memperkenalkan sebuah hal yang baru
yakni aksara-aksara yang didahului bunyi sengau. Batak (Karo) memiliki
dua huruf tambahan yakni Mba dan Nda, aksara Kerinci dan Rencong
menambahkan dua lagi yakni Ngga dan Nja. Aksara Bugis juga mem-
punyai empat aksara yang bersengau ialah Ngka, Mpa, Nra, dan Nca.
Perlu dicatat bahwa gejala tersebut tidak ada pada aksara Batak selain
Karo, dan juga tidak ada di Lampung, Makasar, dan Filipina.
Karena persamaan-persamaan yang tadi disebut, dapat diduga bahwa
semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari satu aksara
purba. Aksara purba tersebut kemungkinan besar tercipta di daerah Su-
74 Surat Batak

matra selatan pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya. Ak-
sara purba tersebut dapat dipastikan tercipta di bawah pengaruh aksara-
aksara Palawa yang telah berkembang di wilayah tersebut, namun diolah
sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi lebih sederhana supaya
lebih mudah dipelajari, lebih sesuai untuk bahasa-bahasa setempat (yang
dari segi bunyi jauh lebih sederhana daripada bahasa-bahasa India), dan
juga lebih sesuai untuk menulis di atas bambu. Bagaimana persisnya
perkembangan aksara Sumatra selanjutnya, bagaimana hubungannya
dengan kerabat-kerabat lainnya di Filipina dan di Sulawesi, dan bagai-
mana persisnya peranan aksara Jawa dalam pembentukan aksara Sumatra
tidak diketahui dan mungkin juga kelak tidak akan diketahui.
Walaupun pengetahuan kita tentang masa lampau aksara Batak sa-
ngat terbatas, kita dapat mengetahui sedikit tentang sejarah perkemba-
ngan aksara Batak dengan cara memperbandingkan aksara Batak satu
sama lain, dan juga dengan aksara Nusantara lainnya. Ternyata penelitian
yang demikian yang sampai sekarang belum pernah dilakukan, sangat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan
dan arah penyebaran aksara Batak. Analisa ini dimulai pada ina ni surat.

6.1.1 AKSARA (INA NI SURAT)


Van der Tuuk berpendapat bahwa perkembangan aksara Batak terjadi
dari selatan ke utara, dan bahwa daerah asalnya di Mandailing (Tuuk
1971:77). Parkin (1978:100) juga berpendapat demikian karena alasan-
alasan berikut:
Aksara Nya, Wa dan Ya melambangkan tiga bunyi yang terdapat
dalam bahasa Mandailing sementara dalam bahasa Toba tidak ada bunyi
[ny], [w], atau [y]. Dengan demikian ketiga huruf tersebut sebenarnya
mubazir karena tidak terdapat bunyinya dalam bahasa Toba. Sebagai
contoh, Mandailing sayur menjadi saur di Toba, manyurat menjadi
manurat. Pada bahasa Pakpak dan Karo tidak ada bunyi [ny] dan juga
tidak ada aksara Nya. Keberadaan Nya di aksara Toba membuktikan
bahwa aksara Toba berasal dari Mandailing.
Argumentasi Parkin sangat masuk akal. Sekiranya aksara Batak
mula-mula tercipta di Toba, tak mungkin ada huruf Nya, karena tidak
ada bunyi itu dalam bahasa Toba. Di Tanah Karo – daerah yang paling
Aksara Batak dan Sejarahnya 75

utara letaknya, huruf [ (yang di selatan berbunyi Nya) berubah


maknanya menjadi Ca. Ternyata urutan dalam abjadnya tetap sama
dengan posisi Nya ialah antara La dan I. Dengan demikian, huruf
[ menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan
ke utara. Teori tersebut juga didukung oleh faktor-faktor lainnya:
Keragaman dalam varian-varian aksara paling besar di Mandailing,
disusul oleh Toba dan Karo. Namun di Karo, keragaman tersebut dise-
babkan oleh adanya perkembangan-perkembangan yang relatif baru se-
perti variasi yang ada pada huruf Sa, Da, dan Ca, dan terutama karena
adanya sejumlah aksara baru seperti ketiga varian Mba B, v dan f
serta kedua varian Nda ({ dan }). Semua varian tersebut merupakan
perkembangan baru dan tidak ada di daerah Batak lainnya.
Huruf Ma memiliki berbagai varian di Toba dan Angkola-Man-
dailing: 7, 8, dan m, sementara di Pakpak, Karo dan Simalungun
masing-masing hanya ada satu bentuk saja. Di antara ketiga varian tadi,
bentuk m biasa digunakan di Angkola dan Mandailing, tetapi agak
jarang digunakan di Toba yang lebih cenderung memakai 7 dan 8.
Keragaman dalam varian-varian aksara di Toba, dan khususnya di Man-
dailing menunjuk pada usia tinggi tulisan di daerah itu. Sebagai contoh
akan saya mengemukakan dua aksara, yakni Na dan Ja.
Sebagaimana telah ditunjuk di atas, bentuk Na dalam aksara Kawi
sangat mirip dengan varian q yang terdapat di Mandailing dan di Toba.
Hal ini tidak berarti bahwa aksara Batak berasal dari aksara Kawi,
melainkan menunjukkan bahwa kedua aksara tersebut masih mempunyai
nenek moyang yang sama atau bahwa terdapat pengaruh Jawa pada seja-
rah perkembangan aksara Batak purba. Keberadaan varian q yang oleh
Voorhoeve disebut "Na kuno" di Mandailing dan Toba juga menunjuk-
kan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara.
Bentuk aksara Ja (j) sama dengan aksara Da (d) yang ditambah
sebuah garis horisontal. Hal yang sama juga berlaku untuk da dan ja pada
aksara Kawi, tetapi bukan pada aksara Palawa sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada tahap awal perkembangan aksara Batak mesti
ada pengaruh Kawi. Aksara j kemudian disederhanakan sehingga di
daerah utara dari Toba hanya bentuk j yang ada.
76 Surat Batak

Gambar 9: Contoh aksara Karo

Gambar 10: Contoh aksara Simalungun


Aksara Batak dan Sejarahnya 77

Gambar 11: Contoh aksara Karo di bambu


Naskah ini merupakan ratap tangis atau bilang-bilang.

Catatan untuk Gambar 12 dan Gambar 13 di halaman berikut


Perhatikan bentuk huruf Ja j (huruf pertama di baris kedua). Pada
naskah ini Ta-utara t (baris 9 huruf ketiga) digunakan, namun sekali
muncul Ta-Selatan t yaitu dalam kata sita-sita (kata terakhir pada
baris 12) yang ditulis sitsit.
Perhatikan bentuk huruf Ma yang berbentuk 0 maupun 4.
Naskah ini mudah teridentifikasi karena bentuk L (lu) dan huruf Sa s
yang khas Mandailing.
Gambar 12: Contoh aksara Toba.

Gambar 13: Contoh aksara Mandailing.


Bila kita perbandingkan kedua aksara selatan
(Angkola-Mandailing dan Toba), ternyata hanya
terdapat sedikit perbedaan saja. Aksara Toba
kehilangan beberapa varian dari aksara Sa dan
Ha, tetapi di daerah Toba juga terjadi perkem-
bangan baru dengan memperkenalkan varian Ta
(f) dan varian Wa (v). Namun tidak tertutup
pula kemungkinan bahwa f dan v adalah
bentuk yang lebih lama yang di Mandailing dan
di sebagian Toba kemudian berubah menjadi
varian Ta (t) dan varian Wa (w)!
Bertolak pada anggapan bahwa t dan w
adalah bentuk yang lebih lama, dan f dan v
perkembangan baru, maka kedua varian f dan
v kemudian bersebar ke arah utara ke Pakpak-
Dairi (v) dan Karo (f). Mesti diakui bahwa
secara teoretis terdapat kemungkinan bahwa
varian v merupakan perkembangan baru di Pak-
pak-Dairi yang kemudian bersebar ke selatan lalu
dipakai di sebagian daerah Toba. Akan tetapi ke-
mungkinan tersebut hanya kecil saja. Sebagai-
mana akan ditunjukkan nanti, terlalu banyak indi-
kasi bahwa perkembangan aksara Batak adalah
dari selatan ke utara dan bukan sebaliknya.

Kiri: Surat Ompu ni Marlopuk kepada L.I. Nom-


mensen. (Teks yang lengkap ada di hal. 136, dan
transliterasi serta terjemahan di hal. 156.

Gambar 14: Contoh aksara Toba.


80 Surat Batak

Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalungun
memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa,
s dan 0, dan juga varian Ha k (yang sangat mirip dengan varian-
varian Angkola-Mandailing h dan w) terdapat di Mandailing dan di
Simalungun, tetapi tidak di Toba. Hal itu menunjukkan bahwa ada ke-
mungkinan besar bahwa sudah sangat dini aksara Batak dari Mandailing
masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya dengan garis horisontal yang
melengkung juga menunjukkan pengaruh Mandailing. Menurut Van der
Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta t dan Wa w dipakai di
"Toba Timur", sedangkan varian f dan v dipakai di daerah "Toba Ba-
rat". Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan daerah mana yang dimak-
sud dengan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi kalau Van der Tuuk
benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:
Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Mandai-
ling, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana ak-
sara Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba
Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Simalungun) di
dareah antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Ak-
sara Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkembangan yang ber-
arti, tetapi berubah sedikit bentuknya sehingga semua aksara kelihatan
seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana kelihatan
sekali pada huruf Ma dan Ra.
Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis huruf: Toba
Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan: t, dan w, dan Toba
Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara: f dan v. Bentuk utara ini
dapat dianggap sebagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba
Barat ke Pakpak-Dairi (f dan v) dan Karo (hanya f). Perlu dite-
gaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba Timur’ dan ‘Toba
Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asalnya terlalu sedikit. Lagi
pula, bentuk huruf mana yang dipakai oleh salah seorang juga sangat
tergantung pada gurunya. Sifat datu yang suka mengembara turut menga-
burkan batas-batas antara daerah.
Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling belakangan
menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya berkem-
bang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai
Surat Batak 81

koleksi di mancanegara membuktikan bahwa bukan saja para datu (di


Karo disebut guru) bisa membaca dan menulis. Di situ juga banyak ter-
dapat pulas – semacam surat kaleng yang di daerah Karo juga terkenal
sebagai musuh běrngi (musuh di malam hari). Tetapi bukti yang paling
kuat bahwa aksara Batak cukup umum diketahui oleh para pria Karo
adalah kebiasaan menulis ratapan percintaan (bilang-bilang) di ruas-ruas
bambu. Barangkali justru karena surat Batak di Karo menjadi demikian
populer, maka terjadi perkembangan-perkembangan yang baru seperti
dibuktikan oleh huruf Mba dan Nda yang khas Karo.

6.1.2 TANDA DIAKRITIK (ANAK NI SURAT)


Setiap anak ni surat memiliki nama tersendiri yang berbeda-beda
tergantung pada daerahnya. Studi perbandingan nama diakritik tersebut
ternyata sangat bermanfaat dalam menentukan arah penyebaran aksara
Batak dan juga menunjukkan beberapa persamaan dengan nama diakritik
di Sumatra Selatan dan di Jawa.

BE (Jawa taling, Lampung keteliling, Rejang katiling)


Di Mandailing, diakritik ini dinamakan talinga – hampir sama de-
ngan istilah yang dipakai di Jawa, Rejang, dan Lampung.
Di Simalungun, nama diakritik tersebut ditambah dengan awalan ha-
dan akhiran -an sehingga menjadi hatalingan. Karo kětělengěn ba-
rangkali berasal dari Simalungun hatalingan.
Di Toba dan Pakpak hatalingan menjadi hatadingan. Sebabnya ada-
lah barangkali bahwa taling tidak berarti apa-apa dalam bahasa Batak,
sedangkan tading berarti ‘tinggal’. Dengan demikian hatadingan dapat
diartikan ‘ketinggalan’, dan pemberian nama tersebut masuk akal meng-
ingat diakritik tersebut berada sebelah kiri huruf induk, jadi dia seolah-
olah ‘ketinggalan’ di belakang.
Kemungkinan besar bahwa istilah hatadingan bukan langsung
berasal dari Mandailing, melainkan melalui Simalungun hatalingan.
Mengingat bahwa daerah Simalungun tidak berbatasan langsung dengan
daerah Angkola-Mandailing, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah ha-
82 Surat Batak

talingan “lahir” di daerah perbatasan Toba-Simalungun. Hal ini sesuai


sekali dengan hipotesa bahwa aksara Toba dan Simalungun berasal dari
aksara purba Toba-Simalungun kira-kira di daerah antara kota Parapat
dan Balige. Secara sederhana, penyebaran nama diakritik tersebut adalah
sebagai berikut17:

M Talinga
|
S Hatalingan T Hatadingan
| |
K Kětelengan P Ketadingin

o, u

Bo
Diakritik yang berbentuk x memiliki makna [o] kecuali di Karo di
mana bunyinya adalah [u]. Di Mandailing diakritik ini bernama siala ulu.
Siala tidak ada artinya, tetapi ulu berarti ‘kepala’, barangkali karena le-
taknya yang ‘mengepalai’ huruf induknya. Selain diakritik ini ada lagi
diakritik /i/ yang sama posisinya, dan juga namanya agak mirip yakni
ulua.
Di Toba siala ulu dipersingkat menjadi siala saja, dan terdapat pula
nama kedua untuk diakritik tersebut yakni sihora. Di Pakpak-Dairi na-
manya persis sama (kalau ditulis), tetapi diucapkan sikora karena makna
huruf h di Toba adalah [ha] sedangkan di Pakpak-Dairi selalu [ka]. Si-
malungun sihorlu, dan Karo sikurun masih mirip bunyinya dengan si-
hora, namun kurang jelas bagaimana kepastiannya:

M Siala Ulu
|
T Siala T Sihora
|
P Sikora (S Sihorlu, K Sikurun)

17. K = Karo, P = Pakpak-Dairi, S = Simalungun, T = Toba, M = Angkola dan Man-


dailing.
Surat Batak 83

u, ě

Bu (M, T, S, P) Be (K, P)
Diakritik ini terdapat dua kali di Pakpak, sekali sebagai tanda yang
mewakilkan bunyi [u] dan sekali lagi sebagai tanda yang mewakilkan
bunyi [ə], yaitu ě-pepet. Yang pertama disebut kaběrětěn, yang kedua
kaběrětěn podi. Silsilah aksara ini jelas sekali. Kata kaběrětěn berasal
dari Mandailing boruta (juga disebut buruta) yang menurunkan bentuk
Toba haboruan dan haborotan. Kedua nama ini merupakan hasil
interpretasi dari kata boruta dan buruta. Boruta jelas dianggap sebagai
gabungan kata boru ‘anak perempuan’ dan akhiran -ta ‘kita’.
Sebagaimana dapat dilihat pada Mandailing talinga yang menjadi
Simalungun hatalingan, dan Mandailing amisara yang menjadi Toba
hamisaran, terdapat kecenderungan untuk menambah imbuhan ha-...-an.
Dengan demikian boru=ta menjadi ha=boru=an. Sebagaimana juga
terjadi dalam hal hatalingan yang menjadi hatadingan (ialah interpretasi
makna berdasarkan letaknya), diakritik ini pula mendapatkan nama
keduanya haborotan (ha=borot=an) karena ia bersatu atau ‘tertambat’
(artinya borot adalah ‘tambat’) pada huruf induknya.

M Boruta (Buruta)
|
T Haboruan T Haborotan
| |
P Kaběrětěn [u],
P Kaběrětěn Podi [ə] S Haboritan [u]
|
K Kěběrětěn [ə]

ng

B^ (India Anusvara)
Nama diakritik ini adalah amisara di Mandailing yang bunyinya
mirip sekali dengan nama diakritik ini di India yakni anusvara. Di Toba
dan Simalungun ditambah dengan bunyi sengau [n] dan imbuhan ha-...-
84 Surat Batak

an menjadi haminsaran. Karena bunyi minsar mirip dengan binsar (yang


diucapkan ‘bitsar’ atau ‘bincar’) maka di Pakpak-Dairi diakritik ini
menjadi kěbincarěn (T binsar dan P bincar berarti ‘terbit’). Di Toba juga
terdapat nama kedua – paminggil yang berarti ‘bunyi bernada tinggi’.

M Amisara
|
T Hamisaran T S Haminsaran T Paminggil
|
P Kebincaren
|
K Kěbincarěn

Bi (J Ulu, L Olan, R Kaluan)


Di hampir seluruh Indonesia, arti ulu adalah ‘kepala’ (hanya bahasa
Melayu/Indonesia yang memakai ‘kepala’ yang berasal dari bahasa Sans-
kerta). Barangkali diakritik ini dinamakan ulu karena ia “mengepalai”
huruf induknya. Namanya di Mandailing dan Toba ulua, dan di Toba ada
nama kedua yang masih mirip yakni hauluan dan haluain. Kata dasar
ha=ulu=an adalah ulu ditambah dengan imbuhan ha-...-an, sedangkan
haluain agak menyimpang. Pakpak-Dairi kaloan dan Karo kělawan di-
turunkan dari Toba haluain atau Simalungun haluan.

M Uluwa
|
T Uluwa T Haluain (Hauluan), S Haluan
|
P Kaloan K Kělawan

o (ou)

BO
L Kětulung (au), R Katulung (au)
Surat Batak 85

Di Lampung dan di Rejang terdapat tanda diakritik untuk diftong /au/


yang dinamakan kětulung dan katulung yang jelas sekali sama dengan
Simalungun hatulungan. Simalungun adalah satu-satunya daerah yang
memiliki diakritik tersendiri untuk diftong [ou]. Diftong [ou] juga terda-
pat di Karo, tetapi tidak di daerah-daerah lainnya. Namun di Karo, tidak
terdapat diakritik khusus untuk bunyi [ou]. Kendati demikian, Karo
memiliki dua varian yang menandai bunyi [o] yakni BO dan Bo. Dua-
duanya bernama kětolongěn. Kemungkinan besar bahwa dahulu kala
Karo pernah membedakan penulisan [o] dan [ou] sebagaimana sekarang
masih halnya di Simalungun.
Karena namanya yang mirip dengan Lampung kětulung dan Rejang
katulung dapat dipastikan bahwa diakritik tersebut bukan perkembangan
baru, dan juga mendukung hipotesa saya bahwa aksara Simalungun (atau
lebih tepat aksara Purba Toba-Simalungun) adalah lebih tua daripada
Toba Barat, Pakpak atau Karo.

M T (?)
|
S Hatulungan [ou]
|
K Kětolongen [o]

Kalau digambarkan, arah penyebaran aksara Batak adalah sebagai


berikut:
86 Surat Batak

Gambar 15: Arah penyebaran aksara Batak

6.2 Aksara Batak masuk Percetakan


Tidak banyak orang yang tahu bahwa aksara Batak sudah dituangkan
ke timah hitam jauh sebelum kedatangan Nommensen dan zending Jer-
man. Pada tahun 1855 telah terbit Over Schrift en Uitspraak der To-
basche Taal (Perihal Tulisan dan Pengucapan Bahasa Toba) karangan
Herman Neubronner van der Tuuk. Buku tersebut dicetak di Amsterdam
di percetakan C.A. Spin & Zoon dan lalu diedit kembali dan dicetak
ulang dengan diberi judul baru Tobasche Spraakkunst, eerste stuk (Tata
Bahasa Toba, Bagian Pertama) (Tuuk 1864). Tata bahasa tersebut dipuji-
Surat Batak 87

puji sebagai tata bahasa pertama di Hindia Belanda yang disusun secara
ilmiah, dan karya ini dianggap sedemikian penting sehingga diterbitkan
kembali dalam terjemahan bahasa Inggris lebih dari 100 tahun kemudian
(Tuuk 1971). Dengan begitu kita memiliki tiga versi dari buku yang
(hampir) sama yang masing-masing mempunyai bagian mengenai aksara
Batak yang menguraikan secara terperinci dan sangat akurat tiap-tiap
aksara Batak (Pakpak, Toba dan Angkola-Mandailing). Penjelasannya
sedemikian lengkap sehingga tidak banyak yang masih dapat ditambah.
Ini sungguhlah merupakan prestasi yang luar biasa apalagi mengingat
bahwa pada zaman Van der Tuuk menyusun tata bahasanya, Tanah
Batak masih merupakan terra incognita di peta ilmiah. Pantai Danau
Toba belum pernah dijejaki oleh kaki Eropa (Van der Tuuk sendiri
menjadi orang Eropa pertama yang melihat danau Toba) – apalagi Tanah
Karo atau Simalungun yang namanya saja belum pernah didengar orang
Eropa.
Melihat betapa lengkap dan akurat data yang disajikan oleh Van der
Tuuk mengenai bahasa dan aksara Angkola-Mandailing, Toba dan Pak-
pak, seharusnya pengetahuan kita saat ini lebih luas lagi, mengingat ke-
majuan di segala bidang selama seratus tahun terakhir ini. Sedihnya,
pengetahuan kita mengenai aksara Batak tidak bertambah, dan malahan
terjadi kemerosotan yang sangat memprihatinkan. Kini, yang masih di-
ketahui orang, termasuk yang menganggap dirinya sebagai ahli, sangat
sedikit, tak sampai sebatas pengetahuan yang dimiliki Van der Tuuk dan
yang sudah diwariskan beliau dalam tiga edisi bukunya dan dalam dua
bahasa.
Dalam edisi pertama, di halaman 2, sudah disebut bahwa aksara Toba
memiliki dua jenis aksara untuk Ta dan Wa, yaitu t dan f untuk Ta
serta w dan w untuk Wa. Diberi lagi keterangan bahwa t dan w
dipakai di Toba bagian timur, sedangkan f dan w dipakai di Toba
bagian barat. Sayangnya, kepastian mengenai daerah mana yang ‘barat’
dan mana yang ‘timur’ tidak diberikan. Karena surat Batak sudah tidak
dipakai lagi sejak minimum 70 tahun lalu, maka sekarang sulit sekali
atau bahkan mustahil untuk mengetahui varian surat mana yang pernah
dipakai di daerah mana. Yang dapat kita lakukan hanya statistik saja.
Penulis sendiri telah meneliti ratusan naskah Batak Toba dari berbagai
88 Surat Batak

museum dan perpustakaan di dalam maupun di luar negeri, dan hasil


penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekitar 60% naskah Batak Toba
menggunakan huruf f, sedangkan varian t hanya dipakai oleh 40%
naskah Toba.
Namun demikian, yang sekarang dikenal sebagai huruf yang
dianggap "asli" Toba adalah t, sedangkan f dianggap Karo atau Pak-
pak, pokoknya bukan Toba. Mengapa dapat terjadi persepsi yang
sedemikian keliru?
Jawabannya: Karena tidak ada lagi orang yang masih memperoleh
pengetahuan mengenai aksara Batak melalui jalur tradisional. Semua
orang yang kenal aksara Batak mengetahuinya dari sekolah, atau melalui
buku, atau melalui orang yang pengetahuannya berasal dari sekolah atau
buku.
Kalau demikian, mengapa sekarang t dianggap asli Toba, dan
bentuk f tidak dikenali lagi atau malahan dianggap asing (non-Toba)?
Hal itu dapat terjadi karena setelah Van der Tuuk, para penginjil dari
Jerman dan juga percetakan negara di Batavia masing-masing mengem-
bangkan aksara Batak untuk mencetak buku keagamaan dan yang bersi-
fat pendidikan dalam surat Batak. Dalam banyak hal, mereka mengikuti
saja Van der Tuuk sehingga t telah dinobatkan untuk menjadi bentuk
Toba yang ‘baku’. Demikian juga dengan Wa sehingga kini tiada lagi
yang mengetahui bahwa baik w maupun w merupakan varian Toba.
Demi kesempurnaan ceritanya mari kita bahas langkah demi langkah
sejarahnya aksara Batak masuk percetakan.

6.2.1 AKSARA BATAK VERSI VAN DER TUUK


Huruf cetakan (font) Batak yang pertama dirancang oleh Van der
Tuuk. Huruf cetakan tersebut terdiri atas tiga set: Angkola-Mandailing,
Toba, dan Pakpak, dan dipakai dalam Bataksch Leesboek (Buku Bacaan
Batak) yang seluruhnya ditulis dalam surat Batak. Karena itu, jika dalam
salah satu surat Batak terdapat lebih dari satu varian aksara, demi kese-
derhanaan dan untuk menjaga konsistensi, Van der Tuuk tentu harus
memilih salah satu bentuk huruf yang dapat mewakili aksara tersebut.
Kebetulan pilihannya jatuh pada aksara t, sedangkan bentuk f dipa-
kainya untuk abjad Pakpak-Dairi. Untuk huruf A dipilihnya bentuk A,
Surat Batak 89

dan bentuk M dipilih untuk mewakili huruf Ma. Huruf-huruf lainnya


yang ‘bermasalah’ karena terdapat sejumlah variannya termasuk bentuk
w yang dipilih Van der Tuuk untuk mewakili Wa, dan bentuk 4 yang
menjadi Na. Untuk huruf Pa, Van der Tuuk memilih bentuk yang lurus:
p, dan tidak melengkung. Agar sesuai dengan bentuk aksara di
Mandailing yang cenderung lebih melengkung, van der Tuuk memilih
bentuk Ga dan La yang lengkung (g dan l), akan tetapi bentuk Pa
tetap lurus. Variasi lainnya terdapat pada aksara Ha, Na, Sa dan Wa (h,
n, s dan w).

Gambar 16: Contoh Aksara Van der Tuuk


Hampir semua publikasi Van der Tuuk diterbitkan oleh Nederlandsch
Bijbelgenootschap, atau oleh penerbit Frederik Muller, dan dicetak oleh
percetakan C.A. Spin & Zoon di Amsterdam (Tuuk 1855; 1859a; 1859b;
1859c; 1859d; 1860; 1861; 1864; 1867a; 1867b; 1867c).

6.2.2 AKSARA BATAK VERSI ZENDING


Kebanyakan publikasi zending diterbitkan oleh percetakan zending
Jerman (Rheinische Missionsgesellschaft) R.L. Friderichs & Comp. di
Elberfeld (bagian kota Wuppertal). Hanya dua publikasi yang berbahasa
Angkola dan Mandailing dicetak oleh Spin & Zoon di Amsterdam (Betz
1873; Schreiber 1874). Pada kedua buku tersebut kelihatan usaha zen-
ding untuk merancang sebuah huruf Batak yang lebih sesuai dengan
varian-varian huruf sebagaimana lazim terdapat di Angkola dan Man-
dailing. Aksara Angkola-Mandailing tersebut masih berdasarkan aksara
Mandailing Van der Tuuk, tetapi semua huruf dirancang kembali sehing-
ga kelihatan lebih melengkung. Kurang jelas apa sebabnya mengapa
dipilih beberapa bentuk aksara yang kelihatan agak aneh, yakni aksara
Ma yang terdiri dari tiga garis yang tidak bersambung. Huruf ini keli-
hatan mirip dengan huruf Ma di Simalungun (m); yang berbeda hanya
90 Surat Batak

garis kiri atas yang di kedua buku tersebut berrbentuk lurus dan sejajar
dengan garis tengah. Huruf lain yang menurut hemat saya juga kurang
mengena adalah A yang berbentuk x (Betz 1873; Schreiber 1874).
Ternyata para penyiar agama masih kurang puas sehingga percetakan
R.L. Friderichs & Comp. di Elberfeld merancang sebuah huruf Toba
yang masih berdasarkan aksara Spin & Zoon, tetapi menunjukkan bebe-
rapa perubahan. Bentuk huruf tersebut dipakai untuk mencetak karangan-
karangan para penginjil seperti L.I. Nommensen (1877; 1878; 1885b;
1902) dan Taute (1889). Bentuk huruf cetakan ini kemudian juga dipakai
oleh Pangarongkoman Mission – percetakan zending di Laguboti
(Lumbantobing 1916). Dibandingkan dengan huruf cetakan yang
terdahulu, perbedaan yang paling mencolok adalah pada bentuk Na yang
diberi garis lurus yang memanjang jauh ke kiri sehingga berbentuk 6.
Yang dipertahankan adalah bentuk yang melengkung yang kelihatan
pada aksara Pa, Ga, La dan Wa. Dan sebagaimana juga dilakukan oleh
Van der Tuuk, juga pada aksara ini varian Toba untuk huruf Ta dan Wa
yakni t dan w, tidak dipakai.
R.L. Friderichs & Comp. juga merancang sebuah jenis huruf untuk
Angkola-Mandailing. Huruf-huruf yang berbeda dengan aksara Toba
adalah A x, Ha h, Ma 0, Sa s, dan Na n (Asselt 1876; Leipold
1880; Schreiber dan Leipold 1879; Schreiber 1875; Zahn 1875). Di
kemudian hari diputuskan untuk tidak mempertahankan bentuk huruf A
yang menjadi A (Schütz 1902).

6.2.3 AKSARA BATAK VERSI LANDSDRUKKERIJ


Percetakan negara Landsdrukkerij di Batavia juga merancang sebuah
huruf untuk Mandailing dan Toba untuk buku-buku pendidikan yang
dicetak dalam surat Batak. Aksara yang dipakai untuk buku yang dicetak
dalam bahasa Toba (Nommensen 1885a) dan dalam bahasa Mandailing
(Doli 1901; 1872; Schreiber 1876) persis sama. Sebenarnya varian huruf
yang dipilih adalah yang lazim digunakan di Mandailing, termasuk
aksara A a, Ka h, Ma 0, Na 6, dan Sa s.
Surat Batak 91
Gambar 17: Contoh aksara Zending (atas) dan Landsdrukkerij (bawah)
Berikut ini secara ringkas bentuk-bentuk huruf sebagaimana diran-
cang oleh Van der Tuuk (VdT), Percetakan Zending (Z), dan oleh Per-
cetakan Landsdrukkerij (LD). Aksara yang tidak menunjukkan varian
yang berarti tidak dimuat dalam tabel berikut ini.
Tabel 8: Perbandingan bentuk huruf cetakan

Toba Mandailing
VdT Z LD VdT Z LD
a A A a A x a
ha h h h h h h
pa p p p p p p
na 4 6 6 N N N
wa w w w w w w
ga G g g g g g
ma M M 0 M 0 0
sa s s s s s s
ya y y y y y y
la L l l l l l
i I I [ I I [
u U U ] U U ]

6.2.4 AKSARA BATAK VERSI "SURAT PUSTAHA"


92 Surat Batak

Bentuk-bentuk huruf yang disebut di atas adalah huruf yang dibuat


dengan cara tradisional yakni dengan menuangkannya ke timah hitam.
Pada saat itu belum ada tehnologi penggandaan seperti fotokopi, licht-
druk atau typesetting melalui peralatan komputer. Pada akhir tahun 1980-
an mantan presiden Republik Indonesia Soeharto berjanji untuk meng-
adakan alat typesetting yang lebih modern bagi semua aksara daerah di
Indonesia. Oleh sebab itu ada pula upaya untuk mempersatukan varian-
varian surat Batak menjadi satu aksara yang ditambahi beberapa huruf
yang dahulu tidak ada – seperti huruf F atau V misalnya. Ditambahnya
pula angka-angka, walaupun orang Batak dahulu tidak mengenal angka.
Setelah dibahas dan diseminarkan oleh sebuah panitia yang terdiri atas
orang-orang yang bukan ahli sastra Batak apalagi filologi, terciptalah
sebuah aksara persatuan yang disebut "Surat Pustaha". Alhasilnya sangat
menyedihkan dan – ironisnya – aksara yang diberi gelar tambahan pusta-
ha itu menyimpang jauh dari bentuk-bentuk aksara yang lazim dapat di-
jumpai di pustaha-pustaha Batak.
Surat Pustaha telah ditetapkan secara resmi dengan keputusan
presiden (orde baru) Nomor: 116/B/1987 tanggal 16 Desember 1987.
Kabarnya mesin typesetting yang dijanjikan Bapak Presiden untuk
mencetak Surat Pustaha itu telah diserahkan kepada panitia Surat
Pustaha lebih dari lima belas tahun yang silam, namun hingga kini mesin
yang canggih ini belum beroperasi juga. Malahan buku panduan resmi
untuk mengajar Surat Pustaha di sekolah lanjutan tingkat pertama masih
menulis Surat Pustaha dengan tangan (Sidabutar) dan (Sukapiring et al.
1997)! Oleh sebab itu seharusnya Surat Pustaha tidak perlu dibahas
dalam BAB ini yang berjudul “Aksara Batak masuk Percetakan” karena
pelaksanaan Surat Pustaha dapat dianggap gagal.
Gagalnya Surat Pustaha perlu disambut dengan baik karena huruf
yang dipilih menyimpan dari bentuk yang lazim terdapat dalam pustaha
dan naskah Batak lainnya. Untuk huruf Ma misalnya varian yang dipilih
bukan varian yang paling umum ialah m, melainkan varian m yang
jarang sekali dipergunakan. Aksara Ja yang seharusnya j dibuat
sedemikian rupa sehingga garis atas dan garis bawah bukan lurus
melainkan agak melengkung. Bentuk itu sama sekali tidak pernah ada
dalam sejarah aksara Batak. Demikian juga dengan aksara Ya yang se-
Surat Batak 93

harusnya ditulis y dibuat tak berserif (tanpa garis horisontal) sehingga


rupanya terasa amat janggal sekali. Dan huruf itu bukan sekadar ciptaan
baru, melainkan panitia surat Surat Pustaha beranggapan bahwa bentuk
yang mereka sepakati adalah huruf Ya yang asli!
Masih banyak kesalahan dan kejanggalan lainnya yang tidak perlu
disebut satu per satu di sini yang membuktikan bahwa para pencipta Su-
rat Pustaha tidak terlalu memahami materinya.
Dalam pelaksanaan praktis Surat Pustaha itu juga banyak
kekurangan. Hal itu dapat dilihat di Kabupaten Karo yang dahulu pernah
mulai mencantumkan nama-nama jalan dalam huruf Latin maupun
Batak. Pada prinsipnya hal itu dapat dipuji karena merupakan ekspresi
cinta budaya. Sedihnya, pelaksanaanya kurang mantap sehingga Jalan
Kapten Ketaren di Kabanjahe misalnya dituliskan bukan Kětarěn
(dengan e-pepet) melainkan Kétarén dengan e-taling, dan demikian juga
nasibnya Jl. Veteran di Berastagi.

6.2.5 AKSARA BATAK VERSI PENGARANG


Dari uraian-uraian yang di atas menjadi jelas bahwa ada beberapa
huruf yang bermasalah, yang bentuknya berbeda-beda tergantung pada
percetakannya. Pertama, kita dihadapkan dengan Wa versi Van der Tuuk
melawan Wa dalam semua publikasi selanjutnya. Menurut hemat saya,
bentuk w jauh lebih umum dibanding w -nya Van der Tuuk.
Dalam hal Ma masalahnya sebetulnya sederhana. m, M dan m
pada hakikatnya merupakan manifestasi dari bentuk dasar yang serupa.
Ada kecenderungan bahwa ketiga garis yang membentuk huruf ini makin
ke selatan makin bersatu. Di Karo, bentuknya sering 7 atau m, dan
menjadi m, 8 atau M di Toba, sedangkan di Mandailing bentuknya
bisa 8, M dan m. Bentuk m yang kini sering dianggap asli Toba,
jarang sekali dapat ditemukan di dalam naskah-naskah Toba, dan sebe-
tulnya adalah sebuah varian yang lebih umum terdapat di Angkola dan
Mandailing. Saya memutuskan untuk memilih satu huruf yang dapat
mewakili semua kelompok (kecuali Simalungun, yang mempunyai ben-
tuk tersendiri) dan yang terdiri atas unsur-unsur dasar yang terpenting:
m. Bentuk ini juga bentuk yang paling umum terdapat di dalam pustaha,
baik dari mandailing, Toba, Pakpak, atau Karo.
94 Surat Batak

Huruf A adalah satu lagi huruf yang bentuknya dapat berbeda-beda.


Sekali lagi, saya memilih bentuk yang paling sering dijumpai dan yang
memiliki semua unsur dasar: a. Di beberapa daerah di Toba dan di
Mandailing ada kecenderungan ke arah bentuk yang lebih bersegi seperti
a, sedangkan bentuk A dan 0 yang kini sering dianggap "asli" Toba
terlalu bersegi dan jarang dijumpai di dalam naskah-naskah Batak.
Aksara Na juga bisa bermacam-macam bentuknya dan dapat ber-
variasi antara 3, 4, n, 5, 6 dan n. Bentuk 6 kini menjadi
populer, tetapi jarang sekali terdapat pada naskah-naskah Batak. Bentuk
n dapat sekali-sekali ditemukan, terutama dalam naskah-naskah Man-
dailing. Namun bentuk yang paling umum di semua daerah adalah n.

6.3 Urutan aksara Batak


Dalam bahasa Batak, aksara Batak lazim disebut si sia-sia atau surat
na sampulu sia karena jumlah aksara (ina ni surat) adalah sembilan be-
las. Tergantung pada daerahnya terdapat beberapa urutan surat Batak
yang berbeda-beda:
1. Di Karo, Simalungun serta di berbagai daerah Toba urutannya:
a/ha, ha/ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, (nya) la,
(ca), i, u.
Huruf [ adalah Nya di Simalungun, Toba, dan Mandailing, tetapi
Ca di Karo (dengan demikian, jumlah aksara di semua daerah tetap
sembilan belas). Huruf Nya hanya digunakan di Mandailing karena di
luar daerah tersebut tidak terdapat fonem [ñ] (ny). Namun demikian, bila
mengeja atau menulis abjad Batak, huruf Nya selalu disebut juga kecuali
di Karo yang menggantikannya dengan Ca.
Di Toba kedua huruf abjad pertama dibaca [a] dan [ha]. Menurut
Voorhoeve, makna asli huruf a adalah [ha] dan makna asli huruf k
adalah [ka] sebagaimana halnya pada dialek-dialek utara (KP), namun
pada dialek-dialek selatan (STM) a berbunyi [a] dan k mempunyai
nilai fonetis [ha] dan [ka] (Voorhoeve 1961:10).
Pada naskah Simalungun Berlin IC 17057, urutan abjad agak berbeda
sedikit. Huruf-huruf Ga Ja Da Ra disisipkan antara Ya dan Nga, dan
Surat Batak 95

urutan Nga dan La terbalik pula. Pola yang hampir sama juga terdapat di
dua pustaha yang berasal dari Toba ialah pustaha D 49 dan D 50 Perpus-
takaan Nasional. Di D 50 urutan huruf Ga Ja Da Ra juga disisipkan anta-
ra Ya dan Nga, sedangkan posisi Nya adalah sesudah dan bukan sebelum
La. Urutan ha, ka, ba, pa, na, wa, ma, ta, sa, ya, ga, ja, da, ra, nga… ter-
dapat pula di D 49, dan huruf Nya di sini diurutkan pada posisi akhir
mengikuti huruf U. Urutan yang persis sama terdapat pula di pustaha Or.
3479/Or.3488, Perpustakaan Universitas Leiden, yang ditulis oleh Guru
Saitan ni Aji bermarga Pohan Simanjuntak dari kampung Pagaran Bari-
ngin (Voorhoeve 1977:51). Naskah-naskah tersebut menunjukkan bahwa
ada kelonggaran dalam urutan abjad yang mungkin disebabkan oleh
karena urutan abjad tergantung pada kebiasaan di masing-masing daerah
yang mengikuti pola yang sedikit berbeda.
Pada abjad Karo huruf [ tidak menjadi Nya melainkan Ca. Menarik
untuk dicatat bahwa dalam urutan abjad Karo posisinya adalah sesudah
La atau sesudah U. Hal itu memperkuat hipotesis saya bahwa Ca-nya
Karo yang juga sering ditulis c atau c berasal dari Nya Toba/
Mandailing mengingat pola yang terlihat pada pustaha Jakarta D 49 dan
D 50 yang huruf [ juga berada sesudah U atau sesudah La.
Dalam abjad Karo terdapat dua huruf yang tidak dapat ditemukan
dalam surat Batak lainnya, yakni Mba dan Nda. Kedua huruf tersebut
merupakan ciptaan kemudian dan jarang dipakai. Huruf-huruf tersebut
juga tidak biasa dimasukkan dalam abjad Karo. Kalaupun dimasukkan,
posisinya biasanya sesudah Ca.
2. Surat Batak versi Toba mempunyai urutan kedua yang sangat ber-
beda; urutan ini juga dipakai di Angkola:
a ha ma na ra ta sa pa la ga ja da nga ba wa ya nya i u18
3. Menurut Van der Tuuk urutan di Mandailing lain lagi:
a ha na ma ta ra ja ga la pa sa da nya ba wa nga ya i u ka ca
4. Menurut Van der Tuuk pula, urutan Dairi (Pakpak) berbunyi:

18. Dalam naskah kertas Van der Tuuk (Perpustakaan Univ. Leiden, Cod. Or. 3421, hal.
83 letaknya aksara Nya adalah sesudah U.
96 Surat Batak

pa na ka ma ra ba ja sa la ga nga ha da wa ta ya i u
5. Dalam tiga buku sekolah zaman dulu, dua di antaranya dari
Angkola dan satu lagi dari Mandailing, terdapat urutan yang berbeda lagi
(Asselt 1876; Schütz 1902; 1872). Penulis-penulis ketiga buku tersebut
memasukkan huruf yang ber-tompi (Ka dan Ca) dalam urutan aksara,
padahal tompi adalah tanda diakritik dan bukan aksara.19 Adapun urutan
aksara Angkola-Mandailing menurut ketiga buku ini:
a ha ka ga nga sa ca ja ta da na pa ba ma ya ra la wa nya i u.
Urutan abjad ini mengikuti urutan abjad India yang juga dipakai oleh
Van der Tuuk dalam menyusun kamus bahasa Batak (Tuuk 1861).
Kemungkinan besar urutan abjad ini tidak pernah dipakai oleh orang
Batak.
6. Berikut ini satu ‘varian’ yang sering dipakai di sekolah-sekolah
dalam pelajaran aksara Batak. Urutannya adalah:
a ha na ra ta ba wa i ma nga la pa sa da ga ja ya u nya
Dapat diduga bahwa urutan ini adalah ciptaan baru, khusus untuk
tujuan mempelajari surat Batak di sekolah-sekolah, dan tidak memiliki
dasar tradisional. Urutan ini mudah diingat oleh anak-anak sekolah
karena membentuk kalimat: aha na rata baoa i mangalapa sada gaja
berarti kira-kira: “apa yang hijau orang itu memotong seekor gajah”.

6.4 Ina ni surat


Daftar di bawah ini memperlihatkan varian-varian yang paling umum
dijumpai dalam naskah. Sebuah daftar yang lebih lengkap terdapat di
BAB 10.
Tabel 9: Berbagai varian surat Batak

Karo Pakpak Simalung. Toba Mandail.


a a a A a a

19. Tompi adalah diakritik yang dapat ditempatkan di atas huruf Ha dan Sa untuk meng-
ubahnya menjadi Ka dan Ca. Diakritik tersebut hanya dipakai di Mandailing.
Surat Batak 97

ha a a K h h
ka k k K k k
ba b b B b b
pa p p P p p
na n n N n n
wa w w W wv w
ga g g G g g
ja j j J j j
da d d d d d
ra r r r r r
ma m m m m m
ta t t t ft t
sa s s s s s
ya y y y y y
nga < < < < <
la l l l l l
nya [ [ [
ca c C c c
nda q
mba B
i I I I I I
u U U U U U
A / Ha
a (KPTM) Mungkin inilah bentuk huruf A yang paling umum
yang saya gunakan untuk mewakili keseluruhan aksara Batak kecuali
Simalungun. Bentuknya mirip dengan huruf a yang digunakan oleh
penerbit kolonial Landsdrukkerij Batavia (1872; Doli 1901; Nommensen
98 Surat Batak

1885a). Bentuk huruf A yang sering ditemukan dalam kebanyakan nas-


kah-naskah Batak berada antara bentuk a dan a.
Penerbit Landsdrukkerij tidak melanjutkan penggunaan bentuk huruf
A yang sebelumnya sudah dipakai untuk mencetak kamus dan buku
bacaan Van der Tuuk (1860; 1861). Kendati demikian, penerbit zending
R.L. Friderichs & Comp. masih tetap melanjutkan penggunaan bentuk
huruf A dalam semua terbitannya, termasuk edisi baru Tobasch Spel-
boekje (Buku belajar menulis bahasa Toba) yang dikarang oleh Nom-
mensen (1885b).
Mungkin itulah sebabnya maka bentuk huruf ini sekarang sering di-
anggap sebagai bentuk huruf yang ‘asli’ Toba. Lihat misalnya daftar-
daftar surat Batak yang terdapat di karangan-karangan Marbun dan Hu-
tapea, Sihombing dll. (Marbun dan Hutapea 1987; Sihombing 1986).
Dalam karangan-karangan ini huruf A biasanya berbentuk 0. Baik
varian A maupun varian 0 cenderung secara berlebihan menekankan
bentuk-bentuk siku yang memang sering ditemukan dalam naskah Toba
dan Mandailing, tetapi sebenarnya kurang mewakili bentuk-bentuk huruf
A sebagaimana mestinya.
Varian A, yang lebih menekankan bentuk lengkung, kadang-kadang
dapat ditemukan di dalam naskah-naskah Karo. Joustra menggunakan
huruf lengkung seperti itu (2) dalam kamus bahasa Karo (Joustra
1907). Huruf itu memiliki bentuk dasar yang sama seperti Ta-nya Jous-
tra. Meskipun varian-varian itu memang ada, dan sebenarnya kadang-ka-
dang terdapat perbedaan kecil antara A versi Karo dan versi Toba atau
Mandailing, saya memilih bentuk huruf a karena bentuk inilah yang
paling umum dan dapat mewakili keseluruhan aksara Batak kecuali Si-
malungun.
a (S) Dalam surat Batak versi Simalungun semua aksara
cenderung terdiri atas garis-garis yang terputus. Demikian juga dengan
huruf A yang serifnya (garis horisontal) terputus.20

20. Untuk keterangan definisi ‘serif’ dan istilah-istilah lainnya silakan merujuk pada
daftar istilah.
Surat Batak 99

Sebagaimana diuraikan di bawah, huruf A di Pakpak dan Karo ber-


makna [a] atau [ha], sedangkan di daerah lain hanya bermakna [a] saja.

Ha / Ka
k (KPT) h f (M) Van der Tuuk menggunakan bentuk
huruf k untuk Ha di Toba dan Pakpak-Dairi, dan bentuk h di Man-
dailing, sedangkan penerbit Landsdrukkerij menggunakan h untuk
Toba dan Mandailing. Kadang-kadang mustahil untuk menentukan apa-
kah bentuk huruf yang terdapat dalam salah satu naskah lebih mirip k
atau h, tetapi ada kecenderung ke arah bentuk h dalam naskah-nas-
kah Mandailing. Pada beberapa naskah Mandailing juga ditemukan
varian f.
Huruf ini melambangkan [ha] atau [ka] di Simalungun, Toba, dan
Mandailing, tetapi selalu bermakna [ka] di Pakpak dan Karo. Di Man-
dailing, aksara Ha (h) yang ditambahi dua garis pendek di atasnya
(k) yang disebut tompi, kadang-kadang digunakan untuk membedakan
Ka dan Ha. Perlu dicatat bahwa tompi itu adalah penemuan kemudian
dan tidak selalu digunakan. Tompi itu tidak pernah digunakan dalam
naskah-naskah Toba atau Simalungun.
k (S) Dalam surat Batak versi Simalungun huruf Ha dimodifi-
kasikan sedemikian rupa sehingga kedua garis miring menjadi dua garis
horisontal pendek yang terpisah dari garis lengkung di atasnya.
Bentuk huruf Ka di Karo sering berserif : K.

Ba
b (PSTM) Bentuk huruf Ba seperti ini ditemukan di dalam
hampir semua naskah-naskah Simalungun, Pakpak, Toba, dan Mandai-
ling. Bentuk siku di bawahnya lebih nyata pada naskah-naskah bambu
sedangkan pada naskah pustaha yang hurufnya ditulis dengan kalam
yang agak lebar bentuk sikunya tidak begitu tampak dan kadang-kadang
huruf Ba kelihatan berbentuk oval saja seperti halnya di Karo.
b (K) Di Karo, huruf Ba selalu berbentuk oval. Sebagaimana
disebutkan di atas, bentuk ini juga kadang-kadang digunakan di dalam
100 Surat Batak

naskah Toba dan Mandailing, khususnya di pustaha, karena ditulis de-


ngan kalam lebar. Lihat misalnya Foto 12.
Di Karo selalu digunakan b untuk Ba dan B untuk Mba (lihat juga
uraian Mba di bawah).

Pa
p (KPTM) Pada hampir semua naskah-naskah Karo, Pakpak dan
Toba huruf Pa berbentuk garis lurus horisontal.
Varian melengkung p juga sering dipakai, terutama di Mandailing.
Penerbit Landsdrukkerij menggunakan huruf Pa yang melengkung untuk
huruf Toba meskipun varian yang lurus lebih umum.
p (S) Di Simalungun, huruf Pa kadang-kadang berbentuk garis
horisontal lurus atau melengkung seperti disebut di atas, tetapi varian p
berbentuk tilde adalah bentuk yang paling umum dalam naskah-naskah
Simalungun.

Na
n Van der Tuuk menggunakan varian 4, dengan garis yang
memanjang ke kiri di atas bentuk oval untuk huruf Na di Toba dan Pak-
pak, sedangkan bentuk n digunakannya untuk huruf Na di Mandailing.
Akan tetapi penerbit Landsdrukkerij menggunakan bentuk n untuk Na
di Toba dan Mandailing dan Joustra juga menggunakan n untuk Na di
Karo.
Pada semua surat Batak bentuk huruf Na dapat bervariasi. Kadang-
kadang, garis lurus berada tepat di atas oval (3), tetapi biasanya garis
itu agak memanjang ke kiri. Garis itu dapat juga berbentuk miring (5),
atau melengkung dan bersatu dengan oval di bawahnya sehingga menjadi
n. Bentuk n ini sering terdapat dalam naskah Mandailing. Di daerah
lain bentuk yang garis lurus memanjang ke kiri n lebih umum.
Selain bentuk-bentuk yang disebut di atas, terdapat juga varian q
dan v yang agak bebeda. Varian ini dikenal sebagai "Na kuno" karena
bentuknya yang memang sangat mirip dengan huruf yang sama pada ak-
sara Kawi (Jawa/Sumatra kuno). Varian ini saya temukan dalam enam
naskah Mandailing (Leiden Or. 3567, Berlin IC 12636, 36841, 37389,
Surat Batak 101

37390, 37396), dan dua naskah Toba (Jakarta D82, Berlin IC 389878c).
Saya belum pernah melihat bentuk ini dalam naskah-naskah Karo dan
Simalungun sehingga dapat disimpulkan bahwa varian ini hanya dikenal
dalam naskah-naskah selatan. Varian pertama huruf ini berbentuk simpul
dengan garis lurus horisontal di atasnya (q). Dalam naskah Berlin IC
37389 tidak terdapat garis lurus horisontal, dan dalam naskah Berlin IC
39878c bentuk simpul diputar 90°, dan ujung kanan dari garis horisontal
bersambung ke ujung atas simpul sehingga berbentuk v.

Wa
w (KTM) Huruf Wa Van der Tuuk dan Joustra berbentuk w.
Menurut hasil evaluasi naskah yang saya lakukan bentuk Wa yang paling
umum adalah w meskipun terdapat juga varian-varian yang cenderung
mengarah ke bentuk seperti disajikan oleh Van der Tuuk. Bentuk huruf
yang dipakai oleh penerbit Landsdrukkerij berada di antara bentuk w
dan w.
w (S) Seperti biasa dalam aksara Simalungun serif-serifnya se-
lalu terputus.
w (PT) Varian aksara Wa ini sangat umum di Pakpak dan sering
ditemukan di Toba. Di Mandailing dan dalam naskah-naskah kulit kayu
Karo varian ini sangat jarang ditemukan, dan tidak pernah dipakai dalam
naskah bambu Karo. Di 31 naskah Toba yang saya amati, bentuk w ter-
dapat dalam 11 naskah sedangkan bentuk w digunakan dalam 20 nas-
kah. Jadi sekitar sepertiga naskah Toba menggunakan bentuk aksara Wa
ini.

Ga
g (KPTM) Huruf ini berbentuk garis lengkung horisontal yang
memiliki garis miring bersambung di ujung kanan. Kadang-kadang garis
horisontal itu dapat juga lurus.
g (S) Sebagaimana biasanya di aksara Simalungun, garis di
ujung kanan itu terputus dan letaknya sejajar dengan garis di atasnya.
102 Surat Batak

Ja
j (TM) Bentuk huruf Ja persis sama dengan bentuk huruf Da
dengan penambahan sebuah garis lurus di sebelah kanannya.
j (KPS) Penyederhanaan huruf ini terjadi di bagian utara tanah
Batak, khususnya di daerah Simalungun, Karo, dan Pakpak.

Da
d (KPSTM) Bentuk huruf Da ini paling umum ditemukan dalam
semua naskah Batak kecuali naskah bambu Karo.
D (K) Varian inilah yang ditemukan dalam naskah-naskah bambu
Karo, sedangkan dalam naskah kulit kayu Karo bentuk huruf biasa d
yang digunakan.
Dewasa ini, huruf Da cenderung ditulis dengan garis miring yang ter-
lalu vertikal. Bentuk tersebut sebenarnya tidak pernah ada dalam naskah-
naskah Batak.

Ra
r (KPTM) Pada huruf ini, kedua garis horisontal yang sejajar
biasanya melengkung dengan garis miring di ujung kanan garis bawah,
tetapi garis-garis horisontal itu kadang-kadang lurus baik dengan garis
miring yang bersambung di ujung sebelah kanan maupun dengan garis
putus. Kalau garis ketiga ini terputus maka letaknya biasanya sejajar
dengan garis yang di atasnya, tetapi lebih pendek seperti berikut ini: R.
r (S) Dalam aksara Simalungun, ketiga garis biasanya lurus dan
terputus. Garis yang paling atas selalu memanjang ke kiri melewati garis
di bawahnya. Pada umumnya, garis atas juga lebih pendek dari garis te-
ngah, tetapi lebih panjang dari garis bawah.

Ma
m (S) Bentuk huruf Ma memiliki beberapa varian. Di Simalungun
bentuknya terdiri atas tiga unsur dasar yakni: 1. Garis atas-kiri yang
horisontal dan agak melengkung. 2. Garis tengah yang miring dan agak
panjang. 3. Garis bawah-kanan berupa garis miring terbalik.
Surat Batak 103

m (KPTM) Pada huruf ini garis atas-kiri yang horisontal tidak


melengkung, dan juga lebih pendek sehingga ujung kanannya tidak
menyentuh garis tengah. Garis tengah tidak hanya berupa garis miring
(yang ujung kanan agak melengkung), tetapi ujung kirinya juga bersam-
bung ke atas sehingga menyentuh garis atas-kiri. Garis bawah-kanan
tetap berbentuk garis miring terbalik yang menyentuh garis tengah.
Garis atas-kiri yang horisontal juga dapat melengkung menjadi 8.
Bentuk huruf Ma yang digunakan Van der Tuuk untuk Pakpak, Toba dan
Mandailing sedikit berbeda: M. Garis atas-kiri bahkan lebih me-
lengkung sehingga menyentuh garis tengah tepat pada tempat persentuh-
an garis bawah-kanan sehingga berkesan seolah garis atas-kiri dan
bawah-kanan berupa satu garis. Padahal bukan begitu. Bentuk huruf Van
der Tuuk tampaknya berupa bentuk kompromi antara varian-varian yang
lebih umum dipakai yakni m, 8 dan 0.
Bentuk huruf versi penerbit Landsdrukkerij untuk Toba dan Man-
dailing menggabungkan ketiga unsur dasar (garis atas-kiri, tengah dan
bawah-kanan) menjadi satu garis berbentuk simpul: 0. Dalam hal ini,
garis atas-kiri menyentuh garis tengah dan terus memanjang ke garis
bawah-kanan; ujung kiri garis kiri-atas menyentuh ujung kiri garis te-
ngah. Hasilnya, huruf itu dibentuk sebagai satu garis yang dimulai dari
atas-kanan, kemudian membentuk simpul dan berakhir di bawah-kanan.
Varian 0 sering ditemukan dalam naskah-naskah Mandailing,
jarang digunakan di dalam naskah Toba, dan tidak pernah dipakai dalam
naskah Simalungun atau Karo.
Bentuk Ma yang digunakan oleh Joustra untuk Karo (7) hanya
sedikit berbeda dari bentuk ini: m.

Ta
Dalam hal bentuk huruf Ma, dapat ditunjukkan bahwa varian-varian
huruf m, m, dan 0 yang tampaknya tak berhubungan sebenarnya
masing-masing memiliki unsur-unsur dasar yang sama. Dalam hal ben-
tuk huruf Ta ada dua varian, yaitu f dan t. Ternyata, kedua varian
tidak memiliki unsur-unsur dasar yang sama, melainkan merupakan dua
varian yang sama sekali tidak berhubungan.
104 Surat Batak

1. t Ta Utara (KPT)
Bentuk Ta ini merupakan satu-satunya bentuk yang ada di Karo. Di
Toba terdapat bentuk utara maupun selatan. Bentuk selatan kini sering
dianggap sebagai bentuk "asli" Toba, padahal hanya 40% naskah Toba
yang menggunakan bentuk selatan (t), sedangkan 60% naskah Toba
menggunakan bentuk utara (f).
Pada penulisan huruf Ta utara ini terdapat sedikit variasi: 1. Serif atas
bisa berbentuk seperti serif bawah pada contoh ini (melengkung ke
dalam). 2. Kedua serif memanjang ke kiri dan ke kanan seperti misalnya
dalam bentuk huruf Ta yang digunakan oleh Joustra: t. Setelah dila-
kukan pengamatan pada sekitar 50 naskah bambu, ternyata bentuk f
yang paling umum digunakan.

2. t Ta Selatan (STM)
Bentuk huruf Ta selatan adalah satu-satunya varian yang digunakan
di Simalungun dan Mandailing. Meskipun Ta utara lebih umum dipakai
dalam naskah-naskah Toba, baik Van der Tuuk maupun Nommensen
menggunakan bentuk Ta selatan. Mungkin itu sebabnya maka sekarang
ini hanya varian selatan yang masih dikenal. Tidak terdapat varian-varian
yang berarti mengenai Ta selatan ini.

Sa
s (KPST) Bentuk huruf Sa ini paling umum terdapat dalam nas-
kah-naskah meskipun terdapat sejumlah varian.
Di Karo kadang-kadang digunakan varian z dan bentuk simetris x.
Di Toba bentuk s ini satu-satunya yang digunakan, tetapi jarang digu-
nakan di Mandailing. Di Simalungun terdapat varian z dengan serif
bawah yang terputus, dan sebuah varian lagi yang bentuknya sangat ber-
beda, yakni:
s (S) Varian Sa ini adalah bentuk yang paling umum di Si-
malungun. Varian Sa Simalungun lainnya adalah 0 dan 1, tetapi
bentuk-bentuk ini agak jarang ditemukan dalam naskah.
Varian x juga kadang-kadang digunakan di Mandailing.
Surat Batak 105

s (M) Dalam naskah-naskah Mandailing bentuk Sa s ini jauh


lebih sering digunakan daripada varian x.

Ya
y (KPSTM) Serif huruf ini biasanya berupa garis lurus horisontal
pendek, tetapi khususnya di Simalungun dan Mandailing, serif tersebut
sering melengkung dan terputus seperti berikut ini: y.

NGa
< (KPSTM) Bentuk inilah satu-satunya yang digunakan dalam
semua aksara Batak.

La
l (KPTM) Aksara La berbentuk seperti Ga yang terbalik. Kete-
rangan yang diberikan untuk huruf Ga berlaku juga untuk huruf La
l (S) Lihat Ga
Ca
Bunyi [c] hanya terdapat di Karo, Pakpak, dan Mandailing. Di Pak-
pak tidak ada aksara yang khusus digunakan untuk Ca, dan aksara Sa
dipakai untuk menulis [c]. Mandailing juga menggunakan huruf Sa
dengan penambahan tompi sehingga menjadi Ca: c dan x= – band. Ha
h yang, bila dibubuhi tompi, menjadi Ka (h=). Tompi boleh
digunakan, boleh tidak.
c C dan (K) Karo memiliki dua varian Ca, ialah c dan C.
Tingkat penggunaan kedua bentuk ini hampir sama. Karena Ca dan Nya
memiliki bentuk yang serupa (C) sedangkan huruf Nya tidak terdapat di
Karo, maka dapat disimpulkan bahwa Ca berasal dari huruf Nya dan
bentuk C lebih tua daripada c. Bentuk yang diberi oleh Joustra agak
berbeda sedikit (c) karena garis panjang tidak melengkung dan
memanjang ke kiri. Tingkat penggunaan kedua subvarian Cdan c
hampir sama.
106 Surat Batak

NYa
[ (STM) Hanya bahasa Mandailing mengenal fonem [ñ]. Kendati
demikian, huruf [ juga digunakan dalam urutan aksara Toba dan
Simalungun, tetapi jarang sekali digunakan.

NDa
{ (K) Bentuk huruf ini sama dengan kebalikan huruf Da. Varian-
varian lainnya adalah q, [, { dan }. Varian yang terakhir diangkat
Joustra di dalam kamusnya. Varian { lebih sering digunakan daripada
varian yang disajikan Joustra. Lihat keterangan selanjutnya di BAB 7.5.

Mba
B Huruf Mba ini juga hanya ada di Karo. Terdapat tiga varian,
yakni B, f, dan v. Perlu dicatat bahwa huruf B tidak pernah digu-
nakan untuk Ba di Karo. Lihat keterangan selanjutnya di BAB 7.5.

I
I Bentuk ini hanya memiliki sedikit variasi. Biasanya ketiga
garis lurus, tetapi kadang-kadang bisa agak melengkung sedikit. Kedua
garis bawah bisa sama panjangnya. Aturan tersebut berlaku untuk semua
surat Batak.

U
U Bentuk huruf U adalah sama dengan kebalikan huruf I. Ke-
terangan varian I berlaku juga untuk U.

6.5 Anak ni surat


Bunyi [a] yang terdapat pada semua ina ni surat kecuali I dan U
dapat diubah menjadi vokal lain dengan menambahkan sebuah diakritik.
Anak ni surat itu juga dipakai untuk menambah bunyi sengau [ng] atau
bunyi [h] di akhir suku kata (seperti dalam kata ‘rumah’ atau ‘bahwa’)
pada ina ni surat. Penggunaan anak ni surat dijelaskan pada tabel ber-
ikut:
Surat Batak 107

Tabel 10: Posisi anak ni surat terhadap ina ni surat

Karo Pakpak Simal. Toba Mand.


-ě Be Be
-e BE BE BE BE BE
-i Bi B= Bi Bi Bi Bi
-o Bo BO Bo Bo Bo Bo
-ou BO
-u Bu Bu Bu Bu Bu
-ng B^ B^ B^ B^ B^
-h Bh Bh Bh
- B- B\ B- B\ B\
Masing-masing anak ni surat mempunyai nama sendiri. Dikarenakan
suatu sebab terdapat sejumlah nama-nama yang berbeda-beda untuk anak
ni surat i, o, u, dan ng dalam surat Batak versi Toba. Semua varian yang
dapat saya peroleh dalam sumber-sumber kepustakaan tercantum pada
Tabel 10. Kalau kita membandingkan Tabel 10 dengan Tabel 11 kelihat-
an bahwa tanda diakritik yang sama bisa mempunyai nilai atau makna
fonetik yang berbeda tergantung pada daerahnya. Anak ni surat e misal-
nya berbunyi [ə] (e-pepet) di Pakpak dan Karo, tetapi berbunyi [u] pada
dialek-dialek selatan. Meskipun diakritik tersebut dapat dipakai untuk
bunyi-bunyi yang berlainan, namanya tetap sama, ialah kěběrětěn atau
kaběrětěn pada dialek utara, dan haboritan atau haborotan pada dialek-
dialek selatan.
Tabel 11: Nama anak ni surat
Karo Pakpak Simalungun Toba Mandailing
ě kěběrětěn kaběrětěn — — —
podi
e kětelengěn kětadingin hatalingan hatadingan talinga
108 Surat Batak

i kělawan kaloan haluan haluain uluwa


hauluan
haulian
siulu, uluwa
o kětolongěn sikora sihorlu siala, sihora siala ulu
ou — — hatulungan — —
u sikurun kaběrětěn haboritan haborotan boruta
haboruan buruta
ng kěbincarěn kěbincarěn haminsaran haminsaran amisara
hamisaran
paminggil
h kějěringěn sikorjan hajoringan — —
Tanda pěněngěn pangolat ? panongonan pangolat pangolat
bunuh

Be (ě)
(KP) Anak ni surat ini disebut kěběrětěn di Karo, dan kaběrětěn podi
(kaběrětěn akhir) di Pakpak (band. diakritik u). Di Karo, letaknya huruf
ini selalu di belakang ina ni surat, di Pakpak dapat juga diletakkan di be-
lakang huruf (Tuuk 1971:31) walaupun letak yang biasa adalah di atas
ina ni surat (Voorhoeve 1975:42). Voorhoeve tidak menjelaskan secara
pasti di bagian atas mana huruf ini diletakkan, terutama jika digabungkan
dengan penggunaan anak ni surat lain seperti Ng yang juga diletakkan di
atas ina ni surat. Fonem [ə] hanya terdapat di Karo dan Pakpak.
Bila kata kěběrětěn disesuaikan dengan penghafalan Batak Selatan,
hasilnya adalah haborotan, karena awalan ke- di Karo menjadi ha- di
selatan, akhiran -en menjadi -an, dan fonem [ə] di Batak Utara menjadi
[o] di Batak Selatan. Dari uraian ini menjadi jelas bahwa kedua anak ni
surat kěběrětěn dan haborotan pada hakikatnya tidak berbeda.

BE (e)
Anak ni surat ini disebut kětelengěn di Karo, kětadingin di Pakpak,
hatalingan di Simalungun, hatadingan di Toba, dan talinga di Mandai-
ling. Bentuknya berupa tanda hubung yang diletakkan di atas sebelah kiri
ina ni surat.
Surat Batak 109

Bi (i)
(KPTM) Anak ni surat ini disebut kělawan di Karo, kaloan di Pak-
pak, dan uluwa di Mandailing dan Toba. Di Toba dikenal empat istilah
lagi, yakni haluain, hauluan, haulian dan siulu. Anak ni surat ini
berbentuk lingkaran kecil yang diletakkan di belakang ina ni surat. De-
ngan demikian, huruf Ba b menjadi Bi bi.

Bi (i)
(KS) Di Simalungun anak ni surat ini disebut haluan, di Karo nama-
nya sama dengan varian i yang di atas, yakni kělawan. Di Simalungun
inilah anak ni surat satu-satunya untuk i, sedangkan di Karo dipakai
sebagai salah satu varian di samping i yang berupa lingkaran kecil de-
ngan tingkat penggunaan yang hampir sama. Letaknya juga di belakang
ina ni surat (bi).

Bo (o, u)
(PSTM) Anak ni surat ini disebut sikora di Pakpak, sihora dan siala
di Toba, dan siala ulu di Mandailing.
Di semua surat Batak kecuali Karo tanda kali kecil ini diletakkan di
belakang ina ni surat untuk menandai bunyi [o].
(K) Di Karo, anak ni surat ini dinamakan sikurun, dan berbunyi [u].

Bo (o)
(K) Anak ni surat ini disebut kětolongěn. Di Karo, anak ni surat un-
tuk bunyi [o] diletakkan di atas sebelah kanan ina ni surat. Terdapat dua
varian, yakni bo dan bO yang dua-duanya berbunyi [o].

BO (o)
(S) Anak ni surat ini disebut hatulungan. Hanya di surat Batak Si-
malungun terdapat anak ni surat /ou/ yang bentuknya sama dengan
varian kedua kětolongěn Karo. Dengan demikian, huruf b menjadi
[bou] (bO).
(K) Varian o ini juga bernama kětolongěn.
110 Surat Batak

Bu (u)
(PSTM) Anak ni surat ini sama bentuknya dengan diakritik [ě] di
atas, tetapi letaknya agak ke bawah sedikit. Di Toba anak ni surat ini
disebut haborotan atau haboruan, di Simalungun haboritan, dan di
Mandailing boruta atau buruta. Istilah haborotan berasal dari kata borot
(tambat). Borotan adalah tambatan kerbau atau kuda. Istilah haborotan
mengacu pada kenyataan bahwa anak ni surat ini ‘tertambat’ pada ina ni
surat sehingga ina ni surat dan anak ni surat bersatu. Letak anak ni surat
/u/ di aksara Toba adalah:
AKBPNWGJDRMTSY>L]
Varian /tu/ dan /nu/ adalah F dan Q.
Di Mandailing /pu/ dan /lu/ sedikit berbeda, menjadi P dan L.
Untuk varian-varian Ha, Ma, dan Sa di Mandailing, anak ni surat U
diletakkan dengan cara berikut ini: H dan F (hu), 1 (mu), dan S
(juga ditulis v) serta X(su).
Di Simalungun, letak U adalah seperti berikut:
AHBPNWGJDRMTSY>L]
Masih perlu dicatat suatu hal yang agak aneh di sini. Di Simalungun
dan di Mandailing terdapat varian Sa yang berbentuk x. Bila digabung
dengan anak ni surat u maka di Simalungun diakritik itu diletakkan di
atas huruf Sa menjadi S (su), sedangkan di Mandailing letaknya anak
ni surat adalah pada tempat yang biasa, yakni X.

B^ (ng)
(KPSTM) Anak ni surat ini disebut kěbincarěn di Karo dan Pakpak,
haminsaran di Simalungun dan Toba, dan amisara in Mandailing. Di
Toba juga dikenal dengan istilah paminggil. Bentuknya berupa tanda
hubung yang diletakkan di atas sebelah kanan ina ni surat mengubah ak-
sara b Ba berubah berbunyi [bang] b^.

Bh (h)
(KPS) Anak ni surat ini disebut kějěringěn di Karo, hajoringan di
Simalungun, dan sikorjan di Pakpak. Bentuknya berupa tanda = yang
Surat Batak 111

letaknya di atas sebelah kanan ina ni surat. Dengan demikian huruf Ba


(b) berubah berbunyi [bah] bh.

B\ (Tanda Bunuh)
(PTM) Anak ni surat ini disebut pangolat. Bentuknya berupa garis
miring ke bawah yang diletakkan di belakang ina ni surat. Anak ni surat
ini berfungsi menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat sebagaimana
terlihat pada contoh berikut ini: tm\bk\ tambak (PTM)

B- (Tanda Bunuh)
(KS) Anak ni surat ini disebut pěněngěn di Karo dan panongonan di
Simalungun. Letaknya, dan juga fungsinya persis sama dengan pangolat
ialah untuk menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat.

6.6 Penyimpangan dari aksara Batak


Dalam aksara Batak sebagaimana sering digunakan sekarang misal-
nya yang dipakai di kantor-kantor polisi, di tugu-tugu, di puskesmas, dan
gedung-gedung umum lainnya, ada kecenderungan untuk menulis huruf
Batak yang sangat menyimpang dari bentuk yang sebenarnya. Bentuk-
bentuk yang agak aneh juga terdapat di karangan-karangan yang berkait-
an dengan budaya Batak, misalnya di Sarumpaet (1994) atau Situmorang
(1983). Huruf-huruf yang paling sering menyimpang adalah huruf A, Da,
Ma, Na, dan Sa. Keterangan-keterangan mengenai penyimpangan-
penyimpangan tersebut dapat dilihat pada uraian-uraian di BAB 6. Ke-
janggalan-kejanggalan tersebut sulit diketahui asalnya. Kemungkinan
berasal dari ketidaktahuan saja. Terlampir ada beberapa contoh yang di-
foto oleh pengarang pada akhir tahun 1998 di Medan, dan di Tapanuli
Utara. Gambar 18 diambil di kantor polisi Jl. Tembung, dan papan yang
mirip itu ada di hampir semua kantor polisi di Medan. Perancang papan
tersebut rupanya tidak mengetahui perbedaan antara aksara dan diakritik
sehingga huruf I dalam ‘polisi’ yang seharusnya ditulis dengan diakritik:
polisi malahan ditulis dengan aksara! Alhasilnya bukan lagi
‘polisi’ melainkan polIsI – po-la-i-sa-i, jadinya polaisai!
Perhatikan juga bentuk La dan Sa. Bentuknya persis sama, pada aksara
112 Surat Batak

Sa hanya ditambah saja sebuah garis kecil. Bentuk ini sudah jauh
menyimpang dari aksara s yang lazim terdapat dalam pustaha-pustaha.

Gambar 18: Papan di muka kantor polisi di Jalan Serdang, arah


Tembung.

Foto 19 diambil di kecamatan


Laguboti, Tapanuli Utara. Yang
terlihat di foto bagian atas sebuah
tugu marga Pangaribuan.

Gambar 19: Tugu marga Pangaribuan, Kec. Laguboti, Kab. Tapanuli


Surat Batak 113
Utara.
Tulisan Pangaribuan p<riBan\ tidak salah, namun ling-
karan yang terdapat pada huruf n jauh terlalu kecil, sedangkan garis
horisontal yang terdapat pada aksara Na tersebut terlalu memanjang ke
kiri. Bentuk yang lazim terdapat dalam pustaha memang dapat berbeda-
beda sehingga bentuk berkisar antara 3, n, dan 4. Varian Na yang
dipilih di tugu ini, dan juga pada Gambar 19 – papan Puskesmas Silaen
(huruf terakhir) – jelas sudah merupakan penyimpangan dari bentuk
aksara yang sebenarnya.

Gambar 20: Papan di muka Puskesmas Silaen, Kab. Tapanuli Utara.

Pada papan Puskesmas Silaen (Kab. Tapanuli Utara) terdapat pula


bentuk huruf Sa yang bergabung dengan diakritik /u/ (huruf kedua di
papan tersebut). Hal ini pada umumnya tidak terjadi pada Sa Toba.
Memang benar bahwa diakritik /u/ sering bersatu dengan aksara induk
(misalnya h + e = H atau j + e = J), tetapi s + e = S. Bentuk
seperti terdapat pada papan Puskesmas Silaen juga harus dianggap
sebagai penyimpangan. Selain itu pada keempat foto tersebut terdapat
bentuk yang sama pada huruf Pa ialah bentuk yang melengkung. Bentuk
ini tidak salah, tetapi di pustaha lebih sering terdapat bentuk huruf Pa
114 Surat Batak

yang garisnya lurus saja. Satu lagi huruf yang perlu disinggung di sini,
yakni aksara Ma dalam kata ‘puskesmas’ yang berbentuk m. Bentuk ini
jarang sekali dapat ditemukan di pustaha Toba yang selalu menggunakan
bentuk m. Aksara Ma seperti terdapat pada papan tersebut lebih umum
terdapat di Angkola dan Mandailing.
Satu lagi contoh aksara yang menyimpang secara ekstrem dari aksara
asli terlihat pada gambar berikut. Teks, yang merupakan doa “Bapak
kami yang ada di surga”, bermaksud untuk berbunyi:
Ale Amanami na di banua / ginjang. Sai Pinarbadia ma / Goar-Mu.
Sai ro ma Harajaon- / Mu. Sai saut ma lomo ni / roham di banua tonga
on.

Gambar 21: Ale Ama nami


Akan tetapi teks begitu padat dengan kesalahan sehingga sangat
sukar untuk dibaca. Sebagai contoh, perkataan tonga on dimuat tiga kali
dalam tabel berikut. Pada kolom pertama dengan ejaan yang salah dan
bentuk huruf yang aneh. Pada kolom kedua teks disalin dengan bentuk
huruf yang benar tetapi ejaan dibiarkan sama dengan di kolum 1. Kolum
3 baru memperlihatkan kata tonga on dalam bentuk dan ejaan yang
benar:
Ejaan di teks Ejaan yg benar
Surat Batak 115

to^aaon\ to<ano\

|
7 PEDOMAN MENULIS AKSARA BATAK

Pedoman menulis aksara Batak Pakpak, Toba, dan Mandailing terda-


pat dalam tata bahasa Van der Tuuk Tobasche Spraakkunst (Tuuk 1864)
yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul A Grammar of
Toba Batak (Tuuk 1971:10). Penggunaan surat Batak versi Karo telah
dijelaskan oleh Neumann (1922) dan Smit (1916). Setahu saya, pema-
kaian tulisan Simalungun belum pernah dijelaskan. Secara umum surat
Batak telah dibahas dalam sejumlah karangan (Haberlandt 1886; Kozok
1991; Marschall 1967; Voorhoeve 1927), namun perlu diingat bahwa
keterangan yang diberikan dalam publikasi tersebut tidak selalu dapat
diandalkan. Haberlandt dan Marschall kurang mengetahui aksara Batak,
dalam publikasi Kozok tabel yang memuat tanda diakritik salah disusun
oleh penerbit, dan tidak ada satu pun di antara publikasi yang tersebut
tadi yang memberikan pedoman praktis untuk mempelajari kelima varian
aksara Batak. Contoh-contoh yang diberikan di bawah ini berdasarkan
aksara Karo [K] atau Toba [T] yang masing-masing mewakili kelompok
utara dan selatan. Hanya bila perlu, disajikan pula contoh dengan
menggunakan aksara Simalungun [S] atau Angkola-Mandailing [M].

7.1 Anak ni surat


Semua ina ni surat yang berupa konsonan berakhir dengan bunyi [a]
(bp bapa). Bunyi [a] ini dapat dihapus dengan menggunakan tanda
bunuh yang disebut pěněngěn [K] atau pangolat [T]. Fungsi diakritik
tersebut persis sama dengan diakritik yang disebut virama dalam bahasa-
bahasa India, atau paten dalam bahasa Jawa. Pada contoh berikut aksara
Ka kehilangan bunyi [a]: lk\lk\ laklak.
Pedoman Menulis Aksara Batak 117

Bunyi [a] yang melekat pada ina ni surat dapat diubah menjadi vokal
lain dengan menambahkan anak ni surat. Huruf Ga (g) misalnya dapat
diubah menjadi gE Ge seperti dalam kata bligE Balige.
Selain itu, ada dua diakritik yang menambahkan bunyi [ng] atau [h]
pada ina ni surat, contohnya adalah b^kr Bangkara, atau rumh
rumah [K].
Dua jenis diakritik dapat dikombinasikan: pti^ pating [K], reh
rěh [K].21 Bila terdapat kombinasi dari anak ni surat yang letaknya di
belakang ina ni surat (yakni i, u, atau e) dan anak ni surat /h/ atau /ng/
(yang terletak di atas-kanan ina ni surat) maka anak ni surat /h/ atau /ng/
agak bergeser ke kanan sehingga posisinya tepat di atas anak ni surat i,
u, atau e. Perlu dicatat bahwa aturan ini tidak selalu dipatuhi.
Pada suku kata tertutup yang terdiri dari urutan Konsonan - Vokal -
Konsonan, anak ni surat yang menandai vokal selalu diletakkan di antara
ina ni surat yang kedua dan tanda bunuh seperti terlihat pada contoh ini:
gko\ gok; borti- borit [S]; sni-tk- sintak [K].

7.2 Aksara A dan Ha


Menurut Voorhoeve (1975:41), makna asli huruf a adalah [ha] dan
huruf k bermakna [ka], tetapi dalam dialek-dialek selatan a selalu
berbunyi [a] dan k bermakna [ha] atau [ka]. Pada kelompok Batak
Utara, a selalu bermakna [a] atau [ha] dan k menjadi [ka] seperti
dapat dilihat pada tabel berikut:

Karo aku aku Simalungun aK ahu


Pakpak aK aku Toba aK ahu
Mandailing aH ahu
Huruf a juga digunakan sebagai penopang vokal. Karena surat
Batak hanya mengenal dua ina ni surat yang bermakna vokal, ialah I dan

21. Perhatikan bahwa ejaan bahasa-bahasa Batak yang dipakai sekarang tidak membeda-
kan e-taling [e] seperti dalam kata sedan (mobil) dan e-pepet yang diucapkan [ə] se-
perti dalam kata sedan (sedu-sedan).
118 Surat Batak

U, maka huruf a dipakai bila vokal-vokal [e], [ǝ], dan [o] berada pada
awal suku kata. Dengan demikian aE dibaca [e], ao dibaca [o] dan
sebagainya: aEtkE\ etek, aakE\ aek, amo\P ompu,
ani\d inda, aN\d^ undang (perihal kedua contoh terakhir
lihat juga BAB berikut).

7.3 Aksara I dan U


Aksara ina ni surat I dan U (I dan U) hanya digunakan di awal
suku kata terbuka (UL ulu, pI<to\ paingot). Bila sebuah
suku kata tertutup diawali dengan bunyi [i] atau [u] maka vokal tersebut
diwakili oleh kombinasi huruf a dan anak ni surat /i/ atau /u/
(aM\pm umpama, ani\D^ indung). Aturan ini juga berlaku
bagi suku kata yang dimulai dengan vokal-vokal lainnya: (amo\P
ompu, aolo olo, aems- ěmas [K]).
*K Di surat Batak versi Karo, huruf I dan U boleh dipakai, boleh
tidak. Di mana pun posisinya, I selalu dapat diganti dengan ai, dan
U boleh diganti dengan au. Dengan demikian, kata iluh dapat ditulis
ailuh atau Iluh. Di semua surat Batak lainnya terdapat kecen-
derungan untuk selalu menggunakan I dan U bila berada pada posisi
awal suku kata terbuka.

7.4 Vokal Ganda & Deretan Vokal


Karena fonem [w] dan [y] tidak terdapat pada bahasa Batak Toba,
maka aksara Wa dan Ya tidak perlu bila menulis surat Batak versi Toba.
Namun demikian, huruf Wa (w) dan Ya (w) sering dipakai, juga dalam
naskah-naskah Batak Toba, untuk menyambungkan dua vokal. Kata
reak, misalnya, dapat ditulis reak\ atau reyk\ dan demikian
juga terdapat varian Da (dua) dan Dw (duwa). Tidak jarang kita
menjumpai kedua varian pada satu naskah.
Di Karo dan Simalungun deretan dua vokal selalu harus disam-
bungkan dengan menggunakan w dan y. Dalam surat Batak versi
Karo, kata sea selalu ditulis sEy (seya) dan tidak pernah sEa (sea);
demikian juga dengan kata dua yang harus ditulis duw.
Pedoman Menulis Aksara Batak 119

Di semua surat Batak, w dipakai untuk menyambung dua vokal bila


vokal pertama adalah [u] atau [o] (yakni ua, oa, oe, dan ue), sedangkan
y menyambung dua vokal bila yang pertama menjadi [e] atau [i] (yakni
ia, io, ea, dan eo).
*K Di Karo, vokal ganda (diftong) [ai] biasanya ditulis /e/: kata nai
biasanya ditulis nE (ne), tetapi kadang-kadang varian nyi (nayi)
digunakan juga. Setahu saya, kebiasaan ini hanya ada di Karo, sedangkan
dalam naskah-naskah Toba dan Mandailing deretan vokal [ai] seperti
dalam contoh kata sai selalu ditulis sai (sai), dan dalam hal ini s
mewakili /sa/ dan ai /i/.22
Vokal ganda [au] tidak lazim digunakan di Karo. Di antara beberapa
kata yang menggunakan [au] terdapat kata lau (air, sungai) dan laut
(laut). Dalam naskah-naskah Karo, lau selalu ditulis layo, dan laut selalu
ditulis lawit. Dalam naskah Toba dan Mandailing, [au] selalu ditulis
seperti dalam kata saT\, yaitu s /sa/ – aT\ /ut/. Namun
perlu diingat bahwa kombinasi bunyi [a] dan [u] dalam kata saut
sebetulnya bukan diftong karena [a] dan [u] diucapkan secara terpisa
menjadi sa-ut.
*S Pada naskah Simalungun huruf w dan y sering digunakan un-
tuk menulis kata yang berawal vokal. Dengan demikian, ulang sering
ditulis wulang, dan on ditulis won. Kata yang berawal bunyi [i] dan [e]
juga sering ditulis dengan y.
Diftong [ei] sering terdapat dalam bahasa Simalungun, misalnya da-
lam kata atei atau tarsulei. Kedua kata ini biasa ditulis atE ate dan
tr-SlE tarsule. Kadang-kadang huruf Ya dipakai untuk menam-
bah vokal /i/: atEyi atei, tr-SlEyi, tarsulei.

7.5 Nasalisasi dan aksara Mba dan Nda (K)


Salah satu ciri khas surat Batak versi Karo adalah bahwa bunyi se-
ngau [m], [n], dan [ŋ] yang terdapat sebelum konsonan [b], [c], [d], [g],
[j], [k], dan [p] tidak ditulis. Dengan demikian, kata panta selalu ditulis

22. Saya belum mengevaluasikan naskah-naskah Pakpak dan Simalungun atas cara pe-
nulisan diftong.
120 Surat Batak

pt. Demikian juga dengan kata tonggal yang selalu ditulis togal,
banci menjadi baci, nangkih menjadi nakih, sampur menjadi sapur dan
sebagainya:

banci tonggal
=baci
bci =togal
togl-
nande lanja
=nade
ndE =laja
lj
sampur tangkal
=sapur
spru- =takal
tkl-
Demikian juga dengan kata nande yang sering ditulis nade, dan kata
mambur yang sering ditulis mabur walaupun terdapat aksara Nda dan
Mba. Tingkat penggunaan kedua aksara tersebut tidak terlalu tinggi.
Hanya sekitar 40% naskah Karo yang menggunakan aksara itu. Ke-
mungkinan besar kedua aksara tersebut masih relatif baru, meskipun te-
lah digunakan pada naskah Karo yang paling lama. Perlu dicatat bahwa
umur naskah-naskah Karo yang berada di museum-museum di dalam dan
di luar negeri jarang melebihi 120 tahun.

7.6 Kendala Morfemik


Seperti sudah disebut di atas, surat Batak sebenarnya bukan abjad
karena tidak benar-benar fonetis. Hal itu juga tampak dari kenyataan
bahwa hanya seorang yang mengetahui bahasanya dapat menulis surat
Batak. Jika kita disuruh menulis kata marina dengan menggunakan huruf
Latin, kita dapat melaksanakan hal itu dan bisa menulis kata yang diu-
capkan tadi tanpa kesalahan walaupun kita tidak mengerti katanya. Ialah
karena abjad Latin pada hakikatnya fonetis.23 Lain halnya jika kita disu-

23. Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud sebagai fonetis adalah abjad Latin dan
bukan ejaan bahasa-bahasa yang ditulis dengan abjad Latin. Bahasa Indonesia misal-
nya memiliki ejaan yang fonetis, berarti bahwa tiap bunyi bahasa (fonem) dapat ditu-
lis dengan salah satu huruf (grafem) dengan hanya beberapa pengecualian (misalnya
fonem [e] dan [ə] yang diwakili satu grafem /e/ saja), sementara ejaan bahasa Inggris
yang juga menggunakan abjad Latin sama sekali tidak fonetis.
Pedoman Menulis Aksara Batak 121

ruh menulis kata yang sama dengan surat Batak. Jika kita tidak mengua-
sai bahasa Batak Toba, tentu kita akan menulis mrin karena kita
tidak tahu bahwa kata marina terdiri atas dua morfem yakni awalan
{mar-} dan kata dasar {ina}. Struktur morfemik inilah yang turut mem-
pengaruhi cara menulis surat Batak, dan ada kecenderungan untuk
menandai batas-batas morfemis dengan menulis mr\In
Demikian juga dengan kata taringot tr\I<to\ atau parulian
pr\Ulian\. Perlu dicatat, bahwa aturan ini tidak selalu
diperhatikan oleh penulis naskah-naskah Batak. Cukup banyak naskah
yang menulis kata maringan mri<n\ dan bukan
mr\I<n\.

7.7 Konsonan ganda


*KP Dalam bahasa Karo dan Pakpak terdapat banyak kata yang
mempunyai struktur KVKVK dengan e-pepet [ə] sebagai vokal pertama .
Dalam hal ini, konsonan yang mengikuti pepet itu dapat dieja ganda:
misalnya kata bělin ‘besar’ bila diucapkan pelan-pelan ejaan menjadi
bel-lin. Dengan demikian, struktur kata sebenarnya bukan KVKVK,
melainkan terdiri dari dua suku kata yang masing-masing berbunyi KVK.
Penulisannya bisa belni- bělin atau ble-lni- běllin. Contoh
lain adalah: bě-ne dan běn-ne ‘hilang’, tě-mbe dan těm-mbe ‘jadi’ dan
sebagainya. Penggandaan konsonan seperti itu adalah gejala yang umum
sekali dalam naskah Pakpak dan Karo.
Menarik untuk dicatat bahwa penggandaan konsonan setelah e-pepet
memili sejarah yang panjang. Dalam tulisan Jawi kata seperti senyum
lazim ditulis dengn dua N: sennyum. Pada prasasti-prasasti Sriwijaya
tidak ada tanda untuk e-pepet karena aksara induknya, aksara Palawa
dari India, memang tidak memiliki tanda dikritis untuk e-pepet. Karena
e-pepet begitu sering digunakan dalam bahasa Melayu maka para ahli
kalam di zaman Sriwijaya menandai adanya e-pepet dengan mengganda-
kan konsonan.
122 Surat Batak

7.8 Awalan -er


*K Pada naskah Karo awalan ěr- selalu menjadi rě-, misalnya
ěrkěrikěn ditulis rěkěrikěn. Hanya pada beberapa naskah saja terdapat
bentuk are-kerikne- (hěrkěrikěn).

7.9 Latihan
Latihan 1
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Jawaban
soal ini terdapat di halaman 151.

Karo Pakpak Simal. Toba Mand.


ama
bapa
sada
tanya
kaca
rata
naga
langa

Latihan 2
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhati-
kanlah bahwa anak ni surat harus dipakai untuk menulis /h/ dan /ng/ se-
bagai penutup suku kata. Jangan lupa membedakan /ě/ yang diucapkan
seperti dalam kata ‘beri’, yakni e-pepet, dan e-taling yang diucapkan se-
perti dalam kata ‘beda’.

Karo Pakpak Simal. Toba Mand.


běru
sudu
lige
molo
mangmang
rumah
Pedoman Menulis Aksara Batak 123

sungsang
ngarang

Latihan 3
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak.

Karo Pakpak Simal. Toba Mand.


pakpak
lamlam
lit
tutup
pir
dolok
serser
picět

Latihan 4
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhati-
kanlah penggunaan ina dan anak ni surat untuk menulis /i/ dan /u/. Lihat
BAB 7.2.

Toba Karo
uli
ido
guru
begu

Latihan 5
Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhati-
kanlah penggunaan Wa dan Ya. Lihat BAB 7.4.

Toba Karo
dua
biar
sea
124 Surat Batak

|
8 TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN

Transliterasi artinya alih-aksara, yaitu penggantian jenis tulisan, hu-


ruf demi huruf, dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam hal ini
tulisan Batak dialih-aksarakan menjadi tulisan Latin. Huruf s misalnya
transliterasinya adalah sa dan s^s^ ditransliterasikan menjadi sangsang
biarpun ucapannya adalah saksang. Salah satu masalah yang kita hadapi
adalah bahwa sampai sekarang belum ada keseragaman dalam menulis
bahasa Batak. Dengan demikian, dapat ditemukan ejaan tapian nauli
(salah) dan bukan tapian na uli (benar karena na adalah pronomina)
Kalau sekarang pun belum ada ejaan yang diterima umum, apalagi di
zaman dulu. Van der Tuuk memberikan beberapa contoh untuk ejaan
kata hushus, ‘wangi’ (ialah ejaan yang berlaku sekarang). Di antaranya
adalah hN\sS\, hT\sS\, hS\hS\, dan
hK\kS\. Secara teoretis, semua varian tersebut dapat ditemukan
dalam naskah-naskah Batak, dan transliterasinya harus mengikuti ejaan
yang dipakai oleh penulis naskah (yakni hunsus, hutsus, hushus, hukkus),
dan tidak boleh mengikuti ejaan yang berlaku sekarang!
Sekali lagi, pengertian transliterasi adalah penggantian jenis tulisan
huruf demi huruf. Karena itu kata aN\sko\ harus ditranslitera-
sikan unsok biarpun kata tersebut sekarang lebih sering ditulis ucok. Kata
Twn\ harus ditransliterasikan tuwan biarpun ejaan yang berlaku
sekarang menuntut penulisan tuan. Proses transliterasi memaksa kita bu-
kan saja untuk bersikap “setia pada kata” melainkan untuk “setia pada
huruf”. Maksudnya ialah bahwa meskipun kita tahu betul bahwa penulis
naskah jelas keliru membuat kesalahan, kita tetap harus mentransliterasi-
kan kesalahannya dan kita tidak berhak untuk memperbaikinya. Hal itu
semata-mata untuk menyalin teks aslinya sesuai dengan keasliannya.
Karena teks asli sering penuh dengan kesalahan, dan pungtuasi – tanda
baca seperti koma dan titik – juga tidak ada, maka tentu timbul niat untuk
126 Surat Batak

memperbaiki kesalahan, menyesuaikan ejaan, dan menambah tanda-


tanda baca pada teks asli. Perbaikan dan penyesuaian tersebut memang
perlu dilakukan, tetapi itu merupakan langkah kedua. Maka proses untuk
menyajikan sebuah naskah agar bisa dibaca dan dinikmati oleh kalangan
yang tidak mengetahui aksara dan bahasa teks asli harus dilakukan dalam
berbagai tahap:

Transliterasi I / Penyalinan
Penyalinan naskah huruf demi huruf dari aksara Batak menjadi aksa-
ra Latin. Proses tersebut mesti dilakukan sedemikian rupa sehingga teks
asli dapat direkonstruksikan. Transliterasi seperti ini disebut dalam baha-
sa Inggris diplomatic transliteration.
Ralat
Transliterasi II / Penyuntingan
Teks naskah yang telah diralat disalin kembali sesuai dengan ejaan
yang disempurnakan dengan menambah pungtuasi seperlunya. Trans-
literasi ini disebut dalam bahasa Inggris critical transliteration.
Terjemahan & Catatan
Teks naskah diterjemahkan ke dalam bahasa tujuan dan diberi pen-
jelasan tentang latar belakang budaya, tempat, waktu, dan sebagainya
sehingga terjemahan dapat dipahami oleh orang yang tidak mengenal
latar belakang budayanya.
Pendokumentasian
Pengumpulan segala informasi tentang naskah dan penulisnya yang
berguna.

8.1 Transliterasi I / Penyalinan


Penyalinan yang pertama mesti dilakukan dengan sangat seksama
sehingga dari transliterasi orang dapat persis mengetahui bagaimana teks
aslinya. Dengan kata lain, kita hanya boleh menyalin aksara tanpa meng-
Pedoman Menulis Aksara Batak 127

ubah atau memperbaiki teks aslinya. Sebagai contoh saya ambil keempat
baris pertama naskah D 98 dari koleksi Perpustakaan Nasional.24

mn-dpto-hno-amo-Pnmins<p-
jlnmro-Mliynm^gmo-gmirEsidNE-
tpian-nUlidohot-Twn-nmiTan-
p>hM-
Transliterasi I
1. mandapothon ompu nami
2. na saṅap jala na mormuliya na maŋgom
3. --gami residen tapian na Uli
4. dohot tuwan nami tuan paṅuhum

Aksara Batak mengenal dua cara untuk menulis /ng/ dan /i/ yaitu
dengan menggunakan ina ni surat dan anak ni surat. Karena demikian
maka kita menggunakan tanda ṅ untuk mentransliterasi <, sedangkan
tanda ŋ dipakai untuk mentransliterasi anak ni surat B^. Demikian juga
perlu dibedakan antara ina ni surat I dan U yang ditransliterasikan
dengan menggunakan huruf besar sedangkan anak ni surat untuk /i/ dan
/u/ ditransliterasikan dengan huruf kecil:
ani\ddo^ indadoŋ
Id Ida
UhmM\ Uhum
p>hM\ paṅuhum
Pada teks naskah sering terdapat kesalahan yang dibuat penulis. Ke-
salahan-kesalahan tersebut tidak boleh diperbaiki, tetapi harus ikut
ditransliterasikan juga. Hal itu kita hadapi pada baris kedua dan ketiga di
mana manggomgomi ditulis manggomgami. Pada tahap transliterasi ini
kita harus membiarkan teksnya dalam bentuk asli. Karena itu, kita juga
harus tetap mentransliterasikan Tan- sebagai tuan dan Twn-
sebagai tuwan walaupun artinya sama saja.
Perhatikanlah bahwa di zaman pernaskahan tanda penghubung belum
dikenal. Penulis naskah ini misalnya memisahkan kata manggomgomi

24. Teks naskah ini telah saya ubah sedikit supaya dapat digunakan sebagai contoh.
128 Surat Batak

setelah huruf Ma sehingga sihoru (o) dan pangolat (\) jatuh pada baris
berikut. Hal ini tidak dapat disalin secara akurat dengan huruf Latin.
Oleh karena itu kita memisahkannya maŋgom / --gami dengan menggu-
nakan dua tanda penghubung sebagai tanda bahwa kedua unsur terakhir
dari gmo- telah jatuh pada baris berikut.
Sering terjadi bahwa kita tidak bisa memastikan huruf mana yang
tertulis karena ada huruf yang sangat mirip, misalnya huruf Karo é /e/
dan k Ka yang bentuknya bisa hampir serupa. Kalau tidak dapat dipas-
tikan huruf mana yang tertulis, hal itu perlu dicatat, misalnya dengan
menggarisbawahi huruf tersebut pada transliterasi sehingga pembaca
tahu bahwa aksara tersebut kurang jelas terbaca. Atau kita sajikan dua al-
ternatif kalau kita tidak tahu dengan pasti huruf mana yang dimaksud.
Dalam hal ini /e/ /ka/ dalam transkripsi dapat dipakai sebagai kode yang
mensinyalir adanya dua kemungkinan membaca huruf tersebut. Acap
kali juga terjadi bahwa penulis menghapus beberapa huruf, sebuah kata,
atau bahkan satu baris. Bila huruf yang terhapus tak terbaca lagi, cukup
bila ditandai dengan kode ØØØ misalnya, untuk menandai ada beberapa
huruf yang terhapus, sedangkan /ØpaØ/ bisa dipakai sebagai kode untuk
menandai bahwa huruf Pa telah dihapus. Sistem transliterasi serta kode-
kode yang digunakan tentu boleh berbeda dengan sistem yang dianjurkan
di sini. Pokoknya ada konsistensi pada penerapan sistem tersebut, dan
sistem itu harus juga memenuhi syarat dasar, ialah kesanggupan menca-
tat teks asli dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga teks asli dapat
direkonstruksikan. Agar sistem transliterasi yang dipakai dapat diandal-
kan dari segi metodologinya, sebaiknya disisipkan sebuah BAB yang
menjelaskan sistem transliterasi yang digunakan.
Sebuah pustaha terdiri dari halaman-halaman yang terdiri dari lipat-
an-lipatan kulit kayu alim. Pada umumnya halaman-halaman tersebut
ditulisi pada kedua sisi. Agar lebih mudah mencari kembali bagian yang
pernah ditransliterasikan dalam naskah asli, setiap halaman perlu diberi
nomor. Dalam hal itu, kita perlu mencari sisi kulit kayu pustaha itu
dimulai. Biasanya tempat itu ditandai oleh bindu na godang. Sisi laklak
yang terdapat awal teks dinamakan sisi A, sedangkan sisi yang satu lagi
menjadi sisi B. Kemudian halaman pertama dari sisi A diberi nomor A1.
Perhatikan bahwa halaman A1 sering tidak terlihat karena pada pustaha
Pedoman Menulis Aksara Batak 129

yang diberi sampul kayu (lampak), halaman A1 (dan demikian juga hala-
man B yang terakhir) dilem pada lampak-nya, dan teksnya baru mulai
pada halaman A2 atau A3.

8.2 Ralat
Yang kita lakukan pada tahap kedua ini adalah mengubah teks asli
sedemikian rupa sehingga segala kesalahan yang dibuat oleh penulis di-
perbaiki. Hal ini sangat sensitif mengingat bahwa kita melakukan ko-
reksi, penambahan atau pengurangan pada sebuah teks yang berasal dari
zaman dulu. Belum tentu penulis naskah akan setuju dengan intervensi
yang kita lakukan, dan kita harus menjaga agar jangan kita membuat in-
terpretasi yang tidak sesuai dengan teks dan zamannya. Pada teks yang di
atas, terdapat satu kesalahan yang memang perlu diralat:

Ralat
B 2–3 maŋgomgami  maŋgomgomi

Selain itu terdapat beberapa kata atau istilah yang menurut hemat
saya tidak patut diralat karena bukan merupakan kesalahan, tetapi me-
mang sengaja ditulis sedemikian rupa: yang dimaksud penulis naskah itu
dengan Tapian na Uli tentu adalah Keresidenan Tapanuli. Hal itu dapat
dijelaskan dalam catatan (lihat di bawah). Istilah kedua yang tidak sepe-
nuhnya betul adalah ‘residen’ yang berasal dari bahasa Belanda Resident,
ialah kepala pemerintahan dalam sebuah keresidenan (setingkat pro-
vinsi). Yang dimaksud penulis naskah ini dengan residen tentu adalah
wilayah keresidenan. Hal tersebut juga cukup bila disebut di dalam
catatan.

8.3 Transliterasi II / Penyuntingan


Transliterasi I yang sudah diralat menjadi dasar bagi Transliterasi II.
Pada Transliterasi II kita menyunting teks asli sedemikian rupa sehingga
ia sesuai dengan ejaan yang berlaku (disesuaikan dengan Ejaaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan) dan lengkap dibubuhi tanda-tanda baca.
Sebagai langkah pertama kita menghapus semua huruf yang hanya ber-
130 Surat Batak

fungsi untuk menyambung dua vokal – kata tuwan dan mormuliya di-
ubah menjadi tuan dan mormulia (penyuntingan kecil seperti itu tidak
perlu disebut satu-satu dalam ralat). Langkah kedua adalah memperbaiki
semua kesalahan yang telah disebut dalam ralat. Tentu masih perlu
dibubuhkan titik, koma, dan tanda-tanda baca lainnya agar teks kita
mendapatkan sebuah struktur dan dapat lebih mudah dipahami.
Setelah diralat dan diedit akhirnya teks contoh muncul dalam bentuk
seperti ini:
Transliterasi II
Mandapothon ompu nami na sangap jala na mormulia na
mangomgomi residen Tapian na Uli dohot tuan nami tuan
panguhum.
Dalam naskah-naskah kuno sering terdapat kata-kata atau imbuhan
yang sekarang sudah jarang dipakai lagi. Dalam teks contoh kita awalan
mor- dalam kata mormulia sekarang kedengaran agak kuno dan biasanya
ditulis marmulia. Apakah perlu mormulia diganti dengan marmulia saja?
Saya kira sebaiknya tidak, karena awalan mor- menambah kesan kekuno-
an naskah tersebut dan merupakan ciri-ciri khas pada hampir setiap nas-
kah. Demikian juga dengan awalan /tor-/ dan /por-/ atau dengan awalan
da- yang umum dipakai dalam pustaha menggantikan pasif di- seperti
dalam contoh asa dabuat… (agar diambil …).
Dalam naskah-naskah Karo juga terdapat sejumlah kata-kata dan im-
buhan kuno. Beberapa contoh adalah awalan pasif ni- (misalnya
nitadingkěn) atau akhiran -an yang kerap kali menggantikan akhiran -ěn
(misalnya ukurěn menjadi ukuran), kemudian kata bantu ni yang
menunjukkan kepunyaan sering ditulis nu (misalnya kata nu surat). Se-
lain itu ada beberapa kata, terutama yang memiliki diftong [au] seperti
dalam kata lau dan laut, yang selalu ditulis layo dan lawit.
Kata-kata seperti itu yang lazim dan berulang-ulang dipakai dalam
naskah-naskah sebaiknya dibiarkan dalam bentuk asli untuk melestarikan
khazanah pernaskahan yang khas.
Pedoman Menulis Aksara Batak 131

8.4 Terjemahan
Menerjemahkan adalah sebuah seni tersendiri dan sangat sulit untuk
memberi petunjuk-petunjuk tentang cara-cara penerjemahan yang baik
karena cara penerjemahan tergantung juga pada jenis naskah. Untuk
menerjemahkan sepucuk surat tidak perlu keahlian seperti pada penerje-
mahan sebuah karya sastra misalnya. Sebagai pedoman yang kasar, per-
hatikanlah agar terjemahan tidak terlalu harafiah sekaligus tidak terlalu
bebas pula. Kalau kita menganggap terjemahan terlalu harafiah atau telah
menjadi terlalu bebas, hal itu masih bisa diluruskan dengan menam-
bahkan catatan-catatan yang dapat menerangkan terjemahannya. Pada
penerjemahan karya sastra, apalagi puisi, lebih baik bila dipilih terje-
mahan yang lebih bebas. Contoh ini dikutip dari naskah Tropenmuseum
Amsterdam No. 137-647.

Transliterasi
Ape dah kam la bage ningku
ajangku enda la ne kal min těrturi-turikěn
dah kam la bage ningku
padan jandiku ma mehuli
ndube kap jadikěn aku sirang ras těman sada gantang perpangirěn, sada
cuan perbajan
e nge kěpekěn ngobah turang běru Simbiring ndube
e nge maka kěri suina kuakap
O nande bibiku karinana kataku

Terjemahan
Sudah demikianlah adanya
nasibku sudah sangat berantakan
lihatlah sendiri, kataku:
nasibku sudah buruk
karena telah saya dipisahkan dengan teman hidup saya
beru Sembiring yang telah meninggal
tiada penderitaan yang lebih besar
O semua ibu dan bibiku kataku
Buku, skripsi, atau makalah ilmiah akan dibaca oleh orang yang be-
lum tentu memiliki pengetahuan mengenai sejarah, sistem kekerabatan,
dan budaya setempat. Oleh karena itu pembaca perlu dituntun agar teks
yang disajikan dapat dipahami tanpa mendapat kesulitan. Kalau sebuah
132 Surat Batak

teks mengandung nama-nama orang atau nama-nama tempat, harus dije-


laskan siapa orang-orang itu dan di mana tempat yang disebut. Demikian
juga dengan idiom, metafora, perumpamaan, pantun, dan kiasan-kiasan
lainnya serta konsep-konsep budaya yang perlu diterangkan.
Sebagai contoh kita simak terjemahan yang di atas. Baris pertama
bila diterjemahkan secara harafiah akan berbunyi “Lihatlah kamu maka
bukan demikian kataku”. Terjemahan seperti itu kurang mampu menya-
lurkan makna yang terkandung dalam ekspresi itu. Oleh sebab itu dipilih
terjemahan yang lebih bebas. Kiasan těman sada gantang pěrpangirěn,
sada cuan pěrbajan (teman segayung air langir, sesendok minyak baja)
bila diterjemahkan secara harafiah tentu tidak akan dimengerti oleh pem-
baca yang tidak mengetahui adat Karo. Maka lebih baik dipilih terje-
mahan bebas dan dibuat catatan yang menjelaskan bahwa ritual ěrpangir
(berlangir) merupakan bagian dalam upacara perkawinan, sedangkan
pengikiran gigi adalah ritus peralihan menjelang usia dewasa yang harus
dilakukan sebelum perkawinan dapat dilangsungkan. Setelah dikikir, gigi
dihitamkan dengan minyak baja yang diperoleh dari kayu baja yang di-
bakar sehingga keluar minyaknya yang kemudian ditampung dengan se-
buah sudu ata sendok yang disebut cuan. Dengan keterangan ini menjadi
jelas bahwa těman sada gantang pěrpangirěn dan těman sada cuan
pěrbajan adalah kiasan bagi seorang isteri.

8.5 Pendokumentasian
Segala informasi mengenai naskah yang ditransliterasikan perlu di-
kumpulkan. Misalnya bahan yang dipakai, bentuknya, ukurannya, orna-
men-ornamen yang terdapat pada naskah, dan apa terdapat kerusakan
yang dapat menghambat proses transliterasi. Bila di perpustakaan atau
museum terdapat katalog atau daftar inventaris perlu dicari informasi
mengenai tahunnya naskah itu diperoleh, dari mana dan dari siapa.
Seorang penulis pada umumnya menulis lebih dari satu naskah, dan ke-
mungkinan dapat ditemukan naskah-naskah yang penulisnya sama. Hal
itu juga patut dicatat.
Pedoman Menulis Aksara Batak 133

8.6 Contoh Transliterasi


Teks asli naskah No. IC 39908a dari koleksi Museum Antropologi
(Museum für Völkerkunde) Berlin, adalah seperti berikut:

mkaiyoarikutEnubil^bil^kni-bu
luhtgn-éqmn-ai<n-nurinuri
kne-atEmesuwilre<di<disi
mn-turni-kne-mmsikrokro
mre-gnberEsibiri^silps-
melum^sitre-bbatEmesu
wilre<di<dipe<iqokul
meaulinqEbibikukrin
ktkuéqtur^kuturikne-
Transliterasi 1
1. maka hiyo hari kute nu bilaŋ bilaŋ kin bu
2. luḥ tagan henda man hiṅan nuri nuri
3. kěn hate měsuwi la rěṅadi ṅadi si
4. man turinkěn mama si karo karo
5. měrgana běre sibiriŋ si lapas
6. mělumaŋ si těrbaba hate měsu
7. wi la rěṅadi ṅadi peṅindoku la
8. měhuli nande bibiku karina
9. kataku henda turaŋ kuturikěn
Kata ai<n- dalam baris kedua bisa saja ditransliterasikan
menjadi ingan ‘tempat’. Tetapi dengan transliterasi itu tidak menjadi
jelas bahwa tulisannya adalah ai<n- dan bukan I<n-. Oleh
karena itu I<n- sebaiknya ditransliterasikan "Ingan" dengan
catatan bahwa huruf I adalah transliterasi untuk aksara I, sedangkan
aksara a ditransliterasi menjadi /ha/. Bila kita mentransliterasikan
ai<n- menjadi ingan, juga tidak menjadi jelas bahwa /ng/ adalah
< dan bukan kombinasi n plus g atau malahan anak ni surat Ng.
Karena itu < sebaiknya ditransliterasi menjadi /ṅ/ dan anak ni surat Ng
seperti dalam bil^ /bilang/ ditransliterasi /ŋ/ menjadi /bilaŋ/.
134 Surat Batak

Demikian juga perlu dibedakan antara Ha sebagai ina ni surat, dan H


sebagai anak ni surat. Transliterasi yang lazim dipakai adalah /ha/ dan
/ḥ/ (lihat kata ‘buluḥ’ di garis 1–2).
Hasil transliterasi di atas bersifat ilmiah tetapi masih kurang me-
muaskan karena tidak gampang dibaca. Oleh sebab itu, sebaiknya dibuat
transliterasi kedua yang telah diralat dan disesuaikan dengan ejaan yang
berlaku serta telah dilengkapi dengan pungtuasi. Selain itu, karena teks
ini kebetulan merupakan sejenis puisi, maka dibuat baris di mana setiap
baris merupakan sebuah kalimat atau anak kalimat tersendiri.

Transliterasi 2
1. Maka io ari kute nu bilang-bilang kin buluh tagan enda
2. man ingan nuri-nurikěn ate měsui la ěrngadi-ngadi
3. si man turinkěn mama si Karo-Karo měrgana, běre Simbiring
4. si lampas mělumang
5. si těrbaba ate měsui la ěrngadi-ngadi
6. pengindoku la měhuli
7. nande bibiku karina kataku
8. enda, turang, kuturikěn.

Terjemahan
1. Inilah ratap-tangis di bambu yang menjadi tabung
2. sebagai tempat untuk menceriterakan tentang penderitaanku yang
tiada habisnya
3. menceriterakan tentang aku yang bermarga Karo-Karo, běre Sem-
biring
4. yang cepat menjadi yatim piatu
5. yang penderitaannya tiada habisnya
6. nasibku yang malang ini
7. O semua nande dan bibiku, kataku
8. inilah, sayang, ceriteraku.

Catatan
1 Yang dimaksud dengan tagan ‘tabung’ ialah tempat kapur sirih
yang terbuat dari bambu
3 Běre, marga ibunya
7 Nande bibiku, sapaan untuk para perempuan pada umumnya
8 Turang ‘saudara perempuan’, yang dimaksud adalah kekasihnya.
Pedoman Menulis Aksara Batak 135
Latihan 6
Naskah berikut berasal dari Museum voor Volkenkunde Leiden No.
326-1, dan dihadiahkan kepada museum tersebut pada tahun 1882. Nas-
kah ini adalah sebuah surat ancaman (musuh běrngi) yang dilengkapi
dengan tombak dan senapan yang diukir dari bambu untuk memperkuat
ancamannya. Bahannya adalah sepotong bambu yang dibelah dua yang
panjangnya 23 cm, dan lebarnya 4,5 cm.
Buat transliterasi (I dan II) dan terjemahkanlah surat ini. Perhatikan-
lah bahwa teks ini mengandung beberapa kesalahan yang mesti diralat.

édmekucgnu-surt-kre-naidomn-
tuwn-myru-limrtsu-sre-pidEl
niglrituwn-myru-duwbre-<iédk
usuluhb^sl-kusuluhhaimegod^rs-krin
nninsinuwn-ai<n-kunil<ti-me
g<^édimektkuninsiwn-kttuU
Latihan 7
Teks berikut adalah kutipan yang telah diringkas dari satu halaman
pustaha D2 Perpustakaan Nasional. Naskah tersebut berasal dari Panga-
ribuan, Habinsaran, dan berasal dari koleksi Franz Junghuhn yang mem-
belinya pada tahun 1840-an saat ia menjadi orang Eropa pertama yang
berkunjung ke daerah tersebut (Junghuhn 1847). Transliterasikan teks
berikut ini (Transliterasi I & II). Kemudian terjemahkan teks yang diha-
silkan. Ingat bahwa dalam teks terdapat beberapa kata yang kini tidak
diketahui lagi. Cari arti kata-kata tersebut dalam kamus. Gunakanlah
kamus Warneck (1977) atau Van der Tuuk (1861) karena sebagian kata
tidak ada dalam kamus Sarumpaet (1994)!

podnipnLnLdiMsN\
fasdbofomhifmon^di
bisrngod^alEdFaolo
mSw^nsddohfo\
nDwfLmnsddibhnE\nDw
nsddohfo\nfoLfL
mnfoLdibhnE\nsdalEdF
136 Surat Batak

nsddohfo\naopf\f
LmnsddibhnE\naopf\
asUl^mhoLpdi
podnisimon^mon^alEGR
pinn\fN\niajiaolom
SSw^Grmmno\f^laF\
niajiaoIasI<fo\mdm^
Latihan 8
Teks berikut diambil dari naskah Museum für Völkerkunde Berlin
No. 9886b. Surat yang ditulis oleh Ompu ni Marlopuk ini kepada
penginjil Ludwig Ingwer Nommensen masuk ke koleksi museum pada
tahun 1879. Tahun itu Nommensen masih berkedudukan di dareah Silin-
dung hingga dapat disimpulkan bahwa penulis surat ini juga berasal dari
Silindung atau daerah yang tidak terlalu jauh dari Silindung.
Transliterasikan teks berikut ini (Transliterasi I & II). Kemudian ter-
jemahkanlah teks yang dihasilkan. Ingat bahwa dalam teks terdapat be-
berapa kata yang kini tidak diketahui lagi. Cari arti kata-kata tersebut
dalam kamus. Gunakanlah kamus Warneck (1977) dan Van der Tuuk
(1861)!
IyhoalErjHl3-daHSrf-3iaoP3i
ml-lopK-FhoFw3-3mE3-sEf-a
Hafo^sodoMhifIdao^diMSIhlk-
aHD^doMhifN^<diMSIhlh-aHp
d3-fFmo<so-Srf-aHasFaf-fo
33-3mo-pEFwf-foIy3mr-3i<fo-fo
Fwf-mhofo^gih3o-do<3-Mpd3-fI
33o-aspbro-hf-mdo<3-mi33o-ahP-3i
am3-s3ia^3gboloado^lolMbolosop
Fat-tmo-MHf3-dmroh3iFw3-did
ho-hopEaHf^hho-homFw3-3^<diMSIdE
baHIdao^boIaHf^hho-mr-fg3-MS
HaHdiHfh-KIy3malo-dorohm-pbr
o-hf-mDaLsmi-a^hP3iam3-s3ia^3g
9 AKSARA KOMPUTER

Pada tahun 1990 penulis telah menciptakan sebuah perangkat lunak


komputer yang memungkinkan para pemilik komputer untuk mencetak
aksara Batak dengan menggunakan alat pencetak (printer). Dalam dela-
pan tahun belakangan ini kemajuan teknologi komputer amat pesat dan
program yang dahulu diciptakan kini sudah kedaluwarsa. Oleh karena
itu, penulis menciptakan lagi sebuah jenis huruf true type yang ke-
mampuannya jauh lebih besar. Font yang mengandung aksara dari
kelima surat Batak (Karo, Pakpak, Simalungun, Toba dan Angkola-
Mandailing) dapat digunakan dengan hampir semua komputer dan
printer.
Font-font tersebut tidak terlalu sulit untuk dipakai asal pengguna
akrab dengan tulisan Batak. Untuk menulis kata ‘Batak’ dalam aksara
Batak misalnya, perlu diketahui bahwa kata tersebut terdiri dari empat
huruf yaitu Ba, Ta, Ka dan pangolat – yang perlu diketik hanya keempat
huruf itu: btk\. Kalau urutan huruf tersebut diformat dengan font "Toba"
hasilnya adalah btk\. Demikian juga dengan kata pir perlu
diketahui bahwa urutannya adalah /pa/ra/i/\/ dan urutan huruf yang
diketik mesti pri\ untuk menghasilkan pri\.
Perlu diperhatikan bahwa aksara-aksara Batak kecuali Karo bersatu
dengan diakritik U. Dengan demikian, posisi diakritik tersebut berubah
sesuai dengan bentuk aksara yang memakainya (bandingkan misalnya
S, P, dan B). Selain itu, bentuk diakritik itu juga bisa berbeda-beda
seperti tampak pada contoh /lu/ yang berbentuk L di Mandailing, tetapi
L di Toba. Oleh karena letak anak ni huruf itu berbeda-beda, maka ter-
paksa dibentuk huruf terpisah untuk /ku/, /bu/, /pu/ dan sebagainya. Hu-
ruf tersebut dapat diketik dengan tombol [SHIFT] (shift-k akan mengha-
silkan K /ku/).
138 Surat Batak

Daftar-daftar berikut ini menunjukkan tombol mana yang harus


diketik untuk menghasilkan huruf yang diinginkan. Kolom kiri menun-
jukkan tombol, dan kolom kedua aksara Batak yang dihasilkan bila tuts
tersebut diketik dengan format huruf Karo, Pakpak, Simalungun, Toba,
atau Mandailing. Pada kolom ketiga dicantumkan makna huruf Batak di
kolom dua. V.1, V.2. dsb. merujuk pada varian-varian suatu huruf.

9.1 Karo
Tombol Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
-
- tanda bunuh, paten

< < nga


= B= i diakritik /i/ V. 2
A A a, ha V. 2
B B mba V. 1
C C ca V. 2
D D da V. 2
E BE e diakritik /é/
I I I
K K ka V. 2
N N na V. 2
O BOO o diakritik /o/ V. 2
R R ra V. 2
U U U
X X ca V. 3
[ [ nda V. 2
Aksara Komputer 139

^ B^ ng diakritik /ng/
a a a, ha V. 1
b b ba
c c ca V. 1
d d da V. 1
e Be e diakritik /ě/ (pepet)
f f mba V.2
g g ga
h Bh h diakritik /h/, hanya digunakan pada akhir
suku kata seperti kata ‘rumah’
i Bi i diakritik /i/ V. 1
j j ja
k k ka V.1
l l la
m m ma
n n na V. 1
o Bo o diakritik /o/ V. 1
p p pa
q q nda V. 1
r r ra V. 1
s s sa V. 1
t t ta
u Bu u diakritik U
v v mba V. 3
w w wa
140 Surat Batak

x x sa V. 2
y y ya
z z sa V. 3
{ { nda V. 3
{ } nda V. 4
é é é (aksara A + diakritik E

9.2 Pakpak
Tmbl Huruf Makna Tmbl Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
0 B0 e diakritik /ě/ V. 2
< < nga > > ngu
a a a A A u
b b ba B B bu
c c ca C C cu lihat Sa
d d da D D du
e Be e diakritik /ě/ V. 1
E BE é diakritik /é/
g g ga G G gu
h Bh ha diakritik /h/
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku
Aksara Komputer 141

l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
p p pa P P pu
r r ra R R ru
s s sa S S su
t t ta T T tu
U U u
w w wa W W wu
y y ya Y Y yu
\ B\ tanda bunuh
^ B^ diakritik /ng/

9.3 Simalungun
Tmbl Huruf Makna Tmbl Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
-
B- tanda bunuh

0 0 sa varian Sa (tidak terlalu sering dipakai)


1 1 sa varian Sa (tidak terlalu sering dipakai)
< < nga > > ngu
a a a A A u
b b ba B B bu
d d da D D du
142 Surat Batak

e BE é E BE é diakritik /é/
g g ga G G gu
h Bh h diakritik /h/
H H hu = ku
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku = hu
l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
O BO ou diakritik /ou/
p p pa P P pu
r r ra R R ru
s s sa S S su varian Sa yang paling
umum
t t ta T T tu
U U u
w w wa W W wu
y y ya Y Y yu
z z sa Z Z sa varian Sa (tidak terlalu
sering dipakai)
^ B^ ng diakritik /ng/
Aksara Komputer 143

9.4 Toba
Tmbl. Huruf Makna Tmbl. Huruf Makna Catatan
< < nga > > ngu
a a a A A u
b b ba B B bu
d d da D D du
e BE é E BE é diakritik /é/
f f ta F F tu V. 2
g g ga G G gu
h h ha H H hu
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku
l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
p p pa P P pu
q q na Q Q nu V.2 (Na kuno)
r r ra R R ru
s s sa S S su
t t ta T T tu V. 1
U U u
144 Surat Batak

v v wa V V wu V. 2
w w wa W W wu V. 1
y y ya Y Y yu
[ [ nya ] ] nyu
\ B\ tanda bunuh
^ B^ diakritik /ng/

9.5 Mandailing
Tmbl. Huruf Makna Tmbl. Huruf Makna Catatan
! ! bindu (menandai alinea baru)
0 0 ma 1 1 mu V. 2
2 2 ha 3 3 hu V. 3
4 4 ma 5 5 mu V. 3
6 6 na 7 7 nu V. 2
< < nga > > ngu
= B== Tompi (tanda diakritik yang mengubah Ha menjadi Ka,
dan Sa menjadi Ca)
a a a A A u
b b ba B B bu
c c ca C C cu
d d da D D du
e BE é E BE é diakritik /é/
f f ha F F hu V. 2
g g ga G G gu
Aksara Komputer 145

h h ha H H hu V. 1
i Bi i diakritik /i/
I I i
j j ja J J ju
k k ka K K ku V. 1
l l la L L lu
m m ma M M mu
n n na N N nu
o Bo o diakritik /o/
p p pa P P pu
q q Q Q Na kuno
r r ra R R ru
s s sa S S su /su/ V.1 (Lihat ‘v’)
t t ta T T tu
U U U
v v su /su/ V.2
w w wa W W wu
x x sa X X su V. 3 (tidak terlalu
sering dipakai)
y y ya Y Y yu
Z z sa Z Z su V. 4 (tidak terlalu
sering dipakai)
[ [ nya ] ] nyu
\ B\ tanda bunuh
^ B^ diakritik /ng/
146 Surat Batak

}
10 VARIAN-VARIAN AKSARA BATAK

Tabel di halaman berikut menunjukkan varian-varian surat Batak


yang umum terdapat dalam naskah-naskah Batak. Daftar aksara tersebut
tentu hanya bisa menunjukkan beberapa varian yang paling umum dan
yang bentuknya agak berbeda dari bentuk yang ‘baku’, sebagaimana hal-
nya pada Sa Simalungun atau Mandailing misalnya. Varian-varian yang
tidak begitu penting tidak dimasukkan dalam daftar ini. Garis horisontal
pada huruf Ga dan Pa kadang-kadang tidak melengkung, tetapi lurus.
Kedua garis kecil pada huruf U dan I sering sama panjang. Bentuk huruf
Sa juga bisa menunjukkan beberapa variasi kecil, misalnya garis horison-
tal bawah bisa lebih panjang. Variasi-variasi seperti ini saya anggap tidak
begitu penting, dan oleh sebab itu tidak dimasukkan dalam daftar ini.
Selain itu perlu diperhatikan bahwa jumlah naskah yang dievaluasi
untuk setiap versi surat Batak sangat bervariasi. Jumlah naskah Karo
yang dievaluasi hampir dua ratus naskah, termasuk pustaha serta naskah
bambu dan tulang. Jumlah naskah Toba dan Mandailing yang diteliti
mencapai beberapa puluh naskah baik pustaha maupun naskah bambu.
Jumlah naskah Simalungun yang diteliti hanya sekitar tiga puluhan
naskah. Jumlah ini mungkin sudah cukup representatif, tetapi tentu be-
lum cukup untuk memetakan semua varian-varian yang terdapat pada
jenis surat Batak ini.
Surat Batak Pakpak sengaja tidak dimasukkan dalam daftar ini
karena jumlah naskah yang diteliti terlalu sedikit.
Perlu juga disebut di sini bahwa tidak selalu bisa dipastikan apakah
salah satu varian ada atau tidak ada dalam salah satu versi surat Batak.
Varian Wa v telah sering saya temukan dalam naskah Pakpak dan To-
ba. Pada sekitar dua ratus naskah Karo yang telah saya baca, huruf terse-
but hanya terdapat pada satu naskah saja. Jumlah ini begitu kecil se-
hingga varian ini dianggap tidak ada di Karo. Varian v juga belum per-
148 Surat Batak

nah saya temukan di Simalungun, atau Mandailing, tetapi hal itu tidak
berarti bahwa varian itu tidak pernah dipakai di sana.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa daftar berikut hanya bisa
memberikan gambaran umum yang disarikan dari kenyataan yang ada.
Di samping itu, kita tidak boleh lupa bahwa pengelompokan etnis adalah
sesuatu yang artifisial. Di zaman dulu, perasaan etnis tidak begitu ber-
kembang seperti sekarang ini, dan semua etnis Batak biasanya menyebut-
kan diri sebagai Batak saja. Pengelompokan orang Batak menjadi suku
Mandailing, Angkola, Toba, Pakpak, Simalungun, atau Karo adalah se-
suatu yang masih relatif baru. Karena itu, dalam tradisi surat Batak tidak
dikenal konsep surat Batak Toba, surat Batak Karo, dsb. Yang ada hanya
surat Batak saja, dan variasi-variasi tidak hanya terdapat antara etnis. Di
beberapa daerah Toba misalnya, huruf Ta dan Wa ditulis f dan w, di
lain tempat dipakai t dan v. Hal itu menunjukkan bahwa variasi-
variasi yang ada bukan saja terbatas pada golongan-golongan etnis, tetapi
di dalam suatu suku Batak pun sistem tulisan sudah bisa menunjukkan
variasi-variasi yang cukup berarti.
Varian-Varian Aksara Batak 149

Karo Simalungun
a aA a
ha =a k
ka kK =ha
ba b b
pa pp p
na nN3 n3N
wa w w
ga g g
ja j j
da dD d
ra rR r
ma m8 m
ta tt t
sa sx z s01z
ya y y
nga < <
la l l
nya [
ca cCX
nda q[{}
mba Bvf
i I I
u U U
150 Surat Batak

Toba Mandailing
a aa aa
ha h hf2
ka =ha kf= 2=
ba bb bb
pa pp pp
na n3Nqv n3Nqv
wa ww w
ga g g
ja jj jj
da d d
ra r r
ma m8Mm m8Mm
ta ft t
sa s sxz
ya y yy
nga < <
la l l
nya [ [
ca c x= z=
nda
mba
i I I
u U U
Varian-Varian Aksara Batak 151

11 JAWABAN

Latihan 1
Karo Pakpak Simalung. Toba Mandailing

am am am am am
bp bp bp bp bp
sd sd sd sd sd
t[ t[  t[
kc|kC kc
rt rt rt rt  rt
n< n< n< n< n<
l< l< l< l< l<
Karo Pakpak Simalung. Toba Mandailing

am am am am am
bp bp bp bp bp
sd sd sd sd sd
t[ t[  t[
kc|kC kc
rt rt rt rt  rt
n< n< n< n< n<
152 Surat Batak

l< l< l< l< l<


 Catatan: atau t

Latihan 2
Karo Pakpak Simalungun Toba Mandailing

beru beR
sudu SD SD SD SD 
ligE  ligE ligE ligE ligE
molo molo molo molo molo
m^m^ m^m^ m^m^ m^m^ m^m^
rumh Rmh Rmh
su^s^ S^s^ S^s^ S^s^ S^s^
Karo Pakpak Simalungun Toba Mandailing

beru beR
sudu SD SD SD SD 
ligE  ligE ligE ligE ligE
molo molo molo molo molo
m^m^ m^m^ m^m^ m^m^ m^m^
rumh Rmh Rmh
su^s^ S^s^ S^s^ S^s^ S^s^
 Catatan: atau l=gE  atau vD ZD XD

Latihan 3
Karo Pakpak Simalungun

pk-pk- pk\pk\ pk-pk-


lm-lm- lm\lm\ lm-lm-
Varian-Varian Aksara Batak 153

lti- lti\ lti-


tutpu- TtP\ TtP-
pri- pri\ pri-
dolko- dolko\ dolko-
srE-srE- srE\srE\ srE-srE-
picte- picte\

Toba Mandailing

pk\pk\ pk\pk\
lm\lm\ lm\lm\
lti\ | lti\ lti\
TtP\ | FfP\ TtP\
pri\ pri\
dolko\ dolko\
srE\srE\ srE\srE\
154 Surat Batak

Latihan 4
Toba Karo
Uli Uli | auli
Ido Ido | aido
GR guru
bEG bEgu

Latihan 5
Toba Karo
Da | Dw duw
biar\|biyr\ biyr-
sEa | sEy sEy

Latihan 6

Transliterasi 1
1. heda mě kucagun surat kěrna hido man
2. tuwan mayur lima ratus sěrpi de la niga
3. lari tuwan mayur duwa běrṅi heda kusu
4. luḥ baŋsal kusuluḥhi mě godaŋ ras karinana ni
5. na si nuwan hiṅanku ni laṅit měgaṅaŋ he di mě kata
6. ku nina si wan kata tuU.

Ralat:
1. cagun Menurut kamus Neumann (1951:321) semestinya
canggung. Namun demikian, bentuk ca(ng)gun lazim
dipakai di musuh běrngi.
4. godaŋ S gudaŋ (bahasa Melayu)
5. měgaṅaŋ S měgajaŋ
6. wan S nuwan (band. baris 5)
Varian-Varian Aksara Batak 155
Transliterasi 2
Enda mě kucanggun surat kěrna ido man Tuan Mayur lima ratus
Sěrpi. De la nigalari Tuan Mayur dua běrngi enda, kusuluh bangsal, ku-
suluhi mě gudang ras karinana nina Si Nuan. Inganku ni langit
měganjang. E di mě kataku nina Si [Nu]an kata tu[h]u.

Terjemahan
Surat ini saya gantung karena piutang saya kepada Tuan Mayur se-
banyak 500 Serpi. Kalau tidak dibayar dalam tenggang waktu dua hari,
kubakar bangsal, kusuluhi gudang bersama segala [isinya] kata Si Nuan.
Tempatku di langit nan tinggi. Demikianlah kataku, kata Si Nuan, kata
ini benar.

Catatan
Canggung: Surat musuh běrngi digantung pada pintu rumah. Ada
kemungkinan yang dimaksud dengan Tuan Mayur adalah pangkat mili-
ter, namun kurang jelas mengapa orang militer yang disebut pada hal
yang berutang adalah perusahaan swasta. Menurut hemat saya Mayur
adalah tiruan ucapan nama Jerman Maier atau nama yang mirip. Sěrpi
adalah bahasa Karo untuk dolar Spanyol yang merupakan mata uang
yang paling populer di Tanah Karo sebelum mata uang Belanda diperke-
nalkan pada tahun 1907. Di kemudian hari, orang Karo masih sering
menggunakan istilah sěrpi untuk Gulden Belanda.
Bangsal dan gudang: Yang dimaksud adalah bangsal dan gudang
tembakau. Puluhan bangsal tembakau dibakari orang Karo karena seng-
keta tanah atau masalah lainnya.
Inganku ni langit měganjang adalah kiasan biasa pada seorang
musuh běrngi karena ia, selama melakukan tindakan ancaman, harus
menyembunyikan diri di alam bebas, biasanya di hutan rimba. Untuk
informasi selengkapnya mengenai adat musuh běrngi lihat C.J. Westen-
berg (1914).

Latihan 7
Transliterasi I
poda ni panalu nalu di musunta asa daboto ma hita mo
156 Surat Batak

naŋ di bisara na godaŋ ale datu olo ma suaŋ na sada dohot


--na duwa talu ma na sada dibahen na duwa na sada dohot
na tolu talu ma na tolu dibahen na sada ale datu na sada do
-hot na opat talu ma na sada dibahen na opat
asa ulaŋ ma ho lupa di poda ni si monaŋ monaŋ ale guru pi
-nantun ni aji olo ma suwaŋ guru mamontaŋ laut
--ni aji oi asa iṅot ma damaŋ

Transliterasi II
Poda ni panalu-nalu di musunta. Asa daboto ma hita monang di bisara na
godang ale datu olo ma suang!
Na sada dohot na dua, talu ma na sada dibahen na dua.
Na sada dohot na tolu, talu ma na tolu dibahen na sada ale datu!
Na sada dohot na opat, talu ma na sada dibahen na opat.
Asa ulang ma ho lupa di poda ni si monang-monang ale guru Pinantun ni
aji. Olo ma suang guru Mamontang laut ni aji oi, asa ingot ma damang!
Catatan:
Kedua baris terakhir merupakan dialog antara sang datu dan muridnya
(sisean):
Datu: “Asa ulang ma ho lupa di poda ni si monang-monang ale guru
Pinantun ni aji.”
Sisean: Olo ma suang guru Mamontang laut ni aji oi, asa ingot ma
damang!

Latihan 8
Terjemahan yang ada di bawah tidak dilengkapi dengan keterangan
karena keterbatasan waktu untuk menyelesaikan naskah buku ini.
Transliterasi I
iya ho ale raja hulanda ahu surat ni opu ni
mallopuk tu ho ale tuwan namenset a
hu atoŋ so domu hita Idaoŋ dimusuI halak
ahu duŋ domu hita nuŋṅa dimusuI halak ahu pa
danta tumoṅos surat ahu asa tuat to
nannom pe tuwat to Iya na marniṅot to
tuwat ma ho toŋgihon doṅanmu padanta I
non asa paborhat ma doṅanminon ahupni
aman saniang naga bolo adoŋ lolamu bolo so pa
Varian-Varian Aksara Batak 157
tuat tommu hutanda ma roha ni tuwan didok
---ho pe ahu taŋkok ho ma tuwan nuŋṅa dimusuI de
ba ahu idaoŋ boI ahu taŋkok martagan musu
hu ahu di hutakku Iya na maol do roham pabor
--hat ma dua lusim aŋkupuni aman saniaŋ naga

Transliterasi II
Iya ho ale raja Hulanda. Ahu surat ni Ompu ni Marlopuk tu ho, ale tuan
Nomensen. Ahu, atong so domu hita, indaong dimusui halak ahu. Dung
domu hita nungnga dimusui halak ahu. Padanta tumongos surat ahu. Asa
tuat ho. Nannon pe tuat ho. Iya na marningot ho, tuat ma ho, tonggihon
donganmu padanta inon. Asa paborhat ma donganminon, ahupni Ama ni
Saniang Naga, bolo adong lolomu. Bolo so patuatonmu hutanda ma roha
ni tuan. Didok ho pe ahu tangkok; ho ma tuan. Nungnga dimusui deba
ahu. Indadong boi ahu tangkok. Martagan musungku ahu di hutangku.
Iya na maol do roham paborhat ma dua lusim, angkupuni Ama ni
Saniang Naga.

Terjemahan
Kepada Anda, raja dari Belanda. Ini surat Ompu ni Marlopuk kepada
Anda, tuan Nommensen. Kalau saya, ketika kita masih belum bekerja
sama, saya tidak dimusuhi orang. Sejak kita bekerjasama, saya dimusuhi
orang. Kita ada janji, saya akan menyurati Anda. Datanglah kemari.
Sebagaimana lazim Anda datang. Kalau Anda ingat, datanglah kemari,
ajak kawan Anda sesuai dengan janji kita. Agar kawan Anda berangkat,
bersama dengan Ama ni Saniang Naga, jika sudah bertemu. Kalau tidak
Anda suruh ia datang, maka saya tahu hati Tuan yang sebenarnya. Kata
Anda agar saya datang ke tempat Anda; Andalah tuan. Sudah ada yang
memusuhi saya. Saya tidak lagi bisa datang ke tempat Anda. Musuhku
akan menyerang saya di kampungku. Kalau Anda baik hati kepada saya,
kirimlah dua lusin orang kemari, termasuk Ama ni Saniang Naga.

}
Daftar Istilah
Definisi sebagian istilah berikut dikutip dari Kamus Linguistik yang disu-
sun oleh Harimurti Kridalaksana (1983). Tanda panah di depan satu kata
berarti bahwa kata tersebut terdapat juga dalam daftar ini.

Abjad Kumpulan tanda tulisan yang disebut huruf atau ak-


sara, yang masing-masing menggambarkan satu
bunyi atau lebih, dan biasanya mempunyai urutan
tetap.
Aksara Sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia un-
tuk berkomunikasi. Medan makna istilah aksara
mencakup baik jenis-jenis sistem aksara, misalnya
aksara Latin dan aksara Yunani (script), maupun
huruf-hurufnya (letter). Dalam bahasa Batak, aksara
Batak disebut surat na sampulu sia (ke-19 aksara).
Oleh sebab itu, dalam buku ini istilah aksara dipakai
untuk ➻ ina ni surat, dan tidak mencakup tanda-
tanda diakritik yang disebut anak ni surat. Kata ak-
sara berasal dari bahasa Sanskerta.
Anak ni surat Tanda-tanda ➻ diakritik yang mengubah nilai ina
ni surat (➻ aksara, huruf). Anak ni surat o misalnya
dapat mengubah bunyi huruf b [ba] menjadi bo
[bo].
Bindu Sebuah ornamen yang menandai awal sebuah alinea
atau BAB. Bindu na metmet (bindu kecil) dipakai
untuk menandai awal sebuah alinea, sedangkan
bindu godang (bindu besar) terdapat pada awal
sebuah atau BAB baru.
Diakritik ➻ Anak ni surat. Tanda tambahan yang mengubah
nilai fonetis suatu ➻ aksara. Pada abjad Latin
terdapat sejumlah diakritik yang dipakai untuk
menulis beberapa bahasa Eropa. Bahasa Jerman
misalnya memakai Umlaut (ü, ö), bahasa Denmark
menggunakan ø dan å, bahasa Perancis
menggunakan aksen é, dsb.
Diftong Bunyi bahasa yang pada waktu pengucapannya di-
tandai oleh perubahan gerak lidah dan perubahan
ciri vokal satu kali, dan yang berfungsi sebagai inti
suku kata, seperti [ai] atau [au].
Daftar Istilah 159

Filologi Kata ini berasal dari bahasa Yunani philos ‘teman’


dan logos ‘kata’, jadi arti filolog adalah orang yang
senang pada bahan-bahan tulisan. Filologi adalah
ilmu pengkajian naskah-naskah masa lampau.
Fonem Satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan
kontras makna, mis. dalam bahasa Indonesia, h ada-
lah fonem karena membedakan makna kata harus
dan arus.
Font Salah satu set huruf yang memiliki bentuk yang
sama. Font yang lazim dipakai termasuk: Bookman
Old Style (ialah font yang dipakai untuk mencetak
buku ini), Times Roman, Courier, dan Helvetica.
Grafem Satuan terkecil yang distingtif dalam suatu sistem
aksara. Bila fonem adalah satuan bunyi bahasa,
maka grafem adalah lambang yang dipakai untuk
menuliskan bunyi tersebut. Pada umumnya grafem
sama artinya dengan huruf.
Huruf Sebagaimana halnya dengan istilah ➻ aksara,
istilah huruf pun bermakna luas dan mencakup baik
aksara (letter), maupun suatu sistem huruf seperti
huruf Arab (script). Dalam karangan ini istilah
huruf dipakai untuk mencakup semua aksara-aksara
Batak, baik ➻ ina ni surat (aksara) maupun ➻
anak ni surat (diakritik).
Ina ni surat Kesembilan belas huruf surat Batak yang terdiri
atas tujuh belas konsonan serta dua vokal, yakni
huruf I (I), dan U (U).
Laklak Kulit kayu dari pohon alim yang dipakai untuk
membuat sebuah ➻ pustaha.
Lampak Lempengan kayu yang dipakai sebagai sampul se-
buah ➻ pustaha. Kedua ujung kulit kayu direkatkan
pada lampak.
Morfem Satuan bahasa terkecil yang bermakna, mis. {ter-}.
{di-}, {-kan}, {telur}.
160 Surat Batak

Naskah Objek penelitian filologi adalah naskah, yakni do-


kumen tulisan tangan (Inggris manuscript, Belanda
dan Jerman handschrift) dengan singkatan ms./hs.
untuk tunggal, dan mss./hss. untuk jamak.
Paleografi Deskripsi, analisis, dan penafsiran tulisan kuno.
Pangolat ➻ Tanda bunuh; Jawa: paten, Sanskerta: virama.
Pepet Istilah ini berasal dari bahasa Jawa. Sebetulnya
pepet bukanlah sebuah fonem, melainkan sebuah
grafem ialah tanda diakritik untuk bunyi [ə] yang
dalam bahasa linguistik biasa disebut schwa, ialah
bunyi yang terdapat dalam kata ‘memberi’. Dalam
linguistik Indonesia istilah schwa lazim diterjemah-
kan menjadi pepet.
Pustaha Buku kulit kayu (➻ laklak). Kata pustaha berasal
dari bahasa Sanskerta pustaka.
Serif Bila kedua huruf berikut ini dibandingkan (H dan
H) tampak bahwa H pertama mempunyai garis-garis
horisontal pendek pada ujung-ujung garis panjang
vertikal. Garis-garis pendek itu yang dinamakan
serif. Contoh bentuk huruf (font) yang berserif ada-
lah Times: "TIMES serif" sedangkan contoh font
yang tidak berserif (sans serif) adalah Helvetica:
"HELVETICA sans serif". Istilah serif dan sans
serif berasal dari bahasa Perancis.
Silabogram Sistem tulisan dengan satuan dasar berupa konsonan
yang diikuti oleh sebuah vokal. Tulisan asal India
dan semua tulisan yang diturunkannya (termasuk tu-
lisan-tulisan Jawa, Sumatra dan Sulawesi) kadang-
kadang disebut sebagai silabogram.
Tanda bunuh ➻ Anak ni surat yang dipakai untuk menandai hi-
langnya bunyi [a] yang selalu terdapat pada aksara-
aksara Batak. Dalam bahasa Jawa tanda diakritik
tersebut dikenal dengan istilah paten. Istilah untuk
tanda bunuh dalam ilmu linguistik adalah virama
(dari bahasa Sanskerta).
Daftar Istilah 161

Tompi Sebuah diakritik yang mengubah makna huruf Ha


menjadi Ka, dan huruf Sa mencadi Ca. Hanya di-
pakai di daerah Angkola dan Mandailing.
Transliterasi Penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu
ke abjad yang lain (sering lepas dari lafal yang sebe-
narnya); mis. penulisan hansit adalah transliterasi
dari hn\sti\ yang berbeda dari hatsit yang
berupa transkripsi dan sesuai dengan lafalnya.
Vokal ganda ➻ diftong.
Vokal deretan Rangkaian dua vokal, mis. [i] dan [a] dalam kata
sian atau [a] dan [u] dalam saut yang diucap secara
terpisah. Berbeda dengan ➻ diftong.
162 Surat Batak
II

Cap Singamangaraja XII


164 Surat Batak
Ompu Pulo Batu (*1848 †1907) alias Si Singamangaraja XII,
“musuh abadi pemerintah Belanda dan zending Kristen”,1 kini menjadi
pahlawan nasional karena perlawanan yang gigih terhadap pemerintah
kolonial Belanda. Setelah mengalami kekalahan dalam kedua perang
Toba pada tahun 1878 dan 1883 ia bersembunyi di hutan belantara Dairi
dan meneruskan perlawanan hingga akhirnya tewas ditembak patroli
Belanda pada tahun 1907.
Selama perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Ompu Pulo Batu
menjadi Singamangaraja pertama yang berhasil menyatukan sebagian
orang Batak untuk melawan hegemoni Barat dan ia bahkan mencoba
merangkul serdadu pribumi KNIL agar mereka mengarahkan senjata
pada tuannya yang bermata biru. Kekalahan militer yang dialaminya ter-
nyata tidak mengurangi popularitas dan malahan membuatnya menjadi
lambang perlawanan terhadap kekuasaan asing. Secara tradisional peng-
aruh seorang raja di darerah Batak umumnya terbatas pada suatu daerah
yang relatif kecil, dan lembaga Singamangaraja pun sebelumnya tidak
pernah berpengaruh di luar wilayah Sumba yang terdiri atas Samosir
Utara, lembah-lembah di pantai barat Danau Toba, Toba Holbung, Ha-
binsaran, Humbang, dan Silindung. Berkat kharismanya dan terangkat
oleh gelombang perasaan anti-Belanda Singamangaraja XII bukan saja
diakui di kampungnya sendiri, yaitu di Tano ni Sumba, melainkan juga
di Tano ni Lontung, dan bahkan di daerah luar Toba seperti Dairi, Sima-
lungun, dan Karo.

1. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission” Jahresbericht der


Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan tahunan zending RMG) 1907:46.
Cap Singamangaraja 165

Gambar 22: Cap A pada surat kepada I.L. Nommensen tertanggal 6


Maret 1899 (Foto: VEM No. SW 5694-13)
166 Surat Batak

Gambar 23: Cap A bila dilihat di kaca cermin


Cap Singamangaraja 167

Gambar 24: Cap B pada surat kepada Nommensen tertanggal 20


Oktober 1903. Foto: VEM SW 5694-16
168 Surat Batak

Gambar 25: Reproduksi Cap C oleh Lumbantobing (1967:87)


Cap Singamangaraja 169

i. Müller (1892:518)

ii. Warneck (1909:128)

iii. Gobée (1917:369) (1892:518)

Gambar 26: Tiga reproduksi cap B


170 Surat Batak
Sebagai tokoh pertama dalam sejarah Batak yang memiliki pengaruh
yang begitu luas, Ompu Pulo Batu menjadi raja pertama di tanah Batak
yang memliki cap untuk memperlihatkan kepada dunia luar bahwa sta-
tusnya setara dengan raja-raja lain di Sumatra. Beliau juga menjadi raja
Batak pertama yang memilih kertas sebagai media tulis.2
Di antara tiga cap Singamangaraja XII hanya dua yang selama ini di-
kenal dan berulang-ulang dibahas dalam berbagai buku dan makalah (cap
B dan C). Selain kedua cap tersebut penulis menemukan cap satu lagi
(cap A) di arsip Vereinigte Evangelische Mission (VEM) di Wuppertal,
Jerman yang selama ini belum dikenal. 3 Namun ternyata Singamangaraja
XII bukan satu-satunya raja Batak yang memiliki cap – penulis juga me-
nemukan cap milik salah seorang raja di Simalungun (cap D). Dengan di-
temukannya kedua cap tersebut bertambahlah pengetahuan kita tentang
sejarah keberaksaraan di Sumatra Utara dan perubahan yang terjadi
setelah kawasan itu terjamah oleh dua kekuasaan asing: zending Kristen
asal Jerman, dan pemerintahan kolonial Belanda.
Ketiga cap Si Singamangaraja XII memiliki dua teks: teks beraksara
dan berbahasa Batak di pusat cap, dan teks beraksara Jawi (Arab
Melayu) dan berbahasa Melayu di pinggiran cap yang berbentuk bundar.

Teks Batak

CAP A
Cap A tertera pada sepucuk surat yang ditujukan kepada penyiar aga-
ma Ingwer Ludwig Nommensen tertanggal 6 March 1899. Bentuknya
bundar dengan diameter 60mm dan terdapat sepuluh geriginya (Gambar
23). Surat tersebut ditulis oleh Heman Silaban (Raja Pangantul), dan kini
berada di arsip VEM. Ketika pertama kali melihat cap tersebut penulis
tidak dapat membaca satu huruf pun. Sesudah cap itu dilihat dari berba-
gai perspektif akhirnya penulis coba membacanya dengan menggunakan
kaca cermin. Ternyata cermin itu sangat membantu dan hurufnya dapat

2. Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 penggunaan kertas terbatas pada
wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda, dan para raja bisanya menulis
suratnya di atas seruas bambu.
3. VEM adalah hasil persatuan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dengan Bethel-
Mission di tahun 1971.
Cap Singamangaraja 171

dibaca dengan jelas. Uraian berikut berdasarkan bacaan cap di kaca


cermin.
Sayang, cap yang ada di surat Heman kurang jelas sehingga trans-
literasi tidak dapat dilakukan. Sebagian huruf baik pada teks Jawi mau-
pun Batak sudah pudar, dan bentuk hurufnya kadangkala begitu aneh
sehingga sukar menentukan huruf apa yang dimaksud. Kekurangan ini
bukan hanya karena cetakannya kurang jelas, tetapi juga karena cap itu
sendiri kurang sempurna. Pandai besi yang mencetak cap ini ternyata
tidak punya pengalaman dalam pembuatan cap sehingga bukan saja
hurufnya tampak kurang terang, tetapi malahan dalam bentuk cerminan).4
Tukang besi itu ternyata juga kurang mengetahui tulisan Batak maupun
Jawi.
Cap A menunjukkan beberapa persamaan atau kemiripan dengan cap
B sehingga penulis menganggap cap A sebagai pendahulu cap B. Berikut
ini kami uraikan setiap garis pada cap sebagaimana dapat dibaca sesudah
gambarnya dikonversikan menjadi gambar positif (tidak tercermin):
Baris pertama cap A hampir sama dengan baris 2/3 dari cap B:
Twnsi tuwana si. Aksara yang dipilih untuk Ta dan Wa adalah
Ta-utara dan Wa-utara (t dan w) karena kedua varian tersebut lazim
digunakan di wilayah sekitar Bangkara.5 Yang dimaksud dengan tuwana
tentu saja tuwan, – ternyata tanda bunuh pangolat6 luput dicantumkan –
dan kesalahan yang sama terdapat pula di cap B. Di cap B kelanjutan
baris 1 singamangaraja ada di baris berikut (2) sehingga kita baca Tuan
Si Singamangaraja.7 Di cap A, anehnya, baris 1 berlanjut di baris ketiga
dan bukan di baris kedua! Kesalahan ini mungkin terjadi karena pandai
besi kurang berpengalaman dalam pembuatan cap atau karena ia tidak
pandai membaca.

4. Ternyata kesalahan yang sama pernah juga terjadi pada sebuah cap dari Minangkabau
dan satu lagi dari Perak (Annabel Gallop, email 09-03-2000).
5. Selain di Toba, kedua aksara ini juga digunakan di Pakpak dan Karo sehingga disebut
Ta- dan Wa-utara untuk membedakannya dengan Ta-dan Wa-selatan (t dan w) yang
dipakai di Angkola dan Mandailing, dan juga di sebagian Toba.
6. Pangolat adalah tanda baca yang mematikan bunyi [a] yang terbawa oleh setiap
aksara sehingga [pa], misalnya, menjadi [p]. Dalam aksara Jawa tanda bunuh ini
dikenal sebagai paten dan dalam bahasa Sanskerta bernama virama.
7. Gelar Singamangaraja sering diawali dengan kata si yang dipakai di depan nama diri.
172 Surat Batak
Baris kedua kurang jelas. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, baris
ini bukan kelanjutan baris pertama! Aksara pertama mirip dengan huruf
Ra r yang terbalik disusul oleh sebuah titik. Aksara berikut sepintas
kelihatan seperti Ba b namun bisa juga menjadi aksara Ta t. Saya
menduga bahwa Ta ini adalah huruf awal kata tian- tian (dari).
Anak ni surat I serta huruf A cukup jelas, namun huruf berikut, yang
menurut dugaan kita Na tidak begitu jelas. Huruf Na itu diikuti oleh
sebuah garis kecil yang, menurut interpretasi kami, adalah pangolat.
Kata tian seharusnya diikuti oleh kata Bangkara sebagaimana halnya
dengan cap B baris 5–6 karena Singamangaraja berasal dari kampung
Bangkara (dibaca ʻBakkaraʻ). Akan tetapi kata terakhir jelas terbaca
sebagai si si dan kelanjutannya singamangaraja ada di baris berikut!
Baris berikut dapat dibaca si<m<rj singamangaraja. Hu-
ruf Nga sama aneh bentuknya seperti di cap B. Sebagaimana akan diurai-
kan di bawah orang yang menciptakan cap B menggunakan bentuk yang
sangat aneh untuk huruf Ma. Di cap A "huruf" yang kita anggap Ma ben-
tuknya begitu aneh sehingga sama sekali tidak dapat dibaca, namun se-
suai dengan konteks harus merupakan huruf Ma di dalam kata singa-
mangaraja. Huruf berikut kurang jelas dan paling dekat dengan huruf Ta
t atau Ya y. Huruf terakhir baris ini adalah Ra r yang dilanjutkan
di baris 4 menjadi raja.
Baris 4 bermula dengan Ja j disusul Ro ro. Sisa baris ini tidak
terbaca.
Baris ini sama sekali tidak terbaca kecuali dua kali huruf Na. Dalam
makalah tahun 2000 penulis menawarkan transliterasi “ma (?) ta ba na ta
na”. Dalam baris ini memang ada dua aksara yang kelihatan seperti Ta-
selatan t. Akan tetapi Ta yang terdapat di baris 1 dan 2 cap ini bukan
Ta-selatan melainkan Ta utara t.
Transliterasi yang saya beri tahun 2000 berbunyi “ma (or sa) hu bu
(?) na”. Huruf pertama memang kurang jelas terbaca namun lebih mirip
dengan Ma m daripada Sa. Huruf kedua jelas Hu. Aksara berikut jelas
bukan Bu melainkan Ta dan huruf terakhir adalah Na sehingga baris
terakhir dapat dibaca “ma hutana”.

CAP B
Cap Singamangaraja 173

Inilah cap yang paling terkenal. Bentuknya bundar bergerigi dua


belas dengan diameter 74 mm (Gambar 24). Cap yang kini berada di
Museum Nasional Jakarta tercantum pada lima surat:
1. VEM, Wuppertal, Barmen.
Surat Singamangaraja XII kepada penyiar agama I. L. Nommen-
sen tertanggal 3 Juli 1897. Dalam surat ini Singamangaraja menyebut
dirinya sebagai “raja di tanah Batak berkedudukan di Pearaja, Dairi”
(…na mangarajahon tano Batak na maringanan di Pearaja Dairi).

2. VEM, Wuppertal, Barmen. No. SW 5694-16


Surat Singamangaraja kepada Nommensen yang dikirim dari
Pearaja (Dairi) tertanggal 20 Oktober 1903. Surat ini dimuat dalam
buku Sidjabat (1983:Gambar 17).

3. VEM, Wuppertal, Barmen.


Surat Singamangaraja yang tidak bertanggal. Dalam surat ini pun
beliau menyebut dirinya sebagai raja “yang menguasai marga Batak
yang bermata hitam” (…na gumongomi marga Batak si birong
mata). Surat ini dimuat dalam buku Sidjabat (1983:Gambar 18).

4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. No. Vt. 158b.


Surat yang dialamatkan kepada Raja Hatorusan, Tuanku Ilir dari
Barus. Dalam surat ini Singamangaraja mengajukan keberatan karena
Raja Hatorusan sejak kedatangan gomponi (pemerintah Belanda) 8
tidak lagi menghormati “raja kita Si Singamangaraja yang merajai
pulau Sumatra”9. Walau surat ini tidak bertanggal kemungkinan be-
sar ditulis pada tahun 1887. Surat ini pernah disalin pada 6 Septem-
ber 1900 dan salinannya ada di Koninklijk Instituut voor de Taal-,
Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Leiden (Situmorang 1993b:220).
Terjemahan bahasa Melayu ada di Perpustakaan Nasional, dan
terjemahan kedua, yang agak lebih benar, dimuat oleh Sitor

8. Bandingkan bahasa Aceh gompeuni dari bahasa Belanda compagnie. Walaupun


Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) telah
dibubarkan pada tahun 1798 sebutan kompeni tetap digunakan untuk merujuk pada
pemerintah kolonial.
9. “…na mangarajai pulo Sumatara”.
174 Surat Batak
Situmorang (1993b:220) beserta foto surat tersebut.
5. Surat yang tidak bertanggal kepada residen Van Dijk di Padang
Panjang (Sumatra Barat). Dalam surat ini Singamangaraja memberi-
tahu bahwa dia telah menyuruh seorang utusan untuk bertemu
dengan Gubernur Jenderal di Batavia. Terjemahan dan foto surat ini
dimuat oleh Lumbantobing (Lumbantobing 1967:103).

Cap B paling jelas terbaca pada surat No. 2 sementara cap di surat
No. 3 hampir sama sekali tidak terbaca. Telah tiga kali dilakukan upaya
untuk merekonstruksi cap B yang kini berada di Museum Nasional
(Gambar 26). Ketiga reproduksi (oleh Müller, Warneck, dan Gobée)
cukup akurat dan hanya ada perbedaan-perbedaan kecil yang akan diurai-
kan di bawah ini.
Dalam berbagai publikasi terdapat berbagai transliterasi (alih aksara)
dan terjemahan (alih bahasa) cap ini.10
1. Yang paling tua transliterasi dan terjemahan Müller (1892:518).
Transliterasi Müller kemudian dicontoh oleh Baharadja (1939),
sementara transliterasi Baharadja dicontoh Tampubolon (1964:84;
2002a:145), dan transliterasi Tampubolon dicontoh lagi oleh Batara
Sangti (1978:23)!
Ahussap tuwana sisangamangaraja tiyan bagara.
Inilah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bagara.11 (Müller 1892:518)
2 Transliterasi kedua bermasalah karena ada dua aksara yang tidak
dikenal Warneck sehingga tuan dibaca tangan dan tian dibaca mian.
Selain itu, ma sap dibacanya sasap:
Ahu sasap tangan Singamangaraja mian Bakara.
Aku cap dari tangan Singamangaraja yang berdiam di Bakara.12
(Warneck 1909:128)
3. Tampoebolon memadukan transliterasi Müller dengan Warneck akan
tetapi hasilnya kurang memuaskan:

10. Ejaan lama diubah hingga sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
11. Dies ist der Siegel des Herrn, des Si Singamangaraja aus Bagara. Terjemahan yang
sama ada di Gobée (No. 4) dan Sidjabat (No.6).
12. Ich bin das Siegel der Hand des Singamangaraja, der wohnt in Bakara.
Cap Singamangaraja 175

Ahu sasap tuwana Singamangaraja mian Bakkara.


Saya meterai dari Tuan Singamangaraja bertahta di Bakkara.
(Tampoebolon 1914:461)
4. Pada tahun 1917 Gobée menghasilkan transliterasi yang cukup
sempurna:
Ahu ma sap tuana Singamangaraja sian Bagara.
Inilah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bagara .13 (Gobée 1917:369)
Akan tetapi penulis sesudahnya ternyata tidak membaca karya
Gobée, dan "perbaikan" dibuat tanpa merujuk pada teks. Terjemahan
juga kadang-kadang menyesatkan, misalnya dengan menerjemahkan
mian (bertempat tinggal) dengan ‘bertahta’. Ironisnya kata yang ada di
cap malahan tidak berbunyi mian melainkan tian ‘dari’!
5. Ahu sahap ni Tuwan Singamangaraja mian Bakkara – Saya meterai
dari Tuan Singamangaraja bertahta di Bakkara. (Lumbantobing
1967:87; Sangti 1978:23; Sibarani 1980:27)14
6. Ahu sahap tuan Singamangaraja tian Bakara – Aku cap tuan
Singamangaraja bertempat tinggal di Bakkara. (Sidjabat 1983:370).
7. Ahu sahap ni Tuwan Singamangaraja sian Bakkara – Saya meterai
dari Tuan Singamangaraja bertahta di Bakkara. (Marbun dan Hutapea
1987:162)
Penulis-penulis di atas ternyata juga tidak mengenal reproduksi cap
yang dibuat oleh Müller dan Gobée sehingga mereka hanya dapat
mengandalkan reproduksi Warneck yang mula-mula dikopi oleh
Tampoebolon (1914:461) lalu dikopi lagi oleh Lumbantobing (1967:87),
Sangti (1978:23), Napitupulu (1972), Malau (1997:261), Sibarani (1980)
dan ternyata juga oleh Sidjabat (1983:Gambar 6)15.

13. Ik ben de stempel van den heer Singamangaraja van Bagara.


14. Hasil penelitian Lumbantobing digunakan juga oleh Sangti (1978:23). Sibarani
menerjemahkan ‘cap’ daripada ‘materai’.
15. Dalam hal. 106 Sidjabat memberi kesan seolah-olah cap yang tergambar di situ
merupakan foto yang diperolehnya dari RMG: “Foto: RMG” (Sidjabat 1983, Gambar
6). Padahal gambar cap yang ada di situ jelas bukan foto melainkan reproduksi (dan
di samping itu pada tahun 1983 RMG telah berubah menjadi VEM).
176 Surat Batak
Setelah kami bahas berbagai interpretasi arti teks cap B maka untuk
menyempurnakan bahasan kami, perlu kiranya kami menyebut karya
"Tuanku Rao" oleh Mangaradja Onggang Parlindungan. Penulis buku
tersebut memang terkenal mencampurkan fakta dengan fiksi sehingga
buku itu perlu dianggap lebih sebagai buku cerita daripada buku sejarah.
Menurut Parlindungan cap itu dihadiahkan oleh Sultan Aceh Alaudin
Johar Syah kepada Singamangaraja X. Masalahnya, tidak ada Sultan
Aceh yang bernama demikian, dan kita mesti menduga bahwa sultan
yang dimaksud adalah Alauddin Johan Syah (1735–1760). Hal ini tidak
masuk akal karena Singamangaraja X wafat pada sekitar tahun 1830 (dan
bukan 1819 sebagaimana diklaim Parlindungan). Kemudian Parlindung-
an melanjutkan kisahnya bahwa cap Singamangaraja terdiri dari sem-
bilan lingkaran yang “masing-masing berisi tulisan” (Parlindungan
1964:240). Katanya pula bahwa cap Singamangaraja tidak mengandung
tulisan Arab, dan bahwa pada teks yang “melingkar di pinggir” tertulis
“Ahu ma raja sihahaan”. Sudah jelas bahwa sejarah khayalan sebagaima-
na dipaparkan Parlindungan bukan karya ilmiah melainkan cenderung
menyesatkan orang.
Dalam pembahasan cap B digunakan singkatan berikut: Mü=Müller,
Wa=Warneck, Ta=Tampubolon, Go=Gobée, Lu=Lumbantobing, Si=Si-
jabat, Mh=Marbun dan Hutapea, Ma=Malau.

Ahussap Mü
Ahu sasap Wa, Ta, Ma
Ahu sahap Lu, Si, Mh
Ahu ma sap Go

Semua penulis setuju bahwa kedua aksara pertama harus dibaca


aH ahu ʻakuʻ namun Müller beranggapan bahwa unsur berikut yang
ia baca sebagai aksara Sa dan tanda bunuh: s\ (s) berfungsi untuk
menggabungkan ahu dengan sp\ ʻsap’ sehingga yang terakhir diba-
ca cap dan bukan sap! Müller menguraikannya seperti berikut:
“Ahu tsap2) tuwan3) sisangamangaradja [sic] tiyan bagara”16.
2)
“Ini menurut ucapannya. Ejaannya ahussap.”

16. Keterangan “[sic!]” dibubuhkan Müller.


Cap Singamangaraja 177
3)
“Kata ini, yang dalam aslinya berbunyi Tuwana telah dikoreksi.”

Menurut Müller ucapan yang benar adalah ahu tsap (= ahu cap) se-
mentara ejaannya ahussap. Dalam bahasa Toba memang terdapat perbe-
daan antara ejaan dan ucapan. Kata pintu misalnya diucapkan pittu,
Bangkara diucapkan Bakkara, dan unsok diucap [utsok]. Dalam bahasa
Batak Toba tidak terdapat aksara Ca, namun ada gugusan konsonan [ts]
seperti di dalam kata unsok yang agak mirip dengan [c], misalnya pohon
lansat diucap ʻlatsatʻ (yang di Mandailing dieja dan diucap lancat).
Dengan demikian ejaan ahussap (yang seharusnya ditulis ahunsap) bisa
diucap ahutsap atau ahucap sehingga terdapat dua kata yaitu ahu dan
cap. Interpretasi Müller sangat menarik namun mungkin agak terlalu
berani karena kata untuk ‘cap’ dalam bahasa Batak adalah sahap, dan,
kalau memang si penulis ingin menulis ahussap, maka anak ni surat /u/
tidak boleh dipasang pada aksara Ha melainkan harus dipasang pada
aksara Sa sehingga seharusnya ditulis ahS\sp\ dan bukan
aHs\sp\!
Interpretasi Warneck (ahu sasap) menyiratkan bahwa garis yang ada
sesudah aksara Sa hanya sesuatu goresan yang timbul pada cap itu, dan
bukan tanda bunuh. Masalah pada interpretasi ini adalah bahwa kata
sasap ‘tulang belikat’ tidak masuk dalam konteks kalimat ini.
Interpretasi ketiga (ahu sahap) sama sekali tidak didukung oleh teks
karena huruf pertama di baris kedua jelas bukan Ha (h) melainkan Sa.
Si penulis ternyata hendak memaksakan arti sahap (cap) yang sesuai
dengan konteks tetapi tidak sesuai tengan teks.
Interpretasi keempat, yaitu oleh Gobée, juga menampikkan adanya
tanda bunuh sesudah aksara terakhir di baris pertama. Kami tidak tahu
darimana Gobée memperoleh gambar cap yang ia gunakan (Gambar 26
ii) namun bukan dari Müller atau Warneck karena pada rekonstruksi
Müller dan Warneck ada garis kecil setelah huruf Nga sementara di
reproduksi Gobée tidak terdapat titik kecil itu! Beda dengan penulis
lainnya Gobée membaca aksara ini Ma dan bukan Sa. Bentuk aksara ini
memang berbeda sedikit dengan tiga Sa lainnya yang ada di baris kedua
dan baris keempat yang sangat mirip dengan bentuk Sa biasa s.
Walaupun aksara ketiga dalam baris pertama ini tidak sangat mirip
178 Surat Batak
dengan kedua varian Ma yaitu m, dan M, dan juga cukup berbeda
dengan Ma yang terdapat di baris empat (aksara pertama), masih tetap
terbuka kemungkinan bahwa aksara ini adalah Ma sehingga ada tiga
kata, yaitu: ahu ma sap ‘aku-lah cap’.
Menarik untuk dicatat bahwa dalam kamus Warneck (Warneck 1906)
memang ada lema sap, namun artinya bukan ‘cap’ melainkan
“beschmiert” (berlumuran). Lema sap dalam arti ‘cap’ baru ada dalam
kamus Sarumpaet (1994). Menurut kamus Warneck (1906), kata untuk
‘cap’ adalah sahap, dan bukan sap, sementara di kamus Van der Tuuk
(1861) sama sekali belum ada istilah Batak untuk ‘cap’! Hal ini
mengisyaratkan bahwa kata sahap dan sap, keduanya kata pinjam dari
bahasa Melayu, pada pertengahan abad ke-19 belum termasuk dalam
perbendaharaan bahasa Toba.

Tuwana Mü, Ta
Tuana Go, Ma
Tuwan Lu
Tuan Si
Tangan Wa, Ni, Mh

Ketiga huruf ini sebenarnya cukup jelas tuwana Twn. Hanya ada
dua transliterasi yang jauh menyimpang, yaitu Marbun dan Hutapea yang
secara bebas membuat interpretasi yang tidak didukung oleh teks, dan
Warneck yang ternyata tidak mengenal varian Wa w yang di samping
w lazim digunakan di Toba. Sebab maka Warneck tidak mengetahui
varian itu barangkali karena bentuk Wa w diangkat oleh zending
sebagai bentuk yang "baku" yang dipakai oleh percetakan di Laguboti.
Karena tidak mengenal aksara w maka Winkler membacanya Nga <.
Di samping itu, yang dilakukan Warneck adalah "menambah" tanda
bunuh sesudah aksara Na agar dibaca N.
Hal ini juga dilakukan oleh hampir semua penulis lain. Seha-
rusnya memang ada tanda bunuh sesudah aksara Na karena yang
dimaksud tentu tuan.
Cap Singamangaraja 179

Sisangamangaraja Mü
Singamangaraja Go, Si, Wa,
Ni, Mh

Kedua huruf pertama adalah Sa diikuti oleh diakritik /i/ hingga mem-
bentuk kata si yang digunakan di depan nama diri. Sisanya membentuk
kata Sangamangaraja yang seharusnya berbunyi Singamangaraja. Huruf
terakhir baris 3 adalah huruf Nga (<) yang bentuknya agak aneh, dan
hampir menyerupai aksara Wa (w). Huruf Nga yang aneh ini terdapat
juga di baris 4. Baris 4 sangat mudah dibaca dan terdiri dari Ma M, Nga
<, Ra r, dan Ja j.
Pada rekonstruksi Müller (1892) dan Gobée (1917) (Gambar 26 i dan
iii), baris ketiga tampak seperti dalam gambar di atas, akan tetapi pada
rekonstruksi Warneck terdapat garis kecil sesudah huruf Nga yang keli-
hatan seperti pangolat, namun ternyata hanya merupakan sebuah titik
yang kebetulan muncul ketika cap itu dibubuhkan pada kertas. Sebagai-
mana sudah diuraikan di atas, pada reproduksi Gobée garis pada akhir
baris 1 (yang kelihatan di reproduksi Müller dan Warneck) juga tidak
tampak. Dari situ bisa kita simpulkan bahwa kedua garis kecil pada
ujung baris 1 dan 3 bukan bagian dari teks sehingga tidak boleh diinter-
pretasikan sebagai tanda bunuh (pangolat). Dengan demikian interpretasi
Müller yang membaca huruf-huruf pertama sebagai ahussap tidak dapat
dipertahankan.
Munculnya garis-garis kecil itu pada rekonstrusksi Warneck dan
Müller dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk ketelitiaan dalam
mencetak stempel pada kertas, jumlah jelaga yang dioleskan pada
stempel, jenis kertas yang dipakai dan sebagainya.
tiyan Mü
tian Ma
mian Wa, Ta, Sa
sian Go, Mh

Aksara pertama (Ta) sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dibaca,


180 Surat Batak
namun ada yang menginterpretasikannya sebagai Sa atau Ma sehingga
kata itu dibaca mian (bertempat tinggal) atau sian (dari) sementara aksara
yang bersangkutan jelas bukan Sa atau Ma melainkan Ta-utara t. Huruf
Ta ini terdapat juga di baris 4, huruf ke-4 – hanya di situ huruf Ta berga-
bung dengan diakritik u: T..
Ternyata interpretasi mian itu berasal dari Warneck. Sebagaimana su-
dah disebut di atas, Warneck ternyata lebih mengetahui aksara Batak ver-
si zending, dan bukan aksara Batak asli sehingga ia hanya mengenal Ta-
selatan (t) – bentuk mana diangkat oleh zending sebagai bentuk yang
baku untuk huruf cetakan zending.
Aksara Ta disusul oleh diakritik i menghasilkan [ti] yang diikuti
aksara Ya (y) yang bentuknya agak aneh. Huruf pertama baris 6 adalah
Na yang diikuti pangolat. Hasilnya jelas tiyan, yang kini lebih lazim
dieja tian.

Bagara Mü
Bakara Ma
Bakkara Wa, Ta, Sa

Ketiga aksara Ba, Ga, dan Ra ini membentuk kata Bagara. Yang di-
maksud ialah kampung Bangkara (b^hr), tempat asalanya Singama-
ngaraja. Kata Bangkara diucap dan sering juga ditulis (dalam huruf
Latin) Bakkara. Akan tetapi dalam teks beraksara Batak jarang sekali ada
yang menulis kata menurut lafalannya. Selain itu lafalannya Bakkara dan
bukan Bagara! Hal ini menjadi petunjuk bahwa pendesain cap ini kurang
mengetahui kaedah-kaedah aksara Batak. Di samping itu, bentuk ketiga
huruf ini juga agak aneh. Bentuk yang lebih lazim adalah bgr.
Berdasarkan uraian di atas kita tiba pada interpretasi cap B:
aHm / sp\Fv / nsis< / m<rj / tiy /
n\bg / r
ahu ma sap tuwana si sangamangaraja tiyan bagara
Sesudah semua kesalahan diperbaiki kita tiba pada rekonstruksi teks
yang, menurut tafsiran kami, seharusnya berbunyi:
aH m sp\ Fvn\ si si< m<rj
Cap Singamangaraja 181

tiyn\ b^hr
ahu ma sap tuwan si singamangaraja tiyan Bangkara
atau dalam ejaan bahasa Batak yang menurut EYD:
Ahu ma sap Tuan Si Singamangaraja tian Bangkara
Sayalah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara.

CAP C
Cap C yang digambarkan oleh Lumbantobing (1967:87) konon
dipakai oleh putra sulung Singamangaraja Sutan Nagari. Bentuknya
bundar dengan sebelas gerigi (Gambar 25). Cap ini lebih baru dibanding-
kan cap A dan B. Hal ini tampak karena 1. semua kesalahan diperbaiki,
dan 2. aksara Batak yang digunakan bukan bentuk aksara Batak asli me-
lainkan meniru bentuk aksara cetakan yang digunakan oleh zending.
aH sp\6isisi<m<rjsi16\bkr
Ahu sap ni Si Singamangaraja sian Bakara
Tian diganti dengan padanannya sian, dan kampung Bangkara tidak
lagi dieja Bagara melainkan Bakara. Dari segi teknologinya cap ini tentu
lebih bagus daripada kedua pendahulu.
Aksara A dipakai di garis 1 (huruf pertama) dan di garis 5 (huruf
ketiga). Di baris pertama aksaranya tampil dalam bentuk yang biasa,
yaitu a, namun di baris kelima bentuknya mirip dengan varian yang
lebih lazim digunakan di Mandailing, yaitu 1. Demikian juga dengan
aksara Ma: m. Ini varian yang jarang sekali dapat ditemukan, dan hanya
di Angkola dan Mandailing sementara di Toba aksara Ma selalu
berbentuk m (atau kadang-kadang M). Huruf Na juga menggunakan
bentuk yang tidak lazim digunakan, yaitu 6 sementara bentuk Na yang
umum dipakai memiliki lingkaran yang lebih besar dan garis horisontal
di atas dan hanya sedikit mengarah ke kiri: n. Sebagaimana akan
diuraikan di bawah, ketiga varian inilah yang diperkenalkan oleh para
penyiar agama Kristen asal Jerman sebagai huruf cetakan sehingga dapat
kita simpulkan bahwa pendesain cap C belajar aksara Batak di sekolah
zending. Cap ini juga memiliki teks dengan huruf Jawi (Arab-Melayu),
namun teks berbahasa Melayu itu sayang tidak terbaca. Tampaknya pada
ketika cap itu didesain aksara Batak dibubuhkan dengan sangat teliti
182 Surat Batak
sementara tulisan Jawi mungkin hanya dianggap sekadar perhiasan saja
sehingga dibuat dengan kurang teliti. Namun kita harus sangat berhati-
hati dalam menarik kesimpulan seperti ini mengingat bahwa hanya ada
satu surat yang mengandung cap ini. Teraan pada surat ini tampaknya
cukup jelas sehingga penulis cenderung untuk menganggap bahwa cap
ini kurang sempurna dalam hal tulisan Jawi.

CAP D
Di dalam arsip Nommensen di VEM terdapat sepucuk surat bercap
yang tertanggal 29 Mei 1904. Cap itu bergerigi delapan. Sayang tulisan-
nya terlalu kabur sehingga tidak terbaca dengan jelas, namun tampaknya
cap itu dicetak sedemikian rupa sehingga huruf pada stempelnya tampil
secara positif. Artinya, sama dengan cap A, tulisannya sesudah tertera
pada kertas akan tampil dalam bentuk cerminan sehingga hanya dapat
dibaca dengan menggunakan kaca cermin. Cap ini dimiliki oleh Raja
Pane. Pane adalah salah satu kerajaan kecil di daerah Simalungun, dan
aksara cap itu juga jelas aksara Simalungun.

Teks Bahasa Melayu


Teks beraksara Jawi (Arab-Melayu) dan berbahasa Melayu yang
melingkari teks Batak pada hampir semua cap sangat sukar dibaca. Teks
Melayu pada cap A terlalu kabur sementara yang di cap C cukup terang
namun huruf-hurufnya hampir tidak dapat dikenali sehingga menurut
dugaan kami pendesain cap itu kurang mengetahui huruf Jawi.
Hanya pada cap B sebagian teks berhuruf Jawi dapat dibaca, namun
Müller mengakui bahwa bacaan dia mungkin tidak akurat mengingatkan
huruf-hurufnya tidak senantiasa jelas:17
Inilah cap maharaja di negeri teba kampung bakara nama kotanya
hijrat nabi 1304 [?].18
Selain tanggal, yang kemungkinan besar salah, transliterasi Müller
benar namun kata ketiga juga dapat dibaca “si maharaja” (A. Gallop,
email 9-3-2000).

17. “Die am Rande stehende malaiische Inschrift ist wohl zu lesen…”


18. Bagian terakhir, terutama “kampung Bakara nama kotanya, Hijrat Nabi” terbaca
dengan jelas, tetapi sisanya sangat sukar untuk dibaca.
Cap Singamangaraja 183

Bangkara, tempat asal dan pusat kerajaan Singamangaraja dikatakan


berada di negeri Teba. Teba adalah istilah yang digunakan oleh orang
Karo dan juga orang Melayu untuk merujuk pada Toba. Bagi mereka
yang berada di luar, Teba tidak hanya termasuk daerah Toba dalam arti
sempit (Toba Humbang dan Toba Holbung), melainkan daerah yang
lebih luas, termasuk Uluan, Samosir, Habinsaran, Silindung, dsb. Singa-
mangaraja tentu menggunakan istilah Teba dalam arti yang lebih luas
karena dalam surat-suratnya ia suka menyebut diri sebagai penguasa –
dalam capnya ia malahan menggunakan istilah maharaja– di Tanah
Batak atau malahan untuk seluruh pulau Sumatra.
Para pendesain cap tentu mencontoh pada cap-cap Melayu, baik
dalam soal bentuk fisik yang bulat bergerigi maupun pada pilihan kon-
vensi teks “Inilah cap…”. Sedangkan teks Batak mengikuti konvensi
Batak yang lazim dipakai pada penulisan surat yang selalu dibuka
dengan perkataan Ahu surat ni....

Penanggalan
Dalam bukunya tentang kesultanan Aceh di zaman Iskandar Muda
Denys Lombard menulis: “Kedaulatan Sultan dilambangkan oleh keris
dan cap”19 (Lombard 1967:78). Lambang kerajaan Singamangaraja yang
paling utama adalah keris yang bernama gaja dompak. Carle masih
menyebut tiga lambang kerajaan lainnya, yaitu lembing hujur siringis,
batu asah pungga haomasan, dan labu (tempat air) tabu-tabu
sitarapullang Carle (1990:322). Ada pula yang menambahkan tikar lage
hamoasan, dan pedang podang halasan, sementara menurut Situmorang
(1993a:55) lambang kerajaannya malahan enam belas – tetapi cap tidak
pernah disebut sebagai lambang kerajaan Singamangaraja. Hal ini men-
jadi petunjuk bahwa dinasti Singamangaraja belum lama memiliki cap
sehingga belum sempat diangkat menjadi lambang kerajaannya.

19. “L’autorité suprême du Sultan était symbolisée de deux façons, par le kris et le
sceau.”
184 Surat Batak

Müller (1892) Warneck (1909)


Müller yang sebagai peneliti pertama menyelidiki cap B mengakui
bahwa tanggal yang ia sebut, yaitu H 1304 (۱۳۰٤) atau 1886/87 M belum
tentu benar.20 Sulit dipahami bagaimana Müller bisa membaca tanggal
tersebut karena angka yang ada di cap jelas sama sekali tidak mendukung
bacaan tersebut. Kendatipun salah, hasil Müller dikopi oleh sekian
banyak penulis lainnya termasuk Sidjabat (1983) yang di halaman 368
berusaha meyakinkan pembacanya bahwa “penanggalan di stempel Si
Singamangaraja itu menunjukkan, dinasti Si Singamangaraja telah
berkuasa sejak sekitar pertengahan abad XVI Masehi”. Anehnya, hanya
dua halaman lag, dan tanpa mengutip Müller, ia mengatakan bahwa cap
itu dibuat pada tahun H 1304 – yaitu abad ke-19 Masehi!
Tampubolon (1914:84) berusaha untuk meyakinkan pembacanya
bahwa cap Singamangaraja berasal dari zaman Singamangaraja ke-V,
Raja Manubung Langit (Ompu Sotaronggal). Sayang tak ada bukti yang
memperkuat dugaan Tampubolon.21
Menurut Gobée, angka yang ada di cap bukan angka Arab Timur
(۰۱۲۳٤٥٦۷۸۹) melainkan angka Arab Barat (012345789) yang ia baca
1852. Walaupun cap-cap Melayu pada umumnya menggunakan tarikh
hijrah yang ditulis dengan angka Arab Timur, cap di Sumatra Selatan
rata-rata menggunakan angka Arab Barat (A. Gallop, email 9-3-2000).
Hal itu antara lain disebabkan karena aksara surat ulu (tulisan Rejang,
Bengkulu dsb.) sama dengan surat Batak tidak mengenal angka.
Namun penulis kurang yakin bahwa tahun yang disebut oleh Gobée
memang 1852 Masehi karena tiga alasan: 1. Di cap itu sendiri tertulis
bahwa penanggalan yang digunakan adalah tarikh Hijrah dan bukan Ma-
sehi, 2. Pada tahun 1852 dan sebelumnya jarang sekali orang Batak

20. “Natürlich vorausgesetzt, dass die muhammedanische Datirung richtig gelesen ist.”
21. Bandingkan catatan kaki 32.
Cap Singamangaraja 185

sempat berhubungan dengan orang Eropa22, 3. Angka yang ada di cap itu
sendiri kurang mendukung interpretasinya: Hanya angka pertama dan
angka terakhir memang mirip dengan angka 1 dan 2, namun di gambar
Warneck seolah-olah angka 1 itu bersatu dengan teks yang ada di sebelah
kirinya. Angka kedua lebih mirip dengan 6. Karena mustahil cap itu dari
abad ke-17 (pada zaman itu sama sekali belum ada orang Eropa yang
pernah singgah di daerah Batak) maka Gobée menginterpretasikannya
sebagai 8 yang, menurut hemat kami, merupakan bacaan yang terlalu
dipaksa-paksa. Angka berikut pun tidak terlalu mirip dengan angka 5 –
sulit dibayangkan alasan maka garis horisontal yang seharusnya berada
di atas menjadi lepas sehingga posisinya bukan di atas melainkan di
samping.
Karena tahun yang ada di cap itu tidak dapat diinterpretasikan secara
meyakinkan maka kita tidak dapat mengetahui dengan pasti pada tahun
berapa ketiga cap itu dibuat sehingga kita harus mencari petunjuk-
petunjuk lainnya yang dapat membantu kita untuk memecahkan masalah
penanggalan. Klaim bahwa cap sudah ada di abad ke-18 atau malahan di
abad ke-16 (Sidjabat 1983) harus ditolak karena cap hanya dapat
digunakan di kertas sementara pada abad ke-18 orang Batak belum
mengenal kertas dan masih menulis di bambu dan kulit kayu.
Untuk sementara kita hanya bisa bertolak pada surat yang dibubuhi
cap sebagai terminus ante quem. Surat bercap (dengan cap B) yang
paling tua ditulis pada tahun 1897.23 Satu-satunya surat yang dibubuhi
cap A bertanggal 1897. Di sini timbul pertanyaan: Kalau cap A adalah
pendahulu cap B, kenapa cap A masih dipakai pada saat sudah ada cap
B?
Ternyata masing-masing cap hanya boleh digunakan oleh orang-
orang tertentu. Pada kebanyakan surat bercap B disebut bahwa surat itu
ditulis oleh (atau atas nama) Singamangaraja XII dengan menggunakan

22. Van der Tuuk, yang datang ke Sibolga pada tahun 1850, menjadi orang Eropa
pertama yang melihat Danau Toba pada kunjungannya ke Bangkara untuk bertemu
dengan Singamangaraja XI. Zending Jerman dimulai di Mandailing dan baru pada
tahun 1864 mereka mulai masuk ke daerah Silindung.
23. Mengingat artikel Müller diterbitkan pada tahun 1892 maka harus ada surat yang
lebih lama namun penulis kurang mengetahui keberadaannya.
186 Surat Batak
pembukaan Ahu (atau kami) surat ni Si Singamangaraja – Akulah surat
Si Singamangaraja.24 Tampaknya hanya Singamangaraja sendiri yang
boleh menggunakan cap B. Menurut Lumbantobing (1967:87) cap C
digunakan oleh anak Singamangaraja Sutan Nagari. Cap A tertera pada
surat yang ditulis oleh Heman Silaban alias Raja Pangantul, salah satu
penasehat Singamangaraja. Tampaknya cap A harus digunakan untuk
surat yang tidak langsung atas nama beliau.
Kendatipun mustahil untuk menentukan kapan cap pertama dibuat,
penulis cenderung bahwa ketiga cap itu dibuat di masa bertahtanya
Singamangaraja XII, yaitu antara tahun 1875 dan 1907.

Tradisi Surat-Menyurat
Masyarakat tradisional Batak sering dianggap sebagai masyarakat
yang masih berada di ambang keberaksaraan dan yang menggunakan
tulisannya “terutama untuk tujuan yang berkaitan dengan ilmu gaib”
(Drakard 1999:172). Pustaha-pustaha Batak ditulis oleh para datu
(dukun) yang menjadi ahli kalam dalam masyarakat Batak. Orang hanya
wajib belajar tulisan Batak kalau mau menjadi datu. Namun kebanyakan
raja pandai menulis, hal itu bukan wajib, dan cukup banyak raja, yang
buta huruf. Menurut Sitor Situmorang (komunikasi lisan) Singamanga-
raja XII tidak pandai membaca, dan memang tidak ada satu surat pun
yang berasal dari tangannya sendiri. Kendatipun demikian, diperkirakan
sekitar 30–50% pria Batak pandai menulis sebelum kedatangan zending
dan pemerintah kolonial dengan pendidikan formalnya (Kozok 2000b).
Hal itu antara lain tampak dari naskah-naskah yang jelas tidak ditulis
oleh para datu. Dalam koleksi-koleksi naskah Batak terdapat cukup
banyak surat dari para raja kepada pemerintah kolonial atau kepada pihak
zending. Di Karo dan Simalungun ada pula semacam adat yang disebut
pulas atau musuh berngi (musuh pada malam hari). Orang yang merasa
diperlakukan dengan tidak adil dan gagal mencari keadilan bersembunyi
di hutan dan keluar pada malam hari untuk memberitahu tuntutannya
yang disertai ancaman melalui surat yang digores pada tabung bambu

24. Satu-satunya surat yang tidak menggunakan formula pembukaan itu adalah surat
Singamangaraja kepada kontelir Van Dijk yang fotonya ada di buku Lumbantobing
(1967:103). Surat itu bermula dengan: Alana mambahen surat ahu tu hamu
alealengku on do ‘Alasan maka saya menulis surat kepada sahabatku...’.
Cap Singamangaraja 187

(Voorhoeve 1952; Westenberg 1914). Di Karo, Simalungun, dan


Mandailing ada pula adat berpacaran melalui puisi cinta yang disebut
bilang-bilang, suman-suman, atau andung yang ditulis pada sebuah ruas
bambu. Semua jenis tulisan termasuk surat, musuh berngi, serta puisi
cinta menggunakan formula-formula tertentu. Surat (yang pada umum-
nya ditulis di sebuah ruas bambu dengan panjangnya 15–30 cm dan dia-
meter 2–4 cm) biasanya dimulai dengan formula pembuka ahu ma surat
ni … “Saya surat [ditulis] oleh...”. Lalu si penulis mengutarakan maksud
maka ia menulis surat itu yang bisanya sangat pendek dan menutup surat
dengan formula penutup seperti boti ma ‘sekian’ serta ucapan salam.
Surat Singamangaraja mengikuti konvensi penulisan surat itu :
Ahu surat ni rajanta Si Singamangaraja mandapothon Tuan
Nomensen di Sigumpar Habinsaran. Nuaeng hipas be ma
Tuan. Tabi ma.
Saya surat raja kita Si Singamangaraja kepada Tuan
Nommensen di Sigumpar, Habinsaran. Semoga Tuan sehat
walafiat. Tabik.
Surat itu lalu dilanjutkan dengan permintaan Singamangaraja agar
Nommensen mengkonfirmasikan rencananya agar berhubungan dengan
Singamangaraja melalui penasehatya Guru Heman.
Suratnya ditutup dengan perkataan Boti ma. Hipas be hita. ‘Sekian,
semoga kita tetap sehat walafiat’, diikuti oleh nama, tempat, dan tanggal:
Singamangaraja Diiri [sic]. Pearaja Dairi ari 20 Oktober 1903.
Gaya surat Singamangaraja mengikuti konvensi yang berlaku, namun
tampak pula sejumlah unsur baru yang membedakannya dari surat-surat
tradisional. Surat Singamangaraja ditulis dengan pena di atas kertas dan
tidak digores pada permukaan bambu, dan unsur baru kedua adalah
penggunaan cap. Surat-suratnya juga menggunakan tanda baca seperti
titik, koma, dan tanda seru. Bahasanya pun sudah dipengaruhi bahasa
Melayu tidak hanya pada gelar seperti tuan besar tetapi juga pada
perkataan hupingkiri ma jolo (kupikirkan dulu) di surat Singamangaraja
dari tahun 1897. Kata pingkiri (diucap: ‘pikkiri’) berasal dari bahasa
Melayu pikiri, dan belum ada dalam kamus van der Tuuk. Selain itu,
surat Singamangaraja dibubuhi tanggal, suatu hal yang tidak pernah
dilakukan sebelumnya. Orang Batak memiliki kalendernya sendiri
188 Surat Batak
namun kalender itu tidak digunakan untuk tujuan menentukan tanggal
melainkan untuk menentukan ketika yang baik, terutama untuk tujuan
nujum. Dalam aksara Batak juga tidak terdapat angka sehingga angka
yang digunakan dalam surat Singamangaraja adalah angka Arab Barat:
“ari 20 ako\tobre\ 1903” (Ari 20 Oktober 1903 - Day
20 October 1903). Pengaruh Eropa juga kelihatan pada aksara yang
digunakan yang dengan jelas menunjukkan pengaruh sekolah zending.
Dari awal kedatangannya pihak Rheinische Missionsgesellschaft
(RMG) menerapkan kebijakan bahwa aksara Batak harus diajarkan di
sekolah sebagai bagian dari warisan budaya Batak (Kozok 1997:132).
Sementara dalam masyarakat tradisional aksara itu diwariskan secara
turun-temurun, dan di hampir setiap daerah aksara itu berbeda sedikit
dengan daerah lainnya, proses pembelajaran aksara Batak di sekolah
zending sangat berbeda. Pengetahuan tradisional diganti dengan buku.
Bagi orang Batak buku, entah namanya buku, kitab, atau pustaha, adalah
sumber pengetahuan dan oleh sebab itu harus dijunjung tinggi. Buku
adalah kebenaran. Apalagi buku-buku keluaran Jerman yang tidak lagi
ditulis di atas kulit kayu dan dengan kalam yang diambil dari pohon enau
yang bernama tarugi, melainkan dicetak dengan huruf yang hitam bersih
di atas kertas yang putih mengkilat.
Para zendeling sudah menciptakan aksara ketika mereka masih di
Mandailing. Setelah pusat zending dipindahkan ke Silindung maka
timbullah keperluan untuk mendesain huruf cetakan untuk bahasa Toba.
Karena aksara di Toba tidak seragam, melainkan terdapat banyak varian-
varian kecil tergantung pada daerahnya maka untuk tujuan percetakan
perlu adanya standardisasi. Huruf cetakan yang lalu dipilih oleh para
zendeling sebenarnya bukan ragam yang lazim dipakai di dareah yang
berbahasa Toba melainkan masih menunjukkan pengaruh Angkola-
Mandailing (Kozok 1999:82-83). Di samping itu, ada pula varian huruf
yang jarang digunakan dalam naskah-naskah asli yang diangkat menjadi
aksara yang baku.
Aksara yang sudah distandardisasi itulah yang digunakan dalam se-
mua surat Si Singamangaraja XII dan aksara itulah pula yang digunakan
pada cap C.
Cap Singamangaraja 189

Kebanyakan publikasi dalam aksara Batak pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 dicetak oleh percetakan R.L. Friderichs & Comp di
Elberfeld (Wuppertal, Jerman)25, namun ada juga buku yang dicetak oleh
Landsdrukkerij (percetakan negeri) di Batavia.26 Pada dasawarsa kedua
abad ke-20 dibuka pula percetakan zending (pangarongkoman mission)
di Laguboti.27 Namun pada saat itu pihak zending sudah memutuskan
agar selanjutnya semua buku sebaiknya dicetak dengan menggunakan
huruf Latin dengan alasan biaya yang lebih rendah, dan juga karena
orang Batak pada saat itu lebih suka menggunakan huruf Latin daripada
aksara Batak. Di kolom 2 saya cantumkan aksara yang digunakan oleh
R.L. Friderichs di Elberfeld, di kolom 3 aksara yang digunakan oleh
Landsdrukkerij di Batavia, di kolum 4 aksara percetakan zending di
Laguboti, dan di kolum 5 saya cantumkan varian-varian aksara yang
lazim dipakai dalam naskah-naskah asli Batak.
Elberfeld Batavia Laguboti Pustaha
a A a A aa
na 4 4 6 n3Nqv
wa w w w ww
ma M 0 M m8M
ta t t t ft
sa s s s s
ha h h h hh
i I [ I I[
Bentuk aksara yang digunakan dalam surat Si Singamangaraja lebih
mirip dengan aksara yang distandardisasi oleh zending daripada aksara
yang lazim terdapat di pustaha dan naskah Batak lainnya. Dalam naskah
asli Batak (Toba) bentuk f, misalnya lebih umum daripada bentuk t.

25. Misalnya Nommensen (1877; 1878; 1902).


26. Misalnya Nommensen (1885a) serta sejumlah buku berhuruf Latin.
27. Misalnya Hariara (1928), dan Lumbantobing (1916). Pada dasawarsa pertama abad
ke-20 ada pula percetakan zending di Narumonda, namun sepertinya tidak ada buku
beraksara Batak yang dicetak di situ.
190 Surat Batak
Ada beberapa daerah di Toba yang cenderung menggunakan f, semen-
tara di daerah lain bentuk t lebih umum. Di daerah Bangkara dan seki-
tarnya bentuk f lebih lazim dipakai dan oleh sebab itu bentuk itu pula
yang ada di cap Sisingamangaraja (A dan B). Demikian juga dengan ak-
sara Wa yang ada bentuk selatan w dan bentuk utara w. Sekali lagi
bentuk utara digunakan dalam cap Singamangaraja (A dan B), namun
tidak dalam surat Si Singamangaraja.
Dalam hampir semua naskah yang berasal dari Toba, aksara Ma
memiliki bentuk m atau 8. Sesekali kita temukan bentuk M. Di
Mandailing, bentuk Ma pada hakekatnya sama dengan Toba, namum
sekali-sekali bentuk M (yang terdiri dari tiga coretan pena!) ditulis
sedemikian rupa sehingga menyerupai 0. Bentuk 0 yang digunakan
dalam surat Si Singamangaraja sama sekali tidak lazim dipakai, apalagi
oleh orang Toba (sebelum kedatangan misi Jerman)!
Kalau kita perhatikan perkembangan aksara cetakan maka kita lihat
bahwa aksara Landsdrukkerij Batavia yang digunakan dalam Tobasch
Spelboekje (buku untuk mempelajari aksara Batak) masih menunjukkan
aksara yang lebih condong ke Angkola-Mandailing (Ha, Sa, dan Ma). Ha
dan Sa kemudian diubah untuk percetakan zending di Elberfeld sehingga
lebih sesuai dengan bentuk yang lazim dipakai di Toba. Untuk Ma mere-
ka menggunakan bentuk M yang tidak terlalu umum dipakai di Toba,
namun masih dapat diterima sebagai salah satu varian Toba, dan untuk A
mereka memilih bentuk A yang sebetulnya sangat jarang dapat ditemu-
kan di dalam naskah asli Batak.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk Ma 0 hanya
digunakan oleh percetakan Landsdrukkerij, dan satu-satunya buku berak-
sara Batak yang dapat kami temukan yang dicetak di Landsdrukkerij
adalah Tobasch Spelboekje (Nommensen 1885a)28. Semua buku lainnya
menggunakan bentuk Ma yang terdiri dari tiga coretan pena, yaitu M.
Jadi mengapa bentuk di dalam surat Singamangaraja menjadi 0? Huruf
yang digunakan untuk mencetak aksara Batak adalah huruf yang sangat
kecil sehingga, bila dilihat sekilas, huruf Ma hampir kelihatan seolah-

28. Anehnya, dari buku tersebut ada dua edisi yang kedua-duanya diterbitkan pada tahun
yang sama. Edisi pertama dicetak di Elberfeld dan cetakan kembali (herdruk) dicetak
di Batavia sehingga ada dua buku pelajaran aksara Toba yang masing-masing
menggunakan aksara yang berbeda!
Cap Singamangaraja 191

olah terdiri dari satu coretan saja. Hal ini barangkali sudah menjadi
kebiasaan anak-anak sekolah yang, demi mempercepat penulisannya,
menulis Ma dengan hanya menggunakan satu coretan saja.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa surat-surat Si Singamanga-
raja ditulis oleh orang yang pernah dididik di sekolah zending.
Sayang tidak terlalu banyak diketahui tentang kedua penasehat Si-
ngamangaraja Guru Heman Silaban dan Manase Simorangkir. Lumban-
tobing (1967:85) menyebut Manase sebagai salah satu dari 26 panglima
Singamangaraja. Menurut Sidjabat anak perempuan tertua Singamanga-
raja bernama Rinsan kawin dengan Ompu Onggung yang berjanji akan
menyediakan pasukan Singamangaraja dengan bedil setan (bedil canggih
yang dipakai oleh tentara Belanda). Setelah setahun tinggal di kediaman
Si Singamangaraja di Pearaja, Dairi, Ompu Onggung pergi. Karena tak
kunjung pulang maka Rinsan kawin dengan Manase, perkawinan mana
menghasilkan tiga anak. Manase gugur dalam pertempuran pada
ekspedisi Colijn bulan November 1904. Ompu Onggung lalu meminta
kembali Rinsan untuk kemudian mengkhianati mertuanya dengan berse-
kongkolan dengan Belanda (Sidjabat 1983:241). Menurut Beck “Ompu
Onggung menjadi raja Batak pertama yang membantu pemerintah mela-
wan Singa Mangaraja sehingga atas jasanya ia dianugerahi dengan
bintang perak dan sebuah pedang kebesaran”29 (Beck 1917:457). Heman
Silaban, guru injil di Siborong-borong, ternyata berperan besar dalam
menghubungkan Ompu Onggung dengan Si Singamangaraja XII “karena
ia mengetahui bahwa Asisten Residen Welsink sangat suka pada Ompu
Onggung.” (Sidjabat 1983:311).
Baik Sitor Situmorang (korespondensi email 3-2-00) maupun Jan S.
Aritonang (email 6-3-00) yang melakukan penelitian di arsip RMG untuk
publikasinya mengenai sejarah Batak (Aritonang 1988; Situmorang
1993b; Situmorang 1993a; ) memastikan bahwa Heman Silaban dan
Manase Simorangkir pernah menjadi siswa di institut keguruan zending

29. “De eerste Bataksche radja, die het Gouvernement steunde en hielp tegen Singa
Mangaradja was Ompoe ni Onggoeng, deze kreeg daarvoor o.a. de silveren ster van
verdienste en de prachtsabel.” Kematian Manase dan pengkhianatan Ompu Onggung
juga disebut oleh Sinambela (1992:55).
192 Surat Batak
di Pansur Na Pitu. Mengapa kedua pemuda yang berpendidikan itu
meninggalkan zending dan pindah ke kubu musuh? Kecewakah mereka
dengan pihak zending? Ataukah mereka berusaha untuk menjembatani
kedua pihak yang bermusuhan? Sangat menarik untuk mengetahui alasan
mereka namun hal ini diluar jangkauan makalah ini.
Keempat cap itu jelas merupakan tahap baru dalam perkembangan
budaya tulis di daerah Batak. Cap hanya dapat digunakan pada kertas,
media tulis yang baru mereka kenal, dan tidak bisa digunakan pada
media tulis tradisional seperti bambu, tanduk, dan kulit kayu. Selain
surat-surat Singamangaraja tidak banyak naskah Batak yang ditulis di
kertas. Dari sekitar 500 naskah Batak yang didata di Jerman hanya
delapan ditulis pada kertas! Pada awal abad ke-20 kertas hanya
digunakan pada wilayah yang telah tunduk pada pemerintah Belanda.
Surat para raja kepada Nommensen hampir semua ditulis di atas bambu,
sehingga Singamangaraja XII merupaakan salah satu raja pertama yang
menggunakan kertas. Tidak diketahui darimana ia mendapatkan ide
untuk menciptakan capnya sendiri, namun ketiga capnya memperlihatkan
pengaruh kuat dari tradisi cap Melayu sehingga dapat dipastikan bahwa
ia menerima stimulus untuk menciptakan capnya dari kawasan pesisir
Barat, atau dari Aceh.

Asal usul cap Singamangaraja


Menurut Sinaga, cap Singamangaraja berasal dari Aceh: “Raja Si
Singamangaraja VII dari dinasti suci Batak menandatangani perjanjian
persahabatan dengan raja Aceh dan minta agar diberi cap untuk kerajaan-
nya.” (Sinaga 1981:27)30 Sinaga mengutip Tampubolon (1964) dan Meu-
raxa (1973) sebagai sumbernya. Pada halaman yang dikutip Sinaga
dalam buku Meuraxa malahan tidak ada apa-apa tentang Singamangaraja
atau capnya. Selain daripada itu, seorang ilmuwan seperti Anicetus
Sinaga seharusnya tidak boleh mengutip begitu saja dari seorang penga-
rang seperti Dada Meuraxa yang terkenal dengan tulisan yang tidak dapat
diandalkan. Karya Tampubolon Pustaha Tumbaga Holing sangat mena-

30. “King Si Singamangaraja VII of the holy dynasty of the Batak sealed a treaty of
friendship with the Acehnese king and asked him to make a royal seal for his
kingdom.”
Cap Singamangaraja 193

rik dan mengandung informasi yang berguna, namun karena penulisnya


bukan sejarahwan maka fakta dan fiksi kerap bercampur baur dalam
bukunya. Klaim Tampubolon bahwa “asa di tingki haradjaon ni O.
Sotaronggal ma ditumpanton (dibaen) sap ni R. Singa Mangaradja tu
Atjeh i ma sap pardjolo sahali” (cap Singamangaraja pertama dibuat di
Aceh dalam masa kerajaan O[mpu] Sotaronggal) tidak dapat dibenarkan.
Perlu disesalkan bahwa klaim-klaim seperti yang di atas dimuat begitu
saja oleh Sinaga dalam bukunya yang diterbitkan oleh Institut Anthropos
di Jerman.31
Namun ada juga pengarang yang lebih dapat diandalkan seperti
Gobée dan Sidjabat yang percaya bahwa capnya berasal dari Aceh atau
dibuat oleh orang Aceh: “Karena aksara Batak yang semraut maka boleh
jadi cap itu dibuat oleh salah seorang pengikut Singamangaraja yang ber-
asal dari Aceh.”(Gobée 1917:369)32 Sidjabat (1983:370) pula berpen-
dapat demikian.33
Kalau cap itu dibuat oleh seorang Aceh (atau orang Melayu) boleh
saja aksara Batak menjadi kurang sempurna, namun huruf Jawi yang
juga ada di cap itu seharusnya menjadi sempurna. Baik Gobée maupun
Sidjabat ternyata tiba pada kesimpulannya dengan hanya memperhatikan
aksara Bataknya. Akan tetapi tulisan Jawi di cap itu sama saja
semrautnya! Hal itulah menjadi petunjuk kuat bahwa cap itu dibuat oleh
orang Batak, dan di Tanah Batak. Dari ketiga cap itu jelas tampaknya
adanya usaha untuk menciptakan cap yang lebih baik. Cap A yang kita

31. Menurut Tampubolon (1964:85) Ompu Sotaronggal (Raja Manubung Langit) adalah
Singamangaraja kelima, sementara menurut Lumbantobing Ompu Sotaronggal
menjadi Singamangaraja kedelapan, sementara menurut Situmorang (1993b:213) ia
malahan Singamangaraja kesembilan! Dalam buku kecil tentang dinasti
Singamangaraja oleh Simanjuntak (1986). Ompu Sotaronggal menjadi raja dari tahun
1741 (ketika ia berumur 19 tahun) hingga 1788. Tanggal tersebut bertentangan
dengan tanggal yang dianjurkan oleh seorang “sejarahwan” Batak lainnya, Manurut
Batara Sangti (1978) beliau dilahirkan pada tahun 1725. Pengarang yang lebih dapat
diandalkan seperti Sidjabat (1983) dan Situmorang (1993b) menolak usaha-uasaha
untuk menentukan masa kerajaan ke-12 Singamangaraja karena memang tidak ada
dasar historisnya.
32. “De gebrekkige Bataksche letters doen vermoeden dat de stempel door een
Atjehschen volgeling van den Singa Mangaradja is vervaardigd.”
33. “Mungkin pula yang membuat stempel itu ialah orang dari suku Aceh, suatu dugaan
kalau diperhatikan tulisan aksara Batak yang kurang sempurna.”
194 Surat Batak
anggap cap yang pertama masih penuh kekurangan, cap B sudah lebih
baik, dan akhirnya pada cap C aksara Batak bentuknya tidak lagi aneh
seperti sebelumnya dan malahan yang diangkat adalah aksara Batak versi
zending. Kenyataan bahwa pada cap C tulisan Jawi kurang sempurna
dibandingkan cap B mungkin karena tulisan Jawi dianggap hanya se-
kadar hiasan untuk menunjukkan bahwa wawasan Singamangaraja tidak
terbatas pada Tanah Batak saja, dan bahwa beliau menganggap dirinya
setara dengan raja-raja lain di Sumatra, atau malahan lebih tinggi meng-
ingat dalam salah satu surat ia menyebut diri sebagai penguasa pulau
Sumatra!
Kendatipun ketiga cap Si Singamangaraja XII dibuat oleh seorang
tukang suku Batak di tanah Batak, stimulus untuk membuat cap itu
sendiri tentu berasal dari luar. Sudah pada tahun 1783 dilaporkan bahwa
orang Batak “menyembah sultan Minangkabau”34 (Marsden 1975:376) –
dalam kosmologi Batak Minangkabau, di samping Aceh, dan Barus,
memang dianggap sebagai salah satu sumber ilmu terutama. Namun
sesudah perang Padri maka pengaruh Minangkabau di daerah Batak
makin menyusut sehingga lebih besar kemungkinan bahwa stimulus
untuk membuat cap berasal dari pesisir barat atau dari Aceh.
Namun penulis tidak setuju bahwa cap Singamangaraja itu
pemberian Sultan Aceh. Alasan pertama sudah dikemukakan di atas,
yaitu huruf Jawi tentu lebih sempurna bila cap itu memang buatan Aceh.
Alasan kedua, cap-cap dari daerah Singkil dan Rantau Panjang, yang
memang pemberian Sultan Aceh, menyebut pemegangnya sebagai
‘khadam Sultan Aceh’ atau ‘wakil Raja Aceh’ (Annabel Gallop, email
09-03-2000). Karena Si Singamangaraja tidak melihat dirinya sebagai
wakil, apalagi khadam (budak) Aceh maka Sultan Aceh pun tidak punya
alasan untuk memberinya sebuah cap.
Namun demikian, tentu ada kemungkinan bahwa stimulus untuk
membuat cap berasal dari Aceh mengingat bahwa Si Singamangaraja
punya hubungan yang erat dengan berbagai daerah di Aceh. Selain Aceh,
Barus juga perlu dipertimbangkan sebagai sumber inspirasi. Orang Batak
cenderung untuk menyebut pesisir barat dari Singkil hingga teluk Tapian

34. “superstitious veneration for the sultan of Menangkabau.”


Cap Singamangaraja 195

na Uli dan sungai Batang Toru sebagai daerah Barus (Situmorang


1993b:179). Bagi orang Batak, Barus penting sebagai pelabuhan ekspor
untuk hasil hutan, terutama kapur Barus dan kemenyan, tetapi lebih
penting lagi sebagai tempat spiritual asal kharisma dinasti Singamanga-
raja sebagai raja imam (Carle 1990:164; Drakard 1990:173; Heine-
Geldern 1959; Situmorang 1993b:179-184).

Kesimpulan
Sudah lebih dari seratus tahun berlalu sejak Müller untuk pertama
kali membahas cap Singamangaraja. Sejak itu, cap Si Singamangaraja
dibahas dalam puluhan buku dan makalah, namun tanpa menghasilkan
sesuatu yang dapat menerangkan asal usul cap Si Singamangaraja. Para
penulis yang membahas cap Singamangaraja pada umumnya hanya
menulis ulang apa yang sudah ditulis sebelumnya.
Karena berulang-ulang dikumandangkan maka seolah-olah sudah
menjadi kenyataan bahwa cap Singamangaraja adalah pemberian Sultan
Aceh yang secara turun-temurun berada di tangan dinasti Singamanga-
raja. Setelah diteliti secara lebih mendalam ternyata kedua klaim tersebut
tidak dapat dibenarkan. Ketiga cap Singamangaraja ternyata bukan pem-
berian Sultan Aceh melainkan hasil kerajinan orang Batak sendiri. Sejak
ratusan tahun para pandai besi di tanah Batak terbiasa menghasilkan ber-
bagai produk kerajinan, namun tehnik pembuatan cap masih belum dike-
tahui sehingga harus melalui berbagai percobaan untuk menghasilkan
cap yang dianggap lebih memuaskan.
Kekurangan yang ada tidak hanya pada aksara Batak namun juga
pada tulisan Jawi (Arab Melayu) sehingga dapat dismpulkan bahwa
tukang besi yang ditugaskan menempah cap itu kurang mengetahui baik
tulisan Batak maupun huruf Jawi.
Mengingat bahwa ketiga cap menunjukkan tahap perkembangan dari
hasil yang serba kurang (cap A) hingga hasil yang lebih sempurna (cap
C), dan mengingat bahwa cap C ditempah dengan bantuan seorang lulus-
an sekolah zending maka dapat disimpulkan bahwa ketiga cap dibuat di
masa kerajaan Si Singamangaraja XII (1875–1907).
Aksara "modern" yang ditemukan di cap C juga digunakan pada su-
rat yang ditulis oleh penasehat Si Singamangaraja XII Manase Simorang-
196 Surat Batak
kir dan Heman Silaban sehingga terdapat kemungkinan bahwa mereka
terlibat dalam pembuatan cap C yang dibuat di sekitar tahun 1890-an.
Dengan memiliki sebuah cap yang merupakan lambang kerajaan
utama di alam Melayu, dan melalui gelar berian sendiri sebagai “raja
marga-marga Batak” dan bahkan “penguasa pulau Sumatra” maka Si
Singamangaraja XII tidak lagi melihat dirinya sebagai raja imam negeri
Sumba melainkan sebagai pembela kebudayaan dan identitas Batak
melawan imperialisme Belanda dan hegemoni budaya Barat.

}
Cap Singamangaraja 197

Gambar 27: Surat Singamangaraja dari tahun 1897


198 Surat Batak

Gambar 28: Surat Singamangaraja XII dari tahun 1899


Cap Singamangaraja 199

Gambar 29: Surat Singamangaraja XII dari tahun 1903


200 Surat Batak

Gambar 30: Surat serta cap Raja Pane (Simalungun, tahun 1904)
Kepustakaan

Adelaar, K. Alexander. Reconstruction of Proto-Batak phonology.


Nusa 10. 1981, hal. 1–20.
Aritonang, Jan S. Sejarah pendidikan Kristen di Tanah Batak.
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1988.
Asselt, Gerrit van. Buku parsiadjaran di angka anak sikola di hata
Angkola. Elberfeld, R.L. Friederichs & Comp, 1876.
Baharadja. Tjap ni Radja Singamangaradja. Partoengkoan 1 Jan
1939. 1939, hal. 10.
Bartlett, Harley Harris. The Labors of the Datoe, and other essays
on the Bataks of Asahan (North Sumatra). Ann Arbor, Center
for South and Southeast Asian Studies, University of
Michigan, 1973.
Beck, W.J. Si Singa Managaradja. Tijdschrift voor Indische Taal-,
Land- en Volkenkunde 53. 1917, hal. 450–457.
Betz, W. F. Het Evangelie van Johannes in het Angkolasch.
Amsterdam, Spin & Zoon, 1873.
Boer, D.W.N. de. Zeden, gewoonten en wetten van Nai Pospos.
Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 103. 1946, hal.
339–457.
Carle, Rainer. Opera Batak. Das Wandertheater der Toba-Batak in
Nord-Sumatra. Schauspiele zur Wahrung kultureller Identität
im nationalen indonesischen Kontext. Bd. I
Entwicklungsgeschichte und Textkommentare. Bd.II
Dramentexte und Dokumentation. Berlin, Hamburg, Reimer,
1990.
Casparis, J. G. de. Indonesian palaeography: a history of writing in
Indonesia from the beginnings to c. A.D. 1500. Leiden, E.J.
Brill, 1975.
Doli, Dja Lembang Gunung. Surat Parsipodaan. Batavia,
Landsdrukkerij, 1901.
Drakard, Jane. A Malay frontier. Unity and duality in a Sumatran
kingdom. Ithaca (New York), Cornell Southeast Asia
202 Surat Batak

Program, 1990.
Drakard, Jane. A Kingdom of words. Language and power in
Sumatra. New York, Oxford University Press, 1999.
Eggink, H.J. Angkola- en Mandailing-Bataksch - Nederlandsch
Woordenboek. Bandoeng, A.C. Nix & Co, 1936.
Fischer, H.W. Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums.
Band VIII. Batakländer. Mit Anhang: Malaiische Länder an
der Nordost-Küste Sumatras. [Sumatra II]. Leiden, E.J. Brill,
1914.
Fischer, H.W. Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums.
Band XIV. Sumatra Supplement. Leiden, E.J. Brill, 1920.
Francisco, Juan R. Philippine Palaeography. Quezon City,
Linguistic Society of the Philippines, 1973.
Gobée, E. Dr. Neubronner van der Tuuk's bezoek aan Si Singa
Mangaradja in 1853 van Bataksche zijde toegelicht.
Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkkundig
Genootschap 34. 1917, hal. 366–369.
Haberlandt, M. Ueber die Batta-Schrift. Mittheilungen der
Anthropologischen Gesellschaft in Wien 16. 1886, hal. 7–10.
Hariara, J.M. Poestaha parsiajaran manjaha Soerat Batak.
Lagoeboti, Zendelingsdrukkerij, 1928.
Hariara, J.M. Hata Batak maninggoring. Bagian rangsa ni andung
dohot hadatuon. Jakarta, Balai Pustaka, 1987.
Heine-Geldern, Robert. Le Pays deP'i-k'ien, Le Roi au Grand Cou
et Le Singa Mangaradja. Bulletin de l'Ecole Française
d'Extrême-Orient 49. 1959, hal. 361–404.
Heyne, K. De nuttige planten van Nederlandsch-Indië. Buitenzorg,
Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel in
Nederlandsch Indië, 1927.
Iwabuchi, Akifumi. The people of the Alas Valley: a study of an
ethnic group of Northern Sumatra. Oxford, England ; New
York, Clarendon Press, 1994.
Joustra, Meint. Karo-Bataksch Woordenboek. Leiden, E.J. Brill,
1907.
Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 2.Teil. Berlin, G.
Reimer, 1847.
Korn, V.E. Batakse Offerande. Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde 109. 1953, hal. 32–51; 97-127.
Kozok, Uli., Batak Script and Literature. Sibeth, Achim, ed., The
Batak: Peoples of the Island of Sumatra. New York, Thames
and Hudson, 1991, hal. 100–114.
<Kepustakaan> 203

Kozok, Uli., De taal- en onderwijspolitiek van de Rijnse Zending


in de Bataklanden. Groeneboer, Kees, ed., Koloniale
Taalpolitiek in Oost en West: Nederlands-Indië, Suriname,
Nederlandse Antillen en Aruba. Amsterdam, Amsterdam
University Press, 1997, hal. 127–157.
Kozok, Uli. Warisan leluhur. Sastra lama dan aksara Batak.
Jakarta, École française d'Extrême-Orient, Kepustakaan
Populer Gramedia, 1999.
Kozok, Uli. Die Bataksche Klage: Toten-, Hochzeits- und
Liebesklagen in oraler und schriftlicher Tradition. 1. 2000a,
Kozok, Uli. On writing the not-to-be-read: literature and literacy in
a pre-colonial 'tribal' society. Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde 156. 2000b, hal. 33–55.
Kozok, Uli. The Seals of the Last Singamangaraja. Indonesia and
the Malay World 28. 2000c, hal. 254–279.
Kozok, Uli. Batak Handschriften im Linden-Museum. Tribus –
Jahrbuch des Linden-Museums Stuttgart 52. 2003, hal. 166–
205.
Leipold, Chr. Some first Christian teaching to the heathen in the
Batta (Angkola) language. Elberfeld, R.L. Friderichs &
Comp, 1880.
Lombard, Denys. Le Sultanat d'Atjéh au temps d'Iskandar Muda,
1607-1636. Paris, École française d'Extrême-Orient, 1967.
Lumbantobing, Adniel. Si Singamangaradja I-XII. Medan, W.
Marpaung, 1967.
Lumbantobing, Arsenius. Porgolatanta: Buku sidjahaon ni
anaksikola. Laguboti, Pangarongkoman Mission, 1916.
Malau, Gens G. Dolok Pusuk Buhit 7. Sabagian sian turi-turian ni
halak Batak. Jakarta, Yayasan "Tao Toba Nusabudaya" &
BPH Partukkoan Dalihan Na Tolu, 1997.
Mandahelingsch Spel-Boekje. Batavia, Landsdrukkerij, 1872.
Manik, Liberty. Batak-Handschriften. Wiesbaden, Franz Steiner
Verlag, 1973.
Manik, Tindi Raja. Kamus bahasa Dairi Pakpak–Indonesia.
Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977.
Marbun, M.A., dan Hutapea, I.M.T. Kamus budaya Batak Toba.
Jakarta, Balai Pustaka, 1987.
Marschall, Wolfgang. Die indonesischen Handschriften von
Sumatra. Studium Generale 20. 1967, hal. 559–564.
Marsden, W. The history of Sumatra. Kuala Lumpur, Oxford
University Press, 1975.
204 Surat Batak

Meerwaldt, J.H. De nieuwe Bataksche Letterkunde. Mededelingen


van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap 66. 1922,
hal. 295–311.
Meuraxa, Dada. Sejarah kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara.
Medan, Napitupulu, 1973.
Müller, F.W.K. Batak-Siegel. Zeitschrift für Ethnologie,
Verhandlungen 24. 1892, hal. 517f.
Napitupulu, O. L. Perang Batak perang Sisingamangaradja [ke
XII]. Djakarta, Jajasan Pahlawan Nasional
Sisingamangaradja, 1972.
Neumann, J.H. Schets der Karo Batakschen Spraakkunst.
Weltevreeden, A. Emmink, 1922.
Neumann, J.H. Karo-Bataks – Nederlands Woordenboek. Medan,
Varekamp & Co, 1951.
Nommensen, Ingwer Ludwig. The Gospel according to S. John:
Translated out of the original Greek into Batta (Toba), the
language of the Batta in the island of Sumatra. Elberfeld,
R.L. Friderichs & Comp, 1877.
Nommensen, Ingwer Ludwig. The New Testament of our Lord and
Saviour Jesus Christ: Translated out of the original Greek
into Batta (Toba), the language of the Batta in the island of
Sumatra. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1878.
Nommensen, Ingwer Ludwig. Tobasch spelboekje. Batavia,
Landsdrukkerij, 1885a.
Nommensen, Ingwer Ludwig. Tobasch spelboekje. Elberfeld, R. L.
Friderichs & Comp, 1885b.
Nommensen, Ingwer Ludwig. Jamita sian hata ni Debata na di
padan na robi. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1902.
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, Christian
Literature Society, 1978.
Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao.
Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao; terror
agama Islam mazhab Hambali di tanah Batak, 1816-1833.
Jakarta, Tandjung Pengharapan, 1964.
Persoons, Marie-Anne. Batak Manuscripts in the Royal Art and
History Museums in Brussels. Orientalia lovaniensa
Periodica, Universitaire Stichting van België, Department
Oriëntalistiek 17. 1986, hal. 233–251.
Postma, Antoon. Contemporary Mangyan Scripts. Philippine
Linguistics 2. 1971, hal. 1–12.
Robson, Steward O. Principles of Indonesian Philology. Dordrecht,
<Kepustakaan> 205

Holland ; Providence, R.I, Foris Publications, 1988.


Römer, R. Beiträge zur Kenntniss der Medizin der Batak. Janus
June-August. 1907, hal. 7–11.
Sangti, Batara. Sejarah Batak. Balige, Karl Sianipar, 1978.
Saragih, Japorman Edison. Pustaha-pustaha laklak dan surat-surat
buluh yang berasal dari daerah Batak, Sumatera Utara.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 1973.
Saragih, Japorman Edison. Kamus Simalungun–Indonesia.
Pematang Siantar, Kolportase GKPS, 1989.
Saragih, Japorman Edison, dan Dalimunte, A.A. Pustaha Laklak
No.252 Museum Simalungun & Pustaha Laklak Mandailing.
Jakarta, Departemen P&K, 1979.
Saragih, Wismar. Partingkian ni Hata Simaloengoen
(Simaloengoen Bataks verklarend woordenboek).
Pematangraja, 1936.
Sarumpaet, Jan Pieter., Linguistic Varieties in Toba-Batak. Halim,
Amran, Carrington, Lois, dan Wurm, S.A., ed., Papers from
the Third International Conference on Austronesian
Linguistics(3: Accent on variety). Canberra, Australian
National University, 1982, hal. 27–28.
Sarumpaet, Jan Pieter. Kamus Batak–Indonesia. Jakarta, Erlangga,
1994.
Schreiber, August. Bijbelsch geschiedenis des ouden verbonds
(naar Zahn) in het Mandailingsch (Surat paboa angka na
dumpang di halak na porsaya di Debata taran so ro dope
Tuhan Jesus). Amsterdam, C.A. Spin & Zoon, 1874.
Schreiber, August. Christ und Mohammedaner. Elberfeld, 1875.
Schreiber, August. Beknopt onderrigt omtrent het menschelijke
ligchaam in de Mandhelingsche taal (Taringot tu pamatang ni
jolma). Batavia, Landsdrukkerij, 1876.
Schreiber, August, dan Leipold, Chr. The New Testament of our
Lord and Saviour Jesus Christ. Translated out of the Original
Greek into Batta (Angkola-Mandailing), the Language of the
Southern Batta in the Island of Sumatra. Elberfeld, R.L.
Friderichs & Comp, 1879.
Schütz, Ph. Chr. Buku Parsiadjaran manise dohot manjurat di hata
Angkola. Elberfeld, R.L. Friderichs & Co, 1902.
Sibarani, A[ugustin]. Perjuangan pahlawan nasional
Sisingamangaraja XII. Jakarta, Bona Tora Jaya-Yayasan
Sisingamangaraja Perwakilan Jakarta, 1980.
Sidabutar, S. S. Batu na Impol: Buku Parsiajaran Manala, Manami
206 Surat Batak

dohot Marhamaolhon Hata Surat Batak nang Pustaha.


Medan, Mitra,
Sidjabat, W. Bonar. Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis,
ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII. Jakarta, Sinar
Harapan, 1983.
Sihombing, T.M. Filsafat Batak. Tentang kebiasaan-kebiasaan adat
istiadat. Jakarta, Balai Pustaka, 1986.
Simanjuntak, Humala. Singa Mangaraja. Selama dalam 5 abad
turun temurun menurut ceritera orang tua-tua dan kisahnya
gugurnya Singa Mangaraja XII 17 Juni 1907. Medan, YPN
Yotsu Sere Murni, 1986.
Sinaga, Anicetus B. The Toba Batak High God. Transcendence
and immanence. St. Augustin, 1981.
Sinambela, Poernama Rea. Ayahku Sisingamangaraja XII
Pahlawan Nasional. Jakarta, Aksara Persada Indonesia, 1992.
Siregar, Ahmad Samin. Kamus Bahasa Angkola/Mandailing–
Indonesia. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Siregar, Ahmad Samin, Sukapiring, Peraturen, Tarigan, Sentosa,
Sembiring, Matius C., dan Zulkifly. Kamus Karo–Indonesia.
Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.
Baried, Siti Baroroh, Sutrisno, Sulastin, Soeratno, Siti Chamamah,
Sawu, dan Istanti., Kun Zachrun. Pengantar Teori Filologi.
Yogyakarta, Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF)
Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
1994.
Situmorang, Helman Billy. Ruhut-ruhut ni adat Batak. Medan,
Gunung Mulia, 1983.
Situmorang, Sitor. Guru Somalaing dan Modigliani "Utusan Raja
Rom". Sekelumit sejarah lahirnya gerakan Ratu Adil di Toba.
Jakarta, Grafindo Mukti, 1993a.
Situmorang, Sitor. Toba Na Sae (Sejarah ringkas lahirnya institusi-
institusi organisasi parbaringin dan dinasti Singamangaraja
dalam sejarah suku bangsa Batak-Toba). Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 1993b.
Smit, G. Soerat Ogén man goena Oerang Karo ipakaé Surat jiné.
Leiden, Bataksch Instituut, 1916.
Sukapiring, Peraturen, Sitepu, A.G., Meliala, P.S., dan Tanjung,
Zuraida. Pelajaran Bahasa Karo dan Aksara Surat Pustaha.
Medan, Percetakan RG, 1997.
<Kepustakaan> 207

Tambunan, Anggur. Kamus Bahasa Batak Toba–Indonesia.


Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977.
Tampoebolon, Radja H. A. m. Het sneuvelen van Si Singa
Mangaradja. Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch
Aardrijkkundig Genootschap 61. 1914, hal. 459–482.
Tampubolon, Raja Patik. Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak -
Patik / Uhum. Pematang Siantar, 1964.
Tampubolon, Raja Patik. Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak -
Patik Uhum. Buku I dan II. Jakarta, Dian Utama, 2002a.
Tampubolon, Raja Patik. Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak -
Patik Uhum. Buku III, IV dan V. Jakarta, Dian Utama,
2002b.
Taute, [Tuan Sitaut]. Pangajaran taringot tu Pulo Sumatara [Pulo
Morsa] dohot pangisina. Elberfeld, R.L. Friderichs & Co,
1889.
Teygeler, René. Pustaha. A study into the production process of
the Batak bark book. Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde 149. 1993, hal. 593–611.
Tobing, Philip Oder Lumban. The structure of the Toba-Batak
belief in the High God. Amsterdam, Jacob van Campen,
1956.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Over Schrift en Uitspraak der
Tobasche Taal als eerste Hoofdstuk eener Spraakkunst.
Amsterdam, C. A. Spin & Zoon, 1855.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Boek Exodus.
Amsterdam, Frederik Muller, 1859a.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Boek Genesis.
Amsterdam, Frederik Muller, 1859b.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Johannes.
Amsterdam, Frederik Muller, 1859c.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Lukas.
Amsterdam, Frederik Muller, 1859d.
Tuuk, Herman Neubronner van der. (1) Stukken in het Tobasch,
1860; (2) Stukken in het Mandailingsch, 1861; (3) Stukken in
het Dairisch, 1861; (4) Taalkundige aantekeningen en
bladwijzer, vertaalde stukken en inhoudsopgave tot de drie
stukken van het Bataksche Leesboek, 1862. Amsterdam,
Frederik Muller, 1860.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Bataksch-Nederduitsch
Woordenboek. Amsterdam, F.Muller, 1861.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Tobasche Spraakkunst. Eerste
208 Surat Batak

Stuk (Klankstelsel). Amsterdam, Frederik Muller, 1864.


Tuuk, Herman Neubronner van der. De Handelingen der
Apostelen. Amsterdam, Nederlandsch Bijbelgenootschap,
1867a.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Markus.
Amsterdam, Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1867b.
Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Mattheus.
Amsterdam, Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1867c.
Tuuk, Herman Neubronner van der. A Grammar of Toba Batak.
The Hague, Martinus Nijhoff, 1971.
Vergouwen, Jacob Cornelis. Het rechtsleven der Toba-Bataks. 's-
Gravenhage, M. Nijhoff, 1933.
Voorhoeve, Petrus. Overzicht van de volksverhalen der Bataks.
1927,
Voorhoeve, Petrus. Batak bark books. With facsimile. Overdruk
uit: Bulletin of the John Rylands Library 33/2. Manchester,
1951.
Voorhoeve, Petrus. Een Timur-Batakse brandbrief. Bijdragen tot
de Taal-, Land en Volkenkunde 108. 1952, hal. 395–396.
Voorhoeve, Petrus. Batakse buffelwichelarij. Bijdragen tot de
Taal-, Land en Volkenkunde 114. 1958, hal. 238–248.
Voorhoeve, Petrus. A catalogue of the Batak manuscripts in the
Chester Beatty Library. Dublin, Hodges Figgis & Co.Ltd,
1961.
Voorhoeve, Petrus. Catalogue of Indonesian Manuscripts. Part 1,
Batak Manuscripts. Copenhagen, The Royal Library, 1975.
Voorhoeve, Petrus. Codices Batacici. Codices Manuscriptie XIX.
Leiden, Universitaire Pers, 1977.
Voorhoeve, Petrus. H.H. Bartlett's Batak Manuscripts Collection.
Indonesian Circle 22. 1980, hal. 70–72.
Voorhoeve, Petrus, dan Uli Kozok. Universiteitsbibliotheek
Leiden. Collectie P.Voorhoeve. 1993,
Warneck, Johannes. Toba-Batak - Deutsches Wörterbuch. Batavia,
Landsdrukkerij, 1906.
Warneck, Johannes. Die Religion der Batak. Ein Paradigma für die
animistischen Religionen des indischen Archipels. Göttingen,
Leipzig, Vandenhoek & Ruprecht/J.C.Hinrichs'sche, 1909.
Warneck, Johannes. Toba-Batak - Deutsches Wörterbuch. Den
Haag, Martinus Nijhof, 1977.
Westenberg, C.J. Adatrechtspraak en adatrechtpleging der Karo
Batak's. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 69.
<Kepustakaan> 209

1914, hal. 453–600.


Willer, T.J. Verzameling der Battahschen Wetten en Instellingen in
Mandheling en Pertibie. Gevolgd door Een Overzigt van
Land en Volk in die Streken. Tijdschrift voor Nederlandsch
Indië 8. 1846, hal. 145–424.
Winkler, Johannes. Bataksche Zauberdoktoren. Allgemeine
Missionszeitung 2. 1907, hal. 49–60; 66-77.
Winkler, Johannes. Der Kalender der Toba-Bataks auf Sumatra.
Zeitschrift für Ethnologie 45. 1913, hal. 436–447.
Winkler, Johannes. Die Toba-Batak auf Sumatra in gesunden und
kranken Tagen. Ein Beitrag zur Kenntnis des animistischen
Heidentums. Stuttgart, Chr.Belser, 1925.
Winkler, Johannes. Pane na Bolon. Ein Kriegsorakel der Toba-
Batak auf Sumatra. Bijdragen tot de Taal-, Land en
Volkenkunde 112. 1956,
Yamamoto, Haruki. Batak Manuscripts in Tenri Central Library.
Nampo-Bunka 19. 1992, hal. 1–24.
Ypes, W. K. H. Bijdrage tot de kennis van de stamverwantschap,
de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht
der Toba- en Dairibataks. 's Gravenhage, M. Nijhoff, 1932.
Zahn, F.L. Biblische Geschichte des Neuen Testaments im
Mandhelingschen Dialect. Elberfeld, R.L. Friderichs &
Comp, 1875.
Zubeirsyah, M. Hasyim. Kamus Simalungun–Indonesia. Jakarta,
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Anda mungkin juga menyukai