LP Konstipasi
LP Konstipasi
OLEH :
Nama : Hasnia
Nim : 16 cp 1055
2. Epidemiologi
Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi
yang berlangsung singkat adalah normal (ASCRS, 2002). Menurut National Health Interview
Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi
terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan
ke dokter sebanyak 2.5 juta kali/tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk
obat-obatan pencahar (NIDDK, 2000).
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Terjadi
peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan
konstipasi (Holson, 2002). Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 65 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar (Cheskin, dkk 1990). Di
Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh mendrita konstipasi dan lebih
banyak pada wanita dibanding pria (Robert-Thomson, 1989). Suatu penelitian yang
melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita dan
26% pria meneluh menderita konstipasi (Harari, 1989).
3. Etiologi
Banyak lansia mengalami konstipasi sebagai akibat dari penumpukan sensasi saraf,
tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi sinyal untuk
defekasi. Konstipasi merupakan masalah umum yang disebabkan oleh penurunan motilitas,
kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut:
1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,
golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat besi,
antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis, neuropati
diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB,
mengabaikan dorongan BAB, konstipasi imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia, volvulus,
iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang olahraga,
bepergian jauh, paska tindakan bedah parut.
4. Patofisiologi
Defekasi merupakan suatu proses fisiologi yang menyertakan kerja otot-otot polos
dan serat lintang, persarafan, sentral dan perifer, koordinasi sisitem reflek, kesadran yang
baik dan kemampuan fisik untuk mencari tempat BAB.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke
rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula rektum yang diikuti
relaksasi sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi
refleks kontraksi refleks anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dilayani oleh
syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, dan rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi
otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan
otot elevator ani.baik persyarafan simpatis dan para simpatis terlibat dalam proses ini.
Patogenesis konstipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel, mencakup
beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan bertambahnya
usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan perjalanan saluran cerna.
Pengurangan respon motorik sigmoid disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik
akibat degenerasi pleksus myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot
polos sirkuler menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai
kadar plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiat
endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif sediaan opiat karena dapat
menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan menghambat refleks gaster-
kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos
berkaitan dengan usia khususnya pada wanita. Pada penderita konstipasi mempunyai
kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya
mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus
dengan kelemahan lebih lanjut.
5. Manifestasi Klinis
Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah: (ASCRS, 2002)
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa feses yang keras dan sulit keluar
4. Perasaan tidak tuntas saat BAB
5. Sakit pada daerah rectum saat BAB
6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB
7. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
8. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses
9. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
6. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana non farmakologik
a). Cairan
Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan konstipasi. Kecuali ada
kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk minum sekurang kurangnya 6-8 gelas
sehari (1500 ml cairan perhari) untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila
tersedia cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula cairan yang berasal
dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih banyak bagi mereka yang mengkonsumsi
diuretik tetapi kondisi jantungnya stabil.
b). Serat
Pada orang usia lanjut yang lebih muda, serat berguna menurunkan waktu transit
(transit time). Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-10 gram
per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi serat sebanyak 15-20 per hari.
Serat berasal dari biji-bijian, sereal, beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan
memfasilitasi gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu transit
usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon, dengan produksi gas dan asam
lemak rantai pendek yang meningkatkan gumpalan tinja. Perlu diingat serat tidaklah efektif
tanpa cairan yang cukup, dan dikontraindikasikan pada pasien dengan impaksi tinja (skibala)
atau dilatasi kolon. Peningkatan jumlah serat dapat menyebabkan gejala kembung, banyak
gas, dan buang besar tidak teratur terutama pada 2-3 minggu pertama, yang seringkali
menimbulkan ketidakpatuhan obat.
c). Bowel training
Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa untuk buang air
besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih mengembang karena adanya
penumpukan feses. Membuat jadwal untuk buang air besar merupakan langkah awal yang
lebih baik untuk dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien usia
lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang sudah memiliki kebiasaan buang
air besar pada waktu yang teratur, dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan
pada pasien yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang baik untuk
buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.
d). Latihan jasmani
Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana tetapi bermanfat
bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan. Jalan kaki satu setengah jam setelah
makan cukup membantu. Bagi mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat
didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur. Positioning bagi pasien
usia lanjut yang tidak dapat bergerak, meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi
beberapa kali dengan interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus
dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat dibantu dengan menyediakan
toilet atau komod dengan tempat tidur, jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-
hati mungkin dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.
e). Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu dilakukan untuk
mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti obat yang diperkirakan menimbulkan
konstipasi. Obat antidepresan, obat Parkinson merupakan obat yang potensial menimbulkan
konstipasi. Obat yang mengandung zat besi juga cenderung menimbulkan konstipasi,
demikian obat anti hipertensi (antagonis kalsium). Antikolinergik lain dan juga narkotik
merupakan obat-obatan yang sering pula menyebabkan konstipasi.
2. Tatalaksana farmakologik
a). Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk laxative)
Pencahar bulk merupakan 25% pencahar yang beredar di pasaran. Sediaan yang ada
merupakan bentuk serat alamiah non-wheat seperti pysilium dan isophagula husk, dan
senyawa sintetik seperti metilselulosa. Bulking agent sistetik dan serat natural sama-sama
efektif dalam meningkatkan frekuensi dan volume tinja. Obat ini tidak menyebabkan
malabsorbsi zat besi atau kalsium pada orang usia lanjut, tidak seperti bran yang tidak
diproses. Pencahar bulk terbukti menurunkan konstipasi pada orang usia lanjut dan nyeri
defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat, obat ini juga harus diimbangi dengan
asupan cairan.
b). Pelembut tinja
Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang lanjut usia sebagai
pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate sodium bertindak sebagaisurfaktan,
menurunkan tegangan permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak
feses. Docusate sebenarnya tidak dapat menolong konstipasi yang kronik, penggunaannya
sebaiknya dibatasi pada situasi dimana mangedan harus dicegah.
c). Pencahar stimulan
Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut. Senna
meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi peristaltik diikuti dengan evakuasi
feses yang lunak. Pemberian 20 mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih
dari 80 tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau elektrolit. Senna umumnya
menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian. Orang usia lanjut biasanya
memerlukan waktu yang lebih lama yakni sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai
kebiasaan defekasi yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko
inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi berdasarkan respon individu.
Terapi dengan Bisakodil supositoria memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat
menolong untuk mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan segera
setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek refleks gastrokolik.
Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan sensasi terbakar pada rectum, jadi
sebaiknya digunakan secara rutin, melainkan sekitar 3 kali seminggu.
d). Pencahar hiperosmolar
Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol. Di dalam kolon
keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi bentuk laktat, aetat, dan asam dengan
melepaskan karbondioksida. Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic
meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses. Laktulosa sebagai pencahar
hiperosmolar terbukti memperpendek waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat
jompo yang mengalami konstipasi. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama menunjukkan
efektifitasnya dalam mengobati konstipasi pada orang usia lanjut yang berobat jalan. Sorbitol
sebaiknya diberikan 20-30 selama empat kali sehari. Glikol polietelin merupakan pencahar
hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke lumen dan merupakan zat
pembersih usus yang efektif. Gliserin adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya
dalam bentuk supositoria.
e). Enema
Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon; hasil yang
kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak memadai. Enema harus digunakan secara
hati-hati pada usia lanjut. Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin
membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala. Namun, pemberian enema
tertentu terlalu sering dapat mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap
water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena tidak menghasilkan
iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak
diberikan pada orang usia lanjut.
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan penurunan respon terhadap dorongan defekasi
b. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang pola diet yang
sehat.
3. Intervensi
No
NOC NIC
Dx
4
Setelah dilakukan tindakan Kaji ulang proses penyakit,
keperawatan selama 3x8 jam, pasien pengalaman klien.
dengan Konstipasi diharapkan dapat Dorong klien/orang terdekat
teratasi dengan kriteria hasil: untuk menyatakan rasa
Klien dapat memahami proses takut/perasaan dan perhatian.
penyakit/prognosis. Dorong keluarga secara aktif
Klien dapat mengidentifikasi dalam proses perawatan dan
hubungan tanda/gejala proses pengobatan klien.
penyakit. Berikan informasi tentang pola
Klien mampu melakukan diet yang sehat dan tinggi serat.
perubahan pola hidup.
Klien mampu ikut aktif dalam
berpartisipasi dalam program
pengobatan.
ASUHAN KEPERAWATAN
KONSTIPASI PADA Tn. A
DI RSUD. PROF. ANWAR MAKKATUTU BANTAENG
OLEH :
Nama : Hasnia
Nim : 16 cp 1055
KASUS
Tn. A berusia 65 tahun datang ke RSUD. Prof. Anwar Makkatutu Bantaeng pada tanggal 17
november 2019 dengan keluhan tidak bisa buang air besar selama seminggu.Setelah 1
minggu Tn.A bisa BAB dan mengalami nyeri saat defekasi. Tn. A merasakan nyeri dan
penuh perjuangan dalam mengejan. Saat dikaji, klien mengatakan bentuk fesesnya keras
dalam minggu ini sampai sekarang. Dari hasil pemeriksaan didapatkan : TD : 150 / 90
mmHg, HR : 106x/menit, RR : 22x/menit, TB : 158 cm, Bising Usus : 2 x/menit.
A. Pengkajian
I. Biodata
Tgl. Pengkajian : 17 November 2019
Nama : Tn. A Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 65 tahun Status Perkawinan : Duda
Agama : Islam Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak ada Alamat : Papan Loe
Tgl masuk : 16 November 2019 Ruang : Poli Umum
Diagnosa Medis : Konstipasi
Penanggung Jawab
Nama : Tn. P
Hubungan dengan klien : Anak klien
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Papan Loe
3. Konsep diri
Body image
Tidak ada masalah dengan body image
Ideal diri
Klien mengharapkan dan selalu berdoa kepada Tuhan YME agar diberikan ketabahan dalam
menghadapi penyakitnya dan kesembuhan walau tidak terlalu mengharap.
Harga diri
Klien senang tinggal di panti karena tercukupi semua kebutuhannya, dan bebas melakukan
apa saja yang diinginkan.
Peran diri
Klien seorang duda yang telah ditinggal istrinya karena meninggal kurang lebih 10 tahun lalu.
Dari perkawinannya klien memiliki 1 orang anak.
Personal identity
Klien merupakan anggota panti Tresna Werdha Abdi di wisma Teratai. Klien merupakan
duda dengan 1 anak.
Keadaan Emosi
Keadaan emosi klien dalam keadaan stabil.
Perhatian terhadap orang lain/lawan bicara
Klien tampak memperhatikan dan menanggapi setiap pertanyaan yang diberikan kepadanya.
Hubungan dengan keluarga
Harmonis dengan keluarga yang ada dan masuk ke panti karena keinginan klien sendiri yang
tidak mau menyusahkan keluarga terutama anaknya yang telah berumah tangga.
Hubungan dengan orang lain
Baik, klien mau bergaul dengan sesama warga panti terutama dengan anggota satu wisma.
Kegemaran
Menonton televisi dan duduk-duduk di ruang tamu wisma
Daya adaptasi
Klien dapat beradaptasi dengan warga di panti walaupun klien kurang bisa mengikuti
kegiatan yang ada di panti seperti pengajian, gotong royong dan senam pagi karena
keterbatasan karena penyakitnya.
Mekanisme Pertahanan diri
Klien memiliki pertahanan diri yang efektif
Penumpukan feses
Konstipasi
Data Subjektif: Penatalaksanaan penyakit Kurang pengetahuan
Klien mengatakan
permintaan informasi serta Ketidakakuratan mengikuti
menyatakan bahwa klien instruksi
kurang mengerti manfaat
makanan berserat Permintaan informasi
Data Objektif:
Ketidak-akuratan mengikuti Kurang
pola diet yang sehat pengetahuan
C. Diagnosa Keperawatan
1. Konstipasi berhubungan dengan penurunan respon terhadap dorongan defekasi
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang pola diet yang
sehat.
D. Intervensi Keperawaatan
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERI INTERVENSI RASIONAL
. KEPERAWATAN A HASIL
1. Konstipasi NIC
Setelah dilakukan 1. Membantu
berhubungan tindakan Identifikasi menentukan
dengan penurunan keperawatan selama faktor-faktor intervensi
respon terhadap 3x8 jam, pasien yang selanjutnya
dorongan defekasi dengan Konstipasi menyebabkan 2. Cairan
diharapkan dapat konstipasi membantu
teratasi dengan Jelaskan pergerakan cairan,
kriteria hasil : penyebab dan kopi bersifat
Pola BAB dalam rasionalisasi diuretic dan
batas normal tindakan pada menarik cairan
Feses lunak pasien 3. Cairan dapat
Cairan dan serat Konsultasikan bertindak sebagai
adekuat dengan dokter stimulus untuk
E. Implementasi
Tangga Diagnosa Implementasi Keterangan
l
18-11- Konstipasi Mengidentifikasi faktor-faktor
2019 berhubungan yang menyebabkan konstipasi
09:30 dengan penurunan Menjelaskan penyebab dan
respon terhadap rasionalisasi tindakan pada
dorongan defekasi pasien
Mengkonsultasikan dengan
dokter tentang peningkatan dan
penurunan bising usus
Menjelaskan pada pasien
manfaat diet (cairan dan serat)
terhadap eliminasi
Mengkolaborasikan dengan ahli
gizi diet tinggi serat dan cairan
F. Evaluasi
Waktu & Diagnosa Evaluasi Keterangan
Tanggal
19-11- Perubahan S : Pasien mengatakan sudah bisa BAB
2019 proses pikir dengan feses sudah lunak
09:30 berhubungan O : Pasien tampak lebih nyaman
dengan A : Masalah sudah teratasi
degenerasi P : pertahankan intervensi
neuronal dan
demensia
progresif
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Juall Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Darmojo, Boedhi&Martono, Hadi. 2006. Buku Ajar Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).
Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia
Doenges, E. Marlyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC
Maryam, R Siti. 2008. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika
Noedhi, Darmojo. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta: Balai penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pudjiastuti, Surini Sri. 2003. Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC
Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC
Moorhead, Sue PhD, RN dkk. 2004. Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition.
United State of America : Mosby Elsevier
Moorhead, Sue PhD, RN dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC) United Stateof
America : Mosby Elsevier