Anda di halaman 1dari 142

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara normatif ketentuan pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengemukakan

pengertian dari kecelakaan lalu lintas yakni berbunyi : “Kecelakaan lalu lintas

adalah suatu peristiwa di jalan raya tidak diduga dan tidak disengaja

melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang

mengakibatkan korban manusia dan kerugian harta benda.”

Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak

disangka – sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau

tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian

harta benda (Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 1993 tentang

Prasarana dan Lalu lintas Jalan lihat Pasal 93 ayat (1)). Kecelakaan lalu lintas

merupakan suatu kejadian yang terjadi secara tidak disengaja dan tidak diduga

akan terjadi. Kejadian ini mengikutsertakan kendaraan dengan atau tanpa

pengguna jalan yang lainnya. Kecelakaan lalu lintas dapat berakibat

menimbulkan korban manusia dan ataupun kerugian secara materiil. (Saputra,

2017: 179) Kecelakaan lalu lintas adalah peristiwa yang memerlukan

penangan yang serius mengingat kerugian yang ditimbulkan di sini cukup

besar. (Wicaksono, 2017: 203)

Kecelakaan lalu lintas sering menghantui berbagai negara di dunia.

Apalagi untuk negara-negara berkembang yang masih sangat bermasalah

1
dengan transportasi. Hasil survey data yang dilakukan World Health

Organization (WHO) yakni Negara India merupakan Negara dengan jumlah

kematian tertinggi akibat dari kecelakaan lalu lintas. Jika Negara Indonesia

termasuk rangking ke lima mengenai hal tersebut.’Jika menurut data Global

Status Report on Road Safety yang dikeluarkan oleh WHO, Indonesia

menduduki rangking pertama peningkatan kecelakaan . Hasil laporannya

menunjukan jika kenaikan jumlah kecelakaan lalu lintas di Negara Indonesia

telah mencapai hingga lebih dari 80 persen. Setiap hari jumlah korban

meninggal dunia dampak dari kecelakaan lalu lintas menyentuh angka 120

jiwa. Sedangkan negara yang tidak berbeda jauh dengan Indonesia yakni

Negara Nigeria. Negara Nigeria mengklaim jika 140 jiwa warganya

meninggal dunia akibat dari kecelakaan per harinya. Sedangkan, angka

kematian global pada saat ini tercatat mencapai angka 1,24 juta per tahun nya.

Pada tahun 2030 diprediksi jumlah nya akan melonjak sampai 3 kali lipat

yakni menjadi 3, 6 juta pertahun

(https://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/07/nenhso57-survey-

kecelakaan-lalu-lintas-di-seluruh-dunia-orangorang-yang-mati-dalam-diam )

Jika kecelakaan di jalan raya malah tidak ada yang memperhatikan

yang mengkhawatirkan pada tahun 2020 nanti, jumlah korban tewas atau

cacat dari setiap harinya dapat menyentuh angka lebih dari 60 persen di

seluruh dunia. Upaya yang harus dijalankan dalam rangka mencegah hal

tersebut yakni mengubah cara berfikir masyarakat yang menilai jika

kecelakaan lalu lintas sebagai sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Hampir

seluruh masyarakat Indonesia berpendapat jika kecelakaan lalu lintas di jalan

2
raya merupakan peristiwa yang tidak dapat diprediksikan. Yang lebih parah

ada sekelompok masyarakat yang menilai masalah kecelakaan lalu lintas di

jalan raya adalah masalah takdir. Namun dalam kenyataan sebenarnya

kecelakaan lalu lintas dijalan raya adalah peristiwa yang dapat dihindari.

(https://www.pu.go.id/berita/view/2763/pembangunan-jalan-baru-mampu-

perkecil-tingkat-kecelakaan-di )

Setiap tahun kurang lebih 1,3 juta jiwa meninggal dunia akibat

kecelakaan lalu lintas, dan sekitar 20 – 50 jiwa yang mengalami luka luka

hingga cacat akibat mengalami kecelakan lalu lintas jalan raya.

(http://www.tribunnews.com/otomotif/2016/05/27/korban-tewas-kecelakaan-

lalu-lintas-90-persen-berpenghasilan-rendah-dan-menengah)

Beberapa tahun terakhir, insiden kecelakaan lalu lintas di dunia cukup

tinggi hal ini mendasari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia

(World Bank) mengeluarkan laporan World Record on Road Traffic Injury

Prevention. Jika ditinjau dari laporan tersebut kurang lebih 3000 jiwa

meninggal akibat kecelakaan lalu lintas . Dari data yang didapatkan tersebut

setidaknya 85 % terjadi di negara yang notabene berpenghasilan rendah atau

sedang. (Hildiario, 2015: 3)

Secara nasional setiap tahunnya kasus kecelakaan lalu lintas terus

melonjak. Sejak tahun 2014 hingga terakhir tahun lalu, jumlahnya terus

meningkat. Pada tahun 2014 terdapat 95.906 kasus, di tahun selanjutnya

98.970 kasus, dan 2016 mengalami peningkatan hingga menjadi 105.374

kasus. Pada tahun 2016 tercatat 105.374 kasus, dari total kasus tersebut

korban meninggal dunia tercatat 25.859 orang, luka berat 22.939 orang, luka

3
ringan 120.913 orang. Tetapi jika dibandingkan dengan kasus kecelakaan

yang terjadi, jumlah kasus pada tahun 2012 mengalami penurunan dari

117.949 kasus menjadi 100.106 kasus pada tahun 2013.

(https://sains.kompas.com/read/2017/01/25/180500230/angka.kecelakaan.lalu.

lintas.tahun.lalu.naik

Sebagian besar kecelakaan lalu lintas di jalan raya khususnya di jalan

perkotaan sering terjadi di persimpangan. Salah satu penyebabnya adalah

faktor kesadaran pengemudi akan pentingnya keselamatan. Namun terdapat

faktor lain yaitu faktor fasilitas pelengkap jalan yang kurang memenuhi

standar teknis. Terdapat banyak para pejalan kaki yang menjadi korban

kecelakaan di persimpangan. Sebagian besar penyebab dari kasus tersebut

adalah tersebut bentuk  zebra cross yang kini sudah tidak sesuai untuk

digunakan. Fungsi dari zebra cross salah satunya adalah membuat pejalan kaki

merasa aman dan nyaman pada saat menyebrang jalan yaitu dengan cara

memprioritaskan pejalan kaki ketika menyebrang jalan. (Fasikhullisan,

2015:1)

Zebra cross banyak yang tidak terawat dengan baik, penempatanyya

kurang tepat, warnanya pun banyak yang telah pudar cenderung

mengakibatkan pejalan kaki menyebrang tidak melalui zebra cross

dikarenakan jauh dari tempatnya berdiri. Hal tersebut membuat beberapa

pejalan kaki merasa tidak ada bedanya menyebrang melalui zebra cross

ataupun tidak dan membuat para pejalan kaki mengurungkan niat untuk

menyebrang melalui zebra cross.

(https://www.republika.co.id/berita/trendtek/sainstrendtek/16/01/26/internasio

4
nal/global/15/09/07/jurnalisme-warga/kabar/17/05/30/oqrsvb396-hitam-putih-

jalanan-yang-mulai-tersisihkan )

Pada faktanya penggunaan zebra cross di Indonesia menimbulkan

masalah pada lalu lintas. Menyeberang merupakan kegiatan yang

membutuhkan kesabaran dan keberanian ekstra untuk dilakukan. Harus ada

kesabaran ketika menunggu saat yang untuk menyeberang dan harus ada

keberanian untuk menembus di antara kendaraan yang tengah melaju di jalan

raya. Resiko yang paling ringan yang terjadi ketika penyeberang jalan gagal

melakukan aksinya adalah diperingatkan atau diteriaki dengan suara

klakson. Sementara resiko paling beratnya adalah ditabrak oleh kendaraan

yang sedang melaju. (Jurnaline, 2012, Pria Tertabrak Busway,

<http://jurnaline.com/2012/01/16/pria-tertabrak-busway/>, diakses pada

tanggal 25 November 2018)

Ditinjau dari banyak pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermontor

yang enggan menggunakan zebra cross di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

sedangkan begitu padatnya lalu lintas di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus,

namun banyak para pejalan kaki / pengguna kendaraan bermontor

menyeberang jalan tanpa melalui fasilitas zebra cros, sehingga hal tersebut

dapat menimbulkan rawan akan adanya kecelakaan. Di Jalan Dr.

Lukmonohadi tepatnya di depan Pabrik Djarum dimana zebra cross dibangun

setengah jalan, terjadi kecelakaan lal u lintas sebanyak dua kali dalam kurun

waktu yang sama yakni tahun 2018. kecelakaaan lalu lintas yang pertama

dialami seorang pejalan kaki yang hendak menyeberang jalan melalui zebra

cross yang hanya dibangun setengah jalan. Dan kecelakaan lalu lintas yang

5
kedua dialami pengendara sepeda motor yang hendak menyebrang di tempat

tersebut pula. Di Jalan Sunan Kudus tahun 2018 terdapat pemuda berumur 21

tahun yang mengalami kecelakaan ketika menyeberang jalan melalui zebra

cross yang hanya dibangun setengah jalan. Dan di Perempatan Jalan A. Yani

juga pernah ada peristiwa kecelakaan lalu lintas antara kendaraan roda empat

dan roda dua yang hendak menyeberang. Dimana di Perempatan tersebut tidak

adanya fasilitas penyeberangan jalan zebra cross. Berdasarkan argumen-

argumen tersebut, penulis menulis judul skripsi . Berdasarkan argumen

argument diatas, penulis menulis skripsi ini dengan judul “Pembuatan Zebra

Cross di Kota Kudus Prespektif Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Marka Jalan”

1.2. Identifikasi Masalah

1. Masih banyaknya kecelakaan lalu lintas terjadi akibat

penyeberang jalan tidak menyeberang di atas zebra cross

2. Masih banyaknya pejalan kaki melanggar peraturan seperti

menyeberang sembarangan

3. Banyak zebra cross tidak terawat dengan baik

4. Banyak warna zebra cross yang sudah pudar

5. Banyak zebra cross yang penempatannya kurang tepat

6. Pembuat zebra cross dalam membuat zebra cross kurang sesuai

dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhuungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

6
1.3. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang dibahas penulis tidak melebar sehingga dapat

mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka penulis akan

membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut

adalah :

1. Kesesuaian Zebra cross yang diterapkan di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus dengan Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhuungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang

Marka Jalan;

2. Implementasi Pembuatan Zebra Cross di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus Perspektif Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34

Tahun 2004 tentang Marka Jalan;

3. Faktor penghambat dan kendala kendala yang dihadapi Dinas

Perhubungan kabupaten kudus dalam menerapkan Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Marka Jalan;

1.4. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang diangkat dalam proposal skripsi ini sebagai

berikut:

7
1. Bagaimana pembuatan zebra cross di Kota Kudus Apakah sudah sesuai

dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan?

2. Apa kendala-kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan Kabupaten

Kudus dalam menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014

tentang Marka Jalan?

1.5. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui implementasi pembuatan zebra cross di Kecamatan

Kota Kabupaten Kudus perspektif Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan.

2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan kendala-kendala yang dihadapi

oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus dalam menerapkan Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

8
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian

Zebra cross yang digunakan di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan.

1. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi

bagi penelitian berikutnya, khususnya penelitian hukum tentang

pembuatan zebra cross.

2. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi

tentang kendala-kendala, hambatan-hambatan dan faktor-faktor

penghambat yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan Kabupaten

Kudus dalam menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014

tentang Marka Jalan.

2. Manfaat Praktis

Memberikan informasi tentang pembuatan zebra cross menurut

perspektif Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor

67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

Selain sebagai persyaratan teknis, juga sebagai langkah untuk mencegah

terjadinya pelanggaran lalu lintas dan mengurangi terjadinya kecelakaan

lalu lintas di jalan raya.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan kajian yang penulis lakukan, didapatkan beberapa penelitian

terdahulu yan akan disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1. Daftar Penelitian Terdahulu

N Peneli Judul Persamaa Perbedaan Unsur Kebaharuan

o ti n
1. Hengk Evaluasi Mengkaji Tidak Mengkaji pembuatan

i Keberadaa pembuatan spesifik zebra cross prespektif

Fergia n Rambu marka mengkaji Peraturan Menteri

n dan Marka jalan pembuatan Perhubungan Republik

Jalan zebra cross Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang

Perubahan atas

Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang

Marka Jalan.

Mengkaji kendala

kendala Dinas

Perhubungan Kabupaten

10
Kudus dalam

menerapkan Peraturan

Menteri Perhubungan

Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang

Marka Jalan.
2. Era Pelaksanaa Mengkaji Tidak Mengkaji pembuatan

Elfian n pelaksanaa mengkaji zebra cross dalam

di Kebijakan n suatu implementa implementasi Peraturan

Mengenai kebijakan si kebijakan Menteri Perhubungan

Fasilitas Peraturan Republik Indonesia

Pejalan Menteri Nomor 67 Tahun 2018

Kaki di Perhubunga tentang Perubahan atas

Kota n Republik Peraturan Menteri

Pekanbaru Indonesia Perhubungan Nomor 34

Nomor 67 Tahun 2014 tentang

Tahun 2018 Marka Jalan , pada

tentang penelitian kedua pula

Perubahan tidak membahas

atas mengenai kendala-

Peraturan kendala yang dihadapi

11
Menteri Dinas Perhubungan

Perhubunga dalam menerapkan

n Nomor 34 Peraturan Menteri

Tahun 2014 Perhubungan Republik

tentang Indonesia Nomor 67

Marka Tahun 2018 tentang

Jalan. Perubahan atas

Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang

Marka Jalan.

3. Adi Harmonisa Mengkaji Penelitian Sudah mengkaji

Harya si Rambu mengenai ini hanya pembuatan zebra cross

di dan Marka marka mengkaji prespektif Peraturan

Terhadap jalan marka jalan Menteri Perhubungan

Geometrik perspektif Republik Indonesia

Jalan Pada ilmu teknik Nomor 67 Tahun 2018

Jalan Luar sipil dan tentang Perubahan atas

Kota tidak Peraturan Menteri

melengkapi Perhubungan Nomor 34

dengan Tahun 2014 tentang

dimensi Marka Jalan.

hukum, dan

tidak

12
mengkaji

implementa

si Peraturan

Menteri

Perhubunga

n Republik

Indonesia

Nomor 67

Tahun 2018

tentang

Perubahan

atas

Peraturan

Menteri

Perhubunga

n Nomor 34

Tahun 2014

tentang

Marka

Jalan.

Pertama, Jurnal yang ditulis oleh Hengki Fergian yang berjudul

“EVALUASI KEBERADAAN RAMBU DAN MARKA JALAN DI KOTA

13
PONTIANAK” yang didapatkan di Jurnal Teknik Sipil Indonesia,

Universitas Tanjungpura Pontianak Tahun 2014.

Kesimpulan temuan penelitian ini bahwa gambaran pembuatan rambu

dan marka jalan yang akan datang berupa rekomendasi misalnya penempatan

rambu peringatan tikungan beruntun pada suatu ruas jalan yang terdapat

tikungan beruntun dengan jarak pandang kemudi terbatas serta pemasangan

dan penempatan marka 14 jalan baik marka membujur garis solid maupun

garis putus-putus pada jalan yang belum terdapat marka jalan terutama pada

daerah yang memiliki keterbatasan jarak pandang seperti tikungan sehingga

diperlukan pemarkaan marka membujur garis solid dan pengemudi tidak di

ijinkan untuk mendahului kendaraan lain pada bagian jalan ini sesuai dengan

peraturan yang berlaku.

Penelitian ini tidak membahas spesifik mengenai pembuatan marka

jalan zebra cross saja, tetapi semua marka jalan dan juga rambu jalan.

Penelitian ini hanya membahas dari segi perspektif ilmu teknik sipil saja dan

tidak melengkapi dengan dimensi hukum, sehingga penelitian Hengki Fergian

belum menyentuh persoalan implementasi Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang

Marka Jalan.

Penelitian ini hanya membahas marka jalan perspektif ilmu teknik sipil dan

tidak melengkapi dengan dimensi hukum, dan tidak membahas implementasi

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun

14
2014 tentang Marka Jalan. Berdasarkan keterangan di atas, penelitian yang

penulis susun memiliki kebaharuan karena penelitian pertama sebagaimana

telah disebut di atas belum membahas pembuatan zebra cross dalam

implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor

34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan , penelitian pertama pula tidak

membahas mengenai kendala-kendala yang dihadapi Dinas Perhubungan

dalam menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan.

Kedua, Jurnal yang ditulis oleh Hengki Fergian yang berjudul

“ANALISIS SARANA PENYEBERANGAN DAN PERILAKU PEJALAN

KAKI MENYEBERANG DI RUAS JALAN PROF. SUDARTO, SH

KECAMATAN BANYUMANIK KOTA SEMARANG” yang diterbitkan di

dalam bentuk Jurnal Teknik Neo Teknika, Universitas Pandanaran Semarang

Tahun 2015.

Kedua, Jurnal yang ditulis oleh Era Elfiandi yang berjudul

“PELAKSANAAN KEBIJAKAN MENGENAI FASILITAS PEJALAN

KAKI DI KOTA PEKANBARU” di dalam bentuk Jurnal ilmu Sosial dan

Politik, Universitas Riau Tahun 2015.

Kesimpulan dari temuan penelitian ini bahwa Permasalahan yang

terdapat dalam penelitian terdahulu di antaranya implementasi kebijakan

mengenai fasilitas pejalan kaki di Kota Pekanbaru implementasi kebijakan

fasilitas pejalan kaki (jembatan penyeberangan ) di Kota Pekanbaru kurang

15
maksimal, Keberadaan jembatan penyeberangan jarang dipakai dan

disalahfungsikan. Faktor mengakibatkan kurang maksimalnya implementasi

kebijakan ialah anggaran belum dimiliki Pemerintah kota. Terbatasnya

anggaran, Pemerintah Kota melakukan kerja sama oleh pihak ketiga didalam

penyediaannya/pembangunannya.

Penelitian ini sama sekali tidak mengungkapkan dimensi hukum dan

tidak membahas implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan.

Berdasarkan keterangan di atas, penelitian yang penulis susun

memiliki kebaharuan karena penelitian kedua sebagaimana telah disebut di

atas belum membahas pembuatan zebra cross dalam implementasi Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014

tentang Marka Jalan , pada penelitian kedua pula tidak membahas mengenai

kendala-kendala yang dihadapi Dinas Perhubungan dalam menerapkan

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan.

Ketiga , Skripsi yang ditulis oleh Adi Haryadi yang berjudul

“HARMONISASI RAMBU DAN MARKA TERHADAP GEOMETRIK

JALAN PADA JALAN LUAR KOTA” yang dalam bentuk Skripsi Teknik

Sipil Indonesia, Universitas Indonesia.

16
Kesimpulan dari temuan penelitian ialah Harmonisasi rambu dan

marka jalan dengan geometric jalan ialah sebuah arahan positif mengenai

pengemudi yang melewati jalan antar kota pada ruas jalan Sungai Pasir-Sekar

Rambut Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan, dan ruas jalan Poros –

Singkawang Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Kecelakaan dapat

disebabkan oleh banyak hal. Untuk menekan terjadinya kecelaakaan

penempatan dan pemasangan rambu dan marka jalan dapat menekan

terjadinya kecelakaan. Ditinjau dari teori dan Keputusan Menteri Nomor. 61

Tahun 1993 , maka dapat direkomendasikan mengenai hal: Penempatan

rambu, batas kecepatan di jalan yang mengalami disharmonisasi awalnya

rencana kecepatan 60 km/jam lalu menjadi 40 km/jam. Disebabkan oleh

adanya tikungan beruntun dan jarak pengemudi minim. Agar pengemudi

dapat membaca rambu secara efektif maka rambu harus diletakan 50 m

sebelum jalan. Untuk mempermudah mengarahkan lalu lintas di jalan

Kalimantan Selatan marka garis membujur putud-putus berwarna putih

diletakan di centerline. Tujuannya untuk memberi atahan, informasi positif

pada pengemudi agar pesan dari rambu dan marka jalan tersampaikan

dengan baik.

Ruang lingkup dari penelitian tersebut sebatas hanyalah mengenai

harmonisasi antara rambu dan marka jalan dengan geometric jalan yakni

mengenai penempatan marka dan rambu jalan yang ideal sesuai dengan jarak

pandang pengemudi dan nilai-nilai keselamatan sehingga dapat

menginformasikan jalan yang akan dilalui. Data yang digunakan ialah data

sekunder (situasi dan kondisi jalan yang diteliti yaitu gambar kerja desain

17
geometric jalan eksisting ruas jalan di Wilayah Kota Baru, Kalimantan

Selatan dan data lapangan jalan eksisting ruas jalan Poros Kabupaten

Pontianak, Kalimantan Barat yang memiliki disharmonisasi anatara alinyeen

horizontal dan vertical).

Penelitian ini hanya membahas mengenai harmonisasi rambu dan

marka terhadap geometric jalan pada jalan luar kota dalamperspektif ilmu

teknik sipil dan tidak melengkapi dengan dimensi hukum, dan tidak mengkaji

mengenai implementasi kebijakan dala Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan. Penelitian

ini tidak membahas mengenai kendala- kendala yang dihadapi Dinas

Perhubungan dalam menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 67

Tahun 2018. Berdasarkan keterangan

di atas, penelitian yang penulis susun memiliki kebaharuan karena penelitian

pertama sebagaimana telah disebut di atas belum membahas pembuatan zebra

cross dalam implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori Negara hukum

18
Istilah negara hukum dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi jika

“Negara Indonesia adalah negara hukum” yang penetapannya pada

tanggal 9 November 2001, rumusan ini juga terdapat dalam konstitusi

RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (Assidiqie, 2002:

3) Yang mana sesungguhnya konsep negara hukum tersebut ada lima

yakni “Rechtsstaat, Rule of law, Socialist Legality, Nomokrasi Islam, dan

Negara hukum (Indonesia). Dari lima istilah tersebut berkarakteristik

yang berbeda satu sama lain. (Azhari, 1992: 73-74)

Manusia di dunia ini tidak bisa berpisah dengan hukum.

Sepanjang sejarah yang ada, peran utama dari hukum adalah membuat

suasana sebisa mungkin manusia dapat merasa dilindungi, hidup

berdampingan secara damai, dan menjaga hidup berdampingan dengan

damai dan menjaga eksistensinya yang telah diakui oleh dunia.

(Baharuddin, 2010: 9)

Pemikiran negara hukum muncul di dunia Barat maupun di dunia

Timur yang berprinsip pemerintahan yang diperintah secara absolute atau

otokrasi memerintah berdasarkan kemauannya sendiri tanpa ada

pertanggungjawaban kepada agama, rakyat dan budaya (Arumanadi,

1990: 5)

Pada abad ke 17 dikemukakan beberapa pemikiran yang

bermunculan pada abad tersebut. Penggagas konsep negara hukum yang

pertama adalah Plato dan kemudian dikembangkan Aristoteles. (Schmid,

1980: 10)

19
Mengaguminya sebagai pemikir besar dari Negara dan hukum.

Karya ilmiahnya sangat mempunyai makna dan berkaitan dengan

kenegaraan yakni Politica (the republica); Politicos (the statement), dan

Nomoi. (Schmid, 1980: 11)

Karya ilmiah yang pertama (politea) dibuatnya ketika Negara

bersiruasi kacau di mana pemerintah sudah tidak mementingkan kembali

mengenai kesejahteraan masyarakat, kebenaran dan pula keadilan. Karya

ilmiah pertama (politea) ditulisnya pada situasi Negara sedang kacau di

mana pemerintah tidak lagi memerhatikan keadilan dan kebenaran serta

kesejahteraan masyarakat. Arisoteles berpendapat jika ingin

mewujudkan kesejahteraan di dalam masyarakat, Pemimpin sebuah

Negara haruslah Negara harus dipimpin oleh seorang philosof. Karya

ilmiah kedua berjudul politicus yang isinya antara lain tentang penekanan

pada soal ketaatan seluruh warga dan pemerintah terhadap hukum.

Gagasan Plato dalam nomoi/ kenegaraan ini dikembangkan oleh

Arisoteles. Karya ilmiahnya yang berjudul politica tetang masalah

kenegaraan yang isinya di antara lain ialah membahas tentang masalah

kenegaraan dan perbandingan konstitusi dengan 158 konstitusi di Negara

Yunani pada tahun1981 (Rapar, 1988: 10)

Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang

diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Beliau

mengatakan:Tiga unsur yang diterapkan oleh pemerintah terdapat tiga

unsur, di antara lain sebagai berikut: Pemerintahan yang dilaksanakan

menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang

20
berlaku, pemerintahan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum, dan

pemerintahan yang berdasarkan konstitusi atau dengan kata lain

pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan atas kehendak rakyat.

Ketiga unsur tersebut sesungguhnya ditemukan di semua negara hukum.

Ditinjau dari gagasan Plato pelakasanaan pemerintahan, kita Dapat

melihat eksitensi muncul berdasarkan kesepakatan masyarakat bukanlah

dari paksaaan penguasa. Cita cita dari negara hukum ini dilupakan orang,

baru pada awal abad ke 17 timbul kembali di Barat. Pemikiran negara

hukum ialah reaksi dari pemikiran kekuasaan yang absolute dan yang

paling terutama adalah adanya kekuasaan raja-raja yang semena-mena.

Jadi kesimpulannya sesuai situasi dan kondisi sewaktu Plato dan

Aristoteles mengemukakann cita negara hukumnya. Sementara istilah

negara hukum baru dikenal abad ke-19. Terdapat dua kalimat penting

yang perlu penulis catat yang bersumber dari penjelesan Undang-Undang

Dasar 1945 (UUD 1945). Kalimat itu ialah: Indonesia adalah Negara

yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)” dan Negara Indonesia

berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”. Tidak berdasarkan atas kekuasaan

belaka (maachtsstaat)”. (Rasyid, 1983: 15)

Padmo Wahyono dan Oemar Seno Adji Mereka sangat berjasa

dengan pemikiran pemikiran yang merupakan elaborasi dari segi ilmu

hukum tentang negara hukum yang bagaimana, predikat negara hukum apa

yang tepat dalam konteks Republik Indonesia (Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945). (Adji, 1985: 24-28)

21
Pendapat Oemar Seno Adji negara hukum Indonesia berciri khas

Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat dasar, dan sumber hukum,

negara hukum Indonesia dapat dinamakan negara hukum Pancasila

(adanya jaminan freedom of religion) Kebebasan memeluk agama di

Negara pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tidak ada lagi

tempat atheism atau propaganda anti agama di Indonesia. Berbeda dengan

Amerika serikat yang berfaham freedom of religion dalam arti positif dan

negative. Arti Kebebasan memeluk agama dapat bebas menyembah atau

tidak menyembah, memberi penegasan jika keberadaan Tuhan untuk

menyangkan, untuk percaya pada suatu agama contoh Kristen, atau agama

lain atau tidak ada, (seperti yang kita pilih) di Uni Soviet Negara komunis

memberikan jaminan constitutional kepada propaganda anti agama. Seno

Adji mengungkapkan ciri negara hukum Indonesia tidak adanya

pemisahan rigid mutlak antara agama dan negara, agama dan negara

berada dalam hubungan yang harmonis, di Amerika menganut doktrin

pemisahan agama dan gereja secara ketat.

Padmo Wahyono melihat negara hukum Pancasila, berdasarkan

kekeluargaan dalam di mana yang diutamakan adalah rakyat banyak, tetapi

harkat martabat manusia tetap dihargai. Yang terpenting adalah

kemakmuran maksyarakat bukan kemakmuran perseorangan. Negara

hukum Pancasila dipahami melalui penelaahan pengertian negara

pegertian hukum, dilihat dari sudut asas kekeluargaan (Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 33)

22
Padmi Wahyono mengemukakan hukum adakah alat atau wahana

menyelenggarakan kehidupan Negara atau ketertiban dan kesejahteraan

social.Sehingga dapat disimpulkan konsep rechtstaat dianut Indonesia

ialah konsep negara hukum Pancasila yang bercirikan terdapat hubungan

erat antara agama dan Negara, bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa,

kebebasan beragama dalam arti positif, tidak membenarkan Atheisme, dan

melarang komunisme, asas kerukunan dan kekeluargaan.Istilah negara

hukum dalam bahasa asing adalah rechtsstaat dan the rule of law. abad

XIX Istilah rechtstaat popular di Eropa ,sejak terbitnya buku Albert Venn

Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the study of the law of the

constitution istilah the rule of law popular. Tumpuan dari rechtstaat ialah

hukum continental (civil law) atau modern roman law, Tumpuan dari the

rule of law ialah common Law. (Hajon, 1996: 75-76).

Pendapat M.C. Burkens mengenai Syarat dasar rechtstaat

dikemukakan yakni sebagai berikut:

1. Asas Legalitas (tindakan pemerintah harus berdasar peraturan

perundang-undangan).

2. Pembagian kekuasaan, di mana tidak diperbolehkan kekuasaan

negara hanya bertumpu pada satu tangan.

3. Hak-hak dasar (grondrechten) yakni sasaran perlindungan hukum

untuk rakyat dan memberi batasan kekuasaan dalam membentuk

Undang-Undang.

23
4. Pengawasan pengadilan, untuk masyarakat terdapat saluran melalui

pengadilan yang bebas menilai keabsahan tindakan pemerintah

rechtmatig heids toetsing (Burkens, 1990 :78-79)

Unsur negara hukum menurut Imanuel Kant dan F.J. Stahl yaitu

1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia.

2. Terselenggaranya pembagian kekuasaan untuk menyelenggarakan

hak-hak asasi manusia.

3. Tindakan pemerintah berlandaskan undang-undang.

4. Tersedianya peradilan administrasi. (Kant, 1989: 151-152).

Empat unsur penting hukum menurut Sri Soemantri

1. Pemerintah melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan

hukum.

2. Tersedianya jaminan hak hak manusia.

3. Tersedianya pembagian kekuasaan Negara.

4. Tersedianya pengawasan badan pengadilan (rechterlejke controle)

(Soemantri, 1992 : 28)

Negara hukum Indonesia berasas formal yang menggunakan

hukum dasar sebagai kerangka acuan, yakni Hukum bersumber pancasila,

pokok pikiran pembukaan membentuk cita-cita hukum yang menguasai

hukum dasar tertulis dan tidak tertulis. Yang membentuk peraturan

perundang-undangan tertinggi adalah MPR bersama DPR, sehingga masih

berorientasi integral, system konstitusi sebagai dasar pemerintahan.

Kekuasaan kehakiman kekuasaan merdeka bebas pengaruh kekuasaan

24
pemerintah. Setiap warga Negara sama kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan (Soemantri, 1992: 43).

Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya Indonesia

merupakan negara hukum yang diatur dengan tegas dalam undang-undang

dasar. (Undang- Undang Dasar 1945 perubahan ketiga Pasal 1 ayat (3)).

Presiden RI memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-

Undang Dasar. Artinya presiden dalam menjalankan tugasnya harus

mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah diterapkan dalam Undang-

Undang Dasar (Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat (1)).

Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa

jabatannya… apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum. . . ,

ketentuan ini berarti jika presiden dan wakil apabila terbukti melakukan

pelanggaran hukum dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh

MPR.( Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan ketiga Pasal 7a).

Sumpah presiden dan wakil presiden kepada Allah

subhanahuwata’ala yang berbunyi: Memegang teguh undang-undang dasar

dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturannya

dengan selurus-lurusnya artinya dalam menjalankan tugasnya presiden dan

wakil presiden dilarang menyimpang dari perundang-undangan yang

berlaku, suatu sumpah yang harus dihormati oleh presiden dan wakil

presiden dilarang menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku,

suatu sumpah yang harus dihormati oleh presiden dan wakil presiden

25
dalam mempertahankan negara hukum. (Undang- Undang Dasar 1945

perubahan pertama Pasal 9 ayat (1)).

Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakan hukum dan keadilan pengaruh trias politica,

artinya ketentuan ini sesuai dengan ciri ciri negara hukum (Undang-

Undang Dasar 1945 mengatur tentang perubahan ketiga Pasal 24 ayat (1)).

Prinsip equality before the law yakni : “Segala warga Negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjujung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

(Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1)).

Unsur-unsur negara hukum mengenai hak manusia diatur oleh

Pasal 28 A sampai Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 perubahan

kedua . Sementara itu, Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama

masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan

seperti yang ada dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

(Sardol, 2014: 1)

Ketentuan ciri negara hukum yakni: “Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda bedakan orang.” (Undang-

Undang No.14 Tahun 1970 Pasal 5 ayat 1).

2.2.2. Pengertian dan Ruang Lingkup Keberlakuan Hukum

26
Keberlakuan hukum atau dapat juga disebut dengan kekuatan

hukum dapat diartikan sebagai kemampuan hukum bertujuan untuk

memaksa orang agar taat hukum tersebut. (Rosdalina, 2017: 86)

Dalam mempelajari ilmu hukum didalamnya ditemukan teori

mengenai keberlakuan hukum (Zevenbergen, 1925), yang sampai kini

masih berlaku yakni keberlakuan hukum secara yuridis (apakah

pembentukannya dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis).

Keberlakuan hukum secara sosiologis (apakah masyarakat mau

menerimanya /efektif atau tidak dalam masyarakat) dan keberlakuan

hukum secara filosofis (apakah dapat dipertanggungjawabkan secara

filosofis), mengenai hal ini diperlukan ilmu filsafat hukum. (Luhulima,

2007: 8)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukan adanya hukum yang berlaku

di Indonesia di mana dalam pasal tersebut disebutkan jika negara

Indonesia adalah negara hukum. Sesuai dengan yang tertuang dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia sebagai negara hukum

memiliki cita cita untuk dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia., mewujudkan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdalamaian abadi dan keadilan sosial pastinya tidaklah ketertiban dunia

27
secara global melainkan secara khusus berawal pada ketertiban internal

dari Negara (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)

Bruggink membagi keberlakuan kaidah hukum menjadi tiga

macam keberlakuan,yaitu : keberlakuan faktual atau empiris, keberlakuan

normatif atau formal, dan keberlakuan evaluative (Bruggink, 1999: 160)

1. Keberlakuan Faktual atau Empiris

Kaidah hukum yang berlaku secara factual atau nyata jika

masyarakat , untuk siapa kaidah tersebut berlaku mematuhi kaidah

hukum tersebut. Maka keberlakuan factual dapat ditetapkan dengan

sarana pe/nelitian empiris tentang perilaku para warga masyarakat.

Kaidah hukum dapat dikatakan mempunyai keberlakuan factual jika

kaidah tersebut dalam kenyataan sungguh sungguh dipatuhi

masyarakat dan para pejabat yang berwenang dan sungguh sungguh

diterapkan dan ditegakkan. Maka, kaidah hukum tersebut dinyatakan

efektif. Karena dapat mempengaruhi masyarakat dan para pejabat.

Kenyataan tentang terdapatnya keberlakuan faktual ini dapat diteliti

secara emprikal oleh sosiologi hukum dengan menggunakan

metode-metode yang lazim dalam ilmu-ilmu sosial. Berdasarkan

ilmu Sosiologi Hukum, maka hukum tersebut tampil sebagai ”das

Sein-Sollen”, yaitu kenyataan sosiologikal (perilaku sosial yang

benar-benar dilakukan dalam kenyataan masyarakat riil) yang

berdasarkan keharusan normatif (kaidah). Kaidah hukum yang

berlaku jika masyarakat, untuk siapa kaidah hukum tersebut

28
diberlakukan, menaati kaidah hukum tersebut. Maka, keberlakuan

faktual dapat ditetapkan dengan saran penelitian empiris tentang

perilaku warga masyarakat. Jika dilihat dari penelitian tersebut itu

terlihat jika warga masyarakat dipandang secara umum mempunyai

perilaku dengan mengacu kepada keseluruhan kaidah hukum, maka

terdapat keberlakuan faktual kaidah tersebut. Itulah sebabnya orang

menyebut pula keberlakuan faktual hukum sama dengan efektivitas

hukum. (Bruggink, 1990: 149)

2. Keberlakuan Normatif atau Formal

Hukum formal diketahui dan ditaati sehingga dapat berlaku secara

umum. Belum ada bentuknya, hukum baru merupakan perasaan

hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum,

maka karena belum berkekuatan mengikat. (Kusnardi, 1980: 45)

Keberlakuan normative ilmu hukum bukan merupakan ilmu empiris

(Philipus, 2005: 1) Sementara itu, obyek telaahnya mengenai

tuntutan perilaku dengan cara tertentu yang mana kepatuhannya

tidak bergantung seluruhnya kepada kehendak bebas yang

bersangkutan, melainkan kekuasaan publik dapat memaksakan

kehendaknya. (Bruggink, 1999: 160)

3. Keberlakuan Evaluatif

Yaitu jika kaidah hukum berdasarkan isinya dipandang bernilai atau

penting. Setiap individu akan merasa mempunyai kewajiban

menaati kaidah hukum, yang ia pandang bernilai atau sangat penting

untuk perilaku sosialnya. Penerimaan kaidah itu terjadi disebabkan

29
oleh isi kaidah hukum tersebut dipandang benar. (Bruggink, 1999:

153)

Teori-teori mengenai keberlakuan hukum biasanya membedakan

tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal berlakunya kaiah-

kaidah hukum tersebut biasanya disebut gelding (bahasa Belanda) atau

geltung (bahasa Jerman). Berhubungan dengan hal berlakunya kaidah

hukum, Berkaitan dengan hal berlakunya kaedah hukum, Soerjono

Soekanto dan Mustafa Abdullah mengemukakan terdapat tiga macam

keberlakuan kaedah hukum :

1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, jika ketentuannya

berdasarkan kepada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans

Kelsen), atau jika terbentuk menurut cara yang sudah ditetapkan

(W. Zevenbergen), atau apabila terdapat hubungan keharusan di

antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann).

2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, jika kaedah tersebut

efektif. Yang mana berarti kaedah tersebut dapat dipaksakan

berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga

masyarakat (teori kekuasaan), atau kaedah tersebut berlaku sebab

diakui dan dapat diterima oleh warga masyarakat (teori pengakuan).

3. Kaedah hukum berlaku secara filosofis, yang berarti sesuai dengan

cita-cita hukum sebagai nilai positif yang paling tinggi. (Soekanto,

1980: 13)

30
Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah untuk dapat

berlaku secara efektif kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam

keberlakuan tersebut karena :

1. Bila kaedah hukum hanya dapat berlaku secara yuridis maka

mungkin kaedah hukum tersebut dapat disebut kaedah mati (dode

regel).

2. Bila kaedah hukum hanya dapat berlaku secara sosiologis maka

kaedah hukum menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel).

3. Bila kaedah hukum hanya dapat berlaku secara filosofis, maka

kaedah hukum hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius

constituendum). (Soekanto, 1980: 14)

Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah agar kaedah

hukum atau peraturan tertulis berfungsi, minimal terdapat empat faktor,

yakni:

a. Kaedah hukum atau peraturan sendiri.

b. Petugas menegakkan/ yang menerapkan.

c. Fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaedah

hukum.

d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut

(Soekanto, 1980: 14)

Setiap jenjang keberlakuan hukum, menurut Kelsen, berstruktur

“keharusan” yang menggabungkan antara hukum yang lebih tinggi dengan

31
yang rendah, sehingga masing masing hukum memperoleh validitas

keberlakuannya. Keharusan tersebut berasal dari ketentuan konstitusi atau

undang-undang Negara. Suatu peraturan atau hukum berlaku valid jika

memiliki norma yang diturunkan dari hukum “diatas”-nya. Demikian

seterusnya, validitas hukum tersusun secara bertingkat-tingkat dan

membentuk bangun piramida hirearki norma-norma dengan sebuah

“norma dasar” atau Grundnorm sebagai puncaknya. Hubungan antara

grundnorm atau norma dasar dengan norma-norma yang ada di bawahnya

tersusun secara silogistik dan dalam hal ini grundnorm merupakan materi

keharusan logis yang keberadaannya bersifat diandaikan. Grundnorm

hanya berhubungan dengan sebuah konstitusi yang ditetapkan melalui

ketentuan legislative atau kebiasaan legislatif. Atas dasar gagasan ini,

keharusan yang berlaku bagi perilaku individu diterima melalui ketentuan

yang disusun berdasarkan konstitusi. Kelsen menyatakan bahwa seseorang

harus berperilaku sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh konstitusi

atau undang-undang Negara. (Sumaryono, 2002: 193)

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto

Terdapat beberapa factor yang dapat mempengaruhi penegakan

hukum berdasarkan pendapat Soerjono Soekanto yakni sebagai

berikut:

1. Faktor Hukum: Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan

terkadang ada hubungan tidak harmonis antara kepastian hukum

32
dan keadilan, karena konsep keadilan bersifat abstrak, sedangkan

kepastian hukum prosedur normatif. Suatu kebijakan tidak

berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan

sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan hukum.

Penyelenggaraan hukum bukan hanya law enforcement, tetapi

juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum proses

penyerasian nilai kaedah dan pola perilaku nyata dalam rangka

mencapai kedamaian.

2. Faktor Penegakan Hukum: Fungsi hukum, kepribadian petugas

penegak hukum berperan penting, kalau peraturan sudah baik,

tetapi kualitas petugas kurang baik, itu meenjadi masalah. Maka,

salah satu kunci keberhasilan penegakan hukum ialah

kepribadian penegak hukum.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung mencakup perangkat

lunak dan perangkat keras, contoh perangkat lunak pendidikan.

Pendidikan diterima Polisi condong kepada hal praktis

konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami

hambatan.

4. Faktor Masyarakat: Penegak hukum berasal dari masyarakat dan

untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat.

33
5. Faktor Kebudayaan: Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-

hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan.

(Soekanto, 2004:4)

Faktor pendukung dalam pelaksanaan hukum meliputi

substansi hukum, struktur hukum, kultur dan fasilitasnya. Faktor

penghambat dalam pelaksanaan hukum adalah karena norma hukum

yang kabur aparatur penegak hukum yang korup, atau masyarakat

yang tidak taat hukum atau fasilitas minim. (Dahlan, 2017: 186)

2.2.4. Peraturan Menteri dalam Hirearki Perundang-undangan

Keberadaan jenis peraturan perundang undangan diatur

dalam Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011

yang menegaskan: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan

yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi

Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi

yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau

Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang

setingkat.” (Undang- Undang No. 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pasal 8 ayat (1))

34
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas

jenis peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri”,

namun frase “…peraturan yang ditetapkan oleh…

menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan Peraturan Menteri

sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian, Peraturan Menteri setelah berlakunya Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 tetap diakui keberadaannya. (Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan pasal 8 ayat (1))

Kekuatan mengikat peraturan menteri ditinjau dari Pasal 8

ayat (2) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 yakni “Peraturan

Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.” Maka dari ketentuan tersebut, terdapat dua syarat

supaya peraturan menteri (peraturan yang sebagaimana agar

peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)

Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 memiliki kekuatan

mengikat sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi; atau

35
2. dibentuk berdasarkan kewenangan. (Undang- Undang No. 12

tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan pasal 8 ayat (2)).

Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan

perundang-undangan dilihat dasar kewenangan pembentukannya,

yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:

1. atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan

2. delegasi pembentukan peraturan perundan-undangan

(Soehino, 1981:1)

Atribusi kewenangan perundang-undangan mempunyai arti

sebagai penciptaan wewenang baru yang dilakukan oleh

konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever)

yang kemudian diserahkan kepada suatu organ yang bernama negara,

baik yang telah ada maupun yang dibentuk baru untuk hal tersebut.

Contoh dari atribusi dalam bidang peraturan perundang undangan di

dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni meliputi Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu) dan Peraturan Daerah (Perda). Contoh jenis atribusi

peraturan perundang-undangan di luar Undang-Undang Dasar 1945

adalah Peraturan Presiden (Perpres), yang dulu biasa disebut dengan

sebutan Keputusan Presiden yang mempunyai sifat mengatur yang

dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

(Attamimmi, 1990: 352)

36
Sedangkan Delegasi dalam bidang perundang-undangan

pengertiannya adalah penyerahan/ pemindahan kewenangan untuk

membentuk peraturan dari pemegang kewenangan semula yang

memberdegelasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris)

yang bertanggung jawab melaksanakan kewenangan tersebut pada

delegataris sendiri. Sementara tanggungjawab yang dimiliki delegans

sangat terbatas. (Attamimmi: 1990, hlm. 347)

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

delegasi, contoh diilustrasikan seperti sebagai berikut: “Ketentuan

lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk

menjadi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.” (Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 19 ayat (4))

Peraturan menteri yang dibentuk berdasar perintah Undang-Undang

itu dapat diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan

berdasar delegasi (delegated legislation). Sehingga kesimpulan secara

umumnya adalah, secara umum peraturan perundang-undangan

delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang terbentuk

berdasarkan perintah dalam peraturan perundang-undangan yang

secara hirearki lebih tinggi. (Diantha, 2017: 158)

Jika ditinjau kembali dari permasalahan keberadaan dan

kekuatan mengikat dari peraturan perundang-undangan yang diatur

oleh Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011,

termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) Undang- Undang Nomor

37
12 Tahun 2011 selain mengatur keberadaan peraturan perundang-

undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan yang secara hirearki lebih tinggi).

Pasal 8 ayat (2) F Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011

menegaskan pula jika terdapat peraturan perundang-undangan “yang

dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Istilah kewenangan yang terdapat pada ketentuan pasal

tersebut yang dimaksud bukanlah kewenangan membentuk peraturan

melainkan kewenangan pada ranah bidang lainnya. Misalnya menteri

menjalankan kewenangan pemerintahan tertentu yang merupakan

kekuasaan Presiden. Artinya jika Menteri membentuk Peraturan

Menteri tanpa disertai perintah peraturan perundang-undangan yang

secara hirearki lebih tinggi. Maka Peraturan Menteri tersebut tetaplah

diklasifikasikan sebagai peraturan perundang-undangan. Sedangkanm

di dalam doktrin tidak terdapat jenis peraturan perundang-undangan

yang seperti tersebut.

Hal ini memerlukan untuk dilakukan riset lebih lanjut melalui

perspektif Ilmu Perundang-undangan terutama yang berkaitan dengan

peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum yang

mempunyai sifat hirearkis , Hans kelsen / Joseph Raz chain of validity

mengemukakan apabila norma hukum yang mempunyai validitas

lebih rendah mencari validitasnya pada norma hukum yang

validitasnya lebih tinggi (Asshiddiqqie: 2006, hlm. 157)

38
Di dalam undang undang sebelumnya Undang – Undang No

10 tahun 2004 tidak dikenal peraturan perundang-undangan

sebelumnya Undang-undang Nomor 10 tahun 2004. Dalam undang-

undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), tidak

dikenal peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar

kewenangan, termasuk dalam hal Peraturan Menteri. Peraturan

Menteri yang dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011, dikenal secara teoritik sebagai

peraturan kebijakan (beleidregels).Yaitu suatu keputusan pejabat

administrasi negara yang bersifat mengatur dan secara tidak langsung

bersifat mengikat umum, namun bukan peraturan perundang-

undangan.(Manan, 1997: 169). Peraturan kebijakan tidak dapat diuji

oleh Mahkamah Agung yang berwenang melakukan pengujian

terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,

karena tidak termasuk peraturan perundang-undangan. Adanya

ketentuan dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011, dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara Peraturan

Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan dengan Peraturan Menteri

yang merupakan peraturan perundang-undangan. (Efendi, 2016 :115)

Kedudukan Peraturan Menteri yang telah terbentuk sebelum

Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 berlaku, tetaplah

diberlakukan sepanjang tidak terdapat pencabutan ataupun

pembatalan. Tetapi dalam faktanya terdapat dua jenis kedudukan

39
Peraturan Menteri yang terbentuk Undang- Undang Nomor 12 Tahun

2011 berlaku. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar

perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Peraturan

Menteri terbentuk tidaklah berdasarkan kepada perintah dalam

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (berdasarkan

kewenangannya), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Yang

menyebabkan hal tersebut dikarenakan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 berlaku sejak tanggal diundangkan (Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 104), sehingga adanya Peraturan Menteri

yang dibentuk sebelum tanggal diundangkannya Undang- Undang

Nomor 12 Tahun 2011 masih tunduk atas dasar ketentuan yang

terdapat di dalam undang-undang yang lama (Undang- Undang

Nomor 10 Tahun 2004). Akibatnya adalah hanya Peraturan Menteri

yang berkategori pertama seperti itu yang dapat di uji oleh Mahkamah

Agung. (Rumiartha, 2015: 13)

Berikutnya kedudukan Peraturan Menteri yang terbentuk

Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 berlaku yang terbentuk

berdasarkan atas perintah peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi maupun yang terbentuk berdasarkan atas kewenangan di dalam

bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada pada menteri.

Mempunyai kualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan. Maka,

Peraturan Menteri tersebut berkekuatan hukum yang sifatnya yakni

mengikat umum dan dapat diuji oleh Mahkamah Agung, jika dinilai

40
sudah bertentangan dengan Undang-undang. Kedudukan Peraturan

Menteri yang terbentuk tidak berdelegasi dan berdasarkan atas

kewenangan dalam bidang administrasi negara butuh untuk dilalukan

pengkajian kembali.

2.2.5. Marka Jalan dan Pedoman Pembuatan Marka Jalan

Komponen penting yang harus dibangun berdasarkan

perencanaan, perancangan, pengelolaan yang baik berdasar prinsip

prinsip yang ada yakni sering disebut dengan sebutan infrastruktur.

Di mana di jalan raya tersedia bermacam macam infrastruktur di

antaranya media jalan, penerangan jalan, geometric jalan, rambu

rambu lalu lintas, dan marka jalan. (Susanti, 2018: 23)

Marka jalan sebagai komponen bertujuan mengendalikan

lalu lintas untuk meningkatkan kelancaran keamanan sistem jalan.

Sehinngga marka dapat dijadikan sarana informasi (larangan,

perintah, dan petunjuk) pemakai jalan selain itu marka jalan dapat

mempengaruhinya jalan. (Haryadi, 2012: 23)

Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan

Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau

tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis

serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus

Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.

(Undang- Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas pasal

1 angka 18).

41
Dimana marka jalan mempunyai berbagai jenis diantaranya

ialah sebagai berikut :

1. Bentuk garis utuh dan terputus :

a. Garis utuh (batas jalur dan sebagai tanggul , warna

kuning bersifat lebih keras, tidak boleh digilas).

b. Garis terputus-putus (pemisah jalur boleh digilas, namun

melihat situasi arus). (Atmodihardjo, 1994 : 55)

2. Bentuk paku jarang dan rapat

a. Dipasang jarang karena merupakan batas jalur.

b. Dipasang rapat karena merupakan pemisah jalur/ tanggul.

3. Bentuk tulisan STOP dipasang di persimpangan karena

merupakan penegasan batas berhenti, jarak nya dekat dengan

zebra cross. (Atmodihardjo, 1994: 56)

Marka jalan terletak di permukan jalan, terutama marka

garis sebagai pesan perintah, larangan dan perintah. Marka jalan

garis melintang membujur dan serong baik garis utuh, putus-putus

ataupun ganda berukuran sesuai standard yang ditentukan

keputusan menteri. (Perhubungan KM 60 tahun 1993 tentang

Marka Jalan)

42
Marka membujur, garis utuh berfungsi sebagai larangan

bagi kendaraan yang melintasi garis tersebut, untuk menandakan

tepi jalur lalu lintas dan untuk mengatur lalu lintas sementara waktu

dapat digunakan alat pemisah jalur yang berfungsi sebagai marka.

Marka membujur garis putus-putus, berfungsi sebagai peringatan

bagi kendaraan, pengarah lalu lintas. Marka membujur yakni garis

utuh di depan serta sebagai pembatas jalur pada dua arah. Marka

membujur garis ganda terdiri dari utuh dan putus-putus maka

fungsinya agar lalu lintas dapat melintasi yang berada pada sisi

garis putus-putus dapat melintasi garis ganda tersebut dan lalu

lintas yang berada pada sisi utuh dilarang melintasi garis ganda

tersebut. (Supiyono, 2018: 277)

Marka melintang ialah tanda tegak lurus sumbu jalan,

seperti garis henti zebra cross atau dipersimpangan. Marka

melintang merupakan garis utuh sebagai batas berhenti kendaraan

yang diwajibkan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas. (Danang,

2011: 16)

Zebra cross adalah sarana penyeberangan pejalan kaki yang

berkaitan dengan pengaturan traffic light. Pada bagian ujung dan

pangkalnya akan terjadi penumpukan pejalan kaki yang dapat

dimanfaatkan sebagai main gate tapak terdekat. Pada saat giliran

pejalan kaki menyeberang dan sampai di ujung zebra cross maka

pada lokasi tersebut merupakan daerah strategis sebagai side gate,

terutama sebagai usaha menangkap pengunjung bangunan-

43
bangunan umum, seperti pasar dan pusat perbelanjaan. (Laksito,

2014:108)

Zebra cross termasuk marka melintang mempunyai definisi

sebagai fasilitas penyeberangan bertanda garis-garis berwarna putih

searah arus kendaraan dan dibatasi garis melintang lebar jalan.

Zebra cross diletakkan di jalan dengan jumlah aliran penyeberang

jalan cenderung sedikit, agar memudahkan penyeberang

berkesempatan menyeberang dengan aman. (Mulyawati, 2016: 8)

Berbeda dengan Zebra cross yang diletakan di depan lampu

lalu lintas tak bermanfaat, karena pejalan kaki, tanpa zebra cross,

tidak akan melintas jalan jika lampu lalu lintas berwarna hijau, atau

lampu untuk pejalan kaki berwarna merah. (Karyono, 2005: 44)

Ketentuan dalam memasang Zebra cross yakni sebagai berikut:

1) Zebra cross dipasang pada jalan berarus lalu lintas,kecepatan lalu

lintas dan arus pejalan kaki yang relatif rendah.

2) Lokasi  zebra cross berjarak pandang yang cukup, agar tundaan kendaraan

yang disebabkan penggunaan fasilitas penyeberangan masih dalam batas

yang aman. (Ikbal, 2014) Zebra cross selalu dibuat bersama-

sama Garis Stop dengan daerah penempatan terutama pada :

a) Persilangan tegak lurus

b) Persilangan serong

44
c) Pada jalan lurus di daerah yang terdapat cukup banyak pejalan

kaki, misalnya daerah pertokoan, rumah sakit, sekolah, dll.

(Asmoro, 1990: 9- 11)

Ketentuan dalam pembuatan Zebra Cross tidak

diperbolehkan diletakan di atas pulau maya / mulut persimpangan.

Zebra cross pada jalan minor harus diletakkan 15 meter di belakang

garis henti dan sebisa mungkin dilengkapi dengan marka jalan yang

mengarahkan lalu lintas kendaraan. Penempatan zebra cross harus

Memperhatikan interaksi sistem prioritas, yaitu volume yang

membelok, kecepatan dan penglihatan pengemudi. Zebra cross

yang ditempatkan di jalan lebar lebih dari 10 meter atau lebih dari 4

lajur dibutuhkan pelindung. (Iswanto, 2006: 25)

Zebra Cross berupa deret garis membujur yang ditempatkan

melintang arah lalu lintas berfungsi sebagai tempat menyeberang

bagi pejalan kaki. Yang mana ketentuan ukuran pembentukan zebra

cross yakni sebagai berikut

a) Garis membujur tempat penyeberangan orang harus memiliki

lebar 0,30 meter dan panjang minimal 2,50 meter

b) Celah diantara garis-garis membujur minimal 0,30 maksimal

0,60 meter

Penempatan zebra cross yakni pada daerah yang

diperuntukan penyeberangan jalan pada jalan lurus atau

persimpangan. Setiap marka penyeberangan pada jalan lurus harus

45
dilengkapi dengan rambu penyeberangan. Perencanaan untuk marka

ini harus mengikuti Pt. 011/T/BT/1995. (Departemen Kimpraswil,

2004: 17)

46
Bagan 2.2.5. Alur Perencanaan Marka Jalan

Tentukan area (ruas jalan) yang akan


diberi marka

Persiapan:
Peta
SDM
Teknis

Kondisi permasalahan dan perilaku lalu lintas


dan kondisi jalan melalui pengenalan lapangan

Tetapkan tujuan dan sasaran


pengaturan lalu lintas

Perencanaan marka

Pemeriksaan
yang
berwajib

(Departemen
Implementasi Kimpraswil, 2004: 23)

47
Sesuai ketentuan penyelenggaraan SK Menteri Perhubungan No.

60 tahun 1993, setiap usulan implementasi marka baru harus

dikonsultasikan dan mendapatkan persetujuan dari Direktorat Jenderal

Perhubungan Darat atau Dinas yang memiliki kewenangan pembinaan

perhubungan di daerah. (SK Menteri Perhubungan No. 60 tahun 1993)

Direktur Jendral Perhubungan Darat melaksanakan pembinaan

dan pengawasan teknis atas penyelenggaraan marka jalan yang meliputi:

1. Penentuan persyaratan teknis marka jalan

2. Penentuan petunjuk teknis yang mencakup penetapan pedoman,

prosedur, dan tata cara penyelenggaraan marka jalan

3. Pemberian bimbingan teknis dalam keterampilan teknis para

penyelenggara marka jalan

4. Pemantauan dan penilaian atas penyelenggaran marka jalan

5. Pemberian saran teknis dalam penyelenggaraan jalan. (Supiyono,

2018: 283)

Marka Jalan dibuat dengan menggunakan bahan berupa: cat;

termoplastic; coldplastic; atau prefabricated marking. Marka Jalan harus

terbuat dari bahan yang tidak licin, bahan harus mampu memantulkan

cahaya dan memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Direktur

Jenderal (Peraturan Menteri Nomor 67 Tahun 2018 Pasal 14). Ketentuan

teknis Bahan marka jalan yakni sebagai berikut:

1. Kualitas bahan marka jalan harus mengacu pada SNI No. 06 -4825

-1998 tentang spesifikasi cat marka jalan

48
2. Pembuatan marka jalan dapat menggunakan bahan-bahan sebagai

berikut:

a. Cat

b. Thermoplastic

c. Pemantul cahaya (reflectorization)

d. Marka terpabrikasi (prefabricated marking) Resin yang

diterapkan dalam keadaan dingin (cold applied resin based

markings) (Departemen Kimpraswil, 2004: 3)

Syarat penempatan Fasilitas Penyeberangan Sebidang menurut

Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, syarat

penempatan fasilitas penyeberangan sebidang adalah:

1. Marka nonmekanik

Marka jalan merupakan campuran antara bahan pengikat pewarna,

dan bola kaca kecil, untuk memantulkan cahaya agar marka dapat

terlihat jelas pada malam hari. Bahan dapat dikelompokkan atas:

a) Cat, biasanya merupakan bahan marka jalan tidak awet karena

cepat hilang, maka hanya untuk jalan yang jarang kendaraan.

b) Termoplastic, yakni bahan diperlukan pada jalan berarus lalu

lintas yang tinggi.

c) Cold-plastic, seperti termoplastik digunakan pada jalan

dengan arus yang tinggi,

2. Marka mekanik adalah paku jalan yang biasanya dilengkapi dengan

reflector. Marka jenis ini ditanam/ dipaku ke permukaan jalan,

melengkapi marka non-mekanik. (Danang, 2011: 18)

49
Pembuatan Marka Jalan dilakukan oleh badan usaha yang telah

memenuhi persyaratan: dimulai dari spesifikasi teknis bahan, bahan,

perlengkapan dan peralatan produksi; dan sumber daya manusia yang

berkompenten di bidang perlengkapan jalan. Persyaratan sebagaimana

dimaksud dilakukan penilaian oleh Direktur Jenderal. Badan usaha yang

telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud didaftar di Direktorat

Jenderal sebagai badan usaha pembuat Marka Jalan Tata cara penilaian

dan pendaftaran sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

(Peraturan Menteri Nomor 34 Tahun 2014) Pertimbangan-pertimbangan

dalam perencanaan penempatan marka jalan diantara lain:

a) Kondisi perkerasan jalan

Marka jalan sebaiknya tidak dipasang pada jalan berkondisi

perkerasannya buruk atau direncanakan untuk direhabilitasi dalam

jangka pendek.

b) Kondisi lingkungan jalan

Pemilihan bahan dan penerapan marka jalan perlu memperhitungkam

kondisi lingkungan, seperti temperature, curah hujan, dan

kelembaban permukaan jalan sehingga marka dapat bertahan sesuai

dengan usia rencana.

c) Kondisi dan karakteristik lalu lintas

Perencanaan dan pelaksanaan marka jalan perlu memperhitungkan

kecepatan, jenis, dan kelompok kendaraan yang dominan pada ruas

dimana marka akan dipasang sehingga penempatan marka dapat

50
secara efektif memberikan arahan sesuai kondisi lalu lintas yang

diinginkan perencana.

d) Aspek keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.

e) Selain itu, pemasanagan marka sebaiknya memperhitungkan keadaan

lalu lintas sehingga tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.

(Departemen Kimpraswil, 2004: 3)

2.3. Landasan Konseptual

Negara, sebagaimana yang didefinisakan oleh Max Weber dalam bukunya

From Max Weber Essays in Sociology (1958), negara adalah suatu

masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik

secara sah dalam suatu wilayah. Max Weber mengatakan : “The state is

human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use

of physical force within a given territory” yang artinya yakni “Negara yakni

masyarakat yang bermonopoli dengan menggunakan kekerasan fisik yang sah

disebuah wilayah.” (Weber, 1958:78)

Secara umum Negara dapat dikatakan sebagai suatu daerah territorial yang

rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil

menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-

undangannya melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang

sah. (Budiardjo, 1972: 40)

Dalam hal mengkaji penerapan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

yang merupakan aparat Negara sangat berwenang untuk dikaji dengan cermat

dan teliti sebab, hal ini berkaitan dengan hasil keluaran dari kebijakan yang

dirasakan oleh rakyat langsung. Studi tentang pengimplementasian kebijakan

51
yang dikeluarkan pemerintah sebagai aparatur Negara sangatlah kompeten

untuk dikaji secara seksama, karena ini menyangkut output dari kebijakan

yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Penerapan kebijakan

semestinya jika disebut sebagai bentuk nyata turunan dari undang-undang

dari mulai pelaksanaan penerapan kebijakan hingga pada tahap evaluasi

penerapan kebijakan. Sehingga dari itu hendak diadakan pemaparan dari

konsep-konsep yang sesuai dengan batasan-batasan dari proposal penelitian

ini.

Terdapat hal-hal pokok yang dijadikan kerangka konseptual dalam

penelitian yang hendak dilaksanakan. Maka dari itu penulis ingin mengutip

pendapat beberapa ahli mengenai masalah tersebut yang ingin dikaji.

“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu

program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan

yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara

yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun

untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-

kejadian.” (Wahab, 2008: 65)

Proses implementasi kebijakan public baru dapat dimulai apabila tujuan-

tujuan kebijakan public telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan

dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Suatu

proses implementasi dapat digambarkan secara sistematis seperti berikut ini :

Bagan 2.3. Landasan Konseptual

Dampak segara Dampak akhir


Kebijakan Proses Pelaksanaan kebijakan kebijakan

52
Sumber: Bambang Sunggono, 1994: 139

Dari skema tersebut terlihat bahwa proses implementasi dimulai dengan

suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses implementasi terdiri dari

hasil kebijakan yang segera atau disebut sebagai “policy performance”. Teori dari

beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward dalam pandangan Edward III,implementasi

kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :

1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan

agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, tujuan dan

sasaran kebijakan kepada kelompok sasaran, maka dapat mengurangi

distorsi implementasi.

2) Sumber daya berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi

implementor dan sumber daya finansial.

3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik implementor. Apabila

implementor berdisposisi baik, maka implementor menjalankan

kebijakan dengan baik sesuai pembuat kebijakan.

4) Struktur Birokrasi, susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi

yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan

bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda

diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga

menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian

laporan. (Edward III, 1980;125) Struktur organisasi yang terlalu panjang

akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,

yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan

53
aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari stuktur organisasi adalah

Standard Operating Procedure (SOP) dan fragmentasi. (Subarsono,

2008:89)

Berdasarkan pemahaman di atas konklusi dari implementasi jelas mengarah

kepada pelaksaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya

adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian

terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep

implementasi terdapat kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa

dalam prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan

instrument. Dalam peraturan menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang Marka Jalan yang dimaksud penulis dalam melaksanakan

Peraturan Menteri tersebut adalah aparatur yang bertanggungjawab dalam

pelaksanaan Peraturan Menteri.

Aparatur yang berwewenang dalam hal ini yaitu Menteri Perhubungan.

Penjelasan mengenai Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor

67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang Marka Jalan mengenai konsep pembinaan adalah segala

upaya atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat

mengenai hal hal yang berkaitan dengan marka jalan. Tujuan utama

penyelengaraan peraturan menteri adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat,

maka dari itu menteri perhubungan melalui Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan menegaskan ada beberapa ruang

54
lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi spesifikasi teknis Marka

Jalan, penyelenggaraan Marka jalan, pembuatan marka jalan. Sekarang yang

dilakukan oleh Dinas Perhubungan, yaitu:Merencanakan pengaturan lalu lintas di

jalan kota termasuk jalan propinsi, jalan nasional , dan merencanakan kebutuhan,

pengadaan, penempatan, dan pemeliharaan rambu-rambu lalu lintas, marka jalan

dan alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL).

Selanjutnya ketika kita berbicara tentang bagaimana implementasi suatu

kebijakan dapat berjalan efektif tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dimana

factor-faktor yang dimaksud, yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Pendukung : Faktor pendukung yang dimaksud di sini adalah segala

hal yang sifatnya membantu tersosialisasinya kebijakan pemerintah dalam

hal ini adalah Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

2. Faktor Penghambat Faktor Penghambat sendiri di sini merupakan segala

sesuatu yang menjadi pengganjal atau yang menghalangi terselenggaranya

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

55
2.4. Kerangka Berfikir

 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

 Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993 tentang Prasarana Dan Lalu Lintas Jalan

 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

 Ditjen Bina Marga (1990). Petunjuk Perencanaan Marka Jalan

 Ditjen Bina Marga (1991). Tata Cara Pemasangan Rambu Dan Marka Jalan Perkotaan.

 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : Km 60 Tahun 1993 tentang Marka Jalan Menteri Perhubungan

Permasalahan : Bagaimana pembuatan zebra Permasalahan : Apa kendala-kendala yang dihadapi

cross di Kota Kudus Apakah sudah sesuai dengan oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus dalam

Peraturan Menteri Perhubungan Republik menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan?

Marka Jalan?
Teori & Konsep: Lawrence M. Friedman : efektif Teori & Konsep: Lawrence M. Friedman : efektif

dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung

tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum, tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum,

substansi hukum dan budaya hukum substansi hukum dan budaya hukum

Pendekatan : Kualitatif Jenis : Yuridis-Sosiologis Pendekatan : Kualitatif Jenis : Yuridis-Sosiologis

Pembuatan Zebra Cross yang Efektif di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

56
2.5. Peraturan Yang Mengatur Instansi Instansi Terkait Pembuatan Zebra

Cross

Dimana kegiatan menyusun rencana pemeliharaan jalan ialah kewajiban

penyelenggara jalan Pasal 18 (1) berbunyi Pemeliharaan jalan meliputi kegiatan

pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, rehabilitasi jalan, dan rekonstruksi

jalan. Pasal 18 ayat 4 berbunyi (4) Rehabilitasi jalan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan secara setempat, meliputi kegiatan: a. pelapisan ulang; b.

perbaikan bahu jalan; c. perbaikan bangunan pelengkap; d. perbaikan/penggantian

perlengkapan jalan; e. penambalan lubang; f. penggantian dowel/tie bar pada

perkerasan kaku (rigid pavement); g. penanganan tanggap darurat. h. pekerjaan

galian; i. pekerjaan timbunan; j. penyiapan tanah dasar; k. pekerjaan struktur

perkerasan; -16- l. perbaikan/pembuatan drainase; m. pemarkaan; n. pengkerikilan

kembali (regraveling) untuk perkerasan jalan tidak berpenutup dan jalan tanpa

perkerasan; dan o. pemeliharaan/pembersihan rumaja Pasal 3 ayat 1 berbunyi

Penyelenggara jalan wajib menyusun rencana pemeliharaan jalan.”Dalam Pasal 23

(1) ayat 1 diatur bahwa Penyelenggara jalan dalam melaksanakan kegiatannya

berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan

Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik

Indonesia Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau

peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban,

dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penyelenggara Jalan dalam

melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi

dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia

57
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 13 /Prt/M/2011

Tentang Tata Cara Pemeliharaan Dan Penilikan Jalan Pasal 18 ayat 1 dan Pasal 18

ayat 4 dan pasal 3 ayat 1 bisa disimpulkan jika Pemarkaan adalah kegiatan

pemeliharaan jalan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2015 Tentang

Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Pasal 12 Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2015 Tentang Kementerian

Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat berbunyi “Direktorat Jenderal Bina

Marga mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan

kebijakan di bidang penyelenggaraan jalan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.”

Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2015

Tentang Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat berbunyi “Dalam

melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyelenggarakan fungsi: a.

perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan sumber

daya air, penyelenggaraan jalan, penyediaan perumahan dan pengembangan

kawasan permukiman, pembiayaan perumahan, penataan bangunan gedung,

sistem penyediaan air minum, sistem pengelolaan air limbah dan drainase

lingkungan serta persampahan, dan pembinaan jasa konstruksi; b. koordinasi

pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada

seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat; c. pengelolaan ... - 3 - c. pengelolaan barang milik/kekayaan

negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan

58
Perumahan Rakyat; d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; e. pelaksanaan bimbingan

teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat di daerah; f. pelaksanaan penyusunan kebijakan teknis dan

strategi keterpaduan pengembangan infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan

rakyat; g. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pekerjaan umum

dan perumahan rakyat; h. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di

bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat; dan i. pelaksanaan dukungan yang

bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.”

Menurut pasal 3 dan pasal 12 Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 15 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan

Rakyat Dimana penyelenggaraan jalan merupakan tugas dari Direktorat Jendral

Marga, dan fungsi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Pasal 23 (1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau

peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban,

dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Penyelenggara Jalan dalam

melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi

dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keputusan Menteri Nomor 60 Tahun 1993 tentang Marka Jalan Pasal 40

berbunyi “ Perencanaan, pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan marka jalan

dilakukan oleh : a. Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk, untuk jalan

nasional dan jalan tol kecuali jalan nasional yang berada dalam Ibu Kota

59
Kabupaten Daerah Tingkat Iiatau yang berada dalam Kotamadya Daerah Tingkat

II;b. Pemerintah Daerah Tingkat I, untuk jalan propinsi, kecuali jalan propinsi

yang berada dalam Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II atau jalan propinsi

yang berada dalam Kotamadya Daerah Tingkat II;c. Pemerintah Daerah Tingkat II

Kabupaten, untuk : 1) jalan kabupaten; 2) jalan propinsi yang berada dalam Ibu

Kota Kabupaten Daerah Tingkat II, dengan persetujuan Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I; 3) jalan nasional yang berada dalam Ibu Kota Kabupaten Daerah

Tingkat II dengan persetujuan Direktur Jenderal. d. Pemerintah Daerah Tingkat II

Kotamadya untuk : 1) jalan kotamadya; 2) jalan propinsi yang berada dalam Kota-

madya Daerah Tingkat II, dengan persetu-juan Gubernur Kepala Daerah Tingkat

I; 3) jalan nasional yang berada dalam Kota-madya Daerah Tingkat II dengan

persetujuan Direktur Jenderal.”Pasal 41 berbunyi “ Penyelenggara jalan tol dapat

melakukan perencanaan, pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan marka jalan

di jalan tol, setelah mendengar pendapat Direktur Jenderal.”Pasal 42 berbunyi “

Instansi, badan usaha atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan,

pemasangan dan pemeliharaan marka jalan dengan ketentuan : a. Penentuan lokasi

dan penempatannya mendapat persetujuan pejabat sebagaimana dalam Pasal 40;

b. Memenuhi persyaratan teknis sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan ini.”

Pasal 96 Tanggung Jawab Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu

Lintas diatur dalam UU no 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

:Pasal 96 (1) Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa

Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf

c, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, Pasal 94 ayat (2), Pasal 94 ayat (3) huruf

60
b, Pasal 94 ayat (4), serta Pasal 94 ayat (5) huruf a dan huruf b untuk jaringan

jalan nasional. (2) Menteri . . . - 55 - (2) Menteri yang membidangi Jalan

bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf g,

huruf h, dan huruf i, serta Pasal 94 ayat (3) huruf a untuk jalan nasional. (3)

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas

pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 94 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf f, huruf g, dan huruf i, Pasal 94 ayat (3)

huruf c, dan Pasal 94 ayat (5). (4) Gubernur bertanggung jawab atas pelaksanaan

Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) untuk jalan provinsi setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait.

(5) Bupati bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu

Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kabupaten

dan/atau jalan desa setelah mendapat rekomendasi dari instansi terkait. (6)

Walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu

Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk jalan kota setelah

mendapat rekomendasi dari instansi terkait. Pasal 97 (1) Dalam hal terjadi

perubahan arus Lalu Lintas secara tiba-tiba atau situasional, Kepolisian Negara

Republik Indonesia dapat melaksanakan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

kepolisian. (2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas kepolisian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Rambu Lalu Lintas, Alat

Pemberi Isyarat Lalu Lintas, serta alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan

yang bersifat sementara. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat

61
memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

kepada instansi terkait.

Pasal 97 Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan berbunyi “ Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat

memberikan rekomendasi pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

kepada instansi terkait.”

Pasal 223 Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan berbunyi Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab” adalah

pertanggungjawaban disesuaikan dengan tingkat kesalahan akibat kelalaian. Yang

dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah : a. orang yang berada di luar Kendaraan

Bermotor; atau b. instansi yang bertanggung jawab di bidang Jalan serta sarana

dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat, sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pembinaan

jalan di Indonesia dan dalam pembangunan jalan nasional, telah melaksanakan

berbagai upaya dalam peningkatan keselamatan jalan

Kementerian Perhubungan, adalah instansi yang bertanggung jawab dalam

pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan dan dalam penyelenggaraan

perlengkapan jalan. Pasal 1 no 4 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :

13 /Prt/M/2011 Tentang Tata Cara Pemeliharaan Dan Penilikan Jalan yakni

berbunyi “Perlengkapan Jalan adalah sarana yang dimaksudkan untuk

keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu-lintas serta kemudahan

bagi pengguna jalan dalam berlalu-lintas yang meliputi marka jalan, rambu lalu-

62
lintas, alat pemberi isyarat lalu-lintas, lampu penerangan jalan, rel pengaman

(guardrail), dan penghalang lalu-lintas (traffic barrier)”

Kesimpulan dari pasal 1 no 4 tersebut marka jalan merupakan marka jalan

Dan pemeliharan perlengkapan jalan yang contoh nya ialah marka jalan

dilakukan oleh instansi yang disebutkan dalam Pasal 15 Peraturan Direktur

jenderal nomor : SK. 4303/AJ.002/DRJD?2017 tentang petunjuk teknis marka

jalan yang berbunyi : “ Pemeliharaan perlengkapan jalan dilakukan oleh:

a. Balai pengelola Transportasi Darat, untuk jalan nasional;

b. Badan Pengelola Transportasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan

Bekasi (Jabodetabek), untuk jalan nasional di wilayah Jakarta, Bogor,

Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek);

c. Dinas Perhubungan Provinsi, untuk jalan provinsi

d. Dinas Perhubungan kabupaten, untuk jalan kabupaten dan jalan desa

e. Dinas Perhubungan kota, untuk jalan kota”

Berdasarkan pasal Pasal 59 ayat (1) Keputusan Menteri Perhubungan

Nomor : Km 60 Tahun 1993 T E N T A N G Marka Jalan Direktur Jenderal

Perhubungan Darat melaksanakan pembinaan dan pengawasan teknis atas

penyelenggaraan marka jalan.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat 2e Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintasa dan angkutan jalandinyatakan :”bahwa tugas pokok dan fungsi Polri

dalam hal penyelenggaraan lalu lintas sebagai suatu : “urusan pemerintah di

bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakkan

63
hukum, operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta pendidikan berlalu

lintas”.

Dimana pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43

Tahun 1993tentang Prasarana Dan Lalu Lintas Jalan berbunyi “Rekayasa lalu lintas

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : a. perencanaan, pembangunan

dan pemeleiharaan jalan; b. perencanaan, pengadaan, pemasangan, dan

pemeliharaan rambu-rambu, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat

pengendali dan pengaman pemakai jalan. “

Kesimpulannya tugas dan fungsi POLRI dalam hal penyelenggaraan lalu

lintas meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, dan pemeliharaan rambu-

rambu, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, serta alat pengendali dan

pengaman pemakai jalan

Beberapa Instansi terkait dalam rekayasa lalu lintas diatur dalam pasal 5

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 Tentang

Manajemen Dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu

Lintas Pasal 5 ayat (1) Perencanaan dalam manajemen dan rekayasa lalu lintas

dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana

lalu lintas dan angkutan jalan, menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan,

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, gubernur, bupati, atau walikota

sesuai dengan kewenangannya. Pasal 5 ayat (2) Perencanaan dalam manajemen

dan rekayasa lalu lintas yang dilakukan oleh gubernur, bupati, atau walikota

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan

rekomendasi dari instansi terkait yang memuat pertimbangan sesuai dengan

64
kewenangannya. Pasal 5 ayat (3) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada

ayat (2), untuk manajemen dan rekayasa lalu lintas yang dilakukan oleh gubernur,

meliputi: a. kementerian yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana

lalu lintas dan angkutan jalan, mengenai sarana dan prasarana lalu lintas dan

angkutan jalan; b. kementerian yang bertanggung jawab di bidang jalan, mengenai

jalan; dan c. Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengenai operasional

manajemen dan rekayasa lalu lintas. Pasal 5 ayat (4) Instansi terkait sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), untuk manajemen dan rekayasa lalu lintas yang dilakukan

oleh bupati atau walikota, meliputi: a. kementerian yang bertanggung jawab di

bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, mengenai sarana dan

prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; b. kementerian yang bertanggung jawab

di bidang jalan, mengenai jalan; c. Kepolisian Negara Republik Indonesia,

mengenai operasional manajemen dan rekayasa lalu lintas; dan d. pemerintah

provinsi setempat.

Pasal 5 ayat (5) Perencanaan dalam manajemen dan rekayasa lalu lintas oleh

gubernur dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi yang

berbatasan. Pasal 5 ayat (6) Perencanaan dalam manajemen dan rekayasa lalu

lintas oleh bupati atau walikota dilakukan setelah berkoordinasi dengan

pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan.

65
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian (Kualitatif/Kuantitatif)

Metode penelitian merupakan peran yang penting dalam suatu penelitian,

karena dengan metode penelitian yang tepat dapat memperlancar proses

penelitian dan hasil yang diperoleh dapat dipercaya dan dapat

dipertanggungjawabkan. (Moleong, 2013 : 4)

Metode pada hakikatnya merupakan prosedur dalam memecahkan suatu

masalah dan untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah, kerja seorang

ilmuwan pasti berbeda dengan kerja seorang awam. Seorang ilmuwan selalu

menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan subyektif.

Sebaliknya bagi awam, berkerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh

campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai

masuk akal oleh ba nyak orang. (Sunggono, 2006:43)

Penelitian mendapatkan data yang akurat dan otentik yang dikarenakan

peneliti telah berhadapan langsung dengan informan, sehingga bisa langsung

mewawancarai dan berdialog dengan informan. Sesungguhnya peneliti

mendeskripsikan tentang obyek yang diteliti secara sistematis dan kemudian

mengorganisir data-data yang diperoleh sesuai dengan fokus pembahasan

penelitian.

Apabila ditinjau dari latar belakang dan masalah yang diangkat sari skripsi

ini, maka penulis menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif.

66
Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan pendekatan penelitian kualitatif

hukum Penelitian menggunakan metode kualitatif, metode ini memusatkan

perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-

satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola yang

dianalisis gejala-gejala sosial budaya menggunakan kebudayaan dari

masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-

pola yang berlaku. (Ashshofa, 2004:20) “Penelitian kualitatif adalah

penelitian prosedur penelitian yang mengahasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.” (Moleong, 2013: 4). Metode kualitatif merupakan sebuah proses

investigasi. Secara bertahap peneliti berusaha memahami fenomena sosial

dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengkatalogkan,

mengelompokan objek studi. Peneliti memasuki dunia informan dan

melakukan interaksi terus-menerus dengan informan dan mencari sudut

pandang informan. Penelitian kualitatif memusatkan perhatian pada proses

yang berlangsung dan hasilnya. (Patilima, 2005: 67)

Dalam penulisan skripsi ini yang berjudul “Pembuatan Zebra Cross di

Kota Kudus Perspektif Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan”

penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, alasan penulis

menggunakan metode kualitatif adalah karena dalam penelitian memusatkan

pada prinsip-prinsip umum yang mendasari wujud satuan gejala yang ada

dalam kehidupan sosial manusia, seperti halnya yang terjadi apabila Dinas

67
Perhubungan Kabupaten Kudus mampu membuat marka jalan zebra cross

sesuai peraturan tersebut pasti akan ada perubahan yang terjadi misalnya

minimnya angka resiko kecelakaan lalu lintas dan pelanggaran yang

dilakukan oleh para pejalan kaki yang akan menyebrang jalan lebih terjamin.

Pada pendekatan kualitatif pusat perhatian pada gejala-gejala yang

mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia yang disebut

sebagai variabel.

Pendekatan kualitatif yang dianalisis bukan variabel-variabelnya,

melainkan hubungannya dengan prinsip-prinsip umum dari kesatuankesatuan

gejala lainnya dengan menggunakan kebudayaan masyarakat yang

bersangkutan. Hasil analisis dianalisis lagi dengan menggunakan seperangkat

teori yang berlaku (Patilima, 2005: 66)

Adapun alasan digunakannya pendekatan ini karena permasalahan yang

diteliti berkaitan erat dengan pengungkapan seberapa jauh peran dari Dinas

Perhubungan Kabupaten Kudus dalam melakukan dan mengiplementasikan

peranan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang Marka Jalan di wilayah Kecamatan Kota Kabupaten

Kudus. Metode penelitian digunankan penulis dengan maksud untuk

memperoleh data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenaranya. “Metode pada hakikatnya memberikan pedoman tentang cara

seorang ilmuan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan yang

dihadapinya.” (Soekanto, 1986: 6)

68
Penelitian ini akan dilakukan secara maksimal dengan maksud untuk

memperoleh data yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya. (Soekanto, 2005: 10) Oleh karena itu, jenis penelitian yang

digunakan oleh penulis adalah yuridis-sosiologis, disamping melihat secara

langsung ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur masalah

pembuatan marka jalan (zebra cross) juga melihat secara langsung yang terjadi

di lapangan. Alasan penulis memilih menggunakan jenis yuridis adalah karena

hendak meneliti konsep Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor Pm 34 Tahun 2014 Tentang Marka Jalan. Alasan

sosiologis adalah karena hendak meneliti penilaian masyarakat dan Dinas

Perhubungan terhadap model pembuatan zebra cross dalam implementasi

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus, dan kendala-

kendala dalam implementasi Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan. Pendekatan yuridis

sosiologis adalah suatu penelitian hukum dimana hukum tidak dikonsepsikan

suatu gejala normatif yang mandiri (otonom), tetapi sebagai suatu institusi

sosial yang dikaitkan secara riil dengan variable variabel sosial yang lain.

Pandangan penelitian ini, hukum di pelajari sebagai variabel akibat (dependent

variabel) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan

sosial (Soemitro, 1988: 34).

69
Pada pendekatan sosiologis yuridis ini masalah yang diteliti adalah

keterkaitan pada segi yuridis yaitu bagaimana peran Dinas Perhubungan dan

Satuan Lalu lintasnya dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan studi kasus terhadap pembuatan zebra cross di wilayah hukum

Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Sedangkan pada segi sosiologisnya

bagaimana menerapkan peraturan tersebut kedalam lingkungan masyarakat

Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus agar mampu memasyarakatkan Undang-

undang yang mengatur pembuatan zebra cross tersebut pada masyarakat

Indonesia khususnya masyarakat Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus.

Tujuannya agar mereka mampu memahami maksud dari dibuatnya Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1992 termasuk pasal-pasal yang mengatur mengenai

uji laik jalan terhadap kendaraan angkutan umum, bahwa untuk mencegah

terjadinya pelanggaran lalu lintas dan meningkatnya angka kecelakaan lalu

lintas mereka sebagai subyek yang melaksanakan perintah dari Undang-

Undang tersebut harus mau untuk mematuhi dan melaksanakannya.

3.2. Jenis Penelitian

Lima tipe kajian hukum ditinjau dari perbedaan konsep hukum. Perbedaan

tipe kajian ini akan menyebabkan juga perbedaan dalam memilih dan

menggunakan metode kajian, yang diungkapkannya dalam rumus M=f(K),

yang dapat diartikan metode adalah fungsi konsep. (Prasetyo Yogyakarta,

2011: 78)

70
Setiono mengembangkan lima konsep hukum Soetandyo Wignjosoebroto

sebagaimana berikut:

1. Hukum adalah asas Kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan

berlaku universal.

2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-

undangan hukum nasional.

3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan

tersistematisasi sebagai judge made law.

4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis

sebagai variabel sosial yang empirik.

5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial

sebagai tampak dalam interaksi antar mereka.

6. Penulisan skripsi ini dengan konsep hukum kelima yakni hukum Hukum

adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai

tampak dalam interaksi antar mereka (Setiono mengartikannya sebagai

hukum di dalam benak manusia)

Hukum berkonsep sebagai reguralities, bukan berkonsep sebagai rules

yang terjadi dalam alam pengalaman/ kehidupan keseharian . Di sini hukum

merupakan interaksi dan tingkah laku atau aksi-aksi interaksi manusia dengan

cara aktual dan potensial akan terpola (Setiono, 2010: 22)

Soerjono Soekanto membagi penelitian hukum menjadi dua, yaitu:

a) Penelitian hukum normatif dan

b) Penelitian hukum empiris. (Soekanto, 2010:13)

71
Soetandyo Wigjosoebroto, membagi penelitian hukum menjadi dua,

yaitu:

a) Penelitian hukum doktinal dan

b) Penelitian hukum non doktrinal. (Wignjosoebroto, 2002:147)

Karena setiap aksi atau tingkah laku merupakan suatu realitas sosial yang

terjadi dalam alam pengalaman empiris dan indrawi, sehingga setiap

penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai perilaku

atau tingkah laku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian hukum (sosial),

penelitian empiris atau penelitian yang non doktrinal dengan analisis

kualitatif. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian untuk

menyusun skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis (non

doktrinal), dengan analisis kualitatif. (Setiono, 2010: 22)

Jenis penelitian dalam skripsi adalah penelitian lapangan (field research).

Penelitian (research) merupakan usaha yang dilakukan bertujuan untuk

menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran terhadap suatu

pengetagyan, hukum tidak hanya dipahami sebagai hukum tertulis saja

melainkan, sebagai apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang

kemudian membentuk sebuah pola hingga akhirnya berlaku serta berkembang

di dalam masyarakat.

Jenis penelitian lapangan merupakan penelitian non-doktrinal yakni

hukum dikonsepsikan sebagai pranata riil dikaitkan dengan variable-variable

social yang lain. ( Amiruddin, 2006: 133) Objek kajian penelitian empiris

adalah fakta sosila. Penelitian lapangan ini bertujuan mempelajari secara

72
intensif latar belakang keadaanan sekarang dan interaksi lingkungannsuatu

unit social, individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. (Achmadi, 2005:

46)Penelitian lapangan ini biasanya dikenal dengan penelitian empiris.

Ilmu hukum empiris merupakan ilmu hukum yang berpandangan hukum

sebagai fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai (Nasution,

2008: 81). Tujuan ilmu hukum empiris agar mengetahui seberapa jauh hukum

bekerja di dalam masyarakat. Penelitian hukum empiris merupakan interaksi

antara hukum ilmu hukum empiris dan disiplin ilmu-ilmu lainnya terutama

sekali di masyarakat. Penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai hasil

dari interaksi antar hukum ilmu hukum empiris dengan disiplin ilmu-ilmu

yang lain khusunya sisiologi dan antropogi melahirkan sosiologi hukum dan

antropologi hukum. Pokok penelitian kajian ilmu hukum empiris yakni fakta

social dan fenomena hukum masyaakat yang ada di dalam masyaraka serta

penelitian ilmu hukum empiris lebih menekankan ke segi observasinya.

(Nasution, 2008: 121)

Dengan metode ini diharapkan suatu penelitian yag menekankan konsep-

konsep pembuatan zebra cross dengan mengacu pada hukum tata Negara dan

hukum marka jalan sebagai upaya untuk mengetahui pendapat tersebut juga

memahami upaya-upaya yang dilakukan dalam suatu pembuatan zebra cross.

Jenis penelitian ini sesuai dengan apa yang dimaksud dan diharapkan oleh

peneiti yang menekankan pada segi observasi dan wawancara yang akan

dilakuka oleh peneliti. Adapun yang menjadi obje daklam peneliti ini adalah

tentang studi komparatif Pembuatan Zebra Cross di Kota Kudus Perspektif

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

73
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

.3 Fokus Penelitian

Pada dasarnya penentuan masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu

pada suatu fokus. Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari

hubungan antara dua faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang

menimbulkan tanda tanya dan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari

suatu jawaban. (Moleong, 2013; 93).

Fokus pada dasarnya adalah masalah yang bersumber dari pengalaman

penelitian atau melalui pengetahuan yang bersumber dari pengalaman peneliti

atau melalui pengetahuan yang diperolehnya, dari kepustakaan ilmiah ataupun

kepustakaan lainnya. (Moleong, 2013: 97)

Peneliti ingin membatasi terhadap hal apa saja yang sesuai dengan

rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka yang menjadi focus

penelitian adalah sebagai berikut yaitu:

1. Mendeskripsikan implementasi Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan

2. Menganalisis model bekerjanya hukum pembuatan marka jalan

khususnya zebra cross di wilayah Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

3. Menemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus dalam menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

74
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2014 Tentang Marka Jalan

3.4. Lokasi Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis sosiologis,

maka untuk menjawab permasalahan yang pendekatannya dengan cara yuridis

sosiologis penulis perlu untuk menentukan lokasi peneletian. Lokasi

penelitian merupakan tempat penelitian dilakukan dengan diterapkan lokasi,

akan dapat lebih mudah untuk mengetahui dimana tempat suatu penelitian

akan dilakukan.Dalam melakukan penelitian ini penulis menunjuk lokasi-

lokasi yang dapat dijadikan sebagai bahan penelitian untuk mencapai

kebenaran informasi dari permasalahan yang dibahas antara lain kesesuaian

zebra cross dan proses pembuatan zebra cross, Dinas Perhubungan Kecamatan

Kota Kabupaten Kudus untuk memperoleh informasi tentang implementasi

pembuatan zebra cross di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus untuk

memperoleh informasi tentang faktor penghambat yang dihadapi oleh dinas

perhubungan Kabupaten Kudus dalam menerapkan Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan yang dapat mendukung penelitian penulis.

.5. Sumber Data

Sumber data adalah tempat dari mana data diperoleh, diambil, dan

dikumpulkan (Asikin, 2006:56). Menurut Lofland dan Lofland, “sumber data

dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah

data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.” (Moleong, 2013: 157) . Secara

75
umum, sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat

diperoleh. (Moleong, 2013: 157)

Adapun yang menjadi sumber data pada penelitian ini adalah:

1. Sumber Data Primer yakni Sumber data yang diperoleh dari

lapangan. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan renponden

maupun informan. “Responden adalah orang yang menjawab

pertanyaan yang diajukan peneliti untuk tujuan penelitian itu

sendiri, sedangkan informan adalah sumber informasi untuk

pengumpulan data.” (Ashshofa, 2007: 22). Informan didalam

penelitaan ini adalah Kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus .

2. Sumber Data Sekunder adalah sumber data dari dokumen-dokumen

dan literatur seperti rencana strategis, prolegda, buku-buku, brosur,

jurnal, dan kepustakaan online yang ada hubungannya dengan tema

permasalahan. Dalam penelitian ini yang menjadi data sekunder

adalah sebagai berikut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas, Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993

tentang Prasarana Dan Lalu Lintas Jalan, Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan Ditjen Bina Marga (1990). Petunjuk

Perencanaan Marka Jalan, Ditjen Bina Marga (1991). Tata Cara

Pemasangan Rambu Dan Marka Jalan Perkotaan, Keputusan

Menteri Perhubungan Nomor : Km 60 Tahun 1993 Tentang Marka

Jalan Menteri Perhubungan

76
.6. Teknik Pengambilan Data

Teknik Pengambilan Data terdiri dari

1. Bahan-bahan hukum primer : Peraturan dasar: batang tubuh Undang-

Undang Dasar 1945; ketetapan-ketetapan MPR

1. Peraturan perundang-undangan

2. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan misalnya hukum adat

3. Yurisprudensi

4. Tarktat (bahan-bahan hukum diatas mempunyai kekuatan

mengikat)

2. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer, adalah:

1. Rancangan peraturan perundang-undangan

2. Hasil karya ilmiah para sarjana

3. Hasil-hasil penelitian

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan primer dan bahan sekunder, misalnya:

1. Bibliografi

2. Indeks komulatif (Soemitro 1988: 53).

Dalam penulisan skripsi ini data sekunder diperoleh melalui studi

kepustakaan terhadap buku-buku literatur yang berisi teori-teori, peraturan

perundang-undangan, pendapat para ahli maupun bahan-bahan pustaka

lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian laik jalan dan

lainnya yang berkaitan dengan masalah pokok dalam skripsi. Adapun

77
teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: Pengamatan

(Observasi) “Dalam metode pengamatan meliputi kegiatan pemusatan

perhatian terhadap objek dengan menggunakan seluruh alat indera.”

(Arikunto, 2006: 156).

Pengamatan bertujuan untuk mendeskripsikan setting, kegiatan

yang terjadi, waktu kegiatan dan makna yang diberikan oleh para pelaku

yang diamati tentang peristiwa yang bersangkutan. Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan teknik pengamatan langsung, adalah teknik

pengumpulan data dimana peneliti mengadakan penelitian secara

langsung. (Ashshofa, 2004: 26). Dalam metode observasi ini akan diamati

secara langsung di lapangan bagaimana mendeskripsikan implementasi

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34

Tahun 2014 tentang Marka Jalan dan menemukan model pembuatan zebra

cross di wilayah Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Dalam hal ini

memperoleh data dengan wawancara, adalah memperoleh informasi

dengan bertanya secara langsung pada yang diwawancarai. “Wawancara

merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi” (Soemitro, 1994: 57).

”Wawancara adalah percakapan dengan maksud percakapan itu dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang

di berikan oleh pewawancara”. (Moleong 2013 “Wawancara ini diadakan

secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait dengan kendala-kendala

terhadap mekanisme-mekanisme pembuatan zebra cross di wilayah

78
Kecamatan Kota Kabupaten Kudus serta para pihak yang berkompeten

untuk menyampaikan informasi yang diperlukan kepada peneliti.

Wawancara pada penelitian ini dilakukan dengan 2 sumber yaitu informan

dan responden yang terkait mempunyai kemampuan dalam mekanisme

pembuatan marka jalan (zebra cross) di wilayah Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus dan. Pihak-pihak yang hendak diwawancarai seperti

Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus serta masyarakat.

Metode dokumentasi adalah “mencari data mengenai hal-hal atau

variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,

prasasti, rapat agenda, film, foto atau gambar dan sebagainya” (Arikunto,

2006: 158). Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan

mempelajari dokumen resmi, baik internal berupa Undang-Undang,

Keputusan, memo, pengumuman, instruksi, edaran dan lain-lain, maupun

eksternal berupa pernyataan, majalah resmi dan berita resmi. Dokumen

dalam penelitian ini adalah dokumen resmi jumlah, bentuk dan ukuran

zebra cross di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus.“Dalam penelitian pada

dasarnya bentuk bahan pustaka dapat digolongkan dalam empat kelompok

yakni buku/monografi, terbitan berkala, terbitan berseri, brosur atau

pamphlet dan bahan non buku” (Mamudji, 1983:28)

Kepustakaan yang dipilih adalah catatan yang terkait dengan tata

cara dan format pendaftaran jenis kegiatan/usaha sampai dengan

mekanisme pembuatan zebra cross. Dokumen-dokumen diatas digunakan

untuk memperoleh data dan pengertian bagaimana pelaksanaan Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

79
Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun 2014

tentang Marka Jalan. Studi kepustakaan ini untuk mencari teori-teori,

pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat

dengan pokok permasalahan. Kepustakaan (Soemitro, 1994: 52), dapat

berupa:

1. Bahan-bahan hukum primer, meliputi: Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan

2. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang erat hubungannya

dengan bahan primer dan dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer, meliputi: Buku-buku literatur,

pendapat para ahli, dan hasil penelitian para sarjana.

3. Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang badan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

meliputi: Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Menurut Patton sumber berarti membandingkan dengan mengecek

balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu

dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Hal tersebut dapat

dicapai dengan jalan : (Moleong, 2013: 331)

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara.

80
2. Membandingkan keadaan dan prespektif seseorang atau lembaga

dengan berbagai pendapat/ pandangan masyarakat secara umum.

3. Mebandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan.

4. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi

penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

5. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum

dengan apa yang dikatakan secara pribadi. (Moleong, 2013: 331)

.7. Validitas Data

“Validitas data adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat

kevalidan atau kesahihan suatu instrumen”. (Kuntoro, 2006: 168) Dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode triangulasi “yaitu teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain atau

pemeriksaan data melalui sumber lainnya memanfaatkan sesuatu yang lain

diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap

data” (Moleong, 2013:330).

Keabsahan Data digunakan untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan

terhadap data-data yang telah terkumpul, perlu sekali untuk dilakukan

pengabsahan data yang telah diperoleh. Pengecekan keabsahan data tersebut

didasarkan pada kriteria deraja kepercayaan (crebility) dengan teknik

trianggulasi, ketekunan pengamatan, (Moleong, 2013). Triangulasi merupakan

teknik pengecekan keabsahan data yang didasarkan pada sesuatu di luar data

untuk keperluan mengecek atau sebagai pembanding terhadap data yang telah

ada. (Moleong,2013) Teknik triangulasi yang dilakukan oleh penulis adalah

81
melalui triangulasi dengan sumber dengan cara membandingkan data-data

yang telah diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan atau observasi,

data dari hasil wawancara langsung terhadap pihak Dinas Perhubungan dalam

pelaksanaan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor

34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

Bagan 3.7. Perbandingan Triangulasi

Sumber yang berbeda

Teknik yang berbeda Data Valid


Data Sama

Waktu yang berbeda

Sumber: (Moleong, 2013: 178)

Berdasarkan pendapat dari Moleong diatas, maka peneliti

melakukan perbandingan data yang telah diperoleh. Yaitu data-data

sekunder hasil kajian pustaka hendak dibandingkan dengan data-data

primer yang diperoleh di fakta-fakta yang ditemui lapangan. Sehingga

kebenaran dari data yang diperoleh dapat dipercaya dan meyakinkan.

Sumber yang berbeda Teknik yang berbeda Waktu yang berbeda Data

Sama Data Valid Peneliti melakukan validasi sendiri dengan

memperhatikan hal-hal, diantaranya :

1) Pemahaman peneliti terhadap metode penelitian kualitatif.

82
2) Kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian secara

akademik maupun logistik

.8. Analisis Data

Analisis data, menurut Patton dalam bukunya Moleong, adalah proses

mengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori,

dan satuan urutan dasar. Pattin membedakanya dengan penafsiran, yaitu

memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola

uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Bogdan dan

Taylor dalam bukunya Moleong, mendefinisikan analisis data seperti proses

yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan

hipotesis kerja (ide) seperti yang sarankan oleh data dan sebagai usaha untuk

memberikan bantuan pada tema dan hipotesis kerja itu. Proses analisis data

dimulai dengan menelaah semua yang tersedia dari berbagai sumber yaitu

wawancara yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi,

dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. (Moleong 2013: 190).

Analisa data dilakukan bertujuan untuk menyederhanakan hasil olahan

data sehingga mudah dibaca dan dipahami. Metode analisis data yang

digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan

dengan menguji data dengan konsep atau teori serta jawaban yang diperoleh

dari responden untuk menghasilkan data atau informasi dalam mencapai

keselarasan tentang pokok permasalahan implementasi pembuatan zebra cross

Tahap analisis data ada 4 (empat) menurut Miles dan Huberman, yaitu:

a. Pengumpulan Data : Peneliti mencatat semua data secara objektif dan

apa adanya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara dilapangan.

83
b. Reduksi Data: proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan tertulis dilapangan.

c. Penyajian Data: menyajikan sekumpulan informasi tersusun yang

diberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan.

d. Pengambilan Keputusan Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari

satu kesatuan dari konfigurasi yang utuh. (Huberman , 1992: 16),

Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung.

Dalam penarikan kesimpulan ini didasarkan pada reduksi data yang

merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. Untuk

mempermudah pemahaman tentang metode analisis tersebut Miles dan

Huberman, menggambarkan siklus data interaktif sebagai berikut:

Bagan 3.8. Komponen-Komponen Analisis Data: Metode Interaktif

Pengumpulan Data

Reduksi Data Sajian Data

84
Kesimpulan-Kesimpulan
Penarikan atau Verifikasi

Sumber: Metode Analisa Interaktif oleh (Miles dan Huberman, 1992: 20)

Keempat komponen tersebut saling interaktif yaitu saling mempengaruhi

data terkait. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian lapangan dengan

mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan

data. Karena data yang dikumpulkan banyak, maka diadakan reduksi data.

Setelah direduksi kemudian diadakan penyajian data, selain itu pengumpulan

data juga digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tersebut selesai

dilakukan maka diambil suatu keputusan atau verifikasi.

85
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum

4.1.1. Gambaran Umum Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

Kecamatan Kota Kudus merupakan sebuah kecamatan di

Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, Negara Indonesia. Ibu Kota dari

Kabupaten Kudus berada di kecamatan ini. Alamat kantor kecamatan Kota

Kabupaten Kudus ialah terletak di Jalan Jendral Sudirman No 279 Kudus

Jl. Jendral Sudirman No. 279 Kudus Telepon (0291) 437449

Secara geografis Kecamatan kota terletak di 110 38’ BT dan 110

44’ BT (Bujur Timur) 74’ LS dan 78’ LS (Lintang Selatan)

Memiliki luas 10,47 km² secara demografi Kecamatan Kota

termasuk merupakan kecamatan terpadat, yang penduduknya berjumlah

91.137 jiwa (2013) jiwa yang terdiri atas 44.452 jiwa penduduk laki-laki

dan 47.285 jiwa penduduk berjenis kelamin perempuan Dengan tingkat

kepadatan penduduk di Kecamatan Kota Kudus mencapai 8.162 jiwa/km 2.

Sebagian besar mata pencaharian penduduk Kecamatan Kota Kudus

bekerja sebagai buruh industri dan sektor swasta. Dan sebagian besar

masyarakatnya ialah pemeluk Agama Islam. (Priyonopemkabkds,

https://priyonopemkabkds.wordpress.com/ , akses 19 Maret 2019).

Pemerintahan di Kecamatan Kota Kudus ini berada di tangan camat

Bergas Catursasi Penanggungan, S.Sos, M.Si

86
Di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus terdapat batas-batas wilayah

Kecamatan Kota yaitu: Sebelah utara nya berbatasan dengan Kecamatan

Dawe, Sebelah timur berbataasan dengan Kecamatan Jekulo, Sebelah

selatan berbatasan dengan Kecamatan Jati, Sebelah barat berbatan dengan

Kecamatan Kaliwungu. Kecamatan Kota Kudus termasuk wilayah yang

terletak di dataran rendah dengan terletak pada 31 meter di atas

permukaan laut. Jarak Pusat Pemerintahan Kecamatan Kota dengan Pusat

Pemerintahan Kabupaten Kudus ialah 3 km. Kecamatan Kota Kudus

mempunyai iklim tropis . Suhu terendah di Kecamatan Kota Kudus 220 C

dan suhu tertingginya mecapai 390 C dan curah hujan 94 mm per

tahunnya. (Dania, http://fathiralfaizi.blogspot.com/2017/01/kota-

kudus.html, akses 19 Maret 2019) Bentangan wilayah di Kecamatan Kota

100% ialah berupa daerah yang datar sampai berombak. (Kota Kudus,

https://property-kudus.blogspot.com/2017/07/kecamatan-kota-

dikabupaten-kudus.html, akses 19 maret 2019) pembagian wilayah

administrasi terdiri dari 9 kelurahan dan 16 desa : Kelurahan purwosari,

Kelurahan sunggingan, Kelurahan panjunan, Kelurahan wergu kulon,

Kelurahan wergu wetan, Kelurahan mlati kidul, Kelurahan mlati

norowito, Kelurahan kerjasan, Kelurahan kajeksan, dan Desa janggalan,

Desa demangan, Desa mlati lor, Desa nganguk, Desa kramat, Desa

demaan, Desa langgar dalem, Desa kaumat, Desa damaran, Desa krandon,

Desa singocandi, Desa glantengan, Desa barongan, Desa kaliputu, Desa

burikan, Desa rendeng. (PN Kudus, http://www.pn-kudus.go.id/peta-

yuridiksi.html, akses 19 Maret 2019)

87
Ditinjau dari segi pariwisata Kecamatan Kota Kabupaten Kudus cukup

beragam. Pariwisatanya terdiri dari wisata keluarga, wisata sejarag, wisata

religi, dan wisata belanja.

Contoh Wisata Keluarga di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

1) Alun-Alun Kudus Lama, di Desa Kauman yakni alun-alun yang

dibangun pada masa Sunan Kudus

2) Alun-Alun Kudus Baru (Simpang Tujuh), di Desa Barongan ialah

alun-alun yang dibangun Bupati Kudus

3) Taman Krida Wisata, di Desa Wergu Wetan adalah sebuah tempat

rekreasi dan taman bermain untuk keluarga.

4) Gor Kudus, di Desa Wergu Wetan , selain berfungsi sebagi gedung

olah raga juga dilengkapi dengan kolam renang dan arena

pemancingan.

Macam-macam Wisata Keluarga di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

ialah:

1) Masjid Menara Kudus, di Desa Kauman terletak satu komplek

dengan makam dan masjid Sunan Muria. Menara Kudus yang

mempunyai arsitektur hindu ini telah menjadi ikon Kabupaten

Kudus.

2) Masjid Bubrah, di Desa Demangan. Konon menurut cerita, masjid

ini hendak dibangun seperti masjid Menara kudus tetapi tatkala

sedang dibangun ada orang yang sempat melihat roh jahat

88
(kamanungsang), sehingga akhirnya pembangunan masjid tersebut

dibatalkan

3) Museum Sunan Kudus, di Desa Kauman merupakan tempat yang

berfungsi menyimpan peninggalan-peninggalan Sunan Kudus

Wisata Religi di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus terdiri dari:

1) Makam Sunan Kudus, di Desa Kauman merupakan makam dari

salah satu dari Walisongo yang menyiarkan agama islam di tanah

Jawa

2) Makam Sedo Mukti, yang terletak di Desa Kaliputu

3) Makam Sosro Kartono & para Bupati, di Desa Kaliputu merupakan

Kakak kandung R.A. Kartini, yang memberi inspirasi agar Kartini

membela kaum wanita.

4) Makam Kyai Telingsing, di Desa Sunggingan merupakan

guru Sunan Kudus dan sesepuh dari Kota Kudus yang berasal dari

China yang mempunyai nama asli The Ling Sing

5) Makam Keluarga Trah Tjondronegoro III dan Keluarga Besar  dari

R.A. Kartini, di Desa Kaliputu

Tempat Wisata Belanja di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus yakni

diantaranya sebagai berikut:

1) Kliwon Trade Center, terletak di Desa Mlati Lor

2) Mall of Kudus "(M.O.K)"(Ramayana), berlokasi di Desa Barongan

3) Ada Swalayan ,terletak di Kelurahan Purwosari

89
Sebagian besar para penduduk Kecamatan Kudus bermata

pencaharian sebagai buruh industri dan sektor swasta. . (Dania,

http://fathiralfaizi.blogspot.com/2017/01/kota-kudus.html, akses 19 Maret

2019)

Potensi Kecamatan Kota Kabupaten Kudus yakni diwilayah ini

dapat ditemukan Berbagai sentra industri yang tersebar di Desa dan

Kelurahan di wilayah Kecamatan Kota Kudus. Kecamatan Kota Kudus

sebagai Kota Industri mampu menyerap sejumlah 18,19 % tenaga kerja.

Sentra Industri yang terbesar adalah Pabrik Rokok, diantaranya industri

Rokok PT Djarum Kudus, PR Nojorono, yang memiliki pengaruh besar

baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun partisipasinya dalam

pembangunan. Industri Sedang diantaranya Industri Jenang Sinar Tiga-

tiga, jenang Asia Aminah dan Perusahaan susu Muria. Sedangkan Industri

kecil/menengah adalah Kerajinan Bordir yang banyak tersebar di Desa

Janggalan dan Kelurahan Kerjasan, seperti Bordir NOVA dan Bordir

SOFIA ROS. Ada juga Industri Kecap THG, macam-macam perusahaan

roti, sirup, jamu tradisional dan aneka makanan khas Kudus diantaranya

Keciput Barokah.

Potensi Industri per desa

Kelurahan purwosari : Kepala Kelurahan : Drs. Bimo Aryo Tejo, MM

.Jumlah RW 9 RT 42. Kelurahan ini mempunyai luas 1.13 Km 2 / 113.00

Ha dihuni sekitar 8.131 jiwa. Kantor kelurahan berada di Jl Ganesa II No 5

90
Kudus Telp.437535. Potensi industri di Purwosari ini yaitu industri

konveksi yang pemasaran sampai ke luar kota Kudus, percetakan.

Kelurahan Sunggingan : Kepala Kelurahan : Teguh Widodo , Jumlah RW

6 RT 27 , Kelurahan ini mempunyai luas wilayah 0,35 Km 2 / 34.58 Ha

dan jumlah penduduk sekitar 6.142 jiwa ini mempunyai potensi industri

Ukiran Joglo Antik, Lencana, Konveksi, Bordir, Sablon, Percetakan,

Kelis, Tahu

Kelurahan Kerjasan: Kepala Kelurahan : Jaya Haryanto, SIP, Jumlah RW

3 RT 7, Luas wilayah Kelurahan Kerjasan yaitu 0,01 Km 2 / 1.00 Ha.

Jumlah penduduk sekitar 1.100 jiwa, Potensi industri Kelurahan Kerjasan

yaitu bordir, konveksi, makanan ringan.pembuatan nisan/paving Kantor

kelurahan beralamat di Jl KHR Asnawi No 35 Kudus Telp 432499/444523

Kelurahan Kajeksan: Kepala Kelurahan : Sudiarto, Jumlah RW 3 RT 8,

Kantor kelurahan di Jl KH. Turaichan Adjhuri No 31 Kudus Telp.

3316445. Kelurahan ini mempunyai luas 0,28 Km 2 / 28.37 Ha. Jumlah

penduduk sekitar 2.666 jiwa. Potensi industri di Kelurahan ini yaitu

Bordir, Tas, Konveksi Rukuh, Kerajinan Sepatu dan sandal, Gordyn dan

Laundry.

Kelurahan Mlati Kidul : Kepala Kelurahan : Ngaidi, SH. Jumlah RW 3 RT

19. Kelurahan ini berkantor di Jl Patimura No 29 Kudus. Jumlah penduduk

sekitar 5.028 jiwa. Potensi industri yang berkembang di kelurahan ini

adalah pembuatan Souvenir/miniatur alat-alat transportasi, Pembuatan

Gordyn, Sablon

91
Kelurahan Mlatinorowito: Kepala Kelurahan : Dra. Lilik Ngesti WS.

Jumlah RW 9 33. Kantor kelurahan Mlatinorowito Gang VI No 35 Kudus

Telp 430089.Kelurahan ini mempunyai luas wilayah 0,34 Km 2 / 34.28

Ha. Jumlah penduduk sekitar 5.980 jiwa. Potensi industri Pembuatan

Souvenir/miniatur alat-alat transportasi, Pembuatan Gordyn, Sablon,

jebakan tikus, konveksi. Potensi Pertanian : Padi, Palawija

Kelurahan Wergu Kulon: Kepala Kelurahan : Drs. Paimin. Jumlah RW 5

RT 27. Kelurahan Wergu kulon bertempat di Jl Letkol Tit Sudono / Gang

Tutut No 235 Kudus Telp. 430074. Jumlah penduduk sekitar 4.349 jiwa.

Industri yang berkembang di desa ini yaitu Kerajinan emas, perusahaan

makanan kecil, roti dan kue basah, konveksi, perusahaan kecap.

Kelurahan Wergu Wetan: Kepala Kelurahan : Drs. Hendro Prasetyo, M.Si.

Jumlah RW 5 RT 23. Kantor kelurahan berlokasi di Jl Loram No 9 Kudus

Telp 445492. Jumlah penduduk sekitar 4.999 jiwa. Kelurahan ini

mempunyai potensi Industri rumah tangga, industri tempe, sablon,

konveksi, pembuatan alat-alat rumah tangga Potensi Pertanian : Padi,

jagung

Kelurahan Panjunan: Kepala Kelurahan : Dra. Pudjiastuti setijaningrum.

Jumlah RW 3 RT 22. Lokasi kantor kelurahan di Jl KH Wahid Hasyim No

51B Kudus Telp 437336. Jumlah penduduk sekitar 4.678 jiwa. Kelurahan

ini terkenal dengan Jamu tradisional cap klanceng, sirup agung, roti, kecap

cap babon, Tahu A Wibisono, Jenang Muncul, Jenang Keris, Jenang

Bligo, Susu Muria, Onde-onde

92
Desa Kramat: Kepala Desa : H.M Sensus Tulistyono. Jumlah RW 4 RT

26. Desa ini mempunyai luas 0,28 Km 2 / 28.00 Ha. Jumlah penduduk

sekitar 3.758 jiwa. Industri yang ada di Desa ini yaitu Kerajinan

Barongsai, kerajinan peralatan rumah tangga (kompor, dandang, tong

sampah, dll)

Desa Demaan: Kepala Desa : Mohamad Sofwan. Jumlah RW 7 RT 30.

Desa dengan luas wilayah 0,37 Km 2 / 37.21 Ha. Jumlah penduduk sekitar

5.792 jiwa. Potensi industri : pembua tan Lencana, Krupuk kulit, Keciput,

Jenang, Roti, Konvenksi, Kerajinan kandang jangkrik

Desa Kauman: Kepala Desa : Rafiqul Hidayat. Jumlah RW 1 RT 3.

Jumlah penduduk sekitar 478 jiwa. Industri yang berkembang di Desa ini

adalah industri Rukuh bordir, kerudung bordir, Konveksi, Makanan

ringan/roti

Desa Damaran: Kepala Desa : Selamet Sugiyono. Jumlah RW 2 RT 9.

Desa ini mempunyai luas 0,18 Km 2 / 17.69 Ha.Jumlah penduduk sekitar

1.353 jiwa. Potensi industri dari desa ini adalah Bordir, Konveksi, Kain

Pel, Makanan Kecil , Percetakan Menara

Desa Singocamdi: Kepala Desa : Fredy Andriyanto, SE. Jumlah RW 4 RT

25. Desa ini mempunyai luas wilayah 1,62 Km 2 / 161.66 Ha. Jumlah

penduduk sekitar 6.821 jiwa. Potensi industri : pembuatan kacang goreng,

kacang ayu, emping jagung, marning, kue bolu, kue dodol, kue semprit,

kedelai goreng, kacang goreng jepara. Potensi pertanian : Padi, jagung,

kacang tanah

93
Desa Glantengan: Kepala Desa : Slamet Wahyudi. Jumlah RW 4 RT 12.

Jumlah penduduk sekitar 2.003 jiwa. Glantengan memiliki potensi

pembuatan roti kacang dan krupuk rambak, jenang, konveksi 

Desa Kaliputu: Kepala Desa : Suyadi. Jumlah RW 3 RT 18. Desa dengan

luas 0,54 Km 2 / 53.88 Ha Jumlah penduduk sekitar 3.507 jiwa.

mempunyai potensi industri dalam pembuatan jenang, konveksi, dan daur

ulang plastik. Potensi pertanian : Padi, tebu, palawija 

Desa Janggalan: Kepala Desa : Noor Aziz. Jumlah RW 2 RT 13. Jumlah

penduduk sekitar 2.424 jiwa Jenis industri kecil yang berkembang di desa

ini adalah industri konveksi, bordir, ukiran rumah adat Kudus/gebyok,

makanan ringan 

Desa Demangan: Kepala Desa : Indrianto. Jumlah RW 3 RT 13. Jumlah

penduduk sekitar 2.134 jiwa Di Desa ini terdapat industri Sablon,

Gypsum, Jok/kursi, Konveksi, Bordir, Tas/Topi, Makanan Ringan,

Pengrajin Batik Tulis, Pembuatan Tempe, Pengrajin Benang, Industri

rokok kecil, Pengrajin salon Audio, Pengrajin Gebyok/Ukir.

Desa Mlati Lor: Kepala Desa : Nurul Achwan. Jumlah RW 5 RT 24.

Jumlah penduduk sekitar 5.014 jiwa. Pengrajin Kawat (jebakan tikus, alat

rumah tangga, kompor), Kecap Niki Echo, Sirup, Makanan ringan. Potensi

pertanian : Padi

Desa Nganguk: Kepala Desa : Sukamto .Jumlah RW 5 RT 19. Jumlah

penduduk sekitar 3.300. Potensi industri : Sablon, kecap, Pembuatan

94
Per/Jok, Konveksi, Bordir, Produksi Tas, produksi rempeyek, produksi

Dompet, Produksi kue kering

Desa Langgar Dalem: Kepala Desa : Moh. Maftukhan. Jumlah RW 3 RT

10. Jumlah penduduk sekitar 2.677 jiwa. Potensi industri : Makanan

ringan/roti, Konveksi, kerajinan sandal

Desa Barongan: Kepala Desa : H. Bambang Juniatmoko, SE.Jumlah RW 5

RT 25. Jumlah penduduk sekitar 3.049 jiwa. Potensi industri : Perusahaan

Rokok Langsep, Pande Besi, Limun, Roti Anugrah, Roti Idjo, Makanan

ringan keciput, Suttle cock

Desa Burikan: Kepala Desa : Slamet Wibowo, A.Md. Jumlah RW 5 RT

17. Jumlah penduduk sekitar 3.087 jiwa. Industri yang terdapat didesa ini

yaitu Pembuatan Tempe, Perusahaan Air Mineral Squaria, Budidaya ikan

lele, kerajinan marmer. Potensi pertanian : Tebu

Desa Krandon: Kepala Desa : Jaka Mulyana. Jumlah RW 3 RT 16. Jumlah

penduduk sekitar 3.339 jiwa. Potensi industri : Kerajinan sepatu, sandal,

tas, alat-alat rumah tangga. Potensi pertanian : Tebu

Desa Rendeng: Kepala Desa : Cahyadi Tomi. Jumlah RW 7 RT 22.

Jumlah penduduk sekitar 6.075 jiwa. Potensi industri : konveksi, makanan

ringan, mebelair, pabrik gula rendeng. Potensi pertanian : Padi, tebu

(Kundari, http://nomorurutdpd17kundari.blogspot.com/, akses 20 Maret

2019)

4.1.2. Dinas Perhubungan

95
Dinas adalah Bagian kantor pemerintah yg mengurus pekerjaan

tertentu. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika merupakan

unsur pelaksanaan otonomi daerah di bidang perhubungan, Komunikasi

dan Informatika yang dipimpin oleh seorang kepala Dinas, yang

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui

Sekretaris Daerah. (Riyanda, 2015: 71)

Zaman Pemerintah Hindia Belanda masalah lalu lintas ditangani

oleh “DEPARTEMEN WEG VERKEER EN WATER STAAT” Sebagai

aturan hukum dan aturan pelaksanaannya diatur dalam ”WEG

VERKEERORDONANTIE” (WVO), Stat Blad Nomor : 86 Tahun

1933.Tahun 1942 s/d 1945 Departemen yang mengatur lalu lintas, tidak

berjalan dikarenakan adanya perang kemerdekaan. Dimana Profil Jabatan

Struktural Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus yakni: JOKO . P sebagai

Penguji, Abdul Halil sebagai Kepala Dinas, Sunyoto sebagai Kabid

Angkutan, Nanang sebagai Kasi Bimkes. Beberapa kegiatan yang

dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus dalam

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dan

Beberapa pelayanan umum oleh Dinas Perhubungan yang telah

ditingkatkan secara online dengan menggunakan teknologi informasi yang

selalu kami kembangkan setiap tahunnya

Pilihan- Pilihan Pelayanan Umum Dinas Perhubungan Kabupaten

Kudus meliputi diantaranya ialah:Pelayanan-Pelayanan yang disediakan

dalam Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus diantaranya ialah

96
1. SIM PKB (SIM PKB adalah sebuah aplikasi yang dibangun dengan

tujuan meningkatkan kemudahan, kecepatan, dan ketepatan dalam

melaksanakan pelayanan kepada masyarakat khususnya di bidang

pengujian kendaraan bermotor)

2. SIAP PANDU Bagi instansi terkait dapat memanfaatkan aplikasi

SIAP PANDU ini untuk mempermudah proses pendataan hasil

survey perlengkapan jalan. Dengan demikian hasil survey akan secara

cepat terkirim ke Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus

3. SIGERAKJALAN Melalui SIGERAKJALAN ini masyarakat akan

sangat lebih mudah dalam mengajukan permohonan perlengkapan

jalan , aplikasi ini dapat diakses secara online di tempat-tempat yang

belum memenuhi standar kebutuhan perlengkapan jalan MONEV

yakni Keterangan mengenai fitur aplikasi.

Tabel 4.1.2. Pengembangan Teknologi Informasi

PKB PARKIR ANGKUTAN BIMKES


SIM PKB E-PARKIR MONEV SIGERAKJALAN

Uji Baru Lahan Parkir Dispensasi Jalan Apill


Uji Berkala Juru Parkir Izin Isindentil Cermin Tikungan

Numpang Uji Retribusi Ramheck LPJU

Masuk
Numpang Uji Realisasi Pengelolaan Rambu

Keluar Terminal
Mutasi Masuk Target Penindakan RPPJ

Hukum
Mutasi Keluar Forum Support KTB Warning Lamp

97
Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten

Kudus mempunyai visi misi sebagai berikut Visi Dinas Perhubungan

Komunikasi dan Informatika adalah “ Terwujudnya sistem dan

pengelolaan perhubungan, komunikasi dan informatika yang handal

dan berkelanjut an guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat ” .

Misi Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten

Kudus adalah sebagai berikut : Meningkatkan tata kelola administrasi

perkantoran secara profesional Pelaksanaan administrasi perkantoran

secara profesional dalam hal ini ditunjang kualitas dan kuant itas Sumber

Daya Manusia (SDM ) serta fasilitas kerja yang lengkap dan

representatif akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas

produk pelayanan yang dihasilkan oleh Dinas Perhubungan

Komunikasi dan Informatika.

Peran Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus ialah

mengembangkan sarana dan prasarana lalu lintas angkutan jalan .

Masyakat dapat berkunjung kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus

yakni Jl HM Subhan ZE No 50 Purwosari Kudus/ telepon 0291-431146/

Fax 0291-431146 / (e-mail) yakni dinhubkominfo@kuduskab.go.id /

website dishub.kuduskab.go.id . Visi dan Misi Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus ialah sebagai berikut: Visi Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus adalah “Menuju Jawa Tengah Sejahtera dan Berdikari

"Mboten Korupsi Mboten Ngapusi.”” Misi yang dilaksanakan oleh Dinas

Perhubungan Kabupaten Kudus adalah sebagai berikut: Meningkatkan

98
Infrastruktur untuk mempercepat pembangunan Jawa Jawa Tengah yang

berkelanjutan dan ramah lingkungan.

4.1.3. Struktur Organisasi, Kedudukan Tugas Pokok dan

Kewajiban Dinas Perhubungan

Untuk mendukung terselenggaranya upaya visi dan misi dari Dinas

Perhubungan Kabupaten Kudus tersebut, maka Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus harus memiliki struktur organisasi yang jelas.Dengan

adanya struktur organisasi yang jelas maka jelas pula tugas pokok dan

fungsi serta tanggung jawab masing-masingbagian.Sehingga dapat tercipta

transparansi dan akuntabilitas kewenangan dalam Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus

Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kudus

Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika merupakan unsur

pelaksana otonomi daerah di bidang perhubungan, komunikasi dan

informatika yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada

Bupati melalui Sekretaris Daerah.

Susunan organisasi Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika

Kabupaten Kudus terdiri dari Sekretariat dipimpin seorang Sekretaris yang

berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Setiap

bidang dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Subbagian masing-masing

dipimpin oleh seorang Kepala Subbagian yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Sekretaris. Setiap seksi dipimpin oleh seorang

99
Kepala Seksi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala

Bidang yang bersangkutan. UPT masing-masing dipimpin oleh seorang

Kepala UPT yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala

Dinas, sedangkan Kelompok jabatan fungsional dipimpin oleh seorang

tenaga fungsional senior yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Kepala Dinas Perhubungan

Bagan 4.1.3. Struktur Organisasi Dinas Perhubungan

Kepala Dinas

Sekretaris Dinas

Subbag Perenc. Evakuasi, Pelaporan

Subbag . Keuangan

Subbag . Umum Kepegawaian

Bidang Lalu Lintas & Angkutan Jalan Bidang Keselamatan & Sarana
Bidang Keselamatan & Sarana

Seksi Lalu Lintas Seksi Keselamatan Seksi Pos & Telekomunikasi

Seksi Angkutan Jalan Seksi Sarana


Seksi Sarana Komuniasi
dan Desiminasi Informasi

UPT Terminal UPT Perpakiran Seksi Teknologi Informasi

Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika memiliki tugas

pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah bidang perhubungan,

komunikasi dan informatika berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas

100
pembantuan.Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten

Kudus dalam melaksanakan tugas pokok, menyelenggarakan fungsi :

1. Perumusan Kebijakan teknis bidang perhubungan, komunikasi dan

informatika

2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum

bidang perhubungan, komunikasi dan informatika

3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang perhubungan,

komunikasi dan informatika

4. Pelaksanaan tugas di bidang lalu lintas jalan, angkutan jalan,

pengendalian operasional dan keselamatan jalan, komunikasi dan

informatika

5. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang perhubungan,

komunikasi dan informatika

6. Pelaksanaan kesekretariatan dinas

7. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan

tugas dan fungsinya

4.2. Pembuatan Zebra Cross di Kota Kudus Perspektif Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

4.2.1. Keberadaan Zebra Cross di Kecamatan Kota Kabupaten

Kudus

Fungsi dari pengadaan dan pemasangan fasilitas Keselamatan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan seperti marka zebra cross ialah dengan

101
maksud dan tujuan untuk mengendalikan kecepatan dan perilaku

pengemudi agar mengutamakan keselamatan. Rencana strategis dari

Pengadaan dan pemasangan fasilitas kelesamatan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan ini diutamakan untuk rambu pembatas kecepatan. Zebra

cross adalah fasilitas penyeberangan yang seharusnya dapat menjamin

keamanan bagi penggunanya penyeberang jalan. Keberadaan fasilitas

penyeberangan zebra cross di suatu daerah yang di bangun akan

menimbulkan dampak untuk memulainya sebuah pembangunan kesadaran

masyarakat untuk mau menggunakan dan meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk menggunakan fasilitas tersebut . Etika berkendaraan

dan didalam kendaraan yang diharapkan oleh Dinas Perhubungan adalah

“berhenti di belakang zebra cross saat lampu lalu lintas berwarna merah.”

Ketersediaan Zebra cross di Kabupaten Kudus dinilai termasuk

berjumlah relatif banyak . Namun banyak pula zebra cross yang warna

nya telah pudar. Kondisi ini membuat para pengendara kurang lagi

memperhatikan keselamatan para pejalan kaki. Akibat dari cat yang pudar

memang membuat zebra cross sering sekali lepas dari pandangan para

pejalan kaki.. Pudarnya warna marka jalan zebra cross menyebabkan

pejalan kaki takut karena jalur penyeberangan tersebut tidak dapat dilihat

jelas oleh pengendara kendaraan . Oleh karena itu, masyarakat tak

merasakan dampak positif dari zebra cross. Bahkan dampak terburuk

yang ditimbulkan dari hal ini ialah dapat menyebabkan kecelakaan bagi

penyeberang jalan tersebut. ada penyebarang jalan yang beranggapan jika

menyebarang jalan kaki diatas zebra cross yang warnanya sudah pudar

102
dirasa sama saja menyeberang ditempat yang tanda zebra cross

Kemungkinan yang akan terjadi penyeberang jalan akan mencari tempat

penyeberangan sendiri yang menurut mereka lebih aman.Lagipula

banyaknya zebra cross tidak terawat dengan baik, warnanya banyak yang

sudah pudar cenderung membuat pejalan kaki menyeberang bukan di

zebra cross yang disebabkan karena jauh dari tempatnya berdiri. Garis-

garis zebra cross putih itu mayoritas sudah pudar. Garis-garis putih

penanda area penyeberangan jalan hanya tampak samar.Hal ini

menyebabkan pengendara motor dan mobil tak bisa melihat jelas zebra

cross tersebut.

Banyak zebra cross yang tidak terawat dengan baik, warnanya

banyak yang sudah pudar dan penempatannya juga ada yang kurang tepat

yang cenderung membuat pejalan kaki menyeberang bukan di zebra cross

karena jauh dari tempatnya berdiri. Hal tersebut yang membuat sejumlah

pejalan kaki merasa sama saja menyeberang di tempat yang tidak ada

tanda zebra cross dan membuat para pejalan kaki mengurungkan niat

untuk memanfaatkan zebra cross sebagai area penyeberangan. Pudarnya

warna zebra cross menyulitkan para penyeberang jalan untuk

menyeberang melalui zebra cross Kondisi ini tentu mengkhawatirkan bagi

banyak pejalan kaki 

Selain pudarnya warna zebra cross , di beberapa jalan di

Kecamatan Kota Kabupaten Kudus terdapat zebra cross yang terbuat tidak

full, melainkan hanya setengah saja (Lihat gambar 6,7,8) Hal ini terjadi

karena adanya pelebaran jalan, tetapi belum adanya pengecatan ulang agar

103
zebra cross nya tidak terbuat setengah dari jalan raya saja. Jadi jalan yang

mengalami pelebaran jalan tersebut masih belum dilakukan pengecatan

ulang

Berdasarkan analisa penulis, Jumlah zebra cross yang tersedia di

kecamatan Kota Kabupaten Kudus belum mencukupi kebutuhan dalam

lalu lintas, jika ditinjau dari banyaknya jala nyang seharusnya harus

diberikan fasilitas penyeberangan jalan zebra cross mengingat jalan

tersebut padat dengan pengendara lalu lintas (Lihat gambar 4&5). Hal ini

untuk menjamin keselamatan bagi para penguna lalu lintas.

4.2.2. Ketentuan Hukum Zebra Cross di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus

Zebra cross hanyalah berfungsi memberikan prioritas bagi orang

yang melaluinya untuk menyeberang dengan selamat. Oleh karena itu

para pengendara mobil, motor, dokar, becak, dan sebagainys seharusnya

berhenti untuk memberi kesempatan kepada pejalan kaki yang hendak

menyeberang jalan.

Fungsi tunggal ini tentu saja dapat disamakan dengan fungsi lampu

merah saat menyala yakni disaat kendaraan berhenti dan pejalan kaki

menyeberang jalan.

Peraturan hukum yang mengatur tentang zebra cross itu sendiri

tertera dalam Undang-Undang No: 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan (LLAJ), pasal 131 Ayat (2), yang mengatakan bahwa

“Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyebrang  jalan

di tempat penyebrangan”. Dan pasal  106 Ayat (2), yang mengatakan

104
bahwa “Setiap orang yang mengemudikan  kendaraan bermotor di jalan

wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda”. Kemudian

dalam Pasal 284 yang mengatakan bahwa “ Setiap orang yang

mengumudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan

keselamatan pejalan kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 106 Ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)

bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dan dinyatakan dengan tegas pada paragraf 2 (dua) tentang penggunaan

dan Perlengkapan Jalan pada pasal 25 dan 26 yang tertulis sebagai

berikut:

Pasal 25 : “Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum

wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa”:

1. Rambu lalu lintas;

2. Marka jalan;

3. Alat pemberi isyarat lalu lintas;

4. Alat penerangan jalan

5. Alat pengendali dan pengamanan pengguna jalan;

6. Alat pengawasan dan pengamanan jalan;

7. fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat; dan

8. fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang

berada di jalan dan di luar badan jalan.

Dalam pasal 26 : Penyediaan perlengkapan jalan ddiselenggarakan oleh:

1. Pemerintah untuk jalan Nasional;

2. Pemerintah Provinsi untuk jalan Provinsi;

105
3. Pemerintah Kabupaten/Kota untuk jalan Kabupaten/Kota dan jalan

desa; atau

4.  Badan Usaha Jalan Tol untuk jalan Tol.

Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), setiap penyelenggara

Jalan Nasional, Provinsi, Kabupaten,/Kota wajib melaksanakan amanah

menyediakan fasilitas untuk Pejalan Kaki yang sesuai dengan Norma,

Standar, Pedoman, Kriteria (NSPK) yang berlaku.

Namun realitas yang terjadi di kota-kota besar kinni masih banyak

dilakukannya pelanggaran, dimana banyak pengemudi motor yang tidak

patuh akan peraturan tersebut. Banyak pengemudi motor yang bersikap

egois dan tidak memberikan fasilitas untuk pejalan kaki akan

menyeberang. Selain, hal tersebut, jika tidak ada petugas/ polisi, karena

pemikiran rakyat jika melihat petugas pasti akan takut jika ditilang,. Faktor

yang menyebabkan terjadinya pelanggaran adalah timbulnya rasa ingin

cepat sampai tujuan sehingga mengabaikan hak pejalan kaki pada rambu

tersebut.

Zebra cross sebagai marka jalan mempunyai fungsi khusus yang

ditujuksn kepada para pejalan kaki. Marka jalan sudah biasa berfungsi

untuk mengatur lalu lintas di jalan raya. Tidak berbeda dengan zebra cross,

marka jalan juga berfungsi menjadi ruang penyeberangan bagi pejalan

kaki.

Ciri ciri dari Zebbracross ialah mempunya bentuk garis membujur

yang berwarna putih dan hitam dengan garis kurang lebih 300 mm.

106
Dengan celah yang sama dan panjang minimal ialah 2.500 mm.Bukanlah

lampu merah yang menjadi alasan utama alasan diadakannya zebra

cross.Pejalan kaki yang hendak menyeberang biasanya menunggu lampu

lalu lintas merah barulah penyeberang bisa melintas melewati zebra

cross.Yang pertama, zebra cross harus dipasang pada jalan dengan arus

lalu lintas, kecepatan dan arus pejalan kaki relatif rendah.Kedua, Lokasi

zebra cross harus berjarak pandang cukup.Fungsinya ialah agar tundaan

kendaraan yang diakibatkan oleh penggunaan fasilitas penyeberangan

masih dalam batas aman.Maka hal- hal tersebutlah yang menjadi ketentuan

di mana fasilitas penyeberangan zebra cross akan dipasang.

Dimana aturan hukumnya mengenai pembuatan zebra cross di

Kecamatan Kota Kabupaten Kudus menganut aturan yang ada di dalam

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

Berdasarkan pendapat dari Kepala Seksi Keselamatan LLAJ (Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan) Dinas Perhubunngan Kabupaten Kudus tidak

ada peraturan lain yang dijadikan pedoman dalam pembuatan zebra cross

di Kota Kudus selain ketentuam- ketentuan yang tercantum didalam

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan.

4.2.3. Prosedur Pembuatan Zebra Cross di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus

107
Prosedur Pembuatan Zebra Cross di Kecamatan Kota Kabupaten

Kudus mengikuti aturan aturan yang ada didalam Peraturan Menteri

Nomor Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan .

Pasal 23

(1) Marka Melintang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b

berupa: a. garis utuh; dan b. garis putus-putus.

(2) Marka Melintang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwarna putih.

Pasal 24 Ayat (1) bebunyi: “ Marka Melintang berupa garis utuh

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a menyatakan batas

berhenti kendaraan yang diwajibkan berhenti oleh alat pemberi isyarat lalu

lintas, rambu berhenti, tempat penyeberangan, atau zebra cross. Pasal 24

Ayat (2) bebunyi: Marka Melintang berupa garis utuh sebagaimana pada

ayat (1) memiliki lebar paling sedikit 20 (dua puluh) sentimeter dan paling

banyak 30 (tiga puluh) sentimeter.”

Zebra cross termasuk marka melintang seperti yang dinyatakan

dalam pasal 24 Peraturan Menteri 34 tahun 2014 bahwa "Marka melintang

berupa garis utuh sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf a

menyatakan batas berhenti kendaraan yang diwajibkan berhenti oleh alat

pemberi isyarat lalu lintas, rambu berhenti, tempat penyebrangan, atau

zebra cross (Peraturan Menteri No 34 Tahun 2014)

108
Berdasarkan data dari narasumber, Menurut Kepala Seksi

Keselamatan LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus pembuatan fasilitas penyeberangan jalan zebra cross di

Kecamatan Kota Kabupaten Kudus telah dilaksanakan sebagaimna

ketentuan prosedur yang tertera di dalam Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan.

Bentuk Tempat Penyebrangan Untuk Pejalan Kaki Tempat

Penyeberangan (Zebra Cross) Zebra cross selalu dibuat bersama-sama

Garis Stop dengan daerah penempatan terutama pada:

Persilangan Tegak Lurus (Lihat gambar 1)

Tempat Penyeberangan (Zebra Cross) Zebra cross selalu dibuat

bersama-sama Garis Stop dan dapat berupa dua buah marka melintang

tegak lurus terhadap sumbu jalan khusus pada persimpangan jalan yang

dilengkapi dengan APILL (Alat Pengatur Isyarat Lalu Lintas ) (Lihat

gambar 3)

(Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan)

Zebra cross merupakan tempat penyeberangan di jalan yang

diperuntukkan bagi pejalan kaki yang akan menyeberang jalan, dinyatakan

dengan marka jalan berbentuk garis membujur berwarna putih dan hitam

109
yang tebal garisnya 300 mm dan dengan celah yang sama dan panjang

sekurang-kurangnya 2500 mm, menjelang zebra cross masih ditambah lagi

dengan larangan parkir agar pejalan kaki yang akan menyeberang dapat

terlihat oleh pengemudi kendaraan di jalan. Pejalan kaki yang berjalan di

atas zebra cross mendapatkan perioritas terlebih dahulu. Disebut sebagai

zebra cross karena menggunakan warna hitam dan putih seperti warna

pada hewan zebra dari kelompok hewan kuda yang hidup di Afrika.

Zebra Cross dipasang dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Zebra Cross harus dipasang pada jalan dengan arus lalu

lintas, kecepatan lalu lintas dan arus pejalan kaki yang relatif rendah.

2. Lokasi Zebra Cross harus mempunyai jarak pandang yang

cukup, agar tundaan kendaraan yang diakibatkan oleh penggunaan

fasilitas penyeberangan masih dalam batas yang aman.(Direktorat

Jenderal Bina Marga, Tatacara Perencanaan Fasilitas Pejalan Kaki di

Kawasan Perkotaan, Jakarta, 1995)

4.2.4. Dampak Negatif Zebra Cross tidak Sesuai Peraturan

Ditinjau dari pendapat Kepala Seksi Keselamatan LLAJ (Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan) Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus

tentulah terdapat dampak negatif jika pembuatan zebra cross tidak sesuai

aturan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan yakni

kecelakaan lalu lintas pada pejalan kaki yang menyeberang. Jika marka

110
penyeberangan jalan zebra cross sudah tidak jelas karena terlambat dalam

pengecatan ulang, bahaya kecelakaan mengancam jika dilokasi tersebut

adalah daerah rawan kecelakaan.

Dampak yang terjadi jika pembuatan zebra cross di Kota Kudus

tidak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan adalah zebra cross yang

dibuat unused (tak berguna). Padahal sebuah Fasilitas penyeberangan

tersebut adalah fasilitas untuk mengkonsentrasikan pejalan kaki yang

menyeberang jalan. Zebra cross ialah fasilitas penyeberangan di jalan

yang diperuntukkan bagi pejalan kaki yang akan menyeberang jalan. Dan

fungsi dari dibangunnya fasilitas penyeberangan ialah zebra cross ialah

melindungi pejalan kaki agar merasa aman ketika hendak menyeberang

jalan kendaraan dan menghindari kecelakaan lalu lintas serta kemacetan,

selain itu zebra cross dapat memberikan jaminan tingkat keamanan

menyeberang yang lebih tinggi para pejalan kali dibanding dengan nekat

menyeberang di tengah lalu lintas yang padat.  Tak berguna disini yang

berarti tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Tidak dapat

mencapai tujuan yang diharapkan dari pembuatan zebra cross tersebut.

Dimana tujuan pembuatan zebra cross ialah menjamin keamanan dan

keselamatan bagi pejalan kaki yang hendak menyeberang.  Fasilitas ini

penting disebabkan beberapa factor yakni dengan adanya fasilitas

penyeberangan zebra cross pejalan kaki menjadi tidak asal

111
menyebrang dari berbagai sudut jalan yang hal tersebut dapat

membahayakan keselamatan jiwa para pejalan kaki tersebut sendiri.

Keuntungan dari pejalan kaki yang menyeberang jalan melalui fasilitas

penyeberangan zebra cross diantaranya ialah Terjaminnya kemananan dan

kenyamananannya para pejalan kaki selama menggunakan zebra cross.

Pejalan kaki tidak perlu khawatir mendapatkan perlakuan tidak

semestinya dari pengguna kendaraan bermotor saat menggunakan zebra

cross.Pejalan kaki dilindungi oleh hukum dan undang-undang yang

berlaku selama menggunakan zebra cross.Pejalan kaki mendapatkan

asuransi jika terjadi kecelakaan ketika menggunakan fasilitas zebra cross.

Fungsi dari zebra cross yaitu memberikan prioritas kepada orang

yang melalui zebra cross tersebut untuk menyeberang dengan

selamatDengan menyeberang menggunakan zebra cross keuntungan yang

didapat adalah menyeberang dapat dilakukan bersama banyak teman atau

banyak orang yang memiliki tujuan sama hendak menyeberang ke jalan

raya sehingga merasa lebih aman. Yang terakhir adalah selalu

menyeberang menggunakan fasilitas penyeberangan dengan alasan

merasa takut kalau menyeberang sembarang tempat berhubungan dengan

bahaya yang mungkin dihadapi seandainya tidak menyeberang

menggunakann fasilitas penyeberangan yang ada dan merasa terjamin

keselamatannya serta menjamin posisi mereka sebagai pihak yang benar

seandainya terjadi kecelakaan mengenai pengendara misalnya

terserempet dan tertabrak karena tidak melanggar peraturan, karena

112
mereka telah menyeberang melalui fasilitas penyeberangan yang telah

disediakan yakmi zebra cross.( Trianingsih, 2014: 111)

Namun tujuan tersebut tidak akan dapat tercapai jika pembuatan

zebra cross nya saja menyalahi aturan, dan melanggan ketentuan yang

telah diatur dalam Peraturan Menteri nya yakni Peraturan Menteri Nomor

67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan.

Lain halnya jika pembuatan zebra cross dilakukan secara yang

ditentukan dalam Peraturan Menteri Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentangMarka Jalan pasti zebra cross dapat

digunakan oleh para pejalan kaki sebagaimana tujuan yang diinginkan

dari pembuatan sebuah fasilitas penyeberangan jalan yakni zebra cross.

4.2.5. Kesesuaian pembuatan Zebra Cross di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus dengan Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

Menurut pendapat Kepala Seksi Keselamatan LLAJ (Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan) Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus Pembuatan

Peraturan Zebra Cross di Kota Kudus sudah sesuai dengan Peraturan

Menteri Karna mengukur Zebra Cross itu tidak boleh dilakukan

sembarangan dan Pelaksanaan pembuatan Zebra Cross di Kota Kudus

sudah sesuai dengan ketentuan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

113
Nomor 67 Tahun 2018 karna telah memenuhi segala persyaratan yang

sudah tercantum di dalam Peraturan Menteri Tersebut. Tidak ada, yang

harus diperbaiki dalam Mekanisme Pembuatan Zebra Cross yang ada di

kota Kudus dikarenakan dalam Mekanisme Pembuatan Zebra Cross di

Kota Kudus sudah sesuai dengan prosedur yang ada saat ini. Cara dalam

pembuatan Zebra Cross di Kota Kudus sudah dilaksanakan sesuai dengan

Prosedurnya harus diserahkan kepada pihak ketiga berdasarkan dengan

spesifikasi yang sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 67 Tahun 2018.

Peraturan Menteri Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan sudah tersosialisasikan dengan baik karena

Pembuatan Zebra Cross di Kota Kudus dipasang pada Ruas-ruas jalan

yang terdapat akses fasilitas umum dan adanya pejalan kaki karena

pemerintah pusat sudah mensosialisasikan dengan baik dalam hal ini

Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.

Peraturan menteri Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan sudah sangat efektif, karena sudah dapat

dilaksanakan dengan baik di Kota Kudus.

Dilihat dari tolak ukur keberhasilan dalam pelaksanaan terhadap

pembuatan zebra cross ini adalah berhasil dengan baik, apabila dapat

membantu pejalan kaki dalam menyeberang jalan.

Pelaksanaan Pembuatan zebra cross berdasarkan Peraturan Menteri

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

114
Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan Sudah sesuai, yakni dilaksanakan oleh Instansi Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus, dan atau Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat) Republik Indonesia

Peran Dinas Perhubungan kota Kudus dalam pembuatan zebra

cross di Kota Kudus berdasarkan dimana peran dari Dinas Perhubungan

itu sendiri untuk melaksanakan pemasangan zebra cross pada ruas jalan

Kabupaten Kudus.

Selain itu ada Instansi lain yang ikut andil dalam pembuatan zebra

cross di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus yakni Dinas PUPR

(Pekerjaan Umum Penataan Ruang)

Dan Instansi lain yang mendukung dalam pembuatan zebra cross di

Kota Kudus yaitu instansi yang memberikan ide saran dan masukan

kepada Dinas Perhubungan yaitu khususnya Satlantas Polres Kudus Peran

instansi lain tersebut dalam pembuatan zebra cross ialah memberikan

masukan dalam pempatan atau pemasangan zebra cross

Kepala Seksi Keselamatan LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan)

Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus mengenai kemampuan sumber

daya manusia dalam pembuatan zebra cross di Kota Kudus pihak ketiga

harus memenuhi syarat dalam melaksanakan pekerjaan, pengecatan

marka. Dan kemampuan sumber daya manusia dalam pembuatan zebra

cross sudah cukup memadai hanya saja pihak ketiga harus memiliki syarat

syarat dalam melaksanakan pekerjaan pengecatan marka jalan.

115
Menurut pendapat Kepala Seksi Keselamatan LLAJ (Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan) Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus Kabupaten

Kudus sudah cukup memiliki sumber daya manusia yang berkualifikasi di

bidang pembuatan zebra cross di Kecamata Kota Kabupaten berdasarkan

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan. Namun Dinas

Perhubungan Kabupaten Kudus masih merasa kekurangansumber daya

manusia yang memiliki kompeten dalam menunjukan titik letak lokasi

dimana fasilitas penyeberangan zebra cross tersebut harus dipasang.

Sarana dan prasana yang disediakan pemerintah sudah memadai

dalam pembuatan zebra cross di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus

sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan. Hanya

saja jumlah dana yang telah disediakan oleh pemerintah guna pembuatan

zebra cross di kecamatan Kota Kabupaten Kudus dinilai kurang

mencukupi. Tetapi penggunaan dana disesuaikan dengan prioritas saja

oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus.

Mengenai jika terjadi kesesuaian pembuatan zebra crosss dengan

ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka

Jalan, sehingga menimbulkan pengaruh terhadap proses pembuatan zebra

116
cross yakni fasilitas penyeberangan zebra cross bisa berfungsi dengan

baik.

Jumlah zebra cross yang berada di Kecamatan Kota Kabupaten

Kudus dinilai kurang memadai dan mencukupi bagi kebutuhan

keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan nya. Terdapat jalan –jalan yang

seharusnya dipasang zebra cross untuk menjamin keselamatan para

pengguna jalan , namun belum dipasang. Seperti hal nya di perempatan

jalan menara ini di jalan tersebut sering sekali terjadi kemacetan di jalan

tersebut akan tetapi di jalan menara tidak tersedia fasilitas penyeberangan

zebra cross yang mengakibatkan kemacetam yang terjadi begitu luar

biasa. Setidaknya jika di jalan menara tersebut tersedia fasilitas

penyeberangan zebra cross kemacetan pasti sedikit berkurang

kemacetannya. Karena fungsi dari fasilitas penyeberangan jalan zebra

cross ialah solusi dalam mengurangi kemacetan

Meskipun perempatan Jalan Menara Kudus ialah lokasi di

Kecamatan Kota Kabupaten Kudus yang termasuk cukup ramai dan

rawan kemacetan namun hingga kini belum tersedia zebra cross di lokasi

tersebut.Selain di Perempatan Jalan Menara Kudus. Terdapat pula jalan

raya yang wilayahnya ramai, namun belum dipasangnya sebuah fasilitas

penyeberangan jalan zebra cross. Yakni di jalan raya di depan mall

Ramayana Kabupaten Kudus . Dimana para pejalan kaki yang hendak

menyeberang jalan menuju alun – alun Simpang Tujuh Kabupaten Kudus

pasti mengalami kesusahan jika harus menyeberang jalan tanpa melalui

fasilitas penyeberangan jalan zebra cross. Dikarenakan jalan tersebut

117
termasuk jalan yang berarus lalu lintas yang cukup padat dan rawan akan

kemacetan.

Mengenai Fasilitas Penyeberangan jalan di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus jalan zebra cross selain jumlah nya kurang mencukupi

kebutuhan lalu lintas di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus. Masih

terdapat nya zebra cross yang dipasang dengan proses pengerjaan yang

terlihat belum selesai, hanya setengah dari jalan raya nya. Hal ini

disebabkan adanya pelebaran jalan di jalan tersebut atau mungkin

dikarenakan pengerjaan dari pembuatan zebra cross tersebut yang masih

setengah jalan . Seperti contohnya di Jalan Jendral Ahmad Yani Kudus,

Jalan Sunan Kudus, Jalan Dr. Loekmonohadi Kudus . Dan bahkan di

depan pendopo Kabupaten Kudus di Jalan Simpang Tujuh Kabupaten

Kudus pun terdapat zebra cross yang pengerjannya baru separuh jalan.

Bentuk dan ukuran Marka Jalan Zebra Cross di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus. Bentuk salah satu Zebra Cross di Jalan Dr.

Lukmonohadi di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus (Lihat gambar 9&

10) berbeda dengan Bentuk dan ukuran Marka Jalan Zebra Cross di

Kecamatan Kota Kabupaten KudusBentuk salah satu Zebra Cross di

Jalan A. Yani di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus(Lihat gambar 11 &

gambar 12), berbeda pula dengan Bentuk dan ukuran Marka Jalan Zebra

Cross di Kecamatan Kota Kabupaten KudusBentuk salah satu Zebra

Cross di Sunan Kudus di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus(Lihat

gambar 13 & 14). Setelah penulis melakukan pennelitian di sekitar lalu

lintas jalan raya di Kecamatan Kota Kabupaten Kudus, ditinjau dari 3

118
sample zebra cross yang telah penulis amati kesesuaian ukuran dalam

pembuatan zebra cross sudah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada

didalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67

Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan.

4.2.6. Faktor Pendukung dalam Pembuatan Zebra Cross

Yang menjadi faktor pendukung yang dapat memudahkan dalam

pembuatan zebra cross yakni diantaranya :

1) Koordinasi yang baik antar instansi

Koordinasi antarinstansi/dinas terkait sangat dibutuhkan sehingga

tidak ada kesan ego sektoral. Kelak tidak akan ada lagi kegiatan

bongkar pasang badan trotoar sepanjang tahun oleh berbagai

instansi/dinas secara bergantian, semuanya harus terpadu. (Nirwono,

https://id.beritasatu.com/home/memuliakan-pejalan-kaki/184735,

akses 20 Maret 2019)

Dalam Pembuatan zebra cross di persimpangan jalan Dinas

Perhubungan tidak diperbolehkan asal saja. Jika membuat zebra cross

harus memperhatikan fungsi dan fasilitas umum itu sendiri. Tidak

menuai hasil jika pembuatan zebra cross tidak berfungsi untuk

pejalan kaki dalam menyeberang jalan . Dalam pembuatan zebra

cross harus adanya koordinasi yang baik antar intansi terkait seperti

Satuan Lalu Lintas, Dinas Kebersihan dan Pertamanan serta lainnya.

Sebab hal ini sudah menyangkut dengan estetika. Maka dari itu

Pembuatan zebra cross harus ditempatkan di kawasan strategis dan

119
tidak terhalang apapun. Maka dapat dimanfaatkan oleh pejalan kaki

guna menyeberang jalan dengan rasa aman dan nyaman. Konsep

pembangunan kota bukanlah hanya sekedar pembuatan fasilitas

umum seperti zebra cross saja . Melainkan bagaiman keberadaan

fasilitas umum yaitu zebra cross ini dapat difungsikan dengan baik

sesuai dengan estetika kota. (Ris, http://berita.baca.co.id/28644177?

origin=relative&pageId=4084c331-dead-4234-9a07-

d30e99033bcd&PageIndex=2, akses 20 Maret 2019)

Menurut Edward III (dalam Nawawi, 2009: 136) Komunikasi, yaitu

menunjukan bahwa setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan

baik jika terjadi komunikasi efektif antara pelaksanaan program

(kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target grup). Tujuan dan

sasaran dari program atau kebijakan dapat disosialisasikan secara

baik sehingga dapat menghindari adanya distorsi kebijakan dan

program. Komunikasi dalam implementasi kebijakan tentang

penyeberangan pejalan kaki oleh Dinas Perhubungan terbagi menjadi

tiga yaitu yang pertama komunikasi dalam proses perencanaan

program, yaitu proses penyusunan dan penetapan program

pemeliharaan maupun pembuatan sarana penyeberangan pejalan kaki

Dinas Perhubungan dalam kaitannya dengan perencanaan setiap

tahunnya diadakan Musrenbang (Musyawarah Recana Pembangunan)

dan dilakukan mulai tingkat kelurahan, kecamatan dan Kota.

Musyawarah tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat

mengakomodir semua kebutuhan stakeholder dalam penyusunan dan

120
penetapan program pemeliharaan maupun pembuatan sarana

penyeberangan pejalan kaki. Yang kedua yaitu komunikasi internal

organisasi adalah Sebelum menjalankan suatu kegiatan program,

dinas melalui bidang yang terkait melakukan komunikasi internal.

Komunikasi internal bertujuan agar tujuan dari sebuah program dapat

diketahui dengan baik. Untuk mengetahui bagaimana koordinasi

internal dinas mengenai program yang dijalankan. Yang ketiga yaitu

komunikasi eksternal organisasi merupakan komunikasi yang

dilakukan dinas kepada sasaran program dan kepada stakeholder

dalam membantu mencapai tujuan program.

Informasi dihimpun, ada beberapa syarat dipasangnya zebra cross.

Antara lain, dipasang pada jalan dengan arus lalu lintas, kecepatan

dan arus pejalan kaki relatif rendah. Kemudian, lokasi zebra cross

harus mempunyai jarak pandang yang cukup. Fungsinya agar tundaan

kendaraan yang diakibatkan oleh penggunaan fasilitas penyeberangan

masih dalam batas aman.

Zebra cross sudah diatur dalam Undang Undang Lalu Lintas No. 22

Tahun 2009 tentang keberadaan fungsi dari zebra cross sampai

dengan denda yang melanggar bagi pengendara kendaraaan. Fasilitas

ini merupakan bagian dari ruang lalu lintas yang menyediakan zebra

cross sebagai bagian pelayanan publik yang diperuntukkan bagi

pejalan kaki.

2) Dukungan Anggaran

121
Kemampuan sumber daya implementator dalam melakukan kajian-

kajian sebelum pelaksanaan program atau kebijakan harus dilakukan.

Tentunya program atau Kebijakan ini harus mencapai tujuan yang

optimal. Selain sumber daya manusia, sumber daya pendukung

lainnya juga berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan mengenai

fasilitas pejalan kaki berupa jembatan penyeberangan orang, sumber

daya terssebut berupa sumber daya finansial atau anggaran untuk

membangun fasilitas insfrastruktur jembatan penyeberangan orang.

Dalam pembangunan Jembatan Penyebrangan Orang yang memiliki

anggaran atau dana dimiliki sepenuhnya oleh pihak ketiga yaitu

perusahaan swasta yang berkerja sama oleh Pemerintah Kota .

(Elfiandi, 2015: 7)

Dalam melaksanakan suatu kebijakan tentu memerlukan nggaran

dalam mencapai tujuan kebijakan. Berdasarkan hasil observasi yang

dilakukan penulis tentang kebijakan Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2014 tentang Marka Jalan , apabila anggaran dengan apa yang

dikerjakan sesuai, Karena dengan anggaran yang sesuai kebijakan

dapat dikerjakan sebagaimana mestinya yang harus dikerjakan.

Anggaran dianggarkan untuk pemeliharaan setiap fasilitas pejalan

kaki berupa trotoar, jembatan penyebrangan orang dan zebra cross

bisa dianggarkan guna memelihara fasilitas yang ada dan untuk

menjaga kenyamanan pengguna pejalan kaki (Elfiandi, 2015: 14-15)

122
Untuk menunjang maksimalnya pelaksanaan kebijakan terdapat

berbagai factor yakni Pemerintah kota harus memiliki dalam jumlah

cukup yakni mengenai sumber daya dalam hal ini anggaran atau

dana, karena jika terjadi keterbatasan anggaran yang dimiliki.

Anggaran tersebut digunakan Pemerintah Kota untuk melakukan

kerja sama oleh pihak ketiga didalam penyediaannya atau

pembangunannya (Elfiandi, 2015: 9)

Namun demikian Dinas Prerhubungan haruslah bijak dalam

pembuatan zebra cross dengan menggunakan anggaran. Pelaksanaan

dalam mengelola anggaran harus seefektif mungkin guna pembuatan

zebra cross tersebut.

Sumber daya finansila mengalami hambatan jika adanya pengurangan

anggaran . Sumber daya dalam hal ini anggaran atau dana jika belum

dimiliki oleh Pemerintah Kota, akibat dari keterbatasan anggaran

yang dimiliki, sehingga di dalam pemeliharaan dan pembangunan

zebra cross dan jembatan penyeberangan mengalami hambatan.

3) Kompetensi teknis petugas

Petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri

yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang

dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota.

Petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh

Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit

123
pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit

pelaksana pengujian swasta. Kompetensi petugas tersebut dibuktikan

dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan. (UU Nomor

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 55)

Petugas yang berkompetensi sesuai yang ditetapkan oleh Menteri

yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasaran Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan atas usul Pembina Lalu lintas dan Angkutan jalan

mempunyai kewajiban menghasilkan petugas yang profsional dan

memiliki kompetensi di bidang Lalu lintas dan Angkutan jalan .

Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui

berbagai pelatihan dan pendidikan oleh pemerintah, kepolisian

Negara Republik Indonesia, dan / atau lembaga swasta yang

terakreditasi. (UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan Pasal 253)

Guna mencapai tujuan Meningkatkan kualitas pelayanan sektor

transportasi Meningkatnya Pelayanan kepada masyarakat, dan

meningkatnya kompetensi hendak dilakukan peningkatan Pelayanan

kepada masyarakat, dan peningkatan kompetensi Sumber Daya

Manusia petugas sektor transportasi

4.3. Kendala Kendala dalam Pembuatan Zebra Cross di Kecamatan

Kota Kabupaten Kudus

Kemampuan sumber daya manusia di Kecamatan Kota Kabupaten

Kudus dalam pembuatan zebra cross sudah cukup memadai hanya saja

124
pihak ketiga harus memiliki syarat syarat dalam melaksanakan pekerjaan

pengecatan marka jalan. Sumber daya manusia dalam pembuatan zebra

cross di Kota Kudus ini sudah cukup memadai. Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus juga sudah cukup memil iki sumber daya manusia

yang berkualifikasi di bidang pembuatan zebra cross. Namun Kecamatan

Kota Kudus masih kekurangan sumber daya manusia yang berkompeten

dalam menunjukan titik letak lokasi mana yang harus dipasang zebra

cross. Karena dalam pemasangan zebra cross tidak dapat dilakukan secara

sembarangan. Dalam pemasangan zebra cross tersebut dalam

kenyataannya terdapat berbagai syarat yang harus ditepati. Zebra cross

yakni ialah marka jalan yang mempunyai fungsi khusus bagi pejalan kaki.

Dan pada umumnya marka jalan tersebut berfungsi untuk mengatur lalu

lintas yang terletak di jalan raya. Seperti hal nya dengan zebra cross

marka jalan yang mempunyai fungsi untuk sebagai fasilitas dalam

penyeberangan bagi para pejalan kaki. Ciri-ciri dari zebra cross ialah

mempunyai bentuk garis membujur berwarna putih dan hitam, kurang

lebih ukuran garisnya 300 mm, mempunyai celah yang berukuran sama

dan panjang minimum 2500 mm. Zebra cross tersebut ialah termasuk

area dilarang parking , tujuannya yakni supata para pejalan kaki yang

hendak menyeberang mudah terlihat oleh para pengendara di lalu lintas

jalan raya.

Ditinjau dari syarat syarat dan ketentuan ketentuan dalam

pemasangan zebra cross, Menurut pendapat Kepala Seksi Keselamatan

LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) Dinas Perhubungan Kabupaten

125
Kudus sebenarnya Kecamata Kota Kabupaten Kudus masih kekurangan

sumber daya manusia yang berkompeten dalam menunjukan titik, letak

lokasi mana yang harus dipasang zebra cross.

Para pejalan kaki yang hendak menyeberang pada umumnya akan

menunggu lampu lalu lintas di jalan raya berwarna merah , baru mereka

melintas melalui zebra cross. Jika pada umumnya di daerah perkotaan

pasti sering terdapat zebra cross yang terletak di selitar lampu lalu lintas.

Namun bukanlah lampu merah yang menjadi alasan tersedianya zebra

cros. Melainkan syarat ketentuan dipasangna sebuah zebra cross ialah

yang pertama, zebra cross harus dipasang pada jalan yang mempunyai

arus lalu lintas kecepatan dan arus pejalan kaki yang cenderung rendah.

Ketentuan yang kedua ialah lokasi yang akan dipasang zebra cross

haruslah memiliki jarak pandang yang cukup. Tujuannya adalah tundaan

kendaraan yang diakibatkan oleh penggunaan fasilitas penyeberangan

zebra cross masihlah dalam batas yang aman.

Menurut Kepala Seksi Keselamatan LLAJ (Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan) Dinas Perhubungan Kabupaten Kudus yang penulis

wawancarai Kendala yang dialami oleh dinas perhubungan dalam

pembuatan zebra cross di Kota Kudus adalah keterbatasan anggaran

(Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang diberikan oleh Pemerintah

Daerah.

Masyarakat Kota Kudus sudah berperan aktif ikut andil dalam

pembuatan zebra cross. Sarana dan prasana yang telah disediakan

pemerintah kini sudah memadai dalam pembuatan zebra cross di Kota

126
Kudus Namun Jumlah dana yang telah disediakan pemerintah dalam

pembuatan zebra cross di Kota Kudus dinilai kurang mencukupi, tetapi

penggunaan dana disesuaikan dengan prioritas oleh Dinas Perhubungan

Kabupaten Kudus. Jumlah dana nya yang sesungguhnya harus

dikeluarkan untuk pembuatan zebra cross adalah sekitar Rp. 306.200/m2

Walaupun terjadi kendala kendala dalam pembuatan zebra cross di

Kecamatan Kota Kabupaten Kudus, namun pengaruh Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan terhadap proses pembuatan

zebra cross adalah zebra cross bisa berfungsi dengan baik. Sejauh ini

pembuatan zebra cross di Kota Kudus dilaksanakan sesuai Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan tanpa adanya hambatan.

127
BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti maka menarik

simpulan sebagai berikut:

1. Pembuatan Zebra Cross di Kota Kudus Perspektif Peraturan

Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun

2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014

tentang Marka Jalan

Dalam implementasi kebijakan mengenai pembuatan fasilitas

penyeberangan jalan berupa zebra cross di Kecamatan Kota

Kabupaten Kudus perspektif Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34

Tahun 2014 tentang Marka Jalan belum terlaksana secara

maksimal, sehingga keberadaan zebra cross sebagai salah satu

fasilitas penyeberangan kurang dapat berfungsi dengan baik

apabila pembuatan zebra cross hanya dibuat setengah jalan saja,

maka banyak jalan-jalan yang padat yang belum tersedianya

fasilitas penyeberangan jalan (zebra cross), bahkan banyak zebra

cross yang warnanya telah pudar.

128
Terdapat beberapa factor yang sebenarnya dapat mendukung

dalam pembuatan zebra cross yaitu harus adanya koordinasi yang

baik antar instansi dan juga dukungan sumber daya. Dalam hal ini

anggaran atau dana yang belum dimiliki oleh Pemerintah Kota,

akibat dari keterbatasan anggaran yang dimiliki, Pemerintah Kota

melakukan kerja sama oleh pihak ketiga didalam penyediaannya

atau pembangunannya, kompetensi teknik petugas yang sudah

ditentukan didalam Undang-Undang.

2. Kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan Kabupaten

Kudus dalam menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2018 tentang Perubahan

atas Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia

Nomor 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

Ditinjau dari syarat syarat dan ketentuan ketentuan dalam

pemasangan zebra cross, Menurut pendapat Kepala Seksi

Keselamatan LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) Dinas

Perhubungan Kabupaten Kudus sebenarnya Kecamata Kota

Kabupaten Kudus masih kekurangan sumber daya manusia yang

berkompeten dalam menunjukan titik, letak lokasi mana yang

harus dipasang zebra cross. Karena dalam pemasangan zebra cross

tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Dalam pemasangan

zebra cross tersebut dalam kenyataannya terdapat berbagai syarat

yang harus ditepati. Menurut Kepala Seksi Keselamatan LLAJ

(Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) Dinas Perhubungan Kabupaten

129
Kudus yang penulis wawancarai Kendala yang dialami oleh dinas

perhubungan dalam pembuatan zebra cross di Kota Kudus adalah

keterbatasan anggaran (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)

yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.Jumlah dana yang telah

disediakan pemerintah dalam pembuatan zebra cross di Kota

Kudus dinilai kurang mencukupi, tetapi penggunaan dana

disesuaikan dengan prioritas oleh Dinas Perhubungan Kabupaten

Kudus. Jumlah dana nya yang sesungguhnya harus dikeluarkan

untuk pembuatan zebra cross adalah sekitar Rp. 306.200/m2.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan hal-hal

sebagai upaya perbaikan baik kepada instansi yang bersangkutan maupun

kepada pembuat kebijakan saat ini dan disaat yang akan datang:

1. Pemerintah Daerah perlu mempertimbangkan atau mengevaluasi

kembali kebijakan mengenai fasilitas penyeberangan berupa

pembuatan zebra cross mengingat dengan adanya beberapa zebra

cross yang bentuk nya tidak sesuai dengan fungsinya atau

penempatannya yang kurang mencukupi kebutuhan. Sehingga

keberadaannya perlu mempertimbangkan berbagai aspek, baik dari

sisi tata ruang dan keselamatan pengguna fasilitas penyeberangan

jalan (zebra cross).

2. Pemerintah Daerah hendaknya memberikan dana anggaran yang

cukup (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) guna kebutuhan

dalam pembuatan zebra cross di Kecamatan Kota Kudus sesuai

130
dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor

67 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang

Marka Jalan.

3. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kudus

sebaiknya lebih memiliki sikap tegas dalam keberadaan zebra cross.

131
DAFTAR PUSTAKA

Asmoro, Djoko. 1990. Petunjuk Perencanaan Marka Jalan. Jakarta: Direktorat

Jenderal Bina Marga Direktorat Pembinaan Jalan Kota.

Abdul Kadirr. (2006).  Transportasi : Peran dan Dampaknya dalam

Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

WAHANA HIJAU. 1 (3): 122-123.

Abdul Wahab, Solichin.2008. Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijakan Negara Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

Adjo, Oemar Seno. 1985. Peradilan Bebas Negara hukum. Jakarta: Erlangga.

Agostiono.2010. Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter dan Van

Horn,http//kertyawitaradya.wordpress, diakses 5 September 2010.

Aguino. 1982. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Penerbit PT.Alumni.

Agostiono.2010. Implementasi Kebijakan Publik Model Van Meter dan Van

Horn,http//kertyawitaradya.wordpress, diakses 5 September 2010.

A Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara : Suatu Studi Analisis Mengenai

Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I –

Pelita VI, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana UI, Jakarta, 1990.

Al-Rasyid, Harun. 1983.Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara. Jakarta. UI

Press.

132
Amanda, Gita. Survei Kecelakaan Lalu Lintas di Seluruh Dunia: Orang-Orang

yang Mati dalam Diam. Online

(https://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/07/nenhso57-survey-

kecelakaan-lalu-lintas-di-seluruh-dunia-orangorang-yang-mati-dalam-diam )

[accessed 11/18/30]

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Arikunto, Suharsimin. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta

Arumanadi, Bambang dan Sunarto. 1990. Konsepsi Negara hukum Menurut

UUD. Semarang : IKIP semarang Press.

Ashshofa. Burhan. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Azhary Mohammad Tahir, 1992. Negara hukum Suatu Studi tentang Prinsip-

prinsipnya dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara

Madinah dan Masa kini, cet.pertama. Jakarta: Bulan Bintang.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara,

Alumni, Bandung, 1997.

Baharuddin Hamzah. 2010. Bunga Rampai Hukum dalam Kontroversi Isu.

Makassar: Pustaka Refleksi.

Bambang Sunggono. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

133
Boedhi Laksito . 2104. Metode Perencanaan & Perancangan Arsitektur. Jakarta:

Penebar Swadaya Group

Bruggink. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: PT.Citra Aditrya Bakti.

Budiardjo, Miriam. 1972. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Burkens, M.C.,. 1990. Beginselen Van De Democratische Rechtstaat . Zwole:

Tjeenk Willink

Burkens, M.C. Kant, Imanuel dan Stahl, F.J. Kant Imanuel, dan Stahl, F.J. 1989.

Mekanisme Kepemimpinan Nasional Lima Tahun. Jakarta:In-Phill,co.

Dahlan. 2017. Problematika Keadilan dalam Penerapan Pidana terhadap

Penyalah Guna Narkotika. Sleman: Deepublish.

Dewi, Anita Permata. Angka kecelakaan lalu-lintas Indonesia termasuk tinggi di

ASEAN (https://www.antaranews.com/berita/664979/angka-kecelakaan-lalu-

lintas-indonesia-termasuk-tinggi-di-asean ) . [accessed 11/18/30]

Departemen Kimpraswil. 2004. Penempatan Marka Jalan. Jakarta: Balitbang.

Diantha,  I Made Pasek. 2017. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam

Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada

Direktorat Jendral Bina Marga. 1999. Tata Cara Perencanaan Fasilitas Pejalan

Kaki di Kawasan Perkotaan. Direktorat Jendral Bina Marga

Efendi, Jonaedi. 2016. Kamus Istilah Hukum Populer. Jakarta: Prenadamedia

Group.

134
Fasikullisan, Anugerah. 2015. Kenyamanan Penyebrang Jalan Studi Kasus

Simpang Bundaran Jalan Kartini Kota Tegal. Makalah.

Fattah, Nanang . 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Hajon, Philipus M. 1996. Ide Negara hukum dan Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia dalam Bagir Mafnan (editor) Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia

dan Negara hukum. Jakata: Gaya Pratama.

Hadjon, Philipus M. Dan Djamiati, Sri. 2005. Argumentasi Hukum, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press

Hariyanto. 2000. Belajar dan Pembelajaran sebuah Teori dan Konsep Dasar.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Haryadi, Adi. 2012. Harmonisasi Rambu dan Marka dengan Geometrik Jalan

pada Jalan Luar Kota. Skripsi Universitas Indonesia

Hildiario, Billy. 2015. Ibu Babe Lalu Lintas Pos Theatre Keselamatan Mobile.

Kudus.: Satlantas Polres Kudus

J. H Rapar. 1988. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali Press.

Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,

Konpress, Jakarta, 2006.

Jurnaline, 2012, Pria Tertabrak Busway,<http://jurnaline.com/2012/01/16/pria-

tertabrak-busway/>,diakses pada tanggal 25 November 2018

Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily. 1980 Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia. Jakarta:FH UI

135
Luhulima, Achie Sudiarti,. 2007. Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan. Jakarta:

Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya

Mulyawati, Eka. 2016.  Analisis Efektivitas Fasilitas Penyeberangan Pejalan

Kaki Berdasarkan Gap Kritis (Studi Kasus Zebra Cross Depan PT. Veronique

Indonesia, Banjarnegara). Thesis Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah

Purwokerto

Patilima, Hamid. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfa

Purnamasari P Eliza, 2015. Respon Masyarakat Pengguna Jalan Terhadap Zebra-

Cross Di Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Rosdalina. 2017. Hukum Adat. Yogyakarta: Deepublish

Rumiartha, I Nyoman Prabu Buana. 2015. Kedudukan Peraturan Menteri Pada

Konstitusi. Jurnal UNDWI Volume (Nomor) : 9-13 , mn

Sagala, Syaiful. 2009. Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu

Pendidikan. Bandung: Alfabeta.Saputra, Abadi Dwi. 2017. Studi Tingkat

Kecelakaan Lalu Lintas Jalan di Indonesia Berdasarkan Data KNKT (Komite

Nasional Keselamatan Transportasi) dari Tahun 2007-2016, Vol. 9,Chapter 2.

Researchgate. Available

athttps://www.researchgate.net/publication/323665573_Studi_Tingkat_Kecelakaa

n_Lalu_Lintas_Jalan_Di_Indonesia_Berdasarkan_Data_KNKT_Komite_Nasional

_Keselamatan_Transportasi_Dari_Tahun_2007-2016 [accesed 11/29/18].

136
Sardol, S. Masribut. (2014).  Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukun

Indonesia. Jurnal Rechtsidee UMSIDA. 1 (1): 1

SB, Danang. 2011. Budaya Tertib Lalu Lintas. Jakarta TImur: Sarana Bangun

Pustaka.

Soehino.1981. Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan. Yogyakarta:

Penerbit Liberty.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum. Jakarta. PT.Rajawali beta

Soekanto, Soerjono. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamujdi. 1983. Peneltian Hukum Normatif, Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan

Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soekanto, Soerjono dan Abdullah, Mustafa. 1982. Sosiologi Hukum Dalam

Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali.

Solichin A, Wahab. 1991. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi

Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara Jakarta.

Soemitro, Hanitijo,Roni. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jumentri. Jakarta.

Ghalia Indonesia

137
Sony. Pembangunan Jalan Baru Mampu Perkecil Tingkat Kecelakaan Di Jalan

Raya. Online (https://www.pu.go.id/berita/view/2763/pembangunan-jalan-baru-

mampu-perkecil-tingkat-kecelakaan-di ) [accessed 11/18/30]

Sri Soemantri. 1992. Asas Negara hukum dalam Sistem Hukum Nasonal.

Yogyakarta: UII Press.

Subarsono.2008.Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bungin,

Burhan.2005.Penelitian Kualitatif.Jakarta: Kencana.

Sujana, Ida Bagus. 2016. Trauma Vertebra. Makalah.Sony. Online at

https://www.pu.go.id/berita/view/2763/pembangunan-jalan-baru-mampu-perkecil-

tingkat-kecelakaan-di [accessed 11/29/18]

Sumaryono. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas. 2002.

Yogyakarta: Kanisius

Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar

Grafika.

Sunggono,Bambang. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Weber.1958. From Max Weber : Essays in Sociology. New York: Oxford

University Press.

Supiyono.2018. Keselamatan Lalu Lintas. Malang: Polinema Press.

Susanti, Anita, dkk. 2018. Identifikasi Kebutuhan Fasilitas Bagi Penumpang di

Stasiun Kereta Api Berdasarkan Analisis Pergerakan Penumpang. Jurnal

Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas ITS . 2 (1): 23

138
Tri Harso Karyono. 2005. Arsitektur Kota Tropis Dunia Ketiga. Mataram: Tehaka

Arkita

Tribun news. . Korban Tewas Kecelakaan Lalu Lintas, 90 Korban Tewas

Kecelakaan Lalu Lintas, 90 Persen Berpenghasilan Rendah dan Menengah.

http://www.tribunnews.com/otomotif/2016/05/27/korban-tewas-kecelakaan-lalu-

lintas-90-persen-berpenghasilan-rendah-dan-menengah?page=2. [accessed

11/18/30]

https://www.pu.go.id/berita/view/2763/pembangunan-jalan-baru-mampu-perkecil-

tingkat-kecelakaan-di

Usman, Nurdin. (2004). Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta:PT.

Raja Grafindo Persada

Von Schmid.1980. Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara Dan Hukum. Jakarta:

Pustaka Sardjana.

Wicaksono,Dendy, dkk. Analisis Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus - Jalan

Raya Ungaran - Bawen). Jurnal Karya Teknik Sipil 3(1): 203.

Yulianto, Agus . Hitam Putih Jalanan Yang Mulai Tersisihkan. Online

(https://www.republika.co.id/berita/trendtek/sainstrendtek/16/01/26/internaonal/gl

obal/15/09/07/jurnalisme-warga/kabar/17/05/30/oqrsvb396-hitam putih-jalanan-

yang-mulai-tersisihkan ) [accessed 11/18/30]

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan

139
Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu

lintas Jalan

Prasetyo, Teguh, dan Barkatullah, Abdul Halim. 2011. Ilmu Hukum & Filsafat

Hukum Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Ctk. Keempat.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Setiono. 2010. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian hukum. Surakarta:

Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Amiruddin, Asikin, Zainal. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:

Rajawali Press.

Achmadi, Abu, dan Narbuko, Cholid. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi

Aksara.

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: CV Bandar

Maju.

Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri. 2010. Penelitian Hukum Normative Suatu

Tinjauan Singkat. Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo Persada.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya. Jakarta: Penerbit Huma.

Nawawi, Ismail. 2009. Publik Policy Analisis, Strategi Advokasi Teori dan

Praktek. Surabaya : PMN.

140
Elfiandi, Era. 2015. PELAKSANAAN KEBIJAKAN MENGENAI FASILITAS

PEJALAN KAKI DI KOTA PEKANBARU TAHUN 2013. Jurnal FISIP. 2 (1):

7-9.

141
142

Anda mungkin juga menyukai