PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui arti korupsi.
2. Mahasiswa mengetahui korupsi dari berbagai bidang.
3. Mahasiswa mengetahui cara penanggulangan korupsi.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
kelompok dalam; penjualan ”pengampunan” pada oknum-oknum yang melakukan tindak
pidana agar tidak dituntut oleh yang berwajib dengan imbalan uang suap; eksploitasi dan
pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi, dan lain-lain.
Adapun ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
a. Melibatkan lebih dari satu orang,
b. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota
birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta.
c. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam
tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau
benda atau pun wanita.
d. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya.
e. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak
selalu berupa uang.
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau masyarakat umum.
g. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
h. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang
dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang
bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
3
korupsi akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam
kehidupan bangsa.
2.3 Ada beberapa pandangan tentang Masalah korupsi, yang masing – masing memiliki
perspektif tersendiri yaitu sebagai berikut :
1. Pandangan Neokonservatif
Korupsi adalah aktualisasi dari influs keserakahan yang pada dasarnya dimiliki semua
orang. Menurut pendekatan neokonservatif, korupsi itu terjadi karena merosotnya
moral elit masyarakat pada umumnya dan penguasa pada khususnya, sehingga
kehilangan wibawa. Kemerosotan itu terlihat dari tindakan elit yang tidak mampu
mengekang diri sendiri, memperlihatkan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-
nilai moral yang sering mereka anjurkan dan bahkan menghianati nilai-nilai itu.
Kendali atas dorongan-dorongan keserakahan dirinya sendiri tidak kuat, yang
menyebabkan wibawanya untuk mengendalikan orang lain juga merosot. Pelanggaran
seperti korupsi dapat berkembang tanpa kendali.
4
pengendalian masyarakatlah yang melemah, karena salah satu unit yang
mendukung sistem masyarakat tidak berfungsi.
5
b. Aspek organisasi, kurang keteladanan pimpinan, kultur yang salah, lemahnya
akuntabilitas, lemah pengendalian manajemen
c. Tempat individu dan organisasi berada, komunitas korup, kurang sadar akibat
korupsi komunitas dirugikan, kurang sadar dirinya sebagai komunitas yang korup,
kurang sadarnya komunitas bahwa pemberantasan korupsi efektif bila melibatkan
komunitas, adanya peratuaran yang hanya menguntungkan penguasa dan kroninya.[9]
6
ketegasan penegak hukum. Negara-negara sekuler tingkat korupsinya rendah, sedangkan
Indonesia yang memiliki organisasi keagamaan, majelis taklim, dan partai politik yang berciri
agama dalam jumlah banyak justru tingkat korupsinya tinggi
7
harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada
negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin
pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).
2. Dampak Korupsi Terhadap Sosial dan Kemiskinan
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat
korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima
pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para pejabat
dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam materi
tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah masyarakat.
Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek–proyek yang
menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para penguasa akan membangun
prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau
toh ada biasanya momen menjelang kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan
dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang
regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan
tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum miskin
akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil pertanian karena terhambat dengan
tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia
umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia
menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–
belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan
masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran
Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan
anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah
satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak
mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut harga-harga
kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan
pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali
kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada
negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas.
Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin”
tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan
pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor”
8
negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat
miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan
uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat
miskin
3. Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang
paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh
karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam
upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua
jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi
bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang
seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’
yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang
untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk
uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk,
Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal
seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat.
Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’
dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun
kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di
tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan
dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria
Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan
bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi
nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI
memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya
ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.
9
Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para
pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang
lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit
secara keseluruhan.
Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga
menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang
sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer,
mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI
memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat
profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan
berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu,
sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal
kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh
bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih
menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah
ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan
terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara
perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi
komersial.
10
pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara
demokrasi sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat
demokrasi dunia, Indonesia sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi)
sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di
peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi
masih merajalela di negeri ini.
11
telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu
sebuah lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia.
Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka
diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut
dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah
menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum
sebagai pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian
antara undang-undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan
sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya
undang-undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat
atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan
penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan.
Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di Indonesia telah
terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai
sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk mengadili pejabat
tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang korup
mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada
domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga
banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup
bukti.
12
diperlakukan sama. Seringkali pihak aparat penegak hukumnya seolah – olah kalah
wibawa dengan sang koruptor, jelas ini masalah moral dan mental yang perlu segera
dibenahi.
3. Undang – undang korupsi, yang berlaku saat ini, terlampau banyak celah dan
kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh koruptor. Berlakukan undang – undang
korupsi pembuktian terbalik dengan tambahan bahwa yang dapat dijerat dengan
undang – undang ini termasuk keluarga sang pejabat.
4. Perbaikan Sistem pendidikan, mungkin dapat dirancang untuk dimasukkan dalam
kurikulum pendidikan mulai setingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik
tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga menanamkan rasa
memiliki negara ini,
5. Menanamkan Perilaku yang baik, lewat kegiatan – kegiatan keagamaan.
6. Tekankan etos kerja, yang jujur.
7. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
8. Hukuman cambuk didepan umum / mati bagi para koruptor. Dengan hukuman ini
akan memberikan dampak psikologis yang sangat besar bagi pelaku korupsi.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Semua bentuk korupsi dicirkan tiga aspek. Pertama pengkhianatan terhadap
kepercayaan atau amanah yang diberikan, kedua penyalahgunaan wewenang, pengambilan
keuntungan material ciri-ciri tersebut dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang
mencangkup penyapan pemersasn, penggelapan dan nepotisme
Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya merupakan bentuk pelanggaran
terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan kerugian bagi badan-badan negara
danpublik.
3.2 Saran
Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat
memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar
kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan dan pemikiran yang
intelektual hususnya dalam mata kuliah anti korupsi”.
14
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari
Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme
15
MAKALAH
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
16
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga
makalah tentang KORUPSI DALAM BERBAGI PERSPEKTIF ini dapat di susun dengan
baik.
Makalah ini disusun bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan mempelajari
tentang “KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF”. kami telah mencari bahan dari
berbagai sumber sehingga kami semua dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
lancar. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyusun
makalah ini.
Akhirnya kami sadar bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna, jadi apabila ada
penulisan kata yang tidak sesuai kami mohon maaf. Demikian yang dapat kami sampaikan,
atas perhatian saudara kami ucapkan terima kasih.
Penulis
17
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................................................ 1
BAB II ISI
DAFTAR PUSTAKA
iii 18
iii
19