Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya
dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagaisuatu proses perubahan yang
direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan
pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni
(orang-orang yang terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan
pembiayaan. Diantaradua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor
manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari
keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negaratercinta ini
dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara
yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut
bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas
moral dan kepribadiannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan korupsi ?
2. Korupsi mencakup bidang apa saja ?
3. Bagaimana cara penanggulangan korupsi ?

1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui arti korupsi.
2. Mahasiswa mengetahui korupsi dari berbagai bidang.
3. Mahasiswa mengetahui cara penanggulangan korupsi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI KORUPSI


Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “Coruptio” atau “Corruptus” yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Kata korupsi berasal dari bahasa Yunani Latin “Corruptio” yang
berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang
dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental, dan hukum.
Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri
sendiri dengan merugikan orang lain, yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah yang
langsung melanggar batas-batas hukum, sedangkan menurut norma-norma pemerintah adalah
apabila hukum dilanggar atau apabila melakukan tindakan tercela dalam bisnis. Korupsi
dalam Kamus Ilmiah populer mengandung pengertian kecurangan, penyelewengan/
penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan sendiri, pemalsuan.
Para ahli hukum lain yang memberikan pengertian korupsi dengan menggunakan
pendekatan sosiologis, seperti :
a. Syed Hussein Alatas dan Robert C. Brooks
Inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Rumusan
korupsi yang dikemukakan Brooks adalah dengan sengaja melakukan kesalahan atau
melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan
kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit bayak bersifat pribadi.
b. Nathaniel H. Left
Korupsi adalah suatu cara diluar hukum yang digunakan oleh perseorangan atau
golongan-golongan untuk mempengaruhi tindakan-tindakan birokrasi.
c. Jose Veloso Abueva
Korupsi adalah mempergunakan kekayaan negara (biasanya uang, barang-barang
milik negara atau kesempatan) untuk memperkaya diri.

2.2 Gejala Korupsi


Kartini Kartono menjelaskan perbuatan korupsi meliputi antara lain: Pengelapan,
penyogokan, penyuapan, kecerobohan administrasi dengan intensi mencuri kekayaan negara,
pemerasan, penggunaan kekuatan hukum dan atau kekuatan bersenjata untuk imbalan dan
upah-upah materil, barter kekuasaan politik dengan sejumlah uang, penekanan kontrak-
kontrak oleh kawan “sepermainan” untuk mendapatkan komisi besar bagi diri sendiri dan

2
kelompok dalam; penjualan ”pengampunan” pada oknum-oknum yang melakukan tindak
pidana agar tidak dituntut oleh yang berwajib dengan imbalan uang suap; eksploitasi dan
pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi, dan lain-lain.
Adapun ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
a. Melibatkan lebih dari satu orang,
b. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota 
birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta.
c. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam 
tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau 
benda atau pun wanita.
d. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya.
e. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak 
selalu berupa uang.
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan 
publik atau masyarakat umum.
g. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan 
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.
h. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang 
dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang 
bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.

Menurut Ilmu Gunawan faktor-faktor penyebab korupsi adalah:


a. Pengawasan melekat kurang berfungsi karena: pemimpin kurang menguasai masalah,
kurangnya waktu pimpinan melakukan pengawasan, pimpinan kurang tegas, kolusi atas
bawahan, belum adanya sanksi.
b. Krisis misi pengabdian pegawai.
c. Interest/kepentingan keluarga.
d. Pengaruh sistem sosial/budaya.
e. Gaya hidup konsumerisme.
f. Penyalahgunaan kekuasaan 
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat kelembagaan, ekonomi, sosial dan
individual serta ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat kausal, namun demikian hal yang
dapat dicatat adalah bahwa menghilangkan penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin

3
korupsi akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam
kehidupan bangsa.

2.3 Ada beberapa pandangan tentang Masalah korupsi, yang masing – masing memiliki
perspektif tersendiri yaitu sebagai berikut :
1. Pandangan Neokonservatif
Korupsi adalah aktualisasi dari influs keserakahan yang pada dasarnya dimiliki semua
orang. Menurut pendekatan neokonservatif, korupsi itu terjadi karena merosotnya
moral elit masyarakat pada umumnya dan penguasa pada khususnya, sehingga
kehilangan wibawa. Kemerosotan itu terlihat dari tindakan elit yang tidak mampu
mengekang diri sendiri, memperlihatkan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-
nilai moral yang sering mereka anjurkan dan bahkan menghianati nilai-nilai itu.
Kendali atas dorongan-dorongan keserakahan dirinya sendiri tidak kuat, yang
menyebabkan wibawanya untuk mengendalikan orang lain juga merosot. Pelanggaran
seperti korupsi dapat berkembang tanpa kendali.

2. Pandangan Fungsionalisme Struktural


Mengatasi korupsi menurut pandangan fungsionalisme struktural, masyarakat
merupakan suatu sistem yang dapat berfungsi dengan baik jika semua unsur-unsur
yang mendukung sistem masyarakat itu juga berfungsi dengan baik, jika masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan anggotanya dan dapat mengendalikan kehidupan
warganya sesuai dengan norma-norma yang dijunjung tinngi dalam masyarakat
mekanismenya adalah dengan “reward and punishment” artinya memberi ganjaran
pada warga yang berbuat baik dan menghukum warga yang melanggar.
Jika seseorang membuat pelanggaran dalam masyarakat menurut pendekatan ini ada
dua kemungkinan penyebabnya yaitu sebagai berikut:
a. Sistem pengendaliaannya yang mewadahi dalam lembaga-lembaga
kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik. Misalnya lembaga keluarga,
pemerintah, penegak hukum, dan lain-lain.
b. Penyebab seseorang melakukan penyimpangan karena orang itu tidak
disosialisasikan dengan baik. Misalnya, tidak ditanamkan kebiasaan mentaati
norma-norma masyarakat. Jika dalam suatu masyarakat, pelanggaran dilakukan
oleh sejumlah besar warga seperti korupsi, maka besar kemungkinan sistem

4
pengendalian masyarakatlah yang melemah, karena salah satu unit yang
mendukung sistem masyarakat tidak berfungsi.

3. Sudut Pandang Hukum Tentang Korupsi


Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-
unsur sebagai berikut:
a) Perbuatan melawan hukum;
b) Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
c) Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
d) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Menurut prespektif hukum jenis-jenis korupsi yang terdapat dalam UU No.31 Tahun
1999, dari pasal tersebut dirumuskan 30 jenis tindak pidana korupsi.[7]
a) Kerugian keuangan negara: pasal 2 dan 3.
b) Suap-menyuap : pasal 5, 6, 11,12,13.
c) Penggelapan dalam jabatan: pasal 8,9,10.
d) Pemerasan: pasal 12.
e) Perbuatan curang: pasal 7 dan 12.
f) Benturan kepentingan dalam pengadaan: pasal 12.
g) Gratifikasi: pasal 12.
Pasal 2 UU No.31Tahun 1999 menyebutkan:(1) Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00. (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
(3) Tindak pidana korupsi terdapat pula dalam KUHP 419, 420, 423, 425. Menurut
pasal 25 Perpu No.24 Tahun 1960 disebut peraturan pemberantasan korupsi, Undang-
Undang anti korupsi. (4)Pandangan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) Menurut BPKP korupsi dapat dipucu oleh :
a. Aspek individu pelaku yang tamak, lemah moral, rendahnya pengahasilan,
kebutuhan hidup mendesak, gaya hidup konsumtif, serta ajaran agama yang kurang
diterapkan.

5
b. Aspek organisasi, kurang keteladanan pimpinan, kultur yang salah, lemahnya
akuntabilitas, lemah pengendalian manajemen
c. Tempat individu dan organisasi berada, komunitas korup, kurang sadar akibat
korupsi komunitas dirugikan, kurang sadar dirinya sebagai komunitas yang korup,
kurang sadarnya komunitas bahwa pemberantasan korupsi efektif bila melibatkan
komunitas, adanya peratuaran yang hanya menguntungkan penguasa dan kroninya.[9]

4. Pandangan Budaya Korupsi di Indonesia


Korupsi dimasa orde baru telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Menurut Bill Dalton dalam Darlis Darwis
1999, menyebutkan: “Korupsi justru sudah sebagai cara hidup (the way of life)
masyarakat indonesia. Korupsi merupakan warisan budaya Indonesia. Karena
merupakan warisan budaya maka kita sangat kreatif untuk selalu korupsi.
Bagaimanapun kita mengatur hal-hal penting agar menjadi baik atau menjadi bersih
dari KKN maka peraturan itu menjadi tidak efektif karena selalu dapat diakali untuk
dikorupsi atau dimanipulasi. Korupsi adalah budaya bangsa yang tidak dapat kita
terima karena dua hal pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah;
kedua, kalau kita memepercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apapun
yang kita lakukan akan cenderung gagal sebab budaya itu sangat sulit untuk diubah.

5. Pandang Islam Tentang Korupsi


Allah swt berfirman dalam al-Qur`an
“Dan janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan cara yang batil”. (al-Baqoroh 188,
dan An-Nisa`: 29).
Rasulullah SAW bersabda....“Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin)
dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan
masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’
Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak” (HR Muslim, an-Nasai, dan
Imam Malik dalam al-Muwwatha). Banyak para pejabat melakukan korupsi berarti tanda
dekatnya kiamat yaitu bila risywah (praktek suap) merajalela, bila sifat amanah telah lenyap,
bila para pemimpin dan pembesar merupakan orang paling buruk.
Agama dan tokoh-tokohnya diharapkan sebagai agen “tukang cuci piring” setelah koruptor
berpesta. Padahal, belajar dari beberapa negara tetangga, misalnya Singapura dan RRC,
pemberantasan korupsi di sana tidak melibatkan tokoh dan lembaga agama, melainkan

6
ketegasan penegak hukum. Negara-negara sekuler tingkat korupsinya rendah, sedangkan
Indonesia yang memiliki organisasi keagamaan, majelis taklim, dan partai politik yang berciri
agama dalam jumlah banyak justru tingkat korupsinya tinggi

2.4 Dampak Korupsi terhadap berbagai bidang:


1. Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi
Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan
dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika
kebijakan dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan
dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan
sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi.
Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan
yang produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada
akhirnya menyumbangkan negatif value added. Korupsi menjadi bagian dari welfare
cost memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus
dibayar oleh konsumen dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara
keseluruhan berakibat pada kesejahteraan masyarakat yang turun.
Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada penerapan
dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada
akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang
dicapai.
Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga
proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang
mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke
perekonomian yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang
lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan. ini sangat wajar. Selain dikarenakan
program-program pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran,
korupsi juga mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin.
Menurut Tanzi (2002), perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering
menjadi sasaran korupsi dalam bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan,
pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir dua puluh persen dari total biaya yang

7
harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat mengkhawatirkan, dikarenakan pada
negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan kecil (UKM adalah mesin
pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).
2. Dampak Korupsi Terhadap Sosial dan Kemiskinan
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat
korupsi, diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima
pelayanan sosial lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para pejabat
dan konglemerat dengan harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam materi
tentunya, peristiwa seperti ini masih sering kita temui ditengah–tengah masyarakat.
Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek–proyek yang
menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para penguasa akan membangun
prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk masyarakat, atau kalau
toh ada biasanya momen menjelang kampanye dengan niat mendapatkan simpatik dan
dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang
regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan
tentang soal pajak sehingga gampang dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum miskin
akan menghadapi kesulitan dalam menjual hasil pertanian karena terhambat dengan
tingginya biaya baik yang legal maupun yang tidak legal, sudah menjadi rahasia
umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi pemerintah maka dia
menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak menjadi berbelit–
belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan
masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran
Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan
anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan negara, salah
satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali tidak
mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut harga-harga
kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan
pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali
kepada para koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada
negara lewat pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas.
Namun oleh negara hak mereka tidak diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin”
tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat. Kedua, upaya menaikkan
pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali “menyetor”

8
negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi rakyat
miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan
uang rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat
miskin
3. Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang
paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh
karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak dalam
upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua
jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi
bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang
seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’
yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang
untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk
uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk,
Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal
seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat.
Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’
dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun
kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di
tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan
dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria
Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
 Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan
bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi
nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI
memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya
ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.

9
 Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para
pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang
lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit
secara keseluruhan.
 Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga
menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang
sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer,
mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI
memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
 Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat
profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan
berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu,
sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal
kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh
bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih
menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah
ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan
terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara
perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi
komersial.

4. Dampak Korupi Terhadap Politik dan Demokrasi


Dalam bidang politik maka korupsi erat kaitannya dengan Kekuasaan dan
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pemerintah dan bisa berkaitan pula
dengan kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan Partai Politik tertentu.
Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India
menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia.
Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus
melanda. Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah
menjadi praktik yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong
negara demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati
peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan
Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya korupsi.
Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap

10
pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara
demokrasi sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat
demokrasi dunia, Indonesia sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi)
sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di
peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi
masih merajalela di negeri ini.

Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru,


demokrasi tampak tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas
demokrasi di suatu negara. Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi:
prosedur dan substansi. Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya
masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-
aspek yang terkait dengan pemilihan umum.

Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat


meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat
memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang
tampuk kekuasaan.

5. Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum


Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya
Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua undang-
undang tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak
sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang
seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat
peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi
baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu
yang diperoleh mereka ketika melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan
mengabaikan masyarakat.
Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap
lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun
2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember

11
telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu
sebuah lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia.
Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka
diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut
dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah
menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum
sebagai pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian
antara undang-undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan
sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. Sejak dikeluarkannya
undang-undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat
atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan
penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan.
Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di Indonesia telah
terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai
sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk mengadili pejabat
tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang korup
mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada
domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga
banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup
bukti.

2.5 Penanggulangan korupsi


1. Penanggulangan korupsi, ada beberapa hal yang menurut pendapat saya adalah
Kontrol sosial dari masyarakat, yang menyadari bahwa perbuatan korupsi merugikan
semua orang, dan korupsi uang negara adalah perbuatan jahat yang direncanakan dan
menyengsarakan rakyat. Bahwa koruptor itu berjuta kali lebih jahat dan kejam dari
segala perbuatan kriminal lainnya. Dan perbuatan korupsi adalah perbuatan manusia
bejat serta tidak bermoral.
2. Sistem hukum yang berlaku, seharusnya dalam pelaksanaan sistem hukum negara kita
jangan ada perbedaan perlakuan dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun, kalau
maling ayam ketangkap masuk tahanan, sang pejabat yang ada bukti awal korupsi
juga seharusnya segera dimasukkan dalam tahanan. Pelaku kriminal lainnya hanya
boleh dibesuk pada jam dan waktu yang telah ditentukan, sang koruptor harusnya juga

12
diperlakukan sama. Seringkali pihak aparat penegak hukumnya seolah – olah kalah
wibawa dengan sang koruptor, jelas ini masalah moral dan mental yang perlu segera
dibenahi.
3. Undang – undang korupsi, yang berlaku saat ini, terlampau banyak celah dan
kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh koruptor. Berlakukan undang – undang
korupsi pembuktian terbalik dengan tambahan bahwa yang dapat dijerat dengan
undang – undang ini termasuk keluarga sang pejabat.
4. Perbaikan Sistem pendidikan, mungkin dapat dirancang untuk dimasukkan dalam
kurikulum pendidikan mulai setingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik
tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga menanamkan rasa
memiliki negara ini,
5. Menanamkan Perilaku yang baik, lewat kegiatan – kegiatan keagamaan.
6. Tekankan etos kerja, yang jujur.
7. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
8. Hukuman cambuk didepan umum / mati bagi para koruptor. Dengan hukuman ini
akan memberikan dampak psikologis yang sangat besar bagi pelaku korupsi.

13
BAB III
PENUTUP
 
3.1 Kesimpulan
Semua bentuk korupsi dicirkan tiga aspek. Pertama pengkhianatan terhadap
kepercayaan atau amanah yang diberikan, kedua penyalahgunaan wewenang, pengambilan
keuntungan material ciri-ciri tersebut dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang
mencangkup penyapan pemersasn, penggelapan dan nepotisme
Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya merupakan bentuk pelanggaran
terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan kerugian bagi badan-badan negara
danpublik.

3.2 Saran
Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat
memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar
kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan dan pemikiran yang
intelektual hususnya dalam mata kuliah anti korupsi”.

14
DAFTAR PUSTAKA

MM.Khan. 2000. Political And Administrative Corruption Annota Ted Bibliography.

Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari
Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak Pidana Korupsi

15
MAKALAH

KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

1. ASHINTA SARI SIRAIT


2. ELVIRA FAKHRANA RAZAN
3. LISTIANA RAHAYU
4. RATIH ATMADEWI
5. SITI HARTINAH

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


JURUSAN DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
2015/2016

16
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga
makalah tentang KORUPSI DALAM BERBAGI PERSPEKTIF ini dapat di susun dengan
baik.
Makalah ini disusun bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan mempelajari
tentang “KORUPSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF”. kami telah mencari bahan dari
berbagai sumber sehingga kami semua dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan
lancar. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyusun
makalah ini.
Akhirnya kami sadar bahwa makalah ini belum sepenuhnya sempurna, jadi apabila ada
penulisan kata yang tidak sesuai kami mohon maaf. Demikian yang dapat kami sampaikan,
atas perhatian saudara kami ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, 16 september 2016

Penulis

17
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................................................ 1

BAB II ISI

2.1 Pengertian korupsi persfektif..................................................................... 2


2.2 Gejala koripsi............................................................................................. 2
2.3 Pandangan tentang masalah korupsi.......................................................... 4
2.4 Dampak korupsi ........................................................................................ 7
2.5 Penanggulangan korupsi............................................................................ 12

BAB III PENUTUP


4.1 Kesimpulan............................................................................................... 14
4.2 saran ......................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

iii 18
iii

19

Anda mungkin juga menyukai