Contoh Buku PDF
Contoh Buku PDF
TIM PEMBUKUAN
Diskursus
MAZHAB
FIKIH ARBA’AH
Studi Biografi Para Imam Mujtahid, Perkembangan Madzab, Kisah Inspiratif,
Karya Mazhab, Sumber Hukum Yang Digunakan Dan Pengaruhnya
2019-2020
DISKURSUS MADHZAB FIKIH ARBA’AH
Studi Biografi Para Imam Mujtahid, Perkembangan Madzab, Kisah Inspiratif,
Karya Mazhab, Sumber Hukum Yang Digunakan Dan Pengaruhnya
XIII + 208 hlm 15 X 22 cm
لك احلقوق
حمفوظة
Copyright
All Right Reserved
KATA SAMBUTAN
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad Saw sehingga kami bisa
berada pada agama yang benar, agama yang menyelamatkan umat
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya, di mana al-
Qur`an yang disampaikan dan hadis yang diucapkan tidak semua
mengandung hukum yang jelas dan memiliki satu pemahaman
(qath`iy al-dilalah), akan tetapi ada juga al-Qur`an dan hadis yang
banyak memiliki ragam pemahaman atau multi-interpretatif
(zhanniy al-dilalah).
Selaku Direktur Ma`had al-Jami`ah al-Ali Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim merasa bangga dan senang
terhadap karya para Mahasantri, “Diskursus Mazhab Fiqh
Arba`ah” yang disusun secara sistematis dengan merujuk pada
berbagai kitab klasik untuk menambah pengetahuan dan kecintaan
kepada para Imam Mujtahid. Dengan mengetahui biografi dan
perjalanan intelektualitasnya, kita akan hormat dan ta`dzim apabila
di antara mereka ada perbedaan hukum dalam sebuah peristiwa.
Selain persoalan internal, yaitu perbedaan pemahaman
terhadap al-Qur’an dan hadis serta metode berijtihad, juga tidak
dapat dinafikan adanya perbedaan eksternal, yaitu perbedaan
akibat geografis dan sosio-kultural yang berdampak terhadap pola
pemikiran. Mengutip pendapat Muhammad Amin Abdullah,
bahwa antara pemikiran, sejarah dan bahasa merupakan tiga
entitas yang saling berhubungan. Ketiganya menjalin hubungan
dialektika, antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Problem-problem semacam ini, di mana konteks dan situasi antara
imam Mujtahid berbeda, maka kondisi ini akan berimplikasi
terhadap produk hukum yang dilahirkan.
Namun yang menarik, di antara empat imam Mujtahid
terdapat keterikatan antara seorang guru dengan murid, Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik dihubungkan oleh seorang murid
yang bernama Imam Syafi’i. Imam Syafi’i sejak berusia 13 tahun
12 Desember 2019
TIM PEMBUKUAN
Ma’had al-Jamiah al-Aly
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
MAZHAB HANAFI
Mazhab Hanafi terbilang sebagai salah satu mazhab fikih yang
sudah diakui dan merupakan mazhab tertua yang eksistensinya
sudah tersebar luas di seluruh dunia. Umat Islam baik dari
golongan awam maupun ulama menggunakanya sebagai
pembelajaran, kajian dan pedoman dalam beribadah kepada Allah
Swt.
Mazhab Hanafi merupakan salah satu mazhab yang
ditakdirkan oleh Allah Swt tetap eksis dan diterima oleh umat.
Bahkan mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling luas
penyebarannya, dan terbanyak pengikutnya, yang hingga kini
pengikutnya mencapai lebih dari sepertiga umat Islam di seluruh
dunia. Terlepas dari anugerah Allah Swt, penyebaran dan
perkembangan mazhab ini juga didukung oleh beberapa sebab
yang banyak dituturkan oleh sebagian ulama yang akan diulas pada
bab selanjutnya.
Pada pembahasan ini, kita akan mengenal lebih dekat tentang
mazhab Hanafi dari berbagai aspek sesuai dengan topik-topik
berikut ini:
Topik Pertama : Biografi Imam Hanafi
Topik ke Dua : Periodisasi dan perjalanan sejarah mazhab.
Topik ke Tiga : Dasar pengambilan hukum secara umum.
Topik ke Empat : Istilah-istilah populer dalam mazhab.
Topik ke Lima : Karya-karya populer dalam mazhab.
Topik ke Enam : Ahlu Ra’yi dan Ahlu Hadis
Topik ke Tujuh : Maqalah dan kisah Inspiratif
Mazhab Hanafi 1
PEMBAHASAN PERTAMA
BIOGRAFI IMAM HANAFI
1. Nama, Nasab dan Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit
bin Zutha bin Mahin al-Taymiy al-Kufi, beliau adalah pemuka
agama, pakar fiqih, termasuk imam besar Islam dan panutan para
cendekiawan. Kakeknya, Zutha adalah budak Bani Taimullah bin
Tsa’labah yang masuk Islam dan kemudian dimerdekakan.
Ayahnya bernama Tsabit yang sudah Islam sejak lahir. Para ulama
berbeda pendapat mengenai asal suku Imam Hanafi. Ada yang
mengatakan dari Kabil, ada pula yang mengatakan dari Babil,
Ambar, Tirmidz, juga ada pula yang mengatakan beliau berasal
dari marga Nasa. Adapun yang telah disepakati bahwa kakeknya
berasal dari suku Kabil, yang kemudian pindah ke negara-negara
tersebut.
Dikatakan pula bahwa Abu Hanifah memiliki jalur nasab dari
ayahnya, yakni al-Nu’man bin Tsabit bin al-Nu’man bin al-
Marzuban dari keturunan Faris al-Ahrar. Mengenai dua pendapat
di atas, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan Zutha adalah al-Nu’man, sedangkan yang dimaksud
dengan al-Nu’man adalah Zutha, dengan prediksi antara lain:
beliau memiliki dua nama, atau keduanya adalah nama dan
julukan. dan yang dimaksud Zutha disini adalah al-Nu’man.
Adapun maksud dari al-Marzuban adalah Mahin, sehingga dua
riwayat jalur nasab itu, pada dasarnya merujuk pada orang yang
sama
Adapun perbedaan mengenai informasi adanya garis
keturunan Imam Abu Hanifah yang menyandang status budak,
Banyak ulama memastikan bahwa orang yang menyandang status
budak adalah kakeknya, karena kakek Abu Hanifah termasuk
orang yang dimerdekakan dari golongan Bani Taimullah bin
Tsa’labah seperti dijelaskan di atas. Sedangkan ulama yang
menentang pendapat tersebut mengatakan bahwa yang menjadi
hamba sahaya adalah ayahnya, yaitu Tsabit. Berdasarkan jalur
nasab sebagaimana disebutkan di atas, mayoritas Ulama
Mazhab Hanafi 3
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal perjumpaan
maupun periwayatan Abu Hanifah dari sahabat. Pendapat yang
sahih menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah telah berjumpa
dengan Anas bin Malik tatkala beliau bertolak ke Kufah. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh al-Khatib al-Baghdadi dan al-Dzahabi.
Namun tidak ada riwayat satupun yang mendukung hal tersebut.
Jika memang benar bahwa Imam Abu Hanifah pernah
berjumpa dengan Anas bin Malik, maka beliau terhitung sebagai
Tabi’in. Mayoritas ahli hadis mendefinisikan tabi’in adalah orang
yang menemui sahabat walaupun tidak menyertainya atau
meriwayatkan hadits atau atsar darinya. Pendapat ini dibenarkan
oleh Ibn al-Shalah dan al-Nawawi.
4. Masa Tumbuh Kembang dan Riwayat Pendidikan
Imam Abu Hanifah lahir dan tumbuh besar di Kufah. Akan
tetapi tidak diketahui apakah beliau telah menggeluti konsentrasi
kajian ilmu sejak tumbuh kembangnya atau tidak. Hanya
disebutkan bahwa beliau sibuk dalam bidang perdagangan sebagai
penjual kain sutra dan tokonya terkenal di kawasan Amr bin
Harits. Hingga suatu ketika, Allah Swt mempertemukan beliau
dengan al-Imam al-Sya’bi. Imam al-Sya’bi pun melihat adanya
potensi kecerdasan dan kepiawaian dalam diri Imam Abu Hanifah
yang kemudian beliau menasehati Imam Abu Hanifah untuk
menuntut ilmu dan mengikuti halaqah para ulama. Nasehat Imam
al-Sya’bi tersebut sangat membekas di hati Imam Abu Hanifah,
sehingga beliaupun mulai mengambil konsentrasi di bidang ilmu.
Ilmu pertama yang dipelajari Imam Abu Hanifah adalah ilmu
kalam (teologi) hingga beliau menjadi pakar dalam bidang tersebut.
Pada akhirnya Allah Swt menggerakkan hati Abu Hanifah untuk
berpaling dari ilmu kalam. Suatu ketika, Imam Abu Hanifah duduk
di dekat halaqah nya Imam Hammad bin Abi Sulaiman. Lalu,
datanglah seorang wanita bertanya kepada beliau tentang masalah
syariat (fikih) namun beliau tidak menemukan jawabannya.
Kemudian wanita tersebut mendatangi Imam Hammad dan
bertanya kepadanya. Imam Hammad pun menjawab. Setelah itu,
wanita itu kembali lagi kepada Imam Abu Hanifah dan berkata:
Mazhab Hanafi 5
ABU Hanifah enggan memperbanyak guru karena khawatir akan
banyaknya hak-hak terhadap gurunya hingga tidak mampu
memenuhinya.
5. Guru dan Murid yang Paling Masyhur
A. Guru-guru Imam Hanafi yang masyhur
Imam Abu Hanifah hidup pada masa yang penuh dengan
ulama yang hebat baik dari golongan tabi’in ataupun selainnya.
Oleh karenanya, Imam Abu Hanifah sangat mudah untuk
mendengar dan mengambil ilmu dari mereka.
Diantara guru-guru beliau yang paling masyhur adalah:
pertama, Atha’ bin Abi Rabah (w. 114 H) yaitu guru tertua dan
merupakan guru terbaik beliau sebagaimana dikutip dari perkataan
Imam Abu Hanifah sendiri. Kedua, al-Sya’bi (w. 104 H); yaitu
guru yang mengarahkannya untuk menuntut ilmu dan mengikuti
halaqah ulama. Ketiga, Amr bin Dinar (w. 126 H), Nafi’ Maula bin
Umar (w. 117 H), Qatadah bin Du’amah (w. 118 H), Ibnu Syihab
al-Zuhri (w. 124 H), Muhammad bin Al-Munkadir (w. 130 H) dan
Hisyam bin ‘Urwah (w. 146 H). Adapun guru besar beliau dalam
ilmu fikih dan takhrij hadis adalah Imam Hammad bin Abi
Sulaiman (w. 120 H), yaitu guru yang paling mempengaruhi
khazanah keilmuan Imam Abu Hanifah, karena beliau senantiasa
menghadiri halaqah Imam Hammad selama 18 tahun hingga
Imam Hammad wafat.
Mazhab Hanafi 7
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah
bermimpi yang menyebabkan beliau semakin giat dalam mengajar
serta melayani umat. Dalam mimpinya beliau membongkar
makam Nabi Saw. Pada mulanya beliau sangat takut, namun
setelah beliau mengutus seseorang untuk menanyakan perihal
mimpi itu kepada Muhammad bin Sirin, beliau menjadi lega.
Muhammad bin Sirin menjelaskan: “Orang yang bermimpi ini akan
mempelajari ilmu yang belum pernah dipelajari oleh seorangpun.” Seketika
itulah, Imam Abu Hanifah memiliki keluasan ilmu dan hadir
dengan membawa pencerahan bagi manusia.
7. Karya-Karyanya
Meskipun keilmuan Imam Abu Hanifah luas dan ilmu fikihnya
mendalam, namun beliau kurang memperhatikan dalam hal
pembukuan dan kepenulisan. Hal ini terjadi karena beliau lebih
memfokuskan dirinya untuk berfatwa, dan lebih menekankan pada
pembelajaran dan pengkajian ilmu, serta di awal kemunculanya,
beliau juga fokus untuk berdebat dengan para ahli bid’ah (Khawarij
dan Mu’tazilah).
Meski begitu, beliau memiliki beberapa karya tulis sederhana
namun sarat akan keutamaan dan manfaatnya. Di antara beberapa
karya beliau yang paling terkenal adalah Al-Fiqh al-Akbar yang
membahas bidang akidah, dan al-Alim wa al-Muta’alim.
8. Ujian dan Cobaan yang Menimpa
Sudah menjadi ketetapan Allah Swt meguji para wali-Nya,
Nabi dan orang-orang saleh untuk mengangkat derajat dan
menambah kebaikan mereka. Oleh karena itu, diujilah Imam Abu
Hanifah berupa pemaksaan untuk menduduki jabatan kehakiman
pada masa Daulah Umawiyah dan Daulah Abbasiyah. Namun
beliau menolak jabatan tersebut karena sikap wara’ (kehati-hatian)
dan mengharapkan keselamatan agamanya. Sebagaimana yang
telah dijelaskan, beliau merupakan orang yang sangat wira’i dan
zuhud (enggan dengan harta dan kekuasaan) Sehingga Ibnu
Mubarak berkata: “Aku tak pernah menjumpai seorangpun yang lebih
wira’i dari Imam Abu Hanifah, beliau telah diuji dengan banyak cambukan
dan harta.”
Mazhab Hanafi 9
dengan orang-orang. Abu Hanifah dilarang keluar dari rumahnya.
Beliau terasingkan di rumahnya sendiri hingga meninggal. Bahkan
ada yang mengisahkan bahwa rencana pelantikan Abu Hanifah
sebagai Hakim Agung bernuansa politis. Oleh karena itu Imam
Abu Hanifah enggan medudukinya walaupun beliau harus
menerima rentetan penyiksaan. Hingga berakibat beliau tidak
diberi kesempatan makan dan minum yang kemudian ketika beliau
tetap bersikeras menolak, beliau akhirnya diracun dan meninggal.
Abu Hanifah wafat pada bulan Rajab. Ada pula yang
mengatakan bulan Sya’ban, pada tahun 150 H di usia 70 tahun.
Beliau dishalatkan sebanyak 6 kali karena begitu padatnya pelayat
yang datang, dan dikebumikan di pemakaman al-Khaizuran di
Baghdad.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Benar sekali, tatkala Abu
Hanifah merasakan datangnya maut, maka beliau bersujud. Kemudian,
ruhnya pun keluar dalam keadaan beliau sedang sujud.” Semoga Allah
Swt merahmati Abu Hanifah, dan memberikan balasan atas
jasanya terhadap umat ini dan juga Islam dengan balasan yang
terbaik.
Mazhab Hanafi 11
pemikiran Auza’i yang bertujuan menguatkan mazhab Imam
Hanafi”.
Selain itu, Imam Abu Yusuf menjadi hakim tinggi pada masa
Abbasiyah selama enam belas tahun. Adapun tugas memilih para
hakim di bawahnya dan melantiknya diberikan pada Abu Yusuf.
Pada masa itu, kebanyakan hakim yang dilantik adalah yang
bermazhab Hanafi. Sehingga hal tersebut memiliki pengaruh besar
dalam penyebaran fikih Imam Abu Hanifah dan qaul-qaul nya yang
menyebar luas hingga ke seperempat daerah kekuasaan Islam.
Muhammad bin Hasan merupakan perawi yang berafiliasi
dalam Mazhab Hanafi dengan berbagai karyanya, yang dihimpun
berdasarkan enam kitab induk yang ada di Mazhab Hanafi, atau
yang dikenal dengan kitab Dzahirurriwayah. Adapun kitab yang
digunakan sebagai referensi utama dalam fikih Hanafi yaitu al-
Mabsuth al-Asl, al-Ziyadat, al-Jami’ al-Shaghir, al-Jami’ al-Kabir, al-Siyar
al-Shaghir, dan al-Siyar al-Kabir.
Adapun periodisasi dalam perjalanan sejarah mazhab Hanafi
adalah sebagai berikut:
Periode Pertama: Tahap Pembentukan dan Perkembangan
Mazhab (120 H-204 H)
Periode ini dimulai dari masa Imam Abu Hanifah sampai
wafatnya murid tertuanya, al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui (204 H).
Pada periode ini terjadi pembentukan dan berdirinya mazhab
Hanafi, di mana mulai ada penetapan sumber hukum pada
mazhab tersebut, dan merumuskan kaidah-kaidah yang fungsinya
akan digunakan untuk istinbath hukum (menggali hukum) serta
menjawab masalah furu’ (cabang hukum) yang mana semua hal itu
telah tuntas diramu oleh Abu Hanifah bersama para senior murid-
muridnya. Hal ini tergambar jelas dari metode Abu Hanifah dalam
mengajar yaitu dengan melakukan diskusi berbagai permasalahan
fikih bersama murid-muridnya. Sehingga ketika ditetapkan sebuah
rumusan hukum, pada saat itulah beliau memerintahkan Abu
Yusuf untuk membukukannya.
Mazhab Hanafi 13
tersebut. Kajian yang dilakukan dengan mempertimbangkan
munculnya dalil-dalil baru serta perubahan problematika
kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, sangat terkenal bahwa
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad telah menarik banyak
pendapat Abu Hanifah ketika mereka berdua melihat sendiri
realitas yang terjadi terhadap penduduk Hijaz.
Diantara buktinya yaitu mereka berbeda pendapat dengan
Imamnya dalam beberapa masalah hukum asal dan hukum far’.
Meskipun begitu, mereka adalah orang yang bersungguh-sungguh
dan tetap menisbatkan pendapat mereka kepada mazhab Abu
Hanifah, karena mereka berpegang pada kaidah fikih Imam Abu
Hanifah dan mengikuti metode ijtihad Imam Abu Hanifah. Oleh
karena itu, pendapat-pendapat mereka dibukukan bersama
pendapat Imam Abu Hanifah. Dan semua itu dianggap sebagai
mazhab Hanafi.
Periode kedua: Ekspansi, Perkembangan, dan penyebaran
Mazhab (Tahun 204-710 H)
Periode ini dimulai sejak wafatnya Imam Hasan bin Ziyad (204
H) sampai wafatnya al-Imam Hafidzuddin, Abdullah bin Ahmad
bin Mahmud al-Nasafi (710 H) pengarang kitab “Kanzu al-Daqaiq”.
Periode ini tepatnya pada permulaan abad ke tiga Hijriyah sampai
akhir abad ke tujuh Hijriah.
Dapat diibaratkan periode ini adalah puncak kejayaan mazhab
Hanafi dari aspek ekspansi dan penyebaranya, juga dari segi
perluasan ijtihad dan perkembangan pendapat-pendapat mazhab.
Pada permulaan periode, bermunculan tingkatan masyayikh atau
pembesar ulama di mazhab ini. Mereka mencurahkan segala usaha
untuk memperbarui mazhabnya, mendevinisikan istilah-istilah
fikih, menjelaskan hukum asal, men-tarjîh (menggungulkan
pendapat yang berselisih) dan men-takhrîj (memberi dalil furu’).
Adapun kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang lebih terkenal
dengan sebutan “Dhahir al-Riwayat” merupakan referensi awal bagi
Mazhab Hanafi dan menjadi rujukan orang-orang yang
mengemukakan pendapat-pendapat mazhab Hanafi.
Mazhab Hanafi 15
Periode Ketiga: Periode Stabilitas (710 H - sekarang)
Periode ini dimulai dari wafatnya Imam an-Nasafi (Tahun 710
H) atau dari awal abad ke delapan hijriah hingga sekarang.
Mungkin yang menjadi titik pembeda periode ini adalah
kejumudan dalam ilmu fikih yang berbanding terbalik dengan
periode sebelumnya. Ulama-ulama Mazhab Hanafi merasa cukup
dengan apa yang ditinggalkan oleh ulama pendahulunya dengan
mengutip pendapat-pendapat mereka dalam masalah fikih.
Penyusunan kitab hanya berkisar seputar Syarah (penjelasan),
Khasyiah (Catatan Kaki), Ta’liqat (penafsiran) dan Rudud
(penolakan-penolakan). Sebagian besar karya di periode ini hanya
berkutat pada hal demikian.
Kajian yang paling mencolok pada peridode ini adalah usaha
menjelaskan kembali permasalahan yang termuat dalam mazhab
Hanafi berikut cabang-cabangnya dengan cara melengkapi
argumentasi, memperbandingkan pendapat serta menambahkan
penjabaran. Konsekuensinya adalah pendapat-pendapat yang telah
unggul dijelaskan dengan sangat gamblang bahkan melebihi
porsinya.
Mungkin parameter yang dapat menggambarkan kejumudan
pada periode tersebut adalah bahwa seorang mujtahid yang telah
mencapai tingkatan ijtihad tidak diperkenankan untuk keluar dari
qaul mazhab kecuali dalam keadaan darurat. Meskipun secara dalil,
ijtihad yang dihasilkan itu lebih kuat dari pada qaul-qaul yang ada
dalam mazhab. Imam Ibnu ‘Abidin lebih menjelaskan secara detail
bahwa dilarang membuat rumusah hukum yang keluar dari
rumusan mazhab. Beliau berkata ketika mengomentari qaul Imam
Abu Hanifah berupa: “Jika ditemukan hadits yang shahih, maka
termasuk mazhabku”. “Mestinya, perkataan Imam Abu Hanifah itu
dibatasi pada hadis yang sesuai dengan pendapat mazhab, karena
dalam ijtihad itu tidak boleh keluar dari mazhab secara Kulli
(totalitas) yang telah disepakati oleh imam-imam mazhab, karena
ijtihad mayoritas itu lebih kuat dari pada ijtihad individu.” Tegas
Imam Ibnu ‘Abidin
1
Ulama Muhaqiq atau Ahli Tahqiq adalah merujuk kepada ulama yang telah
menempati posisi mampu mengumpulkan berbagai macam pendapat lalu
memperbandingkannya dengan melakukan kajian terhadap argumentasi masing-
masing serta melakukan evaluasi terhadap kaidah dan metodologi yang dipakai
dan berakhir dengan kongklusi menggunggulkan salah satu pendapat.
Mazhab Hanafi 17
dikodifikasi oleh Imam Abu yusuf dalam catatan-catatannya.
Didalamnya memuat permasalahan fikih mencapai 500.000
kasus. Muid-murid beliau yang telah menjadi ulama terkemuka
(sekitar 730 ulama) membawanya ke negara-negara mereka
seperti Afghanistan, Bukhara dan Hindi. Darisini lah mazhab
Imam Hanafi tersebar ke segala penjuru dunia. Oleh sebab itu,
Ali bin Sulthan al-Qari (w. 1014 H) menghitung bahwa
sepertiga umat muslim di dunia ini mengikuti mazhab Hanafi.
4) Imam Abu Yusuf ditakdirkan menjadi hakim dan menduduki
jabatan hakim pada 3 periode khalifah (al-Mahdi, al-Hadi dan
Harun al-Rasyid) dan kemudian beliau dijuluki dengan Qadli al-
Qudlat. Telah diketahui bahwa beliau adalah pengikut mazhab
hanafi yang tentunya berfatwa dengan mazhab Hanafi. Begitu
pula dengan hakim-hakim yang diangkat oleh Imam Abu Yusuf,
serta karya-karya yang dibukukan ketika beliau menduduki
jabatan pemerintahan, kesemuanya adalah mengikuti mazhab
Hanafi. Semua faktor-faktor ini menjadikan mazhab Imam Abu
hanifah tersebar lebih luas dari pada mazhab-mazhab lain yang
mendahuluinya, seperti fikih Imam al-Auza’i dan fikih Imam
Ja’far as-Shadiq.
Mazhab Hanafi 19
sementara para sahabat berselisih paham, maka aku tetap akan
mengambil sebagian pendapat mereka. Kemudian jika datang
generasi setelah mereka (tabi’in), terkadang aku mengambil, dan
terkadang aku tidak mengambilnya”.
Ibnu al-Makki juga meriwayatkan dari Sahal bin Mazakhim,
beliau berkata: “Pendapat Imam Abu Hanifah selalu mengambil
riwayat yang tsiqqah (terpercaya) dan menghindar dari riwayat yang
buruk. Abu Hanifah selalu merujuk pada realitas kehidupan
manusia serta adat kebiasaan dalam setiap pendapatnya. Untuk
menyelesaikan sebuah masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan
jalan qiyas. Jika qiyas tidak sesuai, maka diselesaikan dengan jalan
istihsan (selama istihsan bisa menyelesaikannya), dan jika dengan
jalan istihsan tidak terselesaikan, maka beliau merujuk pada
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dan beliau menyampaikan
hadis yang benar-benar terverifikasi keshahihannya. Kemudian
beliau menqiyaskan berbagai masalah menggunakan parameter
hadis tersebut selama qiyas itu bisa dilakukan, lalu merujuk pada
istihsan, dan mana yang paling cocok itulah yang djadikan
rujukan”. Imam Sahal berkata: “demikianlah dasar ilmu Imam
Abu Hanifah yang dijadikan rujukan oleh semua orang”.
Diriwayatkan dari Imam Hasan bin Shalih, beliau berkata:
“Imam Abu Hanifah sangat teliti dengan nasikh dan mansukh suatu
hadis. Beliau mengamalkan hadis jika benar-benar ada ketetapan
dari nabi dan para sahabat. Dan beliau juga mengetahui hadis ahli
kuffah, fiqihnya, dan juga mengikuti apa yang dilakukan penduduk
di negaranya.
Melalui riwayat diatas yang membahas tentang metodologi
istinbath Imam Abu Hanifah, para Imam mazhab Hanafi
mengerucutkan metodologi istinbath sebagai acuan dasar. Mereka
membuat dasar pengambilan hukum menurut imam hanafi sebagai
berikut:
1. al-Qur’an
Al-Quran adalah dasar dan sumber utama yang dijadikan
rujukan dalam setiap pengambilan hukum mazhab Hanafi. Hal
ini tidak lepas dari kandungan al-Quran yang qat’iyyu tsubut.
Mazhab Hanafi 21
al-Barr, bahwa penolakan Imam Abu Hanifah terhadap hadits
ahad adalah karena adanya ta’wil yang muhtamil (mengandung
alasan kuat). Seringkali beliau mendahulukan alasan kuat
tersebut daripada hadits ahad. Hal ini diikuti oleh ahlu ra’yi dan
mayoritas orang yang berada di kawasan ahlu ra’yi, seperti Imam
Ibrahim al-Nakha’i dan Imam Ashab bin Mas’ud“.
Selanjutnya, yang menguatkan bahwa Imam Abu Hanifah
juga tetap mempertimbangkan hadis ahad sebagai sumber
hukum adalah tidak ada seorangpun dari ulama yang
menisbatkan hadis kepada Nabi Saw kemudian menolak hadis
tersebut tanpa diiringi dengan klaim nasakh disebabkan adanya
hadits serupa atau ijma’. Andaikan ada seorang ulama
melakukan hal demikian (menolak hadis tanpa ada alasan), maka
sifat adilnya akan hilang terlebih jika ia dijadikan seorang imam
(pakar ilmu), sebab hal ini akan mendatangkan dosa fasik.
3. Ijma’
Ijma’ digunakan jika sudah tidak ditemukan jawaban dalam
nash al-Qur’an dan al-Hadits. Hal ini dapat diindikasiksan dari
pernyataan Imam Abu Hanifah: “dan setiap perbuatan itu selalu
merujuk pada al-Qur’an, al-Hadits dan ijma”.
4. Perkataan sahabat
Ketika para sahabat berbeda pendapat dan menghasilkan
banyak qaul, maka Imam Abu Hanifah memilih qaul sahabat
yang mendekati syariat, dan tidak keluar (menyelisihi) dari qaul-
qaul tersebut.
5. Qiyas:
Qiyas dilakukan jika memang tidak menemukan jawaban
dalam al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan perkataan sahabat. Jika
masih ditemukan jawaban dalam ke empat dasar pengambilan
hukum diatas, Imam Abu Hanifah tidak mengambil jalan qiyas
meskipun dzahir-nya nash yang ada tersebut tidak sesuai dengan
qiyas. Hal ini bisa dilihat sebagaimana dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah mengenai orang yang makan
dan minum karena lupa (saat berpuasa). Imam Abu Hanifah
Mazhab Hanafi 23
PEMBAHASAN KEEMPAT
KARYA MAZHAB YANG POPULER
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa mazhab Hanafi
merupakan mazhab dengan penyebaran terluas, dan jumlah
pengikut terbanyak. Terdapat banyak karya ulama mazhab Hanafi
dalam bentuk matan, mukhtashar, syarh, muthawwalat, hawasyi, ta’liqat,
fatawa, dan mandzumat. Sebagian karya ini sudah populer dan telah
diakui oleh para ulama mazhab. Bahkan ulama selain mazhab
Hanafi banyak yang merujuk pada karya-karya tersebut karena
dikutip dari qaul yang shahih dan rajih.
Telah diketahui pula bahwa para ahli tahqiq dari ulama
muta’akhir mazhab Hanafi seperti Imam Ibnu ‘Abidin dan Imam
al-Laknawi telah mengklasifikasikan sejumlah kitab dalam mazhab
Hanafi menjadi dua bagian: yang pertama adalah kitab yang
mu’tamad (kredibel) dan yang kedua adalah kitab ghoiru mu’tamad
(tidak kredibel) yang tidak boleh dijadikan pedoman dalam
berfatwa.
Mengenai sebab kitab-kitab tersebut tidak memiliki
kredibilitas, diantaranya adalah karena kitab tersebut
mengumpulkan pendapat-pendapat yang lemah dan
permasalahan-permasalahan yang jarang terjadi, meskipun
pengarangnya termasuk ahli fiqh yang tersohor. sebagaimana
dalam kitab (Al-Qunyah)karya Imam az-Zahidi (W. 658H), (As-
Sirojul Wahhaj Syarh Mukhtashar Quduri) karya Imam Abu Bakr al-
Haddadi (W. 800H), dan (Ad-Durrul Mukhtar) karya Imam al-
Haskafi (W. 1088H). Selain itu, kitab-kitab tersebut tidak jelas
apakah pengarangnya mengambil kutipan dari golongan ulama
yang mu’tamad, atau hanya mengambil kutipan tanpa adanya
filterisasi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Imam Syams ad-Din
al-Qahastani (W. 953H) pengarang kitab (Syarh An-Nuqayah) yang
disebut (Jami’u Ar-Rumuz) dan Imam Manla Miskin (W. 954H)
pengarang kitab (Syarh Al-Kunuz).
Terkadang, ketidak kredibelan kitab tersebut juga dapat dilihat
dari segi pertentangan para ulama dan ahli fikih mengenainya.
Mazhab Hanafi 25
Thahawi (W. 321H), Hakim Syahid (W. 334H), Abi Hasan al-
Kurkhi (W. 340H) dan Abi bakar Al-Jasshoss (W.370H) serta
fuqoha’ lainnya.
Kitab-kitab matan dan mukhtasar ini memuat permasalahan
ushul, dzohirnya riwayat yang shahih dan tsiqah (dapat dipercaya)
perowinya.
Al-‘Allamah al-Muthi’i berkata: “Selayaknya mengambil
keterangan dari jenis kitab yang meriwayatkan ushul, kemudian
jenis kitab matan dan mukhtasar, seperti mukhtasarnya Imam al-
Tahawi, Imam al Kurkhi, dan Hakim Syahid serta karya-karya
yang mu’tabaroh dan mu’tamad lainnya.
Adapun kitab matan yang mu’tamad menurut muta’akhirin adalah
sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Abidin: “Jenis kitab
matan yang mu’tabaroh itu seperti kitab Bidayah, dan Mukhtasar al-
Quduri, kitab Mukhtar, an-Nuqayah, al-Wiqayah, al-Kanzu dan kitab
Multaqa. Kitab-kitab tersebut dijadikan kutipan mazhab untuk
permasalahan yang termasuk dalam dzahirur riwayat.
Berikut ini adalah beberapa kitab matan dan sebagian syarh
nya:
1. Mukhtasar al-Quduri:
Kitab yang paling unggul diantara kitab-kitab dzahir ar-riwayat
karya ulama terkenal mazhab Hanafi, yaitu Imam Abi Husain
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Hamdan al-
Quduri (W.428H). Kitab ini memuat permasalahan kasuistik
(furu’) yang telah dikumpulkan oleh Imam al-Quduri. Kitab
inilah yang biasa disebut dengan al-Kitab dalam mazhab Hanafi.
Imam Khajji Khalifah berkata: “Kitab itu adalah kitab matan
populer yang padat makna dan mu’tabar diantara para Imam”.
Syarah kitab al-Quduri ini sangat banyak, diantaranya “al-
Lubab” karya Imam Jalaluddin Al-Yazdi (W.591H) dan “At
Tarjih wa Tashih ‘ala al-Quduri” karya Ibnu Quthlubugha al-
Hanafi (W. 879H).
2. Bidayatul Mubtadi’:
Mazhab Hanafi 27
Al-Laknawi berkata: “Aku telah mempelajari kitab al-Mukhtar
dan al-Ikhtiyar. Keduanya merupakan kitab yang mu’tabaroh
menurut para ahli fikih”.
5. Majma’ al Bahrain wa Multaqa an-Nahrain:
Karya Imam al-Mutqin Mudzaffar ad-Din Ahmad bin Aly
bin Tsa’lab yang dikenal dengan Ibnu Sa’ati (W. 694H).
Didalamnya memuat gabungan antara kitab Mukhtasar al-Quduri
dan Mandzumah an-Nasafi fil Khilaf disertai beberapa tambahan
yang disusun oleh beliau dengan baik.
Imam Khajji Khalifah berkata: “Ini merupakan kitab yang
mudah dihafal karena sangat padat makna, namun sulit
penguraiannya karena memuat permasalahan yang sangat luas
dengan keutamaan yang melimpah”.
Kitab ini juga memilik banyak syarh, diantaranya adalah kitab
al-Mustajma’ karya Qadhi Badru ad-Din al-‘Aini (W.855 H) dan
Tasynif al Musma’ Fi Syarhi al Mujma’ karya Qadhi Ahmad bin
Muhammad bin Syu’ban at-Tharabulisi al-Maghribi (W.102 H).
6. Kanzu Daqaiq:
Karya Imam al-Kabir Abi Barkat Hafidz ad-Din Abdullah
bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi (W. 710 H). Kitab ini
merupakan salah satu kitab matan yang diistilahkan dengan “al-
Mutun ats-Tsalatsah” oleh ulama mazhab Hanafi. Hal ini
menunjukkan kemasyhuran dan kemulyaannya di sisi ulama.
Imam Laknawi berkata: “Kitab Kanzu Daqoiq adalah jenis kitab
matan yang masyhur dalam fikih. Banyak dari ulama mazhab
Hanafi telah meneliti kitab tersebut dan kemudian men-syarahi-
nya. Diantara syarh yang termasyhur adalah kitab Tabyin al-
Haqaiq Li ma Fihi Min Tabyini Ma Iktanaza Mina Daqaiq wa
Ziyadati Ma Yuhtaju Ilaihi Min Al-Lawahi karya Imam
Fakhruddin Utsman bin Ali Azzaila’i (W. 743 H).
Imam al-Laknawi berkata: “Aku telah mempelajari Syarh
kitab Kanzu al-Daqaiq karya Imam Azzaila’i. Kitab tersebut
merupakan Syarh yang mu’tamad dan telah dipercaya. Inilah yang
dimaksud oleh pensyarh dalam kitab al-Bachru al-Raiq.
Mazhab Hanafi 29
bin Mas’ud bin Ahmad ‘Ala’uddin al-Kasani yang mendapat
julukan rajanya para ulama (W. 587H). Ini merupaka syarh yang
agung yang disusun untuk kitab Tuhfah al-Fuqaha’ karya gurunya
“’Ala’ ad-Din As-Samarqand” (W. 539 H). Imam Khajji
Khalifah berkata: “Syarh ini adalah karya yang sesuai antara
judul dan isinya”.
Adapun kitab syarh yang terkenal setelah tahun ke seribu
hijriyah, dan menjadi inti dalam mazhab Hanafi bagi ulama
muta’akhirin adalah kitab-kitab berikut ini:
1. Radd al-Mukhtar ‘Ala Durr al-Mukhtar,
Lebih dikenal dengan Chasyiyah Ibnu Abidin karya Imam al-
’Allamah Muhammad Amin Abidin ad-Dimasyqi al-Hanafi (W.
1252 H). Sebagaimana yang diucapkan Imam Muhammad
Ahmad Ali : “Kemasyhuran kitab ini hampir mengungguli
kitab-kitab lain pada masa generasi terakhir (mutaakhirin) dan
menjadi rujukan para ulama modern. Dan Chasyiyah kitab Durr
al-Mukhtar karya ‘Ala’u Din al-Chashkafi yang mensyarahi kitab
Tanwir al-Abshar karya Muhammad Ibnu ‘Abdillah at-
Tumurtasyi (W. 1004 H) yang belum disempurnakan sebab
kewafatan beliau. Namun kemudian disempurnakan oleh
putranya yang bernama Muhammad ‘Ala ad-Din Ibnu ‘Abidin.
2. ‘Umdah al-Riwayah Fi Hilli Syarhi al-Wiqayah:
Karya al-’Allamah Muhammad bin Abdul Hayyi al-Laknawi
al-Hindi al-Hanafi (W. 1304 H). Kitab ini merupakan hasiyah
kitab Syarh Wiqoyah karya Shodru Syariah. Kitab ini sangat
populer dan direkomendasikan oleh para ulama di Benua
Hindia.
Sehubungan dengan pembahasan beberapa kitab, matan, dan
syarh, ditemukan dalam mazhab Hanafi kitab-kitab Fatawi yang
masyhur dan telah diterima oleh para ulama, diantaranya : al-
Fatawi al-Walwalajiyyah karya Abdul Rasyid bin Abi Hanifah al-
Walwalaji (W. 540 H), al-Sirajiyah karya Siraj ad-Din Ali bin
Utsman bin Muhammad at-Tamimi al-Ausyi (W. 575 H), al-
Khaniyyah karya Qadihan Hasan bin Manshur (W. 592 H), al-
Bazzaziyyah karya Muhammad bin Muhammad al-Bazzazi (W.
Mazhab Hanafi 31
PEMBAHASAN KE LIMA
ISTILAH-ISTILAH POPULER MAZHAB HANAFI
Sebagaimana mazhab yang lainnya, Mazhab Hanafi
memiliki istilah-istilah dan ungkapan yang dikenalkan oleh para
ulama’ mazhab dalam kitab-kitab karangannya. Oleh karena itu,
bagi orang yang ingin mengetahui mazhab Hanafi serta memahami
rumus-rumus dan kata kuncinya, harus mempelajari istilah-istilah
ini serta mengetahui maksud rumus hanafiyah sehingga mudah
baginya untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan apa
yang dimaksudkan.
Berikut ini akan disebutkan beberapa istilah yang populer
dengan pembagiannya:
Pertama: Istilah-istilah yang berhubungan dengan nama-nama
Imam. Terbagi menjadi dua, berbentuk kata dan berbentuk huruf.
Istilah-istilah yang berbentuk kata:
Istilah Rujukan
اإلمام/األعظم اإلمام Imam Abu Hanifah r.a
اإلمام اثلاين Imam Abu Yusuf
اإلمام الرباين Imam Muhammad bin al-hasan as-Syaibani
الشيخان Imam Abu Hanifah r.a dan Imam Abu Yusuf r.a
الطرفان Imam Abu Hanifah r.a dan Imam Muhammad bin
Hasan r.a
الصاحبان Imam Abu Yusuf r.a dan Imam Muhammad r.a
أئمتنا اثلالثة Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam
Muhammad
السلف Sejak masa Imam Abu hanifah hingga masa Imam
Muhammad bin al-Hasan
اخللف Sejak masa Imam Muhammad bin Al-Hasan
sampai Syamsul Aimmah Imam al-Halwani (w.
448 H.)
شيخنا Khair ad-Din ar-Ramli
املتأخرون Masa Syams al-Aimmah al-Halwani - masa Hafidz
ad-Din al-Kabir al-Bukhori (w. 693 H.)
Mazhab Hanafi 33
إمام اهلدى al-Faqih Abu al-Layts Nashr bin Muhammad bin
Ahmad as-Samarqand (w. 373/393 H.)
إمام زاده Imam Muhammad bin Abi Bakr al-Jughy,
pengarang kitab Syariat al-Islam (w. 573 H.)
ملك العلماء ‘Ala’ ad-Din Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasany,
pengarang kitab al-Badai’ (w. 587 H.)
Mazhab Hanafi 35
H.) dan matan Kanzu ad-Daqaiq karangan Imam Abu al-
Barakat an-Nasafy (wafat 710 H.)
9. المتون األربعة: Tiga matan yang telah disebutkan dan matan Al-
Mukhtar karangan Imam Abu al-Fadhal Abdullah bin
Mahmud al-Mushily (wafat 683 H.) atau matan Majma’ al-
Bahrain karangan Imam Mudzhafar ad-Din Ahmad bin Ali al-
Baghdadi (wafat 694 H.)
Ketiga: Istilah-istilah yang berhubungan dengan Tarjih, yaitu
istilah-istilah yang digunakan untuk menunjukkan pendapat yang
dipilih oleh ulama Hanafiyah. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. )(وعليه الفتوى
2. )(وبه يفتى
3. )(وبه نأخذ
4. )(وعليه االعتماد
5. )(وعليه عمل اليوم
6. )(وهو الصحيح
7. )(وهو األصح
8. )(وهو الظاهر
9. )(وهو األظهر
10. )(وهو المختار
11. )(وعليه فتوى مشايخنا
12. )(وهو األشبه
13. )(وهو األوجه
Lafadz-lafadz diatas memiliki perbedaan tingkatan. Karena
ulama Hanafiyah menganggap sebagian dari istilah tersebut lebih
kuat daripada lainnya. Lafadz ) (الفتوىlebih kuat daripada ,(الصحيح
) األصح و األشبهlafadz ) (وبه يفتىlebih kuat daripada ) (الفتوى عليهdan
) (األصحlebih kuat daripada )(الصحيح.
Mazhab Hanafi 37
Al-Sya’bi berkata: “Ketika shalat shubuh, Abdullah tidak berdoa qunut.
Andaikan Umar berdoa qunut, maka Abdullah juga mengikutinya.”
Hal ini menujukkan bahwa Ibn Mas’ud ber-manhaj sesuai
dengan manhaj Umar dalam hal proses berpikir, pengambilan
hukum, dan ra’yu. Seandainya ia berseberangan dengan pendapat
Umar dalam beberapa masalah, maka ia tidak mengikutinya karena
ia mampu berijtihad sendiri yang menurutnya diyakini
kebenarannya.
Ibrahim al-Nakha’i menyatakan bahwa ia tidak
membandingkan antara pendapat Umar dan Ibn Mas’ud ketika
keduanya bersepakat. Namun ketika keduanya berselisih pendapat,
maka pendapat Ibn Mas’ud lebih sesuai dan lebih ringan diterima
akal.
Abdullah bin Mas’ud pernah diutus oleh Umar bin Khattab
untuk mengajari penduduk Kufah. Pergerakan pengajarannya
berlangsung sangat signifikan. Murid-murid Ibn Mas’ud
menggunakan metodologi cara berijtihad Ibn Mas’ud, sampai-
sampai madrasah Ibn Mas’ud di Irak disebut dengan Madrasah al-
Ra’yi dan dinisbatkan oleh sebagain Tabi’in dengan sebutan
“Rabi’at al-Ra’yi”. Hal ini tidak lepas dari besarnya pengaruh
Abdullah bin Mas’ud.
Ahlu Ra’yi berpandangan bahwa hukum syariat pastilah
memiliki unsur kemaslahatan. Syariat tentu meletakkan alasan-
alasan rasionalitasnya dalam mengupas kemaslahatan berbagai
hukum. Sebab parameter syariat adalah maslahat. Sementara
kacamata maslahat pasti didasarkan atas menarik manfaat dan
menghindari mafsadah yang tentu hal demikian mampu dicerna
oleh akal manusia. Oleh karena itu seringkali Ahlu ra’yi
menggunakan qiyas dalam menjawab sebuah persoalan
Penyebaran madrasah al-ra’yi tetap merujuk pada beberapa
aspek, antara lain:
A. Adanya pengaruh besar yang dibawa Abdullah bin Mas’ud
yang berorientasi pada manhaj Umar bin Khattab dan guru-
guru di Kufah serta penguasaan Ahl al-Kufah terhadap
Mazhab Hanafi 39
B. Mereka sedikit meriwayatkan hadis. Jika terpaksa
meriwayatkannya, maka hanya diriwayatkan kepada segelintir
orang saja. Mereka selalu berorientasi pada manhaj Umar bin
Khattab dan Abdullah bin Mas’ud. Mereka selalu
berlandaskan ra’yu dalam menghukumi permasalahan.
Mazhab Hanafi 41
keraguan dan tuduhan pemalsuan hadis yang terjadi di kota
Hijaz. Berbading terbalik dengan Irak yang muncul ragam
upaya pemalsuan hadis.
Adapun karakteristik madrasah ini antara lain:
A. Tidak senang banyak bertanya sebuah permasalahan dan
enggan mencabangkan atau mengembangkan kasus-kasus
fikih melalui jalur pengembangan alasan hukum (illat).
Madrasah ahl al-Hijaz berpandangan bahwa hukum itu
dibangun atas kasus faktual, bukan asumsi. Hukum sendiri
harus berlandaskan nash Al-Qur’an dan hadis. Karena itulah,
tidak perlu adanya upaya untuk mencari illat hukum, baik illat
tersebut ada maupun tidak.
B. Berpegang teguh pada hadis dan atsar sahabat. Hakikat ilmu
bagi kalangan hijaz yang harus dikuasai adalah Al-Qur’an,
sunnah dan atsar sahabat. Kepedulian mereka untuk menjaga
serta menghafal sangat tinggi. Mereka senantiasa peduli
terhadap lestarinya dasar dan sumber tasyri’ (al-Quran, Hadis
dan Atsar). Karena mereka menganggap bahwa melestarikan
sumber tasyri’ adalah kewajiban agama.
Persaingan yang besar terjadi antara aliran Ahl al-Ra’yi dan Ahl
al-Hadis. Masing-masing dari keduanya saling mencari kelemahan
dari yang lain dari sisi manhaj dan rumusan hukum. Meski begitu,
terdapat ulama Hijaz yang menggunakan metodologi ra’yu seperti
Rabi’ah bin Abdurrahman yang merupakan guru Imam Malik.
Imam Malik meriwayatkan dari gurunya di dalam kitabnya al-
Muwattha’. Gurunya berkata: “Aku bertanya kepada Sa’id bin al-
Mutsayyab tentang diyat. Berapa diyatnya satu jari perempuan?” Said
Menjawab: “10 ekor unta.” Aku bertanya lagi: “Jika dua jari?” Ia
menjawab: “20 ekor unta”. Aku bertanya lagi: “Jika tiga jari?” Ia
menjawab: “30 ekor unta.” Aku bertanya lagi: “Jika empat jari?” Ia
menjawab: “20 ekor unta.” Lalu aku menyangkal: “Tatkala semakin
besar luka yang dialami dan bertumpuknya penderitaan, mengapa kok
malah sedikit diyatnya?” Ia bertanya: “Apakah engkau orang Iraq?”
Aku menjawab: “Tidak, aku adalah orang Hijaz, orang alim yang
mencari kebenaran atau orang yang tidak mengerti yang sedang belajar.”
Lalu Said berkata: “Itulah Sunnah, wahai saudaraku!” Jawaban Said
Mazhab Hanafi 43
Kedua: Yang perlu diperhatikan, bahwa beberapa hadis
Haramain (Makkah dan Madinah) itu populer terhadap semua
ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in, termasuk di dalamnya adalah
ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in Kufah. Para Tabi’in dan Tabiut
tabi’in yang ahli hukum dan ahli hadis di kota Kufah itu tidak
hanya mengambil riwayat dari para sahabat yang menetap di kota
Kufah saja. Tapi mereka juga bepergian dan mengambil riwayat
dari para sahabat yang berada di kota Makkah dan Madinah. Ibnu
Sa’ad menyebutkan dalam kitab thabaqah-nya terdapat sekitar dua
ratus dua tabi’in Kufah yang melakukan pengembaraan, ditambah
pula banyak dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang bertemu dengan
ulama makkah madinah dalam ibadah haji dan umrah, kemudian
mereka saling belajar mengenai hadis dan melakukan transfer
keilmuan. Diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah yang telah
melaksanakan ibadah haji sebanyak lima puluh lima kali serta
banyak bertemu dengan para ulama, diantaranya adalah Imam
Malik. Sehingga tidak heran jika kita temukan sosok Imam Abu
Hanifah yang terhitung sebagai prmbesar ahli ra’yi di kota Irak,
namun mampu menyebutkan lebih dari tujuh puluh ribu hadis
dalam kitabnya.
Ketiga: Jika keadaan politik, sosial, dan perbedaan intelektual
menyebabkan munculnya pengaruh ra’yu (rasio) di Irak, lalu
bagaimana hal itu bisa terjadi dengan Imam Ahmad bin Hanbal
yang mana beliau merupakan salah seorang pembesar ulama ahli
hadis yang mengatakan “(Hadis yang lemah lebih kuat bagi saya
daripada pendapat seorang ‘sahabat’).” Imam Ahmad tidak menjadikan
ijtihad sahabat sebagai sumber hukum, bahkan jika sahabat
memiliki satu atau lebih pendapat tentang suatu masalah, maka
Imam Ahmad menjadikan semua pendapat mereka sebagai
jawaban dalam masalah ini. Anehnya Imam Ahmad meskipun
sebagai ulama tersohor Irak namun corak pemikiran beliau adalah
Ahlu Hadis. Hal ini menunjukkan bahwa teritorial irak dan hijaz
bukan sebagai acuan bahwa hadis di irak lebih sedikit daripada di
Hijaz sehingga menjadi alasan kuat munculnya kecenderungan
corak pemikiran menggunakan ra’yu (rasio) atau hadis (al-Quran
dan Sunnah). Imam Ahmad sendiri bahkan termasuk sosok Imam
Mazhab Hanafi 45
PEMBAHASAN KE TUJUH
MAQALAH DAN KISAH INSPIRATIF IMAM ABU
HANIFAH
1. Maqalah Imam Abu Hanifah
“Perumpamaan orang yang mempelajari hadits tanpa
mempelajari fikih, adalah seperti seorang apoteker. Ia
mengumpulkan obat-obatan namun tidak tahu untuk penyakit apa
saja obat tersebut sampai ia mendatangi seorang dokter. Begitu
pula dengan orang yang mempelajari hadis, ia tidak akan
memahami tujuan hadis tersebut sampai ia datang (bertanya)
kepada ahli fikih”.
“Barang siapa yang ilmunya tidak mencegah dirinya dari
perkara yang diharamkan oleh Allah Swt dan tidak
menghentikannya dari bermaksiat kepada Allah Swt, maka ia
termasuk orang yang merugi”.
“Barang siapa menuntut ilmu karena dunia maka ia akan
terhalang dari keberkahan ilmu dan tidak akan bisa memberi
kemanfaatan. Dan barang siapa menuntut ilmu karena Allah, maka
ia akan mendapatkan keberkahan ilmu dan Allah akan
menancapkan ilmu tersebut di dalam hatinya sehingga dapat
menebarkan kemanfaatan pada orang yang mengutip ilmu darinya.
“Jika tidak ada ulama dan ahli fikih yang menjadi kekasih
Allah di dunia dan akhirat, maka tidak ada kekasih Allah”.
“Barang siapa mencari kedudukan sebelum waktunya, maka
dia selamanya berada dalam kehinaan”
2. Kisah Inspiratif Mazhab Hanafi:
A. Imam Abu Hanifah Dan Penjual Baju
Alkisah, datang seorang perempuan menemui Abi hanifah
hendak menawarkan dagangannya menjual baju sutra. Tawar
menawarpun terjadi:
Abi Hanifah: Berapa harga baju sutra ini?
Mazhab Hanafi 47
Bukan maksudku menolak hadiah Amiril Mukminin.
Andaikata itu adalah harta pribadi Amirul Mukminin, tentu aku
akan menerimnya. Sayangnya hadiah tersebut berasal dari baitul
mal. Oleh karenanya saya tidak berhak untuk menerimanya.
Suatu saat terjadi perseteruan rumah tangga Khalifah al-
Mansur. Sang khalifah ingin menikah lagi namun istrinya enggan
menerimanya. Sang istri meminta keadilan dari suaminya itu
dengan didatangkan Imam Abu Hanifah sebagai juru damai. Sang
Khalifah kemudian dipanggil. Setelah datang. Khalifah al-Mansur
kemudian berkata:
‘Wahai Abu Hanifah istriku berselisih denganku. Silahkan anda
berikan putusan yang adil bagi kami’.
‘Silahkan sampaikan pokok permasalahannya Wahai Amiril
Mukminin’.
Berapakah jumlah perempuan yang boleh dinikahi oleh
seorang laki-laki?
Empat! Tegas Abu hanifah
Mendengar jawaban itu, Al-Mansur merasa senang. Angin
kemenagan mengarah kepadanya. Dia lalu berkata kepada istrinya:
Dengarkan apa ucapan Abi Hanifah!.
Abu Hanifah lalu berkata: Wahai Amiril Mukminin,
Sesungguhnya poligami itu hanya dihalalkan bagi mereka yang
yakin dapat berlaku adil. Apabila tidak, maka dia hanya
diperbolehkan menikahi satu istri. Hal ini sebagaimana firman
Allah Swt “Jika kalian khawatir tidak bisa adil, maka nikahi satu
saja” an-Nisa’: 3. Sebaiknya kita patuh dan tunduk dengan firman
tersebut.
Al-Mansur kemudian terdiam setelah mendengar penuturan
Abi Hanifah. Beliau terbungkam berpikir keras. Abi Hanifah
kemudian pulang kembali. Istri al-Mansur yang merasa menang
kemudian memberikan banyak sekali hadiah untuk diberikan
kepada Abi Hanifah. Namun sayangnya Abi Hanifah menolak
hadiah tersebut. Beliau berkata:
Mazhab Hanafi 49
Apa yang mereka janjikan padamu pada dasarnya bukan atas
dasar apa yang mereka miliki. Begitupun engkau menyaratkan
mereka apa yang sebenarnya bukan punyamu. Tidak halal darah
orang muslim kecuali atas satu dari tiga hal. Jika engkau menyiksa
mereka, maka engkau menyiksa dengan hal yang tidak halal. Dan
syarat dan janji Allah Swt lebih berhak untuk ditepati.
Al-Mansur kemudian menyuruh pulang orang-orang kecuali
Abi Hanifah. Beliau berkata kepada Abi Hanifah bahwa kebenaran
itu adalah apa yang telah disampaikan oleh beliau.
D. Takutnya Abu Hanifah kepada Allah Swt
Imam Abu Hanifah merupakan sosok yang sangat takut
kepada Allah SWT. Dikisahkan dalam kitab Manaqib al-Muwafiq
yang sanadnya sampai ke Mis’ar bin Kidam, Mis’ar pernah berkata:
Suatu ketika aku berjalan bersama Imam Abu Hanifah dan beliau
tidak sengaja menginjak kaki anak kecil. Anak kecil itu berkata:
“Wahai syaikh, tidakkah Anda takut adanya qishash di hari kiamat
nanti?” Perkataan itu sampai membuat beliau pingsan, dan aku
pun terus berusaha membangunkannya hingga beliau sadar. Lalu,
aku bertanya kepada beliau: “Apa yang membuat Anda begitu
mengambil hati terhadap perkataan seorang anak kecil itu?” Beliau
pun menjawab: “Aku takut jika perbuatanku kelak akan
dipertanggungjawabkan”
E. Ibadah dan Sifat Wira’i Abu Hanifah
Beliau juga dikenal seorang hamba yang taat beribadah. Pernah
dikisahkan dari Dharar bin Shurad, dia berkata: Aku pernah
mendengar salah satu umat Islam pilihan, yaitu Yazid bin al-
Kumait, Yazid berkata: “Imam Abu Hanifah ialah hamba yang
sangat takut kepada Allah, ketika salat isya’ berlangsung,, seorang
muadzin bernama Ali bin Hasan, membacakan surah Al-Zalzalah
kepada kami, dimana Imam Abu Hanifah solat berada persis di
belakang Ali. Selepas menunaikan salat, aku melihat Imam Abu
Hanifah sedang duduk bertafakkur. Aku berkata: “Aku hendak
berdiri dan hatinya tidak merasa terganggu sedikitpun” dan ketika
aku keluar, aku meninggalkan lentera yang telah kulumasi dengan
sedikit minyak. Saat aku datang kembali untuk sholat subuh, aku