Anda di halaman 1dari 68

‫ﷺ‬

TIM PEMBUKUAN

MAHAD AL-JAMIAH AL-ALY

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Diskursus

MAZHAB
FIKIH ARBA’AH
Studi Biografi Para Imam Mujtahid, Perkembangan Madzab, Kisah Inspiratif,
Karya Mazhab, Sumber Hukum Yang Digunakan Dan Pengaruhnya

2019-2020
DISKURSUS MADHZAB FIKIH ARBA’AH
Studi Biografi Para Imam Mujtahid, Perkembangan Madzab, Kisah Inspiratif,
Karya Mazhab, Sumber Hukum Yang Digunakan Dan Pengaruhnya
XIII + 208 hlm 15 X 22 cm

Penulis: Muhammad Fasihuddin


Ni’ma Rofidah
Khusniyah Utami
Ade Khoirun Nisa’
Nur Kholifatul Illiyin
Nikcy Nihayatun Nisa
Nur A’iza Lizayanti
Rizqi Amalia Putri
Ahmad Fahmi Mubarok
Arina Haque
Nur Lailatus Saskia
Moh. Nailur Rohman
Faiqul Anwar
Musahih: Muhammad Nasrulloh SH
Alih Bahasa: TIM Pembukuan
Lay Out: Anas
Desain Cover: Billy
Penerbit: Ma’had Al-Jamiah Al-Aly
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Cetakan I : Januari 2020

‫لك احلقوق‬
‫حمفوظة‬

Copyright
All Right Reserved
KATA SAMBUTAN
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah mengutus Rasul-Nya, Muhammad Saw sehingga kami bisa
berada pada agama yang benar, agama yang menyelamatkan umat
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabatnya, di mana al-
Qur`an yang disampaikan dan hadis yang diucapkan tidak semua
mengandung hukum yang jelas dan memiliki satu pemahaman
(qath`iy al-dilalah), akan tetapi ada juga al-Qur`an dan hadis yang
banyak memiliki ragam pemahaman atau multi-interpretatif
(zhanniy al-dilalah).
Selaku Direktur Ma`had al-Jami`ah al-Ali Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim merasa bangga dan senang
terhadap karya para Mahasantri, “Diskursus Mazhab Fiqh
Arba`ah” yang disusun secara sistematis dengan merujuk pada
berbagai kitab klasik untuk menambah pengetahuan dan kecintaan
kepada para Imam Mujtahid. Dengan mengetahui biografi dan
perjalanan intelektualitasnya, kita akan hormat dan ta`dzim apabila
di antara mereka ada perbedaan hukum dalam sebuah peristiwa.
Selain persoalan internal, yaitu perbedaan pemahaman
terhadap al-Qur’an dan hadis serta metode berijtihad, juga tidak
dapat dinafikan adanya perbedaan eksternal, yaitu perbedaan
akibat geografis dan sosio-kultural yang berdampak terhadap pola
pemikiran. Mengutip pendapat Muhammad Amin Abdullah,
bahwa antara pemikiran, sejarah dan bahasa merupakan tiga
entitas yang saling berhubungan. Ketiganya menjalin hubungan
dialektika, antara yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Problem-problem semacam ini, di mana konteks dan situasi antara
imam Mujtahid berbeda, maka kondisi ini akan berimplikasi
terhadap produk hukum yang dilahirkan.
Namun yang menarik, di antara empat imam Mujtahid
terdapat keterikatan antara seorang guru dengan murid, Imam
Abu Hanifah dan Imam Malik dihubungkan oleh seorang murid
yang bernama Imam Syafi’i. Imam Syafi’i sejak berusia 13 tahun

Mengenal Imam Mujtahid III


belajar fiqh rasional kepada Imam Abu Hanifah yang hidup di
Bagdad, dan juga belajar fikih tekstualis kepada Imam Malik yang
hidup di Madinah (pusat hadis), dan pada akhirnya beliau menjadi
guru bagi Imam Ahmad bin Hanbal. Maka tidak mengherankan,
apabila di antara mereka saling menghormati, saling mencintai,
dan saling mengagumi, tidak ada permusuhan dan kebencian,
apalagi intoleransi hingga paham radikal.
Mudah-mudahan kehadiran buku ini bermanfaat dan bisa
menciptakan kesejukan, kedamaian dan persatuan umat.
Perbedaan furu`iyah yang pasti menimbulkan perbedaan pendapat
tidak lagi menjadi alasan untuk dijustifikasi sebagai kebenaran
tunggal dan kebenaran final. Tetapi ada peluang untuk dimengerti
dan dipahami, bahwa perbedaan itu terjadi karena perbedaan
eksternal, yaitu kerena konteks situasi dan konteks historis.
Konteks inilah yang menjadikan paradigma antara mereka yang
berbeda mengenai persoalan metode berijtihad dalam memberikan
jawaban terhadap hukum. Perbedaan itu tetap berpegang dan
kembali pada kemaslahatan umat, ruh maqashidut tasyri` selalu
dikedepankan dari pada kepentingan lainnya. Wallahu A`lam bis
Showab.
12 Desember 2019

Dr. KH. Ahmad Muzakki M.A


Direktur Ma`had al-Jami`ah al-Ali
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

IV Diskursus Mazhab Empat


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Allah Swt, tuhan
semesta alam, karena dengan taufiq, inayah dan hidayahnya, kami
dapat menyusun buku yang menghimpun berbagai macam
wawasan terkait empat mazhab. Salawat dan salam semoga tidak
lekang akan senantiasa tercurahkan kepada sang penyeru umat
Nabi Muhammad Saw.
Penyusunan buku ini merupakan hasil dari kerja keras Tim
Pembukuan Ma’had Al-Jamiah Al-Aly UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang guna memberikan khazanah tentang empat
mazhab kepada khalayak umum. Aktifitas ibadah dan muamalah
yang dikerjakan oleh seseorang setiap harinya tidak lepas dari
ramuan fikih Imam Mujtahid dan ulama-ulama yang terafiliasi
dengan salah satu dari empat mazhab. Tidak akan mungkin
seseorang mampu mengetahui secara langsung syarat rukun salat
berikut sunnah dan hal-hal yang membatalkan kecuali telah
dikemas dan dikutip dari Para Ulama Mujtahid. Satu ulama kepada
ulama lain lalu menyebarkan rumusan kajian fikih mazhab tersebut
sehingga kita dapat melakukan aktifitas ibadah dengan baik tanpa
perlu repot-repot mencari hukum detailnya terkait Syarat, rukun,
sunnah dan hal–hal yang membatalkan melalui Quran dan hadis
yang mayoritas manusia tidak akan mampu. Pun aktifitas ibadah
lainnya. Oleh karena itu upaya penyusunan buku ini tidak lain
adalah usaha mengenalkan siapa tokoh yang telah berjasa dalam
memudahkan seseorang melaksanakan aktifitas ibadah dan
muamalahnya dalam sehari-hari.
Buku yang ada di tangan pembaca ini sejatinya disarikan dari
kitab al-Madzahib al-Fiqhiyyah al-Arba’ah yang kemudian
ditambahkan keterangan dari kitab-kitab pendukung lain guna
melengkapi khazanah keilmuan yang disajikan. Narasi bahasa yang
dipakai dalam kitab al-Madzahib al-Fiqhiyyah al-Arba’ah sangat
intelektual jika dilihat dalam gramatika bahasa Arab. Sehingga
tidak semua orang dapat memahaminya dengan mudah. Para
penulis buku ini kemudian berusaha mengemas dan mentranslitasi
keterangan dalam kitab tersebut dengan bahasa yang ringan yang
mudah ditangkap dan dimengerti.

Mengenal Imam Mujtahid V


Buku yang berjudul “Diskursus Mazhab Fikih Arba’ah”
menghimpun tentang studi biografi para Imam Mujtahid,
perkembangan mazhab, kisah Inspiratif, sumber hukum yang
digunakan dan pengaruhnya dalam aktifitas peribadatan dan
hubungan antara satu manusia dengan lainnya. Buku ini berusaha
menghadirkan segala aspek terkait mazhab empat secara akurat.
Informasi yang disuguhkan dapat dipertanggungjawabkan secara
referensi karena dikutip dan disarikan dari kitab-kitab yang valid.
Pemaparan seputar kajian tokoh mujtahid serta mazhabnya
dipetakan sesuai dengan tema-tema yang relevan. Diharapkan
pembaca dapat mudah mengenali satu sosok Imam Mazhab secara
sempurna.
Pentingnya pengetahuan empat madzab adalah karena banyak
sekali variasi pendapat dalam menghadapi persoalan fikih.
Perbedaan pendapat yang beragam itu akan diketahui dengan
mengenal betul biografi Imam Mazhab (Mujtahid) serta bagaimana
sumber hukumnya dan peran penyebarannya. Tidak lekang dalam
sejarah bahwa pada abad permulaan hijriyah sekitar abad ke 2 dan
ke 3 banyak sekali ditemukan ulama-ulama yang berada dalam
koridor ijtihad. Disinyalir ulama yang mencapai kapasitas ini
melebihi 100 ulama. Mereka mampu merumuskan kaidah istinbath
hukum (menggali hukum) serta rumusan kongkrit tentang
berbagai masalah fikih terkait ubudiyah, Muamalah, munakahah,
jinayah dan lain-lain. Namun sayangnya ketika ulama itu wafat,
maka wafat pulalah mazhabnya. Sangat terkenal dalam berbagai
kitab turats kutipan nama tokoh ulama seperti Sufyan at-Tsauri,
Ibnu Laits, Zuhri, Auza’i, Abi Laila dan lain-lain yang sangat alim
namun sayangnya tidak ada yang melembagakan pemikirannya
sehingga menjadi mazhab. Oleh karena itu hasil pemikiran beliau
yang sampai kepada kita hanya parsial tidak utuh. Hanya kutipan
satu masalah namun tidak menyeluruh yang menyebabkan
mayoritas ulama tidak memperkenankan mengikuti mazhab yang
punah ini karena rumusan hukumnya tidak kongkrit.
Imam Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali pada dasarnya adalah
salah satu dari 100 lebih ulama itu. Hanya beliaulah yang
ditakdirkan oleh Allah Swt mazhabnya dapat terlembagakan

VI Diskursus Mazhab Empat


dengan baik dan pemikirannya dapat sampai kepada kita hingga
sekarang dengan kongkrit. Baik dari segi metodologi atau rumusan
hukumnya. Hal ini tidak lepas dari peran murid-murid masing-
masing ulama Mujtahid itu yang kemudian meneruskan estafet
penyebaran mazhab. Bahkan dalam sejarahnya tidak jarang terjadi
konfrontasi antara satu mazhab dengan mazhab yang lain akibat
dari fanatisme mazhab yang melampaui batas.
Pentingnya memahami dan mempelajari empat mazhab adalah
guna menyarikan corak pandang masing-masing Mujtahid
sehingga dapat dikatahui karakteristik-karakteristik yang menjadi
ciri khas sebuah mazhab yang berakibat satu mazhab dengan
mazhab lain rumusan fikihnya berbeda. Perbedaan dalam fikih
adalah sebuah hal yang wajar bahkan adalah sebuah keniscayaan.
Fikih nengajarkan seseorang untuk tidak menutup diri dari
kemungkinan ragam pendapat. Fikih membuka ruang dialog yang
siapapun dapat mencurahkan pendapatnya. Belajar empat mazhab
akan membedah kekakuan seseorang dan meningkatkan rasa
toleransi antar sesama manusia.
Buku ini menyuguhkan wawasan baru terkait sejarah dan
persebaran imam madzab kepada para pembaca. Meskipun buku
ini tidak tebal, namun buku ini memiliki keunggulan berupa
penyajian materi yang ringkas dan padat makna sehingga secara
kualitas tidak kalah dengan yang banyak dalam kuantitas. Pembaca
akan mendapatkan pengalaman baru ketika menyelami wawasan
empat mazhab melalui buku ini, sebab banyak hal tidak dikupas
dalam banyak buku-buku mazhab lain namun dihimpun secara
kongkrit dalam buku ini. Sistematika buku disusun dengan rapi
dengan mempertimbangkan relevansi pemetaan bagi-bagi masing-
masing mazhab.
Tim Pembukuan Ma’had al-Jamiah al-Aly UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang diisi oleh santri-santri berprestasi yang mendalami
kitab-kitab turats di Universitas pada malam harinya setalah
sebelumnya masing-masing dari mereka menekuni ilmu di masing-
masing fakultas pada pagi, siang dan sore hari sesuai dengan
spesifikasi jurusan yang diambil. Meskipun jadwal mereka
tergolong padat. Namun semangat untuk mengkaji ilmu-ilmu

Mengenal Imam Mujtahid VII


agama terus menggelora. Karena sejatinya mereka adalah lulusan
pesantren yang terus mengugemi budaya pesantren meskipun
telah masuk menjadi mahasiswa di Universitas.
Pada akhirnya Tim Penulis mengucapkan rasa terimakasih
yang tidak terhingga kepada Para Kiai sekaligus Pengasuh Ma’had
al-Jamiah al-Aly yang telah bersedia dengan ikhlas menyempatkan
waktu guna memberikan ilmunya kepada kami. Khususnya kepada
Dr. KH. Ahmad Muzakki M.A. Selaku Mudir al-Jamiah yang tidak
kenal lelah selalu memotivasi dan menyertai kami dalam aktifitas
kegiatan Ma’had al-Aly. Sebagai santri kami selalu mengharap doa
dan berkah dari beliau-beliau agar kami bisa menjadi santri yang
patuh dan mendapatkan ridla Allah Swt.
Ucapan Terimakasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak
yang telah membantu terealisasinya buku ini. Kami hanya dapat
berdoa jazakumullah ahsanal jaza’. Harapan besar kami adalah buku
yang dibuat ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan
menjadi wasilah amal jariyah bagi para penulisnya sehingga mudah
untuk menggapai ridla Allah Swt.
Tim Penulis tidak menutup diri dari kritik dan saran. Apabila
para pembaca menemukan kejanggalan atau keganjilan dari buku
ini. Tim penulis sangat berharap agar hal tersebut dapat
disampaikan guna penyempurnaan buku ini ke depannya. Kritik
yang membangun juga kami harapkan dan kami nanti-nanti
sebagai bahan evaluasi sehingga buku ini minim terjadi kesalahan.
Semoga buku ringkas ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.

12 Desember 2019

TIM PEMBUKUAN
Ma’had al-Jamiah al-Aly
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

VIII Diskursus Mazhab Empat


DAFTAR ISI:
KATA SAMBUTAN ......................................................................... III
KATA PENGANTAR ....................................................................... V
DAFTAR ISI: ..................................................................................... IX
MAZHAB HANAFI ........................................................................... 1
BIOGRAFI IMAM HANAFI .............................................................. 2
1. Nama, Nasab dan Kelahiran ............................................................. 2
2. Tahun Kelahiran ................................................................................. 3
3. Sahabat Nabi yang Ditemui oleh Imam Abu Hanifah .................. 3
4. Masa Tumbuh Kembang dan Riwayat Pendidikan ....................... 4
5. Guru dan Murid yang Paling Masyhur ............................................ 6
6. Awal Mula Menduduki Posisi Ahli Fatwa dan Pengajar ............... 7
7. Karya-Karyanya .................................................................................. 8
8. Ujian dan Cobaan yang Menimpa .................................................... 8
9. Wafat .................................................................................................... 9
PERIODISASI DAN PERJALANAN MAZHAB ........................ 11
Periode Pertama: Tahap Pembentukan dan Perkembangan Mazhab
(120 H-204 H) ....................................................................................... 12
Periode kedua: Ekspansi, Perkembangan, dan penyebaran Mazhab
(Tahun 204-710 H) ............................................................................... 14
Periode Ketiga: Periode Stabilitas (710 H - sekarang) ..................... 16
Faktor Tersebarnya Mazhab Hanafi .................................................. 17
DASAR-DASAR PENGGALIAN HUKUM SECARA UMUM
DALAM MAZHAB HANAFI .......................................................... 19
1. al-Qur’an ............................................................................................ 20
2. al-Hadis: ............................................................................................. 21
3. Ijma’ .................................................................................................... 22
4. Perkataan sahabat ............................................................................. 22
5. Qiyas: .................................................................................................. 22
6. Istihsan: .............................................................................................. 23
7. Al-Urf: ................................................................................................ 23
KARYA MAZHAB YANG POPULER .......................................... 24

Mengenal Imam Mujtahid IX


1. Kitab yang mu’tamad ......................................................................... 25
2. Matan yang mu’tamad. ..................................................................... 25
3. Wiqayat al-Riwayah Fi Masail al-Hidayah:......................................... 27
ISTILAH-ISTILAH POPULER MAZHAB HANAFI ................. 32
AHLU RA’YI DAN AHLU HADIS .............................................. 37
1. Mazhab Ahl al-Ra’yi (Madrasah al-Kufah) di Iraq .................... 37
2. Kajian Pembanding Dalam Menfasirkan Asal Mula
Kemunculan Dua Mazhab ................................................................ 43
MAQALAH DAN KISAH INSPIRATIF IMAM ABU
HANIFAH ............................................................................................ 46
MAZHAB MALIKI ........................................................................... 53
BIOGRAFI IMAM MAZHAB .......................................................... 54
1. Nama, Julukan dan Nasabnya ...................................................... 54
2. Kelahiran dan Pertumbuhan Imam Malik.................................. 54
3. Riwayat Pendidikan ....................................................................... 55
4. Guru-Gurunya yang paling masyhur........................................... 56
5. Sosok Imam Malik ......................................................................... 57
6. Murid-Murid yang paling terkenal ............................................... 58
7. Karya-Karya Imam Malik ............................................................. 58
8. Pujian kepada Imam Malik ........................................................... 59
9. Wafatnya Imam Malik ................................................................... 60
FASE PERKEMBANGAN MAZHAB DAN SEJARAH
PERJALANANNYA ........................................................................... 61
1. Periode Kemunculan dan Pembentukan (110 H- 300 H) ....... 61
2. Periode Perkembangan ................................................................. 62
3. Periode penetapan (601 H sampai saat ini) ................................ 63
DASAR PENGAMBILAN HUKUM UMUM DI KALANGAN
IMAM MAZHAB ................................................................................ 65
1. Al-Kitab Al-Karim (Al-Qur’an) ................................................... 65
2. Al-Sunnah Al-Nabawiyyah. .......................................................... 66
3. Ijma’ ................................................................................................. 66
4. Qiyas ................................................................................................ 66
5. Amal Ahl al-Madinah ...................................................................... 67

X Diskursus Mazhab Empat


6. Qaul Shahabi (fatwa para sahabat) .............................................. 68
7. Syar’u Man Qablana ......................................................................... 69
8. Maslahah Mursalah........................................................................... 69
9. Istihsan .............................................................................................. 70
11. Istishab ............................................................................................ 71
SEKOLAH-SEKOLAH MAZHAB ................................................. 73
1. Madrasah al-Madinah .................................................................... 73
2. Madrasah al-Mishriyyah ................................................................ 74
3. Madrasah Irakiyyah ........................................................................ 76
4. Madrasah Maghribiyyah ................................................................ 77
Karya-Karya pada mazhab: ................................................................. 82
MAQALAH DAN KISAH INSPIRATIF MALIK ....................... 91
1. Maqalah Imam Malik..................................................................... 91
2. Kisah Imam Malik ......................................................................... 93
MAZHAB SYAFI’I ..........................................................................101
BIOGRAFI IMAM SYAFI’I ............................................................102
1. Nama dan Nasab ............................................................................102
2. Kelahiran dan Masa Pertumbuhan...............................................102
3. Perjalanan Keilmuan Imam Syafi’i, Para Guru dan Murid yang
Masyhur ................................................................................................102
4. Wafatnya Imam Syafi’i ...................................................................105
5. Pujian Para Ulama Kepada Imam Syafi’i ....................................106
6. Karya-karya Imam Syafi’i (selain yang telah disebutkan) ..........107
PERIODE DAN JENJANG SEJARAH MAZHAB ..................109
Periode Pertama: Permulaan dan Pengokohan (195-204 H) .....109
Periode Ke Dua: Pemindahan, Periwayatan dan Penetapan
Mazhab (204-505 H) ........................................................................109
Periode Ketiga: Evaluasi Dan Revisi Mazhab (505-1004 H). ....112
Periode keempat: Implementasi beberapa karya hasil evaluasi
mazhab yang pertama dan kedua (1004-1335 H) ........................115
DASAR-DASAR UMUM PENGAMBILAN HUKUM .............117
1. Al-Qur’an ......................................................................................118
2. Sunnah ...........................................................................................118
Mengenal Imam Mujtahid XI
3. Ijma’ ...............................................................................................121
4. Pandangan Imam Syafi’i terhadap qaul sahabat .......................121
5. Qiyas ..............................................................................................122
6. Istiqra’ .............................................................................................124
7. Istishab ............................................................................................124
KARYA-KARYA POPULER MAZHAB SYAFI’I .....................127
ISTILAH POPULER DALAM MAZHAB SYAFI’I ...................130
TINGKATAN MUJTAHID ............................................................133
1. Mujtahid Mutlak .............................................................................133
2. Mujtahid Muntasib ...........................................................................134
3. Mujtahid Mazhab ............................................................................135
4. Mujtahid Tarjih wal Fatya..............................................................136
5. Tingkatan muqallidin........................................................................137
6. Mujtahid sebagian masalah tertentu .............................................137
KUMPULAN KISAH INSPIRATIF IMAM SYAFI’I ................138
1. Kata-Kata Mutiara Imam Syafi’i ...................................................138
2. Kisah Inspiratif Imam Syafi’i ........................................................140
MAZHAB HANBALI ......................................................... 147
1. Nama dan Nasab..........................................................................148
2. Kelahiran dan Kehidupan...........................................................148
3. Pendidikan ....................................................................................148
4. Guru-guru yang termasyhur .......................................................149
7. Karya-Karya ..................................................................................153
8. Sanjungan para ulama kepada Imam Ahmad...........................154
9. Wafat..............................................................................................155
PEMBAHASAN KE DUA ..............................................................156
PERJALANAN DAN PERIODESASI MAZHAB.....................156
PEMBAHASAN KETIGA ..............................................................163
DASAR ISTINBATH UMUM DALAM MAZHAB ...................163
1. Nash ...............................................................................................163
2. Ijma’ ...............................................................................................164
3. Fatwa-fatwa sahabat yang tidak diperselisihkan ......................165
4. Qiyas ..............................................................................................167

XII Diskursus Mazhab Empat


5. Istihsan ..........................................................................................168
6. Istishab ..........................................................................................168
7. Saddu ad-Dzarai’ ............................................................................169
KARANGAN MAZHAB TERMASYHUR .................................171
ISTILAH-ISTILAH FIKIH POPULER DALAM MAZHAB ..177
1. Istilah-istilah khusus untuk membedakan qaul Imam dan qaul
pengikutnya: .........................................................................................177
2. Istilah-Istilah Khusus untuk Mentarjih dan Mentashih ............178
3. ........ Istilah-Istilah yang digunakan oleh Sebagian Ulama Mazhab
Hanbali .................................................................................................179
MUJADDID (PEMBAHARU) DALAM ISLAM.........................181
MAQALAH DAN KISAH IMAM AHMAD BIN HANBAL ..201
PENUTUP: ......................................................................... 207
DAFTAR PUSTAKA: .......................................................... 208

Mengenal Imam Mujtahid XIII


“Mimpimu bakal terwujud tatkala kamu tidak
menyadarinya. Seperti sebuah doa yang engkau
panjatkan lalu engkau lupakan. Allah Swt selalu
menyimpannya sampai datang waktu yang tepat”

XIV Diskursus Mazhab Empat


MAZHAB AL-IMAM ABU HANIFAH AL-NU’MAN

MAZHAB HANAFI
Mazhab Hanafi terbilang sebagai salah satu mazhab fikih yang
sudah diakui dan merupakan mazhab tertua yang eksistensinya
sudah tersebar luas di seluruh dunia. Umat Islam baik dari
golongan awam maupun ulama menggunakanya sebagai
pembelajaran, kajian dan pedoman dalam beribadah kepada Allah
Swt.
Mazhab Hanafi merupakan salah satu mazhab yang
ditakdirkan oleh Allah Swt tetap eksis dan diterima oleh umat.
Bahkan mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling luas
penyebarannya, dan terbanyak pengikutnya, yang hingga kini
pengikutnya mencapai lebih dari sepertiga umat Islam di seluruh
dunia. Terlepas dari anugerah Allah Swt, penyebaran dan
perkembangan mazhab ini juga didukung oleh beberapa sebab
yang banyak dituturkan oleh sebagian ulama yang akan diulas pada
bab selanjutnya.
Pada pembahasan ini, kita akan mengenal lebih dekat tentang
mazhab Hanafi dari berbagai aspek sesuai dengan topik-topik
berikut ini:
 Topik Pertama : Biografi Imam Hanafi
 Topik ke Dua : Periodisasi dan perjalanan sejarah mazhab.
 Topik ke Tiga : Dasar pengambilan hukum secara umum.
 Topik ke Empat : Istilah-istilah populer dalam mazhab.
 Topik ke Lima : Karya-karya populer dalam mazhab.
 Topik ke Enam : Ahlu Ra’yi dan Ahlu Hadis
 Topik ke Tujuh : Maqalah dan kisah Inspiratif

Mazhab Hanafi 1
PEMBAHASAN PERTAMA
BIOGRAFI IMAM HANAFI
1. Nama, Nasab dan Kelahiran
Nama lengkapnya adalah Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit
bin Zutha bin Mahin al-Taymiy al-Kufi, beliau adalah pemuka
agama, pakar fiqih, termasuk imam besar Islam dan panutan para
cendekiawan. Kakeknya, Zutha adalah budak Bani Taimullah bin
Tsa’labah yang masuk Islam dan kemudian dimerdekakan.
Ayahnya bernama Tsabit yang sudah Islam sejak lahir. Para ulama
berbeda pendapat mengenai asal suku Imam Hanafi. Ada yang
mengatakan dari Kabil, ada pula yang mengatakan dari Babil,
Ambar, Tirmidz, juga ada pula yang mengatakan beliau berasal
dari marga Nasa. Adapun yang telah disepakati bahwa kakeknya
berasal dari suku Kabil, yang kemudian pindah ke negara-negara
tersebut.
Dikatakan pula bahwa Abu Hanifah memiliki jalur nasab dari
ayahnya, yakni al-Nu’man bin Tsabit bin al-Nu’man bin al-
Marzuban dari keturunan Faris al-Ahrar. Mengenai dua pendapat
di atas, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan Zutha adalah al-Nu’man, sedangkan yang dimaksud
dengan al-Nu’man adalah Zutha, dengan prediksi antara lain:
beliau memiliki dua nama, atau keduanya adalah nama dan
julukan. dan yang dimaksud Zutha disini adalah al-Nu’man.
Adapun maksud dari al-Marzuban adalah Mahin, sehingga dua
riwayat jalur nasab itu, pada dasarnya merujuk pada orang yang
sama
Adapun perbedaan mengenai informasi adanya garis
keturunan Imam Abu Hanifah yang menyandang status budak,
Banyak ulama memastikan bahwa orang yang menyandang status
budak adalah kakeknya, karena kakek Abu Hanifah termasuk
orang yang dimerdekakan dari golongan Bani Taimullah bin
Tsa’labah seperti dijelaskan di atas. Sedangkan ulama yang
menentang pendapat tersebut mengatakan bahwa yang menjadi
hamba sahaya adalah ayahnya, yaitu Tsabit. Berdasarkan jalur
nasab sebagaimana disebutkan di atas, mayoritas Ulama

2 Diskursus Mazhab Empat


menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah orang ‘ajam, yakni bukan
dari keturunan golongan Arab.
Nama Kunyah beliau adalah Abu Hanifah karena sering
membawa tempat tinta, yang dalam bahasa Irak disebut hanifah.
Ada pula yang mengatakan bahwa beliau memiliki seorang putri
bernama Hanifah, namun pendapat ini anggap lemah karena
beliau tidak memiliki anak selain Hammad.
2. Tahun Kelahiran
Mengenai tahun kelahiran Abu Hanifah, pendapat yang shahih
dari Mayoritas ulama mengatakan bahwa Abu Hanifah lahir pada
tahun 80 H di Kufah pada masa Khalifah Abd al-Malik bin
Marwan. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun
61 H, namun pendapat ini ditolak oleh al-Khatib al-Baghdadi, lalu
beliau mengatakan: “Aku tidak mengetahui apakah pendapat ini
memiliki pengikut atau tidak.” Begitu juga Ibn Hajar al-Haitami yang
menghukumi bahwa pendapat ini adalah syadz (tidak kredibel).
3. Sahabat Nabi yang Ditemui oleh Imam Abu Hanifah
Menurut pendapat yang shahih, Imam Abu Hanifah lahir pada
tahun 80 H sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu,
beliau dapat dipastikan menjumpai beberapa sahabat kecil (sahabat
yang menjumpai Rasulullah Saw sebelum baligh). Adapun sahabat
yang wafat terakhir adalah Abu al-Thufail, ‘Amir bin Watsilah al-
Kinani al-Laitsy yang wafat pada tahun 100 H dan ada yang
mengatakan pada tahun 102 H, sehingga dari sini, Imam Abu
Hanifah dapat disebut sebagai tabi’in.
Sebagian ulama telah memastikan bahwa Imam Abu Hanifah
masih menemui empat sahabat, yaitu: Anas bin Malik, Abdullah
bin Ubay Aufa, Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi, dan Abu al-Thufail ‘Amir
bin Watsilah. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau bertemu
lebih dari empat sahabat di atas. Namun, pendapat ini masih
diperdebatkan oleh para ulama. Ibn Hajar al-Haitami menjabarkan
secara rinci mengenai hal tersebut dengan menyebutkan penilaian
shahih maupun dla’if di setiap pendapatnya.

Mazhab Hanafi 3
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal perjumpaan
maupun periwayatan Abu Hanifah dari sahabat. Pendapat yang
sahih menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah telah berjumpa
dengan Anas bin Malik tatkala beliau bertolak ke Kufah. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh al-Khatib al-Baghdadi dan al-Dzahabi.
Namun tidak ada riwayat satupun yang mendukung hal tersebut.
Jika memang benar bahwa Imam Abu Hanifah pernah
berjumpa dengan Anas bin Malik, maka beliau terhitung sebagai
Tabi’in. Mayoritas ahli hadis mendefinisikan tabi’in adalah orang
yang menemui sahabat walaupun tidak menyertainya atau
meriwayatkan hadits atau atsar darinya. Pendapat ini dibenarkan
oleh Ibn al-Shalah dan al-Nawawi.
4. Masa Tumbuh Kembang dan Riwayat Pendidikan
Imam Abu Hanifah lahir dan tumbuh besar di Kufah. Akan
tetapi tidak diketahui apakah beliau telah menggeluti konsentrasi
kajian ilmu sejak tumbuh kembangnya atau tidak. Hanya
disebutkan bahwa beliau sibuk dalam bidang perdagangan sebagai
penjual kain sutra dan tokonya terkenal di kawasan Amr bin
Harits. Hingga suatu ketika, Allah Swt mempertemukan beliau
dengan al-Imam al-Sya’bi. Imam al-Sya’bi pun melihat adanya
potensi kecerdasan dan kepiawaian dalam diri Imam Abu Hanifah
yang kemudian beliau menasehati Imam Abu Hanifah untuk
menuntut ilmu dan mengikuti halaqah para ulama. Nasehat Imam
al-Sya’bi tersebut sangat membekas di hati Imam Abu Hanifah,
sehingga beliaupun mulai mengambil konsentrasi di bidang ilmu.
Ilmu pertama yang dipelajari Imam Abu Hanifah adalah ilmu
kalam (teologi) hingga beliau menjadi pakar dalam bidang tersebut.
Pada akhirnya Allah Swt menggerakkan hati Abu Hanifah untuk
berpaling dari ilmu kalam. Suatu ketika, Imam Abu Hanifah duduk
di dekat halaqah nya Imam Hammad bin Abi Sulaiman. Lalu,
datanglah seorang wanita bertanya kepada beliau tentang masalah
syariat (fikih) namun beliau tidak menemukan jawabannya.
Kemudian wanita tersebut mendatangi Imam Hammad dan
bertanya kepadanya. Imam Hammad pun menjawab. Setelah itu,
wanita itu kembali lagi kepada Imam Abu Hanifah dan berkata:

4 Diskursus Mazhab Empat


“Kalian telah menipuku. Aku telah mendengar ucapan kalian, dan ternyata
kalian tak bisa apa-apa”. Wanita itu kecewa dengan Abu Hanifah
yang sering membuka kajian teologi serta menjadi pakarnya
namun ternyata ketika beliau dihadapkan tentang masalah fikih,
Abu Hanifah tidak mampu menjawab. Hal inilah yang kemudian
menyebabkan Imam Abu Hanifah meninggalkan ilmu kalam dan
intensif mendatangi halaqah Imam Hammad untuk memperdalam
ilmu Fikih hingga menjadi pakar dalam bidang tersebut, hingga
beliau sampai pada posisi cendikianwan fikih dimana tidak ada
seorangpun yang mampu mengunggulinya.
Imam Abu Hanifah berguru kepada ulama besar di masanya
yaitu Imam Hammad bin Abi Sulaiman sejak usia 22 tahun selama
18 tahun tanpa terputus dan tidak pernah menyelisihi gurunya.
Dalam perjalanannya Imam Abu Hanifah berkata:
“Setelah 10 tahun lamanya aku belajar ilmu kepada Imam Hammad,
sempat terbesit dalam diriku untuk mencari kedudukan. Aku berkeinginan
untuk berhenti dari halaqah Imam Hammad dan mendirikan halaqah
sendiri. Suatu hari di pagi buta aku keluar dengan keinginan penuh untuk
merealisasikannya. Namun ketika aku masuk masjid, aku melihat beliau
dan tak sampai hati untuk berpaling. Aku pun menghampiri beliau dan
duduk bersamanya, kemudian pada malam itu pula, dikabarkan bahwa
salah seorang kerabat beliau di Bashrah telah wafat dan meninggalkan harta
namun tidak memiliki ahli waris selain beliau. Imam Hammad memintaku
untuk menggantikan beliau sementara waktu. Selama Imam Hammad pergi
aku mendapat banyak pertanyaan yang belum pernah aku dengarkan
sebelumnya. Aku pun menjawabnya dan menulis jawaban tersebut untuk
kemudian aku hadirkan kepada beliau. Kemudian ketika beliau datang,
aku menyerahkan catatan permasalahan tersebut. Disitu terdapat 60
masalah. Dari 60 masalah yang terjawab, 40 diantaranya benar dan 20
salah. Aku pun memutuskan untuk tidak akan berpisah dari beliau
sampai beliau wafat. Dan begitulah yang terjadi”.
Diceritakan bahwa Imam Abu Hanifah sangat memuliakan
gurunya, sehingga ketika membuang hajat beliau tidak pernah
menghadap rumah gurunya yaitu Imam Hammad. Bahkan saat
tidur pun beliau tidak pernah menjulurkan telapak kakinya
menghadap rumah gurunya tersebut. Dikatakan juga bahwa Imam

Mazhab Hanafi 5
ABU Hanifah enggan memperbanyak guru karena khawatir akan
banyaknya hak-hak terhadap gurunya hingga tidak mampu
memenuhinya.
5. Guru dan Murid yang Paling Masyhur
A. Guru-guru Imam Hanafi yang masyhur
Imam Abu Hanifah hidup pada masa yang penuh dengan
ulama yang hebat baik dari golongan tabi’in ataupun selainnya.
Oleh karenanya, Imam Abu Hanifah sangat mudah untuk
mendengar dan mengambil ilmu dari mereka.
Diantara guru-guru beliau yang paling masyhur adalah:
pertama, Atha’ bin Abi Rabah (w. 114 H) yaitu guru tertua dan
merupakan guru terbaik beliau sebagaimana dikutip dari perkataan
Imam Abu Hanifah sendiri. Kedua, al-Sya’bi (w. 104 H); yaitu
guru yang mengarahkannya untuk menuntut ilmu dan mengikuti
halaqah ulama. Ketiga, Amr bin Dinar (w. 126 H), Nafi’ Maula bin
Umar (w. 117 H), Qatadah bin Du’amah (w. 118 H), Ibnu Syihab
al-Zuhri (w. 124 H), Muhammad bin Al-Munkadir (w. 130 H) dan
Hisyam bin ‘Urwah (w. 146 H). Adapun guru besar beliau dalam
ilmu fikih dan takhrij hadis adalah Imam Hammad bin Abi
Sulaiman (w. 120 H), yaitu guru yang paling mempengaruhi
khazanah keilmuan Imam Abu Hanifah, karena beliau senantiasa
menghadiri halaqah Imam Hammad selama 18 tahun hingga
Imam Hammad wafat.

B. Murid-Murid Imam Abu Hanifah yang paling Masyhur

Imam Abu Hanifah mewarisi halaqah gurunya, Imam Hammad


setelah beliau meninggal. Halaqah ini dipenuhi oleh murid-murid
Imam Hammad dan orang-orang yang mengkaji ilmu fikih.
Dengan adanya Imam Abu Hanifah yang memimpin halaqah
gurunya itu disertai bekal kepiawaian, keilmuan, kesabaran, dan
sifat toleransi beliau, maka halaqah tersebut memiliki berkah
tersendiri. Banyak pencari ilmu yang datang dari berbagai penjuru
guna menimba ilmu dari halaqah Abu Hanifah, sehingga halaqah

6 Diskursus Mazhab Empat


beliau menjadi halaqah terbesar di Masjid Kufah dan mencetak
murid-murid yang tak terhitung banyaknya.
Dapat dipastikan bahwa diantara murid-murid beliau banyak
yang menjadi ulama besar, seperti Qadhi al-Qudhat (Hakim agung)
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari (w. 182 H), al-Faqih Al-
Mahir (seorang pakar fiqih yang pandai): Zufar bin al-Hudzail Al-
Tamimi (w. 158), Al-Faqih Al-Fashih (pakar fiqih yang cakap
berbicara: Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H), Al-
Hasan bin Ziyad al-Lu’luiy (w. 204 H), Abdullah bin Al-Mubarak
(w. 181 H), Waki’ bin al-Jarah (w. 197 H), Isa bin Aban bin
Shadaqah (w. 221 H), dan putra Imam Abu Hanifah; Hammad bin
Abi Hanifah (w. 170 H) serta masih banyak lagi.
6. Awal Mula Menduduki Posisi Ahli Fatwa dan Pengajar
Awal mula Imam Abu Hanifah berfatwa dan mengajar terjadi
setelah wafatnya guru beliau, yaitu Imam Hammad bin Abi
Sulaiman, dimana sebelumnya, kepemimpinan bidang fikih
berpindah kepada Imam Hammad setelah wafatnya sang guru
Imam Ibrahim al-Nakha’i. Ketika Imam Hammad wafat, orang-
orang membutuhkan sosok untuk memimpin majlis tersebut
karena khawatir kehilangan regenerasi ilmu dan halaqah Imam
Hammad akan memudar pengaruhnya. Lalu kemudian orang-
orangpun mengangkat Ismail, putra Hammad. Sayangnya orang-
orang tidak puas dengan pengajaran Ismail karena beliau lebih
menguasai bidang Nahwu dan gramatikal Arab, sehingga orang-
orangpun sepakat untuk menunjuk Imam Abu Hanifah.
Pengangkatan Abu Hanifah sebagai penerus halaqah Imam
Hammad tidak lain karena ditemukan alam diri Abu Hanifah
keluasan ilmu, jiwa sosial yang tinggi, kesabaran, dan hal lainnya
yang belum pernah ditemukan dalam diri orang lain. Orang-orang
senantiasa meghadiri halaqah Imam Abu Hanifah sehingga halaqah
beliau menjadi halaqah terbesar yang ada di masjid Kufah. Imam
Abu Hanifah menjadi terkenal hingga para pelajar terus
berdatangan kepadanya, hingga para pemimpin dan pejabatpun
turut menghormati beliau. Dan terbukti Abu Hanifah telah
berhasil mencetak imam-imam besar.

Mazhab Hanafi 7
Sebagian ulama menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah
bermimpi yang menyebabkan beliau semakin giat dalam mengajar
serta melayani umat. Dalam mimpinya beliau membongkar
makam Nabi Saw. Pada mulanya beliau sangat takut, namun
setelah beliau mengutus seseorang untuk menanyakan perihal
mimpi itu kepada Muhammad bin Sirin, beliau menjadi lega.
Muhammad bin Sirin menjelaskan: “Orang yang bermimpi ini akan
mempelajari ilmu yang belum pernah dipelajari oleh seorangpun.” Seketika
itulah, Imam Abu Hanifah memiliki keluasan ilmu dan hadir
dengan membawa pencerahan bagi manusia.
7. Karya-Karyanya
Meskipun keilmuan Imam Abu Hanifah luas dan ilmu fikihnya
mendalam, namun beliau kurang memperhatikan dalam hal
pembukuan dan kepenulisan. Hal ini terjadi karena beliau lebih
memfokuskan dirinya untuk berfatwa, dan lebih menekankan pada
pembelajaran dan pengkajian ilmu, serta di awal kemunculanya,
beliau juga fokus untuk berdebat dengan para ahli bid’ah (Khawarij
dan Mu’tazilah).
Meski begitu, beliau memiliki beberapa karya tulis sederhana
namun sarat akan keutamaan dan manfaatnya. Di antara beberapa
karya beliau yang paling terkenal adalah Al-Fiqh al-Akbar yang
membahas bidang akidah, dan al-Alim wa al-Muta’alim.
8. Ujian dan Cobaan yang Menimpa
Sudah menjadi ketetapan Allah Swt meguji para wali-Nya,
Nabi dan orang-orang saleh untuk mengangkat derajat dan
menambah kebaikan mereka. Oleh karena itu, diujilah Imam Abu
Hanifah berupa pemaksaan untuk menduduki jabatan kehakiman
pada masa Daulah Umawiyah dan Daulah Abbasiyah. Namun
beliau menolak jabatan tersebut karena sikap wara’ (kehati-hatian)
dan mengharapkan keselamatan agamanya. Sebagaimana yang
telah dijelaskan, beliau merupakan orang yang sangat wira’i dan
zuhud (enggan dengan harta dan kekuasaan) Sehingga Ibnu
Mubarak berkata: “Aku tak pernah menjumpai seorangpun yang lebih
wira’i dari Imam Abu Hanifah, beliau telah diuji dengan banyak cambukan
dan harta.”

8 Diskursus Mazhab Empat


Berdasarkan peninjauan terhadap beberapa riwayat dari
Ashabul Manaqib (pemilik kitab manaqib), dijelaskan bahwa Imam
Abu Hanifah mendapatkan ujian hidup besar dua kali, yang
pertama pada masa Dinasti Umayyah dan yang kedua pada masa
Dinasti Abbasiyah.
Di masa Daulah Umawiyah: hal itu terjadi pada masa khalifah
terakhir Dinasti Umayyah, Marwan bin Muhammad (w. 132 H).
Pada waktu itu, Yazid bin Amr bin Hubairah al-Fazari, Gubernur
Irak, meminta Imam Abu Hanifah agar menjadi hakim di Kufah
dan beliau pun menolaknya, sehingga beliau harus mendekam di
penjara dan mendapatkan cambuk sebanyak 110 kali dengan
rincian 10 cambukan perhari. Ketika pemerintah melihat
kekukuhan penolakan beliau, akhirnya Imam Abu Hanifah
dilepaskan. Abu Hanifah kemudian pergi ke Makkah
mengungsikan diri setelah merasa bahwa dirinya tidak aman
tinggal di Irak dalam bayang-bayang pemerintahan Umayyah.
Pada masa Daulah Abbasiyah: hal itu terjadi pada masa
pemerintahan Abu Ja’far al-Manshur (w. 157 H). Dikisahkan,
suatu ketika al-Manshur memintanya untuk menjadi hakim tapi
beliau menolaknya. Namun, al-Manshur tetap bersikeras hingga
bersumpah untuk merealisasikan keinginannya. Sebaliknya Imam
Abu Hanifah juga bersumpah untuk tidak melakukannya. Lalu
seseorang berkata kepada Imam Abu Hanifah: “Bukankah kamu
tahu khalifah telah bersumpah melantikmu?” ancam orang tersebut.
Imam Abu Hanifah menjawab: “Seorang khalifah lebih berkuasa atas
kafarat sumpahnya”. Beliau pun menolak keputusan tersebut.
Akhirnya, Al-Manshur memerintahkan agar Abu Hanifah
dimasukkan ke dalam penjara.
9. Wafat
Banyak versi menyebutkan bagaimana sebenarnya Imam Abu
Hanifah meninggal. Satu versi mengatakan Imam Abu Hanifah
wafat di penjara tanah Baghdad. Versi lain menyebutkan bahwa
Imam Abu Hanifah setelah menerima rentetan penyiksaan lalu
Khalifah Mansur memerintahkan agar Abu Hanifah dibebaskan
dari penjara namun dia dilarang memberikan fatwa dan berbaur

Mazhab Hanafi 9
dengan orang-orang. Abu Hanifah dilarang keluar dari rumahnya.
Beliau terasingkan di rumahnya sendiri hingga meninggal. Bahkan
ada yang mengisahkan bahwa rencana pelantikan Abu Hanifah
sebagai Hakim Agung bernuansa politis. Oleh karena itu Imam
Abu Hanifah enggan medudukinya walaupun beliau harus
menerima rentetan penyiksaan. Hingga berakibat beliau tidak
diberi kesempatan makan dan minum yang kemudian ketika beliau
tetap bersikeras menolak, beliau akhirnya diracun dan meninggal.
Abu Hanifah wafat pada bulan Rajab. Ada pula yang
mengatakan bulan Sya’ban, pada tahun 150 H di usia 70 tahun.
Beliau dishalatkan sebanyak 6 kali karena begitu padatnya pelayat
yang datang, dan dikebumikan di pemakaman al-Khaizuran di
Baghdad.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata: “Benar sekali, tatkala Abu
Hanifah merasakan datangnya maut, maka beliau bersujud. Kemudian,
ruhnya pun keluar dalam keadaan beliau sedang sujud.” Semoga Allah
Swt merahmati Abu Hanifah, dan memberikan balasan atas
jasanya terhadap umat ini dan juga Islam dengan balasan yang
terbaik.

10 Diskursus Mazhab Empat


PEMBAHASAN KEDUA
PERIODISASI DAN PERJALANAN MAZHAB
Masa pertumbuhan dan perkembangan Mazhab Hanafi
dimulai pada awal abad kedua Hijriah, tepatnya pada tahun 120 H.
Pada saat itu Imam Abu Hanifah menduduki posisi Mufti dan
pengajar untuk menggantikan Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman,
oleh karenanya tahun itu menjadi permulaan tumbuhnya mazhab
fikih yang mu’tamad (kredibilitas).
Dengan adanya kajian fikih yang dirintis sendiri oleh Imam
Abu Hanifah, mazhab Hanafi mulai menyebar luas dikarenakan
Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid yang senantiasa
menghadiri halaqahnya, membukukan pemikiran-pemikiranya
sekaligus mensyiarkanya. Oleh karena itu, murid-murid Imam Abu
Hanifah mempunyai peran besar dalam pendirian dan penyebaran
mazhab, terutama Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad.
Ibnu Abd al-Bar berkata: “Imam Abu Hanifah memiliki banyak
murid yang pandai, yang menjadi pemimpin di berbagai daerah, serta sangat
menguasai ilmu fikih. Muridnya yang tertua adalah Abu Yusuf, Ya’kub
bin Ibrahim Al-Anshari”.
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata “Imam Abu Hanifah telah
diberikan karunia yang sempurna berupa pengikut-pengikutnya. Mereka
membuat dasar-dasar dalam mazhab Hanafi dan furu’-furu’nya (cabang-
cabang fikih). Mereka melakukan kajian mendalam terkait dalil manqul
(sesuatu yang sudah ada di nash) yang dipakai Imam Abu Hanifah dan
ma’qul (dalil rasio), sehingga menjadi kaidah-kaidah Muhkamah (kaidah
baku) dan sumber-sumber referensional”.
Imam Abu Yusuf adalah orang pertama yang mengarang
beberapa kitab dalam Mazhab Hanafi. Beliau membukukan
pemikiran-pemikiran Imam Abu Hanifah dan beberapa
keterangan-keterangan dari beliau. Hal itu dilakukan Abi Yusuf
dengan mengarang kitab, seperti Kitab al-Atsar yang diriwayatkan
oleh Abu Yusuf dari Imam Abu Hanifah dan kitab Ikhtilaf Ibnu
Abi Laila yang mengkritisi pendapat Imam Ibnu Abi Laila, dan
Kitab Ar-Raddu Ala Siyar al-Auza’i yang berisi nalar kritis

Mazhab Hanafi 11
pemikiran Auza’i yang bertujuan menguatkan mazhab Imam
Hanafi”.
Selain itu, Imam Abu Yusuf menjadi hakim tinggi pada masa
Abbasiyah selama enam belas tahun. Adapun tugas memilih para
hakim di bawahnya dan melantiknya diberikan pada Abu Yusuf.
Pada masa itu, kebanyakan hakim yang dilantik adalah yang
bermazhab Hanafi. Sehingga hal tersebut memiliki pengaruh besar
dalam penyebaran fikih Imam Abu Hanifah dan qaul-qaul nya yang
menyebar luas hingga ke seperempat daerah kekuasaan Islam.
Muhammad bin Hasan merupakan perawi yang berafiliasi
dalam Mazhab Hanafi dengan berbagai karyanya, yang dihimpun
berdasarkan enam kitab induk yang ada di Mazhab Hanafi, atau
yang dikenal dengan kitab Dzahirurriwayah. Adapun kitab yang
digunakan sebagai referensi utama dalam fikih Hanafi yaitu al-
Mabsuth al-Asl, al-Ziyadat, al-Jami’ al-Shaghir, al-Jami’ al-Kabir, al-Siyar
al-Shaghir, dan al-Siyar al-Kabir.
Adapun periodisasi dalam perjalanan sejarah mazhab Hanafi
adalah sebagai berikut:
Periode Pertama: Tahap Pembentukan dan Perkembangan
Mazhab (120 H-204 H)
Periode ini dimulai dari masa Imam Abu Hanifah sampai
wafatnya murid tertuanya, al-Hasan bin Ziyad Al-Lu’lui (204 H).
Pada periode ini terjadi pembentukan dan berdirinya mazhab
Hanafi, di mana mulai ada penetapan sumber hukum pada
mazhab tersebut, dan merumuskan kaidah-kaidah yang fungsinya
akan digunakan untuk istinbath hukum (menggali hukum) serta
menjawab masalah furu’ (cabang hukum) yang mana semua hal itu
telah tuntas diramu oleh Abu Hanifah bersama para senior murid-
muridnya. Hal ini tergambar jelas dari metode Abu Hanifah dalam
mengajar yaitu dengan melakukan diskusi berbagai permasalahan
fikih bersama murid-muridnya. Sehingga ketika ditetapkan sebuah
rumusan hukum, pada saat itulah beliau memerintahkan Abu
Yusuf untuk membukukannya.

12 Diskursus Mazhab Empat


al-Muwafiq bin al-Makki menjelaskan metode Imam Abu
Hanifah yang digunakan untuk mengajar para muridnya. Ia
menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah melatakkan metode
musyawarah sebagai pondasi mazhab. Dia tidak memutuskan
rumusan hukum tanpa melibatkan murid-muridnya. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk kesungguh-sungguhannya dalam
mengarungi ilmu agama dan sebagai bentuk kehati-hatian terhadap
ilmu Allah Swt dan Rasulnya. Abu Hanifah sering melemparkan
berbagai macam masalah kepada para muridnya serta mengotak-
atik masalah tersebut dengan meminta pertimbangan murid-
muridnya dengan mendengarkan apa yang mereka kemukakan.
Setelah itu, baru Imam Abu Hanifah mengeluarkan pendapatnya
yang kemudian mengajak para muridnya untuk mendiskusikan hal
tersebut. Hal ini bisa terjadi sampai sebulan atau lebih sampai
akhirnya ditetapkan rumusan hukumnya. Setelah itu, al-Hakim
Abu Yusuf menetapkan rumusan hukum itu sebagai dasar hukum
mazhab. Hingga banyak sekali hukum dasar yang tertuang dalam
mazhab.
Dari beberapa hal di atas, dapat diketahui bahwa para murid
Imam Abu Hanifah turut andil dan berperan dalam merumuskan
mazhab ini. Mereka tidak hanya mendengarkan dan menerima
begitu saja terhadap apa yang telah diputuskan. Namun juga
bersama-sama dengan gurunya dalam menelaah berbagai macam
kasus.
Imam Abu Yusuf tidak sendirian dalam membukukan
pendapat-pendapat yang telah ditetapkan oleh Imam Abu
Hanifah. Terdapat sepuluh murid lainnya yang turut membukukan
pendapat-pendapat beliau. Diantara mereka ada empat imam
pembesar, yakni: Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Zufar bin
Hudzail, dan Hasan bin Ziyad.
Keempat murid ini, memiliki keseriusan mendalam guna
menyebarkan Mazhab Hanafi dan memperbaharuinya setelah
Imam Abu Hanafi wafat, terutama dua murid beliau yaitu Abu
Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Mereka meninjau kembali
semua pendapat yang telah disepakati pada masa Imam Abu
Hanifah dan melakukan kajian ulang dari pendapat-pendapat

Mazhab Hanafi 13
tersebut. Kajian yang dilakukan dengan mempertimbangkan
munculnya dalil-dalil baru serta perubahan problematika
kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, sangat terkenal bahwa
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad telah menarik banyak
pendapat Abu Hanifah ketika mereka berdua melihat sendiri
realitas yang terjadi terhadap penduduk Hijaz.
Diantara buktinya yaitu mereka berbeda pendapat dengan
Imamnya dalam beberapa masalah hukum asal dan hukum far’.
Meskipun begitu, mereka adalah orang yang bersungguh-sungguh
dan tetap menisbatkan pendapat mereka kepada mazhab Abu
Hanifah, karena mereka berpegang pada kaidah fikih Imam Abu
Hanifah dan mengikuti metode ijtihad Imam Abu Hanifah. Oleh
karena itu, pendapat-pendapat mereka dibukukan bersama
pendapat Imam Abu Hanifah. Dan semua itu dianggap sebagai
mazhab Hanafi.
Periode kedua: Ekspansi, Perkembangan, dan penyebaran
Mazhab (Tahun 204-710 H)
Periode ini dimulai sejak wafatnya Imam Hasan bin Ziyad (204
H) sampai wafatnya al-Imam Hafidzuddin, Abdullah bin Ahmad
bin Mahmud al-Nasafi (710 H) pengarang kitab “Kanzu al-Daqaiq”.
Periode ini tepatnya pada permulaan abad ke tiga Hijriyah sampai
akhir abad ke tujuh Hijriah.
Dapat diibaratkan periode ini adalah puncak kejayaan mazhab
Hanafi dari aspek ekspansi dan penyebaranya, juga dari segi
perluasan ijtihad dan perkembangan pendapat-pendapat mazhab.
Pada permulaan periode, bermunculan tingkatan masyayikh atau
pembesar ulama di mazhab ini. Mereka mencurahkan segala usaha
untuk memperbarui mazhabnya, mendevinisikan istilah-istilah
fikih, menjelaskan hukum asal, men-tarjîh (menggungulkan
pendapat yang berselisih) dan men-takhrîj (memberi dalil furu’).
Adapun kitab-kitab Muhammad bin Hasan yang lebih terkenal
dengan sebutan “Dhahir al-Riwayat” merupakan referensi awal bagi
Mazhab Hanafi dan menjadi rujukan orang-orang yang
mengemukakan pendapat-pendapat mazhab Hanafi.

14 Diskursus Mazhab Empat


Pada periode ini mulai aktif pembukuan dan penyusunan kitab
serta mengkalisifikasikan masalah fikih dalam beberapa bab serta
mulai banyak beredar penyampaian pendapat-pendapat mazhab
dari kasus-kasus baru yang terjadi. Mulai beredar pula beberapa
kitab matan dan mukhtasar seperti Mukhtasar al-Tahawi (Tahun 321
H), Mukhtasar al-Karkhi (Tahun 340 H), Mukhtasar al-Quduri
(Tahun 428 H), Bidayah al-Mubtadi milik Imam al-Marghinani
(Tahun 593 H) dan yang lainnya.
Pada periode ini juga, banyak bermunculan kitab-kitab syarah
dan Mutawwalat (panjang lebar kajiannya) seperti kitab al-Mabsuth
al-Sarkhasi (Tahun 490 H), Badai’ al-Shanai’ milik al-Kasani (Tahun
587 H), al-Hidayah milik al-Marghinani, dan yang lainnya. Begitupula
muncul beberapa kitab jenis al-Fatwa dan Nawazil, seperti Nawazil
as-Samarqandi (Tahun 373-375 H), Fatawa al-Halwani (Tahun 448
H), Fatawa as-Shadru as- Syahid (Tahun 536 H), Fatawa Qadhihan
(Tahun 592 H) dan fatwa-fatwa lainnya yang telah dianggap
sebagai sumber kekayaan intelektual dan peninggalan sejarah
mazhab Hanafi.
Pada periode ini, tepatnya pada abad keempat hijriah terdapat
jenis karya lain dari di mazhab hanafi yaitu yang dikenal dengan
konsolidasi baru dalam mazhab Hanafi. Seperti contoh kitab
karangan Imam al-Tahawi, seperti Syarh Ma’ani al-Atsar dan
Musykilu al-Atsar.
Pada masa itu, juga muncul dua madrasah utama bermazhab
Hanafi, masing-masing keduanya memiliki keistimewaan
tersendiri, yaitu:
1. Madrasah al-Iraki yang dikepalai oleh Syaikh Imam Abul
Hasan al-Karkhi. Madrasah tersebut dianggap sebagai penyebar
metode Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya yang senior.
2. Madrasah Masyayikh Samarqandi yang dikepalai oleh Syaikh
Imam Abu Manshur al-Maturidi. Keistimewaan madrasah ini
adalah dapat menghubungkan permasalahan ushul fiqih dan
masalah akidah yang pada akhirnya menimbulkan beberapa
perbedaan dari Madrasah Irak.

Mazhab Hanafi 15
Periode Ketiga: Periode Stabilitas (710 H - sekarang)
Periode ini dimulai dari wafatnya Imam an-Nasafi (Tahun 710
H) atau dari awal abad ke delapan hijriah hingga sekarang.
Mungkin yang menjadi titik pembeda periode ini adalah
kejumudan dalam ilmu fikih yang berbanding terbalik dengan
periode sebelumnya. Ulama-ulama Mazhab Hanafi merasa cukup
dengan apa yang ditinggalkan oleh ulama pendahulunya dengan
mengutip pendapat-pendapat mereka dalam masalah fikih.
Penyusunan kitab hanya berkisar seputar Syarah (penjelasan),
Khasyiah (Catatan Kaki), Ta’liqat (penafsiran) dan Rudud
(penolakan-penolakan). Sebagian besar karya di periode ini hanya
berkutat pada hal demikian.
Kajian yang paling mencolok pada peridode ini adalah usaha
menjelaskan kembali permasalahan yang termuat dalam mazhab
Hanafi berikut cabang-cabangnya dengan cara melengkapi
argumentasi, memperbandingkan pendapat serta menambahkan
penjabaran. Konsekuensinya adalah pendapat-pendapat yang telah
unggul dijelaskan dengan sangat gamblang bahkan melebihi
porsinya.
Mungkin parameter yang dapat menggambarkan kejumudan
pada periode tersebut adalah bahwa seorang mujtahid yang telah
mencapai tingkatan ijtihad tidak diperkenankan untuk keluar dari
qaul mazhab kecuali dalam keadaan darurat. Meskipun secara dalil,
ijtihad yang dihasilkan itu lebih kuat dari pada qaul-qaul yang ada
dalam mazhab. Imam Ibnu ‘Abidin lebih menjelaskan secara detail
bahwa dilarang membuat rumusah hukum yang keluar dari
rumusan mazhab. Beliau berkata ketika mengomentari qaul Imam
Abu Hanifah berupa: “Jika ditemukan hadits yang shahih, maka
termasuk mazhabku”. “Mestinya, perkataan Imam Abu Hanifah itu
dibatasi pada hadis yang sesuai dengan pendapat mazhab, karena
dalam ijtihad itu tidak boleh keluar dari mazhab secara Kulli
(totalitas) yang telah disepakati oleh imam-imam mazhab, karena
ijtihad mayoritas itu lebih kuat dari pada ijtihad individu.” Tegas
Imam Ibnu ‘Abidin

16 Diskursus Mazhab Empat


Oleh sebab itu, ulama menolak hasil tarjih Imam Ibnu Humam
yang mana beliau adalah pemungkas Ahli Tahqiq1. Para ulama
tidak mengamalkanya, karena mayoritas tarjih Ibnu Humam justru
bertolak belakang dengan pendapat mazhab. Hal ini dibuktikan
sendiri oleh murid beliau yakni Imam Qasim, yang berkata: “kami
tidak mengamalkan keputusan dari guru kami yang menyalahi
mazhab”.
Faktor Tersebarnya Mazhab Hanafi
1) Imam Abu Hanifah pernah belajar dari 4000 tabi’in dan
berfatwa sejak masa tabi’in.
2) Allah Swt menganugerahkan kepada Imam Abu Hanifah murid-
murid yang kemudian menjadi ulama besar. Beliau-beliaulah
yang membukukan pendapat-pendapat, fatwa dan hasil ijtihad
Abu Hanifah, berbeda dengan ulama lain pada masanya.
Diantara muridnya tersebut adalah Imam Abu Yusuf dan Imam
Muhammad bin al-Hasan. Imam Abu Yusuf telah membukukan
fikih Imam Hanafi dalam beberapa kitab. Begitu pula Imam
Muhammad bin al-Hasan telah membukukan seluruh fikih dan
hasil ijtihad yang dijadikannya rujukan, dalam sekumpulan kitab
yang disebut dengan Dzahir ar-Riwayat. Selanjutnya, Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad bin al-Hasan juga mengumpulkan
hadits-hadits riwayat Imam Abu Hanifah dalam fatwa-fatwanya
yang referensional, seperti kitab al-Atsar, kitab-kitab lain dan
hadits-hadits yang tersebar dalam kodifikasinya. Adapun cara
mengajar Imam Abu Hanifah adalah dengan metode tanya
jawab. Disamping itu beliau juga mengajarkan murid-muridnya
cara berpikir dan berfatwa.
3) Imam Abu Hanifah adalah Imam pertama yang menyusun
permasalahan-permasalahan fikih dalam beberapa bab mulai
dari thaharah, shalat dan seterusnya. Bab-bab ini kemudian

1
Ulama Muhaqiq atau Ahli Tahqiq adalah merujuk kepada ulama yang telah
menempati posisi mampu mengumpulkan berbagai macam pendapat lalu
memperbandingkannya dengan melakukan kajian terhadap argumentasi masing-
masing serta melakukan evaluasi terhadap kaidah dan metodologi yang dipakai
dan berakhir dengan kongklusi menggunggulkan salah satu pendapat.

Mazhab Hanafi 17
dikodifikasi oleh Imam Abu yusuf dalam catatan-catatannya.
Didalamnya memuat permasalahan fikih mencapai 500.000
kasus. Muid-murid beliau yang telah menjadi ulama terkemuka
(sekitar 730 ulama) membawanya ke negara-negara mereka
seperti Afghanistan, Bukhara dan Hindi. Darisini lah mazhab
Imam Hanafi tersebar ke segala penjuru dunia. Oleh sebab itu,
Ali bin Sulthan al-Qari (w. 1014 H) menghitung bahwa
sepertiga umat muslim di dunia ini mengikuti mazhab Hanafi.
4) Imam Abu Yusuf ditakdirkan menjadi hakim dan menduduki
jabatan hakim pada 3 periode khalifah (al-Mahdi, al-Hadi dan
Harun al-Rasyid) dan kemudian beliau dijuluki dengan Qadli al-
Qudlat. Telah diketahui bahwa beliau adalah pengikut mazhab
hanafi yang tentunya berfatwa dengan mazhab Hanafi. Begitu
pula dengan hakim-hakim yang diangkat oleh Imam Abu Yusuf,
serta karya-karya yang dibukukan ketika beliau menduduki
jabatan pemerintahan, kesemuanya adalah mengikuti mazhab
Hanafi. Semua faktor-faktor ini menjadikan mazhab Imam Abu
hanifah tersebar lebih luas dari pada mazhab-mazhab lain yang
mendahuluinya, seperti fikih Imam al-Auza’i dan fikih Imam
Ja’far as-Shadiq.

18 Diskursus Mazhab Empat


PEMBAHASAN KE TIGA
DASAR-DASAR PENGGALIAN HUKUM SECARA
UMUM DALAM MAZHAB HANAFI
Imam Abu Hanifah tidak pernah menguraikan metodologi
yang digunakan dalam membangun mazhab serta juga tidak ada
kaidah-kaidah spesifik yang beliau gunakan untuk mengurai kajian
dan ijtihadnya. Namun, terdapat banyak riwayat yang menjelaskan
adanya garis-garis horizontal serta rambu-rambu yang selalu beliau
gunakan guna mengkaji sebuah masalah. Terdapat metodologi
global yang dijadikan pijakan oleh Imam Abu Hanifah dalam
menganalisis kasus. Hal ini dapat membantu mengurai hal apa saja
yang menjadi kaidah dan sumber hukum bagi mazhab Hanafi.
Beberapa periwayatan tersebut dijelaskan di bawah ini:
Dalil yang diriwayatkan oleh al-Shaimari dan al-Khatib al-
Baghdadi dari Yahya bin Dhurais. Beliau berkata: “aku melihat
Imam Sufyan dan seorang laki-laki mendatanginya. Kemudian laki
laki itu bertanya kepada Imam Sufyan: “Kenapa engkau tidak
menyukai Abu Hanifah?” Imam Sufyan menjawab: “apa
istimewanya ilmu Abu Hanifah?”. Laki-laki tersebut berkata: “aku
mendengar Imam Abu Hanifah berkata: “aku mengambil dari al-
Qur’an. Jika tidak menemukan, maka aku mengambilnya dari al-
Hadis. Jika tidak menemukan dari al-Qur’an dan al-Hadis, maka
aku mengambil qaul dari sebagian sahabat yang aku kehendaki, dan
juga bisa meninggalkan qaul diantara mereka. Dan aku tidak keluar
dari qaul shahabat kemudian berpindah pada qaul yang lain.
Kemudian jika perkara tersebuat tidak dapat terselesaikan, maka
aku merujuk kepada Imam Ibrahim, al-Sya’biy, Ibn Sirin, al-Hasan,
Atha’, Sa’id bin al-Musayyab, dan beberapa imam lainnya. Karena
orang-orang itu berijtihad, maka aku melakukan hal yang sama”.
Imam al-Muwaffaq ibnu al-Makki meriwayatkan dalam kitab
al-Manaqib dari Abdul Karim bin Hilal, dari ayahnya beliau
berkata: aku mendengar Imam Abu Hanifah berkata: “jika aku
menemukan jawaban dalam al-Qur’an atau al-Hadis, maka aku
berpegangan padanya dan aku tidak pernah mengesampingkannya.
Namun jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Hadits,

Mazhab Hanafi 19
sementara para sahabat berselisih paham, maka aku tetap akan
mengambil sebagian pendapat mereka. Kemudian jika datang
generasi setelah mereka (tabi’in), terkadang aku mengambil, dan
terkadang aku tidak mengambilnya”.
Ibnu al-Makki juga meriwayatkan dari Sahal bin Mazakhim,
beliau berkata: “Pendapat Imam Abu Hanifah selalu mengambil
riwayat yang tsiqqah (terpercaya) dan menghindar dari riwayat yang
buruk. Abu Hanifah selalu merujuk pada realitas kehidupan
manusia serta adat kebiasaan dalam setiap pendapatnya. Untuk
menyelesaikan sebuah masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan
jalan qiyas. Jika qiyas tidak sesuai, maka diselesaikan dengan jalan
istihsan (selama istihsan bisa menyelesaikannya), dan jika dengan
jalan istihsan tidak terselesaikan, maka beliau merujuk pada
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Dan beliau menyampaikan
hadis yang benar-benar terverifikasi keshahihannya. Kemudian
beliau menqiyaskan berbagai masalah menggunakan parameter
hadis tersebut selama qiyas itu bisa dilakukan, lalu merujuk pada
istihsan, dan mana yang paling cocok itulah yang djadikan
rujukan”. Imam Sahal berkata: “demikianlah dasar ilmu Imam
Abu Hanifah yang dijadikan rujukan oleh semua orang”.
Diriwayatkan dari Imam Hasan bin Shalih, beliau berkata:
“Imam Abu Hanifah sangat teliti dengan nasikh dan mansukh suatu
hadis. Beliau mengamalkan hadis jika benar-benar ada ketetapan
dari nabi dan para sahabat. Dan beliau juga mengetahui hadis ahli
kuffah, fiqihnya, dan juga mengikuti apa yang dilakukan penduduk
di negaranya.
Melalui riwayat diatas yang membahas tentang metodologi
istinbath Imam Abu Hanifah, para Imam mazhab Hanafi
mengerucutkan metodologi istinbath sebagai acuan dasar. Mereka
membuat dasar pengambilan hukum menurut imam hanafi sebagai
berikut:
1. al-Qur’an
Al-Quran adalah dasar dan sumber utama yang dijadikan
rujukan dalam setiap pengambilan hukum mazhab Hanafi. Hal
ini tidak lepas dari kandungan al-Quran yang qat’iyyu tsubut.

20 Diskursus Mazhab Empat


2. al-Hadis:
Pedoman syariat yang kedua yang berfungsi menjelaskan dan
menafsiri sebagian ayat dalam al-Quran. Imam Abu Hanifah
mengambil hadis sahih dari nabi. Seringkali beliau hanya
menggunakan hadis yang benar-benar mutawatir dan masyhur
yang diriwayatkan oleh banyak perawi ke perawi lain. Adapun
hadis ahad, Abu Hanifah hanya menggunakan hadis yang telah
disepakati sah untuk diamalkan. Ketika ada dua hadis sahih
yang bertentangan, maka beliau mengambil qaul yang terakhir.
Hukum ini berlaku pada hadits mutawatir dan masyhur. Begitu
juga berlaku dalam hadis ahad (ketika terdapat dua hadis ahad
yang bertentangan). Namun hal ini tidak berlaku apabila hadis
ahad bertentangan dengan qiyas yang rajih. Derajat qiyas yang
rajih lebih unggul dan lebih kuat dari hadits ahad. Oleh karena
itu, qiyas rajih lebih diutamakan daripada hadits ahad. Hal ini
tidak lain adalah sebagai bentuk kehati-hatian.
Telah diketahui bahwa Imam Abu Hanifah sangat selektif
dalam menerima riwayat hadis, Khususnya hadis ahad. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga keorisinilan hadis nabi. Di
samping itu apabila hadis ahad itu telah melawan dalil umum
berupa sumber hukum yang qath’i dan implementasinya atas far’
juga qath’i. Maka hadis tersebut di anggap lemah, dan yang
dijadikan pedoman hukum adalah kaidah umum yang tidak
memiliki sisi syubhat (keraguan) mengalahkan hadis ahad. Abu
Hanifah banyak menolak hadis-hadis ahad yang bersumber dari
luar Irak kecuali benar-benar telah memenuhi syarat.
Keterangan di atas bukan berarti Abu Hanifah menolak
mentah-mentah hadis ahad. Beliau tetap menerima hadis ahad
namun dengan seleksi yang ketat. Faktanya, bahwa sumber
hukum Imam Abu Hanifah mendahulukan hadits ahad daripada
qiyas sebagaimana yang dikatakan Abu Zaid al-Dabbusiy: “pada
dasarnya menurut tiga ulama’ (Imam Abu Hanifah, Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad bin al-Hasan) bahwa hadits yang
diriwayatkan dari nabi melalui jalur ahad itu didahulukan
daripada qiyas yang sahih”. Akan tetapi hal ini tidak pasti
dilakukan sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Ibnu ‘Abd

Mazhab Hanafi 21
al-Barr, bahwa penolakan Imam Abu Hanifah terhadap hadits
ahad adalah karena adanya ta’wil yang muhtamil (mengandung
alasan kuat). Seringkali beliau mendahulukan alasan kuat
tersebut daripada hadits ahad. Hal ini diikuti oleh ahlu ra’yi dan
mayoritas orang yang berada di kawasan ahlu ra’yi, seperti Imam
Ibrahim al-Nakha’i dan Imam Ashab bin Mas’ud“.
Selanjutnya, yang menguatkan bahwa Imam Abu Hanifah
juga tetap mempertimbangkan hadis ahad sebagai sumber
hukum adalah tidak ada seorangpun dari ulama yang
menisbatkan hadis kepada Nabi Saw kemudian menolak hadis
tersebut tanpa diiringi dengan klaim nasakh disebabkan adanya
hadits serupa atau ijma’. Andaikan ada seorang ulama
melakukan hal demikian (menolak hadis tanpa ada alasan), maka
sifat adilnya akan hilang terlebih jika ia dijadikan seorang imam
(pakar ilmu), sebab hal ini akan mendatangkan dosa fasik.
3. Ijma’
Ijma’ digunakan jika sudah tidak ditemukan jawaban dalam
nash al-Qur’an dan al-Hadits. Hal ini dapat diindikasiksan dari
pernyataan Imam Abu Hanifah: “dan setiap perbuatan itu selalu
merujuk pada al-Qur’an, al-Hadits dan ijma”.
4. Perkataan sahabat
Ketika para sahabat berbeda pendapat dan menghasilkan
banyak qaul, maka Imam Abu Hanifah memilih qaul sahabat
yang mendekati syariat, dan tidak keluar (menyelisihi) dari qaul-
qaul tersebut.
5. Qiyas:
Qiyas dilakukan jika memang tidak menemukan jawaban
dalam al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’ dan perkataan sahabat. Jika
masih ditemukan jawaban dalam ke empat dasar pengambilan
hukum diatas, Imam Abu Hanifah tidak mengambil jalan qiyas
meskipun dzahir-nya nash yang ada tersebut tidak sesuai dengan
qiyas. Hal ini bisa dilihat sebagaimana dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah mengenai orang yang makan
dan minum karena lupa (saat berpuasa). Imam Abu Hanifah

22 Diskursus Mazhab Empat


menggunakan hadis tersebut meskipun menurut beliau itu
menyelisihi qiyas, dan beliau berkata: “andaikan tidak ada suatu
riwayat, maka aku akan menggunakan qiyas”.
6. Istihsan:
Istihsan dilakukan jika dengan jalan qiyas masih tidak
ditemukan jawaban. Istihsan menurut Imam Abu Hanifah
bukanlah sebuah pendapat yang keluar dari hawa nafsu belaka
tanpa ada dalil syariat, sebab beliau terlalu wara’ untuk
melakukan hal yang demikian. Bagi Imam Abu Hanifah, istihsan
adalah sebagaimana yang diucapkan Imam Abu Hasan al-Kurhi:
“Istihsan adalah perpindahan hukum suatu masalah yang
semestinya dihukumi sesuai dengan hukum yang umum
kemudian berpindah ke hukum lain karena ada faktor yang
lebih kuat. Pengertian ini dianggap sebagai definisi yang paling
tepat menurut Imam Abu Zahrah.
7. Al-Urf:
Urf dilakukan jika tidak ada nash al-Qur’an dan al-Hadits,
serta ijma’ ataupun faktor yang mendorong untuk menggunakan
qiyas dan istihsan. Dalam hal ini beliau mempertimbangkan adat
yang berlaku di kalangan masyarakat dan menetapkan hukum
sesuai adat tersebut. Implementasi urf berlaku selama tidak
menyelisihi keterangan yang telah tertuang dalam kitab-kitab
mazhab

Mazhab Hanafi 23
PEMBAHASAN KEEMPAT
KARYA MAZHAB YANG POPULER
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa mazhab Hanafi
merupakan mazhab dengan penyebaran terluas, dan jumlah
pengikut terbanyak. Terdapat banyak karya ulama mazhab Hanafi
dalam bentuk matan, mukhtashar, syarh, muthawwalat, hawasyi, ta’liqat,
fatawa, dan mandzumat. Sebagian karya ini sudah populer dan telah
diakui oleh para ulama mazhab. Bahkan ulama selain mazhab
Hanafi banyak yang merujuk pada karya-karya tersebut karena
dikutip dari qaul yang shahih dan rajih.
Telah diketahui pula bahwa para ahli tahqiq dari ulama
muta’akhir mazhab Hanafi seperti Imam Ibnu ‘Abidin dan Imam
al-Laknawi telah mengklasifikasikan sejumlah kitab dalam mazhab
Hanafi menjadi dua bagian: yang pertama adalah kitab yang
mu’tamad (kredibel) dan yang kedua adalah kitab ghoiru mu’tamad
(tidak kredibel) yang tidak boleh dijadikan pedoman dalam
berfatwa.
Mengenai sebab kitab-kitab tersebut tidak memiliki
kredibilitas, diantaranya adalah karena kitab tersebut
mengumpulkan pendapat-pendapat yang lemah dan
permasalahan-permasalahan yang jarang terjadi, meskipun
pengarangnya termasuk ahli fiqh yang tersohor. sebagaimana
dalam kitab (Al-Qunyah)karya Imam az-Zahidi (W. 658H), (As-
Sirojul Wahhaj Syarh Mukhtashar Quduri) karya Imam Abu Bakr al-
Haddadi (W. 800H), dan (Ad-Durrul Mukhtar) karya Imam al-
Haskafi (W. 1088H). Selain itu, kitab-kitab tersebut tidak jelas
apakah pengarangnya mengambil kutipan dari golongan ulama
yang mu’tamad, atau hanya mengambil kutipan tanpa adanya
filterisasi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Imam Syams ad-Din
al-Qahastani (W. 953H) pengarang kitab (Syarh An-Nuqayah) yang
disebut (Jami’u Ar-Rumuz) dan Imam Manla Miskin (W. 954H)
pengarang kitab (Syarh Al-Kunuz).
Terkadang, ketidak kredibelan kitab tersebut juga dapat dilihat
dari segi pertentangan para ulama dan ahli fikih mengenainya.

24 Diskursus Mazhab Empat


Alasan ini menjadi sebab yang jelas bahwa kitab tersebut dianggap
tidak mu’tabaroh (tidak bisa dijadikan rujukan) menurut mereka.
Adapun karya yang mu’tamad (kredibel) itu banyak, kami
tunjukkan beberapa diantaranya
1. Kitab yang mu’tamad
Yang paling utama yaitu kitab (Dzhahiru Ar-Riwayah), seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedudukan kitab ini dalam
mazhab Hanafi seperti kedudukan kitab As-Sahihain dalam hadits.
Kitab tersebut merupakan dasar yang dijadikan referensi dalam
fikih Abu Hanifah dan pengikutnya. Oleh karena itu, ulama
memberikan perhatian lebih pada kitab tersebut. Dalam hal ini
Imam Al-Kabir Muhammad ibn Muhammad bin Ahmad Al-
Marwazi yang lebih dikenal dengan Hakim Syahid (W. 334H)
berperan mengumpulkan dan meringkasnya menjadi satu kitab
yang bernama Al-Kafi. Oleh karena itu, imam mazhab Hanafi
menjadikanya salah satu sumber hukum mazhab. Ulama pun
saling berlomba-lomba untuk membuat syarhnya. Kitab “Mabsuth”
milik imam Syams al-Aimmah Muhammad bin Muhammad bin
Sahl as-Sarkhasi merupakan syarh yang paling masyhur.
Ibnu abidin menukil ucapan dari Allamah al-Thurtusi dalam
kitab Mabsuth al-Sarkhasi: “kitab Mabsuth al-Sarkhasi ini dijadikan
pedoman dan rujukan untuk berfatwa dan hukum yang
menyelisihinya tidak diamalkan.”
2. Matan yang mu’tamad.

Matan ini terbagi menjadi dua:


 Matan yang mu’tamad menurut ulama mutaqoddimin (generasi
awal)
 Matan yang mu’tamad menurut ulama muta’akhirin (generasi
akhir)
Adapun matan yang mu’tamad menurut ulama mutaqaddimin
adalah kitab matan yang dikarang oleh masyayikh senior dan para
ahli fikih, seperti Abi Bakr al-Khassaf (W. 261H), Abi Ja’far al-

Mazhab Hanafi 25
Thahawi (W. 321H), Hakim Syahid (W. 334H), Abi Hasan al-
Kurkhi (W. 340H) dan Abi bakar Al-Jasshoss (W.370H) serta
fuqoha’ lainnya.
Kitab-kitab matan dan mukhtasar ini memuat permasalahan
ushul, dzohirnya riwayat yang shahih dan tsiqah (dapat dipercaya)
perowinya.
Al-‘Allamah al-Muthi’i berkata: “Selayaknya mengambil
keterangan dari jenis kitab yang meriwayatkan ushul, kemudian
jenis kitab matan dan mukhtasar, seperti mukhtasarnya Imam al-
Tahawi, Imam al Kurkhi, dan Hakim Syahid serta karya-karya
yang mu’tabaroh dan mu’tamad lainnya.
Adapun kitab matan yang mu’tamad menurut muta’akhirin adalah
sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Abidin: “Jenis kitab
matan yang mu’tabaroh itu seperti kitab Bidayah, dan Mukhtasar al-
Quduri, kitab Mukhtar, an-Nuqayah, al-Wiqayah, al-Kanzu dan kitab
Multaqa. Kitab-kitab tersebut dijadikan kutipan mazhab untuk
permasalahan yang termasuk dalam dzahirur riwayat.
Berikut ini adalah beberapa kitab matan dan sebagian syarh
nya:
1. Mukhtasar al-Quduri:
Kitab yang paling unggul diantara kitab-kitab dzahir ar-riwayat
karya ulama terkenal mazhab Hanafi, yaitu Imam Abi Husain
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Hamdan al-
Quduri (W.428H). Kitab ini memuat permasalahan kasuistik
(furu’) yang telah dikumpulkan oleh Imam al-Quduri. Kitab
inilah yang biasa disebut dengan al-Kitab dalam mazhab Hanafi.
Imam Khajji Khalifah berkata: “Kitab itu adalah kitab matan
populer yang padat makna dan mu’tabar diantara para Imam”.
Syarah kitab al-Quduri ini sangat banyak, diantaranya “al-
Lubab” karya Imam Jalaluddin Al-Yazdi (W.591H) dan “At
Tarjih wa Tashih ‘ala al-Quduri” karya Ibnu Quthlubugha al-
Hanafi (W. 879H).
2. Bidayatul Mubtadi’:

26 Diskursus Mazhab Empat


karya Imam al’Allamah Ali bin Abu Bakar bin Abdul Jalil al
Marghinani (W. 593H) yang termasuk dari guru besar mazhab
Hanafi. Didalamnya memuat gabungan antara kitab Mukhtasar
al-Quduri dan al-Jami’ al-Shoghir karya imam Muhammad bin
Hasan. Kemudian beliau membuat syarh nya dalam karya yang
dikenal dengan nama “Al-hidayah” yang selanjutnya menjadi
kitab asal dan disyarahi oleh banyak Imam Mazhab Hanafi.
Imam Hindi as Syahir, Muhammad bin Abdul Wahhab al-
Bahawi berkata: “ketika kitab Hidayah Syarh al-Bidayah menjadi
kitab inti mazhab Hanafi, banyak ulama mazhab yang menekuninya”.
Diantara syarh kitab Hidayah Syarh al-Bidayah yang paling
menonjol adalah: syarh Imam al Babarti (W.786H) yang diberi
nama “al-Inayah” dan syarh Imam Ibnu Humam (W. 861H)
yang disebut Fathul Qadir Lil Ajizil Faqir. Kitab ini termasuk
syarh kitab Hidayah yang termasyhur dan mu’tamad diantara
ulama mazhab Hanafi. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang
mensyarahi kitab Hidayah ini.
3. Wiqayat al-Riwayah Fi Masail al-Hidayah:
Karya Imam Mahmud bin Ahmad bin Ubaidillah bin
Ibrahim al-Mahbubi al-Hanafi yang lebih dikenal dengan Taj as-
Syariah (W. 673M). Beliau mengarang kitab ini untuk cucunya
al-Imam Shadrus Syari’ah untuk memudahkan hafalannya.
Imam Khajji Khalifah berkata: “Ini adalah karya yang masyhur
yang banyak dipelajari dan dihafalkan oleh para ulama mazhab”.
Kitab ini juga memiliki banyak syarh. Diantaranya adalah Syarh
cucu beliau, Imam Shodrush Syariah Ubaidillah bin Mas’ud al-
Mahbubi. Dan Imam Khajji Khalifah berkata lagi, “Syarh ini
tidak membutuhkan kemasyhuran untuk diketahui”.
4. Al-Mukhtar lil Fatwa:
Karya Imam Majdud ad-Din Abdullah Mahmud bin Maudud
al-Mushili (W.683H). Kitab ini merupakan ringkasan masalah
furu’ yang didalamnya memuat pendapat-pendapat terpilih
Imam Abu Hanifah dari kitab dzahirur riwayat. Kemudian beliau
membuat syarh dalam kitabnya yang berjudul “al-Ikhtiyar li Ta’lil
al-Mukhtar” yang selanjutnya juga memiliki banyak syarh. Imam

Mazhab Hanafi 27
Al-Laknawi berkata: “Aku telah mempelajari kitab al-Mukhtar
dan al-Ikhtiyar. Keduanya merupakan kitab yang mu’tabaroh
menurut para ahli fikih”.
5. Majma’ al Bahrain wa Multaqa an-Nahrain:
Karya Imam al-Mutqin Mudzaffar ad-Din Ahmad bin Aly
bin Tsa’lab yang dikenal dengan Ibnu Sa’ati (W. 694H).
Didalamnya memuat gabungan antara kitab Mukhtasar al-Quduri
dan Mandzumah an-Nasafi fil Khilaf disertai beberapa tambahan
yang disusun oleh beliau dengan baik.
Imam Khajji Khalifah berkata: “Ini merupakan kitab yang
mudah dihafal karena sangat padat makna, namun sulit
penguraiannya karena memuat permasalahan yang sangat luas
dengan keutamaan yang melimpah”.
Kitab ini juga memilik banyak syarh, diantaranya adalah kitab
al-Mustajma’ karya Qadhi Badru ad-Din al-‘Aini (W.855 H) dan
Tasynif al Musma’ Fi Syarhi al Mujma’ karya Qadhi Ahmad bin
Muhammad bin Syu’ban at-Tharabulisi al-Maghribi (W.102 H).
6. Kanzu Daqaiq:
Karya Imam al-Kabir Abi Barkat Hafidz ad-Din Abdullah
bin Ahmad bin Mahmud an-Nasafi (W. 710 H). Kitab ini
merupakan salah satu kitab matan yang diistilahkan dengan “al-
Mutun ats-Tsalatsah” oleh ulama mazhab Hanafi. Hal ini
menunjukkan kemasyhuran dan kemulyaannya di sisi ulama.
Imam Laknawi berkata: “Kitab Kanzu Daqoiq adalah jenis kitab
matan yang masyhur dalam fikih. Banyak dari ulama mazhab
Hanafi telah meneliti kitab tersebut dan kemudian men-syarahi-
nya. Diantara syarh yang termasyhur adalah kitab Tabyin al-
Haqaiq Li ma Fihi Min Tabyini Ma Iktanaza Mina Daqaiq wa
Ziyadati Ma Yuhtaju Ilaihi Min Al-Lawahi karya Imam
Fakhruddin Utsman bin Ali Azzaila’i (W. 743 H).
Imam al-Laknawi berkata: “Aku telah mempelajari Syarh
kitab Kanzu al-Daqaiq karya Imam Azzaila’i. Kitab tersebut
merupakan Syarh yang mu’tamad dan telah dipercaya. Inilah yang
dimaksud oleh pensyarh dalam kitab al-Bachru al-Raiq.

28 Diskursus Mazhab Empat


Diantara syarh nya yang mu’tamad dan masyhur yaitu kitab
“BahruAr-Raiq Syarh Kanzu Daqaiq” karya Imam Zainul Abidin
bin Ibrahim yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Nujaim al-
Mishri (W. 970 H).
7. An-Nuqayah Mukhtasar al-Wiqayah:
Karya Shadrus Syari’ah, Imam Ubaidillah bin Mas’ud bin
Mahmud al-Mahbubi (W. 745/747 H). di dalamnya terdapat
ringkasan Matan “Wiqayah” karangan kakeknya, Taj as-Syari’ah.
Kitab ini juga memiliki banyak syarh, diantaranya adalah kitab
“Kamal Ad-Dirayah Fi Syarhi An-Nuqayah” karya Syeikh
Taqiyuddin Ahmad bin Muhammad As-Syumuni (W. 872H)
dan “Fath Bab Al-Inayah Li Syarhi Kitab An-Nuqayah” karya al-
Malla Ali bin Sultan al-Qary al-Harawi (W. 1014 H).
8. Multaqa al-Abhar:
Karya Imam Ibrahim bin Muhammad al-Halabi (W. 956 H).
Terkumpul didalamnya beberapa masalah dari kitab Matan al-
Arba’ah (al-Quduri, al-Mukhtar, Kanzu Daqaiq dan Al-Wiqayah).
Selain itu, juga memuat beberapa permasalahan yang banyak
dibutuhkan serta ringkasan dari kitab al-Hidayah. Di dalamnya,
beliau mendahulukan pendapat ulama yang paling unggul dan
juga menjelaskan pendapat yang lebih shahih dan lebih kuat.
Oleh karena itu, kitab ini memiliki reputasi yang baik di segala
penjuru dan telah diterima dan disepakati oleh para ulama
mazhab Hanafi.
Kitab ini memiliki banyak syarah, diantaranya kitab Syarh Al-
‘Allamah Muhammad bin Ali bin Muhammad yang dijuluki ‘Ala’ ad-
Din Al-Chaskafi (W. 1088H) yang berjudul “ad-Durru al-
Muntaqa Fi Syarh al-Multaqa” dan Syarh Al’allamah
Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman yang masyhur
dengan julukan Syaikhi Zadah (W. 1078H). Kitab tersebut
berjudul “Majma’ al-Anhar Syarh Multaqa al-Abchar”. Kitab ini
muncul setelah tahun ke seribu hijriyah dan menjadi rujukan
ulama mazhab Hanafi serta para pengikutnya.
Dan diantara syarh yang terkenal pula adalah kitab “Bada’iu
as-Shanai’ Fi Tartib as-Syara’i’” karya Imam Al-Kabir Abi Bakr

Mazhab Hanafi 29
bin Mas’ud bin Ahmad ‘Ala’uddin al-Kasani yang mendapat
julukan rajanya para ulama (W. 587H). Ini merupaka syarh yang
agung yang disusun untuk kitab Tuhfah al-Fuqaha’ karya gurunya
“’Ala’ ad-Din As-Samarqand” (W. 539 H). Imam Khajji
Khalifah berkata: “Syarh ini adalah karya yang sesuai antara
judul dan isinya”.
Adapun kitab syarh yang terkenal setelah tahun ke seribu
hijriyah, dan menjadi inti dalam mazhab Hanafi bagi ulama
muta’akhirin adalah kitab-kitab berikut ini:
1. Radd al-Mukhtar ‘Ala Durr al-Mukhtar,
Lebih dikenal dengan Chasyiyah Ibnu Abidin karya Imam al-
’Allamah Muhammad Amin Abidin ad-Dimasyqi al-Hanafi (W.
1252 H). Sebagaimana yang diucapkan Imam Muhammad
Ahmad Ali : “Kemasyhuran kitab ini hampir mengungguli
kitab-kitab lain pada masa generasi terakhir (mutaakhirin) dan
menjadi rujukan para ulama modern. Dan Chasyiyah kitab Durr
al-Mukhtar karya ‘Ala’u Din al-Chashkafi yang mensyarahi kitab
Tanwir al-Abshar karya Muhammad Ibnu ‘Abdillah at-
Tumurtasyi (W. 1004 H) yang belum disempurnakan sebab
kewafatan beliau. Namun kemudian disempurnakan oleh
putranya yang bernama Muhammad ‘Ala ad-Din Ibnu ‘Abidin.
2. ‘Umdah al-Riwayah Fi Hilli Syarhi al-Wiqayah:
Karya al-’Allamah Muhammad bin Abdul Hayyi al-Laknawi
al-Hindi al-Hanafi (W. 1304 H). Kitab ini merupakan hasiyah
kitab Syarh Wiqoyah karya Shodru Syariah. Kitab ini sangat
populer dan direkomendasikan oleh para ulama di Benua
Hindia.
Sehubungan dengan pembahasan beberapa kitab, matan, dan
syarh, ditemukan dalam mazhab Hanafi kitab-kitab Fatawi yang
masyhur dan telah diterima oleh para ulama, diantaranya : al-
Fatawi al-Walwalajiyyah karya Abdul Rasyid bin Abi Hanifah al-
Walwalaji (W. 540 H), al-Sirajiyah karya Siraj ad-Din Ali bin
Utsman bin Muhammad at-Tamimi al-Ausyi (W. 575 H), al-
Khaniyyah karya Qadihan Hasan bin Manshur (W. 592 H), al-
Bazzaziyyah karya Muhammad bin Muhammad al-Bazzazi (W.

30 Diskursus Mazhab Empat


827 H) dan al-Hindiyyah yang disusun oleh sekelompok ulama
Hindi atas perintah Sultan Muhammad Auranggazeb (W. 1118
H). Mereka mengumpulkan permasalahan yang telah disepakati
dan dibuat fatwa oleh ulama terkemuka. Selain itu didalamnya
juga dicantumkan kasus-kasus yang jarang terjadi dan telah
diterima oleh para ulama berdasarkan pada kitab al-Fatawi al-
Hamidiyah karya Hamid bin Ali bin Ibrahim al-’Imadi (W.
1171H) yang telah diringkas oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya
yang masyhur: al-’Uqud ad-Durriyyah Tanqich al-Fatawi al-
Hamidiyah.

Mazhab Hanafi 31
PEMBAHASAN KE LIMA
ISTILAH-ISTILAH POPULER MAZHAB HANAFI
Sebagaimana mazhab yang lainnya, Mazhab Hanafi
memiliki istilah-istilah dan ungkapan yang dikenalkan oleh para
ulama’ mazhab dalam kitab-kitab karangannya. Oleh karena itu,
bagi orang yang ingin mengetahui mazhab Hanafi serta memahami
rumus-rumus dan kata kuncinya, harus mempelajari istilah-istilah
ini serta mengetahui maksud rumus hanafiyah sehingga mudah
baginya untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan apa
yang dimaksudkan.
Berikut ini akan disebutkan beberapa istilah yang populer
dengan pembagiannya:
Pertama: Istilah-istilah yang berhubungan dengan nama-nama
Imam. Terbagi menjadi dua, berbentuk kata dan berbentuk huruf.
 Istilah-istilah yang berbentuk kata:
Istilah Rujukan
‫اإلمام‬/‫األعظم اإلمام‬ Imam Abu Hanifah r.a
‫اإلمام اثلاين‬ Imam Abu Yusuf
‫اإلمام الرباين‬ Imam Muhammad bin al-hasan as-Syaibani
‫الشيخان‬ Imam Abu Hanifah r.a dan Imam Abu Yusuf r.a
‫الطرفان‬ Imam Abu Hanifah r.a dan Imam Muhammad bin
Hasan r.a
‫الصاحبان‬ Imam Abu Yusuf r.a dan Imam Muhammad r.a
‫أئمتنا اثلالثة‬ Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam
Muhammad
‫السلف‬ Sejak masa Imam Abu hanifah hingga masa Imam
Muhammad bin al-Hasan
‫اخللف‬ Sejak masa Imam Muhammad bin Al-Hasan
sampai Syamsul Aimmah Imam al-Halwani (w.
448 H.)
‫شيخنا‬ Khair ad-Din ar-Ramli
‫املتأخرون‬ Masa Syams al-Aimmah al-Halwani - masa Hafidz
ad-Din al-Kabir al-Bukhori (w. 693 H.)

32 Diskursus Mazhab Empat


‫الصدر األول‬ Tiga abad pertama yang disebut sebagai abad
terbaik.
‫شمس األئمة‬ Syams al-Aimmah as-Sarkhasy, pengarang kitab al-
Mabsuth (w. 490 H.)
‫( احلسن‬kitab fiqh) al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lu’i
‫( احلسن‬kitab Imam Hasan al-Bashri.
tafsir)
‫احلاكم الشهيد‬ Imam muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-
Maruzi al-Balkha, pengarang Kitab al-Kafi (w. 334
H.)
‫الصدر الشهيد‬ Imam Umar bin Abdul Aziz bin Umar bin Mazah
(w. 536 H.)
‫احلسام األخسيكيث‬ Imam Muhammad bin Muhammad bin Umar bin
Hisam ad-Din, pengarang Kitab al-Muntakhab fi al-
Ushul (w. 644 H.)
‫صدر الرشيعة‬ Imam Ubaidillah bin Mas’ud bin Mahmud al-
Mahbubi, pen-syarah Kitab Matn al-Wiqayah (w.
745/747H.)
‫الصدر األكرب‬ Imam Abdul Aziz bin Umar bin Mazah
‫الصدر السعيد‬ Taj ad-Din Ahmad bin Abdul Aziz bin Umar bin
Mazah
‫تاج الرشيعة‬ Imam Mahmud bin Ahmad bin Ubaidillah al-
Mahbubi, pengarang kitab Matn al-Wiqayah (w. 673
H.)
‫برهان اإلسالم‬ Rodhi ad-Din As-Sarkhasy Muhammad bin
Muhammad (w. 544 H.)
‫فخر اإلسالم‬ Imam Ali bin Muhammad Al-Bazdawi Abu al-‘Usr
(w. 482 H.)
‫مفيت اثلقلني‬ Imam Abu Hafs Umar bin Muhammad an-Nasafy,
pengarang Mandzumat al-Fiqh (w. 537 H.)
‫األستاذ‬ Imam Abdulloh bin Muhammad bin Ya’kub al-
Haritsi as-Subadzmuni (dijuluki dengan al-Faqih
al-Haritsi w. 340 H.)
‫املحقق‬ Jika mutlak pada ulama mutaakhir Hanafiyah:
Imam al-Kamal bin al-Humam (w. 861 H.)
‫قاضيخان‬ Imam Hasan bin Manshur bin Mahmud al-
Azwijandy al-Farghany (w. 592 H.)
‫إمام احلرمني‬ Imam Abu al-Mudzaffar Yusuf al-Jurjani al-Qadli.

Mazhab Hanafi 33
‫إمام اهلدى‬ al-Faqih Abu al-Layts Nashr bin Muhammad bin
Ahmad as-Samarqand (w. 373/393 H.)
‫إمام زاده‬ Imam Muhammad bin Abi Bakr al-Jughy,
pengarang kitab Syariat al-Islam (w. 573 H.)
‫ملك العلماء‬ ‘Ala’ ad-Din Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasany,
pengarang kitab al-Badai’ (w. 587 H.)

 Istilah-istilah masyhur berbentuk huruf:


Istilah Merujuk pada Digunakan oleh
‫س‬ Imam Abu Yusuf Imam al-Mushily dalam kitabnya
Al-Mukhtar li Al-Fatawi dan
Imam Al-Nasafy dalam kitabnya
Al-Wafy dan Kanzu Al-Daqaiq

‫ز‬ Imam Zufar Imam Al-Mushily dan Imam an-


Nasafy dalam kitab-kitab mereka
‫م‬ Imam Imam Al-Mushily dan Imam
Muhammad bin An-Nasafi dalam kitab-kitabnya
Al-Hasan As-
Syaibany
‫سم‬ Imam Abu Yusuf Imam al-Mushily dalam kitabnya
dan Imam Al-Mukhtar
Muhammad
‫ح‬ al-‘Allamah al- Imam Ibn al-‘Abidin dalam kitab
Halaby (w. 1190 Hasyiyah-nya
H.)
‫ط‬ al-‘Allamah al- Imam Ibn al-‘Abidin
Thahthawy (wafat
1231 H.)

Kedua: Istilah-istilah yang berhubungan dengan kitab-kitab,


karangan dan lain-lain:
1. ‫ مسائل األصول أو ظاهر الرواية‬: Yang dimaksud dengan istilah
tersebut adalah problematika yang diriwayatkan dari Imam
Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin

34 Diskursus Mazhab Empat


Al-Hasan. Terkadang juga diikuti oleh Imam Zufar dan Imam
Hasan bin Ziyad serta ulama lain yang meriwayatkan dari
Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, pada umumnya istilah ini
merupakan riwayat dari ketiga Imam diatas, atau sebagiannya.
Problematika ini dibukukan oleh Imam Muhammad bin Al-
Hasan dalam enam kitabnya (Al- Ashlu, az-Ziyadaat, al-Jami’ as-
Shaghir, al-Jami’ al-Kabir, as-Siyar as-Shaghir dan as-Siyar al-Kabir).
Disebut dengan ‫ ظاهر الرواية‬karena diriwayatkan oleh Imam
Muhammad dengan riwayat yang terpercaya (tsiqoh)
adakalanya dengan jalan mutawatir atau masyhur.
2. ‫ النوادر‬: Istilah ini menunjukkan pada problematika yang
diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya
yang tidak dibukukan dalam kitab-kitab dzahirurriwayat.
Problematika tersebut dibukukan dalam kitab karangan Imam
Muhammad bin Al-Hasan yang lain, seperti al-Kaisaniyyaat, al-
Ruqiyyaat, al-Haruniyyaat, dan al-Jurjaniyyaat. Atau dibukukan di
selain kitab Imam Muhammad, seperti kitab Al-Amali
karangan Imam Abu Yusuf dan kitab Al-Mujarrod karya Imam
al-Hasan bin Ziyad. Istilah nawadir ini bukan termasuk dari
Dzahirurriwayat karena periwayatannya dari Imam Muhammad
tidak melalui Dzahirurriwayat.
3. ‫ مسائل الفتاوى أو النوازل أو الواقعات‬: Problematika yang digali oleh
para mujtahid Hanafiyah generasi akhir ketika mereka
mendapati pertanyaan-pertanyaan seputar kasus yang tidak
ditemukan dalam riwayat ulama mutaqoddimin.
4. ‫ األصل‬: Jika disebutkan dalam bentuk mufrod, maka yang
dimaksud adalah kitab Al-Mabsuth karangan Imam
Muhammad bin al-Hasan, karena kitab tersebut adalah kitab
pertama yang disusun dari kitab-kitab Dzahirurriwayat.
5. ‫ الكتاب‬: Yang dimaksud oleh para fuqoha’, adalah kitab
Mukhtashar al-Qudury.
6. ‫ المحيط‬: Kitab Al-Muhith Al-Burhani karangan Imam Burhan
ad-Din al-Bukhori.
7. ‫ المبسوط‬: Kitab Al-Mabsuth As-Sarkhasy.
8. ‫ المتون الثالثة‬: Matan Mukhtasar al-Qudury (wafat 428 H.), matan
al-Wiqayah karangan Taj As-Syari’ah Al-Mahbubi (wafat 673

Mazhab Hanafi 35
H.) dan matan Kanzu ad-Daqaiq karangan Imam Abu al-
Barakat an-Nasafy (wafat 710 H.)
9. ‫ المتون األربعة‬: Tiga matan yang telah disebutkan dan matan Al-
Mukhtar karangan Imam Abu al-Fadhal Abdullah bin
Mahmud al-Mushily (wafat 683 H.) atau matan Majma’ al-
Bahrain karangan Imam Mudzhafar ad-Din Ahmad bin Ali al-
Baghdadi (wafat 694 H.)
Ketiga: Istilah-istilah yang berhubungan dengan Tarjih, yaitu
istilah-istilah yang digunakan untuk menunjukkan pendapat yang
dipilih oleh ulama Hanafiyah. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. )‫(وعليه الفتوى‬
2. )‫(وبه يفتى‬
3. )‫(وبه نأخذ‬
4. )‫(وعليه االعتماد‬
5. )‫(وعليه عمل اليوم‬
6. )‫(وهو الصحيح‬
7. )‫(وهو األصح‬
8. )‫(وهو الظاهر‬
9. )‫(وهو األظهر‬
10. )‫(وهو المختار‬
11. )‫(وعليه فتوى مشايخنا‬
12. )‫(وهو األشبه‬
13. )‫(وهو األوجه‬
Lafadz-lafadz diatas memiliki perbedaan tingkatan. Karena
ulama Hanafiyah menganggap sebagian dari istilah tersebut lebih
kuat daripada lainnya. Lafadz )‫ (الفتوى‬lebih kuat daripada ,‫(الصحيح‬
)‫ األصح و األشبه‬lafadz )‫ (وبه يفتى‬lebih kuat daripada )‫ (الفتوى عليه‬dan
)‫ (األصح‬lebih kuat daripada )‫(الصحيح‬.

36 Diskursus Mazhab Empat


PEMBAHASAN KE ENAM
AHLU RA’YI DAN AHLU HADIS
Perbedaan pendapat dikalangan ulama di bidang hukum Islam,
sesungguhnya telah terjadi pada masa Sahabat. Namun perbedaan-
perbedaan tersebut masih dapat diatasi dengan kebijakan politik
dan legalitas ijma’. Setelah selesainya masa Sahabat, lalu muncullah
masa yang dikenal dengan masa Tabi’in. Perbedaan pendapat pada
masa ini tidak bisa diselesaikan sebagaimana pada masa Sahabat
lagi. Disinilah awal mula terjadinya proses peralihan hukum Islam
dari bentuk ijtihad yang bertendensi pada Sahabat kepada ijtihad
baru. Ahl al-Ra’yi dan Ahl al-Hadis adalah dua bentuk pemikiran
hukum yang mengantar terjadinya proses peralihan tersebut.
Berikut penjelasan tentang mazhab Ahl al-Ra’yi dan Ahl al-Hadis.
1. Mazhab Ahl al-Ra’yi (Madrasah al-Kufah) di Iraq
Pada masa Umar bin Khattab, banyak Sahabat yang mampu
memahami nash Al-Qur’an dan Hadis, berijtihad dengan
pemahamannya, serta mengedepankan ra’yu (rasio) dalam
ijtihadnya. Masalah-masalah yang dihadapi terselesaikan dengan
ijtihad mereka. Keistimewaan ini tentunya membantu Umar bin
Khattab dalam menyelesaikan berbagai masalah, meskipun ia
sendiri sangat menghendaki untuk berdiskusi terlebih dahulu
dengan Sahabat lainnya dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan.
Al-Sya’bi berkata: “Dahulu, berbagai kasus diajukan kepada Umar
bin Khattab. Kerap kali ia memikirkannya dalam waktu sebulan dan
berdiskusi dengan Sahabat yang lain. Sekarang, ia bisa menyelesaikan
sampai seratus kasus di majelis.”
Sahabat Abdullah bin Mas’ud adalah sosok yang mengikuti
manhaj (metodologi) Umar bin Khattab dalam menggunakan ra’yu
(rasio). Pengaruh ra’yu benar-benar menancap di benak Abdullah
bin Mas’ud. Di dalam kitab A’lam al-Muwaqqi’in disebutkan bahwa
Ibn Mas’ud tetap berpegang teguh pada mazhab Umar. Ia berkata:
“Andaikan manusia berjalan di lereng lembah dan bukit, sementara Umar
juga berjalan melewatinya, maka aku akan mengikutinya pula.”

Mazhab Hanafi 37
Al-Sya’bi berkata: “Ketika shalat shubuh, Abdullah tidak berdoa qunut.
Andaikan Umar berdoa qunut, maka Abdullah juga mengikutinya.”
Hal ini menujukkan bahwa Ibn Mas’ud ber-manhaj sesuai
dengan manhaj Umar dalam hal proses berpikir, pengambilan
hukum, dan ra’yu. Seandainya ia berseberangan dengan pendapat
Umar dalam beberapa masalah, maka ia tidak mengikutinya karena
ia mampu berijtihad sendiri yang menurutnya diyakini
kebenarannya.
Ibrahim al-Nakha’i menyatakan bahwa ia tidak
membandingkan antara pendapat Umar dan Ibn Mas’ud ketika
keduanya bersepakat. Namun ketika keduanya berselisih pendapat,
maka pendapat Ibn Mas’ud lebih sesuai dan lebih ringan diterima
akal.
Abdullah bin Mas’ud pernah diutus oleh Umar bin Khattab
untuk mengajari penduduk Kufah. Pergerakan pengajarannya
berlangsung sangat signifikan. Murid-murid Ibn Mas’ud
menggunakan metodologi cara berijtihad Ibn Mas’ud, sampai-
sampai madrasah Ibn Mas’ud di Irak disebut dengan Madrasah al-
Ra’yi dan dinisbatkan oleh sebagain Tabi’in dengan sebutan
“Rabi’at al-Ra’yi”. Hal ini tidak lepas dari besarnya pengaruh
Abdullah bin Mas’ud.
Ahlu Ra’yi berpandangan bahwa hukum syariat pastilah
memiliki unsur kemaslahatan. Syariat tentu meletakkan alasan-
alasan rasionalitasnya dalam mengupas kemaslahatan berbagai
hukum. Sebab parameter syariat adalah maslahat. Sementara
kacamata maslahat pasti didasarkan atas menarik manfaat dan
menghindari mafsadah yang tentu hal demikian mampu dicerna
oleh akal manusia. Oleh karena itu seringkali Ahlu ra’yi
menggunakan qiyas dalam menjawab sebuah persoalan
Penyebaran madrasah al-ra’yi tetap merujuk pada beberapa
aspek, antara lain:
A. Adanya pengaruh besar yang dibawa Abdullah bin Mas’ud
yang berorientasi pada manhaj Umar bin Khattab dan guru-
guru di Kufah serta penguasaan Ahl al-Kufah terhadap

38 Diskursus Mazhab Empat


berbagai kasus dan metode ijtihad pada masa Khalifah Ali bin
Abi Thalib.
B. Periwayatan hadis di Iraq sangatlah sedikit dibandingkan
dengan di Hijaz, yang merupakan negara Rasulullah saw dan
Sahabat senior. Jumlah Sahabat yang menetap di Irak lebih
sendikit dibandingkan Sahabat yang menetap di Hijaz.
C. Negara Iraq berbatasan dengan Persia dan sangat erat dengan
peradabannya. Karena itulah banyak sekali ragam
permasalahan cabang yang membutuhkan ra’yu dan qiyas
sebagai metode istinbath hukum. Sampai-sampai Ibrahim al-
Nakha’i berkata: “Sungguh tatkala aku mendengar satu hadis, maka
aku qiyaskan hadis itu kepada seratus cabang permasalahan.”
D. Negara Irak merupakan negara yang dominan dengan Syi’ah
dan Khawarij, sampai sering sekali terjadi konflik diantara dua
aliran tersebut. Banyak hadis palsu yang muncul pada masa ini
dengan tujuan politik. Karena itulah banyak ulama di
madrasah yang menyedikitkan periwayatan hadis dan
menjaganya agar terhindar dari periwayatan hadis palsu. Para
ulama di Irak sangat selektif dan ketat dalam menerima dan
menyampaikan hadis. Hal ini menuntut ulama untuk
menggunakan ra’yu sebagai metode istinbath hukum dalam
menghukumi berbagai permasalahan, bukan menggunakan
nash Al-Qur’an dan Hadis.
Adapun karakteristik dari madrasah al-ra’yi antara lain:
A. Pada masa ini banyak permasalahan cabang yang muncul yang
menuntut untuk diputuskan, walaupun masalah itu sama sekali
belum terjadi. Bahkan banyak dari mereka yang menggunakan
ungkapan “Bagiamana pendapatmu jika hal ini terjadi?”. Mereka
bertanya tentang suatu masalah, lalu menyebutkan hukumnya,
kemudian mengungkapkan ungkapan di atas sebagai tanda
untuk memunculkan masalah baru. Karena itulah, Ahl al-
Hadis memberi sebutan “‫ن‬
َ ‫ ”اْأل ََرأَيْتََيُّ ْو‬pada mereka. Ketika Said
bin al-Mutsayyab bertanya sebuah permasalahan kepada rabi’at
al-ra’yi, ia selalu berkata: “Apakah kamu orang Iraq?”.

Mazhab Hanafi 39
B. Mereka sedikit meriwayatkan hadis. Jika terpaksa
meriwayatkannya, maka hanya diriwayatkan kepada segelintir
orang saja. Mereka selalu berorientasi pada manhaj Umar bin
Khattab dan Abdullah bin Mas’ud. Mereka selalu
berlandaskan ra’yu dalam menghukumi permasalahan.

2. Mazhab Ahl al-Hadis (Madrasah al-Madinah) di Hijaz


Madinah adalah kota yang disebut dengan “Dar al-Hijrah”.
Madinah merupakan sumber syariat sekaligus kawasan dimana
perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw disaksikan. Madinah juga
merupakan pusat dari Khulafa’ al-Rasyidin. Sehingga tempat ini
menjadi pusatnya Sunnah, Hadis dan pertemuan para Sahabat. Hal
inilah yang menjadikan penduduk Hijaz sangat berkompeten
dalam bidang fikih dan berpegang teguh terhadap riwayat hadis
dan atsar (perkataan sahabat).
Madrasah al-Madinah di sini berorientasi pada manhaj yang
dibangun oleh guru-guru pertamanya: Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Umar. Ibn Umar sendiri adalah Sahabat yang paling
tekun berpegang teguh terhadap Sunnah Rasulullah saw. Manhaj
Abdullah bin Umar ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya
seperti Sa’id bin al-Mutsayyab yang selalu tekun dalam
menghimpun atsar dan fatwa sahabat serta juga banyak hafalannya.
Banyak yang menyebutkan bahwa ia termasuk orang yang paling
‘alim dan paham tentang atsar. Maimun bin Mahran berkata:
“Tatkala aku mendatangi Madinah, aku bertanya tentang siapa penduduk
sini yang paling ‘alim? Lalu ditunjukkanlah kepadaku Sa’id bin al-
Mutsayyab. Aku pun bertanya beberapa masalah kepadanya.”
Termasuk yang lahir dari madrasah ini adalah ‘Amir bin
Syarahil al-Sya’bi. Ia pernah berkata: “Jika ada pendapat yang dibawa
oleh para Sahabat, maka peganglah pendapat itu dan jika pendapat itu
murni dari pemikirannya sendiri, maka tinggalkanlah.”Mekanisme
mazhab ini dikatakan bahwa jika terdapat suatu permasalahan, lalu
mereka mengetahui ayat atau hadis yang sesuai, maka mereka
berani berfatwa. Tapi jika tidak demikian, maka masalah itu
ditangguhkan.

40 Diskursus Mazhab Empat


Diceritakan tentang seseorang yang bertanya kepada Salim bin
Abdullah bin Umar, lalu Salim menjawab: “Aku tidak pernah
mendengar masalah ini sebelumnya.” Seseorang itu menyeru:
“Berpendapatlah dengan akalmu. Semoga Allah memberikan maslahat
kepadamu.” Ia menjawab: “Tidak. Aku tidak mau.” Kemudian
seseorang itu kembali berkata: “Sungguh aku sangat rela jika engkau
berpendapat dengan akalmu.” Salim menjawab: “Aku termasuk orang
yang paham. Jika aku berpendapat dengan akalku, lalu kamu berpendapat
sesuai pendapatku, maka setelah itu aku akan berpendapat dengan akalku
terus-menerus dan tidak pernah menjumpaimu lagi.”
Adapun beberapa faktor yang menjadi tendensi berpegang
teguhnya Ahl al-Hijaz terhadap nash Al-Qur’an dan Hadis, antara
lain:
A. Pengaruh madrasah terhadap manhaj yang dipegang oleh
ulama mereka dalam hal ketekunannya terhadap hadis dan
atsar serta menghindari ra’yu dan qiyas, kecuali terdapat
dlarurat yang menuntut untuk menggunakan kedua hal
tersebut. Mereka melarang untuk mengeluarkan fatwa yang
tidak ditemukan dalil dari nash Al-Qur’an, sunnah maupun
atsar sahabat.
B. Mereka mempunyai keuntungan yang besar -terutama bagi
para sahabat yang sebagian besar menetap di Hijaz dan
Madinah- terhadap banyaknya periwayatan hadis dan atsar
yang menegaskan pada kebutuhan istidlal dan ra’yu.
C. Kehidupan yang mudah dan permasalahan yang sedikit bagi
penduduk Hijaz yang jauh dari Ibu kota yang tentu banyak
muncul masalah di sana. Di samping itu penduduk Hijaz
mayoritas pernah menjalani kehidupan sebagaimana pada
masa Nabi Saw, sehingga tidak ada permasalahan baru yang
sangat serius kecuali beberapa yang sangat langka.
D. Kota tersebut sangat jauh dari potensi adanya fitnah dan
pertikaian dibandingkan dengan Iraq yang punya potensi
besar terjadinya fitnah dan pertikaian. Mereka juga selamat
dari bid’ahnya kaum Khawarij dan Syi’ah. Sementara warisan
hadis dan atsar selalu terjaga dikalangan mereka. Tidak ada

Mazhab Hanafi 41
keraguan dan tuduhan pemalsuan hadis yang terjadi di kota
Hijaz. Berbading terbalik dengan Irak yang muncul ragam
upaya pemalsuan hadis.
Adapun karakteristik madrasah ini antara lain:
A. Tidak senang banyak bertanya sebuah permasalahan dan
enggan mencabangkan atau mengembangkan kasus-kasus
fikih melalui jalur pengembangan alasan hukum (illat).
Madrasah ahl al-Hijaz berpandangan bahwa hukum itu
dibangun atas kasus faktual, bukan asumsi. Hukum sendiri
harus berlandaskan nash Al-Qur’an dan hadis. Karena itulah,
tidak perlu adanya upaya untuk mencari illat hukum, baik illat
tersebut ada maupun tidak.
B. Berpegang teguh pada hadis dan atsar sahabat. Hakikat ilmu
bagi kalangan hijaz yang harus dikuasai adalah Al-Qur’an,
sunnah dan atsar sahabat. Kepedulian mereka untuk menjaga
serta menghafal sangat tinggi. Mereka senantiasa peduli
terhadap lestarinya dasar dan sumber tasyri’ (al-Quran, Hadis
dan Atsar). Karena mereka menganggap bahwa melestarikan
sumber tasyri’ adalah kewajiban agama.
Persaingan yang besar terjadi antara aliran Ahl al-Ra’yi dan Ahl
al-Hadis. Masing-masing dari keduanya saling mencari kelemahan
dari yang lain dari sisi manhaj dan rumusan hukum. Meski begitu,
terdapat ulama Hijaz yang menggunakan metodologi ra’yu seperti
Rabi’ah bin Abdurrahman yang merupakan guru Imam Malik.
Imam Malik meriwayatkan dari gurunya di dalam kitabnya al-
Muwattha’. Gurunya berkata: “Aku bertanya kepada Sa’id bin al-
Mutsayyab tentang diyat. Berapa diyatnya satu jari perempuan?” Said
Menjawab: “10 ekor unta.” Aku bertanya lagi: “Jika dua jari?” Ia
menjawab: “20 ekor unta”. Aku bertanya lagi: “Jika tiga jari?” Ia
menjawab: “30 ekor unta.” Aku bertanya lagi: “Jika empat jari?” Ia
menjawab: “20 ekor unta.” Lalu aku menyangkal: “Tatkala semakin
besar luka yang dialami dan bertumpuknya penderitaan, mengapa kok
malah sedikit diyatnya?” Ia bertanya: “Apakah engkau orang Iraq?”
Aku menjawab: “Tidak, aku adalah orang Hijaz, orang alim yang
mencari kebenaran atau orang yang tidak mengerti yang sedang belajar.”
Lalu Said berkata: “Itulah Sunnah, wahai saudaraku!” Jawaban Said

42 Diskursus Mazhab Empat


bin al-Mutsayyab tadi berdasarkan hadis yang ditakhrij oleh al-
Nasa’i dari Rasulullah saw bersabda: “Diyat seorang perempuan seperti
diyat seorang laki-laki hingga mencapai sepertiga dari diyatnya.” Karena
itulah, Said bin al-Mutsayyab mengkritik Rabi’ah bin
Abdurrahman sebagaimana mengkritik penduduk Iraq sebab
menghukumi suatu kasus dengan ra’yu (rasio).
3. Kajian Pembanding Dalam Menfasirkan Asal Mula
Kemunculan Dua Mazhab
Dalam sebagian besar tulisan kontemporer, banyak ditemukan
pembahasan mengenai sejarah fikih Islam bahwa alasan
kemunculan dua mazhab Ahlu Hadis dan Ahlu Ra’yu disebabkan
banyaknya hadis dan riwayat di Hijaz yang membuat para ulama
leluasa mengutarakan pendapat berdasarkan sumbernya.
Sedangkan kondisi di Irak, para ulama lebih ketat dalam
menentukan persyaratan menerima riwayat. Hal ini seiring dengan
riwayat dan hadis yang sedikit beredar di kota tersebut, ditambah
dengan banyaknya jumlah masalah yang perlu diketahui jawaban
hukumnya. Banyak permasalahan baru muncul dihasilkan dari
banyak kebiasaan dan aturan yang telah ditinggalkan oleh negara
Persia. Sementara Hijaz ditandai dengan kesederhanaan dalam
gaya hidup.
Penjelasan yang populer dalam menafsirkan metodologi kedua
mazhab bahwa di Hijaz banyak beredar hadis sehingga mayoritas
orang menggunakan hadis. Berbeda halnya Irak yang jauh dari
sumber hadis sehingga penduduknya cenderung menggunakan
ra’yu (rasio). Kajian seperti ini kurang tepat, karena bertentangan
dengan beberapa fakta yang berkaitan dengan sejarah fikih, yaitu:
Pertama: Sekitar seribu lima ratus sahabat menetap di Kufah.
Beberapa diantaranya terkenal karena banyak meriwayatkan hadis
dari Rasulullah SAW, seperti Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik.
Diantara seniornya adalah Abdullah bin Mas’ud yang melahirkan
sekitar empat ribu ahli qurra’, ahli hukum dan ahli hadis. Setelah
itu digantikan oleh Sayyidina Ali, sehingga Kufah menjadi kota
dengan jumlah ahli hukum dan ahli hadis yang tidak tertandingi.

Mazhab Hanafi 43
Kedua: Yang perlu diperhatikan, bahwa beberapa hadis
Haramain (Makkah dan Madinah) itu populer terhadap semua
ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in, termasuk di dalamnya adalah
ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in Kufah. Para Tabi’in dan Tabiut
tabi’in yang ahli hukum dan ahli hadis di kota Kufah itu tidak
hanya mengambil riwayat dari para sahabat yang menetap di kota
Kufah saja. Tapi mereka juga bepergian dan mengambil riwayat
dari para sahabat yang berada di kota Makkah dan Madinah. Ibnu
Sa’ad menyebutkan dalam kitab thabaqah-nya terdapat sekitar dua
ratus dua tabi’in Kufah yang melakukan pengembaraan, ditambah
pula banyak dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang bertemu dengan
ulama makkah madinah dalam ibadah haji dan umrah, kemudian
mereka saling belajar mengenai hadis dan melakukan transfer
keilmuan. Diantara mereka adalah Imam Abu Hanifah yang telah
melaksanakan ibadah haji sebanyak lima puluh lima kali serta
banyak bertemu dengan para ulama, diantaranya adalah Imam
Malik. Sehingga tidak heran jika kita temukan sosok Imam Abu
Hanifah yang terhitung sebagai prmbesar ahli ra’yi di kota Irak,
namun mampu menyebutkan lebih dari tujuh puluh ribu hadis
dalam kitabnya.
Ketiga: Jika keadaan politik, sosial, dan perbedaan intelektual
menyebabkan munculnya pengaruh ra’yu (rasio) di Irak, lalu
bagaimana hal itu bisa terjadi dengan Imam Ahmad bin Hanbal
yang mana beliau merupakan salah seorang pembesar ulama ahli
hadis yang mengatakan “(Hadis yang lemah lebih kuat bagi saya
daripada pendapat seorang ‘sahabat’).” Imam Ahmad tidak menjadikan
ijtihad sahabat sebagai sumber hukum, bahkan jika sahabat
memiliki satu atau lebih pendapat tentang suatu masalah, maka
Imam Ahmad menjadikan semua pendapat mereka sebagai
jawaban dalam masalah ini. Anehnya Imam Ahmad meskipun
sebagai ulama tersohor Irak namun corak pemikiran beliau adalah
Ahlu Hadis. Hal ini menunjukkan bahwa teritorial irak dan hijaz
bukan sebagai acuan bahwa hadis di irak lebih sedikit daripada di
Hijaz sehingga menjadi alasan kuat munculnya kecenderungan
corak pemikiran menggunakan ra’yu (rasio) atau hadis (al-Quran
dan Sunnah). Imam Ahmad sendiri bahkan termasuk sosok Imam

44 Diskursus Mazhab Empat


Muhaddis yang paling banyak hadisnya yang tergabung dalam
kutubut tis’ah (sembilan kitab induk hadis).
Keempat: Bahwa Imam Malik dianggap sebagai mujtahid
birra’yi, meskipun tumbuh dan berkembang di Kota Madinah.
Diketahui bahwa Imam Malik Ra merupakan ulama hadis yang
tidak menuai kontroversi baik secara riwayat maupun dirayat,
sehingga beliau memperoleh gelar “amirul mukminin”. Sebelumnya
juga terdapat gurunya yang bernama Rabi’ah bin Abdur Rahman
yang dikenal dengan Rabi’ah Ar-ra’yi, beliau juga sering dipanggil
dengan nama tersebut karena seringnya menggunakan metode
ijitihad ini. Hal ini semakin memperkuat bahwa pengaruh corak
pemikiran ra’yu dan hadis bukan disebabkan minim atau
banyaknya hadis atau jauh dan dekatnya jarak namun disebabkan
karena doktrin yang dibangun guru murid.
Berdasarkan realitas yang ada, maka penafsiran yang logis dan
sesuai dengan kenyataan terhadap perkembangan dua mazhab itu
adalah didasarkan pada metode pembelajaran yang dipakai dalam
masing-masing Madrasah. Madrasah Hijaz cenderung dipengaruhi
oleh guru-guru mereka sehingga menciptakan paradigma tekstual
yang segala persoalan harus dikupas melalui nash al-Quran Hadis.
Ra’yu baru dipakai dalam kondisi darurat. Sementara Madrasah
Iraq dibangun oleh guru-gurunya berdasarkan paradigma
Kontekstual yang melihat bahwa syari’ (pencetus syariat) itu
mempunyai beberapa maksud dan tujuan (illat) dibalik adanya
hukum. Maksud dan tujuan (illat) inilah yang kemudian
dikembangkan oleh mereka guna menjawab berbagai persoalan.

Mazhab Hanafi 45
PEMBAHASAN KE TUJUH
MAQALAH DAN KISAH INSPIRATIF IMAM ABU
HANIFAH
1. Maqalah Imam Abu Hanifah
“Perumpamaan orang yang mempelajari hadits tanpa
mempelajari fikih, adalah seperti seorang apoteker. Ia
mengumpulkan obat-obatan namun tidak tahu untuk penyakit apa
saja obat tersebut sampai ia mendatangi seorang dokter. Begitu
pula dengan orang yang mempelajari hadis, ia tidak akan
memahami tujuan hadis tersebut sampai ia datang (bertanya)
kepada ahli fikih”.
“Barang siapa yang ilmunya tidak mencegah dirinya dari
perkara yang diharamkan oleh Allah Swt dan tidak
menghentikannya dari bermaksiat kepada Allah Swt, maka ia
termasuk orang yang merugi”.
“Barang siapa menuntut ilmu karena dunia maka ia akan
terhalang dari keberkahan ilmu dan tidak akan bisa memberi
kemanfaatan. Dan barang siapa menuntut ilmu karena Allah, maka
ia akan mendapatkan keberkahan ilmu dan Allah akan
menancapkan ilmu tersebut di dalam hatinya sehingga dapat
menebarkan kemanfaatan pada orang yang mengutip ilmu darinya.
“Jika tidak ada ulama dan ahli fikih yang menjadi kekasih
Allah di dunia dan akhirat, maka tidak ada kekasih Allah”.
“Barang siapa mencari kedudukan sebelum waktunya, maka
dia selamanya berada dalam kehinaan”
2. Kisah Inspiratif Mazhab Hanafi:
A. Imam Abu Hanifah Dan Penjual Baju
Alkisah, datang seorang perempuan menemui Abi hanifah
hendak menawarkan dagangannya menjual baju sutra. Tawar
menawarpun terjadi:
Abi Hanifah: Berapa harga baju sutra ini?

46 Diskursus Mazhab Empat


Perempuan: 100 dirham
Abi hanifah: Jangan. Harga baju itu jauh di atas 100 dirham
Perempuan itupun kaget dan heran. Bagaimana mungkin sang
pembeli justru bukan menerunkan harga barang malah meminta
menaikkan harganya. Sang perempuan kemudian berpikir ulang
menawarkan harga bajunya. Setelah dilihat-lihat ia kemudian
mantap berkara kepada Abi Hanifah:
Kalau Begitu aku jual dengan harga 400 Dirham
‘Harga normalnya sebenarnya di atas itu’. Jawab Abu Hanifah
‘Apakah kamu hendak mengejekku?’. Sanggah sang
perempuan.
Perempuan itu kemudian pergi. Dia lalu bertanya kepada
orang lain. Dia lalu mendapatkan penjelasan bahwa harga normal
barang itu sebenarnya di pasar di jual 500 Dirham. Sang
perempuan kemudian sadar bahwa Abu Hanifah adalah orang
yang jujur dan amanah. Ia lalu menjual baju sutra itu kepada Abu
hanifah seharga 500 dirham. Hal ini maklum bagi Abu Hanifah,
sebab beliau berprofesi sebagai pedagang sehari-harinya. Beliau
terbiasa kulakan komoditas dagang lalu dijual kepada orang-orang.
Apa yang dilakukan Abu Hanifah kepada perempuan tersebut
menunjukkan alangkah besarnya kejujuran Abu Hanifah.
Seumpama bukan seorang Abu Hanifah tentu baju sutra tadi pasti
sudah terjual dengan harga 100 dirham bahkan mungkin bisa
turun ketika ditawar
B. Abu Hanifah Menolak Hadiah Khalifah
Khalifah Abbasiyah As-Saffah yang merupakan ayah dari al-
Mansur sangat menghormati Abu Hanifah. Beliau pernah
mengirim hadiah yang begitu banyak sebagai rasa hormat seorang
khalifah kepada ulama ternama. Namun sayangnya Abu Hanifah
justru enggan menerima hadiah dari As-Saffah. Sang Khalifah pun
meradang. Ia kemudian berkata kepada Abu Hanifah:
Kenapa engkau enggan menerima bentuk silaturrahmiku
(dengan menerima hadiah)?

Mazhab Hanafi 47
Bukan maksudku menolak hadiah Amiril Mukminin.
Andaikata itu adalah harta pribadi Amirul Mukminin, tentu aku
akan menerimnya. Sayangnya hadiah tersebut berasal dari baitul
mal. Oleh karenanya saya tidak berhak untuk menerimanya.
Suatu saat terjadi perseteruan rumah tangga Khalifah al-
Mansur. Sang khalifah ingin menikah lagi namun istrinya enggan
menerimanya. Sang istri meminta keadilan dari suaminya itu
dengan didatangkan Imam Abu Hanifah sebagai juru damai. Sang
Khalifah kemudian dipanggil. Setelah datang. Khalifah al-Mansur
kemudian berkata:
‘Wahai Abu Hanifah istriku berselisih denganku. Silahkan anda
berikan putusan yang adil bagi kami’.
‘Silahkan sampaikan pokok permasalahannya Wahai Amiril
Mukminin’.
Berapakah jumlah perempuan yang boleh dinikahi oleh
seorang laki-laki?
Empat! Tegas Abu hanifah
Mendengar jawaban itu, Al-Mansur merasa senang. Angin
kemenagan mengarah kepadanya. Dia lalu berkata kepada istrinya:
Dengarkan apa ucapan Abi Hanifah!.
Abu Hanifah lalu berkata: Wahai Amiril Mukminin,
Sesungguhnya poligami itu hanya dihalalkan bagi mereka yang
yakin dapat berlaku adil. Apabila tidak, maka dia hanya
diperbolehkan menikahi satu istri. Hal ini sebagaimana firman
Allah Swt “Jika kalian khawatir tidak bisa adil, maka nikahi satu
saja” an-Nisa’: 3. Sebaiknya kita patuh dan tunduk dengan firman
tersebut.
Al-Mansur kemudian terdiam setelah mendengar penuturan
Abi Hanifah. Beliau terbungkam berpikir keras. Abi Hanifah
kemudian pulang kembali. Istri al-Mansur yang merasa menang
kemudian memberikan banyak sekali hadiah untuk diberikan
kepada Abi Hanifah. Namun sayangnya Abi Hanifah menolak
hadiah tersebut. Beliau berkata:

48 Diskursus Mazhab Empat


Sampaikan salamku kepada beliau. Katakan kepada istri
Khalifah bahwa aku hanya menyampaikan sesuai apa yang ada
dalam islam. Aku melakukannya karena Allah Swt. Aku
melakukannya bukan untuk meraih simpati kerajaan atau meraup
pundi-pundi dunia.
C. Ketegasan Abu Hanifah
Semula Abu Hanifah memiliki hubungan baik dengan
Khalifah al-Mansur. Namun pasca terjadinya pembunuhan kepada
orang yang bersikap oposisi kepada khalifah, maka Abu Hanifah
mulai menjaga jarak dan cenderung menghindar. Bahkan banyak
pertanyaan dari khalifat tidak dijawab oleh Abu Hanifah. Hal ini
kemudian menyulut emosi Khalifah. Suatu saat, penduduk Mosul
menyatakan keluar dari pemerintahan al-Mansur. Padahal al-
mansur telah membuat kesepakatan jika mereka keluar dari
pemerintahan, maka darah mereka halal ditumpahkan. Maka
Khalifah kemudian mengumpalkan para Ulama, Hakim dan Ahli
Fikih guna membahas prilaku penduduk Mosul. Diantara ulama
itu terdapat Abi Hanifah. Al-Mansur lalu berkata:
Bukankan telah tertuang dalam sunnah Rasulullah Saw bahwa
setiap orang muslim itu berpegang teguh dengan perjanjiannya.
Dimana dia harus tunduk dengan janjinya itu. Sayangnya
penduduk Mosul telah berjanji padaku untuk tidak keluar dari
pemerintahan. Dan sekarang mereka telah menyatakan keluar dan
melakukan konfrontasi. Sekarang darah mereka telah halal
ditumpahkan. Lantas apa pendapat kalian?.
Para ulama lalu mengatakan: Wahai Amirul Mukminin.
Kekuasaan engkau terbentang luas atas mereka. Apapun
pendapatmu diterima. Namun jika engkau memilih memaafkan
mereka, itu lebih baik karena Sesungguhnya engkau adalah orang
yang sangat pemaaf. Namun jika engkau menyiksa mereka, itu juga
tidak lain atas kesalahan mereka sendiri.
Khalifah al-Mansur merasa tidak puas dengan jawaban
tersebut. Jawaban itu terasa kompromis. Mengandung muatan
politis. Beliau ingin jawaban Abu Hanifah yang terkenal tegas.
Beliau lalu meminta Abu Hanifah untuk menjawab:

Mazhab Hanafi 49
Apa yang mereka janjikan padamu pada dasarnya bukan atas
dasar apa yang mereka miliki. Begitupun engkau menyaratkan
mereka apa yang sebenarnya bukan punyamu. Tidak halal darah
orang muslim kecuali atas satu dari tiga hal. Jika engkau menyiksa
mereka, maka engkau menyiksa dengan hal yang tidak halal. Dan
syarat dan janji Allah Swt lebih berhak untuk ditepati.
Al-Mansur kemudian menyuruh pulang orang-orang kecuali
Abi Hanifah. Beliau berkata kepada Abi Hanifah bahwa kebenaran
itu adalah apa yang telah disampaikan oleh beliau.
D. Takutnya Abu Hanifah kepada Allah Swt
Imam Abu Hanifah merupakan sosok yang sangat takut
kepada Allah SWT. Dikisahkan dalam kitab Manaqib al-Muwafiq
yang sanadnya sampai ke Mis’ar bin Kidam, Mis’ar pernah berkata:
Suatu ketika aku berjalan bersama Imam Abu Hanifah dan beliau
tidak sengaja menginjak kaki anak kecil. Anak kecil itu berkata:
“Wahai syaikh, tidakkah Anda takut adanya qishash di hari kiamat
nanti?” Perkataan itu sampai membuat beliau pingsan, dan aku
pun terus berusaha membangunkannya hingga beliau sadar. Lalu,
aku bertanya kepada beliau: “Apa yang membuat Anda begitu
mengambil hati terhadap perkataan seorang anak kecil itu?” Beliau
pun menjawab: “Aku takut jika perbuatanku kelak akan
dipertanggungjawabkan”
E. Ibadah dan Sifat Wira’i Abu Hanifah
Beliau juga dikenal seorang hamba yang taat beribadah. Pernah
dikisahkan dari Dharar bin Shurad, dia berkata: Aku pernah
mendengar salah satu umat Islam pilihan, yaitu Yazid bin al-
Kumait, Yazid berkata: “Imam Abu Hanifah ialah hamba yang
sangat takut kepada Allah, ketika salat isya’ berlangsung,, seorang
muadzin bernama Ali bin Hasan, membacakan surah Al-Zalzalah
kepada kami, dimana Imam Abu Hanifah solat berada persis di
belakang Ali. Selepas menunaikan salat, aku melihat Imam Abu
Hanifah sedang duduk bertafakkur. Aku berkata: “Aku hendak
berdiri dan hatinya tidak merasa terganggu sedikitpun” dan ketika
aku keluar, aku meninggalkan lentera yang telah kulumasi dengan
sedikit minyak. Saat aku datang kembali untuk sholat subuh, aku

50 Diskursus Mazhab Empat


melihat beliau berdiri sambil memegangi jenggotnya. Beliau tengah
berdo’a: “Wahai Dzat Yang membalas setiap keburukan seberat
biji zarrah dengan keburukan pula, Wahai Dzat Yang membalas
setiap kebaikan seberat biji zarrah dengan kebaikan juga.
Jauhkanlah HambaMu, Nu’man ini dari api neraka dan segala
sesuatu yang mendekatkan pada keburukan dan Masukkanlah dia
dalam keluasan rahmatMu” Kemudian akupun
mengumandangkan adzan. Ketika lentera tersebut menyala, Beliau
pun berdiri. Ketika aku masuk beliau menanyaiku: “Apakah kamu
hendak mengambil lenteramu?” aku menjawab: “Iya. Aku juga
telah mengumandangkan adzan sholat shubuh.” Beliau pun
berkata: “Rahasiakan apa yang sudah Kamu lihat” kemudian
beliau sholat dua rakaat qabliyah sholat subuh, duduk untuk
menunggu jama’ah, lau menunaikan sholat shubuh berjama’ah
dengan kami dengan wudhu yang dimilikinya sejak malam hari.
Selain itu, Beliau juga dikenal memiliki sifat wira’i dan zuhud.
Dikisahkan dalam kitab Manaqib al-Muwaffiq yang sanadnya sampai
kepada rekannya Imam Abu Hanifah, Hafsh bin ar-Rahman:
Ketika itu, beliau berpesan kepada rekannya agar
menginformasikan cacat yang ada dalam barang-barang yang
beliau jual kepada setiap pembeli. Namun, Hafsh lupa
melaksanakan pesan dari beliau dan barangnya telah terjual. Ketika
beliau mengetahui kejadian tersebut, beliau pun menyedekahkan
semua barang yang dijualnya yang total harganya mencapai 3000.
F. Kesederhanaan dan Kedermawanan Abu Hanifah
Diceritakan pula, dalam kitab Manaqibnya Imam Abu
Hanifah: Ketika ayahnya wafat, beliau mendapatkan warisan 200
dirham dan memberikannya kepada majlis ilmu dan siswa-
siswanya. Biaya makan beliau dalam sebulan hanya 2 dirham.
Dalam suatu riwayat yang sanadnya sampai Sahal bin Mazahim,
Sahal berkata: “Kami pernah masuk ke rumah beliau, dan hanya
menemukan ikan bawari (nama ikan sungai).”
Beliau juga rutin bersedekah, sebagaimana yang diriwayatkan
oleh al-Kardariy yang sanadnya sampai kepada Abdullah bin ad-
Dusi, Abdullah berkata: Imam Abu Hanifah selalu menyuruh
Hammad (putranya) untuk membelikan 10 dirham roti setiap
Mazhab Hanafi 51
harinya yang kemudian akan disedekahkan kepada para tetanggaya
yang miskin dan setiap tamunya.
Tak hanya itu, Imam Abu Hanifah juga sangat memuliakan
kedua orangtuanya dengan senantiasa mendoakan keduanya dan
gurunya, Imam Hammad. Beliau juga bersedekah atas nama
keduanya setiap bulan sebesar 20 dinar. Dikisahkan oleh al-Kurdiy
yang sanadnya sampai Yahya bin bin Abdil Hamid, Yahya berkata:
Dahulu, setiap harinya, Imam Abu Hanifah dikeluarkan dari
penjara. Lalu ia selalu dipukuli agar dia mau menjadi seorang
hakim, namun beliau tetap kukuh untuk menolak tawaran
tersebut. Jadi ketika beliau dipukuli kepalanya dan meninggalkan
bekas luka, beliau akan menangis. Beliau berkata: “Jika ibuku
melihat bekas luka pukulan pada diriku, ibuku akan menangis dan
berduka karenaku. Bagiku, tak ada kesedihan yang lebih dahsyat
dari dukanya ibuku.”

52 Diskursus Mazhab Empat

Anda mungkin juga menyukai