Anda di halaman 1dari 33

PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN

TEPUNG TAPIOKA

DITREKTORAT PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL


PERTANIAN
DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGOLAHAN DAN
PEMASARAN HASIL PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN-JAKARTA
2005
Pendahuluan - PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

Singkong (manihot utilissima) disebut juga ubi kayu atau ketela pohon. Singkong
merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan,
farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari singkong cukup beragam
mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan
berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam industri
makanan, pengolahan singkong, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hasil
fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan
tepung singkong atau tepung tapioka

Foto 1.1: Singkong

Sumber : http://www.iptek.net.id/ind/terapan/images

Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan


menjadi tiga yaitu: pertama; tradisional yaitu industri pengolahan tapioka yang
masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung pada
musim, kedua; semi modern yaitu industri pengolahan tapioka yang
menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan
dan yang ketiga; full otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang
menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang

1
menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses
produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan
menghasilkan tapioka berkualitas.

Selain menghasilkan tepung, pengolahan tapioka juga menghasilkan limbah,


baik limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat seperti kulit singkong dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pupuk, sedangkan onggok (ampas) dapat
digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri pembuatan saus,
campuran kerupuk, obat nyamuk bakar dan pakan ternak. Limbah cair dapat
dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain itu limbah cair
pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de cassava.

Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun
luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa
seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri
berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.

Di Indonesia, industri tepung tapioka memiliki asosiasi yaitu Assosiasi Tepung


Tapioka Indonesia (ATTI) yang berpusat di Jakarta. Keberadaan asosiasi ini
belum begitu dirasakan oleh pihak-pihak terkait terutama petani yang tidak dapat
menikmati harga singkong sesuai dengan kesepakatan antara pemda, petani
dan pengusaha. Sementara pengusaha tidak dapat memperoleh bahan baku
secara langsung dari petani. Asosiasi ini diharapkan dapat berperan dalam
pengendalian harga pasar tepung tapioka, harga bahan baku serta akses
permodalan bagi pengusaha, sehingga industri tapioka dapat berkembang dalam
rangka memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan pasar luar negeri.

Industri tapioka mulai marak tahun 1980-an. Dalam melakukan usaha selama ini,
industri pengolahan tapioka menggunakan modal sendiri dan sebagian
menggunakan modal dari perbankan dan bantuan dari BUMN serta kemitraan. Di
kabupaten Lampung Timur usaha ini cukup berkembang dan pemerintah telah

2
mempermudah perizinan dan aktif melakukan pembinaan, disamping itu hampir
seluruh perbankan di Lampung Timur membiayai usaha ini.

Industri tapioka yang terdapat di Propinsi Lampung, terutama yang berada di


Kabupaten Lampung Timur yang menjadi daerah survei dalam penyusunan buku
ini, pada tahun 2003 memiliki 38.964 hektar lahan untuk penanaman singkong
yang menghasilkan 592.358 ton singkong dan memiliki 31 perusahaan
menengah besar yang terdaftar di Dinas Pertanian, disamping puluhan
perusahaan menengah kecil yang merupakan industri tapioka rakyat (Dinas
Pertanian Lampung Timur, 2004).

3
Profil Usaha dan Pola Pembiayaan
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

Profil Usaha

Ubi kayu atau singkong merupakan bahan baku utama industri tapioka. Di
Propinsi Lampung, pabrik tapioka dapat mengolah sekitar 4000-5000 ton perhari.
Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu wilayah penghasil utama
singkong. Tabel berikut ini menyajikan perkembangan luas areal dan jumlah
produksi pada tahun 2003.

Tabel 2.1: Luas Areal dan Jumlah Produksi Singkong

Luas
Kecamatan Produksi (ton)
(hektar)
Metro Kibang              512             9,417
Batanghari              344            11,325
Sekampung              710             9,375
Marga Tiga           2,755            30,488
Sekampung Udik           1,468            28,207
Jabung           1,433            13,978
Pasir Sakti                98             1,140
Waway Karya              919            11,450
Labuhan Maringgai              563             5,003
Mataram baru              325             4,973
Bandar SriBawono              616            10,792
Melinting              578             9,042
Gunung Pelindung                55             1,838
Way Jepara              485             6,350
Braja  Selebah              515             8,025
Labuhan Ratu           3,789            54,145
Sukadana           9,810          147,838
Bumi Agung           1,740            31,924
Batanghari Nuban           8,269          135,992
Pekalongan              936             8,858
Raman Utara           2,261            37,745
Purbolinggo              144             3,310
Way Bungur              639            11,183
Jumlah        38,964        592,398

Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur

4
Jumlah perusahaan tepung tapioka yang tercatat pada Dinas Pertanian
Lampung Timur saat ini sebanyak 31 perusahaan dengan kapasitas 56.927,08
ton. Tabel 2.2. menyajikan perusahaan tapioka di Kabupaten Lampung Timur
dengan kapasitas produksinya.

Tabel 2.2.: Perusahaan, Kapasitas Produksi, dan Sumber Dana

Kecamatan Nama Perusahaan Kapasitas(ton) Sumber Dana

Batanghari PT Wira Kencana Adi Perdana              6,500.00 Swasta


  PT Eka Inti Tapioka              6,000.00 Swasta
  PT Sumber Agung              1,600.00 Swasta
  Hendra Sumardi              1,350.00 Swasta
  Sumber Maju                 547.20 Swasta
  Anugrah Jaya                 547.20 Swasta
  Sejahtera Mandiri                 820.80 Swasta
  Tohalo                 410.40 Swasta
  Kopastara                    n.a   n.a 
Pekalongan Ngudi Makmur                 820.00 Swasta
  Wahyu Utama                 382.04 Swasta
  Surya Perdana                 383.04 Swasta
  Warga Sehati I                 339.00 Swasta
  Warga Sukabumi                 n.a   Swasta
  Warga Sehati II                 665.00 Swasta
  Sinar Metro              1,440.00 Swasta
  Wonosari                 630.00 Swasta
  Mini Surya Pudana              1,200.00 Pembangunan
Sukadana Muara jaya                     n.a   Swasta
  Sido Rukun                 638.40 Swasta
  Rukun Santosa                 912.00 Swasta
  Sido Rukun              1,200.00 Pembangunan
Bumi Agung Harapan Sejahtera                 684.00 Swasta
Labuhan Ratu Surya Perdana                 450.00 Swasta
  Lestari Jaya                      n.a-   Pembangunan
Way Jepara PT Bumi Acid            12,500.00 Swasta
Sekampung Udik PT Umas Jaya            15,084.00 Swasta
Raman Utara Sentral Intan                       n.a   Swasta
  Way Raman                       n.a   Swasta
  Waliyem                 912.00 Swasta
Way Bungur Subur Jaya                 912.00 Swasta
Jumlah 31 perusahaan 56,927.08 

5
Sumber: Dinas Pertanian Lampung Timur

Dari tabel tersebut diketahui sebagian besar sumber pendanaan usaha berasal
dari swasta. Sumber pendanaan yang berasal dari pembangunan merupakan
dana pemerintah yang disalurkan melalui dinas pertanian.

Sementara industri tapioka yang disurvei belum tercatat di Dinas Pertanian


Lampung Timur. Industri tapioka tersebut tergabung pada asosiasi industri
tapioka rakyat yaitu Industri Tapioka Rakyat atau ITTARA Mandiri. Sumber
pendanaan industri tapioka yang tergabung pada ITTARA Mandiri dari
perbankan yaitu BRI, Bank Mandiri, kemitraan dan Pertamina.

Pola Pembiayaan Pengolahan Tapioka

Dalam menjalankan usaha pengolahan tapioka, sumber modal pengusaha terdiri


dari modal sendiri, kredit perbankan dan Pertamina. Pembiayaan yang berasal
dari perbankan meliputi kredit modal kerja dan investasi. Untuk modal investasi,
pengusaha wajib memiliki 30% modal investasi dan pihak bank membiayai 70%
modal investasi. Tingkat bunga kredit yang disalurkan perbankan di Wilayah
Lampung Timur adalah 13% (Bank Mandiri) dan 22% (BRI) per tahun dengan
sistem angsuran bulanan, dengan jangka waktu 12 bulan dengan pembayaran
efektif menurun. Tingkat bunga kredit yang diperoleh dari BUMN sebesar 6% per
tahun dengan jangka waktu 12 bulan, angsuran per bulan dengan pinjaman
maksimal 50 juta.

Usaha pengolahan singkong di wilayah Lampung Timur telah banyak dilakukan.


Berkaitan dengan hal tersebut, Dinas Pertanian Lampung Timur telah
mengeluarkan kebijakan tentang harga beli bahan baku di tingkat petani, namun
Dinas Industri dan Perdagangan Lampung Timur belum memiliki peraturan
khusus yang mengatur perdagangan tapioka terutama kebijakan mengenai
harga jual, standar produk serta pemasaran tepung tapioka

6
Aspek Pemasaran
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

Permintaan dan Penawaran Tepung Tapioka

(1). Pasar Dalam Negeri

Permintaan tepung tapioka di Indonesia cenderung meningkat karena


peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka.
Selama ini, sebagian besar hasil produksi tapioka hanya mampu memenuhi
kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya, Bogor,
Indramayu dan Tasikmalaya.

Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata-rata 15 sampai 16


juta ton tapioka dari industri tapioka yang berlokasi di Sumatra, Jawa, dan
Sulawesi. Jumlah produksi tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak
13 juta ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan 10% per tahun.
Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat memenuhi pasar dengan
maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton pertahun.
Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30%
merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. (foodmarketexchange.com). Hal
tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka
di Indonesia.

Tepung tapioka Indonesia sangat berpeluang untuk meraih pasar Asia dan
Eropa. Ketersediaan lahan dan bahan baku serta tenaga yang murah
menyebabkan produk Indonesia mampu bersaing dalam harga.

(2). Pasar Ekspor

7
Ekspor tapioka Indonesia telah menjangkau berbagai negara di Asia dan Eropa,
dengan ekspor terbesar ke Korea (54%) dan Cina (30%) dari total ekspor (Tabel
3.1). Luasnya negara tujuan ekspor di beberapa negara Asia dan Eropa
menunjukkan bahwa ekspor komoditi ini sangat potensial.

Tabel 3.1. Ekspor Tapioka Indonesia Tahun 1997

Total Ekspor (Dari Nilai Ekspor (FOB)


Negara Tujuan
Berbagai Bentuk) (kg) (US$)
Korea 120.797.083 12.125.792
Cina 67.502.292 5.473.891
Belanda 20.400.000 1.371.550
Malaysia 2.342.962 436.884
Jerman 4.500.000 328.000
Swiss 3.000.000 165.000
Jepang 762.000 154.570
Pilipina 558.000 107.884
Taiwan 570.000 85.500
Inggris 26.600 57.399
Singapura 247.000 53.106
Vietnam 697.920 41.875

Sumber: Biro Pusat Statistik 1997

(3). Penawaran

Seperti dikemukakan pada bab sebelumnya, produksi tepung tapioka di


Lampung Timur pada tahun 2003 mencapai 56 927,08 ton (yang tercatat pada
Dinas Pertanian) di mana produksi tersebut belum mampu memenuhi pasar
dalam negeri.

Selain Kabupaten Lampung Timur terdapat beberapa daerah produksi tapioka


lainnya seperti Lampung Tengah, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur
maupun Sulawesi. Wilayah nusantara yang subur dan tanaman singkong yang
mudah tumbuh menyebabkan potensi pengolahan tepung tapioka semakin
terbuka lebar.

Persaingan dan Peluang Pasar

8
Indonesia adalah produsen nomor dua di Asia setelah Thailand. Produksi rata-
rata tapioka Indonesia mencapai 15-16 ton, sedangkan Thailand 30 juta ton
tapioka pertahun dan Vietnam berada pada urutan ketiga yaitu 2-3 juta ton
tapioka per tahun.

Perdagangan bebas yang akan dilaksanakan di masa mendatang akan


memberikan dampak positif terhadap produk pertanian Indonesia, termasuk
industri tapioka. Ditinjau dari segi harga dan kualitas, tapioka Indonesia dapat
bersaing dengan Thailand. Sebagaimana diungkapkan
foodmarketexchange.com, bahwa tapioka Indonesia merupakan salah satu
ancaman bagi pasar tapioka Thailand.

Peluang pasar tapioka Indonesia masih sangat terbuka terutama pasar Eropa
seperti Spanyol, Belanda, Jerman, Prancis dan Portugal. Disamping itu pasar
dalam negeri yang sampai saat ini belum dapat terpenuhi.

Harga

Harga tepung tapioka ditentukan oleh kualitas tepung tapioka dan harga bahan
baku, yakni singkong. Kualitas tepung yang baik adalah tepung tapioka yang
berwarna putih dan empuk. Di Kabupaten Lampung Timur yang menjadi daerah
survei regulasi yang mengatur perdagangan singkong dan tepung tapioka belum
ada sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan harga yang lebar pada
tingkat produsen dan petani.

Harga singkong di tingkat petani Rp 80,- per kilogram, sementara industri tepung
tapioka mampu membeli singkong dengan harga antara Rp 165 hingga Rp 225
per kilogram. Regulasi tersebut dimaksudkan agar petani sebagai produsen
bahan baku dapat membiayai dan tetap melangsungkan usahanya. Sementara
regulasi perdagangan tapioka dimaksudkan agar terjadi kestabilan harga.
Penurunan harga tapioka ditingkat produsen di Kabupaten Lampung Timur
tersebut disebabkan oleh tidak adanya regulasi perdagangan tapioka. Pedagang
perantara memiliki peran yang signifikan terhadap penentuan harga tersebut.

9
Tabel 3.2. menunjukkan perkembangan harga tepung tapioka ditingkat produsen dengan kualitas
baik mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir ini.

Tabel 3.2 Perkembangan Harga Tapioka

Tahun Harga (Rp/kg)


2004
525 – 1.300
2003 800 – 1.600
2002 1.350 – 1.700
2001 1.700 – 1.800

Sumber: Data primer, diolah

Harga tepung tapioka Rp 525 sampai Rp 1.300 per kilogram di tingkat


pengusaha, sedangkan harga rata-rata Rp 800 sampai Rp 900 per kg, dan harga
pada tingkat konsumen akhir mencapai Rp 2.300,- per kilogram.

Jalur Pemasaran Produk

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil survei, jalur pemasaran produk
tapioka di Lampung Timur masih sederhana. Alur pemasaran tapioka tersebut
dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Bagan 3.1: Alur Pemasaran Produk

Sumber: Data Primer

Dalam memasarkan tapioka, pengusaha menjual ke pedagang perantara yang


kemudian dijual ke pengepul. Dari pengepul tersebut, tapioka didistribusikan ke
pasar di Jawa, industri pengolahan yang menggunakan bahan baku tapioka dan
pedagang pengecer di pasar.

10
Kendala Pemasaran

Salah satu kendala pemasaran tapioka terletak pada minimnya informasi


mengenai harga dan jumlah permintaan pasar yang dapat diperoleh pengusaha.
Selain tidak memiliki informasi pasar yang sempurna, belum adanya regulasi
mengenai perdagangan seperti standar produk dan pemasaran juga menjadi
kendala usaha ini.

Disamping itu, mutu bahan baku juga menentukan kualitas tapioka. Kualitas
bahan baku sering tidak selalu baik, karena masih banyak petani yang
menerapkan pola panen singkong yang tidak optimal, di mana petani sering kali
memanen singkong lebih dini dari usia panen yang seharusnya yakni singkong
belum berumur 7 bulan. Padahal singkong yang menghasilkan mutu tapioka
yang baik berumur lebih dari 7 bulan. Menurunnya kualitas tapioka tersebut
menyebabkan rendahnya harga jual tapioka dan tepung tidak bertahan lama.

Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan pembinaan dari peyediaan bahan


baku sampai pada pemasaran produk. Dalam peyediaan bahan baku diperlukan
kemitraan antara petani dan pengusaha agar ketersediaan dan kualitas bahan
baku tetap terjaga. Dalam hal pemasaran produk diperlukan regulasi dan
pembinaan akses pasar bagi pengusaha industri tapioka.

11
Aspek Produksi
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

Lokasi Usaha

Lokasi pengolahan tapioka sebaiknya dipilih wilayah yang memiliki sumber air
dan akses yang baik terhadap panas matahari. Panas matahari merupakan
faktor produksi yang penting bagi industri pengolahan tapioka, dengan demikian,
lokasi usaha yang memiliki akses yang baik terhadap panas matahari akan
mendukung keberhasilan usaha pengolahan tapioka, karena umumnya
pengusaha kecil pada bidang pengolahan tapioka belum mampu menyediakan
teknologi pengeringan tapioka. Ketersediaan air juga sangat penting, terutama
untuk pencucian dan penyaringan tepung.

Fasilitas Produksi dan Peralatan

Untuk memproduksi tapioka, dengan kapasitas 30 ton singkong per hari


dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaimana disajikan pada Tabel
4.1.

Tabel. 4.1 Fasilitas dan Peralatan Produksi

No Asumsi Satuan Jumlah/nilai


1 Mesin Penggerak/Generator buah 2
2 Mesin Parut buah 2
3 Mesin Pompa buah 2
4 Mesin Ayakan buah 10
5 Bak Kaca M2 25
6 Bak Penampung buah 4
7 Alat Semprot buah 1
8 Saringan buah 10
9 Bambu buah 1000
10 Pipa set 1
11 Rak M2 16
12 Tambir buah 10.000
13 Mesin Induk buah 1
14 Timbangan buah 2

12
Sumber: Data Primer, diolah

Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas fasilitas dan peralatan produksi yang
digunakan. Masing-masing peralatan memiliki fungsi yang bebeda. Mesin induk
merupakan mesin yang menjadi pusat dari seluruh proses produksi.

Bahan Baku

Bahan baku tepung tapioka adalah singkong yang diperoleh melalui pemasok.
Singkong yang dipanen setelah berumur 7 sampai 10 bulan akan menghasilkan
tapioka berkualitas baik.

Tenaga Kerja

Tenaga kerja pada industri tapioka tidak memerlukan keahlian khusus. Jumlah
tenaga kerja ditentukan oleh kapasitas produksi dan teknologi yang digunakan.
Besarnya penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan tapioka ditentukan
oleh volume produksi. Semakin tinggi volume produksi semakin besar jumlah
tenaga kerja yang diserap. Tenaga kerja yang dibutuhkan meliputi seluruh
proses produksi dari pengupasan sampai pada pengeringan produk.

Teknologi

Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan teknologi


tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan full
otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 4.2
berikut ini

Tabel 4.2 : Perbedaan Tekonologi Pengolahan Tapioka

Proses
Tradisional Semi Modern Full Otomate
Pengupasan Manual Manual Mesin
Pencucian Manual Manual Mesin
Pemarutan Mesin Mesin Mesin
Pemerasan Mesin Mesin Mesin
Pengendapan Manual Manual Mesin
Pengeringan Sinar Matahari Oven Mesin

13
Sumber: Data Primer

Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi mekanik


sederhana. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi menggunakan mesin
penggerak untuk melakukan pemarutan dan pengepresan, sedangkan
pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar matahari.

Proses Produksi Tepung Tapioka

1. Pengupasan
Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk
memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama pengupasan, sortasi
juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari singkong
lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses menjadi tapioka
dan dijadikan pakan ternak.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas
singkong di dalam bak yang berisi air, yang bertujuan memisahkan
kotoran pada singkong.

Foto 4.1 : Pencucian Singkong

14
3. Pemarutan
Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :
a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan
tenaga manusia sepenuhnya.
b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator
4. Pemerasan/Ekstraksi
Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual
menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan
menambahkan air di mana cairan yang diperoleh adalah pati yang
ditampung di dalam ember.
b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (sintrik).
Bubur singkong diletakkan di atas saringan yang digerakkan
dengan mesin. Pada saat saringan tersebut bergoyang, kemudian
ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang dihasilkan
ditampung dalam bak pengendapan.

Foto 4.2: Pemerasan/Pengepresan

5. Pengendapan
Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam.

15
Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan
diambil dan dikeringkan.

Foto 4.3: Tepung hasil endapan yang siap dikeringkan

6. Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara
menjemur tapioka dalam nampan atau widig atau tambir yang diletakkan
di atas rak-rak bambu selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung
tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19%.

Foto 4.4: Pengeringan tapioka dengan sinar matahari

16
Jenis dan Mutu Produksi

Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong yang


memiliki kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia lebih
dari 7 bulan.

Foto 4.5: Tepung Tapioka

Produksi Optimal

Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas bahan baku. Dengan
kualitas bahan baku yang baik, satu ton singkong dapat menghasilkan 400
kilogram tapioka dan 160 kilogram onggok.

Kendala Produksi

Kendala dalam industri pengolahan singkong ini adalah ketersediaan bahan


baku. Ketersediaan bahan baku sangat penting karena apabila terjadi
kelangkaan bahan baku maka produksi akan macet. Untuk itu, kemitraan dengan
petani sebagai pemasok bahan baku sangat diperlukan. Disamping untuk
menjamin ketersediaan bahan baku, kemitraan ini juga untuk menjamin kualitas
bahan baku.

17
Aspek Keuangan
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

Pemilihan Usaha

Usaha pengolahan tapioka harus memperhatikan ketersediaan bahan baku,


musim dan modal. Untuk usaha yang menggunakan mesin pengering, faktor
alam seperti sinar matahari dan musim tidak menjadi kendala yang berarti,
namun baik teknologi sederhana, semi modern maupun full otomate faktor
ketersediaan air harus tetap diperhatikan. Usaha pengolahan tepung tapioka di
Indonesia masih potensial untuk dilaksanakan karena Indonesia masih memiliki
lahan yang potensial untuk penanaman singkong, sehingga ketersediaan bahan
baku untuk industri tapioka dapat terjamin. Disamping itu, industri pengolahan
tapioka dapat dilakukan dengan teknologi yang sederhana dan tidak
membutuhkan tenaga kerja yang memiliki keahlian khusus.

Asumsi

Analisis keuangan suatu proyek terdiri dari proyeksi penerimaan dan


pengeluaran selama periode proyek. Analisis keuangan perlu dilakukan untuk
mengetahui gambaran mengenai pendapatan dan biaya, kemampuan melunasi
kredit dan kelayakan proyek.

Penyusunan analisa keuangan dalam buku ini menggunakan beberapa asumsi


yang didasarkan pada hasil pengamatan lapangan serta masukan dari instansi
terkait seperti Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan serta referensi yang
mendukung dalam penentuan parameter yang digunakan. Tabel 5.1. menyajikan
asumsi dan parameter yang digunakan dalam analisis keuangan.

Tenaga kerja tetap, termasuk di dalamnya tenaga kerja manajerial, berjumlah 6


orang dengan upah Rp 750.000 per orang per bulan. Dari hasil survai, pemilik

18
usaha kecil pengolahan tapioka sekaligus bertindak sebagai tenaga manajerial
yang gajinya sama dengan tenaga kerja tetap.

Tabel 5.1 : Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan

No Asumsi Satuan Jumlah/Nilai


1 Periode proyek tahun 5
2 Luas tanah hektar 3
3 Hari kerja per bulan hari 25
  - Bulan kerja per tahun bulan 12
  - Hari kerja tenaga borongan hari 300
4 Produksi dan Harga    
  - Kapasitas maksimum per hari ton 30
  - Produksi per  bulan ton 195
  - Produksi per tahun ton 2.340
  - Harga tapioka per ton Rp 900.000
  - Produksi Onggok per bulan ton 62
  - Harga onggok Rp/ton 300.000
5 Rendemen per ton bahan baku    
  - Tapioka % 25%
  - Onggok % 8%
6 Penggunaan tenaga kerja    
  - Tenaga Manajerial orang  
  - Tenaga kerja tetap orang 6
  - Tenaga kerja borongan orang 20
7 Upah tenaga kerja per hari    
  - Tenaga Manajerial Rp/org  
  - Tenaga kerja tetap Rp/org 25.000
  - Tenaga kerja borongan Rp/org 15.000
8 Bahan baku per bulan ton 780
9 Harga bahan baku Rp/ton 195.000
10 Discount factor/suku bunga % 13%

Sumber : Lampiran 1

Komponen Biaya Investasi dan Biaya Operasional

19
a. Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan biaya tetap (fixed cost) untuk melakukan pengolahan
tepung tapioka. Biaya investasi industri pengolahan tapioka meliputi perizinan,
sewa tanah dan bangunan, mesin dan peralatan.

Jumlah biaya investasi yang dibutuhkan pada tahun ke-0 sebesar Rp


265.000.000. Selama periode proyek, terdapat beberapa komponen biaya
investasi yang harus melakukan reinvestasi pada tahun-tahun berikutnya, antara
lain sewa tanah dan bangunan serta peralatan lain seperti kain saringan, bambu,
dan tambir.

Tabel 5.2: Komponen Biaya Investasi Pengolahan tapioka

No Jenis Biaya Nilai Penyusutan

1 Perijinan                  - 0

2 Sewa tanah dan bangunan     30.000.000 0

3 Mesin/Peralatan   235.000.000 40.369.048


  Jumlah   265.000.000 40.369.048

4 Sumber dana investasi dari % Rp


  Kredit 70% 185.500.000
  Dana sendiri 30% 79.500.000

Sumber : Lampiran 2

b. Biaya Operasional

Biaya operasional merupakan biaya tidak tetap (variable cost) yang besarnya
tergantung pada jumlah produk. Komponen biaya operasional dalam pengolahan
tapioka ini meliputi biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead. Tabel
5.3. menunjukkan biaya operasional yang dibutuhkan untuk industri pengolahan
tapioka ini.

Tabel 5.3: Biaya Operasional Pengolahan Tapioka

20
Harga (per
No Input Satuan Jumlah Nilai per bulan Nilai per th
satuan)
1 Tenaga Kerja          
  a. tetap orang/bln 6 750.000 4.500.000 54.000.000
  b. tidak tetap orang/bln 20 15.000 7.500.000 90.000.000
  Sub Jumlah       12.000.000 144.000.000
2 Bahan Baku          
  a. Singkong ton 780 195.000 152.100.000 1.825.200.000
  Sub Jumlah       152.100.000 1.825.200.000
3 Biaya Overhead          
  a. solar liter/hari 25 1.850 1.156.250 13.875.000
  b. Listrik bulan 1 400.000 400.000 4.800.000
  c. Telpon Bulan 1 2.000.000 2.000.000 24.000.000
  Sub Jumlah       3.556.250 42.675.000
4 Transportasi          
5 Penjualan output ton/bulan 195 10.000 1.950.000 23.400.000
Perbaikan dan
  Pemeliharaan alat bulan 1 250.000 250.000 3.000.000
Jumlah Total Biaya       169.856.250 2.038.275.000

Sumber : Lampiran 3

Total biaya operasional yang dibutuhkan pada tahun pertama sejumlah Rp


2.038.275.000. Biaya variabel pada tahun selanjutnya diasumsikan konstan
karena kapasitas mesin yang tetap, biaya bahan baku merupakan harga yang
telah disepakati antara petani, Pemerintah Daerah dan pengusaha. Jumlah
tenaga kerja tidak tetap yang terlibat dalam usaha ini tergantung pada kapasitas
mesin dan jumlah produksi sedangkan upah tenaga kerja tetap tidak mengalami
kenaikan karena menyesuaikan dengan upah minimum propinsi.

Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja

Dana yang dibutuhkan untuk usaha pengolahan tapioka terdiri dari modal
investasi dan modal kerja, komposisi dana tersebut seperti disajikan pada Tabel
5.4.

Tabel 5.4 Kebutuhan Modal Kerja dan Investasi

No Rincian Biaya Proyek Total Biaya

21
1Dana investasi yang bersumber dari  
  a. Kredit 185.500.000
  b. Dana sendiri 79.500.000
  Jumlah dana investasi 265.000.000
2Dana modal kerja yang bersumber dari  
  a. Kredit 76.435.313
  b. Dana sendiri 178.349.063
  Jumlah dana modal kerja 254.784.375
3Total dana proyek yang bersumber dari  
  a. Kredit 261.935.313
  b. Dana sendiri 257.849.063
Jumlah dana proyek 519.784.375

Sumber : Lampiran 5

Pada tabel 5.4 menunjukkan rincian kebutuhan dana untuk investasi dan modal
kerja dalam setahun. Untuk investasi dibutuhkan dana sebesar Rp 265.000.000.
Untuk kredit investasi bank mensyaratkan perbandingan: 70% persen kredit bank
dan 30% persen dana sendiri. Dengan perbandingan tersebut, kredit investasi
yang dibutuhkan adalah Rp 185.500.000 sedangkan dana sendiri untuk investasi
sebesar Rp 79.500.000.

Untuk modal kerja dibutuhkan dana sebesar Rp 254.784.375 dengan


perbandingan 30% kredit bank dan 70% dana sendiri. Dengan perbandingan
tersebut, kredit modal kerja yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 76.435.313
sedangkan dana sendiri untuk modal kerja sebesar Rp 178.349.063.

Berikut ini adalah asumsi yang digunakan untuk penghitungan angsuran kredit
untuk usaha ini, baik angsuran pokok maupun angsuran bunga.

 Jangka waktu pinjaman selama 4 tahun


 Bunga 13%, per tahun dengan sistem perhitungan efektif menurun
 Angsuran pokok dan bunga dibayarkan setiap bulan

Tabel 5.5 Angsuran Pokok dan Angsuran Bunga

Tahun Kredit Angsuran Angsuran Total Saldo Saldo

22
Pokok Bunga Angsuran Awal Akhir
0  261.935.313      261.935.313 261.935.313
1   122.810.313 26.734.143 149.544.455 261.935.313 139.125.000
2   46.375.000 15.323.073 61.698.073 139.125.000 92.750.000
3   46.375.000 9.294.323 55.669.323 92.750.000 46.375.000
4   46.375.000 3.265.573 49.640.573 46.375.000 0

Sumber : Lampiran 6

Produksi dan Pendapatan

Output usaha pengolahan tapioka adalah onggok dan tepung tapioka. Dari
penjualan output tersebut diperoleh pendapatan sebesar Rp 2.330.640.000 yang
diperoleh dari produksi tepung tapioka sebanyak 2.340 ton per tahun dengan
harga jual Rp 900/kg dan 749 ton per tahun onggok dengan harga jual Rp
300/kg. Proyeksi pendapatan dan biaya selengkapnya bisa dilihat di lampiran 4
dan 7.

Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point

Proyeksi laba rugi menunjukkan bahwa pada tahun pertama usaha pengolahan
tapioka mampu memperoleh laba sebesar Rp 87.083.772 dengan rata-rata profit
margin tiap tahun sebesar 6,88% per tahun dan BEP rata-rata Rp 826.499.976
atau BEP produksi rata-rata 918 ton. Tabel 5.6. menyajikan proyeksi laba/rugi
per tahun dari usaha pengolahan tapioka.

23
Tabel 5.6 : Proyeksi Rugi/Laba Per Tahun

TAHUN
No Uraian
1 2 3 4 5 Jumlah
1 Pendapatan 2.330.640.000 2.330.640.000 2.330.640.000 2.330.640.000 2.330.640.000 11.653.200.000
               
2 Pengeluaran            
  a. Biaya operasional 2.038.275.000 2.038.275.000 2.038.275.000 2.038.275.000 2.038.275.000 10.191.375.000
  b. Penyusutan 40.369.048 40.369.048 40.369.048 40.369.048 40.369.048 201.845.238
  c.Angsuran pokok 122.810.313 46.375.000 46.375.000 46.375.000  261.935.313
  d.Bunga bank 26.734.143 15.323.073 9.294.323 3.265.573  54.617.112
  Jumlah 2.228.188.503 2.140.342.121 2.134.313.371 2.128.284.621 2.078.644.048 10.709.772.662
  Laba sebelum pajak 102.451.497 190.297.879 196.326.629 202.355.379 251.995.952 943.427.338
  e. Pajak % 15.367.725 28.544.682 29.448.994 30.353.307 37.799.393 141.514.101
               
3 Laba rugi 87.083.772 161.753.198 166.877.635 172.002.073 214.196.560 801.913.237
               
4 Profit margin 15% 3.74% 6.94% 7.16% 7.38% 9.19% 6.88%
               
  BEP (nilai penjualan)  1.513.929.528  813.646.346 765.587.084 717.527.823 321.809.099   4.132.499.880
  BEP (produksi ) 1.682 904 851 797 358               4.592
BEP Rp/ton
  berdasarkan            
    - Biaya operasional 871.058 871.058 871.058 871.058 871.058 871.058
    - Total biaya 952.217 914.676 912.100 909.523 888.309 915.365
  BEP rata-rata            
   - Nilai penjualan (Rp) 826.499.976         
   - Produksi (ton) 918         

Sumber : Lampiran 8

24
Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek

Arus kas usaha pengolahan tapioka ini dapat dilihat pada lampiran 9. Dalam
analisis kas dilakukan perhitungan Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C Ratio), Net
Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Pay Back Period (PBP).

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengolahan tapioka merupakan usaha


yang menguntungkan karena pada tingkat bunga 13% per tahun, net B/C ratio
1,81 dan NPV Rp 373.307.965,- dan IRR sebesar 39,63% artinya proyek ini
layak dilaksanakan sampai tingkat bunga pinjaman sebesar 39,63%.

Tabel 5.7 Kelayakan Pengolahan Tapioka

No Kriteria Kelayakan Nilai

1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,72


2 NPV pada DF 13% (Rp) 373.307.965
3 IRR (%) 39,63
4 PBP (usaha) 3 tahun 3 bulan
5 PBP (kredit) 1 tahun 9 bulan

Sumber : Lampiran 9

Dari hasil analisis kelayakan keuangan tersebut dapat disimpulkan bahwa semua
biaya investasi yang ditanamkan pada usaha ini akan kembali pada tahun ke-3,
pendapatan tahun ke-4 dan selanjutnya merupakan pendapatan bersih.
Sementara, berdasarkan jumlah kredit usaha tersebut, investasi yang ditanam
akan kembali pada tahun kedua

Analisis Sensitivitas Kelayakan Proyek

Proyeksi penerimaan dan biaya didasarkan pada asumsi dan proyeksi yang
memiliki ketidakpastian. Untuk itu diperlukan analisis sensitivitas untuk menguji
seberapa jauh proyek yang dilaksanakan sensitif terhadap perubahan harga
input maupun output, kesalahan dalam pembangunan sarana fisik dan
operasional ataupun kelemahan estimasi produksi.

Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan menggunakan 3 skenario yaitu:

1. Skenario I
Pendapatan mengalami penurunan sebesar 3% dan 4%, sedangkan biaya
investasi dan biaya operasional tetap. Penurunan pendapatan dapat
terjadi karena harga jual tepung tapioka mengalami penurunan atau
jumlah produksi tidak tercapai.

2. Skenario II
Biaya operasional mengalami kenaikan sebesar 4% dan 5%, sedangkan
biaya investasi dan pendapatan dianggap tetap. Kenaikan biaya
operasional dapat terjadi apabila harga input meningkat. Dalam hal ini
komponen terbesar adalah bahan baku, maka biaya operasional sensitif
terhadap kenaikan bahan baku singkong.
3. Skenario III
Skenario ini merupakan gabungan dari skenario I dan II yaitu diasumsikan
pendapatan menurun sebesar 2% dan 3% dan pada saat yang sama
biaya operasional mengalami kenaikan sebesar 2% dan 3%, sedangkan
biaya investasi dianggap tetap.

Hasil analisis terhadap ketiga skenario di atas diringkas pada tabel berikut ini.

Tabel 5.8 Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario I

Penerimaan Turun
No Kriteria Kelayakan
3% 4%
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,25 1,09
2 NPV pada DF 13% (Rp) 127.385.969 45.411.971
3 IRR (%) 22,56 16,48
4 PBP (usaha) 4 tahun 3 bulan 6 tahun 1 bulan
5 PBP (kredit) 2 tahun 11 bulan 3 tahun 11 bulan

Sumber : Lampiran 10 dan Lampiran 11

26
Tabel 5.9 Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario II

Biaya Operasional Naik


No Kriteria Kelayakan
4% 5%
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,17 1,03
2 NPV pada DF 13% (Rp) 86.544.583 14.853.738
3 IRR (%) 19,56 14,15
4 PBP (usaha) 4 tahun 9 bulan 6 tahun 2 bulan
5 PBP (kredit) 3 tahun 4 bulan 3 tahun 8 bulan

Sumber : Lampiran 12 dan Lampiran 13

Tabel 5.10 Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario III

Penerimaan Turun dan biaya naik


No Kriteria Kelayakan
2% 3%
1 Net B/C ratio pada DF 13% 1,13 0,83
2 NPV pada DF 13% (Rp) 65.978.277 (87.686.567)
3 IRR (%) 18,03 5,99
4 PBP (usaha) 4 tahun 11 bulan 6 tahun 9 bulan
5 PBP (kredit) 3 tahun 7 bulan 5 tahun 3 bulan

Sumber : Lampiran 14 dan Lampiran 15

Pada skenario I, pada saat pendapatan turun sebesar 3% dengan tingkat bunga
13%, diperoleh Net B/C Ratio lebih besar dari satu, NPV positif dan IRR
mencapai 22,56%. Dapat disimpulkan bahwa pada penurunan pendapatan
sebesar 3% proyek tersebut layak dilaksanakan. Pada penurunan pendapatan
sebesar 4%, diperoleh Net B/C Ratio sebesar 1,09, NPV Rp 45.411.971,-, IRR
16,48%. Jika dilihat dari kriteria investasi, penurunan pendapatan sebesar 4% ini
usaha pengolahan tapioka masih layak dilaksanakan. Tetapi jika dilihat dari
jangka waktu pengembalian investasi, usaha ini tidak layak dilaksanakan karena
payback periodnya melebihi periode proyek yang hanya 5 tahun.

Pada skenario II, biaya operasional mengalami kenaikan dengan asumsi biaya
investasi dan pendapatan tetap. Pada kenaikan biaya operasional sebesar 4%,
diperoleh Net B/C Ratio lebih besar dari satu, NPV positif dan IRR mencapai
19,56%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan suku bunga 13%,
pada kenaikan biaya operasional sebesar 4% proyek ini masih layak
dilaksanakan. Pada kenaikan biaya mencapai 5% proyek ini tidak layak

27
dilaksanakan karena Payback period melebihi umur proyek dengan jangka waktu
pengembalian investasi selama 6 tahun 2 bulan.

Pada skenario III, diasumsikan terjadi penurunan pendapatan dan kenaikan


biaya operasional. Pada penurunan dan kenaikan biaya operasional masing-
masing sebesar 2%, proyek tersebut masih layak dilaksanakan, karena pada
saat suku bunga 13% Net B/C ratio lebih dari satu dan NPV positif serta IRR
mencapai 18,03%. Namun bila penerimaan dan biaya naik sebesar 3%, maka
proyek ini tidak layak dilaksanakan karena IRR lebih kecil dari suku bunga yaitu
5,99% dan PBP melebihi umur proyek.

Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa pengolahan tapioka


merupakan proyek yang menguntungkan, karena banyak pihak yang
mendapatkan manfaat dari proyek ini, antara lain petani, masyarakat dan
pengusaha. Di samping memiliki manfaat sosial, usaha pengolahan tapioka ini
juga memiliki manfaat ekonomi yang cerah di masa mendatang sehingga usaha
ini layak mendapatkan pembiayaan dari perbankan.

28
Aspek Sosial Ekonomi
PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

Dilihat dari aspek ekonomi dan sosial, usaha pengolahan tapioka memiliki
dampak yang positif. Banyak pihak yang memperoleh manfaat dari usaha ini,
diantaranya adalah petani singkong, masyarakat, dan pengusaha itu sendiri.
Pihak-pihak yang terkait tersebut dapat memperoleh kenaikan penghasilan dari
usaha tersebut. Dampak lain selain kenaikan pendapatan adalah bahwa usaha
pengolahan tapioka mampu menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja pengolahan
tapioka diperoleh dari masyarakat sekitar sehingga secara tidak langsung
mengurangi jumlah pengangguran.

29
Aspek Dampak Lingkungan

Usaha pengolahan tepung tapioka ini menghasilkan limbah padat, cair dan
udara. Sebagian limbah ini ada yang dapat dimanfaatkan lagi secara ekonomis.
Limbah padat atau sering disebut onggok merupakan bahan baku pembuat saus
dan obat nyamuk bakar. Limbah padat yang lain adalah kulit singkong yang
banyak dimanfaat untuk pupuk dan pakan ternak. Limbah cair dari usaha ini
digunakan untuk mengairi sawah sekitar lokasi pabrik sehingga keberadaan
industri tepung tapioka ini sangat bermanfaat bagi petani. Polusi udara yang
dihasilkan tidak mengganggu masyarakat karena terletak jauh dari pemukiman
masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada limbah dari
usaha pengolahan tapioka ini yang merugikan baik makhluk hidup maupun
lingkungan yang tinggal di sekitarnya.

30
Kesimpulan - PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA

Kesimpulan

1. Peluang pasar komoditi tepung tapioka baik untuk ekspor maupun pemenuhan dalam
negeri masih terbuka dan berpotensi memberikan peluang bagi pengembangan dan
peningkatan produksi tapioka di Indonesia. Dilihat dari potensinya, sumber daya lahan
dan sumber daya manusia untuk pengembangan produksi tapioka di Indonesia masih
banyak tersedia di berbagai daerah.
2. Kendala yang dihadapi oleh pengusaha dalam pengembangan usaha tapioka antara lain
masalah bahan baku dan pemasaran tapioka. Masalah bahan baku disebabkan oleh
harga jual singkong dari petani yang rendah sehingga petani tidak dapat membiayai
usaha penanaman singkong, sedangkan masalah pemasaran tapioka disebabkan oleh
minimnya informasi yang diperoleh pengusaha mengenai harga dan jumlah permintaan
pasar.
3. Kredit usaha yang dibutuhkan meliputi kredit modal kerja dan kredit investasi. Jumlah
kredit modal kerja sebesar Rp 76.435.313, dan kredit investasi sebesar Rp 185.500.000.
4. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan menunjukkan bahwa proyek ini
sensitif terhadap penurunan penerimaan sampai dengan 4%, dengan asumsi biaya
investasi dan operasional adalah tetap. Pada tingkat penurunan penerimaan tersebut
proyek ini tidak layak untuk dilaksanakan.
5. Analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya operasional menunjukkan bahwa proyek
ini sensitif terhadap kenaikan biaya operasional sampai dengan 5%, dengan asumsi
biaya investasi dan penerimaan adalah tetap. Pada tingkat kenaikan biaya operasional
tersebut proyek ini tidak layak untuk dilaksanakan.
6. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan sekaligus kenaikan biaya
operasional menunjukkan bahwa proyek ini sensitif terhadap penurunan penerimaan dan
kenaikan biaya operasional sampai dengan 3%, dengan asumsi biaya investasi tetap.
Pada tingkat penurunan penerimaan sekaligus kenaikan biaya operasional sebesar 3%,
proyek tidak layak untuk dilaksanakan.
7. Hasil analisis keuangan tersebut menunjukkan bahwa pengolahan tapioka merupakan
proyek yang menguntungkan, karena banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari
proyek ini, antara lain petani, masyarakat dan pengusaha. Disamping secara sosial
memiliki manfaat, secara ekonomi usaha ini juga memiliki masa depan yang cerah dan
layak dibiayai perbankan.

31
Saran

1. Untuk menjaga kestabilan harga baik harga bahan baku dan harga tapioka pengusaha
harus mengoptimalkan fungsi asosiasi atau perkumpulan pengusaha tepung tapioka.
2. Untuk menjaga ketersediaan bahan baku dan keberlangsungan usaha, setiap pengusaha
diharapkan bermitra dengan petani, dengan memberikan perhatian terhadap masalah
penanaman ubi yang menentukan kualitas tapioka dengan menyertakan pemberian
pupuk organik di samping pupuk anorganik (seperti urea) dan mengembalikan sisa-sisa
tanaman ke dalam tanah serta memperhatikan umur tanam ubi.
3. Meskipun usaha ini layak dibiayai oleh bank, namun bank perlu untuk melakukan analisis
kredit yang lebih komprehensif berdasarkan prinsip kehati-hatian bank.

32

Anda mungkin juga menyukai