Anda di halaman 1dari 213

LAPORAN TEKNIS

KEGIATAN PENELITIAN

KAJIAN EKONOMI REVITALISASI


INDUSTRI BUDIDAYA UDANG

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2015

i
KAJIAN EKONOMI REVITALISASI
INDUSTRI BUDIDAYA UDANG

TIM PENELITI:

Dr. Ir. Tajerin, MM., ME.


Estu Sri Luhur, SE
Mira, Spi, MT., MSc.
Noviardy

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI


KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2015

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Satuan Kerja (Satker) : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan

Judul Kegiatan : Kajian Ekonomi Revitalisasi Industri Budidaya Udang


Status : Baru
Pagu Anggaran : Rp. 181.037.000,-
Tahun Anggaran : 2015
Sumber Anggaran : APBN, DIPA Satker Balai Besar Penelitian Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2015
Penanggung Jawab Output : Dr. Ir. Tajerin, M.M., M.E.
NIP. 19640326 199303 1 003
Penanggungjawab Pelaksana : Dr. Ir. Tajerin, M.M., M.E.
Output NIP. 19640326 199303 1 003

Jakarta, 2015

Penanggung Jawab Output/Penanggung


Jawab Pelaksana Output

Dr. Ir. Tajerin, M.M., M.E.


NIP. 19640326 199303 1 002

Mengetahui/Menyetujui:
Kepala Balai Besar Penelitian
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan

Ir. Tukul Rameyo Adi, M.T.


NIP. 1964126 199303 1 002

iii
4
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP)
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI
KELAUTAN DAN PERIKANAN

1. Judul Kegiatan : Kajian Ekonomi Revitalisasi Industri


Budidaya Udang
2. Sumber dan Tahun Anggaran : APBN 2015
3. Status Penelitian : Baru
4. Program : Penelitian dan Pengembangan IPTEK
Kelautan dan Perikanan
a. Komoditas : Perikanan (Udang)
b. Bidang/Masalah Kegiatan :
Kedaulatan Pangan
Pengembangan Ekonomi Maritim
Penguatan Jati Diri Bangsa
Pemberantasan Ikan Liar
c. Penelitian Pengembangan : Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
d. Manajemen Penelitian : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan
e. Isu Strategis Pengembangan KP :
2015 – 2019
Pengembangan Produk Perikanan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi Nasional
Peningkatan Daya Saing dan Nilai Tambah Produk Kelautan dan Perikanan
Pendayagunaan Potensi Ekonomi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Pengelolaam Sumberdaya KP secara berkelanjutan
Peningkatan Kesejahteraan Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan
Pengembangan SDM dan IPTEK KP

f. Dukungan terhadap Indikator :


Kinerja BSC
Nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP
Pertumbuhan PDB Perikanan (%)
Jumlah WPP yang Terpetakan Potensi di Bidang Sumberdaya Sosial Ekonomi
KP untuk Pengembangan Ekonomi Maritim dan Kelautan yang Berkelanjutan
Jumlah Rekomendasi Kebijakan yang Diusulkan untuk dijadikan Bahan
Kebijakan (buah)
Jumlah Pengguna Hasil IPTEK Litbang di Bidang Sumberdaya Sosial Ekonomi
KP (kelompk)
Jumlah Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan: 1 (satu)
buah
Jumlah Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan: 1 (satu)
buah
Karya Tulis Ilmiah Bidang Penelitian Sosial Ekonomi: 1 (satu) buah
Jumlah Model Kelembagaan Penyebaran IPTEK dan Pemberdayaan Masyarakat
Jumlah Model Kebijakan Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan
Perikanan

5. Judul Rekomendasi : Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Udang


Kebijakan Indonesia
6. Lokasi Kegiatan : DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, dan Lampung

iii
7. Peneliti yang terlibat :

No. Nama Pendidikan/ Disiplin Tugas (Institusi) Alokasi


Jabatan Ilmu Waktu
Fungsional (OB)
1. Dr. Ir. Tajerin, MM., ME. S3/Peneliti Utama Ekonomi Penanggung jawab 6
2. Estu Sri Luhur, SE. S1/Peneliti Muda Ekonomi Anggota 6
3. Mira, SPi, MT., MSc. S2/Peneliti Madya Ekonomi Anggota 6
4. Noviardy SUPM/Fungsional Perikanan PUMK 4
Umum

8. Tujuan :
(1) Menelaah dinamika produktivitas budidaya tambak udang di Indonesia periode
1989—2013 dan mengkaji peran berbagai kebijakan (termasuk kebijakan
revitalisasi budidaya tambak udang) terkait dengan produktivitas tambak udang di
Indonesia.
(2) Mengukur kinerja revitalisasi usaha budidaya udang (produktivitas) dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya serta faktor penentu keputusan
pembudidaya revitalisasi kegiatan usaha budidaya udang.
(3) Merumuskan rekomendasi kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya
udang di Indonesia.

9. Latar Belakang
Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia merupakan bagian dari
program besar “Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah
dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal 11 Juni 2005. Program besar ini diimplemetasikan
menggunakan strategi umum untuk: (1) Meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan
(pembudidaya tambak), dan petani hutan; (2) Meningkatkan daya saing produk pertanian,
perikanan dan kehutanan; dan (3) Menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikananan
dan kehutanan (Pusdatin - KKP., 2005).
Pada awal direncanakannya program revitalisasi perikanan di Indonesia (tahun
2005), dijalankan dengan misi utama berupa “percepatan implementasi pembangunan
perikanan untuk mengatasi pemulihan ekonomi menuju Indonesia yang lebih sejahtera
melalui pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal, berkelanjutan dan
berkeadilan. Tujuan revitalisasi perikanan (termasuk industri budidaya udang) adalah
meningkatkan kesejahteraan nnelayan, pembudidaya ikan (udang) dan masyarakat pesisir
lainnya serta pelaku ekonomi perikanan/kelautan, menyediakan lapangan kerja, kesempatan
berusaha, serta meningkatkan konsumsi dan menyediakan bahan baku industri di dalam
negeri dan penerimaan devisa, serta meningkatkanan penerimaan negara/daerah melalui
hasil perikanan. termasuk dari hasil budidaya udang.
Program revitaslisasi perikanan dikembangkan mencakup revitalisasi sumber-
sumber pertumbuhan ekonomi yang ada berupa berbagai kegiatan usaha di bidang
penangkapan ikan, budidaya perikanan, dan mengoptimalisasikan operasioanl unit usaha
pengolahan ikan dalam negeri, termasuk juga menciptakann sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi baru berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang masih memiliki prospek
yang baik. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2009, pemerintah telah menjalankan program
jangka menengah revitalisasi perikanan berupa: (1) Pengembangan industri perikanan
terpadu; (2) Pengembangan Prasarana Pelabuhan; dan (3) Pengembangan prasarana
budidaya perikanan; serta (4) Peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan regional.
Salah satu langkah operasional yang dilakukan dalam rangkaa mendukung
revitalisasi perikanan adalah “Pengembangan Komoditas Udang” sebagai bentuk dari
langkah-langkah dalam operasionalisasi revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia,
yang tahap awalnya telah diimplementasikan para kurun waktu 2005-2009 adalah (Pusdatin-

iv
KKP, 2005): Melakukan impor indusk dan benih udang vaname SPF (Spesifik Pathogen
Free); (2) Melakukan domestikasi dan pemuliaan udang vaname menjadi induk SPF dan
SPR, sehingga mengurangi ketergantungan dari impor; (3) Membangun National Backyard
Hatchery (NBH) udang; (4) Melakukan revitalisasi backyard hatchery udang; (5)
Menerapkan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang; (6) Mengembangkan
laboratorium lingkungan dan penyakit; (7) Menyediakan sarana dan prasarana budidaya
tambak udang; dan (8) Membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang.
Revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia sangat terkait erat dengan posisi
komoditas udang di Indonesia yang merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan
yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Di samping itu, juga karena kegiatan usaha
budidaya udang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perolehan devisa,
pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Revitalisasi
tersebut juga sangat penting, terutama karena peran kegiatan budidaya udang ke depan yang
semakin besar, sementara kegiatan penangkapan udang terus semakin berkurang. Kemudian
juga karena perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil, menengah, dan besar;
dan pasar utama komoditas udang adalah pasar ekpor dengan permintaan yang masih tetap
tinggi. Dengan demikian, revitalisasi industri budidaya udang akan mencakup revitalisasi
pada level produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagaangan melalui pelibatan usaha skala
kecil, menengah dan besar.
Hasil evaluasi program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh
Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah
ditentukan masih belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan, seperti terkait dengan
capaian produksi,baik yang dilakukan melalui intensifikisasi, ekstensifikasi dan diversifikasi
budidaya tambak udang di Indonesia. Oleh karena itu, program revitalisasi industri budidaya
udang kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012 yang diintegrasikan ke dalam
program Industrialisasi Perikanan, khusunya yang dilakukan dengan lebih mengoptimalkan
segala sumberdaya yang dimiliki Indonesia (Ditjen Perikanan Budidaya – KKP, 2012).
Pertambakan di Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam produksi udang pada
era tahun 1990-an, dengan menerapkan teknologi ekstensif, semi- intensif dan intensif.
Dengan timbulnya berbagai masalah, seperti penurunan daya dukung lingkungan, serangan
penyakit udang, dan menurunnya mutu induk/benih udang, mengakibatkan kegagalan pada
produksi udang. Rendahnya tingkat produktivitas perikanan budidaya udang di Indonesia
saat ini masih dapat ditingkatkan, seperti dengan melakukan revitalisasi melalui perencanaan
zonasi kawasan pesisir, sehingga akan tercipta keseimbangan tata ruang kawasan perikanan
yang mampu mendukung keberlanjutan perikanan budidaya. Secara ideal, kegiatan
perikanan budidaya haruslah dikembangkan secara berkelanjutan. Dalam artian, kegiatan
budidaya tersebut haruslah menghasilkan produktivitas yang sebanding dengan upaya, tidak
menciptakan konflik sosial, serta selaras dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungannya.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali produksi udang di Indonesia, perlu
dilakukan upaya-upaya khusus, antara lain melalui “Revitalisasi Industri Budidaya Udang”,
terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang idle atau yang beroperasi
tetapi tidak secara optimal. Ditjen Perikanan Budidaya (2014), menyatakan bahwa program
revitalisasi udang dimulai sejak Mei 2012 dan telah menghasilkan sekitar 390 ton udang.
Selain itu juga, program ini telah menghasilkan sekitar 125 hektar tambak baru. Program
revitalisasi udang vaname akan diperluas wilayahnya, tidak hanya terbatas di Jawa Barat,
tetapi juga ke Jawa tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara.
Pemerintah menargetkan dari sekitar 2.000 hektar bisa menghasilkan antara 11-12 ton per
hektarnya, khususnya melalui dukungan teknologi dalam menghasilkan udang-udang yang
berkualitas. Lebih lanjut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan
Perikanan (2014) menjelaskan untuk anggaran yang disediakan pada program revitalisasi di
2013 mencapai Rp260 miliar dengan area cakupan mencapai 2.000 hektar. Sementara itu,
pada 2012 anggarannya mencapai Rp225 miliar dan telah menghasilkan sekitar 1.000 hektar

v
di 5 kabupaten antara lain, Kerawang, Cirebon, Indramayu, Subang dan Serang.
(http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-Vaname-Akan-Diperluas--).
Masyarakat Akuakultur Indonesia – MAI (2014), menyatakan bahwa langkah
pemerintah untuk melakukan proses revitalisasi tambak di beberapa daerah di Pantura
hingga Jawa Timur harus berstrategi, jangan karena mengejar target penggenjotan jumlah
produksi semata. Pemerintah seharusnya memperhatikan berbagai kemungkinan yang akan
terjadi apabila revitalisasi dilakukan. Jangan hanya karena dikebut jumlah produksi semata
hingga mengabaikan lingkungan. Aspek daya dukung lingkungan di sekitar Pantai Utara
Jawa sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah, jika tidak ingin gagal di tengah jalan.
Belum lagi tingkat kepadatan udang yang juga harus diperhatikan. “Maksimum kepadatan
60ekor per m2 . Sehingga produktivitas bisa mencapai 7-10 ton per panen. Sementara
implementasi program revitalisasi yang dilakukan saat ini, tampaknya dilakukan “jor-joran”
hingga ada tambak dengan kepadatan tanam sekitar 200 ekor per m2. Belum lagi masalah
jadwal yang harus dipercepat secara tidak wajar oleh pemerintah. Seperti pada pelaksanaan
program revitalisasi yang tahun sebelumnya (2012-2013). Proses pencanangan revitalisasi
tambak baru digulirkan semenjak Oktober 2012, sedangkan target harus bisa dipenuhi di
awal 2013 mendatang. Dari sisi jadwal, hal ini tidak mungkin karena harus dilakukan
selama 1,5 bulan. Padahal seperti udang vaname dipanen paling cepat 4 bulan untuk bisa
mencapai ukuran konsumsi (http://regional.kompasiana.com/2012/12/11/revitalisasi-
tambak-pantura-jangan-karena-asal-kebut-produksi--). Beberapa permasalahan tersebut,
tampaknya sangat terkait erat dengan kondisi yang berkembang pada saat itu, dapat saja
menyangkut hal-hal yang bersifat kebijakan tertentu atau kepentingan yang politis, atau pun
hal lainnya.
Untuk itu, penelitian ini direncanakan akan dilakukan dengan tujuan mengkaji
revitaliasi industri budidaya udang di Indonesia. Diharapkan dari hasil penelitian ini, akan
dapat digunakan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan percepatan revitalisasi industri
budidaya udang di Indonesia.

10. Perkiraan Keluaran


Perkiraan keluaran yang diharapkan dapat tercapai dari kegiatan penelitian ini adalah:
(1) Tersedianya data dan informasi mengenai dinamika produktivitas budidaya udang
di Indonesia, meliputi aspek produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagangan
udang, serta memperhatikan pelibatan usaha budidaya tambak udang skala kecil
(tambak berteknologi tradisional), menengah (tambak berteknologi semi
intensif) dan besar (tambak berteknologi intensif);
(2) Tersedianya data dan informasi mengenai kinerja revitalisasi usaha budidaya udang
(produktivitas) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta faktor penentu
keputusan pembudidaya merevitalisasi kegiatan usaha budidaya udang;
(3) Tersedianya 1 (satu) buah Karya Tulis Ilmiah (KTI), 1 (satu) paket Data dan Informasi,
serta 1 (satu) buah Rekomendasi Kebijakan terkait dengan kebijakan percepatan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia.

11. Metodologi Penelitian


11.1 Kerangka Pemikian
Sub sektor perikanan budidaya saat ini telah menjadi barometer utama alam
menopang terwujudnya ketahanan pangan nasional, khususnya dari protein ikani. Isu
ketahanan pangan saat ini telah menjadi isu strategis bukan hanya pada tataran nasional tapi
telah menjadi isu global seiring dari semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang
akan memicu ketergantungan terhadap kebutuhan pangdan dan gizi yang aman dikonsumsi.
Khusus untuk komoditas udang Indonesia, perannya tidak hanya terbatas pada
dukungannnya terhadap ketahanan pangan, namun juga perannya sebagai komoditas
penghasil devisa sangat penting bagi Indonesia, khususnya berkaitan dengan beberapa nilai
strategis yang dimilikinya, seperti: potensi perikanan budidaya tambak udang yang sangat

vi
besar, penguasaan teknologi yang tinggi, kontribusinya terhadap perekonomian nasional
(pertumbuhan ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja), peran
budidaya tambak udang pada tataran pemasaran/perdagangan di tingkat regional ASEAN
dan global.
Dalam dinamikanya, peran industri budidaya udang di Indonesia, pernah mengalami
masa-masa kejayaannya, khususnya yang pada udang windunya yang memiliki pangsa pasar
terbesar di dunia sehingga menjadinya Indonesia sebagai pemimpin pasar (market leader),
namun kemudian seiring dengan meningkatkan tekanan akibat mewabahnya penyakit udang
khususnya white spot telah menjadikan industri udang Indonesia memasuki era kejatuhannya.
Menyikapi kejatuhan peran udang windu dari hasil budidaya tambak udang ini, pemerintah
mulai menggalakkan program revitalisasi industri budidaya udang baik mencakup aspek
teknis maupun non teknis, seperti terkait dengan masalah perbenihan, lahan tambak,
infrastruktur, kelembagaan dan pasar.
Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, pada awalnya digulirkan
dengan melalui program besar yang menjadi payungnya, yaitu “Revitalisasi Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal11
Juni 2005, pada pada tahap awal telah diimplementasikan pada tahun 2005 – 2009; dan
kemudian program ini dilanjutkan dengan diintegrasikan dalam Program Industrialisasi
Kelautan dan Perikanan, yang mulai dilaksanakan pada tahun 2012 dan terus berlangsung
hingga saat ini.
Program revitalisasi industri budidaya udang tersebut masih perlu terus ditingkatkan
kinerjanya, terutama karena program ini masih banyak menghadapi berbagai kendala dan
hambatan di lapangan, baik yang menyangkut aspek teknis maupun non teknis. Dari aspek
teknis, program revitalisasi tersebut diduga masih menghadapi hambatan, seperti
menyangkut: (1) Masalah perbenihan (penyediaan dan teknologi); (2) Lahan pertambakan
(produktivitas, dan lahan idle); dan (3) Kualitas dan kuantitas Infrastruktur. Sementara dari
aspek non teknis (aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan serta pasar) diantaranya
menyangkut: (1) Kualitas SDM dan kemampuan manajerial yang masih rendah yang dapat
mempengaruhi produktivitas aspek teknis operasional, kelembagaan, dan pengelolaan, (2)
keterbatasan akses dalam perolehan input teknologi dan modal usaha yang dapat
mempengaruhi produktivitas usaha, dan (3) Rendahnya aspek pengelolaan data dan
pengawasan. Di samping kendala, revitalisasi budidaya udang di Indonesia juga diduga
menghadapi hambatan, seperti: (1) Banyaknya tekanan konflik kepentingan terutama dari
sektor non perikanan, terutama sektor industri/manufaktur, dan perumahan; (2) Tingginya
harga input produksi (pakan); (3) Implementasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang
kurang tepat sasaran, dan (4) Rendahnya investasi; dan (5) Regulasi permodalan yang tidak
berpihak.
Data dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di
Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan
keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, dapat sangat berguna dalam
melakukan perumusan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi
industri budidaya udang di Indonesia. Melalui rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana
aksi tersebut, diharapkan implementasi program revitalisasi budidaya udang ke depan akan
berjalan lebih efektif dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan.
Proses penelitian revitalisasi industri budidaya udang berkaitan dan perolehan data
dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di Indonesia dan
faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan keberhasilan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, serta perumusan rekomendasi kebijakan,
strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi industri budidaya udang di Indonesia, secara
skematis tertera pada kerangka pemikiran penelitian revitalisasi industri budidaya udang,
seperti tertera pada Gambar 1.

11.2 Model Pendekatan

vii
Model pendekatan penelitian revitalisasi industri budidaya udang ini merupakan
penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif serta
dengan pemilihan lokasi secara purposive (sengaja) yakni di beberapa wilayah yang menjadi
prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan dan Lampung.

Dinamika
Per-Udang-an Indonesia

Program Revitalisasi
Industri Budidaya Udang

Tujuan:
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dan Global
Meningkatkan Kontribusi terhadap Perekonomian
Meningkatkan Kesejahteraan Petambak Udang
Meningkatkan Daya Saing Udang

Mengambil Pelajaran Penting(Lesson Learned)


Menjaga Pelestarian Sumberdaya
Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang

Implementasi Program Revitalisasi


Industri Budidaya Udang

Udang
Hambatan: Kendala
- Tekanan konflik kepentingan sektor - Perbenihan (penyediaan dan
non perikanan teknologi)
- Tingginya harga input produksi - Lahan pertambakan (produktivitas
(pakan) dan lahan idle)
- Kebijakan yang tidak tepat sasaran - Rendahnya kualitas dan kuantitas
dan tidak kondusif infrastruktur pertambakan
- Rendahnya investasi - Rendahnya kualitas SDM dan
- Regulasi permodalan yang tidak kemampuan manajerial
berpihak - Rendahnya akses perolahan
teknologi dan permodalan
- Rendahnya pengawasan

Faktor-faktor Penentu
Revitalisasi Industri Budidaya
Udang Indonesia

Formulasi Rekomendasi Kebijakan dan Strategi serta


Rencana Aksi Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Revitalisasi Industri Budidaya Udang

11.3 Metoda Analisa Data


Pendekatan yang digunakan: (1) Pendekatan Sejarah melalui Interupted Time Series
Analysis (ITSA); (2) Pendekatan Ekonometrika Model Pilihan Kualitatif; dan (3)

viii
Pendekatan Analisis Prospektif. Masing-masing pendekatan analisis tersebut diringkas
diringkas sebagaimana terlihat pada Tabel 1 dan dijelaskan pada uraian berikut.

ix
Tabel 1. Tahap-Tahap Analisis Data yang Dilakukan Sesuai dengan Tujuan Penelitian

Metode
No Tujuan Topik data Jenis data Sumber data pengambilan Metode analisis
data
1 Mengetahui dinamika Perkembangan produksi, Primer dan - Pembudidaya Pengamatan Pendekatan Sejarah
ekonomi politik per- pengolahan dan Sekunder - Pengolah Survey dengan
udang-an di Indonesia pemasaran/perdagangan serta hal- - Pemasar menggunakan model
pada era kejayaan, halnya yang berkaitan dengan - Dinas KP ITSA (Interpreted
keterpurukan, dan aspek teknis dan - Ditjen/Dinas Time Seires Analysis)
permasalahannya. terkait melalui studi
kebangkitan.
pusataka dan desk
study
2 Menganalisis faktor-faktor Produksi tambak udang, level Primer dan - Pembudidaya Pengamatan Pendekatan Model
yang menentukan teknologi, kualitas benih/induk, Sekunder - Pengolah Survey Regresi Pilihan
keberhasilan revitalisasi harga udang, infrastruktur, - Pemasar Respons Kualitatif
industri budidaya udang di permodalan, keamanan, - Dinas KP yang meliputi Model
Indonesia, khususnya produktivitas lahan, tenaga kerja, - Ditjen/Dinas Peluang Linier,
terkait dengan aspek teknis dan peubah lainnya terkait dengan terkait Model Probit, Model
(perbenihan, pertambakan revitalisasi budidaya udang Logit, dan Model
dan infrastruktur) dan non Tobit.
teknis (sosial-ekonomi dan
kelembagaan).
3 Merumuskan rekomendasi Data dan informasi dari hasil Primer dan - Pembudidaya Sintesa dari Analisis Prospektif
kebijakan, strategi dan tujuan 1 dan 2. Sekunder - Pengolah hasil tujuan 1 berdasarkan hasil
rencana aksi dalam rangka - Pemasar dan 2, serta hasil sintesa temuan
mempercepat revitalisi - Dinas KP Pendekatan dari tujuan 1 dan 2,
industri budidaya udang di - Ditjen/Dinas Brainstorming, kemudian dilakukan
Indonesia terkait FGD brainstorming dan
diskusi kelompok
terfokus.

ix
11.4 Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan ini akan dilakukan selama satu tahun sejak Januari 2015 sampai dengan
Desember 2015. Lokasi kegiatan mencakup wilayah-wilayah prioritas program revitalisasi
industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan
Lampung.

11.5 Data yang Dikumpulkan


Data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder terkait
dengan aspek produk, pengolahan dan pemasaran/perdagangan udang baik yang diperoleh
dari Dinas Kelautan dan Perikanan di Wilayah Penelitian maupun dari Statistik perikanan
budidaya udang (Ditjen Perikanan Budidaya, KKP). Data primer yang dikumpulkan
dianataranya berupa data yang berkaitan dengan persepsi pembudidaya mengenai
perkembangan produksi, pengolahan, pemsaran/perdagangan, dan kelembagaan (permodalan
dan produksi). Data sekunder yang dikumpulkan data menyangkut perkembangan aspek
produksi tambak udang termasuk teknologi dan produktivitas, pengolahan dan
pemasaran/perdagangan ekspor dan impor serta domestik, aspek kelembagaan, infrastruktur,
dan berbagai kebijakan yang terkait dengan program revitalisasi industri budidaya udang
baik secara langsung maupun tidak langsung

11.6 Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden


Pada penelitian ini metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dari sumber data dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2011). Teknik ini digunakan untuk menggali data kepada narasumber atau
responden dengan pertimbangan yaitu orang yang paham atau mengetahui informasi terkait
program revitalisasi industri budiadaya udang di Indonesia baik provinsi maupun
kabupaten/kota, Bappeda, Pelabuhan Perikanan, pelaku usaha dan tokoh nelayan. Metode
pengumpulan data dengan pengamatan, wawancara dengan menggunakan kuesioner, dan
dokumentasi.

12 Rencana Anggaran Belanja (RAB):


MA Rincian Komposisi Pembiayaan Jumlah (Rp) Jumlah (%)
521211 Belanja Bahan 17.735.000 13%
521213 Honor Output Kegiatan 2.400.000 2%
Belanja Barang untuk Persediaan Barang
521811 13.000.000 6%
Konsumsi
522141 Belanja Sewa 14.700.000 11%
522151 Belanja Jasa Profesi 16.300.000 12%
524111 Belanja Perjalanan Biasa 110.902.000 56%
JUMLAH 181.037.000 100%

x
13 RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN DAN REALISASI FISIK (PER BULAN DAN PER BELANJA)

Rencana Penyerapan Anggaran Kegiatan


BULAN KE-( Rp.000)
MA TAHAPAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Total Penyerapan Anggaran/Bulan/Rp(000) 0 600 11,203 15,425 15,413 22,118 12,458 24,793 15,214 23,859 23,659 8,883
A. Persiapan, Studi Pustaka, Prasurvey dan Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan
521211 Belanja Bahan 0 240 240 240 240 240 240 240 240 240 240 240
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang
0 363 363 363 363 363 363 363 363 363 363 363
Konsumsi
522114 Belanja Sewa 0 0 700 0 0 0 0 0 0 0 0 0
522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 3,000 0 0 0 0 0 0 0 0 0
524111 Belanja perjalanan biasa 0 0 6,900 0 0 0 0 0 0 0 0 0
B. Pengumpulan Data Primer,Sekunder, dan FGD di Lapangan
521211 Belanja Bahan 0 0 0 1,500 620 1,980 620 1,980 175 0 0 0
521213 Honor Output Kegiatan 0 0 0 800 0 800 0 800 0 0 0 0
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0 0 0
800 800 800 800 800 0 0 0 0
Konsumsi
522114 Belanja Sewa 0 0 0 0 3,500 3,500 0 3,500 0 3,500 0 0
522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 0 0 900 1,500 0 1,900 0 0 0 0
524111 Belanja perjalanan biasa 0 0 0 11.722 9.690 13.635 10.435 15.210 14.436 14.436 14.436 0
C. Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan Laporan dan Dokumen Capaian Output
521211 Belanja Bahan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2,320 2,620 0
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1,500 1,500
Konsumsi
522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,500 4,500 0
524111 Belanja perjalanan biasa 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
D. Seminar dan Sosialisasi Hasil Dengan Stakeholder
521211 Belanja Bahan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,280
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2,000
Konsumsi
522115 Belanja Jasa Profesi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,000

xi
Rencana Realisasi Fisik

BULAN KE-( %)
MA TAHAPAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
REALISASI FISIK/BLN/% 0% 4% 12% 22% 35% 49% 58% 72% 74% 82% 92% 100%
A. Persiapan, Studi Pustaka, Prasurvey dan Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Kegiatan
521211 Belanja Bahan 0% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 2% 2%
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang
0% 2% 2% 2% 5% 5% 8% 5% 3% 4% 3% 3%
Konsumsi
522114 Belanja Sewa 0% 0% 2% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 3% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
524111 Belanja perjalanan biasa 0% 0% 3% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
B. Pengumpulan Data Primer,Sekunder, dan FGD di Lapangan
521211 Belanja Bahan 0% 0% 0% 2% 2% 7% 9% 12% 7% 0% 0% 0%
521213 Honor Output Kegiatan 0% 0% 0% 1% 6% 8% 0% 5% 0% 0% 0% 0%
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0% 0% 0% 0% 0% 0%
5% 5% 2% 15% 7% 0%
Konsumsi
522114 Belanja Sewa 0% 0% 0% 0% 5% 7% 0% 4% 0% 6% 0% 0%
522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 0% 0% 5% 5% 0% 5% 0% 0% 0% 0%
524111 Belanja perjalanan biasa 0% 0% 0% 10% 5% 10% 17% 14% 11% 11% 11% 0%
C. Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan Laporan dan Dokumen Capaian Output
521211 Belanja Bahan 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 5% 3% 0%
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
4% 4%
Konsumsi
522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 3% 3% 0%
524111 Belanja perjalanan biasa 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
D. Seminar dan Sosialisasi Hasil Dengan Stakeholder
521211 Belanja Bahan 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 4%
521811 Belanja Barang Untuk Persediaan Barang 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
3%
Konsumsi
522115 Belanja Jasa Profesi 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 2%

xii
14 DAFTAR PUSTAKA

Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Proepective Analysis, Exploring and


Anticipating Chalanges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty
through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French
Agricultural Research center for International development. Monograph (46): 1-29.

Durance, P., and M. Godet. 2010. Scenaerion Building: Uses and Abuses.
Technol.Forecast.Sos. Change, 77: 1488-1492.

Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1.
Edisi Ketuga, IPB Press.

Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and


Methodology. New Jersey: John Willey and Sons.

Husaini, U dan Akbar P.S. 2009.Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta

Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Gujarati, D.N. 2004. Baasic Econometrica. Fourth Edition. New York: The McGraw-Hill
Company.

Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.

Kholistianingsih dan Hardiansyah. 2005. Jenis-jenis Penelitian Secara Umum dan


Pendekatannya. Yogyakarta: JurusanTeknik Elektro UGM. Diunduh dari
websitehttp://te.ugm.ac.id/ ~risanuri/v01/wp-content/uploads/2011/05/final-hardi-dan-
kholis.pdf pada tanggal 2 Maret 2015.

Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan
Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm.

Marzuki, 2002. Metodoligi Riset, Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta.

Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Tiara Wacana.

Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted
Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two
Systematic Reviews of BeahviourChange Strategies. International Journal of Health
Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23.

Syamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sugiyono, 2011.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta.Bandung.

Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression
Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of
Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309.

Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua.
Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.

xiv
xv
RINGKASAN
Budidaya udang Indonesia mengalami kejayaan pada era tahun 1990-an, namun
mengalami kemunduran pada awal era 2000-an. Faktor penyebabnya antara lain masalah
penurunan daya dukung lingkungan, serangan penyakit, dan menurunnya mutu induk/benih
udang. Untuk membangkitkan kembali produksi udang, dilakukan program “Revitalisasi
Industri Budidaya Udang”, terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang
idle. Program revitalisasi ini dilaksanakan pada periode 2005—2009 dan dimulai kembali
sejak Mei 2012 dan telah menghasilkan sekitar 390 ton udang. Selain itu juga, program ini
telah menghasilkan sekitar 125 hektar tambak baru. Program revitalisasi udang vaname akan
diperluas wilayahnya, tidak hanya terbatas di Jawa Barat, tetapi juga ke Jawa tengah, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara. Pemerintah menargetkan dari
sekitar 2.000 hektar bisa menghasilkan antara 11-12 ton per hektarnya, khususnya melalui
dukungan teknologi dalam menghasilkan udang-udang yang berkualitas. Anggaran pada
program revitalisasi di 2013 mencapai Rp260 miliar dengan area cakupan mencapai 2.000
hektar. Sementara itu, pada 2012 anggarannya mencapai Rp225 miliar dan telah
menghasilkan sekitar 1.000 hektar di 5 kabupaten antara lain, Kerawang, Cirebon,
Indramayu, Subang dan Serang. Untuk itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk: (1)
Mengetahui dinamika per- udang-an Indonesia pada era kejayaan, keterpurukan dan
kebangkitan; 2) Menganalisis faktor penentu keberhasilan revitalisasi industri budidaya
udang di Indonesia; 3) Merumuskan kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada Januari—
Desember 2015 dengan memilih lokasi penelitian di wilayah prioritas program revitalisasi
industri budidaya udang, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan
Lampung. Pendekatan yang digunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan
data dilakukan melalui studi literatur, wawancara, dan FGD. Metode analisis data
menggunakan: (1) Pendekatan Sejarah dan Interupted Time Series Analysis (ITSA); (2)
Pendekatan Ekonometrika Model Pilihan Kualitatif; dan (3) Pendekatan Analisis Prospektif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kesejarahannya, ditemukan lima era
dinamika produktivitas (indeks Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di
Indonesia, yaitu: (a) Era Pra dan Awal Budidaya Udang (1964—1970); (b) Era Perintisan
Teknologi Intensif (1971—1981); (c) Era Kejayaan (1982—1995); (d) Era Penurunan
Kinerja (1996—1999); dan (e) Era Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 —
sekarang).Dinamika kinerja indeks produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha
budidaya udang di Indonesia selam periode 1989 hingga 2013 mengalami kondisi pasang-
surut tetapi masih berada di bawah (belum melampaui) kinerj TFP tahun 1998, serta
diwarnai oleh kondisi yang menghambat kinerja indeks TFP tersebut seperti serangan
penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti intervensi berbagai kebijakan yang terkait.
Kemudian, ditemukan pula bahwa Kebijakan penguatan sarana irigasi tambak yang
diimplementasi melalui program rehabilitasi dan pembangunan saluran pengairan/irigasi
tambak udang sejak tahun 1999 hingga sekarang ternyata memberikan pengaruh yang nyata
dalam memperbaiki kinerja produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia.
Sementara, kebijakan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap satu yang
diimplementasi pada tahun 2006-2009 maupun tahap dua yang dimplementasi sejak tahun
2012 hingga sekarang ternyata tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja
produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia.
Di samping itu, hasil penelitian menunjukkan pula bahwa di tingkat lapang (lokasi
penelitian), kinerja TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang bervariasi
antar lokasi pengamatan, yaitu berkisar antara 0,81 – 2,67; dengan TFP rata-rata sebesar
1,79 yang tergolong cukup baik karena indeks output 1,79 kali lebih besar dari indeks
inputnya. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap TFP (produktivitas)
usaha budidaya udang di tingkat lapang adalah: (1) Indeks kualitas benih udang, (2) Indeks
kualitas pakan udang, (3) Dummy Kerjasama, (4) Tingkat pengalaman usaha budidaya, (5)
Kondisi infrastruktur irigasi, (6) Dummy serangan penyakit, dan (7) Tingkat pendidikan

xvi
formal. Sementara keputusan pembudidaya terkait dengan revitalisasi usaha budidaya
ditentukan oleh: (1) Kondisi infrastruktur irigasi, (2) Dummy penguasaan
teknologi/pendampingan, (3) Kualitas bantuan sarana produksi, (4) Ketersediaan benih
udang berkualitas dan terjangkau, (5) Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau,
(6) Tingkat pendidikan formal, dan (7) Tingkat pengalaman usaha budidaya udang.
Selain itu, ditemukan sebanyak delapan peubah yang dinilai menjadi faktor yang
paling berpengaruh penting dalam menyusun rumusan kebijakan percepatan revitalisasi
industri budidaya udang di Indonesia, dalam kategori sebagai faktor penggerak/input adalah
(1) Peran mitra, (2) Sosialisasi dan monitoring, (3) Kerjasama swasta, dan (4) Ketewrlibatan
pemda; dan dalam kategori sebagai faktor penghubung/proses adalah: (1) Pengauatan irigasi,
(2) Kawasan budidaya, (3) Kerjasama swasta, dan (4) Perbanyakan wilayah. Berdasarkan
kedelapan peubah tersebut direkomendasikan tiga altenatif kebijakan, sebagaimana
disampaikan uraian di bawah ini.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk mempercepat capaian kinerja program
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternative
kebijakan, yaitu: (1) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya
udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring
terkait dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi
budidaya udang tambak di Indonesia; (2) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana
secara lebih baik dan nyata yang diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan
dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga keberlanjutannya; dan (3) Meningkatkan
keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra dan sektor
perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri budidaya udang
di Indonesia.

xvii
xviii
DAFTAR ISI

Halaman:
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………... ii
COPY RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN (ROKP) ……. iii
RINGKASAN …………………………………………………………………………. xvi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. iv
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………….... v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………...... vi

I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 1
1.1. Latar Balakang dan Masalah ………………………………………………….. 1
1.2 Tujuan ………………………………………………………………………...
1.3. Perkiraan Keluaran …………………………………………………………… 3

II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………… 4


2.1 Budidaya Perairan (Akuakultur ) ………………………………………………. 4
2.2 Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Produktivitas Tambak Udang ........ 12
2.3 Konsep Total Factor Productivity …………………………………………….. 13
2.4 Hasil Penelitian Terdahulu …………………………………………………….. 20

III. METODOLOGI ………………………………………………………………..... 24


3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………………………………… 24
3.2 Metode Pendekatan ……………………………………………………………. 27
3.3 Metode Analisis Data ………………………………………………………… 27
3.3.1 Metode Analisis Sejarah dan ITSA ........................................................ 29
3.3.2 Metode Analisis Total Factor Productivity (TFP) …………………….. 48
3.3.3 Metode Analisis Model Regresi Pilihan Kualitatif ................................... 52
3.3.3.1 Model Regresi Peluang Linier ..................................................... 54
3.3.3.2 Model Regresi Probit .................................................................. 59
3.3.3.3 Model Regresi Probit .................................................................. 64
3.3.4 Metode Analisis Prospektif ……………………………………………... 72

3.4 Waktu dan Lokasi Penelitian ……………………………………………….. 74


3.5 Jenis dan Sumber Data ………………………………………………………. 76
3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden ................................... 77

xx
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………………. 79
4.1 Sejarah dan Program Revitalisasi Usaha Budidaya Udang di Indonesia ......... 79
4.1.1 Sejarah Budidaya Udang di Indonesia: Analisis Pendekatan Sejarah .. 79
4.1.2 Program Revitalisasi Usaha Budidaya Udang di Indonesia …………. 87
4.2 Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang di Indonesia dan Peran 93
Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhinya ................................................
4.2.1 Perkembangan Produksi Udang Indonesia, 1989-2013 ......................... 93
4.2.2 Telaah Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang Indonesia, 96
1989 – 2013 ...........................................................................................
4.2.2.1 Perkembangan Output, 1989-2013 ………………………… 97
4.2.2.2 Perkembangan Input, 1989-2013 ……………………………. 98
4.2.2.3 Perkembangan Produktivitas (Indeks TFP), 1989-2013 …….. 99
4.2.3 Peran Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhi Produktivitas
Budidaya Udang Tambak di Indonesia selama Periode 1989 – 2013:
Aplikasi Model ITSA ………………………………………………… 101

4.3 Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang, Faktor-faktor


yang Mempengaruhi, dan Penentu Keputusan Pembudidaya ........................ 104
4.3.1 Gambaran Umum Pelaksanaan Program Revitalisasi Tambak Udang di
Lokasi Penelitian ……………………………………………………... 104
4.3.1.1 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Lampung ......... 104
4.3.1.2 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Barat ....... 107
4.3.1.3 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Tengah .... 110
4.3.1.4 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Timur ...... 113
4.3.1.5 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Sulawesi Selatan 116

4.3.2 Kinerja Program Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang


di Lokasi Penelitian .............................................................................. 119
4.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) 120
Usaha Budidaya udang di Lokasi Penelitian ........................................
4.3.4 Faktor Penentu Keputusan Pembudidaya Merevitalisasi Usaha 121
Budidaya udang di Lokasi Penelitian ....................................................
4.4 Analisis Prospektif Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya
udang di Indonesia ............................................................................................ 122
4.4.1 Penentuan Faktor Kunci ......................................................................... 122
4.4.2 Analisis Pengaruh Antar-Faktor Kunci .................................................. 124
4.4.3 Penentuan Kondisi (State) Faktor Kunci di Masa Depan ....................... 128
4.4.4 Pembangunan Skenario untuk Rekomendasi Kebijakan ........................ 130
4.4.5 Rumusan Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang 132

xxi
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……………………………. 134
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………….. 134
5.2 Implikasi Kebijakan ………………………………………………………….. 135

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 137


LAMPIRAN …………………………………………………………………………... 142

xxii
xx
DAFTAR TABEL

Judul Tabel: Halaman:


Tabel 1. Pengelompokkan Komoditas Akuakultur Berdasarkan Karakter Morfologi
dan Jenis Habitat .............................................................................................. 8
Tabel 2. Jenis-jenis Akuakultur Berdasar Tingkat Teknologi dan Produksi ................ 9
Tabel 3. Batasan Sistem Budidaya Udang di Tambak ................................................. 10
Tabel 4. Total Factor Productivity (TFP) dalam Budidaya Polikultur Ikan Jenis Carp
Tahun 1998-1999 ........................................................................................... 21
Tabel 5. Indeks TFP Interspasial Budidaya Ekstensif Udang pada Tiga Kecamatan, di
Sulawesi Menggunakan Tornqvish Theil Index, 1999 .................................... 21
Tabel 6. Indeks TFP Interspasial Indeks pada Budidaya Ekstensif Udang Berdasarkan
Sistem Budidaya dari Tiga Kecamatan, di Sulawesi Menggunakan
Tornqvish Theil Index, 1999 .......................................................................... 22
Tabel 7. Tahapan Analisis Data yang Dilakukan Sesuai dengan Tujuan Penelitian ..... 28
Tabel 8. Sebaran Peluang bagi Peubah Galat (εi) ......................................................... 57
Tabel 9. Hubungan Nilai Indeks Z dan Sebaran Peluang Normal Kumulatif ………… 63
Tabel 10. Nilai-nilai Model Regresi Logistik dengan Peubah Bebas Dikotomi ……… 71
Tabel 11.Road Map Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2012—2014 ………………. 91
Tabel 12. Peran Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Model Pola Kemitraan pada
Revitalisasi Tambak ……………….……………………………………… 93
Tabel 13. Produksi Udang dari Hasil BudidayaTambak Indonesia Menurut Varietas,
Tahun 1989-2013 (ton) ................................................................................. 95
Tabel 14. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1989-2013
(ton) .............................................................................................................. 96
Tabel 15. Rata-rata Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Budidaya Tambak
Udang Indonesia, Tahun 1989-2013 ............................................................ 98
Tabel 16. Hasil Pendugaan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Total
Factor Productivity Usaha Budidaya Udang di Indonesia ......................... 102
Tabel 17. Pelaksanaan Demfarm di Provinsi Lampung Tahun 2014 ……………….. 104
Tabel 18. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013... 107
Tabel 19. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013 .. 108
Tabel 20. Luas dan Produksi Tambak Udang di Kab. Brebes Tahun 2013 .................. 110
Tabel 21. Jumlah RTP/Perusahaan Perikanan, Luas Pemeliharaan, Volume dan Nilai 116
Produksi di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2014 ....................................
Tabel 22. Luas Tambak Udang Demfarm dari POKDAKAN Penerima Program
Revitalisasi Udang Tambak pada Tahun 2014 di Kabupaten Takalar ......... 117

xxii
Tabel 23. Luas areal budidaya Tambak di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan
Tahun 2014 .................................................................................................. 117
Tabel 24. Produktivitas Budiadaya Udang Windu dan Udang Vaname di Kabupaten
Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2013 ................................. 118
Tabel 25. Kisaran Angka Indeks TFP Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian
(Tingkat Lapang) ………………………………………………………….. 120
Tabel 26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi TFP Usaha Budidaya
Udang di Tingkat Lapang (2015) ………………………………………….. 120
Tabel 27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan
Pembudidaya Mengikuti Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di
Tingkat Lapang (2015) ……………………………………………………. 121
Tabel 28. Peubah-peubah yang Terindendifikasi sebagai Faktor Penentu Percepatan
Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia ..................................... 123
Tabel 29. Pilihan Partisipan Secara Konsensus mengenai Peubah-peubah yang Paling
berpengaruh (Penting dan Urgen) terhadap Percepatan Revitalisasi Industri
Budidaya Udang di Indonesia ....................................................................... 124
Tabel 30. Skor Pengaruh Antar-peubah yang dinilai oleh Partisipan sebagai Penentu
Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia ................... 126
Tabel 31. Hasil Perhitungan Indeks Total Pengaruh Global dan Indeks Total
Ketergantungan Global Peubah-peubah dalam Percepatan Revitalisasi
Industri Budidaya Udang di Indonesia ......................................................... 127
Tabel 32. Kondisi Spektrum Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara
Konsensus ..................................................................................................... 129
Tabel 33. Kondisi Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara Konsensus ........... 130
Tabel 34. Alternatif Pilihan Skenario untuk berbagai Kombinasi Kondisi yang
Mungkin terkait dengan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang
di Indonesia .................................................................................................. 131

xxiii
xxii
DAFTAR GAMBAR
Judul Gambar: Halaman:

Gambar 1. Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan ................................. 10

Gambar 2. Fungsi Produksi yang Menggambarkan TFP ............................................. 15

Gambar 3. Berbagai Alternatif Metode untuk Pengukuran Produktivitas ................... 17

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian Revitalisasi Industri Budidaya Udang ...... 26

Gambar 5. Hubungan antara Intervensi dengan Outcome berdasarkan Perubahan


Waktu dalam Analisis Interrupted Time Series (ITS) .................................. 31

Gambar 6. Pengukuran Variablity pada dua interrupted time series hipotetik. Gambar
Pertama Menunjukkan series variability yang tinggi, dan Gambar Kedua
menujukkan series yang relatif stabil ............................................... 34

Gambar 7. Implementasi Efek Michigan’s dari Pemberlakuan Penggunaan Kursi


Pengaman pada Mobil terhadap Cedera Kendaraan Bermotor untuk Usia
0 sampai 3 Tahun ……………………………………………………….. 35
Gambar 8. Proporsi Outlet Tembakau di Masing-masing Empat Komunitas yang
Bersedia untuk Menjual Kepada Mereka yang Berusia di Bawah 18
Tahun Setelah Implikasi Program Reward dan Sisanya ………………… 37
Gambar 9. Ilustrasi Sampel Berukuran B Kemungkinan Berasal dari Populasi A
daripada Populasi B ................................................................................... 43
Gambar 10. Sebaran Data dan Garis Regresi Model LPM ........................................... 59

Gambar 11. Fungsi probabilitas Distribusi Kumulatif CDF) ....................................... 60

Gambar 12. Perbedaan Model Probit dengan Model Peluang Linier (LPM) .............. 63

Gambar 13. Model Distribusi Normal dan Model Distribusi Logistik ……………… 66

Gambar 14. Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja


Sistem yang Dikaji .....................................................................................
74
Gambar 15. Model Pola Kemitraan pada Revitalisasi Tambak Melalui Kegiatan
Demfarm ………………………………………………………………..
92
Gambar 16. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak
dan Hasil Penangkapan,Tahun 1989-2013 .................................................
94
Gambar 17. Indeks TFP Budidaya Udang Tambak Indonesia menurut Harga Konstan
Tahun 1989 =100, Selama Era Sisa Kejayaan (1989-1995), Era
Penurunan Kinerja (1996-2005), dan Era Kebangkitan/Revitalisasi
(2006-2014) ................................................................................................ 100
Gambar 18. Hasil Analisis Pengaruh Langsung antar-peubah dalam Analisis
Prospektif Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di
127
Indonesia ................................................................................................

xxiii
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN

Judul Lampiran: Halaman:

Lampiran 1. Naskah Karya Tulis Ilmiah (KTI): Dinamika Total Factor Productivity
Usaha Budidaya Udang Indonesia Periode 1998-2013 dan Pengaruh
143
Beberapa Kebijakan Udang ……………………………………………
Lampiran 2. Naskah Rekomendasi Kebijakan (RK): Mempercepat Revitalisasi
Usaha Budidaya Udang di Indonesia melalui Peningkatan
Produktivitas …………………………………………………………… 170

xxiv
xxiv
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah


Udang merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Udang menyumbang
sekitar 1.8% devisa non-migas dan menyediakan lapangan kerja bagi 1.7 juta orang
(International Finance Corporation/IFC, 2007b). Namun demikian, pengembangan udang
terkendala rendahnya produktivitas. Studi IFC (2006, 2007a); USAID (2006); dan World
Bank (2006) berturut-turut untuk Indonesia, Nigeria, Bangladesh, dan Pakistan,
menunjukkan pentingnya peningkatan produktivitas, agar udang dari negara-negara tersebut
mampu bersaing di pasar internasional. Senada dengan hal tersebut, Helble dan Okubo
(2006) menyatakan bahwa keberhasilan ekspor berkelanjutan hanya dapat dicapai jika
produktivitas tinggi.
Guna mendukung peningkatan produktivitas budidaya udang di Indonesia, pemerintah
telah mengimplementasi berbagai kebijkan dan program. Salah satunya, adalah kebijakan
dan program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia merupakan bagian dari
program besar “Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah
dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal 11 Juni 2005. Program besar ini diimplemetasikan
menggunakan strategi umum untuk: (1) Meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan
(pembudidaya tambak), dan petani hutan; (2) Meningkatkan daya saing produk pertanian,
perikanan dan kehutanan; dan (3) Menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikananan
dan kehutanan (Pusdatin - KKP., 2005).
Pada awal direncanakannya program revitalisasi perikanan di Indonesia (tahun 2005),
dijalankan dengan misi utama berupa “percepatan implementasi pembangunan perikanan
untuk mengatasi pemulihan ekonomi menuju Indonesia yang lebih sejahtera melalui
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal, berkelanjutan dan
berkeadilan. Tujuan revitalisasi perikanan (termasuk industri budidaya udang) adalah
meningkatkan kesejahteraan nnelayan, pembudidaya ikan (udang) dan masyarakat pesisir
lainnya serta pelaku ekonomi perikanan/kelautan, menyediakan lapangan kerja, kesempatan
berusaha, serta meningkatkan konsumsi dan menyediakan bahan baku industri di dalam
negeri dan penerimaan devisa, serta meningkatkanan penerimaan negara/daerah melalui
hasil perikanan. termasuk dari hasil budidaya udang.
Program revitaslisasi perikanan dikembangkan mencakup revitalisasi sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi yang ada berupa berbagai kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan,
budidaya perikanan, dan mengoptimalisasikan operasioanl unit usaha pengolahan ikan
dalam negeri, termasuk juga menciptakann sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru
berupa pemanfaatan peluang usaha perikanan yang masih memiliki prospek yang baik.

1
Dalam kurun waktu 2005 hingga 2009, pemerintah telah menjalankan program jangka
menengah revitalisasi perikanan berupa: (1) Pengembangan industri perikanan terpadu; (2)
Pengembangan Prasarana Pelabuhan; (3) Pengembangan prasarana budidaya perikanan; dan
(4) Peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan regional.
Salah satu langkah operasional yang dilakukan dalam rangkaa mendukung revitalisasi
perikanan adalah “Pengembangan Komoditas Udang” sebagai bentuk dari langkah-langkah
dalam operasionalisasi revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yang tahap awalnya
telah diimplementasikan para kurun waktu 2005-2009 adalah (Pusdatin-KKP, 2005):
Melakukan impor indusk dan benih udang vaname SPF (Spesifik Pathogen Free); (2)
Melakukan domestikasi dan pemuliaan udang vaname menjadi induk SPF dan SPR,
sehingga mengurangi ketergantungan dari impor; (3) Membangun National Backyard
Hatchery (NBH) udang; (4) Melakukan revitalisasi backyard hatchery udang; (5)
Menerapkan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang; (6) Mengembangkan
laboratorium lingkungan dan penyakit; (7) Menyediakan sarana dan prasarana budidaya
tambak udang; dan (8) Membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang.
Revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia sangat terkait erat dengan posisi
komoditas udang di Indonesia yang merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan
yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Di samping itu, juga karena kegiatan usaha
budidaya udang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perolehan devisa,
pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Revitalisasi
tersebut juga sangat penting, terutama karena peran kegiatan budidaya udang ke depan yang
semakin besar, sementara kegiatan penangkapan udang terus semakin berkurang. Kemudian
juga karena perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil, menengah, dan besar;
dan pasar utama komoditas udang adalah pasar ekpor dengan permintaan yang masih tetap
tinggi. Dengan demikian, revitalisasi industri budidaya udang akan mencakup revitalisasi
pada level produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagaangan melalui pelibatan usaha skala
kecil, menengah dan besar.
Hasil evaluasi program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh
Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah
ditentukan masih belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan, seperti terkait dengan
capaian produksi, baik yang dilakukan melalui intensifikisasi, ekstensifikasi dan
diversifikasi budidaya tambak udang di Indonesia. Oleh karena itu, program revitalisasi
industri budidaya udang kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012 yang
diintegrasikan ke dalam program Industrialisasi Perikanan, khusunya yang dilakukan dengan
lebih mengoptimalkan segala sumberdaya yang dimiliki Indonesia (Ditjen Perikanan
Budidaya – KKP, 2012).

2
Pertambakan di Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam produksi udang pada era
tahun 1990-an, dengan menerapkan teknologi ekstensif, semi- intensif dan intensif. Dengan
timbulnya berbagai masalah, seperti penurunan daya dukung lingkungan, serangan penyakit
udang, dan menurunnya mutu induk/benih udang, mengakibatkan kegagalan pada produksi
udang. Rendahnya tingkat produktivitas perikanan budidaya udang di Indonesia saat ini
masih dapat ditingkatkan, seperti dengan melakukan revitalisasi melalui perencanaan zonasi
kawasan pesisir, sehingga akan tercipta keseimbangan tata ruang kawasan perikanan yang
mampu mendukung keberlanjutan perikanan budidaya. Secara ideal, kegiatan perikanan
budidaya haruslah dikembangkan secara berkelanjutan. Dalam artian, kegiatan budidaya
tersebut haruslah menghasilkan produktivitas yang sebanding dengan upaya, tidak
menciptakan konflik sosial, serta selaras dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungannya.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali produksi udang di Indonesia, perlu
dilakukan upaya-upaya khusus, antara lain melalui “Revitalisasi Industri Budidaya Udang”,
terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang idle atau yang beroperasi
tetapi tidak secara optimal. Ditjen Perikanan Budidaya (2014), menyatakan bahwa program
revitalisasi udang dimulai sejak Mei 2012 dan telah menghasilkan sekitar 390 ton udang.
Selain itu juga, program ini telah menghasilkan sekitar 125 hektar tambak baru. Program
revitalisasi udang vaname akan diperluas wilayahnya, tidak hanya terbatas di Jawa Barat,
tetapi juga ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara.
Pemerintah menargetkan dari sekitar 2.000 hektar dan dapat menghasilkan antara 11-12 ton
per hektarnya, khususnya melalui dukungan teknologi dalam menghasilkan udang-udang
yang berkualitas.
Lebih lanjut Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014)
menjelaskan untuk anggaran yang disediakan pada program revitalisasi di 2013 mencapai
Rp260 miliar dengan area cakupan mencapai 2.000 hektar. Sementara itu, pada 2012
anggarannya mencapai Rp225 miliar dan telah menghasilkan sekitar 1.000 hektar di Jawa
barat yang mencakup lima kabupaten, yaitu: Kerawang, Cirebon, Indramayu, Subang dan
Serang.
Masyarakat Akuakultur Indonesia – MAI (2012), menyatakan bahwa langkah
pemerintah untuk melakukan proses revitalisasi tambak di beberapa daerah di Pantura
hingga Jawa Timur harus berstrategi, jangan karena mengejar target penggenjotan jumlah
produksi semata. Pemerintah seharusnya memperhatikan berbagai kemungkinan yang akan
terjadi apabila revitalisasi dilakukan. Jangan hanya karena dikebut jumlah produksi semata
hingga mengabaikan lingkungan. Aspek daya dukung lingkungan di sekitar Pantai Utara
Jawa sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah, jika tidak ingin gagal di tengah jalan.

3
Belum lagi tingkat kepadatan udang yang juga harus diperhatikan. “Maksimum kepadatan
60 ekor per m2 . Sehingga produktivitas bisa mencapai 7-10 ton per panen.
Sementara implementasi program revitalisasi yang dilakukan saat ini, tampaknya
dilakukan “jor-joran” hingga ada tambak dengan kepadatan tanam sekitar 200 ekor per m2.
Belum lagi masalah jadwal yang harus dipercepat secara tidak wajar oleh pemerintah.
Seperti pada pelaksanaan program revitalisasi yang tahun sebelumnya (2012-2013). Proses
pencanangan revitalisasi tambak baru digulirkan semenjak Oktober 2012, sedangkan target
harus bisa dipenuhi di awal 2013 mendatang. Dari sisi jadwal, hal ini tidak mungkin karena
harus dilakukan selama 1,5 bulan.
Padahal seperti udang vaname dipanen paling cepat 4 bulan untuk bisa mencapai
ukuran konsumsi. Beberapa permasalahan tersebut, tampaknya sangat terkait erat dengan
kondisi yang berkembang pada saat itu, dapat saja menyangkut hal-hal yang bersifat
kebijakan tertentu atau kepentingan yang bersifat politis, atau pun hal lainnya. Untuk itu,
perlu dilakukan penelitian/kajian ekonomi revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan masukan
pembuatan kebijakan percepatan revitalisasi industri budiaday udang di Indonesia.

1.2 Tujuan Penelitian


(1) Menelaah dinamika produktivitas budidaya tambak udang di Indonesia selama periode
1989-2013; dan mengkaji peran berbagai kebijakan (termasuk kebijakan revitalisasi
budidaya tambak udang) terhadap dinamika produktivitas tambak udang di Indonesia
selama periode 1989-2013.
(2) Mengukur kinerja revitalisasi usaha budidaya udang (produktivitas) dan menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta penentu keputusan pembudidaya
merevitalisai kegiatan usaha budidaya udang.
(3) Merumuskan rekomendasi kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di
Indonesia.

1.3 Perkiraan Keluaran


Perkiraan keluaran yang diharapkan dapat tercapai dari kegiatan penelitian ini adalah:
(1) Tersedianya data dan informasi mengenai dinamika produktivitas budidaya tambak
udang di Indonesia selama periode 1998-2013; dan peran berbagai kebijakan terhadap
dinamika produktivitas budidaya tambak udang di Indonesia selama periode 1998-2013.
(2) Tersedianya data dan informasi mengenai kinerja revitalisasi usaha budidaya udang
(produktivitas) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta faktor penentu
keputusan pembudidaya merevitalisai kegiatan usaha budidaya udang.

4
(3) Tersedianya 1 (satu) buah rekomendasi kebijakan, 1 (satu) paket data dan informasi,
serta 1 (satu) buah Karya Tulis Ilmiah (KTI) terkait dengan revitalisasi industri udang
di Indonesia.

5
6
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budidaya Perairan (Akuakultur)


Budidaya (Akuakultur) adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik
di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur berasal
dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena
itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk
meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang
dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduction),
menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh
keuntungan (Effendi 2004).
Lebih lanjut menurut Effendi (2004) menjelaskan bahwa berdasarkan salinitas atau
kandungan garam NaCl-nya, perairan di permukaan bumi dibedakan menjadi perairan tawar,
perairan payau, dan perairan laut. Semua perairan tersebut dapat dijadikan sumber air bagi
kegiatan akuakultur. Oleh karena itu, berdasarkan sumber air yang digunakan untuk kegiatan
produksi akuakultur maka dikenal budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air
payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture).
Menurut Crespi dan Coche (2008), pengertian akuakultur air tawar adalah budidaya
organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air tawar, tahap awal siklus
hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau laut. Pengertian
akuakultur air payau adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di
lingkungan air payau, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di
perairan tawar atau laut. Sedangkan pengertian akuakultur air laut adalah budidaya
organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air laut, tahap awal siklus
hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau tawar.
Pengelompokan komoditas akuakultur berdasakan karakteristik morfologi adalah
dengan melihat bentuk dan ciri khas dari tubuh, seperti bersirip, berkarapas, bercangkang,
berduri, atau bersel tunggal. Bentuk dan ciri khas dari tubuh biota akuakultur tersebut sangat
mudah dan jelas untuk dibedakan. Berdasarkan karakteristik morfologi dan biologi, secara
umum komoditas akuakultur dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu ikan, udang,
moluska, ekonodermata, dan alga atau rumput laut. Rincian mengenai pengelompokkan
komoditas akuakultur berdasarkan karakter morfologi dan jenis habitat dapat dilihat pada
Tabel 1.

7
Tabel 1. Pengelompokkan Komoditas Akuakultur Berdasarkan Karakter Morfologi dan Jenis
Habitat

Karakter Morfologi
Habitat Ekono-
Ikan Udang Moluska Alga
dermata
Air Tawar Ikan mas, Udang galah, Kijing - Tanaman Hias
gurami, nila, udang cherax
mujair, patin,
lele, tambakan,
tawes, nilem,
bawal
Air Payau Bandeng, Udang windu, - - -
belanak udang vanamei,
kepiting bakau
Air Laut Kerapu, kakap Lobster Kerang hijau, Teripang, Euchema cottonii,
putih, baronang kerang bulu babi Gracilaria sp.,
mutiara, Chlorella sp.
abalone
Sumber: Effendi (2004)

Tingkat teknologi budidaya dalam akuakultur berbeda-beda. Perbedaan tingkat


teknologi ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas yang dihasilkan oleh
suatu usaha. Berdasarkan tingkat teknologi dan produksi yang dihasilkan, kegiatan
akuakultur dapat dibedakan menjadi akuakultur yang ekstensif atau tradisional, akuakultur
yang semi intensif, akuakultur intensif, dan akuakultur hiper intensif. Pembedaan tersebut
berdasarkan seberapa besar intervensi manusia dalam kegiatan perikanan budidaya, seperti
dalam pemberian pakan atau pembenihan. Semakin intensif suatu usaha perikanan budidaya
maka semakin besar intervensi manusia dalam proses produksinya. Demikian juga produksi
yang dihasilkan per unit luasan yang sama akan semakin besar dengan semakin intensifnya
sebuah unit usaha perikanan. Pengertian dan perbedaan karakteristik masing-masing
kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

8
Tabel 2. Jenis-jenis Akuakultur Berdasar Tingkat Teknologi dan Produksi
Jenis Akuakultur Pengertian Produksi
1. Ekstensif Sistem produksi yang bercirikan: (i) tingkat < 500 kg/ha/tahun
(Tradisional) kontrol yang rendah (contoh terhadap
lingkungan, nutrisi, predator, penyakit); (ii)
biaya awal rendah, level teknologi rendah,
dan level efisiensi rendah (hasil tidak lebih
dari 500 kg/ha/tahun); (iii) ketergantungan
tinggi terhadap cuaca dan kualitas air lokal;
< 500 kg/ha/tahun menggunakan badan-
badan air alami.
2. Semi Intensif Sistem budidaya berkarakteristik produksi 2 2.000- 20.000 kg/ha/tahun
sampai 20 ton/ha/tahun, yang sebagian besar
tergantung makanan alami, didukung oleh
pemupukan dan ditambah pakan buatan,
benih berasal dari pembenihan, penggunaan
pupuk secara reguler, beberapa
menggunakan pergantian air atau aerasi,
biasanya menggunakan pompa atau
gravitasi untuk suplai air, umumnya
memakai kolam yang sudah dimodifikasi.
3. Intensif Sistem budidaya yang bercirikan (i) 20.000- 200.000 kg/ha/tahun
produksi mencapai 200 ton/ha/tahun; (ii)
tingkat kontrol yang tinggi; (iii) biaya awal
yang tinggi, tingkat teknologi tinggi, dan
efisiensi produksi yang tinggi; (iv)
mengarah kepada tidak terpengaruh
terhadap iklim dan kualitas air lokal; (v)
menggunakan sistem budidaya buatan.
4. Hiper Intensif Sistem budidaya dengan karakteristik > 200.000 kg/ha/tahun
produksi rata-rata lebih dari 200
ton/ha/tahun, menggunakan pakan buatan
sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan
makanan organisme yang dibudidayakan,
benih berasal dari hatchery/pembenihan,
tidak menggunakan pupuk, pencegahan
penuh terhadap predator dan pencurian,
terkoordinasi dan terkendali, suplai air
dengan pompa atau memanfaatkan gravitasi,
penggantian air dan aerasi sepenuhnya
Untuk peningkatan kualitas air, dapat
berupa kolam air deras, karamba atau tank.
Sumber: Crespi dan Coche (2008)

Pada lingkungan yang alami, ketika jumlah pertumbuhan ikan dan organisme
makanan alami ikan dalam kesetimbangan, maka tidak diperlukan menyediakan pakan
tambahan. Ketika sistem budidaya dimaksudkan untuk memproduksi lebih banyak lagi ikan,
pemupukan dan pakan tambahan harus diberikan. Dalam sistem ekstensif (tradisional),
produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambah sedikit pupuk organik atau buatan,
sedangkan pada sistem semi intensif produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan
pupuk bersama sejumlah pakan tambahan. Dalam sistem budidaya intensif, produksi ikan
dapat ditingkatkan dengan menambahkan sejumlah besar pakan tambahan (Piska dan Naik,

9
2005). Perbandingan komposisi pakan tambahan, pakan alami dan produksi ikan dalam
sistem ekstensif, semi intensif dan intensif dapat dilihat dalam Gambar 5.

Sumber: (Piska dan Naik 2005)

Gambar 1. Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan


Keterangan: SF : Supplementary feed/Pakan tambahan, NF : Natural food/Pakan alami dan FY : Fish
Yield/Produksi ikan

Secara umum, pada budidaya tambak udang tradisional (extensive culture), petakan
tambak pada umumnya mempunyai bentuk dan ukuran yang tidak teratur. Luasnya antara 3
hektar sampai 10 hektar per petak. Padat penebaran benur masih relatif rendah, yaitu
berkisar 5.000 sampai 10.000 ekor per hektar dan makanan udang hanya tergantung dari
pakan alami. Sedangkan pada sistem budidaya semi-intensif (semi-intensive culture)
merupakan perbaikan atau peningkatan dari sistem budidaya tradisional, yeitu dengan
memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam
pengelolaan airnya. Bentuk petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 sampai
3 hektar per petakan. Padat penebaran benur antara 25.000 sampai 50.000 ekor per hektar
dan menggunakan pakan tambahan. Kemudian pada sistem budidaya intensif yang
merupakan perbaikan atau peningkatan dari sistem semi intensif dengan menggunakan
pakan formula lengkap, pompa dan airasi, ukuran petakan teratur dengan luasan 0,1 – 1 Ha
dan padat penebaran antara 100.000 sampai 600.000 ekor per hektar. Batasan ketiga sistem
budidaya tambak udang tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Batasan Sistem Budidaya Udang di Tambak


Tradisional Semi-Intensif Intensif
Pakan Alami Alami + pakan tambahan Pakan formula lengkap
Pengelolaan air Pasang-surut Pasang surut + pompa Pompa + aerasi
Padat 1.000 – 10.000 10.000 – 50.000 100.000 – 600.000
penebaran ekor/Ha/musim ekor/Ha/muism ekor/Ha/musim
Ukuran petak 3 – 20 Ha 1 – 5 Ha 0,1 – 1 Ha
tambak
Produksi 100 – 500 kg/Ha/Tahun 500 – 1.000 kg/Ha/tahun 2.000 – 20.000 kg/Ha/tahun
Sumber: Subyakto (2005)

10
Kegiatan akuakultur juga dapat dibedakan dari orientasi usahanya. Ada yang
terkatagori akuakultur subsisten dan ada akuakultur komersial. Menurut Crespi dan Coche
(2008), akuakultur subsisten adalah sistem akuakultur yang dioperasikan skala mikro atau
menengah, biasanya inputnya rendah dan bersifat ekstensif sampai semi intensif, hasil
produksi umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual. Adapun akuakultur
komersial adalah budidaya organisme aquatik dengan tujuan memaksimumkan profit;
dilakukan oleh produsen skala kecil sampai besar dimana mereka berpartisipasi aktif di
pasar, membeli input (termasuk modal dan tenaga kerja) dan terlibat dalam penjualan produk
yang mereka hasilkan. Menurut Piska dan Naik (2005), sistem perikanan budidaya air tawar
dalam penelitian ini ada tiga jenis. Pertama, perikanan budidaya yang menggunakan kolam
sebagai media budidaya. Kedua, perikanan budidaya yang menggunakan sawah sebagai
media budidaya. Ketiga, perikanan budidaya yang menggunakan Kolam Jaring Apung
(KJA) sebagai media budidaya.
Lebih lanjuut Piska dan Naik (2005) menjelaskan bahwa dalam akuakultur komersial,
pengeluaran untuk pembelian pakan buatan menyerap 50% biaya produksi. Input faktor
dalam kegiatan budidaya ikan komersial dapat dikelompokkan ke dalam input tangible dan
input intangible. Input tangible dan intangible berperan dalam menentukan tingkat
produktivitas perikanan budidaya air tawar. Input perikanan budidaya air tawar yang utama
dan bersifat tangible adalah benih, pakan, tenaga kerja dan air sebagai media tempat
budidaya. Faktor tangible tersebut berpengaruh baik secara tersendiri atau gabungan dari
berbagai faktor intangible tersebut di atas. Intensitas dan karakteristik penggunaan input
dalam ketiga jenis sistem budidaya berbeda-beda. Sistem budidaya KJA merupakan sistem
budidaya yang paling tinggi intensitasnya dalam penggunaan input benih, pakan dan tenaga
kerja. Tingkat intensitas berikutnya adalah sistem budidaya kolam, sedangkan sawah
merupakan sistem budidaya yang paling rendah tingkat intensitas penggunaan inputnya.
Perbedaan intensitas dan karakteristik penggunaan input menjadi salah satu sebab perbedaan
tingkat produktivitas.
Faktor-faktor intangible yang mempengaruhi produktivitas perikanan budidaya
diantaranya adalah kualitas air, kualitas pakan, kualitas benih dan kualitas sumberdaya
manusia, baik secara terpisah maupun gabungan dari berbagai faktor intangible atau
gabungan dengan faktor tangible-nya. Kualitas lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh
sumber air yang digunakan untuk budidaya ikan. Kualitas benih dicerminkan dalam
tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan
konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Secara praktis kualitas benih
merupakan rasio dari produksi yang dihasilkan terhadap jumlah benih yang ditanam.

11
Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah daging ikan yang dihasilkan terhadap pakan yang
diberikan.

2.2 Kebijakan Pemerintah Terkait Peningkatan Produktivitas Tambak Udang


Secara umum, industri udang diuntungkan oleh imolementasi berbagai diuntungkan
oleh implementasi berbagai kebijakan pemerintah (Diop et al., 1999). Di Indonesia, udang
merupakan salah satu komoditas Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(RP2K), dan Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan produktivitas budidaya
tambak udang (Pusdatin - KKP., 2005).
Program pemerintah terkait peningkatan produktivitas antara lain Intensifikasi
Tambak (Intam) yang diluncurkan tahun 1984/1985. Paket teknologi yang dianjurkan
adalah: U1 (teknologi sederhana), U2 (teknologi madya), dan U3 (teknologi maju). Melalui
Program tersebut, luas area budidaya udang di tambak yang pada tahun 1984/1985 hanya 20
Ha di tiga propinsi, maka pada tahun 1998/1999 telah berkembang menjadi 95 311 Ha di 14
propinsi (Hasibuan, 2003). Peserta dibentuk kelompok, terdapat tambak percontohan,
fasilitas kredit, pembangunan dan pemeliharan saluran irigasi, serta dibentuknya
kelembagaan pendukung seperti Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
Program Intam tersebut selanjutnya berubah nama menjadi Intensifikasi
Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) pada tahun 2002 yang menitikberatkan pada teknologi
anjuran. Pada tahun 2005 berubah lagi menjadi Program Peningkatan Produksi Perikanan
Budidaya untuk Ekspor (Propekan). Termasuk didalamnya berupa kegiatan Pengembangan
Kawasan, Pembangunan Broodstock Center (calon induk udang vaname di Situbondo dan
udang windu di Jepara), Bantuan Langsung Penguatan Modal, dan Bantuan Selisih Harga
Benih Ikan (BSHBI) kepada pembudidaya ikan skala kecil. Besarnya bantuan senilai
Rp24.97 milyar pada tahun 2006, Rp23.45 milyar tahun 2007, tahun 2008 sebesar Rp35.3
milyar, dan tahun 2009 Rp60 milyar untuk komoditas Udang, Nila, Patin, Kakap Putih, Mas,
Lele, Gurame, Bandeng, dan Rumput Laut (KKP, 2009). Selanjutnya terkait infrastruktur,
telah dilakukan juga kegiatan pembangunan dan rehabilitasi irigasi saluran tambak guna
mendukung sarana dan prasarana tambak. Alokasi dana yang relatif besar terjadi pada
kegiatan pembangunan/rehabilitasi tambak dengan sumber dana berasal dari SPL-JBIC pada
tahun 1998-2000.
Benur unggul hanya dapat diproduksi dari induk yang secara genetik unggul,
disamping pengaruh kualitas air dan pakan juga penting dalam pemeliharaannya. Kebijakan
terkait penggunaan benur unggul antara lain 31 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor Kep.41/Men/2001 tanggal 12 Juli 2001 tentang Pelepasan Varietas Udang Vaname
Sebagai Varietas Unggul yang Tahan Terhadap WSSV dengan produksi 9-10 ton/Ha.

12
Selanjutnya, Kep.15/Men/2002 tanggal 12 Juli 2001, tentang Pelepasan Varietas udang
Rostris sebagai varietas unggul yang tahan terhadap TSV dan WSV, dengan produksi 7.5-
11.7 ton/Ha dan mempunyai FCR 1.28-1.65.
Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Rekayasa Breeding Programe
udang vaname di BBAP Situbondo dilaksanakan berdasarkan SK Dirjen Perikanan
Budidaya No.6375/DPB.1/ PB.110/2003, tanggal 23 Desember 2003 tentang Penetapan
Pusat Pengembangan Induk dan Bibit ikan (Udang, Nila, Rumput Laut, dan Kerapu). Tujuan
kegiatan Rekayasa Breeding Programe yaitu memperoleh induk unggul, mempertahankan,
dan meningkatkan kualitas induk, mengurangi ketergantungan dari negara lain, dan untuk
menekan biaya operasional dalam budidaya udang.
Program lainnya yaitu Intensifikasi Pembudidayaan Ikan (Inbudkan) sesuai Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.09/Men/2002 tanggal 26 Februari 2002.
Inbudkan menitikberatkan pada gerakan bersama dari berbagai pihak untuk mengembangkan
usaha pembudidayaan ikan, yang dilaksanakan atas dasar kerjasama antar anggota kelompok
pembudidaya ikan sebagai peserta program di dalam kawasan, yang menerapkan teknologi
yang dianjurkan untuk meningkatkan mutu produksi dan produktivitas usaha
pembudidayaan ikan secara efisien dan berkelanjutan. Nomor KEP.14/ MEN/2007 tentang
Pembentukan Satgas Revitalisasi Perikanan Budidaya
Berdasarkan rencana pada RP2K, pada tahun 2009 produksi udang ditargetkan 540
ribu ton dan lapangan pekerjaan ditargetkan tersedia bagi 985 ribu orang. Luas lahan yang
dibutuhkan yaitu 42 800 Ha untuk udang windu dan 113 500 Ha untuk udang vaname. Guna
mencapai target tersebut, kebutuhan dana pemerintah periode 2006-2009 sekitar satu trilyun
rupiah. Dana tersebut dibutuhkan untuk rehabilitasi saluran irigasi, optimasi hatchery,
laboratorium, penyuluhan, pengembangan luas area budidaya, tenaga kerja pendamping
teknologi, dan stimulus modal kerja. Pihak swasta diharapkan menyumbang dana sebesar
Rp4.19 trilyun (DKP, 2005).

2.3 Konsep Produktivitas Faktor Total


Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan produktivitas total faktor
produksi. Produktivitas faktor produksi parsial adalah produksi rata-rata dari suatu faktor
produksi yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor
produksi (Maulana, 2004).
Konsep Produktivitas Faktor Total (Total Factor Productivity - TFP) diperkenalkan
pertama kali oleh Jan Tinberger pada tahun 1942. Pertumbuhan Total Factor Productivity
menggambarkan bagaimana TFP mengalami perubahan dari satu waktu ke waktu

13
berikutnya. Menurut Cordero et al. (1999), perubahan TFP yang positif dan semakin besar
menunjukkan terjadi perubahan produktivitas yang lebih baik dalam periode tersebut, dan
sebaliknya. Namun, sebagai suatu ukuran produktivitas, konsep ini baru dapat dijelaskan
secara eksplisit oleh Solow pada tahun 1967, dengan menggunakan kerangka produksi
Cobb-Douglas (Nanga, 2007). Solow menjelaskan bahwa terjadinya selisih residual antara
pertumbuhan output riil dengan tingkat pertumbuhan input tenaga kerja dan modal yang
ditimbang dengan ukuran konvensional. Penelitian-penelitian selanjutnya dilakukan oleh
banyak ahli ekonomi dengan tujuan memperkecil selisih residual itu atau menjelaskan
fenomena tersebut secara ekonomi.
Konsep selisih residual inilah yang menjadi konsep pertumbuhan TFP. Ada beberapa
definisi TFP yang diterima secara umum, antara lain: sebagai rata-rata dari agregat input;
ukuran tingkat perubahan teknologi produksi, dan suatu indeks efektivitas dari suatu input
dalam menghasilkan suatu output sebelum dan sesudah terjadi perubahan teknologi
(Suparyati, 1999). Sedangkan menurut Ehui dan Jabbar (2002), TFP didefinisikan sebagai
rasio agregat output terhadap agregat input yang digunakan dalam proses produksi.
Lakitan (2010) menyatakan bahwa pada prinsipnya, TFP merupakan variabel untuk
mengukur dampak terhadap keluaran (output) total yang tidak disebabkan oleh tangible
inputs, yakni capital input dan labor input yang terpakai dalam proses produksi. TFP
menaksir dampak dari intangible inputs, termasuk kontribusi teknologi walaupun tidak
terbatas hanya oleh teknologi.
Selanjutnya Suparyati (1999), menyatakan bahwa bila pertumbuhan TFP sama dengan
nol, maka tingkat pertumbuhan ekonomi hanya tergantung pada tingkat penggunaan modal
dan tenaga kerja. Bila pertumbuhan TFP lebih kecil dari nol maka terjadi kondisi The Law of
Diminishing Return, yang berarti bahwa pertambahan penggunaan input justru menurunkan
tingkat output. Jika kondisi ini terjadi, maka penambahan input walaupun mungkin saja
secara teknis menghasilkan output, namun secara ekonomis merugikan.
Produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan
teknologi. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih
banyak dengan menggunakan input yang sama, atau dapat juga output sama dengan
penggunaan input yang lebih sedikit. Squires (1988) menyajikan kerangka dasar untuk
mengukur perubahan produktivitas sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini. Fungsi
produksi untuk kasus satu output dengan dua input adalah sebagai berikut:
Y t   At  f K t Lt  ............................................................................................ (1)
dimana Y(t) adalah output, K(t) menunjukkan penggunaan kapital pada waktu t, L(t)
penggunaan tenaga kerja pada waktu t dan A(t) menggambarkan parameter efisiensi yang
memungkinkan pergeseran fungsi produksi.

14
Sumber: Squires (1988)
Gambar 2. Fungsi Produksi yang Menggambarkan TFP.

Gambar 2 menyajikan dua tingkat fungsi produksi sesuai persamaan di atas dimana
Y1(t) > Y(t). Sumbu vertikal menggambarkan output dimana Y” > Y’, sedangkan sumbu
horizontal menggambarkan indeks dari input agregat dimana X” > X’. Jika teknologi tetap,
tetapi input lebih banyak digunakan, maka produksi bergerak dari B ke C. Jika terdapat
inovasi teknologi, dengan menggunakan jumlah input yang sama maka output akan bergeser
dari B ke D dan output meningkat dari Y ke Y’. Pada analisis produktivitas diperlukan data
jumlah dan harga, baik output maupun input. Perhitungannya dilakukan dengan cara
menurunkannya dari Persamaan (1), sebagai berikut:
 ln Y t   Y t 1 / Y 
  ln Y t  /  ln K t  / t  ln K t  / t 

  ln Y t  /  ln Lt  / t  ln Lt  / t 


  ln Y t  /  ln At  / t  ln At  / t  ................................................. (2)

dimana:  ln Y t  /  ln At  / t  ln At  / t  bernilai unity, yaitu teknologi yang


merupakan parameter penggeser output (Y) seperti digambarkan pada Gambar 2;
 ln Y t  /  ln K t  / t  ln K t  / t  merupakan elastisitas kapital terhadap output; dan
 ln Y t  /  ln Lt  / t  ln Lt  / t  merupakan elastisitas tenaga kerja terhadap output.
Perubahan tersebut diinterpretasikan sebagai laju pertumbuhan output, sehingga menjadi:
Y * Y  E K K * K  E L L* L  A* / A ...................................................... (3)

15
tanda bintang menunjukkan penurunan terhadap waktu. Dengan demikian, pertumbuhan
output merupakan pertumbuhan dari kapital, tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Dengan
asumsi bahwa faktor produksi dibayar sesuai dengan nilai marginal produknya maka:

Y t  / K t   P K t  / Pt ; dan Y t  / Lt   P L t  / Pt  .............................. (4)


Dimana P(t), PK(t), PL(t) merupakan harga output, harga sewa kapital, dan upah tenaga kerja ,
maka dengan mensubstitusikan Persamaan (4) ke Persamaan (3) diperoleh:
Y * Y  S K K * K  S L L* L  A* / A ......................................................... (5)
atau,
A* / A  Y * Y  S K K * K  S L L* / L .......................................................... (6)
dengan demikian, produktivitas sebagai kemajuan teknologi dan perubahan sumberdaya
melimpah merupakan residu dari pertumbuhan output dikurangi pertumbuhan input.
Pengukuran produktivitas pada awalnya dilakukan secara parsial yaitu produksi rata-
rata dari suatu produk yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan
suatu faktor produksi. Konsep ini mempunyai kelemahan yaitu tidak mengukur kontribusi
produktivitas seluruh faktor produksi yang terlibat dalam satu proses produksi. Selain itu,
penggunaan produktivitas tenaga kerja akan berguna jika tenaga kerja merupakan faktor
dominan. Kelemahan penggunaan produktivitas parsial tersebut di atasi jika menggunakan
produktivitas total. Dengan demikian TFP mengukur produktivitas secara lebih
komprehensif.
Menurut Cordero et al. (1999) TFP adalah ukuran kemampuan seluruh jenis faktor
produksi sebagai satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output
keseluruhan. TFP didefinisikan juga sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total
faktor produksi (input). Sedangkan menurut Otsuka (1988), mendefinisikan TFP sebagai
ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai satu kesatuan faktor produksi
agregat dalam menghasilkan output secara keseluruhan (output agregat). Dalam prakteknya,
TFP biasanya diukur dalam angka indeks sehingga langsung dapat mencerminkan tingkat
relatif antar waktu (inter temporal), dan menurut Otsuka (1988) juga dapat diukur sebagai
rasio indeks hasil produksi dengan indeks total input produksi.
Perhitungan dalam bentuk angka indeks, dapat mencerminkan tingkat relatif antar
waktu. Konsep produktivitas antar waktu sering digunakan untuk melihat perubahan teknis
dalam penggunaan faktor produksi dan teknologi. Penggunaan konsep TFP akan menjawab
sumber-sumber pertumbuhan dari teknologi. Salah satu keterbatasan penggunaan angka
indeks yaitu bahwa perubahan harga dapat menyebabkan pengukuran yang bias dari TFP
karena pelaku usaha akan mengubah komposisi input akibat perubahan harga. Berbagai
pendekatan pengukuran produktivitas dapat dilakukan seperti disajikan Gambar 3.

16
Pengukuran Produktivitas

Pendektan Non Frontier Pendektan Frontier

Non Parametrik Parametrik Non Parametrik Parametrik


(Angka Indeks) (Angka Indeks)

 Growth  Proggramming Malmquist Stocastic and


Accounting  Econometrics Productivity Index deterministic
 Divisia Index Model
 Exact Index
 Tornqvist Index

Sumber: Grosskopf (1993) dalam Kiani et al.(2008)


Gambar 3. Berbagai Alternatif Metode untuk Pengukuran Produktivitas

Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat dibedakan


menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan produktivitas total faktor
produksi. Produktivitas faktor produksi parsial adalah produksi rata-rata dari suatu faktor
produksi yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor
produksi. Apabila faktor produksi lebih dari satu, maka produktivitas parsial suatu faktor
produksi akan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi lainnya. Oleh karena
itu, konsep ini tidak banyak manfaatnya jika faktor produksi lebih dari satu jenis. Jika faktor
produksi yang digunakan lebih dari satu jenis, maka konsep produktivitas yang lebih banyak
digunakan adalah produktivitas total faktor produksi (Maulana, 2004).
Menurut Ehui dan Jabbar (2002), secara umum terdapat dua basis pendekatan untuk
mengukur produktivitas. Pertama, pendekatan growth accounting yang berbasis pada indeks
number. Kedua, pendekatan parametrik, yang berbasis pada estimasi ekonometrik terhadap
produksi, biaya atau fungsi keuntungan. Growth accounting lebih praktis dibandingkan
dengan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Akan tetapi pendekatan growth accounting
hanya dapat menghitung efisiensi teknis, menggunakan asumsi Constant Return to Scale
(CRS), tidak dapat menghitung efisiensi harga, dan tidak dapat menghitung elastisitas
permintaan input maupun penawaran. Keterbatasan tersebut dapat diatasi apabila
menggunakan pendekatan ekonometrika.
Pada penelitian ini digunakan pendekatan indeks number dalam perhitungan TFP.
Menurut Ehui dan Jabbar (2002) terdapat empat alasan mengapa penggunaan indeks number

17
dipilih. Pertama, dengan pendekatan indeks number, data rinci dengan beberapa kategori
input dan output dapat digunakan meski dilakukan pada waktu yang berbeda. Tidak ada
masalah dalam derajat bebas atau reliabilitas statistik ketika bekerja dengan jumlah sampel
yang sedikit selama sampel tersebut representatif. Kedua, indeks dapat dibangun untuk
komponen-komponen individu terhadap output usaha total, sehingga menghindari asumsi
keterpisahan input-output. Ketiga, dalam kondisi teknis dan pasar tertentu, pendekatan
ekonometrik dan indeks hasilnya setara. Keempat, pendekatan TFP berbasis indeks
memungkinkan agregasi terhadap output dan input dalam kategori yang berbeda.
Total Factor Productivity (TFP) adalah rasio total output (diukur dalam bentuk
indeks) terhadap total input (juga diukur dalam bentuk indeks). Jika rasio total output
terhadap total input meningkat, maka rasio tersebut dapat diinterpretasikan untuk mengukur
bahwa output yang lebih dapat diperoleh untuk suatu level input yang diberikan, atau TFP,
menangkap pertumbuhan atau perubahan dalam output tidak dicatat dengan pertumbuhan
atau perubahan dalam input produksi.
Perbedaan TFP dari waktu ke waktu atau antar berbagai jenis tipe budidaya dapat
dihasilkan dari beberepa faktor seperti:
(1) Perbedaan dalam efisiensi (produksi kurang dari maksimum output yang dapat
dihasilkan dari input yang diberikan)
(2) Variasi dalam skala atau level produksi dari waktu ke waktu, sehingga output per unit
input bervariasi sesuai skala produksi
(3) Perubahan teknis. Perubahan teknis itu sendiri dapat dihasilkan dari peningkatan
kualitas dalam input atau peningkatan kualitas dalam proses produksi.
Total Factor Productivity (TFP) tidak dijelaskan oleh jumlah input yang digunakan
dalam produksi. Level TFP ditentukan oleh bagaimana efisiensi dan intensifikasi input
digunakan dalam produksi (Comin, 2006). TFP memainkan peranan penting dalam fluktuasi
ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan perbedaan pendapatan perkapita diberbagai negara.
TFP sangat kuat berkorelasi dengan output dan jumlah jam kerja dalam frekuensi siklus
bisnis. Dalam model siklus bisnis standar, guncangan-guncangan terhadap TFP didorong
oleh suplai tenaga kerja dan investasi, yang mendorong fluktuasi dalam output dan
produktivitas tenaga kerja.
Cara perhitungan indeks TFP dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara
langsung dan secara tidak langsung. Pendekatan secara langsung, disebut pula pendekatan
akuntansi, dilakukan dengan menghitung jumlah indeks produksi agregat dan faktor
produksi agregat terlebih dahulu, kemudian dihitung produktivitas total faktor produksinya.
Pendekatan secara tidak langsung, disebut pula pendekatan ekonometrik atau pendekatan

18
faktorial, dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang laju perubahan produktivitas total
faktor produksi sendiri (Maulana, 2004).
Salah satu cara penghitungan TFP menggunakan metode akuntansi adalah Indeks
Tornqvist-Theil. Indeks Tornqvist-Theil tersebut telah meminimalisir pengaruh
perubahan harga (Fuglie, 2004). Penghitungan TFP dengan menggunakan indeks
Tornqvist-Theil (Caves et al., 1982 dalam Maulana, 2004), yang digambarkan sebagai
perubahan proporsional pada TFP selama periode t dan t-1, adalah sebagai berikut:
 TFPt   Q   X 
ln    ln  t   ln  t  .................................................................. (7)
 TFPt 1   Qt 1   X t 1 
dengan indeks output:
 Q 
ln  t   1  S t  S t 1 ln Q jt  ln Q jt 1  .................................................... (8)
2 j
 Qt 1 
dan indeks input:
 X 
ln  t   1  S t  S t 1 ln X jt  ln X jt 1  ................................................... (9)
2 j
 X t 1 
dimana:
Qt = jumlah output tahun ke t
Qt-1 = jumlah output tahun ke t-1
Qjt = jumlah output j tahun ke t
Qjt-1 = jumlah output j tahun ke t-1
Xit = jumlah input i tahun ke t
Xt-1 = jumlah input i tahun ke t-1
Sjt = pangsa dari output j tahun ke t
Sjt-1 = pangsa dari output j tahun ke t-1
Sit = pangsa dari input i tahun ke t
Sit-1 = pangsa dari input i tahun ke t-1
TFPt = faktor produktivitas total tahun ke t
TFPt-1 = faktor produktivitas total tahun ke t-1

Seperti produktivitas parsial, Deny dan Fuse (1983) dalam Martinez-Cordero et al.,
(1999) mengembangkan metodologi untuk penentuan angka indeks intertemporal (antar
waktu) dan interspatial (antar tempat) atau gabungan keduanya. Hasil penghitungan TFP
tersebut akan sama untuk fungsi produksi translog. Hasilnya akan tidak konsisten untuk
perbandingan multilateral karena permasalahan transitivitas, maka Tornqvist Indek untuk
antar wilayah dihitung tersendiri, seperti dilakukan oleh Capalbo dan Antle (1986) dalam
Martinez-Cordero et al., (1999) sebagai berikut:
TI avg  1 2  mlog Qmi  log Qmavg S mi  S mavg 
-1 2  k log X ki  log X kavg S ki  S kavg  ............................................ (10)
dimana:

19
TI avg = TFP tiap petak tambak
Qmi = jumlah output dari species m dari tambak i
Qmavg = rata-rata output species m untuk seluruh tambak yang diuji
Smi = proporsi pendapatan dari tambak i
Smavg = rata-rata proporsi seluruh tambak
Xki = jumlah dari input k dari tambak i
Xkavg = rata-rata input k
Ski = proporsi input tambak i
Skavg = rata-rata proporsi input seluruh tambak

2.4 Hasil Penelitian Terdahulu


Berbagai penelitian mengenai Total Factor Productivity telah dilakukan di berbagai
bidang, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Tjahyono dan Anugerah (2006) secara
umum telah menghitung TFP Indonesia. Hasil perhitungan dengan metode growth
accounting menunjukkan pertumbuhan TFP selama periode 1985-2004 mencapai 1.35 %.
Kajian Avila dan Evenson (2004) menunjuikan bahwa TFP Indonesia untuk
tanaman pangan menurun dari 3,95% (periode 1961-1980) menjadi -0,78% (periode
1981-2001) dan untuk peternakan menurun dari 3,08% (1961-80) menjadi 2,41% (1981-
2001). Bandingkan dengan Vietnam yang justru meningkat pada periode yang sama dari
-0,52% menjadi 3,94% untuk tanaman pangan dan 0,22% menjadi 0,76% untuk
peternakan. Menurut Lakitan (2006), jika nilai TFP negatif berarti peningkatan input tak
sebanding dengan peningkatan output, selain kontribusi teknologi tidak terdeteksi juga
proses produksi berlangsung secara kurang efisien.
Khusus bidang pertanian, penelitian Evenson (2009) menemukan hubungan antara
rata-rata jangka panjang pertumbuhan TFP dengan investasi kapital teknologi dari 87
negara-negara berkembang selama dua periode waktu. Pengukuran terhadap kapital
teknologi, dapat dibedakan antara kapasitas riset dan kapasitas penyuluhan teknologi dan
pendidikan tenaga kerja. Hasil penghitungan ekonometrika memperlihatkan bahwa tingkat
peningkatan pertumbuhan TFP pertanian berkorelasi dengan peningkatan kedua bentuk
kapital teknologi. Sumber-sumber pertumbuhan produktivitas dalam bidang pertanian
menurut Yu (2005), didukung oleh faktor ketersediaan dan kualitas sumberdaya manusia,
ketersediaan dan kualitas sumberdaya alam, riset dan pengembangan, infrastruktur,
kelembagaan, dan stabilitas.
Menurut Lakitan (2006), jika nilai TFP negatif berarti peningkatan input tak
sebanding dengan peningkatan output, selain kontribusi teknologi tidak terdeteksi juga
proses produksi berlangsung secara kurang efisien. Penelitian mengenai TFP dalam
budidaya ikan jenis carp di beberapa negara Asia telah dilakukan oleh FAO untuk rentang

20
waktu 1998-1999 dengan menggunakan metode Tornquist Theil Index. Hasil penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Total Factor Productivity (TFP) dalam Budidaya Polikultur Ikan Jenis Carp Tahun
1998-1999

Indeks TFP Bangladesh China India Vietnam


Indeks TFP
berbasis Nilai
Produksi:
 Indeks Biaya 0,63 0,67 0,76 0,28
 Indeks Produksi 1,60 1,50 1,31 3,60

Indeks TFP
berbasis Jumlah
Produksi:
 Indeks Biaya 0,53 0,93 0,82 0,29
 Indeks Produksi 1,88 1,08 1,23 3,43

Sumber: FAO (2001)

Penelitian mengenai TFP di bidang perikanan terutama di dalam negeri masih sangat
jarang dilakukan. Tahun 1999, Cordero et al. meneliti TFP beberapa jenis sistem budidaya
di perairan payau ekstensif di tiga kecamatan di Sulawesi. Hasil penelitian mengenai besaran
nilai TFP di lokasi yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Indeks TFP Interspasial Budidaya Ekstensif Udang pada Tiga Kecamatan, di
Sulawesi Menggunakan Tornqvish Theil Index, 1999

Lokasi Jumlah Pembudidaya TFP Rata-rata


Luwu 30 1,6670
Kwandang 10 1,4423
Lariang 15 1,1305
Sumber: Cordero et al. (1999)

Sementara itu, hasil penelitian Cordero et al. (1999) menunjukkan bahwa besaran
nilai TFP berdasarkan sistem budidayanya dapat dilihat pada Tabel 6.

21
Tabel 6. Indeks TFP Interspasial Indeks pada Budidaya Ekstensif Udang Berdasarkan
Sistem Budidaya dari Tiga Kecamatan, di Sulawesi Menggunakan Tornqvish
Theil Index, 1999

Sistem Budidaya TFP Rata-rata


Monokultur 1,2308
Polikultur dengan Rumput Laut 3,2664
G+M 3,3213
G+M+S 4,4157
G+M+S+C 2,4927
Polikultur tanpa Rumput Laut 1,3945
S+M 1,2821
C+M 3,5660
S+C 1,1330
S+C+M 1,2133
Sumber: Cordero et al. (1999)
Keterangan: S = udang; G = rumput laut; M = bandeng; C = kepiting;

Penelitian terbaru mengenai TFP dilakukan oleh Juarno (2011) terhadap beberapa
tingkat teknologi dalam budidaya udang air payau (tambak) di beberapa tempat di Indonesia.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hasil perhitungan Total Factor Productivity (TFP)
menggunakan angka indeks Tornqvist Theil untuk periode 1989-2008 menunjukkan bahwa
pertumbuhan produktivitas tambak mengalami stagnasi. Pertumbuhan output berupa udang
windu, udang putih, dan bandeng dalam kurun waktu tersebut lebih disebabkan pertumbuhan
faktor produksi antara lain benur, obat-obatan, pakan, dan energi. Faktor yang berpengaruh
pada aspek perdagangan antara lain bahwa Indonesia belum sepenuhnya memenuhi
pemenuhan akan persyaratan mutu dari negara importir.
Kemudian hasil konfirmasi pada tingkat lapang dari penelitian yang dilakukan Juarno
(2011) menunjukkan bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
produktivitas (TFP). Penggunaan benur bersertifikat, intensifikasi, tingkat pendidikan, dan
lokasi budidaya udang di Provinsi Jawa Timur dibandingkan di luar Jawa Timur berkorelasi
positif terhadap TFP, sedangkan sistem kerjasama dan luas area berpengaruh negatif.
Meskipun intensifikasi berkorelasi positif terhadap TFP, akan tetapi penerapannya perlu
dipertimbangkan karena intensifikasi berisiko tinggi terhadap agroekologis. Kecenderungan
terjadinya kekurangan bahan baku untuk Unit Pengolah Ikan mengindikasikan pentingnya
peningkatan produksi udang yang memenuhi persyaratan ekspor baik dari ukuran, species,
serta persyaratan mutu dan keamanan produk hasil perikanan. Di antara rantai pasokan,
pedagang pengumpul merupakan titik rawan dalam upaya mempertahankan mutu karena
masih kurangnya pembinaan dan pengawasan.

22
23
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikian


Sub sektor perikanan budidaya saat ini telah menjadi barometer utama alam
menopang terwujudnya ketahanan pangan nasional, khususnya dari protein ikani. Isu
ketahanan pangan saat ini telah menjadi isu strategis bukan hanya pada tataran nasional tapi
telah menjadi isu global seiring dari semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dunia yang
akan memicu ketergantungan terhadap kebutuhan pangdan dan gizi yang aman dikonsumsi.
Khusus untuk komoditas udang Indonesia, perannya tidak hanya terbatas pada
dukungannnya terhadap ketahanan pangan, namun juga perannya sebagai komoditas
penghasil devisa sangat penting bagi Indonesia, khususnya berkaitan dengan beberapa nilai
strategis yang dimilikinya, seperti: potensi perikanan budidaya tambak udang yang sangat
besar, penguasaan teknologi yang tinggi, kontribusinya terhadap perekonomian nasional
(pertumbuhan ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, penyerapan tenaga kerja), peran
budidaya tambak udang pada tataran pemasaran/perdagangan di tingkat regional ASEAN
dan global.
Dalam dinamikanya, peran industri budidaya udang di Indonesia, pernah mengalami
masa-masa kejayaannya, khususnya yang pada udang windunya yang memiliki pangsa pasar
terbesar di dunia sehingga menjadinya Indonesia sebagai pemimpin pasar (market leader),
namun kemudian seiring dengan meningkatkan tekanan akibat mewabahnya penyakit udang
khususnya white spot telah menjadikan industri udang Indonesia memasuki era kejatuhannya.
Menyikapi kejatuhan peran udang windu dari hasil budidaya tambak udang ini, pemerintah
mulai menggalakkan program revitalisasi industri budidaya udang baik mencakup aspek
teknis maupun non teknis, seperti terkait dengan masalah perbenihan, lahan tambak,
infrastruktur, kelembagaan dan pasar.
Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, pada awalnya digulirkan
dengan melalui program besar yang menjadi payungnya, yaitu “Revitalisasi Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada tanggal11
Juni 2005, pada pada tahap awal telah diimplementasikan pada tahun 2005 – 2009; dan
kemudian program ini dilanjutkan dengan diintegrasikan dalam Program Industrialisasi
Kelautan dan Perikanan, yang mulai dilaksanakan pada tahun 2012 dan terus berlangsung
hingga saat ini.
Program revitalisasi industri budidaya udang tersebut masih perlu terus ditingkatkan
kinerjanya, terutama karena program ini masih banyak menghadapi berbagai kendala dan

24
hambatan di lapangan, baik yang menyangkut aspek teknis maupun non teknis. Dari aspek
teknis, program revitalisasi tersebut diduga masih menghadapi hambatan, seperti
menyangkut: (1) Masalah perbenihan (penyediaan dan teknologi); (2) Lahan pertambakan
(produktivitas, dan lahan idle); dan (3) Kualitas dan kuantitas Infrastruktur. Sementara dari
aspek non teknis (aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan serta pasar) diantaranya
menyangkut: (1) Kualitas SDM dan kemampuan manajerial yang masih rendah yang dapat
mempengaruhi produktivitas aspek teknis operasional, kelembagaan, dan pengelolaan, (2)
keterbatasan akses dalam perolehan input teknologi dan modal usaha yang dapat
mempengaruhi produktivitas usaha, dan (3) Rendahnya aspek pengelolaan data dan
pengawasan. Di samping kendala, revitalisasi budidaya udang di Indonesia juga diduga
menghadapi hambatan, seperti: (1) Banyaknya tekanan konflik kepentingan terutama dari
sektor non perikanan, terutama sektor industri/manufaktur, dan perumahan; (2) Tingginya
harga input produksi (pakan); (3) Implementasi kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang
kurang tepat sasaran, dan (4) Rendahnya investasi; dan (5) Regulasi permodalan yang tidak
berpihak.
Data dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di
Indonesia dan faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan
keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, dapat sangat berguna dalam
melakukan perumusan rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi
industri budidaya udang di Indonesia. Melalui rekomendasi kebijakan, strategi dan rencana
aksi tersebut, diharapkan implementasi program revitalisasi budidaya udang ke depan akan
berjalan lebih efektif dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan.
Proses penelitian revitalisasi industri budidaya udang berkaitan dan perolehan data
dan informasi mengenai dinamika ekonomi dari kesejarahan per-udang-an di Indonesia dan
faktor-faktor yang menjadi kendala dan hambatan dalam menentukan keberhasilan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, serta perumusan rekomendasi kebijakan,
strategi dan rencana aksi percepatan revitalisi industri budidaya udang di Indonesia, secara
skematis tertera pada kerangka pemikiran penelitian revitalisasi industri budidaya udang,
seperti tertera pada Gambar 4.

25
Dinamika Ekonomi
Per-Udang-an Indonesia

Program Revitalisasi
Industri Budidaya Udang:

- Penataan Ruang yang Seimbang


- Penerapan Teknologi
- Dukungan Permodalan
- Dukungan Sarana dan Prasaran

Tujuan:
Mendukung Ketahanan Pangan Nasional dan Global
Meningkatkan Kontribusi terhadap Perekonomian
Meningkatkan Kesejahteraan Petambak Udang
Meningkatkan Daya Saing Udang
Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang

Menjaga Pelestarian Sumberdaya

Mengambil Pelajaran Penting (Lesson Learns)


Implementasi Program Revitalisasi
Industri Budidaya Udang
Udang

Udang
Hambatan: Kendala
- Tekanan konflik kepentingan sektor - Perbenihan (penyediaan dan
non perikanan teknologi)
- Tingginya harga input produksi - Lahan pertambakan (produktivitas
(pakan) dan lahan idle)
- Kebijakan yang tidak tepat sasaran - Rendahnya kualitas dan kuantitas
dan tidak kondusif infrastruktur pertambakan
- Rendahnya investasi - Rendahnya kualitas SDM dan
- Regulasi permodalan yang tidak kemampuan manajerial
berpihak - Rendahnya akses perolehan
teknologi dan permodalan
- Rendahnya pengawasan

Kinerja Revitalisasi Industri (Produktivitas)


Budidaya Udang Indonesia dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhinya

Rumusan Rekomendasi Kebijakan Percepatan


Revitalisasi Industri Budidaya Udang

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian Revitalisasi Industri Budidaya Udang

26
3.2 Model Pendekatan
Model pendekatan penelitian revitalisasi industri budidaya udang ini merupakan
penelitian deskriptif dan menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif serta
dengan pemilihan lokasi secara purposive (sengaja) yakni di beberapa wilayah yang menjadi
prioritas program revitalisasi industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Sulwesi Selatan dan Lampung.

3.3 Metoda Analisa Data


Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan pendekatan analisis deskriptif.
Analisis deskriptif dapat berupa uraian kata-kata atau interpretasi dari gambar atau tabel.
Analisis ini digunakan untuk menjelaskan antar fenomena yang ditemukan dalam penelitian
ini yang disajikan dalam bentuk table dan grafik. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah
untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005).
Kemudian untuk mendapat tujuan yang ditetapkan dalam penelitian ini, digunakan
sebanyak tiga pendekatan analisis, yaitu: (1) Pendekatan Analisis Sejarah dan Interupted
Time Series Analysis (ITSA); (2) Pendekatan Ekonometrika Regresi Sederhana dan Model
Pilihan Respons Kualitatif; dan (3) Pendekatan Analisis Prospektif. Masing-masing
pendekatan analisis tersebut diringkas diringkas sebagaimana terlihat pada Tabel 7 dan
dijelaskan pada uraian berikut.

27
Tabel 7. Tahapan Analisis Data yang Dilakukan Sesuai dengan Tujuan Penelitian

Metode
No Tujuan Topik data Jenis data Sumber data pengambilan Metode analisis
data
1 Menelaah dinamika  Perkembangan produksi Sekunder - Direktorat Desk study Pendekatan Sejarah dan
produktivitas budidaya udang di (faktor output) dan faktor Jenderal Ekonomi menggunakan
Indonesia selama periode 1989- input dalam budidaya udang Perikanan model ITSA (Interpreted
2013 (pada era kejayaan, Budidaya, KKP Time Seires Analysis)
di Indonesia selama periode
keterpurukan, dan - Instansi lainnya
kebangkitan); dan mengkaji 1989-2013 yang terkait
peran berbagai kebijakan terkait  Kebijakan-kebijakan serta
dengan revitalisasi tambak berbagai hal yang berkaitan
udang di Indonesia dalam dengan kondisi budidaaya
meningkatkan produktivitas tambak udang di Indonesia
tambak udang.
selama periode 1989-2013
(serangan wabah hama dan
penyakit, perbaikan
infrastruktur pertambakan
nasional, dan sebagainya).
2 Mengukur kinerja revitalisasi Produksi tambak udang, level Primer dan - Pembudidaya Pengamatan  Tornqvish Theil Index
usaha budidaya udang teknologi, kualitas benih/induk, Sekunder - Dinas KP Survey TFP
(produktivitas) di tingkat lapang harga udang, infrastruktur, - Ditjen  Pendekatan Ekonometrika
dan menganalisis faktor-faktor permodalan, keamanan, luas Perikanan Model Regresi Sederhana
yang mempengaruhinya, serta lahan, tenaga kerja, dan peubah Budidaya  Model Ekonomentrika
faktor penentu keputusan lainnya terkait dengan - Dinas terkait Regresi Pilihan Kualitatif
pembudidaya merevitalisai revitalisasi budidaya tambak (Peluang Linier, Probit,
kegiatan usaha budidaya udang. udang di tingkat lapang dan Logit).
3 Merumuskan rekomendasi Data dan informasi dari hasil Primer dan - Pembudidaya Sintesa dari Analisis Prospektif
kebijakan dalam rangka tujuan 1 dan 2. Sekunder - Dinas KP hasil tujuan 1 berdasarkan hasil sintesa
mempercepat revitalisi industri - Ditjen dan 2, serta temuan dari tujuan 1 dan 2,
budidaya udang di Indonesia Perikanan Pendekatan kemudian dilakukan
Budidaya Brainstorming, brainstorming dan diskusi
- Dinas terkait FGD kelompok terfokus.

28
3.3.1 Metode Analisis Sejarah dan ITSA
Untuk mengetahui sejauhmana dinamika per-udang-an Indonesia selama era
kejayaaan, keterpurukan dan kebangkitan, dalam penelitian ini digunakan kombinasi dua
buah metode analisis, yaitu: Metode Analisis Sejarah dan Metode ITSA (Interupted Time
Series Analysys). Kedua metode analisis digunakan secara paralel. Segala temuan yang
dihasilkan dari analisis kuantitaif ITSA akan diperjelas secara kualitatif oleh hasil analisis
sejarah. Diharapkan dengan menggunakan kedua metode analisis tersebut secara paralel,
akan diperoleh hasil dan pembahasan mengenai dinamika per-udangan Indonesia secara
lebih komprehensif dan holistik. Kedua metode analisis tersebut, masing-masing dijelaskan
pada uraian berikut.

A. Metode Analisis Sejarah


Metode penelitian sejarah bertujuan untuk merekonstruksi masa lalu secara sitematis
dan obyektif dengan mengimpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti (data)
untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan. Sumber sejarah
dalam konteks pembelajaran merupakan sumber informasi yang akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan ketika akan dilakukan penelitian sejarah. Sumber-sumber (data)
sejarah meliputi sumber primer dan sumber sekunder. Sedangkan menurut bahanya, sumber
sejarah terdiri dari: sumber tertulis, sumber lisan dan sumber benda (Kuntowidjoyo, 2003;
Syamsudin, 2007).
Menurut Gottschalk, L. (1975) dalam Kuntowidjoyo (2003), tipe-tipe penelitian
sejarah berhadapan dengan empat data sejarah, yaitu: (1) Sumber primer; (2) Sumber
sekunder; (3) Rekaman berseri (running record); dan (4) Recollection. Sumber primer,
mencakup: (1) Surat, buku harian, film, novel, dan artifak yang biasanya tersimpan dalam
bentuk arsip; dan (2) Dokumen-dokumen. Sumber sekunder biasanya berupa karya-karya
sejahawan terdahulu yang telah berpengalaman dengan spesialisasi tertentu. Running
Records atau Rekaman Berjalan, yaitu file atau dokumen statistik yang dipelihara oleh suatu
organisasi atau kontor (lembaga). Sedangkan recollections adalah peraturan atau tilisan
orang tentang pengalaman masa lalunya atau kesaksian atas suatu peristiwa di masa lalu
berdasarkan ingatan belaka. Recollection mengandung kelemahan, karena ingatan orang
sangat terbatas dan karenanya tidak semua pengalaman masa lalu dapat diingat seluruhnya.
Ada kemungkinan terdapat kesalahan dalam recollection ini, karena bias oleh masa sekarang,
atau bias kepentingan.
Sementara menurut Syamsudin (2007) Tahap-tahap penelitian sejarah, yaitu: (1)
Pemilihan topik; (2) Pengumpulan sumber (heuristik); (3) Verifikasi berupa kritik ekstern
dan intern; (4) Penafsiran (interpratation); dan (5) Penulisan sejarah (historiografi).

29
Sedangkan prosedur penelitian sejarah adalah: (1) Heuristik berupa kegiatan mencari dan
menemukan sumber yang diperlukan; (2) Kritik berupa pengujian secara kritis terhadap
sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan, untuk menyeleksei data sehingga diperoleh
data; (3) Interpretasi, untuk menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang
telah diverifikasi; dan (4) Historiografi, berupa penyajian hasil sintesis yang diperoleh dalam
bentuk sebuah kisah sejarah.
Kuntowidjoyo (2003) menyoroti adanya perkembangan baik sejarah yang makin
bersifat lintas disiplin, mempelajari dan berkembang bersama ilmu-ilmun sosisial lainnya,
seperti: antropologi, geografi, linguistik, sosiologi, ekonomi dan sebagainya. Tapi tentunya,
sebagai ilmu sejarah tetap harus memiliki kaidah-kaidahnya, terutama sifatnya yang
diakronis, memanjang dalam waktu. Namun penurutnya, di kala banyak orang (ilmu sosial)
menafikan pendekatan kuantitatif (yang dikatakan “terlalu positivis”), maka bidang sejarah
pun perlu memperluas wawasan dalam pendekatan kuantitatif. Relevan dengan pandangan
Kuntowidjoyo tersebut, guna mendapat tujuan satu dalam penelitian ini digunakan
pendekatan ekonomi sejarah untuk mengungkap dinamika ekonomi politik per-udang-an
Indonesia yang mencakup masa (era) kejayaan, keterpurukan dan kebangkitan.

B. Metode ITSA (Interrupted Time Series Analysis)


Metode Interrupted Time Series Analysis (ITSA) adalah metode yang terkuat pada
desain kuasi-eksperimen yang digunakan untuk mengevaluasi efek longitudinal terhadap
intervensi yang dilakukan. Analisis regresi tersegmentasi pada data runtun waktu (time
series) memungkinkan untuk menilai dalam hal beberapa aspek statistik, seperti berapa
banyak intervensi yang mengubah hasil dengan segera dan dari waktu ke waktu; langsung
atau dengan keterlambatan; jangka pendek atau jangka panjang; atau apakah faktor-faktor
lain selain intervensi bisa menjelaskan perubahan (Wagner et al, 2002).
Data dikumpulkan dalam ITSA pada beberapa titik waktu sebelum dan sesudah
intervensi. Tujuannya untuk mendeteksi bahwa intervensi yang dilakukan memiliki efek
signifikan yang lebih besar daripada “trensekuler” yang terjadi. Metode yang digunakan
untuk ITSA adalah perbandingan statistik trend saat sebelum dan sesudah intervensi (lihat
Gambar 5).
Sebuah gambaran dari unsur-unsur umum analisis regresi time-series tersegmentasi
disajikan pada Gambar 5. Analisis memperkirakan pengaruh intervensi sementara
memperhatikan trend waktu dan autokorelasi antara pengamatan. Analisis Interrupted Time
Series umumnya menggunakan model ARIMA untuk menganalisis datanya, tetapi ada juga
beberapa teknik statistik lainnya yang dapat digunakan yang bergantung pada karakteristik
data, jumlah titik data yang tersedia dan autokorelasi yang muncul.

30
Perkiraan untuk koefisien regresi sesuai dengan dua ukuran efek standar diperoleh:
perubahan dalam tingkat (juga disebut' langkah perubahan') dan perubahan tren sebelum dan
sesudah intervensi. Menurut Ramsay(2003), perubahan tingkat didefinisikan sebagai
perbedaan antara tingkat yang diamati pada titik pertamakalinya intervensi dan yang
diperkirakan oleh pra-intervensi waktu trend, dan perubahan tren didefinisikan sebagai
perbedaan antara sebelum dan setelahadanya intervensi yang digambarkan oleh tingkat
kemiringan (slope). Perubahan negatif ditingkat kemiringan dan akan menunjukkan
penurunan, misalnya, tingkat infeksi.

Intervention
Introduced
Slope pre
outcome (y)

Change in Level

Slope post

1 2 3 4 5 6 7 8 9
Time (t)

Sumber: Ramsey et al, 2003


Gambar 5. Hubungan antara Intervensi dengan Outcome berdasarkan Perubahan
Waktu dalam Analisis Interrupted Time Series (ITS)

B.1 Desain ITSA (Interrupted Time Series Analysis)

Desain interrupted time-series dapat juga digambarkan sebagai perpanjangan dari one
group pretest-post test desain-desain ini diperpanjang dengan menggunakan berbagai pre-
tests dan post-tests. Dalam jenis desain kuasi eksperimental, pengukuran berkala yang
dilakukan pada kelompok sebelum presentasi (interupsi) intervensi untuk membangun dasar
yang stabil. Mengamati dan menetapkan fluktuasi normal variabel dependen atas waktu
memungkinkan peneliti untuk lebih akurat menginterpretasikan dampak dari independen
variabel. Setelah intervensi, pengukuran lebih beberapa periodik dibuat. Ada empat variasi
dasar desain ini: desain ITSA sederhana, desain ITSA pembalikan, desain beberapa runtun
waktu, dan desain longitudinal (Kholistianingsih, 2005).

31
(a) Desain ITSA Sederhana
Desain ITSA sederhana adalah dalam desain-subyek di mana pengukuran berkala
yang dibuat pada satu kelompok dalam upaya untuk membentukdasar, seperti yang
digambarkan di sini (Geoffrey, 2005): O—O—O—O—X—O—O—O—O Di beberapa
titik waktu, peubah terikat (dependent variable) diperkenalkan, dan ini diikuti dengan
pengukuran berkala tambahan untuk menentukan apakah terjadi perubahan dalam peubah
bebas.

(b) Desain ITSA Pembalikan


Di samping desain ITSA sedehana, juga dikenal sebagai desain “ABA”, desain ini
pada dasarnya adalah sebuah variasi multi-subjek desain pembalikan tunggal-subjek, yang
akan dibahas nanti dalam bab ini. Tujuan dasar dari ini disain adalah untuk membangun
kausalitas dengan menampilkan dan menarik intervensi, atau peubah bebas (independent
variable), satu sampai beberapa kali sambil merangkap mengukur perubahan dalam peubah
terikat (dependent variable) (seperti yang digambarkan berikutini). Seperti dalam desain
time-series yang sederhana, desain ini dimulai dengan serangkaian pre tests untuk
mengamati fluktuasi normal pada awal. Nama "pembalikan" mengacu pada gagasan bahwa
kausalitas dapat disimpulkan jika perubahan yang terjadi setelah penyajian intervensi
menghilangkan atau "terbalik" ketika peubah terikat (independent variable)adalah ditarik,
seperti:
O—O—O—X—O—O—O—REV—O—O—O—X—O—O—O
(A) (B) (A)

(c) Desain ITSA Multiple


Desain ini pada dasarnya sama dengan experiment pretest-posttest desain, dengan
pengecualian bahwa variabel dependen diukur pada beberapa waktu poin baik sebelum dan
sesudah penyajian independen variabel, atau longitudinal, seperti yang digambarkan di sini:
O—O—O—O—X1—O—O—O—O
O—O—O—O—X2—O—O—O—O
Meskipun desain ini tidak acak, bisa cukup kuat dalam hal kemampuannya untuk
menyingkirkan penjelasan lain untu kefek yang diamati. Desain ini memungkinkan kita
untuk memeriksa kecenderungan dalam data, pada titik-titik beberap waktu, sebelum,
selama, dan setelah intervensi (memungkinkan kita untuk mengevaluasi masuk akal yang
ancaman tertentu untuk validitas internal). Selama dan di atas tunggal-kelompok time-series
desain, Namun, desain ini menungkinkan kita untuk membuat kedua kelompok – dalam dan

32
antarkelompok- perbandingan, yang selanjutnya dapat mengurangi keprihatinan alternatif
penjelasan berkaitan dengan sejarah.
Oleh karena itu, kekuatan utamadari desain ini adalah bahwa hal itu memungkinkan
kedua perbandingan antarakelompok. Sayangnya, desain ini tidak melibatkan acak tugas
dan dengan demikian tidak dapat menghilangkan semuaancaman terhadap internal validitas.
Penjelasan versi lain dari desain ITSA juga dijelaskan oleh Biglan et al (2013). Ia
menjelaskan bahwa terdapat beberapa desain dalam ITSA, seperti: AB Desain, Multiple
Baseline Desain, dan ABA Desain, dan Desain Lainnya. Masing-masing desain ITSA
tersebut secara rinci dijelaskan sebagai berikut.

(a) Desain ITSA Sederhana (“A-B”)


Secara konvensi, dalam literatur perilaku, desain fase langkah-langkah yang berulang
diberi label A, B, C, dan lain-lain. Desain time series sederhana yang berulang adalah
desain “A-B” di mana peubah bebas (independent variable) dimanipulasi, yaitu: tingkat
yang baru itu diperkenalkan setelah serangkaian pengukuran dasar dalam satu time series.
Kemampuan kita untuk menilai efek dari peubah bebas adalah fungsi dari jumlah titik data
awal, poin jumlah data intervensi, jumlah titik data pasca-intervensi, dan variabilitas data.

Jenis desain ini telah lama digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan. Sebagai
contoh, Gambar 6 yang mempresentasikan sebuah contoh Desain A-B sederhana dari
Wagenaar dan Webster (1986), di mana efek Michigan dievaluasi dari implementasi
tergadap penggunaan mobil yang diwajibkan menggunakan kursi keselamatan untuk anak di
bawah usia 4 tahun. Gambar tersebut menunjukkan cedera motor pada penumpang
kendaraan dengan usia 0-3 tahun. Undang-undang mulai berlaku pada bulan April 1982.
Sebagai dapat dilihat, ada pengurangan yang jelas dalam tingkat cedera anak-anak.
Demikian pula, Hingson et al. (1987) yang menggambarkan efek dari perubahan mengemudi
di bawah pengaruh undang-undang di Maine dan Massachusetts. Warner (1977)
mengevaluasi konsumsi rokok sebagai fungsi dari perubahan kebijakan tentang iklan rokok
dan publisitas tentang berbahayanya efek rokok. Efek pajak tembakau pada konsumsi telah
dievaluasi dengan memeriksa pengaruh perubahan tarif pajak konsumsi tahunan (US
Department of Health & Human Services, 1994).

33
15% 15%

10% 10%
Variables

Variables
Outcome

Outcome
5 5
% %

0% 0%
1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 1415 16 1718 19 20 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 1415 16 1718 19 20
Weeks Weeks
Sumber: Biglan et al. (2000)
Gambar 6. Pengukuran Variablity pada dua interrupted time series hipotetik. Gambar
Pertama Menunjukkan series variability yang tinggi, dan Gambar Kedua
menujukkan series yang relatif stabil

Salah satu keterbatasan desain “A-B” tersebut adalah bahwa perubahan dalam
serangkaian waktu bisa disebabkan oleh banyak faktor lainnya yang secara bersamaan
terjadi dengan perubahan peubah terikat (independen variabel). Misalnya, undang-undang
tentang tingkat kandungan alkohol dalam darah, dapat diperkenalkan setelah peningkatan
dramatis dalam jumlah kematian mengemudi dalam keadaan mabuk (Campbell, 1969). Jika
tingkat kematian kemudian turun, itu bisa disebabkan oleh penerapan hukum, tetapi itu juga
bisa disebabkan oleh regresi terhadap rata-rata untuk publisitas tentang berlakunya tingkat
kematian yang tinggi sebelumnya, atau pengaruh faktor lain yang tidak terkendali yang akan
menyebabkan tingkat penurunan bahkan tanpa aksi undang-undang. Bisa juga bahwa hal itu
bukan oleh faktor hukum itu sendiri, tapi seputar publisitas yang ditetapkan bahwa hal
tersebut terjadi karena faktor kebiasaan meminum minuman keras dan kebiasaan
mengemudi masyarakat. Jika faktor-faktor ini yang terjadi, orang mungkin melihat
penurunan tingkat kematian karena mengemudi dalam keadaan mabuk pada saat dilakukan
musyawarah undang-undang, tapi sebelum berlakunya. Mungkin, salah satu menemukan
bahwa ada penurunan tingkat kematian mengemudi dalam keadaan mabuk pada titik yang
ditetapkan, tetapi kemiringan time series lebih positif secara signifikan berikut pelaksanaan
(Ross, 1973). Dengan kata lain tingkat kematian akibat mengemedui dalam keadaan mabuk
menjadi turun setelah UU ini diberlakukan, tetapi mulai berpotensi meningkat sebagai
publisitas tentang berkurangnya masalah ini.

34
75

70

65

60
Crashes Per 10,000

55

50

45

40

35

30

25
1978 1979 1980 1981 1982 1983
Trend Actual
Sumber: Biglan (2000)
Gambar 7. Implementasi Efek Michigan’s dari Pemberlakuan Penggunaan Kursi Pengaman
pada Mobil terhadap Cedera Kendaraan Bermotor untuk Usia 0 sampai 3 Tahun

(b) Desain ITSA “Multiplane Baseline”

Kita dapat memiliki satu keyakinan besar bahwa manipulasi dari peubah bebas
(independent variable) yang bertanggung jawab untuk perubahan dalam time series jika ada
beberapa time series, yang masing-masing menerima manipulasi atau intervensi pada titik
yang berbeda dalam waktu. Desain di mana peubah bebas (independent variable)
dimanipulasi di titik berbeda dalam waktu untuk time series, umumnya disebut Desain
Multiple Baseline (Barlow et al., 1984; Barlow & Hersen, 1984).
Ada dua tipe Desain Multiple Baseline. Dalam Desain Multiple Baseline pada kasus
fenomena menarik diukur berulang kali dalam dua atau lebih kasus dan manipulasi peubah
bebas (independent variable) terjadi pada waktu yang berbeda untuk kasus yang berbeda.
Sebagai contoh, Gambar. 3 menyajikan contoh Desain Multiple Baseline di empat
komunitas yang digunakan untuk mengevaluasi program untuk mengurangi penjualan
tembakau ilegal kepada orang-orang muda (Biglan et al., 1996b). Intervensi yang
melibatkan pedagangan berpendidikan, imbalan untuk pegawai yang tidak menjual, dan
publisitas untuk toko dan pegawai yang tidak menjual. Peubah bebas (dependent variable)
adalah proporsi toko di setiap komunitas yang bersedia untuk menjual tembakau kepada

35
anak di bawah umur. Hal tersebut dinilai berulang kali dengan memiliki orang-orang muda
yang mencoba untuk membeli tembakau di setiap toko. Intervensi pertama diperkenalkan
kepada kedua masyarakat, sementara pasangan kedua masyarakat terus di awal. Setelah ada
efek pertama yang jelas dalam dua komunitas, intervensi diperkenalkan pada pasangan
kedua masyarakat. Prosedur ini dievaluasi dalam empat komunitas lainnya, juga
menggunakan beberapa desain dasar di masyarakat (Biglan et al, 1995); dan diperoleh hasil
yang sama. Perataan di semua (delapan) komunitas menunjukkan bahwa intervensi
menghasilkan pengurangan (persen) toko yang bersedia menjual tembakau dari 57% pada
awal menjadi 22% selama fase intervensi.
Tipe kedua beberapa desain dasar bisa disebut desain multiple baseline dalam kasus.
Berikut dua atau lebih fenomena yang diukur berulang kali untuk satu kasus dan peubah
bebas (independent variable) diterapkan pada salah satu fenomena pada suatu waktu.
Misalnya, dalam evaluasi efek perubahan kebijakan negara di tahun 1970-an dan 1980-an
yang mengangkat usia minimum untuk minum, efek pada kecelakaang tunggal kendaraan
dalam lalu lintas waktu malam dibandingkan dengan efek pada siang hari dan kecelakaan
banyak kendaraan. Karena kita tahu kebanyakan kendaraan tunggal, kecelakaan mobil pada
malam melibatkan penggunaan minuman alkohol oleh pengendaranya, dan relatif sedikit
kecelakaan pada siang hari pada banyak kendaraan, jika pengendara kendaraan minum
minuman beralkohol diberikan hukuman yang lebih tinggi. Faktor usia mengurangi
penggunaan alkohol oleh remaja, kita akan mengharapkan untuk melihat pengurangan
keterlibatan remaja dalam kecelakaan tunggal kendaraan pada waktu malam tapi tidak dalam
kecelakaang banyak kendaraan pada siang hari (hasil yang ditemukan di berbagai negara;
O'Malley & Wagenaar, 1991; Wagenaar, 1983; 1986; 1993).

36
Willamina
100% Baseline Intervention

Percent Wlling to Sell


75%

50%

25%

0%
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11 T12 T13 T14 T15

Sutherlin
100% Baseline Intervention
Percent Wlling to Sell

75%

50%

25%

0%
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11 T12 T13 T14 T15

Prinevile
100% Baseline Intervention
Percent Wlling to Sell

75%

50%

25%

0%
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11 T12 T13 T14 T15

Creswell
100% Baseline Intervention
Percent Wlling to Sell

75%

50%

25%

0%
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11 T12 T13 T14 T15

Sumber: Biglan (2000)


Gambar 8. Proporsi Outlet Tembakau di Masing-masing Empat Komunitas yang Bersedia
untuk Menjual Kepada Mereka yang Berusia di Bawah 18 Tahun Setelah
Implikasi Program Reward dan Sisanya

Desain Interruption Time-Series Analysis (ITSA) telah digunakan secara produktif


untuk evaluasi kebijakan berbagai percobaan alami yang melibatkan perubahan nasional,
negara, atau masyarakat lokal. Salah satu contoh desain multiple baseline dalam masyarakat
akan menjadi intervensi untuk mempengaruhi penjualan tembakau dan alkohol kepada anak-
anak, di mana intervensi awalnya menargetkan penjualan tembakau dan kemudian hanya
menargetkan penjualan alkohol. Bukti bahwa intervensi memiliki efek akan disediakan oleh
perubahan awal dalam penjualan tembakau yang tidak disertai oleh perubahan dalam

37
penjualan alkohol, diikuti oleh perubahan dalam penjualan alkohol ketika intervensi itu
diterapkan untuk masalah tersebut.
Salah satu kesulitan dengan desain tersebut adalah bahwa mungkin dua atau lebih
fenomena yang sedang diukur adalah saling berkaitan dengan cara-cara yang menyebabkan
semua mereka untuk berubah ketika intervensi diterapkan salah satu dari mereka (Barlow &
Hersen, 1984). Sebagai contoh, penjualan alkohol untuk anak muda mungkin berubah
sebagai hasil dari intervensi menargetkan penjualan tembakau kepada orang-orang muda.
Jika hal ini terjadi, seseorang dapat memiliki lebih sedikit keyakinan bahwa pelaksanaan
peubah bebas (independent variable) membawa perubahan. Dalam banyak contoh, maka
akan diperlukan untuk mengumpulkan bukti-bukti apakah dua atau lebih fenomena yang
saling terkait dengan cara ini, sebelum seseorang dapat mengetahui apakah seperti desain
layak. Beberapa desain dasar terkuat menggabungkan beberapa time series dalam kasus
otomatis kecelakaan geopolitik dibandingkan data time-series kecelakaan dalam negara
bagian. Mereka melihat efek dari minum di usia remaja muda, remaja yang lebih tua, dan
orang dewasa; dan mereka dibandingkan kecelakaan yang mungkin melibatkan alkohol
dengan orang-orang yang tidak melibatkan alkohol, yaitu: waktu malam vs siang hari dan
kecelakaan tunggal kendaraan vs kecalakaan multi-kendaraan (Wagenaar, 1986). Selain itu,
studi tersebut membandingkan pengaruh perubahan pada waktu minum di beberapa negara
dengan negara-negara lain di mana usia meminum berubah pada waktu yang berbeda atau
tidak berubah semuanya (O'Malley & Wagenaar, 1991; Wagenaar, 1993).
Barlow et al. (1984) telah menyebutkan perbandingan yang dapat dibuat dalam
beberapa desain awal yang melibatkan tiga seri waktu untuk menilai apakah manipulasi
peubah bebas (independent variable) mempengaruhi peubah bebas (dependent variable).
Pertama, dalam setiap satu deret waktu dapat memeriksa apakah kemiringan atau tingkat
perubahan deret waktu ketika bebas bebas (independent variable) dimanipulasi. Kedua,
seseorang dapat membandingkan perubahan yang terkait dengan memanipulasi peubah
bebas (independent variable) dalam time series pertama dengan perubahan dalam time series
yang tidak menerima manipulasi peubah bebas (independen variable). Ketika perubahan
dalam seri pertama adalah ditambah dengan tidak adanya perubahan dalam dua detik seri,
kesimpulan bahwa peubah bebas (independent variable) membawa perubahan yang
diperkuat. Ketiga, dalam kelipatan dasar tiga seri, efek peubah bebas (independen variable)
pada seri kedua dapat dibandingkan dengan seri ketiga kalinya. Replikasi efek dalam seri
kedua, disertai dengan tidak ada perubahan dalam seri ketiga tidak diintervensi
(unintervened), bahkan memberikan bukti kuat pengaruh peubah bebas (independent
variable).

38
(c) Desain ITSA “A-B-A”
Dalam desain ini, intervensi diberlakukan dengan cara: “diperkenalkan”, “ditarik”,
dan “diperkenalkan” lagi. Jika tingkat atau kemiringan (slope) peubah terikat (dependent
variable) yang handal dalam menanggapi perubahan untuk manipulasi, sehingga seseorang
dapat mengalami peningkatan keyakinan bahwa perubahan yang terjadi adalah karena
manipulasi dari peubah bebas (independent variable). Dengan konvensi, fase desain A
adalah fase awal di mana manipulasi peubah bebas (independent variable) tidak di tahap
kekuatan, sedangkan pada fase B memperlihatkan pada tahap kekuatan tersebut. Desain ini
juga disebut “desain reversal”, karena pengaruh peubah bebas (independent variable) juga
diuji dengan menarik pada kedua fase A, dan melihat apakah efek peubah bebas
(independent variable) dibalik. Desain ini telah digunakan secara luas dalam penelitian
tentang efek penguatan pada perilaku manusia (misalnya, Barlow et al., 1984).
Kegunaan Desain ABA adalah mengharuskan hal itu untuk menghilangkan efek dari
peubah bebas (independent variable) dan bahwa pemindahan tersebut menghasilkan
pembalikan efek. Sebagai contoh, seseorang mungkin mengevaluasi efek penegakan akses
ke undang-undang mengenai tembakau yang bolak-balik ke periode penegakan dengan
periode yang mereka tidak menegakkan. Ini mungkin memerlukan periode panjang non-
penegakan efek penegakan.

(d) Desain Lainnya (“A-B-A-C”)


Ada berbagai desain lainnya dengan time series yang berulang. Semua desaian yang
ada melibatkan manipulasi peubah bebas (independen variable) dan pengamatan dampaknya
pada time series. Sebagai contoh, dalam sebuah Desain “A-B-A-C”, dievaluasi efek tingkat
yang berbeda atau berbagai jenis peubah bebas (independent variable). Dalam desaian
perlakuan bolak-balik ini, dievaluasi dua peubah bebas (independent variable) yang berbeda
atau dua tingkat peubah bebas (independent variable) secara berganti-ganti dan efek pada
seri waktu diperiksa. Barlow et al. (1984) memberikan deskripsi rinci mengenai logika dan
prosedur yang terlibat dalam desain ini.

B.2 Spesifikasi Model ITSA (Interrupted Time Series Analysis)

Spesifikasi model ITSA (Interrupted Time Series Analysis) dalam penelitian ini
berkaitan dengan intervensi “Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia”
yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada tahap awal selama periode tahun
2005-2009, kemudian tahap kedua dimulai lagi sejak tahun 2012 hingga saat ini (masih
berlangsung). Dengan demikian penyusunan spesifikasi model ITSA yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan spesifikasi model ITSA dari kasus yang tersegmentasi menurut

39
periode (tahapan) implementasi program revitalisasi, dan distruktur dengan menggunakan
Desain ITSA Multiple Baseline dengan menggunakan regresi yang tersegmentasi,
sebagaimana yang pernah digunakan oleh Wagner et al., (2002). Dengan demikian model
ITSA yang digunakan dalam penelitian ini dapat dispesifikasi menggunana analisis regresi
tersegmentasi, sebagai (Wagner et al., 2002):

Yt = β0 + β1 timet + β2 intervention_1at + β3 time after intervention_1at


+ β4 intervention_1bt + β5 time after intervention_1bt + β6 intervention_2t
+ β7 x time after intervention_2t + β8 intervention_3t
+ β9 time after intervention_3t + et ............................................................ (1)

dimana:
Yt = produktivitas budidaya tambak udang (produksi per hektar)
timet = periode waktu usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t
intervention_1at = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang
tahap 1 pada tahun ke-t
time after intervention_1at = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi
budidaya tambak udang tahap 1 pada tahun ke-t
intervention_1bt = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang
tahap 2 pada tahun ke-t
time after intervention_1bt = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi
budidaya tambak udang tahap 2 pada tahun ke-t
intervention_2t = intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya
tambak udang pada tahun ke-t
time after intervention_2t = periode waktu setelah kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t
intervention_3t = intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur
pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
time after intervention_3t = periode waktu setelah intervensi kebijakan penguatan sarana
pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
β0 = koefisien intersep (dugaan level dasar dari produktivitas
budidaya tambak udang pada saat dimulainya series data)
β1 = koefisien parameter dugaan trend dasar dari perubahan
produktivitas budidaya tambak udang per tahun pada
segmen sebelum intervensi kebijakan
β2 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada
segmen setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya
tambak udang pada tahap 1
β3 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada
segmen setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak
udang pada tahap 1
β4 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada
segmen setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya
tambak udang pada tahap 2
β5 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada
segmen setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak
udang pada tahap 2
β6 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada
segmen setelah intervensi kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang

40
β7 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada
segmen setelah intervensi kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang
β8 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada
segmen setelah intervensi kebijakan penguatan sarana
infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang
β9 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada
segmen setelah intervensi kebijakan penguatan sarana
infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang
e1 = dugaan eror atau galat (peubah gangguan) ke-t

Di samping itu, dalam penelitian ini juga digunakan spesifikasi model ITSA sama
seperti pada spesifikasi model pada Persamaan (1), namun dikembangkan dengan beberapa
peubah interkasi antar peubah intervensi yang ada, seperti yang digunakan oleh Wang et al.,
(2013), yaitu sebagai:

Yt = β0 + β1 timet + β2 intervention_1at + β3 time after intervention_1at


+ β4 intervention_1bt + β5 time after intervention_1bt + β4 intervention_2t
+ β6 x time after intervention_2t + β7 intervention_3t
+ β8 time after intervention_3t + β9 intervention_1at x intervention_2t
+ β10 intervention_1at x intervention_3t + β11 intervention_1bt x
intervention_2t
+ β12 intervention_1bt x intervention_3t + β13 intervention_2t x
intervention_3t
+ β14 intervention_1at x intervention_2t x intervention_3t
+ β15 intervention_1bt x intervention_2t x intervention_3t + et .............. (2)

dimana:
Yt = produktivitas budidaya tambak udang (profuksi per hektar)
imet = periode waktu usaha budidaya tambaj udang pada tahun ke-t
intervention_1at = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 1
pada tahun ke-t
time after intervention_1at = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi
budidaya udang tahap 1 pada tahun ke-t
intervention_1bt = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang tahap 2
pada tahun ke-t
time after intervention_1bt = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi
budidaya udang tahap 2 pada tahun ke-t
intervention_2t = intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha budidaya
tambak udang pada tahun ke-t
time after intervention_2t = periode waktu setelah kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t
intervention_3t = intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan
(irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
time after intervention_3t = periode waktu setelah intervensi kebijakan penguatan sarana
pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
intervention_1at x
intervention_2t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang
tahap 1 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t

41
intervention_1at x
intervention_3t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang
tahap 1 dengan intervensi kebijakan penguatan sarana
infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
intervention_1bt x
intervention_2t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang
tahap 2 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t
intervention_1bt x
intervention_3t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang
tahap 2 dengan intervensi kebijakan penguatan sarana
infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
intervention_2t x
intervention_3t = interaksi intervensi kebijakan kemudahan permodalan usaha
budidaya tambak udang dengan intervensi kebijakan
penguatan sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak
udang pada tahun ke-t
intervantion_1a x
intervention_2t x
intervention_3t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang
tahap 1 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang dengan kebijakan penguatan
sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada
tahun ke-t

intervantion_1b x
intervention_2t x
intervention_3t = interaksi intervensi kebijakan revitalisasi budidaya udang
tahap 2 dengan intervensi kebijakan kemudahan permodalan
usaha budidaya tambak udang dengan kebijakan penguatan
sarana infrastruktur pengairan (irigasi) tambak udang pada
tahun ke-t

β0 = koefisien intercept
β1, β2, β3, β4, β5, β6, β7, β8,
β9, β10, β11, β12, β13, β14, β15 = koefisien parameter peubah bebas
e1 = gallat (peubah gangguan) ke-t

B.3. Metode Pendugaan Model ITSA


Pendugaan terhadap model ITSA pada Persamaan (1) dilakukan dengan mengunakan
pendugaan kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimation – MLE); sedangkan
terhadap model ITSA pada Persamaan (2) dilakukan dengan menggunakan pendugaan
kemungkinan maksimum (MLE) dan pendugaan Bayessian (Bayessian Estimations - BE).
Masing-masing metode pendugaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

42
B.3.1 Metode Pendugaan Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Estimations
– MLE)

Menurut Juanda (2009), penduga kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood


Estimators – MLE) memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan dengan
parametrnya) berbeda dalam membangkitkan contoh-contoh yang berbeda; suatu contoh
apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang) – nya lebih besar berasal dari beberapa
populasi daripada dari populasi lainnya. Misalnya, jika seseorang melakukan sampling
dengan pelemparan-pelemparan koin dan kemudian diperoleh rata-rata contoh 0,5
(merepresentasikan setengahnya keluar “angka” dan setengahnya keluar “gambar”), maka
populasi paling mungkin dari mana contoh diambil adalah suatu populasi yang rata-ratanya

( X   )  0,5.
Gambar 9 mengilustrasikan suatu kasus yang lebih umum dimana suatu contoh (Y1,
Y2, ..., Y3) diketahui akan diambil dari suatu populasi normal dengan ragam diketahui tapi
nilai tengah tidak diketahui. Asumsikan bahwa pengamatan-pengamatan berasal dari sebara
(distribution) A atau sebaran (distribution) B. Jika populasi (asal) sebenarnya adalah B,
maka peluang bahwa kita telah memperoleh contoh tersebut dari B sangat kecil. Akan tetapi
jika populasi (asal) sebenarnya adalah A, maka peluang bahwa kita telah memperoleh
contoh tersebut dari A sangat besar. Jadi, pengamatan-pengamatan “memilih” populasi A
sebagai populasi asal yang paling mungkin telah membangkitkan data pengamatan tersebut.

Peluang

Sebaran B Sebaran A

Y6 Y2 Y3 Y4 Y5 Y8 Y7 Y1
Sumber: Juanda (2009)
Gambar 9. Ilustrasi Sampel Berukuran B Kemungkinan Berasal dari Populasi A daripada
Populasi B


Kita defenisikan MLE dari suatu parameter β sebagai nilai  yang paling mungkin
membangkitkan pengamatan-pengamatan contoh Y1, Y2, ..., Y3. Secara umum, jika Yi

43
menyebar normal, dan masing-masing nilai Y diambil secara bebas, maka MLE akan
memaksimumkan nilai:
   pY1  pY2  pYn  ................................................................................... (3)
dimana e = exponential, dan p(Yi) merepresentasikan suatu peluang yang dikaitkan, misalnya,
dengan sebaran normal (normal distribution). Jadi MLE merupakan suatu fungsi dari
contoh (sample) Yi yang terambil, i = 1, 2, ..., n. Suatu contoh yang berbeda dapat
menghasilkan keungkinan maskimum (maximum likelihood - ML) yang berbeda.
Persamaan (3) sering disebut sebagai “fungsi kemungkinan” (likelihood function).
Fungsi kemungkinan ini tidak hanya tergantung dari nilai-nilai contoh Yi tapi juga parameter
 yang tidak diketahui (akan diduga). Dalam menggambarkan fungsi kemungkinan, kita
sering berfikir bahwa parameter yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi,
sedangkan yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi, sedangkan nilai Yi tetap.
Prosedur metode MLE adalah dengan mencari dugaan parameter yang paling mungkin
membangkitkan data contoh tersebut, atau yang memaksimumkan fungsi kemungkinan pada
Persamaan (3).
Sebagai ilustrasi, misalnya kita ingin mencari MLE mengenai parameter dari model:
Yi    X i   i .................................................................................................. (4)
Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing Yi menyebar normal dengan nilai tengah (α +
βXi), dan ragam σ2. Sebaran peluang dapat dituliskan secara eksplisit sebagai berikut:

 2
p Yi   Yi     X i   .................................................. (5)
1 1
exp 
 2 
2
2 2
Oleh karena itu, fungsi peluang bersamanya (likelihood function) adalah:
 
 Y1 , Y2 , , Yn ,  ,  ,  2  pY1  pY2  pYn  ................................................... (6)

    
Yi    X i 2  ............................... (7)
n
1 1
 Y,       exp 
2  2 
2 2
i 1

Karena vektor pengamtan tetap, maka fungsi kemungkinan pada Persamaan (7)
hanya merupkan funsgi dari vektor parameter    ,  , 
2

yang tidak diketahui. Kita
ingin mencari nilai α, β, dan σ2 yang menghasilkan fungsi kemungkinan bernilai maksimum.
Untuk ini, kita turunkan fungsi Persamaan (7) terhadap masing-masong dari tiga parameter
yang tidak diketahui tersebut, kemungkinan hasil turunannya disamakan dengan nol, dan
dicari nilai dugaan dan tiga parameter tersebut. Sebenarnya lebih mudah mencari turunan

44
ini dengan terlebih dahulu mentrasformasi 1 Persamaan (7) ke dalam bentuk logaritma
(natural) –nya, sehingga diperoleh fungsi log likelihood sebagai berikut:

   
n
L  ln    ln 2   ln  2   Y    X i  .......................... (8)
n n 1 2

2 2
i
2 2 i 1

Turunan parsial Persamaan (8) terhadap α, β, dan σ2 menghasilkan:


 L  1

  2
 Y i    X i   0 ........................................................................ (9)

 L 
 X Y     X i   0 ................................................................. (10)
1
 2
 
i i

 L   n
 X Y    X i   0 ................................................... (11)
1
  2
 2 
2 2 i i

Solusi Persamaan (9) sampai Persamaan (11) menghasilkan penduga kemungkinan


maksimum (Maximum Likelihood Estimator - MLE) sebagai berikut:
2
  

 
 X  X Y  Y   

Yi     X

 Y   X  ; 2 
i i
;
 X  X 
2
... (12)
n
i

Jelaslah bahwa nilai dugaan α dan β dengan metode MLE seperti pada Persamaan (12) sama
dengan snilai dugaan dengan metode OLS. Oleh karena itu, kedua metode ini menghasilkan
penduga α dan β yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimators). Akan tetapi nilai
dugaan σ2 dengan metode maximum likelihood (ML) bersifat bias meskipun konsisten, tidak
sama dengan nilai dugaan σ2 dengan metode OLS.

B.3.2 Metode Pendugaan Bayessian (Bayessian Estiamtions)


Secara teoritis, pendugaan Bayessian (Bayessian Estimations) terdiri dari dua jenis,
yaitu: Pendugaan Bayaessian Penuh (Fully Bayessian Estimations – FBE) maupun
pendugaan Bayessian Empiris (Empirically Bayessian Estimations – EBE). Namun dalam
penelitian ini, akan digunakan hanya satu jenis saja, yaitu: Pendugaan Bayessian Empiris
(Empirically Bayessian Estimations).
Secara umum, konsep dasar dari prosedur pendugaan Bayesian (Bayesian Esimators)
melibatkan kombinasi kedua data informasi yang diamati dan beberapa keyakinan sebelum
menghasilkan distribusi posterior dari parameter yang tidak diketahui. Informasi
sebelumnya (prior information) dimasukkan ke dalam model melalui penggunaan distribusi

1
Transformasi monoton, dengan pengertian jika  1   2 , maka L1 < L2 karena nilai  selalu
negatif

45
sebelumnya (prior distribution), yang merupakan sebuah distribusi nilai kemungkinan untuk
sebuah parameter.
Dengan tidak adanya informasi sebelumnya (prior information) yang spesifik pada
sebuah parameter, biasanya diadopsi sebuah distribusi sebelumnya (prior distribution) yang
non-informatif dengan varians yang besar. Dibandingkan pendekatan kemungkinan
maksimum klasik (Maximum Likelihood Estimation - MLE), pendekatan FBE menawarkan
sejumlah keunggulan. Pertama, metode kemungkinan maksimum (MLE) tergantung pada
sifat asimtotik mereka, sifat sampel kecil dari pendugaaan Bayesian memungkinkan
pendugaan model dengan sampel yang lebih kecil ukurannya. Untuk ukuran sampel yang
besar, penduga Bayess yang asimtotik setara dengan penduga kemungkinan maksimum
(MLE) dalam kondisi keteraturan yang tepat. Kedua, kemampuan untuk menyertakan
pengetahuan sebelumnya (prior knowledge) terhadap nilai-nilai parameter dalam model
sebelum mengamati data yang muncul secara menarik ketika peneliti/investigator ingin
memanfaatkan temuan dari studi yang mirip atau studi sebelumnya. Ketiga, Pendekatan
Bayesian memungkinkan seseorang untuk menentukan bentuk model yang sangat kompleks
di mana fungsi kemungkinan terselesaikan, terutama dalam konteks model hirarkis.
Keempat (terakhir), dalam pendekatan kemungkinan maksimum klasik, parameter model
dianggap sebagai jumlah tetap dan penekanannya pada mendapatkan penduga titik untuk
parameter dan kesalahan standar mereka. Pada sisi lain, pendekatan Bayesian, mampu
memberikan distribusi posterior seluruh hasil berdasarkan inferensi yang dapat dilakukan.
Misalnya, Penduga Bayes umum untuk parameter adalah rata-rata distribusi posterior. Oleh
karena itu dalam hal ini, pendekatan Bayesian memungkinkan representasi dan mengambil
laporan lengkap tentang ketidakpastian yang berkaitan dengan model dan nilai-nilai
parameter.
Keterbatasan utama untuk melaksanakan pendekatan Bayesian di masa lalu adalah
bahwa distribusi posterior yang analitis dan dapat dirunut (tractable) hanya sejumlah kecil
model sederhana. Dalam kebanyakan kasus, distribusi posterior tidak memiliki ekspresi
bentuk tertutup dan membutuhkan evaluasi integral berdimensi tinggi. Karena kemajuan
komputasi, munculnya software statistik WinBUGS (Lunn et al. 2000) memungkinkan
implementasi lebih langsung dan layak dari metodologi Bayesian. WinBUGS mengadopsi
Gibbs Sampler untuk mensimulasikan realisasi dari “Rantai Markov” yang membatasi
distribusi adalah parameter distribusi posterior. Hal ini terdiri dari sampel masing-masing
parameter yang pada gilirannya dari distribusi posterior bersyarat penuh mereka. WinBUG
memiliki sebuah sistem untuk memilih metode pengambilan sampel terbaik untuk menarik
dari distribusi univariat ini. Sistem pemeriksaan pertama untuk conjugacy, di mana huruf
distribusi bersyarat penuh mengurangi analitis untuk distribusi terkenal dan sampel langsung

46
dapat diterapkan menggunakan algoritma standar. Jika kunjugasi (conjugacy) tidak
terdeteksi, tapi bukan density adalah log-cekung, maka penolakan adaptif terhadap sampel
algoritma (adaptive rejection sampling algorithm) yang digunakan. Jika target kepadatan
tidak log-concave, kemudian akan digunakan adaptive rejection sampling algorithm. Jika
density target bukan log-concave, maka akan digunakan Metropolis-Hastings .
Untuk melengkapi prosedur pendugaan Bayesian, kita perlu menentukan distribusi
prior untuk masing-masing parameter model. Untuk koefisien regresi parameter, kita
menetapkan distribusi sebelumnya (prior distribution) adalah normal dengan mean 0 dan
varians yang besar, yaitu:
 i  Normal 0,1000; i  0.1.,7, ................................................................. (13)
untuk mencerminkan sebuah peubah tidak apriori dalam model, dapat dikaitkan dengan
jumlah injury. Kita menetapkan sebuah prior yang seragam untuk parameter dispersi α dari
distribusi Poisson, yaitu:
  Uniform 0.5,200 ....................................................................................... (14)
Parameter yang hiper (mencolok) dipilih untuk mencerminkan ketidaktahuan tentang
kemungkinan nilai-nilai parameter. Kita lakukan run tiga “Rantai Markov” secara paralel
dimulai dari nilai awal yang berbeda untuk sejumlah iterasi. Sebanyak iterasi awal tertentu
mungkin akan dibuang sebagai periode burn-in. Kemudian kita mengambil nilai-nilai
simulasi setiap ke-20 iterasi untuk mengurangi autokorelasi. Sampel akhir ukuran tertentu
(dikumpulkan selama tiga rantai), sehingga hampir imbang independen yang diperoleh untuk
setiap parameter dalam model dan digunakan untuk posterior inferensi. Plot jejak, plot
autokorelasi dan plot posterior density diperiksa dengan seksama untuk memastikan
konvergensi dicapai untuk setiap parameter. Konvergensi parameter juga ekstensif diperiksa
menggunakan metode “Plot Konvergensi Brooks, Gelman dan Rubin” (Gelman dan Rubin,
1992; Brooks dan Gelman, 1998).
EBE adalah sebuah pendekatan pendugaan yang telah digunakan secara luas dalam
analisis data, terutama untuk sebelum dan sesudah evaluasi dari suatu perlakuan (treatment).
Pendekatan EBE terkait dengan pendekatan Bayesian penuh (FBE) dalam arti bahwa
informasi prior dikombinasikan dengan data saat ini untuk mendapatkan perkiraan. Namun,
berbeda dengan pendekatan FBE, parameter distribusi prior (prior distribution) diperkirakan
dari data yang ada dan digunakan dalam langkah-langkah berikutnya dengan asumsi tidak
ada ketidakpastian (uncertainty) terkait dengan parameter. Misalnya, dalam mengevaluasi
dampak dari beberapa perlakuan (treatment) dalam jumlah outcome tertentu, informasi
sebelumnya (prior) diperoleh dari situs perbandingan yang mirip dengan situs perlakuan
(treatment). Perkiraan dari mean sampel atau fungsi dari mean (umumnya dikenal sebagai

47
Fungsi Keselamatan Kinerja (Safety Performance Function - (SPF) dapat dihitung dan
kemudian dikombinasikan dengan menghitung “kecelakaan” yang spesifik untuk
memperoleh perkiraan peningkatan yang diharapkan jumlah situs “kecelakaan”. Namun, ini
berarti bahwa dalam pendekatan EBE, perkiraan tingkat populasi tidak memberikan
kontribusi pada ketidakpastian di situs. Perkiraan spesifik dan sebagai hasilnya, perkiraan
persimpangan tingkat mungkin memiliki kesalahan standar yang lebih rendah. Di sisi lain,
pendekatan FBE, memiliki account yang lebih baik untuk ketidakpastian ini dengan
mengakui bahwa perkiraan tingkat populasi mengikuti distribusi tertentu yang pada
gilirannya tergantung pada tingkat yang lebih tinggi parameter. Juga, peenerapan pendekatan
FBE tidak memerlukan estimasi SPF, yang merupakan salah satu keterbatasan terbesar dari
pendekatan EBE (Perancis dan Heagerty, 2008).
Prosedur yang melibatkan model regresi sebelum intervensi kebijakan dan
menggunakan model yang dihasilkan untuk membentuk lintasan hasil dalam periode waktu
setelah kebijakan intervensi berupa kebijakan (policy). Hal ini diikuti dengan pengamatan
yang kontras pada pasca-intervensi dengan hasil yang mereka harapkan (diprediksi oleh
model regresi) di bawah adanya intervensi kebijakan. Model berbasis regresi memiliki
fleksibilitas untuk memperhitungkan kecenderungan sementara serta menyesuaikan kovariat
penting dan interaksi mereka. Perbedaan antara hasil yang diharapkan dan data yang diamati
setelah perubahan kebijakan yang kemudian dirata-ratakan untuk memperkirakan efek
kebijakan. Uji statistik yang resmi seperti dua sample t-test, dapat digunakan untuk menguji
apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam efek kebijakan antara kelompok sasaran
utama yang menarik dan kelompok pembanding.

3.3.2 Metode Analisis Total Factor Productivity (TFP)


Kinerja revitalisasi tambak udang dapat diukur berdasarkan peningkatan produktivitas
usaha budidaya udang yang direvitalisasi. Peningkatan produktivitas tersebut dapat
dilakukan melalui peningkatan produktivitas input secara parsial dan atau peningkatan
Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity - TFP). Kajian terhadap produktivitas
input secara parsial belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas usaha budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep
pengukuran produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat
mempengaruhi perubahan output.
Kajian tentang TFP pada tingkat usaha budidaya tambak udang secara khusus belum
dilakukan. Bahkan pada sektor pertanian secara keseluruhan juga masih terbatas, baik dari
segi jumlah maupun lingkup penelitian, seperti yang dilakukan Fuglie (2004) dan Fuglie
(2010). Fuglie menganalisis TFP pada sektor pertanian secara aggregat (level makro) untuk

48
mengukur perubahan TFP antar waktu (time series) sebagai salah satu sumber pertumbuhan
PDB pertanian. Penelitian Fuglie (2010) menunjukkan bahwa TFP antar periode berbeda-
beda, namun cenderung meningkat pada periode revolusi hijau dan liberalisasi. Sebaliknya,
pada periode krisis ekonomi TFP cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi TFP. Oleh karena itu, kajian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi TFP menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Selain itu, kajian TFP
umumnya dilakukan pada level aggregate (makro) dan masih sangat jarang dilakukan pada
level usahatani (budidaya). Penelitian Martinez-Cordero et. al (1999) merupakan analisis
TFP pada level usahatani dengan menggunakan data lintang waktu (cross section). Pada
kedua penelitian tersebut, dianalisis variasi TFP antara usahatani dibandingkan dengan TFP
rata-rata. Dengan menganalisis TFP pada level usahatani, maka dapat diketahui faktor-faktor
apa saja selain input yang dapat mendorong peningkatan produksi.
Peningkatan produksi dapat diupayakan melalui peningkatan luas lahan yang
diusahakan dan peningkatan produktivitas. Pada kondisi faktor produksi lahan yang semakin
terbatas, maka peningkatan produktivitas menjadi pilihan penting. Produktivitas
mengandung arti kemampuan menghasilkan output dari setiap input yang digunakan.
Produktivitas input secara parsial, misalnya produktivitas per lahan atau produktivitas per
tenaga kerja, belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep pengukuran
produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat mempengaruhi
perubahan output. Dengan kata lain melalui analisis TFP dapat diidentifikasi perubahan
output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan input. Secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut (Kumar et al., 2005: Aswathy et al., 2013):
Output Index
TFP index  ................................................................................. (15)
Input Index
TFP dapat disebabkan karena adanya kemajuan teknologi atau technical progress,
yang dapat berupa perubahan teknologi atau perbaikan teknologi. Akibat terjadinya
kemajuan teknologi tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan efisiensi dalam
penggunaan input. Peningkatan efisiensi kemudian akan meningkatkan produktivitas secara
keseluruhan. Teknologi dapat meliputi teknologi input, teknologi mekanik, teknologi sistem
produksi, dan teknologi output. Variasi teknologi dapat mempengaruhi produktivitas
sehingga melalui teknologi yang lebih baik, output tertentu dapat dihasilkan dari
penggunaan input yang lebih sedikit atau penggunaan input yang sama dapat menghasilkan
output yang lebih banyak. Namun perubahan teknologi dapat juga menyebabkan
peningkatan penggunaan input untuk menghasilkan ouput yang lebih tinggi, tetapi
peningkatan output lebih tinggi dari penambahan input.

49
Selain kemajuan teknologi, produktivitas juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
eksternal maupun internal usaha budidaya udang. Faktor internal yang utama yaitu
kemampuan pembudidaya dalam mengelola usaha budidaya tambak udang. Kemampuan
pembudidaya dalam mengelola sangat ditentukan oleh banyak hal, antara lain tingkat
pendidikan, pengalaman, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani. Hal ini sering
disebut dengan faktor human capital. Peranan pembudidaya sebagai pengelola menjadi
semakin besar dan penting karena pembudidaya merupakan pengambil keputusan utama
dalam usaha budidaya tambak udang. Faktor internal lainnya yang perlu diperhatikan karena
dapat mempengaruhi produktivitas yaitu kapasitas usaha yang dapat dilihat dari ukuran
usaha budidaya udang (size of farm) dan ketersediaan aset lain. Ukuran usaha budidaya
udang yang paling lazim digunakan yaitu luas lahan. Lahan yang lebih luas dan ketersediaan
aset yang sesuai kebutuhan usahatani dapat mendorong peningkatan produktivitas usahatani.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi produktivitas usahatani yaitu dukungan
faktor eksternal, terutama ketersediaan infrastruktur pendukung, baik dalam bentuk fisik
maupun non fisik. Beberapa infrastruktur yang diperlukan dalam mendukung usahatani,
antara lain infrastruktur jalan, irigasi, pasar, kelembagaan penelitian, kelembagaan
penyuluhan, kredit dan kelembagaan keuangan, sistem agraria dan kebijakan yang
mendukung. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi produktivitas, di antaranya penelitian yang dilakukan:
Fuglie (2010); Kumar et al. (2008); Weiping and Ying, (2007); Ashok and Balasubramanian
(2006); Kalyvitis (2002); Nayak (1999); Looney (1994). Infrastruktur dapat mempengaruhi
luas lahan dan produktivitas. Perubahan infrastruktur dapat mendorong perubahan luas
lahan sehingga kurva luas lahan bergeser (naik atau turun) tergantung jenis komoditas. Pada
komoditas udang, peningkatan infrastruktur pada tingkat harga output tetap akan
menyebabkan peningkatan luas lahan.
Selain itu, peningkatan infrastruktur juga akan meningkatkan produktivitas dan kurva
produktivitas juga akan bergeser (meningkat). Artinya, kondisi infrastruktur yang berbeda
antar usaha budidaya udang akan mengakibatkan perbedaan pada luas lahan dan
produktivitas usaha budidaya udang yang pada akhirnya mempengaruhi produksi dan
keuntungan usahatani. Infrastruktur dalam penelitian ini meliputi infrastruktur fisik (jalan,
irigasi), kredit, dan teknologi (konservasi lahan, teknologi benih, dan diversifikasi tanaman).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disarikan bahwa TFP dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor penting seperti kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kualitas dan kapasitas aset
(vintage of capital), serta penelitian dan pengembangan.
Pengukuran indeks TFP, seperti indeks Laspeyres, Paasche, Fisher, dan Tornqvist.
Berdasarkan kriteria teori ekonomi dan pendekatan fungsional serta kriteria pendekatan

50
pengujian, maka indeks Fisher dan indeks Tornqvist dianggap paling baik, hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Ailex Lissitsa dalam modul “Efficiency and Productivity
Analysis: Deterministic Approaches. Section an Introduction to Index Number Methods”.
Pengukuran indeks TFP dalam penelitian ini digunakan indeks Tornqvist. Indeks TFP
menurut Tornqvist yang dikenal dengan nama Tornqvist Index.
Tornqvist Index dapat digunakan untuk mengukur TFP antar waktu (time series data),
data panel, serta antar lokasi atau antar perusahaan pada waktu tertentu (cross section data).
Dalam penelitian ini diukur TFP antar usaha budidaya tambak udang pada tahun tertentu
(cross-section). Mengingat bahwa produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
produktivitas total faktor atau total factor productivity (TFP), bukan produktivitas parsial
(misalnya produktivitas per luas lahan atau produktivitas per tenaga kerja), maka mengacu
pada Persamaan (17), pengukuran TFP dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan
cara perhitungan Tornqvist-Theil Index, seperti yang telah diterapkan oleh Hall and Jones
(1997); Martinez-Cordero et al. (1999). Tornqvist-Theil Index ini dapat diaplikasikan untuk
menghitung TFP setiap usaha budidaya tambak udang dibandingkan TFP rata-rata. Rumus
perhitungan TFP untuk aplikasi data cross section dapat dituliskan sebagai:
TFPi avg  1 2 log Qi  log Qavg S Qi  S Qavg 

 1 2 log X i  log X avg S Xi  S Xavg  ................................................ (16)


dimana:
TFPiavg = produktivitas total faktor usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i,
Qi = jumlah output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
Qavg = rata-rata output untuk seluruh usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
SQi = proporsi pendapatan output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
SQavg = rata-rata proporsi pendapatan output dari seluruh usaha budidaya tambak udang;
Xki = jumlah input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
Xkavg = rata-rata input untuk seluruh usaha budidaya tambak udang;
SXi = proporsi biaya input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i,
SXavg = rata-rata proporsi biaya input dari seluruh usaha budidaya tambak udang.

Setelah diperoleh indeks TFP, selanjutnya dilakukan analisis regresi untuk


menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi indeks TFP dengan menggunakan
pendekatan ekonometrika regresi sederhana yang pendugaannya dilakukan dengan metode
Ordinary Least Square (OLS). Model yang dibangun untuk menduga faktor-faktor yang
mempengaruhi indeks TFP usaha budidaya tambak udang, adalah sebagai berikut:
TFPi   0  1TBU i   2TPPi   3 PPUi   4 LHN i   5 ISI i   6 APIi  ei ....
.................................................................................................................................. (17)
dimana:
TFPi = total produktivitas faktor usaha budidaya tambak udang pada pembudidaya ke-i;
TBUi = indeks teknologi benih udang pada pembudidaya ke-i;
TPPi = tingkat pendidikan formal pembudidaya ke-i (dalam tahun);

51
PPUi = tingkat pengalaman pembudidaya udang ke-i (dalam tahun);
LHNi = luas lahan budidaya udang yang dikelola pembudidaya ke-i (dalam Ha);
ISIi = indeks infrastruktur irigasi pada usaha budidaya udang pada pembudidaya ke-i
(dalam indeks)
APIi = indeks aksesibilitas ke pasar input untuk pembudidaya ke-i (dalam indeks)
Indeks yang dihasilkan bervariasi antara 0 dan 1.

Perhitungan indeks teknologi benih, indeks saluran irigasi, dan indeks aksesibilitas ke
pasar input dilakukan dengan menggunakan metode yang digunakan oleh Iyengar dan
Sudarshan (1982) yang diaplikasikan juga oleh Ashok dan Balasubramanian (2006). Rumus
indeks tersebut sebagai berikut:
Yi  Wi  MinWi  / MaxWi  MinWi  .............................................................. (18)
dimana:
Yi = indeks sesuatu yang diukur pada usaha budidaya tambak udang ke-i;
Wi = bobot sesuatu yang diukur pada usaha budidaya udang ke-i;
MinWi = minimum bobot sesuatu yang diukur pada usaha budidaya tambak udang ke-i;
MaxWid = maksimum bobot sesuatu yang diukur pada usaha budiadaya tambak udang ke-i).

3.3.4 Metode Analisis Model Regresi Pilihan Kualitatif

Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang bersifat kualitatif. Dalam suatu
penelitian yang terkait dengan pengambilan keputusan, maka peubah bebasnya bersifat
kualitatif. Peubah yang bersifat kualitatif memiliki skala pengukuran nominal atau ordinal.
Skala pengukuran nominal yaitu masing-masing kategori dalam skala yang memiliki tingkat
yang sama. Sedangkan skala pengukuran nordinal yaitu masing-masing kategori memiliki
tingkat yang lebih tinggi daripada kategori yang lain. Model pilihan kualitatif itu sendiri,
bertujuan untuk menentukan alternatif mana yang akan dipilih oleh individu yang memiliki
karakteristik tertentu dan seberapa besar peluangnya, dimana yang paling sering terjadi yaitu
alternatif yang tersedia hanya ada dua, sehingga disebut pilihan model biner (juanda, 2009)
Proses pengambilan keptusan dalam penerapan suatu teknologi, seperti teknologi
budidaya udang sesuai anjuran dalam program revitalisasi akan selalu dikaitkan dengan
adopsi inovasi. Proses adopsi inovasi sendiri melalui bebrapa beberapa tahapan, yaitu:
tahap kesadaran (awareness), ketertarikan (interest), evaluasi (evaluation), perobaan (trial),
dan adopsi (adoptions) (Rogers dan Shoemaker, 1987). Proses adopsi tersebut dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor ekternal dari adopter, seperti keuntungan yang akan
diperoleh sebagai hasil proses adopsi, saluran komunikasi, kegiatan promosi penyuluhan,
interaksi individual dan kelompok, sumber informasi lainnya; serta faktor eksternal adopter
seperti umur, pendidikan, sikap terhadap perubahan, dan lainnya (Soekartawi, 1988).
Pengambilan keputusan oleh pembudidaya tambak udang dihadapkan oleh dua fakttor,
yaitu: faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen berada dalam kontrol

52
pembudidaya, sedangkan faktor eksogen tidak berada dalam kontrol pembudidaya. Faktor
endogen meliputi kondisi rumahtangga pembudidaya dengan segala faktor produksi yang
dikuasainya berupa lahan, modal, tenaga kerja dan kemampuan dalam pengelolaan. Faktor
eksogen meliputi norma dan perilaku dalam suatu struktur masyarakat tertentu, institusi
eksternal seperti pasar, dan hal lain yang berada di luar kontrol pembudidaya (Asmara,
2002).
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembudidaya untuk
merevitalisasi budidaya tambak udang, dalam penelitian ini digunakan model regresei
pilihan kualitatif. Model ini dalam analisisnya menggunakan peubah respons (dependent
variable) yang bersifat kualitatif. Peubah respons yang bersifat kualitatif tersebut dapat
mempunyai skala pengukuran nominal dan ordinal. Nilai-nilai peubah respons kualitatif ini
terbatas (limited dependent variable), bahkan sering hanya bernilai dua kemungkinan saja.
Misalnya, apakah seorang pembudidaya tambak udang melakukan revitalisasi usaha
budidayanya atau tidak. Peubah kualitatif yang hanya mempunyai dua kemungkinan ini
disebut “peubah linier” (Juanda, 2009).
Jika satu atau beberapa peubah bebas (independent variables) dalam model regresi
linier merupakan peubah linier, kita dapat merepresentasikannya sebagai peubah dummy.
Akan tetapi penerapan model regresi linier dalam kasus peubah responsnya bernilai biner,
maka penyelesaiannya akan bersifat kompleks. Model-model pilihan biner mengasumsikan
bahwa individu-individu (unit pengamatan) dihadapkan pada suatu pilihan antara dua
alternatif, dan pilihannya tergantung dari karakteristik individu-individu tersebut.
Misalnya, kita ingin memprediksi apakah seorang pembudidaya akan mengambil
keputusan untuk merevitalisasi usaha budidaya tambak udang dengan menerapkan
teknologi sesuai anjuran (Y). Kita dapat memperkirakan bahwa penggunaan benih udang
(benur) unggulan sesuai anjurana untuk budidaya udang (X) merupakan faktor dalam
menentukan apakah pembudidaya melakukan revitalisasi budidaya tambak udang atau tidak.
Pembudidaya yang menggunakan benih udang (benur) yang lebih banik sesuai anjuran
berpeluang (berkemungkinan) lebih besar untuk merevitalisasi budidaya tambak udangnya
dibandingkan pembudidaya yang menggunakan benih udang (benur) yang kualitasnya lebih
rendah (tidak sesuai anjuran). Dengan demikian, dalam menganalisis keputusan seorang
pembiddaya untuk merevitalisasi budidaya tambak udang, kita akan memperoleh jawaban
hanya dua, yaitu ya (untuk pembudidaya yang merevitalisasi) dan tidak (untuk pembudidaya
yang tidak merivtalisasi). Dengan kata lain, respons seorang pembudidaya tersebut bersifat
dikotomis (binari). Untuk analisis seperti ini, kita dapat menggunakan model regresi dimana
peubahnya bersifat kualitatif dan kita harus mengkuantifikasikan peubah kualitatif tersebut

53
agar regresei bisa dilakukan. Kita akan mengambil nilai 1 jika peubah mempunyai atribut
dan nilai 0 jika peubah tidak mengandung atribut (Widarjono, 2007).
Meskipun logis kita memperkirakan suatu hubungan langsung antara penggunaan
benih udang (benur) yang berkualitas tinggi sesuai anjuran (X) dan perilaku keputusan
pembudidaya merevitalisasi budidaya tambak udangnya (Y), namun kita tidak bisa
memprediksi secara pasti (yakin) apakah masing-masing pembudidaya yang menggunakan
benih udang dengan kualitas tertentu pasti akan merevitalisasi budidaya tambak udangnya,
seperti yang ditunjukkan dengan kesediaannya menerapkan teknologi untuk merevitalisasi
budidaya udang. Apa yang kita lakukan hanya memprediksi kemungkinan seorang
pembudidaya dengan menggunakan benih udang tertentu akan merevitalisasi budidaya
tambak udang (seperti ditunjukkan oleh kesediaanya menggunakan teknologi sesuai anjuran)
atau tidak. Oleh karena itu, tujuan model pilihan respons kualitatif adalah menentukan
peluang bahwa individu dengan karakteristik-karekteristik tertentu akan memilih suatu
pilihan respons tertentu dari beberapa alternatif yang tersedia (Juanda, 2009).
Dalam literatur ekonometrika, setidaknya terdapat empat jenis model regresi pilihan
respons kualitatif, yaitu: (1) Model Regresei Peluang Linier; (2) Model Regresei Probit; (3)
Model Regresei Logit; dan (4) Model Regresi Tobit. Masing-masing jenis model regresi
pilihan kualitatif tersebut, dapat dijelaskan pada uraian berikut.

3.3.3.1 Model Regresi Peluang Linier

Sebagai iliustrasi model pilihan kualitatif yang paling sederhana sederhana, kita mulai
dengan model peluang linier (Linier Probability Model – LPM) dengan bentuk model
regresi sebagai berikut:

Yi   0  1 X i   i ............................................................................................. (19)

dimana:
Xi = nilai karajteristik (misalnya modal usaha) individu ke-i
 1, jika pilihan kesatu dipilih (misal merivalisasi tambak udang )
Yi  
0, jika pilihan kedua dipilih (misal tidak merivalisasi tambak udang )
εi = peubah acak yang menyebar bebas dengan nilai tengah 0.

Dalam penelitian ini, digunakan satu peubah terikat atau peubah respons (dependent
variabel), Yi dan 11 peubah bebas (independent variables), Xi, sehingga Persamaan (19)
tersebut menjadi:

Yi   0  1 X 1   2 X 2   3 X 3   4 X 4   5 X 5   6 X 6 

54
  7 X 7   8 X 8   9 X 9  10 X 10  11 X 11   i ........................................ (20)

dimana:

Yi = peubah peluang merevitalisasi budidaya tambak udang yang dalam hal ini diproksi
dengan peubah peluang menerapkan teknologi budidaya tambak udang sesuai dengan
anjuran dalam program revitalisasi budidaya tambak udang (nilai 1 untuk
pembudidaya yang merevitalisasi, dan nilai 0 untuk pembudidaya yang tidak
merevitalisasi)
X1 = peubah tingkat kualitas benih udang (nilai 3 untuk benih berkualitas tinggi sesuai
anjuran, nilai 2 untuk benih yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk benih
yang tidak berkualitas/rendah)
X2 = peubah tingkat kualitas pakan udang (nilai 3 untuk pakan berkualitas tinggi sesuai
anjuran, nilai 2 untuk pakan yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk pakan
yang tidak berkualitas/rendah)
X3 = peubah luas lahan budidaya tambak udang yang diusahakan (dalam satuan hektar)
X4 = peubah status kepemilikan lahan tambak (nilai 3 untuk milik sendiri, nilai 2 untuk sewa,
dan nilai 1 untuk garapan)
X5 = peubah dummy penguasaan teknologi budidaya tambak udang sesuai anjuran (nilai 1
jika menguasai , dan nilai 0 jika tidak menguasai)
X6 = peubah tingkat pendidikan tenaga kerja (nilai 4 untuk perguruan tinggi, nilai 3 untuk
sekolah tingkat atas, nilai 2 untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, dan nilai 1 untuk
sekolah dasar).
X7 = peubah tingkat pengalaman dalam usaha budidaya tambak udang yang diukur dari
lamanya petambak melakukan usaha bidudaya udang (tahun).
X8 = peubah kondisi infrastruktur irigasi (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang,
dan 1 untuk kondisi buruk).
X9 = peubah kondisi infrastruktur akses jalan ke lokasi tambak (nilai 3 untuk kondisi baik,
2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk).
X10 = peubah dukungan kebijakan permodalan (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk
cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
X11 = peubah dukungan kebijakan tata-ruang wilayah (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2
untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
X12 = peubah dukungan kebijakan revitalisasi industri budidaya udang (nilai 3 untuk
mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
εi = peubah gallat (gangguan)

Untuk menginterupsikan Persamaan (19), kita tentukan nilai harapan dari masing-
masing pengamatan peubah respons (dependent variable) Yi:

EYi    0  1 X i ................................................................................................ (21)

Karena Yi hanya mempunyai kemungkinan dua macam nilai, yaitu: 1 dan 0, kita dapat
menggambarkan sebaran peluang Y dengan memisalkan:

Pi  PYi  1 dan 1  Pi  PYi  0

sehingga:
EYi   1Pi   01  Pi   Pi ........................................................................................ (22)

55
Dengan demikian, nilai harapan kondisional (conditional expectation) dari Persamaan (19)
dapat diinterpretasikan sebagai probabilitas kondisional dari Y. Karena probabilitas Pi harus
bernilai 0 dan 1, maka:

0  E Yi X i   1 .................................................................................................... (23)

Jadi dalam iliustrasi mengenai revitalisasi industri budidaya udang seperti dijelaskan di atas,
model regresi dalam Persamaan (20) menggambarkan peluang bahwa individu pembudidaya
ke-i dengan penggunaan benih udang yang berkualitas tinggi sesuai anjuran (Xi) akan
merevitalisasi kegiatan usaha budidaya tambak udang (Y). Dugaan model peluang linier
(LPM) sering ditulias dalam bentuk sebagai:

  0   1 X i , jika 0   0   1 X i 
 , jika  0   1 X i   1 ......................................................... (24)
Pi  1
0 , jika  0   1 X i   1

Karena karakteristik dari model LPM ini sama dengan model regresi linier, maka metode
OLS dapat digunakan untuk menyelesaikan model regresei ini. Dengan demikian model
LPM merupakan model yang paling sederhana dan mudah dilakukan, namun model ini
mempunyai beberapa kelamahan, yaitu:

(a) Peubah Gangguan (εi) Tidak Berdistribusi Normal

Sebaran (distribusi) model yang bersifat binari dalam peubah terikatnya yang hanya
mempunyai dua niolai (1 dan 0), maka model LPM peubah gangguannya jelas tidak
berdistribusi normal. Hal ini dijelaskan sebagai berikut:

Yi   0  1 X i   i ............................................................................................. (19)

maka peubah gangguannya:

 i  Yi   0  1 X i ............................................................................................. (25)

Jika Yi = 1, maka εi = 1 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = Pi


Jika Yi = 0, maka εi = 0 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = 1 - Pi

Sebaran (distribusi) peluang komponen sisaan ε ditentukan dengan mensubstitusikan


nilai Yi ( 1 dan 0) dalam Persamaan (19) yang dapat dilihat dalam Tabel 2. Dari Tabel 2, kita
dapat melihat hubungan antara peluang Pi dan Xi dengan menggunakan asumsi bahwa nilai
tengah sisaan sama dengan 0, seperti dalam Tabel 8.

56
Tabel 8. Sebaran Peluang bagi Peubah Galat (εi)

Yi εi Peluang
1 1- β0 - β1Xi Pi
0 - β0 - β1Xi 1 - Pi

E i   1   0  1 X i Pi    0  1 X i 1  Pi  ............................................. (26)

Sehingga, Pi   0  1 X i dan 1  Pi   1   0  1 X i

Ragam komponen sisaan dapat dihitung sebagai berikut:

 
E  i2  1   0  1 X i  Pi    0  1 X i  1  Pi 
2 2

 1   0  1 X i   0  1 X i    0  1 X i  1   0  1 X i 
2 2

 1   0  1 X i  0  1 X i   Pi 1  Pi  .............................................. (27)

atau,

 
Var Yi   E Yi 2  E Yi   E Yi 1  E Yi   Pi 1  Pi    i2  E  i2
2
  ....... (28)

Jadi bisa dilihat bahwa peubah ganguan (εi) tidak berdistribusi normal, demikian pula
dengan dan peubah Y, tetapi menyebar mengikuti distribusi binomial ( Distribusi Bernouli).

Peubah gangguan (εi) yang tidak berdistribusi normal (yakni mengkikuti Distribusi
Bernouli) tidak masalah jika tujuan dari OLS hanya sekedar pendugaan bukan untuk
inferensi (prediksi), karena akan tetap menghasilkan penduga (estimator) yang BLUE (Best
Linier Unbiased Etimators). Disamping itu, jika sampel terus bertambah, maka penduga
(estimator) OLS cenderung akan terdistribusi secara normal (Widarjono, 2007).

(b) Varian dari Peubah Gangguan Mengandung Unsur Heteroskedastisitas

Kelemahan (masalah) kedua yang muncul adalah bahwa peubah gangguan (εi) dari
LPM mengnadung unsur heteroskedastisitas, meskipun kita tetap mempertahankan E(εi) = 0
dan cov ((εi, εj) = 0. Hal ini terjadi karena εi mengikuti distribusi binomial. Hal ini bisa
dijelaskan sebagai berikut.

Ketika: Yi = 1, maka εi = 1 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = Pi


Yi = 0, maka εi = 0 – β0 +β1Xi sehingga probabiloitasnya = 1 - Pi
Maka E(εi) = 0, sehingga:

1   0  1 X i Pi    0  1 X i 1  Pi   0 ................................................... (29)

57
Varian peubah gangguan (εi) dapat dihitung sebagai:

Var  i   E  i  E  i 
2

 
 E  i2 karena asumsi E(εi) = 0

 1   0  1 X i   0  1 X i     0  1 X i  1   0  1 X i 
2 2

 1   0  1 X i  0  1 X i 

 Pi 1  Pi  ............................................................................................ (30)

atau,

Var  i   E Yi X i 1  E Yi X i  ........................................................................ (31)

 Pi 1  Pi 

dimana nilai Pi tergantung dari peubah X

Persamaan (30) atau Persamaan (31) menunjukkan bahwa komponen sisaan bersifat
heteroskedastis, hal ini karena adanya heteroskedastisitas yang menyebabkan penduga
(estimator) dari LPM tidak lagi BLUE, yakni tidak lagi mempunyai varian yang minimum.
Pengamatan-pengamtan dengan nilai Pi mendekati 0 atau 1 mempunyai ragam relatif kecil,
sedangkan pengamatan-pengamatan dengan nilai Pi mendekati 0,5 akan mempunyai ragam
relatif besar. Masalah heteroskedastisitas ini, sebagaimana telah dibahas, mengakibatkan
penduga OLS (Ordinary Least Square ) tidak efisien (σβ besar), meskipun tetap konsisten
dan tak bias, sehingga kita bisa mengatasi atau mengoreksi masalah heteroskedastisitas
dengan cara melakukan regresi metode WLS (Weight Least Squares). Namun mengingat
bahwa masalah ini cukup kompleks dan disarankan tidak menggunakan pendekatan ini.
Dalam hal demikian, terdapat dua macam teknik pendekatan model yang dapat digunakan,
yaitu: model probit dan model logit.

(c) Nilai E(Yi ǀ Xi) Tidak Selalu Terletak pada 0 ≤ E (Yi ǀ Xi) ≤ 1

Dalam kenyataannya tidak ada jaminan bahwa nilai prediksi Y dari model peluang
linir (LPM) ini terletak antara 0 dan 1. Masalah ketiga inilai masalah utama dalam model
LPM. Ada dua cara untuk menyelesaiakan masalah ini. Pertama, melakukan regresi model
LPM dengan metode OLS dan mencari nilai prediksi Y. Jika hasilnyab lebih kecil dari nol
(negatif), maka kita anggap nilainya nol; dan jika hasilnya lebih dari 1, maka kita asumsikan
1. Kedua, menggunakan teknik lain yang menjamin bahwa nilai probabilitas Y terletak

58
antara 0 dan 1. Model yang menjadi nilai probabilitas antara 0 dan 1 adalah model probit
maupun model logit.

(d) Nilai Koefisien Determinasi (R2) Diragukan Kebenarannya

Koefisien determinasi (R2) tidak akan mampu menjelaskan kesesuaian garis regresi
dengan datanya jika distribusi data peubah terikat (dependent variable) bersifat dikotomis
atau binari. Dalam model regresi dengan pilihan respons kualitatif, nilai peubah terikat
adalah 1 dan 0. Jika kita menggunakan model LPM dalam mennduga model ini, maka R2
tidak menjamin adanya koefisien determinasi (R2) yang sedekat mungkin dengan datanya,
sedangkan sebaran data hanya terletak di dua titik ekstrim, yaitu 0 dan 1 seperti terlihat pada
Gambar 10.

Sumber: Widarjono (2007)


- 0 + X

Gambar 10. Sebaran Data dan Garis Regresi Model LPM

3.3.3.2 Model Regresi Probit

Dengan berbagai kelemahan (masalah) dalam model peluang linier seperti dijelaskan
pada uraian sebelumnya, sangat wajar kita perlu mentransformasi model (linier) awal
sedemikian rupa, sehingga prediksi nilai Y berada dalam selang (0;1) untuk semua nilai
peubah bebas X. Dalam model LPM kita mengasumsikan bahwa Pi(Yi = 1 ǀ Xi) menaik
secara linier terhadap X. Misalnya batas minimal modal usaha budidaya tambak udang
untuk bisa merevitalisasi budidaya udangnya adalah 100 juta rupiah per hektar. Dalam
model LPM ini berarti jika tingkat modal usaha mengalami kenaikan 10 juta rupiah per
hektar, maka probabilitasnya terus mengalami kenaikan dalam besaran tingkat kualitas
revitalisasi yang sama, dan jika sudah di atas modal usaha minimal kemanikan modal usaha
tidak banyak mempengaruhi probabilitas untuk merevitalisasi budidaya tambak udangnya.

59
Probabilitas seperti ini jelas tidak sesuai dengan fakta. Sebuah model probabilitas harus
mampu menjamin nilai probabilitasnya terletak antara 0 dan 1. Salah satu bentuk
transformasi yang mempunyai karakteristik seperti ini adalah fungsi peluang distribusi
kumulatif (Cumulative Distribution Probability Function - CDF), seperti terlihat pada
Gambar 11. Model CDF adalah sebuah model yang mampu menjamin bahwa nilainya
terletak antara 0 dan 1, sehingga dapat membuat model regresi dimana respons dari peubah
terikat bersifat dikotomis, yakni 0 dan 1 menjadi terpenuhi (Widarjono 2007; Juanda, 2009).

P(Z)

Z
 -2 -1 0 1 2 

Sumber: Widarjono (2007)


Gambar 11. Fungsi probabilitas Distribusi Kumulatif CDF)

CDF memenuhi dua sifat, yaitu: (1) Ketika Xi naik maka Pi(Yi = 1 ǀ Xi) akan naik pula
tetapi tidak pernah kelaur dari interval 0 hingga 1; (2) Hubungan antara Pi dan Xi adalah
non linier, sehingga tingkat perubahannya tidak sama tetapi kenaikannnya semakin besar
dan kemudian semakin kecil (lihat Gambar 2). Ketika nilai probabilitasnya mendekati 1,
tingkat kenaikannya semakin mengecil. “F(xi) = Peluang (X ≤ xi). Sebaran peluang
kumulatifnya dapat direpresentasikan dalam bentuk:

Pi  F   X i   F Z i  .................................................................................... (34)

Sebenarnya banyak fungsi peluang kumulatif yang mungkin dapat digunakan, namun
dalam penelitian ini ada dua model yang memenuhi kriteria dari CDF yang dipertimbangkan,
yaitu: Model Probit dan Model Logit. Model probit berkaitan dengan fungsi probabilitas
distribusi normal (Normal Distribution Probability Function - NBF), sementara Model Logit
berkaitan dengan fungsi probabiloitas distribusi logistik (Logistic Distribution Probability
Function - LBF).

60
Untuk memahami Model Probit (NBF) ini, asumsikan bahwa ada suatu indeks Zi yang
bernilai kontinu secara teoritis, yang ditentukan oleh nilai peubah penjelas X sehingga dapat
ditulis:

Z i   0  1 X i .................................................................................................... (32)

Dalam penelitian ini, digunakan satu peubah terikat atau peubah respons (dependent
variabel), Yi dan 11 peubah bebas (independent variables), Xi, sehingga Persamaan (13)
tersebut menjadi:

Z i   0  1 X 1   2 X 2   3 X 3   4 X 4   5 X 5   6 X 6 

  7 X 7   8 X 8   9 X 9  10 X 10  11 X 11 ................................................ (33)

dimana:

Zi = peubah peluang merevitalisasi budidaya tambak udang yang dalam hal ini diproksi
dengan peubah peluang menerapkan teknologi budidaya tambak udang sesuai dengan
anjuran dalam program revitalisasi budidaya tambak udang (nilai 1 untuk
pembudidaya yang merevitalisasi, dan nilai 0 untuk pembudidaya yang tidak
merevitalisasi)
X1 = peubah tingkat kualitas benih udang (nilai 3 untuk benih berkualitas tinggi sesuai
anjuran, nilai 2 untuk benih yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk benih
yang tidak berkualitas/rendah)
X2 = peubah tingkat kualitas pakan udang (nilai 3 untuk pakan berkualitas tinggi sesuai
anjuran, nilai 2 untuk pakan yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk pakan
yang tidak berkualitas/rendah)
X3 = peubah luas lahan budidaya tambak udang yang diusahakan (dalam satuan hektar)
X4 = peubah status kepemilikan lahan tambak (nilai 3 untuk milik sendiri, nilai 2 untuk sewa,
dan nilai 1 untuk garapan)
X5 = peubah dummy penguasaan teknologi budidaya tambak udang sesuai anjuran (nilai 1
jika menguasai , dan nilai 0 jika tidak menguasai)
X6 = peubah tingkat pendidikan tenaga kerja (nilai 4 untuk perguruan tinggi, nilai 3 untuk
sekolah tingkat atas, nilai 2 untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, dan nilai 1 untuk
sekolah dasar).
X7 = peubah tingkat pengalaman dalam usaha budidaya tambak udang yang diukur dari
lamanya petambak melakukan usaha bidudaya udang (tahun).
X8 = peubah kondisi infrastruktur irigasi (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang,
dan 1 untuk kondisi buruk).
X9 = peubah kondisi infrastruktur akses jalan ke lokasi tambak (nilai 3 untuk kondisi baik,
2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk).
X10 = peubah dukungan kebijakan permodalan (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk
cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
X11 = peubah dukungan kebijakan tata-ruang wilayah (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2
untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
X12 = peubah dukungan kebijakan revitalisasi industri budidaya udang (nilai 3 untuk
mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
Pembentukan indeks Zi pada Persamaan (36) adalah rasional, karena setiap
pembudidaya tambak udang mempunyai nilai kritis dari index (treshold), katakanlah Z i* ,

61
maka probabilitas merevitalisasi budidaya tambak udang semakin besar dan sebaliknya.
Kondisi ini dapat ditulis sebagai:

Keputusan merevitalisasi budidaya udang:

 Ya , jika Z i  Z *
 ................................................................................. (34)
Tidak , jika Z i  Z
*

Dengan asumsi normalitas, probabilitas dari Z i* yang kurang atau sama dengan Zi dapat

dihitung melalui distribusi normal dari CDF sebagai:

 
Pi  PYi  1 X i   P Z i*  Z i  PZ i   0  1 X i   F  0  1 X i  ....... (35)

Dimana P(Yi=1ǀXi) berarti probabilitas peristiwa terjadi pada nilai X tertentu dan Zi adalah
peubah normal standar (baku), yaitu: Zi ~ N (0,σ2). Model probit mengasumsikan bahwa Z
merupakan peubah acak yang menyebar normal, sehingga peluang bahwa Z lebih kecil (atau
sama dengan) Zi dapat dihitung dari fungsi peluang normal kumulatif. Untuk fungsi peluang
normal baku kumulatif dapat dituliskan dalam rumus:

Pi  F Z i  
1 Z
 e  s / 2 s
2

....................................................................... (36)
2 

atau,

  0  1 X i 
Pi  F Z i  
1
 e  s / 2 s
2

2  ........................................................... (37)

dimana Pi menunjukkan probabiloitas suatu peristiwa yang terjadi, yaitu pribabilitas


merevitalisasi budidaya tambak udang, kondisi ini digambarkan oleh area dari kurva nromal
standar (baku) dari   ke Z i . Tabel 3 menggambarkan hubungan antara nilai Z dengan

normal CDF-nya. Nilai Pi akan terletak pada internval (0;1). Kemdian s adalah suatu
peubah acak menyebar normal dengan nilai tengah 0 dan ragam 1.

62
Tabel 9. Hubungan Nilai Indeks Z dan Sebaran Peluang Normal Kumulatif

Z Peluang Normal, Peluang Logistik,


P(Z) P(Z)
-3,0 0,0013 0,0474
-2,0 0,0228 0,1192
-1,5 0,0668 0,1824
-1,0 0,1587 0,2689
-0,5 0,3085 0,3775
0,0 0,5000 0,5000
0,5 0,6915 0,6225
1,0 0,8413 0,7311
1,5 0,9332 0,8176
2,0 0,9772 0,8808
3,0 0,9987 0,9526
Sumber: Widarjono (2007) dan Juanda (2009)

Dengan rumus transformasi pada Persamaan (9), peubah Pi akan bernilai dalam selang
(0;1). Pi menggambarkan peluang individu berkarakteristik Xi memilih pilihan-1 (misal
merevitalisasi budidaya tambak udang). Karena nilai peluang ini diukur berdasarkan luas
area di bawah kurva normal, maka untuk mendapatkan informasi Zi dan β0 serta βi, kita
melakukan inverse Persamaan (15), sehingga mendapat persamaan sebagai berikut:

Z i  F 1 Pi    0  1 X i .................................................................................... (38)

dimana F-1 adalah inverse dari normal CDF. Kita dapat menginterpreatasikan probabilitas Pi
dari Model Probit ini sebagai suatu pendugaan probabilitas individu (pembudidaya) yang
memutuskan merevitalisasi budidaya tambak udang pada nilai modal usaha tertentu, Xi.
Fungsi peluang normal kumulatif ditunjukkan dalam Gambar 12 yang membandingkan
model probit dan model peluang linier.
P(Z)

Linier Probability Model – LPM


(constrained)

Probit Model

-3 -2 -1 0 1 2 3 Z
Sumber: Juanda (2009)
Gambar 12. Perbedaan Model Probit dengan Model Peluang Linier (LPM)

63
Pendugaan Model Probit tergantung jenis datanya, yakni: (1) Data pengamatan pada
grup atau kelompok; dan (2) Data observasi pada tingkat individu. Data jenis pertma, kiita
bisa mencari nilai probabilitasnya, sehingga kita bisa menduga dengan teknik metode OLS;
namun jika data individu tanpa diketahui probabilitasnya, maka kita dapat menduga dengan
menggunakan metode pendugaan maximum likelihood (ML) (Widarjono, 2007; Juanda,
2009). Meskipun model probit lebih menarik dari model peluang linier, namun untuk
menduga parameter koefisiennya menggunakan pendugaan kemungkinan maksimum
(maximum likelihood, ML) non linier. Selain itu, justifikasi atau interpretasi koefisiennya
agak terbatas. Oleh karena itu, sebaiknya menggunakan model logit (Juanda, 2009).

3.3.3.3 Model Regresi Logit

Regresi logistik atau kadang disebut model logit merupakan salah satu bagian dari
analisis regresi yang digunakan untuk memprediksi probabilitas kejadian suatu peristiwa
yang dilakukan dengan mencocokkan data pada fungsi logit (Gujarati, 2003). Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, model fungsi distribusi kumulatif (CDF) lebih cocok menjelaskan
perilaku peubah terikat (dependent variable) yang merupakan sebuah respons kualitatif
bersifat dikotomi daripada model probabilitas linier (LPM). Selain Model Probit yang
menggunakan distribusi normal, model CDF yang didasarkan pada distribusi logistik dalam
banyak kasus juga mampu menjelaskan model peubah terikat yang dikotomis tersebut
(Gujarati, 2003).
Model ini disebut Model Logit yang berasal dari nama jenis distribusi probabilitas
logistik untuk menjelaskan pilihan respons kualitatif peubah terikat. Dalam penelitian ini,
penggunaan data revitalisasi budidaya tambak udang (Y) bersifat dikotomis, dimana 0 berarti
tidak merevitalisasi budidaya tambak udang, dan nilai 1 berarti merevitalisasi budidaya
tambak udang. Penentuan peubah revitalisasi budidaya tambak udang (Y) tersebut
dipengaruhi oleh sebanyak sebelas peubah, dengan persamaan model fungsi probabilitas
logistik kumulatif yang dapat ditulis sebagai:

Pi  F Z i    0  1 X i  
1
1  e  Zi

1
    0  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1  1 X 1 i ..
1 e
............................................................................................................. (39)

64
dimana:

Zi = peubah peluang merevitalisasi budidaya tambak udang yang dalam hal ini diproksi
dengan peubah peluang menerapkan teknologi budidaya tambak udang sesuai dengan
anjuran dalam program revitalisasi budidaya tambak udang (nilai 1 untuk
pembudidaya yang merevitalisasi, dan nilai 0 untuk pembudidaya yang tidak
merevitalisasi)
X1 = peubah tingkat kualitas benih udang (nilai 3 untuk benih berkualitas tinggi sesuai
anjuran, nilai 2 untuk benih yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk benih
yang tidak berkualitas/rendah)
X2 = peubah tingkat kualitas pakan udang (nilai 3 untuk pakan berkualitas tinggi sesuai
anjuran, nilai 2 untuk pakan yang kurang berkualitas/sedang, dan nilai 1 untuk pakan
yang tidak berkualitas/rendah)
X3 = peubah luas lahan budidaya tambak udang yang diusahakan (dalam satuan hektar)
X4 = peubah status kepemilikan lahan tambak (nilai 3 untuk milik sendiri, nilai 2 untuk sewa,
dan nilai 1 untuk garapan)
X5 = peubah dummy penguasaan teknologi budidaya tambak udang sesuai anjuran (nilai 1
jika menguasai , dan nilai 0 jika tidak menguasai)
X6 = peubah tingkat pendidikan tenaga kerja (nilai 4 untuk perguruan tinggi, nilai 3 untuk
sekolah tingkat atas, nilai 2 untuk sekolah lanjutan tingkat pertama, dan nilai 1 untuk
sekolah dasar).
X7 = peubah tingkat pengalaman dalam usaha budidaya tambak udang yang diukur dari
lamanya petambak melakukan usaha bidudaya udang (tahun).
X8 = peubah kondisi infrastruktur irigasi (nilai 3 untuk kondisi baik, 2 untuk kondisi sedang,
dan 1 untuk kondisi buruk).
X9 = peubah kondisi infrastruktur akses jalan ke lokasi tambak (nilai 3 untuk kondisi baik,
2 untuk kondisi sedang, dan 1 untuk kondisi buruk).
X10 = peubah dukungan kebijakan permodalan (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2 untuk
cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
X11 = peubah dukungan kebijakan tata-ruang wilayah (nilai 3 untuk mendukung, nilai 2
untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).
X12 = peubah dukungan kebijakan revitalisasi industri budidaya udang (nilai 3 untuk
mendukung, nilai 2 untuk cukup mendukung, dan nilai 1 untuk kurang mendukung).

Bilangan e merepresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e = 2,718...) dan Pi adalah


probabilitas seseorang dalam merevitalisasi budidaya tambak udang pada tingkat modal
usaha (X) tertentu. Nilai Z terletak antara   dan   , sedangkan nilai Pi terletak
diantara 0 dan 1 (lihat Gambar 13). Probabilitas logistik ini dengan demikian memenuhi
kriteria dari model distribusi kumulatif (CDF).

65
P(Z)

Probit Model
1

Logit Model

Z
 -2 -1 0 1 2 
Sumber: Widarjono (2007)
Gambar 13. Model Distribusi Normal dan Model Distribusi Logistik

Perbedaan Model Logit dengan Model Probit sebelumnya dapat dijelaskan


memperhatikan Tabel 6. Tabel 7 tersebut menunjukkan bahwa Model Probit dan Model
Logit hampir sama. Perbedaannya, nilai probabilitas Pi Model Logit yang mendekati 0 atau
1 mempunyai tingkat penurunan yang lebih lambat daripada Model Probit. Jika
digambarkan keduanya akan terlihat seperti Gambar 7, dimana Model Logit mempunyai
ekor yanag agak sedikit datar
Pertimbangan pemilihan sebaran logistik kumulatif diantaranya adalah karena
interpreatsinya yang logis dan dapat ditunjukkan bahwa :
0 ≤ E(YǀXi) = Pi ≤ 1 ..................................................................................................... (40)

Selain itu dari sisi matematika, Persamaan (20) merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan
mudah digunakan serta parameter koefisiennya mudah dinterpretasikan. Dengan
menggunakan aljabar biasa, Persamaan (20) dapat ditunjukkan menjadi (Juanda, 2009):

1  Pi
1  e P  1 
Z
e Z 
1
1   eZ 
Pi
................................... (41)
1  Pi
i
p Pi

Peubah Pi/(1-Pi) dalam Persamaan (26) disebut odds, yang sering juga diistilahkan
dengan risiko atau kemungkinan, yaitu rasio peluang terjadinya pilihan-1 (merevitalisasi
budidaya tambak udang) terhadap peluang terjadi pilihan-0 alternatifnya (tidak merevitalisai
budidaya tambak udang). Dalam ilistrasi ini, jika seorang pembudidaya tambak udang
dengan tingkat penerapan teknologi sesuai anjuran sama dengan 0,2, maka peluang tidak
merevitalisasinya adalah sama dengan 0,8. Dengan demikian odds-nya ¼, atau peluang
merevitalisasi budidaya tambak udangnya ¼ dari peluang tidak merevitalisasi. Jika peluang
merevitalisasi budidaya tambak udangnya sama dengan ½, maka nilai odds-nya sama

66
dengan 1. Jika peluang merevitalisasi budidaya tambak udangnya adalah sebesar 0,8 (lebih
dari ½), maka nilai odds-nya 4 (lebih dari 1), artinya peluang merevitalisasi budidaya
tambak udangnya 4 kali dari peluang tidak berhasil dalam revitalisasi. Oleh karena itu, nilai
odds merupakan suatu indikator kecenderungan seseorang dalam menentukan pilihan-1
(merevitilasi budidaya tambak udang).

Selanjutnya, jika Persamaan (26) ditransformasikan dengan logaritma natural, maka:

Pi Pi
Z i  ln  ln  Z i    X i .......................................................... (42)
1  Pi 1  Pi

Persamaan (45) ini menunjukkan bahwa salah satu karakteristik penting dari model
logit adalah bahwa model ini metransformasikan masalah prediksi peluang dalam selang
(0;1) ke masalah prediksi log odds tentang kejadian (Y=1) dalam selang bilangan riil, ~ ≤
logit (Pi) ≤ ~.

- Pendugaan Parameter Koefisien Model Logit

Pendekatan dengan Least Square (OLS dan WLS) dapat dilakukan untuk model logit
jika data peubah bebas X dikelompokkan dulu (daslam suatu selang). Akan tetapi umumnya,
pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan penduga kemungkinan maksimum
(maximum likelihood estimator – MLE), seperti yang telah dibahas sebelumnya (pada bagian
pendugaan dalam metode ITSA).

Prosedur MLE dalam menduga parameter koefisien model logit adalah sebagai
berikut. Misalkan:

Pi = P(Y=1ǀ xi) = P(xi) : peluang bahwa Y = 1 jika diketahui X = xi.

1-Pi = P(Y=1ǀ xi) = P(xi) : peluang bahwa Y = 0 jika diketahui X = xi..

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Yi bernilai 1 atau 0 dan menyebar menurut sebaran
(distribusi) Bernouli, maka fungsi peluang atau fungsi kemungkinan untuk pengamatan
berpasangan (xi,yi) untuk i = 1,2, ..., n adalah:

  xi   P xi  y 1  P xi 1 y ................................................................................. (43)


i

Karena n pengamatan (xi,yi) diasumsikan bebas, maka fungsi kemungkinan bersamanya:

    x1  x2  xn     xi  ................................................................ (44)


n

i 1

67
Prinsip prosedur MLE adalah menentukan dugaan  yang2 nilainya akan memaksimumkan

L  
persamaan peluang bersama n pengamatan pada Persamaan (29). Kemudian karena
  
L  
dan sulit dicari, maka untuk mempermudahnya ditransformasi 3 dengan logaritma
  
natural (ln), sehingga mendapatkan fungsi log likelihood berikut:

 
L   ln     yi ln P   1  yi  ln 1  Pxi  .................................... (45)
n

i 1

 
Untuk menentukan dugaan  yang memaksimumkan L  , kita diferensiasikan Persamaan

(48) terhadap masing-masing parameter (α dan β), kemudian disamakan dengan 0 sehingga:

L  n
  yi  Pxi   0 ................................................................................ (46)
  i 1

L  n
  xi yi  Pxi   0 ............................................................................. (47)
  i 1

Persamaan (30) dan (31) disebut persamaan kemungkinan (likelihood equations) yang
merupakan persamaan non linier dalam parameter (α dan β), sehingga diperlukan motede
iterasi yang telah diprogramkan dalam software regresei logistik (McCullagh dan Nedler,
1983 dalam Juanda, 2009).

- Pendugaan Parameter Ragam Koefisien Model Logit

Untuk generalisasi secara umum dalam menduga model regresi logistik dengan k-1
peubah bebas. Misalkan k-1 peubah bebas berskala ordinal atau interval dinotasikan dengan
X i   X 2 , X 3 , X 4 ,..., X k  yang merupakan vektor peubah bebas, dan peluang bersyarat

X i  x i bahwa responnya pilihan-1 adalah , maka logit dari model regresei logistik
polinomialnya adalah:

2
Untuk model regresi logistik berganda dengan k-1 peubah bebas karakteristik
  1 ,  2 ,,  k '

3
Transformasi monoton, dengan pengertian jika  1   2 maka L1  L2 karena nilai  selalu non-
negatif.

68
P x i 
g x i   ln   0  1 X 1i   2 X 21i   3 X 31i  ...   k X ki ................. (48)
1  P x i 
dan model regresi logistik polinomialnya:
 g x 
P x i  
1 e i
 g x 
  g x 
............................................................................ (49)
1 e i 1 e i
Misalkan kita mempunyai suatu contoh yang terdiri dari n pengamatan berpasangan
xi , yi , i  1,2,. .., n yang bebas satu sama lainnya. Sebagaimana dalam kasus peubah

tunggal, pendugaan model dalam Persamaan (48) mengharuskan kita memperoleh dugaan

vektor    1, 1, ... ,  k .  Metode pendugaan yang digunakan dalam kasus peubah

bebas tunggal (univariate), yaitu: maximum likelihood (ML) estimator.

- Pengujian Model Logit dan Pendugaan Selang Kepercayaan Koefisien

Setelah dugaan model logit polinomial pada Persamaan (29) diperoleh, langkah
selanjutnyaa menguji apakah model logit tersebut secara keseluruhan dapat menjelaskan
pilihan kualitatif (Y). Hipotesis statistik yang diuji dalam hal ini adalah:

H0: β1 = β2 = ... = βk = 0 (model tidak menjelaskan)


H1: minimal ada βj ≠ 0, untuk j = 1,2, ... , k (model dapat menjelaskan)
Statistik uji yang digunakan adalah likelihood ratio (LR), yaitu rasio fungsi kemungkinan
modelUR lengkap terhadap kemungkinan modelR (H0 benar). Statistik Uji-G di bawah ini
menyebar menurut sebaran Khi-Kuadrat dengan derajat bebas (k-1).

 likelihood _ Model R   likelihood _ ModelUR 


G  2 ln    2 ln    X ( k 1) ... (50)
2

 likelihood _ mod elUR   likelihood _ mod el R 

Jika menggunakan taraf nyata α, hipotesis H0 ditolak (model signifikan) jika statistik
-G > X2α, k-1. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa minimal ada βj ≠ 0, dengan
pengertian ini, model regresi logistik pada Persamaan (6) dapat menjelaskan atau
memprediksi pilihan individu pengamatan.

Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata terhadap pilihannya,
perlu uji statistik lanjut. Dalam hal ini kita dapat menguji signifikansi dari parameter
koefisien secara parsial dengan statistik Uji-Wald yang serupa dengan statistik Uji-t atau
Uji-Z dalam regresi linier biasa. Hipotesis statistik yang diuji adalah:

H0: βj = 0, untuk j = 2, 3, ... , k (peubah Xj tidak berpengaruh nyata)


H1: βj ≠ 0, untuk j = 2, 3, ... , k (peubah Xj berpengaruh nyata)
Statistik uji yang digunakan adalah:

69

j
W 
 
.......................................................................................................... (51)
se  j

Nilai-p dua arah dari statistik Uji_Wald ini adalah P(ǀZǀ > W), dimana Z adalah
peubah acak normal baku. Hauck dan Donner (1977) dalam Juanda (2009) telah mengkaji
performance Uji-Wald ini dan menemukan bahwa nilainya berperilaku agak aneh, karena
sering gagal menolak H0 jika koefisiennya signifikan. Mereka menyarankan untuk
menggunakan uji rasio kemungkinan.

- Interpretasi Parameter Koefisien Model Logit


Setelah diperoleh dugaan model logit yang dianggap cocok, dan dugaan koefisiennya
(pengaruh peubahnya) signifikan secara statistik maupun secara ekonomi, maka kita dapat
menarik kesimpulan-kesimpulan parktis dari koefisien dalam model. Pertaanyaannya adalah
“apa yang diungkapkan βj mengenai pertanyaan-pertanyaan penelitian yang memotivasi
studi”. Untuk menjelaskan bagaimana kita menginterpretasikan dugaan parameter koefisien,
kita ambil contoh model regresi sederhana dengan peubah bebas bernilai 2 kategori juga.
Misalnya, pertanyaan penelitiannya adalah “apakah kualitas benih yang digunakan (X) akan
mempengaruhi keputusan pembudidaya tambak udang untuk merevitalisasi budidaya
tambak udangnya (Y)”, maka dikembangkan model regresi logistik sebagai berikut (Juanda,
2009):

   i j X j 
P x i  
1 e
   i j X j 
 
   i j X j  ................................................................. (52)
1 e 1 e
dimana:
 1, jika pembudidaya merivalisasi tambak udang
Yi  
0, jika pembudidaya tidak merievitalisasi tambak udang
1, jika kualitas benih udang tinggi ( sesuai )
Xi  
0, jika kualitas benih udang rendah (tidak sesuai )

Untuk model Persamaan (52) ini ada dua nilai P(Xi) dan 2 nilai 1-P(Xi) ekuivalennya
yang dapat ditampilkan dengan jelas dalam Tabel 10.

70
Tabel 10. Nilai-nilai Model Regresi Logistik dengan Peubah Bebas Dikotomi
Peubah Bebas X

X=1 X=0

Y=1 e (   ) e
Peubah P (1)  P ( 0) 
Respons Y 1  e (   ) 1  e

Y=0 e (   ) 1
1- P (1)  1  P(0) 
1  e (   ) 1  e

Jumlah 1 1

Sumber: Juanda (2009)

Keterangan:
P(1) : Peluang merevitalisasi budidaya tambak udang untuk pembudiya dengan kualitas
benih tinggi (sesuai)
1-P(1) : Peluang tidak merevitalisasibudidaya tambak udang untuk pembudidaya dengan
kualitas benih tinggi (sesuai)
P(0) : Peluang merevitalisasi budidaya tambak udang untuk pembudiya dengan kualitas
benih rendah (tidak sesuai)
1-P(0) : Peluang merevitalisasi budidaya tambak udang untuk pembudiya dengan
kualitas benih rendah (tidak sesuai)

Transformasi logitnya:
P X i 
g  X i   ln    X i ......................................................................... (53)
1  P X i 
Dari Persamaan model logit (53) ini secara matematik β = g(1) – g(0), yang sulit
dinterpretasikan. Interpretasi yang lebih mudah adalah dari odds ratio (ψ) yang
didefinisikan sebagai rasio odds untuk x = 1 terhadap odds untuk x = 0, yaang diekspresikan
di bawah ini. Nilai odds untuk pembudidaya yang menggunakan benih dengan kualitas
udang yang tinggi (sesuai) dan nilai odds untuk pembudidaya yang menggunakan benih
dengan kualitas udang yang rendah (tidak sesuai) adalah sebagai berikut:

P (1) P ( 0)
Odds benih _ rendah  dan Odds benih _ tinggi  .............................. (54)
1  P (1) 1  P ( 0)

Dari Tabel 2, odds-rataio-nya adalah sebagai:

P 1 P 0 
   e  ................................................................................ (55)
1  P 1 1  P 0 

e   e
 
1  e   
1  e   e


............................................................... (56)
1  e  1  e 
1  
1 

71
Persamaan (38) dapat didekati dengan peluang relatif (P1)/(P0) jika P(x) relatif kecil.
Oleh karena itu, odds ratio (ψ=eβ) diinterpretasikan sebagai “berapa kali kemungkinan
pilihan-1 dianatar individu dengan X = 1 dibandingkan diantara individu deengan X = 0”.
Dalam kasusu ini dapat diinterpretasikan: “berapa kali kemungkinan merevitalisasi budidaya
tambak udang untuk pembudidaya yang menggunakan benih udang berkualitas tinggi
(sesuai) dibandingkan dengan pembudidaya yang menggunakan benih udang berkualitas
rendah (tidak sesuai)”. Jika ψ=eβ=2, maka kemungkinan (peluang) merevitalisasi budidaya
tambak udang bagi pembudidaya yang menggunakan benih udang berkualitas tinggi (sesuai)
adalah dua kali dari kemungkinan merevitalisasi bagi pembudidaya yang menggunakan
benih udang berkualitas rendah (tidak sesuai).
Odds-ratio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering
ditemukan dalam epidemiologi. Untuk peubah bebas kontinu, odds rato ini dapat
diinterpretasikan: “berapa kali kemungkinan merevitalisasi budidaya tambaj udang jika nilai
peubah X naik 1 satuan”. Sifat dari odds ratio ini dapat dilihat pada Tabel 10. Sumbu
horizontal adalah berbagai kemungkinan nilaim odds ratio, yaitu: 0<ψ<~, untuk
membandingkaan peluang pilihan_Y=1 (merevitalisasi budidaya tambak udang) antara
kelompok A(X+1) dan kelompok B(X) yang berbeda 1 unit dalam nilai peubah bebas (X).
Jika koefisien β dalam persamaan model regresei logistik pada Persamaan (36) bernilai 0,
maka odds ratio-nya ψ=eβ=1, artinya peubah X tidak berpengaruh dalam menentukan
pilihan (Y), atau tidak ada asosiasi antara X dengan Y. Jika β maka ψ=eβ>1, artinya
kelompok A (bernilai X lebih besar) mempunyai peluang pilihan_Y=1 lebih besar
dibandingkan kelompok B (bernilai X lebih kecil). Jika β maka ψ=eβ<1, artinya kelompok B
(bernilai X lebih kecil) mempunyai peluang pilihan_Y=1 lebih besar dibandingkan kelompok
A (bernilai X lebih besar).

3.3.5 Metode Analisis Prospektif


Dalam penelitian ini, penggunakan metode analisis prospektif dilakukan untuk
memformulasi rekomendasi kebijakan dan strategi serta rencana aksi percepatan revitalisasi
industri budidaya udang di Indonesia. Analisis prospektif ini digunakan unutk menentukan
faktor kunci dari atrubut, indikator atau faktor berdassarkan pengaruh atau tingkat
ketergantungannya terhadap pencapaian output yang diharapkan (Bourgeois dan Jesus,
2004), dimana output dalam hal ini adalah percepatan revitalisasi industri budidaya udang di
Indonesia. Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahapan analisis, yaitu:

72
(a) Penentuan Faktor Kunci
Penentuan faktor kunci dalam penelitian ini melalui tiga tahapan. Pertama, penentuan
faktor-faktor kunci pada kondisi saat ini (existing condition) menyangkut keberhasilan
prohgram revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia; dan penentuan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan program revitaliasi industri budidaya udang ini diperoleh
dari hasil analisis dengan pendekatan ekonomterika mengggunakan model polinomial.
Kedua, penentuan faktor-faktor kunci melalui analisis kebutuhan (need analysis). Analisis
kebutuhan stakeholders terkait dengan keberhasilan program revitalisasi industri budidaya
udang merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Eriyanto, 1999; Hartrisari, 2007).
Tiap pelaku memiliki kebutuhan yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kinerja
sistem. Pelaku mengharapkan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem
dijalankan. Bila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem tidak dapat mengakomodasi
kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen sistem tidak akan menjalankan fungsinya
secara optimal yang mengakibatkan kinerja sistem terganggu. Ketiga, penentuan faktor-
faktor kunci berdasarkan analisis tahap pertama dan kedua yang dihubungkan dengan
penyusunan atau formulasi rekomendasi kebijakan dan strategi percepatan revitalisasi
industri budidaya udang di Indonesia.

(b) Analisis Pengaruh Antar-Faktor Kunci


Setelah faktor-faktor kunci didapatkan, selanjutnya dilakukan analisis pengaruh antar-
faktor kunci berdasarkan hasil diskusi para expert atau partisipan yang secara konsensus
memberikan skor pada pengaruh silang antar faktor, yang dianalisis secara matriks dengan
bantuan perangkat lunak Excel, dari Bourgeois dan Jesus (2004). Proses ini dilakukan
melalui analisis struktural dan kerja kelompok, dilakukan analisis pengaruh/ketergantungan
langsung (influence/dependence, I/D) dari setiap faktor dengan faktor lainnya, yakni dengan
menggunakan pendekatan valuasi konsensual (consensual).
Analisis struktural berbasis pada analisis pengaruh langsung, sebagai suatu cara untuk
mengelompokkan faktor. Secara praktis, analisis pengaruh langsung terdiri dari vaaluasi
pengaruh langsung suatu faktor terhadap faktor lainnya, dengan menggunakan skala dari “0
= tidak ada pengaruh” sampai “3 = berpengaruh sangat kuat”. Nilai yang telah didiskusikan
dan disepakati oleh para expert atau partisipan, langsung dimasukkan di dalam matriks I/D.
Selanjutnya setelah dilakukan penentuan skor pengaruh faktor yang dinilai oleh para
expert atau partisipan dalam bentuk tuangan matriks, hasilnya di-plot ke dalam diagram
empat kuadran yang menggambarkan tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh
pada sistem yang dikaji, seperti terlihat pada Gambar 14.

73
Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh Pada Sistem yang Dikaji

2,0 -
1,8 - I II
1,6 - Faktor Penggerak Faktor Penghubung
1,4 - (Driving Factors) (Leverage Factors)
1,2 - INPUT STAKE
1,0 -
Pengaruh

0,8 -
IV III
0,6 -
Faktor Bebas Faktor Terikat
0,4 - (Marginal Factors) (Output Factors)
0,2 - UNUSED OUTPUT
0,0 -
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 1,6 1,8 2,0
Ketergantungan

Sumber: Bourgeois dan Jesus (2004)


Gambar 14. Tingkat Kepentingan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja
Sistem yang Dikaji

Menurut Bourgeois dan Jesus (2004), faktor penggerak (driving factors) adalah
faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuta tetapi ketergantungannya kurang kuat,
sehingga termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem yang dikaji. Faktor
penghubung (leverage factors) adalah faktor yang menunjukkan pengaruh dan
ketergantungan yang kuat, sehingga faktor-faktor ini sebagian dianggap sebagai faktor atau
peubah yang kuat. Faktor terkait (output factors) adalah faktor yang mewakili output,
dimana pengaruhnya rendah tetapi ketergantungannya tinggi. Faktor bebas (marginal
factors) adalah faktor yang pengaruh maupun tingkat ketergantungannya rendah, sehingga
dalam sistem bersifat bebas.

(1) Penentuan Kondisi (State) Faktor Kunci di Masa Depan


Dari faktor-faktor yang terpilih pada tahap sebelumnya, selanjutnya para expert atau
partisipan melakukan eksplorasi secara konsensus, untuk menentukan kondisi yang
berpeluang terjadi terhadap faktor-faktor tersebut untuk masa mendatang (sesuai
dengan dimensi waktu analisis). Eksplorasi terhadap kondisi faktor tersebut, penting
dilakukan untuk membangun skenario yang diinginkan (Godet dan Roubelat, 1996;
Bourgeois dan Jesus, 2004; Gray dan Hatchard, 2008; Wiek dan Walter, 2009; Coates
et al., 2010); Durace dan Godet, 2010).

Penentuan kondisi faktor di masa depan, merupakan hasil dari analisis morfologis dan
diskusi kelompok, dimana expert atau partisipan melakukan perkiraan (foresight)

74
terhadap masing-masing faktor. Masing-masing peluang dari bentuk kondisi tersebut
merupakan opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders) di
masa depan (Godet dan Roubelat, 1996); Bourgeois dan Jesus, 2004; Gray dan
Hatchard, 2008); Coates et al., 2010; Durace dan Godet, 2010).

(2) Pembangunan Skenario untuk Rekomendasi Kebijakan dan Strategi


Dari penentuan kondisi faktor yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, dapat
ditentukan kondisi faktor yang tidak mungkin terjadi. Kombinasi antara kondisi faktor
yang tidak mungkin terjadi tersebut, selanjutnya dibuang dari penyusunan skenario.
Pembangunan skenario ini dilakukan melalui curah pendapat (brainstorming) dan
diskusi kelompok terstruktur. Dalam forum tersebut para expert atau partisipan diminta
untuk dapat memberikan perkiraan dari kondisi masing-masing faktor penentu pada
masa datang. Perkiraan tersebut merupakan opini dan cerminan kebutuhan para
pemangku kepentingan di masa depan. Dari perkiraan mengenai kondisi faktor tersebut
di masa datang, dapat disusun skenario percepatan reviltasasi industri budidaya udang
di Indonesia.

Suatu skenarion merupakan sebuah kombinasi faktor dengan kondisi yang berbeda-
beda. Pembangkitan skenario dilakukan melalui curah pendapat terhadap berbagai
kondisi faktor (yang telah diidentifikasi), oleh para expert atau partisipan. Secara
konsensus, expert atau partisipan diminta untuk menyususn berbagai kombinasi dari
kondisi faktor yang mungkin dicapai di masa depan (sesuai dengan kurun waktu yang
dianalisis). Selanjutnya, dari hasil curah pendapat tersebut didapat konsensus
penyusunan skenario dalam percepatan revitalisasi industri budidaya udang di
Indonesia yang mungkin terjadi, yang terdiri dari skenario: “optimis”, “moderat”, dan
“pesimis”.

(a) Pada skenario ekstrim, skenario optimis harus dilakukan upaya perbaikan yang
maksimal terhadap semua faktor, sehingga sistem akan menuju ke arah yang lebih
baik. Secara implisit tampak bahwa skenario optimis merupakan cerminan
kebutuhan para pemangku kepentingan untuk mencapai suatu kondisi keberhasilan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia pada masa depan.
(b) Pada ekstrim yang lain, skenario sangat pesimis menunjukkan bahwa bila kondisi
seperti saat ini terus berlangsung, maka tidak diperlukan upaya perbaikan, dan
tentunya sistem akan menjadi lebih buruk daripada kondisi saat ini.
(c) Sebagai kompromi dari kedua skenario ekstrim di atas, expert atau partisipan juga
merumuskan skenario moderat dan pesimis. Kedua skenario kompromis ini

75
merupakan cerminan dari kebutuhan para pemangku kepentingan dengan
mempertimbangkan kemampuan memperbaiki berbagai faktor penentu (Brown et
al, 2001).

(3) Penyusunan Kebijakan, Strategi dan Rencana Aksi Antisipatif


Dari kombinasi kondisi faktor dan skenario yang mungkin terjadi pada masa datang,
selanjutnya eksert atau partisipan melakukan diskusi terstruktur dan menyusun
implikasi strategis dan rencana aksi antisipatif. Upaya logis yang dapat dajukan oleh
para expert atau partisipan, secara nyata dapat dirumuskan dalam kebijakan, strategi
dan rencana aksi antisipatif. Rencana aksi yang dapat disusun oleh expert atau
partisipan adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi di masa datang (pro-
aktif). Selain itu, eksplorasi kondisi masa datang juga dapat membantu dalam
menyiapkan aksi yang bersifat re-aktif. Melalui identifikasi dan perbandingan skenario,
maka para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan dapat lebih mampu
merencanakan masa depan keberhasilan revitalisasi industri budidaya udang di
Indonesia. Pada akhirnya sebagai kesimpulan konsensus, dapat drumuskan kebijakan,
strategi dan rencana aksi antisipatif yang harus diakomodasi dalam mempercepat
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia.

3.4 Waktu dan Lokasi Penelitian


Kegiatan ini akan dilakukan selama satu tahun sejak Januari 2015 sampai dengan
Desember 2015. Lokasi kegiatan mencakup wilayah-wilayah periritas program revitalisasi
industri budidaya udang, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan
Lampung.

3.5 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder
terkait dengan aspek produk, pengolahan dan pemasaran/perdagangan udang baik yang
diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan di Wilayah Penelitian maupun dari Statistik
perikanan budidaya udang (Ditjen Perikanan Budidaya, KKP). Data primer yang
dikumpulkan dianataranya berupa data yang berkaitan dengan persepsi pembudidaya
mengenai perkembangan produksi, pengolahan, pemasaran/perdagangan, dan kelembagaan
(permodalan dan produksi). Data sekunder yang dikumpulkan data menyangkut
perkembangan aspek produksi tambak udang termasuk teknologi dan produktivitas,
pengolahan dan pemasaran/perdagangan ekspor dan impor serta domestik, aspek

76
kelembagaan, infrastruktur, dan berbagai kebijakan yang terkait dengan program revitalisasi
industri budidaya udang baik secara langsung maupun tidak langsung

3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Penentuan Responden


Pada penelitian ini metode pengambilan sampel menggunakan metode purposive
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dari sumber data dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono, 2011). Teknik ini digunakan untuk menggali data kepada narasumber atau
responden dengan pertimbangan yaitu orang yang paham atau mengetahui informasi terkait
program revitalisasi industri budiadaya udang di Indonesia baik provinsi maupun
kabupaten/kota, Bappeda, Pelabuhan Perikanan, pelaku usaha dan tokoh nelayan. Metode
pengumpulan data dengan pengamatan, wawancara dengan menggunakan kuesioner, dan
dokumentasi.
a) Pengamatan
Pengamatan ialah pengamatan langsung dengan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti. Dalam penelitian ini metode pengamatan digunakan untuk
mengamati kondisi lokasi penelitian dan pelaksanaan kegiatan program.
b) Wawancara
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi melalui Tanya
jawab. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan untuk menggali data terkait
revitalisasi industri budidaya udang. Wawancara dilakukan dengan narasumber dari
pihak DKP, Dinas PU, Bappeda dan tokoh pembudidaya udang dengan menggunakan
kuesioner.
c) Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion)
FGD adalah diskusi kelompok dari para stakeholders/ experts/partisipan mengenai hal
yang dikaji khususnya berkaitan dengan formulasi rekomendasi kebijakan, strategi dan
rencana aksi mempercepat revitalisasi indusstrialisasi budidaya udang di Indonesia
yang didahului brainstorming dan kesepatakan mengenai faktor-faktor
pengungkit/leverage (Endogenous factors) dan faktor-faktor penentu (exogenous
factors) keberhasilan revilatisasi industri budidaya udang di Indonesia dalam kerangka
analisis prosepktif.

d) Dokumentasi
Dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen
(Usman dan Akbar, 2009). Dokumentasi digunakan untuk mencari data berupa
Perkembangan kinerja sektor perikanan, khususnya yang terkait dengan dinamika
ekonomi per-udangan-an di Indonesia, , RTRW, RPJMD, dan RPJMN.

77
78
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah dan Program Revitalisasi Produktivitas Budidaya Udang di Indonesia

4.1.1 Sejarah Budidaya Udang di Indonesia: Analisis Pendekatan Sejarah


Budidaya udang adalah kegiatan pemeliharaan/pembesaran udang secara khusus
dengan penebaran benur ditambak air payau yang terdapat di hamparan pesisir. Sampai
dengan tahun 60-an hanya ada 4 negara di dunia yang memiliki areal tambak cukup luas,
yaitu: Filipina, Indonesia, Taiwan dan Thailand. Masing-masing dengan luas 166.000 Ha,
165.000 Ha, 27.600 Ha dan 20.000 Ha (Ling, 1970). Di Indonesia sendiri sampai dengan
tahun 60-an masih terpusat di Jawa, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Tambak tersebut dibangun di wilayah lahan pasang surut (Zona Internidal) karena
untuk pengairannya tergantung penuh pada pergerakan air pasang surut.Komoditi budidaya
hanyalah ikan banding (ditambah ikan belanak di Taiwan dan Ikan Kakap di Thailand).
Adapun udang yang terdapat didalam tambak hanya berasal dari alam yang masuk sendiri
kedalam tambak bersama arus air pasang tinggi.
Hasil udang yang diperoleh pemilik tambak dianggap hanya sebagai hasil
sampingan (hasil panen utama adalah bandengnya) dan menjadi hak pendega, yaitu
karyawan yang mengurus tambak. Penebaran benur (benih udang) secara khusus kedalam
tambak untuk dipelihara secara terkendali baru dimulai setelah petambak Sulawesi Selatan
diajari untuk mengenal benur udang dan membudidayakannya didalam tambak.
Guna menyimak perkembangan budidaya udang di Indonesia secara utuh. Berikut
adalah informasi yang disampaikan oleh Bapak Alie Pornomo (Alm) mengenai catatan
secara kronologis yang pernah disampaikan saat Simposium Akuakultur Tahun 2001 di
Semarang.

(1) Era Pra dan Awal Budidaya Udang di Tambak


Sampai dengan awal Tahun 1964 tambak di Indonesia hanya digunakan untuk
budidaya ikan bandeng. Kemudian pada kurun waktu tahun 1964-1970 merupakan masa
pengenalan benur dan budidaya udang teknologi tradisional/ekstensif. Pengenalan
morofologi benur alam (terutama udang windu P. monodon dan udang putih P. marguiensis),
teknik merawat dan pengangkutan serta pembesarannya didalam tambak (teknologi ekstensif
secara mono atau polikultur dengan bandeng) di Sulawesi Selatan (Bulukumba, Jeneponto,
pangkep dan Pinrang) (Poernomo, 1968).
Pendederan dan aklimatisasi benur didalam keramba jarring apung didalam tambak
atau didalam bak-bak semen didarat berkembang pesat di daerah pertambakan di Sulawesi

79
Selatan yang jauh dari sumber benur (Pangkep, Maros, Barru). Setelah tahun 70-an
pembudidayaan udang windu teknologi ekstensif berkembang ke Jawa, Kalimantan
(Balikpapan) dan Sumatera (Aceh). Khususnya di Banda Aceh, disamping budidaya udang
windu juga dibudidayakan udang putih (P. indicus) karena kelimpahan benur alam jenis
udang ini diperairan pantai aceh (Poernomo, 1979).
Budidaya udang windu teknologi ekstensif dengan kepadatan tebar 20.000-30.000
ekor benur/Ha (monokultur) tanpa pakan dapat menghasilkan 3-4 kwintal/Ha/siklus size 30
(hanya mengandalkan pakan alami dengan pemupukan. Disini masih banyak petani
menerapkan polikultur dengan banding.
1970 : Dibangun hatchery udang pertama dan RCU Jepara
Setelah penelitian berhasil memijahkan induk udang matang telur dari laut, dibangun
hatchery pertama di Makassar (Berita Buana, 1970 Harian Kami, 1970) dan menyusul
dibangunnya hatchery ke-2 di Jepara, Jawa Tengah akhir tahun 1970. Mengingat besarnya
potensi budidaya udang di Indonesia pada masa mendatang maka penulis waktu itu
menyarankan kepada Pemerintah untuk dibangun RCU (Reseacrh Center Udang) di lokasi
yang sama di Jepara yang kemudian disebut BPAP (Balai Pengembangan Budidaya Air
Payau) dan pada tahun 2003 berubah menjadi BBPBAP (Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau) untuk mendukung percepatan pembangunan budidaya udang di
Indonesia.

(2) Era Perintisan Budidaya Udang Teknologi Intensif (Tahun 1974-1980)


Pada Tahun 1974 telah dimulai pengembangan budidaya udang teknologi intensif dan
semi intensif dengan menggunakan kincir dan pakan pellet dimulai di RCU Jepara, dan
dilakukannya Proyek Pengembangan Tambak USAID di Aceh. Namun sejak diinstruksikan
oleh ahli-ahli (staf pengajar Auburn University) dalam proyek bantuan USAID, terjadi
malapetaka pertambakan di Aceh sebagai akibat dari gerakan pembatan jalur mangrove
didalam areal pertambakan. Alasan utama para ahli tersebut adalah produktivitas tambak
Aceh rendah disebabkan karena pohon bakau yang ditanam di sepanjang tanggul dan saluran
menghabiskan unsur hara dari pupuk yang diaplikasikan untuk menumbuhkan makanan
alami didalam tambak.
Rupanya para ahli tersebut khilaf karena tidak menyimak hal yang lebih penting,
bahwa Jalur mangrove tersebut sangat vital fungsinya sebagai wind breaker bagi wilayah
pertambakan di Aceh karena anginnya sangat luar biasa besarnya. Tidak menyadari bahwa
mangrove bakau sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki lingkungan wilayah tambak
karena fungsinya antara lain menyerap zat-zat polutan dan mengandung bakteri yang
bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan. Sebegitu jauh belum ada penelitian khusus

80
tentang seberapa hebat akar bakau menyerap unsure hara dari pupuk yang diaplikasikan
dibagian tengah atau pelataran tambak waktu air dangkal.
Kemudian pada tahun 1975 ditemukan teknologi Ablasi Mata untuk Pematangan
Telur Induk Udang. Penelitian di RCU Jepara berhasil mematangkan telur induk udang
dengan teknik ablasi mata (alikunki dkk, 2975 dan Poernomo, Hamami, 1983). Taiwan dan
Filipina setalah membaca bulletin RCU, 1975 atau mengetahui keberhasilan Jepara tersebut
langsung menanganinya dengan sangat intensif (di Tungkang Marine Laboratory (TML),
Taiwan dan Seafdec, Filipina), sehingga mereka berhasil mengkomersilkan lebih dahulu
teknologi tersebut. Dari perjalanan tersebut Alie Pornomo dimintai oleh Dr. Liao, Dir TML
penulis yang pada waktu (1983) kebetulan berada di Taiwan, diminta untuk mengajarkan
teknik ablasi pada staf peneliti Tungkang Marine Laboratory, Tungkang Taiwan.
Selanjutnya antara kurun waktu tahun 1979-1980 telah dibangun Hatchery Swasta
Pertama (PT Benur Unggul) yang dibangun di Desa Temporah/Banyuglugur Besuki, Jawa
Timur disusul oleh hatchery swasta di Sinjai Sulawesi Selatan dan Kepulauan Seribu,
Jakarta. Tepat diakhir tahun 1980 telah berhasil dilakukan perbaikan Teknologi Ablasi Mata
induk udang dari laut untuk produksi benur udang windu dengan perbaikan mutu pakan,
lingkungan di Sub Balai Penelitian Perikanan Laut Ancol (Poernomo, Hamami, 1983) dan
BBAP Jepara yang dikutip dari : http://duniaperikanan.wordpress.com/2009/10/15/sejarah-
budidaya-udang-di Indonesia/.

(3) Era Kejayaan (Pemantapan dan Komersialisasi) Budidaya Udang Indonesia


(Tahun 1982-1995)
Pada periode antara 1982 hingga 1983, di Indonesia telah ditemukan Teknologi
Reklamasi Tanah Sulfat Masam. Teknologi perbaikan atau reklamasi tanah sulfat masam
(pyrite) yang menjadi kendala tambak udang ditemukan dam dimasyarakatkan (Poernomo
dan Singh, 1982; Singh dan Poernomo, 1983; Poernomo, 1983; Kompas, 1982; dan Suara
Merdeka, 1982). Tambak yang dibangun di lahan zona intertidal umumnya mengandungi
senyawa pyrit antara 0,5-2% dan pada daerah tertentu dapat mencapai >5%. Lahan tambak
dengan kandungan pyrit tinggi seperti di daerah Bone Palopo, Malili, Mamuju (Sulawesi
Selatan) dan Kalimantan Timur yang belum direklamasi produktivitasnya sangat rendah.
Kemudian pada tahun 1984-1985, mulai dilakukan program komersialisasi Budidaya
Udang Intensif. Pengembangan budidaya udang teknologi intensif dimulai di Jawa Timur
yang terpusat di Banyuwangi dan Situbondo (Jawa Timur) di Tangerang dan Serang (Jawa
Barat) serta Denpasar (Bali) yang mencapai puncaknya pada tahun 1987-1990. Diluar Jawa,
kecuali Bali dan Lampung (DCD, 1989) pada waktu itu belum ada tambak udang intensif.

81
Selanjutnya pada tahun 1985, mulai dibangun usaha budidaya udang dengan
menggunakan pola Tambak Inti Rakyat (TIR). Seperti Tambak Pandu Inti Rakyat (TIR)
yang berlokasi di Desa Cipucuk, Kabupaten Karawang seluas 250 Ha lengkap dengan cold
storage, pabrik pakan dan pelatihan teknisi. Tambak pola TIR yang lain juga dibangun oleh
swasta di Desa Jawai, Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), di Teluk Waworada, Kab.
Bima (NTB), Desa Pejarakan Buleleng (Bali), di Muara Sungai Bodri Kendal (Jateng),
Takesung (Kal Sel), di Seram (Maluku), Tanjung Arus, Bulongan (Kal Tim).Tambak-
tambak tersebut yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta umumnya kurang berhasil
karena masalah manajemen usaha dan manajemen budidaya.
Kemudian pada tahun 1989 mulai dibangun Tambak Inti Rakyat (TIR) Raksasa PT.
Dipasena Citra Darmaja/DCD seluas >5.000 Ha di Desa Mesuji/Rawa Jitu, Kab. Lampung
Utara, kemudian menyusul tambak TIR. Selanjutnya diikuti dengan pembangunan TIR
raksasa berikutnya, yaitu PT. Bratasena seluas 10.000 Ha yang dibangun di Muara Way
Seputih, Kec.Seputih Surabaya Kab. Lampung Tengah. Unit ketiga dari pembangunan
tambak raksasa non TIR oleh PT Wahyuni Mandira seluas >10.000 Ha yang mulai dibangun
pada tahun 1999 disebelah utara sungai Mesuji, Propinsi Sumatera Selatan. Ketiga unit
tambak raksasa tersebut terletak dalam satu hamparan pantai yang bertetangga dalam
lingkup garis pantai sekitar 100 Km. Namun karena desain tata letak ruang dan
konstruksinya sudah mengikuti prasyarat kaidah budidaya, maka secara teknis, produktivitas
tambak-tambak tersebut cukup stabil.
Menurut Dahuri (2012), budidaya tambak udang merupakan salah satu usaha
perikanan yang paling potensial untuk mendorong kinerja perekonomian nasional, karena
lima alasan, yaitu:
(1) Permintaan udang, baik untuk pasar domestik maupun ekspor, terus mengalami
peningkatan.Harganya pun relatif stabil, bahkan cenderung semakin mahal.Sampai
sekarang, udang merupakan salah satu komoditas perikanan yang termahal, lebih dari
US$ 5 per kg harga di lokasi tambak (on farm). Dari total nilai ekspor perikanan tahun
2011 sebesar US$ 3,1 miliar, lebih dari setengahnya (US$ 1,7 miliar) berasal dari
udang.
(2) Indonesia memiliki areal lahan pesisir yang cocok untuk usaha budidaya tambak udang,
terluas di dunia, sekitar 1,24 juta ha. Artinya, Indonesia secara potensial memiliki
kapasita produksi udang tambak yang terbesar di dunia.
(3) Udang tambak dapat diproduksi secara masal, ukuran dan kualitas (dengan teknologi)
bisa diatur menjadi relatif seragam dan baik, dan waktu produksi bisa diatur secara
reguler.Dengan perkataan lain, udang memenuhi segenap persyaratan untuk ’di-
industrialisaikan’, alias dilipat-gandakan nilai tambahnya.

82
(4) Dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang besar
dan luas.
(5) Sejak Program Udang Nasional pada 1982 sampai 1995 dengan tingkat produksi rata-
rata 250.000 ton/tahun, Indonesia pernah menjadi produsen dan sekaligus pengekspor
udang tambak terbesar di dunia. Artinya, masyarakat sudah memiliki kapasitas dan
tradisi untuk melaksanakan usaha budidaya udang.

(4) Era Penurunan Kinerja Budidaya Udang Indonesia (Tahun 1996-1999)


Posisi Indonesia sebagai produsen dan pengekspor udang tambak terbesar di dunia
yang pernah dialami pada periode 1982 hingga 1995, ternyata tidak berjalan baik untuk
periode selanjutnya. Hal ini karena perilaku para pembudidaya yang kurang disiplin dan taat
azas dalam menerapkan “Cara Budidaya Udang Yang Baik” (Best Aquaculture Practices)
dan abai melakukan pemuliaan genetik (genetic improvement) bibit dan benih
udang. Akibatnya, setelah mencapai produksi udang tertinggi (300.000 ton) pada 1995,
produksi udang nasional turun drastis menjadi hanya sekitar 150.000 ton pada tahun 1996
sampai 1999 lantaran serangan wabah penyakit (MBV, white spot, dan lainnya).
Kondisi penurunan kinerja budidaya udang tersebut diperparah oleh terjadinya kasus
yang menimpa PT. Dipasena sebagai tambak udang raksasa dan pensuplai udang terbesar di
Indonesia hingga mencapai hampir separuhnya, ternyata berhenti beroperasi pada tahun
1999 dan berakhir dengan penyerahan penuh tambak-tambak kepada plasma terletak pada
masalah manajemen sosial. Tetapi dampak negatif dari dikuasainya penuh tambak-tambak
oleh petambak mantan plasma, menjadikan produktivitas tambaknya menurun sangat drastis.
Hal ini antara lain disebabkan karena tidak ada yang bertanggung jawab merawat saluran
primer dan sekunder, kemampuan permodalan, dan koordinasi antar petambak. Seharusnya
paling tidak saluran primer harus bisa diurus oleh pemerintah, karena petambak jelas tidak
akan mampu merawatnya apalagi dalam kondisi hamparan tambak raksasa.
Berdasarkan hasil kajian Fadilasari (2012) yang disampaikan dalam buku berjudul:
“Dipasena: Kemitraan, Konflik, dan Perlawanan Petani Udang”.disebutkan bahwa pada era
1990-an Dipasena adalah sebuah nama besar. Kala itu, Dipasena adalah sebuah impian
tentang kehidupan sejahtera dari tambak yang berada di Rawajitu Timur, Kabupaten
Tulangbawang, Lampung, seluas 16.250 hektare. Sebelum konflik meletus, tak kurang dari
9.033 petambak plasma dan 11 ribu karyawan menggantungkan hidup dari Dipasena ini.
Pada 1997, citra Indonesia terangkat karena menjadi produsen udang terbesar kedua di
dunia. Kontribusi nyata telah dilakukan PT Dipasena Citra Dermaja—milik pengusaha
Sjamsul Nursalim—mengangkat nama Indonesia di mata pelaku bisnis internasional melalui
panen perdana udang tahun 1990.

83
Mengutip data Bank Indonesia, Fadilasari, penulis buku ini, mencatat devisa negara
yang disumbangkan Dipasena mencapai 3 juta dolar AS. Tahun 1991, Dipasena mampu
membukukan sebesar 10 juta dolar AS.Lalu, 30 juta dolar AS pada 1992.Puncaknya pada
1995 hingga 1998 menghasilkan 167 juta dolar AS.Atas keberhasilannya dalam ekspor
udang ini, Dipasena pernah meraih Eksport Primanyarta pada 1995, 1996, dan 1997.
Rawajitu, tempat Dipasena membangun bisnis tambak udang tahun 1989, telah menjadi
magnet bagi banyak orang yang berharap dapat memperbaiki nasib. Maka ada kisah seorang
Syukri J. Bintoro yang meninggalkan profesi gurunya untuk memburu impian di sebuah
perusahaan dengan gaji besar, tetapi ternyata ia hanya menjadi petani udang. Abdu Syukur
yang melamar bekerja sebenarnya sudah merasa ada keanehan sistem kerja di Dipasena,
tetapi harapan mendapatkan penghasilan yang lebih baik mendorongnya meneruskan bekerja
di perusahaan ini. Betapa bahagianya Albert M. Limbong ketika dinyatakan diterima
menjadi petambak di Bumi Dipasena sampai kemudian ia mulai merasakan adanya keanehan
dan kemudian perusahaan ini mulai limbung. Demikian pula yang dialami Maryono dan
Nafian Faiz; awal yang begitu menggoda, tetapi kenyataannya hanya kamuflase.Pamor
Dipasena mulai pudar.
Sejak 2000, perusahaan ini mulai tak terdengar lagi. Tambak udang itu kolaps.
Perusahaan sudah tak memproduksi dan mengekspor udang lagi. Ribuan plasma yang masih
tersisa, bertambak sendiri-sendiri dan menyatakan putus hubungan dengan inti. Di satu sisi
pertambakan mandiri itu sangat menguntungkan para petambak, tetapi di sisi lain
pertambakan menjadi rusak parah. Pada saat bersamaan, aset Dipasena diambil alih
pemerintah untuk menutupi utang Sjamsul Nursalim.
Hal tersebut menggambarkan secara dramatis tentang tumbuh-kembangnya, masa-
masa kejayaan, bagaimana konflik mulai menggerogoti, hingga runtuhnya sebuah kerajaan
bisnis udang bernama Dipasena. Bagian pertama—seperti dikutip pada bagian awal resensi
ini—menampilkan beberapa pengalaman sosok di yang menjadi korban kisah sukses dan
tenggelamnya Dipasena. Bagian kedua hingga bagian ketujuh bercerita tentang Dipasena
mulai dari berdiri, masa jaya hingga hancurnya. Mulailah babak baru ketika (bagian ketujuh)
Dipasena direkapitalisasi dan tender ulang (bagian kedelapan). Lalu ada revitalisasi
Dipasena (bagian kesembilan dan kesepuluh) yang malah melahirkan kekisruhan baru
(bagian kesebelas) dan kerunyaman baru (bagian kedua belas). Alternatif solusi bagi
penyelesaian kasus Dipasena dapat dilakukan dengan kembali membangun kemitraan yang
tetap harus berlandaskan hak asasi manusia (HAM).

84
(5) Era Revitalisasi Budidaya Udang Indonesia (Tahun 2005-Hingga Sekarang)

Upaya untuk mengembalikan kejayaan tambak udang yang sudah dimulai sejak
beridirnya DKP/KKP pada awal 2000 harus lebih ditingkatkan dan disempurnakan melalui:
(1) revitalisasi tambak-tambak mangkrak(iddle), yang jumlahnya mencapai 200.000 ha yang
tersebar di seluruh wilayah Nusantara, khususnya di Pantura, Lampung, Sulawesi Selatan,
dan NTB; (2) peningkatan produktivitas dan efisiensi semua unit usaha tambak udang yang
kini masih berlangsung (survive); dan (3) pembukaan lahan usaha tambak udang yang baru
(ekstensifikasi).
Terkait dengan program revitalisasi, KKP tahun ini mentargetkan revitalisasi tambak
udang seluas 82.870 ha yang tersebar pada 22 kabupaten di sepanjang Pantura (Provinsi
Banten sampai Jatim). Dari luasan itu diharapkan dapat dihasilkan 102.000 ton udang per
tahun. Selanjutnya, hingga 2014 areal tambak di seluruh wilayah Nusantara yang akan
direvitalisasi ditargetkan seluas 135.213 ha dengan produksi 210.000 ton udang/tahun. Pada
tahun 2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah merealisasikan program
revitalisasi tambak udang sekitar 90% dari target. Peride selanjutnya (2014), pemerintah
telah membangun 540 hektare (Ha) tambak udang di seluruh Indonesia. "Harapannya bisa
lebih karena prospeknya bagus. Tambak udang yang sudah beroperasi umumnya sudah
melakukan tabur benih udang vaname. Tahun 2014 KKP telah menunjuk 27
kabupaten untuk program revitalisasi tambak udang.Alokasi terbesar berada di Jawa Tengah
dengan target tambak udang seluas 180 Ha diikuti Jawa Timur 160 Ha, Sulawesi Selatan 80
Ha, Lampung 60 Ha, NTB 40 Ha, dan Sumatera Utara 20 Ha. Dengan luasan tambak
percontohan 540 Ha, pemerintah memproyeksikan dapat menghasilkan 8.100 ton udang.
Sementara nilai dari produksi ini ditaksir mencapai Rp 648 miliar per musim atau Rp 1,94
triliun per tahun dengan cara panen parsial.
Adapun komponen program revitalisasi tambak udang tersebut meliputi: (1) perbaikan
dan peningkatan prasarana dan sarana budidaya (terutama irigasi primer, sekunder, dan
tersier); (2) pendalaman kolam tambak; (3) perbaikan teknologi budidaya (penggunaan
benur bebas penyakit dan plastik mulsa); dan (4) peningkatan akses pembudidaya kepada
permodalan, termasuk penjaminan dari asuransi Jamkrindo (Jaminan Kredit Indonesia).
Lebih lanjut Dahuri (2012) menyampaikan bahwa komponen program revitalisasi
tambak udang diatas hanyalah sebagian dari sekian banyak faktor (variables) yang
menentukan keberhasilan usaha tambak udang. Oleh sebab itu, komponen program
revitalisasi yang telah disusun KKP tersebut perlu dilengkapi dengan kebijakan dan program
sebagai berikut.
(1) Penataan ulang tata ruang wilayah pesisir agar kondusif bagi tumbuh kembangnya
usaha budidaya tambak udang; dan pengendalian pencemaran, baik yang berasal dari

85
kegiatan manusia dan pembangunan yang terdapat wilayah pesisir maupun di wilayah
hulu (upland areas).
(2) Penerapan Good Aquaculture Practices (penggunaan benur unggul, pakan berkualitas,
pengendalian hama dan penyakit, pengelolaan kualitas air dan tanah, pond engineering
yang benar, dan biosecurity) secara disiplin dan konsisten di seluruh unit usaha
budidaya tambak udang.
(3) Pemerintah bekerjsama dengan swasta harus mampu menyediakan sarana produksi
budidaya (khususnya benur, pakan, BBM) berkualitas dengan harga relatif murah atau
sama dengan di negara-negara pesaing (Thailand, Vietnam, India, dan
China). Keempat, infrastruktur jalan yang menghubungkan sentra produksi tambak ke
kawasan industri pengolahan, pasar domestik, dan pelabuhan ekspor harus diperbaiki
atau dibangun baru.Demikian juga halnya dengan jaringan listrik, telkom, dan air
bersih.
(4) Pemerintah bekerjasama dengan swasta harus terus menerus secara kreatif dan inovatif
memperdalam dan mengembangkan pasar baru, baik di dalam negeri maupun luar
negeri.
(5) Peningkatan kapasitas teknologi budidaya, manajemen, dan etos kerja para
pembudidaya tambak udang melalui program DIKLATLUH secara benar, sistematis,
dan berkelanjutan.
(6) Dengan difasilitasi KKP, seluruh stakeholders budidaya tambak udang harus bekerja
sama secara sinergis untuk mewujudkan ’Indonesia Aquaculture Incorporated’.

Pemerintah dalam hal ini melalui Ditjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) telah mengucurkan pendanaan Rp125 miliar untuk progam revitalisasi
tambak udang bersertifikasi atau demfarm pada tahun 2013 lalu. Pola kemitraan ini
dibangun khusus untuk para pembudidaya bersertifikasi di 28 kabupaten di enam provinsi.
Dirjen Perikanan Budidaya KKP menyatakan bahwa udang merupakan komoditas
unggulan baik dari sisi ekspor maupun perikanan budidaya nasional. Karenanya, intervensi
pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) dibutuhkan untuk
keberlangsungan peningkatan produksi usaha perikanan. Selain itu, juga untuk menjamin
kepastian bagi industrialisasi perikanan budidaya. Anggaran sebesar Rp125 miliar tersebut
telah digunakan untuk daerah pertambakan percontohan di enam provinsi seperti Jawa
Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Lampung dan Sumatera Utara
di 28 kabupaten. Total luas pertambakan yang akan digarap sebesar 504 hektare. Jadi, setiap
kabupaten, ada tambak demfarm sekitar 20 ha. Khususkan kepada tambak semi intensif dan
intensif, anggaran tersebut telah dibelanjakan modal bagi sarana produksi petambak seperti

86
kincir, plastik mulsa, pompa mesin, genset. Sementara, mitra petambak yakni pengusaha
diharuskan menyediakan pendanaan, benih dan ketersediaan pakan.
Hal utama yang membedakan dengan revitalisasi tambak pada tahun lalu, kali ini kita
mendapat dukungan aktif dari perbankan di antaranya Bank BNI, BRI, BTN dan BPD,
ujarnya. Keseriusan perbankan nasional mendukung usaha budidaya perikanan itu
dibuktikan dengan pagu kredit yang disalurkan sebesar Rp30 miliar, selama semester
pertama 2013 ini. Plafon ini terus meningkat seiring pengoperasian kegiatan tambak.
Untuk itu, pemerintah bersama pihak perbankan tengah melakukan ground check
lokasi calon denfarm. Kementerian Pekerjaan Umum sudah menyatakan komitmennya
memperbaiki irigasi sekunder dan ketersediaan pasokan listrik akan diupayakan Perusahaan
Listrik Negara. Di samping itu, kerja sama dengan Badan Pertahanan Nasional (BPN) juga
dilakukan untuk mempermudah para petambak memperoleh sertifikasi lahan. Sertifikasi
lahan ini akan digunakan para pembudidaya sebagai agunan untuk mendapatkan kredit dari
perbankan.
Kebutuhan investasi tambak udang intesif tergolong tinggi, yaitu setiap 1 Ha bisa
membutuhkan biaya antara Rp350 sampai Rp500 juta termasuk biaya rehabilitasi atau
ekuivalen ongkos biaya produksi udang vanamae sebesar Rp33.000 atau 35.000 per
kilogram. Tetapi potensi produksinya bisa menghasilkan hingga 10 ton per ha, dengan waktu
produksi selama empat bulan.
Data KKP menyebutkan, total produksi udang nasional tahun 2012 sebesar 457.600
ton dari tahun sebelumnya 400.385 ton. Tahun ini, KKP mematok tinggi udang nasional
yakni hingga 608.000 ton. Selain itu, tahun 2012, kontribusi udang untuk pasar ekspor
sebesar 38 persen dari total ekspor perikanan sebesar 3,9 miliar dolar AS. Tahun ini,
kontribusi udang diharapkan meningkat mencapai 40 persen dari total nilai ekspor perikanan
yang ditargetkan mencapai 5 miliar dolar AS.

4.1.2 Program Revitalisasi Usaha Budidaya Udang di Indonesia


Revitalisasi merupakan upaya untuk menghidupkan kembali suatu kawasan atau
bagian kotayang mengalami kemunduran dan degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan
mencakup perbaikan aspek fisik dan ekonomi dari kawasan tersebut. Revitalisasi fisik
merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya
peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat
meningkatkan kondisi fisik, namun tidak untuk jangka panjang.Untuk itu, tetap diperlukan
perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk pada
aspek sosial budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak
diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuk sebuah

87
mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan
infrastruktur.
Salah satu sektor yang melakukan revitalisasi adalah sektor perikanan budidaya
yang dilakukan dalam 2 tahap, yaitu Tahap 1 dilaksanakan pada tahun 2006—2009 dan
Tahap 2 dilakukan pada tahun 2012—2014.

A. Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2006—2009


Pada bulan Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yodhoyono membuat sebuah
momentum percepatan pembangunan perikanan melalui pencanangan sebuah program lintas
departemen bertajuk Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Revitalisasi
perikanan ditetapkan sebagai salah satu dari bagian Triple Track Strategy Kabinet Indonesia
Bersatu yang diterapkan dalam rangka pengurangan kemiskinan dan penganggguran serta
peningkatan daya saing ekonomi nasional melalui pembangunan perikanan untuk mengatasi
pemulihan perekonomian melalui pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan
berkelanjutan (Purnomo et.al, 2011).
Target penurunan kemiskinan dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8,2 % tahun 2009
dan penurunan pengangguran terbuka dari dari 9,7 % tahun 2004 menjadi 5,1% tahun 2009,
mengharuskan dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai antara
lain pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga 6,6 % per tahun. Disamping itu rasio investasi
terhadap GDP harus naik dari 16,0 % pada tahun 2004 menjadi 24,4 % pada tahun 2009; dan
rata-rata pertumbuhan pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai 3,5 %/ tahun (Anonim,
2014).
RPPK yang telah dicanangkan Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 ini merupakan
strategi umum untuk (1) meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan; (2)
meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan dan kehutanan; serta (3) menjaga
kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan kehutanan (Pusdatin, 2006).
Tujuan RPPK adalah meningkatkan kesejahteraan pembudidaya ikan dan nelayan,
meningkatkan daya saing produk perikanan, menjaga kelestarian sumber daya perikanan
serta mengurangi kemiskinan. Selaras dengan tujuan RPPK maka road map RPB
dimaksudkan untuk (i) membangkitkan usaha akuakultur dengan beberapa komoditas
unggulan pada lahan budidaya yang terbengkalai, (ii) menyediakan lapangan kerja dan
peluang usaha, sebagai efek ganda (multiplier effect) dari berkembangnya usaha akuakultur,
dan (iii) mendorong penerapan teknologi budidaya yang ramah lingkungan untuk mengatasi
kualitas perairan yang menurun akibat intensifikasi (Pusdatin, 2006).
Program Revitalisasi Perikanan Budidaya (RPB) merupakan tindak lanjut dari
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2004-2009 yang dicanangkan melalui Strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan

88
dan Kehutanan (RPPK) oleh Presiden RI pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Jawa
Barat (Ministry of Marine Affairs and Fisheries, 2005).
Dokumen RPB ini menyajikan upaya revitalisasi yang akan dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yang mencakup strategi, kebijakan operasional dan
rencana tindak dua komoditas utama, yakni udang (vaname dan windu) dan rumput laut
(Eucheuma dan Gracilaria ), serta delapan komoditas unggulan lainnya, yakni nila, kerapu,
bandeng, patin, lele, gurame, abalone dan ikan hias.
Strategi yang ditempuh dalam RPB ini adalah pengembangan kawasan secara
bertahap, penerapan budidaya yang berkelanjutan, pendekatan bisnis agribisnis dan
pembinaan secara intensif. Sedangkan kebijakan operasional yang dilakukan secara umum
yaitu: (i) memanfaatkan dan mengoptimalkan tambak-tambak dan kolam; (ii) optimalisasi
dan pemberdayaan unit-unit pembenihan (panti benih, UPR dan HSRT); (iii) memfasilitasi
terjalinnya kemitraan; (iv) melakukan impor induk udang vaname Specific Pathogen Free
(SPF) serta domestikasi induk oleh National Shrimph Broodstock Center (NSBC) untuk
menghasilkan induk Specific Pathogen Resistant (SPR); (v) penerapan standar dan sertifikasi
serta pengawasan mutu benih; (vi) melakukan pembinaan secara intensif melalui diseminasi
dan penyediaan dempond. Desiminasi dilakukan dengan memanfaatkan penyuluh perikanan
dan tenaga teknis lapangan yang ada, pendampingan teknologi oleh UPT Pusat/Daerah dan
rekrutmen tenaga pendamping teknologi sesuai dengan kebutuhan; (vii) koordinasi dengan
instansi terkait dalam rangka penataan ruang, permodalan, pengembangan pasar,
pengendalian lingkungan, keamanan dan lainnya.
Udang merupakan komoditas yang dihasilkan melalui kegiatan budidaya unggulan.
Perikanan budidaya mampu memberikan kontribusi cukup besar dalam perolehan devisa,
pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Peran kegiatan
budidaya akan semakin besar, sementara kegiatan penangkapan akan semakin berkurang.
Perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil (rakyat), menengah dan besar
(industri). Pasar utama komoditas udang adalah pasar ekspor karena sampai saat ini
permintaan udang untuk pasar luar negeri masih tetap tinggi. Dengan demikian, revitalisasi
perikanan udang adalah revitalisasi produksi, pengolahan, dan pemasaran melalui pelibatan
usaha skala rakyat dan industri.
Untuk itu, kebiijakan pengembangan perikanan budidaya dilakukan melalui (1)
Peningkatan produksi perikanan budidaya untuk ekspor; (2) Peningkatan produksi perikanan
budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat; dan (3) Perlindungan dan rehabilitasi
sumberdaya perikanan budidaya.
Sasaran revitalisasi tambak udang pada tahun 2005 diharapkan dapat mencapai
produksi sebesar 300.000 ton yakni melalui (1) Pemanfaatan tambak udang ekstensif seluar

89
140.000 ha (40% dari luas tambak ekstensif) dengan jenis udang vaname dengan sasaran
produksi 600—1500kg/ha/tahun; (2) Revitalisasi tambak udang intensif seluas 8000 ha
dengan sasaran produksi 20—30 ton/ha/tahun dengan jenis udang vaname. Peningkatan
produksi perikanan budidaya tersebut dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan
diversifikasi budidaya perikanan.
Untuk mendukung revitalisasi tambak udang, maka langkah operasional yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
(1) Melakukan impor induk dan benih udang vaname SPF;
(2) Melakukan domestikasi dan pemuliaan udang vaname menjadi induk SPF dan SPR
sehingga mengurangi ketergantungan dari impor;
(3) Membangun Nasional Broodstock Center;
(4) Melakukan revitalisasi backyard hatchery udang;
(5) Menerapkan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang;
(6) Mengembangkan laboratorium lingkungan dan penyakit;
(7) Menyediakan sarana dan prasaranan budidaya;
(8) Membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang.
Rencana kegiatan dalam rangka revitalisasi tambak udang tahun 2006 antara lain
adalah (1) Pemuliaan induk udang melalui breeding program; (2) Pembangunan Balai Benih
Ikan Pantai dan pengembangan Balai Benih Udang; (3) Sertifikasi sistem mutu perbenihan
dan pembudidayaan; (4) Revitalisasi backyard hatchery; (5) Pengendalian distribusi induk
dan benih; (6) Pengendalian peredaran dan penggunaan saran produksi (pakan, obat-obatan,
pestisida); dan (7) Pembangunan Pos Kesehatan Ikan dan Lingkungan.
Sasaran produksi untuk usaha budidaya udang ditargetkan sebesar 540.000 ton pada
akhir tahun 2009, melibatkan 27 provinsi pada lahan seluas 156.300 ha, yang terdiri dari
tambak udang windu seluas 42.800 Ha dan tambak udang vaname seluas 113.500 ha.
Produksi masing-masing ditargetkan sebesar 46.600 dan 193.400 ton. Kebutuhan modal
usaha untuk udang windu dan vaname masing-masing sebesar Rp. 1,11 triliun dan Rp. 2,97
triliun, serta total serapan tenaga kerja sebesar 985.000 orang.
Guna mendukung proses produksi, diperlukan tambahan sarana dan prasarana.
Untuk komoditas udang diperlukan panti benih sebanyak 10 unit dan HSRT sebanyak 1.000
unit, serta saluran tambak yang mampu melayani luasan tambak 19.000 ha. Unit pengolahan
udang yang telah beroperasi hingga tahun 2004 sebanyak 159 unit dengan kapasitas 2.700
ton/hari, dengan kapasitas gudang simpan sebesar 31.800 ton. Dengan demikian, hasil
produksi udang hingga tahun 2009 diperkirakan masih dapat tertampung pada jumlah unit
pengolahan udang dan kapasitas terpasang yang telah tersedia. Untuk rumput laut Eucheuma
sp secara bertahap dilakukan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dalam bentuk

90
semi refined carrageenan (SRC) atau disebut alkali treated carrageenan (ATC). Jumlah
yang diolah diproyeksikan sebesar 5% sampai 13% dari total produksi, yang harus
difasilitasi dengan penyediaan unit pengolahan.
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan revitalisasi perikanan budidaya sebesar
Rp. 13,41 triliun, yang terdiri dari investasi pemerintah sebesar Rp 3,06 triliun dan modal
usaha sebesar Rp 10,35 triliun. Investasi pemerintah dialokasikan dalam bentuk
pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi tambak, optimalisasi balai benih, optimalisasi
laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan, pengembangan kawasan percontohan,
penataan kelembagaan, pengembangan unit pelayanan pengembangan, pendampingan dan
simulasi modal kerja untuk UPR atau HSRT. Modal usaha dari masyarakat, termasuk di
dalamnya investasi pihak swasta, dukungan modal perbankan yang dapat langsung
dimanfaatkan untuk pengembangan usaha.

B. Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2012--2014


Program revitalisasi tahap 2 kembali dilaksanakan sejalan dengan kebijakan
industrialisasi perikanan pada tahun 2012—2014. Tujuannya untuk meningkatkan produksi
dan produktivitas perikanan dengan melaksanakan kegiatan percontohan usaha budidaya
dengan pengembangan demstration farm (demfarm) untuk komoditas udang vaname di
tambak melalui pengembangan manajemen kluster/kawasan. Selama periode 2012—2014,
kegiatan revitalisasi tambak udang dilaksanakan sesuai dengan roadmap yang telah disusun
oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11.Road Map Revitalisasi Tambak Udang Tahun 2012—2014


Rehab Luas Tambak
Tahun Lokasi Saluran/Luas Revitalisasi (Ha) Keterangan
Tambak yang
Tarairi(Ha)
2012 Pantura Jawa (6 20.000 1.000 Demfarm tambak
Kabupaten) di dua udang intensif/semi
provinsi : Jabar dan intensif dan bandeng
Banten tradisional plus
2013 Jateng , Jatim; 40.000 4.000 APBN 2013 baru
Sulawesi Selatan, mengakomodir 20.000
Lampung, NTB, Ha tambak terairi dan
Sumatera Utara 2.000 Ha tambak
terevitalisasi.
2014 NAD, Kalbar, 75.000 7.500 Rehabilitasi dan
Kaltim, plastikisasi untuk
Kalimantan Utara tambak intensif/semi
intensif, dan bandeng
tradisional plus
Jumlah 135.000 12.500
Sumber: DJPB, 2013

91
Pengembangan kawasan demfarm budidaya udang ini dilakukan sebagai salah satu
upaya dalam antisipasi terhadap perubahan iklim yang menyebabkan penyebaran
penyakit.Selain itu, untuk membangkitkan kembali gairah usaha budidaya udang serta
merevitalisasi kegiatan usaha pertambakan di Indonesia dengan menerapkan teknologi semi
intensif dan intensif yang telah menggunakan plastik mulsa, kincir, pemberian pakan dan
probiotik serta sarana lainnya.

Pelaksanaan revitalisasi tambak pada tahun 2012—2014 difokuskan pada komoditas


udang vaname melalui pelaksanaan tambak percontohan (Demfarm) budidaya udang dengan
menggunakan model pola kemitraan seperti pada Gambar 15.

PENERAPAN MODEL POLA KEMITRAAN


PADA KEGIATAN REVITALISASI TAMBAK MELALUI DEMFARM
PERBANKAN
POKDAKAN

Penyediaan layanan kredit


Penyediaan lahan program (KUR, KKPE,dsb)
Pengelola operasional
pemeliharaan udang
PEMERINTAH
Menerima bantuan

SWASTA PENYEDIA
SARANA BUDIDAYA
MITRA Rehabilitasi saluran air dan
Penyediaan sarana budidaya
Penyediaan Posikandu
(peralatan lab, bangunan,
sepeda motor)
• Perbaikan pematang dan pendalaman kolam Penyediaan infrastruktur,
Penyediaan pakan dan • Pendampingan teknologi semi intensif dan intensif Pembangunan pabrik es, cold
sarana penunjang lainnya • Pemasangan instalasi listrik storage, pengadaan sarana
• Penyediaan gudang pakan dan bangunan lain pemasaran, sarana pengolahan,
Penyediaan tenaga
• Penyediaan tempat penanganan pasca panen sarana SRD
pendamping (technical
• Penyediaan tenaga pemasangan plastik mulsa Pendampingan teknis oleh UPT
service)
• Menjamin pemasaran udang dan Penyuluh Kelautan dan
• Menambah Penebaran benur hingga 100 ekor/m2 Perikanan
• Penyediaan pakan 2 bulan pemeliharaan
2
Sumber: DJPB (2013)
Gambar 15. Model Pola Kemitraan pada Revitalisasi Tambak Melalui Kegiatan Demfarm

92
Pola kemitraan melibatkan banyak pihak yang bertujuan untuk mewujudkan sinergi
antara pemerintah, pelaku usaha dan swasta. Kemitraan tersebut melibatkan POKDAKAN
dengan Mitra yang difasilitasi Pemerintah serta didukung oleh swasta dan perbankan untuk
tambahan permodalan dengan peran masing-masing seperti yang ditampilkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Peran Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Model Pola Kemitraan pada Revitalisasi
Tambak

No. Pihak-pihak yang Peran


Terlibat

1. POKDAKAN a. Penyedia lahan


b. Pengelola operasional pembudidayaan udang
c. Penerima bantuan
2. Mitra a. Perbaikan pematang dan pendalaman kolam
b. Pendampingan teknologi semi intensif dan intensif
c. Pemasangan instalasi listrik
d. Penyediaan gudang pakan dan bangunan lain
e. Penyediaan tempat penanganan pasca panen
f. Penyediaan tenaga pemasangan plastik mulsa
g. Menjamin pemasaran udang
h. Menambah penebaran benur hingga 100 ekor/m2
i. Penyediaan pakan 2 bulan pemeliharaan
3. Pemerintah a. Rehabilitasi saluran air dan penyediaan sarana budidaya
b. Penyediaan Posikandu (peralatan lab, bangunan, sepeda motor)
c. Penyediaan infrastruktur, pembangunan pabrik es, cold storage,
pengadaan saran pemasaran, saran pengolahan, sarana SRD
d. Pendampingan teknis oleh unit pelaksana teknis (UPT) Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, UPT Daerah, Penyuluh dari Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kelautan dan
Perikanan
4. Swasta a. Penyediaan pakan dan sarana penunjang lainnya
b. Penyediaan tenaga pendamping (technical service)
5. Perbankan Penyediaan layanan kredit program (KUR, KKPE dan sebagainya)

Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013

4.2 Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang di Indonesia dan Peran


Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhinya

4.2.1 Perkembangan Produksi Udang Indonesia, 1989-2013

Komoditas udang di Indonesia diperoleh dari hasil budidaya di tambak dan hasil
penangkapan yang berasal dari tangkapan di laut dan di perairan umum. Perkembangan
kuantitas produksi udang berdasarkan sumbernya disajikan pada Gambar 16, Tabel 13, dan
Tabel 14. Berdasarkan Gambar 16, terjadi peningkatan cukup signifikan pada udang hasil
budidaya, sedangkan udang hasil tangkapan relatif stagnan.

93
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya dan Statistik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
Gambar 16. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak dan Hasil
Penangkapan,Tahun 1989-2013

Berdasarkan data pada Tabel 11, terjadi peningkatan produksi udang hasil budidaya
sampai dengan tahun 2008, dan terjadi penurunan produksi pada tahun 2009 kemudian
meski secara perlahan terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2013 yang
meningkat secara drastis. Selama horizon data 1983 hingga 2013, tampak bahwa terdapat
kecenderungan peningkatan produksi udang budidaya, sebaliknya pada udang hasil
perikanan tangkap yang mengalami kecenderungan semakin menurun. Terjadi dua waktu
dimana produksi udang budidaya hampir menyamai produksi udang tangkap, yaitu pada
tahun 1992 dan tahun 2004. Selanjutnya pada periode tahun 2004 terjadi kondisi berbalikan
(trajectory) antara udang dari hasil budidaya dan tangkap, dimana udang hasil budidaya
mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan udang hasil tangkapan.
Berdasarkan varietas, sampai dengan tahun 2006 produksi udang windu mengalami
peningkatan, dan sejak tahun 2007 produksi udang vaname telah melampaui udang windu
(Tabel 13). Sebaliknya, udang hasil penangkapan relatif stabil (Tabel 14). Kemudian
berdasarkan varietas dapat pula ditunjukkan bahwa udang putih mendominasi disusul jenis
udang lainnya. Dibandingkan dengan udang hasil budidaya, size/ukuran udang hasil
tangkapan memiliki keragaman cukup besar. Dengan demikian, tidak semua jenis udang
hasil tangkapan menjadi layak ekspor.

94
Tabel 13. Produksi Udang dari Hasil BudidayaTambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun
1989-2013 (ton)

Udang Udang Udang Udang Udang


Tahun Total
Windu Putih Vaname Api-api Lainnya
1983 7,550 8,316 - 11,729 159 27,595
1984 10,315 9,421 - 12,250 104 31,986
1985 13,068 12,001 - 12,330 257 37,399
1986 15,424 13,575 - 11,889 929 40,888
1987 25,202 16,951 - 13,754 3,014 55,907
1988 44,450 17,793 - 15,208 334 77,451
1989 63,676 15,520 - 15,032 1,143 94,228
1990 67,355 17,590 - 20,961 1,359 105,906
1991 96,811 19,337 - 20,248 3,735 136,396
1992 98,358 21,779 - 21,449 104 141,586
1993 87,285 29,167 - 22,106 228 138,558
1994 83,193 23,860 - 25,353 2,652 132,406
1995 89,344 31,676 - 24,196 1,392 145,216
1996 96,237 28,822 - 26,027 673 151,086
1997 96,317 30,609 - 40,191 328 167,117
1998 74,824 22,589 - 20,434 264 117,847
1999 92,726 28,872 - 19,255 93 140,853
2000 93,759 28,965 - 20,453 544 143,177
2001 103,603 25,862 - 19,093 610 149,168
2002 112,840 24,708 - 21,634 415 159,597
2003 133,836 35,249 - 22,881 700 192,666
2004 131,399 33,797 53,217 - 20,154 238,567
2005 134,682 27,088 103,874 - 13,895 279,539
2006 147,867 36,187 141,649 - - 325,703
2007 133,113 16,995 179,966 - 27,165 357,239
2008 134,930 32,143 208,648 - 32,264 407,985
2009 124,561 22,365 170,969 - 19,120 337,015
2010 125,519 16,424 206,578 - 30,806 379,327
2011 126,157 10,757 246,420 - - 383,334
2012 116,311 13,128 238,663 - 27,971 396,073
2013 168,318 17,665 376,189 - 28,086 590,258
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya (berbagai terbitan)

95
Tabel 14. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton)
Udang Udang Udang Udang Udang Udang Udang
Tahun Total
Windu Putih Dogol Krosok Ratu/Raja Karang/Barong Lainnya
1983 10,726 37,380 15,865 - - 763 46,650 111,384
1984 14,209 26,128 14,105 - - 473 46,513 101,428
1985 10,431 29,610 13,338 - - 448 53,313 107,140
1986 14,097 32,887 16,479 - - 1,257 52,987 117,707
1987 10,720 35,766 17,588 - - 965 66,868 131,907
1988 12,301 42,750 17,244 - - 1,319 80,192 153,806
1989 12,003 42,925 15,094 - - 925 72,322 143,269
1990 11,647 41,330 14,564 - - 826 76,452 144,819
1991 13,743 41,731 16,348 - - 1,398 78,215 151,435
1992 15,649 47,726 16,241 - - 2,398 83,641 165,655
1993 16,116 43,925 15,814 - - 1,208 79,714 156,777
1994 16,960 47,237 20,364 - - 2,021 91,152 177,734
1995 24,501 50,477 22,863 - - 2,852 81,261 181,954
1996 19,393 53,913 22,285 - - 2,463 89,215 187,269
1997 25,929 53,924 32,588 - - 4,021 95,790 212,252
1998 30,047 62,192 40,717 - - 2,394 87,200 222,550
1999 34,223 64,179 33,847 - - 3,244 103,372 238,865
2000 40,987 66,644 38,925 - - 3,596 98,880 249,032
2001 43,759 65,269 36,358 - - 4,490 113,161 263,037
2002 38,088 69,508 33,570 - - 4,758 95,561 241,485
2003 34,190 66,501 34,178 - - 5,348 100,221 240,438
2004 34,533 68,699 38,438 2,763 134 5,439 95,907 245,913
2005 30,380 61,950 31,506 6,456 126 6,648 71,473 208,539
2006 37,460 59,838 26,859 4,342 328 5,254 93,083 227,164
2007 42,036 81,193 33,455 6,819 661 4,705 90,107 258,976
2008 26,492 73,870 34,718 5,922 1,011 9,896 85,013 236,922
2009 24,637 71,993 46,740 6,003 656 5,892 80,949 236,870
2010 28,319 76,419 39,605 15,116 979 7,651 59,237 227,326
2011 26,417 83,619 47,272 20,077 1,738 10,541 70,892 260,556
2012 27,959 87,405 45,227 17,692 3,258 13,549 67,942 263,032
2013 27,851 87,069 45,053 17,624 3,245 13,497 67,681 262,020
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap (berbagai terbitan)

4.2.2 Telaah Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang Indonesia, 1989 - 2013

Pertumbuhan indeks output, indeks input, dan indeks TFP periode tahun 1989-2013
disajikan pada Gambar 17, sedangkan pertumbuhan per periode disajikan pada Tabel 15.
Berdasarkan Gambar 17, pada sepanjang periode 1989-2013 indeks output mencapai
puncaknya yang meningkat menjadi sebesar 266,39% pada tahun 2008 yang kemudian
menurun hingga tahun 2013, dan indeks input mencapai puncaknya yang meningkat menjadi

96
sebesar 439,26% pada tahun 2008 yang kemudian menurun hingga tahun 2013, sedangkan
indeks TFP relatif stagnan. Artinya, pertumbuhan output lebih disebabkan pertumbuhan
input (faktor produksi) --bukan karena pertumbuhan TFP--, terutama pertumbuhan benur,
obat-obatan, energi, dan pakan. Berikut disajikan pembahasan perkembangan output, input,
dan TFP periode penelitian. Hal ini disebabkan belum dapat di atasinya masalah penyakit.

4.2.2.1 Perkembangan Output, 1989 - 2013

Berdasarkan data pada Tabel 13, pada keseluruhan periode 1989-2013, laju
pertumbuhan output tertinggi terjadi pada udang vaname disusul ikan bandeng, dan udang
windu. Diduga karena udang vaname memiliki produktivitas lebih tinggi. Akan tetapi, dari
sisi pangsa terhadap penerimaan urutannya yaitu udang windu, udang vaname dan ikan
bandeng. Udang windu memiliki pangsa terhadap total penerimaan lebih tinggi
dibandingkan udang vaname dikarenakan harga jualnya relatif lebih tinggi.
Berdasarkan empat periode pengamatan, pada tahun 1994-1998 laju pertumbuhan
output baik untuk udang windu, udang putih, maupun ikan bandeng bernilai negatif. Hal
tersebut diduga karena belum berhasil di atasinya penyakit. Pada periode tahun 1989-1993,
udang tambak terserang penyakit Monodon Baculo Virus (MBV). Kondisi tersebut berlanjut
sehingga pada tahun 2000/2001 dan sampai sekarang. Menurut Widigdo (2005) akibat
serangan penyakit, kuantitas ekspor tahun 2000 turun menjadi 70 ribu ton dan 90% dari 350
ribu Ha tambak dalam kondisi terlantar.
Pada periode 1999-2003, laju pertumbuhan output menjadi positif yaitu sebesar 12.6%
untuk udang windu, 6.8% untuk udang vaname, dan 8.2% untuk ikan bandeng. Peningkatan
tersebut diduga karena tersedianya sumber air hasil dari pembangunan jaringan irigasi
melalui dana SPL-OECF/JBIC dengan nilai sekitar Rp300 milyar. Peningkatan produksi
juga diduga akibat perubahan kewenangan dari semula setingkat Ditjen Perikanan menjadi
setingkat Kementerian (Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan/DELP) pada akhir tahun
1999 dan terdapat peningkatan anggaran.
Pada periode berikutnya yaitu 2004-2008, laju pertumbuhan udang windu jauh
berkurang, dan udang vaname memiliki laju pertumbuhan tertinggi. Pangsa penerimaan dari
udang vaname juga meningkat, akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan pangsa
penerimaaan dari udang windu. Adanya pergantian dari udang windu menjadi udang vaname,
secara tidak langsung cukup membantu Indonesia dalam menghasilkan devisa, serta
mempertahankan pangsa pasar.

97
Tabel 15. Rata-rata Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Budidaya Tambak Udang
Indonesia, Tahun 1989-2013

Periode Pengamatan
No. Variabel 1989- 1989- 1994- 1999- 2004- 2009-
2013 1993 1998 2003 2008 2013
A. OUTPUT
1. Udang Windu (ton) 109.321 87.452 87.983 107.352 136.398 132.173
Laju pertumbuhan/tahun (%) 5,14 10,0 -2,4 12,6 0,4 6,10
Pangsa udang windu terhadap total 58,81 70,1 64,7 69,0 48,5 30,41
penerimaan (%)
2. Udang Vaname (ton) 192.617 0 0 0 137.471 247.764
Laju pertumbuhan/tahun (%) 27,90 0 0 0 31,30 15,31
Pangsa udang vaname terhadap total 14,32 0 0 0 28,86 39,86
penerimaan (%)
3. Udang Putih (ton) 24.446 44.659 54.751 49.394 185.823 16.068
Laju pertumbuhan/tahun (%) 5,08 11,5 -0,5 6,8 38,2 -6,98
Pangsa udang putih terhadap total 7,41 17,6 19,9 12,0 38,7 2,20
penerimaan (%)
4. Ikan bandeng (ton) 243.492 146.234 153.570 218.351 249.766 454.994
Laju pertumbuhan/tahun (%) 7,37 8,4 -0,3 8,2 4,8 16,05
Pangsa ikan bandeng terhadap total 18,67 12,3 15,4 19,0 12,8 25,58
penerimaan (%)

B. INPUT (FAKTOR PRODUKSI)


1. Benur (juta ekor) 22.571 5.054 14.450 33.328 37.925 88.824
Laju pertumbuhan/tahun (%) 28,17 53,0 53,3 13,5 12,2 13,92
Pangsa biaya benur terhadap total 13,32 13,0 14,6 17,8 9,9 11,30
pengeluaran (%)
2. Pupuk (ribu liter) 26.864 13.572 9.050 8.092 17.715 85.584
Laju pertumbuhan/tahun (%) 10,24 7,1 1,4 4,1 22,1 16,52
Pangsa biaya pupuk terhadap total 0,6 0,7 0,4 0,6 0,6 0,5
pengeluaran (%)
3. Tenaga Kerja(OH) 54.561 33.306 42.026 59.781 88.571 99.746
Laju pertumbuhan/tahun (%) 6,43 5,4 4,0 9,6 6,1 7.07
Pangsa upah tenaga kerja terhadap 32,29 31,6 30,1 34,1 30,4 35,23
total pengeluaran
4. Pakan (ribu kg) 305.888 133.189 146.234 159.625 328.849 767.323
Laju pertumbuhan/tahun (%) 10,64 9,9 -1,9 10,4 16,1 18,69
Pangsa biaya pakan terhadap total 39,80 42,8 39,5 38,3 42,7 35,70
pengeluaran (%)
5. Obat-obatan(ribu liter) 23.960 417 334 675 724 117.555
Laju pertumbuhan/tahun (%) 20,13 -5,5 15,6 9,1 36,8 44,65
Pangsa biaya obat terhadap total 0,3 0,3 0,1 0,4 0,2 0,3
pengeluaran (%)
6. Energi (ribu KwH) 426,358 284.448 712.901 572.825 1350.847 2128,869
Laju pertumbuhan /tahun (%) 44,08 38,6 22,8 1,9 53,0 104,1
Pangsa biaya energi terhadap total 15,4 11,7 15,5 8,9 16,6 24,3
pengeluaran (%)
Sumber: Data sekunder diolah (2015)

4.2.2.2 Perkembangan Input, 1989-2013


Faktor produksi yang digunakan dalam menghitung indeks input mencakup benur,
pupuk, tenaga kerja, pakan, obat-obatan, dan energi. Berdasarkan data pada Tabel 17, pangsa
pengeluaran faktor produksi terhadap biaya total terbesar adalah pakan, disusul upah, energi,
benur, pupuk dan obat. Pakan merupakan penyumbang terbesar pada sistem intensif,
sedangkan upah tenaga kerja merupakan penyumbang terbesar sistem usaha budidaya non
intensif (semi-intensif dan ekstensif).

98
Dari lima periode pengamatan, penggunaan benur tumbuh 53.0% per tahun pada
periode 1994-1998, disusul energi 22.8% per tahun. Hal tersebut diduga karena adanya
upaya intensifikasi, dan pada saat bersamaan juga terjadi serangan penyakit sehingga
pembudidaya berupaya menambah kincir yang menyebabkan biaya pengeluaran untuk
energi dan obat-obatan meningkat. Di lain pihak, laju pertumbuhan pakan bernilai negatif
diduga karena berkurangnya masa pemeliharaan akibat terserang penyakit, dan
berkurangnya penggunaan pakan akibat kenaikan harga pakan pada saat krisis moneter.
Pada periode 2004-2008 pangsa pengeluaran untuk energi meningkat karena
terjadinya kenaikan harga BBM. Pergantian dari udang windu ke udang vaname juga
menyebabkan terjadinya peningkatan padat tebar sehingga pemakaian pakan dan kincir
menjadi lebih banyak. Adapun peningkatan laju pertumbuhan penggunaan obat, diduga
terkait dengan serangan penyakit yang belum dapat sepenuhnya diatasi.

4.2.2.3 Perkembangan Produktivitas (Indeks TFP), 1989-2013


Gambar 28 memperlihatkan hasil analisis perkembangan indeks TFP budidaya udang
tambak di Indonesia selama periode 1989-2014. Berdasarkan Gambar 28, diketahui bahwa
selama kurun waktu penelitian (periode 1989-2014), telah terjadi beberapa kejadian baik
program maupun kecenderungan berkaitan kondisi usaha budidaya udang tambak di
Indonesia. Seperti adanya kegiatan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak melalui
SPL-JBIC/INP-23 periode tahun 1999-2002 diduga mampu menahan penurunan TFP dari
periode sebelumnya. Pada periode ini ditunjukkan pula Tren indeks TFP yang meningkat,
hal ini diduga di samping karena dukungan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak
juga karena introduksi udang vaname. Namun, pada tahun 2002 indeks TFP kembali
menurun karena serangan penyakit. Setelah periode tahun 2002, indeks TFP secara
perlahan meningkat meskipun masih dalam kondisi fluktuatif. Kondisi seperti ini tampak
terus berlangsung hingga tahun 2014, dan tampak menonjol peningkatannya pada tahun
2006 dan 2011. Hal ini diduga berhubungan dengan dilaksanakannya program revitalisasi
pada periode I (2006-2009) dan periode II sejak tahun 2012 dan masih terus berlangsung
hingga saat ini.

99
Program Udang Intoduksi
Nasional, 1982-1995 Resmi Vaname

Intoduksi Tidak
Resmi Vaname

Inbudkan Protekan

MBV YHV

TSV, WSSV,
IMNV

Irigasi: SPL/JBIC Revitalisasi-1 Revitalisasi-2

Sumber: Hasil Pengolahan Data (2015)


Gambar 17. Indeks TFP Budidaya Udang Tambak Indonesia menurut Harga Konstan Tahun
1989 =100, Selama Era Sisa Kejayaan (1989-1995), Era Penurunan Kinerja
(1996-2005), dan Era Kebangkitan/Revitalisasi (2006-2014)

Secara keseluruhan sejak periode tahun 1989 hingga 2014, dinamika TFP usaha
budidaya udang Indonesia mengalami kondisi pasang-surut tetapi masih berada di bawah
(belum melampaui) kinerja TFP tahun 1998. Di samping selama periode tersebut, TFP
usaha budidaya udang Indonesia masih belum optimal. Hal ini diduga disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah serangan penyakit yang belum sepenuhnya dapat diatasi,
dan benur belum sepenuhnya bebas penyakit dan bersertifikat. Berdasarkan Gambar 28,
tampak bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap TFP. Udang
tambak termasuk yang rentan terkena serangan penyakit. Jenis virus yang menyerang
tersebut antara lain: White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan
Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). Sebagai ilustrasi, produksi udang tambak tahun
2009 hanya sebanyak 336.0 ribu ton dari target 540.0 ribu ton, atau turun dari capaian tahun
2008 sebanyak 409.6 ribu ton. Penyebabnya, udang di dua wilayah utama yaitu Lampung
dan Jawa Timur terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh virus. Serangan penyakit
tersebut tidak hanya menyerang udang yang dipelihara oleh tambak perorangan, akan tetapi
termasuk juga perusahaan terintegrasi. Kuantitas produksi perusahaan terintegrasi dibawah
PT. CP Prima Grup, pada tahun 2008 mencapai sekitar 97 ribu ton, sedangkan pada tahun
2009 hanya sekitar 57 ribu ton. Produktivitas udang turun dari 20 ton per Ha menjadi 17- 18
ton per Ha.

100
Dari hasil pengamatan lapang, sekitar 70% responden menyatakan faktor yang paling
menentukan keberhasilan budidaya udang adalah terhindarnya dari serangan penyakit.
Responden menyebutkan bahwa rata-rata udang mereka mulai terserang penyakit pada umur
pemeliharaan 30 sampai dengan 60 hari. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi
pengurangan risiko serangan penyakit dilakukan dengan mengganti varietas yang digunakan
dari udang windu ke udang vaname. Upaya lainnya yaitu melalui penurunan padat tebar. Di
samping itu, kemampuan dan akses ke modal untuk pembudidaya skala kecil juga terbatas.
Penerapan teknologi lebih bersifat anjuran dan paket teknologi yang dihasilkan oleh Unit
Pelakaana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan Badan Litbang juga belum
banyak diadopsi oleh pembudidaya karena keterbatasan pembiayaan. Selain itu, kegiatan
pemerintah lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya skala
kecil, dan tidak langsung terkait dengan peningkatan produktivitas karena keterbatasan
anggaran.

4.2.3 Peran Beberapa Kebijakan yang Mempengaruhi Produktivitas Budidaya Udang


Tambak di Indonesia selama Periode 1989 – 2013: Aplikasi Model ITSA

Pengaruh kebijakan terhadap kinerja produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di


Indonesia difokuskan pada tiga buah kebijakan, yaitu: (1) Kebijakan Penguatan Sarana
Infrastruktur Pengairan melalui program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi
tambak yang telah dilakukan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak
tahun 1999-sekarang; (2) Kebijakan Revitalisasi Tambak Udang Nasional Tahap 1 yang
dilakukan pada tahun 2006-2009 melalui Kerangka Kebijakan Revitalisasi Perikanan
Nasional; dan (3) Kebijakan Revitalisasi Tambak Nasional Tahap 2 yang diimplementasikan
melalui program demfarm (tahun 2012 hingga sekarang). Ketiga kebijakan tersebut
dianalisis pengaruhnya terhadap dinamika produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di
Indonesia.
Berdasarkan hasil pengujian pendekatan ITSA tanpa mempertimbangkan interaksi
antarkebijakan yang diduga menggunakan metode pendugaan Kemungkinan Maksimum
(Maximum Likelihood Estimations – MLE), seperti ditunjukkan pada Tabel 16 dapat
diketahui bahwa kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan pada taraf α =5%
berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha
budidaya udang nasional, sedangkan kebijakan Revitalisasi Tahap 1 dan 2 pada taraf α
=10% belum secara nyata mempengaruhi TFP usaha budidaya udang di Indonesia.
Satu dari kekuatan studi menggunakan metode Interrupted Time Series Analysys
(ITSA) adalah diperolehnya gambaran intiutif hasil presentasi secara grafis dan pemeriksaan
secara visual sepanjang waktu sebagai langkah awal ketika dilakukan analisis data time

101
series. Secara visual kita membandingkan pola series waktu sebelum intervensi kebijakan
dengan pola setelah intervensi kebijakan dan kemudian menilai (assess) jika setelah invetsni
kebikjakan, pola series waktu mengalami perubahan secara notisiabel (noticeably) dalam
hubungannya dengan pola kondisi sebelum intervensi kebijakan.

Tabel 16. Hasil Pendugaan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Total Factor
Productivity Usaha Budidaya Udang di Indonesia

Descriptions Coefficient Standart t- P- Significancy


Error statistic value
a. Full segmented regression model
Intercept (β0) 0.2421 0.0748 3.2363 0.0012 ***

Baseline trend (β1) 0.0035 0.0068 0.5164 0.6128 ns


Level change after irrigation 0.3926 0.1572 2.4972 0.0043 ***
rehabilitation policy (β2)

Trend change after irrigation 0.0264 0.0193 1.3684 0.1849 ns


rehabilitation policy (β3)
Level change after first 0.0079 0.0325 0.2417 0.3264 ns
revitalization policy (β4)
Trend change after first 0.0401 0.0642 0.6253 0.7146 ns
revitalization policy (β5)
Level change after second 0.2037 0.4873 0.4181 0.5382 ns
revitalization policy (β6)

Trend change after second 0.0463 0.0611 0.7573 0.8832 ns


revitalization policy (β7)
b. Most parsimonious segmented regression model
Intercept (β0) 0.1985 0.0311 6.3841 0.0001 ***

Level change after irrigation 0.1772 0.0563 3.1473 0.0017 ***


rehabilitation policy (β2)
Level change after first 0.0030 0.0183 0.1652 0.2419 ns
revitalization policy (β4)

Level change after second 0.0069 0.0279 0.2479 0.3361 ns


revitalization policy (β6)
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder (2015)
Keterangan: *** = nyata pada taraf α = 0,01; ** = nyata pada taraf α = 0,05; * = nyata pada taraf α =
0,10; dan ns = tidak nyata

Untuk itu, lihat titik data pada Gambar 6, kita dapat mengetahui adanya titik-titik data
yang menunjukkan kecendenderungan tidak terus menurun, tetapi cenderung meningkat
meskipun pada rentang yang sempit. Seperti titik data pada tahun 1999 yang tampaknya
mengindikasikan adanya pengaruh intervensi kebijakan yang mampu menahan penuruan
TFP usaha budidaya udang Indonesia pada tahun-tahun (titik-titik data) setelahnya.

102
Sementara pada titik-titik data sebelumnya, yaitu sejak tahun 1989 hingga 1989 cenderung
terjadi tren yang menurun akibat adanya tekanan produksi akibat serangan penyakit pada
udang windu dari virus White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV),
dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). MBV dan YHV.
Namun sejak adanya intervensi kebijakan rehabilitasi saluran irigasi tambak melalui
program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi tambak yang telah dilakukan
bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1999-sekarang yang diikuti
dengan introduksi udang vanamei, tampak tekanan produksi udang di Indoneaia relatif
tertahan, sehingga dapat mendongkrak kinerja indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia
pada tahun-tahun berikutnya. Secara statistik, dengan menggunakan model ekonometrika
ITSA yang diduga berdadsakan metode Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood
Estimations – MLE), diktehaui bahwa perubahan level kebijakan penguatan sarana
infrastruktur pengairan tersebut berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total
Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang nasional, pada taraf α =5% dengan
koefisien parameter sebesar 0,3926. Angka koefisien parameter tersebut berarti bahwa
setiap peningkatan penguatan kebijakan tersebut sebesar 10% akan meningkatkan kinerja
indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia sebesar 39,26%. Namun, dalam hal perubahan
tren, kebijakan tersebut pada taraf α =10% tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
kinerja TFP usaha buiddaya udang Indonesia.
Fenome yang serupa dengan pengaruh intervensi kebijakan penguatan sarana irigasi
tambak tersebut juga ditunjukkan oleh pengaruh intervensi kebijakan reviatalisasi budidaya
tambak udang tahap 1 dan tahap 2. Namun, kedua kebijkan tersebut baik pada perubahan
level maupun perubahan tren kebijakan, keduanya pada taraf α =10% tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata. Hal ini diduga karena implementasi kebijakan revitalisasi usaha
budidaya tambak udang di Indonesia belum diimplementasi pada skala yang massif, tetapi
masih terbatas pada beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan secara sporadik di
beberapa kecamatan sentra budidaya udang.
Oleh karena itu, pada tingkat nasional pengaruhnya terhadap peningkatan
produktivitas (TFP) udang Indonesia belum memberikan pengaruh yang nyata. Di samping
itu, juga diduga karena berdasarkan hasil pengamatan di lapang masih ditemukan beberapa
hal yang berkontribusi terhadap pengaruh yang tidak nyata tersebut. Hal-hal tersebut,
seperti terkait dengan kurang intensifnya sosialisasi dan monitoring terkait dengan
penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang
tambak di Indonesia, dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang
diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk
menjaga keberlanjutannya, dan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia

103
sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong
percepatan industri budidaya udang di Indonesia.
.
4.3 Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi, dan Penentu Keputusan Pembudidaya

4.3.1 Gambaran Umum Pelaksanaan Program Revitalisasi Tambak Udang di Lokasi


Penelitian

Berdasarkan model pola kemitraan Model pada Revitalisasi Tambak Melalui Kegiatan
Demfarm yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB)
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 9, maka sesuai dengan roadmap-nya program
revitalisasi tambak udang di Indonesia telah dilaksanakan di 5 (lima) wilayah yang menjadi
lokasi penelitian terpilih, yaitu Kabupaten Indramayu (Provinsi Jawa Barat) pada tahun 2012
dan pada tahun 2013 di Kabupaten Brebes (Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten Gresik
(Privinsi Jawa Timur), Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur
(Provinsi Lampung), dan Kabupaten Takalar (Provinsi Sulawesi Selatan). Pelaksanaan
program revitalisasi di lima lokasi penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut.

4.3.1.1 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Lampung


Kegiatan revitalisasi tambak udang melalui Demfarm di Provinsi Lampung telah
dilakukan sejak tahun 2013 hingga sekarang.Lokasi penerima program tahun 2013 tersebar
di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung
Timur.Selanjutnya pada tahun 2014 bertambah 1 lokasi, yaitu Kabupaten Tulang Bawang.
Bantuan yang diberikan berupa plastik mulsa (10 roll/ha), kincir (16 kincir/ha), pompa (1
pompa/ha), dan genset (1 genset/ha). Tabel 17 menunjukkan pelaksanaan demfarm di
Provinsi Lampung tahun 2014.

Tabel 17. Pelaksanaan Demfarm di Provinsi Lampung Tahun 2014


Kabupaten Penerima Bantuan Luas Lahan Produksi
Kabupaten Pesawaran Pokdakan Tegal Alur 8 Ha 67,49 ton
Kabupaten Lampung 1. Pokdakan Berkah 1,5 Ha 11,9 ton
Selatan Windu
2. Pokdakan Windu 4,0 Ha Belum ada produksi karena
Abadi adanya keterlambatan
menemukan mitra untuk
membiayai tambak
Kabupaten Lampung 1. Pokdakan Mina 1,5 Ha 13,6 ton (ada gejala WSSV)
Timur Lestari
2. Pokdakan Sumber 3,0 Ha 400 kg (adanya penyakit)
Rejeki
Sumber: DislutkanProvinsi Lampung, 2015

104
Demfarm Kabupaten Pesawaran : terdiri dari 1 kalster atau 1 kelompok yaitu
Pokdakan Tegal Alur dengan luas lahan 8 Ha yang berlokasi di Desa Durian Kecamatan
Padang Cermin. Tebar Perdana telah dilakukan pada tanggal 15 Januari 2014. Tebar
perdana dilakukan pada 4 petak dengan luas 2,5 ha dengan jumlah benur yang ditebar
sebanyak 1,7 juta benur dengan ukuran benur PL 11- 13, dengan kepadatan 60
ekor/m2dengan ketinggian air tambak sekitar 150 cm. Kemudian dilakukan panen perdana
pada tanggal 18-21 April 2014 dari 4 petak tambak tersebut diperoleh jumlah panen sebesar
21,37 ton dengan rata2 per Ha sekitar 9-10 ton. Tebar tahap kedua dilakukan bulan Juni
pada 8 kolam dan panen dilakukan secara parsial dengan total panen 46,12 ton.
Informasi dari Dinas KP Provinsi Lampung menunjukkan bahwa kelompok yang
berhasil dalam implementasi program revitalisasi adalah petambak yang berlokasi di
Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan data yang diperoleh, program revitalisasi udang
di Lampung Selatan telah dilaksanakan sejak tahun 2013 untuk 2 kelompok, tahun 2014
untuk 1 kelompok dan tahun 2015 untuk 2 kelompok. Program revitalisasi ini menunjukkan
keberhasilan dengan meningkatnya produksi udang vanamae yang mencapai 8 kali lipat,
yaitu dari 500 kw sebelum tahun 2013 menjadi 6,8 ton pada tahun 2015.
Demfarm Kabupaten Lampung Selatan : terdiri dari 2 klaster atau 2 kelompok yaitu
Pokdakan Berkah Windu dan Pokdakan Windu Abadi dengan luas lahan masing-masing 10
ha yang berlokasi di Kecamatan Pematang Pasir. Pokdakan Berkah Windu memiliki kolam
budidaya yang berjumlah 22 kolam. Tebar perdana dilakukan pada tanggal 3 Mei 2014.
Tebar dilakukan pada 5 petak tambak luas masing-masing 3000 m2 dengan padat tebar
masing-masing kolam 60-80 ekor/m2. Panen telah dilakukan secara parsial yaitu pada
tanggal 15 Juli - 22 Agustus 2014 dengan jumlah panen sebanyak 11,9 ton yang berasal dari
5 kolam. Saat ini masih dalam proses budidaya sebanyak 8 kolam umur 60 hari, dalam
tahap persiapan tebar 4 kolam, dan dalam tahap istirahat setelah panen sebanyak 5 kolam.
Pokdakan Windu Abadi saat ini memiliki 9 kolam budidaya masing-masing sekitar 1
Ha. Tebar perdana pada tanggal 24 Desember 2014 pada 4 kolam dengan kepadatan tebar 50
emor/m2. Sebanyak 5 kolam sedang dalam tahap persiapan untuk tebar. Rencana tebar 5
kolam tersebut akan dilakukan pada bulan Maret 2014. Kelompok Windu Abadi mengalami
keterlambatan proses budidaya karena adanya keterlambatan menemukan mitra yang cocok
untuk membiayai tambak tersebut.
Demfarm Kabupaten Lampung Timur : terdiri dari 2 klaster atau 2 kelompok, yaitu
Pokdakan Mina Lestari dan Pokdakan Sumber Rejeki dengan luas lahan masing-masing 10
Ha. Pokdakan Mina Lestari berlokasi di Desa Sri Minosari Kecamatan Labuhan Maringgai.
Tebar Perdana Pokdakan Mina Lesatri telah dilakukan pada tanggal 11 April 2014. Tebar
perdana dilakukan pada petakan yang ditebar benur sebanyak 3 petak dengan luas 1,5 ha

105
dengan jumlah benur yang ditebar sebanyak 900.000 ekor benur dengan ukuran benur PL
11- 13, dengan kepadatan 60 ekor/m2, dan ketinggian air tambak sekitar 150 cm. Karena
ditemui adanya gejala WSSV maka kemudian dilakukan panen secara parsial sebanyak 3
kali yaitu pada tanggal 28 Juli, 2 Agustus, dan 4 Agustus 2014 dari 3 petak tambak tersebut
diperoleh jumlah panen sebesar 13,6 ton sedangkan jumlah udang yang tidak terjual karena
penyakit dan busuk sebanyak 3 ton.
Pokdakan Sumber Rejeki berlokasi di Desa Bandar Negeri Kecamatan Labuhan
Maringgai telah melakukan tebar perdana mulai dari tanggal 11 Juli 2014 pada 6 kolam
dengan luas kolam sekitar 5000 m2 dan jumlah benur sebanyak 150rb benur/kolam serta
ketinggian air tambak 125 cm. Tambak mengalami panen sedikit, yaitu hanya sebanyak 4
kw saja karena adanya penyakit yang menyerang kolam tersebut.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan mewawancarai pembudidaya udang yang
menerima program demfarm.Responden berlokasi di Kecamatan Ketapang, Kecamatan
Labuhan Maringgai dan Kabupaten Pesawaran sebagai lokasi penerima program revitalisasi
sejak tahun 2013—2015. Program revitalisasi diakui oleh pembudidaya mampu
meningkatkan produksi dan produktivitas udang vanamae yang dibudidayakannya.Meskipun
begitu kendala permodalan masih menjadi kendala utama karena program revitalisasi yang
diberikan tetap memerlukan modal cukup besar yang harus dikeluarkan pembudidaya.
Namun demikian, hasil produksi cukup menjanjikan sehingga beberapa kelompok
yang awalnya tidak mau menerima bantuan demfarm justru minta diberikan bantuan.Akan
tetapi, ada pula kelompok yang awalnya menjalankan program revitalisasi tidak meneruskan
program tersebut (kelompok di Kecamatan Labuhan Maringgai). Hal ini disebabkan oleh
mundurnya mitra usaha yang awalnya bekerja sama dalam usaha budidaya tambak
udangnya. Keluarnya mitra tersebut secara signifikan mempengaruhi pembudidaya dalam
menjalankan usahanya dengan teknologi semi intensif seperti yang disyaratkan dalam
program revitalisasi.
Terkait mitra dan modal tersebut, secara garis besar memang menjadi faktor penentu
keberhasilan program karena pembudidaya penerima bantuan memang awalnya adalah
pembudidaya yang melakukan usaha budidaya secara tradisional. Dengan penggunaan
teknologi maka usaha budidaya udang dilakukan secara semi intensif yang memerlukan
pendampingan dalam penggunaan teknologi dan juga dukungan modal yang besar. Program
revitalisasi berusaha mengantisipasi kendala tersebut sehingga program tersebut
menggandeng mitra untuk bekerja sama dengan pembudidaya udang. Dengan demikian,
keberadaan mitra sangat penting bagi keberlanjutan usaha budidaya udang di lokasi.

106
4.3.1.2 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan
(Diskanlut) Provinsi Jawa Barat diketahui bahwa luas tambak demfarm udang, Kabupaten
Subang dan Cirebon merupakan lokasi yang memiliki luas lahan demfarm terbesar, masing-
masing seluas 360 Ha dan 245 Ha. Namun demikian, justru Kabupaten Indramayu yang
tercatat menghasilkan produksi udang terbesar yaitu 2.640,50 ton dengan luas demfarm
tambak udang 126 Ha (lihat Tabel 18). Hal ini disebabkan oleh kurang berhasilnya program
demfarm udang di Cirebon, misalnya, karena penyakit udang yang menyerang sehingga
hasil produksi yang dihasilkan hanya sebanyak 50 ton pada tahun 2013. Sementara itu,
kegiatan demfarm di Indramayu makin berkembang karena keberhasilan tersebut diikuti
oleh pelaku usaha budidaya lainnya yang masih menggunakan teknologi tradisional.

Tabel 18. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013
Jumlah Luas Tambak
No. Kabupaten Produksi (Ton)
Kluster (Ha)
1. Cirebon 6 245 50,00
2. Indramayu 5 126 2.640,50
3. Subang 13 360 2.473,50
4. Karawang 3 60 40,00
Total 27 791 5.204,00
Sumber: Diskanlut Provinsi Jawa Barat, 2014

Informasi Diskanlut Provinsi Jawa Barat juga menunjukkan program demfarm di


Indramayu telah berhasil meningkatkan produksi dan animo masyarakat pembudidaya
untuk mengembangkan usahanya sehingga luas lahan tambak meningkat hampir 300%, yaitu
dari 126 Ha menjadi sekitar 600 Ha. Keberhasilan program demfarm ini diakui juga karena
masyarakat perikanan Indramayu telah menjadi pembudidaya udang sejak lama sehingga
lebih “tahan banting” dengan dinamika udang yang sangat tinggi fluktuasinya. Dengan kata
lain, pembudidaya udang Indramayu berani mengambil resiko (risk taker) dalam
menjalankan usahanya. Selanjutnya, program demfarm udang seluas 126 Ha yang telah
dilaksanakan pada tahun 2012 diberikan kepada 6 POKDAKAN, yaitu: kelompok Vaname
Jaya 1, Vaname Jaya 2, Vaname Jaya 3, Mina Lestari, Mina Sekar Tanjung, dan Vaname
Durma Jaya. (lihat Tabel 19).

107
Tabel 19. Luas dan Produksi Demfarm Tambak Udang di Jawa Barat Tahun 2013
Jumlah Luas Tambak
No. Nama Kelompok Desa/Kecamatan
Anggota (Ha)
1. Vaname Jaya 1 Lamaran Tarung / Cantigi 11 36
2. Vaname Jaya 2 Pagirikan / Pasekan 10 20
3. Vaname Jaya 3 Singaraja/ Indramayu 10 20
4. Mina Lestari Krangkeng /Krangkeng 10 20
5. Mina Sekar Tanjung Luwunggesik /Krangkeng 10 20
6. Vaname Durma Jaya Pangkalan / Losarang 10 10
Total 126
Sumber: Diskanlut Kabupaten Indramayu, 2014

Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapang, diakui bahwa program revitalisasi


melalui demfarm yang berasal dari APBN hanya berjalan selama satu tahun sehingga pada
tahun-tahun berikutnya, bantuan demfarm ini tetap dilaksanakan dengan menggunakan dana
dari Tugas Perbantuan dan APBD. Akibatnya, saat ini luas lahan tambak udang terus
bertambah yang sudah mencapai 600 Ha karena masyarakat pembudidaya lain tertarik
membuka lahan melihat keberhasilan pembudidaya demfarm.
Keberhasilan program demfarm membuat para pembudidaya tambak udang
mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan demfarm.Untuk itu, pemerintah daerah
mengalokasikan bantuan dalam anggaran APBD dan Tugas Perbantuan (TP) pada tahun
2014 hingga sekarang karena program Demfarm hanya diberikan pada tahun 2012.Namun
demikian, diakui bahwa pada awal penyaluran bantuan demfarm ini ada tiga sikap yang
ditunjukkan oleh para pembudidaya, yaitu menerima dengan mantap, menerima dengan
ragu-ragu dan juga menolak bantuan. Hal ini disebabkan oleh waktu penyaluran bantuan
yang hanya dalam waktu 2 bulan sehingga ada beberapa pokdakan yang tidak sanggup
menyiapkan lahan untuk menjalankan program demfarm. Namun demikian, saat ini
kelompok yang menolak tersebut justru meminta diikutkan dalam program Demfarm tahun
ini.
Penelusuran data primer menunjukkan bahwa sikap ragu-ragu dan menolak ini
disebabkan karena pendeknya waktu yang diberikan pemerintah untuk melaksanakan
program revitalisasi ini, yaitu hanya dalam waktu 2 bulan. Kendala lainnya adalah faktor
cuaca dimana pada saat program demfarm dijalankan kondisi tambak sangat berangin
sehingga plastik mulsa yang dipasang lepas karena terbang terbawa angin sehingga beberapa
kelompok mengundurkan diri dari keikutsertaannya.Sementara itu, kelompok yang ragu-
ragu cenderung karena tidak percaya ada bantuan dari pemerintah. Diakui bahwa produksi
awal dikatakan gagal karena hasilnya tidak sesuai dengan perhitungan sehingga usaha hanya
balik modal (break even point—BEP). Namun demikian, saat ini para pembudidaya mampu

108
berusaha secara mandiri dengan melihat bertambahnya luas areal tambak yang diusahakan
dengan sumber modal dari kredit bank.
Demfarm dinilai mampu membawa mitra yang memang dibutuhkan oleh para
pelaku usaha dalam melakukan usaha budidaya udang. Mitra tersebut sangat besar perannya
dalam menyediakan input produksi, seperti pakan, benur, pupuk, obat-obatan, dan vitamin
oleh pabrik pakan. Mitra tersebut juga kelonggaran pembayaran secara kredit dalam 1 bulan
ke depan sehingga pelaku usaha lebih mudah memperoleh input produksi. Mitra lainnya
yang juga penting keberadaannya adalah bank sebagai lembaga keuangan yang menyediakan
kredit lunak sebagai modal usaha budidaya udang.Berdasarkan informasi dari pelaku usaha,
BRI merupakan bank yang selama ini memfasilitasi kebutuhan kredit masyarakat perikanan.
Selain mitra-mitra tersebut, fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan juga disediakan
oleh pemerintah dengan menggandeng instansi pemerintah terkait, misalnya akses jalan dan
jembatan produksi oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU), akses listrik (PLN), saluran irigasi
primer dan sekunder (Dinas PU), dan eskavator untuk mempersiapkan lahan tambak (Dinas
KP).
Hasil survey menunjukkan bahwa masih ada beberapa kendala yang dijumpai oleh
para pelaku usaha budidaya udang di Kabupaten Indramayu. Adapun kendala yang dihadapi
adalah sebagai berikut:
(1) Mesin genset yang diberikan pada awal bantuan cenderung tidak bertahan lama karena
mesin menggunakan mesin yang kurang bagus mutunya (merk Domfeng). Akibatnya,
mesin genset tersebut hanya dapat digunakan untuk satu siklus pemeliharaan saja.
Sarannya, sebaiknya diberikan mesin genset yang biasa saja seperti yang selama ini
digunakan oleh pembudidaya.
(2) Akses jembatan produksi masih kurang bagus sehingga cukup menghambat kegiatan
usaha. Demikikian juga halnya dengan akses irigasi primer dan sekunder karena
dangkalnya saluran sehingga volume air tidak/belum optimal.
(3) Ketersediaan benur sangat bergantung pada pabrik pakan sehingga harga dan mutu
benur ditentukan secara pihak dari pabrik pakan sehingga pembudidaya tidak memiliki
daya tawar (bargaining power). Akibatnya tidak ada jaminan yang menguntungkan
pembudidaya jika benur yang diberikan bermutu rendah atau benur dengan harga tinggi.
(4) Penyakit udang masih menghantui pembudidaya udang karena sampai saat ini belum
ada terobosan dari berbagai pihak dalam mengatasi penyakit udang tersebut sehingga
produksi udang akan terganggu.

Harga udang saat ini cenderung menurun karena masuknya stok udang dari
perusahaan luar daerah (Lampung) karena diduga adanya kebijakan pembatasan/ kuota

109
ekspor udang. Akibatnya, perusahaan tersebut melempar produknya ke pasar lokal
Indramayu sehingga stok udang di Indramayu meningkat yang pada akhirnya mendorong
harga udang ke level yang lebih rendah.

4.3.1.3 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Tengah


Kegiatan program revitalisasi di Provinsi Jawa Tengah, dalam penelitian ini
difokuskan di Kabupaten Brebes dengan mengambil satu kecamatan yang memiliki luasan
tambak terbesar dan merupakan satu-satunya wilayah penerima program revitalisasi
(demfarm) tambak udang, yaitu Kecamatan Brebes (lihat Tabel 20). Pada tahun 2013,
diketahui bahwa luas tambak udang di Kabupaten Brebes adalah seluas 3.874,92 ha dengan
jumlah produksi sebesar 41.209.707 kg atau dengan produktivitas lahan sebesar 10.643,98
kg per ha (10,644 ton per ha) dengan tingkat teknologi yang beragam, namun pada umum
usaha tambak menggunakan teknologi budidaya udang tradisional dan hanya sebagian kecil
yang menggunakan teknologi semi intensif dan intensif.

Tabel 20. Luas dan Produksi Tambak Udang di Kab. Brebes Tahun 2013

Jumlah RTP Luas Tambak


No. Kecamatan Produksi (kg)
(Orang) (ha)
1. Losari 1.001 2.601,84 6.707.746
2. Tanjung 713 2.555,00 1.948.266
3. Bulakamba 415 2.215,34 5.174.130
4. Wanasari 275 1.501,96 1.537.142
5. Brebes 1.623 3.874,92 41.209.707
Total 4.027 1.274.816 56.576,991
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2014

Berdasarkan data dan informasi dari Diskanlut Kabupaten Brebes (2015) diketahui
bahwa secara keseluruhan, di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah 241 POKDAKAN. Dari
jumlah tersebut sebanyak 45 POKDAKAN terdaoat di Kecamatan Brebes, namun yang
merupakan POKDAKAN tambak udang hanya sebanyak 12 POKDAKAN yang terdiri dari
sebanyak sembilan POKDAKAN yang membudidayakan udang vaname secara monokultur;
dan sisanya membudidaya udang secara polkultura untuk jenis udang windu dengan
komoditas perikanan lainnya, seperti: bandeng, nila, rumput laut.
Khusus untuk POKDAKAN penerima program revitalisasi tambak udang di
Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes adalah sebanyak 4 POKDAKAN, dengan nama
POKDAKAN UDANG JAYA yang berlokasi di Desa Kaliwlingi dengan anggota sebanyak
13 pembudidaya, POKDAKAN MUNCUL JAYA berlokasi di Desa Limbangan Wetan
dengan anggota sebanyak 12 pembudidaya, POKDAKAN SUBUR MAKMUR berlokasi di

110
Desa Randusanga Kulon dengan anggota sebanyak 12 pembudidaya, dan POKDAKAN
MULYA SARI berlokasi di Desa Randusanga Kulon dengan anggota sebanyak 12
pembudidaya (Diskanlut Kabupaten Brebes, 2015).
Program reviltalisai tambak udang dilakukan dengan menggunakan jenis udang
vaname sebagai komoditas yang dibudidayakan. Demikian dengan, demfarm-demfarm yang
ada di Kecamatan Brebes sebagai penerima program revitalisasi tersebut. Sebagai contoh,
POKDAKAN MUNCUL JAYA mulai menggeluti budidaya udang vaname sejak tahun
2012. Luas lahan keseluruhan 40 hektar (ha) terdiri dari 26,5 ha atau 53 petak untuk
budidaya dan 10 ha atau 7 petak untuk tandon dan 3 ha untuk saluran pemasukan dan
pembuangan. Sistem budidaya yang dijalankan terdiri dari sistem intensif seluas 4,5 ha, semi
intensif 5,3 ha, tradisional 16,5 ha. Untuk tahun 2013, Kelompok Muncul Jaya mendapatkan
bantuan kegiatan Demfarm dari Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI. Penerapannya untuk 10 ha dengan sistem budidaya intensif padat tebar 70-90
ekor per meter persegi. Semi intensif dengan padat tebar 25-30 ekor per m2 dan tradisional
dengan padat tebar 6-12 ekor per m2. Namun demikian, dalam pelaksaannya POKDAKAN
MUNCUL JAYA masih menghadai banyak kendala dan hambatan, seperti kendala
permodalan dan hambatan penyediaan listrik dan infrastruktur pengairan dan jalan akses
produksi untuk tambak. Khusus terkait dengan penyediaan tenaga listrik untuk tambak,
POKDAKAN MUNCUL JAYA secara swadaya membiaya pemasangan jaringan PLN di
lokasi tambaknya. Padahal, semestinya sesuai dengan langkah-langkah implementasi
program revitalisasi tambak udang, dimana pengadaan infrastruktur jaringan PLN untuk
tambak yang harus disediakan.

Bantuan penyediaan jaringan dan tenaga listrik untuk tambak udang sangat
dibutuhkan sekali untuk menunjang keberhasil program revitaliasi tambak udang melalui
demfarm yang dikelola oleh POKDAKAN. Hal ini karena dapat menunjang kegiatan usaha
budidaya tambak udang dan dapat menekan biaya produksi, khususnya solar dan sarana
prasaran permesinan. Sementara dalam kaitannya dengan permodalan, para anggota
POKDAKAN kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan, terutama karena tambak
yang dimilikinya tidak dapat digunakan sebagai agunan, hal ini terkait dengan kebijakan
perbankan terhadap kemungkinan kredit macet usaha budidaya tambak sebagaimana pernah
terjadi pada periode yang lalu dimana lahan tambak umumnya digunakan untuk agunannya.
Di samping itu, berkaitan dengan penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan
yang juga harus disediakan oleh pemerintah dalam hal ini dinas kelautan dan perikanan
dengan menggandeng instansi pemerintah yang terkait, misalnya akses jalan dan jembatan
produksi oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU), akses listrik (PLN), saluran irigasi primer dan
sekunder (Dinas PU), dan eskavator untuk mempersiapkan lahan tambak (Dinas KP).

111
Beberapa kendala lainnya yang dijumpai oleh para pelaku usaha budidaya dalam
menjalankan program revitalisasi budidaya tambak udang melalui kegiatan demfarmnya,
yaitu:
1. Bantuan mesin genset yang diberikan dari program revitalisasi tambak udang, dipandang
memiliki spesifikasi yang kurang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk kondisi kegiatan
tambak udang di lapang. Dengan kondisi ini, terdapat banyak genset yang mengalami
kerusakan pada awal penggunaannya (hanya dapat digunakan dalam beberapa minggu
saja untuk satu siklus pemeliharaan saja, dan itu pun tidak dalam penggunaan secara
penuh waktu efektif). Sementara, jaringan infrastruktur listrik belum masuk ke lokasi
tambak meskipun telah diupayakan hingga tingkat provinsi oleh dinas kelautan dan
perikanan setempat kepada PLN yang terkait.
2. Sarana kincir angin untuk tambak dinilai kurang memadai, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Hal ini oleh para pembudidaya disisatai dengan melakukan modifikasi model
kincir angin dengan memanfaat perpanjangan pipa pembantu sehingga dapat digunakan
luasan yang relatif lebih besar, dan mampu menghemat daya listrik yang digunakan.
3. Akses jalan produksi ke lokasi tambak udang masih kurang memadai secara teknis,
sehigga kurang dapat memperlancar gerak pekerjaan kegiatan usaha tambak udang di
lapang.
4. Sarana dan prasana pengairan (irigasi) dan pembuangan (drainase) mulai dari saluran
primer masih kurang baik yang hingga ke sekunder dan tersier, baik dari segi debit
maupun kotinuitasnya, sehingga volume air tidak/belum optimal untuk memdukung
kinerja usaha budidaya tambak udang di lokasi.
5. Penyakit udang diare (mencret) yang masih merugikan usaha budidaya tambak udang,
dan hingga saat belum ditemukan pengobatan yang tepat untuk mengatasinya meskipun
telah beberapa kali dilakukan uji coba yang pihak yang kompeten maupun pembudidaya
setempat.

Sesuai dengan tahapan pelaksanaan program revitalisasi tambak, berkaitan dengan


bantuan untuk sarana dan prasarana tambak udang, para pembudidaya dari POKDAKAN
dapat mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan demfarm pada tahun-tahun
selanjutnya, dalam hal ini berupa bantuan yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah dalam
anggaran APBD dan Tugas Perbantuan (TP). Namun dalam realitasnya, di Kabupaten
Brebes hal ini masih belum dapat dilaksanakan meskipun kegiatan demfarm sudah
memasuki tahap lanjutan yang semestinya langsung didukung oleh Pemerintah Daerah
setempat.

112
Sebagai gambaran mengenai penyaluran bantuan program revitalisasi tambak udang
di Kabupaten Brebes, terdapat beragam sikap para pembudidaya anggota POKDAKAN
dalam menerima bantuan tersebut. Sebagian besar mereka menerima bantuan cdemfarm
dengan mantap, namun sebagian kecil yang menerima dengan ragu-ragu. Penelusuran data
primer menunjukkan bahwa sikap ragu-ragu disebabkan karena kekurangsiapan para
pembudidaya dalam menerima program tersebut terutama berhubungan dengan pendeknya
waktu yang diberikan pemerintah untuk melaksanakan program revitalisasi ini, yaitu hanya
dalam waktu 3 bulan, dan juga karena tidak melalui tahapan yang semetinya seperti belum
dilakukannya sosialisasi dan pelatihan bagi para calon penerima bantuan program
revitalisasi.

Hal lainnya yang menjadi keragu-raguan dalam menerima program trersebut adalah
karena dukungan infrastruktur (seperti pengairan, jalan akses produksi dan listrik) yang
sangat minim dan belum tersedianya mitra pendamping seperti dari perusahaan-perusahaan
terkait dengan usaha dan pemasaran hasil budidaya udang yang dikelola oleh pembudidaya
tambak udang dari para POKDAKAN. Posisi mitra tersebut sangat besar perannya dalam
membantu kegiatan usaha budiaya tambak udang, seperti menyediakan input produksi,
seperti pakan, benur, pupuk, obat-obatan, dan vitamin oleh pabrik pakan, termasuk dalam
pembelian hasilnya. Kemudian, di samping mitra dari perusahaan diperlukan pula mitra
lainnya yang juga penting keberadaannya dalam mendukung kegiatan usaha budidaya udang
adalah perbankan. Peran perbankan ini adalah sebagai lembaga keuangan yang
menyediakan kredit lunak sebagai modal usaha budidaya udang para anggota POKDAKAN.

4.3.1.4 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Jawa Timur


Kabupaten Gresik memiliki panjang pantai sepanjang 140 km dan di sepanjang pantai
tersebut terdapat areal pertambakan payau 17.335,02 hektar dengan jumlah produksi sebesar
47.895,18 ton atau 107,06% dari potensi produksi sebesar 44.738 ton. Dalam tahun 2013 ini
produksi udang windu masih terasa rendah hal ini disebabkan masih terjadinya kematian-
kematian saat udang berumur 1-2 bulan,dan sekarang pembudidaya cenderung beralih ke
budidaya Udang Vanname yang dianggap lebih menguntungkan.
Hasil survey menunjukkan bahwa revitalisasi tambak udang melalui Demfarm di
Kabupaten Gresik, Jawa Timur telah dilakukan pada tahun 2013 hingga sekarang. Sumber
anggaran demfarm tiap tahun berbeda, yaitu berasal dari APBN pada tahun 2013 dan berasal
dari Tugas Perbantuan (TP) pada 2 tahun terakhir. Lokasi penerima program tahun 2013
terdapat di 2 desa, yaitu Desa Dalegan, Kecamatan Panceng dan Desa Banyu Urip,
Kecamatan Ujungpangkah. Selanjutnya pada tahun 2014 bertambah 1 POKDAKAN, yaitu
Tambak Klayar di Desa Banyu Urip, Kecamatan Ujungpangkah.

113
Untuk itu, survey pengambilan data primer difokuskan pada Kecamatan Panceng dan
Kecamatan Ujung Pangkah sebagai salah satu lokasi penerima program revitalisasi budidaya
udang vanamae di Kabupaten Gresik. Bantuan yang diberikan berupa plastic mulsa, kincir,
pompa, dan genset.
Data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Gresik menunjukkan bahwa komoditi yang dibudidayakan pada lahan tambak air
payau/asin adalah jenis udang Windu,udang Vanname,Bandeng, Kepiting Bakau, Kerapu
dan lain-lain. Para pembudidaya ikan/udang masih berupaya semaksimal mungkin
khususnya dalam usaha budidaya udang windu walaupun sampai saat ini masih mengalami
kendala. Kematian udang yang berkisar pada umur sampai dengan 2 bulan masih terjadi,
namun sudah tidak separah seperti tahun-tahun yang lalu. Namun sekarang telah ditemukan
jenis udang Vanname yang mulai dikembangkan untuk dibudidayakan di tambak. Pada
tahun 2013 telah berkembang budidaya udang vannamae di hampir seluruh areal tambak
tawar dan sebagian tambak payau.
Infrastruktur yang perlu disiapkan dalam pra poduksi perikanan budidaya adalah
saluran irigasi tambak. Dukungan untuk pengembangan budidaya juga dilakukan dengan
melakukan normalisasi saluran irigasi tambak yang ada di Kawasan pengembangan
minapolitan yaitu: Kecamatan Sidayu, Kecamatan Bungah, Kecamatan Ujung Pangkah,
Kecamatan Banyu Urip dan Kecamatan Panceng. Kegiatan ini merupakan kerjasama Dinas
KP, Dinas PU dan Bappelibangda serta pemerintah pusat (KKP) melalui PUMP budidaya
(BLM) oleh Direktorat Usaha Budidaya (DJPB) dan Dit. Prasarana dan Sarana (DJPB).
Ketersediaan sarana dan prasana input produksi pada sektor pra produksi usaha
budidaya udang-vanamae berupa hacthery, UPR, BBI, pabrik pakan, pabrik pupuk, pabrik
obat-obatan. Sarana dan prasarana BBI, UPR, pabrik pakan, pabrik pupuk, pabrik obat-
obatan sudah tersedia di kecamatan baik di sentra kawasan maupun hinterland.
Ketersediaan pasokan benur udang di Kabupaten Gresik masih mengandalkan benih
dari luar kabupaten. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya hatchery yang mampu memasok
kebutuhan benih untuk pembudidaya di kawasan sentra minapolitan dan kawasan hinterland
Kabupaten Gresik. Benur udang berkualitas didatangkan dari salah satu perusahaan swasta
(CP.PRIMA) Kabupaten Rembang, Balai Penelitian Air Payau (BPAP) Sitobondo dan
Lampung. Nener vanamae didatangkan dari Gondol - Bali (Balai Penelitian budidaya Air
laut). Benur dan nener udang vanamae ini didatangkan dari luar kabupaten untuk memenuhi
permintaan pembudidaya semi intensif dan intensif.
Keterjangkauan benur udang yang cukup jauh ini menyebabkan kualitas benih yang
digunakan pembudidaya di Kabupaten Gresik menjadi kurang terjaga. Ketiadaan hatchery di
Kabupaten Gresik ini salah satunya disebabkan oleh banyaknya unit‐unit hatchery yang

114
kesulitan mengembangbiakan benih udang karena sudah menurunnya kondisi lingkungan
dan lahan sekitar, sementara pemeliharaan benih sangatlah rentan dan perlu lingkungan yang
terjaga kualitasnya. Saat ini, Dinas Perikanan Kabupaten Gresik membangun balai benih
untuk ikan (BBI) yang terletak di Desa Kawasan Minapolis di Kecamatan Sedayu. Balai
Benih Ikan (BBI) ini dibangun setelah adanya program minapolitan dan industrialisasi
perikanan budidaya. BBI ini belum bisa mensuplai/menyediakan benih untuk kebutuhan
pembesaran udang dan vanamae di sentra kawasan minapolitan dan hinterland-nya.
Sehingga benih masih didatangkan dari luar Kabupaten Gresik.
Berdasarkan data, program revitalisasi udang dilaksanakan sejak tahun 2013 dan
2014, sedangkan tahun 2015 belum berjalan karena terkendala dengan administrasi yang
masih baru keluar petunjuk teknisnya. Program revitalisasi diberikan untuk 2 kelompok,
yaitu POKDAKAN HASIL BAROKAH dengan luas 7 ha yang berlokasi di Desa Dalegan
Kecamatan Panceng dan POKDAKAN MINA MANDIRI dengan luas lahan 6,2 ha yang
berlokasi di Desa Banyu Urip, Kecamatan Ujungpangkah. POKDAKAN HASIL
BAROKAH melakukan penebaran pada bulan Desember 2014 dan melakukan pemeliharaan
selama 98—125 hari sehingga panen total dilakukan pada bulan Maret 2015 sebanyak 14
ton. Sementara itu, POKDAKAN MINA MANDIRI melakukan penebaran selama bulan
Februari—November 2014 dengan hasil panen sebanyak 28 ton.
Berdasarkan data sekunder, Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten
Gresik terus melakukan program peningkatan produksi perikanan budidaya dengan kegiatan-
kegiatan: (1) Pengembangan Sistem Kesehatan Ikan dan Lingkungan Pembudidayaan Ikan;
(2) Pengembangan Sistem Perbenihan Ikan; (3) Pengembangan Sistem Prasarana dan Sarana
Pembudidayaan Ikan; (4) Pengembangan Sistem Produksi Pembudidayaan Ikan; (5)
Pengembangan Sistem Usaha Pembudidayaan Ikan; dan (6) Peningkatan Dukungan
Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Ditjen Perikanan Budidaya.
Program revitalisasi diakui oleh pembudidaya mampu meningkatkan produksi dan
produktivitas udang vanamae yang dibudidayakannya. Meskipun demikian, kendala
permodalan masih menjadi kendala utama karena pengajuan pinjaman pembudidaya dapat
dikatakan tidak berhasil karena kegiatan usaha budidaya ikan masih dinilai memiliki resiko
tinggi (high risk).
Permasalahan lain terkait bantuan demfarm adalah kualitas plastik mulsa yang
diberikan sangat rendah sehingga penggunaannya tidak mampu bertahan hingga satu siklus
pemeliharaan. Akibatnya, pembudidaya mengalami kematian udang karena residu pakan
membuat air tambak menjadi tidak baik untuk pertumbuhan udang. Untuk itu, penerima
bantuan berharap plastik mulsa yang telah diberikan dapat digantikan dengan mulsa yang
berkualitas HDPA karena mampu bertahan selama bertahun-tahun. Salah satu pembudidaya

115
akhirnya memasang mulsa hanya pada bagian sisi tambak saja, sedangkan bagian tengah
tambak tidak dipasangi karena robeknya mulsa malah merugikan petambak. Di samping itu,
jenis tanah tambak yang sangat tinggi tingkat penyerapannya memang mengharuskan
pembudidaya melapisi melapisi tambaknya dengan mulsa atau terpal.
Permasalahan berikutnya adalah tingkat harga udang yang diakui terus mengalami
penurunan. Padahal biasanya harga udang mengikuti kenaikan nilai tukar dollar. Namun,
diakui bahwa dalam 2 tahun terakhir kecenderungan tersebut tidak berlaku lagi. Untuk itu,
pembudidaya berharap tingkat harga udang dapat mencapai level pada tahun-tahun
sebelumnya.

4.3.1.5 Pelaksanaan Program Revitalisasi di Provinsi Sulawesi Selatan


Tabel 21 menunjukkan bahwa budidaya tambak udang di Provinsi Sulawesi Selatan
merupakan jenis kegiatan budidaya yang memanfaatkan luas lahan terbesar dibandingkan
kelompok usaha budidaya lainnya, yaitu mencapai seluas 109.831,7 ha dengan produksi
mencapai sebesar 1.001.235,7 ton (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan,
2015).

Tabel 21. Jumlah RTP/Perusahaan Perikanan, Luas Pemeliharaan, Volume dan Nilai
Produksi di Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2014
RTP Produksi Produksi
Uraian Pembesaran Luas Area Volume Nilai
(unit) (ha) (ton) (Rp. 000)
Jumlah - Total 111,498 174,314.9 3,075,497.9 8,839,809,580
1. Tambak 49,652 109,831.7 1,001,235.7 5,425,810,300
2. Kolam 9,679 7,225.6 8,767.9 189,499,180
3. Sawah 10,836 12,432.9 5,284.6 127,808,500
4. Budidaya Laut 40,947 44,819.8 2,059,892.0 3,089,838,000
5. Karambah (Air Tawar) 316 2.9 285.7 5,430,100
6. Jaring Apung (Air Laut) 68 1.9 32.0 1,423,500
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2015

Secara keseluruhan untuk Provinsi Sulawesi Selatan, wilayah penerima program


revitalisasi tambak udang mencakup empat kabupetan, yaitu: (1) Kabupaten Takalar, seluas
31.000 m2 dengan dua POKDAKAN; (2) Kabupaten Maros seluas 10.000 m2 dengan satu
POKDAKAN; (3) Kabupaten Pangkep seluas 20.000 m2 dengan dua POKDAKAN; dan (4)
Kabupaten Pinrang seluas 20.000 m2 dengan dua POKDAKAN.

Selanjutnya, khususnya menyangkut pelaksanaan program revitalisasi tambak udang


di Provinsi Sulawesi Selatan dalam kegiatan penelitian ini difokuskan pada Kabupaten
Takalar. Pertimbangan yang digunakan dalam penentuan lokasi tersebut, adalah karena

116
Kabupaten Takalar merupakan salah satu kabupaten penerima program revitalisasi tambak
udang di Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas lahan tambak seluas 31 ha yang dikelola
oleh dua POKDAKAN yang masing-masing berlokasi di Desa Soreang, Kecamatan
Mappkasunggu dengan nama POKDAKAN POKDAKAN SIKARANUA seluas 12.000 m2
dan POKDAKAN SIPARANNANG seluas 10.000 m2, dan POKDAKAN GALANG seluas
9.000 m2. (lihat Tabel 22).

Tabel 22. Luas Tambak Udang Demfarm dari POKDAKAN Penerima Program Revitalisasi
Udang Tambak pada Tahun 2014 di Kabupaten Takalar
Luas
Jumlah
No. Nama Kelompok Desa/Kecamatan Tambak
Anggota
(m2)
1. Sikaranua Soreang / Mappakasunggu 10 12.000
2. Siparannang Soreang / Mappakasunggu 10 10.000
3. Galang Soreang / Mappakasunggu 20 9.000
Total 40 31.000
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan KabupatenTakalar, 2015

Di samping itu, berdasarkan luasan lahan tambak yang ada di kabupaten Takalar,
ternyata Kecamatan Mappakasunggu merupakan kecamatan dengan luasan lahan tambak
tersebar, yaitu mencapai 37,55% (lihat Tabel 23).

Tabel 23. Luas areal budidaya Tambak di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan Tahun 2014

LUAS TAMBAK PERSENTASE


KECAMATAN
(ha) LUASAN (%)
1. Manggarambombang 1.202 21,90
2. Mappakasunggu 2.065 37,55
3. Sanrobone 1.284 23,35
4. Polongbangkeng Selatan 189 3,44
5. Pattallassang 98 1,78
6. Polongbangkeng Utara 0 0,00
7. Galesong Selatan 283 5,15
8. Galesong 92 1,67
9. Galesong Utara 287 5,22
Jumlah 5.500 100,00
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, 2015

Pertimbangan lainnya adalah bahwa Kabupaten Pangkep memiliki luas tambak udang
intensif dan super intensif yang tergolong besar di Provinsi Sulawesi Selatan, hal ini
terutama sangat terkait dengan arah program revitalisasi tambak udang yang berusaha
meningkatkan penggunaan teknologi tambak udang dari tradisional atau semi intensif ke
intensif. Di samping itu, pengambilan lokasi penelitian di Kabupaten Takalar tersebut juga
dilakukan dengan pertimbangan bahwa tambak dengan teknologi intensif di Kabupaten

117
Takalar memiliki produktivitas yang tertinggi di banding tambak intensif di wilayah-
wilayah lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu mencapai 139.000 kg/ha (Reni et al.,
2013), hal ini sebagaimana ditunjukikan oleh Tabel 24.

Tabel 24. Produktivitas Budiadaya Udang Windu dan Udang Vaname di Kabupaten Takalar,
Provinsi Sulawesi Selatan pada Tahun 2013

Sumber: Reni et al., 2013

Meskipun produktivitas untuk tambak udang intensif di Kabupaten yang tergolong


tinggi tersebut (Tabel 24), namun menurut Diskanlut Provinsi Sulawesi Selatan (2015),
produktivitas budidaya tambak udang dari penerima program revitalisasi tambak udang
(demfarm) masih belum memuaskan masih berada di bawah rata-rata produktivitas tambak
udang intensif di Kabupaten Takalar. Hal ini disebabkan oleh program demfarm udang di
Takalar belum berjalan secara optimal, misalnya, karena kurangnya bantuan modal dari
perbankan, dukungan infrastrtur yang berkaitan usaha budidaya masih tergolong kurang
memadai, seperti infrastruktur jalan akses produksi, listrik, dan pengairan. Padahal hasil
pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kegiatan demfarm di Kabupaten Takalar
semakin berkembang dan menujukkan kinerja keberhasilan yang semakin meningkat,
bahkan telah diikuti oleh pelaku usaha budidaya lainnya yang masih menggunakan
teknologi tradisional.
Keberhasilan program demfarm ini, sesungguhnya tidak terlepas dari sikap para
pembudidaya terhadap resiko produksi usaha budidaya tambak yang telah sejak lama
dilakukannya, sehingga lebih “tahan banting” dengan dinamika udang yang masih dihantui
oleh tekanan serangan penyakit dan kondisi harga yang cenderung fluktuatif. Namun
demikian, dalam kenyataannya berdasarkan hasil pengamatan di lapang diketahui bahwa
para pembudidaya tersebut pada memberikan sikap yang beragam terhadap bantuan
demfarm tambak budidaya udang melalui program revitalisasi taambak udang. Dalam hal
ini, diketahui sebanyak dua sikap yang ditunjukkan oleh para pembudidaya, yaitu menerima

118
bantuan demfarm dengan mantap, dan menerima bantuan demfarm dengan ragu-ragu pada
awalnya.
Keberhasilan perlaksanaan program revitalisasi tambak udang (Demfarm) di
Kabupaten Takalar, diantaranya diindikasikan oleh adanya kecenderungan beberapa
pembudidaya yang bukan penerima program justru telah mengikuti/menerapkan komponen
teknologi yang digunakan dalam budidaya udang dengan menggunakan sistem demfarm
tersebut. Hal ini berarti bahwa demfarm (program revitalisasi tambak udang) di Kabupaten
Takalar telah berhasil “menularkan” pembudidaya lain untuk mengadopsi teknologi tersebut.
Tahapan selanjutnya, setelah implementasi demfarm pada usaha budidaya tambak
udang yang dilakukan oleh pembudidaya penerima program revitalisasi taambak udang
adalah tahapan pengembangan dimana peran pemerintah daerah akan sangat dominan, baaik
dalam bentuk penyediaan alokasi anggaran APBD dan Tugas Perbantuan (TP) untuk
pengadaan sarana dan prasarana demfarm maupun pendampingan usaha budidaya tambak
udang. Untuk itu, para pembudidaya dari POKDAKAN dapat mengajukan proposal untuk
mendapatkan bantuan demfarm pada tahun-tahun selanjutnya. Dalam realitasnya pada tahun
2015, di Kabupaten Takalar, hal ini telah berjalan untuk usaha tambak udang yang telah
berhasil mengimplementasikan program revitalisasi (demfarm) tambak udang.
Dalam pelaksanaannnya, program revitalisasi tambak udang (demfarm) di Kabupaten
Takalar menghadapi berbagai hambatan dan kendala. Salah satu hambata yang sangat
dipandang sangat mengganggu pelaksanaan demfarm adalah hambatan yang datangnya dari
faktor cuaca dimana pada saat program demfarm dijalankan kondisi tambak sangat berangin,
sehingga plastik mulsa yang dipasang lepas dan terkoyak. Sementara, kendala utama yang
dihadapi oleh para pembudidaya yang melakukan kegiatan revitalisasi budidaya udang
(demfarm) adalah permodalan usaha yang sulit diperoleh dari sumber pembiayaan seperti
perbankan. Di samping itu, kendala utama lainnya yang dihadapi pembudidaya adalah
kesulitan mendapatkan mitra usaha, khususnya terkait dengan penyediaan input produksi
oleh pabrik pakan (seperti pakan, benur, pupuk, obat-obatan, dan vitamin) dan
pendampingan usaha dan penerapan teknologi budidaya.

4.3.2 Kinerja Program Revitalisasi (Produktivitas) Usaha Budidaya Udang di Lokasi


Penelitian

Berbeda dengan kondisi kinerja TFP usaha budidaya udang di tingkat nasional sejak
1998 hingga 2013 yang belumk optimal, ternyata kinerja TFP di tingkat lapang justru relatif
lebih baik. Hasil verifikasi pengukuran TFP usaha budidaya udang program revitalisasi di
tingkat lapang dapat dilihat pada Tabel 25.

119
Tabel 25. Kisaran Angka Indeks TFP Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian
(Tingkat Lapang)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)

4.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Revitalisasi (Produktivitas) Usaha


Budidaya udang di Lokasi Penelitian

Secara empiris, berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi sederhana


(OLS) seperti ditunjukkan oleh Tabel 26, diketahui bahwa TFP (produktivitas) usaha
budidaya udang di tingkat lapang tersebut dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,01 oleh:
(1) Indeks kualitas benih udang; (2) Indeks kualitas pakan udang; dan (3) Dummy
Kerjasama; dan dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,05 oleh faktor: (1) Tingkat
pengalaman usaha budidaya, (2) Kondisi infrastruktur irigasi, dan (3) Dummy serangan
penyakit. Kemudian dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,10 oleh faktor: (1) Tingkat
pendidikan formal.

Tabel 26. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi TFP Usaha Budidaya Udang
di Tingkat Lapang (2015)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)

120
4.3.4 Faktor Penentu Keputusan Pembudidaya Merevitalisasi Usaha Budidaya udang
di Lokasi Penelitian

Berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi pilihan repons kualitatif


LOGIT (sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 27) dengan menggunakan metode ML –
Binary diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap keputusan
pembudidaya dalam melakukan revitalisasi usaha budidaya udang (demfarm) di tingkat
lapang pada taraf α = 0,01 adalah (1) Kondisi infrastruktur irigasi, (2) Dummy penguasaan
teknologi/pendampingan, dan (3) Kualitas bantuan sarana produksi; dan pada taraf α = 0,01
adalah: (1) Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau; (2) Ketersediaan pakan
udang berkualitas dan terjangkau; (3) Tingkat pendidikan formal; serta pada taraf α = 0,10
adalah: (1) Tingkat pengalaman usaha budidaya udang.

Tabel 27. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembudidaya


Mengikuti Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Tingkat Lapang
(2015)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)

121
4.4 Analisis Prospektif Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Percepatan
Revitalisasi Industri Budidaya udang di Indonesia

Pelaksanaan analisis prospektif dilakukan melalui temu pakar (expert meeting). Temu
pakar dihadiri oleh sebanyak 43 orang pada tahap awal (penentuan peubah kunci) dan pada
tahap lanjutan (analisis pemngaruh antar-variabel). Kemudian pada tahap penajaman untuk
proses “penentuan kondisi variabel kunci di masa depan” hanya terbatas pada mereka yang
memiliki kompetensi yang relatif tinggi, yaitu sebanyak 21 orang partisipan, dan sebanyak 6
orang partisipan pada tahap pendalaman untuk proses “pembangunan skenario”. Jumlah
tersebut (khususnya pada tahap awal, lanjutan dan penajaman) dianggap cukup,
sebagaimana analisis dengan pendekatan serupa telah dianggap cukup dengan dihadiri oleh
sebanya 13 orang pakar (Bourgeois dan Jesus, 2004).

4.4.1 Penentuan Faktor Kunci


Pelaksanaan penentuan faktor kunci, dalam hal ini dilakukan melalui aktivitas
pertemuan yang melibatkan para partisipan yang diminta untuk mengidentifikasi variable
kunci yang dianggap paling berpengaruh terhadap percepatan revitalisasi industri budidaya
udang di Indonesia. Aktivitas ini dilakukan secara bebas, yaitu masing-masing partisipan
memberikan pilihanya terhadap setiap variabel yang paling berpengaruh dari hasil analisis
tujuan 1 dan tujuan 2 dari penelitian ini, khususnya yang dipandang penting dan urgen atau
berpengaruh nyata dalam pendugaan secara statistik. Berdasarkan hasil analisis untuk tujuan
1 dan tujuan 2 serta ditambahkan beberapa variabel dari masukan partisipan, teridentifikasi
sebanyak sebanyak 31 peubah yang akan diajukan dalam penentuan faktor kunci.
Dengan menerapkan aturan sederhana analisis kandungan (content analysis) dari opini
partisipan serta relevansinya (Bourgeois dan Jesus, 2014), dalam proses ini terdapat
beberapa peubah yang dibuang (karena dianggap relative kurang penting dibanding peubah
tertentu lainnya), sehingga pada akhirnya dari semula sebanyak 32 peubah dalam proses ini
secara konsensus didapatkan sebanyak 12 peubah yang dianggap paling berpengaruh
terhadap percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, seperti disajikan pada
Tabel 28 mengenai hasil indentifikasi faktor penentu percepatan revitalisasi industri
budidaya udang di Indonesia dan Tabel 29 mengenai hasil konsensus pilihan partisipan
terhadap faktor penentu terpilih.

122
Tabel 28. Peubah-peubah yang Terindendifikasi sebagai Faktor Penentu Percepatan
Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia

No. Kategori Faktor No. Peubah


1. Penentu 1.1 Intensitas serangan penyakit pada udang windu
Produktivitas 1.2 Sistem penanggulangan penyakit udang nasional
(TFP) Usaha 1.3 Kebijakan/program rehabilitasi dan pembangunan
Budidaya Udang saluran irigasi tambak
Nasional 1.4 Kebijakan/program revitalisasi budidaya udang
nasional
1.5 Introduksi varietas udang tahan penyakit (vaname)
1.6 Sistem perbenihan udang nasional
1.7 Dukungan permodalan usaha dari perbankan
1.8 Efisiensi biaya usaha budidaya udang nasional

2. Penentu 2.1 Indeks kualitas benih udang


Produktivitas 2.2 Indeks kualitas pakan udang
(TFP) Usaha 2.3 Indeks infrastruktur irigasi
Budidaya Udang 2.4 Pendidikan formal
di Tingkat Lapang 2.5 Pengalaman usaha
2.6 Dummy serangan penyakit
2.7 Dummy kerjasama dengan pihak swasta penyedia
sarpras

3. Penentu Sikap/ 3.1 Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau


Keputusan 3.2 Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau
Pembudidaya 3.3 Tingkat pendidikan formal
dalam Merespons 3.4 Tingkat pengalaman usaha budidaya udang
Program 3.5 Kondisi infrastruktur irigasi
Revitalisasi 3.6 Dummy penguasaan teknologi melalui pendampingan
Usaha Budidaya 3.7 Kualitas fisik bantuan sarana produksi budidaya udang
Udang
4. Penentu Lainnya 4.1 Insitensitas sosialisasi dan monitoring
bersumber dari 4.2 Keselarasan dengan program daerah
Masukan/ 4.3 Keterlibatan pemerintah daerah
Pendapat 4.4 Kesesuaian bantuan dengan kondisi spesifik wilayah
Partisipan 4.5 Peran serta pihak mitra dalam pengadaaan sarana dan
prasarana budidaya
4.6 Pengembangan sistem budidaya ramah lingkungan
berprodutivitas tinggi
4.7 Jumlah pembudidaya penerima program
4.8 Perbanyakan Jumlah wilayah penerima program
4.9 Jumlah bantuan sarana produksi budidaya udang
4.10 Perluasan revitalisasi berbasis kawasan budidaya
Sumber: Hasil Analisis Tujuan 1 dan 2 serta Masukan Partisipan (2015)

123
Tabel 29. Pilihan Partisipan Secara Konsensus mengenai Peubah-peubah yang Paling
berpengaruh (Penting dan Urgen) terhadap Percepatan Revitalisasi Industri
Budidaya Udang di Indonesia

No. Peubah (Deskripsi) Peubah (Ringkas)


1 Sistem penanggulangan penyakit udang nasional Penggulangan penyakit
2 Kebijakan/program rehabilitasi dan pembangunan Penguatan irigasi
saluran irigasi tambak
3 Dukungan permodalan usaha dari perbankan Dukungan permodalan
4 Efisiensi biaya usaha budidaya udang nasional Efisiensi biaya
5 Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau Ketersediaan benih
6 Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau Ketersediaan pakan
7 Penguasaan teknologi melalui pendampingan Pendampingan teknologi
8 Kerjasama dengan pihak swasta penyedia sarpras Kerjasama swasta
9 Kualitas fisik bantuan sarana produksi budidaya udang Kualitas fisik bantuan
10 Insitensitas sosialisasi dan monitoring Sosialisasi dan monitoring
11 Keterlibatan pemerintah daerah Keterlibatan pemda
12 Peran serta pihak mitra dalam pengadaaan sarana dan Peranserta mitra
prasarana budidaya terutama listrik dan jalan produksi
13 Perbanyakan Jumlah wilayah penerima program Perbanyakan wilayah
14 Perluasan revitalisasi berbasis kawasan budidaya Kawasan budidaya
Sumber: Hasil pilihan partisipan dan peneliti berdasarkan Tabel 28 (2015)

Peubah-peubah yang terdaftar pada Tabel 29 merupakan sebanyak 14 peubah yang


dipilih oleh partisipan melalui hasil diskusi dan konsensus, namun dalam hal ini belum
diketahui peubah mana yang paling menentukan dalam percepatan revitalisasi industri
budidaya udang di Indonesia. Di samping itu, pengaruh antar-peubah juga belum dapat
digambarkan, sehingga semua peubah memiliki kepentingan dan kekuatan yang sama
terhadap sistem.
Kemudian, untuk kepentingan penyusunan rekomendasi kebijakan, strategi dan
rencana aksi, perlu diketahui perbedaan tingkat pengaruh peubah terhadap sistem yang dikaji.
Dengan demikian dapat ditentukan peubah yang perlu diintervensi sebagai titik masuk (entry
point) bagi perencanaan yang efektif (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus,
2004; Gray dan Hatchard, 2008; Godet, 2010).

4.4.2 Analisis Pengaruh Antar-Faktor Kunci


Berdasarkan sebanyak 14 peubah yang dianggap paling berpengaruh terhadap
percepatan revitalisasi industri budidaya udang Indonesia seperti tertera pada Tabel 29, para
partisipan kembali diskusi dan secara konsensus memberikan skor pada pengaruh silang
antar-peubah. Proses ini dilakukan melalui analisis struktural dan kerja kelompok yang
dituangkan ke dalam bentuk matriks pengaruh/ketergantungan langsung
(influence/dependence, I/D) setiap peubah yang satu dengan variable lainnya dengan

124
menggunakan pendekatan valuasi konsensual (concensual), dengan bantuan perangkat lunak
excel dari Bougeois dan Jesus (2004).
Analisis struktural berbasis pada analisis pengaruh langsung, sebagai suatu cara untuk
mengelompokkan peubah. Secara praktis, di samping analisis pengaruh langsung juga
terdapat analisis pengaruh tidak langsung; dan analisis pengaruh total (pengaruh langsung
dan pengaruh tidak langsung). Perbandingan antara garfik pengaruh langsung dan tidak
langsung (Gambar 18), digunakan untuk mengenali peubah yang kuat secara tidak langsung.
Interpretasi didasarkan pada peubah yang bertambah kuat secara prograsif dengan adanya
pertimbangan terhadap pengaruh tidak langsung, yaitu bahwa jika kekuatan globalnya
dan/atau rangking-nya meningkat, atau mereka cenderung bergerak kea rah atas grafik, maka
mereka merupakan variable yang dapat muncul setelah waktu yang cukup lama. Peubah ini
harus dianggap sebagai variable yang memiliki posisi penting pada sistem di masa depan.
Secara khusus, peubah yang berlokasi di kanan-atas dan bergerak secara progresif ke arah
kiri-atas grafik, dapat menjadi variable penggerak di masa depan. Karena peubah yang
berlokasi di kanan-atas juga dianggap sebagai jaminan, maka pengendalian terhadap peubah
ini menjadi penting (Bourgeois dan Jesus, 2004).
Dalam penelitian ini analisis hanya difokuskan pada analisis pengaruh langsung saja,
hal ini dikarenakan dalam penelitian ini dianggap tidak terdapat pengaruh tidak langsung
(meskipun dalam kenyataannya bisa ada/terjadi); dan lazimnya hasil analisis langsung akan
jauh lebih besar dibandingkan hasil analisis tidak langsung.
Selanjutnya nilai yang telah didiskusikan dan disepakati oleh partisipan, langsung
dimasukkan ke dalam matriks I/D. Nilai skor pengaruh silang hasil kesepakatan, secara
lengkap disajikan pad Tabel 30. Adapun hasil analisis pengaruh antar-peubah dalam bentuk
grafik seperti disajikan pada Gambar 18.

125
Tabel 30. Skor Pengaruh Antar-peubah yang dinilai oleh Partisipan sebagai Penentu Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia

Sumber: Data primer diolah (2015)

126
Indeks Total Pengaruh Global (TPG)

Indeks Total Ketergantungan Glogal (TKG)


Sumber: Data primer diolah (2015)
Gambar 18. Hasil Analisis Pengaruh Langsung antar-peubah dalam Analisis Prospektif
Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia

Tabel 31. Hasil Perhitungan Indeks Total Pengaruh Global dan Indeks Total Ketergantungan
Global Peubah-peubah dalam Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di
Indonesia

No Faktor TPG TKG ITPG ITKG

1 Penggulangan penyakit 19 11 0.7180 0.42


2 Penguatan irigasi 31 33 1.1715 1.25
3 Dukungan permodalan 27 29 1.0203 1.10
4 Efisiensi biaya 17 30 0.6424 1.13
5 Ketersediaan benih 14 21 0.5291 0.79
6 Ketersediaan pakan 21 23 0.7936 0.87
7 Kualitas fisik bantuan 23 28 0.8692 1.06
8 Pendampingan teknologi 24 27 0.9070 1.02
9 Kerjasama swasta 28 20 1.0581 0.76
Sosialisasi dan
10
monitoring 30 19 1.1337 0.72
11 Keterlibatan pemda 24 22 0.9070 0.83
12 Peranserta mitra 32 22 1.2093 0.83
13 Perbanyakan wilayah 25 27 0.9448 1.02
14 Kawasan budidaya 29 32 1.0959 1.21
Jumlah 344 344 13.0000 13.0000
rata-rata 25 25 0.9286 0.9286
Sumber: Pengolahan data primer (2015)

127
Garfik pangaruh langsung pada Gambar 18 menunjukkan pancaran peubah di dalam
ruang empat-kuadran yang dibatasi oleh dua sumbu yang dihitung berdasarkan penilaian
indeks Total Pengaruh Global (TPG) dan indeks Total Ketergantungan Global (TKG) pada
Tabel . Penggambaran tersebut didasarkan pada nilai-nilai I/D terboboti pada masing-
masing peubah, yang dihitung dari dari tabel pengaruh dan ketergantungan. Secara teoritis,
interpretasi hasil meliputi: posisi peubah; bentuk distribusi peubah; dan interpretasi hasil
langsung dan tidak langsung-nya (Bourgeois dan Jesus, 20004).
Masing-masing kuadran berhubungan dengan karakteristik khusus dari peubah.
Kuadran I (kiri atas) merupakan wilayah peubah penggerak (driving factors). Kuadran II
(kanan atas) merupakan wilayah peubah kontrol (leverage factors), yang bercirikan
pengaruh dan juga ketergantungan kuat, beberapa peubah dalam kuadran ini dapat juga
digolongkan sebagai peubah kuat. Kaudran III (kanan bawah) merupakan wilayah peubah
keluaran (output factors), yang bersifat sangat tergantung dan hanya sedikit pengaruh.
Kaudran IV (kiri bawah) merupakan wilayah peubah marjinal (marginal factors), kelompok
ini akan langsung dikeluarkan dari analisis. Selain keempat kaudran, juga terdapat area abu-
abu yang mungkin didapati sekelompok peubah, yang peranannya di dalam sistem tidak
dapat didefinisikan secara jelas.
Dari presentasi hasil analisis pengaruh silang antar-peubah yang disajikan pada
Gambar 18, terpilih sebanyak delapan peubah yang dapat dikatakan sebagai peubah paling
berpengaruh, karena terdapat pada Kuadran I (sebagai faktor penggerak/ input), yaitu: Peran
mitra, Sosialisasi dan monitoring, dan Kerjasama swasta; dan Kuadran II (sebagai faktor
penghubung/proses), yaitu: Penguatan irigasi, Kawasan budidaya, dan Dukungan
permodalan; serta peubah yang mendekati Kuadran I dan Kuandaran II, yaitu Keterlibatan
Pemda, dan Perbanyakan wilayah . Dari hasil analisis tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa sebanyak delapan peubah terpilih sebagai peubah yang paling berpengaruh (Godet
dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus, 2004).

4.4.3 Penentuan Kondisi (State) Faktor Kunci di Masa Depan


Setelah mendapatkan keenam peubah yang terpilih yang memiliki skor kekuatan
peubah global yang positif dan relative tinggi (Tabel 30), Dari keenam peubah terpilih,
selanjutanya partisipan melakukan eksplorasi secara consensus, untuk menentukan kondisi
yang berpeluang terjadi terhadap peubah tersebut untuk 25 tahun ke depan (sesuai dengan
dimensi waktu analisis). Eksplorasi terhadap kondisi peubah tersebut, penting dilakukan
untuk membangun skenario yang diinginkan (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan
Jesus, 2004; Gray dan Hatchard, 2008; Wiek dan Walter, 2009; Cotes et al., 2010; Durance

128
dan Godet, 2010). Hasil penentuan kondisi peubah yang ditetapkan oleh partisipan secara
konsensus dapat dlihat pada Tabel 32.

Tabel 32. Kondisi Spektrum Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara Konsensus
Kode Kondisi yang Mungkin terjadi pada 25 Tahun ke Depan
Peubah
Peubah 1 2 3 4
Peran mitra A Baik Tetap
Sosialisasi & Monitoring B Meningkat Tetap Menurun
Kerjasama swasta C Baik Tetap Menurun Fluktuatif
Keterlibatan Pemda D Baik Tetap Menurun
Penguatan irigasi E Meningkat Tetap
Kawasan budidaya F Meningkat Tetap Menurun
Dukungan permodalan G Baik Tetap Menurun Fluktuatif
Perbanyakan wilayah H Meningkat Tetap
Sumber: Hasil Konsensus Parisipan bersama tim peneliti BBPSEKP (2014)
Keterangan: Huruf (A, B, …, G) merupakan kode untuk nama peubah yang memiliki skor
kekuatan global tertimbang yang positif dan tinggi; Angka (1, 2, …, 4) merupakan kode
untuk kondisi spektrum peubah.

Pada Tabel 32, masing-masing peubah diberi kode dengan huruf (A sampai H) dan
kondisi sepktrum peubah diberi kode angka (1 sampai 4), sehingga kombinasinya dapat
ditulis ringkas, seperti contoh “B3” bermakna bahwa kondisi peubah sosialisasi dan
monitoring usaha budidaya penerima program revitalisasi untuk 25 tahun ke depan adalah
menurun. Penentuan kondisi peubah di masa depan merupakan hasil dari morfologis dan
diskusi kelompok, dimana partisipan melakukan perkiraan (foresight) terhadap masing-
masing peubah.
Hasil perkiraan oleh partisipan (Tabel 31), ternyata tidak sama untuk semua peubah.
Terdapat peubah yang menurut partisipan hanya akan mempunyai peluang dua bentuk
kondisi spektrum (peubah peran mitra, penguatan irigasi, dan perbanyakan wilayah); tiga
bentuk kondisi spektrum (peubah sosialisasi & monitoring, keterlibatan pemda, dan kawasan
budidaya) dan empat kondisi bentuk spketrum (peubah kerjasama swasta dan dukungan
permodalan). Masing-masing peluang dari bentuk kondisi spektrum peubah tersebut
merupakan opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan (stakeholders) di
masa depan (Godet dan Roubelat, 1996); Bourgeois dan Jesus, 2004; Gray dan Hatchard,
2008; Coates et al., 2010; Durance dan Godet, 2010).

129
4.4.4 Pembangunan Skenario untuk Rekomendasi Kebijakan
Dari penentuan spektrum kondisi peubah pada Tabel 31, dapat ditentukan kombinasi
peubah yang tidak mungkin terjadi. Kombinasi antar kondisi peubah yang tidak mungkin
tersebut, selanjutnya dibuang dari penyusunan skenario. Berdasarkan hasil konsensus
dengan partisipan atau para ekspert sebagaimana tertera pada Tabel 33 adalah sebanyak 17
buah kombinasi kondisi peubah yang tidak mungkin terjadi, adalah sebagai berikut:
(1) A1 – B3
(2) A1 – C3
(3) A1 – C4
(4) A2 – B1
(5) A2 – E1
(6) B1 – D3
(7) B1 – E3
(8) B2 – F1
(9) B2 – G2
(10) C1 – D3
(11) C1 – E3
(12) C1 – E4
(13) C1 – D4
(14) D1 – B3
(15) D1 – E3
(16) E1 – B3
(17) E1 – C3

Tabel 33. Kondisi Peubah yang Ditetapkan oleh Partisipan secara Konsensus
Kode Kondisi yang Mungkin terjadi pada 25 Tahun ke Depan
Peubah
Peubah 1 2 3 4
Peran mitra A Baik Tetap
(A1) (A2)
Sosialisasi dan B Meningkat Tetap Menurun
Monitoring (B1) (B2) (B3)
Kerjasama swasta C Meningkat Tetap Menurun Fluktuatif
(C1) (C2) (C3) (C4)
Keterlibatan Pemda D Meningkat Tetap Menurun
(D1) (D2) (D3)
Penguatan irigasi E Meningkat Tetap Menurun
(E1) (E2) (E3)
Kawasan budidaya F Baik Tetap
(F1) (F2)
Dukungan permodalan G Baik Tetap Menurun Fluktuatif
(G1) (G2) (G3) (G4)
Perbanyakan wilayah H Meningkat Tetap
(H1) (H2)
Sumber: Hasil Konsensus Parisipan bersama tim peneliti BBPSEKP (2015)

Pengembangan skenario dilakukan melalui curah pendapat (brainstrorming) dan


diskusi kelompok terstruktur. Dalam forum tersebut partisipan diminta untuk dapat

130
memberikan perkiraan dari masing-masing peubah penentu pada masa datang. Perkiraan
tersebut merupakan opini dan cerminan kebutuhan para pemangku kepentingan di masa
depan. Dari perkiraan mengenai kondisi peubah tersebut di masa depan, dapat disusun
dengan sckenario yang mungkin terjadi terkait dengan percepatan revitalisasi budidaya
udang di Indonesia (Godet dan Roubelat, 1996; Bourgeois dan Jesus, 2004; Godet, 2010).
Suatu skenario sebuah kombinasi dengan kondisi yang berbeda-beda. Pembangkitan
skenario dilakukan melalui curah pendapat terhadap berbagai kondisi peubah (yang telah
diidentifikasi pada Tabel 31) oleh para partisipan. Secara konsensus, partisipan diminta
untuk menyusun berbagai kombinasi dari kondisi peubah yang mungkin terjadi atau
mungkin dicapai di masa depan (dalam kurun waktu 25 tahun ke depan). Kemudian dari
hasil curah pendapat pertisipan tersebut, didapat konsensus penyusunan skenario dalam
percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, seperti tertera pada Tabel 34.

Tabel 34. Alternatif Pilihan Skenario untuk berbagai Kombinasi Kondisi yang Mungkin
terkait dengan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia

No. Skenario Keterangan

2. Optimis A1 – B1 – C1 – D1 – E2 – F2 – G3 – H2

3. Moderat A1 – B2 – C2 – D2 – E2 – F1 – G1

4. Pesimis A1 – B1 – C1 – D1 – E1 – F1 – G1 – H1

Sumber: Hasil konsensus partisipan bersama tim peneliti BBPSEKP (2014)

Dari skenario yang disusun partisipan (Tabel 31), tampak bahwa perbedaan antar-
skenario memberikan implikasi terhadap upaya yang harus dilakukan dalam percepatan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yaitu:
(1) Pada skenario optimis, harus dilakukan upaya perbaikan yang maksimal terhadap
semua peubah, sehingga sistem akan menuju ke arah yang lebih baik. Secara implisit
tampak bahwa skenario sangat optimis dan optimis, merupakan cerminan kebutuhan
para pemangku kepentingan untuk mencapai suatu kondisi percepatan revitalisasi
industri budidaya udang di Indonesia yang ideal pada masa depan.
(2) Pada skenario kondisi ekstrim yang lain, skenario pesimis dan sangat pesimis
menunjukkan bahwa bila kondisi seperti ini terus berlangsung, maka tidak diperlukan
upaya perikanan, dan tentunya system akan menjadi lebih buruk daripada kondisi saat
ini.
(3) Sebagai kompromi dari kedua skenario ekstrim di atas, partispan juga merumuskan
skenario moderat. Skenario kompromis ini merupakan cerminan dari kebutuhan para

131
pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan kemampuan berbagai peubah
penentu (Brown et al., 2001).

4.4.5 Rumusan Kebijakan Percepatan Revitalisasi Industri Budidaya Udang


Upaya logis yang dapat diajukan oleh partisipan, secara nyata dapat dirumuskan
dalam kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, yang disusun
sesuai dengan kondisi skenarionya. Dari kombinasi kondisi peubah dan scenario yang
mungkin terjadi dalam 25 tahun ke depan, selanjutnya partisipan melakukan diskusi
terstruktur yang diikuti dengan menyusun kebijakan percepatan revitalisasi industri budidaya
udang di Indonesia.
Pada akhirnya sebagai kesimpulan konsensus, dapat dirumuskan kebijakan yang harus
diakomodasi dalam meningkatkan atau mempercepat revitalisasi industri budidaya udang di
Indonesia, yaitu:
(1) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di
Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait
dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi
budidaya udang tambak di Indonesia.
(2) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang
diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah
untuk menjaga keberlanjutannya.
(3) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak
mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan
industri budidaya udang di Indonesia

132
133
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

5.1 Kesimpulan
Dalam kesejarahannya, ditemukan lima era dinamika produktivitas (indeks Total
Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia, yaitu: (a) Era Pra dan Awal
Budidaya Udang (1964—1970); (b) Era Perintisan Teknologi Intensif (1971—1981); (c) Era
Kejayaan (1982—1995); (d) Era Penurunan Kinerja (1996—1999); dan (e) Era
Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 — sekarang).Dinamika kinerja indeks
produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia selam
periode 1989 hingga 2013 mengalami kondisi pasang-surut tetapi masih berada di bawah
(belum melampaui) kinerj TFP tahun 1998, serta diwarnai oleh kondisi yang menghambat
kinerja indeks TFP tersebut seperti serangan penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti
intervensi berbagai kebijakan yang terkait.
Kebijakan penguatan sarana irigasi tambak yang diimplementasi melalui program
rehabilitasi dan pembangunan saluran pengairan/irigasi tambak udang sejak tahun 1999
hingga sekarang ternyata memberikan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki kinerja
produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Sementara, kebijakan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap satu yang diimplementasi pada tahun
2006-2009 maupun tahap dua yang dimplementasi sejak tahun 2012 hingga sekarang
ternyata tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja produktivitas (indeks TFP)
usaha budidaya udang di Indonesia.
Di tingkat lapang (lokasi penelitian), kinerja TFP (produktivitas) usaha budidaya
udang di tingkat lapang bervariasi antar lokasi pengamatan, yaitu berkisar antara 0,81 –
2,67; dengan TFP rata-rata sebesar 1,79 yang tergolong cukup baik karena indeks output
1,79 kali lebih besar dari indeks inputnya. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh nyata
terhadap TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang adalah: (1) Indeks
kualitas benih udang, (2) Indeks kualitas pakan udang, (3) Dummy Kerjasama, (4) Tingkat
pengalaman usaha budidaya, (5) Kondisi infrastruktur irigasi, (6) Dummy serangan penyakit,
dan (7) Tingkat pendidikan formal. Sementara keputusan pembudidaya terkait dengan
revitalisasi usaha budidaya ditentukan oleh: (1) Kondisi infrastruktur irigasi, (2) Dummy
penguasaan teknologi/pendampingan, (3) Kualitas bantuan sarana produksi, (4)
Ketersediaan benih udang berkualitas dan terjangkau, (5) Ketersediaan pakan udang
berkualitas dan terjangkau, (6) Tingkat pendidikan formal, dan (7) Tingkat pengalaman
usaha budidaya udang. Selain itu, ditemukan sebanyak delapan peubah yang dinilai
menjadi faktor yang paling berpengaruh penting dalam menyusun rumusan kebijakan

134
percepatan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, dalam kategori sebagai faktor
penggerak/input adalah (1) Peran mitra, (2) Sosialisasi dan monitoring, (3) Kerjasama
swasta, dan (4) Ketewrlibatan pemda; dan dalam kategori sebagai faktor penghubung/proses
adalah: (1) Pengauatan irigasi, (2) Kawasan budidaya, (3) Kerjasama swasta, dan (4)
Perbanyakan wilayah. Berdasarkan kedelapan peubah tersebut direkomendasikan tiga
altenatif kebijakan, sebagaimana disampaikan dalam uraian “implikasi kebijakan” di bawah
ini.

5.2 Implikasi Kebijakan

Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di


Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternatif kebijakan, yaitu:
(4) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di
Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait
dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi
budidaya udang tambak di Indonesia.
(5) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang
diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah
untuk menjaga keberlanjutannya.
(6) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak
mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan
industri budidaya udang di Indonesia

135
136
DAFTAR PUSTAKA

Ashok, K.R. dan R. Balasubramanian. 2006. Role of Infrastructure in Productivity and


Diversification of Agriculture. South Asia Network of Economic Research Institutes
(SANEI), Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad, Pakistan.

Asmara, A. 2002. Optimalisasi Pola Usahatani Tanaman Pangan pada Lahan Sawah dan
Ternak Domba di Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Tesis. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Aswathy, N., R. Narayanakumar, S.S. Shyam, V.P. Nipinkumar, S. Suriakose, R. Geetha,


and N.K. Harshan. 2013. Total Factor Productivity in Marine Fisheries of Kerala.
Indian, J. Fish., 60(4): 77-80, 2013.

Avila, A.F.D. dan R.E. Evenson. 2004. Total Factor Productivity Growth in Agriculture: the
role of technological capital. Yale University, New Heaven.

Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Proepective Analysis, Exploring and


Anticipating Chalanges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty
through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French
Agricultural Research center for International development. Monograph (46): 1-29.

Biglan, A., A. Dennid, A.C. Wagenaar. 2000. The Value of Interrupted Time-Series
Experiments for Cummunity Intertvention Research. Prevention Science, Vol. 1.
No. 1, 2000.

Cordero, M. F.J., Fitzgerald, W.J., dan Leung, P.S. 1999. Evaluation of Productivity in
Extensive Aquaculture Practices Using Interspasial TFP Indeks, Sulawesi,
Indonesia. Journal of Asian Fisheries Science. Asian Fisheries Society, Manila,
Philippines. Hal 223-234.

Crespi, V dan A. Coche. 2008. Glossary of Aquaculture. Food and Agriculture Organization.
Rome.

Diop, H., R.W. Harrison, and W.R. Keithly, Jr. 1999. Impact of Increasing Imports on the
United States Southeastern Region Shrimp Processing Industri 1973-1996. Selected
paper for Presentation at the August 8-11 Annual Meeting of the American
Agricultural Economics Association in Nashville, Tennessee.

Durance, P., and M. Godet. 2010. Scenaerion Building: Uses and Abuses.
Technol.Forecast.Sos. Change, 77: 1488-1492.

Ditjen Perikanan Budidaya. 2014. Revitalisasi Udang Vaname akan Diperluan. Diunduh
dari Website http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-Vaname-
Akan-Diperluas-- html pada tanggal 24 Februari 2015.

DJPB DKP. 2005. Laporan Survey Udang Tambak Pembudidaya dan Perusahaan Perikanan
Budidaya. Subdit Data dan Statistik Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1989-2008. Statisitik Perikanan Indonesia. Departemen


Pertanian, Jakarta.

137
Diskanlut Kabupaten Indramayu. 2014. Laporan Revitalisasi Budidaya Tambak Udang
Tahun 2013. Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu.

Diskanlut Provinsi Jawa Barat. 2014. Laporan Tahunan Perikanan Budidaya Tahun 2013.
Bandung: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.

Dislutkan.Provinsi Lampung. 2010. Revitalisasi Budidaya Udang Lampung 2006—2009.


Lampung: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung.

Dislutkan Provinsi Lampung. 2015. Laporan Tahunan Perikanan Budidaya Tahun 2014.
Lampung: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung.

DJPB. 2013. Laporan Kegiatan: Revitalisasi Tambak Udang Th. 2012 dan Dampaknya
Terhadap Perkembangan Budidaya Udang Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Kelautan dan Perikanan.

DJPB. 2014. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005—2025.Diunduh dari


website http://www.litbang.pertanian.go.id/special/rppk/ pada tanggal 30 Juni 2015.

DKP. 2005. Revitalization Aquaculture 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan,


Jakarta.

Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta

Ehui, S. K. dan Jabbar, M. A. 2002. Measuring Productivity in African Agriculture: A


Survey of Application of the Superlative Indeks Number Approach. Socio-economics
and Policy Resources Working Paper 38. ILRI (International Livestock Research
Institute). Nairobi. Kenya. 22 p.

Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid 1.
Edisi Ketuga, IPB Press.

Evenson, R. E. dan Fuglie, K. O. 2009. Technology Capital: The Price of Admission to the
Growth Club. Makalah dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Ekonomi
Pertanian ke-27. 16-22 Agustus 2009. Beijing.

FAO (Food and Agriculture Organization). 2001. Production, Accessibility, Marketing and
Consumtion Patterns of Freshwater Aquaculture Products in Asia: A Cross-Country
Comparison. FAO. Rome.

Fuglie, KO. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture, 1961-2000. 2004. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2.

Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and


Methodology. New Jersey: John Willey and Sons.

Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Gujarati, D.N. 2004. Baasic Econometrica. Fourth Edition. New York: The McGraw-Hill
Company.

138
Hall, R. and Jones, C. 1997. Levels of Economic Activity across Countries, Am. Econ. Rew.,
87: 173-177.

Husaini, U dan Akbar P.S. 2009.Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Jakarta

Iyengar, N.S. dan P. Sudarshan. 1982. A Method of Classifying Regions from


Multivariate data’, Economic and Policy Weekly, Vol. 17 (51), pp: 2048-2052.

Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor.

Juarno, O. 2011. Daya Saing Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional terkait dengan
Peningkatan Produktivitas dan Mutu. Disertasi IPB. Tidak dipublikasikan. Bogor.

Kalyvitis, S. 2002. Public Investment Rules and Endogenous Growth with Empirical
Evidence from Canada. Scot J Polit Econ. 50(1):90-100. doi: 10.1111/1467-
9485.00256.

Kholistianingsih dan Hardiansyah. 2005. Jenis-jenis Penelitian Secara Umum dan


Pendekatannya. Yogyakarta: JurusanTeknik Elektro UGM. Diunduh dari
websitehttp://te.ugm.ac.id/ ~risanuri/v01/wp-content/uploads/2011/05/final-hardi-dan-
kholis.pdf pada tanggal 2 Maret 2015.

Kiani A.K., M. Iqbal, and T. Javed. 2008. Total Faktor Productivity and Agricultural
Research Relationship: Evidence from Crops Sub-Sector of Pakistan’s Punjab.
European Journal of Scientific Research, 23(1):87-97.

KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2009. Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Tahun 2008. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Kumar. A., Jha, D. and Pandey, U. K. 2005. Total factor productivity of the livestock sector
in India. In: Joshi, P. K., Pal, S., Birthal, P. S. and Bantilan, M. C. S. (Eds.), Impact of
agricultural research: Post-Green Revolution evidence from India. National Centre
for Agricultural Economics and Policy Research, New Delhi, India and International
Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru, Andhra Pradesh,
India, p. 205-216

Kumar P, S Mittal dan M Hossain. 2008. Agricultural Growth Accounting and Total Factor
Productivity in South Asia: A Review and Policy Implications. Agricultural
Economics Research Review. Vol 21 July – December 2008 pp 145 – 172.

Lakitan, B. 2010. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan. Kementerian


Negara Riset dan Teknologi. Tidak dipublikasikan. Jakarta.

Looney RE. 1994. The Impact of Infrastructure on Pakistan’s Agricultural Sector. The
Journal of Developing Areas, 28 (July 1994): 469-486.

Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan
Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm.

Marzuki, 2002. Metodoligi Riset, Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta.

Martinez–Cordero F.J, W.J. Fitgerald and PS. Leung. 1999. Evaluation of Productivity in
Extensive Aquaculture Practices Using Interspatial TFP Index, Sulawesi, Indonesia.
Asian Fisheries Science, 12 : 223 – 234. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.

139
Masyarakat Akuakultur Indonesia. 2012. Revitalisasi Tambak Pantura Jangan
Karena Asal Kebut Produksi. Diunduh dari Website
hhttp://regional.kompasiana.com/2012/12/11/revitalisasi-tambak-pantura-jangan-
karena-asal-kebut-produksi.html. pada tanggal 24 Februari 2015.

Maulana, M, 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas sebagai
Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal Agro ekonomi, 22(1):74-95.

Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 2005. The Revitalization of Aquaculture 2006—
2009. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries.

Nanga, Muana. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Perdana.
Rajawali Press. Jakarta.

Nayak P. 1999. Infrastructure: Its Development and Impact on Agriculture in North-East


India. Journal of Assam University, vol. IV (1): 59-65.

Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Tiara Wacana.

Piska, R. S. dan Naik, S. J. K. 2005. Fresh Water Aquaculture. Intermediate Vocational


Course State Institute of Vocational Education University College of Science
Osmania University. Hyderabad.

Purnomo, A.H., S.H. Suryawati, Hikmah, dan Y. Hikmayani. 2011. Minapolitan: Konsep,
Pengembangan dan Aplikasinya dalam Revitalisasi Perikanan. Jakarta: Balai Besar
Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 124 hal.

Pusdatin. 2006. Revitalisasi Perikanan 2005. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi
Departemen Kelautan dan Perikanan.

Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted
Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two
Systematic Reviews of Beahviour Change Strategies. International Journal of Health
Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23.

Rogers, E.M. dan F.F. Shoemaker. 1987. Communication of Innonvations. New York
(US). The Free Press.

Syamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Subyakto, S. 2005. Petunjuk teknik Budidaya Udang Vanamei. Juknis. Balai Budidaya
Air Payau Situbondo.

Sugiyono, 2011.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta.Bandung.

Sukartawi. 1988. Pronsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.

Suparyati, A. 1999. Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi dan Stabilitas Makroekonomi


terhadap Pertumbuhan Total Factor Productivity Indonesia. Thesis Program
Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

140
Squires, D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries:
An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67.
U.S. Department of Commerce.

Tjahyono, E. D. dan F.A. Anugerah. 2006. Faktor-Faktor Determinan Pertumbuhan


Ekonomi di Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta

Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression
Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of
Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309.

Wang, J. J.J., S. Walter, R. Grzebieta, and J. Oliver. 2013. A comparison of Statistical


Methods in Interrupted Time Series Analysis to Estimate an Intervention Effect.
Proceedings of the 2013 Australian Road Safety Research. Policing and Education
Conference 28th – 30th August, Brisbane, Queensland.

Weiping and Ying, (2007); Weiping C and D Ying. 2007. Total Factor Productivity in
Chinese Agriculture: The Role of Infrastructure. 2 (2) : 212 – 223. DOI
10.1007/s11459-007-0011-3, Front, Econ, China.

Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua.
Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.

Yu, B. 2005. Agriculture Productivity and Institutions in Sub-Sahara Africa. Dissertation.


Faculty of The Graduate and the University of Nebrasca. Nebrasca.

141
LAMPIRAN

NASKAH KARYA TULIS ILMIAH (KTI)


REKOMENDASI KEBIJAKAN

Kegiatan Penelitian

KAJIAN EKONOMI REVITALISASI INDUSTRI


BUDIDAYA UDANG

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI


KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2015

142
LAMPIRAN 1

DINAMIKA TOTAL FACTOR PRODUKTIVITY USAHA


BUDIDAYA UDANG INDONESIA PERIODE 1989-2013 DAN
PENGARUH BEBERAPA KEBIJAKAN

Tajerin*)

*) Peneliti Pusat Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan


Gedung Balitbang KP Lt. 4. Jl. Pasir Putih 2, Ancol – Jakarta.
Email: Jerin_Jmhr@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika produktivitas (indeks Total Factor
Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia sejak tahun 1989 hingga 2013, dan
menganalisis pengaruh beberapa kebijakan terhadap dinamika TFP tersebut. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan data sekunder dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika
model Interrupted Time Series Analisysis (ITSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika
kinerja indeks produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha budidaya udang di Indonesia
selam periode 1989 hingga 2013 mengalami pasang-surut tetapi masih berada di bawah (belum
melampuai) kinerja pada tahun 1998 serta diwarnai oleh kondisi yang menghambat kinerja indeks
TFP tersebut seperti serangan penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti intervensi berbagai
kebijakan yang terkait. Di samping itu hasil penelitian menujukkan pula bahwa kebijakan penguatan
sarana irigasi tambak yang berpengaruh nyata terhadap kinerja produktivitas (indeks TFP) usaha
budidaya udang di Indonesia. Sementara, kebijakan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia
tahap satu dan tahap dua tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja produktivitas (indeks
TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi
industri budidaya udang di Indonesia, perlu meningkatkan jumlah wilayah penerima program
revitalisasi budidaya udang tambak di Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan
monitoring, meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang
diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk menjaga
keberlanjutannya, dan meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana,
pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri
budidaya udang di Indonesia

Kata Kunci: produktivitas, udang Indonesia, kebijakan, ITSA

PENDAHULUAN
Dalam kesejarahannya, industri budidaya udang di Indonesia mengalami dinamika
mulai dari era awal budidaya, era perintisan teknologi intensif hingga era kejayaan, era
kejatuhan dan era revitalisasi atau kebangkitannya. Khusus pada era revitalisasi ditandai
dengan diluncurkannya beberapa kebijakan terutama terkait dengan program revitalisasi
industri budidaya udang di Indonesia merupakan bagian dari program besar “Revitalisasi
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan” (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden R.I. pada
tanggal 11 Juni 2005. Salah satu langkah operasional yang dilakukan dalam rangka
mendukung revitalisasi perikanan adalah “Pengembangan Komoditas Udang” sebagai

143
bentuk dari langkah-langkah dalam operasionalisasi revitalisasi industri budidaya udang di
Indonesia, yang tahap awalnya telah diimplementasikan para kurun waktu 2005-2009 yang
kemudian dilanjutkan kembali sejak tahun 2012 hingga sekarang (KKP, 2014).
Revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia sangat terkait erat dengan posisi
komoditas udang di Indonesia yang merupakan komoditas unggulan di sektor perikanan
yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Di samping itu, juga karena kegiatan usaha
budidaya udang mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perolehan devisa,
pendapatan pembudidaya, menciptakan lapangan kerja dan peluang berusaha. Revitalisasi
tersebut juga sangat penting, terutama karena peran kegiatan budidaya udang ke depan yang
semakin besar, sementara kegiatan penangkapan udang terus semakin berkurang. Kemudian
juga karena perusahaan yang terlibat adalah perusahaan skala kecil, menengah, dan besar;
dan pasar utama komoditas udang adalah pasar ekpor dengan permintaan yang masih tetap
tinggi. Dengan demikian, revitalisasi industri budidaya udang akan mencakup revitalisasi
pada level produksi, pengolahan dan pemasaran/perdagaangan melalui pelibatan usaha skala
kecil, menengah dan besar.
Pertambakan di Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam produksi udang pada
era tahun 1990-an, dengan menerapkan teknologi ekstensif, semi- intensif dan intensif.
Dengan timbulnya berbagai masalah, seperti penurunan daya dukung lingkungan, serangan
penyakit udang, dan menurunnya mutu induk/benih udang, mengakibatkan kegagalan pada
produksi udang. Rendahnya tingkat produktivitas perikanan budidaya udang di Indonesia
saat ini masih dapat ditingkatkan, seperti dengan melakukan revitalisasi melalui perencanaan
zonasi kawasan pesisir, sehingga akan tercipta keseimbangan tata ruang kawasan perikanan
yang mampu mendukung keberlanjutan perikanan budidaya. Secara ideal, kegiatan
perikanan budidaya haruslah dikembangkan secara berkelanjutan. Dalam artian, kegiatan
budidaya tersebut haruslah menghasilkan produktivitas yang sebanding dengan upaya, tidak
menciptakan konflik sosial, serta selaras dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungannya.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kembali produksi udang di Indonesia, perlu
dilakukan upaya-upaya khusus, antara lain melalui “Revitalisasi Industri Budidaya Udang”,
terutama pada kegiatan budidaya udang di tambak-tambak yang idle atau yang beroperasi
tetapi tidak secara optimal. Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia masih
terkendala oleh banyak faktor dalam meningkatkan produktivitasnya. Untuk itu, telah
dilakukan penelitian mengenai dinamika produktivitas usaha budidaya udang Indonesia dan
pengaruh beberapa faktor. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bahan
rekomendasi kebijakan untuk mempercepat revitalisasi industri budidaya udang tambak di
Indonesia, khususnya melalui peningkatan produktivitas.

144
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder terkait dengan faktor input dan output
kegiatann usaha budidaya udang nasional sejak tahun 1989 hingga 2013 yang diperoleh dari
sumber DJPB, KKP. Di samping itu, data sekunder lainnya adalah rentang waktu
implementasi beberapa kebijakan terkait dengan peningkatan produktivitas usaha budidaya
udang di Indonesia, yang dalam hal ini dibatasi pada kebijakan penguatan infrastruktur
saluran irigasi tambak berupa program rehabilitasi saluran irigasi sejak tahun 1999 hingga
sekarang, kebijakan revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap 1 yang
diimplementasikan sejak 2005 hingga 2009, dan kebijakan revitalisasi industri budidaya
udang di Indonesia tahap 2 sejak 2012 hingga sekarang.

Metode Analisis
Untuk mengetahui sejauhmana dinamika per-udang-an Indonesia, dalam penelitian
ini digunakan metode analisis deskriptif kualitatif, sementara untuk mengetahui sejauhmana
pengaruh kebijakan terhadap kinerja produktivitas usaha budidaya udang di Indonesia
selama periode 1989 hingga 2013 digunakan metode analisis ekonometrika dengan
pendekatan model ITSA (Interupted Time Series Analysys). Sementara metode untuk
mengukur kinerja produktivitas (Total Factor Productivity – TFP), dalam penelitian ini
digunakan metode penghitungan Indeks TFP Tornqvisht-Theil-Index. Kedua metode
tersebut, masing-masing sebagai berikut.

(1) Metode Analisis Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity –


TFP)

Kinerja revitalisasi tambak udang dapat diukur berdasarkan peningkatan produktivitas


usaha budidaya udang yang direvitalisasi. Peningkatan produktivitas tersebut dapat
dilakukan melalui peningkatan produktivitas input secara parsial dan atau peningkatan
Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity - TFP). Kajian terhadap produktivitas
input secara parsial belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas usaha budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep
pengukuran produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat
mempengaruhi perubahan output.
Kajian tentang TFP pada tingkat usaha budidaya tambak udang secara khusus belum
dilakukan. Bahkan pada sektor pertanian secara keseluruhan juga masih terbatas, baik dari
segi jumlah maupun lingkup penelitian, seperti yang dilakukan Fuglie (2004) dan Fuglie

145
(2010). Fuglie menganalisis TFP pada sektor pertanian secara aggregat (level makro) untuk
mengukur perubahan TFP antar waktu (time series) sebagai salah satu sumber pertumbuhan
PDB pertanian. Penelitian Fuglie (2010) menunjukkan bahwa TFP antar periode berbeda-
beda, namun cenderung meningkat pada periode revolusi hijau dan liberalisasi. Sebaliknya,
pada periode krisis ekonomi TFP cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi TFP. Oleh karena itu, kajian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi TFP menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Selain itu, kajian TFP
umumnya dilakukan pada level aggregate (makro) dan masih sangat jarang dilakukan pada
level usahatani (budidaya). Penelitian Martinez-Cordero et. al (1999) merupakan analisis
TFP pada level usahatani dengan menggunakan data lintang waktu (cross section). Pada
kedua penelitian tersebut, dianalisis variasi TFP antara usahatani dibandingkan dengan TFP
rata-rata. Dengan menganalisis TFP pada level usahatani, maka dapat diketahui faktor-faktor
apa saja selain input yang dapat mendorong peningkatan produksi.
Peningkatan produksi dapat diupayakan melalui peningkatan luas lahan yang
diusahakan dan peningkatan produktivitas. Pada kondisi faktor produksi lahan yang semakin
terbatas, maka peningkatan produktivitas menjadi pilihan penting. Produktivitas
mengandung arti kemampuan menghasilkan output dari setiap input yang digunakan.
Produktivitas input secara parsial, misalnya produktivitas per lahan atau produktivitas per
tenaga kerja, belum dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
budidaya tambak udang secara keseluruhan. TFP merupakan konsep pengukuran
produktivitas untuk menjelaskan faktor-faktor lain, selain input, yang dapat mempengaruhi
perubahan output. Dengan kata lain melalui analisis TFP dapat diidentifikasi perubahan
output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan input. Secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut (Kumar et al., 2005: Aswathy et al., 2013):
Output Index
TFP index  ........................................................................... (1)
Input Index
TFP dapat disebabkan karena adanya kemajuan teknologi atau technical progress,
yang dapat berupa perubahan teknologi atau perbaikan teknologi. Akibat terjadinya
kemajuan teknologi tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan efisiensi dalam
penggunaan input. Peningkatan efisiensi kemudian akan meningkatkan produktivitas secara
keseluruhan. Teknologi dapat meliputi teknologi input, teknologi mekanik, teknologi sistem
produksi, dan teknologi output. Variasi teknologi dapat mempengaruhi produktivitas
sehingga melalui teknologi yang lebih baik, output tertentu dapat dihasilkan dari
penggunaan input yang lebih sedikit atau penggunaan input yang sama dapat menghasilkan
output yang lebih banyak. Namun perubahan teknologi dapat juga menyebabkan

146
peningkatan penggunaan input untuk menghasilkan ouput yang lebih tinggi, tetapi
peningkatan output lebih tinggi dari penambahan input.
Selain kemajuan teknologi, produktivitas juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
eksternal maupun internal usaha budidaya udang. Faktor internal yang utama yaitu
kemampuan pembudidaya dalam mengelola usaha budidaya tambak udang. Kemampuan
pembudidaya dalam mengelola sangat ditentukan oleh banyak hal, antara lain tingkat
pendidikan, pengalaman, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani. Hal ini sering
disebut dengan faktor human capital. Peranan pembudidaya sebagai pengelola menjadi
semakin besar dan penting karena pembudidaya merupakan pengambil keputusan utama
dalam usaha budidaya tambak udang. Faktor internal lainnya yang perlu diperhatikan karena
dapat mempengaruhi produktivitas yaitu kapasitas usaha yang dapat dilihat dari ukuran
usaha budidaya udang (size of farm) dan ketersediaan aset lain. Ukuran usaha budidaya
udang yang paling lazim digunakan yaitu luas lahan. Lahan yang lebih luas dan ketersediaan
aset yang sesuai kebutuhan usahatani dapat mendorong peningkatan produktivitas usahatani.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi produktivitas usahatani yaitu dukungan
faktor eksternal, terutama ketersediaan infrastruktur pendukung, baik dalam bentuk fisik
maupun non fisik. Beberapa infrastruktur yang diperlukan dalam mendukung usahatani,
antara lain infrastruktur jalan, irigasi, pasar, kelembagaan penelitian, kelembagaan
penyuluhan, kredit dan kelembagaan keuangan, sistem agraria dan kebijakan yang
mendukung. Beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi produktivitas, di antaranya penelitian yang dilakukan:
Fuglie (2010); Kumar et al. (2008); Weiping and Ying, (2007); Ashok and Balasubramanian
(2006); Kalyvitis (2002); Nayak (1999); Looney (1994). Infrastruktur dapat mempengaruhi
luas lahan dan produktivitas. Perubahan infrastruktur dapat mendorong perubahan luas
lahan sehingga kurva luas lahan bergeser (naik atau turun) tergantung jenis komoditas. Pada
komoditas udang, peningkatan infrastruktur pada tingkat harga output tetap akan
menyebabkan peningkatan luas lahan.
Selain itu, peningkatan infrastruktur juga akan meningkatkan produktivitas dan kurva
produktivitas juga akan bergeser (meningkat). Artinya, kondisi infrastruktur yang berbeda
antar usaha budidaya udang akan mengakibatkan perbedaan pada luas lahan dan
produktivitas usaha budidaya udang yang pada akhirnya mempengaruhi produksi dan
keuntungan usahatani. Infrastruktur dalam penelitian ini meliputi infrastruktur fisik (jalan,
irigasi), kredit, dan teknologi (konservasi lahan, teknologi benih, dan diversifikasi tanaman).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disarikan bahwa TFP dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor penting seperti kualitas sumberdaya manusia, infrastruktur, kualitas dan kapasitas aset
(vintage of capital), serta penelitian dan pengembangan.

147
Pengukuran indeks TFP, seperti indeks Laspeyres, Paasche, Fisher, dan Tornqvist.
Berdasarkan kriteria teori ekonomi dan pendekatan fungsional serta kriteria pendekatan
pengujian, maka indeks Fisher dan indeks Tornqvist dianggap paling baik, hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh Ailex Lissitsa dalam modul “Efficiency and Productivity
Analysis: Deterministic Approaches. Section an Introduction to Index Number Methods”.
Pengukuran indeks TFP dalam penelitian ini digunakan indeks Tornqvist. Indeks TFP
menurut Tornqvist yang dikenal dengan nama Tornqvist Index.
Tornqvist Index dapat digunakan untuk mengukur TFP antar waktu (time series data),
data panel, serta antar lokasi atau antar perusahaan pada waktu tertentu (cross section data).
Dalam penelitian ini diukur TFP antar usaha budidaya tambak udang pada tahun tertentu
(cross-section). Mengingat bahwa produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu
produktivitas total faktor atau total factor productivity (TFP), bukan produktivitas parsial
(misalnya produktivitas per luas lahan atau produktivitas per tenaga kerja), maka mengacu
pada Persamaan (17), pengukuran TFP dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan
cara perhitungan Tornqvist-Theil Index, seperti yang telah diterapkan oleh Hall and Jones
(1997); Martinez-Cordero et al. (1999). Tornqvist-Theil Index ini dapat diaplikasikan untuk
menghitung TFP setiap usaha budidaya tambak udang dibandingkan TFP rata-rata. Rumus
perhitungan TFP untuk aplikasi data cross section dapat dituliskan sebagai:
TFPi avg  1 2 log Qi  log Qavg S Qi  S Qavg 

 1 2 log X i  log X avg S Xi  S Xavg  .................................................. (2)


dimana:
TFPiavg = produktivitas total faktor usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i,
Qi = jumlah output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
Qavg = rata-rata output untuk seluruh usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
SQi = proporsi pendapatan output usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
SQavg = rata-rata proporsi pendapatan output dari seluruh usaha budidaya tambak udang;
Xki = jumlah input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i;
Xkavg = rata-rata input untuk seluruh usaha budidaya tambak udang;
SXi = proporsi biaya input pada usaha budidaya tambak udang pembudidaya ke-i,
SXavg = rata-rata proporsi biaya input dari seluruh usaha budidaya tambak udang.

(2) Metode ITSA (Interrupted Time Series Analysis)


Metode Interrupted Time Series Analysis (ITSA) adalah metode yang terkuat pada
desain kuasi-eksperimen yang digunakan untuk mengevaluasi efek longitudinal terhadap
intervensi yang dilakukan. Analisis regresi tersegmentasi pada data runtun waktu (time
series) memungkinkan untuk menilai dalam hal beberapa aspek statistik, seperti berapa
banyak intervensi yang mengubah hasil dengan segera dan dari waktu ke waktu; langsung

148
atau dengan keterlambatan; jangka pendek atau jangka panjang; atau apakah faktor-faktor
lain selain intervensi bisa menjelaskan perubahan (Wagner et al, 2002).
Data dikumpulkan dalam ITSA pada beberapa titik waktu sebelum dan sesudah
intervensi. Tujuannya untuk mendeteksi bahwa intervensi yang dilakukan memiliki efek
signifikan yang lebih besar daripada “trensekuler” yang terjadi. Metode yang digunakan
untuk ITSA adalah perbandingan statistik trend saat sebelum dan sesudah intervensi (lihat
Gambar 1).
Sebuah gambaran dari unsur-unsur umum analisis regresi time-series tersegmentasi
disajikan pada Gambar 1. Analisis memperkirakan pengaruh intervensi sementara
memperhatikan trend waktu dan autokorelasi antara pengamatan. Analisis Interrupted Time
Series umumnya menggunakan model ARIMA untuk menganalisis datanya, tetapi ada juga
beberapa teknik statistik lainnya yang dapat digunakan yang bergantung pada karakteristik
data, jumlah titik data yang tersedia dan autokorelasi yang muncul.

Intervention
Introduced
Slope pre
outcome (y)
Change in Level

Slope post

1 2 3 4 5 6 7 8 9
Time (t)

Sumber: Ramsey et al, 2003


Gambar 1. Hubungan antara Intervensi dengan Outcome berdasarkan Perubahan Waktu
dalam Analisis Interrupted Time Series (ITS)

Perkiraan untuk koefisien regresi sesuai dengan dua ukuran efek standar diperoleh:
perubahan dalam tingkat (juga disebut' langkah perubahan') dan perubahan tren sebelum dan
sesudah intervensi. Menurut Ramsay(2003), perubahan tingkat didefinisikan sebagai
perbedaan antara tingkat yang diamati pada titik pertamakalinya intervensi dan yang
diperkirakan oleh pra-intervensi waktu trend, dan perubahan tren didefinisikan sebagai
perbedaan antara sebelum dan setelahadanya intervensi yang digambarkan oleh tingkat

149
kemiringan (slope). Perubahan negatif ditingkat kemiringan dan akan menunjukkan
penurunan, misalnya, tingkat infeksi.

- Desain ITSA (Interrupted Time Series Analysis)

Desain interrupted time-series dapat juga digambarkan sebagai perpanjangan dari one
group pretest-post test desain-desain ini diperpanjang dengan menggunakan berbagai pre-
tests dan post-tests. Dalam jenis desain kuasi eksperimental, pengukuran berkala yang
dilakukan pada kelompok sebelum presentasi (interupsi) intervensi untuk membangun dasar
yang stabil. Mengamati dan menetapkan fluktuasi normal variabel dependen atas waktu
memungkinkan peneliti untuk lebih akurat menginterpretasikan dampak dari independen
variabel. Setelah intervensi, pengukuran lebih beberapa periodik dibuat. Ada empat variasi
dasar desain ini: desain ITSA sederhana, desain ITSA pembalikan, desain beberapa runtun
waktu, dan desain longitudinal (Kholistianingsih, 2005). Penjelasan versi serupa namun
lebih lengkap dari desain ITSA dijelaskan oleh Biglan et al (2013). Ia menjelaskan bahwa
terdapat beberapa desain dalam ITSA, seperti: AB Desain, Multiple Baseline Desain, dan
ABA Desain, dan Desain Lainnya.
Untuk mengetahui pengaruh beberapa kebijakan terhadap kinerja indeks TFP usaha
budidaya udang di Indonesia, dalam penelitian ini digunakan desain ITSA multiple baseline.

keyakinan besar bahwa manipulasi dari peubah bebas (independent variable) yang
bertanggung jawab untuk perubahan dalam time series jika ada beberapa time series, yang
masing-masing menerima manipulasi atau intervensi pada titik yang berbeda dalam waktu.
Desain di mana peubah bebas (independent variable) dimanipulasi di titik berbeda dalam
waktu untuk time series, umumnya disebut Desain Multiple Baseline (Barlow et al., 1984;
Barlow & Hersen, 1984).
Secara teoritis, ada dua tipe Desain Multiple Baseline. Dalam Desain Multiple
Baseline pada kasus fenomena menarik diukur berulang kali dalam dua atau lebih kasus dan
manipulasi peubah bebas (independent variable) terjadi pada waktu yang berbeda untuk
kasus yang berbeda. Salah satu kesulitan dengan desain tersebut adalah bahwa mungkin dua
atau lebih fenomena yang sedang diukur adalah saling berkaitan dengan cara-cara yang
menyebabkan semua mereka untuk berubah ketika intervensi diterapkan salah satu dari
mereka (Barlow & Hersen, 1984).
Barlow et al. (1984) telah menyebutkan perbandingan yang dapat dibuat dalam
beberapa desain awal yang melibatkan beberapa seri waktu untuk menilai apakah
manipulasi peubah bebas (independent variable) mempengaruhi peubah bebas (dependent

150
variable). Pertama, dalam setiap satu deret waktu dapat memeriksa apakah kemiringan
atau tingkat perubahan deret waktu ketika bebas bebas (independent variable) dimanipulasi.
Kedua, seseorang dapat membandingkan perubahan yang terkait dengan memanipulasi
peubah bebas (independent variable) dalam time series pertama dengan perubahan dalam
time series yang tidak menerima manipulasi peubah bebas (independen variable). Ketika
perubahan dalam seri pertama adalah ditambah dengan tidak adanya perubahan dalam dua
detik seri, kesimpulan bahwa peubah bebas (independent variable) membawa perubahan
yang diperkuat. Ketiga, dalam kelipatan dasar tiga seri, efek peubah bebas (independen
variable) pada seri kedua dapat dibandingkan dengan seri ketiga kalinya. Replikasi efek
dalam seri kedua, disertai dengan tidak ada perubahan dalam seri ketiga tidak diintervensi
(unintervened), bahkan memberikan bukti kuat pengaruh peubah bebas (independent
variable).

Spesifikasi Model ITSA (Interrupted Time Series Analysis)

Spesifikasi model ITSA (Interrupted Time Series Analysis) dalam penelitian ini
berkaitan dengan intervensi “Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Indonesia”
dan kebijakan lainnya yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada tahap awal
selama periode tahun 2005-2009, kemudian tahap kedua dimulai lagi sejak tahun 2012
hingga saat ini (masih berlangsung). Dengan demikian penyusunan spesifikasi model ITSA
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan spesifikasi model ITSA dari kasus yang
tersegmentasi menurut periode (tahapan) implementasi program revitalisasi, dan distruktur
dengan menggunakan Desain ITSA Multiple Baseline dengan menggunakan regresi yang
tersegmentasi, sebagaimana yang pernah digunakan oleh Wagner et al., (2002).

Secara teoritis, spesifikasi model ITSA dengan regresesi tersegmentasi tersebut terdiri
dari dua jenis, yaitu: model tanpa mempertimbangkan aspek interaksi antarkebijakan, dan
model dengan mempertimbangkan aspek interaksi antarkebijakan. Namun, dalam penelitian
ini dibatasi hanya dengan menggunakan spesifikasi model ITSA tanpa mempertimbangkan
aspek interaksi antarkebijakan. Spesifikasi model ini mengikuti prosedur yang melibatkan
model regresi sebelum intervensi kebijakan dan menggunakan model yang dihasilkan untuk
membentuk lintasan hasil dalam periode waktu setelah kebijakan intervensi berupa
kebijakan (policy). Hal ini diikuti dengan pengamatan yang kontras pada pasca-intervensi
dengan hasil yang mereka harapkan (diprediksi oleh model regresi) di bawah adanya
intervensi kebijakan. Model berbasis regresi memiliki fleksibilitas untuk memperhitungkan
kecenderungan sementara serta menyesuaikan kovariat penting dan interaksi mereka.
Perbedaan antara hasil yang diharapkan dan data yang diamati setelah perubahan kebijakan

151
yang kemudian dirata-ratakan untuk memperkirakan efek kebijakan. Uji statistik yang resmi
seperti dua sample t-test, dapat digunakan untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang
signifikan dalam efek kebijakan antara kelompok sasaran utama yang menarik dan
kelompok pembanding (Perancis dan Heagerty, 2008).

Dengan demikian, model ITSA yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dispesifikasi menggunakan analisis regresi tersegmentasi tanpa mempertimbangkan aspek
interaksi antarkebijakan, sebagai beikut (Wagner et al., 2002):

Yt = β0 + β1 timet + β2 intervention_1t + β3 time after intervention_1t


+ β4 intervention_2t + β5 time after intervention_2t + β6 intervention_2t
+ β7 x time after intervention_2t + β8 time after intervention_3t +
et ..................... (3)

dimana:
Yt = produktivitas budidaya tambak udang (produksi per hektar)
timet = periode waktu usaha budidaya tambak udang pada tahun ke-t
intervention_1t = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap
1 pada tahun ke-t
time after intervention_1t = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi
budidaya tambak udang tahap 1 pada tahun ke-t
intervention_2t = intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang tahap
2 pada tahun ke-t
time after intervention_2t = periode waktu setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya
tambak udang tahap 2 pada tahun ke-t
intervention_3t = intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan
(irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
time after intervention_3t = periode waktu setelah intervensi kebijakan penguatan sarana
pengairan (irigasi) tambak udang pada tahun ke-t
β0 = koefisien intersep (dugaan level dasar dari produktivitas budidaya
tambak udang pada saat dimulainya series data)
β1 = koefisien parameter dugaan trend dasar perubahan produktivitas
budidaya tambak udang per tahun pada segmen sebelum
intervensi kebijakan
β2 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen
setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang
pada tahap 1
β3 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen
setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap
1
β4 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen
setelah intervensi kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang
pada tahap 2
β5 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen
setelah kebijakan revitalisasi budidaya tambak udang pada tahap
2
β6 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam level pada segmen
setelah intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur
pengairan (irigasi) tambak udang

152
β7 = koefisien parameter dugaan perubahan dalam trend pada segmen
setelah intervensi kebijakan penguatan sarana infrastruktur
pengairan (irigasi) tambak udang
e1 = dugaan eror atau galat (peubah gangguan) ke-t

Metode Pendugaan Model ITSA


Pendugaan terhadap model ITSA dapat dilakukan dengan mengunakan pendugaan
kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimation – MLE) dan pendugaan
Bayessian (Bayessian Estimations - BE). Namun dalam penelitian digunakan metode
pendugaan MLE yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Menurut Juanda (2009), penduga kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood
Estimators – MLE) memfokuskan fakta bahwa populasi-populasi (yang dicirikan dengan
parametrnya) berbeda dalam membangkitkan contoh-contoh yang berbeda; suatu contoh
apapun yang sedang dikaji kemungkinan (peluang) – nya lebih besar berasal dari beberapa
populasi daripada dari populasi lainnya. Misalnya, jika seseorang melakukan sampling
dengan pelemparan-pelemparan koin dan kemudian diperoleh rata-rata contoh 0,5
(merepresentasikan setengahnya keluar “angka” dan setengahnya keluar “gambar”), maka
populasi paling mungkin dari mana contoh diambil adalah suatu populasi yang rata-ratanya

( X   )  0,5.
Gambar 4 mengilustrasikan suatu kasus yang lebih umum dimana suatu contoh (Y1,
Y2, ..., Y3) diketahui akan diambil dari suatu populasi normal dengan ragam diketahui tapi
nilai tengah tidak diketahui. Asumsikan bahwa pengamatan-pengamatan berasal dari sebara
(distribution) A atau sebaran (distribution) B. Jika populasi (asal) sebenarnya adalah B,
maka peluang bahwa kita telah memperoleh contoh tersebut dari B sangat kecil. Akan tetapi
jika populasi (asal) sebenarnya adalah A, maka peluang bahwa kita telah memperoleh
contoh tersebut dari A sangat besar. Jadi, pengamatan-pengamatan “memilih” populasi A
sebagai populasi asal yang paling mungkin telah membangkitkan data pengamatan tersebut.

Secara teortis, MLE didefenisikan sebagai suatu parameter β sebagai nilai  yang
paling mungkin membangkitkan pengamatan-pengamatan contoh Y1, Y2, ..., Y3. Secara
umum, jika Yi menyebar normal, dan masing-masing nilai Y diambil secara bebas, maka
MLE akan memaksimumkan nilai:
   pY1  pY2  pYn  ......................................................................... (4)
dimana e = exponential, dan p(Yi) merepresentasikan suatu peluang yang dikaitkan,
misalnya, dengan sebaran normal (normal distribution). Jadi MLE merupakan suatu fungsi

153
dari contoh (sample) Yi yang terambil, i = 1, 2, ..., n. Suatu contoh yang berbeda dapat
menghasilkan keungkinan maskimum (maximum likelihood - ML) yang berbeda.
Persamaan (3) sering disebut sebagai “fungsi kemungkinan” (likelihood function).
Fungsi kemungkinan ini tidak hanya tergantung dari nilai-nilai contoh Yi tapi juga parameter
 yang tidak diketahui (akan diduga). Dalam menggambarkan fungsi kemungkinan, kita
sering berfikir bahwa parameter yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi,
sedangkan yang tidak diketahui (akan diduga) dapat bervariasi, sedangkan nilai Yi tetap.
Prosedur metode MLE adalah dengan mencari dugaan parameter yang paling mungkin
membangkitkan data contoh tersebut, atau yang memaksimumkan fungsi kemungkinan pada
Persamaan (3).
Sebagai ilustrasi, misalnya kita ingin mencari MLE mengenai parameter dari model:
Yi    X i   i ......................................................................................... (5)
Sebagaimana diketahui bahwa masing-masing Yi menyebar normal dengan nilai tengah (α +
βXi), dan ragam σ2. Sebaran peluang dapat dituliskan secara eksplisit sebagai berikut:


p Yi  
1
exp 
1
Yi    X i 2  ............................................. (6)
 2 
2
2 2

Oleh karena itu, fungsi peluang bersamanya (likelihood function) adalah:

 
 Y1 , Y2 , , Yn ,  ,  ,  2  pY1  pY2  pYn  .............................................. (7)

     2
n
 Y,      
1
exp 
1
Yi     X i   ............................ (8)
2 2  2 
2
i 1

Karena vektor pengamtan tetap, maka fungsi kemungkinan pada Persamaan (8)
hanya merupkan funsgi dari vektor parameter    ,  , 
2

yang tidak diketahui. Kita 
ingin mencari nilai α, β, dan σ2 yang menghasilkan fungsi kemungkinan bernilai
maksimum. Untuk ini, kita turunkan fungsi Persamaan (8) terhadap masing-masong dari
tiga parameter yang tidak diketahui tersebut, kemungkinan hasil turunannya disamakan
dengan nol, dan dicari nilai dugaan dan tiga parameter tersebut. Sebenarnya lebih mudah
mencari turunan ini dengan terlebih dahulu mentrasformasi4 Persamaan (8) ke dalam bentuk
logaritma (natural) –nya, sehingga diperoleh fungsi log likelihood sebagai berikut:

   
n
L  ln    ln 2   ln  2   Y    X i  ....................... (9)
n n 1 2

2 2
i
2 2 i 1

Turunan parsial Persamaan (9) terhadap α, β, dan σ2 menghasilkan:

4
Transformasi monoton, dengan pengertian jika  1   2 , maka L1 < L2 karena nilai  selalu
negatif

154
 L  1

  2
 Y i    X i   0 ............................................................... (10)

 L 
 X Y     X i   0 ........................................................... (11)
1
 2
 
i i

 L   n
 X Y    X i   0 ...............................................(12)
1
  2
 2 
2 2 i i

Solusi Persamaan (10) sampai Persamaan (12) menghasilkan penduga kemungkinan


maksimum (Maximum Likelihood Estimator - MLE) sebagai berikut:
2
  

 
 X  X Y  Y    Yi     X 
 
 Y   X  ; 2 
i i
;
 X  X 
2
... (13)
n
i

Jelaslah bahwa nilai dugaan α dan β dengan metode MLE seperti pada Persamaan (13) sama
dengan snilai dugaan dengan metode OLS. Oleh karena itu, kedua metode ini menghasilkan
penduga α dan β yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimators). Akan tetapi nilai
dugaan σ2 dengan metode maximum likelihood (ML) bersifat bias meskipun konsisten, tidak
sama dengan nilai dugaan σ2 dengan metode OLS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Telaah Dinamika Produktivitas Budidaya Tambak Udang di Indonesia

Pertumbuhan indeks output, indeks input, dan indeks TFP periode tahun 1989-2013
disajikan pada Gambar 6, sedangkan pertumbuhan per periode disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan Gambar 6, pada sepanjang periode 1989-2013 indeks output mencapai
puncaknya yang meningkat menjadi sebesar 266,39% pada tahun 2008 yang kemudian
menurun hingga tahun 2013, dan indeks input mencapai puncaknya yang meningkat menjadi
sebesar 439,26% pada tahun 2008 yang kemudian menurun hingga tahun 2013, sedangkan
indeks TFP relatif stagnan. Artinya, pertumbuhan output lebih disebabkan pertumbuhan
input (faktor produksi) --bukan karena pertumbuhan TFP--, terutama pertumbuhan benur,
obat-obatan, energi, dan pakan. Berikut disajikan pembahasan perkembangan output, input,
dan TFP periode penelitian. Hal ini disebabkan belum dapat di atasinya masalah penyakit.

- Perkembangan Output, 1989 - 2013

Komoditas udang di Indonesia diperoleh dari hasil budidaya di tambak dan hasil
penangkapan yang berasal dari tangkapan di laut dan di perairan umum. Perkembangan

155
kuantitas produksi udang berdasarkan sumbernya disajikan pada Gambar 1, Tabel 1, dan
Tabel 2.
Gambar 1 memperlihatkan adanya peningkatan cukup signifikan pada udang hasil
budidaya, sedangkan udang hasil tangkapan relatif stagnan. Dalam perkembangannya sejak
tahun 1983 hingga 2013, produktsi udang Indonedia dari hasil kegiatan usaha budidaya pada
periode sebelum tahun 1991 masih berada di bawah tingkat produksi hasil tangkapan.
Kemudian pada periode 1991 hingga 1993, produksi udang hasil usaha budidaya pernah
hampir menyamai produksi udang tangkap, namun kembali di bawah udang tangkapan
hingga tahun 1997, meskipun dengan kecenderungan yang meningkat.
Dalam perkembangannya sejak tahun 1997 hingga 2005, kinerja produksi udang
Indonesia mengalami pernurunan di bawah periode 1994-1996. Hal ini diduga karena
adanya serangan wabah penyakit udang tambak yang sangat menggangu produksi udang di
Indonesia. Namun tingkat produksi tersebut tetap menunjukkan kecenderungan yang
meningkat hingga kembali menyamai produksi udang tangkap pada tahun 2005 dan bahkan
mampu melampaui produksi udang tangkap pada tahun-tahun berikutnya hingga sekarang.

Sumber: Statistik Perikanan Budidaya dan Statistik Perikanan Tangkap (berbagai edisi)
Gambar 5. Perkembangan Produksi Udang Indonesia Hasil Budidaya di Tambak dan Hasil
Penangkapan,Tahun 1989-2013

Kemudian berdasarkan data pada Tabel 1, terjadi peningkatan produksi udang hasil
budidaya sampai dengan tahun 2008, dan terjadi penurunan produksi pada tahun 2009
kemudian meski secara perlahan terus mengalami peningkatan kecuali pada tahun 2013 yang
meningkat secara drastis. Selama horizon data 1983 hingga 2013, tampak bahwa terdapat

156
kecenderungan peningkatan produksi udang budidaya, sebaliknya pada udang hasil
perikanan tangkap yang mengalami kecenderungan semakin menurun. Terjadi dua waktu
dimana produksi udang budidaya hampir menyamai produksi udang tangkap, yaitu pada
tahun 1992 dan tahun 2004. Selanjutnya pada periode tahun 2004 terjadi kondisi berbalikan
(trajectory) antara udang dari hasil budidaya dan tangkap, dimana udang hasil budidaya
mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan udang hasil tangkapan.

Tabel 1. Produksi Udang dari Hasil BudidayaTambak Indonesia Menurut Varietas, Tahun
1989-2013 (ton)

Tahun Udang Windu Udang Putih Udang Vaname Udang Api-api Udang Lainnya Total

1983 7,550 8,316 - 11,729 159 27,595


1984 10,315 9,421 - 12,250 104 31,986
1985 13,068 12,001 - 12,330 257 37,399
1986 15,424 13,575 - 11,889 929 40,888
1987 25,202 16,951 - 13,754 3,014 55,907
1988 44,450 17,793 - 15,208 334 77,451
1989 63,676 15,520 - 15,032 1,143 94,228
1990 67,355 17,590 - 20,961 1,359 105,906
1991 96,811 19,337 - 20,248 3,735 136,396
1992 98,358 21,779 - 21,449 104 141,586
1993 87,285 29,167 - 22,106 228 138,558
1994 83,193 23,860 - 25,353 2,652 132,406
1995 89,344 31,676 - 24,196 1,392 145,216
1996 96,237 28,822 - 26,027 673 151,086
1997 96,317 30,609 - 40,191 328 167,117
1998 74,824 22,589 - 20,434 264 117,847
1999 92,726 28,872 - 19,255 93 140,853
2000 93,759 28,965 - 20,453 544 143,177
2001 103,603 25,862 - 19,093 610 149,168
2002 112,840 24,708 - 21,634 415 159,597
2003 133,836 35,249 - 22,881 700 192,666
2004 131,399 33,797 53,217 - 20,154 238,567
2005 134,682 27,088 103,874 - 13,895 279,539
2006 147,867 36,187 141,649 - - 325,703
2007 133,113 16,995 179,966 - 27,165 357,239
2008 134,930 32,143 208,648 - 32,264 407,985
2009 124,561 22,365 170,969 - 19,120 337,015
2010 125,519 16,424 206,578 - 30,806 379,327
2011 126,157 10,757 246,420 - - 383,334
2012 116,311 13,128 238,663 - 27,971 396,073
2013 168,318 17,665 376,189 - 28,086 590,258

157
Sumber: Statistik Perikanan Budidaya (berbagai terbitan)

Berdasarkan varietas, sampai dengan tahun 2006 produksi udang windu mengalami
peningkatan, dan sejak tahun 2007 produksi udang vaname telah melampaui udang windu
(Tabel 1), sebaliknya, udang hasil penangkapan relatif stabil (Tabel 2). Kemudian
berdasarkan varietas dapat pula ditunjukkan bahwa udang putih mendominasi disusul jenis
udang lainnya. Dibandingkan dengan udang hasil budidaya, size/ukuran udang hasil
tangkapan memiliki keragaman cukup besar.

Tabel 2. Produksi Udang Hasil Penangkapan Menurut Varietas, Tahun 1989-2013 (ton)
Udang Udang Udang Udang Udang Udang Udang
Tahun Total
Windu Putih Dogol Krosok Ratu/Raja Karang/Barong Lainnya
1983 10,726 37,380 15,865 - - 763 46,650 111,384
1984 14,209 26,128 14,105 - - 473 46,513 101,428
1985 10,431 29,610 13,338 - - 448 53,313 107,140
1986 14,097 32,887 16,479 - - 1,257 52,987 117,707
1987 10,720 35,766 17,588 - - 965 66,868 131,907
1988 12,301 42,750 17,244 - - 1,319 80,192 153,806
1989 12,003 42,925 15,094 - - 925 72,322 143,269
1990 11,647 41,330 14,564 - - 826 76,452 144,819
1991 13,743 41,731 16,348 - - 1,398 78,215 151,435
1992 15,649 47,726 16,241 - - 2,398 83,641 165,655
1993 16,116 43,925 15,814 - - 1,208 79,714 156,777
1994 16,960 47,237 20,364 - - 2,021 91,152 177,734
1995 24,501 50,477 22,863 - - 2,852 81,261 181,954
1996 19,393 53,913 22,285 - - 2,463 89,215 187,269
1997 25,929 53,924 32,588 - - 4,021 95,790 212,252
1998 30,047 62,192 40,717 - - 2,394 87,200 222,550
1999 34,223 64,179 33,847 - - 3,244 103,372 238,865
2000 40,987 66,644 38,925 - - 3,596 98,880 249,032
2001 43,759 65,269 36,358 - - 4,490 113,161 263,037
2002 38,088 69,508 33,570 - - 4,758 95,561 241,485
2003 34,190 66,501 34,178 - - 5,348 100,221 240,438
2004 34,533 68,699 38,438 2,763 134 5,439 95,907 245,913
2005 30,380 61,950 31,506 6,456 126 6,648 71,473 208,539
2006 37,460 59,838 26,859 4,342 328 5,254 93,083 227,164
2007 42,036 81,193 33,455 6,819 661 4,705 90,107 258,976
2008 26,492 73,870 34,718 5,922 1,011 9,896 85,013 236,922
2009 24,637 71,993 46,740 6,003 656 5,892 80,949 236,870
2010 28,319 76,419 39,605 15,116 979 7,651 59,237 227,326
2011 26,417 83,619 47,272 20,077 1,738 10,541 70,892 260,556
2012 27,959 87,405 45,227 17,692 3,258 13,549 67,942 263,032

158
2013 27,851 87,069 45,053 17,624 3,245 13,497 67,681 262,020
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap (berbagai terbitan)

Selanjutnya berdasarkan data pada Tabel 3, pada keseluruhan periode 1989-2013, laju
pertumbuhan output tertinggi terjadi pada udang vaname disusul ikan bandeng, dan udang
windu. Diduga karena udang vaname memiliki produktivitas lebih tinggi. Akan tetapi, dari
sisi pangsa terhadap penerimaan urutannya yaitu udang windu, udang vaname dan ikan
bandeng. Udang windu memiliki pangsa terhadap total penerimaan lebih tinggi
dibandingkan udang vaname dikarenakan harga jualnya relatif lebih tinggi.

Tabel 3. Rata-rata Pertumbuhan Output dan Penggunaan Input Budidaya Tambak Udang
Indonesia, Tahun 1989-2013

Periode Pengamatan
No. Variabel 1989- 1989- 1994- 1999- 2004- 2009-
2013 1993 1998 2003 2008 2013
A. OUTPUT
1. Udang Windu (ton) 109.321 87.452 87.983 107.352 136.398 132.173
Laju pertumbuhan/tahun (%) 5,14 10,0 -2,4 12,6 0,4 6,10
Pangsa udang windu terhadap 58,81 70,1 64,7 69,0 48,5 30,41
total penerimaan (%)
2. Udang Vaname (ton) 192.617 0 0 0 137.471 247.764
Laju pertumbuhan/tahun (%) 27,90 0 0 0 31,30 15,31
Pangsa udang vaname 14,32 0 0 0 28,86 39,86
terhadap total penerimaan (%)
3. Udang Putih (ton) 24.446 44.659 54.751 49.394 185.823 16.068
Laju pertumbuhan/tahun (%) 5,08 11,5 -0,5 6,8 38,2 -6,98
Pangsa udang putih terhadap 7,41 17,6 19,9 12,0 38,7 2,20
total penerimaan (%)
4. Ikan bandeng (ton) 243.492 146.234 153.570 218.351 249.766 454.994
Laju pertumbuhan/tahun (%) 7,37 8,4 -0,3 8,2 4,8 16,05
Pangsa ikan bandeng terhadap 18,67 12,3 15,4 19,0 12,8 25,58
total penerimaan (%)
Sumber: Data sekunder diolah (2015)

Berdasarkan empat periode pengamatan, pada tahun 1994-1998 laju pertumbuhan


output baik untuk udang windu, udang putih, maupun ikan bandeng bernilai negatif. Hal
tersebut diduga karena belum berhasil di atasinya penyakit. Pada periode tahun 1989-1993,
udang tambak terserang penyakit Monodon Baculo Virus (MBV). Kondisi tersebut berlanjut
sehingga pada tahun 2000/2001 dan sampai sekarang. Menurut Widigdo (2005) akibat
serangan penyakit, kuantitas ekspor tahun 2000 turun menjadi 70 ribu ton dan 90% dari 350
ribu ha tambak dalam kondisi terlantar.
Pada periode 1999-2003, laju pertumbuhan output menjadi positif yaitu sebesar 12.6%
untuk udang windu, 6.8% untuk udang vaname, dan 8.2% untuk ikan bandeng. Peningkatan
tersebut diduga karena tersedianya sumber air hasil dari pembangunan jaringan irigasi
melalui dana SPL-OECF/JBIC dengan nilai sekitar Rp300 milyar. Peningkatan produksi

159
juga diduga akibat perubahan kewenangan dari semula setingkat Ditjen Perikanan menjadi
setingkat Kementerian (Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan/DELP) pada akhir tahun
1999 dan terdapat peningkatan anggaran.
Pada periode berikutnya yaitu 2004-2008, laju pertumbuhan udang windu jauh
berkurang, dan udang vaname memiliki laju pertumbuhan tertinggi. Pangsa penerimaan dari
udang vaname juga meningkat, akan tetapi masih lebih rendah dibandingkan pangsa
penerimaaan dari udang windu. Adanya pergantian dari udang windu menjadi udang
vaname, secara tidak langsung cukup membantu Indonesia dalam menghasilkan devisa, serta
mempertahankan pangsa pasar.

- Perkembangan Input (Faktor Produksi), 1989-2013


Berdasarkan data pada Tabel 4, pangsa pengeluaran faktor produksi terhadap biaya
total terbesar adalah pakan, disusul upah, energi, benur, pupuk dan obat. Pakan merupakan
penyumbang terbesar pada sistem intensif, sedangkan upah tenaga kerja merupakan
penyumbang terbesar sistem usaha budidaya non intensif (semi-intensif dan ekstensif).

Tabel 4. Rata-rata Pertumbuhan Penggunaan Input Budidaya Tambak Udang Indonesia,


Tahun 1989-2013

Periode Pengamatan
No. Variabel 1989- 1989- 1994- 1999- 2004- 2009-
2013 1993 1998 2003 2008 2013
1. Benur (juta ekor) 22.571 5.054 14.450 33.328 37.925 88.824
Laju pertumbuhan/tahun 28,17 53,0 53,3 13,5 12,2 13,92
(%)
Pangsa biaya benur 13,32 13,0 14,6 17,8 9,9 11,30
terhadap total pengeluaran
(%)
2. Pupuk (ribu liter) 26.864 13.572 9.050 8.092 17.715 85.584
Laju pertumbuhan/tahun 10,24 7,1 1,4 4,1 22,1 16,52
(%)
Pangsa biaya pupuk 0,6 0,7 0,4 0,6 0,6 0,5
terhadap total pengeluaran
(%)
3. Tenaga Kerja(OH) 54.561 33.306 42.026 59.781 88.571 99.746
Laju pertumbuhan/tahun 6,43 5,4 4,0 9,6 6,1 7.07
(%)
Pangsa upah tenaga kerja 32,29 31,6 30,1 34,1 30,4 35,23
terhadap total pengeluaran
4. Pakan (ribu kg) 305.888 133.189 146.234 159.625 328.849 767.323
Laju pertumbuhan/tahun 10,64 9,9 -1,9 10,4 16,1 18,69
(%)
Pangsa biaya pakan 39,80 42,8 39,5 38,3 42,7 35,70
terhadap total pengeluaran
(%)
5. Obat-obatan(ribu liter) 23.960 417 334 675 724 117.555
Laju pertumbuhan/tahun 20,13 -5,5 15,6 9,1 36,8 44,65

160
(%)
Pangsa biaya obat terhadap 0,3 0,3 0,1 0,4 0,2 0,3
total pengeluaran (%)
6. Energi (ribu KwH) 426,358 284.448 712.901 572.825 1350.847 2128,869
Laju pertumbuhan /tahun 44,08 38,6 22,8 1,9 53,0 104,1
(%)
Pangsa biaya energi 15,4 11,7 15,5 8,9 16,6 24,3
terhadap total pengeluaran
(%)
Sumber: Data sekunder diolah (2015)

Dari lima periode pengamatan, penggunaan benur tumbuh 53.0% per tahun pada
periode 1994-1998, disusul energi 22.8% per tahun. Hal tersebut diduga karena adanya
upaya intensifikasi, dan pada saat bersamaan juga terjadi serangan penyakit sehingga
pembudidaya berupaya menambah kincir yang menyebabkan biaya pengeluaran untuk
energi dan obat-obatan meningkat. Di lain pihak, laju pertumbuhan pakan bernilai negatif
diduga karena berkurangnya masa pemeliharaan akibat terserang penyakit, dan
berkurangnya penggunaan pakan akibat kenaikan harga pakan pada saat krisis moneter.
Pada periode 2004-2008 pangsa pengeluaran untuk energi meningkat karena
terjadinya kenaikan harga BBM. Pergantian dari udang windu ke udang vaname juga
menyebabkan terjadinya peningkatan padat tebar sehingga pemakaian pakan dan kincir
menjadi lebih banyak. Adapun peningkatan laju pertumbuhan penggunaan obat, diduga
terkait dengan serangan penyakit yang belum dapat sepenuhnya diatasi.

- Perkembangan Produktivitas (Indeks TFP), 1989-2013


Gambar 6 memperlihatkan hasil analisis perkembangan indeks TFP budidaya udang
tambak di Indonesia selama periode 1989-2014. Berdasarkan Gambar 6, diketahui bahwa
selama kurun waktu penelitian (periode 1989-2014), telah terjadi beberapa implementasi
kebijakan/program berkaitan kondisi usaha budidaya udang tambak di Indonesia. Seperti
adanya kegiatan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak melalui SPL-JBIC/INP-23
periode tahun 1999-2002 yang diduga mampu menahan penurunan TFP dari periode
sebelumnya. Pada periode ini ditunjukkan pula Tren indeks TFP yang meningkat, hal ini
diduga di samping karena dukungan rehabilitasi dan pembangunan saluran tambak juga
karena introduksi udang vaname. Namun, pada tahun 2002 indeks TFP kembali menurun
karena serangan penyakit. Setelah periode tahun 2002, indeks TFP secara perlahan
meningkat meskipun masih dalam kondisi fluktuatif. Kondisi seperti ini tampak terus
berlangsung hingga tahun 2014, dan tampak menonjol peningkatannya pada tahun 2006 dan
2011. Hal ini diduga berhubungan dengan dilaksanakannya program revitalisasi pada
periode I (2006-2009) dan periode II sejak tahun 2012 dan masih terus berlangsung hingga
saat ini.

161
Program Udang Intoduksi
Nasional, 1982-1995 Resmi Vaname

Intoduksi Tidak
Resmi Vaname

Inbudkan Protekan

MBV YHV

TSV, WSSV,
IMNV

Irigasi: SPL/JBIC Revitalisasi-1 Revitalisasi-


2

Sumber: Hasil Pengolahan Data (2015)


Gambar 6. Indeks TFP Budidaya Udang Indonesia menurut Harga Konstan Tahun 1989
=100, Selama Era Sisa Kejayaan (1989-1995), Era Penurunan Kinerja (1996-
2005), dan Era Kebangkitan/Revitalisasi (2006-2014)

Secara keseluruhan sejak periode tahun 1989 hingga 2014, tampak kinerja TFP
budidaya udang Indonesia masih belum optimal. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah serangan penyakit yang belum sepenuhnya dapat diatasi, dan
benur belum sepenuhnya bebas penyakit dan bersertifikat. Berdasarkan Gambar 28, tampak
bahwa serangan penyakit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap TFP. Udang tambak
termasuk yang rentan terkena serangan penyakit. Jenis virus yang menyerang tersebut antara
lain: White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious
Myo Necrosis Virus (IMNV). Sebagai ilustrasi, produksi udang tambak tahun 2009 hanya
sebanyak 336.0 ribu ton dari target 540.0 ribu ton, atau turun dari capaian tahun 2008
sebanyak 409.6 ribu ton. Penyebabnya, udang di dua wilayah utama yaitu Lampung dan
Jawa Timur terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh virus. Serangan penyakit
tersebut tidak hanya menyerang udang yang dipelihara oleh tambak perorangan, akan tetapi
termasuk juga perusahaan terintegrasi. Kuantitas produksi perusahaan terintegrasi dibawah
PT. CP Prima Grup, pada tahun 2008 mencapai sekitar 97 ribu ton, sedangkan pada tahun
2009 hanya sekitar 57 ribu ton. Produktivitas udang turun dari 20 ton per Ha menjadi 17- 18
ton per ha.

162
Dari hasil pengamatan lapang, sekitar 70% responden menyatakan faktor yang paling
menentukan keberhasilan budidaya udang adalah terhindarnya dari serangan penyakit.
Responden menyebutkan bahwa rata-rata udang mereka mulai terserang penyakit pada umur
pemeliharaan 30 sampai dengan 60 hari. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi
pengurangan risiko serangan penyakit dilakukan dengan mengganti varietas yang digunakan
dari udang windu ke udang vaname. Upaya lainnya yaitu melalui penurunan padat tebar. Di
samping itu, kemampuan dan akses ke modal untuk pembudidaya skala kecil juga terbatas.
Penerapan teknologi lebih bersifat anjuran dan paket teknologi yang dihasilkan oleh Unit
Pelakaana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan Badan Litbang juga belum
banyak diadopsi oleh pembudidaya karena keterbatasan pembiayaan. Selain itu, kegiatan
pemerintah lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada pembudidaya skala
kecil, dan tidak langsung terkait dengan peningkatan produktivitas karena keterbatasan
anggaran.

Pengaruh Beberapa Kebijakan terhadap Produktivitas Budidaya Udang di


Indonesia

Pengaruh kebijakan terhadap kinerja produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di


Indonesia difokuskan pada tiga buah kebijakan, yaitu: (1) Kebijakan Penguatan Sarana
Infrastruktur Pengairan melalui program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi
tambak yang telah dilakukan bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak
tahun 1999-sekarang; (2) Kebijakan Revitalisasi Tambak Udang Nasional Tahap 1 yang
dilakukan pada tahun 2006-2009 melalui Kerangka Kebijakan Revitalisasi Perikanan
Nasional; dan (3) Kebijakan Revitalisasi Tambak Nasional Tahap 2 yang diimplementasikan
melalui program demfarm (tahun 2012 hingga sekarang). Ketiga kebijakan tersebut
dianalisis pengaruhnya terhadap dinamika produktivitas (TFP) usaha budidaya udang di
Indonesia.
Berdasarkan hasil pengujian pendekatan ITSA tanpa mempertimbangkan interaksi
antarkebijakan yang diduga menggunakan metode pendugaan Kemungkinan Maksimum
(Maximum Likelihood Estimations – MLE), seperti ditunjukkan pada Tabel 5 dapat
diketahui bahwa kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan pada taraf α =5%
berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha
budidaya udang nasional, sedangkan kebijakan Revitalisasi Tahap 1 dan 2 pada taraf α
=10% belum secara nyata mempengaruhi TFP usaha budidaya udang di Indonesia.
Satu dari kekuatan studi menggunakan metode Interrupted Time Series Analysys
(ITSA) adalah diperolehnya gambaran intiutif hasil presentasi secara grafis dan pemeriksaan
secara visual sepanjang waktu sebagai langkah awal ketika dilakukan analisis data time

163
series. Secara visual kita membandingkan pola series waktu sebelum intervensi kebijakan
dengan pola setelah intervensi kebijakan dan kemudian menilai (assess) jika setelah invetsni
kebikjakan, pola series waktu mengalami perubahan secara notisiabel (noticeably) dalam
hubungannya dengan pola kondisi sebelum intervensi kebijakan.

Tabel 5. Hasil Pendugaan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Total Factor
Productivity Usaha Budidaya Udang di Indonesia

Descriptions Coefficient Standart t- P- Significancy


Error statistic value
a. Full segmented regression model
Intercept (β0) 0.2421 0.0748 3.2363 0.0012 ***

Baseline trend (β1) 0.0035 0.0068 0.5164 0.6128 ns


Level change after irrigation 0.3926 0.1572 2.4972 0.0043 ***
rehabilitation policy (β2)

Trend change after irrigation 0.0264 0.0193 1.3684 0.1849 ns


rehabilitation policy (β3)
Level change after first 0.0079 0.0325 0.2417 0.3264 ns
revitalization policy (β4)
Trend change after first 0.0401 0.0642 0.6253 0.7146 ns
revitalization policy (β5)
Level change after second 0.2037 0.4873 0.4181 0.5382 ns
revitalization policy (β6)

Trend change after second 0.0463 0.0611 0.7573 0.8832 ns


revitalization policy (β7)
b. Most parsimonious segmented regression model
Intercept (β0) 0.1985 0.0311 6.3841 0.0001 ***

Level change after irrigation 0.1772 0.0563 3.1473 0.0017 ***


rehabilitation policy (β2)
Level change after first 0.0030 0.0183 0.1652 0.2419 ns
revitalization policy (β4)

Level change after second 0.0069 0.0279 0.2479 0.3361 ns


revitalization policy (β6)
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder (2015)
Keterangan: *** = nyata pada taraf α = 0,01; ** = nyata pada taraf α = 0,05; * = nyata pada taraf α =
0,10; dan ns = tidak nyata

Untuk itu, lihat titik data pada Gambar 6, kita dapat mengetahui adanya titik-titik data
yang menunjukkan kecendenderungan tidak terus menurun, tetapi cenderung meningkat
meskipun pada rentang yang sempit. Seperti titik data pada tahun 1999 yang tampaknya
mengindikasikan adanya pengaruh intervensi kebijakan yang mampu menahan penuruan
TFP usaha budidaya udang Indonesia pada tahun-tahun (titik-titik data) setelahnya.

164
Sementara pada titik-titik data sebelumnya, yaitu sejak tahun 1989 hingga 1989 cenderung
terjadi tren yang menurun akibat adanya tekanan produksi akibat serangan penyakit pada
udang windu dari virus White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV),
dan Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). MBV dan YHV.
Namun sejak adanya intervensi kebijakan rehabilitasi saluran irigasi tambak melalui
program pembangunan dan rehabilitasi saluran irigasi tambak yang telah dilakukan
bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 1999-sekarang yang diikuti
dengan introduksi udang vanamei, tampak tekanan produksi udang di Indoneaia relatif
tertahan, sehingga dapat mendongkrak kinerja indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia
pada tahun-tahun berikutnya. Secara statistik, dengan menggunakan model ekonometrika
ITSA yang diduga berdadsakan metode Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood
Estimations – MLE), diktehaui bahwa perubahan level kebijakan penguatan sarana
infrastruktur pengairan tersebut berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total
Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang nasional, pada taraf α =5% dengan
koefisien parameter sebesar 0,3926. Angka koefisien parameter tersebut berarti bahwa
setiap peningkatan penguatan kebijakan tersebut sebesar 10% akan meningkatkan kinerja
indeks TFP usaha budidaya udang Indonesia sebesar 39,26%. Namun, dalam hal perubahan
tren, kebijakan tersebut pada taraf α =10% tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
kinerja TFP usaha buiddaya udang Indonesia.
Fenome yang serupa dengan pengaruh intervensi kebijakan penguatan sarana irigasi
tambak tersebut juga ditunjukkan oleh pengaruh intervensi kebijakan reviatalisasi budidaya
tambak udang tahap 1 dan tahap 2. Namun, kedua kebijkan tersebut baik pada perubahan
level maupun perubahan tren kebijakan, keduanya pada taraf α =10% tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata. Hal ini diduga karena implementasi kebijakan revitalisasi usaha
budidaya tambak udang di Indonesia belum diimplementasi pada skala yang massif, tetapi
masih terbatas pada beberapa daerah di Indonesia yang dilakukan secara sporadik di
beberapa kecamatan sentra budidaya udang.
Oleh karena itu, pada tingkat nasional pengaruhnya terhadap peningkatan
produktivitas (TFP) udang Indonesia belum memberikan pengaruh yang nyata. Di samping
itu, juga diduga karena berdasarkan hasil pengamatan di lapang masih ditemukan beberapa
hal yang berkontribusi terhadap pengaruh yang tidak nyata tersebut. Hal-hal tersebut,
seperti terkait dengan kurang intensifnya sosialisasi dan monitoring terkait dengan
penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya udang
tambak di Indonesia, dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang
diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah untuk
menjaga keberlanjutannya, dan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia

165
sarana, pihak mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong
percepatan industri budidaya udang di Indonesia.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Dinamika kinerja indeks produktivitas (Total Factor Productivity – TFP) usaha


budidaya udang di Indonesia selam periode 1989 hingga 2013 mengalami kondisi pasang-
surut tetapi masih berada di bawah (belum melampaui) kinerj TFP tahun 1998, serta
diwarnai oleh kondisi yang menghambat kinerja indeks TFP tersebut seperti serangan
penyakit, dan kondisi yang mendukung seperti intervensi berbagai kebijakan yang terkait.
Kebijakan penguatan sarana irigasi tambak yang diimplementasi melalui program
rehabilitasi dan pembangunan saluran pengairan/irigasi tambak udang sejak tahun 1999
hingga sekarang ternyata memberikan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki kinerja
produktivitas (indeks TFP) usaha budidaya udang di Indonesia. Sementara, kebijakan
revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia tahap satu yang diimplementasi pada tahun
2006-2009 maupun tahap dua yang dimplementasi sejak tahun 2012 hingga sekarang
ternyata tidak berpengaruh nyata dalam memperbaiki kinierja produktivitas (indeks TFP)
usaha budidaya udang di Indonesia.

Implikasi Kebijakan

Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di


Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternative kebijakan, yaitu:
(1) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di
Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait
dengan penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi
budidaya udang tambak di Indonesia.
(2) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang
diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah
untuk menjaga keberlanjutannya.
(3) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak
mitra dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan
industri budidaya udang di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

166
Ashok, K.R. dan R. Balasubramanian. 2006. Role of Infrastructure in Productivity and
Diversification of Agriculture. South Asia Network of Economic Research Institutes
(SANEI), Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad, Pakistan.

Aswathy, N., R. Narayanakumar, S.S. Shyam, V.P. Nipinkumar, S. Suriakose, R. Geetha,


and N.K. Harshan. 2013. Total Factor Productivity in Marine Fisheries of Kerala.
Indian, J. Fish., 60(4): 77-80, 2013.

Avila, A.F.D. dan R.E. Evenson. 2004. Total Factor Productivity Growth in Agriculture: the
role of technological capital. Yale University, New Heaven.

Biglan, A., A. Dennid, A.C. Wagenaar. 2000. The Value of Interrupted Time-Series
Experiments for Cummunity Intertvention Research. Prevention Science, Vol. 1.
No. 1, 2000.

Cordero, M. F.J., Fitzgerald, W.J., dan Leung, P.S. 1999. Evaluation of Productivity in
Extensive Aquaculture Practices Using Interspasial TFP Indeks, Sulawesi,
Indonesia. Journal of Asian Fisheries Science. Asian Fisheries Society, Manila,
Philippines. Hal 223-234.

Ditjen Perikanan Budidaya. 2014. Revitalisasi Udang Vaname akan Diperluan. Diunduh
dari Website http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-Vaname-
Akan-Diperluas-- html pada tanggal 24 Februari 2015.

DJPB DKP. 2005. Laporan Survey Udang Tambak Pembudidaya dan Perusahaan Perikanan
Budidaya. Subdit Data dan Statistik Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1989-2008. Statisitik Perikanan Indonesia. Departemen


Pertanian, Jakarta.

DJPB. 2013. Laporan Kegiatan: Revitalisasi Tambak Udang Th. 2012 dan Dampaknya
Terhadap Perkembangan Budidaya Udang Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Kelautan dan Perikanan.

DJPB. 2014. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005—2025.Diunduh dari


website http://www.litbang.pertanian.go.id/special/rppk/ pada tanggal 30 Juni 2015.

DKP. 2005. Revitalization Aquaculture 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan,


Jakarta.

Ehui, S. K. dan Jabbar, M. A. 2002. Measuring Productivity in African Agriculture: A


Survey of Application of the Superlative Indeks Number Approach. Socio-economics
and Policy Resources Working Paper 38. ILRI (International Livestock Research
Institute). Nairobi. Kenya. 22 p.

Evenson, R. E. dan Fuglie, K. O. 2009. Technology Capital: The Price of Admission to the
Growth Club. Makalah dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Ekonomi
Pertanian ke-27. 16-22 Agustus 2009. Beijing.

FAO (Food and Agriculture Organization). 2001. Production, Accessibility, Marketing and
Consumtion Patterns of Freshwater Aquaculture Products in Asia: A Cross-Country
Comparison. FAO. Rome.

167
Fuglie, KO. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture, 1961-2000. 2004. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2.

Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and


Methodology. New Jersey: John Willey and Sons.

Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Iyengar, N.S. dan P. Sudarshan. 1982. A Method of Classifying Regions from


Multivariate data’, Economic and Policy Weekly, Vol. 17 (51), pp: 2048-2052.

Juarno, O. 2011. Daya Saing Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional terkait dengan
Peningkatan Produktivitas dan Mutu. Disertasi IPB. Tidak dipublikasikan. Bogor.

Kiani A.K., M. Iqbal, and T. Javed. 2008. Total Faktor Productivity and Agricultural
Research Relationship: Evidence from Crops Sub-Sector of Pakistan’s Punjab.
European Journal of Scientific Research, 23(1):87-97.

KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2009. Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Tahun 2008. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Kumar. A., Jha, D. and Pandey, U. K. 2005. Total factor productivity of the livestock sector
in India. In: Joshi, P. K., Pal, S., Birthal, P. S. and Bantilan, M. C. S. (Eds.), Impact of
agricultural research: Post-Green Revolution evidence from India. National Centre
for Agricultural Economics and Policy Research, New Delhi, India and International
Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru, Andhra Pradesh,
India, p. 205-216

Kumar P, S Mittal dan M Hossain. 2008. Agricultural Growth Accounting and Total Factor
Productivity in South Asia: A Review and Policy Implications. Agricultural
Economics Research Review. Vol 21 July – December 2008 pp 145 – 172.

Lakitan, B. 2010. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan. Kementerian


Negara Riset dan Teknologi. Tidak dipublikasikan. Jakarta.

Looney RE. 1994. The Impact of Infrastructure on Pakistan’s Agricultural Sector. The
Journal of Developing Areas, 28 (July 1994): 469-486.

Martinez–Cordero F.J, W.J. Fitgerald and PS. Leung. 1999. Evaluation of Productivity in
Extensive Aquaculture Practices Using Interspatial TFP Index, Sulawesi, Indonesia.
Asian Fisheries Science, 12 : 223 – 234. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.

Maulana, M, 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas sebagai
Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal Agro ekonomi, 22(1):74-95.

Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 2005. The Revitalization of Aquaculture 2006—
2009. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries.

Nayak P. 1999. Infrastructure: Its Development and Impact on Agriculture in North-East


India. Journal of Assam University, vol. IV (1): 59-65.

Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta.

168
Piska, R. S. dan Naik, S. J. K. 2005. Fresh Water Aquaculture. Intermediate Vocational
Course State Institute of Vocational Education University College of Science
Osmania University. Hyderabad.

Pusdatin. 2006. Revitalisasi Perikanan 2005. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi
Departemen Kelautan dan Perikanan.

Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted
Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two
Systematic Reviews of Beahviour Change Strategies. International Journal of Health
Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23.

Suparyati, A. 1999. Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi dan Stabilitas Makroekonomi


terhadap Pertumbuhan Total Factor Productivity Indonesia. Thesis Program
Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Squires, D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries:


An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67.
U.S. Department of Commerce.

Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression
Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of
Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309.

Wang, J. J.J., S. Walter, R. Grzebieta, and J. Oliver. 2013. A comparison of Statistical


Methods in Interrupted Time Series Analysis to Estimate an Intervention Effect.
Proceedings of the 2013 Australian Road Safety Research. Policing and Education
Conference 28th – 30th August, Brisbane, Queensland.

Weiping and Ying, (2007); Weiping C and D Ying. 2007. Total Factor Productivity in
Chinese Agriculture: The Role of Infrastructure. 2 (2) : 212 – 223. DOI
10.1007/s11459-007-0011-3, Front, Econ, China.

Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua.
Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.

Yu, B. 2005. Agriculture Productivity and Institutions in Sub-Sahara Africa. Dissertation.


Faculty of The Graduate and the University of Nebrasca. Nebrasca.

169
LAMPIRAN 2

NASKAH REKOMENDASI KEBIJAKAN (RK)

DINAMIKA TOTAL FACTOR PRODUKTIVITY USAHA


BUDIDAYA UDANG INDONESIA PERIODE 1989-2013 DAN
PENGARUH BEBERAPA KEBIJAKAN

Kegiatan Penelitian

KAJIAN EKONOMI REVITALISASI INDUSTRI


BUDIDAYA UDANG

BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI


KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2015

170
REKOMENDASI KEBIJAKAN

PERCEPATAN REVITALISASI INDUSTRI


BUDIDAYA UDANG DI INDONESIA MELALUI
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Oleh:
Tajerin, Estu Sri Luhur, Mira dan Noviardy

RINGKASAN REKOMENDASI

Hasil evaluasi program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh
Ditjen Perikanan Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah
ditentukan masih belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, program
revitalisasi industri budidaya udang kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012
hingga sekarang (2015). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi dan
kinerja program revitalisasi industri budidaya udang masih menghadapi berbagai kendala
terutama terkait dengan peningkatan aspek produktivitas faktor total (Total Factor
Productivity – TFP), di samping itu, kebijakan/program revitalisasi tahap 1 dan 2 masih
belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas (TFP) usaha budidaya
udang tersebut.
Untuk mempercepat revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia, diperlukan
rekomendasi :
(a) Meningkatkan jumlah penerima bantuan program revitalisasi yang diikuti dengan
mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan penguasaan teknologi
anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya tambak udang di
Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah.
(b) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata diselaraskan
program daerah untuk mengurangi ekslufisitas.
(c) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana produksi,
mitra dan sektor perbankan untuk ikut peduli dalam mendorong industri budidaya
udang di Indonesia

ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN

Pemerintah mengimplementasi kebijakan dan program revitalisasi industri budidaya


udang periode 2006—2009 (Tahap I) dilanjutkan 2012-2014 (Tahap II). Hasil evaluasi
program revitalisasi industri udang di Indonesia yang dilakukan oleh Ditjen Perikanan
Budidaya pada tahun 2010 menyatakan bahwa sebagian sasaran yang telah ditentukan masih
belum tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Program revitalisasi industri budidaya udang
kemudian terus dilanjutkan kembali pada tahun 2012 yang diintegrasikan ke dalam program
Industrialisasi Perikanan, khusunya yang dilakukan dengan lebih mengoptimalkan segala
sumberdaya yang dimiliki Indonesia.

171
Program revitalisasi industri budidaya udang di Indonesia masih terkendala oleh
banyak faktor dalam meningkatkan produktivitasnya. Untuk itu, diperlukan penelitian yang
mampu memberikan masukan bahan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat revitalisasi
industri budidaya udang tambak di Indonesia, khususnya melalui peningkatan produktivitas.

Metode Penelitian

Untuk mendukung penyusunan rekomendasi kebijakan perrrcepatan revitalisasi


industri budidaya udang di Indonesia melalui peningkatan produktivitas, diperlukan bahan
masukanan yang dalam hal ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan penelitian dengan
metode peneltian seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Tujuan, Jenis Data, Sumber data, Metode Pengambilan Data dan Metode Analisis
yang digunakan Dalam Penelitian

Metode
Tujuan Jenis data Sumber data Metode analisis
pengambilan data

Menelaah Sekunder - DJPB Desk study Pendekatan Sejarah


dinamika - Instansi terkait dan Ekonomi
produktivitas lainnya menggunakan model
udang dan ITSA (Interpreted
mengkaji peran Time Seires Analysis)
kebijakan
pemerintah

Mengukur kinerja Primer dan - Pembudidaya Pengamatan - Tornqvish Theil


budidaya/produkti Sekunder - Dinas KP Survey Index TFP
vitas dan faktor- - DJPB - Pendekatan
faktor yang - Dinas terkait Ekonometrika Model
mempengaruhinya Regresi Sederhana
serta menganalisis - Model
faktor-faktor Ekonomentrika
penentu Regresi Pilihan
pengambilan Kualitatif (Peluang
keputusan Linier, Probit, dan
pembudidaya Logit).

Temuan Analisis

Hasil olahan data sekunder menunjukkan bahwa pada periode 1983—2013, udang
hasil budidaya memiliki kecenderungan peningkatan produksi, seba-liknya produksi udang
hasil tangkapan memiliki kecenderungan yang makin menurun. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 1.

172
Sumber: Hasil pengolahan data dari sumber DJPB (2015)
Gambar 1. Perkembangan Produksi Udang Hasil Budidaya dan Tangkap di Indonesia
Selama Periode 1983-2013

Kemudian berdasarkan hasil analisis pendekatan sejarah, diketahui bahwa terdapat


sebanyak lima era dinamika budidaya udang: di Indonesia, yaitu:
1) Era Pra dan Awal Budidaya Udang (1964—1970): pengenalan benur, budidaya udang
teknologi tradisional/ekstensif, dan dibangunnya hatchery pertama dan RCU Jepara.
2) Era Perintisan Teknologi Intensif (1971—1981)
3) Era Kejayaan (1982—1995): pemantapan dan komersialisasi budidaya udang (Program
Udang Nasional);
4) Era Penurunan Kinerja (1996—1999): serangan wabah penyakit dan kasus PT Dipasena
sbg suplayer utama dan terbesar Indonesia;
5) Era Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 — sekarang): revitalisasi tambak
idle dan pembukaan tambak baru (Mendorong dari semi intensif menjadi intentisif; atau
dari ekstensif ke semi intensif kemudian menjadi intensif)

Dari kelima era industrialisasi budidaya udang tersebut, bila difokuskan pada kondisi
sisa kejayaan hingga sekarang maka dapat dilihat dinamika/perkembangan kondisi
produktivitas budidaya udang Indonesia yang diukur berdasarkan indeks Total Factor
Productivity (TFP) pendekatan Tornqvish dengan menggunakan rentang waktu sejak tahun
1998 hingga 2013, dapat dilihat berbagai kebijakan yang turut mempengaruhi produktifitas
tersebut serta perkembangan TFP usaha budidaya udang di Indonesia yang belum optimal
selama periode tersebut. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

173
Sumber: Hasil Pengolahan data sekunder dari DJPB (2015)
Gambar 2. Perkembangan Indeks TFP Budidaya Udang Tambak Indonesia menurut Harga
Konstan Tahun 1989 =100 Selama Era Sisa Kejayaan, Era Penurunan Kinerja,
dan Era Kebangkitan/Revitalisasi

Kondisi kinerja TFP yang belum optimal pada usaha budidaya udang di Indonesia
selama periode 1998 hingga 2013, diduga disebabkan beberapa faktor, antara lain:
(1) Serangan penyakit pada kegiatan usaha budidaya udang belum sepenuhnya dapat
diatasi, serta benur belum sepenuhnya bebas penyakit dan bersertifikat.
(2) Kemampuan dan akses ke modal untuk pembudidaya skala kecil juga terbatas.
(3) Penerapan teknologi lebih bersifat anjuran dan paket teknologi yang dihasilkan oleh
Unit Pelakaana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan Badan Litbang
juga belum banyak diadopsi oleh pembudidaya karena keterbatasan pembiayaan.
(4) Kegiatan pemerintah lebih banyak kepada pemberian bantuan langsung kepada
pembudidaya skala kecil, dan tidak langsung terkait peningkatan produktivitas karena
keterbatasan anggaran.

Selama era revitalisasi industri budidaya udang, kebijakan yang pernah dilaksanakan
pada era revitalisasi: program INBUDKAN tahun 2002, Minapolitan Budidaya (2010—
2012), Program Revitalisasi Tahap 1 (2006-2009), Industrialisasi (2012—sekarang) dan
Program Revitalisasi Tambak Nasional – RENAL melalui demfarm (2012—sekarang).
Berdasarkan hasil pengujian pendekatan ITSA (Interrupted Time Series Analysis)
terhadap intervensi kebijakan budidaya udang di Indonesia diketahui bahwa : Hasil
pengujian pendekatan ITSA tanpa mempertimbangkan ineraksi antar-kebijakan yang diduga
menggunakan metode pendugaan Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood
Estimations – MLE), diketahui bahwa kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan
pada taraf α =5% berpengaruh cukup nyata terhadap produktivitas (Total Factor productivity
- TFP) usaha budidaya udang nasional, sedangkan kebijakan Revitalisasi Tahap 1 dan 2 pada
taraf α =10% belum secara nyata mempengaruhi TFP usaha budidaya udang di Indonesia.
Sementara, dengan mempertimbangkan faktor interaksi antar kebijakan, yakni dengan
kebijakan penguatan sarana infrastruktur pengairan/irigasi berupa program rehabilitasi dan

174
pembangunan saluran tambak melalui SPL-JBIC/INP-23 sejak 1999-2002, ternyata
menunjukkan bahwa model tidak dapat dilakukan pendugaan karena mengalami
permasalahan near singular matrix.

Tabel 2. Hasil Pendugaan Pengaruh Beberapa Kebijakan hadap Kinerja TFP Usaha
Budidaya Udang di Indonesia sejak 1998-2013

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder DJPB (2015)

Berbeda dengan kondisi kinerja TFP usaha budidaya udang di tingkat nasional sejak
1998 hingga 2013 yang belumk optimal, ternyata kinerja TFP di tingkat lapang justru
relative lebih baik. Hasil verifikasi pengukuran TFP usaha budidaya udang program
revitalisasi di tingkat lapang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kisaran Angka Indeks TFP Usaha Budidaya Udang di Lokasi Penelitian (Tingkat
Lapang)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)

175
Secara empiris, berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi sederhana
(OLS) seperti ditunjukkan oleh Tabel 4, diketahui bahwa TFP (produktivitas) usaha
budidaya udang di tingkat lapang tersebut dipengaruhi secara nyata pada taraf taraf α = 0,01
oleh faktor: (1) Indeks kualitas benih udang; (2) Indeks kualitas pakan udang; dan (3)
Dummy Kerjasama; dan dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,05 oleh faktor: (1)
Tingkat pengalaman usaha budidaya, (2) Kondisi infrastruktur irigasi, dan (3) Dummy
serangan penyakit. Kemudian dipengaruhi secara nyata pada taraf α = 0,10 oleh faktor: (1)
Tingkat pendidikan formal.

Tabel 4. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi TFP Usaha Budidaya Udang
di Tingkat Lapang (2015)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)

Kemudian Berdasarkan hasil pendugaan menggunakan model regresi pilihan repons


kualitatif LOGIT dengan menggunakan metode ML –Binary diketahui bahwa faktor-faktor
yang berpengaruh nyata terhadap keputusan pembudidaya dalam melakukan revitalisasi
usaha budidaya udang (demfarm) di tingkat lapang pada taraf α = 0,01 adalah (1) Kondisi
infrastruktur irigasi, (2) Dummy penguasaan teknologi/pendampingan, dan (3) Kualitas
bantuan sarana produksi; dan pada taraf α = 0,01 adalah: (1) Ketersediaan benih udang
berkualitas dan terjangkau; (2) Ketersediaan pakan udang berkualitas dan terjangkau; (3)
Tingkat pendidikan formal; serta pada taraf α = 0,10 adalah: (1) Tingkat pengalaman usaha
budidaya udang.

176
Tabel 5. Hasil Pendugaan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembudidaya
Mengikuti Program Revitalisasi Industri Budidaya Udang di Tingkat Lapang
(2015)

Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer (2015)

SIMPULAN ANALISIS

Untuk analisis tingkat nasional, dapat disimpulkan dua hal penting , yaitu sebagai
berikut:
1) Terdapat lima era dinamika budidaya udang di Indonesia, yaitu: (a) Era Pra dan Awal
Budidaya Udang (1964—1970); (b) Era Perintisan Teknologi Intensif (1971—1981); (c)
Era Kejayaan (1982—1995); (d) Era Penurunan Kinerja (1996—1999); dan (e) Era
Revitalisasi/Kebangkitan Budidaya Udang (2000 — sekarang).
2) Kebijakan/Program Revitalisasi di Indonesia belum secara nyata mempengaruhi kinerja
produktivitas (Total Factor productivity - TFP) usaha budidaya udang, sedangkan
kebijakan rehabilitasi pengairan memberikan pengaruh yang nyata.

Kemudian untuk analisis tingkat lapang, dapat disimpulkan tiga hal penting, yaitu
sebagai berikut:
1) Kinerja TFP (produktivitas) usaha budidaya udang di tingkat lapang bervariasi antar
lokasi pengamatan, yaitu berkisar antara 0,81 – 2,67; dengan TFP rata-rata sebesar 1,79

177
yang tergolong cukup baik karena indeks output 1,79 kali lebih besar dari indeks
inputnya.
2) Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap TFP (produktivitas) usaha budidaya
udang di tingkat lapang adalah: indeks mutu benih udang, indeks mutu pakan udang,
pendidikan formal, pengalaman usaha pembudidaya, kondisi infrastruktur irigasi, dummy
serangan penyakit dan dummy kerjasama.
3) Keputusan pembudidaya terkait dengan revitalisasi usaha budidaya ditentukan oleh
faktor: ketersediaan benih udang, ketersediaan pakan, tingkat pendidikan formal,
pengalaman usaha budidaya, kondisi infrastruktur, dummy penguasaan teknologi, dan
bantuan sarana produksi.

ALTERNATIF KEBIJAKAN

1) Untuk mempercepat capaian kinerja program revitalisasi industri budidaya udang di


Indonesia, perlu dilakukan beberapa alternatif kebijakan, yaitu:
2) Meningkatkan jumlah wilayah penerima program revitalisasi budidaya udang tambak di
Indonesia, yang diikuti dengan mengintensifkan sosialisasi dan monitoring terkait dengan
penguasaan teknologi anjuran dan pemanfaatan bantuan program revitalisasi budidaya
udang tambak di Indonesia.
3) Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana secara lebih baik dan nyata yang
diselaraskan dengan program daerah dan disesuaikan dengan kondisi spesifik wilayah
untuk menjaga keberlanjutannya.
4) Meningkatkan keterlibatan pemerintah daerah, pihak swasta penyedia sarana, pihak mitra
dan sektor perbankan untuk lebih berpartisipasi dalam mendorong percepatan industri
budidaya udang di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ashok, K.R. dan R. Balasubramanian. 2006. Role of Infrastructure in Productivity and


Diversification of Agriculture. South Asia Network of Economic Research Institutes
(SANEI), Pakistan Institute of Development Economics, Islamabad, Pakistan.

Aswathy, N., R. Narayanakumar, S.S. Shyam, V.P. Nipinkumar, S. Suriakose, R. Geetha,


and N.K. Harshan. 2013. Total Factor Productivity in Marine Fisheries of Kerala.
Indian, J. Fish., 60(4): 77-80, 2013.

Avila, A.F.D. dan R.E. Evenson. 2004. Total Factor Productivity Growth in Agriculture: the
role of technological capital. Yale University, New Heaven.

Bourgeois, R and F. Jesus. 2004. Participatory Proepective Analysis, Exploring and


Anticipating Chalanges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty
through Secondary Crops Development in Asia and The Pacific and French
Agricultural Research center for International development. Monograph (46): 1-29.

178
Biglan, A., A. Dennid, A.C. Wagenaar. 2000. The Value of Interrupted Time-Series
Experiments for Cummunity Intertvention Research. Prevention Science, Vol. 1.
No. 1, 2000.

Cordero, M. F.J., Fitzgerald, W.J., dan Leung, P.S. 1999. Evaluation of Productivity in
Extensive Aquaculture Practices Using Interspasial TFP Indeks, Sulawesi,
Indonesia. Journal of Asian Fisheries Science. Asian Fisheries Society, Manila,
Philippines. Hal 223-234.

Crespi, V dan A. Coche. 2008. Glossary of Aquaculture. Food and Agriculture Organization.
Rome.

Diop, H., R.W. Harrison, and W.R. Keithly, Jr. 1999. Impact of Increasing Imports on the
United States Southeastern Region Shrimp Processing Industri 1973-1996. Selected
paper for Presentation at the August 8-11 Annual Meeting of the American
Agricultural Economics Association in Nashville, Tennessee.

Durance, P., and M. Godet. 2010. Scenaerion Building: Uses and Abuses.
Technol.Forecast.Sos. Change, 77: 1488-1492.

Ditjen Perikanan Budidaya. 2014. Revitalisasi Udang Vaname akan Diperluan. Diunduh
dari Website http://www.neraca.co.id/industri/27307/Revitalisasi-Udang-Vaname-
Akan-Diperluas-- html pada tanggal 24 Februari 2015.

DJPB DKP. 2005. Laporan Survey Udang Tambak Pembudidaya dan Perusahaan Perikanan
Budidaya. Subdit Data dan Statistik Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan. 1989-2008. Statisitik Perikanan Indonesia. Departemen


Pertanian, Jakarta.

DJPB. 2013. Laporan Kegiatan: Revitalisasi Tambak Udang Th. 2012 dan Dampaknya
Terhadap Perkembangan Budidaya Udang Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya Kelautan dan Perikanan.

DJPB. 2014. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005—2025.Diunduh dari


website http://www.litbang.pertanian.go.id/special/rppk/ pada tanggal 30 Juni 2015.

DKP. 2005. Revitalization Aquaculture 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan,


Jakarta.

Ehui, S. K. dan Jabbar, M. A. 2002. Measuring Productivity in African Agriculture: A


Survey of Application of the Superlative Indeks Number Approach. Socio-economics
and Policy Resources Working Paper 38. ILRI (International Livestock Research
Institute). Nairobi. Kenya. 22 p.

Evenson, R. E. dan Fuglie, K. O. 2009. Technology Capital: The Price of Admission to the
Growth Club. Makalah dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Ekonomi
Pertanian ke-27. 16-22 Agustus 2009. Beijing.

FAO (Food and Agriculture Organization). 2001. Production, Accessibility, Marketing and
Consumtion Patterns of Freshwater Aquaculture Products in Asia: A Cross-Country
Comparison. FAO. Rome.

179
Fuglie, KO. 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture, 1961-2000. 2004. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, Vol. 40, No. 2.

Geoffrey, M., D.DeMatteo, D.Festinger. 2005. Essentials of Research Design and


Methodology. New Jersey: John Willey and Sons.

Gottschalk, L. 1975/ Pengantar Metode Sejarah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Iyengar, N.S. dan P. Sudarshan. 1982. A Method of Classifying Regions from


Multivariate data’, Economic and Policy Weekly, Vol. 17 (51), pp: 2048-2052.

Juarno, O. 2011. Daya Saing Udang Tambak Indonesia di Pasar Internasional terkait dengan
Peningkatan Produktivitas dan Mutu. Disertasi IPB. Tidak dipublikasikan. Bogor.

Kiani A.K., M. Iqbal, and T. Javed. 2008. Total Faktor Productivity and Agricultural
Research Relationship: Evidence from Crops Sub-Sector of Pakistan’s Punjab.
European Journal of Scientific Research, 23(1):87-97.

KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 2009. Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Tahun 2008. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Kumar. A., Jha, D. and Pandey, U. K. 2005. Total factor productivity of the livestock sector
in India. In: Joshi, P. K., Pal, S., Birthal, P. S. and Bantilan, M. C. S. (Eds.), Impact of
agricultural research: Post-Green Revolution evidence from India. National Centre
for Agricultural Economics and Policy Research, New Delhi, India and International
Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru, Andhra Pradesh,
India, p. 205-216

Kumar P, S Mittal dan M Hossain. 2008. Agricultural Growth Accounting and Total Factor
Productivity in South Asia: A Review and Policy Implications. Agricultural
Economics Research Review. Vol 21 July – December 2008 pp 145 – 172.

Lakitan, B. 2010. Kontribusi Teknologi dalam Pencapaian Ketahanan Pangan. Kementerian


Negara Riset dan Teknologi. Tidak dipublikasikan. Jakarta.

Looney RE. 1994. The Impact of Infrastructure on Pakistan’s Agricultural Sector. The
Journal of Developing Areas, 28 (July 1994): 469-486.

Mangkusubroto, K. dan Trisnadi C.L. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan
Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. 271 hlm.

Marzuki, 2002. Metodoligi Riset, Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta.

Martinez–Cordero F.J, W.J. Fitgerald and PS. Leung. 1999. Evaluation of Productivity in
Extensive Aquaculture Practices Using Interspatial TFP Index, Sulawesi, Indonesia.
Asian Fisheries Science, 12 : 223 – 234. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.

Masyarakat Akuakultur Indonesia. 2012. Revitalisasi Tambak Pantura Jangan Karena Asal
Kebut Produksi. Diunduh dari Website
hhttp://regional.kompasiana.com/2012/12/11/revitalisasi-tambak-pantura-jangan-
karena-asal-kebut-produksi.html. pada tanggal 24 Februari 2015.

Maulana, M, 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas sebagai
Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia. Jurnal Agro ekonomi, 22(1):74-95.

180
Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 2005. The Revitalization of Aquaculture 2006—
2009. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries.

Nanga, Muana. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Perdana.
Rajawali Press. Jakarta.

Nayak P. 1999. Infrastructure: Its Development and Impact on Agriculture in North-East


India. Journal of Assam University, vol. IV (1): 59-65.

Nazir, M.. 2003. Metode Ilmiah. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta. Tiara Wacana.

Piska, R. S. dan Naik, S. J. K. 2005. Fresh Water Aquaculture. Intermediate Vocational


Course State Institute of Vocational Education University College of Science
Osmania University. Hyderabad.

Purnomo, A.H., S.H. Suryawati, Hikmah, dan Y. Hikmayani. 2011. Minapolitan: Konsep,
Pengembangan dan Aplikasinya dalam Revitalisasi Perikanan. Jakarta: Balai Besar
Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. 124 hal.

Pusdatin. 2006. Revitalisasi Perikanan 2005. Jakarta: Pusat Data, Statistik dan Informasi
Departemen Kelautan dan Perikanan.

Ramsay, C.R., L. Matowe, R. Grilli, J.M. Grimshaw, and R.E. Thomas. 2003. Interrupted
Time Series Designs in Health Technology Assesment: Lessons From Two
Systematic Reviews of Beahviour Change Strategies. International Journal of Health
Technology Assesment in Health Care; 19: 613-23.

Rogers, E.M. dan F.F. Shoemaker. 1987. Communication of Innonvations. New York
(US). The Free Press.

Syamsudin, H. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Suparyati, A. 1999. Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi dan Stabilitas Makroekonomi


terhadap Pertumbuhan Total Factor Productivity Indonesia. Thesis Program
Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Squires, D. 1988. Index Number and Productivity Measurement in Multispecies Fisheries:


An Application to the Pacific Coast Trawl Feet. NOAA Technical Report NMFS 67.
U.S. Department of Commerce.

Wagner, A.K., S.B. Soumerai, F. Zhang and D. Ross-Degnan. 2002. Segmented Regression
Analysis Of Interrupted Time Series Studies In Medication Use Research. Journal of
Clinical Pharmacy and Therapeutics (2002) 27, 299–309.

Wang, J. J.J., S. Walter, R. Grzebieta, and J. Oliver. 2013. A comparison of Statistical


Methods in Interrupted Time Series Analysis to Estimate an Intervention Effect.
Proceedings of the 2013 Australian Road Safety Research. Policing and Education
Conference 28th – 30th August, Brisbane, Queensland.

181
Weiping and Ying, (2007); Weiping C and D Ying. 2007. Total Factor Productivity in
Chinese Agriculture: The Role of Infrastructure. 2 (2) : 212 – 223. DOI
10.1007/s11459-007-0011-3, Front, Econ, China.

Widarjono, A. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisis Kedua.
Penerbit Ekonisia. Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta.

Yu, B. 2005. Agriculture Productivity and Institutions in Sub-Sahara Africa. Dissertation.


Faculty of The Graduate and the University of Nebrasca. Nebrasca.

182

Anda mungkin juga menyukai