Anda di halaman 1dari 51

SEDIAAN ANTIMALARIA BERBASIS NANOPARTIKEL

KITOSAN DARI EKSTRAK METANOL DAUN


Cassia fistula DAN BUAH Duranta repens

DHIAN EKA WIJAYA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sediaan Antimalaria


Berbasis Nanopartikel Kitosan dari Ekstrak Metanol Daun Cassia fistula dan
Buah Duranta repens adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

Dhian Eka Wijaya


NIM G451120021
iv

RINGKASAN

DHIAN EKA WIJAYA. Sediaan Antimalaria Berbasis Nanopartikel Kitosan dari


Ekstrak Metanol Daun Cassia fistula dan Buah Duranta repens. Dibimbing oleh
PURWANTININGSIH SUGITA, GUSTINI SYAHBIRIN, dan RITA
MARLETA DEWI.

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit darah protozoa genus
Plasmodium yang menginfeksi sel darah merah. Indonesia merupakan salah satu
daerah endemik penyakit malaria dengan angka kejadian penyakit yang cukup
tinggi (terutama di daerah Indonesia Timur). Masalah yang dihadapi dalam
pengobatan malaria adalah resistensi penyakit terhadap obat malaria yang tersedia
di pasaran. Oleh karena itu, pencarian obat antimalaria yang lebih baik masih
perlu dilakukan. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah memanfaatkan
tanaman yang memiliki khasiat antimalaria sebagai obat, seperti trengguli (Cassia
fistula) dan sinyo nakal (Duranta repens). Strategi lain yang perlu dikembangkan
adalah melakukan rekayasa fitofarmaka dalam bentuk nanopartikel sebagai sistem
pengantar obat dengan menggunakan kitosan.
Tujuan penelitian ini adalah sintesis nanopartikel kitosan ekstrak metanol
daun C. fistula dan buah D. repens sebagai antimalaria dan menentukan IC50
nanopartikel secara in vitro. Pada penelitian ini, ekstrak metanol daun C. fistula
dan buah D. repens sebagai model obat yang disalut menggunakan kitosan.
Nanopartikel ini disintesis menggunakan metode gelasi ionik yang memanfaatkan
natrium tripolifosfat sebagai penaut silang; serta asam oleat dan poloxamer 188
sebagai surfaktan. Pemecahan partikel dan homogenisasi nanopartikel berturut-
turut menggunakan metode sonikasi dan sentrifugasi. Penentuan ukuran
nanopartikel dilakukan menggunakan metode Particle Size Analyzer.
Surfaktan adalah salah satu komponen penting yang perlu diperhatikan
dalam proses sintesis nanopartikel, baik dari jenis dan konsentrasi surfaktan,
karena surfaktan dapat mengendalikan ukuran, sifat, dan stabilitas suspensi
nanopartikel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sintesis nanopartikel
menggunakan surfakan poloxamer 188 menghasilkan ukuran nanopartikel yang
lebih kecil dengan distribusi ukuran yang lebih sempit dibandingkan
menggunakan surfaktan asam oleat. Sintesis nanopartikel kitosan ekstrak metanol
daun C. fistula dan buah D. repens menggunakan metode gelasi ionik
menghasilkan partikel dengan ukuran 80-475 nm. IC50 formula BCP dan dan BDP
berturut-turut sebesar 0.004 dan 0.08 µg/mL, yang menunjukkan formula tersebut
berpotensi sebagai antiplasmodium.

Kata kunci: antimalaria, Cassia fistula, Duranta repens, kitosan, malaria


SUMMARY

DHIAN EKA WIJAYA. Antimalarial drugs based on chitosan nanoparticles of


Cassia fistula leaves and Duranta repens fruits methanol extract. Supervised by
PURWANTININGSIH SUGITA, GUSTINI SYAHBIRIN, and RITA
MARLETA DEWI

Malaria is a disease caused by blood parasite protozoa of genus


Plasmodium that infect red blood cells. Indonesia is one of malaria endemic areas
which has quite high number of cases (especially in eastern Indonesia). Problems
faced by malaria treatment is the disease’s resistance towards commercial
antimalarial drugs. Thus, the search for the ultimate antimalarial agent is still in
motion. One alternative is to utilize herbal plants such as trengguli (Cassia
fistula) and sinyo nakal (Duranta repens). Another strategy is phytopharmaca
engineering by forming nanoparticle of chitosan as drug delivery system.
The purpose of this study is to synthesize chitosan nanoparticles of C. fistula
leaves and D. repens fruit methanol extract as antimalarial drug and to determine
it’s in vitro IC50 values. In this research, C. fistula leaves and D. repens fruits
methanol extract as a drug model were coated using chitosan. These
nanoparticles are synthesized using ionic gelation method that utilizes sodium
tripolyphosphate as the cross-linker; as well as oleic acid and poloxamer 188 as
the surfactant. Size degradation and homogenization processes were done using
sonication and centrifugation.
Surfactant is one of the important components that need careful attention in
the nanoparticle synthesis process. The result showed that the synthesis of
nanoparticle using poloxamer 188 gives smaller particle size with narrower size
distribution. Synthesis of chitosan nanoparticles of C. fistula leaves and D. repens
fruit methanol extract by ionic gelation produced nanoparticles with size range
80-475 nm. IC50 of BCP and BDP formulas are, respectively, 0.004 and 0.08
mg/mL, which indicates that these formulas have potential to be antiplasmodium
drugs.

Keywords: antimalarial, Cassia fistula, Duranta repens, chitosan, malaria


vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i

SEDIAAN ANTIMALARIA BERBASIS NANOPARTIKEL


KITOSAN DARI EKSTRAK METANOL DAUN
Cassia fistula DAN BUAH Duranta repens

DHIAN EKA WIJAYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Laksmi Ambarsari, MS


iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul karya
ilmiah ini ialah Sediaan Antimalaria Berbasis Nanopartikel Kitosan dari Ekstrak
Metanol Daun Cassia fistula dan buah Duranta repens.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Purwantiningsih Sugita, MS,
Dr Dra Gustini Syahbirin, MS, dan drh Rita Marleta Dewi, MKes selaku
pembimbing yang telah banyak memberi semangat, saran, dan arahan dengan
sabar dan ikhlas selama penelitian hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Terima
kasih kepada Prof Dyah Iswantini, MScAgr selaku Ketua Program Studi S2
Kimia, moderatur dan penguji selama kolokium, seminar serta ujian akhir; serta
Ibu Dr Laksmi Ambarsari, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberikan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Ayahanda Sakip, Ibunda Nemi Laynah, Rike Dwi Jayanti,
Ahmad Kurniawan, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada, Andi Adriani Wahditiya,
Luthfan Irfana, Andriawan Subekti, Nurmaida, Wahyu Aji Setianto, Dewi, staf
tenaga kependidikan Laboratorium Organik Departemen Kimia Institut Pertanian
Bogor yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 2016

Dhian Eka Wijaya


v

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE PENELITIAN 3
Alat dan Bahan 3
Ekstraksi Tanaman 4
Analisis Kadar Air (AOAC 2007) 4
Analisis Kadar Abu (AOAC 2007) 4
Penentuan Bobot Molekul Kitosan (Tarbojevich & Cosani 1996) 5
Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan (Baxter et al. 1992) 5
Rekayasa formula nanopartikel (Sugita et al. 2013) 6
Uji aktivitas antimalaria secara in vitro 6
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Ekstraksi buah daun C. fistula dan D. repens 8
Hasil Karakterisasi Kitosan 8
Sediaan nanopartikel kitosan ekstrak metanol daun C. fistula dan
buah D. repens 10
Pengaruh jenis surfaktan terhadap ukuran nanopartikel kitosan
ekstrak D. repens 11
Pengaruh konsentrasi ekstrak D. repens terhadap ukuran
nanopartikel 14
Hasil enkapsulasi kitosan-ekstrak C. fistula 16
Hasil uji in vitro sediaan nanopartikel kitosan ekstrak metanol
daun C. fistula dan buah D. repens 17
4 SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 24
vi

DAFTAR TABEL
1 Komposisi formula nanopartikel kitosan ekstrak herbal 6
2 Sifat fisiokimia kitosan Biotech Surindo 9
3 Laju pertumbuhan P. falciparum fraksi ekstrak metanol C. fistula dan
D. repens. 19

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kitosan (x≥50%) 8
2 Tipe pemuatan obat dalam nanopartikel (Tiyaboonchai 2003) 10
3 Interaksi kitosan-tripolifosfat (a) deprotonasi (b) taut silang ionik 10
4 Persiapan nanopartikel kitosan-tripolifosfat (Tripathy et al. 2012) 11
5 Struktur kimia (a) poloxamer 188 (a = 80, b = 27) dan (b) asam oleat 11
6 Hasil turbiditas (A) kelompok I (formula ADA, BDA, dan PDA) dan
(B) kelompok II (formula ADP, BDP, dan PDP) pada setiap tahap
perlakuan 12
7 Rerata ukuran nanopartikel (A) dan IP (B) pada kelompok I (formula
ADA, BDA, dan PDA) dan II (ADP, BDP, dan (PDP) 13
8 Proses terjadinya hamburan berganda 14
9 Hasil turbiditas (A) kelompok II (formula ADP, BDP, dan PDP) dan
(B) kelompok III (formula AD, BD, dan PD) pada setiap tahap
perlakuan 15
10 Rerata ukuran nanopartikel (A) dan IP (B) pada kelompok II (formula
ADP, BDP, dan PDP) dan III (formula AD, BD, dan PD) 15
11 Hasil turbiditas kelompok IV (formula AC, BC, dan PC) pada setiap
tahap perlakuan 16
12 Rerata ukuran nanopartikel (A) dan IP (B) pada kelompok IV (formula
AC, BC, dan PC) 17
13 Grafik pertumbuhan parasit P. falciparum formula BDP (M0 = 8
mg/ml) dan BCP (M0 = 4 mg/ml) 18
14 Grafik pertumbuhan parasit P. falciparum dengan surfaktan yang
berbeda (A) sampel D. repens (BDA dan BDP, M0 = 8 mg/mL ) dan
(B) sampel C. fistula (BCA dan BCP, M0 = 4 mg/mL) 19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian 24
2 Karakterisasi kitosan 25
3 Sertifikat analisis kitosan Biotech Surindo 28
4 Hasil pengukuran turbiditas setiap formula pada awal sintesis, setelah
sonikasi dan setelah sentrifugasi 28
5 Hasil analisis PSA nanopartikel kitosan-ekstrak metanol daun Cassia
fistula dan buah Duranta repens 29
6 Hasil uji in vitro 38
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit darah protozoa genus
Plasmodium yang menginfeksi sel darah merah. Ada 4 spesies Plasmodium yang
menjadi penyebab malaria pada manusia, yaitu Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Parasit ini
masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang
telah terinfeksi. Penularan penyakit ini juga dapat terjadi melalui transfusi darah
atau ditularkan dari ibu ke janin yang dikandungnya (Depkes 2009). Selama tahun
2015, diperkirakan terdapat 214 juta kasus (kisaran ketidakpastian: 149-300 juta)
dan 438.000 kematian (236.000-635.000) yang disebabkan penyakit ini
(WHO 2015a). Malaria juga masih menjadi penyakit endemik di lebih dari 90
negara, terutama pada negara berkembang (Sanchez et al. 2004). Indonesia
merupakan salah satu negara yang menjadi daerah endemik penyakit ini (terutama
di daerah Indonesia Timur). Jumlah kasus malaria di Indonesia pada tahun 2013
diperkirakan sebanyak 3.200.000–5.300.000 dengan jumlah kematian
diperkirakan sebanyak 540-12.000 kematian terjadi di Indonesia (WHO 2015b).
Oleh karena itu, malaria masih menjadi masalah kesehatan masyarakat akut yang
perlu diperhatikan.
Masalah yang dihadapi saat ini dalam pengobatan penyakit malaria adalah
resistensinya terhadap obat malaria yang tersedia di pasaran, seperti kuinin,
klomkuin, sulfadoksin, primetamin, kina, amodiakuin, meflokuin, dan halofantrin
(Sugita 2001). Ada 2 spesies Plasmodium utama yang ditemukan di Indonesia,
yaitu P. falcifarum (57%) dan P. vivax (43%) (WHO 2015b). Resistensi
P. falciparum di Indonesia ditemukan pertama kali pada tahun 1973 di
Kalimantan Timur, dan pada tahun 1990 resistensi telah meluas hingga ke seluruh
Indonesia. Selain itu, dilaporkan juga adanya kasus resistensi P. falcifarum
terhadap sulfadoksin-pirimetamin di beberapa tempat di Indonesia (Depkes 2008).
Keadaan seperti ini jika tidak segera diatasi dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas akibat penyakit malaria. Oleh karena itu, pencarian alternatif obat
malaria masih perlu dilakukan.
Malaria di Indonesia tersebar di seluruh wilayah dengan prevalensi parasit
yang berbeda-beda. Daerah yang sulit terjangkau secara geografis oleh tenaga
medik, yaitu daerah Indonesia Timur memiliki prevalensi parasit yang lebih tinggi
dibandingkan daerah lainnya. Oleh karena itu, diperlukan alternatif obat yang
mudah ditemukan dan terdapat di alam. Indonesia memiliki keanekaragaman
hayati tertinggi di dunia, yaitu mencapai 11% spesies tanaman yang terdapat di
permukaan bumi dan telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional.
Bahkan sampai saat ini, WHO memperkirakan sekitar 80% penduduk dunia masih
menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional dan seperempat dari obat-
obat modern yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan
dikembangkan dari tanaman (Radji 2005). Hal ini menegaskan bahwa Indonesia
merupakan negara yang sangat potensial dalam mengembangkan obat herbal
antimalaria. Tanaman yang secara empiris masih terus digunakan sebagai obat
herbal antimalaria, adalah daun Cassia fistula dan buah Duranta repens.
2

C. fistula merupakan tanaman dari family Facaceae, yang tumbuh di


berbagai belahan dunia, seperti Asia, Afrika Selatan, Cina, India Barat, dan Brazil
(Prashant et al. 2006). Bagian tanaman yang digunakan secara tradisional dalam
pengobatan penyakit malaria adalah bagian daunnya. Beberapa penelitian telah
melaporkan bahwa ekstrak daun C. fistula memiliki potensi sebagai obat malaria.
Govindarajan et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak metanol daun C. fistula
memiliki nilai LC50 sebesar 17.97 mg/L untuk larva Anopheles stephensi.
Grace et al. (2012) melaporkan bahwa ekstrak kloroform daun C. fistula memiliki
nilai IC50 sebesar 12.3 µg/mL untuk parasit P. falciparum strain D10. Pada
penelitian yang sama, Grace et al. (2012) berhasil mengisolasi senyawa fitol,
lutein, dan dilineolil galaktopiranosil gliserol yang secara berturut-turut memiliki
kemampuan dalam menghambat pertumbuhan P. falciparum strain D10 dengan
nilai IC50 sebesar 18.9 ± 0.60, 12.5 ± 0.35, 5.8 ± 0.27 µM.
D. repens merupakan salah satu dari 35 spesies tanaman dari genus Duranta
yang tersebar di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia (Ahmed et al. 2009).
Bagian tanaman ini yang digunakan secara empiris dalam mengobati penyakit
malaria adalah bagian buahnya. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa
ekstrak buah D. repens memiliki potensi sebagai obat malaria dan anti larvasida.
Nikkon et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak etanol buah D. repens memiliki
nilai LC50 sebesar 8.51 ppm pada instar I larva Culex quinquefasciatus. Nuri et al.
pada tahun 2009 melakukan uji in vivo menggunakan mencit jantan galur Balb-C
untuk ekstrak metanol dan kloroform buah D. repens, dan memberikan nilai IC50
berturut-turut sebesar 47.2 dan 38.9 mg/kg BB. Wulandari (2008) melaporkan
bahwa fraksi kloroform dari ekstrak metanol buah D. repens mampu menghambat
pertumbuhan P. berghei dengan nilai IC50 sebesar 41.125 mg/kgbb.
Strategi lain yang perlu dikembangkan selain pemanfaatan tanaman obat
yang ada di alam adalah pemakaian obat melalui terapi kombinasi. Hal ini
dilakukan dalam upaya menekan resistensi parasit malaria terhadap obat malaria.
Bentuk sediaan obat yang diusulkan dalam penelitian ini adalah rekayasa
fitofarmaka dalam bentuk nanopartikel sebagai sistem pengantaran obat dengan
menggunakan biopolimer. Biopolimer yang banyak digunakan dalam sistem ini
adalah kitosan. Hal ini dikarenakan kitosan memiliki sifat mudah terdegradasi,
biokompatibel, tidak beracun, memiliki aktivitas antibakteri, mukoadesif, dan
mudah diperoleh (Ru et al. 2009). Selain itu, bentuk sediaan nanopartikel
mempunyai sifat fisika-kimiawi yang unik, yaitu ukuran partikel yang sangat
kecil, rasio luas permukaan terhadap massa besar, dan reaktivitasnya lebih tinggi
dibandingkan dengan bulk material pada pemakaian komposisi yang sama. Sifat-
sifat inilah yang dapat digunakan untuk menghadapi keterbatasan yang ditemukan
dalam pengobatan tradisional dan diagnostik. Rekayasa partikel dalam bentuk
nano dalam sistem pengantaran obat juga memiliki berbagai keunggulan lainnya,
seperti memperbaiki kelarutan obat dalam air, memperpanjang waktu paruh obat
pada sirkulasi sistemik melalui penurunan imunogenisitas, menghantarkan obat
pada sasarannya sehingga mengurangi efek samping sistemik, dan mampu
menghantarkan dua atau lebih obat secara simultan untuk terapi kombinasi guna
membangkitkan efek sinergis obat.
WHO pada tahun 2006 menyatakan bahwa negara-negara endemik
P. falciparum telah memperbarui kebijakan pengobatan dari klorokuin dan
sulfadoksin-pirimetamin ke pengobatan yang direkomendasikan, yaitu terapi
3

kombinasi berbasis artemisinin. Metode ini merupakan pengobatan terkini dan


terbaik untuk penyakit malaria P. falciparum. Sayangnya, penerapan kebijakan ini
terhambat oleh beberapa faktor, salah satunya dikarenakan kendala biaya
(WHO 2015a). Oleh karena itu, diharapkan melalui pembuatan sediaan ekstrak
metanol daun C. fistula dan buah D. repens yang memanfaatkan kitosan sebagai
sistem pengantaran obat dalam bentuk nanopartikel dapat menjadi alternatif
pengobatan malaria.
Pada penelitian ini akan dibuat nanopartikel kitosan ekstrak daun C. fistula
dan buah D. repens dengan natrium tripolifosfat sebagai penaut silang serta asam
oleat dan poloxamer 188 sebagai surfaktan. Metode yang digunakan dalam
sintesis sedian obat ini adalah metode ultrasonikasi. Formulasi yang digunakan
mengacu pada 3 formula terbaik dari Sugita et al. (2013). Selanjutnya, dilakukan
penentuan nilai IC50 untuk menentukan aktivitas formula terhadap parasit malaria
P. falciparum strain 3D7.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sintesis nanopartikel kitosan ekstrak metanol


daun C. fistula dan buah D. repens sebagai antimalaria serta penentuan IC50
nanopartikel secara in vitro.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah meningkatkan kemampuan daun C. fistula dan


buah D. repens dalam mengobati penyakit malaria dan membuat sediaan obat
yang memanfaatkan kedua tanaman ini sebagai alternatif pengobatan malaria.
Selain itu, diharapkan sediaan antimalaria berbasis nanopartikel kitosan dari
ekstrak metanol daun C. fistula dan buah D. repens mampu mengatasi/menekan
masalah resistensi malaria terhadap obat malaria, sehingga pengobatan yang
efektif dapat dicapai.

2 METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Alat-alat analitis yang digunakan adalah FTIR jenis Perkin Elmer seri
SpectrumOne, High Speed Centrifuge Sorvall RC 5B Plus, PSA Delsa Nano C,
High Intensity Ultrasonik Prosesor Cole Palmer 130 Watt 20 kHz Jenis Probe CV
18, turbidimeter jenis 2100P, membrane milipore, viskometer Otswald dan alat-
alat gelas.
Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel daun C. fistula yang
diperoleh dari Kebun Raya Bogor, buah D. repens yang dikumpulkan dari
Kabupaten Jombang, metanol, n-heksana, kalium hidroksida, etil asetat, aseton,
asam asetat, etanol, kitosan Biotech Surindo, asam oleat, poloxamer 188, sodium
4

tripolyphosphate (STPP), RPMI, hepes, gentamisin, NaHCO3, NaCl, hematokrit,


sorbitol, serum manusia, DMSO, Giemsa, dan parasit P. falciparum strain 3D7.

Ekstraksi Tanaman

Sampel daun C. fistula dan buah D. repens dibersihkan, selanjutnya


dikering-anginkan dan dihaluskan menggunakan blender. Serbuk sampel
dimaserasi menggunakan pelarut n-heksana selama 24 jam untuk mengekstrak
lemak dan fraksi nonpolar. Filtrat kemudian disabunkan menggunakan
KOH 0.5 N sehingga terbentuk 2 lapisan. Fraksi n-heksana dipisahkan, sedangkan
residu hasil ekstraksi dimaserasi kembali menggunakan metanol sebanyak 3 kali
ulangan, masing-masing selama 24 jam. Ekstrak metanol dikumpulkan dan
dipekatkan dengan penguap putar. Ekstrak metanol kemudian dihilangkan
kandungan klorofil dan taninnya. Tahap yang dilakukan dalam proses ini sebagai
berikut:
- Penghilangan klorofil dan tanin ekstrak metanol C. fistula (Irwanto 2014).
Kandungan klorofil ekstrak metanol C. fistula dihilangkan dengan cara,
ekstrak direndam dalam metanol-air (1:1) selama 24 jam, kemudian filtrat
metanol dipisahkan dari endapan klorofil dengan penyaringan gravitasi,
proses ini dilakukan 3 kali ulangan. Kandungan tanin dihilangkan melalui
ekstraksi cair-cair menggunakan etil asetat sebanyak 3 kali ulangan. Lapisan
air (bawah) mengandung tanin, sedangkan lapisan etil asetat (atas) merupakan
ekstrak metanol daun C. fistula bebas klorofil dan tanin. Lapisan etil asetat
kemudian dipekatkan dengan penguap putar.
- Penghilangan tanin ekstrak metanol D. repens (Januar 2014). Ekstrak pekat
dicampurkan dengan metanol hingga larut sempurna, kemudian larutan
tersebut ditambahkan dengan aseton, dan di aduk. Ekstrak yang larut dengan
aseton merupakan ekstrak metanol bebas tanin. Ekstrak ini kemudian
dipekatkan dengan penguap putar.

Analisis Kadar Air (AOAC 2007)

Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105°C selama 30 menit kemudian


didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 1 g kitosan dimasukkan ke
dalam cawan dan dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam, kemudian
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Pengeringan dan penimbangan
diulang setiap jam sampai diperoleh bobot konstan. Kadar air kitosan dihitung
dengan persamaan berikut:
bobot kitosan awal - bobot kitosan kering
Kadar air = ×100%
bobot kitosan awal

Analisis Kadar Abu (AOAC 2007)

Cawan porselen yang bersih dan kering dimasukkan ke dalam tanur untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran yang menempel di cawan. Setelah didinginkan
5

dalam eksikator, cawan ditimbang. Sebanyak 1 g kitosan dimasukkan ke dalam


cawan tersebut dan dipanaskan sampai tidak berasap, kemudian dibakar dalam
tanur pada suhu 600°C selama 2 jam sampai diperoleh abu. Cawan berisi abu
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Kadar abu kitosan dihitung dengan
persamaan berikut:
bobot abu kitosan
Kadar abu = ×100%
bobot kitosan awal

Penentuan Bobot Molekul Kitosan (Tarbojevich & Cosani 1996)

Sebanyak 0.2500 g kitosan dilarutkan dalam 250 mL asam asetat 0.5 M.


Larutan ini dianggap sebagai larutan induk. Kemudian dari larutan tesebut dibuat
larutan dengan ragam konsentrasi 0.2; 0.4; 0.6; dan 0.8 M. Diambil sebanyak 5 ml
larutan dari pelarut, konsetrasi terendah hingga konsentrasi tertinggi dan
dimasukkan ke dalam viskometer Otswald untuk ditentukan waktu alirnya.
Viskositas relatif  r   0  t t 0
Viskositas intrinsik     sp c c0
Viskositas spesifik  sp   r  1
ln ηsp/c = [η] + k’[η] c; dengan k’ antara 0.3 dan 0.7
[] = KMa ; dengan K = 3.510-4 dan a = 0.76
t = waktu alir zat
t0 = waktu alir pelarut
 = viskositas zat
0 = viskositas pelarut
M = bobot molekul zat

Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan (Baxter et al. 1992)

Kitosan dibuat pelet dengan KBr 1%, kemudian dilakukan pemayaran pada
daerah bilangan gelombang antara 4000 cm-1 dan 400 cm-1. DD ditentukan dengan
metode garis dasar. Nilai absorbans dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
P
A = log
P
P0 = % transmitan pada garis dasar
P = % transmitan pada puncak minimum
Penentuan %DD kitosan dengan cara membandingkan absorbans pada bilangan
gelombang 1655 cm-1 (serapan pita amida I) dengan absorbans pada bilangan
gelombang 3450 cm-1 (serapan gugus hidroksil). %DD kitosan dihitung dengan
persamaan:
A1655
DD = 100 - × 115
A3450
6

Rekayasa formula nanopartikel (Sugita et al. 2013)

Formulasi nanopartikel kitosan ekstrak herbal dibuat dengan mencampurkan


kitosan, STPP, ekstrak herbal, dan surfaktan. Komposisi formula yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi formula nanopartikel kitosan ekstrak herbal
[kitosan] [C] [D] [A] [P]
Kelompok Formula
(%b/v) (%b/v) (g/mL) (g/L) (g/L)
ADA 2.50 - 0.0440 0.10 -
I BDA 2.50 - 0.0440 0.80 -
PDA 3.00 - 0.0440 1.50 -
ADP 2.50 - 0.0440 - 0.10
II BDP 2.50 - 0.0440 - 0.80
PDP 3.00 - 0.0440 - 1.50
AD 2.50 - 0.0110 - 0.10
III BD 2.50 - 0.0110 - 0.80
PD 3.00 - 0.0110 - 1.50
AC 2.50 0.0110 - - 0.10
IV BC 2.50 0.0110 - - 0.80
PC 3.00 0.0110 - - 1.50
Keterangan:
[C] : Kosentrasi ekstrak C. fistula [D] : Konsentrasi ekstrak D. repens
[A] : Konsentrasi asam oleat [P] : Konsentrasi poloxamer 188
Masing-masing formula dicampur dengan STPP 0.8 mg/mL.
Sebanyak 100 mL larutan kitosan ditambahkan 40 mL larutan STPP,
campuran diaduk hingga homogen. Selanjutnya ditambahkan 40 mL ekstrak
herbal dan 20 mL surfaktan sambil diaduk pada suhu kamar. Setiap 25 mL
campuran tersebut dialiri gelombang ultrasonik pada frekuensi 20 kHz dan
amplitudo 20% selama 60 menit. Kemudian larutan disentrifugasi dengan
kecepatan 19000 rpm selama 2 jam. Supernatan yang diperoleh berupa suspensi
nanopartikel. Pada setiap tahap perlakuan, larutan diukur nilai turbiditasnya.
Pengubahan bentuk suspensi menjadi serbuk dilakukan dengan pengeringbekuan.
Ukuran nanopartikel kitosan dianalisis dengan Particle Size Analyzer (PSA).

Uji aktivitas antimalaria secara in vitro


Uji aktivitas antimalaria dilakukan dengan menggunakan metode Desjardins
(1979) yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Pembuatan media kultur
Media dibuat dengan melarutkan 10.4 g RPMI 1640 dengan 960 ml
aquabidestilata ditambah dengan 5.94 g Hepes. Kemudian ditambahkan
50 mg gentamisin dan larutan dicucihamakan dengan filtrasi melalui
membran millepore berdiameter 0.22 mikrometer. Media kemudian dibagi
dengan volume yang lebih kecil (secara aseptis) masing-masing 250 ml dan
disimpan dengan suhu 4°C (baik digunakan selama 30 hari). Untuk
mendapatkan media yang lengkap, tiap 100 ml media ditambahkan 4.2 ml
larutan NaHCO3 5% dan 11.5 ml serum. Kemudian larutan kembali
7

dicucihamakan dengan filter melalui membran millepore 0.45 mikrometer,


dan disimpan pada 4°C (dapat disimpan selama 7 hari).
2. Persiapan biakan P. falciparum strain 3D7
Ampul yang mengandung P. falciparum strain 3D7 dikeluarkan dari nitrogen
cair dan dicairkan pada penangas air 37ºC. Isi ampul dipindahkan kedalam
tabung, dan dilakukan pencucian dengan menambahkan 1 ml larutan NaCl
3.5%. Larutan ini disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit,
kemudian supernatan dibuang (pencucian dilakukan 2 kali). Setelah itu,
dilakukan pencucian dengan menggunakan 0.5-0.6 ml serum. Larutan
disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit, kemudian
supernatan dibuang. Pencucian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan
5 ml larutan transport media dan disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm,
kemudian supernatan dibuang (2 kali). Biakan kultur dilakukan dengan
menambahkan media yang lengkap dan sel darah merah manusia golongan O
(angka hematokrit 4% dan kepadatan parasit sekitar 2%). Suspensi
dimasukkan ke dalam cawan petri yang bergaris tengah 5 cm masing-masing
sebanyak 4 ml. Masukan dalam inkubator suhu 37°C dan media diganti setiap
hari (24 jam sekali).
3. Sinkronisasi Kultur P. falciparum
Sinkronisasi dilakukan pada kultur P. falciparum dengan parasitemia 1-2%
yang didominasi bentuk tropozoid muda. Selanjutnya dilakukan pemisahan
supernatan dan pack cell dengan sentrifugasi 1200 rpm selama 10 menit.
Sinkronisasi dilakukan dengan penambahan sorbitol 5% pada pack cell.
4. Uji daya hambat
Biakan parasit yang sudah sinkron (seragam stadiumnya) dihitung kepadatan
parasitnya. Selanjutnya, dilakukan pengenceran hingga kepadatan parasit
sebesar 0.5-0.8%. Kemudian diinkubasi pada candle jar pada suhu 37C
selama 2 hari.
5. Pengamatan dan penghitungan parasitemia
Pada hari ke-2, medium dipisahkan dari pack cell. 3 μl pack cell dibuat
apusan tipis. Apusan dibiarkan mengering kemudian difiksasi dengan
metanol. Apusan diwarnai dengan larutan Giemsa 5 % dan dibiarkan selama
15 menit. Preparat diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 1000×. Jumlah parasit yang hidup dihitung di bawah mikroskop.
Persentase pertumbuhan (parasitemia) dihitung dengan cara menghitung
jumlah sel darah merah yang terinfeksi parasit dalam 5000 sel darah merah.
∑ sel darah merah terinfeksi
Parasitemia = ×100%
∑ sel darah merah
6. Penghitungan dosis efektif
Penentuan IC50 pada kultur in vitro dari parasitemia dilakukan pada hari ke-2.
Rata-rata pertumbuhan parasit kontrol diasumsikan sebagai 100%. Laju
pertumbuhan parasitemia dihitung menggunakan rumus sebagai berikut
parasitemia pengenceran bahan uji
Laju pertumbuhan parasitemia = ×100%
parasitemia kontrol
Kemudian, dibuat kurva linear dengan menggunakan microsoft excel dan
secara manual ditentukan IC50 dengan menarik garis axis pada angka 50%.
Diagram alir penenelitian ini dituliskan pada Lampiran 1.
8

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi buah daun C. fistula dan D. repens


Ekstraksi buah D. repens dan daun C. fistula menggunakan pelarut metanol.
Pelarut ini dipilih karena dapat mengekstrak berbagai senyawa metabolit
sekunder, baik senyawa polar maupun non polar. Metanol juga memiliki
kemampuan dalam memecah dinding sel tanaman yang lebih baik dibandingkan
pelarut organik lainnya, sehingga metabolit sekunder yang berada di dalamnya
dapat terekstraksi. Selain itu, proses pemisahan dapat dilakukan dengan mudah
karena metanol memiliki titik didih yang rendah. Ekstrak metanol
D. repens dan C. fistula ini kemudian dihilangkan kandungan tanin dan
klorofilnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan mereduksi senyawa-senyawa yang
tidak memiliki aktivitas antimalaria dan mudah dipisahkan. Serge et al. (2015)
telah melaporkan bahwa tanin tidak menunjukan aktivitas antipalsmodium
(IC50>100 µg/ml).
Pada penelitian ini, ekstrak metanol daun C. fistula bebas klorofil dan tanin;
dan ekstrak metanol buah D. repens berasal dari penelitian yang dilakukan
Irwanto (2014) dan Januar (2014). Irwanto pada tahun 2014 berhasil mendapatkan
ekstrak metanol daun C. fistula bebas klorofil dan tanin dengan rendemen 7.75%
dari simplisia kering, sedangkan Januar pada tahun 2014 berhasil mendapatkan
ekstrak metanol buah D. repens bebas tanin dengan rendemen 11.73% dari
simplisia kering. Sebanyak 27.9114 g ekstrak metanol buah D. repens bebas tanin
didapat dari 50.1716 g ekstrak metanol, dengan rendemen sebesar 55.63%. Nilai
rendemen ini relatif sama dengan nilai rendemen yang dilaporkan oleh Januar
(2014), yaitu 57.38%.

Hasil Karakterisasi Kitosan


Kitosan merupakan biopolimer polikationik linier yang banyak digunakan
dalam sistem pengantaran berbagai obat. Kitosan dihasilkan dari proses deasetilasi
yang merupakan kopolimer dari β(1→4)-2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa
dan β(1→4)-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa (GlcN) dengan kandungan GlcN
lebih dari 50% (Sajomsanga et al. 2008). Struktur kitosan ditampilkan pada
Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kitosan (x≥50%)


Tahap awal dari penelitian ini adalah karakterisasi kitosan, meliputi penentuan
kadar air, kadar abu, bobot molekul (BM), dan derajat deasetilasi (DD).
9

Parameter-parameter ini perlu ditentukan untuk mengetahui sifat fisiokimia dari


kitosan yang digunakan. Hasil karakterisasi kitosan dapat dilihat pada Tabel 2 dan
perhitungan data untuk masing-masing parameter disajikan pada lampiran 2.
Kadar air merupakan parameter yang berguna untuk mengetahui masa
simpan kitosan dan koreksi bobot dalam penimbangan, sedangkan kadar abu
menggambarkan banyaknya mineral yang terdapat dalam cuplikan yang
merupakan suatu oksida logam. Kedua parameter ini ditentukan menggunakan
metode gravimetri (AOAC 2007). Mohanasrinivasan et al. (2013) menyatakan
bahwa kadar abu merupakan parameter penting kitosan karena mempengaruhi
solubilitas, viskositas, dan karakteristik penting lainnya. Berdasarkan Tabel 2
kadar air hasil pengukuran lebih besar 2 kali lipat dibandingkan spesifikasi. Hal
ini terjadi dikarenakan sifat kitosan yang higroskopis sehingga memungkinkan
kitosan menyerap air yang berada di udara pada masa penyimpan. Pada penentuan
kadar abu hasil perhitungan relatif sesuai dengan spesifikasi.
Tabel 2 Sifat fisiokimia kitosan Biotech Surindo
Besaran
Parameter uji
Terukur Spesifikasi
Kadar air 8.68% 4.28%a
Kadar abu 0.79% 0.68%a
Bobot molekul 4.54×105 g/mol 9.00×105 g/molb
Derajat Deasetilasi 91.44% 93.61%a
a
Sertifikat analisis Biotech Surindo
b
Hasil pengukuran Laboratorium Pusat Penelitian Universitas Sumatera Utara

BM kitosan sangat berkaitan erat dengan DD kitosan. Semakin besar DD


kitosan maka akan semakin kecil BM kitosan. Hal ini disebabkan semakin
banyaknya gugus asetil (-COCH3) yang terlepas dari kitosan. Selain itu, BM
dipengaruhi panjang rantai polimer atau jumlah dari masing-masing monomer
penyusun kitosan. Yuan et al. (2011) melaporkan bahwa kristalinitas, laju
pertumbuhan sel, dan temperatur dekomposisi meningkat; dan sudut kontak air
menurun dengan meningkatnya DD kitosan. Xu & Du (2003) juga melaporkan
bahwa peningkatan BM kitosan akan meningkatkan efisiensi enkapsulasi protein,
tetapi mengurangi kinetika pelepasannya. Parameter ini akan mempengaruhi sifat
fisikokimia kitosan sehingga kegunaannya dapat ditentukan secara tepat. Hasil
pengukuran parameter ini memberikan nilai yang berbeda dengan spesifikasi
kitosan, yaitu lebih kecil sekitar 0.5 kali. Hal ini diduga karena metode yang
digunakan dalam penentuan BM berbeda. Pada penelitian ini, penentuan BM
dilakukan menggunakan metode viskometri memanfaatkan viskometer Ostwald
yang memungkinkan terjadi kesalahan dalam penentuan waktu awal dan waktu
akhir untuk menghitung waktu alir larutan kitosan pada berbagai konsentrasi.
Spesifikasi kitosan untuk nilai BM kitosan dihitung menggunakan metode NMR.
Selain itu, depolimerisasi atau degradasi kitosan selama masa penyimpanan
mungkin saja terjadi yang menyebabkan BM kitosan berkurang.
Metode spektroskopi infra merah merupakan metode yang umum digunakan
untuk menentukan nilai DD kitosan. Metode ini memiliki beberapa keuntungan,
yaitu relatif cepat, tidak diperlukan tahap pemurnian sampel, dan tidak diperlukan
proses disolusi sampel kitosan dalam larutan air (Baxter et al. 1992). Pemanfaatan
10

garis dasar merupakan cara yang digunakan dalam menghitung nilai DD. Oleh
karena itu, penggunaan garis dasar yang berbeda pada spektrum infra merah akan
memberikan nilai yang berbeda-beda. Baxter et al. (1992) membandingkan
serapan pada panjang gelombang 1655 dan 3450 nm dalam penentuan nilai DD
dengan pemilihan garis dasar yang baik untuk kitosan dengan DD >80%. DD
merupakan parameter yang sangat penting ditentukan. Selain menunjukkan
seberapa besar kadar monomer glukosamin dalam kitosan, nilai DD
mempengaruhi aktivitas immunobiologi dan biodegradabilitas kitosan. Hasil
penentuan DD kitosan menggunakan metode ini memberikan hasil yang relatif
sesuai dengan spesifikasi kitosan. Sifat fisiokimia spesifikasi kitosan BioTech
Surindo dapat dilihat pada Lampiran 3.

Sediaan nanopartikel kitosan ekstrak metanol daun C. fistula


dan buah D. repens
Kitosan merupakan biopolimer polikationik yang banyak dimanfaatkan
dalam sistem pengantaran obat karena sifatnya yang biokompatibel dan
biodegradabel. Kitosan dapat memperbaiki sistem ini dengan cara menyalut obat
dalam bentuk mikro- atau nanopartikel. Pada penelitian ini, obat yang digunakan
dalam bentuk ekstrak, yaitu ekstrak metanol daun C. fistula dan buah D. repens.

Gambar 2 Tipe pemuatan obat dalam nanopartikel (Tiyaboonchai 2003)


Dalam sistem pengantaran obat, nanopartikel kitosan berperan sebagai sistem
pembawa. Sistem ini dilakukan dengan dua cara, yaitu nanosfer dan nanokapsul
dengan cara menjebak atau menempelkan obat di dalam matriksnya
(Tiyaboonchai 2003). Tipe pemuatan obat dalam nanopartikel ini diilustrasikan
pada Gambar 2.
a CH2OH b CH2 OH

H O H O
H O H O
OH H O OH H
H H

H NH3 H NH3

O
HO P O
OH O
HO P O
O
HO P O
O

NH 3 H

H
H OH O
O H
O H

CH2 OH

Gambar 3 Interaksi kitosan-tripolifosfat (a) deprotonasi (b) taut silang ionik


11

Sintesis sediaan nanopartikel ini menggunakan metode gelasi ionik. Teknik


gelasi ionik dipilih karena memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan
metode lainnya, yaitu nanopartikel terbentuk secara spontan pada kondisi yang
lembut, tidak diperlukan temperatur yang tinggi, pelarut organik yang digunakan
tidak berbahaya dan relatif sedikit, serta waktu pengerjaan yang singkat
(Neves et al. 2014). Metode gelasi ionik melibatkan proses sambung silang antara
polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya (Gambar 3).
Kationik dari kitosan akan bereaksi dengan ion pusat multivalen untuk
membentuk struktur jaringan intramolekul dan/atau intermolekul melalui interaksi
ionik antara gugus terprotonasi NH3+ dan ion pusat bermuatan negatif dari TPP.
Molekul kecil polielektrolit, yaitu STPP akan terdisosiasi dalam air karena proses
hidrolisis dan melepaskan ion OH-, sehingga ion OH- dan P3O105- akan
berdampingan dalam larutan TPP dan dapat berinteraksi secara ionik dengan
NH3+ kitosan (Lam et al. 2006). Metode gelasi ionik sering kali diikuti dengan
kompleksasi polielektrolit dengan polielektrolit yang berlawanan (Gambar 4).
Pembentukan ikatan ini akan meningkatkan kekuatan mekanik dari partikel yang
dibentuk sehingga menghasilkan matriks yang stabil.

Gambar 4 Persiapan nanopartikel kitosan-tripolifosfat (Tripathy et al. 2012)

Pengaruh jenis surfaktan terhadap ukuran nanopartikel kitosan ekstrak


D. repens
Surfaktan adalah salah satu komponen penting yang perlu diperhatikan
dalam proses sintesis nanopartikel, baik dari jenis dan konsentrasi surfaktan,
karena surfaktan dapat mengendalikan ukuran, sifat, dan stabilitas suspensi
nanopartikel. Sugita et al. (2010) melaporkan bahwa nanoenkapsulasi ketoprofen
dengan kitosan-alginat menggunakan Tween 80 dan Span 80 menghasilkan
nanopartikel dengan persentase berturut-turut sebesar 53.23 dan 34.31%. Rasyid
(2013) juga melaporkan nanoenkapsulasi ketoprofen menggunakan asam oleat
dan poloxamer 188 menghasilkan nanopartikel berturut-turut sebesar 93.1 dan
99.5%. Hal ini menjelaskan jenis surfaktan yang digunakan mempengaruhi
keberhasilan sintesis nanopartikel.
a CH3

H O a O O a OH
b
O

OH
b

Gambar 5 Struktur kimia (a) poloxamer 188 (a = 80, b = 27) dan (b) asam oleat
12

Pada penelitian ini, sintesis nanopartikel menggunakan surfaktan asam oleat


dan poloxamer 188. Struktur kedua surfaktan ditampilkan pada Gambar 5. Asam
oleat (C18H34O2) merupakan salah satu asam lemak tak jenuh dengan nilai
hydrophilic lipophilic balance (HLB) sebesar 1. Poloxamer 188 memiliki rumus
molekul (HO(CH2CH2O)80(CH2CH(CH3)O)27(CH2CH2O)80H. Surfaktan ini
merupakan kopolimer polioksietilena-polioksipropilena nonanionik dengan nilai
HLB sebesar 29. Rantai polioksietilena memiliki sifat hidrofilik, sedangkan rantai
polioksipropilena memiliki sifat hidrofobik. Pengaruh kedua surfaktan ini
terhadap degradasi ukuran ditentukan pada setiap tahap perlakuan (awal, sonikasi,
dan sentrifugasi) dengan mengukur nilai turbiditasnya. Sugita et al. (2013)
menyatakan bahwa ukuran partikel dalam suatu emulsi akan menentukan besaran
turbiditas, semakin besar ukuran partikel yang terdispersi, maka nilai turbiditas
akan semakin besar, dan sebaliknya. Hasil pengukuran turbitas untuk setiap
kelompok disajikan pada Lampiran 4, serta hasil pengukuran untuk kelompok I
dan II ditampilkan pada Gambar 6.
400 250
368 220.4
352.3 ADP
350
200 BDP
300 337.6 272.2 191
PDP
Turbiditas (NTU)
Turbiditas (NTU)

260.7 244.2
250 185.8
150 130
254 222.6
200 110 103.6
212.2
100
150 ADA 107 91.4
100 BDA 85.6
A 50
PDA
B
50

0 0
awal sonikasi sentrifugasi awal sonikasi sentrifugasi
Tahap perlakuan Tahap perlakuan
Gambar 6 Hasil turbiditas (A) kelompok I (formula ADA, BDA, dan PDA) dan
(B) kelompok II (formula ADP, BDP, dan PDP) pada setiap tahap
perlakuan
Gambar 6 menunjukkan bahwa proses sonikasi dan sentrifugasi akan
menurunkan nilai turbiditas. Proses sonikasi memberikan penurunan nilai
turbiditas yang lebih besar dibandingkan proses sentrifugasi yang diindikasikan
dengan kemiringan kurva yang lebih curam. Pemecahan bulk partikel menjadi
partikel-partikel yang lebih kecil dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik
yang merambat dalam medium cair menurunkan nilai turbiditas dari tahap awal
untuk kelompok I dan II berturut-turut sebesar 74% dan 58%, sedangkan
sentrifugasi menurunkan nilai turbiditas dari tahap sonikasi pada kelompok I dan
II berturut-turut sebesar 86% dan 81%. Proses sentrifugasi tidak menurunkan
ukuran partikel-partikel setelah tahap sonikasi, proses ini hanya menyeragamkan
ukuran partikel. Ukuran partikel yang besar akan terdistribusi di bawah saat
proses sentrifugasi dan dihilangkan. Keseluruhan tahap ini memberikan dampak
penurunan nilai turbiditas pada kelompok I dan II berturut-turut sekitar 64% dan
47%. Berdasarkan nilai turbiditas sebagai parameter awal proses degradasi
13

ukuran, penurunan nilai turbiditas formula menggunakan poloxamer 188 lebih


baik dibandingkan asam oleat. Namun, penentuan ukuran partikel sebenarnya
ditentukan menggunakan metode PSA.
600 4.5 4.173
525.18
A 4 3.589 B
500 471.57
3.5
400 3
Ukuran (nm)

317.13 2.567
2.314
293.15 Nilai 2.5
300
IP 2 1.667
200 151.72 1.5
0.904
81.12 1
100
0.5
0 0
ADA BDA PDA ADP BDP PDP ADA BDA PDA ADP BDP PDP
Formula Formula

Gambar 7 Rerata ukuran nanopartikel (A) dan IP (B) pada kelompok I


(formula ADA, BDA, dan PDA) dan II (ADP, BDP, dan (PDP)
Gambar 7 A menunjukkan bahwa hasil sintesis keenam formula tersebut
masuk dalam kategori nanopartikel, yaitu berada pada rentang ukuran 10-1000 nm
(Tiyaboonchai 2003). Berdasarkan definisi ini juga dapat diketahui bahwa sintesis
keenam formula berhasil menghasilkan 100% nanopartikel, merujuk pada hasil
dispersi ukuran secara jumlah dari hasil pengukuran PSA (Lampiran 5). Ukuran
yang lebih kecil didapat pada kelompok II, yaitu ADP, BDP, dan PDP dengan
rerata ukuran partikel berturut-turut sebesar 293.15; 151.72; 81.12 nm. Pada
kelompok I, yaitu formula ADA, BDA, dan PDA, rerata ukuran partikel yang
berhasil disintesis berturut-turut sebesar 525.18; 471.57; dan 317.13 nm. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan komposisi yang sama, antara formula ADA dan
ADP, BDA dan BDP, PDA dan PDP, hanya berbeda jenis surfakan, rerata ukuran
untuk kelompok II yang menggunakan surfaktan poloxamer 188 menghasilkan
rerata ukuran partikel yang lebih baik.
Hasil sintesis menunjukkan kesamaan terhadap hasil penelitian Rasyid
(2013) dan Sugita et al. (2015), yaitu formula yang menggunakan surfaktan
poloxamer 188 (kelompok II) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
asam oleat (kelompok I). Faktor yang sangat menentukan perbedaan ini adalah
perbedaan HLB kedua surfaktan yang mempengaruhi kestabilan partikel pada
medium berair. Formula yang digunakan pada penelitian ini merupakan medium
berair, yaitu ±70% air untuk setiap formula pada kelompok 1 dan ±80% air untuk
setiap formula pada kelompok II. Hal ini menunjukkan bahwa setiap formula yang
disintesis pada penelitian ini merupakan emulsi o/w sehingga diperlukan surfaktan
yang memiliki HLB 8 untuk menstabilkan emulsi.
Gambar 7 B menunjukkan nilai Indeks Polidispersitas (IP) dari keenam
formula pada kelompok I dan II. IP merupakan suatu besaran yang menunjukkan
kehomogenan suatu partikel, semakin kecil nilai IP maka partikel-partikel terukur
semakin homogen, dan sebaliknya. Rentang nilai IP untuk kelompok I yang
14

menggunakan surfaktan asam oleat adalah 2.567-4.173, sedangkan untuk


kelompok II yang menggunakan surfaktan poloxamer 188 adalah 0.904-2.314.
Berdasarkan pada nilai IP, penggunaan surfaktan poloxamer 188 memberikan
ukuran nanopartikel yang lebih homogen dibandingkan surfaktan asam oleat.
Kondisi akan digunakan pada tahap selanjutnya, yaitu penggunaan surfaktan
poloxamer 188 sebagai surfaktan yang lebih baik.
Gambar 7 secara keseluruhan juga menunjukkan kecenderungan yang sama,
baik nilai IP dan rerata ukuran. Formula P menghasilkan ukuran partikel dan IP
yang lebih baik dibandingkan dengan formula B dan A, baik untuk kelompok I
dan II. Hal ini disebabkan oleh jumlah surfaktan pada formula P lebih besar
dibandingkan dengan formula lainnya, yaitu 1.5 g/L. Semakin banyak surfaktan
yang digunakan dalam proses sintesis nanopartikel, maka akan semakin banyak
surfaktan yang terakumulasi di bagian antarmuka antara gas dan cairan pada
gelembung kavitasi. Akumulasi ini akan menurunkan tegangan permukaan
gelembung dan meningkatkan kecepatan pembentukan gelembung yang tidak
stabil pada saat proses kavitasi sehingga proses penurunan ukuran partikel
berjalan dengan baik.
Namun, sintesis keenam formula ini masih menghasilkan dispersi ukuran
yang lebar (heterogen), terlihat dari nilai IP yang masih besar. Dispersi ukuran
yang sempit atau partikel dikatakan homogen, jika nilai IP yang dihasilkan 0.3
(Sugita et al. 2015). Hal ini dimungkinkan karena penggunaan ekstrak kasar
(terdiri dari berbagai senyawa) sebagai bahan aktif dalam pembuatan
nanopartikel. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Rasyid (2013), Sugita et al.
(2013), Sugita et al. (2015) yang menggunakan metode dan formula sintesis
nanopartikel yang sama dapat menghasilkan dispersi nanopartikel yang homogen
dengan menggunakan bahan aktif tunggal.

Pengaruh konsentrasi ekstrak D. repens terhadap ukuran nanopartikel


Pengukuran dengan menggunakan metode PSA memiliki beberapa
kekurangan. Salah satu fenomena yang bisa terjadi saat penentuan ukuran
nanopartikel menggunakan PSA adalah hamburan berganda (Gambar 8).

Gambar 8 Proses terjadinya hamburan berganda


Fenomena ini terjadi karena emulsi yang diukur memiliki konsentrasi yang
tinggi sehingga kerapatan partikel sangat meruah. Ilustrasi Gambar 8 dapat
15

menjelaskan fenomena ini, 1 foton terhambur lebih dari sekali oleh partikel.
Akibatnya, detektor menerima lebih dari 1 hamburan untuk 1 foton. Hasil dari
hamburan berganda ini adalah partikel yang terukur lebih kecil dibandingkan
ukuran yang sebenarnya. Efek hamburan berganda juga dapat timbul jika media
yang diukur gelap. Sebagian dari foton teradsorpsi oleh media yang memicu
meningkatnya temperatur lokal, sehingga akan mengubah viskositas media dan
mobilitas partikel di dalamnya.
250 250
220.4 ADP 212 AD
200 BDP 200 190.2 BD
191
Turbiditas (NTU)

Turbiditas (NTU)
PDP PD
185.8 178
150 130 150
128.4
103.6 104
110 110
100 100 91.6
107 91.4 107.2
85.6 88
50 50
A B
0 0
awal sonikasi sentrifugasi awal sonikasi sentrifugasi
Tahap perlakuan Tahap perlakuan
Gambar 9 Hasil turbiditas (A) kelompok II (formula ADP, BDP, dan PDP) dan
(B) kelompok III (formula AD, BD, dan PD) pada setiap tahap
perlakuan
Gambar 9 A dan 9 B menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi ekstrak
pada kelompok II lebih besar 4× dibandingkan dengan kelompok III tidak
memberikan perbedaan yang signifikan terhadap nilai turbiditas. Nilai dan
penurunan turbiditas pada setiap tahap perlakuan relatif sama untuk kelompok II
dan III. Tahap sonikasi juga tetap memberikan efek yang lebih besar dalam proses
penuruan nilai turbiditas dibandingkan tahap sentifugasi. Perbedaan ukuran akibat
pengaruh konsentrasi D. repens dapat dilihat secara jelas dengan membandingkan
hasil PSA kedua kelompok tersebut (Gambar 10).

450 399.3 3.5 3.198


400
A B
3
350 2.314
293.15 2.5 2.115
300
Ukuran (nm)

1.971
236.85
250 210.56 Nilai 2 1.667
200 IP 1.5
151.72
150 0.904
1
100 81.12
0.5
50
0 0
AD BD PD ADP BDP PDP AD BD PD ADP BDP PDP
Formula Formula

Gambar 10 Rerata ukuran nanopartikel (A) dan IP (B) pada kelompok II (formula
ADP, BDP, dan PDP) dan III (formula AD, BD, dan PD)
16

Gambar 10 menunjukkan bahwa ukuran dan IP formula ADP lebih baik dari
AD, BDP lebih baik dari BD, dan PDP lebih baik dari PD. Konsentrasi kitosan,
surfaktan, penaut silang, dan kondisi pembentukan nanopartikel sama untuk setiap
formula, tetapi konsentrasi ekstrak D. repens berbeda, yaitu ADP, BDP, dan PDP
4× lebih besar dibandingkan dengan AD, BD, dan PD. Hal inilah yang
menyebabkan ukuran dan IP ADP, BDP, dan PDP lebih baik. Pada formula
tersebut diduga terjadi fenomena hamburan berganda yang menyebabkan hasil
pengukuran lebih kecil.
Ukuran dan IP merupakan parameter yang perlu diketahui untuk
menentukan keberhasilan sintesis nanopartikel. Parameter penting ini ditentukan
dengan metode PSA. Pengukuran partikel menggunakan PSA memiliki
keunggulan dibandingkan metode mikrografi (SEM, TEM, dan AFM), yaitu
ukuran partikel yang terbaca adalah ukuran partikel tunggal, sehingga hasil
pengukuran merupakan gambaran dari keseluruhan sistem. Selain itu, sampel
yang diukur didispersikan ke dalam media cair sehingga proses aglomerasi yang
sering terjadi untuk sampel dalam orde nanometer dapat ditiadakan.
Gambar 10 A menunjukkan hasil pengukuran PSA untuk sampel dengan
formula A, B, P untuk kelompok II dan III berada di kisaran 81.12-399.3 nm.
Hasil ini menunjukkan bahwa partikel yang dihasilkan dalam kategori
nanopartikel. Nilai IP untuk kedua kelompok berada di kisaran 0.904-3.198 yang
ditampilkan pada Gambar 10 B, menunjukkan bahwa sintesis nanopartikel
memiliki distribusi ukuran yang masih besar. Gambar 10 juga menunjukkan
bahwa formula P menghasilkan ukuran partikel dan keseragaman yang baik. Hal
ini disebabkan oleh jumlah surfaktan yang digunakan lebih banyak dibandingkan
dengan formula lainnya, sehingga proses degradasi ukuran selama sonikasi
berjalan dengan baik.

Hasil enkapsulasi kitosan-ekstrak C. fistula


Pengaruh jenis surfaktan dan konsentrasi ekstrak yang telah dilakukan untuk
sintesis nanopartikel kitosan ekstrak D. repens kemudian diadopsi dalam proses
sintesis nanopartikel kitosan ekstrak C. fistula. Hasil turbiditas kelompok IV pada
setiap perlakuan ditampilkan pada Gambar 11.
250
193 AC
200
Turbiditas (NTU)

171.6 BC
150 PC
114
150 105
90.2
100
84.2
90.6
50 72.4

0
awal sonikasi sentrifugasi
Tahap perlakuan
Gambar 11 Hasil turbiditas kelompok IV (formula AC, BC, dan PC) pada setiap
tahap perlakuan
17

Gambar 11 menunjukkan kecenderungan yang sama dengan hasil turbiditas


pada setiap perlakuan untuk ekstrak D. repens. Sonikasi memberikan pengaruh
yang lebih besar dibandingkan dengan sentrifugasi. Proses penurunan turbiditas
total sebesar 48%.
400 371.45 3.5 3.149
350 A 3 B
296.55
300 2.446
2.5
Ukuran (nm)

250

Nilai IP
2
200 1.502
137.54 1.5
150
100 1
50 0.5
0 0
AC BC PC AC BC PC
Formula Formula

Gambar 12 Rerata ukuran nanopartikel (A) dan IP (B) pada kelompok IV


(formula AC, BC, dan PC)
Gambar 12 menunjukkan bahwa ukuran nanopartikel dan nilai IP formula
PC lebih kecil dibandingkan dengan AC dan BC. Hal ini disebabkan pengaruh
jumlah surfaktan poloxamer 188 yang lebih besar pada formula PC sehingga
proses degradasi ukuran pada tahap sonikasi, yaitu kavitasi, berjalan dengan baik.
Ukuran partikel berada di kisaran 137.54-371.45 nm dengan nilai IP antara 1.502-
3.149.

Hasil uji in vitro sediaan nanopartikel kitosan ekstrak metanol


daun C. fistula dan buah D. repens
Uji in vitro merupakan uji awal yang perlu dilakukan untuk mengetahui
kemampuan obat dalam menghambat pertumbuhan parasitemia. Pada penelitian
ini parasit yang digunakan adalah P. falciparum strain 3D7. Parasit ini merupakan
parasit strain Afrika yang telah menjadi parasit standar yang ditetapkan WHO
dalam uji in vitro malaria. Perhitungan daya hambat parasitemia dilakukan setelah
proses inkubasi selama 48 jam pada campuran kultur P. falciparum dan
nanopartikel herbal. Hal ini disebabkan oleh masa siklus parasit fase eritrosit dari
bentuk cincin dan tropozoit membelah hingga berkembang membentuk skizon
membutuhkan waktu 48 jam. Daya hambat parasitemia dihitung dengan
menggunakan metode hapusan darah. Sediaan apus darah tipis dibuat dari 1-2 ul
darah yang telah diinkubasi. Apusan darah tipis difiksasi dengan metanol untuk
mencegah terjadinya hemolisis. Setelah kering, apusan darah diberi pewarna
giemsa 5%, agar sel darah merah yang terinfeksi P. falciparum mudah diamati.
Persentase penghambatan dihitung dengan cara membandingkan eritrosit
terinfeksi terhadap 5000 eritrosit yang diamati. Preparat ini diamati dengan
menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 1000x.
Dari semua formula yang diuji secara in vitro, diperoleh hasil
% pertumbuhan parasitemia menurun dengan meningkatnya konsentrasi obat.
18

Gambar 13 menunjukan bahwa IC50 dicapai formula BCP pada pengenceran 105×
(IC50 = 0.004 μg/ml) dan formula BDP 106× (0.08 μg/ml). O’Neil et al. (1985)
melaporkan bahwa suatu bahan memiliki aktifitas antiplasmodium jika nilai IC50
50 μg/ml untuk ekstrak dan 25 μg/ml untuk fraksi. Oleh karena itu, formula
BCP dan BDP memiliki potensi yang baik dalam menghambat P. falciparum.
Nilai ini lebih baik dibandingkan dengan nilai IC50 untuk komponen yang
terkandung dalam ekstrak daun C. fistula dan buah D. repens. Grace et al. (2012)
melaporkan senyawa pada ekstrak kloroform C. fistula, yaitu senyawa fitol, lutein,
dan dilineolil galaktopiranosil gliserol memiliki nilai IC50 berturut-turut sebesar
18.9±0.60; 12.5±0.35; dan 5.8±0.27 µM untuk parasit P. falciparum strain D10.
Ekstrak kloroform daun C. fistula memiliki nilai IC50 sebesar 12.3 µg/mL untuk
parasit yang sama. Pada penelitian lain, Wulandari (2008) melaporkan bahwa
aktivitas antimalaria fraksi kloroform dari ekstrak metanol buah D. repens mampu
menghambat pertumbuhan P. berghei dengan nilai IC50 41,125 mg/kgbb.
Uji in vivo menggunakan mencit jantan galur Balb-C untuk ekstrak metanol dan
kloroform buah D. repens, dan memberikan nilai IC50 berturut-turut sebesar 47.2
dan 38.9 mg/kg BB (Nuri et al. 2009).
100%
Pertumbuhan P. falciparum

90% BDP
80%
BCP
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
0.01 0.1 1 10 100
Pengenceran sampel (1 × 10-7)
Gambar 13 Grafik pertumbuhan parasit P. falciparum formula BDP
(M0 = 8 mg/ml) dan BCP (M0 = 4 mg/ml)
Jika dibandingkan dengan ekstrak beberapa tanaman herbal yang secara
empirik berkhasiat sebagai anti malaria, IC50 BDP dan BCP masih lebih baik,
seperti ekstrak metanol Calea tenuifolia (19.5 μg/ml), Momordica charantia L.
(50 μg/ml), Jatropha curcas L. (50 μg/ml), Samanea saman (10 μg/ml),
Hymenaea courbaril L. (50 μg/ml), Moringa oleifera Lam. (50 μg/ml)
(Köhler et al. 2002). Tona et al. (1999) melaporkan bahwa ekstrak etanol dan
kloroform daun Cassia occidentalis, kulit akar Cryptolepis sanguinolenta,
tanaman Euphorbia hirta, kulit batang dan akar Garcinia kola, daun Morinda
lucida, dan tanaman Phyllanthus niruri memberikan aktivitas inhibisi lebih dari
60% pertumbuhan parasit P. falcifarum secara in vitro pada konsentrasi 6 µg/mL.
Madureira et al. (2002) juga menentukan aktivitas antimalaria pada berbagai
tanaman secara in vitro pada P. falcifarum. Hasil yang didapat adalah Struchium
sparganophorum, Pycnanthus angolensis, Morinda Lucia, Tithonia diversifolia,
dan Cinchona succirubra memberikan nilai IC50 10 µg/mL. Sha’a et al. (2011)
menunjukkan aktivitas antimalaria ekstrak etanol Vernonia amygdalina sebesar
78.10% pada konsentrasi 11.2 µg/mL dan ekstrak air sebesar 74.02% pada
19

konsentrasi 13.6 µg/mL. Inbaneson et al. (2012) melaporkan bahwa ekstrak


Acalypha indica dan Jatropha glandulifera memiliki aktivitas antimalaria yang
baik, yaitu dengan nilai IC50 berturut-turut sebesar 43.81 dan 49.14 µg/mL,
sedangkan ekstrak Achyranthes aspera dan Phyllanthus amarus menunjukkan
nilai IC50 antara 50 dan 100 µg/mL pada parasit P. falciparum.
100% 100%
90% A 90% B
Pertumbuhan P. falciparum

Pertumbuhan P. falciparum
80% 80%
70% 70%
60% 60%
50% 50%
40% 40%
30% BDA 30%
BCA
20% 20%
BDP BCP
10% 10%
0% 0%
0.01 0.10 1.00 10.00 100.00 0.01 0.10 1.00 10.00 100.00
Pengenceran sampel (1.00 × 10-07) Pengenceran sampel (1.00×10-07)

Gambar 14 Grafik pertumbuhan parasit P. falciparum dengan surfaktan yang


berbeda (A) sampel D. repens (BDA dan BDP, M0 = 8 mg/mL ) dan
(B) sampel C. fistula (BCA dan BCP, M0 = 4 mg/mL)
Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan daya hambat pertumbuhan
P. falciparum formula B menggunakan surfaktan yang berbeda, yaitu asam oleat
dan poloxamer 188. Pada pengenceran 105, pertumbuhan parasit untuk formula
BDA sebesar 65%, sedangkan BDP sebesar 50% (Gambar 14 A). Formula untuk
bahan aktif C. fistula, pada pengenceran 105, pertumbuhan parasit untuk BCA
sebesar 59% sedangkan BCP sebesar 40% (Gambar 14 B). Formula yang
menggunakan poloxamer 188 memberikan daya hambat yang lebih baik
dibandingkan asam oleat untuk kedua ekstrak. Hal ini diduga karena kemampuan
poloxamer 188 yang lebih baik dibandingkan asam oleat dalam membentuk
nanopartikel yang lebih kecil dan seragam sehingga meningkatkan efikasi obat.
Laju pertumbuhan P. falciparum juga dibandingkan terhadap fraksi dari
ekstrak kedua tanaman. Fraksinasi ekstrak metanol kedua tanaman telah dilakukan
oleh Irwanto (2013) untuk tanaman C. fistula dan Januar (2013) untuk tanaman
D. repens. Beberapa fraksi diambil untuk dilakukan uji daya hambat pertumbuhan
P. falciparum (Tabel 3).
Tabel 3 Laju pertumbuhan P. falciparum fraksi ekstrak metanol C. fistula
dan D. repens.
Konsentrasi Laju pertumbuhan
Fraksi
(μg/ml) P. falciparum
Cf-2 0.0606 58.00%
Cf-3 0.1000 60.00%
Cf-4 0.6800 40.60%
Dr-35 0.0260 64.00%
Dr-36 0.0808 47.00%
Dr-37 0.0260 50.00%
20

Cf-2, Cf-3, dan Cf-4 merupakan hasil fraksinasi ekstrak metanol daun
C. fistula secara kromatografi vakum menggunakan eluen n-heksana:etil asetat
dengan perbandingan, berturut-turut, 8-2, 7-3, dan 6-4. Dr 35 merupakan ekstrak
kasar D. repens bebas tanin, Dr 36 merupakan fraksi hasil Kromatografi Cair
Vakum (KCV) menggunakan eluen n-heksana:etil asetat (8:2), sedangkan Dr 37
merupakan fraksi hasil KCV menggunakan pelarut metanol. Berdasarkan Tabel 3
tersebut dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan P. falciparum setiap fraksi lebih
besar dibandingkan BCP dan BDP. Hal ini sangat berkaitan dengan modifikasi
pengantaran obat yang BCP dan BDP, sehingga kemampuan formula tersebut
menghambat pertumbuhan P. falciparum sangat baik.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sintesis sediaan kitosan ekstrak metanol daun C. fistula dan buah D. repens
menggunakan metode gelasi ionik menghasilkan partikel dengan kisaran ukuran
80-475 nm (IP = 0.904-4.173). Pada proses sintesis, surfaktan poloxamer 188
memberikan rerata nanopartikel dan nilai IP yang lebih baik dibandingkan dengan
surfaktan asam oleat. Hasil sintesis secara keseluruhan pada penelitian ini belum
mampu memberikan nanopartikel dengan dispersi ukuran yang kecil, nanopartikel
yang dihasilkan masih heterogen. Penyalutan bahan aktif ekstrak menggunakan
kitosan dalam bentuk nanopartikel mampu meningkatkan kemampuan ekstrak
kasar dan fraksi ekstrak kedua tanaman dalam menghambat pertumbuhan
P. falcifarum. IC50 formula BCP dan BDP berturut-turut sebesar 0.004 dan 0.08
μg/ml, yang menunjukkan formula tersebut berpotensi sebagai antiplasmodium.

Saran

Perlu dilakukan optimasi dalam sintesis nanopartikel untuk memperbaiki


dispersi partikel yang masih lebar dengan cara meyederhanakan kekompleksan
bahan aktif. Ekstrak ekstrak metanol daun C. fistula dan buah D. repens perlu
dilakukan fraksinasi lebih lanjut. Perlu dilakukan uji efisiensi penjerapan obat
(seberapa besar obat terjerap dalam matrik nanopartikel kitosan) dan uji disolusi
(untuk melihat kinetika kimia obat, laju pelepasan obat) yang tidak berhasil
dilakukan pada penelitian ini dikarenakan penentuan kurva standar ekstrak kasar
yang sulit. Pengukuran nilai IP dengan variasi viskositas, pH, konsentrasi
suspensi, refraktif indeks pelarut, sudut pengukuran perlu dilakukan untuk
menentukan kehomogenan partikel secara tepat. Selain itu, perlu dilakukan
penelitian lanjutan yaitu uji aktivitas antimalaria secara in vivo, mekanisme kerja
ekstrak metanol daun C. fistula dan buah D. repens dalam menghambat
pertumbuhan parasit, serta uji kestabilan penyimpanan nanopartikel pada berbagai
suhu.
21

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2007. Official Methods of
AOAC International. Revisi ke-2. Volume ke-1. Maryland: AOAC
International.
[WHO] World Health Organization. 2015. Achieving the Malaria MDG Target:
Reversing the incidence of malaria 2000-2015. Geneva: WHO Press.
[WHO]. 2015. World malaria report 2015. Geneva: WHO Press.
Ahmed WS, Mohamed MA, El-Dib RA, Hamed MM. 2009. New triterpene
saponins from Duranta repens Linn. and their cytotoxic activity.
Molecules. 14:1952-1965.
Baxter A, Dillon M, Taylor KDA, Roberts GAF. 1992. Improved method for i.r.
determination of the degree of N-acetylation of chitosan. Intl J Biol
Macromol 14: 166-169.
Depkes. 2008. Pelayanan kefarmasian untuk penyakit malaria. Jakarta.
Depkes. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta:
17-25.
Desjardins RE, Canfield CJ, Haynes DE, Chulay JD. 1979. Quantitative
assessment of antimalarial activity in vitro by a semiautomated
microdilution technique. Antimicrob Agents and Chemotheraphy. Vol. 16:
710-718.
Govindarajan M, Jebanesa A, Pushpanathan T. 2008. Larvicidal and ovicidal
activity of Cassia fistula Linn. Leaf extract against filarial and malarial
vector mosquitoes. Parasitol Res 102 (2): 289-292.
Grace MH, Lategan C, Graziose R, Smith PJ, Raskin I, Lila MA. 2012.
Antiplasmodial activity of the ethnobotanical plant Cassia fistula. Nat
Prod Commun. Vol. 7(10):1263-1266.
Inbaneson SJ, Ravikumar S, Suganthi P. 2012. In vitro antiplasmodial effect of
ethanolic extracts of coastal medicinal plants Long Palk Strait against
Plasmodium falciparum. Asian Pac J of Trop Biomed 2(5): 364-367.
Irwanto I. 2014. Prediksi keberadaan pelargonidin-3-(feruloil)diglukosida-5-
(malonil) glukosida fraksi terlarut etil asetat dari ekstrak metanol daun
trengguli (Cassia fistula) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Januar SE. 2014. Komponen fraksi polar ekstrak metanol buah sinyo nakal
(Duranta repens) [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Köhler I, Jenett-Siems K, Kraft C, Siems K, Abbiw D, Bienzle U, Eich E. 2002.
Herbal remedies traditionally used against malaria in Ghana: bioassay-
guided fractionation of Microglossa pyrifolia (Asteraceae). Z Naturforsch
C 57(11-12):1022-1027.
Lam TD, Hoang VD, Lien LN, Thinh NN, Dien PG. 2006. Synthesis and
characterization of chitosan nanoparticles used as drug carrier. J Chem 44:
105-109.
Madureira MC, Martins AP, Gomes M, Paiva J, Cunha AP, Rosário V. 2002.
Antimalarial activity of medicinal plants used in tradisional medicine in
S. Tomé and Príncipe islands. J of Ethnopharm 81: 23-29.
22

Mohanasrinivasan V, Mishra M, Paliwal JS, Singh SK, Selvarajan E, Suganthi V,


Devi CS. 2013. Studies on heavy metal removal efficiency and
antibacterial activity of chitosan prepared from shrimp shell waste. 3
Biotech 4(2): 167–175. doi: 10.1007/s13205-013-0140-6.
Neves ALP, Milioli CC, Müller L, Riella HG, Kuhnen NC, Stulzer HK. 2014.
Factorial design as tool in chitosan nanoparticles development by ionic
gelation technique. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and
Engineering Aspects 445: 34-39. doi: 10.1016/j.colsurfa.2013.12.058.
Nikkon F, Saud ZA, Hossain K, Parvin MS, Haque ME. 2009. Larvicidal effects
of stem and fruits of Duranta repens against the mosquito Culex
quinquefasciatus. Int J PharmTech Research 1 (4): 1709-1713.
Nuri, Puspitasari E, Herjuno A, Wulandari IS. 2009. Aktivitas antimalaria ekstrak
metanol dan fraksi kloroform buah Duranta repens L. pada mencit yang
diinfeksi Plasmodium Berghei. J Sainstek 8 (1): 12-18.
Prashant KV, Chauhan NS, Padh H, Rajani M. 2006. Search for antibacterial
antifungal agents from selected Indian medicinal plants. J Ethnopharmacol
107: 182-188.
Radji M. 2005. Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembangan
obat herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian II (3): 113-126.
Rasyid NQ. Sintesi, karakterisasi, stabilitas nanopartikel ketoprofen berdasarkan
jenis surfakan dan uji aktivitas antiinflamasi secara in vivo. [Tesis]. Bogor:
FMIPA, IPB.
Rizvi MA, Irshad M, Singh M. 2010. Assessment of anthelmintic activity of
C. fistula L. Middle-East J of Scientific Research 5: 346-349.
Ru J, Huayue Z, Xiaodong L, Ling X. 2009. Visible light photocatalytic
decolourization of C. I. acid red 66 by chitosan capped Cds composite
nanoparticles. Chemical Engineering J 152: 537-542.
Sajomsanga W, Tantayanona S, Tangpasuthadola V, Thatteb M, Dalyb WH.
2008. Synthesis and characterization of N-aryl chitosan derivatives. Int Bio
Macromolecules 43:79–87.
Sanchez BAM, Mota MM, Sultan AA, Carvalho LH. 2004. Plasmodium berghei
parasite transformed with green fluorescent protein for screening blood
schizontocide agent. Int. J of Pararasitol 34 : 22-26.
Serge KB, Serges OA, Ludovic M, Elvis ON, Bernardin A, Francis F, Alfred T.
2015. In vitro behaviour of Plasmodium falciparum strains by alkaloids
and tannins extracted from root of mitragyna inermis, medical plant. Int J
Current Pharma Research 7 (2).
Sha’a KK, Oguche S, Watila IM, Ikpa TF. 2011. In vitro antimalarial activity of
the extracts of Vernonia amygdalina commonly used in traditional
medicine in Nigeria. Sci World J 6(2).
Sugita P. 2001. Analisis artemisinin pada tanaman Artemisia sacrorum, Leden
dengan metode kromatografi. Buletin Kimia 1: 107-111.
Sugita P, Naphtaleni, Kurniawati M, Wukirsari T. 2010. Enkapsulasi ketoprofen
dengan kitosan-alginat berdasarkan jenis dan ragam konsentrasi Tween 80
dan Span 80. Makara Sains 14: 107-112.
23

Sugita P, Ambarsari L, Farichah F. 2013. Increasing amount and entrapment


efficiency of chitosan-ketoprofen nanoparticle using utrasonication method
with varied time and amplitude. Int J Review and Research Applied
Sciences (IJRRAS). Vol. 14 (3).
Sugita P, Ambarsari L, Lidiniyah. 2015. Optimization of ketoprofen-loaded
chitosan nanoparticle ultrasonication process. Procedia Chemistry 16: 673-
680.
Tarbojevich M, Cosani A. 1996. Molecular weight determination of chitin and
chitosan. Di dalam: Muzarelli RAA, Peter MG, Editor 1997. Chitin
Handbook. Ancona: European Chitin Society 85-108.
Tiyaboonchai W. 2003. Chitosan nanoparticles: a promising system for drug
delivery. Naresuan University J 11: 51-66.
Tripathy S, Das S, Chakraborty SP, Sahu SK, Pramanik P, Roy S. Synthesis,
characterization of chitosan-tripolyphosphate conjugated chloroquine
nanoparticle and its in vivo anti-malarial efficacy against rodent parasite: a
dose and duration dependent approach. Int J Pharm 434(1-2): 292-305.
doi: 10.1016/j.ijpharm.2012.05.064.
Tona L, Ngimbi NP, Tsakala M, Mesia K, Cimanga K, Apers S, Bruyne TD,
Pieters L, Totté J, Vlietinck AJ. 1999. Antimalarial activity of 20 crude
extract from nine African medicinal plants used in Kinshasa, Congo. J of
Ethnopharm 68: 193-203.
Wulandari IWS. 2008. Uji aktivitas antimalaria fraksi kloroform dari ekstrak
metanol buah teh–tehan (Duranta repens L.) secara in vivo. [Skripsi].
Jember: Fakultas Farmasi, Universitas Jember.
Xu Y and Du Y. 2003. Effect of molecular structure of chitosan on protein
delivery properties of chitosan nanoparticles. Int J Pharm 250 (1):215-226.
Yuan Y, Chesnutt BM, Haggard WO, Bumgardner JD. 2011. Deacetylation of
Chitosan: Material Characterization and in vitro evaluation via albumin
adsorption and pre-osteoblastic cell cultures. Materials 4(8): 1399-1416.
doi: 10.3390/ma4081399.
24

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

LAMPIRAN
Kitosan TPP Ekstrak Kitosan

Kitosan terikat
silang TPP

Homogenisasi
13500 rpm, 5 menit

Viskositas

Ultrasonikasi
A=40, t=60 menit

Turbiditas

Sentrifugasi
19900 rpm, 120 menit

Supernatan PSA

Freeze Dry

Uji aktivitas antimalaria


secara in vitro
25

Lampiran 2 Karakterisasi kitosan

Analisis Kadar Air (AOAC 2007)

Bobot (g)
Sampel
K W (W+K)3 (W+K)4 (W+K)5 (W+K)6 (W+K)7 (W+K)8
K1 1.0058 18.0413 18.9965 18.9797 18.9916 18.9632 18.9577 18.9576
K2 1.0044 16.9245 17.8760 17.8668 17.8724 17.8482 17.8417 17.8417
K3 1.0036 18.6066 19.5602 195466 19.5570 19.5309 19.5257 19.5253
Keterangan: K = kitosan
W = wadah kosong
(W+K)n; n = waktu (jam)

Sampel Kadar air (%) Rerata kadar air, x (%)


K1 8.90
K2 8.68 8.68
K3 8.46

3
|xi -x|2 |8.90-8.68|2 + |8.68-8.68|2+ |8.46-8.68|2
SD = = = 0.22
n-1 3-1
i=1

Jadi, kadar air kitosan yang digunakan adalah 8,68 ± 0.22%.

Analisis Kadar Abu (AOAC 2007)

Bobot kitosan Bobot abu Kadar abu


Sampel
(g) (g) (%)
Kitosan I 1.0046 0.0080 0.80
Kitosan II 1.0009 0.0085 0.85
Kitosan III 1.0058 0.0073 0.72
Rerata kadar abu kitosan (x) 0.79

3
|xi -x|2 |0.80-0.79|2 + |0.85-0.79|2+ |0.72-0.79|2
SD = = = 0.07
n-1 3-1
i=1

Jadi, kadar abu kitosan yang digunakan adalah 0.79 ± 0.07%.


26

Penentuan Bobot Molekul Kitosan (Tarbojevich & Cosani 1996)

Konsentrasi Waktu alir ulangan ke- (detik) Rerata


kitosan waktu alir
1 2 3 4 5
(10-4 g/mL) (detik)
0 76.05 76.02 76.17 76.14 76.12 76.08
2 93.48 93.73 93.65 93.52 93.71 93.67
4 112.15 112.22 112.26 112.19 112.21 112.32
6 134.43 134.15 134.21 134.37 134.32 134.26
8 160.92 160.80 160.83 160.95 160.87 160.90
10 186.86 187.07 186.33 186.56 186.86 186.92

Konsentrasi kitosan
r sp sp/c ln(sp/c) ln(t/to-1)
(10-4 g/mL)
0 - - - - -
2 1.2312 0.2312 1156.00 7.0527
4 1.4763 0.4763 1190.75 7.0823
6 1.7647 0.7647 1274.50 7.1503
8 2.1148 1.1148 1393.50 7.2395
10 2.4569 1.4569 1456.90 7.2841
7.30

y = 310x + 6,9758
7.25 r² = 0.9769

7.20

7.15

7.10

7.05

7.00
0.0000 0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.0010 0.0012

[] = KMa ; dengan K = 3.510-4 dan a = 0.76


6.9759 = 3.5  10-4 M0.76
M0.76 = 19931.14286
M = 454233.555 g/mol
Bobot molekul kitosan yang digunakan adalah 454233.555 g/mol.
27

Penentuan DD Kitosan (Baxter et al. 1992)

2 1.8 Laboratory Test Result

20

18

602.32
16

14 1603.26
%T 1382.35
Keterangan:
12

=P
10
+ = P0
1081.97
8
3410.80

6 .0
4 00 0.0 3 00 0 2 00 0 1 50 0 1 00 0 4 50 .0
cm-1

17.0 21.8
A1655 = log = 0.0304 A3450 = log = 0.4085
15.8489 8.5114
0.0304
DD = 100 - × 115 = 91.44%
0.4085
Derajat Deasetilasi kitosan yang digunakan sebesar 91.44%.
28

Lampiran 3 Sertifikat analisis kitosan Biotech Surindo

Lampiran 4 Hasil pengukuran turbiditas setiap formula pada awal sintesis,


setelah sonikasi dan setelah sentrifugasi

Turbiditas (NTU)
Kelompok Formula
Awal Sonikasi Sentrifugasi
ADA 368.0 272.2 244.2
I BDA 352.3 260.7 222.6
PDA 337.6 254.0 212.2
ADP 220.4 130.0 103.6
II BDP 191.0 110.0 91.4
PDP 185.8 107.0 85.6
AD 212.0 128.4 104.0
III BD 190.2 110.0 91.6
PD 178.0 107.2 88.0
AC 193.0 114.0 90.2
IV BC 171.6 105.0 84.2
PC 150.0 90.6 72.4
29

Lampiran 5 Hasil analisis PSA nanopartikel kitosan-ekstrak metanol daun Cassia


fistula dan buah Duranta repens

Sampel
Name : ADP Comments from user :
Measured on : 11/10/2013 Mode : Acquisition
Time : 15:09:04 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1188.35 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 337.84 Rerata number : 293.15 PDI : 2.3140


30

Sampel
Name : ADA Comments from user :
Measured on : 11/10/2013 Mode : Acquisition
Time : 14:19:05 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 759.97 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 737.18 Rerata number : 525.18 PDI : 2.3140

Sampel
Name : PDA Comments from user :
Measured on : 11/10/2013 Mode : Acquisition
Time : 14:49:53 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1381.58 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 372.40 Rerata number : 317.13 PDI : 2.5670


31

Sampel
Name : PDP Comments from user :
Measured on : 11/10/2013 Mode : Acquisition
Time : 13:51:42 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1421.93 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 91.65 Rerata number : 81.12 PDI : 0.9040


32

Sampel
Name : BDP Comments from user :
Measured on : 4/10/2013 Mode : Acquisition
Time : 13:34:48 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1269.48 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 170.77 Rerata number : 151.72 PDI : 1.6670

Sampel
Name : BDA Comments from user :
Measured on : 11/10/2013 Mode : Acquisition
Time : 14:00:25 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1289.93 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 605.80 Rerata number : 471.50 PDI : 3.5890


33
34

Sampel
Name : BD Comments from user :
Measured on : 17/1/2014 Mode : Acquisition
Time : 13:37:56 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1368.34 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 274.41 Rerata number : 236.85 PDI : 2.1150


35

Sampel
Name : AD Comments from user :
Measured on : 5/2/2014 Mode : Acquisition
Time : 10:38:58 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1127.66 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 484.45 Rerata number : 399.30 PDI : 3.1980

Sampel
Name : PD Comments from user :
Measured on : 5/2/2014 Mode : Acquisition
Time : 10:45:56 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1027.04 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 229.61 Rerata number : 210.56 PDI : 1.9710


36

Sampel
Name : AC Comments from user :
Measured on : 5/2/2014 Mode : Acquisition
Time : 11:00:36 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1148.32 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 462.55 Rerata number : 371.45 PDI : 3.1490


37

Sampel
Name : BC Comments from user :
Measured on : 5/2/2014 Mode : Acquisition
Time : 10:55:01 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1046.51 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 335.53 Rerata number : 296.55 PDI : 2.4460

Sampel
Name : PC Comments from user :
Measured on : 17/1/2014 Mode : Acquisition
Time : 13:57:21 Profil : Admin

Measure conditions
Temperature : 25.0°C Average count rate : 1763.50 kcps
Refractive Index (nd) : 1.33 DTC position : DOWN
Viscosity : 0.894 Wavelength : 657.00

Cumulants method

Dmean number : 150.97 Rerata number : 137.54 PDI : 1.5020


38

Lampiran 6 Hasil uji in vitro

Pengenceran sampel BDA BCA BDP BCP

1.00-09 95.00% 98.00% 92.00% 73.80%


1.00-08 79.00% 81.00% 82.00% 56.00%
1.00-07 90.00% 83.00% 60.00% 51.00%
1.00-06 79.00% 73.00% 55.00% 50.60%
1.00-05 65.00% 59.00% 50.00% 40.00%
Konsentrasi
8.00 4.00 8.00 4.00
awal (mg/ml)

Pengenceran Cf-2 Cf-3 Cf-4 Dr-3.5 Dr-3.6 Dr-37


Sampel (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1.00-09 87.00 89.00 90.00 96.00 82.00 89.00
1.00-08 95.00 77.00 73.00 81.00 84.00 71.00
1.00-07 94.00 66.00 62.50 76.00 83.00 54.00
1.00-06 74.00 70.00 49.00 71.00 55.00 52.00
1.00-05 58.00 60.00 40.60 64.00 47.00 50.00
Konsentrasi awal
6.06 10.00 68.50 2.60 8.08 2.06
(mg/ml)
39

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Curup pada tanggal 26 Desember 1987. Penulis


merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Sakip dan Nemi
Laynah. Tahun 2005, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Curup dan diterima untuk
melanjutkan studi S1 Kimia di Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan.
Tahun 2010, penulis menyelesaikan studi S1 dan tahun 2012 diterima untuk
melanjutkan studi S2 di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai