JUNAID AL-BAGHDADI
Makalah
Disampaikan pada Diskusi Bulanan Dosen
Tanggal, 18 Oktober 2013
Oleh :
Muhamad Nur, S.Ag., M.S.I
NBM : 1072933
TEKS-TEKS SUFISTIK
JUNAID AL-BAGHDADI
Oleh : Muhamad Nur, S.Ag, M.S.I
A. PENDAHULUAN
Imam Junaid al-Baghdadi hidup pada awal abad ke-3 Hijriyah. Al-Junaid
yang nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Junaid
al-Khazzaz al-Qawariri dikenal dengan pendapat-pendapat sufistiknya yang jelas
dan elaboratif dalam banyak sisinya sehingga kemudian dikenal dalam sejarah
dengan julukan Syeikh al-Thaifah (Ketua Rombongan Suci).1
Predikatnya sebagai tokoh legendaris tasawuf atau sufi papan atas
menjadikan beberapa aspek penting dari ujaran-ujaran Junaid al-Bagdadi yang
menjadi alasan penghormatan sebagian besar kaum muslimin terhadapnya, baik
ketika masih hidup atau sesudah wafatnya. Penjelasannya mengenai rambu-rambu
jalan menuju Allah, paparannya tentang makna-makna maqamat atau maksud dari
ahwal, seruannya untuk ber-mujahadah secara berkesinambungan, atau
Makalah dipresentasikan pada Acara Diskusi Dosen STIT Muhammadiyah Kendal
tanggal 18 Oktober 2013
Dosen STIT Muhammadiyah Kendal
1
Muhammad Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 24. Ulama yang lain menyebutnya Sayyid ath-Tha`ifah (Pemuka
Golongan Kaum Sufi), atau Taj al-`Arifin (Mahkota Kaum Arif), lihat Muhammad Fauqi Hajaj,
Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta : Amzah, 2011), hlm. 75 dan 89.
2
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Junaid al-Baghdadi
Junaid al-Baghdadi, nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin
Muhammad al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di kota
Baghdad, Iraq. Al-Junaid berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di
Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn al-Junaid,
seorang pedagang barang pecah belah yang sangat arif. Al-Junaid sendiri mata
pencahariannya adalah pedagang sutera di kota Baghdad. 2
Al-Junaid memperoleh didikan agama dari pamannya Sari al-Saqati,
seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan
al-Junaid, seluruh pelajaran agama yang diberikan paman diserapnya dengan baik.
Menginjak usia 20 tahun al-Junaid belajar ilmu Hadits dan Fiqh kepada
Abu Thawr seorang faqih terkenal di Baghdad. Al-Junaid tumbuh menjadi
seorang faqih di bawah bimbingan guru ini. Menguasai ilmu Fiqh, bagi al-Junaid,
mempunyai arti penting untuk menguasai ilmu tasawuf. Menurut al-Junaid,
dengan menguasai ilmu fiqih terlebih dahulu, maka praktik ajaran sufisme akan
tetap dapat dikontrolnya, sehingga tidak keluar dari koridor al-Quran dan Hadits. 3
2
Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka,
1985), hlm. 110
3
Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual, Menuju Insan Kamil, (Semarang : Pustaka
Nuun, 2004), hlm. 58.
3
4
Triyoga A. Kuswanto, Neo-Sufisme Jalan Sufi Nurcholish Madjid, (Yogyakarta : Pilar
Media, 2007), hlm. 112.
5
Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Op. Cit, hlm. 258.
6
Ali Hasan Abdul Qadir, Rasail al-Junaid, hlm. pendahuluan.
4
7
Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000),
hlm. 70.
8
Ibid, hlm. 73.
9
Muhammad Amin Syukur dan Masyharuddin, Op. Cit, hlm. 26.
5
b. Maqamat Sufi
Maqamat dan ahwal merupakan subtansi jalan tasawuf. Al-Junaid
memberi wawasan lebih jelas ketika menafsirkan maqamat yang bersama-sama
dengan ahwal merupakan subtansi jalan bagi murid dalam mendaki jalan sufi.
1) Taubat
Taubat menurut al-Junaid memiliki tiga pengertian : (1) sesal; (2) tekad
untuk tidak mengulangi perbuatan yang dilarang Allah; dan (3) usaha
mengembalikan mazhalim (orang yang dizalimi).10
Konsep taubat tersebut menunjukkan seseorang yang bertaubat harus
menyesali tidak kelalaian terhadap Allah yang telah terjadi, disertai tekad kuat
melekatkan diri dengan jalan tasawuf, dan usaha serius mengembalikan sesuatu
yang dahulu diperolehnya secara tidak sah kepada pemilik aslinya.
Landasan jalan tasawuf yang benar adalah taubat sesungguh-sungguhnya
yang menjadi titik tolak seorang hamba dalam meninggalkan dosa-dosa secara
total. Setelah itu orang yang bertaubat harus menaiki tangga-tangga jalan
tasawuf dan jenjang-jenjang irfan sehingga bisa melupakan maksiat yang
sebelumnya telah menghalangi dari pencapaian. Saat kondisi seperti ini, orang
tersebut menduduki satu posisi spiritual yang membuatnya tidak ingat apa-apa
selain Allah (fana), yaitu martabat al-muthaqqiqin.
2) Al-Wara`
Al-wara` menurut penafsiran al-Junaid tidak terbatas pada pencarian rizki
yang halal dengan menghindari syubhat-syubhat di dalamnya, melainkan juga
mencakup komitmen menjaga diri untuk tidak mengucapkan kata-kata/hal-hal
yang tidak diridhai Allah. Al-Junaid mengatakan : Menjaga sikap al-wara`
dalam berbicara lebih berat daripada al-wara` dalam bekerja mencari rizki.11
10
Abu al-Qasim al-Qusaeri, Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, (Mesir : Dar al-Khatib al-Arabi,
1996), hlm. 258-259.
11
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 221
6
3) Zuhud
Zuhud menurut penafsiran al-Junaid berpangkal pada pemurnian hati dari
ketertarikan yang sangat pada dunia agar manusia tidak berpaling dari Allah
dan tidak terkotori kesuciannya bersama Allah. Zuhud sangat erat dengan
makna qana`ah yang ditafsirkan al-Junaid sebagai mencukupkan diri dengan
apa yang ada saat ini tanpa menatap ke masa depan yang jauh karena percaya
sepenunya dengan rezeki yang dijamin Allah bagi setiap makhluk. 12
Sikap al-Junaid ini sarat dengan hikmah dan kebenaran sebab menatap ke
masa depan dengan penuh ambisi akan menimbulkan depresi psikologis bagi
pelakunya sehingga tergelincir pada hal-hal yang diharamkan. Apa yang
dikemukakan al-Junaid mengandung pesan bahwa ambisi besar mencari
kekayaan bisa menyeret pelakunya untuk menghalalkan segala macam cara,
termasuk cara-cara ilegal yang bertentangan dengan hukum Islam.
Zuhud yang berarti kekosongan hati dari cinta dunia termasuk langkah
membantu seseorang menyiapkan hatinya agar bisa menerima hikmah dari
Allah sebab hatinya kosong dari selain Allah.
4) Fakir
Fakir menurut penafsiran al-Junaid merupakan simbul atau jargon orang-
orang yang menghadap Allah dengan lebih banyak ibadah dalam khalwat.
Kadang-kadang kefakiran memiliki indikator lahiriyah yang bisa membedakan
sebagian kaum dengan yang lain sebab mereka adalah orang-orang yang
membutuhkan Allah secara lahir dan batin. Al-Junaid menginginkan setiap
fakir meluruskan hubungannya dengan Tuhannya sehingga lahiriyahnya
menunjukkan apa yang ada di batinnya, dan batinnya membenarkan apa yang
ditunjukkan lahirnya. Konsep ini menunjukkan bahwa setiap fakir harus harus
bebas dari klaim atau pengakuan. Al-Junaid berkata : Wahai orang-orang fakir
sekalian, kalian mengenal Allah dan memuliakan Allah maka perhatikanlah
bagaimana kalian bersama Allah saat kalian menyendiri dengan-Nya.13
Ketulusan dalam status kefakiran yang hanya ditujukan kepada Allah saja
membuat sang fakir sejati tidak mau mengemis dan meminta-minta pada
12
Ibid. hlm. 222.
13
Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit., hlm. 539.
7
manusia karena sudah merasa sudah cukup kaya dengan apa yang diperolehnya
di sisi Allah. Sikap ini juga mendorongnya untuk tidak berdebat dan bersilaf
lidah dalam masalah agama sehingga orang fakir adalah orang yang tidak
memusuhi siapapun, dan jika dimusuhi orang fakir sejati diam.
5) Sabar
Idealisme orang yang sabar adalah mampu menanggung penderitaan
sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah sampai duka berlalu. Jalan
menuju Allah berasaskan iman kepada-Nya, dan setiap mukmin bisa meniti
jalan tersebut jika memang mau bersabar, mengingat penapakan jenjang-
jenjang di dalamnya membutuhkan kesabaran ekstra. Kondisi tersebut
umumnya jarang dimiliki oleh kebanyakan orang karena jalan ini menuntut
seseorang untuk lebih banyak lagi menghadap kepada Allah dengan khalwat
dan dzikir. Sabar juga memuat segala jenis riyadhah untuk mendidik nafsu, dan
setelah sampai maka diperoleh kasyf atau musyahadah, lalu terkadang sebagian
orang menuturkan ilham yang diperolehnya tersebut saat kondisi tidak sadar
dengan ungkapan yang musykil. Semua ini menuntut kesabaran, dan kesabaran
yang paling berat adalah kesabaran bersama Allah. Al-Junaid menegaskan :
Perjalanan dari dunia ke akhirat mudah dan ringan bagi orang mukmin,
meninggalkan khalayak manusia di sisi Allah berat. Perjalanan dari nafsu ke
Allah sulit dan berat, namun lebih berat lagi kesabaran bersama Allah. 14
6) Ridha
Ridha menurut al-Junaid adalah ketundukan mutlak dan penyerahan diri
seutuhnya pada ketentuan qadha Allah yang telah ditetapkan sejak zaman azali.
Ridha berarti melepas ikhtiar. Melapas ikhtiar tidak berarti bahwa seseorang
menjadi fatalis dalam segala perbuatan yang dilakukannya. Melepas ikhtiar
dalam perspektif al-Junaid berarti ridha dengan qadha Allah dalam bentuk
cobaan-cobaan yang diujikannya kepada hamba-Nya, terkait insiden-insiden di
mana manusia tidak memiliki peran/otoritas intervensi dalam pelaksanaannya.
Ridha dalam pengertian ini menurut al-Junaid merupakan salah satu
derajat ma`rifah billah, jalan kesinambungan ma`rifah billah, dan sarana
14
Ibid, hlm. 397-398.
8
c. Ahwal Sufi
Imam al-Junaid memberikan penjelasan tentang perilaku-perilaku spiritual
(al-ahwal) yang bersama-sama dengan maqamat merupakan inti hakikat tasawuf.
1) Muraqabah Lillah
Al-Junaid menyebutkan bahwa muraqabah lillah merupakan langkah
pertama realisasi tauhid. Muraqabah Lillah adalah perasaan berlimpah bahwa
segala sesuatu yang ada mengambil wujud dan kelangsungan eksistensinya dari
Allah Yang Maha Esa. Muraqabah Lillah merupakan sikap ihsan dalam
beribadah sebab Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.17
Orang yang benar-benar dalam kondisi muraqabah, hatinya fokus kepada
Allah SWT dan tidak menengok kepada siapapun selain kepada Allah SWT.
Seseorang tidak akan sedih atas bagian nafsu diri yang tidak diperolehnya
sebab seluruh pikirannya hanya terfokus pada pendedikasian diri dalam
muraqabah lillah.
15
Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Op. Cit, hlm.131.
16
Triyoga A. Kuswanto, Op. Cit., hlm. 79
17
Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit, hlm 87..
9
18
Muhammad Shalikhin, Op. Cit, hlm. 122.
19
Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit, hlm. 89.
10
20
Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit., hlm. 310
21
Sudirman Teba, Orientasi Sufistik Cak Nur, Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa,
(Jakarta : Yayasan Paramadina, 2004), hlm. 134-135.
22
Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit, hlm. 89.
23
Syaikh Fadhlalla Haeri, Op. Cit., hlm. 72
11
seseorang mengalami kondisi uns maka menurut kaum sufi penghormatan tetap
ada , tanzih (pensucian Allah dari hal-hal yang tidak selayaknya diniscayakan,
dan hulul (kesatuan hamba dan Tuhan) ditolak.
8) Musyahadah
Musyahadah menurut al-Junaid adalah jenis pengetahuan tentang alam
ghaib dengan media mata bathin (al-asrar). Musyahadah merupakan
penjangkauan alam ghaib dengan medium kebeningan cahaya yang masuk ke
dalam hati sebagai buah kebersihan hati dari segala sesuatu selain Allah dan
konsentrasi himmah pada Allah. Al-Junaid berkata :
Hakikat musyahadah adalah eksisitensi al-Haqq dan ketiadaan seseorang.
Musyahadah merupakan penyaksian perkara ghaib dengan medium
cahaya-cahaya mata bathin (anwar al-asrar) yang terpancar dari dalam
hati yang murni dari noda kotoran dan bersih dari selain Allah sehingga
seolah-olah melihat alam ghaib dari balik satir tipis karena beningnya
pengetahuan tersebut.24
9) Yaqin.
Yaqin menurut al-Junaid berarti pembenaran dan determinasi dalam
akidah atau yakin berarti ketiadaan ragu sama sekali. Hanya saja, dalam
konteks sufisme, hal itu diperoleh dengan meniti jalan tashfiyyah (purifikasi
hati) yang mengantarkan pelakunya pada kasyf dan ilham, bukan dengan
deretan bukti-bukti demonstratif (burhan) atas masalah-masalah teologis yang
disampaikan Rasulullah, karena metode tersebut mengandalkan pemosisian
masalah-masalah teologis dalam bingkai penelitian dan pengamatan, sementara
pemosisian di depan akal manusia pada level tertentu mengisyaratkan bahwa
persoalan teologis tersebut tidak bisa diterima kebenarannya secara aksiomatik
(apa adanya). Upaya melalui metode burhan tersebut berarti mengisyaratkan
pelakunya masih menyimpan keraguan atau belum yakin seratus persen.25
24
Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit.,hlm. 311.
25
Sudirman Teba, Op. Cit., hlm. 102
12
(sebagai terminal akhir). Hal ini pula yang dilakukan oleh al-Junaid.
Ilmu hakikat yang hanya dimiliki oleh kaum sufi minus ulama-ulama
lain bersumber dari Allah karena dedikasi dan konsistensi dalam menjalankan
amal ketaatan ekstra dan komitmen menapaki ahwal. 26
Pada faktanya, isu yang diusung Imam al-Junaid dan kaum sufi di setiap
masa ini mengandung banyak kebenaran. Sejauh apa pun akal manusia
berkutat dalam penelitian tentang masalah ilahiyat (ketuhanan) atau masalah-
masalah metafisik, ia tidak mampu memberikan kepuasan batin atau
menghasilkan hal baru yang mewujudkan kebahagiaan bagi manusia selain apa
yang telah diwartakan oleh wahyu. Atas pertimbangan itulah, kalangan
munshifin (yang jujur dan objektif) kemudian mencukupkan diri dengan apa
yang disampaikan oleh syara' dalam konteks persoalan-persoalan ghaib, dan
mendeklarasikan keterbatasan akal dalam mencapai pengetahuan tentang
masalah metafisik (al-ghaibiyyat) yang jika seseorang ngotot menggelutinya
maka ia hanya akan menuai kebingungan dan kegelisahan.
Melalui jalur ilham, orang-orang 'arif billah diberitahu dan
diperlihatkan oleh Allah tentang rahasia-rahasia selain mereka untuk
membantu mereka dalam meluruskan diri dan mendidiknya, serta dalam
mengatasi penyakit-penyakit hati dan petaka-petakanya, dan semua itu
merupakan rahmat khusus yang dianugerahkan Allah.
Perlu juga disyaratkan bahwa sebagian besar kalangan yang
memberikan sejumlah catatan keberatan terhadap kaum sufi, semisal Ibnu al-
Jauzi, Ibnu Taimiyyah, dan asy-Syaukani, tetap mengakui kebenaran fakta
perolehan ilham oleh tokoh-tokoh sufi sejati (ash-shidiqin).27
26
Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit., hlm. 104
27
Muhammad Amin Syukur dan Masyharuddin, Op. Cit., hlm. 195-196.
13
28
Imam Abu Qasim al-Junaid, Rasail al-Junaid, Tahqiq : Ali Hasan Abdul Qadir, hlm. 33
14
dengan ide Plato tentang telah adanya jiwa manusia dalam alam ideal, sebelum
turun ke dalam tubuh, dan tercapainya hal tersebut dalam alam ideal dengan
pengetahuan hakiki.29
Fana yang dikembangkan al-Junaid adalah apabila seorang manusia
sampai pada akhir perjalanannya kepada Allah, dan di dalam Allah orang
tersebut tenggelam dalam ilmu dan makrifat, di mana dirinya tetap bertahan
dalam diri-Nya dan sifatnya dalam sifat-Nya. Dan dia gaib dari segala sesuatu
yang selain Allah, dan tidak melihat wujud ini melainkan Allah. Itulah yang
disebut sebagai istilah fana seseorang dalam tauhid, sebagai jalan ilmu dan
makrifah, keadaan dan kesempurnaan, yang kepadanya tidak datang kebatilan
baik dari depannya maupun dari belakangnya, dan tidak ada penyimpangan
baik permulaannya maupun penghujungnya.30
f. Statement dalam Masalah Tauhid
Imam al-Junaid memiliki banyak statement dalam masalah tauhid yang
bisa dikategorikan dalam dua pola: Pertama, jelas dan lugas; sehingga bisa
dipahami baik oleh kalangan awam maupun kalangan khashsh. Kedua, samar-
samar dan njimet sehingga sulit sekali dipahami bahkan oleh sebagian tokoh
terkemuka sufi sekaliber Ibnu Arabi. Pola kedua inilah yang menjadi salah satu
pemicu sikap antipati sebagian kalangan terhadap al-Junaid.
Statement al-Junaid masalah tauhid berciri jelas dan lugas antara lain
tampak dalam statement-nya mengenai perbedaan antara Khaliq dan makhluk
dari segi dzat, sifat-sifat, dan perbuatan (sebagaimana halnya yang disuarakan
para teolog Islam). Al-Junaid misalnya, mengatakan: Tauhid adalah ifrad al-
qidam min al huduts (pemisahan (penyendirian) kekekalan dari kebaruan).31
Al-Junaid menyatakan keharusan mensucikan Allah secara utuh dari
segala hal yang tidak pantas bagi-Nya. Tauhid adalah pengesaan Sang
Muwahhad dengan mengafirmasi secara determinatif kemahaesaan
(wandaniyyah)-Nya, yakni dengan kesempurnaan kemahatunggalan
(ahadiyyah)-Nya bahwa Dia Dzat Mahatunggal (Wahid) yang tidak beranak
29
Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, Op. Cit, hlm. 112.
30
Imam Abu Qasim al-Junaid, Op. Cit., hlm. 32-33
31
Abu al-Qasim al-Qusaeri, Op. Cit., hlm. 24.
15
32
Imam Abu Qasim al-Junaid, Op. Cit., hlm. 61
16
33
Ibid.
34
Muhammad Fauqi Hajaj, Op. Cit., hlm. 109.
17
38
Ibid.
39
Abu al-Qasim al-Qusaeri, Risalah al-Qusyairiyah, Op. Cit, hlm. 201
19
tersebut sehingga setiap mendengar sama', memori tersebut langsung aktif dan
menggerakkan mereka.40
40
Ibnu Sa`ad, Ath-Thabaqat al-Kubra, Juz I, (Beirut : Himmah, 1376 H), hlm. 73
20
dengan Allah sebab Dia menuntut mereka untuk menyatukan .orientasi hanya
kepada-Nya sebagai bentukperhatian terhadap mereka.” Jawab al-Junaid.41
Lepas dari kuat-lemahnya kritik-kritik di atas beserta jawabannya,
paparan teks di atas menunjukkan kepada kita upaya sebagian kalangan sejak
dahulu untuk mencari-cari kesalahan kaum sufi. Dan semua itu dikarenakan
perbedaan antar manusia dari segi karakter fitrah mereka yang bersifat khas.
Sebagian masyarakat menyukai perilaku zuhud terhadap keduniaan sehingga
mereka bersimpati kepada kaum sufi dan cenderung memaafkan kesilafan-
kesilafan mereka yang bersifat syakli (tidak subtansial) selama perilaku
kezuhudan mereka tidak mengeluarkan mereka dari lingkaran syara` baik
dalam perilaku maupun keyakinan. Sebagian lagi memiliki kerakter dan
pembawaan yang berbeda dengan kecenderungan ini sehingga mereka
cenderung bersikap kritis, evaluatif, dan antipati terhadap kaum sufi, baik
dalam masalah periperal maupun subtansial.
C. PENUTUP
Imam Junaid al-Bagdadi adalah tokoh legendaris tasawuf atau sosok
sufisme papan atas yang merupakan peletak jalan tasawuf dan tarekat di atas
fondasi al-Quran dan sunnah. Hal ini yang menjadi faktor utama yang
melatarbelakangi sikap akomodatif sebagaian besar kaum muslimin terhadap
pendapat-pendapatnya.
Tajuddin As-Subki mengatakan : “Al-Junaid bin Muhammad, pemuka
golongan sufi, tokoh garda depan jamaah sufi, imam ahli hirfah (teknokrat),
syaikh tarekat tasawuf, ikon wali pada masanya, dan pahlawan kaum arif”.
Imam Junaid al-Bagdadi meninggal tahun 298 Hijriyah, dengan
menyandang gelar mulia sebagai “Sayyid ath-Tha`ifah” (pemuka golongan) di
kalangan kaum sufi.
41
Ibid.
21
DAFTAR PUSTAKA
Al-Junaid, Imam Abu Qasim, Rasail al-Junaid, Tahqiq : Qadir, Ali Hasan Abdul,
t.th.
Al-Qusaeri, Abu al-Qasim, Ar- Risalah al-Qusyairiyyah, Mesir : Dar al-Khatib al-
Arabi, 1996.
Hajaj, Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam dan Akhlak, Jakarta : Amzah, 2011
Sudirman Teba, Orientasi Sufistik Cak Nur, Komitmen Moral Seorang Guru
Bangsa, Jakarta : Yayasan Paramadina, 2004