Anda di halaman 1dari 6

Jurnal Wacana Politik - ISSN 2502 - 9185 Vol. 1, No.

2, Oktober 2016: 90 - 95

AFFIRMATIVE ACTION DAN PENGUATAN PARTISIPASI POLITIK


KAUM PEREMPUAN DI INDONESIA
Mudiyati Rahmatunnisa
Departemen Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
E-mail: m.rahmatunnisa@unpad.ac.id

ABSTRACT

Meskipun berbagai Konvensi PBB telah diratifikasi dan kebijakan internasional maupun nasional lainnya,
partisipasi politik perempuan masih dianggap lemah. Mereka tetap kurang terwakili secara substansial
dalam posisi pengambilan keputusan politik. Dengan kata lain, bidang politik masih didominasi
laki-laki. Artinya, pernyataan kesetaraan politik formal saja tidak cukup. Perlu tindakan lebih untuk
membuatnya menjadi kenyataan. Salah satu ukuran potensial, antara lain, adalah tindakan afirmatif
dalam bentuk kuota gender. Kebijakan tersebut memiliki potensi untuk memperkuat partisipasi politik
dan representasi perempuan. Namun demikian, secara empiris, hal ini tidak selalu terjadi. Sebagai salah
satu harapkan, ada sejumlah faktor yang menentukan efektivitas proses implementasi kebijakan, yaitu,
politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Untuk pelaksanaan lebih efektif, afirmatif perlu kebijakan
tindakan harus disertai dengan upaya paralel menangani berbagai rintangan.

Kata kunci: jenis kelamin, partisipasi politik, tindakan afirmatif

AFFIRMATIVE ACTION AND THE STRENGTHENING OF WOMEN POLITICAL


PARTICIPATION IN INDONESIA

ABSTRACT

Despite various existence of ratified UN Conventions and other international and national policies, women’s
political participation has still been considered week. They remain substantially underrepresented in the
position of political decision making. In other word, political sphere is still male-dominated. Needless to say,
formal political equality statements are not enough. It needs more actions to make it into reality. One potential
measure, among other things, is affirmative action in the form of gender quota. The policy has the potential to
strengthen women’s political participation and representation. Nevertheless, empirically, this has not always
been the case. As one would expect, there are a number of factors which determine the effectiveness of the policy
implementation process, i.e., political, socio-economic, and socio-cultural. For more effective implementation,
affirmative action policy need to be accompanied by parallel effort of handling those hindrances.

Key words: gender, political participation, affirmative action


PENDAHULUAN perempuan. Sementara CEDAW menjadi dasar
untuk mewujudkan kesetaraan antara kaum
Sampai saat ini, perempuan di berbagai perempuan dan laki-laki dengan memberikan
Negara masih menjadi “second class citizens” jaminan kesetaraan akses dan kesempatan
ketika berbicara kiprahnya di ranah politik. dalam kehidupan politik dan aktivitas publik
Kondisi tersubordinasi oleh kaum laki-laki lainnya, termasuk hak untuk memberikan suara
masih menjadi fenomena lumrah di berbagai dan mengikuti pemilihan umum. Upaya lainnya
belahan dunia. Berbagai upaya sebetulnya adalah Beijing Declaration and Platform for
telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik di Action pada tahun 1995 yang merupakan
level internasional maupun nasional di masing- kerangka kebijakan global yang komprehensif
masing Negara. Secara internasional, Konvensi untuk mencapai kesetaraan gender dan
PBB – Convention on Political Rights for Women pemberdayaan kaum perempuan.
dan Convention on the Elimination of all Forms Meskipun pada saat ini hak politik kaum
of Discrimination Against Women (CEDAW) – perempuan telah telah diakui secara universal,
diadopsi sejak tahun 1952 dan 1979. Konvensi dimana lebih dari 98% negara di dunia telah
Hak-hak Politik Kaum Perempuan menetapkan ikut meratifikasi konvensi-konvensi tersebut,
standar internasional untuk hak-hak politik kaum termasuk juga Indonesia, namun banyak peng-
Affirmative Action dan Penguatan Partisipasi Politik Kaum Perempuan 91

amat mengatakan bahwa beragam instrument Paling tidak, terdapat dua alasan utama
kebijakan tersebut belum mampu untuk mem- yang mendasari argumentasi tersebut. Ballington
perkuat partisipasi politik kaum perempuan (2005) misalnya, berpendapat bahwa pelibatan
di ranah politik. Dalam hal ini, Philips (dalam perempuan dan laki-laki dalam proses peng-
Paxton & Hughes, 2007) mengatakan bahwa ambilan keputusan merupakan sine qua non
pengakuan formal kesetaraan dalam politik dari setiap kerangka demokrasi. Karenanya,
tidaklah memadai untuk membuat kaum perem- Ballington melanjutkan, demokrasi “cannot
puan berpartisipasi aktif dan mengatasi berbagai afford to be gender-blind. It must strive towards
hambatan sosial, ekonomi dan politik serta equality and representation of women and
hambatan lainnya. Disebutkan bahwa pengakuan men in decision making processes and in the
formal hanyalah langkah awal menuju penguatan opportunities to achieve both these goals.”
partisipasi politik kaum perempuan. Langkah Argumentasi penting lainnya adalah
selanjutnya adalah perlunya jaminan yang lebih karena adanya pemikiran bahwa pada dasarnya
kaut bagi kaum perempuan yang memang telah kebutuhan perempuan berbeda dengan laki-
begitu lama termarginalkan. laki. Oleh karenanya, keseimbangan perwakilan
Salah satu implikasi kebijakan yang menjadi sangat penting untuk dapat menjamin
menarik untuk didiskusikan adalah terkait berbagai hukum dan peraturan lainnya dibuat
kebijakan affirmative action.Apa sesungguhnya dan dilaksanakan mencerminkan tidak hanya
makna konsep tersebut? Mengapa menjadi kebutuhan dan kepentingan kaum perempuan
penting? Apakah affirmative action selalu saja, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah
berkorelasi dengan penguatan partisipasi politik terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan politik
kaum perempuan? Pertanyaan-pertanyaan ter- (political equality) dan keadilan social (social
sebut akan menjadi focus utama makalah ini. justice) sebagai prinsip sentral dari system
politik demokrasi (Seda, n.d).
HASIL DAN PEMBAHASAN Demikian halnya dengan Bari (2005)
yang berpendapat bahwa perdebatan tentang
Urgensi Partisipasi Politik Kaum Perempuan pentingnya partisipasi atau keterwakilan politik
Partisipasi politik kaum perempuan terkait perempuan terkait dengan intrinsic maupun
dengan kebijakan affirmative action terfokus instrumentalist arguments. Intrinsic argument
pada bentuk keterlibatannya dalam proses merujuk pada argumentasi bahwa dari per-
pengambilan keputusan secara formal dalam spektif hak asasi manusia, kaum perempuan
institusi politik seperti parlemen, birokrasi atau harus memiliki kesetaraan partisipasi dan
partai politik. Dalam kaitan ini, yang menjadi perwakilan, karena faktanya setengah dari
dasar pemikiran (rationale) utama pentingnya penduduk dunia adalah perempuan. Sedang-
partisipasi politik kaum perempuan di ranah kan instrumentalist argument merujuk pada
politik khususnya adalah terkait dengan upaya fakta empiric bahwa perempuan dan laki-
membentuk masyarakat demokrasi yang kuat ber- laki memang berbeda. Perbedaan inilah yang
samaan dengan penegakan hukum dan prosedur- pada akhirnya akan membawa perbedaan
prosedur demokrasi yang membutuhkan prasyarat cara pandang tentang politik. Diasumsikan
mendasar adanya kese-imbangan partisipasi dan bahwa perempuan akan membawa focus yang
perwakilan politik antara kaum perempuan dan berbeda dengan nilai-nilai feminis ke dalam
laki-laki (Fuchs & Hoecker, 2004). aktivitas politik.
Argumentasi yang serupa juga disuarakan Sementara, Dahlerup (2005) menjelaskan
oleh lembaga Inter Parliamentary Union beberapa alasan kontemporer mengapa
(1999), bahwa keberhasilan proses demokrasi keter-wakilan perempuan itu sangat penting:
mensyaratkan adanya kerjasama yang sesung- pertama – the justice argument – karena
guhnya (genuine partnership) antara kaum setengah penduduk dunia adalah perempuan,
perempuan dan laki-laki dalam mengelola ber- karenanya berhak untuk menguasai setengah
bagai urusan kemasyarakatan. Dalam kerjasama jumlah kursi yang tersedia di institusi politik;
tersebut, masing-masing pihak bekerja setara kedua – the experience argument – perempuan
dan saling melengkapi, saling memperkuat dari memiliki pengalaman yang berbeda (yang
perbedaan yang masing-masing miliki. dikonstruksi secara biologis maupun social)
92 Mudiyati Rahmatunnisa

yang harus terwakili; ketiga – the interest group koalisi dan meningkatkan pengaruh dalam
argument – perempuan dan laki-laki memiliki proses pengambilan keputusan.
kepentingan yang sebagian memang bertentangan Dalam perspektif Dahlerup (2005), pada
dan karenanya laki-laki tidak dapat mewakili intinya affirmative action merujuk pada konsep
perempuan; keempat, terkait dengan pentingnya “positive discrimination” dalam jangka waktu
politisi perempuan yang akan menjadi panutan tertentu dalam rangka meningkatkan representasi
(role models) bagi perempuan lainnya untuk kaum perempuan. Kebijakan affirmative action
aktif di ranah politik. ini berbatas waktu, sampai dengan beragam
Dari kesemua argumentasi yang di penghalang untuk kaum perempuan aktif di
bangun oleh para ahli tersebut, satu hal politik bisa dihilangkan. Dijelaskan pula oleh
yang disepakati bersama adalah bahwa para advokat kebijakan affirmative action
perempuan harus dilibatkan dalam politik. bahwa penerapan quota gender ini merupakan
“a transitional measure that will lay the
Memahami Affirmative Action foundation for a broader acceptance of women’s
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, representation…” (True, Parashar, & George,
pengakuan formal persamaan hak politik belum 2012)
menjamin mulusnya jalan bagi kaum perempuan Selanjutnya, Dahlerup mengatakan bahwa
untuk memasuki dunia politik. Affirmative affirmative action dalam bentuk kuota gender
action merupakan salah satu jenis “fast-track ini mengalokasikan prosentase atau jumlah
policies” (True, Parashar, & George, 2012) tertentu untuk kaum perempuan dalam institusi
yang dapat diambil untuk memperkuat upaya politik. Dijelaskan bahwa “The core idea behind
penguatan partisipasi politik kaum perempuan. quota systems is to recruit women into political
Dasar pemikiran kebijakan ini adalah positions and to ensure that women are not only
agar kaum perempuan dapat memiliki kekuatan a few tokens in political life.” (Dahlerup, 2002)
untuk dapat mempengaruhi (influential voice) Adapun metode affirmative action untuk
berbagai institusi yang didominasi oleh kaum menjamin keterwakilan politik perempuan
laki-laki, maka secara kuantitatif, kaum dapat dilakukan beragam. Dua di antaranya
perempuan harus mencapai apa yang disebut yang paling utama adalah kuota yang
sebagai “critical mass”. Dalam hal ini, Powley ditetapkan melalui konstitusi atau peraturan
(2006) mengatakan bahwa berdasarkan hasil perundang-undangan, dan kuota melalui
investigasi dan kajian berbagai ahli dan para partai politik (Dahlerup, 2005). Untuk
praktisi, quota 30% merupakan persyaratan metode yang pertama, biasanya dalam bentuk
minimal untuk dapat mewujudkan pengaruh “reserved seats”, seperti yang dilakukan
tersebut. Persyaratan quota minimal ini telah di 11 negara di Amerika Latin, Perancis,
disepakati sejak dua decade lalu ketika Beijing Belgia, dan Italia, yang menetapkan antara
Declaration and Platform for Action diluncurkan 10 % sampai dengan 40% dari total kursi
dan diratifikasi oleh lembaga-lembaga nasional yang ada. Untuk model yang kedua, Negara-
maupun internasional. negara Skandinavia – Denmark, Norwegia
Diskursus tentang “critical mass” diawali dan Swedia – merupakan contohnya. Ketiga
dengan tiga studi yang cukup berpengaruh Negara Skandinavia tersebut sangat terkenal
dari Kanter yang terbit pada tahun 1977, dan reputasinya di dunia dalam hal tingginya
Dahlerup yang diterbitkan pada tahun 1988 representasi perempuan dalam ranah
(dikutip dalam Childs & Krook, 2008). Pada politik. Yang menarik, tidak ada klausul
intinya, studi keduanya menunjukkan bahwa khusus dalam konstitusi atau peraturan
jumlah wakil perempuan menentukan kekuatan perundangan lainnya yang mengatur khusus
pengaruh mereka dalam institusi politik. Kanter tentang “reserved seats”. Yang terjadi justru
(dalam Chen, 2010) menekankan bahwa adalah adalanya “sustained pressure” yang
pengaruh wakil perempuan akan sulit untuk dilakukan secara intensif oleh para aktifis
diabaikan ketika jumlah kehadiran mereka perempuan untuk menjamin bahwa partai
signifikan. Temuan penting lainnya dari studi politik meningkatkan jumlah kandidat atau
mereka adalah bahwa quota minimal 30% dapat calon legislative perempuan. Respon partai
membantu kaum perempuan untuk membentuk politik di Negara-negara ini adalah dengan
Affirmative Action dan Penguatan Partisipasi Politik Kaum Perempuan 93

menetapkan system quota. Partai Buruh di ini merupakan strategi kelembagaan yang
Norwegia dan misalnya Partai Demokrat efektif untuk mempromosikan kesetaraan
Sosialis di Denmark, menetapkan minimal gender yang sesungguhnya (substantial) untuk
40%. Sementara, Partai Demokrat Sosialis kelompok perempuan yang tidak terwakili
di Swedia menetapkan prinsip “every second dalam politik, di samping kesetaraan di muka
on the list is a woman” dalam daftar kandidat hukum. Potensi keuntungan yang bisa di
legislatornya. dapat tidak sekedar peningkatan jumlah wakil
Dalam CEDAW juga diatur bahwa affir- perempuan, akan tetapi yang lebih penting lagi
mative action merupakan strategi khusus yang adalah pemberdayaan status kaum perempuan
temporer yang diadopsi untuk mengakselerasi sebagai warga Negara.
the facto quality antara perempuan dan laki- Data menarik didapat dari pengalaman
laki. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Korea Selatan yang telah menerapkan kebijakan
Asadnejad (2010), bahwa “a gender equality in ini sejak tahun 1995. Selain meningkatkan
politics is not only the issue of quantity, but also keterwakilan perempuan di parlemen baik
quality, if one wants to see any effects resulting nasional maupun daerah, kebijakan ini juga telah
from a balanced participation of women and meningkatnya akomodasi berbagai gender-
men in decision-making.” related issues dalam berbagai usulan peraturan
Dalam artikelnya, Chen (2010) menje- perundang-undangan, resolusi, persetujuan dan
laskan bahwa adopsi atas kebijakan affirmative berbagai ajuan lainnya (Soh, 2011). Konfirmasi
action ini sudah berlangsung lama di berbagai capaian serupa juga terjadi di berbagai Negara
Negara di dunia. Negara-negara maju telah 10 Skandinavia, Belanda, Jerman, Costa Rica,
atau 15 tahun lebih dahulu menerapkannya Argentina, Mozambiq dan Afrika Selatan
sebelum Konferensi PBB di Beijing tahun (Halder, 2004).
1995. Sementara Negara-negara berkembang Dahlerup (2002) menambahkan bahwa
melakukannya setelah Konferensi tersebut. kebijakan affirmative action yang efektif akan
Namun, perkembangan penerapan affirmative berkonsekuensi pada aktifnya partai politik
action di beberapa Negara berkembang ter- dalam merekrut kaum perempuan untuk
nyata mampu melebihi apa yang dicapai memenuhi kuota. Selain itu, pada gilirannya
oleh Negara maju. Rwanda misalnya, sampai perwakilan perempuan dengan jumlah minimal
dengan tahun 2003, telah mampu menempatkan tersebut (critical mass) dapat mempengaruhi
hampir 50% wakil perempuan di parlemennya, norma-norma dan budaya politik. Ditambah
dibandingkan dengan Swedia yang telah jauh lagi, kaum perempuan melalui perwakilannya
lebih dahulu menerapkan affirmative action, tersebut dapat mempengaruhi proses peng-
dengan menempatkan 45,3% wakil perempuan ambilan keputusan dengan menggunakan per-
di parlemen. spektif feminist.

Urgensi Affirmative Action Efektivitas Affirmative Action dan Penguatan


Trend penerapan affirmative action Partisipasi Politik Perempuan: Beberapa
dalam bentuk quota gender mengindikasikan Hambatan
pentingnya kebijakan tersebut. Para ahli juga Meski kalkulasi teoritik menunjukkan
mengkonfirmasi bahwa system quota gender adanya berbagai potensi keuntungan yang dapat
dipandang sebagai cara yang paling efektif diraih ketika kebijakan affirmative action itu
dalam meningkatkan keterwakilan perempuan, diterapkan, namun keuntungan tersebut tidak
khususnya di lembaga legislatif (Dahlerup & serta-mertadapatdiwujudkan.Padakenyatannya,
Freidenvall, 2005; Yoon, dalam Soh, 2011). apa yang telah dicapai diberbagai belahan dunia
Dengan mengutip pendapat Yoon, Soh (2011) masih menyisakan persoalan. Dalam hal ini
juga menambahkan bahwa affirmative action Bari (2005) mengatakan bahwa masih terdapat
dalam bentuk kuota gender ini tidak hanya kesenjangan yang cukup lebar antara nilai-nilai
sebagai alat untuk memperkuat partisipasi yang telah disepakati dalam berbagai aturan
politik kaum perempuan di ranah public, akan baik nasional maupun internasional dengan
tetapi juga merupakan realisasi dari politik praktek pelaksanaannya. Paxton dan Hughes
gender. Secara khusus, affirmative action (2007), misalnya, menyebutkan bahwa meski
94 Mudiyati Rahmatunnisa

saat ini lebih dari 190 negara di dunia telah ditentukan oleh factor-faktor: sosial-ekonomi
meratifikasi berbagai Konvensi dan memiliki (pendidikan, pekerjaan, status perkawinan);
berbagai instrument kebijakan sebagai dasar kelembagaan (system pemerintahan, system
aturan pelaksanannya di level nasional, wakil kepartaian, system pemilu, pola rekrutmen), dan
perempuan di lembaga-lembaga politik masih budaya politik (nilai-nilai, norma politik dan
sangat kecil prosentasenya (dibawah 10%). perilaku politik, gender stereotypes). Demikian
Posisi-posisi penting seperti presiden atau halnya Norris dan Lovenduski (dalam Halder,
perdana menteri, duta besar, anggota cabinet, 2004), menyebutkan interaksi dua faktor
anggota parlemen, walikota, dst. masih di penyebab masih lemahnya partisipasi politik
dominasi oleh kaum laki-laki. kaum perempuan: supply dan demand factors.
Secara khusus, penerapan kebijakan Untuk supply factors, merujuk pada kondisi
affirmative action juga menunjukkan capaian dimana kaum perempuannya sendiri yang
yang beragam. Meski di beberapa Negara enggan atau tidak tertarik untuk terjun ke dunia
telah berkonsekuensi pada hasil-hasil yang politik. Sementara, untuk demand factors
positif dalam penguatan partisipasi politik terkait adanya diskriminasi terhadap nominasi
kaum perempuan, di sebagian lainnya, justru perempuan yang dilakukan oleh partai politik
belum menunjukkan pengaruhnya yang atau pihak yang melakukan seleksi kandidat.
positif. Kasus Negara Ukraina misalnya,
berbagai kebijakan dan aktivitas untuk SIMPULAN
mempromosikan kesetaraan gender belum
secara substantive memperbaiki kualitas Meski telah terbentuk kesepakatan bahwa
maupun kuantitas partisipasi politik kaum perempuan sangat penting untuk dilibatkan
perempuan dalam ranah politik dan proses dalam kehidupan politik, namun fenomena
pengambilan keputusan. umum di berbagai Negara menunjukkan bahwa
Dalam hal ini, Shvedova (2005) men- partisipasi politik kaum perempuan masih
jelaskan tiga jenis hambatan utama: politik, rendah. Affirmative action sebagai salah satu
sosial ekonomi dan sosio-kultural. Yang bentuk “fast track policies” merupakan upaya
dimaksud dengan hambatan politik adalah temporer untuk menjamin kaum perempuan
adanya “masculine model” baik di institusi terlibat dalam proses politik dan pengambilan
politik maupun birokrasi yang sangat kuat; keputusan. Adopsi kebijakan affirmative action
kurangnya dukungan partai politik; kurangnya ini tidak serta merta akan berimplikasi positif
dukungan dari lembaga-lembaga formal terhadap penguatan partisipasi dan keterwakilan
Negara, kurangnya akses pendidikan dan pela- politik kaum perempuan. Pengalaman berbagai
tihan; dan karakter dari system pemilu yang Negara menunjukkan bahwa penerapannya
tidak memihak pada penguatan keterwakilan yang efektif jelas dipengaruhi oleh banyak
perempuan. Sementara, minimnya sumberdaya factor. Dengan demikian, agar efektif, pene-
finansial, akses pendidikan dan profesi yang rapan kebijakan affirmative action perlu
terbatas; serta “dual burden” tugas rumah dibarengi dengan upaya mengatasi berbagai
tangga dan profesi, merupakan jenis-jenis factor penghambat tersebut. Upaya tersebut
hambatan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh diantaranya:
kaum perempuan. Hambatan ideologis dan 1. Regulasi yang jelas dan tegas terkait
psikologis atau hambatan sosio-kultural adalah penerapan kebijakan affirmative action yang
hambatan dalam bentuk ideology gender yang mewajibkan semua entitas terkait untuk
dianut, pola-pola budaya, dan segregasi peran melaksanakannya;
dan tugas sosial antara perempuan dan laki- 2. Mendorong partai politiks sebagai
laki, kurangnya kepercayaan diri perempuan “main gate keepers of democracy” untuk
untuk ikut serta dalam pemilu, dan persepsi menerapkan secara konsisten kebijakan
perempuan yang memandang politik sebagai affirmative action disertai dengan aktivitas
permainan yang kotor (dirty games). pendidikan politik yang intensif dan proses
Pendapat yang serupa juga dikemukakan rekrutmen yang mendukung penguatan
oleh Fuchs dan Hoecker (2004) bahwa kapasitas wakil-wakil perempuan;
partisipasi politik kaum perempuan sangat 3. Pemberdayaan perempuan yang berkelan-
Affirmative Action dan Penguatan Partisipasi Politik Kaum Perempuan 95

jutan untuk memperkuat klaim mereka Dahlerup, D., & Freidenvall, L. 2005. “Quota
mengakses hak memperoleh posisi di as a ‘Fast Track’to Equal Representation
institusi politik atau birokrasi; for Women”. International Feminist
4. Intensif kampanye publik melalui media atau Journal of Politics, 7(1): 26-48.
mobilisasi jejaring gerakan perempuan untuk Fuchs, G., & Hoecker, B. 2004. Without
menggalang dukungan tentang pentingnya Women Merely a Half-Democracy.
keterlibatan kaum perempuan dalam kehi- New Delhi: Friedrich-Ebert-Stiftung.
dupan politik.
5. Pendidikan politik untuk semua kalangan Halder, N. 2004. “Female Representation
masyarakat yang berfokus pada upaya in Parliament: A Case Study from
menghilangkan hambatan ideologis dan Bangladesh “. New Zealand Journal of
kultural bagi kaum perempuan untuk aktif Asian Studies, 6(1): 27-63.
di ranah public. Inter Parliamentary Union. 1999. Participation
of Women in Political Life. Geneva:
DAFTAR PUSTAKA Inter Parliamentary Union.

Asadnejad, E. 2010. “Affirmative Action Paxton, P., & Hughes, M. 2007. Women, Politics,
and Women’s Political Participation In and Power: A Global Perspective.
Decentralised Governance in Iran.” Tesis. Thousands Oaks, CA: Sage Publications.
Faculty of Law, Norwegian Centre for Powley, E. 2006. Rwanda: The Impact of
Human Rights, University of Oslo. Women Legislators on Policy Outcomes
Ballington, J. 2005. “Introduction.” In Women Affecting Children and Families. New
In Parliament: Beyond Numbers , ed. York: UNICEF.
J. Ballington, & A. Karam. Stockholm: Seda, F. tanpa tahun. “Women’s Democracy
International IDEA, 23-30. Network.” http://www.wdn.org/sites/
Bari, F. 2005. “ United Nations: http://www. default/files/Jakarta1.pdf (diakses 09
un.org/womenwatch/daw (diakses 10 Mei 2016)
Agustus2016). Shvedova, N. 2005. “Obstacles to Women’s
Chen, L.J. 2010. “Do Gender Quotas Participation in Parliament.” In Women
Influence Women’s Representation in Parliament: Beyond Numbers , ed.
and Politics?”. The European Journal J. Ballington, & A. Karam. Stockholm:
of Comparative Economics, 7(1): 3-60. International IDEA: 33-50.

Childs, S., & Krook, M. L. 2008. “Critical Soh, E. 2011. “Ten Years’ Experience of
Mass Theory and Women’s Political Gender Quota System in Korean
Representation”. Political Studies, 56, Politics “. GEMC Journal, 98-105.
725-736. True, J., Parashar, S., & George, N. 2012.
Dahlerup, D. 2002. “Using Quota’s to Increase “Women’s Political Participation in
Women’s Political Participation.” In Asia and the Pacific.” from Artsonline
Women in Parliament Beyond Numbers, Monash University: http://www.
ed. J. Ballington, & A. Karam. artsonline.monash.edu.au (diakses 12
Stockholm: International IDEA: Ch 4. mei 2016)

Dahlerup, D. 2005. “Increasing Women’s Verba, S., Schlozman, K. L., & Brady, H.
Political Participation: New Trends E. 1995. Voice and Equality: Civic
in Gender Quotas.” In Women in Volunterism in American Politics.
Parliament: Beyond Numbers, ed. J. London: Harvard University Press.
Ballington, & A. Karam. Stockholm:
International IDEA: 141-153.

Anda mungkin juga menyukai