Anda di halaman 1dari 30

Referat

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh :
Muthia Khairunnisa, S. Ked
712019053

Pembimbing
dr. Irma Yanti, Sp. S

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Referat dengan judul

STATUS EPILEPTIKUS

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Muthia Khairunnisa, S. Ked
NIM. 712019053

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang

Palembang, Juni 2020


Dosen Pembimbing

dr. Irma Yanti, Sp. S

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Status Epileptikus” sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit
Saraf Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Irma Yanti, Sp. S, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang
telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan selama penyusunan
referat ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi................................................................................. 2
2.2 Epidemiologi....................................................................... 2
2.3 Klasifikasi............................................................................ 4
2.4 Etiologi................................................................................ 9
2.5 Patofisiologi......................................................................... 12
2.6 Diagnosis............................................................................. 13
2.7 Penatalaksanaan................................................................... 16
2.8 Komplikasi.......................................................................... 21
2.9 Prognosis............................................................................. 22
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Status epileptikus merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan neurologis
dengan morbiditas dan mortalitas tergantung durasi bangkitan (seizure). Kejadian
status epileptikus dilaporkan 10 per 100.000 sampai 40 per 100.000. Insidensi
tertinggi pada usia di bawah 10 tahun (14,3 per 100.000) dan pada usia lebih dari
50 tahun (28,4 per 100.000) dengan angka kematian tertinggi pada populasi
lansia.1 Status epileptikus dapat merupakan manifestasi awal dari epilepsi kronis
pada 30% pasien, sedangkan etiologi simptomatik akut status epileptikus pada
40% sampai 50% kasus.
Di Amerika Serikat terlihat peningkatan diagnosis status epileptikus dalam 10
tahun terakhir dan peningkatan jumlah rawat inap di rumah sakit untuk status
epileptikus, terutama pada pasien lanjut usia yang diintubasi di unit perawatan
intensif (ICU).2 Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa insiden status
epileptikus jauh lebih tinggi ditemukan pada pria dibandingkan wanita, namun hal
ini masih bersifat kontroversial. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen dkk di
Cina Barat pada tahun 2009 menemukan insiden yang lebih besar pada pria
(57.7%) dibandingkan wanita (42.3%).3
Tujuan terapi status epileptikus adalah penghentian segera aktivitas bangkitan
(seizure) baik klinis dan elektrik; terapi status epileptikus yang tepat dan cepat
akan mengurangi mortalitas dan morbiditas. 4 Tingginya angka kejadian status
epileptikus ini baik di negara maju maupun di negara berkembang menjadi
masalah tersendiri dalam hal kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa
dan menyebabkan kematian dalam 30 hari kedepan setelah serangan. 1 Mortalitas
pasien status epileptikus tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien stroke.
Secara umum, prognosis pasien status epileptikus buruk, tercatat lebih dari 50%
pasien tidak selamat di ICU.5 Penelitian yang dilakukan oleh Lai dkk tahun 2015
di Prancis menyebutkan bahwa 41 dari 78 pasien meninggal di ICU, dan 37 pasien
yang selamat mengalami sekuele neurologis.5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan di antara bangkitan-bangkitan
tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran.6 Namun penanganan bangkitan konvulsif
harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit.
Status epileptikus merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan
penanganan dan terapi segera guna menghentikan bangkitan (dalam 30 menit).7
Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE) belum terdapat
keseragaman mengenai definisi status epileptikus, dan hanya mengatakan bahwa
status epileptikus adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode
waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang.
Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut
berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan
waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.8

2.2. Epidemiologi
Dalam studi epidemiologi prospektif berbasis populasi, kejadian status
epileptikus diperkirakan 41-61 / 100.000 pasien per tahun. Untuk Amerika Serikat
hal ini diterjemahkan menjadi 125.000 hingga 195.000 episode per tahun. 9 Tingkat
fatalitas kasus secara keseluruhan adalah antara 7,6 dan 39% Tingkat kematian
lebih tinggi pada lansia yaitu 38% dibandingkan dengan 14% untuk orang dewasa
muda.9
Insiden status epileptikus tertinggi terjadi selama tahun pertama kehidupan
dan selama dekade di atas 60 tahun, dan juga tergantung pada subtipe status
epileptikus. status epileptikus parsial terjadi pada 25% kasus SE dan NCSE
menyumbang 4% hingga 26% lainnya, tetapi insiden untuk yang terakhir
dianggap meremehkan karena kebutuhan untuk pemantauan EEG berkelanjutan
(yang tidak tersedia secara luas).9 Sebagai contoh, NCSE ditemukan pada tidak

2
ada pasien dengan stroke akut, 8% dari pasien ICU koma, 7% pasien dengan
perdarahan intraserebral, 3% hingga 8% pasien dengan perdarahan subaraknoid,
6% pasien dengan kanker metastasis, dan 6% pasien dengan trauma kepala.9
Lebih dari separuh pasien status epileptikus datang dengan kejang de novo
dan sekitar 10% akan mengalami episode status epileptikus berulang. Pasien
dengan status epileptikus juga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk
mengalami epilepsi kronis bila dibandingkan dengan mereka yang mengalami
kejang pertama, yang tidak memenuhi kriteria untuk status epileptikus.
Status epileptikus telah menjadi subjek dari banyak penelitian epidemiologi
besar. Nilai hingga 200.000 episode per tahun berasal dari studi prospektif
berbasis populasi yang dilakukan di Richmond, VA, di mana insiden yang
diperkirakan adalah 41 per 100.000 populasi.10
Nilai yang lebih rendah ini sesuai dengan tingkat yang diperoleh dari studi
yang dilakukan di Swiss, Jerman, dan Italia. Status epileptikus terjadi pada semua
usia tetapi paling umum pada ekstrem kehidupan. Dalam penelitian di Richmond,
kejadiannya hampir 150 per 100.000 orang pada anak-anak kurang dari 1 tahun.
Insiden turun menjadi> 25 per 100.000 orang pada usia 5 tahun sampai meningkat
lagi menjadi> 50 per 100.000 orang setelah usia 40 tahun. 11 Menurut IDAI (2016)
insiden status epileptikus pada anak diperkirakan sekitar 10-58 per 100.000 anak.
Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang
dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.12
Dalam studi Rochester, insidensi kumulatif adalah empat per 1000 hingga
usia 75 tahun dan menunjukkan peningkatan yang lebih besar setelah usia 60
tahun. Selanjutnya, status epileptikus dengan durasi yang lebih lama (lebih dari 2
jam) terjadi lebih sering di antara bayi dan orang tua dibandingkan dengan orang
berusia 1 hingga 65 tahun. tahun dalam penelitian itu. Dalam penelitian lain,
tingkat kejadian untuk anak-anak, 5 tahun adalah 7,5 per 100.000 dan pada
populasi lansia adalah 22,3 per 100.000. 11

2.3. Klasifikasi

3
Idealnya, setiap pasien harus dikategorikan menurut masing-masing dari
empat aksis. Namun, diakui bahwa ini tidak selalu memungkinkan. Pada
presentasi awal, perkiraan usia pasien dan semiologi akan segera dinilai. Etiologi
akan tampak lebih jarang dan mungkin memerlukan waktu untuk
mengidentifikasi.8
Tabel 2.1. Dimensi operasional dengan waktu 1 (t1) dan waktu 2 (t2) pada
status epileptikus
Table 1. Dimensi operasional dengan t1 yang menunjukkan waktu kapan
pengobatan darurat SE harus dimulai dan t2 menunjukkan waktu di mana
konsekuensi jangka panjang dapat diharapkan

Tipe Status Epileptikus Dimensi operasional Dimensi operasional


Waktu 1(t1), ketika kejang Waktu 2 (t2), ketika
cenderung berkepanjangan kejang dapat
yang mengarah ke menyebabkan konsekuensi
aktivitas kejang jangka panjang (termasuk
berkelanjutan cedera saraf, kematian
saraf, perubahan jaringan
saraf, dan defisit
fungsional)
Tonic–clonic SE 5 menit 30 menit
Focal SE with impaired 5-10 menit 60 menit
Consciousness
Absence status epilepticus 15 menit Tidak diketahui

Bukti untuk kerangka waktu saat ini terbatas dan data masa depan dapat
menyebabkan modifikasi.

Klasifikasi dari status epileptikus menurut International League Againts Epilepsy


(ILAE) terbagi menjadi empat aksis yaitu : 8
1. Semiologi
Aksis ini mengacu pada presentasi klinis SE dan
oleh karena itu tulang punggung klasifikasi ini. Dua utama
kriteria taksonomi adalah:
- Ada atau tidak adanya gejala motorik yang menonjol
- Tingkat (kualitatif atau kuantitatif) dari gangguan kesadaran
Bentuk-bentuk dengan gejala motorik yang menonjol dan penurunan
kesadaran dapat disebut sebagai status epileptikus kejang yang
bertentangan dengan bentuk status epileptikus non-konvulsif (NCSE).

4
Sebenarnya "status epileptikus" juga merupakan istilah awam, karena ini
adalah terjemahan bahasa Inggris dari etat de mal, yang digunakan pada
abad ke-19 oleh pasien di Salpetriere. Dengan demikian, diputuskan untuk
menjaga istilah yang diterima dengan baik "kejang." Ini menunjuk
"episode kontraksi otot abnormal berlebihan, biasanya bilateral, yang
mungkin berkelanjutan, atau terganggu.

Tabel 2.2. Klasifikasi Status Epileptikus

Axis 1: Klasifikasi Status Epileptikus (SE)


(A) Dengan gejala motorik yang menonjol
A.1 SE konvulsif (CSE, synonym: tonik–klonik SE)
A.1.a. Konvulsif menyeluruh
A.1.b. Fokal onset berkembang menjadi bilateral SE
A.1.c. tidak diketahui generalized atau focal
A.2 Mioklonik SE (epilepsi mioklonik jerks menonjol)
A.2.a. dengan koma
A.2.b. tanpa koma
A.3 Motorik fokal
A.3.a. Kejang fokal berulang (Jacksonian)
A.3.b. Epilepsia partialis continua (EPC)
A.3.c. Adversive status
A.3.d. Okuloklonik status
A.3.e. Ictal paresis (i.e., focal inhibitory SE)
A.4 Tonic status
A.5 Hiperkinetik SE

(B) Tanpa gejala motorik yang menonjol (i.e., nonconvulsive SE, NCSE)
B.1 NCSE dengan koma (including so-called “subtle” SE)
B.2 NCSE tanpa koma
B.2.a. Generalized
B.2.a.a Typical absence status
B.2.a.b Atypical absence status
B.2.a.c Myoclonic absence status
B.2.b. Focal
B.2.b.a Tanpa penurunan kesadaran (aura continua, with autonomic,
sensory, visual, olfactory, gustatory, emotional/ psychic/experiential,
atau auditory symptoms)
B.2.b.b Aphasic status
B.2.b.c dengan penurunan kesadaran
B.2.c tidak diketahui generalized atau focal
B.2.c.a Autonomic SE

2. Etiologi

5
Penyebab yang mendasari status epileptikus dikategorikan dengan
cara yang konsisten dengan konsep proposal Komisi Klasifikasi ILAE
2010, tetapi mengakui ketentuan yang berlaku yang digunakan oleh
epileptologis, dokter darurat, ahli saraf, ahli saraf pediatric, ahli bedah
saraf, dokter keluarga, dan dokter lain yang merawat pasien dengan status
epileptikus.8
Untuk status epileptikus yang disebabkan oleh kelainan yang
diketahui dapat berupa struktural, metabolik, peradangan, infeksi, toksik,
atau genetik. Berdasarkan hubungan temporal, subdivisi akut, jauh, dan
progresif dapat diterapkan.8

Tabel 2.3. Etiologi Status Epileptikus

Etiologi Status Epileptikus


Diketahui (i.e., simtomatik)
- Akut (cth., stroke, intoksikasi, malaria, encefalitis, dll)
- Remote (cth., post trauma, post ensefalitis, post stroke, dll)
- Progresif (cth., tumor otak, Lafora’s disease dan PMEs lain, dementias)
- SE yang menetapkan electroclinical syndromes
Tidak diketahui (i.e., kriptogenik)

Istilah "idiopatik" atau "genetik" tidak berlaku untuk etiologi yang


mendasari status epileptikus. Pada sindrom epilepsi idiopatik atau genetik,
penyebab statusnya tidak sama dengan penyakit, tetapi beberapa faktor
metabolik, toksik, atau intrinsik (seperti kurang tidur) dapat memicu status
epileptikus dalam sindrom ini. Oleh karena itu, istilah "idiopatik" atau
"genetik" tidak digunakan di sini. Status epileptikus pada pasien dengan
epilepsi mioklonik remaja (yang itu sendiri adalah "idiopatik" atau
"genetik") dapat bergejala, karena pengobatan obat antiepilepsi yang tidak
tepat, penarikan obat secara tiba-tiba, atau keracunan obat. 8
Istilah "tidak diketahui" atau "kriptogenik" tersembunyi atau tidak
dikenal, jadi, keluarga, kelas, keturunan, asal) digunakan dalam arti asli
yang ketat: penyebab tidak diketahui. Hal tersebut beranggapan bahwa
"mungkin" merupakan gejala atau genetik tidak pantas. Sinonim dan

6
konsisten dengan proposal 2010, istilah "tidak dikenal" atau terjemahan
yang sesuai dalam berbagai bahasa dapat digunakan. 8

3. Korelasi Electroencephalographic (EEG)


Tidak ada pola EEG iktal dari semua jenis status epileptikus yang
spesifik. Pelepasan epileptiform dianggap sebagai ciri khas, tetapi dengan
meningkatnya durasi status epileptikus, perubahan EEG dan pola
nonepileptiform berirama mungkin terjadi. Pola EEG yang serupa, seperti
gelombang triphasic, dapat direkam dalam berbagai kondisi patologis,
yang menyebabkan kebingungan substansial dalam literatur. 8
Meskipun EEG kelebihan beban dengan gerakan dan artefak otot
dalam bentuk status epileptikus kejang dan dengan demikian memiliki
nilai klinis yang terbatas, EEG sangat diperlukan dalam diagnosis NCSE,
karena tanda-tanda klinis (jika ada) seringkali halus dan tidak spesifik.
Kemajuan dalam teknik elektrofisiologis dapat memberi kita peningkatan
kemampuan untuk memanfaatkan EEG dalam pengaturan darurat dan
memungkinkan penggambaran yang lebih baik dari perubahan pola EEG
yang sangat dinamis dalam waktu dekat. 8
Saat ini tidak ada kriteria EEG berbasis bukti untuk status epileptikus.
Berdasarkan seri deskriptif besar dan panel consensus. Kami mengusulkan
terminologi berikut untuk menggambarkan pola EEG di status epileptikus:
- Lokasi: digeneralisasi (termasuk bilateral sinkron
pola), lateralisasi, bilateral independen, multifokal.
- Nama polanya: Pelepasan periodik, delta berirama
aktivitas atau lonjakan-dan-gelombang / tajam-dan-gelombang
ditambah subtipe.
- Morfologi: ketajaman, jumlah fase (contohnya, Trifasik
morfologi), amplitudo absolut dan relatif, polaritas.
- Fitur terkait waktu: prevalensi, frekuensi, durasi, durasi pola harian
dan indeks, onset (tiba-tiba vs bertahap), dan dinamika (berkembang,
berfluktuasi, atau statis).

7
- Modulasi: stimulus-induced vs spontan.
- Pengaruh intervensi (obat) pada EEG8

4. Usia
- Neonatal (0 hingga 30 hari)
- Bayi (1 bulan hingga 2 tahun).
- Masa Kecil (> 2 hingga 12 tahun).
- Masa remaja dan dewasa (> 12 hingga 59 tahun).
- Lansia (≥ 60 tahun)
Status epileptikus pada neonatus mungkin halus dan sulit dikenali.
Beberapa bentuk status epileptikus dilihat sebagai bagian integral dari
sindrom electroclinical yang lain dapat terjadi pada pasien dalam sindrom
elektroklinik tertentu, atau ketika faktor pemicu atau penyebab pencetus
hadir, seperti kurang tidur, mabuk, atau obat yang tidak tepat. Contohnya
adalah fenitoin dalam beberapa bentuk epilepsi mioklonik progresif,
carbamazepine pada epilepsi mioklonik remaja, atau tidak ada epilepsi.8

Tabel 2.4. Status epileptikus berdasarkan usia


SE pada sindrom elektroklinik terpilih berdasarkan usia

8
SE terjadi pada sindrom epilepsi neonatal dan onset infantil
- Tonic status (e.g., in Ohtahara syndrome or West syndrome)
- Myoclonic status pada Dravet sindrom
- Focal status
- Febrile SE
SE terjadi terutama pada masa kanak-kanak dan remaja
- SE otonom pada epilepsi oksipital jinak dini onset dini (sindrom
Panayiotopoulos)
- NCSE dalam sindrom dan etiologi epilepsi masa kanak-kanak spesifik
(missal, cincin kromosom 20 dan kelainan kariotipe lainnya, sindrom
Angelman, epilepsi dengan kejang mioklonik-atonik, ensefalopati
mioklonik masa kanak-kanak lainnya
- Status tonik pada sindrom Lennox-Gastaut
- Status mioklonik dalam epilepsi mioklonus progresif
- Status listrik epileptikus dalam tidur gelombang lambat (ESES)
- Status afasik pada sindrom Landau-Kleffner
SE terjadi terutama pada masa dewasa
- Status mioklonik pada epilepsi mioklonik remaja
- Status absen pada epilepsi absen remaja
- Status mioklonik pada down sindrom
SE terjadi diusia lansia
- Status mioklonik pada Alzheimer
- NCSE pada Creutzfeldt-Jakob disease
- De novo (atau kekambuhan) tidak adanya status kehidupan selanjutnya
Bentuk-bentuk SE ini dapat ditemukan secara umum pada beberapa kelompok
umur, tetapi tidak secara eksklusif.

2.4. Etiologi
Dalam 50% kasus status epileptikus, tidak ada penyebab yang diidentifikasi.
Sebagian besar episode SE adalah sekunder dari lesi struktural lama (mis. Stroke
masa lalu), dengan serebral akut termasuk stroke akut, anoksia, penyebab toksik
dan metabolik dan penarikan alkohol dan obat-obatan, bertanggung jawab atas
proporsi yang signifikan dari kasus yang tersisa. Pasien dengan epilepsi dapat
mengembangkan status epileptikus karena berbagai alasan termasuk mengurangi
tingkat obat serum dari kepatuhan yang rendah dengan rejimen pengobatan, atau
efek dari penyakit yang terjadi saat ini dan demam.
Menurut Glauser dkk (2016) secara umum etiologi dari status epileptikus
dapat dibagi menjadi simtomatis dan idiopatik. Idiopatik sendiri atau bisa dibetu

9
kriptogenik merupakan statuts epileptikus yang penyebabnya tidak diketahui,
sementara simtomatis (penyebab diketahui) terbagi menjadi 3 yaitu :13

- Akut: stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis, infeksi

- Remote, jika terdapat riwayat kelainan sebelumnya: pasca trauma, pasca


ensefalitis, pasca stroke.

- Kelainan neurologi progresif seperti tumor otak, penyakit neurodegeneratif,


dan lain-lain.

Gambar 2.1. Identifikasi etiologi dari status epileptikus10

Sebagian besar penelitian berbasis populasi telah menggunakan durasi


status epileptikus 30 menit secara konvensional, sehingga angka yang
diberikan adalah perkiraan terendah. Menggunakan definisi 5 menit,
menentukan waktu dari awal hingga memulai perawatan darurat, insiden
dalam praktik klinis jauh lebih tinggi daripada dalam studi epidemiologi.
Status epileptikus konvulsi terdiri 37-70% dari semua bentuk status, dan
kejadian tahunannya mencapai 40 per 100.000. Pada orang dewasa dengan
epilepsi yang sudah ada sebelumnya, etiologi yang paling umum adalah kadar
obat antiepilepsi (AED) rendah (terhitung setidaknya seperempat dari SE).10

10
Gambar 2.2. Etiologi Status epileptikus pada dewasa dengan menghubungkan mortalitas
disetiap kategori8

Etiologi remote symptomatic (terdapat riwayat kelainan sebelumnya :


pasca trauma, pasca ensefalitis, pasca stroke), dan stroke merupakan
subkelompok dengan epilepsi dan kadar AED yang rendah memiliki
prognosis yang baik, dengan mortalitas rendah 4,0-8,6%. Secara keseluruhan,
penyebab simtomatik akut adalah etiologi yang paling umum, terhitung 48-
63% dari semua kasus status epileptikus. Stroke adalah penyebab utama di
antara kasus-kasus gejala akut, terhitung 14-22% status epileptikus pada
orang dewasa. Pada orang dewasa yang lebih tua, stroke dengan remote
symptomatic adalah penyebab utama yang menyebabkan 36% status
epileptikus pada pasien yang lebih tua dari 56 tahun. Dalam Studi Richmond
Virginia Status Epilepticus, 41% orang dewasa dan 61% orang tua memiliki
stroke iskemik dan hemoragik akut atau jauh sebagai penyebab status
epileptikus.8

11
Tabel 2.5. Penyebab lain dari status epileptikus
Kategori Contoh
Gangguan autoimun Gangguan paraneoplastik, ensefalitis Hashimotos,
ensefalitis reseptor anti NMDA, ensefalitis VGKC,
ensefalitis limbik antibodi negatif, trombositopenia
purpura trombotik, ensefalitis Rasmussen.
Penyakit mitokondrial Alpers disease, MELAS, Leigh syndrome,
MERRF, NARP, MSCAE
Infeksi atipikal HSV, bartonella, neurosyphilis, Q fever, HIV,
measles, polio, CJD
Gangguan genetik Kelainan kromosom (cincin kromosom 20),
kesalahan metabolisme bawaan (porfiria, dll),
sindrom neurocutaneus, malformasi perkembangan
kortikal, sindrom Dravet, sindrom kulit keriput.
Toksik Antimikroba (beta laktam), antipsikotik, media
kontras, kokain, CO, ekstasi, timbal, mengendus
bensin, kemoterapi, hipo-osmolalitas akut
Kondisi kesehatan Multiple sklerosis, sindrom ensefalopati reversibel
posterior, penyakit Behcets, sindrom ganas
neuroleptik, bedah saraf, terapi kejut
elektrokonvulsif

2.5. Patofisiologi
Status epileptikus disebabkan oleh aktivasi neurotransmiter eksitasi yang
berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Eksitasi
bisa berasal dari banyak sumber, seperti rangkaian epileptogenik dari epilepsi
yang sudah ada sebelumnya, eksitasi daerah sekitar lesi struktural, atau eksitasi
difus dari kondisi toksik atau metabolik. Masukan limbik dan kortikal ini masuk
ke jalur perforant sepanjang gyrus parahippocampal dan ke neuron di gyrus
dentatus. Gyrus dentatus menjadi “rem” untuk menghambat aktivitas
neurotransmiter eksitasi, tetapi jika tidak mampu, aktivitas eksitasi masuk kembali
ke hippocampus dan kemudian kembali ke gyrus parahippocampal, menciptakan
sirkuit yang akan memperpanjang kondisi status epileptikus.14
Status epileptikus adalah keadaan yang berkembang dengan perubahan
neuronal dan sinaptik kimiawi dan fisiologi sistemik yang menghasilkan refrakter
farmakologis progresif. Selama 30 menit pertama kompensasi fisiologis terjadi
untuk memenuhi peningkatan permintaan metabolisme. Denyut jantung, tekanan
darah dan kadar glukosa serum semuanya dinaikkan untuk meminimalkan risiko

12
kerusakan otak Setelah 30 menit, dekompensasi terjadi dengan hipotensi,
hipoksia, asidosis metabolik, aritmia jantung, dan gagal regulasi otomatis otak
yang terjadi kemudian, yang semuanya dapat menyebabkan kerusakan neuron.
Komplikasi yang dapat terjadi termasuk rhabdomyolysis, gagal ginjal, edema
paru, peningkatan tekanan intrakranial, dan gangguan elektrolit. 10
Dalam beberapa detik perubahan perkembangan status epileptikus terjadi
pada fosforilasi protein di berbagai sinapsis, fungsi saluran ion, dan pelepasan
neurotransmitter. Dalam beberapa menit, ekspresi reseptor berubah mendukung
eksitasi sebagai akibat dari pengurangan progresif dalam reseptor GABA
(γaminobutyric acid) dan peningkatan AMPA (α-Amino-3-hidroksi-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid) dan NMDA (N-metil-D aspartic acid). Dengan satu jam
ada peningkatan rangsangan neuropeptida. Kelebihan dalam transmisi
eksitotoksik adalah mekanisme yang disarankan untuk kematian sel neuron. 10

Gambar 2.3. Patofisiologi Status Epileptikus

2.6. Diagnosis
2.6.1. Evaluasi Awal15
- Pemberian terapi antiepilepsi emergensi harus sesegera mungkin
bersamaan dengan pemeriksaan emergensi
- Tanda vital
- Tekanan darah, eksklusi ensefalopati hipertensi dan syok
- Suhu, eksklusi hipertermia

13
- Nadi, eksklusi aritmia yang berbahaya
- Pemasangan jalur intravena dan ambil sampel darah untuk pemeriksaan
glukosa darah, kalsium, elektrolit, fungsi hati dan ginjal, darah lengkap,
laju endap darah dan toksikologi
- Berikan glukosa (50 mL dekstrose 50%) intravena jika glukosa darah < 60
mg/dL
- Menggali riwayat penyakit pasien
- Pemeriksaan fisik cepat, khususnya :
- Tanda–tanda trauma „
- Tanda meningeal atau infeksi sistemik „
- Papil edema „
- Defisit neurologis fokal
- Analisis gas darah
- Pungsi lumbal, kecuali jika penyebab kejang sudah dapat ditentukan atau
ada tanda peningkatan tekanan intrakranial atau defisit neurologis fokal
- EKG
- Sampel urin untuk pemeriksaan toksikologi.15

2.6.2. Diagnosis
Diagosis status epileptikus konvulsif umum dilakukan berdasarkan
klinis pasien. Status epileptikus umum harus ditangani sedini mungkin.
Setelah kejang berhenti, etiologi harus segera dicari. Etiologi paling sering
adalah epilepsi, lesi struktural otak akut atau gangguan metabolik akut. 8
Diagnosis status epileptikus non-konvulsif sulit ditegakkan. Pasien dengan
gangguan status mental pada unit perawatan intensif memiliki risiko
bangkitan non-konvulsif sebanding dengan tingkat keparahan gangguan status
mentalnya. Pasien koma memiliki risiko status epileptikus non-konvulsif
sebesar 30% - 40%.16

14
Pasien dengan kelainan neurologi primer seperti perdarahan, tumor,
stroke, dan ensefalitis memiliki risiko tinggi mengalami status epileptikus.
Pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras merupakan langkah pertama untuk
mengevaluasi etiologi struktural. Jika pemeriksaan darah lengkap dan CT
scan tidak menemukan penyebab pasti, perlu dipertimbangkan pemeriksaan
MRI. Pasien demam disertai leukositosis dan kaku kuduk, harus dicurigai
mengalami infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis dan ensefalitis serta
harus dilakukan pungsi lumbal.16
Tabel 2.6. Membedakan kejang dari serangan non-epilepsi psikogenik10
Gambaran Sugestif Kejang Epileptik Sugestif kejang non-epileptik
Klinis (Status Epileptikus) Psikogenik. (pseudostatus)
Onset Timbulnya tiba-tiba. Onset bertahap yang berpotensi
Mungkin memiliki aktivitas berlangsung beberapa menit, dapat
kejang fokus saat onset. menyebabkan gejala panik (yang
mungkin tidak dapat diingat
kembali oleh pasien). Kadang bisa
mulai dengan onset mendadak.
Kondisi Tonik, kemudian Seluruh tubuh menegang, dengan
Motorik berkembang menjadi beberapa gerakan sukarela kadang-
gerakan sinkron klonik. kadang, dapat menjadi lembek
sebagian besar selama ictus (ictal
atonia), melengkung ke belakang,
gerakan kepala ke sisi, gerakan
bergelombang pada pelvis.
Evolusi Fase tonik yang pasti, Memvariasikan gerakan tonik /
kemudian fase klonik. klonik. Tidak mengikuti urutan
Seiring perkembangan tertentu, dengan jeda selama ictus.
gerakan klonik menjadi Pergerakan biasanya asinkron.
kurang jelas, dengan Gerakan mata yang halus dapat
mungkin nistagmus atau terjadi
kedutan halus sebagai satu-
satunya manifestasi.
Vokalisasi Saat onset, mungkin ada Mungkin terjadi di tengah kejang,
suara guttural cry yang menangis dan berteriak
keras karena udara dipaksa dimungkinkan.
keluar dari laring tonik.
Mata Penutupan mata tidak khas. Mata biasanya tertutup secara
Mata mungkin terdeviasi. paksa. (Ini tidak selalu terjadi).
pupil cenderung tidak Biasanya bisa terdeviasi jauh dari
responsif. pengamat. Pupil normal
Lidah Dapat menggigit lidah Secara tipikal di superfisial frontal
lateral yang dalam. ujung dari lokasi lidah
Sianosis Ada Tidak ada
Responsif Tidak ada. Tidak ada Penarikan variabel dari stimulus
penarikan dari stimulus yang menyakitkan. Gerakan

15
yang menyakitkan. tungkai dapat berubah dengan
pengekangan ringan.
Konsistensi Episode kejang stereotipe Sifat variabel terhadap kejadian
Penyembuhan Penyembuhan terhambat Pemulihan yang cepat. Amnesia
setelah kejadian, serta non-organik diamati.
amnesia
Kejang Dapat terjadi Tidak dikenal. Peristiwa dapat
Nokturnal terjadi dari tidur nyenyak. Satu-
satunya cara untuk memastikan
adalah memiliki pola tidur yang
dikonfirmasi EEG sebelum
kejadian.
Inkontinensia Bukan faktor pembeda Bukan faktor pembeda
iktal
Luka umum Umum (patah tulang, cedera
kepala, luka bakar semua
dilaporkan)

2.7. Tatalaksana
Prinsip tatalaksana kegawatdaruratan status epileptikus meliputi penanganan
jalan napas dan pernapasan, mempertahankan sirkulasi, pemasangan akses
intravena (jika belum dilakukan) dan pemberian obat untuk menghentikan kejang.
Suplementasi oksigen dapat diberikan jika diperlukan. Pemeriksaan glukosa darah
harus dilakukan; jika hipoglikemia, diberikan 100 mg thiamin IV. dan 50 mL
D50W IV.14
Fase terapi awal harus dimulai saat durasi kejang mencapai 5 menit dan
diakhiri pada menit ke-20 saat kejang menunjukkan respons ataupun tidak. Obat
golongan benzodiazepin (terutama midazolam IM, lorazepam IV, atau diazepam
IV) direkomendasikan sebagai pilihan terapi awal atau lini pertama. Meskipun
terbukti efektif dan dapat ditoleransi dengan baik sebagai terapi awal, fenobarbital
IV harus diinjeksikan secara perlahan; menyebabkan fenobarbital lebih tepat
menjadi obat alternatif dibandingkan obat lini pertama.
Pada penanganan kejang sebelum sampai ke rumah sakit atau jika tiga terapi
pilihan benzodiazepin lini pertama tidak tersedia, alternatifnya adalah diazepam
rektal, midazolam intranasal, dan midazolam bukal. Terapi awal harus diberikan
sebagai dosis penuh tunggal. Terapi awal tidak boleh diberikan dua kali kecuali
lorazepam IV dan diazepam IV yang bisa diulang dengan dosis penuh satu kali.

16
Beberapa panduan konsensus mencantumkan dosis berbeda; misalnya fenobarbital
sering direkomendasikan pada 20 mg/kgBB.13
Diazepam mencapai konsentrasi otak awal yang tinggi dan karenanya
memiliki onset aksi yang sangat cepat. Sementara diazepam dan lorazepam setara
dalam mencapai kontrol kejang, lorazepam adalah obat pilihan dalam status awal
karena profil farmakokinetik yang menguntungkan, dengan waktu paruh 12-24
jam. Benzodiazepin intravena memiliki efek samping yang signifikan termasuk
depresi pernapasan (3-10%), hipotensi (<2%), dan gangguan kesadaran (20-
60%).10
Terapi lini kedua harus dimulai saat durasi kejang mencapai 20 menit dan
harus diakhiri pada menit ke-40 sekalipun kejang masih berlanjut. Pilihan terapi
lini kedua adalah fosfenitoin, asam valproat dan levetirasetam. Tidak ada bukti
salah satu pilihan terapi lebih baik dari yang lain. Fenobarbital IV adalah alternatif
pilihan terapi lini kedua jika tidak satu pun dari ketiga terapi yang
direkomendasikan tersedia.13
Terapi lini kedua meliputi fenitoin / fos-fenitoin, fenobarbital, valproat,
levetiracetam, dan lacosamide. Obat terbaik untuk digunakan belum dibuktikan
secara meyakinkan oleh uji klinis terkontrol acak. Phenytoin adalah obat lini
kedua yang paling umum digunakan di Inggris. Ini harus diberikan dengan dosis
20mg / kg yang diinfuskan dengan kecepatan 50mg / kg. Laju infus yang lebih
lambat digunakan jika aritmia jantung atau hipotensi terjadi. Dosis pemuatan juga
dapat diberikan jika pasien menggunakan fenitoin.10

Tabel 2.7. Tatalaksana lini kedua status epileptikus


Drug Mean Dosis ADRs (Adverse Mode of action
Efficacy drug reactions)
(%)
Phenobarbiton 73,6% 20mg/kg IV up Depresi pernapasan, Potensiasi
e to 60mg/ menit hipotensi, sedasi GABA
hebat, toleransi, dan
potensi interaksi
obat
Phenytoin 50.2% 20mg/kg at risiko kardio- Modulasi saluran
50mg/ menit pernapasan (aritmia natrium
(25mg/menit jantung, hipotensi,

17
jika penurunan curah
ketidakstabilan jantung, sindrom
kardiovaskular 'sarung tangan ungu'
dan usia lanjut)
Valproat 75,7% 30-60mg/kg IV Hyperammonaemia. Berganda.
up to
There is a risk of Modulasi saluran
3mg/kg/min. hepatic and natrium,
Probably safe pancreatic toxicity, potensiasi
at 6
and valproate GABA,
mg/kg/min. encephalopathy. penghambatan
bleeding tendency glutamat /
due to its effects on NMDA.
platelets and platelet
function
Levetiracetam 68,5% 1000 and 3000 Free of significant Protein vesikula
mg in young adverse-effect sinaptik 2A
adults, or 20
mg/ kg (Infuse
at
500mg/minute
s
Lacosamide not 200-400mg Bradycardia, PR Modulasi saluran
available bolus over 5 interval prolongation natrium
minutes

Terapi lini ke-tiga harus dimulai saat durasi kejang masih terjadi hingga
menit ke-40. Akan tetapi, terapi lini ketiga tidak lebih efektif dibandingkan
terapi lini pertama dan kedua. Sehingga, jika terapi lini kedua gagal
menghentikan kejang, pertimbangan pengobatan harus mencakup
pengulangan terapi lini kedua atau menggunakan dosis anestesi tiopental,
midazolam, pentobarbital, atau propofol (semua dengan pemantauan EEG
terus menerus).13
Agen lini ketiga menggunakan agen anestesi; propofol, midazolam,
tiopental, atau fenobarbital. Baris ini digunakan untuk keadaan status
epileptikus refrakter, ketika terapi lini pertama dan kedua telah gagal,
biasanya 30 menit ke episode status epileptikus dan biasanya digunakan
dalam unit perawatan intensif. Keputusan seperti durasi pengobatan dan
target pengobatan (baik penekanan kejang klinis atau dipandu EEG, seperti
penekanan supresi-burst) dengan demikian berdasarkan pada masing-masing
pasien. Biasanya pasien akan dibius selama 12-24 jam dan kemudian agen

18
tersebut disapih secara perlahan selama beberapa jam. Jika setelah
penyapihan pertama ada kejang klinis atau elektrografi lebih lanjut, mereka
akan memerlukan anestesi lebih lanjut. Situasi ini kemudian disebut sebagai
status epileptikus super refraktori.

Tabel 2.8. Tatalaksana lini ketiga pada status epileptikus


Obat Memuat Dosis ADRs Mode aksi T1 / 2 setelah
dosis pemeliharaan administrasi
lama

Midazolam 0.1- 0.05- Hipotensi, GABAa 6-50 jam


(midazolam 0.3mg/kg at 0.4mg/kg/hr takiphilaksis, agonist
paper in 4mg/ minute meningkat
neurology) bolus memang
dibutuhkan
seiring waktu.
Propofol 2mg/kg 20mg/kg at Propofol GABAa 1-2 jam
bolus 50mg/ minute infusion agonist
(25mg/minute syndrome
if (PRIS)
cardiovascular
instability or Hipotensi
elderly)
Pentobarbital 10-20mg/kg 0.5-1mg/kg/hr Akumulasi, GABAa 15-22 jam
bolus at increasing to 1- hipotensi, dan agonist
25mg/min 3mg/kg/hr if imunosupresan
required
Thiopenone 100-250mg g bolus over 20 GABAa 14-36 jam
bolus over secs. 5- mg agonist
20 secs. 5- boluses every
mg boluses 2-3 minutes
every 2-3 until seizure
minutes control.
until seizure Infusion of 2-
control. 5mg/kg/hr

Langkah-langkah pertama dalam pengelolaan pasien dalam Generalized


Convulsive Status Epilepticus (GCSE) adalah untuk mengatasi masalah
kardiorespirasi akut atau hipertermia, melakukan pemeriksaan medis dan
neurologis singkat, membangun akses vena, dan mengirim sampel untuk studi
laboratorium untuk mengidentifikasi kelainan metabolik. Terapi
antikonvulsan harus dimulai tanpa penundaan. Pengobatan epileptikus status
nonconvulsive dianggap kurang mendesak daripada GCSE, karena kejang

19
yang sedang berlangsung tidak disertai dengan gangguan metabolisme parah
yang terlihat dengan GCSE. Namun, bukti menunjukkan bahwa status
epileptikus nonconvulsive, terutama yang disebabkan oleh aktivitas kejang
fokal yang sedang berlangsung, dikaitkan dengan cedera seluler di wilayah
fokus kejang; oleh karena itu kondisi ini harus diperlakukan sesegera
mungkin menggunakan pendekatan umum yang dijelaskan untuk GCSE.
Pengobatan Non convulsive status epilepticus (NCSE) dianggap kurang
mendesak daripada GCSE, karena kejang yang sedang berlangsung tidak
disertai dengan gangguan metabolisme parah yang terlihat dengan GCSE.
Namun, bukti menunjukkan bahwa status epileptikus nonconvulsive,
terutama yang disebabkan oleh aktivitas kejang fokal yang sedang
berlangsung, dikaitkan dengan cedera seluler di wilayah fokus kejang; oleh
karena itu kondisi ini harus diperlakukan sesegera mungkin menggunakan
pendekatan umum yang dijelaskan untuk GCSE.

20
Gambar 2.4. Tatalaksana Status Epileptikus1
2.8. Komplikasi
2.8.1. Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan
memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan
reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya.
Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem
saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi
sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif
dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal
ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob
dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf
otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia).

21
Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat
pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan
turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen
tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak.
Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.17

2.8.2. Komplikasi sekunder


Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah
depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan
fenobarbital. Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah propofol
infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal
ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian anak,
asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia. Selain
efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan
intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam,
pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus
diperhatikan.17

2.9. Prognosis
Prognosis umumnya dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan fungsionam,
namun dubia ad malam untuk quo ad sanationam. Angka kematian terkait SE
pada 30 hari perawatan dilaporkan kurang dari 10%. Kematian tersebut lebih
disebabkan oleh komorbiditas atau penyakit yang mendasarinya, bukan akibat
langsung dari status epileptikus. Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE
simtomatis; 37% menderita defisit neurologis permanen, 48% disabilitas
intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan mengalami kembali
kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama.
Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi
simtomatis remote, sindrom epilepsi.12

22
BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan di antara bangkitan-bangkitan
tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Dalam studi epidemiologi prospektif
berbasis populasi, kejadian status epileptikus diperkirakan 41-61 / 100.000 pasien
per tahun.
Berdasarkan klasifikasinya status epileptikus terbagi menjadi 4 axis yaitu
semiologi, etiologi, korelasi EEG, serta usia. Berdasarkan etiologi, status
epileptikus disebabkan oleh simtomatis (fase akut, remote, dan kelainan neurologi
progresif) dan idiopatik (tidak diketahui). Patofisiologi berupa kegagalan

23
mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang baik karena aktivitas
neurotransmitter eskitasi yang berlebihan dan atau aktivitias neurotransmitter
inhibisi yang efektif.
Diagnosis ditemukan dari evaluasi awal serta mendiagnosis dari anamnesis,
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kejang, penurunan kesadaran, sianosis,
takikardi, sering diikuti hiperpireksia). Pasien dengan kelainan neurologi primer
seperti perdarahan, tumor, stroke, dan ensefalitis memiliki risiko tinggi
mengalami status epileptikus sehingga pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras
merupakan langkah pertama untuk mengevaluasi etiologi structural.
Terapi status epileptikus yang tepat dan cepat akan mengurangi mortalitas dan
morbiditas. Benzodiazepin merupakan terapi lini pertama status epileptikus;
fosphenytoin, asam valproat dan levetiracetam sebagai lini kedua serta agen
anestesi sebagai lini ketiga.
Komplikasi dari status epileptikus dapat berupa komplikasi primer akibat
langsung dari status epileptikus serta komplikasi sekunder. Prognosis umumnya
dubia ad bonam untuk quo ad vitam dan fungsionam, namun dubia ad malam
untuk quo ad sanationam

DAFTAR PUSTAKA

1. Dham BS, Hunter K, Rincon F. The epidemiology of status epilepticus in the


United States. Neurocrit Care. 2014;20(3):476–83.

2. Betjemann JP, Josephson SA, Lowenstein DH, Burke JF. Trends in status
epilepticus—related hospitalizations and mortality: redefined in US practice
over time. JAMA Neurol. 2015;72(6):650.

3. Chen L, Zhou B, Li JM, Zhu Y, Hwang JH, Sander JW, et al. Clinical features
of convulsive status epilepticus: a study of 220 cases in Western China. Eur J
Neurol. 2009;16(4):444-9.

4. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al.


Evidence-based guideline: treatment of convulsive status epilepticus in

24
children and adults: report of the Guideline Committee of the American
Epilepsy Society. Epilepsy Curr. 2016;16(1):48–61.

5. Lai A, Outin HD, Jabot J, Megarbane B, Gaudry S, Coudroy R, et al.


Functional outcome of prolonged refractory status epilepticus. Critical Care.
2015;19(199):1-7.

6. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktik klinis


neurologi. Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT, eds. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016.

7. Pokdi Epilepsi Perdossi. Pedoman tatalaksana epilepsi. 5 ed. Kusumastuti K,


Gunadharma S, Kustiowati E, eds. Surabaya: Airlangga University Press;
2014.

8. Trinka, E., Cock, H., Hesdorffer, D., & al. A Definition and Classification of
Status Epilepticus - Report of the ILAE Task Force on Classification of Status
Epilepticus. Cold Spring Harb Perspective Medicine. 2015;56(10):1515-1523.

9. Ahmad R & Panayiotis V. Management of Status Epilepticus. Journal of


Clinical Outcomes Management. 2017 August;24(8).

10. Kinney, M., & Craig, J. Grand Rounds: An Update on Convulsive Status
Epilepticus. Ulser Medical Journal, 2015; 84(2)88-93.

11. Seinfeld, S., Goodkin, H. P., & Shinnar, S. Status Epilepticus. Cold Spring
Harb Med. 2016. 6(3):a022830. doi: 10.1101/cshperspect.a022830.

12. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Penatalaksanaan Status


Epileptikus. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2016.

13. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al.


Evidence-based guideline: treatment of convulsive status epilepticus in
children and adults: report of the Guideline Committee of the American
Epilepsy Society. Epilepsy Curr. 2016;16(1):48–61

25
14. Agung P & Bowo H. Tatalaksana Status Epileptikus di Instalasi Gawat
Darurat. SMF Neurologi, Rumah Sakit Tk II Kartika Husada, Kabupaten Kubu
Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. 2018 ; 45(11) :866-868.

15. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical Neurology. 9 ed. New
York: McGraw Hill Education; 2015.

16. Louis ED, Mayer SA, Rowland LP. Merritt’s neurology. 13 ed. New York:
Lippincott Williams & Wilkins; 2016.

17. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend
NS, Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York:
Demosmedical; 2013. h 117–138.

26

Anda mungkin juga menyukai