ETIKOMEDIKOLEGAL ABORSI
Oleh :
Muhammad Al-Kautsar, S.Ked (71 2019 045)
Muthia Khairunnisa, S.Ked (71 2019 053)
Sindy Olivia Sari, S.Ked (71 2019 072)
Arya Maulana, S.Ked (71 2019 057)
Pembimbing :
Kompol. dr. Mansuri, Sp.KF
Disusun Oleh
Muhammad Al-Kautsar, S.Ked (71 2019 045)
Muthia Khairunnisa, S.Ked (71 2019 053)
Sindy Olivia Sari, S.Ked (71 2019 072)
Arya Maulana, S.Ked (71 2019 057)
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Rumah sakit Bhayangkara Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Pembimbing,
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat ini sebagai salah satu
tugas di bagian Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta
para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan
pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:
1. Kompol. dr. Mansuri, Sp.KF selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan referat ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis berharap semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan
Allah Subhanahu Wata ‘ala. Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
2.2.10 Prosedur Kewaspadaan Universal .……………………............... 17
2.2.11 Perawata Jenazah di Sarana Kesehatan .………………............... 18
2.2.12 Pemulasaran Jenazah diuar Sarana Kesehatan …………............. 20
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
6 jangka waktu yang lama dalam tubuh jenazah setelah kematian pasien.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) misalnya, telah dilaporkan dapat
bertahan hidup hingga enam belas hari setelah kematian, dan dalam empat
belas hari masih berada dalam limpa bila berada dalam suhu kamar. Virus
tersebut masih dapat ditemukan dan diisolasi dari tulang kranial, otak, cairan
serebrospinal, kelenjar getah bening, limpa, dan darah dalam waktu lima hari
setelah kematian meskipun jenazah berada dalam suhu 6⁰C.3
Petugas pemulasaran jenazah merupakan salah satu anggota dari
kamar jenazah yang memiliki resiko tinggi untuk tertular infeksi dapatan dari
kamar jenazah, karena merekalah yang bertugas untuk merawat mayat
sebelum dimakamkan. Salah satu faktor yang meningkatkan resiko terjadinya
infeksi dapatan dari kamar jenazah adalah ketidaktahuan mengenai potensi
bahaya dan resiko yang dapat terjadi.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
dan bebas dari kontaminasi khususnya hal yang membahayakan petugas atau
penyulit analisa kemurnian identifikasi (termasuk kontaminasi DNA dalam kasus
forensik mati). Demikian pula aman bagi petugas yang bekerja, termasuk
terhadap resiko penularan jenazah terinfeksi karena penyakit mematikan.5
4
Rumah: Tempat atau lokasi pemandian jenazah diusahakan harus:
a. Berdekatan dengan saluran pembuangan air/parit (permukaan
tanah).
b. Jika tak ada parit, galilah lubang serapan untuk pembuangan air.
c. Tersedia meja pemandian jenazah.
5
9. Sumbat semua lubang tubuh jenazah yang mengeluarkan cairan dengan
kapas.
10. Bungkus jenazah dengan kain kafan atau pembungkus lain sesuai dengan
agama/kepercayaannya.
11. Selesai ritual keagamaan, jenazah dimasukkan ke dalam kantong plastik
dengan ketebalan tertentu.
12. Pindahkan jenazah langsung ke peti jenazah disaksikan pihak keluarga,
kemudian peti ditutup kembali (peti jenazah disesuaikan dengan
kemampuan dan adat istiadat masyarakat atau agama yang dianut).
13. Jenazah diangkut ke dalam mobil jenazah untuk diantarkan ke rumah
duka.
14. Siram meja tempat memandikan jenazah dengan larutan klorin 0,5% dan
bilas dengan air mengalir.
15. Lepaskan perlengkapan kewaspadaan universal (sesuai protap pemakaian
kewaspadaan universal).
6
b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
c) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. d) Undang – undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
d) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Pusat dan Propinsi.
e) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1277/Menkes/SK/XI/ 2001
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
f) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 106/Menkes/SK/1/2004 tentang
Sistim Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) dan Pelatihan
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) General Emergency
Life Support (GELS) Tingkat Pusat.
g) SKB Kapolri dan Menkes No 1078 / MENKES / SKB/VII/2003 No Polisi
/ 3889 /VII/2003 tentang Identifikasi Korban Mati Pada Bencana Massal.
7
Kategori 3 Ditandai dengan label merah sebagai tambahan pada standart
precaution, stringen precaution direkomendasikan kepada jenazah dengan:
- Anthrax
- Plaque
- Rabies
- Viral haemorrhagic fever
- Creutzfeldt-Jacob disease (CJD), dengan otopsi
- Penyakit menular lain
8
Label 2. label kuning, sebagai tambahan pada standart precaution, additional
precaution
2.2 HIV-AIDS
2.2.1 Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah
satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut termasuk sel T-4 atau sel T-Helper atau disebut juga sel CD-4. HIV
tergolong dalam kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai
kemampuan untuk mengkopi cetak materi genetik di dalam materi genetik sel-sel
yang ditumpanginya. Melalui proses ini, HIV dapat mematikan sel-sel CD-4.
Sedangkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala
penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh.
HIV & AIDS merupakan virus yang dapat ditularkan, berikut beberapa
kondisi yang dapat mempermudah penularan dan penyebaran HIV dan AIDS antara
lain :6
1. Peningkatan industri seksual komersial.
2. Prevalensi penyakit kelamin tinggi.
9
3. Pemakaian kondom rendah.
4. Proses urbanisasi yang cepat.
5. Terjadinya hubungan seksual secara berganti-ganti pasangan.
10
kulit yang tidak utuh bahkan kurang.Ini meningkat ketika kulit yang terkena pecah-
pecah, terkelupas, atau menderita dermatitis. Dalam konteks otopsi, beberapa cairan
tubuh lainnya (kecuali darah) yang berpotensi menular:
a) Air mani
b) Ekskresi vagina
c) Cairan serebrospinal
d) Cairan synovial
e) Cairan pleural
f) Cairan peritoneal
g) Cairan pericardial
h) Cairan ketuban.
Weston dan Locker menunjukkan prevalensi 8% dari tusukan sarung tangan
di petugas kesehatan di kamar mayat, dan peningkatan risiko tusukan 3 - 4 kali lipat
jika seorang teknisi bukan ahli patologi melakukan pembedahan tubuh. Namun,
31,8% dari tusukan sarung tangan tidak diketahui, dan kulit terpapar dengan bahan
yang berpotensi terinfeksi secara berkepanjangan. Tercatat juga bahwa sekitar 67%
dari luka pisau bedah didapatkan di daerah tersebut terdiri dari jari kelingking, ibu
jari dan jari tengah distal dari tangan tidak dominan.6
Penelitian menyarankan bahwa beberapa faktor dapat mempengaruhi risiko
HIV transmisi setelah pemaparan dalam pekerjaan berikut:
a) Prosedur yang melibatkan jarum ditempatkan langsung di vena atau arteri,
b) Alat-alat terlihat terkontaminasi dengan darah pasien,
c) Pasien cedera,
d) Pasien dengan penyakit terminal.
Virus HIV masih tetap aktif selama kurang lebih empat jam didalam tubuh
penderita yang telah meninggal sehingga tetap berpotensi menular pada orang
disekelilingnya. Ada beberapa penelitian yang telah melihat seberapa lama HIV
bertahan dalam tubuh yang sudah meninggal. Dalam tubuh yang tidak didinginkan,
HIV umumnya bertahan hingga 24-36 jam setelah kematian. Namun dalam sebuah
penelitian pada badan berpendingin, tubuh yang disimpan pada suhu 6 derajat celcius,
11
HIV masih dapat bertahan hingga 6 hari. Dalam studi lain, badan yang didinginkan
pada 2 derajat Celcius ditemukan memiliki HIV hingga 16,5 hari.6
12
2.2.4 Tahapan/Fase/Derajat Infeksi HIV
Tahapan/fase/derajat infeksi HIV, dikelompokkan atas 4 (empat) yaitu:6
1. Infeksi HIV primer.
2. HIV dengan defisiensi imun dini (CD-4 > 500/μL).
2. HIV dengan defisiensi imun sedang (CD-4 200 - 500/μL).
3. HIV dengan defisiensi imun berat (CD-4 < 200/ μL) disebut dengan AIDS.
Infeksi Oportunistik (IO) adalah infeksi yang menyerang orang yang
kekebalan tubuhnya rendah. Pada saat jumlah CD-4 dibawah 500/ μL.
13
2.2.6 Pencegahan Diri Terhadap HIV & AIDS
Mengingat belum adanya obat dan vaksin HIV, maka satu-satunya cara
penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan dengan cara mencegah terjadinya perilaku
yang beresiko terhadap penularannya. Pencegahan virus HIV harus dikaitkan dengan
cara-cara penularannya. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan seseorang dalam
mencegah tertularnya HIV, antara lain sebagai berikut :6
Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual :
a. Abstinence (tidak berhubungan seks sebelum menikah).
b. Be faithful (tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya).
c. Condom (melakukan hubungan seksual secara aman termasuk menggunakan
kondom; pada setiap hubungan seks berisiko).
d. Don’t Drugs (tidak menggunakan narkoba, terutama narkoba suntik).
e. Education (pengetahuan dan pendidikan yang benar tentang HIV & AIDS).
14
2.2.7 Pemulasaran Jenazah ODHA
Seseorang yang meninggal disebabkan oleh penyakit menular seperti HIV &
AIDS adalah suatu kematian yang wajar, karena kematian merupakan bagian dari
siklus kehidupan; yaitu lahir, hidup dan mati. Masyarakat dan keluarga terdekat tidak
perlu khawatir dan takut akan terjangkit penyakit menular, termasuk HIV & AIDS.
Namun kita tetap mempertimbangkan saran dari kalangan medis yaitu kewaspadaan
universal.6
a. Prinsip dalam pemulasaraan jenazah ODHA :
1. Selalu menerapkan Kewaspadaan Universal (memperlakukan setiap cairan
tubuh, darah dan jaringan tubuh manusia sebagai bahan yang infeksius).
3. Pastikan jenazah sudah didiamkan selama kurang lebih 4 (empat) jam sebelum
dilakukan perawatan jenazah. Ini perlu dilakukan untuk memastikan kematian
seluler (matinya seluruh sel dalam tubuh).
4. Tidak mengabaikan budaya dan agama yang dianut keluarga.
5. Tindakan petugas mampu mencegah penularan.
15
2.2.8 Penanganan alat-alat yang sudah terkontaminasi dengan cairan tubuh
ODHA
Dekontaminasi alat-alat
Dekontaminasi adalah suatu tindakan yang dilakukan agar alat-alat kesehatan dapat
ditangani secara aman oleh petugas pembersih alat medis. Alat kesehatan yang
dimaksud adalah meja pemeriksaan, meja operasi, alat-alat bedah, sarung tangan dan
peralatan kesehatan lain yang terkontaminasi oleh cairan tubuh ODHA setelah
pelaksanaan suatu prosedur atau tindakan medis. Alat kesehatan yang digunakan
direndam dalam larutan desinfektan yaitu chlorine 0.5% selama 10 – 30 menit.
Dekontaminasi peralatan yang tidak bisa direndam misalnya permukaan meja, dapat
dilakukan dengan menggunakan lap yang dibasahi desinfektan.6
16
o Glutaraldehyde 2% untuk merendam alat kesehatan 8 – 10 jam dan
formaldehyde 8%. Kedua zat ini tidak dianjurkan karena dapat mengiritasi
kulit, mata dan saluran nafas.
o Gas etiline oxide, merupakan gas beracun. Digunakan untuk alat yang tidak
tahan panas (contoh : karet, plastik, kabel, dll).6
Desinfeksi tingkat tinggi (DTT)
Desinfeksi tingkat tinggi adalah suatu proses yang menghilangkan sebagian besar
mikro organisme namun tidak dapat membunuh endospora dengan sempurna seperti
tetanus dan gas gangren.
Cara melakukan DTT:
- Merebus dalam air mendidih selama 20 menit.
- Rendam dalam desinfektan kimiawi
17
5. Kenakan masker pelindung mulut dan hidung.
6. Kenakan kacamata pelindung.
7. Kenakan sarung tangan karet.
2. Setelah jenazah selesai dimandikan, siram meja tempat memandikan jenazah
dengan larutan klorin 0,5%, lalu bilas dengan air mengalir.
3. Rendam tangan yang masih mengenakan sarung tangan karet dalam larutan
klorin 0,5%, lalu bilas dengan sabun dan air mengalir.
4. Lepaskan kacamata pelindung, lalu rendam dalam larutan klorin 0,5%.
5. Lepaskan masker pelindung, buang ke tempat sampah medis.
6. Lepaskan celemek plastik, buang ke tempat sampah medis.
7. Lepaskan gaun pelindung, rendam pada larutan klorin 0,5%.
8. Celupkan bagian luar sepatu pada lautan klorin 0,5%, bilas dengan air bersih
lalu lepaskan sepatu dan letakkan di tempat semula.
9. Terakhir lepaskan sarung tangan plastik, buang ke tempat sampah medis.6
18
Gambar 1. Perlengkapan Pemulasaran Jenazah
Prosedur :
19
Petugas/orang yang menangani jenazah harus :
1. Cuci tangan.
2. Memakai sarung tangan, gaun, masker.
3. Lepas selang infus dll, buang pada wadah infeksius.
4. Bekas luka diplester kedap air.
5. Lepaskan pakaian dan tampung pada wadah khusus lekatkan kasa pembalut
pada perineum (bagian antara lubang dubur dan alat kelamin) dengan plester
kedap air Letakkan jenazah pada posisi terlentang.
6. Letakkan handuk kecil di belakang kepala.
7. Tutup kelopak mata dengan kapas lembab, tutup telinga dan mulut dengan
kapas/kasa.
8. Bersihkan jenazah.
9. Tutup jenazah dengan kain bersih disaksikan keluarga.
10. Pasang label sesuai kategori di pergelangan kaki/ibu jari kaki.
11. Beritahu petugas kamar mayat, bahwa pasien meninggal adalah penderita
penyakit menular.
12. Masukkan jenazah ke dalam kantong jenazah.
13. Tempatkan jenazah ke dalam brankart tertutup dan dibawa ke kamar mayat.
14. Cuci tangan dan lepas gaun untuk direndam pada tempatnya, buang bahan
yang sekali pakai pada tempat khusus.
2 Persiapan pemakaman/ke rumah duka.
20
BAB III
KESIMPULAN
Kamar jenazah merupakan sumber infeksi yang potensial, tidak hanya untuk
ahli patologi anatomi otopsi, tetapi juga untuk pengunjung dan petugas pemulasaran
jenazah. Beberapa studi telah melaporkan bahwa dengan berakhirnya kehidupan
seseorang, mikro-organisme patogenik tertentu masih dapat dilepaskan dari tubuh
jenazah, yang jika tidak diwaspadai dapat ditularkan kepada orang–orang yang
menangani jenazah tersebut. Penularan mikro-organisme patogenik tersebut dapat
melalui inhalasi aerosol, tertelan, inokulasi direk / tusukan benda tajam, luka pada
kulit, dan membrana mukosa mata, hidung, dan mulut. Terlebih lagi, setelah
meninggal akan didapatkan sawar darah-otak dan sistem retikulo-endotelial yang
sudah tidak berfungsi lagi, sehingga patogen dapat menyebar dengan lebih mudah
dalam tubuh jenazah.
Personel yang bertugas menangani jenazah baik secara langsung maupun tidak
langsung beresiko terjangkit infeksi blood-borne virus seperti Human
Immunodeficiency Virus (HIV), Hepatitis B, Hepatitis C, dan Tuberkulosis serta
21
infeksi dari patogen–patogen lainnya. Sehingga petugas diharuskan untuk berhati-hati
dan selalu mengikuti prosedur dalam pemulasaran jenazah.
Pemulasaran jenazah adalah perawatan pasien setelah meninggal, yang meliputi
persiapan jenazah untuk diperlihatkan pada keluarga, transportasi ke kamar jenazah
dan melakukan disposisi (penyerahan) barang-barang milik pasien. jika pasien
meninggal karena kekerasan atau dicurigai akibat kriminalitas, perawatan jenazah
setelah pemeriksaan medis lengkap melalui otopsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kazungu, J., Nanyingi, M., Katongole, S,P., Robert, A., Wampande, L.N. The
State of Mortuary and Mortuary Services inPublic Health Facilities of South
Western Uganda. International Journal of Public Health Research 2015; 3(6):
360-369
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penyelenggaraan Jenazah
pada ODHA. Kementrian Kesehatan RI. 2017.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Standar Kamar Jenazah. Jakarta:
Departemen Kesehatan. 2004. Hal 204-207
4. Olausson J dan Ferrell BR. Care of the Body After Death: Nurses’ Perspectives of
the Meaning of Post-Death Patient Care. Clinical Journal of Oncology Nursing,
2013: Hal. 647-5
5. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Tengah. Tata Cara Pemulasaran
Jenazah Orang Dengan HIV dan AIDS. 2012.
22
6. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing. 2016. Hal 1221-1228
23