RINOSINUSITIS
Oleh:
Pembimbing:
2020
i
HALAMAN PENGESAHAN
RINOSINUSITIS
Referat
Oleh:
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL Palembang Bari Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
Pembimbing,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
“Rinosinusitis” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di SMF Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian referat ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada :
1. dr. Meilina Wardhani, Sp.THT-KL, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Senior di SMF Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2. Maksud dan Tujuan ....................................................................................2
1.3. Manfaat.......................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................33
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
peningkatan serangan asma yang sulit diobati sehingga tatalaksana yang harus
dilakukan yaitu mencegah komplikasi, mempercepat penyembuhan, dan
mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan nya yaitu membuka
sumbatan di kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinu-sinus
pulih secara alami.6
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Diharapkan penulisan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
sebagai tambahan referensi dalam bidang Ilmu THT terutama mengenai
Rinosinusitis
1.3.2 Manfaat Praktis
Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari
referat ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan diterapkan di
kemudian hari dalam praktik klinik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini
terdapat muara duktus nasolakrimalis.7
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan
bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung.7
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os
maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau
atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal
dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid.7
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris
interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena
hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah
membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis
anterior, dan sfenopalatina.7
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari
nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk
gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna
4
mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, sehingga
dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan kelembaban aliran udara.7
5
Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel
etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal
terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak
terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina.8
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak
saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai
pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.8
6
Gambar 2.3. Kompleks osteomeatal
7
medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah resesus
zigomatikus.8
Hal yang diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi
klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang
gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat
menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang
lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung dari
gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat
menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi.9
2.2.2. Sinus Etmoid
Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di
bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan
dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian,
lipatanlipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian
anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending' (ramus asendens
dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari
puncak tersebut.8
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior. Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal
yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat
suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan tempat
bermuaranya ostium sinus maksila.
Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal.
Sementara jika peradangan terjadi di infundibulum mengakibatkan sinusitis
maksila.8
Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat
tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke
posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar),
dasar atau lamela basalis dan konka superior. Atap sinus etmoid yang disebut
8
fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus
adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan
sinus sfenoid.8
2.2.3. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior.
Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai
sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah
rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3
tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun
mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x
2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml.4 Pada orang
dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal
utama yang harus diperhatikan.8
Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.98
2.2.4. Sinus Frontal
Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan
bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel
etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi,
mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan
sebuah septum intersinus. Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal
yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling
anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal
secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal
yang ukurannya bervariasi.
Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari
sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris
yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat.
Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CTscan
9
pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas
secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar.
Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan
resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi.7
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm
(dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk.8
10
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel
debut, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
di hidung oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin.7
- Fungsi Penghidu
Hidung juga berfungsi sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti
perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang, coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.7
- Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu
proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan
palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.7
- Fungsi statik dan mekanis
Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas.7
- Refleks nasal
Mucosal hidung merupakan reseptor yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskular, dan pernapasan. Contohnya iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan batuk terhenti, rangsangan dari bau
tertentu menyebabkan sekresi dari kelenjar liur, lambung, dan pancreas.7
11
2.4. Definisi Rhinosinusitis
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada selaput lendir hidung
dan sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering
disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal.
Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa
asinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut
pansinusitis.6
2.5. Epidemiologi
Berdasarkan data National Health Interview Survey (2007), rinosinusitis
menjadi salah satu dari sepuluh diagnosis penyakit terbanyak di Amerika
Serikat.10 rinosinusitis mempengaruhi sekitar 1 diantara 7 orang dewasa, Di
Amerika Serikat, prevalensi yang berkunjung kerumah sakit dibagian darurat
dengan keluhan sinusitis, mencapai 800.000 kali setiap tahunnya, bahkan tindakan
pembedahan sinus salah satu tindakan yang paling sering dilakukan di Amerika
yang mencapai 460.000 kasus setiap tahunnya.11
Rinosinusitis adalah kondisi umum di sebagian besar dunia, menyebabkan
beban yang signifikan pada masyarakat dalam hal konsumsi perawatan kesehatan
dan hilangnya produktivitas. Rinosinusitis akut memiliki prevalensi 6-15% per
tahun dan biasanya merupakan akibat dari flu biasa. Rinosinusitis akut biasanya
merupakan penyakit yang membatasi diri tetapi komplikasi serius yang mengarah
pada situasi yang mengancam jiwa dan bahkan kematian. 4 Sekitar 6-7% anak
dengan gejala pernafasan mengalami rinosinusitis akut. Diperkirakan 16% orang
dewasa didiagnosis dengan bacterial rinosinusitis akut setiap tahun. Mengingat
sifat klinis dari diagnosis ini, ada kemungkinan perkiraan berlebihan.
Diperkirakan 0,5-2% virus rinosinusitis (VRS) akan berkembang menjadi infeksi
bakteri pada orang dewasa dan 5 hingga 10% pada anak-anak.12
Rinosinusitis kronis adalah masalah kesehatan yang signifikan dan
mempengaruhi 5-12% dari populasi umum. Berdasarkan data dari European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps prevalensi rinosinusitis kronis
12
yaitu sebanyak 10,9% dengan variasi geografis. Terdapat kaitan yang erat antara
asma dengan rinosinusitis kronis pada semua umur.4
Menurut Depkes RI (2003) menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus
berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar
102.817 penderita rawat jalan dirumah sakit. Di Indonesia, pada bulan Januari
hingga Agustus 2005 tercatat data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM
menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut sebanyak 435
pasien dan 69% (300 pasien) menderita rinosinusitis.13
Saat ini, di Palembang khususnya di Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin,
belum ada data yang jelas mengenai angka kejadian rinosinusitis. Pada penelitian
Amelia dkk (2017) didapatkan prevalensi Pasien rinosinusitis kronik pada tahun
2015 di Rumah Sakit Muhammad Hosein terdapat 73 kasus dari 140 kasus
rinosinusitis. Perbandingan laki-laki dan wanita pada pasien rinosinusitis kronik
adalah 1,4 : 1. Pasien rinosinusitis kronik terbanyak terdapat pada kelompok usia
46 – 52 tahun dengan 19,2%.4
14
jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis
Aspergillus dan Candida.14
Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus
seperti berikut Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi
antibiotik. Adanya gambaran kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya
membran berwarna putih keabu-abu pada irigasi antrum. Para ahli
membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang invasif dan
noninvasif.14
Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut fulminan
dan invasif kronik indolen. Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur
ke jaringan dan vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak
terkontrol, pasien dengan imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia,
pemakain steroid yang lama dan terapi imunosupresan. Imunitas yang
rendah dan invasi pembuluh darah meyebabkan penyebaran jamur menjadi
sangat cepat dan merusak dinding sinus, jaringan orbita dan sinus
kavernosus. Di kavum nasi, mukosa konka dan septum warna
birukehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik. Sering
kali berakhir dengan kematian.14
Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan
ganguan imunologik atau metabolik seperti diabetes. Bersifat kronik
progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi
gejala klinisnya tidak sehebat gejala klinis pada fulminan kerana
perjalanan penyakitnya berjalan lambat. Gejala-gejalanya sama seperti
sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan bercak-bercak
kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di
dalam ronggasinus tanpa invasi ke mukosa dan tidak mendestruksi tulang.
Sering mengenai sinus maksila. Gejala klinik merupai sinusitis kronik
berupa rinore purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada
massa jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur
berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di dalam
sinus.14
15
2.7. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliat (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mucus juga
mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan.6
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga
sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini
bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam
beberapa hari tanpa pengobatan.6
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulent.
Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi
antibiotik.6
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin
membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya
perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan
polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.6
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus.
Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti
Rhinovirus, Influenza A dan B, Parainfluenza, Respiratory syncytial virus,
Adenovirus dan Enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA
memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal.
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding hidung dan
sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium
sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu
16
inflamasi, polip, tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium
sinus. Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya
akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran
udara yang cepat, virus, bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, atau primary cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen
oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan
memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang
tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti
infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium
sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini
akan menyebabkan gangguan drainase sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan
gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung
jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme yang
lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang
merupakan bakteri khas pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal, atau
periodontal dapat menimbulkan gambaran histologi yang didominasi oleh bakteri
gram negatif, karenanya menimbulkan bau busuk.
17
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau
mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus
atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi
premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus
maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus
maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat
terjadi.
2.8. Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut
dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus
tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara
4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik
dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang
tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi
harus dicari dan diobati secara tuntas. 6
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis
akut adalah Streptococcus pneumonia (30-50%). Hemophylus influenzae (20-
40%) dan Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak
ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi
umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan
anaerob.6
Klasifikasi sinusitis yang disebabkan oleh jamur dikategorikan ke dalam 3
grup:15,16
- Sinusitis jamur invasif
- Terjadi pada pasien diabetes dan pasien imunosupresi.
- Jamur patogen: Aspergillus, Mucor dan Rhizopus
- Pada pemeriksaan patologi terlihat invasi jamur ke jaringan dan
pembuluh darah.
- Mukosa kavum nasi berwarna biru-kehitaman disertai septum yang
nekrotik. e. Bersifat kronis progresif, dapat menginvasi sampai ke orbita
atau intrakranial.
18
- Fungus ball
- Merupakan kumpulan jamur di dalam rongga sinus membentuk suatu
massa, tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak mendestruksi tulang,
sering mengenai sinus maksila.
- Jamur patogen: Aspergillus
- Gejala klinis menyerupai sinusitis kronik (rinore purulen, post nasal
drip, halitosis)
- Pada operasi ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan
kotor dengan/tanpa pus.
- Allergic fungal rhinosinusitis (AFRS)
19
dengan hasil pemeriksaan CT scan berupa: 1) Perubahan mukosa kompleks
ostiomeatal dan/ atau sinus parasanal.
Berdasarkan derajat berat ringannya penyakit, rinosinusitis diklasifikasikan
menjadi Mild, Moderate, dan Severe. Klasifikasi ini ditentukan mengacu pada
total severity visual analogue scale (VAS) score (0-10) - Mild : VAS 0-3 -
Moderate : VAS > 3-7 - Severe : VAS > 7-10 Untuk menilai derajat keparahan
total, pasien ditanya agar dapat menunjukkan nilai dari VASnya. VAS > 5 akan
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.
Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(EPOS) 2012, rinosinusitis diklasifikasikan menjadi akut (kurang dari 12 minggu)
dan kronik (lebih dari 12 minggu). Sebelumnya, beberapa literatur juga
mengklasifikasikan rinosinusitis ke dalam grup sub akut, yang menunjukkan
keadaan diantara akut dan kronik. Namun EPOS menganggap tidak perlu
menambahkan grup ”sub akut” dikarenakan jumlah penderita sinusitis akut
dengan gejala memanjang cukup jarang dan belum ada rekomendasi evidence
based untuk penatalaksanaan grup tersebut.
20
gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang
penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak,
mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.6
2.10. Diagnosis
Rinosinusitis dapat didiagnosis berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior
dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada
sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada
sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).6 Pada rinosinusitis akut, mukosa edema
dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah
kantus medius.6
Untuk membantu diagnosis sinusitis, American Academy of Otolaryngology
– Head and Neck Surgery (AAO-HNS) membuat bagan diagnosis yang disebut
Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996. Bagan ini didasarkan atas gejala
klinis yang dibagi atas kategori gejala mayor dan minor untuk diagnosis
rhinosinusitis.3
21
Ketika adanya 1 faktor mayor atau 2 atau lebih faktor minor yang ada, ini
menunjukkan kemungkinan di mana rinosinusitis perlu di masukkan ke dalam
diagnosa banding.
- Rhinosinusitis Akut
Diagnosis RS bakterial akut dibuat bila infeksi virus pada saluran napas
atas tidak teratasi dalam 10 hari atau memburuk setelah 5-7 hari. Gejala
berat secara tidak langsung menimbulkan komplikasi di kemudian hari,
dan pasien tentunya tidak menunggu 5-7 hari sebelum mendapat
pengobatan.1,2
- Gejala kurang dari 12 minggu
- Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satu termasuk
hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/posterior): ± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah ±
penurunan/hilangnya penghidu
- Dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
- Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal
serta berair.
- Rhinosinusitis Kronik dengan/tanpa polip Gejala tersering dari RS kronik
adalah hidung berair, hidung tersumbat, rasa penuh di wajah, dan
nyeri/rasa tertekan di wajah.Pasien RS dengan polip lebih sering mengeluh
hiposmia dan sedikit nyeri/rasa tertekan di wajah daripada pasien RS tanpa
kronik. Pasien RS kronik tanpa polip juga lebih sering terinfeksi bakteri
dan membaik setelah diobati.2
- Gejala lebih dari 12 minggu11
- Dua atau lebih gejala, salah satu termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung
anterior/posterior): ± nyeri wajah/rasa tertekan di wajah ±
penurunan/hilangnya penghidu
- Dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal
serta berair.
22
- Pada anak-anak harus ditanyakan faktor predisposisi lain seperti
defisiensi imun dan GERD.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
Gambar 2.5. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus
maksila
23
Gambar 2.6. Foto waters sinus maksilaris
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. 6
Pemeriksaan mikrobiologik dan res resistensi dilakukan dengan mengambil
secret dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat
guna. Lebih baik lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila
yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 6
Berdasarkan lokasinya, diagnosis rhinosinusitis dapat ditegakkan sebagai
berikut :17,18
Rhinosinusitis Maksilaris
Nyeri pipi menandakan rhinosinusitis maksila. Gejala sinusitis maksilaris
akut berupa demam, malaise dan nyeri kepala yang tak jelas yang biasanya
reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa
24
bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak,
misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi
khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi.
Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.
Rhinosinusitis Etmoidalis
Rhinosinusitis etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Dari anamnesis didapatkan nyeri
yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang
nyeri di bola mata atau di belakangnya, terutama bila mata digerakkan.
Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung. Pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan pada pangkal hidung.
Rhinosinusitis Frontalis
Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk
menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga
menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri
bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
Pemeriksaan fisik, nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di atas
daerah sinus yang terinfeksi merupakan tanda patognomonik pada sinusitis
frontalis.
Rhinosinusitis Sfenoidalis
Rhinosinusitis sfenoidalis dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke
verteks kranium. Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis
dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus
lainnya.
- Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema, Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid
anterior tampak nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis
ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari
meatus superior. (Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip, tumor
maupun komplikasi sinusitis. Jika ditemukan maka kita harus
melakukan penatalaksanaan yang sesuai).
25
- Pada rinoskopi posterior tampak pus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama
kurang lebih 5 menit, dan provokasi test, yakni suction dimasukkan
pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien
disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat. Jika positif
sinusitis maksilaris, maka akan keluar pus dari hidung.
2.12. Penatalaksanaan
Tujuan terapi rinosinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
26
membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinu-sinus pulih
secara alami. 6
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada rinosinusitis akut
bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotic yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada rinosinusitis antibiotik diberikan selama 10-
14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. 6
Pada rinosinusitis kronik diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman
negative gram dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat
diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral atau topikal,
pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin
tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret
jadi lebih kental.. bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi
ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan
terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika
pasien menderita kelainan alergi yang berat. 6
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan
hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih
memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. 6
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
A. Antibiotik17,18
Antibiotik merupakan kunci dalam penatalaksanaan sinusitis supuratif akut.
Amoksisilin merupakan pilihan tepat untuk kuman gram positif dan negatif.
Vankomisin untuk kuman S. pneumoniae yang resisten terhadap amoksisilin.
Pilihan terapi lini pertama yang lain adalah kombinasi eritromisin dan
dulfonamide atau cephalexin dan sulfonamide.
27
Terapi antibiotik harus diteruskan minimum 1 minggu setelah gejala terkontrol.
Karena banyaknya distribusi ke sinus-sinus yang terlibat, perlu mempertahankan
kadar antibiotika yang adekuat bila tidak, mungkin terjadi sinusitis supuratif
kronik.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk membantu memperbaiki drainase
dan pembersihan sekret dari sinus. Untuk sinusitis maxilaris dilakukan pungsi dan
irigasi sinus, sedangkan untuk sinusitis ethmoidalis frontalis dan sinusitis
sfenoidalis dilakukan tindakan pencucian Proetz. Irigasi dan pencucian dilakukan
2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis
masih tetap banyak sekret purulen, maka perlu dilakukan bedah radikal.
Antibiotik parenteral diberikan pada sinusitis yang telah mengalami komplikasi
seperti komplikasi orbita dan komplikasi intrakranial, karena dapat menembus
sawar darah otak. Ceftriakson merupakan pilihan yang baik karena selain dapat
membasmi semua bakteri terkait penyebab sinusitis, kemampuan menembus
sawar darah otaknya juga baik.
Pada sinusitis yang disebabkan oleh bakteri anaerob dapat digunakan
metronidazole atau klindamisin. Klindamisin dapat menembus cairan
serebrospinal. Antihistamin hanya diberikan pada sinusitis dengan predisposisi
alergi. Analgetik dapat diberikan. Kompres hangat dapat juga dilakukan untuk
mengurangi nyeri.
B. Irigasi nasal salin17,18
Irigasi nasal dengan salin adalah terapi tambahan untuk kondisi pernapasan
bagian atas, yaitu dengan mencuci rongga hidung dengan semprotan atau cairan
garam dengan memasukan larutan salin ke dalam 1 lubang hidung yang ditutup
dan membiarkan larutan salin dan sekret mengalir keluar dari lubang hidung
lainnya. Teknik menggunakan semprotan bertekanan positif rendah atau tekanan
berbasis gravitasi menggunakan neti pot atau bejana lain dengan moncong hidung.
Biasanya, 0,9% hingga 3% larutan salin digunakan, tetapi salinitas, pH, dan suhu
yang optimal tidak diketahui, dan dapat bervariasi berdasarkan preferensi pasien.14
Irigasi hidung menggunakan cairan salin dapat membantu untuk mengelola
gejala rinosinusitis kronis yang bertahan selama 12 minggu atau lebih lama, dan
hal tersebut merupakan indikasi paling umum untuk irigasi nasal saline. Dalam 1
28
studi, penggunaan sehari-hari dari 2% larutan saline, tetapi bukan salin spray,
sebagai tambahan dalam perawatan rutin, dikaitkan dengan penurunan 64% dalam
keparahan gejala keseluruhan dibandingkan perawatan rutin saja. Pasien-pasien
ini juga mengalami peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup spesifik
penyakit pada 6 bulan dan pada 18 bulan.14
C. Dekongestan17,18
Dekongestan Oral (Lebih aman untuk penggunaan jangka panjang) berupa
Phenylproponolamine dan pseudoephedrine, yang merupakan agonis alfa
adrenergik. Obat ini bekerja pada osteomeatal komplek .Dekongestan topikal
yaitu Phenylephrine Hcl 0,5% dan oxymetazoline Hcl 0,5 % bersifat
vasokonstriktor lokal. Obat ini bekerja melegakan pernapasan dengan mengurangi
oedema mukosa.
D. Antihistamin
Antihistamin golongan II yaitu Loratadine. Anti histamin golongan II
mempunyai keunggulan, yaitu lebih memiliki efek untuk mengurangi rhinore, dan
menghilangkan obstruksi, serta tidak memiliki efek samping menembus sawar
darah otak
E. Kortikosteroid17,18
bisa diberi oral ataupun topikal, namun pilihan disini adalah kortikosteroid oral
yaitu metil prednisolon, efek samping berupa retensi air sangat minimal,
begitupula dengan efek terhadap lambung juga minimal.
29
- Pembedahan primer diikuti pemberian steroid nasal topikal pasca
operasi b. Imunoterapi dan steroid sistemik (bila perlu) untuk
mengurangi rekurensi c. Antifungal topikal juga dapat diberikan
Pembedahan
Maksimal terapi medikamentosa adalah 4-6 minggu (AB, steroid nasal dan
steroid sistemik), selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk pembedahan.
Pembedahan dilakukan bila ada kelainan mukosa dan sumbatan KOM, dengan
panduan CT scan atau endoskopik. Pasien dengan kelainan anatomi atau polip
sinonasal lebih respon terhadap terapi pembedahan.11
- Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)
FESS adalah tindakan pembedahan pada rongga hidung dan atau sekitarnya
dengan bantuan endoskop fiber optik.12 Indikasi pendekatan endoskopi sama
dengan pendekatan intranasal dan eksternal yang lain dan secara umum
meliputi :11,12
- Sinusitis akut rekuren
- Sinusitis kronis
- Sinusitis karena jamur alergi
- Rhinosinusitis hipertrofi kronis (polip)
- Polip antrokoanal
- Mukokel di dalam sinus Keberhasilan FESS sangat bergantung pada
perawatan pasca operasi, yaitu endoskopi nasal serial(dengan
debridement), kultur dan resistensi kuman (pemilihan AB) dan terapi lain
(steroid nasal topikal dan steroid sistemik. Perbaikan gejala setelah terapi
FESS adalah lebih dari 90%.10,11
2.13. Komplikasi
komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada rinosinusitis akut atau pada
rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial.
30
Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis
frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebral, selulitis
orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis
sinus kavernosus. Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses
ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus. 6
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis berupa :
Osteomyelitis dan abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila
dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. Kelainan paru, seperti
bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan. 6
2.14. Prognosis5
Prognosis rinosinusitis akut adalah sangat baik, kira-kira 70% pasien
sembuh tanpa pengobatan.Antibiotik hanya diperlukan bila ada gejala.
Rinosinusitis kronik memiliki masalah yang lebih rumit, jika penyebabnya adalah
struktur anatomi yang perlu dikoreksi, maka prognosis menjadi lebih baik. Lebih
dari 90% pasien mengalami perbaikan dengan intervensi bedah. Bagaimana pun,
penyakit ini sering kambuh, sehingga tindakan preventif adalah hal yang sangat
penting.
BAB III
KESIMPULAN
31
2. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis,
sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.
3. Penyebab utama rinosinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan
maksilaris.
4. Gejala umum rinosinusitis yaitu hidung tersumbat disertai dengan nyeri atau
rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorok
(post nasal drip).
5. Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yaitu sinusitis akut, subakut dan
kronik, sedangkan klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik
dan dentogenik.
6. Komplikasi dari rinosinusitis adalah komplikasi ke orbita dan intrakranial.
7. Tatalaksana berupa terapi antibiotik diberikan pada awalnya dan jika telah
terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka
dibutuhkan tindakan operasi. Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini
mengenai sinusitis dapat memberikan prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Bachet C, Pawankhar R, Zhang L, Bunnang C, Wokkens WJ, Hammilon
DW et al, ICON: chronic rhinosinusitis. World Allergy Organ J. 2014;
7(1): 25.
2. Munir N, Clark R, Ear nose and throat. 2013.Edisi 1. Hal 46-48. Penerbit
UK
3. Husni T. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Divisi Rinologi, Bagian
Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh.
4. Amelia NL, Zulaeika P, Utama DS. Prevalensi Rinosinusitis Kronik di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Majalah Kedokteran Sriwijaya
Th. 49. 2017.(2): 75-83.
5. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, et al. European
Position and Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS). Official
Journal of the European and International Rhinologic Societies and of the
Confederation of European ORL-NHS.2020. Suppl. 29:1-464.
6. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ketujuh. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2017 : 127-30.
7. Soetjipto D, Mangunkusumo D, Wardani R. Hidung. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ketujuh.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017 : 96-100.
8. Soetjipto D, Mangunkusumo D. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi ketujuh.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017 : 122-126.
9. Rukminis S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung, dan
Tenggorok Cetakan Pertama. Jakarta : EGC. 2000.
10. Lalwani A, 2012. Otolaryngology Head and Neck Surgery.3rd
edition,New York:Mc Graw-Hill,pp.291-300.
11. Hamilos L Daniel. Chronic rhinosinusitis: Epidemiology and medical
management. Journal of Allergy and Clinical
Immunology.2011.128(4).h.693- 705.
33
12. Aring AM, Chan MM. Current Concepts in Adult Acute
Rhinosinusitis. Am Fam Physician. 2016 Jul 15;94(2):97-105
13. Bubun J, Aziz A, Akil A dkk. 2009. Hubungan antara Derajat
Rinosinusitis Berdasarkan Gejala dan CT Scan Berdasarkan Skor Lund-
Mackay. ORLI 39(2). h.78-86.
14. Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji
Adam Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun
2013.
15. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher. Buku Acuan Modul Sinus Paranasal. 2008.
16. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.
Rhinology,Supplement 20, 2012; www.rhinologyjournal.com;
www.eaaci.net.
17. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose, Throat, Head, and Neck Surgery 7th
edition. 2018. New Delhi : Elsevier.
18. Pengurus Pusat Perhati-KL. Panduan Klinis di Bidang Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher.
19. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher. Buku Acuan Modul Sinus Paranasal. 2008.
34