Anda di halaman 1dari 51

10

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Supervisi Keperawatan

Supervisi merupakan bagian dari fungsi directing pengarahan

dalam fungsi manajemen yang berperan untuk mempertahankan agar

segala kegiatan yang telah diprogram dapat dilaksanakan dengan

baik dan lancar bagi seorang manajer untuk dapat mempertahankan

mutu asuhan keperawatan harus melalui supervisi, karena masalah –

masalah yang terjadi di unit keperawatan tidak seluruhnya dapat

diketahui oleh manajer keperawatan melalui informasi yang

diberikan oleh staf keperawatan yang mungkin sangat terbatas tanpa

melakukan supervisi keperawatan.

2.2.1 Pengertian

Menurut Huber (2010), menjelaskan bahwa Supervisi adalah

tindakan observasi personal sesuai dengan fungsi dan aktifitasnya,

menjalankan kepemimpinan dalam proses asuhan keperawatan.

Menurut Swansburg (2000) menerangkan bahwa supervisi adalah

suatu proses kemudahan untuk penyelesaian tugas keperawatan.

Sedangkan menurut Turner, J, & Hill, A. (2011) menyatakan bahwa

supervisi adalah merencanakan, mengarahkan, mendorong,

memperbaiki, mempercayai, mengevaluasi secara terus menerus


11

pada setiap perawat dengan sabar, adil dan bijaksana. Berdasarkan

keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah

kegiatan bentuk pengawasan yang dilakukan dengan merencanakan,

mengarahkan, dan mendorong perawat untuk meningkatkan

kemampuan dan memberikan pelayanan keperawatan yang

profesional.

2.2.2 Tujuan Supervisi

Tujuan supervisi keperawatan adalah sebagai berikut:

(Sitorus & Panjaitan 2011)

1. Memperhatikan anggota unit organisasi disamping itu area kerja dan

pekerjaan itu sendiri.

2. Memperhatikan rencana, kegiatan dan evaluasi dari pekerjaannya.

3. Meningkatkan kemampuan individu melalui orientasi, latihan dan

bimbingan individu sesuai kebutuhannya serta mengarahkan kepada

kemampuan keterampilan keperawatan.

4. Mengusahakan lingkungan dan kondisi kerja seoptimal mungkin

termasuk suasana kerja diantara staf, dan memfasilitasi penyediaan

alat-alat yang dibutuhkan baik kuantitas maupun kualitas sehingga

memudahkan untuk melaksanakan tugas. Lingkungan kerja harus

diupayakan agar staf merasa bebas untuk melakukan yang terbaik

yang dapat dilakukan staf.


12

5. Meningkatan standar klinis dan kualitas perawatan pasien

Meningkatan dukungan dan kesejahteraan pribadi

6. Peningkatan kepercayaan diri, insiden penurunan ketegangan

emosional

7. Staf tinggi moral dan kepuasan mengarah ke penurunan staf sakit /

absen, meningkatkan kepuasan staf

8. Belajar melalui pengalaman dan terlibat dalam praktik reflektif

diskusi klinis, menjelajahi intervensi dan pengetahuan perawat yang

disupervisi dan keterampilan.

9. Dukungan emosional, mencoba untuk membantu yang berhubungan

dengan stres yang melayani pelayanan.

10. Pengembangan profesional, menjelajahi dengan perawat yang

disupervisi untuk dasar pengetahuan dan pengembangan

keterampilan.

2.2.3 Manfaat Supervisi

Manfaat supervisi yaitu dengan supervisi dapat

meningkatkan efektifitas kerja danefisiensi kerja. Peningkatan

efektifitas kerja ini erat hubungannya dengan peningkatan

pengetahuan dan keterampilan bawahan, serta makin terbinanya

hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dan

bawahan. Peningkatan efesiensi kerja ini erat kaitannya dengan


13

makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan bawahan, sehingga

pemakaian sumber daya (tenaga, harta dan sarana) yang sia-sia akan

dapat dicegah Siagian, S.P. (2009).

Supervisi klinis memberikan manfaat bagi manajer

keperawatan dan perawat yang disupervisi. Semua manfaat harus

untuk memberikan perawatan yang lebih baik bagi pasien yaitu

penerima intervensi keperawatan. Supervisi klinis meningkatkan

kualitas perawatan pasien dengan: memelihara dan menjaga standar

pelayanan; menilai perkembangan pengetahuan profesional dan

praktik; memastikan pemberian perawatan optimal yang berkualitas.

Manfaat utama bagi para praktisi dapat diringkas sebagai berikut

(Yulita 2013):

1. Praktisi merasa dihargai dan meningkat harga diri. Selain itu,

praktisi mengalami peningkatan kepercayaan diri profesional dan

kompetensi terutama dalam situasi di mana para profesional lainnya

mencari pendapat profesional.

2. Supervisi klinis mendorong praktik otonom aman yang

mencerminkan pemusatan perawatan individu. Meningkatkan

kepuasan kerja dan mengurangi budaya kesalahan tidak adil.

Keterbukaan juga didorong melalui proses supervisi.


14

3. Melakukan supervisi klinis meningkatkan pengembangan pribadi

dan profesional dan membantu para praktisi dalam memenuhi

persyaratan. Pengawasan secara keseluruhan mendorong terus

menerus pengembangan profesional dan pribadi dan komitmen

untuk belajar sepanjang hayat, manfaat berikut ini menjadi penting

bagi para manajer.

4. Supervisi klinis memungkinkan manajer untuk memuaskan diri

sendiri, pedoman dan standar yang dianggap secara berkelanjutan

oleh para praktisi dan dengan demikian ditaati dalam segala hal.

Mendukung prinsip-prinsip tata kelola perawatan klinis dan sosial.

5. Keterlibatan dalam supervisi klinis memfasilitasi perbaikan dalam

praktik, mengarah ke pemberian perawatan yang aman meningkat

dan keluhan berkurang. Merupakan perlindungan utama bagi

manajer yang jelas mendukung praktisi untuk meninjau dan menilai

kembali terus tindakan profesional.

6. Meningkatkan semangat dan mendorong motivasi. Mendukung

proses, praktisi mengakui bahwa manajer menempatkan pentingnya

pada kebutuhan telah diberikan waktu untuk meninjau praktik klinis

dan mengevaluasi kembali pengembangan profesional dan pribadi.

7. Supervisi klinis juga memberikan kesempatan untuk mengelola

konflik dan untuk menguji strategi resolusi. Sangat membantu


15

manajer untuk memenuhi persyaratan mutu, dan membantu dalam

memastikan akuntabilitas dan peraturan fungsi tidak diabaikan.

2.2.4 Cara Supervisi

Cara melakukan supervisi dapat berupa supervisi langsung

dan tidak langsung yulita (2013) :

1. Supervisi Langsung

Supervisi dilakukan langsung pada kegiatan yang sedang

berlangsung. Pada supervisi modern diharapkan supervisor terlibat

dalam kegiatan agar pembimbing dan pengarahan serta pemberian

petunjuk tidak dirasakan sebagai perintah.

2. Supervisi Tidak Langsung

Supervisi dilakukan melalui laporan tertulis maupun lisan.

Supervisor tidak melihat kejadian dilapangan sehingga mungkin

terjadi kesenjangan fakta.

2.2.5 Bentuk Penerapan Supervisi dalam Keperawatan

1. Supervisi Individu

Supervisi Individu adalah supervisi yang dilakukan secara

one to one atau personal antara supervisor dan perawat yang

disupervisi. Supervisi individu dianggap penting untuk

pengembangan profesional Brunnerro S., & Stein Parburry, J (2008).


16

2. Supervisi Kelompok

Supervisi kelompok diperlukan untuk memberikan supervisi

pada sekelompok orang dimana supervisi kelompok berorientasi

pada kerjasama tim atau mengeksplorasi dinamika, meningkatkan

keterampilan klinis atau meningkatkan pengembangan profesional,

bukannya mengatasi kebutuhan spesifik dari individu yang fokusnya

pada keseluruhan komponen (Lynch, 2008)

2.2.5. Pelaksanaan Supervisi

Durasi lamanya pelaksanaan supervisi 45-60 menit dengan

menggunakan model proctor dapat menfasilitasi pengembangan

praktik pelayanan klinis yang berbasis bukti (Turner & Hill 2011).

Frekwensi pertemuan dibagi menjadi beberapa bagian umumnya 1

jam sesuai dengan kebutuhan supervisor dengan perawat yang

disupervisi (Lynch, 2008).

2.2.6 Model Supervisi

1. Supervisi Model Reflektif

Berpikir merupakan suatu keaktifan pribadi manusia yang

mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Berpikir

juga merupakan suatu kegiatan mental untuk membangun dan

memperoleh pengetahuan. Dalam suatu proses pembelajaran,

kemampuan berpikir dikembangkan dengan memperkaya


17

pengalaman yang bermakna melalui persoalan pemecahan masalah.

Pentingnya pengalaman bagi seorang perawat agar mempunyai

struktur konsep yang dapat berguna dalam menganalisis serta

mengevaluasi suatu permasalahan.

Berpikir reflektif adalah berpikir untuk mengingat kembali

terhadap apa yang sudah dilakukan dalam rangka melakukan

instropeksi, refleksi dan spirit koreksi atas berbagai kualitas dan cara

kerja yang sudah kita lakukan dalam kehidupan ini (Marqom 2012).

Sistem pembelajaran reflektif (reflective learning) adalah sistem

pembelajaran dimana supervisor memberikan kesempatan kepada

peserta didik (yang di supervisi) untuk melakukan analisis atau

pengalaman individual yang dialami dan memfasilitasi pembelajaran

dari pengalaman tersebut. Adapun langkah-langkah sistem

pembelajaran reflektif adalah dengan belajar jurnal, belajar mitra

(kelompok), belajar kontrak, dan jadwal penilaian diri (Yesildere

2011).

Pembelajaran reflektif melihat bahwa proses adalah produk

dari berpikir, dan berpikir adalah produk dari sebuah proses.

Reflective learning bergantung pada kualitas hubungan supervisi

(Sexton & Whiston, 1994). Hal ini interaksi dibangun bahwa

pembelajaran aktif terjadi dan pengetahuan tentang bagaimana


18

mengubah perilaku berkembang Mahon & Altmann, (1991) dalam

wahyu (2014). Ini berarti interaksi siklus supervisi membantu

counselor in training karena mereka merefleksikan pengalaman

konseling dalam supervisi, dan kemudian masuk kembali ke konteks

konseling, dengan harapan terjadi perubahan dalam persepsi dan

perubahan dalam praktek. Supervisi klinis dengan model reflektif

lebih tepat untuk praktik keperawatan professional. Kebutuhan

perawat untuk memenuhi kebutuhan dalam merawat pasien

membutuhkan praktik profesional dan sesuai dengan kebijakan

organisasi dan prosedur. Praktik refleksi mengharuskan perawat

belajar dari refleksi, memperbaiki pandangan konseptual secara tepat

dan bertindak secara berbeda untuk hasil yang optimal (Lynch,

Hancox, Happel, & Parker,2008).

Perawat dan supervisor harus belajar bagaimana untuk

merefleksikan tujuan keterampilan. Supervisi model reflektif

merupakan cara yang sangat interaktif dan aktif dalam belajar

(Lynch, Hancox, Happel, &Parker 2008). Pendekatan reflektif untuk

supervisi klinis memberikan pemahaman dan pengertian dalam

melihat praktik yang mendukung dan memfasilitasi supervisor

klinis. Model refleksi tetap relevan bahkan sampai saat ini. Pada

dasarnya, reflektif merupakan dukungan bagi perawat untuk lebih

memahami praktik keperawatan dan bagaimana hal itu


19

mempengaruhi kepribadian perawat. Informasi yang diterima

perawat saat di supervisi memberikan pengetahuan yang kemudian

mengarah pada pemahaman yang lebih baik dan perubahan sikap

sehingga memungkinkan perawat untuk mengembangkan dan

mengubah perilaku dengan adanya peningkatan pengetahuan.

Supervisor dan perawat yang disupervisi akan membahas

bagaimana perawat yang disupervisi tersebut terhadap tindakan dan

apa yang telah dipelajari saat supervisi. Pada tahapan, supervisor dan

perawat yang disupervisi akan meninjau dan membahas

pengetahuan. Perawat yang disupervisi diharuskan untuk focus pada

sebuah peristiwa (keselamatan pasien).

Supervisi model reflektif dimana tujuan dari supervisi untuk

memfasilitasi supervisi (perawat pelaksana), membangun hubungan

interpersonal dan professional, meningkatkan kompetensi dan

tanggung jawab, pemberian dukungan dan konseling. Supervisi

dalam perawatan akan memberikan dampak positif untuk kualitas

pelayanan berupa diskusi klinis, dukungan emosional dan

pengembangan professional antara supervisor dengan perawat yang

disupervisi untuk mengeksplorasi kemampuan perawat yang

disupervisi, pengembangan keterampilan, membantu dengan


20

dukungan terhadap stress yang dialami perawat yang disupervisi.

(Karvinen & Hyrkas, 2008).

Menggunakan sebuah model supervisi untuk memahami

proses dan fenomena untuk pelayanan yang lebih baik. Pelaksanaan

supervisi reflektif merupakan supervisi yang ilmiah dari peristiwa,

situasi, kondisi dan tindakan yang terjadi ditempat kerja. Ada alasan-

alasan penting dari penggunaan yaitu antara lain karena merupakan

kunci keterampilan dari perawat, masih dapat digunakan perawat

untuk menyusun dampak perawatan setiap harinya, reflektif masih

dapat di defenisikan sebagai proses ilmiah dari suatu peristiwa,

situasi dan kejadian ditempat pekerjaan, rentang model supervisi

reflektif ini masih digunakan perawat pada praktik klinis serta dapat

digunakan secara individu dan kelompok (Yulita 2013). Berpikir

secara reflektif sering kali dihubungkan dengan berpikir kritis yang

merupakan diskusi untuk proses pembelajaran dalam meningkatkan

dan mengembangkan philosophi profesional yang dapat digunakan

oleh perawat pendidik (Yulita 2013).

Dengan menggunakan reflektif dapat meningkatkan

tanggung jawab, kemampuan memahami seseorang lebih baik dan

mengenali keterbatasan untuk pengembangan praktik keperawatan

yang dilakukan (Rowland & Sophie, 2008). Menggunakan model


21

reflektif untuk supervisi klinis praktik refleksi pada keperawatan

profesional. Kebutuhan perawat untuk memenuhi kebutuhan

perawatan pasien, yang semakin meningkat kebutuhan akan praktik

profesional dan sesuai dengan kebijakan organisasi dan prosedur

(Lycnh, 2008).

2. Supervisi Model Interaktif

Model pembelajaran interaktif (Interactive Learning

Model) adalah model pembelajaran yang berorientasi pada peserta

didik (student centered), dimana peserta dilibatkan langsung dalam

berbagai jenis kegiatan pembelajaran di lapangan. Model

pembelajaran Interaktif membuat peserta saling berinteraksi dalam

berbuat dan berpikir (hands on and minds on) yang menghasilkan

umpan balik secara langsung terhadap materi yang diberikan (Hake,

1997).

Model supervisi klinis yang dikembangkan oleh Kadushin

biasanya digunakan di bidang pekerjaan sosial. Kadushin (1985)

menyatakan bahwa fungsi ekspresif atau mendukung dari supervisi

klinis telah disosialisasikan dan dimasukkan sebagai komponen

penting yang diperlukan untuk pengawasan pekerjaan sosial.

Kadushin berpendapat dalam model supervisi interaktif mempunyai

tiga fungsi supervisi klinis yang sama pentingnya. Ketiga fungsi


22

tersebut memberikan kerangka kerja yang holistik untuk supervisor,

dan perawat yang disupervisi. Supervisor harus menggunakan

pengalaman untuk penilaian dalam penentuan fungsi dari model

yang lebih ditekankan (Lynch, Hancox, Happer, 2008)

Administratif Pendidikan
Normative Educate

Dukungan
Supportive

Skema 2.1. Model Supervisi Interaktif oleh Kadushin

a. Administratif/ Normatif

Peran utama dari fungsi administratif merupakan aplikasi

yang efektif dari kebijakan dan prosedur organisasi. Peran supervisor

difokuskan pada fungsi iniuntuk memastikan bahwa perawat yang

disupervisi mengikuti semua kebijakan dan berbagai etika, seperti

kode etik, kebijakan, protokol dan pedoman. Adminitrasi atau

standar membantu supervisor untuk memantau kepatuhan perawat

yang disupervisi dengan fungsi administrasi organisasi. Tahap

administrasi untuk evaluasi berkala dari supervisi yang dilakukan

untuk memastikan apakah supervisor bekerja dengan baik.


23

Supervisor bekerja berdasarkan aturan dasar untuk menjalankan

fungsi manajemennya dan dievaluasi pada tahap akhir untuk melihat

efektivitasnya (Lynch, 2008).

Kadushin (1985) menggunakan istilah supervisi administrasi

untuk menggambarkan, memilih dan berorientasi, menetapkan

kasus, pemantauan, mengkaji dan mengevaluasi, melayani sebagai

agen sosialisasi, advokasi dan buffering dalam organisasi. Proctor

menggunakan istilah normatif atau manajerial untuk

menggambarkan fungsi yang mempromosikan dan sesuai dengan

kebijakan organisasi (Lynch, 2008).

b. Pendidikan (Formatif)

Fungsi pendidikan (formative) berfokus pada pengetahuan

dan keterampilan perawat yang di supervisi tersebut. Perawat yang

disupervisi dipastikan bahwa memiliki pengetahuan yang diperlukan

untuk menyelesaikan tugas tertentu. Difokuskan pada

pengembangan profesional perawat yang disupervisi tersebut.

Supervisi secara pendidikan (pengetahuan) sangat penting untuk

pengembangan keterampilan, yang menghubungkan teori dan

praktik dan meningkatkan semangat kompetensi, kepuasan kerja dan

karenanya baik untuk supervisor dan perawat yang disupervisi

(Lynch, 2008)
24

c. Mendukung (Restoratif)

Supervisor memberikan dukungan terhadap pekerjaan dan

menyediakan penasehat psikologis dan interpersonal yang

diperlukan untuk kinerja yang efektif dan untuk mencegah stres serta

kelelahan. Komponen ketiga Kadushin yaitu dukungan supervisor.

Komponen yang membantu perawat untuk menangani pekerjaan

yang berhubungan dengan stres dengan memberikan pujian yang

tepat dan dorongan, normalisasi yang berhubungan dengan

pekerjaan reaksi, menegaskan kekuatan, dan berbagi tanggung jawab

atas keputusan yang sulit. Proctor ini ketiga komponen, restoratif.

fungsi pendukung yang membantu praktik keperawatan untuk

memahami dan mengelola stres emosional dari praktik keperawatan

(Lynch, 2008).

Model pengawasan menyediakan kerangka kerja atau cara

memandang dalam kegiatan supervisi baik supervisor dan perawat

yang disupervisi mempertimbangkan masalah dari perspektif

administrasi, pendidikan dan dukungan. Pendekatan tiga cabang

dengan memastikan bahwa semua komponen penting yang

membentuk suatu kegiatan supervisor. Model Proctor hampir identik

dengan model Kadushin dalam terdiri dari tiga fungsi utama:

formatif, normatif dan restoratif. Fungsi formatif mirip dengan


25

fungsi pendidikan Kadushin, yaitu peran supervisor dalam

pengembangan. Hal ini membutuhkan kemitraan antara supervisor

dan perawat yang disupervisi yang berfokus pada kebutuhan belajar

dan perkembangan perawat yang disupervisi.

Supervisi interaktif dengan fungsi educative untuk

pengembangan keterampilan, fungsi restorative untuk memberikan

dukungan dan fungsi normative untuk mengontrol kualitas dari

praktik klinis yang dilakukan (Proctor, 1987 dalam Turner, 2011).

Ketiga fungsi dari model Proctor merupakan model yang

diadopsi oleh keperawatan yang efektif untuk strategi implementasi

dan evaluasi yang memberikan keberhasilan dari proses supervisi

(Whinsley &White, 2008). Masalah supervisi dimulai dari pelatihan

klinis tidak memadai untuk pengawas karena tidak ada program

pelatihan terstandarisasi yang dapat menjawab apa yang dibutuhkan

untuk meningkatkan kompetensi dan percaya diri seorang supervisor

(Turner, 2011).

Hasil penelitian menyatakan bahwa dengan supervisi klinik

model Proctor akan meningkatkan proses dokumentasi keperawatan

(Turner, 2011).
26

Pengkajian & Kualitas


Asessment & Quality

Tugas
Normatif Tasks

Supervisi Klinis Formatif Keputusan


Decisions

Restoratif Praktik Refleksi


Reflective Practice

Dukungan
Support

Skema 2.2. Model Supervisi Proctor

Menjelaskan bahwa model supervisi Proctor dikembangkan oleh

Brigid Proctor, merupakan model yang paling popular dalam

supervisi. Adapun manfaat dari implementasi model Proctor, yaitu:

1) Evaluasi pekerjaan yang sudah dilakukan

2) Konsistensi dalam menerapkan standar yang ada

3) Sebagai sarana bertukar pikiran atau pendapat

4) Peningkatan kualitas kinerja

5) Mempermudah latihan menghadapi isu-isu yang terkait

Pitman (2011), Allen & Armorel (2010) dan penelitian yang

dilakukan oleh Brunero dan Panbury (2002), hasil akhir dari

kegiatan supervisi dikategorikan menjadi tiga komponen sesuai

dengan model Proctor, yaitu:


27

1) Normatif

Komponen ini dapat dicapai oleh supervisor yang memiliki

persepsi positif untuk staf yang disupervisi, dihubungkan dengan

kemampuan supervisor untuk mempertahankan kinerja staf yang

baik dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang kondusif,

membuat suatu perencanaan, mengidentifikasi kebutuhan dan

permasalahan yang diperlukan untuk memberikan dukungan lebih

lanjut, menciptakan keselamatan pasien, mempertahankan standar

yang ada, dan memberikan kepercayaan pada staf sehingga hal

tersebut dapat meningkatkan profesionalisme dan menciptakan

kualitas pelayanan yang bermutu.

2) Formatif

Komponen ini berfokus pada pengembangan pengetahuan

dan keterampilan staf sehingga memungkinkan staf bekerja sesuai

dengan standar yang berlaku sebagai aspek tanggung jawab dalam

melakukan praktek. Kondisi ini dapat dicapai melalui refleksi pada

praktek yang sudah dilakukan dengan mendukung dan menciptakan

lingkungan yang kondusif. Hal ini merupakan tanggung jawab

bersama dari supervisor dan staf yang disupervisi. Adapun tugas dari

supervisor dalam hal ini adalah:


28

a) Memberikan kritik yang konstruktif

b) Memberikan tantangan dalam praktek apabila diperlukan

c) Memonitor kepatuhan terhadap kode etik dan standar yang berlaku

d) Memberikan umpan balik yang jujur

e) Secara teratur mengevaluasi efektivitas kegiatan supervisi

f) Mengidentifikasi pemecahan masalah yang diperlukan

3) Restoratif

Komponen ini berhubungan dengan kemampuan

memberikan rasa aman bagi staf untuk terbuka dalam

mengungkapkan perasaan dan permasalahan yang dihadapi,

pengalaman dalam praktik dan pembelajaran, mencegah stress,

mengatasi konflik, pemberian dukungan pada staf, proses interaksi,

serta meningkatkan kesadaran diri. Adapun tugas dari supervisor

dalam hal ini adalah :

a) Memberikan dukungan atau motivasi.

b) Membantu staff yang disupervisi berinteraksi.

c) Monitoring reaksi atau respon terhadap materi yang dibawa oleh

supervisor.

d) Meningkatkan pengalaman dan pengembangan.

e) Meningkatkan kesadaran diri.


29

3. Supervisi Model Reflektif Interaktif

Supervisi reflektif interaktif merupakan gabungan antara

supervisi reflektif dengan supervisi interaktif. Supervisi reflektif

merupakan supervisi pada individu yang dilakukan secara ilmiah

untuk menggali materi atau peristiwa yang disupervisi. Perawat dan

supervisor harus belajar bagaimana untuk merefleksikan tujuan

keterampilan yang membutuhkan usaha dan latihan.ini bukan

bawaan atau tidak aktif, model reflektif adalah cara yang sangat

interaktif dan aktif dalam belajar (Lynch, Hancox, Happel & Parker,

2008).

Supervisi reflektif interaktif merupakan supervisi secara

langsung yang dilakukan secara supervisi individu ataupun

kelompok. Supervisi yang menekan hubungan interpersonal dengan

komunikasi secara langsung yang berisikan tentang fungsi

manajerial, pendidikan dan dukungan. Interaktif dikembangkan oleh

Proctor dan Kadushin yang memiliki 3 fungsi dalam melakukan

supervisi, fungsi tersebut berupa pendidikan, fungsi manajerial atau

administrasi dan fungsi dukungan. Melakukan supervisi dengan

model interaktif dapat mengembangkan pengetahuan dan

keterampilan untuk perawat yang disupervisi dan perawat supervisor

(Turner & Hill, 2011).


30

2.2 Kepuasan Kerja

Setiap orang bekerja mengharapkan memperoleh

kepuasan dari tempatnya bekerja dan kepuasan kerja tersebut

akan mempengaruhi produktivitas yang sangat diharapkan

organisasi. Ada beberapa hal yang membuat kita puas terhadap

hasil kerja, di tempat kerja, di rumah dan di manapun kita berada.

Kesatu, kualitas jika kita merasa bangga akan kualitas kerja yang

kita hasilkan, tentu kita akan puas. Kualitas yang prima, dapat di

hasilkan karena ketekunan, kecermatan dan perhatian pada detail.

Karena sebuah karya dengan kualitas unggulan salah satu

kriterianya adalah penghargaan. Kedua, manfaat dan solusi. Selain

pengakuan hasil karya dengan secara terbuka dan mendapat

pengakuan dari pelanggan, kepuasan kerja juga dapat tumbuh

dari kesadaran , karena hasil tersebut dapat memberi manfaat

buat banyak orang. Ketiga, kompensasi, faktor yang membuat

kita tersenyum kompensasi finansial, jika hasil karya kita unggul,

maka dapat di jual dengan harga tinggi, Rusmiati. (2010).

a. Pengertian kepuasan kerja

Kepuasan kerja mencerminkan sikap yang dimiliki

oleh pekerja tentang pekerjaan mereka. Sikap tersebut

menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang


31

diterima dengan jumlah yang pekerja yakini seharusnya mereka

terima. Kepuasan seseorang untuk mencapai prestasi adalah

sebagai kunci dan motivasi terhadap kepuasan kerja Izzah, N.

(2009) dalam Marquis & Huston. (2010). Kajian literature

menunjukkan kepuasan kerja perawat di semua negara masih

rendah, tingginya ketidakpuasan perawat sering menjadi

masalah di rumah sakit seperti kinerja menurun, turnover yang

tinggi dan kemangkiran kerja. Berikut ini akan dibahas

mengenai kepuasan kerja secara konseptual meliputi

pengertian, faktor-faktor yang mempengaruhi, teori-teori,

pengukuran dan dampak kepuasan kerja.

Kepuasan adalah persepsi terhadap produk atau jasa

Yang telah memenuhi harapannya, Mua EL. (2011). Kepuasan

juga diartikan sebagai model kesenjangan antara harapan

(standar kinerja yang seharusnya) dengan kinerja aktual yang

diterima pelanggan.

Kepuasan kerja adalah sikap yang dimiliki pekerja

tentang pekerjaan mereka. Sikap tersebut menunjukkan

perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima

dengan jumlah yang pekerja yakini seharusnya mereka


32

terima, Marquis & Huston. (2010) dan penilaian sejauh

mana lingkungan pekerjaan memenuhi kebutuhan pekerja.

Sikap yang dideskripsikan dapat bersifat positif atau negatif

terhadap kondisi fisik dan sosial lingkungan kerjanya,

Marquis & Huston. (2010). Kepuasan kerja merupakan

respons affective atau emosional terhadap berbagai segi

pekerjaan seseorang, Definisi ini menunjukkan bahwa job

satisfaction bukan merupakan konsep tunggal. Seseorang

dapat relatif puas dengan salah satu aspek pekerjaan dan

tidak puas dengan satu atau lebih aspek lainnya. Pekerjaan

memerlukan interaksi dengan rekan kerja dan atasan,

mengikuti peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi

standar kinerja, dan hidup dengan kondisi kerja yang sering

kurang ideal, Sigit, A. (2009).

Kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang

mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat

kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi

pemimpin. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas

lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi. Pekerja

yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku

organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran

mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan


33

tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang

tidak puas cenderung bersikap menentang dalam

hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam

berbagai perilaku yang kontra produktif. Dalam berusaha

tentunya kita mengharapkan kepuasan kerja dalam bentuk

finansial dan non finansial (fisik, emosional, dan intelektual),

Rusmiati. (2010).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Studi penelitian tentang kepuasan kerja dalam

keperawatan didapatkan hasil bahwa terdapat faktor-faktor

yang berhubungan dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian

itu diantaranya rutinitas, shift kerja, beban kerja, dominasi

medik, konflik peran dan peran ganda, keamanan kerja,

otonomi, tipe kepemimpinan, pengakuan dan penghargaan,

kebijakan organisasi, remunerasi, pengembangan

profesional (seperti pelatihan, peluang promosi), interaksi

perawat pasien, perawat dokter, perawat tenaga kesehatan

lain. Adapun faktor-faktor kepuasan kerja diantaranya :

1) Faktor-faktor kepuasan kerja berdasarkan

kategorinya, meliputi :

(a) Konten kerja


34

Konten kerja ditandai oleh pekerjaan keperawatan

itu sendiri seperti rutinitas, otonomi, umpan balik,

kebutuhan kerja

(b) Organisasi kerja

Organisasi kerja yaitu strategi pekerjaan

keperawatan dikelola, seperti konflik peran, peran ganda

dan kemungkinan pengembangan.

(c) Psikososial kerja

Psikososial kerja berhubungan dengan teman kerja

dan supervisor, gaya atau tipe kepemimpinan dan

stres kerja.

2) Faktor-faktor kepuasan kerja berdasarkan enam aspek


utama yang terdiri dari:

(a) Kepuasan dengan supervisor

Kepuasan kerja ditentukan oleh persepsi karyawan

tentang seberapa banyak informasi dan bimbingan

yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan

pekerjaan.

(b) Kepuasan dengan keragaman tugas

Kepuasan yang dirasakan dengan memiliki berbagai

tugas yang menantang dan tidak rutinitas, akan

membantu karyawan untuk melihat bahwa ada


35

banyak peluang yang tersedia untuk tumbuh dalam

organisasi.

(c) Kepuasan dengan otonomi dalam pekerjaan

Kepuasan yang dirasakan dengan memiliki

kebebasan dalam menyelesaikan pekerjaan dari awal

sampai akhir.

(d) Kepuasan kompensasi

Kepuasan yang dirasakan berdasarkan imbalan

yang diterima oleh karyawan. Hasil riset

menunjukan kecilnya korelasi antara gaji dan

kepuasan kerja. Motivasi untuk bekerja tidak hanya

karena uang, namun juga strategi rumah sakit

memenuhi kebutuhan karyawan, memperlakukan

karyawan dengan baik, menerapkan manajemen

yang fleksibel dan komunikator, serta melibatkan

karyawan dalam pengambilan keputusan. Marquis &

Huston. (2010)..

(e) Kepuasan dengan rekan kerja

Kepuasan yang dirasakan karena adanya

kehadiran dan dukungan dari rekan kerja. Rekan

kerja yang menjadi tim kuat atau efektif akan

membuat pekerjaan jadi menyenangkan.


36

(f) Kepuasan dengan manajemen dan kebijakan sumber

daya manusia

Kepuasan yang berhubungan dengan kebijakan

organisasi. Salah satu sumber utama ketidakpuasan

kerja perawat adalah manajemen keperawatan yang

tidak efektif, rendahnya keterlibatan dalam

pengambilan keputusan, hubungan yang buruk

dengan manajemen, kurangnya pengakuan, dan

kurangnya fleksibilitas dalam penjadualan.

3) Faktor-faktor kepuasan kerja yang berdasarkan


demografi meliputi, Wibowo. (2008).:

(a) Usia

Beberapa hasil penelitian menyimpulkan tentang

hubungan positif antara usia dengan kepuasan kerja.

Kepuasan kerja rendah terjadi ketika seseorang

berusia antara 20 - 30 tahun.

(b) Lama kerja

Lama kerja mempunyai korelasi dengan

kepuasan kerja. Kepuasan kerja relatif meningkat

pada awal kerja, menurun berangsur-angsur selama

5-8 tahun kemudian meningkat perlahan-lahan dan

mencapai puncaknya setelah 20 tahun kerja.


37

Karyawan yang telah lama bekerja memiliki

kepuasan kerja yang tinggi dan cenderung tidak akan

berhenti dari pekerjaannya, Suyanto (2009).

Pendapat lain menyatakan tidak ada alasan yang

meyakinkan bahwa karyawan yang sudah lama

bekerja akan lebih produktif dan memiliki motivasi

tinggi, dengan demikian hubungan antara lama kerja

dan kepuasan kerja bervariasi.

(c) Status kepegawaian

Kepuasan kerja dapat dipengaruhi oleh kedudukan

dalam organisasi, pangkat/golongan, jaminan finansial

(sosial). Karyawan atau perawat yang berstatus

pegawai negeri sipil telah memiliki status pangkat dan

golongan yang jelas dalam institusi rumah sakit,

memiliki jaminan sosial berupa asuransi kesehatan

serta tunjangan lain di luar gaji pokok sehingga

kesejahteraan terjamin. Hal ini berdampak pada

kepuasan kerja, Suarli (2009).

4) Teori Harapan seperti yang dikutip oleh Siagian

mengemukakan apabila seseorang sangat menginginkan

sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup


38

besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk

memperoleh hal yang diinginkannya. Sebaliknya, jika harapan

memperoleh hal yang diinginkannya kecil, motivasinya pun

untuk berupaya akan menjadi rendah. Teori ini mengatakan

bahwa kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil

pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan.

Menurut teori ini, seorang supervisor keperawatan harus

menaruh perhatian pada aspek pekerjaan yang perlu dirubah

untuk mendapatkan kepuasan kerja pada perawat pelaksana.

Supervisor dalam peran, kegiatan, dan kompetensi yang

dimilikinya dapat membantu perawat pelaksana dalam

menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan

cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkannya. Penekanan

ini penting karena para perawat tidak selalu mengetahui secara

pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk

memperolehnya. Penerapan supervisi klinik melalui kegiatan

supportive diharapkan dapat memenuhi kebutuhan perawat,

Saefulloh, M. (2009).

Pendapat teori lain dikemukakan kepuasan kerja


memiliki enam aspek utama yaitu:
1) Kepuasan dengan supervisor. Kepuasan kerja ditentukan oleh

persepsi karyawan tentang seberapa banyak informasi dan


39

bimbingan yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan

pekerjaan. Hasil riset yang dilakukan oleh Sigit (2009),

menemukan supervisi yang dilakukan secara konsisten akan

berpeluang meningkatkan kepuasan kerja sebesar 67,40%.

2) Kepuasan dengan keragaman tugas. Kepuasan yang dirasakan

dengan memiliki berbagai tugas yang menantang dan tidak

rutinitas. Hal ini akan membantu karyawan untuk melihat

bahwa ada banyak peluang yang tersedia untuk tumbuh dalam

organisasi.

3) Kepuasan dengan otonomi dalam pekerjaan. Kepuasan yang

dirasakan dengan memiliki kebebasan dalam menyelesaikan

pekerjaan dari awal sampai akhir.

4) kepuasan kompensasi. Kepuasan yang dirasakan berdasarkan

imbalan yang diterima oleh karyawan. Temuan riset yang

dilakukan oleh Curtis, menunjukkan kecilnya korelasi antara

gaji dan kepuasan kerja. Ia mengatakan bahwa motivasi untuk

bekerja bukanlah semata-mata karena uang, namun yang

paling penting adalah bagaimana rumah sakit memenuhi

kebutuhan karyawan, memperlakukan karyawan dengan baik,

menerapkan manajemen yang fleksibel dan komunikator, serta

melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan.


40

5) Kepuasan dengan rekan kerja. Kepuasan yang dirasakan

karena adanya kehadiran dan dukungan dari rekan kerja.

Penelitian terbaru mengidentifikasi bahwa rekan kerja yang

menjadi tim kuat atau efektif akan membuat pekerjaan jadi

menyenangkan ( Luthans, 2011).

6) Kepuasan dengan manajemen dan kebijakan sumber daya

manusia. Kepuasan yang berhubungan dengan kebijakan

organisasi. Hasil riset ditemukan bahwa salah satu sumber

utama ketidakpuasan kerja perawat adalah manajemen

keperawatan yang tidak efektif, rendahnya keterlibatan dalam

pengambilan keputusan, hubungan yang buruk dengan

manajemen, kurangnya pengakuan, dan kurangnya fleksibilitas

dalam penjadualan, Suyanto (2009).

7) Siagian mengemukakan untuk meningkatkan kepuasan kerja

perlu memperhatikan rancang bangun dari suatu pekerjaan

karena pekerjaanlah yang menghubungkan pekerja dengan

organisasi. Pekerjaan yang harus dilakukanlah yang menjadi

faktor penyebab mengapa organisasi membutuhkan pekerja.

Pekerjaan harus dapat meningkatkan produktivitas dan

kepuasan kerja. Hal ini senada dengan teori dua faktor yang

menyatakan bahwa pekerjaanlah yang menyebabkan kepuasan


41

kerja. Oleh karena itu dalam rancang bangun pekerjaan perlu

memperhatikan hal sebagai berikut:

a) Otonomi dalam pelaksanaan pekerjaan. Otonomi adalah

pemupukan rasa tanggung jawab atas pekerjaan seseorang

beserta hasilnya. Artinya kepada para pekerja diberi

kebebasan untuk mengendalikan sendiri pelaksanaan

tugasnya berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang

dibebankan kepadanya. Organisasi telah membuktikan

bahwa apabila kepada para pekerja diberikan kebebasan

memutuskan sendiri cara penyelesaian pekerjaannya, rasa

tanggung jawab dan tingkat kepuasannya menjadi lebih

besar. Sebaliknya dengan pengendalian terus menerus oleh

supervisor dan dibarengi dengan pengawasan ketat, dapat

berakibat pada sikap apatis dan prestasi kerja yang rendah.

Kepuasan kerja merupakan perasaan yang dialami oleh

perawat terhadap profesi yang dijalaninya yang didukung

dengan sikap supervisor yang memberikan kebebasan atau

otonomi untuk bekerja sesuai kewenangan dan tanggung

jawab serta kompetensi yang dimilikinya. Derajat

kebebasan atas pekerjaan yang dilakukan dan lingkup

kewenangan untuk membuat keputusan mengenai

pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan dan


42

kompetensi perawat pelaksana. Penerapan supervisi klinik

melalui kegiatan manajerial akan mengakibatkan timbulnya

rasa tanggung jawab yang tinggi pada perawat pelaksana

dalam melakukan praktik profesional.

b) Variasi tugas. Pemusatan pada satu tugas tertentu dapat

mengarah kepada tingkat keahlian dan efisiensi tinggi akan

tetapi sangat membosankan. Kebosanan dalam pekerjaan

mempunyai dampak negatif yang sering menampakkan diri

dalam keletihan, kesalahan dalam pelaksanaan tugas, dan

kecelakaan. Seorang supervisor keperawatan dapat

mengatasi kebosanan dengan variasi dalam memberi tugas

pada perawat pelaksana bila metode yang digunakan dalam

pemberian asuhan keperawatan adalah metode fungsional

dan variasi tingkat ketergantungan pasien bila metode yang

digunakan adalah metode tim atau kasus. Dengan cara ini

perawat akan lebih tertantang untuk meningkatkan

kemampuan dan ketrampilannya. Penerapan supervisi

klinik melalui kegiatan educative akan memampukan

supervisor untuk membagi tugas dengan baik.

c) Identitas tugas. Para pekerja akan merasa bangga apabila

mereka dapat menunjukkan secara kongkret hasil

pekerjaannya. Jika hasil pekerjaan tidak mendapat


43

penghargaan akan menurunkan kepuasan kerja. Meskipun

dalam pemberian asuhan keperawatan merupakan hasil dari

sekelompok perawat, namun seorang supervisor harus

dapat meyakinkan bahwa setiap perawat turut memberikan

kontribusi kongkret dalam hasil asuhan keperawatan yang

diberikan. Supervisor harus mampu mendorong

perkembangan pribadi perawat baik perasaan, harapan

maupun segi intelektual, disamping kebutuhan akan tata

hubungan yang serasi baik dengan pasien maupun rekan

kerja. Penerapan supervisi klinik melalui kegiatan

educative dan supportive akan memampukan supervisor

untuk memberikan dukungan yang positif bagi setiap

perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan

keperawatan.

d) Pentingnya pekerjaan seseorang. Hal ini berkaitan erat

dengan identitas tugas. Seorang pekerja akan merasa

bangga, mempunyai komitmen organisasional yang besar,

memiliki motivasi yang tinggi serta kepuasan kerja yang

besar jika ia mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu

dianggap penting oleh orang lain. Apalagi kalau orang lain

bergantung padanya dalam penyelesaian tugas tersebut.


44

Supervisor keperawatan perlu menanamkan kepada setiap

perawat bahwa sesederhana apapun pekerjaan yang mereka

lakukan sangat berarti bagi pemenuhan kebutuhan pasien

dan keberlangsungan pelayanan keperawatan di rumah

sakit. Setiap perawat pelaksana akan bekerja keras dan

berusaha mencapai tujuan dengan cepat, jika dalam diri

perawat tidak ada hambatan psikologis. Perawat pelaksana

harus senang berbuat dalam kondisi yang menyenangkan

pula. Penerapan supervisi klinik melalui kegiatan

supportive akan memampukan supervisor untuk memberi

dukungan positif pada setiap prestasi yang dicapai.

e)
Umpan balik. Umpan balik tentang cara seseorang

menyelesaikan pekerjaannya mempunyai arti yang sangat

penting bagi pekerja yang bersangkutan. Apabila seseorang

tidak memperoleh umpan balik tentang berbagai aspek

penyelesaian tugasnya, baginya tidak terdapat petunjuk

atau motivasi kuat untuk berprestasi lebih tinggi.

Supervisor keperawatan diharapkan dapat memberikan

umpan balik kepada perawat pelaksana terhadap pekerjaan

yang dilakukannya didasarkan pada kriteria dan standar

pekerjaan dibandingkan dengan hasil nyata yang dicapai


45

perawat. Umpan balik dapat juga dilakukan dengan

membandingkan pekerjaan sejenis di antara beberapa

perawat sehingga dapat tumbuh persaingan yang sehat

untuk berlomba menunjukkan prestasi kerja yang setinggi

mungkin. Penerapan supervisi klinik melalui kegiatan

educative, supportive dan mnagerial akan memampukan

supervisor untuk memberikan umpan balik yang tepat.

Sigit, A. (2009).

c. Pengukuran Kepuasan Kerja

Ada tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja


yaitu : Suarli (2009).

1) Rating scales dan kuesioner

Rating scales dan kuesioner merupakan pendekatan

pengukuran kepuasan kerja yang paling umum dipakai.

Pengukuran skala rating dapat dilakukan dengan cara:

(1) Skala Likert, typically degrees og agreemet with a

statement (2) Skala diferensial sematik, attitude between

two opposing words, (3) Skala rating numerik, (4)

Verbal scale, verbal satisfaction and imortance rating.

2) Critical incidents I
46

Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan

pekerjaan yang mereka rasakan terutama memuaskan

atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk

mengungkap tema yang mendasari.

3) Interviews

Interviews merupakan prosedur pengukuran kepuasan

kerja dengan melakukan wawancara tatap muka dengan

pekerja untuk secara langsung menanyakan sikap

mereka.

d. Dampak Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja yang dirasakan pegawai akan berdampak

bagi pegawai itu sendiri dan organisasi tempat bekerja.

Dampak kepuasan kerja itu sendiri meliputi :

a) Kepuasan dan produktivitas

Kepuasan dan produktivitas masih menjadi

pembahasan antara variabel yang menjadi penyebab

yang menjadi efek, karena pekerja yang bahagia tidak

selalu pekerja yang produktif. Pada level individu, bukti

tersebut menunjukan bahwa pernyataan kebalikannya

justru lebih akurat, bahwa produktivitas kemungkinan

menghasilkan kepuasan. Pendapat lain mengatakan


47

bahwa kepuasan kerja dan produktivitas pegawai sangat

berhubungan dan hal ini menjadi kunci utama bagi para

manajer untuk meningkatkan produktivitas pegawainya.

Supratman & Sudaryo, A. (2008)

b) Kepuasan dan keabsenan

Pegawai yang tidak puas kemungkinan akan lebih besar

absen dari pekerjaannya. Wiyana, M. (2008).

2. Kinerja

Kinerja atau performance menurut Supriatno dan Ratna

adalah efforts (upaya atau aktifitas) di tambah dengan

achievements (hasil kerja atau pencapaian hasil upaya) Izzah, N.

(2009). Kinerja dapat dipandang sebagai proses maupun hasil

pekerjaan. Kinerja merupakan suatu proses tentang bagaimana

pekerjaan berlangsung untuk mencapai hasil kerja. Namun, hasil

pekerjaan itu sendiri juga menunjukkan kinerja. Perilaku kerja

terlihat dari cara kerja yang penuh semangat, disiplin,

bertanggung jawab, melaksanakan tugas sesuai standar yang

ditetapkan, memiliki motivasi dan kemampuan kerja yang tinggi

dan terarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sedangkan hasil

kerja merupakan proses akhir dari suatu kegiatan yang dilakukan

anggota organisasi dalam mencapai sasaran. Fatah yang dikutip

Wahyudi (2011), mengartikan kinerja sebagai suatu kemampuan


48

dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang sesuai dengan

sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta motivasi kerja. Hasil

kerja dapat dicapai secara maksimal apabila individu mempunyai

kemampuan dalam mendayagunakan pengetahuan, sikap, dan

keterampilan. Hafizurrachman berpendapat kinerja adalah

penampilan kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok

orang dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan

organisasi yang telah ditetapkan. Kinerja karyawan pada

dasarnya adalah hasil kerja seorang karyawan selama periode

tertentu dibandingkan berbagai kemungkinan, misalnya standar,

target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih

dahulu dan telah disepakati bersama. Berdasarkan beberapa

pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja perawat adalah

keseluruhan perilaku dan kemampuan yang dimiliki perawat

yang ditampilkan dalam memberikan asuhan keperawatan.

Sedangkan hasil kerja perawat dapat dilihat dari proses akhir

pemberian asuhan keperawatan, yang salah satunya adalah

pendokumentasian asuhan keperawatan yang telah diberikan

kepada pasien yang meliputi: pengkajian, diagnosa, perencanaan,

implementasi, dan evaluasi.

a. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja perawat

Faktor kepuasan kinerja yang lain, menyatakan ada

empat faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu: kesatu,


49

harapan mengenai imbalan, Kedua, persepsi terhadap tugas.

Ketiga dukungan eksternal atau kepemimpinan. Keempat,

Kebutuhan A. Maslow. Kelima, factor pekerjaan (desain

umpan balik, pengawasan dan pengendalian). Faktor

lain yang mempengaruhi kinerja ada tiga : kesatu, kemampuan

pribadi untuk melakukan pekerjaan tersebut. Kedua, tingkat

usaha yang di curahkan. Dan ketiga, dukungan organisasi.

Selain itu ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja yaitu :

factor individu, organisasi tempat kerja, dan factor psikologi.

Burdahyat. (2009). Kinerja pribadi dapat ditingkatkan sampai

pada tingkat ketiga komponen yang ada dalam diri karyawan,

tetapi kinerja dapat berkurang bila salah satu faktor dikurangi.

Selain itu, beberapa teori mengemukakan bahwa faktor-faktor

yang berhubungan dengan kinerja yaitu: faktor individu,

organisasi tempat bekerja, dan faktor psikologis. Faktor

individu yaitu kemampuan dan keterampilan, latar belakang

dan demografi. Sub variabel kemampuan dan keterampilan

merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan

kinerja individu. Sub variabel demografis mempunyai efek

tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu. Faktor yang

mempengaruhi kinerja sesuai dengan konsep kinerja (Robbins,

2008), faktor kemampuan (ability), dan faktor motivasi


50

(motivation) adalah sebagai berikut : kesatu, Human

Performance= ability + motivation. Kedua, Motivation =

atitude+ situasional. Ketiga, Ability = knowledge + skill.

Ilyas (2008), mengatakan kinerja dapat dipengaruhi

oleh faktor demografi dan supervisi, dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Umur. Semakin tua umur seseorang maka kebutuhan

aktualisasi diri akan semakin tinggi bila dibandingkan

dengan kebutuhan fisiologisnya.

2. Lama kerja. Pengalaman kerja akan mempengaruhi

seseorang dalam berinteraksi dengan pekerjaan yang

dilaksanakannya.

3. Supervisi. Supervisi adalah proses yang memacu anggota

organisasi untuk berkontribusi secara positif agar tujuan

organisasi dapat tercapai. Supervisi dalam keperawatan

dilakukan untuk memastikan kegiatan dilaksanakan sesuai

dengan visi, misi, dan tujuan organisasi serta sesuai

dengan standar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Saljan dan Saefulloh menunjukkan semakin baik

supervisi, semakin baik pula kinerja perawat pelaksana.


51

Menurut Gibson, ada tiga faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja :

1. Faktor Individu : kemampuan, keterampilan,

latarbelakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat

sosial dan demografi seseorang.

2. Faktor psikologi: persepsi, peran, sikap, kepribadian,

motivasi dan kepuasan kerja.

3. Faktor organisasi : struktur organisasi, desain

pekerjaan, kepemimpinan, sistem penghargaan

(reward system)

b. Penilaian kinerja

Penilaian kinerja yang baik mengutamakan pada

hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan, menjelaskan

apa yang telah dikerjakan dan menghargai prestasi

pekerjaannya, tidak semata-mata mencari kesalahan tetapi

lebih bertujuan menindaklanjuti hasil penilaian dan

menghargai prestasi kerja karyawan. Penilaian kinerja pada

dasarnya mempunyai dua tujuan utama yaitu tujuan

administrasi dan tujuan pengembangan. Purweni, Sri. (2015).


52

Penilaian kinerja berguna bagi pimpinan dan

karyawan. Bagi pimpinan hasil penilaian dapat digunakan

dalam mengambil keputusan, meningkatkan pemahaman

tentang pekerjaan, dan menindaklanjuti hasil penilaian,

menjalin kerjasama dengan karyawan dalam rangka meninjau

perilaku yang berkaitan dengan kinerja, serta menyusun suatu

rencana untuk memperbaiki setiap penyimpangan agar sesuai

dengan standar yang disepakati. Sedangkan manfaat bagi

karyawan dapat mengetahui prestasi kerja yang telah dicapai,

dapat dijadikan motivasi dalam meningkatkan kinerja di

waktu mendatang sekaligus berusaha memperbaiki kesalahan.

Nainggolan, Mei J (2010).

Penilaian kinerja perawat pelaksana dapat dilakukan dengan dua

cara, yaitu:

1. Penilaian perilaku perawat selama melaksanakan asuhan

keperawatan dengan cara self evaluation. Penilaian diri sendiri

merupakan pendekatan yang paling umum digunakan untuk

mengukur dan memahami perbedaan individu. Metode ini baik

digunakan bila bertujuan untuk pengembangan dan umpan

balik kinerja karyawan, penilaian dalam jumlah besar, biaya

murah dan cepat.


53

2. Self evaluation dilakukan dengan meminta perawat pelaksana

untuk menilai diri sendiri tentang perilakunya dalam

memberikan asuhan keperawatan. Melalui penilaian ini dapat

diketahui tiga jenis informasi yang berbeda mengenai perilaku

perawat dalam melakukan pekerjaan, yakni: kesatu, informasi

berdasar sifat, yaitu mengidentifikasi sifat karakter subyektif

perawat seperti inisiatif dan kreaktivitas, kedua informasi

berdasar perilaku, yaitu berfokus pada perilaku tertentu yang

mendukun keberhasilan kerja, dan ketiga informasi berbasis

hasil, yaitu dengan memperhitungkan pencapaian kerja

karyawan.

Siagian menyatakan penilaian diri sendiri bila dikaitkan

dengan pengembangan karir pegawai berarti seorang mampu

melakukan penilaian yang obyektif mengenai diri sendiri,

termasuk mengenai potensinya yang masih dapat

dikembangkan. Meskipun dalam menilai diri sendiri seseorang

akan cenderung menonjolkan ciri-ciri positif mengenai dirinya,

namun orang yang sudah matang jiwanya akan juga mengakui

bahwa dalam dirinya terdapat kelemahan. Pengakuan demikian

akan mempermudahnya menerima bantuan orang lain seperti

supervisor untuk mengatasinya.


54

Pengenalan ciri-ciri positif dan negatif yang terdapat dalam diri

seseorang akan merupakan dorongan kuat baginya untuk lebih

meningkatkan kemampuan kerja, baik dengan menggunakan

ciri-ciri positif sebagai modal maupun dengan usaha yang

sistematis untuk menghilangkan atau paling sedikit

mengurangi ciri-ciri negatifnya. Metode ini juga dipakai dalam

kegiatan penerapan praktik keperawatan profesional. Perilaku

yang dapat dinilai dari perawat pelaksana adalah: Marquis &

Huston. (2010).

1) Prestasi Kerja. Prestasi kerja merupakan hasil pelaksanaan

pekerjaan yang dicapai oleh seorang perawat dalam

melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Prestasi

kerja seorang perawat ini dipengaruhi oleh pengetahuan,

keterampilan, pengalaman, kesungguhan dan lingkungan

kerja. Ciri-ciri prestasi kerja yang dituntut dalam Daftar

Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) antara lain:

menguasai seluk beluk tugas dan bidang-bidang lain yang

terkait, mempunyai keterampilan yang amat baik dalam

melaksanakan tugas, mempunyai pengalaman yang luas

dalam bidang tugas dan bidang lain yang terkait,

bersungguh-sungguh dan tidak mengenal waktu dalam

melaksanakan tugas, mempunyai kesegaran jasmani dan


55

rohani yang baik, melaksanakan tugas secara berdaya guna

dan berhasil guna, serta hasil pekerjaan melebihi dari yang

dituntut perusahaan.

2) Tanggung Jawab. Tanggung jawab merupakan

kesanggupan seorang perawat dalam menyelesaikan

pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan baik, tepat

waktu serta berani mengambil resiko untuk keputusan yang

dibuat atau tindakan yang dilakukan. Suatu tanggung jawab

dalam melaksanakan tugas akan terlihat pada ciri-ciri

antara lain: dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan

tepat waktu, berada di tempat tugas dalam segala keadaan

yang bagaimanapun, mengutamakan kepentingan dinas

dari kepentingan diri dan golongan, tidak pernah berusaha

melemparkan kesalahan yang dibuatnya kepada orang lain,

berani memikul resiko dari keputusan yang dibuatnya,

selalu menyimpan dan atau memelihara barang-barang

dinas yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-

baiknya.

3) Ketaatan. Ketaatan merupakan kesanggupan seorang

perawat untuk mentaati segala peraturan kedinasan yang

berlaku, dan mentaati perintah dinas yang diberikan atasan

yang berwenang, serta sanggup tidak melanggar larangan

yang ditentukan. Ciri-ciri suatu ketaatan yang dituntut


56

dalam DP3 antara lain: mentaati segala peraturan

perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, mentaati

perintah kedinasan yang diberikan atasan yang berwenang

dengan baik, selalu mentaati jam kerja yang sudah

ditentukan, selalu memberikan pelayanan kepada

masyarakat dengan sebaik-baiknya.

4)
Kejujuran. Kejujuran merupakan sikap mental yang keluar

dari dalam diri manusia sendiri. Kejujuran merupakan

ketulusan hati dalam melaksanakan tugas dan mampu

untuk tidak menyalahgunakan wewenang dan tanggung

jawab yang diberikan kepadanya. Ciri-ciri seorang perawat

yang disebut mempunyai kejujuran dalam DP3 terlihat

pada: selalu melaksanakan tugas dengan penuh keikhlasan

tanpa merasa dipaksa, tidak pernah menyalah gunakan

wewenang yang ada padanya, dan melaporkan hasil

pekerjaan kepada atasan menurut apa adanya. Mua EL.

(2011).

5) Kerja Sama. Kerja sama merupakan kemampuan mental

seorang perawat untuk dapat bekerja bersama-sama dengan

orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas yang telah

ditentukan. Dengan melaksanakan kerja sama itu maka

hasilnya lebih berdaya guna dan berhasil untuk


57

dibandingkan dari pekerjaan yang dilakukan oleh

seseorang. Oleh sebab itu setiap perawat harus berusaha

untuk menggalang kerja sama dengan sebaik-baiknya.

6) Ciri-ciri kerja sama antara lain: berusaha mengetahui

bidang tugas orang lain yang berkaitan erat dengan

tugasnya sendiri, dapat menyesuaikan pendapatnya dengan

pendapat orang lain dengan cepat, karena ia yakin bahwa

pendapat orang lain itu yang benar, selalu menghargai

pendapat orang lain, dan tidak mau memaksakan pendapat

sendiri, bersedia mempertimbangkan dan menerima

pendapat orang lain, mampu bekerja bersama-sama dengan

orang lain menurut waktu dan bidang tugas yang

ditetapkan, dan bersedia menerima keputusan yang diambil

secara sah walaupun ia berbeda pendapat.

c. Penilaian hasil kerja

Penilaian kinerja adalah menilai seberapa baik kinerja tugas-

tugas perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan.

Penilaian kerja yang dilaksanakan dengan benar dan tepat

dapat meningkatkan motivasi dan produktifitas kerja.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penilaian kinerja


perawat antara lain:
58

1) Penilain harus berdasarkan standar yaitu indikator kinerja

individu perawat.

2) Perawat harus memahami dan mengimplementasikan

standar secara mendalam.

3) Perawat harus mengetahui sumber data yang di

kumpulkan untuk penilaian.

4) Penilain harus ditunjukkan pada seseorang yang

diobservasi terhadap pelaksanaan tugasnya.

5) Penilaian akan lebih disenangi dan memperoleh hasil

positif jika penilaian meyakini dan respek terhadap

profesinya.

d. Konsep teori keperawatan

Krangka teori penelitian ini menggunakan dua teori

keperawatan yaitu teori hubungan interpersonal dari Peplau dan teori

caring dari Watson. Kedua teori ini di kombinasikan dengan model

supervisi dari Kadushin dan Proctor. Terkait keseluruhan penelitian ini

terdiri dari teori kinerja dari Robin, Gibson dan Wirawan , teori difusi

inovasi dari Rogers digunakan untuk menjelaskan penerapan sebuah

perubahan dalam hal ini penerapan model supervisi klinik.

Teori hubungan interpersonal diadopsi dalam pengembangan model

supervisi klinik, diperlukan tahapan interaksi yang sistematis antara

kepala ruangan, ketua tim sebagai supervisor dengan perawat


59

pelaksana mensyaratkan proses secara sistematis untuk dilakukan

supervisi agar mencapai tujuan yang optimal, Lynch, Hancox,Happell

dan Parker, (2008).

Teori caring menjelaskan hubungan antara perawat dengan klien

diadopsi dalam pengembangan model supervisi klinik ini, factor caratif

merupakan hubungan yang saling membantu/ helping relationshif,

menciptakan lingkungan yang aman selama proses supervisi dan

menciptakan pengalaman belajar bagi perawat yang terlibat dalam

supervisi.

Kinerja dan kepuasan kerja dipengaruhi oleh factor karakteristik

individu dan organisasi (Wirawan,2009; Gibson, 1993; Supranto,

2006; Robin 2008).


60

Skema 2.3
Kerangka Teori Penelitian
Demografi
1. Usia
2. Pendidikan
3. Status Kinerja
kepegawaian
4. Lama kerja pengetahuan Kepuasan Kerja
sikap

Wirawan (2009),Robin (2008)

Hubungan interpersonal
1. Orientasi
2. Identifikasi Karakteristik organisasi :
3. Eksploitasi 1. Kepemimpinan
4. Resolusi 2. Imbalan
Supervisi 3. Fasilitas kerja
Tomey dan Aligood (2006)
4. Struktur Organisasi
Supervisi
5. Kepuasan
Robin (2008) ,Gibson,(1993), Supranto (2006), Wirawan
Nilai Caratif (2009)
Helping Relationships:
Fasilitatif dan Partnerships Lynch, Hancox, Happell, dan Parker (2008)

Tomey dan Aligood (2006) Model Proctor Model Kadushin


1. Normative 1. Supportive
2. Formative 2. Educative
3. restorative 3. Administratif

Anda mungkin juga menyukai