Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Supervisi Keperawatan

1. Definisi Supervisi

Supervisi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memastikan bahwa

suatu kegiatan yang telah direncanakan dapat dilaksanakan dengan benar

sesuai dengan perencanaan. Didalam fungsi manajemen, supervisi

bagian dari fungsi directing (pengarahan). Supervisi keperawatan tidak

dapat digunakan hanya sebagai kontrol namun supervisi dalam

keperawatan meliputi kegiatan yang dapat mementukan kondisi atau

persyaratan staf maupun persyaratan sarana prasarana yang diperlukan

sehingga dapat mencapai tujuan asuhan keperawatan dengan efektif dan

efisien. (Marquis dan Huston, 2010). Supervisi merupakan suatu proses

pengamatan yang dapat dilakukan secara langsung untuk melihat

performa kerja staf. Supervisi juga dapat dilakukan untuk memeriksa

kegiatan seseorang secara menyeluruh termasuk mengevaluasi kegiatan

yang belum di selesaikan (Teppen, at al. 2010).

Supervisi merupakan suatu upaya untuk memfasilitasi staf akan

berbagai sumber daya yang diperlukan oleh staf dalam melaksanakan

tugas dan perannya. Supervisi dilaksanakan dengan cara adanya

perencanaan, ada proses pengarahan, memberikan bimbingan,

memberikan motivasi, melakukan evaluasi, dan serta adanya suatu

12
13

proses perbaikan sehingga staf dalam melaksanakan tugasnya dapat

optimal (Mangkunegara, 2013). Menurut Sullivan (2017) supervisi

terdiri dari beberapa kegiatan yaitu melakukan pemeriksaan terhadap

pekerjaan orang lain, melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan

pekerjaan, melakukan perbaikan dari pelaksanaan pekerjaan yang dinilai

kurang tepat. Supervisi yang baik didalamnya harus mengandung

pengawasan, sebuah intervensi, ada proses evaluasi, serta didalamnya

darus ada umpan balik, dimana semua hal tersebut merupakan suatu

kebutuhan (Huber, 2014). Wiyana (2008) mengatakan bahwa supervisi

merupakan kegiatan yang terencana seorang manajer terhadap stafnya

dalam melaksanakan kegiatan dan tugas sehari-hari melalui aktivitas

bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi, serta evaluasi.

Supervisi keperawatan meliputi segala bantuan dari seorang atasan/

penanggungjawab keperawatan, dimana kegiatan tersebut ditujukan

untuk pengembangan staf keperawatan sehingga tujuan asuhan

keperawatan dapat dicapai dengan (Wirawan, 2013). Kegiatan supervisi

ini merupakan suatu upaya untuk peningkatan kemampuan dan keahlian

staf keperawatan dengan memberikan dorongan, serta memberikan

kesempatan (Depkes,2008). Nursalam (2015) berpendapat bahwa

supervisi adalah berbagai upaya dalam manajemen keperawatan, yang

ditujukan untuk pemenuhan dan peningkatan pelayanan yang diberikan

kepada pasien dan keluarga. Kegiatan ini berfokus pada upaya

peningkatan keterampilan dan kemampuan staf keperawatan dalam

melaksanakan tugasnya sebagai perawat.


14

Berdasarkan pengertian supervisi oleh beberapa ahli di atas peneliti

menyimpulkan bahwa supervisi adalah kegiatan yang dilakukan oleh

seorang atasan terhadap bawahan untuk memastikan bawahannya

melakukan tugas, kegiatan serta pekerjaannya sesuai dengan

perencanaan atau sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Kegiatan

ini dapat dilakukan melalui proses arahan, bimbingan, bantuan, serta

evaluasi.

2. Tujuan Supervisi

Tujuan supervisi keperawatan adalah mengatur, mengorganisasikan

dan meningkatkan kemampuan dan keterampilan staf pelaksana

keperawatan serta memberikan arahan sehingga staf pelaksana

keperawatan menyadari dan memahami tugas, peran, dan fungsinya

sebagai staf pelaksana asuhan keperawatan. Supervisi keperawatan juga

memiliki tujuan untuk memberikan bantuan kepada staf dan pelaksana

keperawatan sehingga bawahan atau staf pelaksana keperawatan

memiliki bekal yang cukup dalam melaksanakan tugas, peran dan

fungsinya sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan hasil yang baik

(Nursalam,2015).

Menurut Swansburg (2013) tujuan supervisi keperawatan antara

lain:

a. Memberi perhatian kepada staf atau anggota anggota unit termasuk

lingkungan kerjanya serta pekerjaan tersebut.

b. Memeriksa perencanaan, pelaksanaan kegiatan serta evaluasi


15

c. Meningkatkan kemampuan staf melalui proses pegenalan atau

orientasi, proses pelatihan dan pemberian bimbingan secara

individu serta memberikan pengarahan terhadap staf sehingga

kemampuan dan ketrampilan staf keperawatan meningkat.

3. Manfaat Supervisi

Pelaksanaan supervisi yang baik akan sangat bermanfaat untuk

meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja dari staf karena melalui

supervisi secara langsung akan meningkatkan tingkat kemampuan dan

keterampilan dari staf pelaksana asuhan. Peningkatan efisiensi akan

berdampak kepada pengurangan kesalahan dari staf dan akan

berhubungan dengan penurunan penggunaan sumberdaya baik itu waktu,

tenaga maupun materi (Suarli S, 2012).

Muninjaya (2011) mengatakan melalui pelaksanaan supervisi yang

tepat, organisasi akan memperoleh manfaat yaitu:

a. Mengetahui sejauh mana kegiatan program sudah dilaksanakan

oleh staf, apakah sesuai dengan standar dan perencanaan, apakah

sumber dayanya sudah digunakan dengan baik.

b. Mengetahui adanya penyimpangan pemahaman staf dalam

melaksanakan tugas-tugasnya, sehingga manajer atau pimpinan

organisasi mengetahui peningkatan pengetahuan atau keterampilan

yang dibutuhkan oleh staf.

c. Mengetahui waktu dan sumber daya lainnya mencukupi kebutuhan

dan telah dimanfaatkan secara efisien.


16

d. Mengetahui penyebab terjadinya kesalahan atau penyimpangan

e. Mengetahui staf yang mempunyai kinerja baik sehingga perlu

diberikan penghargaan, dipromosikan atau diberikan pelatihan

lanjutan

Manfaat yang paling besar dari pelaksanaan supervisi adalah

peningkatan kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh tenaga

atau staf keperawatan kepada pasien dan keluarga. Karena melalui

supervisi ada upaya pemeliharaan dan menjaga standart pelayanan,

pengembangan dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan secara

professional (Yulia 2017).

4. Cara Melakukan Supervisi

Dalam pelaksanaannya supervisi melibatkan dua dimensi pelaku,

yaitu seorang yang melakukan kegiatan supervisi disebut supervisor, dan

anggota atau orang yang disupervisi disebut sebagai supervisee. Di

lingkungan keperawatan yang dapat menjadi supervisor mulai dari ketua

tim, kepala ruangan, kepala seksi keperawatan, kepala bidang

keperawatan (Nursalam, 2015). Supervisor dan supervisee secara

administratif memiliki perbedaan status dan perannya, tetapi dalam

kegiatan supervisi, seorang supervisor dan supervisee memiliki peran

yang sama penting. Seorang supervisor memiliki peran untuk

melaksanakan pengawasan sekaligus melakukan penilaian terhadap

seluruh kegiatan, dan anggota berperan untuk melaksanakan tugasnya


17

dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan

(Arwani, 2005).

Dalam supervisi, baik supervisor maupun supervisee tidak dapat

bersikap pasif, namun harus aktif dimana sebagai mitra kerja, saling

menyampaikan ide, memberikan pendapat, berbagi atau bertukar

pengalaman dan diikutsertakan dalam usaha perbaikan sehingga tujuan

organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien (Suyanto, 2009).

Supervisi dapat dilakukan dalam bentuk supervisi individu dan supervisi

kelompok. Supervisi individu merupakan supervisi yang dilakukan

secara one to one atau personal antara seorang supervisor dan supervisee.

Pelaksanaan supervisi individu ini sangat perlu untuk meningkatan

kemampuan dan keterampilan individu (Brunnerro S & Stein P, 2008).

Supervisi kelompok ini merupakan supervisi yang dilakukan terhadap

sekelompok orang dimana supervisi kelompok ini berorientasi pada

pengembangan sekelompok orang bukan untuk menyelesaikan masalah

atau kebutuhan individu (Lynch, 2008).

Secara teknis supervisi dapat dilakukan sengan dua cara yaitu secara

langsung dan tidak langsung, dimana dalam penerapannya dapat

disesuaikan dengan situasi, kondisi dan tujuan supervisi. Misalnya bila

supervisi akan dilakukan dengan tujuan membimbing, memberikan

arahan, mencegah dan memperbaiki kesalahan, maka dapat melakukan

supervisi langsung (Suyanto, 2009).


18

a. Supervisi langsung

Pada supervisi langsung, maka supervisor akan terlibat

langsung di dalam kegiatan supervisi tersebut, agar proses

pengarahan dan pemberian petunjuk dapat langsung dipahami oleh

supervisee, sehingga pesan atau tujuan dari supervisi tersebut

tercapai. Tehnik saat melakukan pengarahan antara lain: pengarahan

yang diberikan harus lengkap, harus mudah dipahami oleh

supervisee, kata-kata yang digunakan harus kata-kata yang tepat,

saat berbicara harus dengan jelas dan lambat, arahan yang diberikan

harus logis, arahan yang diberikan harus satu persatu atau tidak

langsung membrikan banyak arahan pada satu waktu, arahan

yang diberikan harus dipastikan apakah sudah dipahami, arahan

yang diberikan supervisor harus dipastikan apakah sudah

dilaksanakan sehingga dapat memberikan kesimpulan apakah

memerlukan kegiatan tindak lanjut. Supervisi yang baik adalah

supervisi yang dilakukan secara langsung dan namun harus

dilakukan secara kontineu dan terencana dapat memastikan

pelaksanaan asuhan keperawatan sesuai dengan standar praktik

keperawatan (Triwobowo, 2013).

b. Supervisi tidak langsung

Supervisi tidak langsung merupakan supervisi keperawatan

yang dilakukan untuk memantau proses pelaksanaan tugas yang

dilakukan oleh staf keperawatan yang dijalankan secara global.

Supervisi tidak langsung dapat dilakukan dengan memeriksa laporan


19

tertulis misalnya laporan pasien, dokumentasi asuhan keperawatan.

Pada supervisi tidak langsung, Supervisor pada supervisi tidak

langsung, tidak melihat secara langsung kejadian dilapangan, oleh

karena itu pada supervisi tidak langsung besar kemungkinan adanya

kesenjangan antara fakta yang sebenarnya dengan hasil temuan pada

supervisi. Untuk menyamakan data atau persepsi, maka harus

dilakukan klarifikasi dan umpan balik sehingga tidak terjadi salah

persepsi, dan arahan yang diberikan sesuai dengan keadaan dan

kebutuhan.

5. Model Supervisi Klinik Keperawatan

Di beberapa negara maju, supervisi klinik keperawatan di rumah

sakit dilakukan dengan sangat sistematis dengan menggunakan berbagai

metode. Dalam supervisi keperawatan peran perawat supervisor sangat

penting, dimana dapat menentukan apakah pelayanan keperawatan yang

diberikan (nursing care delivery) sudah sesuai dengan standar mutu

keperawatan atau tidak. Vazquez dan Dorante (2018), membuktikan

bahwa jika supervisi klinik dilakukan dengan baik maka akan mampu

membawa dampak yang positif bagi kualitas pelayananan keperawatan

(quality of care). Untuk mendukung pelaksanaan supervisi yang baik

para ahli memperkenalkan beberapa model supervisi yang dapat

digunakan dilapangan antara lain model Development,

academic,experiential, 4S ( Structure, Skills, Support dan

Sustainability), dan lain-lain. Pada penelitian ini akan membahas dua


20

model supervisi yaitu supervisi model proctor dan supervisi model

reflektif.

a. Model Proctor

Brigid Proctor mengembangkan supervisi model proctor ini

dimana supervisi model ini merupakan supervisi yang paling banyak

digunakan di United Kingdom. Pada supervisi model proctor ada tiga

fungsi utama yaitu Fungsi normatif, formatif, dan restoratif (Lynch

et al., 2008).

1) Fungsi normatif

Pada fungsi normatif supervisor dituntut untuk mampu

memastikan supervisee melakukan tugas dan perannya sesuai

dengan standar, kode etik, kebijakan serta aturan yang berlaku

(Lynch et al., 2008). Fungsi normatif dikembangkan untuk

mengatur sehingga tanggung jawab professional dari staf

maupun organisasi dapat terlihat sehingga masalah mutu dalam

keperawatan (Brunero & Stein-Parbury, 2008).

2) Fungsi Formatif

Fungsi formatif berfokus pada pengetahuan dan

keterampilan dari perawat yang disupervisi. Supervisor harus

mampu memastikan bahwa perawat yang disupervisi memiliki

pengetahuan dan keterampilan yang baik sesuai dengan

kebutuhan artinya sesuai dengan kompetensi perawat tersebut

baik secara pengetahuan maupun keterampilan (Lynch et al.,

2008). Fungsi formatif ini difokuskan kepada pengembangan


21

profesional dari perawat disupervisi (Brunnerro & Stein-

Parbury, 2008). Pada fungsi formatif diperlukan hubungan yang

baik antara supervisor dan supervisee. Dengan demikian fokus

belajar dan kebutuhan pengembangan dapat diidentifikasi

dengan lebih spesifik dan dapat dikembangkan sesuai teori

dengan praktik. Fungsi formatif meliputi pembelajaran baru,

peningkatan pengetahuan, pengembangan professional,

membangkitkan kreatifitas dan inovasi, dan meningkatkan

keterampilan komunikasi (Brunero & Stein-Parbury, 2008).

3) Fungsi Restoratif

Fungsi restoratif berfokus pada pemberian dukungan

kepada suervisee. Supervisor mempunyai tanggung jawab untuk

menyediakan dukungan psikologis yang dibutuhkan oleh

supervisee serta interpersonal yang diperlukan dalam

melaksanakan tugasnya dengan dengan baik. Pada fungsi ini

supervisor harus mampu mencegah stress, mengatasi dan

memberi solusi terhadap kondisi psikologi yang dialami oleh

supervisee, sehingga tidak mempengaruhi supervisee dalam

menjalankan tugasnya. Seorang supervisor harus mampu

membuat supervisee merasa tidak ditolak, dipahami, dihargai,

merasa nyaman dan terbuka untuk meninjau ulang dan

menghadapi tantangan yang ada (Lynch et al., 2008).

Brunero & Stein-Parbury (2008) mengatakan bahwa

dalam fungsi restoratif terdiri dari beberapa aspek antara lain


22

mampu mendengarkan dan bersikap mendukung supervisee,

mampu meningkatkan koping kerja supervisee, mampu

mengakses dukungan yang bermanfaat bagi supervisee,

menjalin hubungan baik antara staf, Meingkatkan keterlibatan

supervisee di tempat kerja, memfasilitasi adanya lingkungan

kerja yang aman, mampu menimbulkan rasa aman bagi

supervisee, pada akhirnya mampu meningkatkan kepuasan

perawat, menurunkan rasa kecemasan dalam melaksanakan

tugas, mampu lebih memahami rekan kerja, meningkatkan rasa

empati. Pada fungsi restorative ini juga harus mampu

menimbulkan rasa kebersamaan, meningkatkan pemahaman

diri, meningkatkan hubungan dengan perawat, mengurangi

adanya konflik dilingkungan kerja, dapat mengurangi rasa bosan

dan jenuh, meningkatkan prestasi pribadi, serta memperbaiki

koping (Brunero & Stein-Parbury, 2008).


23

Gambar: 2.1

Supervisi Model Proctor

(Sumber: Lynch, Hancox, Happell &

Parker, 2008)

Pengkajian& kualitas
(Asessesment & Quality

Normatif
Tugas
Tasks
Supervisi Model Formatif Keputusan
Proctor
Decisions

Praktek Refleksi
Reflective Practice
Restoratif
Dukungan
Support

b. Model Reflektif

Supervisi model reflektif merupakan model supervisi yang

membangun hubungan kolaboratif antara supervisor dengan supervisee

sehingga terjadi pertumbuhan dan peningkatan kualitas dari supervisi itu

sendiri karena adanya praktek saling menghargai, dan kemitraan.

Keperawatan merupakan profesi yang memiliki tingkat kesibukan yang

tinggi ditambah dengan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi juga

sehingga sering perawat tidak memiliki waktu untuk berpikir. Maka

didalam model reflektif ini, dituntut adanya kesempatan bagi perawat

untuk berpikir atau refleksi namun bukan hanya sekedar berpikir keras

(Costello & Arthur 2018).


24

Berpikir reflektif merupakan suatu kegiatan untuk berpikir atau

mengingat kembali akan hal-hal yang sudah dilakukan dalam rangka

untuk instrospeksi, refleksi dan spirit korelasi sehingga dapat dijadikan

sebagai acuan untuk meningkatkan atau memperbaiki sesuatu dimasa

yang akan datang. Supervisi model reflektif merupakan bentuk supervisi

dimana supervisor memberi kesempatan kepada supervisee untuk

berpikir, melakukan analisis terhadap pengalaman individu (refleksi

diri), yang kemudian hasil dari refleksi tersebut didiskusikan, difasilitasi

dan dihargai, sehingga pengalaman pribadi yang dialami oleh supervisee

secara perlahan akan menjadi sesuai dengan standar. Dengan demikian,

karena hal tersebut berasal dari hasil refleksi individu tersebut, maka

kekuatan dari hal tersebut akan lebih kuat dalam pelaksanaannya dalam

merubah perilaku seseorang. Diskusi terkait hasil reflektif tersebut dapat

menggunakan jurnal, diskusi kelompok, dan lain-lain (Yulita, 2013)

Supervisi model reflektif memandang bahwa produk dari berpikir

merupakan sesuatu yang sangat kuat dan sangat tergantung dari

kemampuan dari supervisor dalam mengarahkan dan menggiring hasil

refleksi dari supervisee kearah yang lebih baik serta kemampuan

supervisor dalam memotivasi supervisee, dan ini erat hubungannya

dengan kualitas hubungan antara dengan supervisee (Granello, P. F., &

Witmer, J. M. (2016). Jika proses reflektif dan pengarahan tersebut

berjalan baik maka pengaruhnya terhadap perubahan sikap dan perilaku

serta pengetahuan sangatlah besar. Pada dasarnya supervisi model

refektif merupakan upaya untuk membuat staf keperawatan lebih


25

memahami tentang peran, tugas serta fungsinya sebagai pemberi asuhan

keperawatan melalui pemikirannya sendiri yang akan digiring oleh

supervisor agar hasil dari pemikiran tersebut sesuai dengan standar.

Pada pelaksanaanya, saat supervisor sedang melakukan

supervisi terhadap seorang perawat (supervisee) tentang satu tindakan

keperawatan, maka supervisee akan diminta untuk mengingat suatu

peristiwa tentang tindakan tersebut yang pernah dialami. Umumnya

yang terkait dengan keselamatan pasien dan komplain pasien atau

keluarga. Proses supervisi, bimbingan, arahan, bantuan dan evaluasi

berangkat dari pengalaman dari supervisee tersebut. Supervisor harus

mampu memberi dukungan emosional, mengeksplorasi kemampuan

supervisee, mengembangkan keterampilan supervisee, memberi

dukungan terhadap stress yang dialami supevisee dari pengalaman yang

disampaikan oleh supervisee (South, N. 2018). Supervisi model reflektif

ini merupakan supervisi yang ilmiah dari peristiwa, fenomena, situasi,

kondisi dan tindakan yang terjadi dilapangan (Yulia 2013).

6. Kompetensi Supervisor

Supervisor harus mengarahkan, melancarkan, memberi bimbingan,

memberi memotivasi, dan melakukan pengendalian terhadap pekerjaan

yang dilakukan oleh karyawan. Menurut Suyanto (2008) kemampuan

yang harus dimiliki oleh seorang supervisor adalah harus mampu:

a. Harus mampu memberikan pengarahan dan petunjuk dengan baik

dan jelas, supaya staf keperawatan memahami maksudnya.


26

b. Mampu memberikan saran, memberi nasehat serta bantuan kepada

staf keperawatan.

c. Mampu memberikan motivasi sehingga semangat kerja staf

keperawatan meningkat.

d. Mampu memahami dinamika kelompok.

e. Mampu memberikan pelatihan serta bimbingan sesuai dengan

kebutuhan staf keperawatan.

f. Mampu melakukan penilaian penampilan kinerja staf perawat.

g. Mampu melakukan pengawasan sehingga dapat dipastikan bahwa

asuhan keperawatan yang diberikan sesuai standar.

7. Pelatihan Supervisi Keperawatan

Supervisi akan efektif jika dilakukan dengan benar yaitu sesuai

dengan aturan, dimana untuk melakukan supervise dengan benar maka

supervisor harus memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik dalam

melakukan supervisi. Pelatihan supervise ini bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan serta keterampilan kepala ruangan dan ketua

tim selaku supervisor dalam melakukan supervisi keperawatan model

reflektif dengan mengintegrasikan pengembangan teori dan keterampilan

serta meningkatkan identitas professional supervisor. Setiap supervisor

harus memiliki akses untuk pengembangan professional berkelanjutan

yang relevan dengan kegiatan supervisi (Victorian Govermment

Department Of Human Services, 2006).


27

Untuk mencapai kompetensi supervisor maka seorang perawat

harus diberi pelatihan. Pelatihan supervisi keperawatan harus mencakup

semua hal tentang supervisi antara lain mulai dari konsep supervisi,

tujuan supervisi, manfaat supervisi, cara melakukan supervisi, serta

memperkenalkan berbagai model supervisi keperawatan yang ada.

Pelatihan yang dilakukan harus dapat mencapai kemampuan secara

kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan psikomotor dengan

menggunakan metode pembelajaran yang sesuai serta memiliki satuan

acara pengajaran yang sudah jelas.

B. Mutu Pelayanan Keperawatan

1. Definisi Mutu Pelayanan Keperawatan

Mutu Pelayanan keperawatan adalah upaya pemenuhan kebutuhan

pasien sehingga keadaan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual pasien

tetap stabil dimana kegitan ini dilakukan oleh profesi keperawatan

(Suarli dan Bahtiar, 2012). Mutu pelayanan keperawatan mengarah pada

5 dimensi kualitas pelayanan yaitu, reability, tangibles, assurance,

responsiveness, dan empathy yang merupakan asuhan keperawatan

professional (Bauk, 2013). Mutu pelayanan keperawatan

menggambarkan produk dari pelayanan keperawatan itu sendiri yang

mencakup kondis biologis, psikologis, sosial, dan spiritual dari seseorang

individu yang sakit maupun yang sehat, dimana dilakukan sesuai standar

keperawatan (Asmuji, 2012).

Berdasarkan pernyataan beberapa pengertian mutu pelayanan


28

keperawatan menurut para ahli diatas maka peneliti menyimpulkan

bahwa mutu pelayanan keperawatan merupakan kegiatan pelayanan

keperawatan yang dapat menjamin pasien dan keluarga mendapat

pelayanan yang aman, berkualitas, sesuai kebutuhan dan mampu

melebihi harapan pasien dan keluarga.

2. Faktor-faktor Mutu Pelayanan Keperawatan

Nursalam (2014) menjelaskan bahwa kualitas mutu pelayanan

keperawatan dipengaruhi beberapa faktor antara lain:

a. Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication).

Pada masyarakat awam komunikasi dari mulut kemulut sering

terjadi setelah menerima perawatan atau pelayanan kesehatan dari

sebuah instasi pelayanan kesehatan. Umumnya hal yang terjadi

adalah masyarakat yang mempunyai pengalaman menerima

pelayanan kesehatan, akan menyebarkan berita baik positif

maupun negative ke lingkungan mereka. Hal tersebut secara

otomatis akan memberikan informasi atau pendapat atau persepsi

dari masyarakat terhadap mutu pelayanan di instansi tersebut,

meskipun masyarakat tersebut belum menerima secara langsung

pelayanan di instansi tersebut.

b. Kebutuhan pribadi (personal need).

Setiap individu meMeiliki kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga

mutu pelayanan keperawatan harus disesuaikan juga dengan

kebutuhan pribadi pasien. Hal ini akan menimbulkan persepsi yang


29

berbeda dari setiap individu/ pelanggan dan erat hubungannya

dengan tingkat kepuasan pelanggan.

c. Pengalaman masa lalu (past experience).

Setiap individu memiliki kecenderungan untuk menilai sesuatu

berdasarkan pengalaman yang pernah dialami dimasa lalu. Jika

sesorang pernah mempunyai pengalaman yang baik tentang sebuah

pelayanan di sebuah instansi pelayanan kesehatan maka individu

tersebut akan selalu mengagnggap bahwa mutu pelayanan di

instansi tersebut adalah baik, namun jika individu tersebut

mempunyai pengalaman yang kurang baik dari pelayanan di

instansi tersebut maka individu tersebut akan selalu menganggap

bahwa mutu pelayanan di isntansi tersebut tidak baik, sampai

individu tersebut menerima pelayanan lagi di instansi tersebut.

d. Komunikasi eksternal (company’s external communication).

Promosi mutu pelayanan keperawatan dapat dilakukan supaya

pelanggan dalam hal ini pasien/ keluarga / masyarakat percaya

akan mutu atau kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan di

instansi pelayanan kesehatan tersebut.

Triwibowo (2013) mengatakan bahwa ada 7 kriteria faktor-faktor yang

mempengaruhi mutu pelayanan keperawatan yaitu:

a. Mengenal kemampuan diri.

Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, sebelum melakukan

sebuah tindakan keperawatan, sebaiknya sudah mengetahui


30

kelemahan dan kekuatan yang dimiliki, sehingga melalui proses

instropeksi diri mampu meminimalkan kejadian yang tidak

diinginkan atau kesalahan.

b. Meningkatkan kerja sama.

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan seorang perawat harus

mampu berkerjasama dengan baik dengan semua disiplin ilmu

yang terlibat antara lain dokter, teman sejawat perawat, tim

kesehatan lainnya, pasien dan keluarga.

c. Pengetahuan keterampilan masa kini

Perawat harus mamapu mengembangkan kemampuannya,

menambah ilmu baru sehingga dapat memberikan asuhan

keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pasien dan

keluarga atau pelanggan.

d. Penyelesaian tugas

Perawat harus mampu mengetahui keluhan-keluhan pasien dan

keluarga terkait dengan penyakitnya dan perawat harus mampu

mengangani, mengatasi serta mambantu pasien untuk mengatasi

keluhan yang dialami tersebut, baik itu melalui tindakan mandiri

maupun tindakan kolaborasi karena perawat merupakan petugas

kesehatan yang selalu ada dekat dengan pasien dan tenaga

kesehatan yang paling lama bersama dengan pasien.

e. Pertimbangan prioritas keperawatan

Melalui keilmuan atau pengetahuan seorang perawat, maka

seorang perawat harus mampu melakukan penilaian terhadap


31

kondisi pasien, mampu memutuskan tindakan keperawatan sesuai

dengan kebutuhan pasien atau sesuai prioritas utama pasien.

f. Evaluasi berkelanjutan.

Seorang perawat harus mampu melakukan evaluasi berkelanjutan

terhadap asuhan keperawatan yang diberikan kepeda pasien,

sehingga asuhan yang diberikan bersifat dinamis sesuai dengan

perkembangan atau perubahan kondisi pasien.

3. Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan

Sampai saat ini indikator mutu keperawatan di Indonesia belum

secara resmi ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, namun ada

beberapa indikator mutu keperawatan yang telah disusun dalam bentuk

draft, dimana digunakan sebagai Pedoman Indikator Mutu Pelayanan

Keperawatan Klinik di sarana kesehatan yang mulai disusun sejak tahun

2008 oleh Kementerian Kesehatan. Rancangan indikator pelayanan

keperawatan tersebut meliputi enam indikator mutu yaitu: (1)

Keselamatan pasien yang meliputi dekubitus, kejadian jatuh, kesalahan

pemberian obat dan cidera akibat restrain, (2) Kenyamanan, (3)

Pengetahuan, (4) Kepuasan pasien, (5) Self care dan (6) Kecemasan.

Keenam jenis indikator mutu ini merupakan outcome pelayanan

keperawatan, yang sudah dirancang Kementerian Kesehatan, namun

perbedaan sifat pelayanan sehingga memerlukan penyesuaian di tingkat

rumah sakit. Hingga saat ini, belum indikator mutu pelayanan

keperawatan yang baku atau yang seragam diseluruh indonesia.


32

Negara maju seperti Amerika, sudah membentuk National Quality

Forum (NQF) sejak tahun 2004 dan telah menetapkan 15 standar

nasional yang digunakan dalam mengevaluasi asuhan keperawatan.

Standar-standar tersebut dikenal sebagai 15 NQF. Mereka juga

memiliki sistem database keperawatan nasional yaitu The National

Database of Nursing Quality Indicators (NDNQI) dimana setiap

pelayanan kesehatan akan memberikan laporan secara berkala baik per

triwulan dan tahunan meliputi indikator struktur, proses, dan hasil

untuk mengevaluasi asuhan keperawatan pada tingkat unit pelayanan

kesehatan (Montalvo, 2007 & Stalpers, 2016).

Mutu pelayanan keperawatan merupakan alat ukur dari kualitas

pelayanan kesehatan serta mejadi salah satu faktor penentu citra instansi

pelayanan kesehatan di masyarakat. Mutu pelayanan keperawatan dapat

dilihat dari tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan

oleh perawat di instansi pelayanan kesehatan (Nursalam, 2011).

Menurut Nursalam (2014) pelayanan keperawatan harus memiliki mutu

yang baik dalam pelaksanaanya, diantaranya adalah:

a. Caring

Merupakan gambaran sikap perduli seorang perawat yang

ditunjukkan saat melayani pasien. Dalam memberikan asuhan

keperawatan, seorang perawat harus selalu memberikan atau

menunjukkan sikap siaga, perduli serta mudah dihubungi saat pasien


33

memerlukan bantuan, bahkan seorang perawat harus memahami

kebutuhan pasien meski pasien belum mengungkapkannya.

b. Kolaborasi

Seorang perawat harus mampu bekerjasama dengan berbagai pihak

dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien baik itu

dengan sesama perawat, maupun dengan tenaga kesehatan lainnya.

Dalam bekerja sama tersebut, yang menjadi tujuan utama dari

perawat adalah menyelesaikan masalah pasien sesuai dengan

masalah yang ditemukanaan saat pengkajian sampai melaksanakan

tidakan keperawatan sesuai dengan perencanaan yang sudah

ditentukan, yang mencakup pemenuhan kebutuhan pasien boi-

psiko-sosial dan spiritual.

c. Kecepatan

Merupakan sikap cepat tanggap dari seorang perawat dalam

melaksanakan atau memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.

Seorang perawat tidak boleh acuh tak acuh namun harus cepat dan

tepat dalam memberikan asuhan keperawatan.

d. Empati

Sikap empati merupakan sikap yang wajib dan harus ada didalam

diri setiap perawat. Perawat harus mampu menjadi pendengar yang

baik terhadap setiap keluhan pasien namun tidak terbawa kedalam

kesedihan atau perasaan pasien (tidak simpati). Dengan demikian

perawat tetap mampu berpikir jernih dalam mendiskusikan solusi

terbaik yang dapat ditawarkan untuk membantu pasien.


34

e. Courtesy

Merupakan sikap sopan santun yang harus ada pada diri perawat.

Perawat tidak akan menunjukkan sikap yang tidak sopan meski

menghadapi pasien yang bersikap kurang baik. Disamping itu

seorang perawat harus menghargai setiap pasien yang dilayani, serta

menghargai pendapat dan keinginan pasien.

f. Sincerity

Merupakan kejujuran dalam diri perawat. Bersikap jujur adalah

salah satu sikap yang mampu membawa keberhasilan seorang

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Jujur yang

dimaksud adalah jujur kepeda diri sendiri serta pasien yang dilayani.

g. Komunikasi teraupetik

Komunikasi terapeutik adalah tehnik komunikasi yang digunakan

perawat dalam berkomunikasi dengan pasien yang dilayani sehingga

komunikasi yang dilakukan membawa keberhasilan dalam asuhan

keperawatan yang diberikan, karena melalui tehnik komunikasi

tersebut, pasien yang dilayani akan merasa lebih nyaman.

Mutu pelayanan keperawatan yang baik dapat menjadi ujung

tombak pelayanan di rumah sakit. Dalam mewujudkan pelayanan

keperawatan yang berkualitas seorang perawat professional wajib

memiliki kemampuan intelektual yang baik, teknikal dan interpersonal,

serta mampu melaksanakan asuhan sesuai standar praktik dan selalu

berdasarkan etik legal.


35

4. Dimensi Mutu Pelayanan Keperawatan

Dalam kualitas pelayanan yang sering dijadikan acuan adalah model

kualitas dengan metode SERVEQUAL (Service Quality) yang dapat

digunakan sebagai penentuan mutu pelayanan, model ini terdiri dari

lima dimensi mutu pelayanan yaitu :

a. Bukti fisik (Tangibles), meliputi penampilan fasilitas fisik

misalnya gedung, ruangan, kebersihan, kerapihan, kenyamanan,

serta penampilan petugas.

b. Kehandalan (Reliability), yaitu kemampuan petugas dalam

memberikan pelayanan yang tepat, akurat serta kemampuan

petugas memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang

dijanjikan.

c. Daya tanggap (Responsiveness), merupakan kesediaan petugas

dalam membantu pelanggan, tingkat kecepatan respon menanggapi

keluhan, serta kecepatan dalam memerikan pelayanan sesuai

kebutuhan pelanggan.

d. Jaminan (Assurance), merupakan yang digunakan untuk menjamin

kepastian pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Jaminan ini

meliputi kemampuan petugas, pengetahuan petugas tentang

pelayanan yang diberikan, keterampilan petugas sehingga mampu

menumbuhkan rasa percaya dan rasa aman pada pelanggan

terhadap petugas bahkan kepercayaan terhadap institusi tersebut.

e. Empati (Emphaty), merupakan sikap dalam membina hubungan

serta perhatian secara individual yang diberikan sebuah perusahaan


36

atau instansi kepada pelanggan misalnya mendengarkan keluhan

pelanggan, kemudahan pelanggan dalam menghubungi perusahaan

atau instansi, kemampuan petugas dalam berkomunikasi dengan

pelanggan dan usaha perusahaan atau instansi untuk memahami

kebutuhan pelanggannya (Nursalam, 2014).

C. COVID-19 (Coronavirus Disease)

Akhir tahun 2019 dunia dikejutkan dengan penyebaran penyakit baru

yang pertama kali ditemukan di Wuhan China, yaitu penyakit yang awalnya

diberi nama 2019 novel coronavirus (2019-nCoV), dan pada tanggal 11

Februari 2020 WHO mengumumkan nama baru yatiu Coronavirus Disease

yang disingkat dengan COVID-19. Penyebab penyakit ini adalah virus Severe

Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) (Rothan HA,

2020).

Penyebaran penyakit ini terjadi sangat cepat hingga dalam waktu

singkat dapat menyebar lebih dari 190 negara dengan kasus kematian yang

tinggi, hingga pada tanggal 11 Maret 2020 WHO mengumumkan bahwa

Covid-19 sebagai pandemic global. Data pada akhir maret 2020 kasus Covid-

19 di dunia mencapai 634.835 kasus dengan jumlah kematian 33.106 kasus.

Sementara di Indonesia, pada akhir Maret 2020 ditetapkan 1.528 kasus

dengan kematian 136 kasus dengan tingkat mortalitas Covid-19 di Indonesia

adalah 8,9% (WHO, 2020)


37

Coronavirus adalah virus RNA yang memiliki ukuran varikel sangat

kecil yaitu 120-160 nm. Virus ini sebenarnya lebih menginfeksi pada hewan

termasuk kelelawar dan unta (Riedel, 2019). Coronavirus yang merupakan

penyebab Covid-19 termasuk jenis genus betacoronavirus yang penularannya

terjadi dari manusia ke manusia melalui droplet yang keluar saat seseorang

terinfeksi virus corona batuk atau bersin (Han Y&Yang, 2020). Setelah

melalui berbagai penelitian dinyatakan bahwa penularan coronavirus dapat

juga melalui aerosol selama setidaknya tiga jam (Van D&Bushmaker, 2020).

Berdasarkan berbagai survey dan data yang sudah dikumpulkan

diberbagai negara yang paling berisiko untuk terinfeksi coronavirus adalah

penderita penyakit komorbid hipertensi, diabetes melitus, penderita kanker,

penderita gangguan imum , jenis kelamin laki-laki, perokok aktif serta usia

lebih 30 > 67 tahun dengan kelompok umur paling berisiko adalah usia ≤ 50

tahun (Cai H, 2020). Disamping semua factor resiko diatas, factor resiko yang

paling tinggi yang ditetapkan oleh Center for Disease Control and Prevention

(CDC) adalah kontak erat dengan penderita Covid-19. Oleh karena itu,

petugas kesehatan merupakan salah satu populasi yang sangat berisiko tinggi

tertular atau terinfeksi coronavirus ini. Hal ini sesuai dengan data di China

tenaga kesehatan yang terinveksi Covid-19 ada 3.300 kasus dengan kematian

0,6% (Wang J&Zhou M, 2020).

Tanda dan gejala pasien terinfeksi Covid-19 sangat bervariasi mulai

dari tanpa bergejala, gejala ringan, sampai pada gejala berat. Gejala berat

yang biasa dapat dilihat adalah gambaran infeksi paru (Pneumonia), dimana

pneumonia ini dapat terjadi mulai dari pneumonia, pneumonia berat, acute
38

respiratory distress syndrome (ARDS), sepsis sampai pada syock sepsis

(Kam&Yung, 2020). Gejala ringan digambarkan sebagai pasien dengan

infeksi saluran pernafasan akut tanpa komplikasi biasanya keluhan yang ada

antara lain batuk, deman, fatique, nyeri tenggorokan, malaise, sakit kepala.

Gejala lain yang kadang muncul pada pasien Covid-19 adalah diare dan

muntah atau gangguan saluran cerna (WHO, 2020).

Penegakan diagnosis pada Covid-19 yang direkomendasikan oleh

WHO adalah pemeriksaan molekuler untuk semua kategori pasien termasuk

yang dicurigai atau suspek, dengan tujuan untuk mendeteksi keberadaan

virus. Metode yang dianjurkan adalah amplikasi asam nuklear dengan real-

time reversentrascription polymerase chain reaction (rRT-PCR). Sample

untuk pemeriksaan ini adalah dari secret nasopharing dan oropharing, yang

banyak dikenal dengan pemeriksaan swab tenggorok. Hasil PCR ini

merupakan diagnosis pasti untuk menyatakan seseorang terinfeksi

coronavirus (WHO, 2020)

Tatalaksana dari Covid-19 sampai saat ini belum tersedia guide line

yang sudah pasti atau menetap yang direkomendasikan termasuk antivirus

atau vaksin. Oleh sebab itu sampai saat ini tatalaksana yang dilakukan adalah

terapi simtomatik dan oksigen termasuk ventilasi mekanik pada pasien

Covid-19 yang mengalami gagal nafas. Namun demikian perkembangan

pengobatan pada Covid-19 ini sudah mengalami banyak perkembangan

meskipun belum mencapai puncaknya. Saat ini banyak sekali penelitian-

penelitian yang dilakukan untuk tatalaksana Covid-19 baik itu dari segi

pengobatan, perawatan serta diagnosis (Carsella&Rajnik, 2020).


39

D. Pelayanan Keperawatan Pada Pasien Covid-19

Undang-undang tentang Keperawatan No.38 Tahun 2014, mengatakan

bahwa pelayanan keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan

professional sebagai bagian integral dari pelayanan keperawatan yang

didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan dimana yang menjadi sasarannya

adalah individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, baik sehat maupun

sakit. Tujuan dari pelayanan kesehatan dan keperawatan adalah upaya

peningkatan kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan

memelihara kesehatan serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain

upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitasi (Craven & Hirnle, 2016).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas peneliti menyimpulkan bahwa

pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga

keperawatan baik secara individu maupun kelompok kepada pasien dan

keluarga dengan tujuan dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien,

keluarga, kelompok dan masyrakat. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut

maka pelayanan keperawatan harus diberikan secara profesional maksudnya

adalah mutunya harus baik, kualitas yang tinggi, bersifat efektif, efisien

sehingga memberikan kepuasan pada pasien dan keluarga karena sesuai

dengan kebutuhan serta sesuai dengan harapan pasien dan keluarga.

Situasi pandemic Covid-19 yang terjadi saat ini sangat mengagetkan

semua tenaga kesehatan termasuk tenaga keperawatan. Pada awalnya

penanganan pasien Covid-19 hanya menitik beratkan pada pelaksanaan

isolasi tanpa mempertimbangkan atau memperhatikan mutu dari pelayanan


40

keperawatan yang diberikan. Padahal sesungguhnya tehnik isolasi bukanlah

suatu pengobatan atau perawatan melainkan hanya bertujuan untuk memutus

atau meminimalkan mata rantai penyebaran virus corona. Pada awalnya

masyarakat menerima saja pola pelayanan atau asuhan yang diberikan oleh

tatanan pelayanan kesehatan, karena masyarakat juga belum memahami dan

masih kaget dengan kondisi yang mereka alami. Hal ini merupakan kondisi

yang wajar karena tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan masih

belum terbiasa melakukan pemberian asuhan keperawatan kepada pasien

dalam kondisi pandemic serta ketakutan yang masih sangat dirasakan oleh

tenaga keperawatan saat kontak dengan pasien Covid-19 meski sudah

dibekali dengan alat pelindung diri yang sesuai standar.

Kondisi pandemic Covid-19 ini sudah berjalan lebih dari 4 bulan

sehingga meski kasusnya makin meningkat, namun masyarakat sudah mulai

tenang dan sudah mulai bisa melihat kekurangan-kekurangan dalam

pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien Covid-19. Hal ini

menuntut pelayanan keperawatan untuk segera dapat beradaptasi dan

melakukan refleksi terhadap pelayanan keperawatan yang telah diberikan.

Apakah pelayanan yang diberikan selama pandemic Covid-19 sudah

memenuhi standar, sudah safety, dan apakah sudah sesuai esensi pelayanan

keperawatan yang sesungguhnya? Melalui refleksi tersebut diharapkan dapat

mengenal asuhan yang diberikan serta menemukan berbagai upaya yang

dapat dilakukan untuk memperbaiki pelayanan keperawatan pada pasien

Covid-19 di era pandemic ini (Rr.Tutik, 2020).


41

Perawat yang merupakan garda terdepan dalam pelayanan Covid-19

memiliki peranan yang sangat besar dalam melakukan asesmen,

meminimalkan kejadian komplikasi, melakukan monitoring ketat,

mempertahankan jalan nafas (manajemen jalan napas), mengatur posisi

pasien, pemberian edukasi serta tindakan kolaborasi dalam pemberian obat

(Liu 2020). Disamping itu tehnik perawatan isolasi yang dilakukan terhadap

pasien Covid-19 menjadi tantangan tersendiri bagi perawat dalam

memberikan asuhan atau pelayanan keperawatan. Family empowerment di

Indonesia saat keluarga dirawat sangat kental menjadi budaya di Indonesia,

dimana budaya ini saat kondisi pandemic ini berubah total karena keluarga

tidak dapat mendampingi anggota keluarga mereka yang sedang sakit.

Sehingga prinsip pemberian asuhan dengan melibatkan peran keluarga sudah

sangat sulit dilakukan melainkan semua tanggung jawab pemenuhan

kebutuhan pasien Covid-19 menjadi tanggungjawab penuh parawat. Perawat

harus memastikan pemenuhan nutrisi pasien, cairan pasien, eliminasi pasien,

kebersihan pasien, pergerakan fisik pasien serta kebutuhan lainnya (Rr.Tutik,

2020).

Tantangan lain dalam pemberian pelayanan keperawatan pada situasi

pandemic Covid-19 ini selain pemenuhan kebutuhan fisik adalah pemenuhan

kebutuhan psikologi pasien. Tingkat stress pasien Covid-19 yang sangat

tinggi, sehingga membutuhkan bantuan perawat selaku tenaga kesehatan

yang selalu bersama pasien untuk menurunkan tingkat stress pasien melalui

pendampingan, pemberian motivasi serta edukasi. Dengan kata lain kondisi

pandemic ini menuntut perawat harus mampu dan harus mau melakukan
42

pelayanan keperawatan yang konprehensif meliputi boi-psiko-sosial-

spiritual, serta pelayanan keperawatan yang diberikan harus memiliki kualitas

yang bermutu. Point penting yang perlu diperhatikan disampaikan di

Permenkes No. 11 Tahun 2017 tentang keselamatan pasien pasal 4 dan 5,

bahwa standar dan sasaran keselamatan pasien menjadi hal yang utama untuk

di lakukan sehingga mutu pelayanan keperawatan dapat tetap terus terjaga

(Yandih, 2020).

Jaminan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh tenaga

keperawatan kepada pasien menjadi tanggungjawab dari pimpinan atau

manajer keperawatan di tatanan pemberian pelayanan kesehatan. Termasuk

dalam kondisi pandemic Covid-19 saat ini, pengelola keperawatan harus

melakukan fungsi pengarahan dan monitoring untuk memastikan bahwa

asuhan atau pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat kepada

pasien Covid-19 sudah sesuai standar atau sudah berkualitas serta terus

melakukan dorongan sehingga dapat mencapai peningkatan mutu pelayanan

keperawatan meskipun dalam situasi pandemic

E. Teori Keperawatan

Teori keperawatan yang digunakan sebagai rujukan pada penelitian ini

adalah teori keperawatan dari Imogene M. King. Teori King dikenal sebagai

teori interaksi dimana King memperkenalkan suatu model konseptual yang

terdiri dari tiga sistem yang saling berinteraksi yaitu dinamis-personal,

interpersonal, dan sosial. Konsep sistem personal karena perawat

berhubungan secara individu, sedangkan konsep sistiem interpersonal karena


43

perawat berinteraksi antara dua orang atau lebih. Konsep yang ditempatkan

dalam sistem sosial karena perawat menyediakan pengetahuan untuk perawat

agar berfungsi di dalam sistem yang lebih besar (Alligood &Tomey 2010).

Adapun beberapa karakteristik teori Imogene King (Christensen

&Kenney,2009):

1. Sistem personal adalah individu dilihat sebagai sistem terbuka, yang

mampu berinteraksi, mengubah energi, bahkan mampu bertukar

informasi dengan lingkungannya. Individu mempunyai perasaan,

pemikiran, persepsi, sehingga akan mampu bereaksi terhadap setiap

informasi yang diterima baik itu menerima, menolak, sesuai dengan

persepsi individu tersebut. Oleh sebab itu setiap individu akan memiliki

reaksi yang berbeda-beda saat berinteraksi dengan lingkungannya. Sistem

ini dapat kita pahami dengan melihat konsep gambaran diri, harga diri dan

lain-lain.

2. Sistem interpersonal adalah saat dua atau lebih individu atau kelompok

melakukan berinteraksi. Interaksi ini dapat dipahami dengan melihat

konsep peran, interaksi, komunikasi, stress, koping.

3. Sistem sosial merupakan sistem yang lebih luas dimana akan menjaga

keselamatan lingkungan. Sistem sosial dapat dipahami melalui konsep

organisasi serta wewenang.

Berdasarkan penjelasan teori keperawatan Imogene M King diatas,

peneliti menyimpulkan bahwa setiap individu akan melakukan interaksi

dengan lingkungannya baik secara individu, kelompok maupun lebih luas


44

terhadap masyarakat. Hasil dari interaksi individu tersebut dapat

mempengaruhi persepsi, pendapat serta perilaku seseorang. Perubahan

persepsi, pendapat serta perilaku tersebut akan sangat ditentukan oleh

informasi yang didapat oleh individu tersebut saat melakukan interaksi.

Teori lain yang digunakan peneliti dari cabang ilmu lain (ilmu

psikologi) adalah Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior).

Teori perilaku terencana (theory of planned behavior/ TPB) merupakan

pengembangan lebih lanjut dari theory of reasoned action (TRA). TRA

memiliki asumsi bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar, dengan

mempertimbangkan informasi yang ada serta mempertimbangkan efek dari

tindakan yang dilakukan.

Theory of Reasoned Action menjelaskan bahwa perilaku berubah

berdasarkan hasil dari niat perilaku, dan niat perilaku sangat dipengaruhi oleh

norma sosial serta bagaimana sikap individu tersebut terhadap perilaku

(Spotswood & Tapp, 2013).

Teori perilaku terencana atau theory of planned behavior mencakup tiga

hal yaitu:

a. Keyakinan tentang evaluasi dan hasil dari perilaku (behavioral beliefs).

b. Keyakinan tentang norma perilaku yang diharapkan dan motivasi untuk

memenuhi harapan tersebut (normative beliefs)

c. Keyakinan tentang bahwa ada faktor yang bisa mendukung atau bisa

menghambat perilaku indivisu, dan keyakinan akan kekuatan faktor

tersebut (control beliefs) (Ajzen, 2010).


45

Gambar 2.2:

Kerangka Teori

Supervisi Keperawatan Teori Keperawatan


- Perencanaan Teori Imogene M. King
- Pengarahan (teori Interaksi)
- Bimbingan - Sistem Individu
- Motivasi - Sistem Interpersona
- Evaluasi - Sistem Sosial
- Perbaikan Theory of Planned Behavior
(TPB)
- Behavioral beliefs
- Normative beliefs
- Control beliefs

Model Proctor Model Reflektif


Restoratif, Formatif Refleksi, diskusi,
dan Normative mengarahkan

Mutu Pelayanan
Keperawatan
- Kepuasan
- Kenyamanan
- Kecepatan
- Courtasy (sopan santun)
- Empaty
- Komunikasi

Sumber: Mangkunegara (2013), Lynch et al., (2008), Ajzen, (2010).

Pedoman Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan Klinik di Sarana

Kesehatan Kementerian Kesehatan (2008), (Christensen &Kenney,2009),

Nursalam (2014).

Anda mungkin juga menyukai