Plato merupakan seorang matematikawan dan juga seorang filsuf yang berasal dari Yunani. Beliau merupakan seorang pemikir yang hebat dan sekaligus murid dari seorang filsuf terkenal bernama Socrates. Mungkin jika Plato bukan murid dari Socrates, kita tidak akan tahu siapa itu Socrates. Karena muridnya, Plato lah yang “merekam” atau menuliskan hampir semua pemikiran Socrates ke dalam bukunya. Plato mendirikan sebuah akademi yang diberi nama “Plato Philosophy Academy” yang di dalamnya membahas gagasan-gagasan baik dari Plato maupun dari gurunya, Socrates. Di dalam akademi inilah, terciptanya salah satu konsep atau teori “Perumpamaan Gua” atau Plato’s Allegory of Cave. Yang juga akan menjadi materi dalam Interpretasi yang saya buat kali ini. Berdasarkan analisa saya mengenai Teori Plato yang berjudul “Plato’s Allegory of Cave” atau perumpamaan gua Plato. Versi Original dari Perumpamaan Gua Plato berbentuk dialog-dialog dimana gaya ini merupakan ciri khas Plato dalam membuat sebuah konsep atau teori-teori beliau. Saya juga telah menonton beberapa video serta artikel - artikel yang memuat tentang konsep Perumpamaan Gua Plato. Berikut ringkasan yang saya akan tulis. Dalam teori ini, kita dibuat untuk membayangkan tentang sekelompok orang yang di”sekap” sepanjang hidupnya. Sejak bayi. Kepala, tangan serta kaki orang-orang tersebut dirantai agar memastikan mereka untuk tetap menghadap sebuah dinding yang berada di dalam gua selama hidupnya. Di belakang sekelompok orang tersebut diletakkan sebuah api unggun yang besar serta di tengah-tengah antara sekelompok orang yang berada dalam gua dengan api unggun yang besar terdapat sebuah jalan yang memisahkan kedua hal tersebut. Karena adanya jalan tersebut, banyak orang - orang serta binatang – binatang yang lewat dan berlalu lalang melalui jalan tersebut. Dari posisi pergerakan manusia – manusia dan binatang tersebut yang berada memisahkan antara sekelompok manusia gua dan api unggun. Terciptalah gema suara-suara dan refleksi bayangan dari pergerakan orang-orang dan binatang tersebut di dinding gua yang mereka hadap. Karena terbiasa dengan bayangan – bayangan yang mereka lihat dan gema suara yang mereka dengar tersebut. Para “tawanan’ ini mengira bahwa bayangan dan suara yang mereka rasakan merupakan bentuk dari kenyataan yang sebenarnya tanpa mengetahui bahwa yang mereka lihat merupakan hal yang jauh dari kenyataan sebenarnya dari dunia mereka melainkan hanya sebuah “pantulan” dari “benda – benda” yang bergerak berlalu – lalang dibelakang mereka. Lalu, Socrates menambahkan. Jika kita “membebaskan” salah satu dari mereka agar dapat melihat dunia luar untuk pertama kalinya. Pasti ia akan merasakan “sakit” yang luar biasa. Seperti badannya yang seumur hidup selalu berada dalam lindungan gua yang minim cahaya matahari akan merasa panas akibat pancaran matahari siang dari dunia luar, juga seperti otot dan tulangnya yang terbiasa untuk tidak bergerak dan di “paksa” untuk terus diam menatap hanya satu sisi dinding yang berada di dalam gua akan kesakitan ketika disuruh untuk berdiri dan bergerak secara tiba-tiba, serta matanya yang terbiasa meihat gelapnya gua yang dimana sumber utama dari cahaya mereka hanya berasal dari api unggun akan merasa perih dan kesakitan melihat terangnya sinar matahari di dunia luar. Namun setelah beberapa waktu, ketika orang tersebut mulai dapat beradaptasi dengan dunia luar. Pengetahuannya-pun bertambah, ada satu hal yang ia sadari bahwa apa yang selama ini ia lihat di dalam gua tersebut merupakan hal yang jauh dari kenyataan. Ia sadar bahwa di dunia luar, terdapat “Kenyataan lain” yang melampaui “kenyataan” yang ada di dalam gua. Di sini, ia tidak lagi menjadi “orang gua “. Menyadari bahwa kenyataan yang dipercaya ia selama ini ternyata hanyalah “refleksi” dari kenyataan dunia luar, ia mencoba menjelaskan tentang apa yang ia lihat di dunia luar kepada teman – teman lainnya yang masih berada di dalam gua, tentunya dengan menggunakan “bahasa” ia sendiri. Yang dimana hanya bisa menjelaskan hal berdasarkan apa yang ia lihat sebelumnya, yaitu refleksi di dinding yang ada di dalam gua. Ketika ia mencoba untuk “membebaskan” teman – temannya, ia ditolak secara mentah – mentah karena teman – temannya merasakan betapa sakitnya ketika “dibebaskan”. Tangan – tangannya yang terbiasa untuk terbelenggu merasa sakit ketika mencoba untuk dilepaskan dari rantai tersebut, tulang serta sendinya merasa sakit ketika disuruh untuk berdiri dan bergerak untuk pertama kalinya, serta mata mereka merasa sakit ketika akan dihadapkan dengan cahaya matahari. Akhirnya, di mata para teman – temannya, penjelasan tentang dunia luar dan usahanya untuk membebaskan orang - orang tersebut agar dapat melihat dunia luar tidak dianggap sebagai sesuatu yang bagus. Malah orang – orang tersebut akan meneriakinya sebagai orang gila dan yang paling buruk, teman – temannya akan berusaha untuk membunuhnya yang dimana di sisi lain, merekalah yang sebenarnya “tertutup” pikirannya dan selama ini hanya melihat sisi fana dari dunia yang sebenarnya
INTERPRETASI DAN ANALISA
Dari rangkuman yang saya buat di atas, konsep yang dibuat oleh Plato dan Socrates mempunyai tema mengenai “Perspektif Tentang Kenyataan”. Kita sebagai manusia tentunya mempunyai pendapat tentang kenyataan yang tentunya dibatasi oleh persepsi kita masing – masing. Disini, kita sebagai manusia yang kadang hanya mempunyai satu persepsi tentang dunia dan kenyataaan digambarkan sebagai orang – orang yang ditawan di dalam sebuah gua tersebut yang langsung menganggap bayangan – bayangan dan gema suara yang kita tangkap sebagai kenyataan yang paling nyata di dunia ini tanpa berusaha untuk mencari “kenyataan” lain yang paling dekat dengan “kenyataan yang sebenarnya” . Selanjutnya, salah satu orang yang “dibebaskan” secara tiba – tiba untuk melihat dunia luar merupakan penggambaran dari seseorang yang sedang mencari perspektif lain tentang realitas dari dunia yang ia tinggal. Bayangkan ketika kita merupakan orang gua yang dibebaskan tersebut, kedua tangan kita yang sudah di rantai sejak lahir di lepaskan dari rantai secara tiba-tiba, kemudian tulang dan otot yang tidak terbiasa melakukan pergerakan berat dipaksa untuk bergerak keluar, lalu mata yang terbiasa dengan gelapnya gua di paksa untuk melihat terangnya dunia luar. Tentunya kita akan merasakan sakit yang luar biasa, lalu kita akan bingung betapa berbedanya dunia luar dengan “dunia” kita sebelumnya, yakni gua tersebut. Betapa kompleksnya, pikiran yang akan muncul dalam benak kita. Namun, ketika kita mulai dapat menyesuaikan dengan dunia luar. Kita mulai terbiasa untuk bertahan hidup di dunia tersebut, kita tahu cara mencari makan sendiri, cara untuk membersihkan badan dari kotoran, cara untuk berenang dan lain sebagainya. Pada akhirnya kita mulai menjadi “bagian” dari dunia luar yang telah kita pelajari. Pada bagian akhir ketika orang tersebut mencoba untuk menjelaskan dan membebaskan teman-temannya agar diberi kesempatan untuk melihat dunia luar. Tentunya ia akan menjelaskan dengan caranya sendiri, dan juga dengan bahasanya sendiri. Dimana bahasanya akan sangat terbatas karena pengalamannya yang hanya hidup di dalam gua tersebut. Jika memang ia dapat menjelaskan semirip mungkin dengan peristiwa aslinya, ada kemungkinan bahwa teman – temannya yang berada di dalam gua tidak mengerti dan tidak dapat membayangkan akan apa yang telah kita sampaikan. Terlalu jauh jarak pengetahuan antara orang yang telah dibebaskan dibandingkan dengan teman – temannya yang berada di dalam gua tersebut. Pada akhirnya, semua usahanya untuk menjelaskan tentang realita yang paling dekat dengan kenyataan sebenarnya menjadi sia – sia. Malah akan timbul kemarahan dari teman – temannya tersebut karena apa yang ia jelaskan bertentangan dengan perspektif umum mereka tentang kenyataan dunia. Menurut Plato, semua hal yang kita lihat dan kita amati hanya merupakan refleksi dari kenyataan tertinggi. Berarti menurut Plato, apa yang kita lihat dan kita rasakan semuanya bukan merupakan realitas yang sebenarnya melainkan hanya sebuah “forma” atau “citra”. Menurut saya, hal yang bisa kita lakukan untuk melihat “kenyataan” lain, pertama adalah dengan cara merendah diri. Dengan sikap kita yang merendah diri, kita akan dapat mendengar, melihat, atau menerima tentang “kebenaran – kebenaran yang lain. Sekecil apapun kemungkinannya untuk terlihat dan terdengar benar di semua indra kita. Selalu ada kemungkinan bahwa hal yang kita lihat tersebut hanya merupakan sebagian kecil dari kebenaran yang sebenarnya.