Disusun Oleh :
Cahyanti Dwi Ayu Rahmani 31-2019-051
II. Pendahuluan
Di Indonesia, pekerjaan tukang dan perihal ketukangan sudah ada
sebelum munculnya profesi arsitek dan ilmu arsitektur secara formal. Maka
buku “Natabata” ini khusus membahas tentang ketukangan tersebut,
utamanya yang berkaitan dengan material bata. Bata yang bukan material
baru di Indonesia, sudah digunakan sejak jaman dahulu di era Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit, tetapi kemudian surut dalam waktu yang lama dan
timbul lagi seiring masuknya arsitektur Eropa. Buku ini menceritakan
tentang kolaborasi Andy Rahman Arsitek dengan para tukang untuk
menggarap material bata/nata bata dan berbagai kemungkinannya,
khususnya dengan diwujudkannya Rumah Bata atau Omah Boto di
Sidoarjo, Jawa Timur.
Terwujudnya Omah Boto dilandasi dengan kesadaran bahwa
Nusantara bukan sebuah negeri yang punya banyak mitos, legenda, dan
cerita-cerita tidak masuk akal, tetapi memiliki kecerdasan arsitektur yang
layak untuk digali dan dikaji secara terus menerus. Dalam menggarap
material bata dan non-bata, nenek moyang kita sudah punya teknik-teknik
yang cukup mumpuni, namun kebanyakan justru terlupakan. Kini dengan
buku “Natabata” dapat mengkaji kembali hal yang terlupakan tersebut dan
digabungkan dengan kekayaan arsitektur kontemporer menjadi kecerdasan
Arsitektur Nusantara di masa kini, yang lebih meng-Indonesia.
III. Isi Ringkasan
Bagi Andy Rahman Architect, bata adalah proses refleksi proses
untuk mengenali karakter bata itu sendiri sekaligus juga untuk lebih
mengenali diri snediri sebagai salah satu cara mencari jalan untuk kembali.
Proses pemakaian bata yang diekspose ini terjadi secara bertahap dan
berangsur-angsur. Dengan mengulik ketukangan bata ini, Andy Rahman
sudah menunjukkan kepedulian pada material local yang kemudian
disusunnya menjadi sebuah karya dengan komposisi yang “radikal”.
Omah Boto ini juga mengambil ide konseptual dari rumah Jawa. Di
rumah Jawa terdapat 3 bagian utama pada struktur rumah, yaitu :
pendhapa, pringgitan, dan dalem. Pendhapa merupakan area
publik/komunal yang berada di depan, pringgitan sebagai area transisi dan
terletak di tengah, dan dalem adalah area privat yang berada di dalam
(belakang). Ketiga bagian yang tersusun horizontal ini kemudian dibuat
secara vertical di Omah Boto : Lantai 1 sebagai ruang komunal (pendhapa),
lantai 2 sebagai ruang transisi (pringgitan) berupa ruang keluarga, lantai 3
sebagai area privat (area dalem) berupa kamar-kamar.
Disamping teknik pemasangan, terdapat 13 pola-pola bata di Omah
Boto didapatkan melalui ide motif batik, antara lain batik parang (berbentuk
seperti parang), motif kawung, juga ada motif batik pucuk rebung. Selain
into, selungkup bata berongga sebagai kulit luar bangunan yang
menyelimuti Omah Boto ini merupakan transformasi dari gedheg (sesek)
bambu. Gedheg merupakan material dinding anyaman bambu yang
berlubang-lubang kecil sehingga masih bisa menyalurkan cahaya dan udara
dari dan ke luar rumah. Di Omah Boto ini, gedheg ditrasnfromasikan
menjadi bata-bata yang berlubang, yang juga masih memberi celah-celah
bagi sirkulasi udara dan cahaya.