0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
86 tayangan10 halaman
Topeng Dalang Madura, telah terpatri menjadi ikon kesenian tradisi Sumenep, meski banyak terdapat bentuk kesenian lainnya, semisal topeng ghulur, topeng taneyan, sintung, sandur, saronen dan lainnya. Maka tak heran topeng dalang ini menjadi bagian penting bagi kehidupan pertunjukan kesenian masyarakat Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sampai saat ini kelompok kesenian rakyat topeng dalang ini masih tetap bertahan hidup, dan kerap tampil di sejumlah wilayah, baik untuk bagian da
Topeng Dalang Madura, telah terpatri menjadi ikon kesenian tradisi Sumenep, meski banyak terdapat bentuk kesenian lainnya, semisal topeng ghulur, topeng taneyan, sintung, sandur, saronen dan lainnya. Maka tak heran topeng dalang ini menjadi bagian penting bagi kehidupan pertunjukan kesenian masyarakat Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sampai saat ini kelompok kesenian rakyat topeng dalang ini masih tetap bertahan hidup, dan kerap tampil di sejumlah wilayah, baik untuk bagian da
Topeng Dalang Madura, telah terpatri menjadi ikon kesenian tradisi Sumenep, meski banyak terdapat bentuk kesenian lainnya, semisal topeng ghulur, topeng taneyan, sintung, sandur, saronen dan lainnya. Maka tak heran topeng dalang ini menjadi bagian penting bagi kehidupan pertunjukan kesenian masyarakat Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sampai saat ini kelompok kesenian rakyat topeng dalang ini masih tetap bertahan hidup, dan kerap tampil di sejumlah wilayah, baik untuk bagian da
Madura merupakan sebutan keetnisan, karena pertunjukan kesenian rakyat ini lahir dan berkembang di Pulau Madura. Bila ditarik sejarah kelahirannya pertunjukan topeng ini berada di wilayah Madura timur, Kabupaten Sumenep.
Topeng Dalang Madura, telah terpatri menjadi ikon
kesenian tradisi Sumenep, meski banyak terdapat bentuk kesenian lainnya, semisal topeng ghulur, topeng taneyan, sintung, sandur, saronen dan lainnya. Maka tak heran topeng dalang ini menjadi bagian penting bagi kehidupan pertunjukan kesenian masyarakat Madura, khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sampai saat ini kelompok kesenian rakyat topeng dalang ini masih tetap bertahan hidup, dan kerap tampil di sejumlah wilayah, baik untuk bagian dari kepentingan hajatan, rokatan maupun pertunjukan secara terbuka. Bahkan, Topeng Dalang Madura ini pernah menjajal tampil di manca negara seperti Perancis, Jepang dan lainnya.
Namun banyak pihak bertanya-tanya, dari mana dan
bagaimana proses kemunculan pertunjukan rakyat yang mengenakan topeng (tatopong) ini hidup?. Dari beberapa catatan kesejarahan topeng dalang ini tak lepas dari sebuah peristiwa sederhana, namun memberikan dampak signifikan terhadap keberadaan kesenian ini.
Sebagaimana bentuk, karakter dan tipologi topeng
berkait erat dengan karakter wajah yang terbangun sebelumnya, yaitu kesenian wayang purwa atau kesenian wayang kulit purwa. Hal ini tampak sekali bangunan garis-garis wajah yang ada pada topeng. Namun dalam perkembangannya karakter wajah topeng bertransformasi menjadi karakter kedaerahan sebagaimana terjadi pada kesenian topeng di wilayah lainnya, termasuk wilayah Sumenep dengan karakter topeng Madura.
Lalu bagaimana kemunculan topeng ini ke Pulau
Madura? Dari catatan penulis dinyatakan bahwa pertunjukan topeng ini berasal dari Proppo Pamekasan, wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Sumenep. Dari wilayah ini dikisahkan pada jaman dulu (sekitar abad 15) terdapat sebuah keraton yang bernama Jhâng Beringin, yakni terletak di wilayah Kecamatan Proppo, yang dipimpin seorang raja bernama Jhâng Beringin kebetulan punya besan raja dari Pulau Jawa
Karena kedekatannya dengan sang besan, raja Jhâng
Beringin kemudian mendapat penghargaan atau hadiah dan diberi sebuah tokop, yakni penutup wajah yang kemudian dikenal dengan nama topeng. Setelah dibawa pulang ke Pamekasan, tokop itu dijadikan simbol kebersamaan dan persaudaraan antar keduanya. Di kediamnnya, tokop tersebut oleh Jhâng Beringin dijadikan tanda kebersamaan di lingkungannya, dan selanjutnya dari tokop itu pula menjadi media pertemuan antar warga, yang selanjutnya kemudian menjadi perkumpulan tokop.
Namun pendapat lain menyebutkan pada tahun itu
kerajaan Jhâng Beringin (pada masa pemerintahan Prabu Menak Senaya) mempunyai hubungan baik dengan kerajaan Majapahit dan Singosari, akhirnya kesenian topeng yang telah berkembangan sebelumnya di kedua kerajaan tersebut berlanjut dan dikembangkan raja Jhâng Beringin di Proppo.
Memasuki abad ke-18 topeng dalang yang semula
merupakan kesenian rakyat, kemudian diangkat menjadi kesenian istana. Di dalam lingkungan istana inilah kemudian tokop maupun busananya disesuaikan dengan kondisi istana, termasuk didalam kesenian musik gamelan atau kerawitan.
Dan pada abad ke 19, setelah kerajaan-kerajaan mulai
hilang dari bumi Madura, topeng dalang kembali menjadi kesenian rakyat dan mencapai puncak kesuburannya sampai tahun 1960. hal itu dapat dilihat dari banyaknya group kesenian, dalang serta pengrajin topeng di berbagai pelosok, dan saat itu topeng dalang banyak mengalami perubahan
Dari Tuping sampai Topeng
Di Proppo, awalnya di sebut perkumpulan tokop yakni
sebuah perkumpulan kesenian yang semuanya mengenakan tokop (tutup wajah), pekumpulan kesenian ini kemudian dikenal sebagai tuping. Jadi dari perkumpulan ini pada saat mengadakan pertunjukan, semua pemainnya mengenakan tokop. Pertunjukan ini digelar dalam bentuk drama atau tonil yang umumnya mengambil kisah-kisah dari Ramayana, dan Mahabarata. Dua diantara para pemain Tuping tersebut yakni Tearjâ Nimprang dan Agung Kertè yang berasal dari Sumenep. Dari kedua orang ini pada perjalanan selanjutnya menjadi embrio lahirnya Topeng Dalang di Sumenep.
Di Proppo, tuping tidak lagi dikembangkan, sedang
Tearjâ Nimprang dan Agung Kertè yang memiliki bekal ilmu pertunjukan tuping kemudian dikembangkan di kampung halamannya, di Sumenep dan diperkenalkan sebagai perkumpulan Topeng Dalang Sumenep. Setelah berakhirnya tuping di Pamekasan, dalam proses selanjutnya dikembangkan menjadi tari klonoan, dan kemudian berubah menjadi tari topeng gethak yang diambil dari sinonim bunyi kendang “ge” dan “thak”. Hingga saat ini, nama Klonoan sudah tidak lagi digunakan dan berubah menjadi topeng gethak. Topeng gethak merupakan salah satu kesenian tari tradisional yang menjadi bagian dari pertunjukan ludruk sandur. Sandur merupakan jenis kesenian rakyat yang paling banyak digemari di Pamekasan
Selanjutnya topeng yang dibawa Tearjâ Ningrang dan
Aghung Kertè dikembangkan dalam bentuk perkumpulan drama topeng di Sumenep dan disajikan dalam cerita selain Ramahayana dan Mahabarata. Sedangkan Ghung Kertè dan beberapa anggota lainnya hijrah ke Situbondo, dan di daerah ini ia membentuk kelompok baru. Kelompok topeng Agung Kertè di Situbondo tidak lagi disebut sebagai topeng sebagaimana di Sumenep, namun disebut kertè, atau kesenian kertè.
Di Sumenep, Tearjâ Nimprang tetap membina dan
mengembangkan kelompok topeng ini di wilayah Pinggir Papas, yakni masuk wilayah Kecamatan Kalianget, Sumenep. Lantaran di wilayah ini terbentang ladang garam, dan umumnya masyarakat sekitar terjun sebagai pertani garam, maka tak heran bila gerak dan gestur permainan yang dikembangkan disini menyerupai atau mengadopsi dari gerak-gerak yang dilakukan para petani garam saat menggarap lahan pegaraman. Lompatan kaki, gerak tangan maupun gestur tubuh menyerupai orang sedang mengolah garam di ladang garam.
Lompatan kaki, gerak tangan dan lainnya ketika sedang
mengolah garam disimbolkan dalam gerak-gerak para pelaku topeng ketika tampil dalam pertunjukan. Dari Pinggir Papas ini kemudian berkembang ke wilayah Kalianget, dengan tetap mengacu pada gerakan yang dibangun oleh Tearjâ Nimprang.
Pada proses selanjutnya, pertunjukan topeng
berekspansi ke wilayah utara, di pesisir utara Kecamatan Dasuk, yakni desa Slopeng dan sekitarnya. Di daerah ini permainan topeng mengalami perubahan sesuai dengan tipografi masyarakatnya. Bila di Pinggir Papas cenderung mengacu pada gerakan ala keraton (sebagaimana latar kehidupan Tearjâ Nimprang), namun ketika memasuki wilayah Dasuk yang memiliki tipologi sebagai wilayah pesisir dan pedesaan, gerakan permainan topeng mulai berubah dan lebih dinamis sebagaimana gerakan sistem kehidupan masyarakatnya, yakni gerakan yang dilakukan masyarakat ketika bekerja di ladang atau tegalan.
Hal ini tampak jelas perbedaannya, termasuk pada
karakter bahasa pengucapan. Di Pinggir Papas menggunakan bahasa pengucapan kekeratonan, sedang di Dasuk menggunakan ungkapan dan karekter pedesaan (kerakyatan) yang cenderung agak “kasar” dan ceplas ceplos.
Demikian pula dalam segi busana juga mengalami
perbedaan. Karena topeng awalnya mengadopsi dari wayang purwo, hal ini terasa apa yang diperankan dalam karakter topeng di Pinggir Papas, antara lain di Pinggir Papas menggambaran tokopnya (topengnya) yang dipakai adalah tokop model berkarakter wayang porwo (simbol wayang purwo). Jadi tidak berbentuk manusia, baik bentuk siung, hidung dan lainnya.
Setelah menggeser ke Kalianget, karakter tokop sudah
mulai berubah dalam bentuk wajah manusia. Demikian pula cerita yang disajikan, banyak mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat penikmatnya. Apalagi di Salopeng?, perubahan itu makin menguat sesuai karakter lingkungannya. Perubahan karakter dan wajah topeng terjadi perubahan yang signifikan.
Bila dilihat latar awal hadirnya topeng di Sumenep, ada
pendapat menyebut secara fisik topeng yang asli cenderung yang Pinggir Papas, meski selama ini masing- masing kelompok (Pinggir Papas, Kalianget dan Salopeng) sama-sama mengklaim merasa paling awal. Namun demikian, dalam tata busana hampir tidak ada perbedaan, hanya bagian-bagian tertentu mengalami perubahan sesuai keinginan masing-masing.
Bagian-bagian busana ini tampak pada warna busana. Di
Slopeng simbol warna mengarah pada busana karakter masyarakat pedesaan, dominan warna hitam dan merah. Demikian pula bentuk dan ornamen rapeknya (semacam sarung pendek melingkar di pinggul) menggambarkan bentuk perisai, (acok rebbhung). Sedang di Kalianget bentuknya rata, sebagaimana rapek Jawa. Sedang ornamen lukisan yang dimunculkan di Pinggir Papas dan Kalianget penggambarannya yakni flora dan fauna, seperti alam, harimau, burung dan sejenisnya, sedang di Dasuk menonjolkan lusian pegunungan, laut dan sejenisnya. Demikian pula pada mahkotanya, di Kalianget dalam bentuk sebagaimana yang dikenakan pada wayang kulit (purwo), dengan model lebih tinggi, sedang di Dasuk tampak berbeda, yakni lebih pendek. Namun demikian dalam perbedaan masing-masing justru menjadi keunikan tersendiri, dan dari sinilah menjadi tarik serta menjadi keragaman dalam topeng.
Beda dengan Kalianget dan Salopeng, kesenian topeng di
Pinggir Papas pernah mengalami kejayaannya, namun lambat laun perkembangannya makin melemah, hal ini lantaran para pelaku topeng sendiri umumnya dari pekerja ladang garam. Bila pada musim kemarau mereka mencari garapan baru dan ekspansi ke wilayah Semami, Gresik dan sekitarnya, mereka menggarap tanah garam di daerah tersebut. Akibatnya di tempat asalnya, Pinggir Papas para pelaku topeng tidak lagi berproses dan jarang menggelar topeng dalang. Sedang di Salopeng maupun Kalianget perkembangannya cukup baik serta menyesuaikan perkembangan penikmatnya. Lebih modern dan menfaatkan perkembangan teknologi. Demikian pula pada cerita maupun gerak permainannya.
Menariknya, topeng dalang Madura saat ini masih
bertahan dan berkembang meski kondisi masyarakatnya banyak mengalami perubahan. Dan akhir-akhir ini penikmatnya makin meningkat, meski beberapa tahun lalu pernah mengalami pasang surut ketika masyarakat - pedesaan khususnya -, pada saat-saat ketika pertunjukan seni modern merambah ke wilayah-wlayah pedesaan, ditambah lagi teknologi informasi makin menekan ke sejumlah titik komunitas masyarakat dengan berbagai macam medianya.
Dan sekarang ini, para pelaku topeng dalang makin
cerdas, dengan memanfaat teknologi yang berkembang masyarakat penonton makin tertarik dan beralih kembali pada seni tradisi topeng dalang. Bukan hanya itu, masyarakat perkotaan pun kini mulai merasakan “kenikmatan” menonton pertunjukan topeng dalang,
Hal ini tampak sekali, ketika masyarakat punya niatan
atau hajatan perkawinan, rokatan, atau bentuk pergelaran pertunjukan dengan menanggap topeng dalang akan dapat banyak keuntungan, selain relatif murah dibanding pertunjukan seni modern lainnya, pertunjukan topeng dalang para penontonnya jauh lebih tertib dan aman.
Jadi pada saat pertunjukan berlanjut penonton benar-
benar menikmati sajian cerita tanpa mengganggu satu dengan yang lain walau digelar di tempat lapang sampai semalam suntuk. Selain itu, keuntungan lain yang didapat, selain sebagai media hiburan rakyat, pada awal pertunjukan tentu dilakukan rokatan atau ruwatan yang intinya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diselamatkan dari mara bahaya dan langgeng dalam melaksanakan kehidupan perkawinan dan kepentingan kehidupan lainnya. Topeng dalang bukan hanya dijadikan sebagai media hiburan kesenian rakyat, tapi lebih dari itu pertunjukan kesenian ini dapat dijadikan media pembelajaran, pendidikan moral maupun spiritual, karena pesan-pesan yang disampaikan oleh dalang sarat dengan persoalan kehidupan manusia dan lingkungannya.