Anda di halaman 1dari 10

Menelisik Sejarah Perkembangan

Topeng Dalang Madura


Oleh: Syaf Anton Wr

Kata “Madura” dalam sebutan pada Topeng Dalang


Madura merupakan sebutan keetnisan, karena
pertunjukan kesenian rakyat ini lahir dan berkembang di
Pulau Madura. Bila ditarik sejarah kelahirannya
pertunjukan topeng ini berada di wilayah Madura timur,
Kabupaten Sumenep.

Topeng Dalang Madura, telah terpatri menjadi ikon


kesenian tradisi Sumenep, meski banyak terdapat
bentuk kesenian lainnya, semisal topeng ghulur, topeng
taneyan, sintung, sandur, saronen dan lainnya. Maka tak
heran topeng dalang ini menjadi bagian penting bagi
kehidupan pertunjukan kesenian masyarakat Madura,
khususnya di wilayah Kabupaten Sumenep. Dan sampai
saat ini kelompok kesenian rakyat topeng dalang ini
masih tetap bertahan hidup, dan kerap tampil di
sejumlah wilayah, baik untuk bagian dari kepentingan
hajatan, rokatan maupun pertunjukan secara terbuka.
Bahkan, Topeng Dalang Madura ini pernah menjajal
tampil di manca negara seperti Perancis, Jepang dan
lainnya.

Namun banyak pihak bertanya-tanya, dari mana dan


bagaimana proses kemunculan pertunjukan rakyat yang
mengenakan topeng (tatopong) ini hidup?. Dari
beberapa catatan kesejarahan topeng dalang ini tak
lepas dari sebuah peristiwa sederhana, namun
memberikan dampak signifikan terhadap keberadaan
kesenian ini.

Sebagaimana bentuk, karakter dan tipologi topeng


berkait erat dengan karakter wajah yang terbangun
sebelumnya, yaitu kesenian wayang purwa atau
kesenian wayang kulit purwa. Hal ini tampak sekali
bangunan garis-garis wajah yang ada pada topeng.
Namun dalam perkembangannya karakter wajah topeng
bertransformasi menjadi karakter kedaerahan
sebagaimana terjadi pada kesenian topeng di wilayah
lainnya, termasuk wilayah Sumenep dengan karakter
topeng Madura.

Lalu bagaimana kemunculan topeng ini ke Pulau


Madura? Dari catatan penulis dinyatakan bahwa
pertunjukan topeng ini berasal dari Proppo Pamekasan,
wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Sumenep.
Dari wilayah ini dikisahkan pada jaman dulu (sekitar
abad 15) terdapat sebuah keraton yang bernama Jhâng
Beringin, yakni terletak di wilayah Kecamatan Proppo,
yang dipimpin seorang raja bernama Jhâng Beringin
kebetulan punya besan raja dari Pulau Jawa

Karena kedekatannya dengan sang besan, raja Jhâng


Beringin kemudian mendapat penghargaan atau hadiah
dan diberi sebuah tokop, yakni penutup wajah yang
kemudian dikenal dengan nama topeng. Setelah dibawa
pulang ke Pamekasan, tokop itu dijadikan simbol
kebersamaan dan persaudaraan antar keduanya. Di
kediamnnya, tokop tersebut oleh Jhâng
Beringin dijadikan tanda kebersamaan di lingkungannya,
dan selanjutnya dari tokop itu pula menjadi media
pertemuan antar warga, yang selanjutnya kemudian
menjadi perkumpulan tokop.

Namun pendapat lain menyebutkan pada tahun itu


kerajaan Jhâng Beringin (pada masa pemerintahan
Prabu Menak Senaya) mempunyai hubungan baik
dengan kerajaan Majapahit dan Singosari, akhirnya
kesenian topeng yang telah berkembangan sebelumnya
di kedua kerajaan tersebut berlanjut dan dikembangkan
raja Jhâng Beringin di Proppo.

Memasuki abad ke-18 topeng dalang yang semula


merupakan kesenian rakyat, kemudian diangkat
menjadi kesenian istana. Di dalam lingkungan istana
inilah kemudian tokop maupun busananya disesuaikan
dengan kondisi istana, termasuk didalam kesenian musik
gamelan atau kerawitan.

Dan pada abad ke 19, setelah kerajaan-kerajaan mulai


hilang dari bumi Madura, topeng dalang kembali
menjadi kesenian rakyat dan mencapai puncak
kesuburannya sampai tahun 1960. hal itu dapat dilihat
dari banyaknya group kesenian, dalang serta pengrajin
topeng di berbagai pelosok, dan saat itu topeng dalang
banyak mengalami perubahan

Dari Tuping sampai Topeng

Di Proppo, awalnya di sebut perkumpulan tokop yakni


sebuah perkumpulan kesenian yang semuanya
mengenakan tokop (tutup wajah), pekumpulan kesenian
ini kemudian dikenal sebagai tuping. Jadi dari
perkumpulan ini pada saat mengadakan pertunjukan,
semua pemainnya mengenakan tokop. Pertunjukan ini
digelar dalam bentuk drama atau tonil yang umumnya
mengambil kisah-kisah dari Ramayana, dan Mahabarata.
Dua diantara para pemain Tuping tersebut yakni Tearjâ
Nimprang dan Agung Kertè yang berasal dari Sumenep.
Dari kedua orang ini pada perjalanan selanjutnya
menjadi embrio lahirnya Topeng Dalang di Sumenep.

Di Proppo, tuping tidak lagi dikembangkan, sedang


Tearjâ Nimprang dan Agung Kertè yang memiliki bekal
ilmu pertunjukan tuping kemudian dikembangkan di
kampung halamannya, di Sumenep dan diperkenalkan
sebagai perkumpulan Topeng Dalang Sumenep.
Setelah berakhirnya tuping di Pamekasan, dalam proses
selanjutnya dikembangkan menjadi tari klonoan, dan
kemudian berubah menjadi tari topeng gethak yang
diambil dari sinonim bunyi kendang “ge” dan “thak”.
Hingga saat ini, nama Klonoan sudah tidak lagi
digunakan dan berubah menjadi topeng gethak. Topeng
gethak merupakan salah satu kesenian tari tradisional
yang menjadi bagian dari pertunjukan ludruk sandur.
Sandur merupakan jenis kesenian rakyat yang paling
banyak digemari di Pamekasan

Selanjutnya topeng yang dibawa Tearjâ Ningrang dan


Aghung Kertè dikembangkan dalam bentuk
perkumpulan drama topeng di Sumenep dan disajikan
dalam cerita selain Ramahayana dan Mahabarata.
Sedangkan Ghung Kertè dan beberapa anggota lainnya
hijrah ke Situbondo, dan di daerah ini ia membentuk
kelompok baru. Kelompok topeng Agung Kertè di
Situbondo tidak lagi disebut sebagai topeng
sebagaimana di Sumenep, namun disebut kertè, atau
kesenian kertè.

Di Sumenep, Tearjâ Nimprang tetap membina dan


mengembangkan kelompok topeng ini di wilayah
Pinggir Papas, yakni masuk wilayah Kecamatan
Kalianget, Sumenep. Lantaran di wilayah ini terbentang
ladang garam, dan umumnya masyarakat sekitar terjun
sebagai pertani garam, maka tak heran bila gerak dan
gestur permainan yang dikembangkan disini menyerupai
atau mengadopsi dari gerak-gerak yang dilakukan para
petani garam saat menggarap lahan pegaraman.
Lompatan kaki, gerak tangan maupun gestur tubuh
menyerupai orang sedang mengolah garam di ladang
garam.

Lompatan kaki, gerak tangan dan lainnya ketika sedang


mengolah garam disimbolkan dalam gerak-gerak para
pelaku topeng ketika tampil dalam pertunjukan. Dari
Pinggir Papas ini kemudian berkembang ke wilayah
Kalianget, dengan tetap mengacu pada gerakan yang
dibangun oleh Tearjâ Nimprang.

Pada proses selanjutnya, pertunjukan topeng


berekspansi ke wilayah utara, di pesisir utara Kecamatan
Dasuk, yakni desa Slopeng dan sekitarnya. Di daerah ini
permainan topeng mengalami perubahan sesuai dengan
tipografi masyarakatnya. Bila di Pinggir Papas cenderung
mengacu pada gerakan ala keraton (sebagaimana latar
kehidupan Tearjâ Nimprang), namun ketika memasuki
wilayah Dasuk yang memiliki tipologi sebagai wilayah
pesisir dan pedesaan, gerakan permainan topeng mulai
berubah dan lebih dinamis sebagaimana gerakan sistem
kehidupan masyarakatnya, yakni gerakan yang dilakukan
masyarakat ketika bekerja di ladang atau tegalan.

Hal ini tampak jelas perbedaannya, termasuk pada


karakter bahasa pengucapan. Di Pinggir Papas
menggunakan bahasa pengucapan kekeratonan, sedang
di Dasuk menggunakan ungkapan dan karekter
pedesaan (kerakyatan) yang cenderung agak “kasar” dan
ceplas ceplos.

Demikian pula dalam segi busana juga mengalami


perbedaan. Karena topeng awalnya mengadopsi dari
wayang purwo, hal ini terasa apa yang diperankan dalam
karakter topeng di Pinggir Papas, antara lain di Pinggir
Papas menggambaran tokopnya (topengnya) yang
dipakai adalah tokop model berkarakter wayang porwo
(simbol wayang purwo). Jadi tidak berbentuk manusia,
baik bentuk siung, hidung dan lainnya.

Setelah menggeser ke Kalianget, karakter tokop sudah


mulai berubah dalam bentuk wajah manusia. Demikian
pula cerita yang disajikan, banyak mengalami perubahan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat penikmatnya.
Apalagi di Salopeng?, perubahan itu makin menguat
sesuai karakter lingkungannya. Perubahan karakter dan
wajah topeng terjadi perubahan yang signifikan.

Bila dilihat latar awal hadirnya topeng di Sumenep, ada


pendapat menyebut secara fisik topeng yang asli
cenderung yang Pinggir Papas, meski selama ini masing-
masing kelompok (Pinggir Papas, Kalianget dan
Salopeng) sama-sama mengklaim merasa paling awal.
Namun demikian, dalam tata busana hampir tidak ada
perbedaan, hanya bagian-bagian tertentu mengalami
perubahan sesuai keinginan masing-masing.

Bagian-bagian busana ini tampak pada warna busana. Di


Slopeng simbol warna mengarah pada busana karakter
masyarakat pedesaan, dominan warna hitam dan
merah. Demikian pula bentuk dan ornamen rapeknya
(semacam sarung pendek melingkar di pinggul)
menggambarkan bentuk perisai, (acok rebbhung).
Sedang di Kalianget bentuknya rata, sebagaimana rapek
Jawa.
Sedang ornamen lukisan yang dimunculkan di Pinggir
Papas dan Kalianget penggambarannya yakni flora dan
fauna, seperti alam, harimau, burung dan sejenisnya,
sedang di Dasuk menonjolkan lusian pegunungan, laut
dan sejenisnya. Demikian pula pada mahkotanya, di
Kalianget dalam bentuk sebagaimana yang dikenakan
pada wayang kulit (purwo), dengan model lebih tinggi,
sedang di Dasuk tampak berbeda, yakni lebih pendek.
Namun demikian dalam perbedaan masing-masing
justru menjadi keunikan tersendiri, dan dari sinilah
menjadi tarik serta menjadi keragaman dalam topeng.

Beda dengan Kalianget dan Salopeng, kesenian topeng di


Pinggir Papas pernah mengalami kejayaannya, namun
lambat laun perkembangannya makin melemah, hal ini
lantaran para pelaku topeng sendiri umumnya dari
pekerja ladang garam. Bila pada musim kemarau
mereka mencari garapan baru dan ekspansi ke wilayah
Semami, Gresik dan sekitarnya, mereka menggarap
tanah garam di daerah tersebut. Akibatnya di tempat
asalnya, Pinggir Papas para pelaku topeng tidak lagi
berproses dan jarang menggelar topeng dalang. Sedang
di Salopeng maupun Kalianget perkembangannya cukup
baik serta menyesuaikan perkembangan penikmatnya.
Lebih modern dan menfaatkan perkembangan teknologi.
Demikian pula pada cerita maupun gerak permainannya.

Menariknya, topeng dalang Madura saat ini masih


bertahan dan berkembang meski kondisi masyarakatnya
banyak mengalami perubahan. Dan akhir-akhir ini
penikmatnya makin meningkat, meski beberapa tahun
lalu pernah mengalami pasang surut ketika masyarakat -
pedesaan khususnya -, pada saat-saat ketika
pertunjukan seni modern merambah ke wilayah-wlayah
pedesaan, ditambah lagi teknologi informasi makin
menekan ke sejumlah titik komunitas masyarakat
dengan berbagai macam medianya.

Dan sekarang ini, para pelaku topeng dalang makin


cerdas, dengan memanfaat teknologi yang berkembang
masyarakat penonton makin tertarik dan beralih kembali
pada seni tradisi topeng dalang. Bukan hanya itu,
masyarakat perkotaan pun kini mulai merasakan
“kenikmatan” menonton pertunjukan topeng dalang,

Hal ini tampak sekali, ketika masyarakat punya niatan


atau hajatan perkawinan, rokatan, atau bentuk
pergelaran pertunjukan dengan menanggap topeng
dalang akan dapat banyak keuntungan, selain relatif
murah dibanding pertunjukan seni modern lainnya,
pertunjukan topeng dalang para penontonnya jauh lebih
tertib dan aman.

Jadi pada saat pertunjukan berlanjut penonton benar-


benar menikmati sajian cerita tanpa mengganggu satu
dengan yang lain walau digelar di tempat lapang sampai
semalam suntuk. Selain itu, keuntungan lain yang
didapat, selain sebagai media hiburan rakyat, pada awal
pertunjukan tentu dilakukan rokatan atau ruwatan yang
intinya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar
diselamatkan dari mara bahaya dan langgeng dalam
melaksanakan kehidupan perkawinan dan kepentingan
kehidupan lainnya.
Topeng dalang bukan hanya dijadikan sebagai media
hiburan kesenian rakyat, tapi lebih dari itu pertunjukan
kesenian ini dapat dijadikan media pembelajaran,
pendidikan moral maupun spiritual, karena pesan-pesan
yang disampaikan oleh dalang sarat dengan persoalan
kehidupan manusia dan lingkungannya.

www.lontarmadura.com

Anda mungkin juga menyukai