Anda di halaman 1dari 144

Selayang Pandang Keilmuan

Pesantren

1
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang No.28 Th. 2014, Tentang Hak Cipta

a) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
b) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
d) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

2
Selayang pandang Tradisi Keilmuan Pesantren
Kurdi, Zainul Muhtar,. Et. All. @2020

Diterbitkan atas kerjasama antara;


Buku Gubuk
Gondanglegi, Malang 2020
(+62) 838-17-11111-2
Email : info@alqolam.ac.id/LP3M@alqolam.ac.id
ISBN : 978-623-91665-7-1

Cetakan I, November 2020

Editor : Dahri
Penyunting : Kurdi
Sampul : Kuala Kumal

_____________________________________________
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang
Dilarang keras memperbanyak sebagian atau seluruhisi buku ini tanpa
ada izin Penulis dan penerbit.

3
4
KATA PENGANTAR

TRADISI PESANTREN:
ANTARA KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

Oleh: Muhammad Adib

(1)
Terlebih dulu, izinkan saya mengucapkan selamat
kepada tim penulis buku ini, yakni mahasiswa angkatan
pertama Pascarsarjana IAI Al-Qolam Malang. Tema yang
mereka angkat, yaitu tradisi pesantren, memang bukan hal
yang baru. Sejak terbitnya buku karya Zamakhsyari
Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren: Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai pada tahun 1981, bermunculan
ragam karya tulis, baik berupa buku, artikel, maupun
laporan penelitian, yang mengangkat tema ini dari
beragam perspektif, mulai dari perspektif historis,
sosiologis, hingga epistemologis.
Namun, bagaimanapun juga, ikhtiar akademik dari
mahasiswa angkatan pertama Pascasarjana IAI Al-Qolam
Malang ini tentu sangat layak diapresiasi. Mereka telah
merintis tradisi akademik yang konstruktif di lingkungan
mahasiswa Pascasarjana IAI Al-Qolam Malang, yakni
tradisi akademik yang terangkum dalam “tiga M”;
membaca (reading), menulis (writing), dan meneliti
(research). Mereka telah melahirkan sebuah “jejak
akademik” yang harus ditiru dan dikembangkan oleh adik-
adik angkatan mereka pada tahun-tahun berikutnya.
Terlebih-lebih, tema yang mereka angkat dalam buku
ini, yakni tradisi pesantren, sangat relevan dengan
perkembangan sosial-budaya saat ini. Seperti digambarkan
oleh M. Nasruddin Anshory Ch (2013), tradisi pesantren

5
saat ini berada dalam situasi “kikuk” ketika berhadapan
dengan arus globalisasi informasi. Situasi tersebut
tercermin dari adaanya sikap paradoks, antara kesadaran
untuk berbenah diri dan bertransformasi, di satu sisi, dan
kekhawatiran tercemarnya nilai-nilai luhur yang selama ini
diyakni dan dilestarikan, di sisi yang lain. Karena itu, tidak
ada jalan lain, harus dilakukan sebuah upaya serius yang
terbuka terhadap “otokritik” serta terhindar dari “arogansi
kultural”; yakni upaya serius untuk melakukan
reinventarisasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tradisi
pesantren dalam konteks globalisasi.1

(2)
Pertama-tama, kita perlu memahami terlebih dulu
pengertian dan watak dasar dari tradisi dalam perspektif
sosiologi. Wacana tentang tradisi memang bukan
merupakan hal yang baru dalam khazanah keislaman.
Sejumlah pemikir Arab modern, seperti Mohammed
Arkoun (w. 2010), Muhammad Abid al-Jabiri (w. 2010), dan
Hasan Hanafi, menempatkan tradisi sebagai titik-tolak
untuk membedah struktur relasi epistemik pemikiran
keislaman, khususnya di kalangan bangsa Arab. Namun,
pemahaman yang tepat tentang tradisi sangat penting, agar
kita tidak salah paham serta terjebak pada dua sikap
ekstrim terhadap tradisi; sikap pemisahan dan pemutusan,
di satu pihak, dan sikap pembelaan dan pemberhalaan, di
pihak yang lain.
Tradisi, menurut Edward Shils (1981), secara umum
adalah “traditum”, yakni segala hal yang ditransmisikan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
1
M. Nasruddin Anshory Ch, Strategi Kebudayaan: Titik Balik
Kebangkitan Nasional, ctk. I (Yogyakarta: Universitas Brawijaya Press,
2013), hlm. 37-38.

6
pemaknaan tersebut, Shils hendak menegaskan minimal
dua poin terkait watak dasar tradisi. Pertama, tradisi
berkait erat dengan “masa lalu yang dirasakan” (the
perceived past) yang bersifat “elastis” (plastic thing) sehingga
lebih memungkin untuk diubah bentuk (reformed) melalui
proses tertentu oleh generasi setelahnya (human beings
living in the present); suatu hal yang berbeda dengan “masa
lalu yang telah terjadi” (the occurred past) yang telah
menjadi peristiwa sejarah bagi generasi setelahnya. Kedua,
dalam proses perjalanannya, tradisi selalu berdialektika
antara stabilitas (stability) dan perubahan (change),
tergantung kepada perubahan ruang dan waktu (exogenous
factors), di satu sisi, serta imajinasi dan kreativitas berpikir
orang atau komunitas yang hidup di dalamnya (endogenous
factors).2
Konsep tradisi menurut Edward Shils tersebut
mendapatkan apresiasi Peter L. Berger (1982) melalui salah
satu tulisannya. Berger menulis bahwa Shils telah
memunculkan gagasan besar yang lebih optimistik tentang
masa depan tradisi terkait relasinya dengan modernitas.
Gagasan tersebut merevisi pandangan sejumlah pemikir
ilmu sosial sebelumnya, terutama Max Weber, yang
menempatkan tradisi sebagai “kendala” bagi kemajuan
peradaban (obstacle to “progress”). Peradaban Barat,
menurut Shils, di satu sisi memang merupakan kekuatan
anti-tradisi terkuat dalam wacana pemikiran modern.
Namun, peradaban Barat di sisi yang lain sebetulnya tidak
bisa lepas dari “logika tradisi” (logic of tradition), karena

2
Selengkapnya, baca: Edward Shils, Tradition (Chicago: The
University of Chicago Press, 1981).

7
pada akhirnya telah melahirkan tradisinya sendiri juga,
termasuk dalam bidang sains dan teknologi.3
Secara epistemologis, tradisi memang mencerminkan
gerak dialektis antara continuitas (continuity) dan
perubahan (change). Gerak dialektis tersebut, sebagaimana
ditulis oleh Jatinder Kumar Sharma (2014), tercermin dari
relasi dialektis (dialectical relationship) antara tradisi dan
manusia selaku subyek kebudayaan. Di satu sisi, tradisi
adalah produk kebudayaan atau kreativitas manusia.
Namun, di sisi yang lain, tradisi bertumpu kepada
imajinasi dan kreativitas manusia sekaligus menyediakan
petunjuk ke mana manusia bisa menemukan makna dan
takdir dirinya. Bisa dikatakan, tradisi merupakan “memori
kolektif” (collective memory) manusia atau komunitas yang
bersifat dinamis, tidak bersifat kaku dan stagnan, sehingga
bisa direinterpretasi dan dimodifikasi melalui proses
kebudayaan tertentu oleh generasi setelahnya.4

(3)
Berdasarkan perspektif teoretik di atas, bisa dipahami
bahwa tradisi pesantren adalah “warisan masa lalu” yang
hadir dan dirasakan oleh generasi saat ini. Sebagai produk
kebudayaan, tradisi pesantren secara epistemologis juga
memuat mekanisme dialektis dalam dirinya sendiri antara
kontinuitas dan perubahan. Hal ini tercermin dari Aswaja
sebagai nalar keagamaan (‘aql, episteme) komunitas
pesantren selama ini, yaitu nalar keagamaan yang

3
Peter L. Berger, “Is History the Enemy of Progress?”, New York
Times (14 Februari 1982).
4
Jatinder Kumar Sharma, “Tradition: The Dialectics of Continuity
and Change”, Paripex: Indian Journal of Research, Vol. 3, No. 6 (Juni
2014).

8
bertumpu pada gerak dialektis antara prinsip konservasi
(al-muhāfazhah alā al-qadīm al-shālih), di satu sisi, dan prinsip
dinamisasi (al-akhdz bi al-jadīd al-ashlah), di sisi yang lain.5
Dengan nalar keagamaan seperti ini, tradisi pesantren
sepanjang sejarahnya sebetulnya bersifat dinamis, tidak
statis seperti yang seringkali disalahpahami oleh, terutama,
terutama kalangan “outsiders”.6
Persoalan yang penting sekarang adalah cara
pembacaan seperti apa yang tepat terhadap tradisi dalam
konteks tantangan modernitas (hadātsah)? Terkait hal ini,
Muhammad ‘Ābid al-Jābirī (1991) menginventarisir tiga
model pembacaan terhadap tradisi (turāts)7 beserta
konsekuensi masing-masing terhadap masa depan tradisi
dalam konteks modernitas (hadātsah). Tiga model
pembacaan tersebut, yang mencerminkan relasi antara
pembacaan (qirā’ah), kekinian (‘ashriyyah), dan tradisi
(turāts), adalah sebagai berikut: (1) model “pembacaan
kekinian terhadap tradisi” (qirā’ah ‘ashriyyah li al-turāts); (2)

5
Tentang Aswaja sebagai nalar keagamaan, baca: Muhammad
Adib, Kritik Nalar Fikih Nahdlatul Ulama, ctk. I (Malang: Kiri Sufi, 2018),
hlm. 33-40.
6
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang
Pandangan Hidup Kyai, edisi revisi, ctk. IX (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm.
5.
7
Tulisan ini mengikuti penerjemahan kata “turāts” sebagai
“tradisi” yang bisa dijumpai pada sejumlah karya ilmiah, sekalipun al-
Jābirī mengegaskan bahwa kata “turāts” tidak ada padanan katanya,
baik dari bahasa Arab sendiri maupun bahasa lain. Sejumlah karya yang
dimaksud, misalnya: Moh. Nurhakim, Islam, tradisi & reformasi:
"pragmatisme" agama dalam pemikiran Hassan Hanafi, ctk. I (Malang:
Bayumedia, 2003); Zuhairi Misrawi, Menggugat tradisi: pergulatan
pemikiran anak muda NU, ctk. I (Jakarta: Kompas, 2004); Rumadi, Post-
Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU,
ctk. I (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama
RI, 2007);

9
model “pembacaan tradisional terhadap tradisi” (qirā’ah
turātsiyyah li al-turāts), dan (3) model “pembacaan
tradisional terhadap kekinian” (qirā’ah turātsiyyah li
al-‘ashr). Terhadap tiga model pembacaan tersebut, al-Jābirī
menolak model kedua dan ketiga. Alasannya adalah karena
pembacaan model pertama mencerminkan hegemoni
tradisi (salthah al-turats), sehingga tidak akan memberikan
kontribusi apa-apa terhadap pembaruan. Model
pembacaan ketiga bahkan lebih problematis lagi, karena
model ini meniscayakan pembacaan masa kini dengan
perspektif tradisi; bisa tradisi sendiri, namun bisa juga
tradisi dan kebudayaan lain.8
Itulah sebabnya, al-Jābirī memilih model pembacaan
pertama, yaitu “pembacaan kekinian terhadap tradisi”
(qirā’ah ‘ashriyyah li al-turāts). Model pertama ini pula yang
dia pakai ketika melakukan kritik epistemologis (naqd
al-‘aql) terhadap struktur berpikir bangsa Arab di balik
tradisi (turāts) yang mereka warisi sejak era kodifikasi ilmu
keislaman (tadwīn) abad III H. Tumpuannya adalah pada
dua pendekatan yang bersifat sirkuler, yaitu pendekatan
dekonstruktif (tafkīk) dan rekonstruktif (i‘ādah al-binā’)
terhadap tradisi. Pendekatan dekonstruktif, artinya adalah
“mengambil jarak” secara epistemologis dari tradisi (fashl
al-qāri’ ‘an al-maqrū’), sehingga pembaca bisa secara
obyektif mendekati dan menyingkap kebekuan ragam
postulat dan beban ideologis yang selama ini membebani
tradisi. Pendekatan rekonstruktif, artinya adalah “bertaut
kembali” dengan tradisi (washl al-qāri’ bi al-maqrū’),
sehingga pembaca bisa melakukan “pembaruan dari
dalam” (tajdīd min al-dākhil), agar “tradisi bisa relevan
8
Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, al-Turāts wa al-Hadātsah: Dirāsāt
wa Munāqasyāt, ctk. I (Beirut: Markaz al-Qihdah al-‘Arabiyyah, 1991),
hlm. 49-50 dan 60.

10
untuk konteks masanya sekaligus juga relevan untuk
konteks masa kini”.9

(4)
Demikianlah, tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi
pesantren saat ini tengah berada di persimpangan. Ragam
nilai luhur dan falsafah hidup yang selama ini dilestarikan
secara turun-temurun oleh dunia pesantren tengah
menghadapi tantangan berat, yakni globalisasi informasi
yang berdampak pada perubahan tatanan sosial-budaya
yang begitu cepat dan kompleks. Jika tidak segera
berbenah diri secara mendasar, termasuk pada tataran
epistemologis, maka tradisi pesantren dikhawatirkan akan
sekedar menjadi “kenangan sejarah” (the occurred past) bagi
generasi mendatang. Oleh karena itu, dunia pesantren
tidak punya pilihan lagi, selain mereinventarisasi,
merevitalisasi, dan mereaktualisasi tradisinya agar bisa
“relevan untuk konteks masanya sekaligus juga relevan
untuk konteks masa kini dan mendatang”.

Malang, 1 Oktober 2020.

9
Idem, Nahn wa al-Turāts: Qirā’ah Mu‘āshirah fī Turātsinā al-
Falsafī, ctk. VI (Beirut: Markaz al-Qihdah al-‘Arabiyyah, 1993), hlm. 21-
25.

11
-Kata Pengantar-
Abdurrahman
Direktur Pascasarjana Al-Qolam Malang
Menilik telusur sejarah Pesantren, suatu lembaga
pendidikan Agama Islam di Nusantara, menyadarkan
banyak kalangan bahwa Pesantren adalah lembaga
yang yang memiliki tradisi kuat, agung nan luhur.
Bahkan sesungguhnya budaya dan tradisi agung
Nusantara saat ini justru lahir dari rahim Pesantren.
Martin Van Bruinessen dalam Pesantren and Kitab
Kuning (1994), pernah memastikan bahwa Pesantren
tidak pernah ada sebelum abad 18 M. pesantren tertua
di tanah Jawa adalah Pesantren Tegalsari yang
didirikan pada tahun 1742 M. Jika pesantren yang
dimaksud adalah lembaga yang dibidani oleh Para
Wali Songo, maka Pesantren baru ada pada abad awal
abad 15 M. Ahmad Baso menceritakan sejarah
lahirnya Pesantren di masa-masa Wali Songo dalam
Sejarah Lahirnya Pesantren (2018). Sementara
Pemerhati Studi Pesantren kawakan Zamakhsyari
Dhofier justru merasa yakin bahwa Pesantren sudah
ada sejak abad 13 M. bersama dengan perkembangan
Kerajan Lamreh di Barus Sumatera Utara.

Menarik kesimpulan dari berbagai penelitian tentang


sejarah lahirnya Pesantren di Nusantara dan tolak
ukur analisis dalam penelitian-penelitian tersebut.
Terutama tentang kemungkinan-kemungkinan adanya
lembaga mirip Pesantren bersamaan dengan

12
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara,
seperti Kerajaan Pasai di Aceh pada masa Sultah
Malik Saleh di abad 13 sekitar tahun 1261 – 1289 M.
Sebab suatu kerajaan Islam yang sudah berkembang
dan berhasil dalam perluasan kerajaan, hampir dapat
dipastikan sudah ada lembaga-lembaga pendidikan
keagamaan yang memenuhi elemen-elemen sesuai
standar sebuah Pesantren. Kemungkinan yang lain
adalah adanya pengajaran Kitab-kitab berbahasa Arab
pada masyarakat setempat oleh para pendakwah.
Sebagaimana kasus Kitab yang ditulis oleh ayah
Sunan Ampel, Syekh Ibrahim Samarakandi yang
berjudul Usul nem Bis pada abad 15 M. Kitab tersebut
tidak akan populer di kalangan masyarakat Tuban
ketika itu jika tidak diajarkan kepada mereka. Kita
tahu bahwa pengajaran Kitab berbahasa Arab adalah
salah satu elemen Pesantren, yaitu pengajaran Kitab
Kuning. Lebih jauh dari itu, pada abad 12 M, pada
masa datangnya Syekh Syamsuddin Wasil dari Persia
di Kediri Jawa Timur. Di mana Syekh Wasil disinyalir
mengajarkan Kitab berbahasa Arab kepada Raja Kediri
tentang ilmu perbintangan, falaq dan ilmu nujum yang
berjudul Al-Muyassar. Dari pengajaran ini muncul
karya fenomenal bertajuk Serat Jangka Jayabhaya yang
ditulis oleh salah satu Raja Kediri dan muncul pada
abad 17 M yang dikenal sebagai Ramalan Jayabaya. Di
sisi lain, Prasasti Makam Syekh Wasil yang
bertuliskan gelar-gelar dan pengistilahan dalam
bahasa Arab yang hanya familier di kalangan

13
komunitas santri juga menjadi salah satu bukti bahwa
pada masa itu sudah ada lembaga-lembaga Pesantren.

Kemungkinan berikutnya adalah tradisi tulisan pegon


yang memunculkan tradisi terjemahan-terjemahan
dari Kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa-
bahasa Nusantara sejak Abad 16 M, ini menjadi
indikasi kuat bahwa sebelumnya sudah ada
pengajaran-pengajaran Kitab-kitab Kuning berbahasa
Arab yang sudah umum di kalangan masyarakat
Nusantara. Sebab tulisan pegon tentu adalah hasil
asimilasi budaya tulis yang pasti memakan waktu
berabad-abad. Sebelumnya harus melalui asimilasi
budaya asal dari tulisan-tulisan Arab tersebut. Hal ini
menuntut adanya lembaga-lembaga khusus yang
mengajarkannya secara riil kepada masyarakan
Nusantara. Kemungkinan dari sisi kelembagaan juga
dapat terindikasikan dari nama “Pesantren” itu
sendiri. Nama itu berasal dari kata Santri yang
berawalan pe dan berakhiran an, “pe-santri-an”.
bentuk kata ini menunjuk pada suatu lembaga di
mana santri belajar Kitab Agama. Sebab kata Santri
berasal dari kata “Shastri” yang bermakna Ahli Kitab
Suci. Poinnya di sini adalah lembaga sebagai tempat
pengajaran Agama. Pesantren adalah asimilasi atau
bahkan islamisasi dari lembaga pengajaran Agama
Hindu pada masa Kerajaan Majapahit yang saat itu
disebut sebagai Mandala. Yang kemudian diislamkan
oleh Wali Songo. Artinya secara kelembagaan,
Pesantren merupakan pengembangan dari Mandala

14
yang sudah difasilitasi oleh Kerajaan dengan Tanah
khusus yang disebut dengan tanah Sima. Dengan
begitu maka sejauh keberadaan Tanah Sima di
Nusantara yang digunakan oleh Komunitas Muslim,
khususnya di tanah Jawa, menjadi indikasi kuat
adanya pengajaran-pengajaran Agama Islam yang
dilembagakan secara resmi layaknya Pesantren. Bukti-
bukti mengenai Tesis ini bisa kita bandingkan dengan
beberapa fakta sejarah, misalnya Tanah Sima yang
diberikan kepada beberapa Tokoh Agama Muslim di
abad 14 M, sebut saja Syekh Maulana Malik Ibrahim di
Desa Gapuro Gersik dan Syekh Jumadil Kubro yang
bahkan mendapatkan tanah Sima di Trowulan, daerah
pusat Kerajaan Majapahit.

Dari sekian kemungkinan di atas, sejarah kemunculan


Pesantren dapat ditarik lebih jauh dari perkiraan yang
selama ini dikenal, bahwa Pesantren sesungguhnya
sudah ada di Nusantara sejak abad 10 M. Sebab tanah
sima dapat ditemui di beberapa tempat yang
disinyalir terdapat komunitas muslim, misalnya di
daerah Makam Fatimah b. Maimun di Leran Manyar
Gersik yang wafat pada tahun 1082 M. Keberadaan
komplek Makam yang dikeramatkan secara luas
menjadi indikasi adanya komunitas yang sudah
mapan di Leran itu. Nama Desa Leran sendiri berasal
dari asal-usul komunitas Muslim yang tinggal di sana,
yaitu dari Keluarga “Lor” yang datang dari Persia ke
Gersik pada awal abad 10, tepatnya tahun 912 M.
Suatu komunitas yang berkembang dengan fasilitas

15
tanah Sima dan pemakamannya dikramatkan luas,
adalah bukti bahwa komunitas itu harus memiliki
suatu lembaga pendidikan keagamaan yang resmi,
walaupun memang belum bernama Pesantren. Nama
Pesantren sepertinya baru populer pada abad 15 di
masa Wali Songo, yaitu saat pendirian Pesantren
Demak yang dibidani oleh Wali Songo, dan kemudian
berkembang menjadi Kesultanan.

Sekelumit kajian sejarah kemunculan Pesantren di


Nusatara sebagaimana digambarkan di atas, adalah
salah satu konsen studi di Pascasarjana Al-Qolam
Malang. Pascasarjana dengan Visi besar menjadi
Penyelenggara Program Pascasarjana Pengabdian
Transformatif berbasis Pesantren. selain kajian sejarah,
masih banyak sisi-sisi Pesantren yang sangat terbuka
untuk menjadi kajian serius. Pesantren yang
merupakan indegneus budaya dan tradisi luhur
masyarakat Nusantara, akan selalu penting untuk
dikaji segala aspek pembentuknya, yang kemudian
dapat ditarik menjadi konsep-konsep dan gagasan-
gagasan yang terbarukan dan akan selalu relevan
dengan budaya dan tradisi masyarakat Nusantara.
Terlebih beberapa tahun ini, sejak terbukanya secara
global informasi detail tentang komunitas Pesantren
dan Islam Nusantara, yang kemudian menjadi salah
satu tawaran segar bagi kehidupan yang lebih baik
masyarakat global. Islam Nusantara termasuk di
dalamnya komunitas Pesantren saat ini menjadi salah
satu konsep tradisi agung yang mendunia.

16
Sebagai lembaga Edukasi, Riset dan Pengabdian
tingkat lanjut yang baru saja dibentuk pada awal
tahun 2020, semenjak terbit SK Menteri Agama tentag
Ijin Operasional Program Magister Program Studi
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Institut Agama
Islam Al-Qolam Malang, Pascasarjana Al-Qolam
Malang telah menyiapkan beberapa program guna
mencapai Visi Besar sebagai lembaga Pengabdian
Transormatif khususnya konsen dalam Studi
Pesantren. Beberapa program yang dimaksud adalah
Pembentukan lembaga otonom “Pesantren Center”
yang ikut dibidani oleh NU, RMI dan ISNU. Pesantren
Center ini bergerak di bidang pendataan, kajian, studi,
pengembangan dan pemberdayaan Pesantren.
Lembaga ini diharapkan dapat menjadi pusat data,
studi dan pengembangan Pesantren terlengkap. Selain
itu, Pascasarjana merilis Jurnal Studi Pesantren yang
akan menjadi media publikasi hasil kajian dan
penelitian tentang Pesantren. Pada sisi Kurikulum,
terdapat Mata Kuliah wajib Studi Pesantren dan
Aswaja yang akan menjadi the first guide bagi
Mahasiswa untuk mengenal Pesantren.

Buku ini adalah bukti nyata dari keseriusan kajian


dalam Mata Kuliah Studi Pesantren dan Aswaja. Para
mahasiswa dari angkatan pertama pada Program
Studi Magister Pendidikan Agama Islam (PAI)
semester I Tahun Akademik 2019/2020 di bawah
bimbingan Dosen Pengampu pada Mata Kuliah di
maksud, yaitu Dr. Muhammad Husni, telah dapat

17
menghasilkan produk luar biasa ini bersama para
mahasiswanya. Buku ini telah berhasil
menerjemahkan kisi-kisi pada Mata Kuliah wajib
tersebut yang memang belum pernah dibuat Buku
Spesifiknya. Apresiasi yang tinggi berhak mereka
dapatkan atas penerbitan Buku ini yang diharapkan
menjadi salah satu motivasi positif untuk terus
produktif melahirkan karya-karya terutama dalam
bidang kajian sesuai Program Studi yang sedang
ditempuh. Akhirnya menjadi harapan semua pihak,
agar Buku ini tidak hanya menemukan tempatnya di
rak-rak perpustakaan dan toko buku, namun juga
menemukan tempatnya di hati para pemerhati Studi
Pesantren.

Malang, 11 Oktober 2020

18
-Selayang Pandang Transformasi
Keilmuan Pesantren-
A. Sekapur Sirih
Keberagaman yang berkembang di dunia adalah
wujud dari kondisi historis – substansial kitab suci, atau
wujud dari kondisi historis – kritis perkembangan kehidupan
manusia itu sendiri. Di mana ruang lingkup kehidupan yang
didominasi oleh prinsip serta kecenderungan-
kecenderungan, mengikutsertakan pola pikir dan pola sikap
untuk senantiasa bersikap kritis terhadap kemajuan
informasi dan kemajuan zaman itu sendiri. Pesantren dengan
segala aspek historisnya menjaga kearifan-kearifan lokal
sistem pendidikan khususnya dalam aspek kemanusiaan.
Penguatan iman dan pengejawantahan pengetahuan yang
bersifat sosial-kultur menjadi ruang utama sistem
pendidikannya.
Warisan-warisan pembelajaran di dalam pesantren
memiliki muatan moral intelektual, yang seharusnya
menjadi landasan pola sikap inklusif terhadap berbagai
keberagaman kehidupan beragama, sosial, dan budaya. Di
mana pesantren menjadi wadah dalam membentuk karakter
manusia yang juga mementingkan kemanusiaan sembari
mempelajari ketuhanan. Gus Dur pernah menyinggung
dalam salah satu tulisannya bahwa dalam kehidupan
beragama khususnya “masih jauh nian, jarak antara
formalitas kehidupan beragama dan kedalaman kehidupan
beragama, masih sangat lebar jurang antara religi dan

19
religiusitas, antara hidup beragama dan rasa
10
keberagamaan.”
Menghadapi berbagai hal yang memicu munculnya
problem kemanusiaan yang tidak jarang dikaitkan dengan
budaya, agama dan ras, maka pesantren diharapkan menjadi
filter dan solusi atas problem yang terjadi. Tidak terhitung
data persoalan sosial yang dikaitkan dengan budaya, agama,
dan ras. Dalam konteks kebebasan beragama yang –
seharusnya hak setiap manusia tercatat ada 15 kasus sejak
tahun 2018. Pastinya sampai hari ini sudah melebihi angka
tersebut dari beberapa tahun terakhir.
Ada sekitar 25.938 jumlah pesantren di Indoneisa, dan
santri yang tercatat sekitar 3.962.700 (data ini terangkum di
lama pangkalan data pondok pesantren Kementerian agama
RI) sedang jumlah pesantren atau santri yang tidak terdaftar
pun masih ada dan banyak jumlahnya. Dengan kata lain
ketika kurikulum pesantren direformulasi dengan adanya
materi toleransi antar agama, kontekstualisasi ajaran agama
dengan budaya lokal (hal ini diwakili oleh Wali Songo)
kemudian sikap kritis atas isu-isu pecah belah antar manusia
karena alasan agama, dengan kata lain adanya kurikulum
yang menekankan humanisme sebagai wujud dari kontrak
sosial kehidupan manusia, khususnya di Indonesai yang
sangat beragam.
Salah satu khazanah islam indonesia adalah santri.
Dalam buku Peradaban Sarung, di sebut sebagai “Kaum
sarungan.”11 Santri juga berperan aktif dalam pendidikan
agama dan pembentukan karakter, melestarikan kebudayaan

https://islami.co/pelacur-dan-anjing-kiai-dan-burung/
10

11
Ach. Dhofir Zuhri, Peradaban Sarung (Jakarta: Quanta PT
Gramedia, 2018), 3.

20
dan tradisi, menggeluti sektor pertania, peternakan,
perekonomian mikro, kecil dan menengah, bahkan sektor
paling vital, yakni menjaga kerukunan umat beragama dan
kedaulatan NKRI.12 Sehingga pesantren benar-benar
menjadi satu komoditas kaderisasi para ulama’ terdahulu
untuk menjaga kerukunan umat, baik yang berbeda agama
pun di tubuh islam itu sendiri. Maka kemanusiaan adalah
satu moral intelektual yang harus dijaga dan dilestarikan
oleh setiap lembaga pendidikan, khususnya pesantren.
Wali Songo dan segala peran pentingnya dalam
menyebarkan islam di jawa tidak melulu pada urusan agama
yang lurus dan terkesan kaku. Islam yang dibawa membaur
dengan masyarakat setempat. Bahkan kontak sosial dalam
bidang ekonomipun tidak tertutup hanya di kalangan islam.
Melainkan dengan para saudagar dari berbagai negara,
dimana bukan agama yang menjadi landasan kerjasama
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan kerjasama antara wali
songo dan para raja saat itu. Karena sejak era wali songo,
pesantren dan kerajaan islam memang telah menjadi
kekuatan dwitunggal.13 Bukan hanya urusan penyebaran
islam, tetapi perihal melawan penjajah, membentuk tatanan
sosial-budaya.
Ilmu pengetahuan dan ajaran agama yang
dielaborasikan dengan konteks masyarakat akan menjadi
satu ruang filterisasi atas problem kemanusiaan yang
berkaitan dengan hak beragama, atau perbedaan budaya dan
ras. Ketika keluarga keraton Mataran memondokkan para
pangeran ke Ponorogo yakni kepada Kyai Kasan Besari

12
Ibid. Ach. Dhofir Zuhri, Peradaban Sarung , 4.
13
Muhammada Adib, Kritik Nalar Fikih NU (Malang: Kiri
Sufi, 2018), 150.

21
menjadi sesuatu yang umum saat itu, pun dengan alasan
untuk menjaga keseimbangan pola interaksi sosial-budaya
dan sosial-politik. Maka tidak heran ketika Ronggowarsito
atau Den Bagus Burhan yang pernah nyantri di sana juga
memiliki filter untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai karya sastra beliau yang
bermuatan filosofis, tauhid dan tasawuf. Seperti; wirid
hidayat jati, suluk saloka jiwa, suluk supanalaya, dan serat
paramayoga.14
Riclefs mencatat bahwa pesantren sebagai saluran
transmisi tradisi berpikir wali songo, itupun baru diterbitkan
oleh pemerintah kolonial belanda pada abad ke 19, pasca
perang jawa. Belanda mencatat ada sekitas 10.800 sekilah
islam (Pesantren) di jawa dan madura dengan lebih dari
272.000 santri.15 Dengan kata lain ketika perjuangan
berlandaskan perdamaian dan kerukunan maka bukan agama
yang menjadi tolak ukur atas perjuangan tersebut.
Melainkan Humanisme atau kemanusiaan itu sendiri.
Ketika politik praktis menjadi satu alasan bahwa untuk
menggenggam puncak kekuasaan perlu adanya dinamika
sosial, maka bukan lantas agama atau perbedaan yang
bersifat vital kemudian dijadikan bentuk dinamika sosial.
Kita tahu bahwa politisasi agama tidak hanya terjadi di
zaman ini, melainkan sejak dulu. Lantas pendidikan agama
yang sejak dulu menjadi sesuatu yang sangat penting bagi
kaum muslim, kemudian dilanjutkan oleh generasi penerus,
kemudian dibentuk dinamika konflik beda pendapat, beda
mazhab, beda imam, beda budaya dan lain sebagainya.

14
Simuh, Mistik Islam ( Jakarta: Bentang Pustaka, 1995), 34-
65.
15
Ricklefs, Mengislamkan Jawa (Jakarta: Serambi, 2013), 47.

22
padahal mengapa pengetahuan agama menjadi satu hal yang
sangat penting adalah karena islam pernah berjasa besar
dalam perkembangan budaya dan sosial, hal ini diawali dari
sikap Nabi Muhammad yang mengajarkan toleransi
beragama dan berbudaya dalam piagam madinah.16
Santri tersusun atas Lima huruf hijaiyah, yakni; Sin,
Nun, Ta’, Ra’ dan Ya’. Kesemuanya memiliki landasa
filosofisnya. Sin berarti Salik ilal-akhirah, yang berarti
menempuh jalan sepiritual menuju akhirat. Nun berarti Na-
ib ‘anil- Masayikh yang berarti penerus para guru. Ta’
berarti Tarik ‘anil-Ma’ashi, yang berarti meninggalkan
maksiat atau melakukan penyucian rohani dengan cara
menjalani hidup sederhana dan menjauhi dosa-dosa. Ra’
akronim dari Raghib ilal-Khayr, yang berarti selalu
menghasrati kebaikan. Ya’ berarti Yarjus-Salamah, yang
berarti optimis terhadap keselamatan, dengan filosofi bahwa
santri optimis menjalani hidup dan mengharap kesalamatan
di dunia pun lebih-lebih di akhirat.17
Dari filosofi di atas terkuak sedikit gambaran bahwa
pesantren membuat satu prinsip pendidikan dari hasil
elaborasi ketiga pilar moral – intelektual, yaitu; Filsafat
sebagai sarana berpikir bijaksana, Ilmu kalam wujud dari
makhluk yang penuh dengan kekurangan namun bekerja
keras untuk lebih mengenal Tuhan dan benar-benar
mencintai-Nya, hal ini adalah sikap timbal balik dari kalam
Tuhan yang berbunyi wa karamna bani adam bahwa telah
Aku muliakan keturunan Adam, kemudian Tasawuf adalah
kunci untuk penyucian diri dari gemerlap glamorisasi dunia,

16
Ahmad Sjalaby, Sedjarah Pendidikan Islam (Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang, 1973), 108
17
Ach. Dhofir Zuhri, Peradaban Sarung, Op.cit., 5-7.

23
kemudian membantuk akal budhi agar lebih memntingkan
moralitas intelektual ketimbang saling merasa paling benar
dan paling baik.
Sehingga elaborasi ini memiliki harapan bahwa agar
santri lebih mengedepankan aspek moralitas dalam interaksi
sesama manusia, pun antar agama, budaya dan ras. Agar
tidak cenderung cekak nalar, difisit ilmu pengetahuan, difisit
moral dan sumbu pendek, dalam melihat kehidupan sosial
masyarakat. Karena yang terpenting adalah ketika menjadi
santri harus bersikap santai dan wajar, mengapa? Karena
bersikap wajar adalah ciri orang terpelajar dan gegabah
adalah perilaku orang-orang kalah.18

B. Elaborasi Pengetahuan
Elaborasi pengetahuan adalah fokus yang mendalam
atas pengetahuan-pengetahuan yang menjadi bagian dari
kurikulum pendidikan, dalam hal ini di pesantren. Jika
tujuan pendidikan nasional dalam pasal 3 No. 20 Tahun
2003 UU bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut Kyai Achmad Dlofier Zuhry:
“Filsafat adalah induk dari segala
pengetahuan, fikih adalah produk filsafat.
Istinbath atau penentuan hukumnya

18
Ach. Dhofir Zuhri, Peradaban Sarung, Op.cit., 148.

24
menggunakan filsafat. Begitu juga sain dan
teknologi, begitu perkembangan seni dan
arsitektur adalah produk dari adanya filsafat.
Karena filsafat adalah proses penempaan akal
sehat.” Kemudian ia sambung, “jika menolak
filsafat, maka menolak akal sehat.”
Sedangkan tasawuf dan ilmu kalam adalah ruh dari
proses filsafat parenial, dimana pesannya adalah bahwa
philosophia perennis terpusat pada doktrin keesaan (tauhid),
yang kemudian memiliki pesan esensial ataupun pusat
semua agama.19 Sehingga kurikulum yang dibangun adalah
penanaman konsep kesadaran akan akal sehat yang diwakili
oleh firman Tuhan dalam Qs. Attin. “Bahwa benar-benar
telah Kami ciptakan manusia dengan potensi yang luar
biasa.” Kemudian dikomparasikan dengan pengetahuan
akan berbagai sifat Tuhan yang wajib diketahui, pun sifat-
sifat mustahil dan jaizNya. Kemudian proses penanaman
hidup sederhana lebih mementingkan proses riyadah
batiniah, sehingga aplikasinya adalah moralitas secara
vertikal maupun horizontal, atau hablum minallah dan
habblumminannas.
Seperti pesan Kyai Wahid bahwa:
“Usaha menyempurnakan pendidikan tinggi
bagi umat islam indonesia sebagai golongan
terbesar dari bangsa indonesia (perlu
disegerakan) agar tercegahlah suatu bahaya
yang hingga kini mengancam, yaitu bahaya
terbelahnya generasi bangsa kita yang akan
datang menjadi dua. Segala kemungkinan
yang gambarannya tidak menyenangkan
19
Muhammad Sabri, Keberagamaan Yang Saling Menyapa
Perspektif Filsafat Parennial (Yogyakarta: ITTAQA Press,1999),
26.

25
sebagai yang dipaparkan tadi, kelak akan
terjadi apabila pemikir-pemikir bangsa
indonesia tiada memperhatikannya serta
berusaha mencegahnya. Betul kini belum
timbul.”20
Konsep dasar elaborasi ini seperti halnya filsafat
parennial, di mana dalam konteks Taoisme dikenal dengan
istilah tao yang berarti jalan. Ia tidak lain adalah asas dari
kehidupan manusia yang harus diikuti jika ia ingin natural
sebagai manusia.21 pendek kata manusia yang memahami
manusia lain. Dengan sederhana disebut saling menghargai
atau moral intelektual.
Agama dan filsafat adalah proses menuju
pengetahuan suci, di samping berorientasi ketuhanan, ia
juga berorientasi kemanusiaan. Karena itu semenjak
permulaan sejarah kehidupan manusia, proses ekspresi
kebenaran itu bertumpu pada tradisi moralistik, melalui
intuisi intelektual dan kontemplasi “filosofis.”22
Dengan berbagai konflik kemanusiaan, agama dan ras
maka perlu adanya kesadaran yang dibangun oleh
pengetahuan-pengetahuan filosofis, sederhana, dan – tanpa
memandang manusia lain berbeda dalam konteks moral,
ataupun intelektual. Dengan kata lain ada proses hikmah
atau kebijaksanaan yang perlu dibangun. Seperti krisis

20
Abu Bakar, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim (Jakarta,
1957), 813. Lihat juga Zamaksary Dhofir, Tradisi Pesantren
(Jakarta: LP3ES, 2011), 162.
21
Muhammad Sabri, Keberagamaan Yang Saling Menyapa
Perspektif Filsafat Parennial, Loc.cit., 30.
22
Nurchalis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan,
Membangun Tradisi Dan Versi Baru Islam Indonesia. (Jakarta:
Paramadina, 1995), 134-135

26
moral yang pernah menjadi pembahasan menarik di
berbagai jurnal pendidikan di beberapa tahun terahir.
Dalam jurnal miskat vol.03 tahun 2018, ummah
karimah membahas pesantren dan relevansi tujuan
pendidikan nasional mebahas keterkaitan antar pola sikap
dan pola intelektual pesantren yang dibangun dengan tujuan
pendidikan nasional23, namun bebagai fakta yang terjadi di
bawah sangat berbeda secara praktiknya. Banyak pesantren
yang “kurang” begitu dilirik bahkan tidak diperhatikan
kinerja sosial intelektualnya. Berbagai ide kontruksional
“kurang” begitu diminati. Padahal pesantren memiliki daya
saing dalam perkembangan manusia, baik secara mental,
intelektual, moral dan religiusitas.
Sehingga elaborasi filsafat, ilmu kalam dan taswauf
berupaya membangun kesadaran untuk saling menghargai
dan menghormai satu sama lain, dalam kontek perbedaan
budaya, agama dan ras. Pertama, membangun mental santri
untuk selalu berpikir jernih dan obyektif. Kedua,
membangun intelektual agar mampu meneyesuaikan dengan
kemajuan kehidupan. Ketiga, membentik moral yang
terpacu dari sikap religiusitas, sehingga kehidupan
beragama tidak terkesan doktrinal melainkan kehidupan
yang rahmatan lil alamin.

C. Kerukunan Umat beragama sebagai misi dari


kurikulum pendidikan pesantren
Ada berbagai jenis persahabatan yang dibahas oleh
Aristoteles dalam maha karyanya “Nichomachean etic.”
Salah satunya adalah jenis persahabatan di antara mereka

23
Jurnal pendidikan, miskat vol.03, ummah karimah,
pesantren dan relevansinya dengan tujuan pendidikan nasional.

27
yang berbeda, persahabatan itu dilandasi oleh rasa timbal
balik antara yang satu ke yang lainnya, bukan hanya yang
melibatkan kesetaraan. Pemahaman arti “setara” tidak
memiliki arti yang sama, kesetaraab utamanya proporsional
bagi kebaikan. Dengan kata lain persahabatan dibangun atas
dasar sama-sama manusia.24
Untuk menemukan, maka kita harus mencari. Begitu
juga perihal titik temu satu perbedaan, dalam kontek agama
yang beragam. Sehingga subjeknya yaitu manusia perlu
melihat pada cakupan atau struktur tradisi kemanusiaan itu
sendiri. karena sejauh pandangan saat ini, hanya pada
pemahaman atau jastifikasi bahwa tradisi adalah
pengetahuan sakral (sacred kenowledge).
Tradisi kemanusiaan meliputi berbagai level yang
tidak tunggal. Yang perlu dicatat adalah ketika tradisi
kemanusiaan ini ada dalam konteks agama pada kebutuhan
spiritual dan intelektual. Tujuannya adalah mencari Tuhan
atau jalan lurus menuju akhirat.25 Di mana memahami
pesan-pesan langit sebagai pengatur kehidupan manusia dan
ranahnya adalah kehidupan sosial.
Kerukunan umat beragama di indonesia dapat dilihat
dari aspek sosio-kultur dan sosio-historis. Di mana
lingkungan yang terbentuk oleh kultur dan aspek historis
membentuk karakter komunikasi keberagamaan. Hal ini
disinggung oleh Nurcholis Majid bahwa, “Membahas
Budaya Indonesia kita bakal bertemu dengan kompleksitas
permasalahannya.” Komplekitas ini tidak hanya dilihat dari
pemahaman agama secara eksoterik maupun esoteris.

24
Aristoteles, Nicomachean etichs, 218-219.
25
Muhammad Sabri, Keberagamaan Yang Saling Menyapa
Perspektif Filsafat Parennial, Op.cit., 35.

28
Melainkan aspek lingkungan yang membentuknya. Karena
permasalahannya adalah mungkinkah konsepsi teologis
menjawaban atas kompleksitas masalah umat bergama?
Karena tantangan yang sejak dulu bahkan hingga sekarang
adalah bagaimana merumuskan langkah konstruks untuk
mendamaikan berbagai bentuk eksoterisme keagamaan antar
manusia dengan mengatasnamakan kebenaran ilahi.26
Agama ternyata memiliki sejumlah wajah, di mana
agama saat ini tidak hanya dipahami sebagai persoalan yang
berkaitan dengan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo,
pedoman hidup dan lain sebagainya. Namun ahama juga
berkaitan erat dengan persoalan historis kultural yang juga
merupakan keniscayaan manusiawi.27 Berbagai aspek
kepentingan masyarakat yang dibangun dengan atas nama
agama ternyata cenderung merumitkan sosial
kemasyarakatan. Ketika landasan kemanusiaan sebagai
pondasi bangunan kehidupan, maka agama adalah credo
yang bersifat personal.
Oleh karenanya filsafat adalah ruang diskursif yang
membentuk pola pikir dan pola sikap yang bijaksana.
Sedangkan pengetahuan tentang tuhan adalah proses secara
personal untuk sampai menuju kepada pencarian Tuhan.
Begitu juga dengan tasawuf yang mengatur akal budhi untuk
selalu bersikap sederhana dan arif dalam komunikasi sosial
maupun komunikasi keberagamaan.
26
Muhammad Sabri, Keberagamaan Yang Saling Menyapa
Perspektif Filsafat Parennial, Op.cit.,145.
27
Amin Abdullah, pentingnya filsafat dalam memecahkan
persoalan-persoalan keagamaan. Makalah pada klub kajian agama
paramadina, seri ke 107 tahun x/1996,p.1.Lihat di Muhammad
Sabri, Keberagamaan Yang Saling Menyapa Perspektif Filsafat
Parennial (Yogyakarta: ITTAQA Press,1999), 147.

29
Kompleksitas kerukunan umat beragama tidak hanya
dipandang dari aspek kepentingan “agama” itu sendiri,
melainkan juga aspek personal pemeluk, bisa juga aspek
komunal. Sehingga pesantren adalah ruang yang tepat untuk
membantuk pola sikap dan pola pikir yang bijaksana.
Sehingga akal budhi yang terbentuk adalah meta etika
intelektual untuk membangun komunikasi keberagaman,
serta menumbuhkan rasa keberagamaan tanpa
mempermasalahkan kebenaran satu sama lain. Tumpuan
utama pendidikan pesantren adalah etika, sehingga
kurikulum yang disusun adalah rancangan atas pembentukan
etika tersebut.

D. Reiventing Epistemologi Keilmuan pesantren


Konsep formasi nalar Abid Aljabiri28yang diuraikan
dalam kitabnya yang terkenal, takwinu „aqlil Araby.
Menurut Aljabiri, epistemologi pengetahuan yang
berkembang di Arab terbagi dalam tiga pola: bayani,
burhani, irfani. Bayani dipahami sebagai pemerolehan
pengetahuan melalui teks, baik itu kitab suci maupun
syair-syair jahili. Burhani dipahami sebagai pemerolehan
pengetahuan melalui proses berpikir (rasionalisme).
Adapun Irfani dipahami sebagai pemerolehan pengetahuan
melalui perenungan (intuisi).
Berdasarkan pada tradisi yang mengitari santri,
epistemologi pengetahuan yang berekembang memiliki
empat pola, yakni bayani, burhani, irfani, dan hikmah.
Model epistemologi bayani terlihat dari tradisi kitab

28
Abbas Nurlaelah, “AL-JABIRI DAN KRITIK NALAR
ARAB (Sebuah Reformasi Pemikiran Islam),” Aqidah- Ta: Jurnal
Ilmu Aqidah 1, no. 1 (2015): hlm: 163,

30
kuning yang akrab dengan dunia pesantren. Sementara
model burhani dan irfani terlihat pada tradisi bahtsul
masail dan tarekat. Adapun hikmah, merupakan model
pemerolehan pengetahuan santri secara mistis yang terlihat
pada konsep barokah.
Dalam tradisi filsafat islam, hikmah atau hikmah
almuta‟aliyah merupakan salah satu epistemologi yang
menekankan pada aspek keterbukaan secara mistik (kasyf).
Penggagas teori ini adalah Mulla Sadra, seorang filosof
Islam kenamaan. Dalam tulisan ini, isitilah hikmah penulis
gunakan untuk kepentingan analisis, sehingga tidak
mengikuti kerangka filosofis yang dikembangkan Shadra
dalam konsep alhikmah almuta‟aliyah. Secara teoritis
hikmah muta‟aliyah adalah konsep filsafat yang rumit
dimana rasionalitas, wahyu, intuisi dan teologi
digabungkan dalam sebuah kerangka epistemologis.29
Namun demikian, mengingat tujuan hikmah muata‟aliyah
adalah dalam rangka memperoleh pengetahuan (jika
ditinjau secara epistemologis), maka penggunaan kata
hikmah dalam konteks analisis ini sedikit menemukan
relevansinya.
Sebagaimana tradisi di pesantren tentang barokah
atau hikmah, penulis melihat hikmah sebagai salah satu
epistemologi yang berkembang di pesantren mengingat
aspek ini banyak ditemukan dalam tradisi santri di
pesantren. Berdasarkan pada beberapa data historis yang
penulis temukan dari berbagai pembicaraan dengan santri
maupun kiai, banyak dari santri yang memperoleh
pengetahuan mereka tanpa melewati proses belajar pada

29
Happy Saputra, “Konsep Epistemologi Mulla Shadra,”
Substantia 18, no. 2 (2016): hlm: 188-192

31
umumnya.
Salah satu usaha penerapan ilmu kepesantrenan adalah
ta’ḍim dan ukhuwah. Hal ini diterapkan oleh K.H. Yahya
Syabrowi (w.1987) yang bekerjasama dengan K.H. Oesman
Mansoer (w.1989) untuk mendirikan lembaga tinggi yang
kelak dikenal dengan IAI al-Qolam. Tentu semangat inilah
yang menjadi dasar berdirinya lembaga pendidikan tinggi.
Semangat ta’ḍim dan ukhuwah menjadi dasar mengapa
sampai hari ini IAI al-Qolam masih dikelola oleh komunitas
pesantren.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pesantren
adalah tradisi yang lekat dengan perguruan tinggi. Semangat
pengetahuan, pengabdian dan penelusuran adalah semangat
yang lahir secara ansih dari komunitas pesantren. sanad
misalnya, menjadi sangat penting ketika pengetahuan itu
perlu adanya konfirmasi atau tabayun. Tradisi pesantren
tentu tidak hanya bermuara pada sikap ta’ḍim dan ukhuwah
semata. Pengembangan pengetahuan, ijtihad, ijma’, dan
qiyas adalah produk dari tradisi keilmuan pesantren.
Bagi kyai, azaz ‘al-muhafadhoh ‘alā al-qadīm al-
shalih wa al-akhżu min jaded al-nāfi’. Menjaga tradisi lama
yang lebih baik dan menambah (rekonstruksi) ilmu
pengetahuan yang baru dan bermanfaat. Hal ini jelas sebagai
wujud bahwa kyai menatap masa depan lebih jelas dengan
dasar kearifan tradisi.30
Transformasi sosial dan budaya yang dilakukan
pesantren, pada proses berikutnya melahirkan dampak-
dampak baru dan salah satunya reorientasi atas perjumpaan
dengan perkembangan masyarakat. Bentuk reorientasi itu di
antaranya, karena pesantren kemudian menjadi legitimasi
30
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren.h.269-270

32
sosial. Bagian dari fungsi dan tujuan tersebut digambarkan
oleh Abdurrahman Wahid, di antaranya pesantren memiliki
peran mengajarkan keagamaan, yaitu nilai dasar dan unsur-
unsur ritual Islam. Dan pesantren sebagai lembaga sosial
budaya, artinya fungsi dan perannya ditujukan pada
pembentukan masyarakat yang ideal. Serta fungsi pesantren
sebagai kekuatan sosial, politik dalam hal ini pesantren
sebagai sumber atau tindakan politik, akan tetapi lebih
diarahkan pada penciptaan kondisi moral yang akan selalu
melakukan kontrol dalam kehidupan sosial politik.31
Corak pemikiran pesantren tergambar pada peran
Aswaja itu sendiri. Aswaja sebagai nalar keagamaan
pesantren yang meliputi empat poin seperti yang
diungkapkan di sub bab sebelumnya. Karena jika mengacu
kepada apa yang disampaikan oleh Gus Dur terkait
pesantren juga memiliki peran sebagai pembentukan
masyarakat dalam hal ini gerak sosial dan kebudayaan,
maka sejalan dengan apa yang didapat dari penelitiannya
Zamkhsari Dhofir bahwa kyai juga memiliki pandangan
yang sangat panjang terhadap masa depan dan sangat
fleksibel untuk dipelajari di masa sekarang.32

E. Pesantren sebagai gerak intelektual dan gerak sosial

Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang


pada umumnya menyatakan tujuan pendidikan dengan jelas,
misalnya dirumuskan dalam anggaran dasar, maka
pesantren, terutama pesantren-pesantren lama pada

31
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta:
Darma Bhakti, tt), h. 33.
32
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 102-103

33
umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan
tujuan pendidikannya.
Hal ini terbawa oleh sifat kesederhanaan pesantren
yang sesuai dengan motivasi berdirinya, dimana kyainya
mengajar dan santrinya belajar, atas dasar untuk ibadah dan
tidak pernah di hubungkan dengan tujuan tertentu dalam
lapanganpenghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu
dalam hirarki sosial maupun ekonomi. Karena itu, untuk
mengetahui tujuan dari pada pendidikan yang
diselenggarakan oleh pesantren, maka jalan yang harus
ditempuh adalah dengan pemahaman terhadap fungsi yang
dilaksanakan dan dikembangkan oleh pesantren itu sendiri
baik hubungannya dengan santri maupun dengan
masyarakat sekitarnya.33
Hal demikian juga seperti yang pernah dilakukan
oleh para wali di Jawa dalam merintis suatu lembaga
pendidikan Islam, misalnya Syeih Maulana Malik Ibrahim
yang dianggap sebagai bapak pendiri pondok pesantren,
sunan Bonang atau juga sunan Giri. Yaitu mereka
mendirikan pesantren bertujuan lembaga yang dipergunakan
untuk menyebarkan agama dan tempat memperlajari agama
Islam.34
Tujuan dan fungsi pesantren sebagai lembaga
penyebaran agama Islam adalah, agar di tempat tersebut dan
sekitar dapat dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga yang
sebelumnya tidak atau belum pernah menerima agama Islam
dapat berubah menerimanya bahkan menjadi pemeluk-
pemeluk agama Islam yang taat. Sedangkan pesantren
33
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren (Jakarta:
Darma Bhakti, tt), 33.
34
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia
(Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), 4.

34
sebagai tempat mempelajari agama Islam adalah, karena
memang aktifitas yang pertama dan utama dari sebuah
pesantren diperuntukkan mempelajari dan mendalami ilmu
pengetahuan agama Islam. Dan fungsi-fungsi tersebut
hampir mampu mempengaruhi pada kebudayaan sekitarnya,
yaitu pemeluk Islam yang teguh bahkan banyak melahirkan
ulama yang memiliki wawasan keislaman yang tangguh.
Dari pada transformasi sosial dan budaya yang dilakukan
pesantren, pada proses berikutnya melahirkan dampak-
dampak baru dan salah satunya reorientasi yang semakin
kompleks dari seluruh perkembangan masyarakat. Bentuk
reorientasi itu diantaranya, karena pesantren kemudian
menjadi legitimasi sosial. Bagian dari reorientasi dari fungsi
dan tujuan tersebut digambarkan oleh Abdurrahman Wahid
ialah, di antaranya pesantren memiliki peran mengajarkan
keagamaan, yaitu nilai dasar dan unsur-unsur ritual Islam.
Dan pesantren sebagai lembaga sosial budaya, artinya fungsi
dan perannya ditujukan pada pembentukan masyarakat yang
ideal. Serta fungsi pesantren sebagai kekuatan sosial, politik
dalam hal ini pesantren sebagai sumber atau tindakan
politik, akan tetapi lebih diarahkan pada penciptaan kondisi
moral yang akan selalu melakukan kontrol dalam kehidupan
sosial politik.35
Apapun yang terjadi dalam dunia pesantren,
termasuk sigmentasi fungsi dan tujuannya, sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan adalah, bahwa hubunganhubangan
dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pesantren,
karena adanya fenomena substansial dan mekanistik antara
kyai, santri, metode dan kitab kuning sekaligus hubungan
metodologisnya.
35
Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, 8.

35
Sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah
sebuah pranata yang muncul dari agama dan tradisi islam.
Secara khusus Nurcholis Madjid, menjelaskan bahwa akar
kultural dari sistem nilai yang dikembangkan oleh pesantren
ialah ahlussunah wal jama’ah.36 Di mana, jika dibahas lebih
jauh akarakar kultural ini akan membentuk beberapa
segmentasi pemikiran pesantren yang mengarah pada watak-
watak ideologis pemahamannya, yang paling Nampak
adalah konteks intelektualistasnya terbentuk melalui
“ideologi”pemikiran, misalnya dalam fiqh – lebih
didominasi oleh ajaran syafi’iyah· walaupun biasanya
pesantren mengabsahkan madzhab arbain, begitu juga dalam
pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu
Hasan al-Ash’ary dan juga al-Ghazali. 37 Dari hal yang
demikian pula, pola rumusan kurikulum serta kitab-kitab
yang dipakai menggunakan legalitas ahlu sunnah wal
jama’ah tersebut (madzhab Sunni).
Secara lokalistik faham sentralisasi pesantren yang
mengarah pada pembentukan pemikiran yang terideologisasi
tersebut, mempengaruhi pula pola sentralisasi sistem yang
berkembang dalam pesantren. Dalam dunia pesantren
legalitas tertinggi adalah dimiliki oleh Kyai, di mana Kyai
disamping sebagai pemimpin dalam pesantren, juga
termasuk figure yang mengarahkan orientasi kultural dan
tradisi keilmuan dari tiap-tiap pesantren. Keunikan yang
terjadi dalam pesantren demikian itu, menjadi bagian tradisi
yang perlu dikembangkan, karena dari masing-masing

36
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina,
1997), 31
37
Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina,
1997), 31-32

36
memiliki efektifitas untuk melakukan mobilisasi kultural
dan komponen-komponen pendidikannya.38
Akhirnya, Abdurrahman Wahid, menggarisbawahi
bahwa pranata nilai yang berkembang dalam pesantren
adalah berkaitan dengan visi untuk mencapai penerimaan di
sisi Allah di hari kelak menempati kedudukan terpenting,
visi itu berkaitan dengan terminology keihlasan, ketulusan
dalam menerima, memberikan dan melakukan sesuatu
diantara makhluk. Hal demikian itulah yang disebut dengan
orientasi kearah kehidupan akherat (pandangan hidup
ukhrawi).39 Bentuk lain dari pandangan hidup tersebut
adalah kesediaan tulus menerima apa saja kadar yang
diberikan kehidupan, walaupun dengan materi yang terbatas,
akan tetapi yang terpenting adalah terpuaskan oleh
kenikmatan rohaniah yang sangat eskatologi (keakheratan).
Maka dari hal demikian pranata nilai ini memiliki makna
positif, ialah kemampuan penerimaan perubahan-perubahan
status dengan mudah serta flesibilitas santri dengan
melakukan kemandirian hidup.
Maka terminoogi dalam pendidikan pesantren adalah
lebih menekankan sisi kehidupan sosial, etis, moralitas,
spiritualitas dan pranata-pranata antropologi pun sosiologi
yang lain. Sehingga kehidupan pesantren mengarah kepada
keseimbangan dunia dan akhirat. Intelektualisme dan
spiritualisme menjadi penopang kuat dalam
mengembangkan intelektualitas santri. Pun pendidikan
secara global.
Pesantren tidak hanya bisa diartikan atau
dipusatjustifikasikan ke dalam ruang lingkup keilmuan

38
Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, 9
39
Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, 11

37
semata. Karena gerak sosial yang berakar dari pesantren
adalah sebuah keniscayaan. Bahkan sejarah membuktikan
dengan adanya perjuangan pesantren dalam
menyejahterakan bangsa, dan memerdekakan bangsa. Hal
ini terangkum dalam perjuangan kebangsaan kita.
Prinsip ‘’memanusiakan manusia’’. Pesantren
berbeda satu dengan yang lain, ya; dan pesantren beragama,
ya. Namun keberagaman yang ada adalah sebagai akibat
dari upayanya membangun manusia yang bermanfaat bagi
lingkungannya. Oleh karena itu kemudian, dalam
konteksInstitusi pendidikan pesantren menjadi lembaga
pendidikan yang paling tangguh dan memiliki kemampuan
bertahan serta memperbaiki dirinya (revival ability) sampai
saat ini.
Diakui atau tidak, pesantren dengan berbagai bentuk
dan variasi proses pembelajarannya, merupakan bagian dari
peradaban bangsa yang telah melekat kuat dalam sejarah
bangsa. Secara historis, peran multifungsi pesantren di
Indonesia sudah diketahui sejak era Walisongo dalam
penyebaran Agama Islam, dalam perang melawan penjajah
di era kolonialisme, hingga menjadi penyumbang pemikiran
konstruktif dalam membangun bangsa di era globalisasi.
Keunggulan pesantren terletak pada prinsip ‘’memanusiakan
manusia’’ dalam proses pembelajarannya. Mengingat, pada
saat ini proses pembelajaran di sekolah dan satuan
pendidikan formal lainnya sudah banyak bergeser dari
tujuan awal, dimana pendidikan formal cenderung lebih
berorientasi kepada hal-hal yang bersifat materi dan
pencapaian nilai akademik semata, serta kurangnya unsur
keteladanan guru. Sebaliknya, pesantren adalah pusat
keteladanan dari seorang kyai kepada santrinya yang saling

38
berinteraksi 24 jam. Keunggulan lainnya pada perasaan
kebersamaan, yang meliputi sikap tolongmenolong,
kesetiakawanan, dan persaudaraan sesama santri. Dari sisi
pembinaan karakter individual, pesantren mengajarkan sikap
hemat dan hidup sederhana yang jauh dari sifat konsumtif
masyarakat perkotaan.
Dengan demikian, pesantren sebagai institusi
pendidikan milik masyarakat, sangat potensial untuk
dkembangkan menjadi pusat pengembangan sumber daya
manusia (SDM) menuju terwujudnya kecerdasan dan
kesejahteraan bangsa. Namun demikian, kenyataan
menunjukkan bahwa sejak zaman penjajahan sampai
sekarang, pesantren bukan merupakan institusi pendidikan
yang popular dibandingkan dengan sekolah formal.
Pesantren juga memiliki pola yang berbeda dalam mendidik
dengan orang-orang kota. Semangat kolektivitas di
pesantren sangat besar, sementara tidaklah demikian yang
terjadi dengan orang-orang kota atau di sekolah formal.
Bagaimana santri mandi, tidur dan makan, sangat berbeda
dengan kalangan orang-orang kota dididik. Di tahun 70-an
masih banyak pesantren yang memiliki blumbang untuk
mandi bareng para santri, atau kamar mandi yang terbuka
bagian atapnya sehingga siapa saja yang mandi terlihat
setengah badan ke atasnya.
Umumnya para santri juga tidur bareng di kamar-
kamar atau serambi pesantren, dengan jumlah yang cukup
berjejalan. Soal makan juga masih banyak pesantren yang
santrinya masak sendiri. Beberapa di antaranya, bahkan
masih ada yang makan bareng di sebuah talam (baki) besar
dengan lauk pauk seadanya. Tujuan pendidikan di pesantren
tidaklah semata-mata untuk memperkaya pikiran para santri

39
dengan penjelasan-penjelasan, akan tetapi pendidikan
dilakukan adalah rangka meningkatkan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang
jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup
sederhana dan bersih hati.
Dari cita-cita pendidikan pesantren adalah bagaiama
seorang santri mampu hidup mandiri dan tidak
menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada
Tuhan. Apa yang dilakukan oleh para kyai kemudian selalu
berusha menaruh perhatian dan mengembangkan watak
pendidikan individual dalam mana para kyai berusaha
mendidk para santrinya sesuai dengan kemampuan dan
keterbatasan dirinya. Agen yang memberdayakan
masyarakat. Dalam perjalan sejarah pesantren di Indonesia,
memang da’i yang kebanyakan para kyai, pada awalnya
para da’i itu menjadi cultural broker atau makelar budaya.
Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut, Hiroko
Horikoshi memberi penegasan bahwa peran kyai sekaligus
sebagai da’i tidak sekadar sebagai makelar budaya, tetapi
sebagai kekuatan perantara (intermediary forces), sekaligus
sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan
nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat
(teori palang pintu dalam komunikasi massa). Fungsi
mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi
titiktitik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem
lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering
bertindak sebagai penyanggga atau penengah antara
kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga
terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang
diperlukan.

40
Tempat tepat untuk riset dan studi keislaman.
Pondok pesantren yang beragam dan unik ini membuat para
pengamat social, terutama pengmat luar negeri, memuji dan
sekaligus tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai
pondok pesantren dan kehidupan keberagamaan pada
umumnya. Prof. Schulze, Rektor Institute for Islamic and
Middle Eastern Studies (IIMES), Universitas Bern, Swiss,
Profesor Dr. Reinhard Schulze, yang disampaikan saat
berbicara dengan Dutabesar RI untuk Swiss dan
Keharyapatihan Liechtenstein, Djoko Susilo, memuji
masyarakat Indonesia yang dapat hidup berdampingan
dengan rukun dan damai, walaupun memiliki begitu banyak
perbedaan. Beliau usul agar Presiden Swiss, Madam Doris
Leuthard, mengunjungi pesantren di Jawa Timur ketika
berkunjung ke Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk
Muslim terbanyak di dunia berikut sejarah perkembangan
Islam yang begitu dinamis dan menarik, Indonesia menjadi
tempat yang tepat untuk melakukan riset dan studi
keislaman. Demikian penilaian Profesor Dr. Reinhard
Schulze. Adapun Prof. Schulze yang memandang Indonesia
sebagai partner yang tepat untuk mendiskusi berbagai tema
keislaman mengundang Djoko Susilo menjadi Dosen Tamu
di Institut yang dipimpinnya. Menanggapi undangan itu,
Djoko Susilo menyanggupi. “Saat ini (tahun 2010), di Swiss
terdapat 300.000 muslim, atau sekitar 4,6 persen dari jumlah
populasi Swiss. Sebagian besar muslim di Swiss berasal dari
Kosovo, Bosnia, Albania dan Turki”.
Kertarikan kepada pondok pesantren ini ternyata
tidak hanya dari kalangan akademisi seperti Prof. Schulze,
tetapi dari kalangan artis seperti Iwan Fals juga tidak sedikit.
Iwan Fals kunjungi Pondok Pesantren. Beberapa kalangan

41
masyarakat yang telah banyak merasakan, paling tidak
bersentuhan dengan kehidupan pesantren, melakukan
kunjungan rutin ke pesantren, paling tidak setahun sekali
yang biasanya bertepatan dengan hari raya. Namun beberapa
kalangan tidaklah demikian, sehingga berusaha mengetahui
dan mersakan bagaimana nikmatnya hidup dalam pesantren,
tidak terkecuali seorang artis seperti Iwan Fals. Selama
beberapa hari, Iwan Fals melakukan perjalanan ke kyai-
kyai, ziarah ke makam wali serta mengunjungi pesantren.
Pada saat melakukan kunjungan kepada kyai Muslim Imam
Puro, yang dikenal dengan sebutan Mbah Lim, seorang kyai
kharismatik di Klaten, Jawa Tengah, ia dipesan untuk
membersihkan “hama” RI (Republik Indonesia).
Beliau menepuk bahu Iwan berkalikali dan
kepalanya dibentur-benturkan ke kepala Iwan. “Meski saya
tidak paham dengan apa yang beliau lakukan, yang jelas di
pesantren dan di lingkungan kyai, saya merasa tenang dan
nyaman,” kata Iwan. Kondisi dan suasana pesantren yang
sederhana, bersahaja dan secara terus menerus memberikan
kontribusinya untuk pengembangan bangsa ini, pesantren
semakin banyak dikenal dan diminati oleh berbagai
kalangan untuk didatangi dan dikaji untuk pengembangan
diri sebagai diri pribadi, untuk pengembangan maysrakat
bahkan untuk pengembangan keilmuan khususnya dalam
ilmu sosial. Sungguh akan lebih menarik manakala, pondok
pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangnya ini
dapat dikembangkan sedemikian rupa guna menyongsong
masa depan bangsa dan ummat pada umumnya, karena
pesantren yang unik dan khas ini akan dapat tetap
memberikan sumbangan yang berarti, sudah barang tentu
dengan adanya pembenahan, pengembangan dan

42
penyempurnaan di sana sani sehingga pesantren dapat
mengukuti dan mendapingi setiap upaya pembangunan
bangsa dan ummat manusia pada umumnya.[]

43
-Ilmu dan Pendidikan Pesantren-

A. Latar Ilmu dan Pendidikan Pesantren

Kata “Ilmu” itu berasal dari Bahasa Arab ‘Alima,


Ya’lamu, ‘Ilman, yang bermakna “mengerti sesuatu”. Atau
juga berasal dari kala ‘allama yang berarti “memberi tanda
atau petunjuk” yang berarti pengetahuan. Ilmu adalah
seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi
kenyataan dalam alam manusia.
Dalam konteks keilmuan, kita (baca: santri) dituntut
untuk mencari ilmu, banyak literatur mengungkap,
utamanya Al-Qur’an dan Hadits, jelas dan tegas
memerintahkan setiap individu muslim agar mencarinya.
Disisi lain, mencari ilmu juga merupakan aktivitas mulia,
bernilai ibadah paling agung, dimana pahalanya sangat besar
di sisi Allah SWT. Bahkan, merupakan salah satu bentuk
jihad di jalan Nya “fi sabilillah”---dengan mengangkat
senjata. Terlebih lagi, ilmu syar’i yang dengannya seseorang
dapat menggapai kebahagian dunia pun di akhirat kelak.
Allah SWT berfirman:
‫وم ا ك ان املؤمن ون لينف روا كاف ة فل وال نف ر من ك ل فرق ة منهم‬
‫طاءف ة ليتفقه وا ىف ال دين ولين ذروا ق ومهم اذا رجع وا اليهم لعلهم‬
‫حيذرون‬

44
Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu
semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari
setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. At-
Taubah: 122)40

Dalam sebuah sabda, Rasulullah mengungkapkan:


‫ ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬:‫عن ايب هريرة رضى اهلل عنه‬
,‫ ومن سللك طريقا يلتمس فيه علمنا سهل اهلل له طريقا اىل اجلنة‬:‫قال‬
‫رواه مسلم‬
Yang artinya, “Barang siapa menempuh jalan untuk
menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya
jalan menuju surga”.41

Pada hadits ini, ungkapan “salaka (menempuh Jalan)”


bukan hanya mencakup arti jalan secara indrawi yaitu jalan
yang dilalui kedua kaki, seperti sesorang pergi dari
rumahnya menuju tempat untuk menimba ilmu baik berupa
masjid, madrasah, ataupun universitas dan lain sebagainya.
40
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan ayat ini
merupakan dasar dalam kewajiban mencari ilmu. Ayat ini berkenaan
dengan umat muslim yang waktu itu berbondong-bondong pergi
berjihad, Allah berfirman bahwa jihad bukanlah kewajiban satu
persatu orang dan hendaklah ada dari mereka yang tinggal bersama
Nabi untuk mendalami al-Kitab dan as-Sunnah agar kemudian
mereka bisa mengajarkan apa yang mereka ketahui setelah yang lain
pulang dari berperang.
41
Riyadlus Sholihin,hal.529.

45
Namun termasuk pula mencakup arti jalan secara maknawi.
Maksudnya adalah, hal-hal yang memberatkan selama
perjalanan tersebut, misalnya biaya dan waktu yang tersita.
Misalnya saja seseorang harus menempuh perjalanan jauh
dalam rangka mencari ilmu. Perjalanan dari satu kota ke
kota lain, dari satu propinsi ke propinsi lain dan dari
negerinya ke negeri lain untuk mencari ilmu. Maka ia tidak
hanya harus mengeluarkan biaya berupa harta, namun juga
harus mengorbankan perasaan untuk meninggalkan keluarga
dan sahabat dan kampong halaman yang dicintainya. Ini
semua adalah termasuk hal-hal yang harus bisa diatasi
dalam menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu. Namun
tentu semuanya akan tergantikan manakala ia telah
mendapatkan ilmu yang diinginkannya.
Hadits lain Rasulullah saw bersabda:
‫ق ال رس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم (فض ل الع امل على العاب د‬
‫(ان اهلل‬:‫كفضلي على اءدناكم) مث قال رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
‫ومال ءكت ه واه ل الس ماوات واالءرض ح ىت النمل ة يف جحره ا وح ىت‬
12/1387 ‫احلوت ليصلون على معلمي الناس اخلري) رياض الصاحلني‬
‫عن اءيب اءمامة‬
“Kelebihan orang berilmu dibanding dengan ahli
ibadah(tanpa ilmu) seperti kelebihanku dibanding orang
yang paling rendah diantara kalian.” Kemudian Rasulullah
saw melanjutkan sabdanya, “sesungguhnya Allah, para
malaikat, seluruh penghuni langit dan bumi,bahkan semut
yang ada disarangnya, termasuk ikan, mereka semua

46
memberikan shalawat kepada para pengajar kebaikan
ditengah-tengah manusia.”42
Menjadi bahan perenungan, pernyataan sahabat
Rasulullah SAW yang dipuji karena kecerdasannya, Ia
adalah sahabat Mu’adz ibn Jabal Radhiyallahu ‘Anhu dalam
fatwanya, “Menuntut ilmu karena Allah adalah bukti
ketundukan pada-Nya. Mempelajarinya dari seorang guru
adalah ibadah. Duduk di tengah kajiannya adalah taman
Firdaus. Membahasnya adalah bagian dari jihad.
Mengajarkannya adalah tasbih. Menyampaikan kepada
orang yang tidak tahu adalah shadaqah. Mencurahkannya
kepada orang yang berhak menerimanya adalah qurbah.” 43
‫العلم اغلى واحلى مال ه استمعت * اذن واع رب عن ه ن ا‬
‫طق بفم‬
Ilmu adalah sesuatu yang paling agung dan indah
didengarkan oleh telinga ….Dan sesuatu yang paling indah
diucapkan oleh lisan.44
Sebagai konsep dasar menuntut ilmu, penjelasan Al-
Qur’an dan Hadits serta pandangan ulama di atas
,membuktikan bahwa eksistensi dalam hal memperolehnya,
menjadi urgen dan wajib dilakukan oleh setiap individu
muslim-muslimat di satu sisi. Dalam sisi lainnya, Allah
SWT telah memberikan berbagai macam amanah dan
tanggung jawab kepada manusia. Diantara amanah dan
tanggung jawab terbesar yang Allah SWT berikan kepada

42
Ibid
43
Ibnu Taymiyah Majmu’ Fatawa Beirud: Dzar al-Khattab al-
Ilmiyah 2012, jilid 2. h 24
44
Ensiklopedi

47
manusia, dalam hal ini adalah seseorang sebagai “Thalabul
ilmi”, berkait-erat di dalamya (orang tua, guru/”masyayikh”
dan santri).
Dengan kata lain, syariat Islam telah memberikan
perhatian yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan,
sebesar perhatian pembentukan sikap ilmiah,pembentukan
karakter, akhlak dan sebagainya. Jadi, begitu tinggi dan
mulianya kedudukan ilmu dalam Islam. Patutlah
dikhawatirkan, jika pengajaran tentang “Ilmu” ini keliru
konsepnya, maka akan berdampak pada amal. Sebab,
semuanya berakar pada ilmu. Selain di atas, banyak ayat-
ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan kaum muslimin-
muslimat untuk menuntut ilmu.
Oleh karenanya, santri sebagai “fa’il” agar
mendapatkan barokah dalam hal mencari ilmu, maka cara
memperolehnya pun harus sesuai dengan tuntunan yang ada
yang telah banyak diungkapkan para ulama. Misalnya, salah
satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah manusia
diperintahkan untuk belajar sejak masih buaian hingga liang
lahat.

B. Barakah Ilmu di Pondok Pesantren


Pendidikan pesantren berbeda dengan yang lain di
luar pesantren,bisa dibilang sakral, perbedaannya semisal
dapat kita tilik pada kaitan adab atau etika sekaligus ada
barakah di didalamnya. Barakah merupakan sesuatu yang
sakral dan semua santri “thullab al-ilm” ingin
medapatkannya. Bahkan, bukan hanya sebatas santri, orang-
orang biasa pun sangat mengharapkan barakah dari seorang
Kiyai/Ustad, karena Kiyai diyakini mampu mengalirkan
barakah yang diberikan oleh Tuhannya,sehingga Kiyai

48
dipersepsikan sebagai Auliya’Allah. Interpretasi barakah
dimaknai dengan bertambahnya nilai kebaikan dan
mampu menjadi energi positif dalam mengembangkan
konsep diri (self concept) dengan cara meneladani
kepribadian kiai sebagai panutan moral, sekaligus sebagai
jalan bagi santri untuk memperoleh ilmu yang berguna
setelah ia kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Dalam agama Islam sendiri, amatlah disadari bahwa
ilmu tidaklah bisa lepas dari etika dan kebaikan yang kelak
dihasilkannya. Mencari ilmu tidak bisa hanya mengandalkan
semangat memahami dan mempelajari dari pelbagai sumber,
tapi hendaklah diiringi dengan adab atau etika antara sang
pencari ilmu dengan Kiyai dan Allah Swt yang
membukakan pemahaman sang “thullab al-ilm” tersebut.
Dengan adanya etika, diharapkan kelak ilmu yang
dipelajari tersebut dapat memberikan kebaikan dan manfaat
bagi orang banyak ”anfa’uhum li al naas”, atau dalam
istilah yang lazim di pesanten ditafsiri sebagai barakah.
Etika juga merupakan tanda bahwa sekeras apapun kita
belajar, tetap Allah lah yang maha tahu akan kebenaran
segala hal sekaligus menyadari kelemahan manusia dalam
memahami kebenaran.
Dan, yang menjadi tujuan utama bagi seorang santri
dalam mendalami ilmu di pesantren hanyalah dalam rangka
semata ibadah kepada Allah swt, sembari ber tabarruk atau
bil barakah dengan segala apa yang hendak-sedang
dipelajarinya, maka hal-hal yang berkait-erat dengan adanya
barakah tersebut hendaknya diperhatikan dan dijtihadi
dengan sungguh-sungguh oleh seorang santri. Inilah letak
sisi keunikan pendidikan pesantren dengan pendidikan di
luar,seperti telah disinggung di awal.

49
Kata barakah secara etimologi atau bahasa, berasal
dari bahasa Arab: (‫)الربكة‬, artinya ‫ النعمة‬kenikmatan, ‫الس عادة‬
kebahagiaan, ‫ النم اء والزي ادة‬penambahan.45 Istilah lain berkah
dalam bahasa Arab adalah mubarak dan tabaruk. Pemerian
makna secara harfiah,tak jauh beda dengan yang
diungkapkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 46
berkah adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan
bagi kehidupan manusia”.
Sedangkan tinjauan makna barakah secara
terminologis, istilah berkah (barakah) artinya ziyadatul
khair, yakni “bertambahnya kebaikan”. Para ulama juga
menjelaskan makna barakah sebagai segala sesuatu yang
banyak dan melimpah, mencakup berkah-berkah material
dan spiritual, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan,
harta, anak, dan usia. Yang berarti barakah adalah kebaikan
yang bersumber dari Allah yang kebaikan itu dapat menjadi
langgeng dan bahkan dapat menambah kedekatan seorang
yang diberi kepada Allah yang Maha Pemberi.47
Barakah dalam pandangan ulama, diantaranya yaitu
Imam al-Qurtubi menafsirkan barakah banyaknya
kebaikan(QS.Ali Imran:96),yaitu Allah menjadikan makkah
sebagai kota yang diberkahi karena berlipat gandanya

45
Ahmad Warson Munawwir,Al-Munawwir Kamus Arab-
Indonesia,Surabaya: Pustaka Progressif,1997,hal 78.
46
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional,Kamus Bahasa Indonesia,Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008,hal.187.
47
Abil Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu’jam al-
Maqayis fi al-Lughah, Kairo: Dar Haya'i al-kitab al-
Arabiyyah,1949,hal.25.

50
pahala amal perbuatan yang dilakukan di dalamnya,jadi
barakah tersebut adalah banyaknya kebaikan.48
Al Farra berpendapat bahwa keberkahan artinya
kebahagiaan, lafadz tabarak hanya disandarkan pada Allah
dan tidak pantas disandarkan kepada selain-Nya,dan Allah
yang berhak memberi barakah terhadap siapa saja yang
dikehendakinya.49
Menururt At-Thabathaba’i, barakah yaitu al-Kharul
ilahi (kebaikan yang bersumber dari Allah), itu muncul
tanpa diduga,ia yahtasib yaitu tak terhitung pada semua segi
kehidupan, baik yang bersifat materi maupun non materi.
Kebaikan yang bersifat mater itu pun nanti akan bermuara
juga kepada keberkahan non materi dan kehidupan akhirat.50
Bertalian dengan barakah ilmu, merujuk pada Imam
Bawani “Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam” dalam
penelitian empirisnya pada Pondok Pesantren Mambaul
Hikam, mantenan,Udanawu,Blitar,Jawa-Timur,tepat pada
akhir 1987, di mana Pondok Pesantren ini memiliki lebih
dari 2000 orang santri,dari kuisioner yang ditawarkan
terhadap para santri, Imam Bawani, misalnya melontarkan
pertanyaan, “disamping beribadah kepada Allah swt,apa
yang anda(santri) dambakan selama berada di pesantren
ini”?. Maka dapat diperoleh penyebaran jawaban dari santri
sebagai berikut:
1. Mendapatkan barokah dari Kiyai sebanyak N
240

48
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2003,hal.80.
49
Abu Zakariya Yahya bin Ziyad al Farra,Ma’anil Qur’an,
Bairut: Alam al Kutub,1983,hal.23.
50
Ibid, hal.26.

51
2. Mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya
mencapai F 240(100%)
3. Mendapatkan pengaruh yang besar di kalangan
santri,jawaban (nol persen)
Selanjutnya, untuk mendapatan barakah dari
Kiyai,menurut pengakuan para santri caranya adalah melalui
jawaban yang mereka kemukakan sebagai berikut:
1. Mendekatkan diri kepdanya dan berusaha
membantu segala kepentingannya,N 240
2. Disiplin dalam mengikuti semua pengajiannya
dan tidak melanggar aturan pondok,menjawab
144(60%)
3. Berusaha menjadi santri yang menonjol di
kalangan santri lainnya,96(40)51
Keterikatan santri terhadap Kiyai,bukan sekedar
mewujudkan dalam keinginannya untuk selalu dekat dalam
berusaha membantu segala kepentingannya;tetapi juga
dalam hal yang lain,misalnya berkonsultasi kepadanya
ketika menghadapi persoalan hidup yang penting seperti
menentukan jenis pekerjaan atau memilih jodoh.52
Dari pemaparan di atas dapat kita tarik benang
merah,sekaligus memperkuat argument bahwa kedudukan
Kiyai bagi seorang santri adalah segala-galanya, bahkan
lebih dari kedudukan orang tua sendiri.Sikap inilah yang
pada akhirnya yang melatar-belakangi, mengapa hubungan
antara seorang santri dengan Kiyai seringkali begitu kekal
terpelihara, kendatipun ia telah tamat dari pesantren yang
bersangkutan.

51
Imam Bawani,Tradisionalisme dalam Pendidikan
Islam,Surabaya; Al Ikhlas,1993,hal.164-165.
52
Ibid, hal.166.

52
Keterjalinan---erat dan bersifat terus-menerus antara
santri dan Kiyai, walaupun sudah tamat,ini adalah bentuk
indikasi kepuasan terhadap apa yang diberikan oleh
pesantren selama menjalani studi di sana. Ada beberapa
kemungkinan, pertama,santri yang telah menyelesaikan
studinya, akhirnya menjadi seorang pengusaha atau petani
yang sukses.Dari alumni semacam inilah, fasilitas dan dana
yang diperlukan oleh pesantren biasanya datang tanpa
diundang. Kemungkinan kedua, alumni tersebut boleh jadi
mendirikan pesantren muda didaerah asalnya.Pesantren
muda seperti ini tentu saja akan berkiblat kepada pesantren
induk dimana sang pengelola dahulunya belajar; sehingga
berfungsi sebagai semacam agen informasi,sekaligus
sumber calon santri setiap tahunnya. Kemungkinan
ketiga,pada saat alumni itu dating bersilaturrahmi kepada
Kiyai yang telah mendewasakan diri dan ilmunya, seringkali
membawa serta satu dua orang santri baru,minimal anak
ataupun kerabatnya sendiri. 53
Pada saat mengumpulkan meterial---bahan untuk
menulis buku ini,senada dengan yang dilakukan oleh Imam
Bawani, penulis berinisiatif semacam mengkaji dan
mengorek secara langsung untuk memperoleh pembacaan
serta informasi yang valid dari santri, sebenarnya apa yang
mereka pahami terkait barakah, sekaligus cara-cara---kiat
untuk memperolehnya. Di mana di satu sisi bahwa barakah
ini diyakini---tak asing akan keberadaannya terutama di
pondok pesantren kendati sesuatu yang abstraksi dan tak
tampak kasat mata. Banyak masyarakat yang jebolan
pesantren berstatus alumni juga merasakan fenomena
ini,pada sisi yang lain.
53
Ibid, hal.167.

53
Penulis-pun tak jauh berbeda, ikut merasakan hal
yang sama terkait keberadaan barakah,dari segi keilmuan
yang diperoleh boleh dibilang pas-pasan ketika mengenyam
ilmu di pesantren tepatnya di Pondok Pesantren Raudlatul
Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang. Namun,ketika
merasakan hidup berdampingan dengan masyarakat yang
berlatar kultur,budaya,corak pemkiran yang berbeda,serta
hegemonitas pembeda lainnya, kehadiran barakah terasa---
nampak sekali. Sederhananya, walaupun istilahnya bukan
orang yang dipentingkan dan berpengaruh, tapi setidaknya
kehadirannya diterima di masyarakat sebagai sedikit
anfa’uhum linnas dengan segala dimensi yang ada.
Secara nalar, mungkin semua terasa tidak masuk
akal. Bahkan dari saking tidak mampunyai akal pikiran
mengkaji barakah, yang terjadi tidak semua orang percaya
akan barakah. Apalagi mereka yang semasa hidup tidak
pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.
Cerita,sejarah,bahkan dongeng terlebih semisal
kehidupan kiyai dan santri,sebut saja Syaikhana Khalil
Bangkalan,Hadratus Syaikh KH.Hasyim Asy’ari ketika
berstatus nyantri,dan ulama-ulama lainnya di
nusantara,setidaknya menjadi tolak ukur dan ibrah
kehidupan para santri. Atau cerita alumni-alumni pesantren
yang semasa nyantrinya bukan idola,namun selepas dari
pesantrennya ketika terjun di tengah masyarakat tak jarang
mendapat pengakuan masyarakat yang luar biasa,sehingga
dibutuhkan ketokohannya, patutlah sebagai inspirasi
penggambaran nilai barakah bagi santri yang sedang
menimba ilmu. Dengan kata lain,sebagai orang yang
memiliki predikat santri tidak cukup apabila hanya
memfokuskan pada pencarian ilmu. Tetapi, juga harus

54
dibarengi dengan pengabdian yang nyata kepada pondok
pesantren sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Mencari barakah di pondok pesantren merupakan
segala-galanya bagi santri. Namun, di sisi lain mereka juga
harus paham bahwa ketika barakah tidak diimbangi dengan
ilmu tidak lah maksimal,sebenarnya. Menjadi salah kaprah,
apabila pencari ilmu “thullab al-ilm” hanya
memprioritaskan pada satu sisi saja, karena antara barakah
dan ilmu bukan pilihan, melaikan keduanya sebuah
keharusan dilakukan dan dapatkan.
Menjadi seorang santri merupakan suatu kebanggaan
tesendri. Dari sekian luang waktu, mereka dapat kesempatan
mencari ilmu sekaligus memburu barakah. Mencari ilmu
dengan jalan mengaji dan menjemput barakah dengan jalan
mengabdi. Kedua-duanya merupakan aktivitas yang hanya
bisa dilakukan santri dalam mencari ilmu dan menggapai
barokah demi terbentuknya insan dan “masyarakat
pesantren” yang khoirunnas anfa’uhum linnas. Barakah
sang kiyai dan pondok pesantren, benar-benar ada sebagai
penyampai barakah dari Allah Swt.

C. Klasifikasi “fan-fan” ilmu dan hukum


mempelajarinya
Beberapa kalangan pondok pesantren mendasarkan
pemilihan materi pendidikan dan pengajarannya kepada
pendapat Imam al-Ghazali dalam karya utamanya ihya’
ulumuddin yang membagi ilmu dalam dua kategori yaitu
ilmu akhirat dan ilmu dunia. Ilmu akhirat adalah ilmu yang
langsung berhubungan dengan masaah keagamaan yang
sumbernya diambil langsung dari al-Qur’an dan Sunnah
Nabi.Sedangkan ilmu dunia adalah ilmu yang sumbernya

55
tidak langsung dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi.Ilmu akhirat
ini lazim disebut dengan ilmu agama,selanjutnya
diklasifikasikan menjadi :
Ilmu Mukasyafah atau ilmu Hakikat, yaitu yang
menyingkapkan tabir masalah yang gaib dalam
hubungannya dengan masalah keTuhanan yang hanya
ditangkap oleh penglihatan batin yang jernih.
Dalam ilmu Mukasyafah, Imam al- Ghazali
menjelaskan bahwa ilmu ini adalah puncak dari semua ilmu
karena berhubungan dengan hati, ruh, jiwa dan pensucian
jiwa. Ilmu diibaratkan seperti cahaya yang menerangi hati
seseorang dan mensucikan dari sifat-sifat tercela. Dengan
membuka cahaya itu, maka perkara dapat diselesaikan,
didengar, dilihat dan dibaca yang pada akhirnya dapat
membuka hakikat ma’rifat dengan dzatullah subhannahu wa
ta’ala. Ilmu ini adalah puncak ilmu yang dimiliki para
siddiqun dan muqarrabun. Mereka bisa mengetahui hakekat
dan makna kenabian, wahyu, serta lafadznya malaikat,
perbuatan setan kepada manusia, cara penampakan malaikat
kepada Nabi,cara penyampaian wahyu kepada
Nabi,mengetahui seisi langit dan bumi, mengetahui hati dan
bercampurnya setan dengan malaikat, mengetahui sorga dan
neraka, adzab kubur, shirath, mizan, dan hisab. Mengetahui
sebuah makna pertemuan dengan Allah SWT dengan
melihat wajah-Nya Yang Maha Mulia, dsb. Inilah ilmu yang
tidak tertulis di dalam buku dan tidak dibicarakan kecuali
ahlinya saja yang bisa merasakannya. Di lakukan dengan
cara berdzikir dan secara rahasia. Ilmu ini adalah ilmu
samar.

56
Ilmu muamalah,yaitu ilmu yang tujuannya untuk
diamalkan yang terperinci menjadi ilmu bathin atau thariqah
dan ilmu dzahir atau ilmu syari’ah.54
Ilmu yang berjalan atas anggota- anggota badan
menjadi adat dan ibadah. Sedangkan bagian batin yang
berhubungan dengan keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi
menjadi tercela dan terpuji. Dengan kata lain ilmu
Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang
mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang
melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah. Ilmu
muamalah terdiri dari ilmu fardhlu ‘ain dan ilmu fardhlu
kifayah. Ilmu fardhlu ‘ain sendiri hanya membahas ilmu
syariah. Sedangkan ilmu fardhlu kifayah memiliki 4
klasifikasi yaitu: ilmu syari’yah, ilmu ghoyru syari’yah.
Ilmu ghoyru syaii’yah terbagi menjadi mahmudah,
madzmumahdan ilmu mubah. Ilmu madzmumah dan ilmu
mubah tidak masuk dalam tidak masuk dalam pembahasan
dalam fardhlu kifayah. Ilmu fardhu kifayah ghoyru
syari’yah ialah ilmu yang bukan syari’yah namun sangat
dibutuhkan terkait dengan kemaslahatan dunia. Dalam hal
ini imam al-Ghazali memberikan contoh: Kedokteran(Al-
Thib), Matematika (Hisab), ilmu teknik (shana’at), pertanian
(al-falah), pelayaran (al-Hiyakah), politik (al-Siyasah),
bekam (al-Hijamah) dan menjahit (al-Khiyath).
Al-Ghazali beralasan bahwa ilmu kedokteran penting
bagi kemaslahatan masyarakat sebab ilmu kedokteran
dibutuhkan dalam kesehatan.Begitu pula ilmu matematika
sangat dibutukan dalam kehidupan sehari-hari semisal

M.Habib Chirzin,Agama dan Ilmu dalam Pesantren,dalam


54

Dawam Raharjo,Pesantren dan Pembaharuan,Jakarta


LP3ES,1974.hal.84

57
dalam muamalah perdagangan, pembagian waris, washiat
dal lain-lainnya.Ilmu-ilmu di atas menurut al-Ghazali
apabila tidak ada satu dari kelompok suatu mayarakat yang
mempelajari, maka semua masyarakat yang ada
mendapatkan dosa. Al-Ghazali mencontohkan apabila satu
kelompok masyarakat tidak ada yang mempelajari ilmu
bekam, maka banyak orang yang terkena penyakit, hal ini
yang kemudian akan mempercepat kerusakan.
Para ulama’ dalam memposisikan ilmu fardhlu ‘ain
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Misal: para
mutakallimun berasumsi bahwa ilmu kalam (ilmu tauhid)
adalah ilmu fardhlu ‘ain sebab, bagi mereka dengan ilmu
kalam seseorang dapat menemukan mengetahui ketauhidan
Dzat dan sifat Allah. Sementara itu para Fuqaha’ bahwa
ilmu fiqh adalah ilmu fardhlu ‘ain sebab dengan fiqh
seseorang dapat beribadah dan mengetahui perkara halal dan
haram serta mengetahui perkara yang haram dan yang halal
dalam bermuamalah. Sedang ilmu fardhlu kifayah adalah
ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam,
bukan seluruhnya. Dalam fardhlu kifayah, kesatuan
masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab
kefardhluan untuk menuntutnya.
Preferensi dan pemberian tekanan pada aspek
tertentu dari materi pendidikan dan pengajaran di pesantren,
juga didasarkan pada hukum mempelajari macam-macam
ilmu yang difatwakan oleh imam al-Ghazali tesebut.
Mempelajari ilmu yang berhubungan dengan aqidah dan
ibadah hukunya fardu ain.Ilmu seperti ushul
fiqh,musthalahul hadits,dan bahasa arab dengan berbagai
alatnya,hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.55
55
Ibid.

58
Berdasarkan nilai manfaat bagi diri setiap Muslim,
maka ilmu digolongkan sebagai suatu kewajiban.Ilmu
pengetahuan jenis ini digolongkan sebagai fardhu ‘ain, dan
wajib dipelajari oleh setiap individu.Ia memberi contoh
kelompok ini ialah ilmu agama dan cabang-cabangnya.
Golongan kedua, ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu
kifayah. Ilmu pengetahuan ini tidak diwajibkan kepada
setiap muslim, tetapi harus ada diantara orang muslim yang
mempelajarinya. Jika sampai tidak seorang pun di antara
kaum muslimin dalam kelompoknya mempelajari ilmu
dimaksud, maka mereka akan berdosa. Diantara ilmu
pengetahuan yang tergolong fardhu kifayah ini adalah ilmu
kedokteran, ilmu hitung, pertanian, politik, pengobatan
tradisional dan jahit menjahit.56
Ibnu Khaldun mengikuti jejak filosof Hellenistik
Muslim–al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd–yang
membagi pengetahuan jadi dua bidang. Pertama; bidang
kebenaran rasional, yang kriteria dan hakimnya adalah
nalar,”al-ulum al-aqliyyah” dan kedua; bidang kebenaran
spiritual di mana yang tertinggi adalah wahyu dan kenabian
“al-ulum al-naqliyyah”
Al-Zarnuji tidak menekankan salah satu aspek, tetapi
mengitegrasikan aspek iman,ilmu, dan amal.Integrasi ini
terlihat dari konsepnya tentang ‘ilm al-hal,yaitu
pengetahuan tentang hal-hal yang sedang dialami oleh
seseorang, seperti masalah kufur,iman,shalat,zakat,dan
puasa.Inilah yang wajib dituntut oleh setiap muslim.Dalam
keterkaitan-hubungan ini dia mengatakan:

56
Al-Ghazal, hya’ Ulum al-Din, (Semarang; Toha
Putra,tt)hal.15

59
‫افضل العلم علم احلال وافضل العمل حفظ احلال‬
Ilmu yang paling utama ialah ilmu tentang
pekerjaan yang dhadapi, dan amal yang paling baik ialah
memelihara keadaan yang dihadapi (jangan sampai
menjadi sia-sia dan rusak).
Bertitik tolak dari pemaparan di atas, para thullab al-
ilm atau santri dalam studi pesantrennya berkait-erat dengan
fan-fan keilmuan tersebut. Pada masa lalu, pengajaran kitab-
kitab klasik, terutama karangan ulama yang menganut
faham Syafi’i, merupakan satu-satunya pengajaran yang
diberikan dalam lingkungan pesantren.57.Sekarang,
meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkn
pengajaran ilmu umum, namun pengajaran kitab-kitab Islam
klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan
tujuan utama lembaga pendidikan tersebut yaiu menjadikan
calon-calon ulama yang setia kepada faham Islam
tradisional.58 Kitab-kitab apa saja yang diajarkan antara
pesantren satu dengan pesantren lainnya berbeda-beda.
Sebabnya tidak lain ialah, sebagaimana diketahui bahwa
pesantren memiliki variasi bermacam-macam,sekaligus
dengan karakteristiknya sendiri.59
Berbeda dengan abad ke-19, kitab-kitab referensi di
kalangan pesantren mengalamai perubahan yang sangat
drastik, pada abad ke-20 penambahan referensi terus
dilakukan. Beberapa penelitian menyebutkan contoh kitab-
kitab referensi yang bervariasi meskipun dalam beberapa hal

57
Zamakhsyari Dhofier,hal.50
58
Ibid.
59
Dawam Raharjo,Pesantren dan Pembaharuan,Jakarta
LP3ES,1974.hal.75

60
memiliki kesamaan. Secara kombinatif misalnya, dalam
bidang nahwu meliputi Tahrir al-Aqwal,Matan
Ajurumiyah,Mutammimah,Alfiyah,dan khurdi; bidang sharaf
meliputi Matan Bina Salsal al-Mukhdal, al-Kailani, al-
Madzhab, ‘unwan al-Sharf, dan Mir’at al-Arwah; bidang
fiqih meliputi Matan Taqrib Fath al-Hanif(al-Bajury), Fath
al-Mu’in I’anat al-Thalibin, al-Muhally, Fath al-
Wahab,Tuhfat al-Muntaj, dan Nihayat al-Muntaj; Tauhid
meliputi Matan al-Sanusy, Kifayat al-Awwan,Hududi, al-
Dasqy, al-Husn al-Hamidiyyah; usul fiqh meliputi, al-
Waraqat, Lathaif al-Isyarah, Ghayat al-Wushul, dan Jami
al-Jawam; mantik meliputi matan al-Sullam, ‘Izhat al-
Mubham, Itsaghuzy, al-Sabban, dan al-Syamsiyyah;
balaghah meliputi Majmu’ Khasmir Rasail, Qawaid al-
Lughah, al-Bayan, dan Jawhar al-Maknun; akhlaq/tasawuf
meliputi Maraghy al-Ubudiyyah, Tanbih al-Ghafilin, Idzat
al-Nasi’in, Ihya’ ‘Ulum al-Din, dan Syah Ihya’ ‘Ulum al-
Din Ibn ‘Arabi; bidang Hadits meliputi Riyadh al-Shalihin,
Fath al-Barry, dan Qusthalany; tafsir meliputi Jalalain, Ibn
Katsir, al-Baizhawiy, al-Maraghy, al-Manar, al-Itqan fi
ulum al-Qur’an dan Ibnu Jarir al-Thabariy; dan tarikh
meiputi Khulashah Nur al-Yaqin.60

D. Tujuan mencari ilmu


Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan
pendidikan ialah kesemurnaan insani, di dunia dan akhirat.
Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui pencarian
keutamaan dengan menggunakan ilmu. Keutamaan itu akan

60
Abdurrahman Wahid,”Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam
M.Dawam Raharjo(ed),Pesantren dan Pembaharuan,(t.tp.:LP3ES,
1995)hal. 56

61
memberikan kebahagian di dunia serta mendekatkannya
kepada Allah, sehingga dia akan mendapatkan pula
kebahagian di akhirat.61 Muhammad Athiyyah al-Abrasyi
berpendapa bahwa tujuan pendidikan ialah tercapainya
akhlak yang sempurna dan keutamaan. Sedangkan
Muhammad Munir Mursa mengemukakan bahwa tujuan
terpenting pendidikan ialah tercapainya kesempurnaan
insani,karena Islam sendiri merupakan manifestasi
tercapainya kesempurnaan agamawi,sebagaimana ditegaskan
dalam firman Allah berikut:
‫الي وم اكملت لكم دينكم وامتمت عليكم نعم يت ورض يت‬
‫لكم االسالم دينا‬
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu
agamamu,dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.(QS.al-Ma’idah/5:3)
Mencari ilmu, selain secara praktis menjadi penting
untuk mempermudah di dalam menjalani kehidupan, juga
dimaksudkan untuk mengenal ciptaan Allah. Orientasi yang
demikian itu menjadikan hingga kapan pun mencari ilmu
tidak boleh berhenti. Ciptaan Allah tidak mengenal batas
sehingga upaya menggalinya pun seharusnya juga tidak
mengenal akhir.
Dengan demikian hingga kapan pun rahasia tentang
ciptaan Allah tidak akan mungkin berhasil ditemukan hingga
seluruhnya.
Dalam Islam menggali ilmu, sebagaimana disebutkan
di muka, bukan semata-mata bertujuan praktis, ialah
61
Fathiyyah Hasan Sulaiman,Alam pikiran al-Ghazali
mengenai pendidikan dan Ilmu,dalam Hery Noer Aly, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999,hal.77.

62
digunakan di dalam menjalani hidup sehari-hari melainkan
untuk mengenal Allah. Dzat Tuhan tidak akan bisa dikenali,
kecuali melalui ciptaan-Nya. Maka sebenarnya, usaha
mengali ilmu pengetahuan adalah jalan atau pintu untuk
mengenal Tuhan itu sendiri. Tambahan pula dengan cara
apapun, usaha dimaksud tidak pernah akan selesai. Itulah
sebabnya, mencari ilmu dalam Islam juga tidak mengenal
akhir, sehingga kegiatan itu seharusnya dilakukan mulai dari
ayunan hingga seseorang mengakhiri hidupnya.(Baca:
Artikel Imam Suprayogo)
Jika orientasi dari tujuan pendidikan dilihat dari al-
Qur’an dan Hadits, maka, Berdasarkan al-Qur’an Surat at-
Taubah ayat 122, Tujuan Pendidikan adalah menjadikan
manusia yang beriman, berakhlak yang mulia dan beradab
yang kemudian melahirkan masyarakat yang bermartabat.
Adapun Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud mengungkapkan, tujuan pendidikan adalah
hanya semata-mata untuk mencari ridho Allah ‘Azza wa
Jalla.
‫ َم ْن َت َعلَّ َم ِع ْل ًم ا مِم َّا‬: ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ
َ ‫اَ َل َر ُس ْو ُل اهلل‬
‫بِه عرض اً ِم َن‬ ِ ‫ص يب‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ْ ُ‫يُْبَتغَى بِه َو ْج هُ اهلل َعَّز َو َج َّل الَ َيَت َعلَّ ُم هُ االَّ لي‬
،‫ ِرحْيَ َها‬: ‫ ي ْعيِن‬،‫َّة يو َم الْ ِقيَام ِة‬
ِ َ ‫الد ْنيا مَل جَيِ ِدعر‬
َ َ ْ َ ‫ف اجْلَن‬ ْ َ ْ َ ُّ
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata Rasulullah SAW
bersabda :“ Barang siapa yang mempelajari ilmu
pengetahuan yang semestinya bertujuan untuk mencari
ridho Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian ia mempelajarinya
dengan tujuan hanya untuk mendapatkan kedudukan /

63
kekayaan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan baunya
syurga kelak pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud) Sanad
Hadist ini Shohih. (Nata, Prof. Abuddin, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Dengan begitu,bertitik-tolak dari tujuan hidup dan
hakikat penciptaan manusia menurut Islam ialah manusia
yang diridhoi Allah SWT,yaitu manusia yang menjalankan
peranan idealnya sebagai hamba dan khalifah Allah secara
sempurna. Manusia dimaksud adalah memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a) Manusia yang mengenali secara sempurna
mengenali kedudukan dan peran idealnya dalam
sistem penciptaan.
b) Manusia yang mengakui secara sempurna
kedudukan dan peran idealnya dalam sistem
penciptaan.
c) Manusia yang melaksanakan secara sempurna
kedudukan dan peran idealnya dalam sistem
penciptaan.
Apabila ciri-ciri tersebut dihubungkan dengan unsur-
unsur yang membentuk kejadian manusia, maka ciri (a)
berhubungan dengan aspek akal pada unsur rohani, ciri (b)
berhubungan dengan aspek perasaan pada unsur rohani, dan
ciri(c) berhubungan dengan unsur jasmani.Dari sini dapat
dikatakan bahwa dalam pendidikan Islam :
a) pendidikan akal ditujukan agar manusia mengenali
secara sempurna kedudukan dan peran idealnya
dalam sistem penciptaan;
b) pendidikan perasaan ditujukan agar manusia
mengakui secara sempurna kedudukan dan peran
idealnya dalam sistem penciptaan;dan

64
c) pendidikan jasmani ditujukan agar manusia
melaksanakan secara sempurna kedudukan dan peran
idealnya dalam sistem penciptaan.62

E. Komparasi ilmu dan falsafah hidup manusia


Manusia disebut “Homo Sapiens”, makhluk yang
berpikir63,artinya makhluk yang mempunyai kemampuan
untuk berilmu pengetahuan. Walaupun pada pada dasarnya
manusia dilahirkan tanpa sedikit pun pengetahuan
dibawanya.64 Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah
proses yang membuahkan pengetahuan.Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengkuti
jalan pikiran tertentu yang akhirnya sampai pada
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Gerak pemikiran ini
dalam kegiatannya menggunakan lambang yang merupakan
abstraksi dari objek yang sedang kita pikirkan. Bahasa
adalah salah satu dari lambang tersebut, dimana objek-objek
kehidupan yang konkret dinyatakan dengan kata-kata.65
Salah satu insting manusia adalah selalu cenderung ingin
mengetahui segala sesuatu di sekelilingnya yang belum
diketahuinya. Berawal dari rasa ingin tahu maka timbullah
ilmu pengetahuan. Dalam hidupnya manusia digerakkan
sebagian oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu, dan
sebagian lagi oleh tanggung jawab sosial dalam masyarakat.
62
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Logos
Wacana Ilmu,1999,hal.79.
63
Jujun S.Suriasumantri,Ilmu dalam Perspektif,Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesa,2015,hal.1.
64
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (QS.
Al-Nahl: 78)
65
Jujun S.Suriasumantri, hal.2.

65
J.M.Bochenski, mengungkapkan bahwa pemikiran
keilmuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa. Pemikiran
keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya,
suatu cara berpikir yang berdisiplin, di mana seorang yang
berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan ide dan
konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa
arah,namun kesemuanya itu akan diarahkannya pada suatu
tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu,dalam hal ini, adalah
pengetahuan. Berpikir keilmuan, atau berpikir sungguh-
sungguh, adalah cara berpikir yang didispilinkan---
diarahkan kepada pengetahuan.66
Manusia perlu pengetahuan,dengan istilah lainnya
adalah pendidikan, atau dengan kata lain dididik dan
mendidik ”pedagogik”, implikasinya karena manusia itu
makhluk yang mulia dan paling sempurna 67 “ahsani
taqwim” di antara makhluk yang lain, maka sebenarnya
setiap orang harus melaksanakan pendidikan dan mendidik
diri. Permasalahannya, apakah manusia mungkin atau dapat
dididik? Hubungan antara manusia dengan pendidikan
diawali dari pertanyaan: "Apakah manusia dapat dididik?
Ataukah manusia dapat bertumbuh dan berkembang sendiri
menjadi dewasa tanpa perlu dididik?".
Kemudian, menurut Al-Syaibany, pelaksanaan
pendidikan harus memperhatikan kedudukan manusia,
selain sebagai makhluk mulia,juga makhluk befikir, yang
memiliki tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh, yang

66
J.M. Bochenski, Apakah Sebenarnya Berpikir,dalam
Jujun S.Suriasumantri,hal.68-69.
67
Menurut Hasan Abdul Ali,tidak ada yang mengungguli
kemuliaan dan kesempurnaan manusia kecuali Allah swt.Lihat
Hasan Abdul Ali,Al-Tarbiyah al-Islamyah fi al-Qarni al-Rabi al-
Hijri,dalam Imam Bawani,hal 66.

66
pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor warisan dan
lingkungan,makhluk yang mempunyai motivasi dan
kebutuhan, harus pula diketahu adanya perbedaan
individual, dan manusia yang mempunyai keluwesan sifat
sehingga selalu berubah.68 Adalah Muhammad Ibn Quthb
Ibn Ibrahim senada dengan Al-Syaibany,dalam kitab
Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah,menjelaskan bahwa ruang
lingkup tarbiyah terdiri atas tiga,yaitu roh,akal,dan
jasmani.69
Dengan menyeimbangkan pendidikan jasmani dan
rohani,sebenarnya menganut apa yang sekarang disebut
sebagai “pendidikan manusia seutuhnya”. Dalam konteks
ini, lebih lanjut Muhammad Ibn Quthb Ibn Ibrahim
mengemukakan bahwa Islam memandang manusia secara
totalitas,mendekatinya atas dasar apa yang terdapat di dalam
dirinya,atas dasar fitrah yang diberikan Allah
kepadanya.Tidak ada sedikitpun fitrah itu yang
diabaikannya;tidak pula memaksakan apa pun selain apa
yang dijadikan sesuai dengan fitrahnya. Ia menganilisis
fitrah manusia secara cermat,lalu menggesek-gesek seluruh
senar-senar itu satu demi satu sehingga menimbulkan suara
yang sumbang dan irama tidak harmonis yang tidak
mengekspresikan gubahan paling mengesankan.70
Dalam proporsi mengangkat harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di muka
bumi, Allah Swt berfirman:
68
Lihat Imam Bawani,Tradisionalisme dalam Pendidikan
Islam,Surabaya; Al Ikhlas,1993,hal.66.
69
Muhammad Ibn Quthb Ibn Ibrahim, Manhaj At-
Tarbiyah Al-Islamiyah,dalam Rosihon Anwar,et.al,Pengantar
Studi Islam,cet.I,Bandung: Pustaka Setia,2019,hal.54.
70
Lihat Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999,hal.75.

67
“Dan sesunggguhnya telah kami muliakan anak Adam,
Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri
mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Israa’:70)
Ayat tersebut mengingatkan, bahwa manusia
diciptakan dalam struktur fisik dan psikis yang lengkap dan
sempurna. Manusia memiliki panca indra yang
lengkap,serasi,dan proporsional letaknya. Manusia
mempunyai akal (kemampuan berpikir), hati nurani,
kecerdasan,bakat,minat,perasaan sosial, dan sebagainya.
Dengan kelengkapan jasmani dan rohani inilah, manusia
dapat mengerjakan tugas-tugas yang berat, menciptakan
kebudayaan dan peradaban, menguasai daratan,lautan,dan
udara,dengan menciptakankendaraan roda empat,kereta
api,kapal-kapal laut yang besar,pesawat terbang, peralatan
perang,rumah dan bangunan yang indah,istana raja-
raja,peralatan dan perabotan rumah tangga,dan sebagainya.
Semua ini terjadi jika berbagai potensi manusia tersebut
dibina dan dikembangkan melalui pendidikan.71
Manusia sebagai makhluk pedagogik, tidak mungkin
menjalankan peranan idealnya, tanpa memiliki cukup
pengetahuan yang berkaitan dengaan peranan itu, serta
kemauan dan kemampuan untuk menjalankannya.Oleh
karena itu,manusia harus mengembangkan berbagai
potensi(al-qudrah) yang ada di dalam dirinya.72
Menyinggung soal potensi, sebenarnya mengacu
pada dua fenomena perkembangan yaitu:
71
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta:
Kencana,hal.46-47.
72
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:Logos
Wacana Ilmu,1999,hal.68.

68
1). Potensi psikologis dan pedagogis yang mempengaruhi
manusia untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas baik
dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk
lainnya.
2). Potensi mengembangkan kehidupan manusia sebagai
khalifah di muka bumi yang dinamisdan kreatif serta
responsive terhadap lingkungan sekitarnya baik yang
alamiah maupun yang ijtima’iyah di mana Tuhan menjadi
potensi sentral perkembangannya.
Untuk mengaktualisasikan dan mengfungsikan
potensi tersebut di atas, diperlukan ihtiar kependidikan yang
sistematis, berencana, serta berdasarkan pendekatan dan
wawasan yang interdispliner.73 Pengembangan potensi
tersebut muara---implikasinya akan bermanfaat bagi manusa
lainnya dalam menghadapi masalah dan tantangan dalam
menjalani kehidupannya. Disamping itu, manusia juga
memiliki tugas berusaha untuk memelihara kelanjutan
hidupnya,mewariskan berbagai nilai budaya dan peradaban
dari satu generasi ke generasi berikutnya.74
Manusia bukan hanya memiliki kemampuan-
kemampuan, tetapi juga mempunyai keterbatasan-
keterbatasan, dan juga tidak hanya mempunyai sifat-sifat
yang baik, namun juga mempunyai sifat-sifat yang kurang
baik. Manusia tidak mampu menciptakan dirinya sendiri,
beradanya manusia di dunia bukan pula sebagai hasil
evolusi tanpa pencipta sebagaimana diyakini penganut
evolusionisme, melainkan sebagai ciptaan Tuhan. Dan, dari
73
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan
Umum), cet 1,Jakarta: Bumi Aksara,1991,hal.2.
74
Abdul Kodir,Prolog,Sejarah Pendidikan Islam Dari
Masa Rasulullah Hingga Reformasi di Indonesia,Bandung:
Pustaka Setia,2015,hal 15.

69
uraian singkat di atas,Islam memiliki ajaran yang khas
dalam bidang pendidikan, Islam sendiri memandangnya
bahwa pendidikan hak setiap orang,di mana menjadi titik
pijakan terakhirnya ialah tujuan luhur pendidikan,yakni
memperoleh kebahagian dunia dan akhirat. Karenanya,
Islam mengajarkan kebahagiaan jasmani pada satu
sisi,begitu juga rohani,pada sisi yang lain.

F. Barakah Ilmu
Pendidikan pesantren berbeda dengan yang lain di
luar pesantren,bisa dibilang sakral, perbedaannya dapat kita
lihat pada masalah adab atau etika. Dalam agama Islam
sendiri, amatlah disadari bahwa ilmu tidaklah bisa lepas dari
etika dan kebaikan yang kelak dihasilkannya. Mencari ilmu
tidak bisa hanya mengandalkan semangat memahami dan
mempelajari dari berbagai sumber, tapi hendaklah diiringi
dengan adab atau etika antara sang pencari ilmu dengan
Allah Swt yang membukakan pemahaman sang “thullab al-
ilm” tersebut.
Dengan adanya etika, diharapkan kelak ilmu yang
dipelajari tersebut dapat memberikan kebaikan dan manfaat
bagi orang banyak, atau dalam istilah yang lazim di
pesanten adalah barakah. Etika juga merupakan tanda bahwa
sekeras apapun kita belajar, tetap Allah lah yang maha tahu
akan kebenaran segala hal sekaligus menyadari kelemahan
manusia dalam memahami kebenaran.
Dan, yang menjadi tujuan utama bagi seorang santri
dalam mendalami ilmu di pesantren hanyalah dalam rangka
semata ibadah kepada Allah swt, sembari hanya ingin
tabarruk atau bil barakah dengan segala apa yang hendak-
sedang dipelajarinya, maka hal-hal yang berkait-erat dengan

70
adanya barokah tersebut hendaknya diperhatikan sungguh-
sungguh oleh seorang santri.
Barakah adalah kebaikan dari Allah, untuk siapa saja
yang dikehendaki (khairun ilahiyyun). Istilah barokah bagi
Santri sudah biasa, mereka sudah paham-tak asing. Barakah
sebenarnya sesuatu yang penting bagi kehidupan
manusia,terlebih bagi seorang santri. Biasanya orang
memohon diberikan ilmu yang barokah, hidup yang
barokah, rizki yang barokah dll. Artinya, bagi Santri
barakah itu merupakan jimat yang bisa menjadikan dirinya
lebih baik dan mulia. Banyak orang bilang ‘biarpun ilmunya
selangit tapi tidak barokah, tidak ada gunanya, tapi
meskipun ilmunya sedikit tapi barokah itu yang dicari.
Ada hal menarik diungkapkan disini,bagaimana cara
mendapatkan ilmu yang barokah,jawabannya adalah pada
diri santri masing-masing. Karena setiap perjalanan
seseorang dalam mencari ilmu itu beda-beda satu sama lain..
Namun yang pasti siapa yang tunduk pada gurunya isnya
Allah ilmunya barokah.
Banyak contoh yang bisa dijadikan cermin oleh siapa
saja yang pernah nyantri. Kata Gus Dur, “santri tidak bisa
dilihat sewaktu masih berada di pondok, melainkan setelah
dia menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini, bahwa
kamu adalah santri yang baik’. “Dawuh”nya Gus Dur ini
bisa dijadikan tolak ukur seorang santri apakah ilmunya
barokah atau tidak. Karena faktanya memang begitu artinya
banyak Santri yang sewaktu di pondok alim namun setelah
pulang malah jadi maling. Sepertinya jauh, seperti langit dan
bumi, namun ketika sudah Allah pastikan begitu, mau apa
lagi. Sebaliknya ada Santri sewaktu mondok di pesantren,
potongan orangnya biasa saja. Dibilang pintar ya biasa,

71
dibilang bodoh ya tidak juga, karena ketika disuruh ngaji al-
Qur’an lancar. Namun anak ini malah ketika jadi alumni jadi
orang besar. Dia dihormati orang banyak, hidupnya
dimulyakan oleh Allah.
Kira-kira kunci apa ya, agar jadi Santri yang sukses ?
Kalau setelah penulis amati dari beberapa kejadian,
ternyata dan ternyata. Santri pertama yang katanya pintar di
pesantren ini sombong orangnya dan ke gurunya itu kurang
sopan. Yang kedua ini sebaliknya, yakni kegurunya sopan
mau menghargai.
Etika merupakan akhlak atau juga moral sangatlah
penting untuk ditanamkan di dalam diri peserta didik.
Seorang peserta didik yang menuntut ilmu tanpa didasari
atau dibenahi dengan etika yang baik akan membuatnya
kesulitan untuk mendapatkan ilmu tersebut. Etika yang
harusnya ditanamkan pada peserta didik dapat dimulai
dengan penanaman budi pekerti yang baik.
Ilmu dalam agama Islam, mempunyai posisi yang
sangat tinggi. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi
mengungkapkan hal tersebut, seperti salah satunya
termaktub d atas. Bahkan, disampaikan bahwa orang-orang
yang berilmu diangkat beberapa derajat oleh Allah Swt. jika
dibandingkan orang-orang yang beriman tanpa ilmu.
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. …” (Q.S. Al-Mujadilah [58]:
11)
Salah satu ulama besar umat muslim, Imam Al-
Ghazali, dalam ktabnya Ihya Ulum al-Din menyampaikan
etika menuntut ilmu bagi seorang pelajar atau santri. Ada
beberapa poin penting tentang adab dalam menuntut ilmu

72
menurut Imam Al-Ghazali yang diringkas dari pendapat
ulama ahli tasawuf ini.
1. Memprioritaskan kebersihan jiwa dari akhlak yang tercela.
Menurut Al-Ghazali, selama batin tidak bersih dari hal-hal
keji, maka ia tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam
agama. Selain itu, batin juga tak akan diterangi dengan
cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu
karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya
yang dimasukkan ke dalam hati.”
2. Mengurangi hal-hal yang bersifat duniawi dan menjauh dari
kampung halaman hingga hatinya terpusat untuk ilmu. Allah
tidak menjadikan dua hati dalam satu rongga bagi seseorang
di dalam rongga badannya. Oleh karena itu dikatakan, “Ilmu
itu tidak memberikan sebagiannya hingga engkau
memberinya seluruh milikmu.”
3. Tidak sombong dalam menuntut ilmu dan tidak
membangkang kepada guru. Salah satu tanda sombong alah
hanya memlh guru yang terkenal. Al-Ghazali menyarankan
orang yang menuntut ilmu agar memberi kebebasan kepada
guru yang mengajarnya selama tidak memperlakukannya
dengan sewenang-wenang. Al-Ghazali juga menegaskan
agar pelajar terus berkhidmat kepad guru. Menurutnya, ilmu
enggan masuk kepada orang yang sombong seperti banjir
yang tidak dapat mencapai tempat yang tinggi.
4. Murid atau santri yang baru hendaknya menghindar dari
mendengarkan perselisihan-perselisihan di antara sesama
manusia(kontroversial). Menurut Al-Ghazali, hal tersebut
dapat menimbulkan kebingungan saat menuntut ilmu.
5. Tidak menolak suatu bidang pun di antara ilmu-ilmu yang
terpuji, tetapi harus menekuninya hingga mengetahui
maksudnya. Jika tdak cukup waktu, hendaknya seorang

73
murid atau santri mendalami ilmu yang paling penting.
Sedangkan menuntut ilmu-ilmu lainnya cukup dengan
mengetahui ruang lingkup dan tujuannya saja. Karenanya
ilmu-ilmu itu saling berintegrasi dan saling meanfaatkan.
6. Tidak menekuni suatu ilmu secara mendalam sekaligus.
Baiknya memperhatikan sistematika dan mulai dari yang
paling penting.Kalau tidak mempunyai cukup waktu untuk
mempelajar semuanya, hendaknya dari setiap ilmu diambl
yang paling baiknya saja, yaitu ilmu akhirat. Imam Al-
Ghazali berpendapat, ilmu yang dimaksudkan adalah bagian
dari muamalah dan mukasyafah. Ilmu mukasyafah tersebut
ialah makrifatullah atau mengenal Allah. Al-Ghazali
menegaskan bahwa ilmu yang paling mulia dan puncaknya
adalah mengenai Allah.
7. Keberadaan ilmu-ilmu tersusun secara sistematis, sebagian
menjadi prasyarat untuk mempelajari sebagian yang lain.
Oleh sebab itu, hendaknya tak mandalami suatu ilmu
sebelum ilmu yang menjadi prasyarat dikuasai.
8. Mengetahui norma untuk menyusun hirarki ilmu. Norma
dimaksud ialah kemuliaan buah dan kekuatan dalil.
Misalnya, ilmu agama lebih mulia dibandingkan ilmu
pengobatan, karena buah ilmu agama ialah kehidupan
abadi,sedangkan buah ilmu pengobatan ialah kehidupan
yang fana. Ilmu hitung lebih mulia dibandingkan dengan
ilmu perbintangan karena yang memiliki dalil lebih kuat
daripada kedua.
9. Tujuan belajar adalah di duna menghiasi batin dengan
keutamaan dan diakhirat untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Selain itu, ia juga harus mengharapkan
mendapatkan derajat tertinggi di antara
malaikat muqarabin (yang dekat dengan Allah). Dengan

74
tujuan ini, ia tidak mengharapkan kepemimpinan, harta, dan
kedudukan.
10. Mengetahui kedudukan ilmu terhadap tujuan agar
tidak mendahulukan ilmu yang tidak penting atas ilmu yang
penting. Misalnya apabila tidak mungkin menyatukan antara
ilmu dunia dan ilmu akhirat, maka ilmu akhirat hendaknya
didahulukan karena merupakan tujuan.75

Imam Burhanul Islam Az-Zarnuji,Pengarang Kitab


Ta’lim al-Muta’alim mengemukakan hal-hal yang
seharusnya dilakukan oleh seorang yang sedang mencari
ilmu sebagai berikut:76
1. Niat
Seorang penuntut ilmu harus berniat di masa belajarnya
karena niat adalah inti dari segala sesuatu, nabi saw
bersabda “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada
niatnya”. Hendaknya seorang pelajar berniat dalam
menuntut ilmu adalah untuk mencari ridha Allah, bekal di
akhirat, membasmi kebodohan dari dirinya dan orang lain,
menghidupkan agama dan menegakkan islam karena islam
akan tegak dengan ilmu, selain itu tidak dibenarkan zuhud
dan taqwa yang disertai dengan kebodohan.“barangsiapa
yang mencari ilmu untuk akhiratnya ia akan mendapat
banyak petunjuk” “betapa ruginya orang yang mencarinya
dengan tujuan memperoleh kedudukan di hati manusia”.

75
Al-Ghazal, hya’ Ulum al-Din, (Semarang; Toha
Putra,tt)hal 49-55
76
Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Ilmu itu lebih baik daripada harta, sebab ilmu akan selalu
menjagamu, sedangkan engkau yang selalu menjaga harta.”
Bidayah wa Nihayah 9/47

75
2. Memilih bidang ilmu, guru,teman,dan keteguhan
Hendaknya seorang murid memilih bidang ilmu yang
terbaik yang ia butuhkan untuk menjalankan agamanya saat
itu, kemudian ia memilih apa yang ia akan butuhkan kelak,
dalam hal ini yang perlu ia dahulukan adalah ilmu tauhid
dan maa’rifah untuk mengenali allah dan dalilnya, karena
keimanan seorang muqalid meskipun kamu anggap sah
tetapi ia akan berdosaa bila tidak mempelajari dalil-dalinya,
dan memilih buku yang lama dari pada buku-buku yang
baru, guru-guru berkata “Berpedomanlah pada buku-buku
lama dan jauhilah buku-buku baru”
Cara memilih guru hendaknya dipilih guru yang paling alim,
yang paling wara’ dan lebih tua, seperti halnya Abu Hanifah
memilih Hammad bin Sulaiman Rahimahullah setelah
beliau berfikir panjang dan beliau mengatakan “Aku
mendapati beliau sebagai seorang guru yang berwibawa,
lembut dan penyabar”. Mencari ilmu merupakan
kepentingan tertinggi dan paling sulit maka dalam hal ini
musyawarah lebih penting dan lebih wajib. Ketahuilah
bahwa kesabaran dan ketekunan merupakan dasar utama
segala sesuatu tetapi hal ini jarang ditemui. Hendaknya ia
nuga bersabar atas ujian dan cobaan, telah dikatakan
seorang guru “gudang karunia Allah terletak pada
serangkaian ujian”
Dalam memilih hendaknya ia memilih teman yang serius
dalam belajar, wara’ dan yang shaleh, dan menjauhi teman
yang malas, membuat onar, banyak bicara, perusak dan
pembawa fitnah. Dikatakan dalam kata hikamah dalam
bahasa persi “ teman yang durhaka, lebih berbisa daripada
ular yang bahaya Demi Allah Yang Maha Tinggi Dan Maha
Suci”.

76
3. Mengagungkan ilmu dan Ulama’
Ketahuilah bahwa seorang pencari ilmu tidak akan
mendapat ilmu dan tidak akan manfaat dari ilmunya kecuali
dengan mengagungkan ilmu dan orang-orang yang berilmu,
mengagungkan dan menghormati guru. Sesungguhnya
barangsiapa yang mengajarimu satu huruf yang engkau
butuhkan untuk ibadahmu berarti ia ayahmu dalam agama.
Termasuk penghormatan terhadap guru hrndaknya seorang
murid tidak berjalan di depanya, tidak duduk di tempatnya,
tidak memulai berbicara dihadapanya kecuali seizinnya,
tidak banyak banyak bicara didepannya kecuali seizinnya
dan lain-lain. Termasuk penghormatan terhadap guru adalah
menghormati anak-anaknya dan orang-orang yang dekat
dengan guru. Termasuk menghormati guru adalah
menghormati kitab, hendakya seorang murid tidak
mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci.

4. Tekun dan semangat


Seorang murid harus memiliki semangat dan ketekunan.
Telah dikatakan :”Barangsiapa yang mencari sesuatu dengan
sungguh-sungguh ia akan mendapatkannya, barangsiapa
yang mengetuk pintu dengan sungguh-sungguh ia akan
masuk surga”. Dikatakan;” tergantung kesungguhan engkau
akan meraih keinginanmu”. Hendaknya seorang murid
begadang di malam hari untuk belajar dan selalu
mengulanginya di awal malam dan di akhirnya karena
waktu antara maghrib dan isya’ juga menjelang subuh
adalah waktu yang penuh barakah. Sudah sepatutnya
seorang murid mempunyai semangat tinggi dalam menuntut
ilmu, karena seseorang akan terbang bersama semangatnya

77
seperti seekor burung yang terbang dengan kedua sayapnya.
Kunci utama memperoleh segala sesuatu adalah
kesungguhan dan semangat yang tinggi. Lezatnya
mempelajari ilmu sudah cukup menjadi motivasi bagi orang
berakal untuk mencari ilmu, terkadang kemalasan muncul
dari banyaknya dahak dan kadar air. Cara menguranginya
dengan mengurangi porsi makanan.

5. Memulai belajar,pengaturannya dan urutannya


Hal ini juga dilakukan oleh Abu Hanifah dan beliau
menyebutkan hadis ini dari gurunya Syaikh Al Imam
Qiwamuddin Ahmad bin Abdur Rasyid Rahimahullah, dan
aku juga mendengar dari orang-orang yang terpercaya
bahwa Syaikh Abu Yusuf Al Hamdani Rahimahullah
memulai seluruh amalan kebaikannya di hari rabu. Karena
hari rabu adalah hari diciptakannya cahaya, dan ia adalah
hari yang sangat pedih bagi orang-orang kafir dan hari yang
penuh berkah bagi orang-orang mukmin. Pelajaran yang
telah dipahami dan dikaji ulang hendaknya dicatat karena
hal ini akan sangat bermanfaat, seorang santri tidak perlu
menulis sesuatu yang tidakia pahami karena hal ini dapat
menghilangkan kecerdasan, menimbulkan kejenuhan dan
menyia-nyiakan waktunya. Seorang murid harus sering
mendiskusikan masalah ilmu dan dalam hal ini hendaknya ia
bersikap menerima, tidak gegabah, banyak belajar dan
menjauhi kemarahan karena mendiskusikan ilmu ibarat
musyawarah yang intinya adalah menhasilkan kebenaran.
Hal ini tidak akan di peroleh kecuali dengan pengamatan,
kesabaran dan mau menerima, ia tidak dapat diperoleh
denagn marah dan ambisi. Bila niatnya menundukkan
lawan, maka hal ini tidak boleh dan hanya diperbolehkan

78
adalah untuk menampakkan kebenaran saja, sedangkan
menyamarkan persoalan tidak diperbolehkan kecuali bila
kawan diskusi kita tidak sportif bukan menginginkan
kebenaran. Bila seoorang santri harus terpaksa kerja karena
menafkahi keluargannya dan orang lain maka ia boleh
bekerja sambil menela’ah kitab dan berdiskusi.

6. Tawakkal
Seorang santri harus bertawakkal dalam menuntut ilmu
tidak perlu memusingkan masalah rezeki dan tidak perlu
menyibukkan hatinya akan masalah ini. Karena orang sibuk
memikirkan urusan rezki baik itu sandang dan pangan,
jarang sekali ia berusaha untuk mencari akhlak yang baik
dan hal-hal yang luhur. Hendaknya ia lebih memikirkan
urusan akhirat karena hal ini lebih bermanfaat. Adapun
sabda nabi Saw: “ sesungguhnya di antara dosa-dosa ada
sebuah dosa tidak ada yang dapat menghapuskannya kecuali
prihatin biaya hidup”. Seorang santri tidak sibuk dengan
apapun selain ilmu fiqih. Karena dengan ilmu fiqih kita
akan merasakan kelezatan yang tiada duanya dalam hal ini.

7. Kasih sayang dan nasehat


Orang yang berilmu harus bersifat kasih saying, memberi
nasehat dan tidak iri karena hanya akan merusak dan tidak
bermanfaat. Guru kami syaikh islam burhanuddin
rahimahullah berkata : “ anak seorang guru akan menjadi
orang alim karena si alim menginginkan murid-muridnya
menjadi ulama’, maka berkat keyakinan dan kasih sayinnya
hingga menjadi seorang alim”. Ia tidak boleh bermusuhan
dengan siapapun kerana hal ini menyia-nyiakan waktunya.
Seorang ulama berkata :” orang yang baik akan memnadapat

79
balasan karena kebaikannya, orang yang jahat akan hancur
karena kejahatannya”. Sibukkkanlah dirimu untuk
kepentingan sendiri bukan sibuk mengalahkan musuh,
karena bila engkau telah menyempurnakan kepentinganmu
di dalamnya terkandung kekalahan musuhmu. Hindarilah
permusushan karena permusuhan mebuatmu jelek dan
menyia-nyiakan waktumu.

8. Mengambil faedah
Hendaknya seorang santri selalu siap setiap saat untuk
mengambil ilmu agar ia mendapatkan kemuliaan. Cara
memperolehnya setiap saat ia harus membawa peba agar ia
bias menulis ilmu yang ia dengar. Seorang ulama’ berkata :
“barang siapa yang menghafal saja akan hilang ilmunya,
barangsiapa yang menulis akan tetap ilmunya”. Ia juga
harus mampu bertahan dan berkorban dalam menuntut ilmu.
Mencintai seseorang di luar batas adalah perbuatan tercela
kecuali dalam menuntut ilmu, karena dalam hal ini seorang
murid seharusnya benar-benar mencintai guru, teman-
temanya dan orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan
ilmu.

9. Bersikap wara’ ketika belajar


Selama seorang santri semakin wara’, ilmunya semakin
bermanfaat, belajarnya semakin mudah dan banyak
mendapat ilmu. Diantara sifat wara’ yang sempurna ialah
tidak makan banyak, tidak banyak tidur, tidak banyak bicara
yang tidak berguna, dan menjada diri dari makanan pasar
sebisannya karena makanan di pasar lebih dekat dengan
najis dan pengkhianatan, lebih jauh dari mrnyebut nama
Allah dan lebih dekat pada kelalaian, selain itu mata orang-

80
orang miskin meliriknya tetapi mereka sakit dan hilanglah
keberkahannya. Mereka yang selalu bersikap wara’ akan
diberi taufiq oleh Allah . diantara sifat wara’ yaitu ia duduk
menghadap kiblat mengikuti sunah-sunah nabi saw,
memanfaatkan doa orang-orang baik dan menghindari dari
doa orang-orang yang teraniaya.

10. Hal-hal yang dapat memperkuat hafalan dan menyebabkan


kelupaan
Penyebab utama memperkuat hafalan adalah kesungguhan,
ketekunan, makan sedikit, sholat malam dan membaca Al-
Qur’an. Membaca Al-Qur’an dengan melihat lebih baik.
Menggunakan siwak, meminum madu, meamakan
kemenyan yang dicampur gula, dan makan dua puluh satu
kismis merah setiap hari yang dikunyah dapat memperkuat
hafalan dan dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Adapun yang menyebabkan kelupaan adalah
banyaknya maksiat, banyaknya pikiran dan kesedihan
tentang urusan duniawi, serta apa saja yang dapat
menambah dahak. Susah akan urusan duniawi dapat
menghalanginya berbuat baik dan menyebabkan shalatnya
lebih khusyu’. Menuntut ilmu dapat menghilangkan
kesusahan dan kesedihan seperti yang dikatakan oleh syaikh
nasar bin nasar bin hasan mirghani. Adapun hal-hal yang
dapat melupakan ilmu adalah memakan ketumbar basah,
apel kecut, melihat orang dipancung, membaca tulisan di
kuburan, melewati barisan unta, membuang kutu rambut
yang masih hidup ditanah, berbekam di belakang kepala,
hindarilah semua ini karena dapat meyebabkan kelupaan.

81
11. Hal-hal yang dapat mendatangkan rezeki dan yang dapat
mencegahnya yang dapat menambah umur dan
menguranginya
Seorang santri perlu mengkonsumsi makanan dan
menegtahui hal-hal yang dapat menambah rezki, yang
menambah umur dan kesehatan agar ia dapat lebih
konsentrasi menuntut ilmu. Dalam hal ini para ulama telah
menulis berbagai buku, maka aku akan menerangkan secara
singkat. Tidur dan kencing dalam keadaan telanjang makan
dalam keadaan junub , maka dalam keadaan bersandar,
menyapu rumah di malam hari, menyapu dengan sapu
tangan, mebiarkaan tempat sampah dalam rumah, berjalan
di muka guru-guru, memanggil kedua orang tua dengan
namanya, memakai kayu apapun untuk bertusuk gigi,
mencuci tangan dengan tanah, duduk di muka pintu, duduk
di daun pintu, wudhu di tempat istirahat dll. Bangun pagi
yang diberkahi akan menambah segala kenikmatan terutama
masalah rezki, bentuk tulisan yang baik termasuk kunci
rezki begitu juga wajah ceria dan tutur kata yang baik.
Penyebab utama yang dapat mendatangkan rezki adalah
menjalankan sholat dengan penuh khusyu’, lengkap denga
rukun-rukunya, kewajibannya, sunnah-sunnahnya dan adab-
adabnya. Kalau sholat dhuha sudah dikenal mendatangkan
rezki, juga membaca surah Al-Waqi’ah terutama dimalam
hari ketika hendak tidur, dan membaca surat Al-Mulk, Al-
Muzamil, Al Lail,, Al-Insyirah, serta mendatangi masjid
sebelum waktunya adzan, selalu dalam keadaaan suci,
menunaikan sholat sunnah subuh, dan sholat witir juga
dapat mendatangkan rezeki. Hal-hal yang dapat menambah
umur ; berbuat baik, tidak menganggu orang lain,
menghormati orang yang lanjut usia, menyambung

82
silaturahmi, dan setiap pagi sore doa. Selain itu tidak
memotong pohon yang masih basah kecuali keperluan
mendesak, berwudhu dengan sempurna, sholat dengan
khusyu, melakukan haji dan umrah dengan cara qiran,
menjaga kesehatan.

Adab dan Etika Menuntut Ilmu menurut KH. Hasyim


Asy'ari:77
1. Hendaknya membersihkan hatinya dari segala hal yang
dapat mengotorinya seperti dendam, dengki, keyakinan yang
sesat dan perangai yang buruk. Hal itu dimaksudkan agar
hati mudah untuk mendapatkan ilmu, menghafalkannya,
mengetahui permasalahan-permasalahan yang rumit dan
memahaminya.
2. Hendaknya memiliki niat yang baik dalam mencari ilmu,
yaitu dengan bermaksud mendapatkan ridho Allah,
mengamalkan ilmu, menghidupkan syariat Islam, menerangi
hati dan mengindahkannya dan mendekatkan diri kepada
Allah. Jangan sampai berniat hanya ingin mendapatkan
kepentingan duniawi seperti mendapatkan kepemimpinan,
pangkat, dan harta atau menyombongkan diri di hadapan
orang atau bahkan agar orang lain hormat.
3. Hendaknya segera mempergunakan masa muda dan
umurnya untuk memperoleh ilmu, tanpa terpedaya oleh
rayuan “menunda-nunda” dan “berangan-angan panjang”,
sebab setiap detik yang terlewatkan dari umur tidak akan
tergantikan. Seorang santri hendaknya memutus sebisanya
urusan-urusan yang menyibukkan dan menghalang-halangi
sempurnanya belajar dan kuatnya kesungguhan dan

77
Kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim

83
keseriusan menghasilkan ilmu, karena semua itu merupakan
faktorfaktor penghalang mencari ilmu.
4. Menerima sandang pangan apa adanya sebab kesabaran
akan ke-serba kekurangan hidup, akan mendatangkan ilmu
yang luas, kefokusan hati dari angan-angan yang
bermacammacam dan hikmah hikmah yang terpancar dari
sumbernya.
5. Pandai membagi waktu dan memanfaatkan sisa umur yang
paling berharga itu. Waktu yang paling baik untuk hafalan
adalah waktu sahur, untuk pendalaman pagi buta, untuk
menulis tengah hari, dan untuk belajar dan mengulangi
pelajaran waktu malam. Sedangkan tempat yang paling baik
untuk menghafal adalah kamar dan tempat-tempat yang jauh
dari gangguan. Tidak baik melakukan hafalan di depan
tanaman, tumbuhan, sungai dan tempat yang ramai.
6. Makan dan minum sedikit. Kenyang hanya akan mencegah
ibadah dan membuat badan berat untuk belajar. Diantara
manfaat makan sedikit adalah badan sehat dan tercegah dari
penyakit yang di akibatkan oleh banyak makan dan minum,
seperti ungkapan syair yang artinya: “Sesungguhnya
penyakit yang paling banyak engkau ketahui berasal dari
makanan atau minuman.”
7. Hersikap wara’ (mejauhi perkara yang syubhat ‘tidak jelas ‘
halal haramnya) dan berhati-hati dalam segala hal. Memilih
barang yang halal seperti makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal dan semua kebutuhan hidup supaya hatinya
terang, dan mudah menerima cahaya ilmu dan
kemanfaatannya. Hendaknya seorang santri menggunakan
hukum-hukum keringanan (rukhsoh) pada tempatnya, yaitu
ketika ada kebutuhan dan sebab yang memperbolehkan.
Sesungguhnya Allah senang bila hukum rukhsohnya

84
dilakukan, seperti senangnya Allah bila hukum ‘azimahnya
(hukum sebelum muncul ada sebab rukhsoh) dikerjakan.
8. Meminimalisir penggunaan makanan yang menjadi
penyebab bebalnya otak dan lemahnya panca indera seperti
buah apel yang asam, buncis dan cuka. Begitu juga dengan
makanan yang dapat memperbanyak dahak (balgham) yang
memperlambat kinerja otak dan memperberat tubuh seperti
susu dan ikan yang berlebihan. Hendaknya seorang santri
menjauhi hal-hal yang menyebabkan lupa seperti makan
makanan sisa tikus, membaca tulisan di nisan kuburan,
masuk di antara dua unta yang beriringan dan membuang
kutu hidup-hidup.
9. Meminimalisir tidur selama tidak berefek bahaya pada
kondisi tubuh dan kecerdasaan otak. Tidak menambah jam
tidur dalam sehari semalam lebih dari delapan jam. Boleh
kurang dari itu, asalkan kondisi tubuh cukup kuat. Tidak
masalah mengistirahatkan tubuh, hati, pikiran dan mata bila
telah capek dan terasa lemah dengan pergi bersenang-
senang ke tempat-tempat rekreasi sekiranya dengan itu
kondisi diri dapat kembali (fresh).
10. Meninggalkan pergaulan karena hal itu merupakan
hal terpenting yang seyogyanya di lakukan pencari ilmu,
terutama pergaulan dengan lain jenis dan ketika pergaulan
lebih banyak-main-mainnya dan tidak mendewasakan
pikiran. Watak manusia itu seperti pencuri ulung (meniru
perilaku orang lain dengan cepat) dan efek pergaulan adalah
ketersia-siaan umur tanpa guna dan hilang agama bila
bergaul dengan orang yang bukan ahli agama. Jika seorang
pelajar butuh orang lain yang bisa dia temani, maka
hendaknya dia jadi teman yang baik, kuat agamanya,
bertaqwa, wara ‘, bersih hatinya, banyak kebaikannya, baik

85
harga dirinya (muru’ah), dan tidak banyak bersengketa: bila
teman tersebut lupa dia ingatkan dan bila sudah sadar maka
dia tolong.[]

86
-Tipologi Pesantren (Iman, Islam
dan Ihsan)-

A. Pengantar Iman
Iman dalam bahasa Arab disebut dengan imân
merupakan inti ajaran semua agama.78 Dalam teologi
Islam, diskursus tentang imân ditemukan pada ajaran
dasarnya (ushûl al-dîn). Kata ini dipakai dalam Bahasa Arab
secara leksikal atau etimologi dengan arti “percaya”.
Sejalan dengan makna ini, maka orang yang percaya
disebut mu'mîn (Ind. mukmin). Ketika Rasulullah saw.
menjawab pertanyaan seorang laki-laki berbaju putih
yang datang menghampirinya ia bersabda, “Imân adalah
percaya kepada Allah…”.79 Karena kata kuncinya adalah
percaya, maka kedudukan imân selalu diposisikan pada
ajaran teologis- berada di dalam hati (qalb), 80 yaitu
sesuatu yang menjadi unsur batin (esoteris) manusia.
Unsur batin tersebut sukar –atau tidak bisa- untuk diukur
eksistensinya tanpa melihat ekspresi lahiriah dari imân
seorang yang beriman (mu'min).

78
Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic
Theology: A Semantical Analysis of Imân and Islam, terj. Agus
Fahri Husein (Tiara Wacana: Yogyakarta, 1994), h. 1
79
Muslim ibn Hajjâj, Shahîh Muslim (Saudi Arabia: Dâr
al-Ashr ar al-Haisam, 2001), h. 15.
80
Ab- Manshûr al-Mâtûridî, Syarh Fiqh al-Akbar (Haidar
Abad: Jam„iyyah Dâ`irah al-Ma’âif al Usmâniyyah, 1365 H.), h. 6.

87
Term islâm berbeda dari imân, aksentuasinya
terletak pada aspek-aspek lahiriah. Seseorang yang
memeluk agama Islam disebut muslim karena
ketundukan, kepasrahan, dan kepatuhannya kepada titah
(syariat) Allah.81 Rasulullah SAW. di dalam riwayat Imam
Muslim.82 menjelaskan bahwa islâm adalah hal-hal yang
terhubung dengan ketundukan dan kepatuhan pada amal
lahiriah, seperti melafalkan syahadah, salat, mengeluarkan
zakat, puasa, dan melaksanakan haji.
Sebagai asas atau fondasi, maka imân seyogiaya
tidak bersifat fluktuatif sebab ia merupakan dasar
keyakinan yang harus stabil. Inilah yang dipahami oleh
Murji`ah, yakni imân tidak menerima ihwal naik-turun,
tetapi harus permanen. Dalam pada itu, dasar-dasar
keyakinan selalu memiliki implikasi yang “hitam-putih”,
yaitu antara imân dan kâfir (kafir). Ketika imân berkurang
maka yang muncul adalah kufr (kekafiran) dan tatkala
imân muncul maka kekafiran akan sirna. Secara historis,
pemahaman ini kerap dinisbahkan kepada Ab- Hanifah
Nu’mân ibn Tsâbit (w. 150 H. /767 M.), sehingga
dikenal dengan sebutan Murji`ah al-Fuqaha`. Ia
mengajukan argumentasi, “Bagaimana hal ini [imân bisa
bertambah dan berkurang] dapat terjadi dalam diri
seseorang: Imân dan kufur menyatu pada dirinya, padahal
keduanya saling kontradiksi.”83
Imân akan bertambah karena taat kepada Allah
dan berkurang disebabkan maksiat kepada-Nya. Al-
81
Muhammad ibn Idrîs, al-Kawâkib al-AZhar: Syarh Fiqh al-
Akbar, (Dâr al-Fikr: Kairo), h. 124.
82
Lihat Muslim ibn Hajjâj, Shahîh, h. 15; Al-Bukhâri,
Shahîhal-Bukhârî (al-Maktabah asy-Syâmlah, tt.), Juz I, h. 19.
83
Ibid. H. 54

88
Bukhâri (w. 256 H./870 M.) memberikan bab khusus di
dalam kitab shahîhnya tentang dasar fluktuatif keyakinan
tersebut. Dalam korelasi ini, terlihat bahwa imân bukan
hanya kepercayaan semata tetapi juga mencakup aspek
amaliah (perbuatan) dari anggota tubuh. Karena itu,
makna imân dalam perspektif ini telah merambah ke
lingkup pengertian semula dari islâm, yaitu amal-amal
lahiriah.
Disebabkan telah terjadi ekspansi makna di dalam
penggunaan term imân dari makna asalnya yang diistilahkan
Toshihiko Izutsu dalam kajian semantiknya dengan
kompetisi dan persaingan makna kata,84 maka penyebutan
imân tidak lagi pada makna dasarnya, yaitu batin.
Disebabkan persaingan makna itu, maka tidak
terhindarkan adanya kesan paradoks antara ajaran batin
dan ajaran lahir dan dua kata tersebut. Tatkala ajaran-ajaran
lahiriah dijadikan sebagai bagian imân maka penilian
keberimanan seseorang tidak lagi terpusat pada batin
tetapi telah merambah pada ranah amal-amal lahir.
Konsekuensi logis dari elaborasi dan ekspansi makna
tersebut, terjadilah keberhimpitan cakupan pengertian
dua term, imân dan islâm; yaitu antara ajaran lahir
(islâm) dan ajaran batin (imân). Kenyataan ini
menjadikan term imân sebagai sesuatu yang problematik
di kalangan ulama’.
Pada praktiknya, iman dapat dilakukan dengan cara
yang sederhana, seperti misalnya berfikir tentang diri sendiri
meliputi dari dasar anggota tubuh. Kesan bertambahnya

84
Toshihiko Izutsu, The Concept of Belief in Islamic
Theology: A Semantical Analysis of Imân and Islam, terj. Agus
Fahri Husein (Tiara Wacana: Yogyakarta, 1994), h. 3

89
iman dalam kehidupan sehari-hari sangat bisa terwujud
dengan cara tersebut. Allah SWT. Telah berfirman “ dan
telah kami ciptakan manusia dengan bentuk yang
sempurna”. Pertanyaan sederhana, mengapa jari jemari
manusia tercipta dengan jumlah sepuluh .. ? asusmi manusia
selaku makhluk yang memililki akal cenderung akan
menjawab sederhana, yakni dengan jumlah tersebut, nilai
keindahan serta kecukupan manusia dalam bekerja
menggunakan jari jemari tersebut. Hal ini memiliki indikasi
pemahaman dimana tubuh dapat menjadi alternatif di dalam
bertambahnya iman.
Secara kultur, pesantren sangat erat dengan
beberapa aktivitas pendukung untuk mencapai iman
sebagaimana yang diinginkan, seperti misalnya pembacaan
yasin, tahlil, istighatsah dan ratibul haddad. Dan inilah yang
menjadi subtansi manusia dalam pencapaian hidupnya yakni
ibadah kepada Allah SWT.
Santri dalam hal ini menjadi objek dalam
melakukan langkah-langkah pencapaian iman. Dari sisi
keyakinan, santri sangat antusias bahkan totalitas dalam
memasrahkan hidupnya. Sehingga santri cenderung
memiliki karakter yang berbeda dalam hal spiritual. Dalam
kenyataannya tidak semua santri memasrahkan semua
urusan dunia kepada Allah, mereka tidak sepenuhnya
percaya bahwasannya rizki itu sudah diatur atau digariskan
oleh Allah. Sehingga dengan demikian, penulis
menganalisis bahwa santri cenderung memiliki cara
tersendiri dalam mencapai keyakinan dalam hidupnya.
Seperti misalnya pembacaan yasin yang secara umum, surat
ini diperuntukkan atau hadiah kepada keluarga atau orang
yang telah meninggal. Namun kenyataannya, bentuk

90
keyakinan atau kepercayaan yang terjadi di pesantren justru
surat tersebut merupakan cara untuk menggapai interaksi
serta stimulus agar rizeki (isitilah pesantren kiriman) dapat
terkabulkan. Begitu juga keyakinan yang terbangun di
pesantren terkait istighatsah sangat tercermin memiliki
ruang dimensi yang multi fungsi.85
Secara umum, apa yang telah dilakukan atau
beberapa aktivitas yang dibangun di pesantren merupakan
rutinan yang cenderung kepada nilai ibadah yang pada
akhirnya nilai iman tercakup di dalamnya. Rutinan itu
memang diperlukan oleh seorang insan dalam menjalankan
amal ubudiyah. Amal perbuatan yang nilainya sedikit tapi
dikerjakan secara berkelanjutan lebih baik dari pada amalan
yang nilainya tinggi tapi dikerjakan secara terputus-putus.86
Secara fungsional dzikrullah itu dapat
menggerakkan dan membersihkan hati menuju ketaatan
kepada Allah. Sesungguhnya di antara usaha yang dapat
menggerakkan hati adalah banyak berdzikir. Sebab, hati
akan dekat dan senantiasa bergantung kepadaNya. Hati itu
dapat berkarat sebagaimana besi dan perak, maka cara
membersihkannya adalah dengan istighfar dan dzikrullah,
maka hati akan berbinar bagaikan cermin yang putih.
Apabila ia lalai, maka hati kembali berkarat. Jika
iaberdzikir, maka teranglah ia. Berkaratnya hati itu karena
dua perkara, yakni kelalaian dan dosa.87

85
Surat Yasin Tahlil Dan Istighathah Huruf Arab-Latin Dan
Terjemahan Bahasa Indonesia (Kudus:
Menara Kudus, Tt), 100.
86
Labib MZ. Maftuh Ahnan, Samudra Ma‟rifat (Gresik:
Bintang Pelajar, Tt), 27.
87
Abdurrahim, Merajut Hati, 33-34

91
Perumpamaan dzikir adalah seperti minyak kesturi.
Wanginya berbeda bagi setiap orang, tergantung bagaimana
mereka membaui wanginya. Ada orang yang membauinya
dari luar wadah, ada yang membuka wadahnya lalu
membaui botolnya, dan ada juga yang membuka wadahnya,
membuka tutup botolnya, kemudian membaui lewat lubang
botolnya. Karenanya, minyak kesturi itu berbeda-beda
tingkat kewangiannya. Tingkat dzikir orang-orang pun
berbeda-beda, tergantung pada jauh dekatnya mereka
dengan Allah, dan sejauh mana mereka mencium wangi
kasih sayang-Nya.
Allah juga telah mengisyaratkan tentang
disyari‟atkannya dzikir secara berjama’ah, baik bagi kaum
laki-laki maupun perempuan. Dosa-dosa dan perbuatan
buruk orang-orang yang berdzikir di majelis dzikir,
diampuni oleh Allah dan diganti dengan berbagai kebaikan.
Jiwa mereka akan menjadi bersih dari pikiran-pikiran yang
kotor dan amaliah mereka yang negatif akan berubah
menjadi amaliah yang positif. Dzikir secara berjamaah
(beramai-ramai) sangat baik dan sangat banyak sekali
faidahnya, yakni mereka dinaungi oleh para malaikat,
dipenuhi rahmat Allah, diberikan ketenangan batin dan
nama-nama mereka disebut oleh Allah di hadapan para
malaikat-Nya.
Iman, Islam, dan Ihsan adalah pokok-pokok ajaran
Islam. Trilogi Iman-Islam-Ihsan disebut juga Akidah-
Ibadah-Akhlak.  Iman adalah kepercayaan atau keyakinan.
Islam adalah pelaksanaan atau pembuktian keyakinan. Ihsan
adalah etika dalam keyakinan dan pengamalannya. Pelaku
iman disebut Mukmin. Pelaksana Islam disebut Muslim.
Pengamal Ihsan disebut Muhsin. Trilogi dan pengertian

92
‫‪Iman, Islam, dan Ihsan disebutkan langsung Rasulullah Saw‬‬
‫‪dalam sebuah hadits shahih berikut ini:‬‬

‫س ِعْن َد‬ ‫ال ‪َ :‬بْينَ َم ا حَنْ ُن ُجلُ ْو ٌ‬ ‫َع ْن عُ َم َر َر ِض َي اهللُ َعْن هُ أَيْض اً قَ َ‬
‫ات َي ْوٍم إِ ْذ طَلَ َع َعلَْينَ ا َر ُج ٌل‬ ‫ِ‬
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َذ َ‬
‫ِ ِ‬
‫َر ُس ْول اهلل َ‬
‫الش ْع ِر‪ ،‬الَ يُ َرى َعلَْي ِه أََث ُر‬ ‫اب َش ِديْ ُد َس َو ِاد َّ‬ ‫اض الثِّي ِ‬
‫َش ديْ ُد َبيَ ِ َ‬
‫ِ‬

‫س إِىَل النَّيِب ِّ صلى اهلل عليه‬ ‫ِ‬


‫َح ٌد‪َ ،‬حىَّت َجلَ َ‬ ‫الس َف ِر‪َ ،‬والَ َي ْع ِرفُ هُ منَّا أ َ‬‫َّ‬
‫ض َع َكفَّْي ِه َعلَى فَ ِخ َذيْ ِه‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َس نَ َد ُر ْكبََتْي ه إِىَل ُر ْكبََتْي ه َو َو َ‬ ‫وس لم فَأ ْ‬
‫ال رس و ُل ِ‬ ‫ِ‬ ‫ال‪ :‬ي ا حُمَ َّمد أ ْ رِب‬
‫اهلل صلى اهلل‬ ‫َخ ْيِن َع ِن اْ ِإل ْس الَم‪َ ،‬ف َق َ َ ُ ْ‬ ‫َوقَ َ َ‬
‫علي ه وس لم ‪ :‬اْ ِإل ِس الَ ُم أَ ْن تَ ْش َه َد أَ ْن الَ إِلَ هَ إِالَّ اهللُ َوأ َّ‬
‫َن حُمَ َّم ًدا‬
‫ض ا َن‪َ   ‬وحَتُ َّج‬ ‫الص الَةَ َو ُت ْؤيِت َّ‬ ‫اهلل وتُِ‬
‫ِ‬
‫ص ْو َم َر َم َ‬
‫الزك اَةَ َوتَ ُ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬ ‫م‬
‫َر ُس ْو ُل َ َ‬
‫ي‬
‫ْ‬ ‫ق‬
‫ِ‬ ‫ت إِلَْي ِه َس بِْيالً قَ َ‬ ‫الْبي ِ‬
‫ت‪َ ،‬ف َعجْبنَ ا لَهُ يَ ْس أَلُهُ‬ ‫ص َدقْ َ‬ ‫ال ‪َ :‬‬ ‫ت إِن ْ‬
‫اس تَطَ ْع َ‬ ‫َْ َ‬
‫ال ‪ :‬أَ ْن ُت ْؤ ِمن بِ ِ‬
‫اهلل‬ ‫ان قَ َ‬ ‫ويص ِّدقُه‪ ،‬قَ َال‪ :‬فَ أَخرِب يِن ع ِن اْ ِإلمْيَ ِ‬
‫َ‬ ‫ْْ َ‬ ‫َُ َ ُ‬
‫بِه َو ُر ُس لِ ِه َوالَْي ْوِم اآلخِ ِر َو ُت ْؤ ِم َن بِالْ َق َد ِر خَرْيِ ِه‬ ‫تِه و ُكتُ ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫َو َمالَئ َك َ‬
‫ال‪ :‬أَ ْن َت ْعبُ َد‬‫ان‪ ،‬قَ َ‬ ‫ال فَأَخرِب يِن ع ِن اْ ِإلحس ِ‬ ‫َو َشِّر ِه‪ .‬قَ َ‬
‫َْ‬ ‫ت‪ ،‬قَ َ ْ ْ َ‬ ‫ص َدقْ َ‬ ‫ال َ‬
‫َخرِب ْ يِن َع ِن‬ ‫َّك َت َراهُ فَ ِإ ْن مَلْ تَ ُك ْن َت َراهُ فَِإنَّهُ َي َر َاك ‪ .‬قَ َال‪ :‬فَ أ ْ‬
‫اهللَ َكأَن َ‬
‫َخرِب ْ يِن‬ ‫السائِ ِل‪ .‬قَ َ‬
‫ال فَأ ْ‬ ‫اع ِة‪ ،‬قَ َال‪َ :‬ما الْ َم ْس ُؤ ْو ُل َعْن َها بِأ َْعلَ َم ِم َن َّ‬ ‫الس َ‬
‫َّ‬

‫‪93‬‬
‫لِد اْأل ََم ةُ َربََّت َه ا َوأَ ْن َت َرى احْلَُف ا َة الْعُ َرا َة‬
َ َ‫ال أَ ْن ت‬ َ َ‫ ق‬،‫َع ْن أ ََم َاراهِتَ ا‬
َّ‫ مُث‬،‫ت َملِيًّا‬ ِ ِ
ُ ْ‫ مُثَّ انْطَلَ َق َفلَبِث‬،‫الْ َعالَةَ ِر َعاءَ الشَّاء َيتَطَ َاولُْو َن يِف الُْبْنيَ ان‬
ِ َّ ‫ ي ا عم ر أَتَ ْد ِري م ِن‬: ‫ال‬
. ‫ اهللُ َو َر ُس ْولُهُ أ َْعلَ َم‬: ‫ت‬ ُ ‫الس ائ ِل ؟ ُق ْل‬ َ َ َ ُ َ َ َ‫ق‬
]‫[رواه مسلم‬  . ‫ال فَِإنَّهُ ِجرْبِ يْ ُل أَتـَا ُك ْم يُ َعلِّ ُم ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم‬ َ َ‫ق‬
Arti hadits :
Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami
duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang
mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat
hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh
dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu
menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya
(Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “
Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka
bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam
adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang
disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia
berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang
bertanya dia pula yang  membenarkan. Kemudian dia
bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau
bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun
yang buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. 

94
Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan
“. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah
kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau
tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia
berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan
kejadiannya)”. Beliau bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih
tahu dari yang bertanya “. Dia berkata:  “ Beritahukan aku
tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda:  “ Jika seorang
hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang
bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala
domba, (kemudian)  berlomba-lomba meninggikan
bangunannya “, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam
sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah
engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia
adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud)
mengajarkan agama kalian “ (Riwayat Muslim)

Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya,


karena didalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu
Iman, Islam dan Ihsan.
Hadits ini mengandung makna yang sangat agung karena
berasal dari dua makhluk Allah yang terpercaya, yaitu:
Amiinussamaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan
Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/ Rasulullah).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, iman adalah
'keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, Nabi, kitab, dan
lain sebagainya'. Iman juga dapat diartikan sebagai
'ketetapan hati, keteguhan batin, dan keseimbangan batin'.

95
Akidah islam adalah iman kepada Allah, para malaikatnya,
kitab-kitabnya dan para rasulnya, dan hari akhir, juga
qodha’ dan qodar.

IMAN

Menurut pendapat Syeh Zarnuzi pengarang Kitab Ta’lim


Wamutallim, hendaknya seseorang mendahulukan ilmu
tauhid karena dengan ilmu tauhid dapat memahami tentang
Allah swt dengan dalil yang jelas bukan hanya sekedar
taklid, yaitu mantap dan percaya dengan ucapan orang lain
tanpa mengetahui dalilnya. Orang yang memiliki tingkatan
keimanan ini dianggap sah keimanannya, tetapi berdosa
karena Allah memberikan nikmat akal pada manusia untuk
mencari dalil dengan akal tersebut terhadap wujudnya Allah
dan sifat sifat Allah. Dan barang siapa yang tidak
menggunakan akalnya untuk mencari dalil maka dia
termasuk orang yang menyia nyiakan sukur nikmat akal dan
ini menyebabkan kufur nikmat dan ini berdosa.88
Islam menegaskan penggunaan akal bersama sama dengan
perasaan hati dan mewajibkan setiap muslim untuk
menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT
serta melarang bertaqlid dalam urusan akidah untuk ini
islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam
beriman kepada Allah.
Dalam hal ini penulis akan focus pada proses keimanan
santri yang ada di Pondok Pesantren pada umumnya dan
khususnya di pondok Modern Al-Rifa’ie.

88
Syeh ibrohim bin ismail, syarah ta’lim wamutaallim, al hidayah,
Surabaya, hal 12

96
Pada umumnya Orang tua yang memondokkan anaknya
dipesantren menyadari bahwa dirinya tidak sempat atau
bahkan tidak mampu mengajari anaknya tentang keilmuan
agama secara menyeluruh atau khususnya mengajari ilmu
ketauhidan atau keimanan yang disertai menunjukkan dalil
keimanan kepada anaknya. Dan seorang anak yang masuk di
pesantren walaupun sudah baligh tingkatan keimanan
mereka umumnya masih pada tingkat taklid hal ini sesuai
dengan penelitian penulis yang sekaligus mengajar pada
anak yang baru pertama kali masuk pesantren hampir 95 %
keimanan mereka mengikuti orang tua dan taklid, dan hal
ini terjadi karena banyak factor Dan penemuan penemuan
penelitian penulis pada ketaklidan santri baru di Pondok
Modern Al-Rifa’ie disebabkan :
1. Tidak pernah belajar di madrasah diniyah
2. 98 % orang tua tidak mengajari anak tentang ketauhidan
3. Secara umum keadaan walisantri yang sebelumnya belum
sempurna dalam belajar ilmu tauhid
5. Keadaan iman walisantri yang pada umumnya juga
masih taqlid
6. keadaan orang tua yang tidak mengetahui kitab kitab yang
membahas tentang ketauhidan
Proses keimanan dipondok Pesantren
Pada saat manusia beranjak dewasa yang ditandai oleh
kesempurnaan akalnya, sejak itu ia mulai berfikir tentang
keberadaannya didunia ini. Ia mulai berfikir tentang
beberapa pertanyaan yang sangat perlu, bahkan harus ia
jawab. Jawaban tersebut akan menjadi landasan kehidupan
selanjutnya selama masalah ini belum terjawab maka selama
itu pula manusia merasa tersesat dan tanpa tujuan yang jelas.
Beberapa pertanyaan pokok dan mendasar ini sering disebut

97
Uqdah Alkubro (simpul besar).pertanyaan besar tersebut
berupa :
Dari manakah manusia dan kehidupan ini
Untuk apa manusia dan kehidupan ini ada..?
Akan kemana manusia dan kehidupan setelah ini..?
Jika pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki
landasan kehidupan sekaligus tuntunan dan tujuan dalam
kehidupannya, terlepas dari jawabannya benar atau salah.89
Dengan berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban
tersebut melalui segala hal yang dapat dijangkau oleh
akalnya. Dengan berbekal pemikiran seperti ini orang tua
mengirim anaknya kepondok pesantren dengan harapan
anaknya mendapatkan jawaban atas pertanyaan pertanyaan
yang selama ini belum bisa dijelaskan secara jelas dan
terperinci. Untuk memenuhi harapan harapan walisantri
yang telah mengirimkan anaknya kepondok-pondok
pesantren yang ada dinusantara atas kesempurnaan iman
putra putrinya dan untuk mendapatkan keilmuan agama
yang lainnya, pada umumnya pondok pesantren telah
menyiapkan kurikulum kurikulum yang didalamnya sudah
terdapat pelajaran pelajaran tauhid dasar yang kemudian
dilanjutkan ditingkat selanjutnya sesuai dengan kelas yang
ditempuh santri, dan hal inipu juga sama yang dilakukan
pondok Modern Al-Rifa’ie diantara dengan kurikulum
kurikulum dasar.

A. KURIKULUM KEILMUAN KEIMANAN


1. Aqidatul Awam

89
Arif B iskandar, materi dasar islam islam mulai akar hingga daunnya,
Al-Azhar Press bogor.2016 Hal 8

98
Kitab ‘Aqîdatul ‘Awâm dikarang oleh Al-Imam Al-Allâmah
Ahmad bin Muhammad Ramadhân bin Manshûr Al-Makki
Al-Marzûki Al-Mâliki Al-Husaini Al-Hasani. Salah seorang
mufti mazhab Maliki di Makkah. Mandhûmah ‘Aqîdatul
‘Awâm memuat 57 bait. Dimulai dengan pujian kepada
Allah dan Rasululullah serta para sahabat dan keluarga
Nabi, kemudian kewajiban mengetahui sifat-sifat wajib bagi
Allah yang dua puluh, sifat-sifat mustahil, serta sifat jaiz.
Setelah itu disebutkan sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz
bagi para Rasul dan nama-nama 25 Nabi. Kemudian sifat
malaikat secara umum dan nama-nama malaikat yang 10,
nama-nama kitab yang 4, kewajiban menerima setiap apa
yang disampaikan Rasul, iman kepada hari kiamat, setelah
itu nama-nama keluarga Nabi, Isra Mi’raj dan kewajiban
shalat, kemudian penutup.
2. Tijan Durori
Kitab klasik Tijan ad-Daruri yang ditulis oleh Syekh
Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani atau yang
lebih populer dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani
membahas masalah sifat 20 ini Kitab ini merupakan syarah
(komentar) dari risalah ilmu tauhid yang ditulis oleh Syekh
Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri, seorang ulama Al-Azhar,
Mesir, atau yang dikenal dengan Risalah al-Bajuri.
Dalam kitab ini (Tijan ad-Daruri--Red), dijelaskan sifat-sifat
Allah tersebut, termasuk 20 sifat yang mustahil dimiliki oleh
Allah, yaitu lawan dari sifat wajib
3. Jawahirul Kalamiyah
Kitab jawahirul kalamiyah karya Syeh Thohir Bin Shaleh Al
Jazairi yang memuat empat pilar pendidikan tauhid 1. Nilai
Ilahiyah 2. Nilai nubuwah 3. Nilai ruhaniyah 4. Nilai
sam’iyah dari empat pilar pendidikan tauhid ini akan akan

99
menumbuhkan pada jiwa manusia ruh ketauhidan yang
berimplikasi pada manusia untuk beribadah sesuai dengan
Al-Qur’an dan Hadis dan mengajarkan pada manusia untuk
konsekwensi terhadap apa yang diikrarkan pada Allah dan
rasulnya serta menumbuhkan kepedulian terhadap sesama
muslim terhadap pengajaran akidah dah dan ketauhidan
serta menumbuhkan solidaritas Ukhuwah Islamiyah yang
berbuah akhlakul karimah.
4. Sanusiah
Kitab sanusiah membahas tentang pembagian sifat wajib
bagi Allah yang terbagi menjadi 4 :
1.sifat nafsiyah
2. sifat salbiyah
3. sifat ma’ani
4. sifat ma’nawiyah
5. Kifayatul Awam
Kitab Kifayatul ‘Awwam dikarang oleh Syekh Muhammad
bin Asy-Syafi’i Al-Fudholi Asy-Syafi’i .Kitab ini
membahas tentang beberapa hal pokok dalam masalah
tauhid terutama masalah Sifat Allah dan Rasul.Beliau
mengarang kitab ini karena diminta oleh beberapa sahabat
beliau untuk menulis sebuah risalah mengenai ilmu
tauhid .Permintaan ini beliau sanggupi dan beliau karang
dengan menggunakan metode penulisan Imam Sanusi
(pengarang Shugro Shugro) namun ditambah dengan
beberapa ilmu beliau untuk menjelaskan dalil-dalil secara
lebih terperinci dan “masuk Akal”.
Ilmu Tauhid adalah ilmu pokok dalam islam.Inti dari tauhid
adalah bahasan tentang sifat-sifat Allah agar kita bisa
mengenal Allah lebih jauh.Dalam bertauhid , kita tidak
boleh taklid (mengenal sesuatu namun tidak tahu

100
dalilnya).Bahkan orang yang taklid dalam bertauhid
dihukum kafir oleh sebagian Ulama.Oleh karena itu kita
harus mengetahui sifat-sifat Allah serta dalil-dalilnya secara
global maupun terperinci.

Untuk mengetahui ilmu tauhid dan dalilnya , tentu


dibutuhkan beberapa piranti penting , salah satunya adalah
hukum akal , agar cara berpikir kita itu benar dan tidak
dibuat-buat.Kelemahan seseorang dalam berpikir ,apalagi
salah dalam metode berpikir benar akan membawa kepada
pemahaman yang salah , dan tentunya pengamalan yang
salah. Oleh karena itulah , diawal pembahasan , pengarang
membahas terlebih dahulu hukum akal dan pembagiannya
serta contohnya secara ringkas , sebelum masuk ke inti
pembahasan

Bahasan utama ilmu tauhid dalam kitab ini adalah Akidah


50 , yaitu mengenal 20 sifat yang wajib  bagi Allah , 20
Sifat yang Mustahil , serta 1 sifat yang jaiz ,dan mengenal 4
sifat yang wajib bagi rasul , 4 sifat yang mustahil dan 1 yang
jaiz bagi rasul.Inilah 50 akidah pokok yang wajib diketahui
oleh setiap muslim beserta dalilnya secara global.

Pengetahuan tentang Tauhid yang benar akan semakin


mendekatkan kita kepada Allah , serta membuat kita lebih
merasakan Maha Besarnya Allah yang berkuasa atas alam
dan isinya.Tauhid yang benar akan membawa kita kepada
aplikasi ajaran islam yang baik dan benar , untuk mencapai
derajat taqwa yang diimpikan.

Dan masih banyak kitab kitab yang membahas tentang

101
keimanan seperti Ummul Barohin dan kitab Ihya’
Ulumuddin dan lain lain. Inilah kurikulum dipondok
Modern AL-Rifa’ie dalam rangka ikhtiar memproses
keimanan santri baru yang masih taqlid buta menuju tingkat
keimana ilmi atau yaqin yaitu mengetahui akidah akidah
beserta dalil-dalilnya. dan tingkatan keimanan yaqin
merupakan Tingkatan keimanan yang wajib dicapai
seseorang sedangkan tingkatan yang diatasnya merupakan
tingkatan-tingkatan keimanan yang dikhususkan oleh Allah
untuk hamba-Nya yang Dia kehendaki.
B. PEMBIASAAN SPIRITUALITAS
Untuk memupuk dan memantapkan ilmu keimanan
menancap kokoh dalam hati diperlukan pembiasaan dan
latihan olah spiritualitas pada umumnya dipesantren akan
diajarkan pembiasaan riyadhoh atau membaca aurot- aurot
tertentu dan hal inipun juga dilaksanakan dipondok pesanren
Modern Al-Rifa’ie
1. Dzikir
Kita tahu, bahwa salah satu tujuan dzikir adalah untuk
meraih ketenangan, agar kita bisa lebih dekat dengan Allah
Swt. Untuk mencapai tujuan itu, tentu dibutuhkan dzikir
yang tidak hanya sekedar ucapan lisan, melainkan
membutuhkan kesungguhan hati, dalam kata
lain bahwa dzikir mestilah dilakukan dengan khusuk. Dan
dipondok pesantren biasanya dilaksanakan setelah shalat
berjamah.
2. ISTIGHOSAH
Salah satu amaliyah untuk mempertebal keimanan santri
adalah istighasah. Istighasah adalah memohon pertolongan
kepada Allah SWT. Pelaksanaan istighasah diisi dengan
doa-doa dan dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara

102
berjamaah dan dipimpin oleh seorang imam istighasah atau
pengasuh pondok pesantren. Dan istighosah di Pondok
Modern Al Rifa’ie dilaksanakan setiap hari ahad yang
diikuti semua santri, wali santri, dan masyarakat umum
diwilayah Malang. Dan setelah istighosah dilanjutkan
pengajian irsyadul ibad dan setiap sebulan sekali
mengundang kyai dari luar untuk menambah semangat dan
menambah wawasan santri dan jamaah.

3. MAJUKI
Pembiasaan dzikir tidak hanya dilaksanakan setelah shalat
berjamaah tapi juga dilaksanakan setiap malam jum’ah legi
yang mashur dengan istilah majuki yang diawali dengan
shalat hajat, shalat tasbih dan dzikir dan diakhiri denga
shalat shubuh berjamaah.
Dengan proses keimana secara dhohir dan bathin dipondok
pesantren ini diharapkan akan mewujudkan santri yang
mempunyai iman yang yaqin dan kuat. Karena dengan
keimanan akan didapatkan kebahagiaan didunia dan akhirat.
Dengan keimanan akan digapai ketenangan dan kemantapan
hati dan jiwa. Dan dengan keimanan juga diperoleh
kenikmatan kehidupan didunia dan akhirat, Allah ta’ala
berfirman.
‫ص احِلًا ِم ْن ذَ َك ٍر أ َْو أُْنثَى َو ُه َو ُم ْؤ ِم ٌن َفلَنُ ْحيَِينَّهُ َحيَ ا ًة‬َ ‫ِل‬ َ ‫َم ْن َعم‬
‫َح َس ِن َما َكانُوا َي ْع َملُو َن‬ْ ‫َجَر ُه ْم بِأ‬ ُ ‫طَيِّبَةً َولَنَ ْج ِز َين‬
ْ ‫َّه ْم أ‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada

103
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan (QS. An-Nahl :9)
Dengan keimanan, surga dan kenikmatan serta anugerah
yang begitu banyak di dalamnya dapat diraih. Dengan
keimanan akan diperoleh keselamatan dari neraka dan dari
adzab yang pedih di dalamnya.

B. ISLAM dan IHSAN


Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan-Nya
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Manusia menjadi
makhluk mulia yang diberikan banyak kelebihan.
Tidak seperti makhluk lain yang diciptakan oleh
Allah, manusia mendapat anugrah akal sehingga ia bisa
berpikir, memilih dan memilah hal -hal yang baik dan
buruk, serta hal yang benar dan salah.
‫نس َن يِف ٓي أَ ۡحَس ِن تَ ۡقِومي‬ ِۡ ۡ ۡ
َٰ ‫لََق د َخلَقنَا ٱ ل إ‬
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q S. At-
Tin:4).

Allah sebagai pencipta manusia sudah pasti


mengetahui kebutuhan manusia tersebut. Maka,
diturunkanlah kitab -kitab suci sebagai pedoman serta
tuntunan hidup manusia menuju kebahagiaan, baik di

104
dunia maupun di akhirat. Di antara semua kitab Allah,
al-Qur‟an menjadi kitab yang menyempurnakan kitab
-kitab sebelumnya.
Allah telah menyediakan pedoman hidup bagi
manusia secara lengkap melalui Al-Qur’an. Isi Al-
Qur’an melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia.
Al-Qur’an mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, sekaligus mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya dan juga alam sekitarnya. Al-Qur’an
berbicara mengenai aqidah, ibadah dan akhlak. Ketiga
aspek ini pun dapat diimplementasikan ke berbagai
ranah kehidupan mulai dari sosial, ekonomi, budaya,
politik dan pemerintahan. Al-Qur’an menjadi kitab
hidayah dan petunjuk utama bagi kehidupan manusia.
‫َنز ۡلنَٓا إِلَ ۡي ُك مۡ نُور‬ ٰٓ
َ ‫ ِّمن َّربِّ ُك مۡ َوأ‬ٞ‫َّاس قَ ۡد َجٓاءَ ُكم بُ ۡرَٰهن‬
ُ ‫يَأَيُّ َها ٱلن‬
‫ُّمبِني‬
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad
dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu
cahaya yang terang benderang (Al Quran). (Q S. al-
Nisâ’: 174).
Dari term akhlak, di dalamnya termuat mengenai
ihsan. Ihsan memiliki posisi penting sebagai
representasi dari akhlak. Melalui al-Qur‟an pula, Allah
swt berkalam untuk memerintahkan manusia agar
berbuat ihsan. Bahkan, posisi ihsan sangat penting dalam
kehidupan manusia.

105
‫ٓاي ِذي ٱ ۡلُق ۡرىَب ٰ َويَ ۡنَه ٰى َع ِن‬ ۡ ۡ
ِٕ َ‫إِ َّن ٱللَّهَ يَ أُمُر بِٱ لَع ۡدِل َوٱ لِإ ۡح َٰس ِن َوإِيت‬
ۡ
ِ ‫ٱ ۡلَف ۡحش‬
‫ٓاء َوٱ ۡلُمن َك ِر َوٱ ۡلبَ ۡغ ۚ ِي يَعِظُ ُك مۡ لَ َعلَّ ُك مۡ تَ َذ َّكُرو َن‬ َ
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS.
al-Nahl : 90).
Dalam konteks inilah, melakukan telaah mengenai
ihsan dalam Al-Qur’an merupakan hal penting. Sebab,
manusia memiliki kewajiban berihsan dalam
berhubungan dengan manusia lain di kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, maka
manusia dapat menjadi khalifah yang ideal sesuai Al-
Qur’an. Dari term akhlak, di dalamnya termuat
mengenai ihsan. Ihsan memiliki posisi penting sebagai
representasi dari akhlak. Bahkan, posisi ihsan sangat
penting dalam kehidupan manusia.
Ihsan ialah ikhlas beramal karena mencari
keridlaan Allah. semata. Sesungguhnya orang yang
pamer (riya’) dalam beramal, berarti telah menganiaya
diri sendiri, sebab amalnya kelak di akhirat akan
membawa dosa. Sebab itulah, maka seseorang harus
berkeyakinan bahwa Allah. selalu melihat dan
mengawasi dirinya, sehingga akan memberi pengaruh
kepada dirinya untuk beribadah kepada Allah, dan dalam
beribadah seolah-olah melihat Allah. Jika tidak dapat
demikian, maka berkeyakinan bahwa Allah. selalu
melihat peribadatannya. Oleh karena yang demikian,
maka hendaklah selalu menjaga kesopanan dalam

106
segala aspek kehidupan dan perbuatan, serta ikhlas
dalam beribadah kepada Allah, ingat kepada Nya
baik di tempat yang ramai dan yang sunyi, di kala
suka dan di kala duka agar mendapatkan dua
kebahagiaan dan keuntungan, kini dan nanti di
akhirat.90
Di antara tuntunan yang digunakan Allah untuk
mengukur kualitas ialah ihsan. Konsep ihsan dipahami
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim yang berbunyi, “ihsan adalah jika
beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya.
Jika itu tidak dapat kamu rasakan, yakinilah bahwa
Dia melihatmu”. Imam Ibn Katsir dalam Tafsir Al-
Qur’an mengatakan, “Imam Sufyan bin Uyainah berkata,
ihsan ialah keadaan dalam (yaitu, hati) adalah lebih
baik daripada luarnya”. Dalam kitab Dalilul Falihin,
disebutkan, “ihsan akan dihasilkan apabila
pelaksanaan amal saleh dilakukan dengan
memelihara cara-caranya seperti yang dituntut di
samping memelihara hak-hak Allah dengan
menghadirkan kebesaran dan keagungan nya di hati
secara terus-terusan”.91
Berbuat ihsanlah dalam semua ketaatan serta
jadikanlah semua amal ikhlas karena Allah. Amal
apapun itu, misalnya dengan membantu orang lain
dengan kedudukan yang dimilikinya, beramr ma’ruf dan
bernahi munkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat,
90
A. Mujab Mahali, Insan Kamil dalam Kaca Pandang Rasulullah
(Yogyakarta: BPFE, 1986), 67.
91
Danial Zainal Abidin, Tips-tips cemerlang dari al- Qur‟an
(Jakarta: PT. Mizan Publika, 2008),
139-140.

107
memenuhi kebutuhan manusia, menghilangkan derita
yang menimpa mereka, menjenguk orang yang sakit,
mengiringi jenazah, membimbing orang yang tersesat,
membantu orang yang mengerjakan sesuatu,
92
mengajarkan keterampilan, dan lain-lain.
Ini terkait erat dengan era teknologi dimana banyak
fenomena orang-orang yang beramal bukan muncul
dari keikhlasan namun terdapat unsur pencitraan,
yakni para politisi yang tiba-tiba jadi banyak berbuat
amal menjelang pemilu. Hal ini digunakan untuk
memperbaiki citra mereka di mata publik. Pencitraan
tersebut telah didukung oleh maraknya sosial media
seperti Facebook, Twitter atau media-media lain yang
mulai merajalela di Indonesia. User pengguna media
dapat sesuka hati memamerkan apa yang sedang
dilakukan, baik sedang makan, sedang senang, sedang
sedih, sedang dipikirkan banyak orang sekaligus
ataupun memberi sedekah kepada orang lain.
Pencitraan model baru ini semakin merajalela dengan
semakin merajalelanya ponsel-ponsel yang bisa
internetan di Indonesia. Ponsel-ponsel ini memungkinkan
semua orang untuk update status dimanapun kapanpun
tanpa perlu menunggu pulang ke rumah atau pergi ke
warnet, sehingga terkenal dengan istilah era imagologi.
Sebagai pokok ajaran Islam yaitu berbuat kebaikan
ketika melaksanakan ibadah Allah ataupun dalam
bermuamalah dengan sesama makhluk yang disertai
keikhlasan seolah-olah disaksikan oleh Allah
meskipun tidak melihat Allah. Dalam hal ini Allah

92
Mahmud Yunus, Tafsir al- Qur’an al- Karim Juz 1 (Jakarta:
PT. Hidakarya Agung, 1969), 125.

108
selalu menegaskan bagi orang yang berbuat kebajikan
akan mendapatkan balasan kebaikan pula. Selain
berbuat kebajikan dengan Allah, kebajikan kepada
sesama makhluk pun dianjurkan.
Adapun ruang lingkup ihsan tersebut diantaranya
adalah:
a. Ibadah
Ihsan dalam ibadah itu diwajibkan, yaitu
dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti
shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara
yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun,
sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan
mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba,
kecuali jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah
tersebut dipenuhi dengan cita rasa yang sangat
kuat (menikmatinya), juga dengan kesadaran
penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya
hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan
diperhatikan oleh Nya. Minimal seorang hamba
merasakan bahwa Allah senantiasa
memantaunya, karena dengan inilah maka
dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut
dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari
ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan.
Seperti perkataan Rasulullah yang berbunyi,
“Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-
akan engkau melihat Nya, dan jika engkau tak
dapat melihat Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu”.

b. Muamalah

109
Ihsan dari muamalah, berikut yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut adalah: ihsan secara
umum dan ihsan dalam pekerjaan:
1. Ihsan secara umum
Ihsan kepada manusia secara umum ialah
bersikap ramah kepada mereka dalam
pergaulan dan pembicaraan, menyuruh
kepada kebaikan dan mencegah dari
kemungkaran, membimbing mereka yang
tersesat, mengajari mereka yang bodoh,
berlaku adil terhadap mereka, mengakui
hak-hak mereka, tidak menyakiti mereka,
serta tidak melakukan sesuatu yang dapat
membahayakan atau mengganggu mereka.

2. Ihsan dalam pekerjaan


Ihsan dalam pekerjaan yaitu
menyempurnakan pekerjaan, memahirkan
keterampilan, serta membersihkan seluruh
pekerjaan dari unsur penipuan, sebagai bentuk
pemahaman terhadap sabda Rasulullah di
dalam kitab As- Sahih, “Barangsiapa
menipu, maka ia bukan termasuk golongan
kami”.93

c. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan
buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang

93
Abu Bakar Jabir al- Jazairy, Pedoman Hidup Harian
Seorang Muslim (Jakarta Timur: Ummul
Qura, 2017), 344.

110
akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya
apabila telah melakukan ibadah seperti yang
menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yaitu
menyembah Allah seakan-akan melihat Nya, dan
jika kita tidak dapat melihat Nya, maka
sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita.
Jika hal itu telah dicapai oleh seorang hamba,
maka sesungguhnya itulah puncak
ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan
berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam
ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika ingin melihat nilai ihsan pada diri
seseorang yang diperoleh dari hasil maksimal
ibadahnya, maka akan menemukannya dalam
muamalah kehidupannya, yakni bermuamalah
dengan sesama manusia, lingkungannya,
pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan itu, maka
Rasulullah mengatakan dalam hadits, “aku
diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak
yang mulia”.
Adapun ciri-ciri sikap ihsan adalah mentaati
perintah dan larangan Allah. dengan ikhlas,
senantiasa amanah, jujur, dan menepati janji,
merasakan nikmat dan haus akan ibadah,
mewujudkan keharmonisan masyarakat, dan
mendapat ganjaran pahala dari Allah. Sedangkan
cara penghayatan ihsan dalam kehidupan di
antaranya adalah menyembah dan beribadah

111
kepada Allah, memelihara kesucian akidah tidak
terbatal, mengerjakan ibadah fardhu „ain dan
sunnah, hubungan baik dengan keluarga,
tetangga, dan masyarakat, melakukan perkara-
perkara yang baik, mengamalkan sifat-sifat
mahmudah, dan bersyukur atas nikmat Allah.

112
-Tradisi Dakwah Pesantren-
A. Tradisi Dakwah Pesantren
Dakwah suatu tabi’at yang mulia di dalam islam baik
di mata manusia maupun di sisi Allah Swt. melestarikan
ajaran islam yang telah di bawa Rasulullah SAW. sebagai
petunjuk umat manusia agar selamat menuju ke alam kekal
akhirat. M. Quraish Shihab, dakwah adalah seruan atau
ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi
kepada situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap
pribadi maupun masyarakat. (Munir Amin, 2009: 4). Ya'qub
bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia dengan
hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya.94 Umar dakwah adalah mengajak manusia
dengan cara bijaksana menuju pada jalan yang benar sesuai
dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan
kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.95 Menurut
Didin Hafidhudin bahwa ketiadaan dakwah adalah bencana
besar yang akan mengikis ajaran islam, dan bahkan, akan
mematikan Islam di tenga-tengah kehidupan manusia.96
Berdakwah sesuai dengan Rasulullah itu penuh dengan
kedamaian tidak menimbulkan kerusuhan, di era milenial
saat ini banyak kelompok islam yang tidak jelas sanad
keilmuanya memproklamirkan berdakwah tetapi malah
94
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, Jakarta, Gaya Media
Pratama. 1997), hal. 39
95
Umar, Toha Yahya, Ilmu Dakwah, ( Jakarta: Widjaja.
1985), hal 1
96
Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Depok: Gema Insani,
1998), hal. 162.

113
menimbulkan kericuhan, keresahan sehingga menjadikan
umat makin berpecah belah. Padahal ajaran islam yang
dibawakan Rasulullah Saw. adalah “Islam Rahmatan Lil
Alamin “ islam yang ramah bukan marah, dijelaskan dalam
AL-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 bahwa:
‫ْم ِة َوٱلْ َم ْو ِعظَ ِة ٱحْلَ َس نَ ِة ۖ َو َٰج ِدهْلُم بِٱلَّىِت ِه َى‬ ِ ِ َ ِّ‫ْٱدع إِىَل ٰ س بِ ِيل رب‬
َ ‫ك بٱحْل ك‬ َ َ ُ
ِ ِ ِِ ِ
{ ‫ين‬ َ ‫ض َّل َعن َسبيلۦه ۖ َو ُه َو أ َْعلَ ُم بٱلْ ُم ْهتَ د‬ َ ‫ك ُه َو أ َْعلَ ُم مِب َن‬َ َّ‫َح َس ُن ۚ إِ َّن َرب‬
ْ‫أ‬
} ١٢۵

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan


hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.
Dari ayat tersebut menyerukan kepada cendikiawan
muslim untuk meneruskan estafet perjuangan Rasulullah
Saw dari masa ke masa dengan damai tanpa ada kekerasan
dan paksaan. Dalam sejarah penyebaran islam di Indonesia
tercatat Wali Sanga telah berhasil mengaplikasikan QS. An-
Nahl ayat 125 dalam berdakwah, menggunakan satrategi
yang jitu menyesuaikan dengan keadaan sosial, politik dan
budaya masyarakat. Walisongo adalah para sufi dan juga
para psikolog yang mampu memengaruhi masyarakat Jawa
pada masanya untuk menerima dan menjadikan Islam
sebagai keyakinan baru yang membawa ketentraman (lihat
dalam Alwi Shihab, 2001: 38). Hingga islam di Indonesia
lestari sampai saat ini, bahkan tercatat sebagai Negara
berpenduduk muslim terbesar dunia. Selain jumlahnya

114
sangat besar konflik-konflik tak terhindarkan. Generasi
islam di era milenial ini mulai banyak bermunculan konflik
antar umat islam sehingga menjadi perpecahan.
Dampak dari konflik yang terjadi saat ini sangat
besar pengaruhnya terhadap generasi masa kini. Moralitas
bangsa menurun drastis banyak terjadi kriminalitas hal ini di
karenakan kosongnya ilmu keagamaan, melihat kondisi saat
ini wajib bagi setiap muslim mendalami keagamaan pesan
Rasulullah Saw. mengenai keilmuan khususnya keagamaan.
 ) ‫طلب العلم فريضة على كل مسلم (روه ابن جمه‬
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”  (HR. Ibnu
Majah no. 224)
Sebagai benteng diri agar tidak mudah terprofokasi
oleh golongan yang ingin memcah belah umat. Degan
demikian Pesantrenlah jawaban dari polemic saat ini
walaupun ada lembaga selain Pesantren sebagai sarana
untuk mendalami kailmuan agama islam. Dalam kehidupan
pesantren Santri berkembang solidaritas yang cukup tinggi,
toleransi dalam menjalankan tugas, dan rasa pengorbanan
cukup besar bagi kepentingan umum. Kelebihan tersebut
menjadikan pesantren memiliki potensi atau peluang cukup
besar sebagai agen pembangun.97 Pesantren sangat efektif
dalam pendalaman ilmu keagamaan islam dalam
membentengi generasi bangsa ini mewujudkan islam yang
rahmatal lil’alamin. Sosok seorang kiyai dengan
kepemimpinan kharismatik yang di miliki mampu mendidik
para santri menjadi insan yang kokoh dan tangguh dalam
memperjuangkan ajaran agama islam yang berasaskan

Abdurrahman Wahid, “Pergulatan Negara, Agama, dan


97

Kebudayaan,” (Jakarta: Desantara, 2001), 133.

115
Ahlusunnah Waljama’ah . Aktifitas dakwah yang dilakukan
oleh kiyai ada 3 kategori, yakni98:

1. Dakwah bi al-lisan
Dakwah bi al-lisan merupakan penyampaian
informasi atau pesan dakwah melalui lisan, dapat berupa
ceramah, Symposium, diskusi, khutbah, sarasehan, dan lain
sebagainya. Allah berfirman dalam Q.S. Fhussilat ayat 33 :
‫ص احِلًا َوقَ َال إِنَّيِن ِم َن‬ ِ َّ ِ ‫مِم‬
َ ‫ِل‬
َ ‫َح َس ُن َق ْواًل َّْن َد َعا إىَل الله َو َعم‬
ْ ‫َو َم ْن أ‬
‫ني‬ ِِ
َ ‫الْ ُم ْسلم‬
Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan
berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
menyerah diri?" (Q.S. Fhussilat : 33)
Kajian ini biasanya dilaksanakan di pesantren pada
waktu tertentu tidak setiap hari semisal di Ponpes Al-
Hikmah Tanjung Sari Kuwolu Bululawang. Dakwah bi al-
lisan dilaksanakan ba’da sholat subuh pada hari selasa
mengkaji kitab ‘Aqidatul Awam di ajar oleh K.H Abdullah
Ibrahim di ikuti oleh seluruh santri lalu pada hari Rabu
ba’da Ashar mengkaji kitab Bidayatul Hidayah oleh Kiyai
Malik Zahir .99 selain itu lebih modern lagi kajian kitab
Mukhtarul Hadits di Ponpes An-Nur I oleh Dr. K.H Ahmad

Wardi Bachtiyar, Metologi Penelitian Ilmu Dakwah,


98

(Jakarta:Logos Wahan Ilmu, 1997). Hal. 34


99
Observasi di Ponpes Al-Himah Tanjungsari Kuwolu
Bululawang Oleh Ma’arif Hidayatullah pada saat nyamtri

116
Fahrur Rozi dengan Leave Streming di Facebook.100 Dan
masih banyak lagi yang lainya.

2. Dakwah dengan tulisan


Dakwah dengan tulisan adalah penyimpanan
informasi atau pesan dakwah melalui tulisan, dapat berupa
buku, majalah, surat kabar, spanduk pamphlet, lukisan-
lukisan, bulletin dakwah, dan lain sebagainya. "Setetes tinta
Ulama lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada
ribuan darah syuhada' yang meninggal di medan perang"
(Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Bab Ilmu)
sedangkan pendapat lain "Satu peluru hanya bisa
menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu
menembus jutaan kepala,” (Sayyid Quthub ) Banyak para
kiyai yang dakwah melalui tulisan-tulisan menciptakan
sebuah kitab untuk mempermudah para santri dalam
memahami ilmu keagamaan di pesantren diantaranya
ialah101 :
1. Kitab Siraj Al-Thalibin syarah kitab Minhaj Al-
Abidin, merupakan karya tulis Syeh Ihsan bin
Dahlan Pengasuh Pondok Pesantren Jampes Kediri
mengkaji tentang Tasawuf.
2. Kitab Irsyad Al-Ihwan Fi Bayani Qohwah Wa
Dhuhan, karya Syeh Ihsan bin Dahlan mengulas
tentang Rokok dan Kopi mulai dari asal muasal
rokok dan kopi hingga hukum.
100

https://www.facebook.com/annursatu.bululawang/videos/266841656
3262681
101
Dr. Muhamad Husni dan Fathul Wahab “Karya Tulis
Ulama Nusantara “ (Malang : Gubuklawas.com dan Kaf Writer
Madani, 2020)

117
3. Kitab Manahij dan al Imdad ditulis syeh Ihsan bin
Dahlan, terbagi menjadi 2 juz. Kitab ini merupakan
syarah kitab Irsyad al-Ibad, karya Zainudin Al-
Mulaubari (98 H).
4. Kitab Auraq al-Haqirah merupakan kitab Falakiyah
di tilis oleh K.H. Masruhin dari PP Jampes Kediri.
5. Kitab Tasilah al-Mubtadi’in Karya Zainullah
Pengasuh PP Nurul Ulum Ganjaran Gondanglegi
Malang. Membahas tentang nasalah-masalah pokok
agama Islam.
6. Kitab Mujzi Fi Nadzim ‘izzy karya Zainullah
Pengasuh PP Nurul Ulum Ganjaran Gondanglegi
Malang. Kitab ini berupa nadham-nadham.
7. Kitab Minhatul dzi Jalali Fi Qawa’id al-I’lal karya
K.H Abdul Aziz Mansur Lirboyo. Mengkaji
tentang Kaidah Sharraf yang di tulis dalam bentuk
nadham kemudian di uraikan.

3. Dakwah bil al-hal


Pesantren berperan sebagai lembaga yang
mengembangkan nilai moral-spiritual, informasi,
komunikasi timbal balik secara kultural dengan
masyarakatnya.102 Dakwah bil al-hal adalah dakwah melalui
perbuatan nyata seperti perilaku yang sopan sesuai dengan
ajaran Islam, memelihara lingkungan, mencari nafkah
dengan tekun, ulet, sabar, semangat, kerja keras, menolong
sesama manusia. Kiyai di pesantren dalam mendidik para
santri tidak hanya sekedar dengan tulisan dan lisan atau

102
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi Menuju Millinium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), hlm. 108.

118
pengajaran saja tetapi melalui prilaku juga sebagai tauladan
santri seperti halnya Riyadhoh berbagai macam cara kiyai
dalam Meriyadhohi santrinya semata-mata agar ilmu
santrinya bermanfaat dan barokah. Hal tersebut tercermin
oleh K.H Fathur Rohman Sholeh salah satu pengasuh
ponpes Al-Hikmah Tanjungsari Kuwolu Bululawang beliau
tidak pernah meninggalkan waktunya di seper tiga malam
untuk tidak sholat qiyamul lail untuk mendoakan santri agar
di beri barokah dan manfaat ilmunya, lain dengan Kiyai
Ahmad Malik Zahir adik K.H Fathur Rohman Sholeh beliau
selain setiap malam tidak pernah tidur qiyamul lail beliau
juga mengamalkan Da’imul Wulu’ mejaga wudlu’ setiap
batal beliau langsung wudlu’, dawuh beliau “banyak
manfaatnya menjaga wudlu’ salah satunya jika kita selalu
dalam keadaan memiliki wudlu’ maka malaikat mendekat
jika dekat dengat malaikat do’a kita mudah di ijabah”. 103
Lain halnya dengan Al Habib Abdulloh Bin Abdul Qodir
Pengasuh PP Darul Hadits Malang beliau setiap malam
tidak pernah sama sekali meninggalkan qiyamul lail
mendoakan para santri, setiap malam beliau keliling kamar
para santrinya melihat kondisi para santri jika ada selimut
santrinya yang terlepas dari tubuhnya maka tak segan beliau
membetulkan selimut tersebut dengan kemulyaan akhlak
beliau semua santri sangat menghormati dan banyak
santrinya yang menjadi ulama.104

B. Klasifikasi Dakwah dalam Pesantren

103
Observasi di Ponpes Al-Himah Tanjungsari Kuwolu
Bululawang Oleh Ma’arif Hidayatullah pada saat nyamtri
104
Sambutan salah satu santrinya dalam acara Haul Akbar PP
Darul Hadits Malang

119
1. Ta’lim
Ta’lim merupakan nama lain dari pendidikan, konsep
pendidikan dalam Islam adalah ta'lim. M. Thalib
mengatakan bahwa ta’lim memiliki arti memberitahukan
sesuatu kepada seseorang yang belum tahu (Thalib, 1996:
16).105 Menurut Abdul Fattah Jalal taklim sebagai proses
pemberi pengetahuan, pemaha-man, pengertian, tanggung
jawab, dan penanaman amanah,…. Ta’lim menyangkut
aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan
seseorang dalam hidup serta pedoman perilaku yang baik.
Ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan
semenjak dilahirkan, sebab manusia dilahirkan tidak
mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai
potensi yang memper-siapkannya untuk
meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta
memanfaatkannya dalam kehidupan (Jalal, 1977: 32).106
Pemahaman ini bersumber dari firman Allah SWT :

َّ ‫ون أ َُّم َٰهتِ ُك ْم اَل َت ْعلَ ُم و َن َشْئًٔـًا َو َج َع َل لَ ُك ُم‬


‫ٱلس ْم َع‬ ِ ُ‫وٱللَّه أَخ رج ُكم ِّم ۢنبط‬
ُ َ َْ ُ َ
‫َدةَ ۙ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُرو َن‬d‫صَٰر َوٱأْل َفِْٔٔـ‬
َ ْ‫َوٱأْل َب‬
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur." (Q.S. al-Nahl/16:78).

105
M. Thalib, Pendidikan Islam Metode 30 T, Bandung:
Irsyad Baitus Salam,1996
106
Abdul Fatah Jalal Min Ushul al-Tarbiyyah fi al-Islam,
Mesir: Daar al-Kutuh al-Misriyah, 1977

120
Menurut Muhammad Athiyah alAbrasy, ta’lim lebih
khusus dibandingkan dengan tarbiyah, karena taklim hanya
merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu
pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan tarbiyah
mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan (al-Abrasy,
1968:32).107
Muhammad Naquib al-Attas, mengartikan ta’lim dengan
pengajaran. Bila ta’lim disinonimkan dengan tarbiyah, maka
ta’lim mempunyi arti pengenalan tempat segala sesuatu
dalam sebuah sistem. Menurutnya ada hal yang
membedakan antara tarbiyah dengan ta’lim, yaitu ruang
lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena
tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya
mengacu pada kondisi eksistensial, yang mengacu pada
segala sesuatu yang bersifat fisik mental (Naquib, 17).108
Dari berbagai definisi di atas di simpulkan bahwa Ta’lim
merupakan pengajaran keilmuan terhadap seseorang berupa
pengetahuan tentang kehidupan dan di terapkan sebagai
pedoman hidup. Pendidikan didalam pesantren tidak hanya
diajarkan tentang keilmuan keagamaan saja melainkan
diajarkan kehidupan bermasyarakat. Nurcholish Madjid
mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah
system pendidikan, yang di samping menjunjung tinggi
nilai-nilai Islam, juga nilai-nilai asli (indigenous) yang
berkembang di lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren
dibangun dari pengalaman masyarakat Islam Indonesia
dalam kegiatan transmisi ajaran Islam dengan berbagai

107
M. Athiyah, al-Abrasy, al-Tarbiyah alIslamiyah,
Penerjemah: Bustani A. Goni dkk., Jakarta: Bulan Bintang, 1968
108
Muhammad Naquib, al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam
Islam. Bandung: Mizan, 1988

121
karakter yang unik.109 Selain itu pesantren tidak saja dikenal
sebagai lembaga pendidikan dengan tugas utama transmisi
ajaran, tetapi juga dikenal sebagai lembaga dakwah yang
mempunyai perhatian khusus dalam memecahkan problem
sosio-kultural.110 Sangat kaya akan pengetahuan di dalam
pesantren baik ilmu keagamaan maupun kemasyarakatan.
Fleksibilitas pesantren ini sesuai dengan slogan yang
selama ini popular di dunia pesantren: al-muhafazah ‘ala
al-qadim al-salih wa al-akhdu bi al-jadid al-aslah
(memelihara nilai-nilai terdahulu yang sudah baik dan
mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).111 saat ini ada
banyak macam-macam pesantren mulai dari Pondok
Pesantren Salaf yang focus di keilmuan keagamaan saja
mempertahankan keaslian pendidikan pesantren zaman dulu
seperti PONPES Darul Hadits Malang, PONPES Roudhlatul
Muhksinin Maqbul Kuwolu Bululawang, PIQ Pondok Ilmu
Qur’an Singosari dan lain sebagainya. Pondok Pesantren
Modern yang mana selain ada Pendidikan keagamaan atau
disebut Madrasah Diniyah juga ada pendidikan formalnya
seperti sekolah pada Umumnya seperti Modern Ar-Rifa’I,
109
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2000), hlm. 51. Bandingkan dengan Abdurahman Mas’ud,
Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yoyakarta:
LKiS, 2004), hal. 49.
110
Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta:
Dharma Bhakti,1984). Lihat juga pengantar oleh Agus Maftuh
Abegebriel, “Madhab Islam Kosmopolitan Gus Dur”, dalam
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilainilai Indonesia
dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute,
2007), hal. xviii.
111
Ahmad Zahro, Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999:
Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal 21.

122
PONPES An-Nur Bululawang, PONPES Nurul Jadid Paiton
dan masih banyak lagi yang lainnya.

2. Tawashi
Kata tawashi asalnya dari wasiat secara etimologi
artinya bersambung. Seseorang memberikan wasiat artinya
menyambungkan apa yang diinginkannya kepada orang lain.
Mengingatkan orang lain akan kebenaran Seperti dalam
kalamNya:
َ ‫ت إِن َت َر َك َخْي ًرا ٱلْ َو ِص يَّةُ لِْل َٰو‬
‫لِديْ ِن‬ ُ ‫َح َد ُك ُم ٱلْ َم ْو‬ َ ‫ب َعلَْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ‫ض َر أ‬ َ ‫ُكت‬
ِ
ِ ِ
َ ‫ني بِٱلْ َم ْعُروف ۖ َحقًّا َعلَى ٱلْ ُمتَّق‬
‫ني‬ َ ِ‫َوٱأْل َ ْقَرب‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”(QS.Al-Baqarah:180)
Tawashi/wasiat tidak berupa harta benda saja dalam
makna luas juga berkaitan dengan pesan moral agar orang-
orang beriman berbuat kebajikan dan kesabaran Allah telah
berfirman dalam QS Al-Ashr : 3
َّ ِ‫اص ۡاو ب‬ ۡ ِ ِ ٰ ‫اِاَّل الَّ ِذ ۡين اٰمنُ ۡاو و ع ِملُوا‬
‫الص ۡبر‬ َ ‫اص ۡاو بِا َحل ِّق ۙ َوَت َو‬
َ ‫الصل ٰحت َو َت َو‬
ّ َ َ َ َ
Artinya : “kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk
kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS.
Al-Ashr:3)
Kata tawashi/wasiat dalam Al-Qur’an secara global
dikategorikan menjadi 2 kelompok arti. Pertama wasiat
dalam arti menyampaikan pesan yang terkait dengan harta,
sedangkan yang Kedua yakni menyampaikan pesan

123
berharga. Adapun bentuk lain Tawashi ialah bentuk
komunikasi yang menghubungkan orang-orang terdekat dan
orang-orang khusus, sehingga terjalin suasana hati yang
dekat dan akrab.112 Uraian tersebut diterapkan oleh Para
kiyai-kiyai sepuh pondok pesantren sebelum meninggal
belia berpesan kepada keluarga dan putra-putrinya jika
sewaktu-waktu beliau di panggil oleh Allah swt menunjuk
salah satu keluarga untuk menggantikan sebagai pengasuh
Pondok Pesantren yang telah didrikanya agar tidak berhenti
di masanya saja. Kiyai tidak sembarang menunjuk tetapi
sudah tau kemampuan keilmuan dan kesabaran keluarganya
yang akan menggantikannya sebagai penerus dalam
mengembangkan pesantren karena tidak sembarang orang
bisa menjadi pengasuh Pondok Pesantren. Sang penerus
harus memiliki disiplin ilmu keagamaan islam secara
mendalam Maka pada saat ini banyak Pondok Pesantren
yang di teruskan oleh salah satu keturunan pendiri sekaligus
pengasuh Pondok Pesantren seperti PONPES Ar-Rifa’I,
PONPES An-Nur Bululawang, PONPES Roudhotul
Muhksinin Maqbul, PONPES Darul Hadits Malang dan lain
sebagainya. Para pendiri dan pengasuh PONPES yang telah
disebutkan telah wafat dan sekarang di teruskan oleh
putranya atas wasiat pendiri.

3. Nashiha
Nashiha/Nasihat secara etimologi merupakan murni,
jernih, bersih, tanpa noda yang memberikan semangat
terhadap orang-orang baik supaya bertahan dengan
kebaikanya. An-Nasih menurut ahli bahasa Abu Bakr Abdul

112
Hefni, Harjani, Komunikasi Islam, ( Jakarta 
: Prenadamedia Group, 2015)

124
Qahir ibnu Abdurrahman al-jurjan ialah mengajak orang
lain agar melaksanakan suatu perkara yang mengandung
kemaslahatan dan larangan melakukan yang mengandung
kerusakan . Menurut Ibnu al-Atsir, nasihat merupakan
untaian kata yang diungkapkan buat orang yang diberi
nasihat dengan harapan orang yang diberikan nasihat
bertambah baik. Sedangkan Nasihat merupakan
penyampaian kata-kata yang menyentu hati dan disertai
keteladanan (Syarbini, 2013: 85). Al-Khattabi
113
mengukapakan :
ِ ٍِ ‫هِب‬ ِ ِ
ُ ‫النَّصْي َحةُ َكل َمةٌ يُ َعَّبُر َا َع ْن مُجْلَة ه َي إَِر َادةُ اخلَرْيِ ل ْل َمْن‬
ُ‫ص ْو ِح لَه‬
“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna
mewujudkan kebaikan kepada yangditujukan
nasihat.”(Jami’Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:219)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Menasihati
sesama muslim (selain ulil amri) berarti adalah menunjuki
berbagai maslahat untuk mereka yaitu dalam urusan dunia
dan akhirat mereka, tidak menyakiti mereka, mengajarkan
perkara yang mereka tidak tahu, menolong mereka dengan
perkataan dan perbuatan, menutupi aib mereka,
menghilangkan mereka dari bahaya dan memberikan
mereka manfaat serta melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2:35).114

4. Amr Ma’ruf Nahi Munkar


113
Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun
1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
dan Ibrahim Bajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
114
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, Tahun
1433 H. Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi.
PenerbitDarIbniHazm.

125
Syekh an-Nawawi Banten di dalam kitab beliau,
Tafsir Munir berkata, “Amar ma’ruf nahi munkar termasuk
fardlu kifayah. Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh
dilakukan kecuali oleh orang yang tahu betul keadaan dan
siasat bermasyarakat agar ia tidak tambah menjerumuskan
orang yang diperintah atau orang yang dilarang dalam
perbuatan dosa yang lebih parah. Karena sesungguhnya
orang yang bodoh terkadang malah mengajak kepada
perkara yang batil, memerintahkan perkara yang munkar,
melarang perkara yang ma’ruf, terkadang bersikap keras di
tempat yang seharusnya bersikap halus dan bersikap halus di
dalam tempat yang seharusnya bersikap keras.”115
Imam Muhyiddin an-Nawawi berkata di dalam kitab
Raudlatut Thâlibîn:116 
‫ وال تكفي كراهة القلب ملن‬،‫وال يكفي الوعظ ملن أمكنه إزالته بالي د‬
‫قدر على النهي باللسان‬
“Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu
menghilangkan kemunkaran dengan tangan. Dan tidak
cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu
mencegah kemunkaran dengan lisan.”

Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani berkata di dalam


117
:kitabnya, Hasyiyah asy-Syarwani
115
Syekh an-Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir, (Beirut, Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan ketiga, jilid II), hal. 59
116
Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn,
(Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V),
hal. 123
117
Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-
Syarwani ala Tuhfahtil Muhtaj, (Beirut, Dar al-Kutub al-
Ilmiyah,2003cetakankeempat,jilid7),hal217

126
‫ فإذا‬.‫والواجب على اآلمر والناهي أن يأمر وينهى باألخف مث األخف‬
‫حصل التغيري بالكالم اللني فليس له التكلم بالكالم اخلشن وهكذا كما‬
‫قاله العلماء‬

“Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi


mungkar untuk bertindak yang paling ringan dulu kemudian
yang agak berat. Sehingga, ketika kemungkaran sudah bisa
hilang dengan ucapan yang halus, maka tidak boleh dengan
ucapan yang kasar”[]

127
-Tasawuf sebagai transformasi
pendidikan pesantren-
A. Terminologi Taswauf
Tasawuf dalam Bahasa Inggris disebut sufisme,
merupakan salah satu tipe mistisisme. Tasawuf mulai
diperbincangkan pada abad kedua hijriyah yang dikaitkan
dengan salah satu pakian kasar yang disebut dengan shuff
atau woll kasar. Tasawuf terobsesi pada pencapaian
kebahagiaan dan kedamaian spiritual yang abadi. Pada garis
besarnya, tasawuf memiliki fungsi dan peranan yang vital
dalam perjalanan dan pengembangan kehidupan manusia.
Sebab selain pemenuhan materi, manusia juga
membutuhkan pemenuhan batiniah. Jika di telaah secara
mendalam, tasawuf memiliki aspek strategis yang potensial
dalam setiap sendi kehidupan manusia, hanya saja esensi
tersebut tidak ada artinya jika umat manusia tidak
memahami dan memanfaatkan essence of values.

B. POTRET PENDIDIKAN TASAWUF DI


PESANTREN

Pendidikan tasawuf berasal dari dua akar kata, yakni


pendidikan dan tasawuf. Pendidikan menurut Jalaludin
merupakan upaya untuk membantu umat manusia
memperoleh kehidupan yang bermakna sehingga mencapai
kebahagiaan hidup, baik secara keolmpok maupun individu.
Sedangkan Ahmad D Marimba mengemukakan bahwa
pendidikan adalah suatu bimbingan yang dilakukan secara

128
sadar oleh pendidikan terhadap perkembangan rohani dan
jasmani peserta didik dengan tujuan membentuk kepribadian
dan karakter yang lebih baik. Dengan demikian dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan adalah suatu usaha untuk
membina, membimbing dan bertanggungjawab atas
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik kearah yang
lebih baik. Selain itu, proses pendidikan dapat dimaknai
dengan proses beribadah kepada Allah dengan segala
maknanya yang luas.
Adapun untuk pengertian tasawuf para ulama
memiliki beberapa pandangan salah satunya yakni Imam
Junaid, beliau mengemukakan bahwa tasawuf adalah
berakhlak baik atau luhur dan meninggalkan semua akhlak
yang tercela. Menurut Zakaria al-Anshori tasawuf
merupakan suatu ilmu yang mana dengannya dapat
diketahui tentang perbaikan budi pekerti, pembersihan jiwa,
serta pembangunan jiwa lahir dan batin untuk mencapai
suatu kebahagiaan yang abadi dan hakiki. Sedangkan
Rosihon Anwar memberikan pengertian asawuf
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Roy bahwa esensi
dari tasawuf adalah kesadaran murni yang menggerakkan
jiwa dan kesadaran secara baik dan benar kepada aktivitas
yang benar-benar menjauhkan diri dari segala macam
perhiasan dunia guna mendekatkan diri kepada Allah untuk
mencapai penyatuan perasaan dalam berhubungan dengan-
Nya.
Dalam diskursus ini, pendidikan dispesifikasikan
lebih sederhana pada pendidikan tasawuf di pesantren.
Pendidikan tasawuf merupakan salah satu sistem pendidikan
yang bercorak islami dan memuat ajaran atau penekanan
pada paham tasawuf yang bertujuan untuk membersihkan

129
hati dan jiwa sehingga mencapai akhlak luhur yang
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pendidikan
tasawuf menurut Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip
Fathiyah Hasan Sulaiman memiliki tujuan yakni paripurna
insan yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan
mencapai kebahagiaan abadi baik di dunia maupun di
akhirat. Dalam pandangan al-Ghazali, kebahagiaan di dunia
dan akhirat merupakan kebahagiaan yang proporsional
sehingga memiliki nilai abadi, universal dan lebih hakiki
yang lebih di prioritaskan dalam kehidupan.
Pondok pesantren memiliki beberapa elemen dalam
praktik penerapan pendidikan tasawuf. Sebagaimana uraian
sebelumnya, bahwa kemunculan pesantren sendiri memiliki
keterkaitan yang erat dengan islam yang bercorak tasawuf.
Hal ini membuktikan bahwa pesantren dan tasawuf
merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan sulit
dipisahkan. Jika dilihat dari interaksi di dalamnya,
pengelolaan, orientasi dan sebagainya, jelas bahwa ajaran
tasawuf terefleksi dalam pesantren. Sistem pengajaran yang
menyeluruh dan menuntut santri untuk
mengimplementasikan ilmu yang sudah dipelajari seperti
penerapan akhlak yang baik, pengembangan rasa ikhlas,
jujur dan qonaah membuktikan bahwa dimensi kehidupan
santri tidak terlepas dari ajaran tasawuf. Hal inilah yang
kemudian mengindikasikan bahwa dalam setiap pesantren
terdapat pendidikan tasawuf.
Dalam perjalanannya, sebagian pesantren masih
tetap disebut sebagai lembaga pendidikan keagamaan
bercorak tradisional yang mengajarkan dan
mengembangkan ilmu agama islam. Pada pertengahan abad
ke -19, pesantren mulai melakukan penyesuaian pada aspek

130
pendidikan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat
sekitar. Tuntutan yang berkembang luas dalam setiap sendi
kehidupan mengharuskan masyarakat tidak hanya
mengenyam pendidikan agama, akan tetapi turut andil
dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sosial dan terapan
yang bisa di dapatkan di lembaga formal. Oleh karenanya,
banyak pesantren yang kemudian mendirikan lembaga
pendidikan formal seperti SD/MI, SMP/MTS, SMA/K dst
guna menyelaraskan kebutuhan masyarakat yang semakin
kompleks.
Penyebutan pesantren turut mengalami pergeseran,
masyarakat mengenal pesantren dengan sebutan pesantren
tradisional dan pesantren modern sesuai dengan ciri khas
yang dimiliki masing-masing pesantren. Sebut saja di
Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, terdapat
pesantren dengan corak tradisional seperti Ponpes Raudlatul
Ulum Ganjaran, Ponpes Al-Falah al-Makky Putat Lor,
Ponpes Al-Hamidiyah Putat Lor dan pesantren modern
seperti Ponpes al-Rifa’i 2 dan Ponpes An-Nur Bululawang.
Namun demikian, esensi pesantren baik tradisional maupun
modern tidaklah berkurang. Keduanya sama-sama pesantren
yang memuat elemen berupa pondok, kyai, santri, kitab
klasik dan lain sebagainya. Baik tradisional maupun
modern, keduanya memiliki ajaran tasawuf di dalamnya.
Sebagai salah satu contoh, Pondok Pesantren Al-
Hamidiyah Putat Lor. Penyebutan pondok pesantren mulai
disematkan pada tahun 2010 bersamaan dengan pemberian
Piagam Pondok Pesantren oleh Kepala Kantor Kementerian
Agama Kab. Malang. Al-Hamidiyah di dirikan oleh H.
Abdul Hamid pada 20 Juli 1977. Nama beliaulah yang
kemudian menjadi alasan penamaan Al-Hamidiyah. Kala

131
itu, proses pembelajaran masih terbatas dan dilakukan di
musholla setelah sholat Maghrib. Santri yang belajar hanya
santri kalong yang tinggal di wilayah Putat. Seiring
berjalannya waktu, ada beberapa santri yang kemudian
sering menginap di musholla dengan alasan ingin
menambah pengetahuan dengan belajar agama setelah sholat
shubuh. Keinginan mereka mendapatkan respon baik dari
keluarga ndalem Al-Hamidiyah. Beberapa bulan kemudian,
Abah Hamid membuatkan kamar khusus untuk santri yang
ingin menginap.
Kurikulum yang ditetapkan saat itu terbatas pada
pengembangan ilmu Al-Qur’an dan Tajwid serta beberapa
kitab klasik yang dikaji secara sorogan. Kitab klasik yang
dikaji adalah Ta’lim al-Muta’allim, Sullam at-Taufiq dan
Safinatun Najah. Menurut Hj. Mukarromah, pendidikan
jaman dulu lebih menekankan pada pengetahuan yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti penguatan
akhlaq dan pembelajaran tentang fiqih syariat. Itulah alasan
mengapa tiga kitab klasik itu yang senantiasa dikaji.
Sistem pembelajaran tersebut berjalan dari tahun ke
tahun dengan rasio peningkatan yang tinggi. Setiap tahun
santri yang belajar kepada KH. Abdul Hamid terus
bertambah. Tidak hanya Taman Pendidikan Al-Qur’an bagi
anak-anak, pengajian dengan sistem sorogan juga diberikan
kepada masyarakat sekitar dalam skala 1 bulan sekali.
Walaupun demikian, santri yang belajar masih berada di
wilayah sekitar Al-Hamidiyah.
Pada tahun 1995 bersamaan dengan berdirinya MAN
1 Malang yang saat itu masih berstatus filial, Al-Hamidiyah
mengalami peningkatan pada rasio wilayah santri. Beberapa
siswi MAN yang jarak tempat tinggalnya jauh dari sekolah

132
memilih tinggal di asrama sekitar. Pada saat itu, Al-
Hamidiyah digadang sebagai Asrama MAN karena beberapa
alasan, salah satunya sebab keluarga Al-Hamidiyah
merupakan keluarga wakif tanah MAN. Siswi pertama yang
tinggal di asrama salah satunya adalah Ifa Afidah yang saat
ini merupakan guru Bahasa Indonesia di MAN 1 Malang.
Karena kebanyakan yang tinggal menetap di Al-Hamidiyah
adalah siswi, maka sejak saat itu Al-Hamidiyah disebut
sebagai Asrama Putri.
Sebagaimana asrama pada umumnya, siswi yang
tinggal di Al-Hamidiyah memiliki beberapa kebebasan yang
tidak didapatkan santri di pondok pesantren. Siswi asrama
boleh membawa dan mengakses HP ataupun alat elektronik
lainnya, boleh keluar masuk asrama saat ada kegiatan diluar,
dan tentunya kegiatan di asrama tidak se-padat kegiatan di
pondok pesantren umumnya. Kegiatan keagamaan yang
diterapkan di pesantren mengambil sisa-sisa waktu setelah
selesai belajar di MAN. H. Abdul Hamid dibantu oleh H.
Asy’ari dan menantu pertamanya H. Affandi dalam
menjalankan proses pembelajaran di asrama.
Setelah H. Abdul Hamid wafat, asrama putri Al-
Hamidiyah dikelola oleh H. Affandi. Pada tahun 2010 nama
asrama dihapuskan dan diganti dengan Pondok Pesantren.
Tentu banyak perubahan yang sudah terjadi, mulai dari
bangunan pondok, pembangunan musholla khusus pondok,
perubahan kurikulum, penambahan kelas belajar,
penambahan jumlah santri dan lain sebagainya. Terhitung
kurang lebih sekitar 105 santri putri yang ada di Ponpes Al-
Hamidiyah pada tahun 2010. Pada tahun 2014, Al-
Hamidiyah memiliki pondok putra. Pada tahun ini, Al-
Hamidiyah berubah nama menjadi Pondok Pesantren Putra

133
Putri Al-Hamidiyah. Hingga saat ini, Ponpes Al-Hamidiyah
terus mengalami perubahan menuju yang lebih baik.
Terdapat sekitar 85 santri putri, 35 santri putra, 21 pengajar
dan 4 tingkatan kelas dengan beberapa kelas di setiap
tingkatan.
Seperti pesantren pada umumnya, Ponpes Al-
Hamidiyah memiliki pendidikan tasawuf yang tersemat di
dalamnya. Bentuk ajaran tasawuf yang ada di ponpes Al-
Hamidiyah yaitu :
1. Puasa Sunnah
Puasa sunnah merupakan salah satu bentuk pendidikan
tasawuf yang ada di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah. Puasa
secara sederhana berarti menahan diri atau meninggalkan.
Yakni menahan diri dari segala keinginan duniawiyah
seperti makan, minum, berhubungan badan, dari munculnya
fajar hingga terbitnya matahari dengan niat semata-mata
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sama halnya dengan puasa wajib, seluruh santri
ditekankan agar melaksanakan puasa sunnah seperti puasa
Senin Kamis, Asyura, Arafah dan puasa sunnah di bulan
tertentu lainnya. Meskipun tidak sampai diwajibkan, seluruh
santri dengan taat memenuhi anjuran dari pengurus
pesantren untuk melaksanakan puasa sunnah. Anjuran ini
merupakan salah satu bentuk habituasi pada lingkungan
pesantren, pada kesempatan selanjutnya santri akan terbiasa
melaksanakan puasa sunnah tanpa anjuran dan himbauan.
Dalam perspektif tasawuf, puasa sunnah mengandung
pendidikan tarbiyah yang menyeluruh pada aspek aqliyah,
jasmaniah dan qalbiyah. Pada aspek aqliyah, seorang yang
berpuasa dianjurkan untuk banyak membaca Al-Qur’an dan
berdzikir sebagai sarana taqarrub ilallah. Implikasinya

134
seorang yang banyak mengingat dan mendekatkan diri
kepada Allah jiwa dan pikirannya akan lebih tentram,
wawasannya lebih berkembang, dan senantiasa
memanjatkan rasa syukur. Orang yang demikian sudah jelas
bahwa orientasi kehidupannya adalah kebahagiaan hidup
setelah mati. Sejalan dengan esensi dan hakikat tasawuf.
Pada aspek jasmaniah, berpuasa merupakan salah satu
cara yang dapat digunakan untuk menyaring makanan dan
minuman yang tidak baik masuk ke dalam tubuh. Selain itu,
tubuh akan lebih rileks jika sekali kali berpuasa selama 12
Jam. Sedangkan pada aspek qalbiyah, berpuasa mampu
menekan timbulnya penyakit hati. Esensi dari puasa tidak
hanya berhenti makan dan minum sampai tenggelamnya
matahari, akan tetapi lebih kepada pengekangan hawa nafsu
duniawi termasuk benih penyakit hati seperti membicarakan
keburukan orang lain, iri, dengki dan lain sebagainya.
2. Sholat Malam
Bentuk pendidikan tasawuf selanjutnya adalah
pelaksanaan sholat malam atau sholat tahajud. Mengenai
sholat tahajud, Allah berfirman dalam QS Al-Isra Ayat 79.
Secara umum pelaksanaan sholat malam di pondok
pesantren berbeda-beda sesuai dengan aturan yang
ditetapkan masing-masing ponpes, ada yang dilakukan
dengan berjamaah dan ada yang dilakukan tanpa berjamaah.
Pelaksanaan sholat malam di pondok pesantren Al-
Hamidiyah diwajibkan setiap satu minggu sekali, yakni pada
hari Sabtu. Setiap hari sabtu seluruh santri wajib bangun
malam pada pukul 03.00 WIB dan melaksanakan sholat
malam secara berjamaah. Pada hari-hari berikutnya,
diharapkan santri tetap melaksanakan sholat tahajud
meskipun tidak diwajibkan. Harapan tersebut berbuah

135
kenyataan, pada hari-hari biasa sebagian santri mulai
istiqomah melaksanakan sholat tahajud.
Sholat tahajud pada diskursus tasawuf merupakan
suatu pengejawantahan ihsan. Ihsan memiliki makna
sebagai keadaan atau suasana hati dan perilaku yang
senantiasa merasa dekat dengan Allah SWT sehingga setiap
perilaku yang terbentuk sesuai berdasarkan hukum Allah.
Ihsan merupakan bentuk perilaku penghambaan diri kepada
Allah dengan keadaan ruhaniah yang sangat mendalam.

136
Daftar Isi

https://islami.co/pelacur-dan-anjing-kiai-dan-burung/

Dhofir Zuhri, Ach. (2018). Peradaban Sarung. Jakarta:


Quanta PT Gramedia.

Adib, Muhammad. (2018). Kritik Nalar Fikih NU. Malang:


Kiri Sufi.

Simuh. (1995). Mistik Islam. Jakarta: Bentang Pustaka.

Ricklefs. (2013). Mengislamkan Jawa. Jakarta: Serambi.

Salaby, Ahmad. (1973). Sedjarah Pendidikan Islam.


Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.

Sabri, Muhammad. (1999). Keberagamaan Yang Saling


Menyapa Perspektif Filsafat Parennial. Yogyakarta:
ITTAQA Press.

Abu Bakar. (2011). Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim.


Jakarta.

Dhofir, Zamaksary (2011). Tradisi Pesantren. Jakarta:


LP3ES.

Madjid, Nurchalis. (1995). Islam Agama Kemanusiaan,


Membangun Tradisi Dan Versi Baru Islam
Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Jurnal pendidikan, miskat vol.03, ummah karimah,


pesantren dan relevansinya dengan tujuan
pendidikan nasional.

137
Aristoteles. (t.t) Nicomachean etichs.

Amin Abdullah, pentingnya filsafat dalam memecahkan


persoalan-persoalan keagamaan. Makalah pada klub
kajian agama paramadina, seri ke 107 tahun
x/1996,p.1.Lihat di Muhammad Sabri,
Keberagamaan Yang Saling Menyapa Perspektif
Filsafat Parennial (Yogyakarta: ITTAQA
Press,1999).

Nurlaelah, Abbas (2015). AL-JABIRI DAN KRITIK NALAR


ARAB Aqidah- Ta: Jurnal Ilmu Aqidah 1, no. 1

Saputra, Happy. (2016). Konsep Epistemologi Mulla


Shadra.. Substantia 18, no. 2

Wahid, Abdurrahman. (t.t). Bunga Rampai Pesantren.


Jakarta: Darma Bhakti.

Suriasumantri, Jujun S. (2015).Ilmu dalam


Perspektif.Cetakan XIX. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesa.

Al-Qur’an dan Terjemahnya. Riyadh Darussalam.

Bawani, Imam(1993). Tradisionalisme dalam Pendidikan


Islam.Surabaya: Al Ikhlas.

Anwar, Rosihon et.al.(2019). Pengantar Studi


Islam.Cetakan I. Bandung: Pustaka Setia.

Aly, Hery Noer (1999). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:


Logos Wacana Ilmu.

Nata, Abuddin (2010). Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta:


Kencana.

138
Arifin,H.M.(1991). Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan
Umum). Cetakan I. Jakarta: Bumi Aksara.

Kodir,Abdul (2015). Sejarah Pendidikan Islam Dari Masa


Rasulullah Hingga Reformasi di Indonesia. Cetakan
I. Bandung: Pustaka Setia.

Husaini, Adian et.al.( 2013). Filsafat Ilmu Perspektif Barat


dan Islam.Jakarta: Gema Insani.

Al-Qattan, Manna Khalil (2013). Studi Ilmu-Ilmu


Qur’an.Cet.XVI. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Nata, Abuddin (2008). Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT.


Raja Grafindo Persada.

Quthb, Muhammad (1984). Sistem pendidikan


Islam,terjemah Salman Harun. Bandung: PT Al-
Ma’arf.

Syarif Al-Umar, Nadiyah (1981). Al-Ijtihad fi Al-


Islam:Ushuluhu,Ahkamuhu,Afaquhu. Beirut:
Mu’assasah Ar-Risalah.

Khalaf, Abdul Wahab (2015). Ijtihad dalam Syari’at


Islam,Terj.Rohidin Wahid,Cet.I. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.

Adib,Muhammad (2018). Kritik Nalar Fikih Nahdlatul


Ulama Dalam Bahtsul Masail. Malang: Kirisufi.

Muhaimin et.al. (1994). Dimensi-Dimensi Studi Islam.


Surabaya: Karya Abditama.

139
Munawwir,Ahmad Warson(1997).Al-Munawwir: Kamus
Arab-Indonesia Terlengkap.Cet.XIV. Surabaya:
Pustaka Progressif.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan


Nasional (2008).Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.

Ibn Faris Ibn Zakariya ,Abil Husain Ahmad (1949). Mu’jam


al-Maqayis fi al-Lughah. Kairo: Dar Haya'i al-Kitab
al-Arabiyyah.

Ridha ,Abdurrasyid (2003). Memasuki Makna Cinta.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yahya bin Ziyad al Farra, Abu Zakariya (1983). Ma’anil


Qur’an. Bairut: Alam al Kutub.

Asy’ari, Hasyim (1415 H). Adab Al-Alim wa Al-Muta'allim


fima Yahtaj Ilaih Al-Muta'allim fi Ahwal Ta'allumih
wa Ma Yatawaqqaf Alaih Al-Muallim fi Maqamat
Ta'limih.Maktabah Turats Islamiy.

Ensiklopedi (2019). Adab Penuntut Ilmu Kompilasi Kitab-


Kitab Adab Penuntut Ilmu Terbaik Sepanjang
Zaman. Sukoharjo: Pustaka Arafah.

An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf.


Riyadhush Shalihin. Semarang:Toha Putra.

Ibnu Taimiyyah (2012). Majmu’ Fatawa.Cetakan I. Bairut:


Dar al Kutub al- Ilmiyah.

Raharjo,M.Dawam (1974). Pesantren dan Pembaharuan.


Jakarta: LP3ES.

140
Al-Ghazali,Abu Hamid Muhammad (t.t.). Ihya’ Ulum al-
Din. Juz I. Semarang: Toha Putra.

Dhofier,Zamahsyari (1984). Tradisi Pesantren; Studi


Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesai. Jakarta: LP3ES.

Raharjo,M.Dawam(ed).(1995). Pesantren dan


Pembaharuan.T.tp.:LP3ES.

Husni,Muhammad dan Fathul Wahab (2020). Karya Tulis


Ulama’ Nusantara. Malang: Kaf Writer Madani.

Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren,Proyek


Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren
Departemen agama 1982/1983.

Raharjo,Dawam (ed).( 1985).Pergulatan Dunia Pesantren


Membangun Dari Bawah. Cetakan I. Jakarta:P3M.

Az Zarnuji. Ta’lim al-Muta’allim.Surabaya: Husain Umr.

Azra, Azyumardi (2014). Pendidikan Islam Tradisi dan


Modernisasi di Tengah Tantangan Milenum III.
Jakarta: Kencana

Tasmara, Toto. (1997). Komunikasi Dakwa. Jakarta: Gaya


Media Pratama.

Toha Yahya, Umar. (1985). Ilmu Dakwah. Jakarta: Widjaja.

Hafidhuddin, Didin. (1998). Dakwah Aktual Depok: Gema


Insani.

141
Wahid, Abdurrahman. (2001). Pergulatan Negara, Agama,
dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara.

Bachtiyar, Wardi. (1997). Metologi Penelitian Ilmu


Dakwah. Jakarta: Logos Wahan Ilmu.

Observasi di Ponpes Al-Himah Tanjungsari Kuwolu


Bululawang Oleh Ma’arif Hidayatullah pada saat
nyantri

https://www.facebook.com/annursatu.bululawang/videos/26
68416563262681

Husni, Muhamad, Wahab Fathul. (2020) Karya Tulis Ulama


Nusantara. Malang: Gubuklawas.com dan Kaf
Writer Madani.

Azra, Azyumardi. (1999). Pendidikan Islam, Tradisi dan


Modernisasi Menuju Millinium Baru. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.

Observasi di Ponpes Al-Himah Tanjungsari Kuwolu


Bululawang Oleh Ma’arif Hidayatullah pada saat
nyantri

Sambutan salah satu santrinya dalam acara Haul Akbar PP


Darul Hadits Malang.

Thalib, M. (1996). Pendidikan Islam Metode 30 T.


Bandung: Irsyad Baitus Salam.

Fatah, Abdul. (1977). Jalal Min Ushul al-Tarbiyyah fi al-


Islam. Mesir: Daar al-Kutuh al-Misriyah.

142
Athiyah, M, al-Abrasy. (1968). al-Tarbiyah alIslamiyah.
Penerjemah: Bustani A. Goni dkk., Jakarta: Bulan
Bintang.

Naquib, Muhammad, al-Attas. (1988). Konsep Pendidikan


Dalam Islam. Bandung: Mizan.

Azra, Azyumardi. (2000). Pendidikan Islam, Tradisi dan


Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.

Mas’ud, Abdurahman. (2004) Intelektual Pesantren:


Perhelatan Agama dan Tradisi. Yoyakarta: LkiS.

Wahid, Abdurrahman. (1984). Bunga Rampai Pesantren.


Jakarta: Dharma Bhakti.

Maftuh, Agus, Abegebriel. (2007). Madhab Islam


Kosmopolitan Gus Dur. dalam Abdurrahman Wahid.
Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid
Institute

Zahro, Ahmad. (2004). Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999:


Tradisi Intelektual NU. Yogyakarta: LkiS.

Hefni, Harjani. (2015). Komunikasi Islam. Jakarta:


Prenadamedia Group.

Al-Hambali, Ibnu Rajab. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam.


(t.t). Cetakan 10, Tahun 1432 H. Tahqiq: Syaikh
Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis. Penerbit
Muassasah Ar-Risalah.

143
bin Syarf An Nawawi, Abu Zakariya Yahya. (t.t) Al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim. Cetakan 1. Tahun 1433 H.
Penerbit: DarIbniHazm.

an-Nawawi, Syekh, al-Jawi. (2005). Tafsir Munir. Beirut:


Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. cetakan 3. jilid II.

Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn,


(Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan
kelima, jilid V.

asy-Syarwani, Syekh Abdul Hamid. (2003). Hasyiyah asy-


Syarwani ala Tuhfahtil Muhtaj. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah. cetakan ke 4. jilid7.

144

Anda mungkin juga menyukai