Anda di halaman 1dari 102

i

PREVALENSI KARIES DAN EROSI PADA NARAPIDANA PENGGUNA


NARKOTIKA JENIS SABU-SABU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KLAS II-A KABUPATEN JEMBER

SKRIPSI

Oleh :
Syeifira Salsabila
NIM 161610101108

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2020
i

PREVALENSI KARIES DAN EROSI PADA NARAPIDANA PENGGUNA


NARKOTIKA JENIS SABU-SABU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KLAS II-A KABUPATEN JEMBER

SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Studi Kedokteran Gigi (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :
Syeifira Salsabila
NIM 161610101108

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER
2020
PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:


1. Kedua orangtua saya, Ibunda Noorsanti, Ayahanda Syaiful RIjal, Kakakku
Hanifa Vidya Rizanti dan Adikku Muhammad Nadhil Mawarid.
2. Guru-guru dan dosen-dosen yang telah memberikan bekal ilmu dan selalu
menjadi panutan.
3. Almamater Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.

ii
MOTTO

Optimism is the faith that leads to achievement.1

You are responsible for your life. You can’t keep blaming somebody else for
your dysfunction. Life is really about moving on.2

1
Helen Keller. 1903. Optimism. Boston: The Merrymount Press.
2
Oprah Winfrey. 2014. What I Know For Sure. United State of America: Flatiron Books.

iii
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Syeifira Salsabila
NIM : 161610101108
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul
“Prevalensi Karies dan Erosi pada Narapidana Pengguna Narkotika Jenis Sabu-sabu
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember” adalah benar hasil karya
saya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum pernah
diajukan pada institusi manapun, serta bukan karya jiplakan (plagiat). Saya
bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah
yang harus dijunjung tinggi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa ada
tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik
jika ternyata di kemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 27 April 2020


Yang menyatakan,

Syeifira Salsabila
NIM. 161610101108

iv
SKRIPSI

PREVALENSI KARIES DAN EROSI PADA NARAPIDANA PENGGUNA


NARKOTIKA JENIS SABU-SABU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KLAS II-A KABUPATEN JEMBER

Oleh
Syeifira Salsabila
161610101108

Dosen Pembimbing

Dosen Pembimbing Utama : drg. Hestieyonini Hadnyanawati, M.Kes

Dosen Pembimbing Pendamping : drg. Erawati Wulandari, M.Kes

v
PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Prevalensi Karies dan Erosi pada Narapidana Pengguna Narkotika
Jenis Sabu-Sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember” telah
diuji dan disahkan pada:

Hari, tanggal : 15 Juni 2020


Tempat : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

Dosen Penguji Ketua Dosen Penguji Anggota

Dr. drg. Ari Tri W. H., M.Kes Prof. Dr. drg. Ristya Widi E. Y., M.Kes
NIP. 197308182001122001 NIP. 197704052001122001

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Pendamping

drg. Hestieyonini Hadnyanawati, M.Kes drg. Erawati Wulandari, M.Kes


NIP. 1973060119999032001 NIP. 196708191993032001

Mengesahkan
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember,

drg. Rahardyan Parnaadji, M.Kes., Sp. Pros.


NIP. 196901121996011001

vi
RINGKASAN

Prevalensi Karies dan Erosi pada Narapidana Pengguna Narkotika Jenis Sabu-
sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember; Syeifira
Salsabila; 161610101108; 102 halaman; Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Jember.

Latar belakang penelitian ini yaitu tingginya angka penyalagunaan narkotika


di Indonesia, terutama sabu-sabu, menurut Survei Badan Narkotika Nasional tahun
2018. Penyalahgunaan sabu-sabu tersebut dapat menyebabkan penyakit pada gigi
antara lain karies dan erosi, sebab sabu-sabu dapat memperburuk kualitas saliva
sebagai cairan anti kariogenik dan penyeimbang pH dalam rongga mulut. Baik di
Indonesia maupun di Kabupaten Jember, laporan tentang kesehatan gigi dan mulut
pengguna sabu-sabu masih sangat terbatas. Mengingat tingginya risiko pengguna
sabu-sabu untuk terkena karies dan erosi maka peneliti perlu melakukan penelitian
untuk menggambarkan prevalensi karies dan erosi pada narapidana pengguna sabu-
sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember. Tujuan
dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui prevalensi karies dan erosi,
serta mendeskripsikan karakteristik narapidana pengguna narkotika jenis sabu-sabu
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan
pendekatan cross sectional, penelitian dilakukan pada bulan Desember 2019 di
Lembaga Pemasayarakatan Klas II-A Kabupaten Jember. Populasi penelitian
berjumlah 131 dengan kriteria sampel yiatu lama konsumsi sabu-sabu minimal 18
bulan dan tidak memiliki penyakit sistemik, sehingga didapatkan jumlah sampel
sebanyak 58 responden. Pengukuran karies menggunakan indeks DMF-T,
pengukuran erosi menggunakan Basic Erosive Wear Examination, sedangkan
karakteristik responden diperoleh melalui lembar kuisioner. Alat dan bahan yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain 1 set dental kit, cotton pellet, petridish,
handscoon, masker, headlamp, lembar kuisioner, dan alat tulis. Prosedur yang
dilakukan pada penelitian ini yaitu mula-mula responden mengisi informed consent

vii
kemudian gigi geliginya diamati untuk menilai skor karies dan skor erosinya. Data
responden selanjutnya diseleksi berdasarkan kriteria sampel, lalu data responden
yang telah sesuai kriteria sampel diolah dengan tabulasi menggunakan program
Microsoft Excel 2016.
Hasil pemeriksaan terhadap 58 responden narapidana pengguna sabu-sabu
Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember memperoleh data bahwa
prevalensi karies yaitu sebesar 77,27% dengan rata-rata skor karies 7,21. Prevalensi
erosi yaitu sebesar 72,40% dengan rata-rata skor erosi 5,29. Karakteristik pengguna
sabu-sabu anatara lain sebagain besar berjenis kelamin laki-laki (86,20%), berusia
kategori dewasa awal (26-35 tahun) (41,38%), menyikat gigi 1 kali sehari (48,28%),
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihisap (91,40%), mengonsumsi sabu-sabu
dengan frekuensi harian hingga mingguan (68,97%), dan mengonsumsi sabu-sabu
selama minimal 4 tahun (82,76%).
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data yang telah diolah yaitu
prevalensi karies narapidana pengguna sabu-sabu didapatkan sebesar 89,96%
dengan rerata skor DMF-T 7,21. Prevalensi erosi gigi narapidana pengguna sabu-
sabu didapatkan sebesar 72,41% dengan rerata skor erosi 5,29. Karakteristik
narapidana pengguna sabu-sabu yaitu sebagian berjenis kelamin laki-laki, berusia
26-35 tahun, menyikat gigi 1 kali sehari, mengonsumsi sabu-sabu dengan cara
dihisap dengan frekuensi harian hingga mingguan selama 4 tahun atau lebih.

viii
PRAKATA

Alhamdulillahi Rabbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah


subhanahuwata’ala atas rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul ‘Prevalensi Karies dan Erosi pada Narapidana
Pengguna Narkotika Jenis Sabu-sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A
Kabupaten Jember”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Jember.
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Allah Subhanahuwata’ala atas limpahan nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
2. drg. Rahardyan Parnaadji, M.Kes, Sp.Pros selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Jember.
3. drg. Hestieyonini Hadnyanawati, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Utama
yang telah membimbing dan meluangkan, memberikan saran dan motivasi
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. drg. Erawati Wulandari, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang
telah membimbing dan meluangkan, memberikan saran dan motivasi sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
5. drg. Lusi Hidayati, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing dan meluangkan, memberikan saran dan motivasi selama saya
mengenyam Pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.
6. Dr. drg. Ari Tri Wanodyo Handayani, M.Kes selaku Dosen Penguji Ketua
dan Prof. Dr. drg. Ristya Widi Endah Yani, M.Kes selaku Dosen Penguji
Anggota yang telah berkenan menguji dengan memberikan kritik yang
membangun, saran, dan motivasi pada penulisan skripsi ini.
7. Ibunda Noorsanti yang selalu memperhatikan saya dari jarak jauh,
Ayahanda Syaiful Rijal yang selalu mengunjungi saya ke Jember.

ix
8. Kakak kandungku Mbak Vivi yang selalu mensupport dan Adikku
Muhammad Nadhil yang sama-sama berjuang bersekolah jauh dari rumah.
9. Keponakanku Ahmad Bilal yang tingkah dan tawanya selalu menjadi
semangat saya ketika mengerjakan skripsi.
10. Sahabatku, Jevina, Ajeng, Chintya, Nadiah, Paramadiva, Miranda.
11. Penghuni Kost Izzati yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri di
Jember Mbak Laras, Mbak Meily, Mbak Hana, Mbak Anita, Mbak Baity,
Mbak Fetty, Mbak Alya, Mbak Naneer, Mbak Caca, yang membimbing,
memotivasi, menjadi sahabat, menemani, dan menyemangati saya.
12. drg. Diana dan Mas Wildan selaku petugas kesehatan di Lapas, Adit selaku
petugas di Lapas, Pak Doni selaku Kasubag Lapas, Pak Dadang selaku
Ketua Divisi Humas Lapas, Pak Bambang selaku warga binaan di Lapas,
yang telah banyak membantu sehingga penelitian ini berjalan dengan
lancar.
13. Warga binaan Lapas Jember yang telah bersedia menjadi responden dalam
skripsi saya sehingga saya dapat memperoleh data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
14. Tim peneliti Yhanda, Romy, Iril, Iqbal, Em, Nancy, Teteh Syifa, Nadiah,
Eja, Ajeng, Indah, Safira, Kartika, Nadiya, dan Reza yang telah banyak
membantu sehingga penelitian saya berjalan dengan lancar.
15. Teman-teman Angkatan 2016, Tutorial 11, keluarga KKN 239 Sumber
Kembar.
16. Pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik penulis terima. Penulis berharap
semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan penelitian selanjutnya.

Jember, 27 April 2020

Penulis

x
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... ii
HALAMAN MOTTO .......................................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iv
HALAMAN PEMBIMBINGAN ...........................................................................v
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. vi
RINGKASAN ...................................................................................................... vii
PRAKATA ............................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB 1. PENDAHULUAN .....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................3
1.3 Tujuan ..................................................................................................3
1.3 Manfaat ................................................................................................4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................5
2.1 Narkotika .............................................................................................5
2.1.1 Pengertian dan Penggolongan Narkotika ..................................5
2.1.2 Sabu-sabu atau Metamfetamin ..................................................6
2.2 Pengaruh Sabu-sabu Terhadap Kesehatan ......................................8
2.2.1 Pengaruh Sabu-sabu Terhadap Kesehatan Umum ....................8
2.2.2 Pengaruh Sabu-sabu Terhadap Kesehatan Gigi Geligi ...........10
2.3 Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember ............14
2.4 Indeks Erosi .......................................................................................15
2.5 Indeks Karies .....................................................................................18
2.6 Kerangka Konsep ..............................................................................20
BAB 3. METODE PENELITIAN .......................................................................21

xi
3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................21
3.2 Rancangan Penelitian .......................................................................21
3.2.1 Tempat Penelitian ....................................................................21
3.2.2 Waktu Penelitian .....................................................................21
3.3 Identifikasi Variabel Penelitian .......................................................21
3.4 Definisi Operasional ..........................................................................22
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................23
3.5.1 Populasi Penelitian ..................................................................23
3.5.2 Kriteria Sampel Penelitian.......................................................24
3.5.3 Cara Pengambilan Sampel.......................................................24
3.5.4 Jumlah Sampel Penelitian .......................................................25
3.6 Metode Pengukuran ..........................................................................25
3.6.1 Indeks Karies DMF-T .............................................................25
3.6.2 Indeks Erosi Basic Erosive Wear Examination .......................26
3.6.3 Karakteristik Narapidana .........................................................27
3.7 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................27
3.7.1 Alat dan Bahan Pemeriksaan Karies dan Erosi .......................27
3.7.2 Alat untuk Meneliti Karakteristik Narapidana .......................27
3.8 Prosedur Penelitian ...........................................................................28
3.9 Alur Penelitian ...................................................................................29
3.10 Analisis Data ......................................................................................30
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................29
4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................29
4.1.1 Karakteristik Narapidana Pengguna Sabu-sabu ......................29
4.1.2 Indeks Karies Narapidana .......................................................34
4.1.3 Indeks Erosi Narapidana .........................................................36
4.1.4 Tabulasi Silang Karakteristik Narapidana dengan DMF-T .....37
4.1.5 Tabulasi Silang Karakteristik Narapidana dengan Erosi .........40
4.2 Pembahasan .......................................................................................45
4.2.1 Karakteristik Narapidana dengan Skor DMF-T dan Erosi ......45
4.2.2 Indeks Karies Narapidana .......................................................52
4.2.3 Indeks Erosi Narapidana .........................................................53

xii
4.2.4 Tabulasi Silang Karakterisitk Narapidana dengan DMF-T .....54
4.2.5 Tabulasi Silang Karakteristik Narapidana dengan Erosi .........59
BAB. 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................30
5.1 Kesimpulan ........................................................................................30
5.2 Keterbatasan Penelitian ....................................................................30
5.3 Saran...................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................67
LAMPIRAN ..........................................................................................................73

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Gambaran klinis karies pada pecandu sabu-sabu (meth mouth) ....... 12
Gambar 2.2 Tidak terdapat erosi .......................................................................... 16
Gambar 2.3 Tahap awal kerusakan enamel .......................................................... 16
Gambar 2.4 Hilangnya struktur jaringan keras < 50% dari permukaan gigi ....... 17
Gambar 2.5 Hilangnya struktur jaringan keras > 50% dari permukaan gigi ........ 17

Gambar 4. 1 Distribusi Frekuensi Komponen DMF-T Narapidana ...................... 35


Gambar 4. 2 Grafik Distribusi Frekuensi Skor Erosi Narapidana ........................ 36

xiv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 3.1 Kategori DMF-T Menurut WHO (1986) ............................................... 25
Tabel 3.2 Kriteria Skoring Basic Erosive Wear Examination ............................... 26
Tabel 3.3 Kriteria Skor Kumulatif Basic Erosive Wear Examination ................... 26
Tabel 3.4 Kategori Usia Menurut Departemen Kesehatan (2009) ......................... 27
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ............................... 29
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ............................................... 32
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Sikat Gigi ..................... 32
Tabel 4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Cara Konsumsi Sabu-sabu ............ 33
Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu ... 33
Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Konsumsi Sabu-sabu .......... 34
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Komponen DMF-T Narapidana .......................... 35
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Skor Erosi Narapidana ......................................... 36
Tabel 4.9 Tabulasi Silang Jenis Kelamin dengan Komponen DMF-T ................. 37
Tabel 4.10 Tabulasi Silang Usia dengan Komponen DMF-T .............................. 37
Tabel 4.11 Tabulasi Silang Frekuensi Sikat Gigi dengan Komponen DMF-T ..... 38
Tabel 4.12 Tabulasi Silang Cara Konsumsi dengan Komponen DMF-T ............. 38
Tabel 4.13 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi dengan Komponen DMF-T ..... 39
Tabel 4.14 Tabulasi Silang Lama Konsumsi dengan Komponen DMF-T ........... 40
Tabel 4.15 Tabulasi Silang Jenis Kelamin dengan Kategori Skor Erosi .............. 40
Tabel 4.16 Tabulasi Silang Usia dengan Kategori Skor Erosi .............................. 41
Tabel 4.17 Tabulasi Silang Frekuensi Sikat Gigi dengan Kategori Skor Erosi .... 42
Tabel 4.18 Tabulasi Silang Cara Konsumsi dengan Kategori Skor Erosi ............ 43
Tabel 4.19 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi dengan Kategori Skor Erosi .... 44
Tabel 4.20 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi dengan Kategori Skor Erosi .... 45

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ...........................................................................71
Lampiran 2. Ethical Clearance ..............................................................................72
Lampiran 3. Lembar Persetujuan Tindakan ...........................................................73
Lampiran 4. Lembar Kuisioner Karakteristik Narapidana .....................................74
Lampiran 5. Lembar Penilaian Karies ...................................................................75
Lampiran 6. Lembar Penilaian Erosi .....................................................................76
Lampiran 7. Data Karakteristik Narapidana ..........................................................77
Lampiran 8. Data DMF-T dan Erosi Narapidana...................................................79
Lampiran 9. Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian ................................................81

xvi
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Narkotika merupakan zat atau obat yang bermanfaat di bidang pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun bila digunakan tanpa
pengendalian dapat menimbulkan dampak yang berbahaya (Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009). Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia masih
sangat memprihatinkan meskipun larangan mengonsumsi narkotika di luar indikasi
telah diatur dalam undang-undang. Mengingat manfaat narkotika dalam bidang
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, maka narkotika terus-menerus
diproduksi (Julianan dan Nengah, 2013). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika membagi berbagai jenis narkotika ke dalam tiga golongan. Salah
satu jenis narkotika golongan I adalah sabu-sabu atau disebut juga metamfetamin
(Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009).
Sabu-sabu merupakan narkotika dengan sifat psikostimulan karena
mengandung zat yang memiliki struktur kimia menyerupai dopamin dan
norepinefrin yang merupakan neurotransmitter penyebab seseorang merasakan
euforia dan ketenangan. Durasi kerja sabu-sabu dapat berlangsung selama 8 sampai
12 jam dan dapat diperpanjang hingga 24 jam. Dibandingkan dengan jenis
narkotika lainnya, sabu-sabu memiliki potensi yang sangat tinggi untuk
menyebabkan ketergantungan apabila digunakan terus-menerus (Smit dan
Sudeshni, 2016). Sabu-sabu termasuk narkotika yang mudah ditemukan sehingga
angka penyalahgunaannya tergolong tinggi. Survei Badan Narkotika Nasional
(BNN) tahun 2018 menyebutkan bahwa sabu-sabu merupakan narkotika golongan
I paling banyak disalahgunakan di Indonesia. BNN memperoleh data bahwa dalam
1 semester di tahun 2018 terdapat 426 kasus narkotika jenis sabu-sabu dari total
540 kasus dengan temuan barang bukti sebanyak 676.522 gram sabu-sabu.
Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka penyalahgunaan
narkotika di Indonesia adalah kurangnya pengetahuan akan dampak berbahaya
yang ditimbulkan apabila narkotika dikonsumsi di luar kepentingan medis
(Sholihah, 2014). Dampak berbahaya dari penyalahgunaan narkotika dapat timbul
2

dari segi fisik maupun psikis, tak terkecuali rusaknya gigi geligi. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa sabu-sabu dapat meningkatkan kejadian penyakit
gigi dan mulut. Regina (2013) meneliti skor DMF-T pengguna sabu-sabu di
Lembaga Pemasyarakatan Yogyakarta. Hasilnya pengguna sabu-sabu dengan
kategori DMF-T sangat rendah sebesar 9,80%, rendah sebesar 11,80%, sedang
sebesar 19,60%, tinggi sebesar 13,70%, dan sangat tinggi sebesar 45,10%. Rommel
dkk. (2016) meneliti efek simpatomimetik sabu-sabu pada pecandu sabu-sabu
kronis. Penelitian tersebut menyajikan data antara saliva kelompok pecandu sabu-
sabu dan kelompok yang tidak mengonsumsi sabu-sabu. Hasil menunjukkan, 70%
kelompok yang mengonsumsi sabu-sabu memiliki pH saliva rendah (4-5,5) dan laju
aliran saliva dua kali lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak
mengonsumsi sabu-sabu. Saliva pecandu sabu-sabu juga memiliki kapasitas buffer
dengan kategori rendah hingga sedang, sehingga kondisi saliva tersebut
memungkinkan terjadinya peningkatan erosi pada gigi geligi pengguna sabu-sabu
(Rommel dkk., 2016). Tidak hanya erosi dan karies, sabu-sabu juga memiliki efek
samping lainnya seperti xerostomia, penyakit periodontal, hiperplasi gingiva,
bruxism, atrisi, hingga kelainan sendi temporomandibula (Wang dkk., 2014).
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas II-A Kabupaten Jember merupakan
tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan di Kabupaten Jember. Terdapat 153 narapidana binaan Lapas
Kabupaten Jember yang terjerat kasus penyalaahgunaan narkotika. Hasil survei
pendahuluan dengan petugas di Lapas Kabupaten Jember yang dilakukan bulan
Mei 2019, memperoleh informasi bahwa jenis narkotika yang paling banyak
disalahgunakan narapidana di Lapas tersebut adalah sabu-sabu. Pernyataan ini
dibuktikan dengan data yang menjelaskan bahwa 123 dari 153 narapidana tersebut
merupakan penyalahguna sabu-sabu. Wawancara dilakukan dengan petugas
kesehatan di Lapas yang merupakan dokter gigi, menurutnya narapidana di Lapas
kurang peduli dengan kesehatan gigi dan mulut. Dokter gigi juga menyampaikan
bahwa Lapas tersebut tidak melakukan screening kesehatan gigi dan mulut
narapidana secara rutin. Arora dkk. (2017) mengatakan bahwasanya screening
berguna sebagai diagnosis dini dan identifikasi penyakit pada pasien yang berisiko,
3

termasuk pecandu sabu-sabu yang memiliki risiko kerusakan gigi geligi lebih
tinggi. Masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya kesehatan gigi
dan mulut bagi kualitas hidup manusia. Penyakit gigi geligi dapat menyebabkan
rasa sakit, tidak nyaman, dan mengganggu secara fungsional seperti mengunyah,
berbicara, tersenyum, dan mempengaruhi kehidupan sosial seseorang (Baiju dkk.,
2017).
Mengingat terus meningkatnya angka penyalahgunaan sabu-sabu serta
peredarannya yang telah mencapai seluruh penjuru daerah di Indonesia, maka akan
semakin meningkat pula angka penyakit gigi dan mulut sebagai akibat
penyalahgunaan sabu-sabu, akan tetapi laporan tentang kondisi kesehatan rongga
mulut pecandu sabu-sabu masih terbatas. Masalah kesehatan rongga mulut pecandu
sabu-sabu belum banyak mendapat perhatian di Indonesia, termasuk di Lapas Klas
II-A Kabupaten Jember. Mengingat tingginya risiko pecandu sabu-sabu untuk
mengalami kerusakan gigi berupa karies dan erosi, perlu dilakukan penelitian untuk
menggambarkan prevalensi karies dan erosi pengguna narkotika jenis sabu-sabu.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang dapat diangkat untuk diteliti berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di atas yaitu, “Bagaimana prevalensi karies dan erosi
pada gigi geligi narapidana pengguna narkotika jenis sabu-sabu di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember?”.

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui prevalensi karies pada narapidana pengguna narkotika
jenis sabu-sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember.
2. Untuk mengetahui prevalensi erosi gigi pada narapidana pengguna narkotika
jenis sabu-sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember.
3. Untuk mendeskripsikan karakteristik narapidana pengguna narkotika jenis
sabu-sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember.
4

1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Dapat memberikan data dan informasi bagi klinisi tenaga kesehatan
khususnya dokter gigi yang bertugas di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A
Kabupaten Jember tentang prevalensi karies dan erosi gigi pada pengguna
narkotika jenis sabu-sabu, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam
melakukan pelayanan kesehatan
2. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat tentang
dampak buruk penyalahgunaan narkotika jenis sabu-sabu terhadap kesehatan
rongga mulut.
3. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan
penelitian- penelitian selanjutnya.
5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Narkotika
2.1.1 Pengertian dan Penggolongan Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan
bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 smenggolongkan narkotika dengan rincian sebagai berikut :
1) Narkotika Golongan I
Narkotika golongan I adalah segala jenis narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Terdapat kurang lebih 65 jenis narkotika
yang termasuk narkotika golongan I, antara lain opium, kokain, ganja, dan
sabu-sabu.
2) Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan
dan digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Beberapa jenis narkotika golongan II antara lain adalah metadon, morfin,
putau, heroin, dan lain-lain.
3) Narkotika Golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan
dan digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Salah satu jenis narkotika yang termasuk golongan III adalah
kodein.

5
6

2.1.2 Sabu-sabu atau Metamfetamin


Sabu-sabu atau metamfetamin adalah sejenis obat psikostimulan yang
bersifat sangat adiktif dan bekerja secara aktif dalam sistem saraf pusat. Sabu-sabu
memiliki efek paling kuat dibandingkan jenis obat stimulan lainnya seperti
amfetamin, kokain, efedrin, dan methylphenidate (Pabst dkk., 2017).
Metamfetamin pada mulanya dikembangkan sebagai obat yang digunakan untuk
menangani masalah kesehatan seperti asma, epilepsi, obesitas, schizophrenia,
narcolepsy, dan hiperaktivitas pada anak, namun penggunaannya dihentikan sekitar
tahun 1950-1960 karena tingginya potensi metamfetamin untuk menyebabkan
ketergantungan. Sampai saat ini, metamfetamin seringkali diproduksi secara ilegal
pada laboratorium tersembunyi dan menggunakan bahan-bahan kimia murah
seperti ephedrine dan pseudoephedrine. Produksi ilegal dari metamfetamin dapat
menimbulkan bahaya yang disebabkan toksisitas dari bahan-bahan kimia yang
digunakan dan tingginya risiko terjadi ledakan (Kelley dkk., 2017).
Metamfetamin biasanya diperjualbelikan dalam bentuk bubuk, tablet, atau
dalam bentuk kristal, serta dengan warna yang bermacam-macam. Metamfetamin
dapat dihirup, disuntikkan, dihisap, atau ditelan tergantung dari sediaan
metamfetamin. Konsumsi sabu-sabu dengan cara dihisap atau disuntikkan akan
menghantarkan sabu-sabu lebih cepat dalam pembuluh darah yang selanjutnya
dialirkan ke otak. Stimulan metamfetamin bekerja pada sistem saraf pusat dengan
melepaskan sejumlah besar neurotransmiter dopamin yang menyebabkan perasaan
euforia. Efek euforia dapat dirasakan kurang dari 3 menit setelah sabu-sabu dihisap
atau disuntikkan, namun mengonsumsi sabu-sabu dengan cara tersebut akan
menghasilkan durasi efek euforia tidak berlangsung lama. Berbeda dengan dihisap
atau disuntikkan, apabila sabu-sabu dikonsumsi dengan dihirup, maka efek euforia
baru akan muncul setelah 3 sampai 5 menit dengan durasi efek euforia yang lebih
lama. Waktu paling lambat terkait munculnya efek euforia terjadi jika sabu-sabu
dikonsumsi secara oral, yaitu 15 menit sampai 20 menit setelah ditelan, namun cara
ini menghasilkan durasi efek euforia yang paling lama bertahan dibandingkan
dengan cara-cara lainnya (Substance Abuse and Mental Health Services
Administration, 2017).
7

Metamfetamin dapat melepaskan dopamin dalam jumlah yang lebih besar


dibandingkan dengan stimulan lainnya, seperti amfetamin dan kokain, sehingga
menimbulkan respon psikologis yang kuat pada penggunanya, oleh karena jumlah
dopamin yang lebih banyak tersebut, efek yang ditimbulkan metamfetamin dapat
berlangsung sampai dengan 12 jam (Kelley dkk., 2017). Metamfetamin
merangsang sistem saraf pusat secara signifikan dan meningkatkan efisiensi fisik
dan psikis penggunanya. Peningkatan efisiensi fisik dan psikis tersebut akan
meningkatkan energi, ketekunan, kewaspadaan, konsentrasi, selera makan, libido,
dan hasrat seksual. Secara psikologis, pecandu sabu-sabu akan mengalami euforia
dan kepercayaan diri, selain itu sabu-sabu mampu menekan rasa lapar, haus, dan
sensasi rasa sakit secara efisien (Rommel dkk., 2016). Efek samping utama dari
kecanduan sabu-sabu jangka panjang antara lain ketergantungan fisik dan psikis,
peningkatan tekanan darah, penyakit kardiovaskular yang parah (misalnya,
serangan jantung, stroke, aneurisma), gagal ginjal, penuaan dini dan degenerasi
fisik, penurunan berat badan yang ekstrim, kejang, kegelisahan, kecemasan,
kebingungan, insomnia, paranoia, halusinasi visual dan pendengaran, delusi,
gangguan mood, sindrom antikolinergik, logore, dan xerostomia (De-Carolis dkk.,
2015; Rommel dkk., 2016).

2.1.3 Pecandu Sabu-Sabu


Undang-Undang Nomor 35 Pasal 1 Ayat 13 Tahun 2009 tentang Narkotika,
menyebutkan bahwa pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika,
baik secara fisik maupun psikis. Pecandu narkotika memiliki ketergantungan
terhadap narkotika, yaitu suatu kondisi yang ditandai dengan dorongan untuk
menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas
(Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009). Penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa pecandu sabu-sabu adalah orang yang memiliki ketergantungan terhadap
sabu-sabu. Sabu-sabu memiliki potensi yang kuat untuk menyebabkan
8

penggunanya mengalami kecanduan, apabila seseorang telah kecanduan sabu-sabu


dan berhenti mengonsumsi sabu-sabu secara tiba-tiba maka akan muncul gejala
putus obat atau yang disebut withdrawl. Pecandu sabu-sabu yang putus obat
memiliki tanda-tanda antara lain selalu cemas, kelelahan, depresi parah, psikosis,
dan keinginan yang sangat tinggi untuk mengonsumsi sabu-sabu lagi (National
Institute on Drug Abuse, 2019). Pecandu sabu-sabu dapat digolongkan menjadi 2
kategori berdasarkan frekuensi pemakaiannya, yaitu pecandu yang mengonsumsi
sabu-sabu dengan frekuensi mingguan dan pecandu yang mengonsumsi sabu-sabu
dengan frekuensi bulanan hingga tahunan (Roche dkk., 2015).

2.2 Pengaruh Sabu-sabu Terhadap Kesehatan


2.2.1 Pengaruh Sabu-sabu Terhadap Kesehatan Umum
Pengaruh sabu-sabu terhadap kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti dosis (ringan, sedang dan berat), durasi pemakaian (akut dan kronik), cara
penyalahgunaan (dihisap, dihirup dan intravena) dan frekuensi penyalahgunaan.
Efek penyalahgunaan sabu-sabu secara umum dapat dibedakan dalam dua fase
yaitu fase awal dan fase konsolidasi (Schep dkk., 2010).
a. Fase Akut (Short-term Use)
Fase ini dikenal juga dengan efek akut atau immediate effect. Pada manusia
dengan dosis ringan hingga sedang (5-30 mg) akan mempengaruhi kerja sistem
saraf pusat dan perifer. Pengaruh terhadap sistem saraf pusat diantaranya
meningkatkan tenaga, mood, motivasi, kewaspadaan, aktivitas lokomotor, relaksasi
atau ketenangan dan euforia (Murphy dkk., 2016). Efek euforia dan kesenangan
disebabkan oleh pelepasan dopamin, sedangkan efek ketenangan atau relaksasi
diperantarai oleh stimulasi serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT). Fase akut
pecandu sabu-sabu akan mendapatkan efek yang nampaknya positif, tetapi bila
dosis ditingkatkan menjadi 30-50 mg maka akan menimbulkan efek kecemasan,
disforia, dan talkativeness. Hal tersebut disebabkan pelepasan monoamin dalam
kadar yang tinggi seperti stimulasi α1-adrenoreseptor di prefrontal korteks,
stimulasi serotonergik 5-HT3, dan pelepasan dopamin di striatum (Kelsch, 2011).
9

Efek sabu-sabu pada saraf perifer diantaranya peningkatan denyut jantung,


tekanan darah, laju pernapasan, dilatasi pupil, hipertermia, dan penurunan laju
aliran saliva. Efek pada jantung tersebut dipengaruhi oleh rangsangan β-
adrenoreseptor dan α-adrenoreseptor (Kelsch, 2011).
b. Fase konsolidasi (Long-term Use)
Konsumsi sabu-sabu dalam jangka lama dan intermiten akan membuat
individu meningkatkan dosis dan frekuensi penggunaan sabu-sabu untuk
mendapatkan efek yang lebih besar. Penggunaan dosis besar (55-640 mg) tentunya
sangat berbahaya dan dapat memicu terjadinya overdosis. Penyalahgunaan sabu-
sabu jangka panjang juga dapat memicu komplikasi berbagai organ dalam tubuh
seperti jantung, ginjal, hati, kolon, paru-paru, dan terutama sistem saraf pusat.
Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling terkena dampak dari
penyalahgunaan sabu-sabu. Penyalahgunaan sabu-sabu jangka panjang
menunjukkan perubahan yang nyata pada beberapa bagian otak, meskipun terdapat
juga perubahan yang bersifat reversibel. Sebuah studi neuroimaging menunjukkan
pemulihan pada beberapa bagian otak setidaknya memerlukan waktu 2 tahun
bahkan lebih, sedangkan pada bagian otak lainnya ditemukan kerusakan permanen,
memicu terjadinya stroke, edema serebral, perdarahan otak, dan psikosis (Murphy
dkk., 2016).
Pecandu sabu-sabu juga akan mendapat efek negatif pada kesehatan
jantungnya. Komplikasi pada jantung diawali dengan peningkatan tekanan darah
(160/90 mmHg) hingga timbulnya penyakit jantung koroner, perikarditis, dan
kardiomiopati. Risiko kardiomiopati meningkat 3,7 kali pada pengguna sabu-sabu
kronis dan berimplikasi pada terjadinya disfungsi ventrikel kiri. Penyalahgunaan
sabu-sabu jangka panjang menyebabkan injuri dan kontriksi pada pembuluh darah
sehingga memicu penurunan suplai darah ke jaringan termasuk kulit dan organ
dalam. Penurunan suplai darah tersebut akan meningkatkan risiko terjadinya stroke
dan kehilangan ingatan (Patricia dan Elizabeth, 2016).
Penyalahgunaan sabu-sabu rupanya juga dapat bermanifestasi pada kulit, hal
tersebut disebabkan oleh penurunan suplai darah dan reaksi kimia pada kulit yang
merupakan hasil vasokontriksi ujung saraf. Menurunnya suplai darah dan reaksi
10

kimia pada kulit tersebut menimbulkan sensasi seperti digigit serangga dan rasa
gatal yang tak tertahankan pada kulit. Akibatnya penyalahguna sering menggaruk-
garuk bagian tersebut dan memicu terjadinya lesi yang mudah mengalami infeksi.
Lesi ini biasanya terdapat pada wajah, lengan, dada, dan kaki (Patricia dan
Elizabeth, 2016).

2.2.2 Pengaruh Sabu-sabu Terhadap Kesehatan Gigi Geligi


Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sabu-sabu dapat
meningkatkan prevalensi penyakit rongga mulut. Umumnya pecandu sabu-sabu
memiliki lebih dari satu kelainan pada rongga mulutnya (Patricia dan Elizabeth,
2016). Kerusakan gigi dapat digolongkan berdasarkan penyebabnya yaitu lesi yang
disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan karies, dan lesi yang tidak melibatkan
bakteri seperti erosi, atrisi, abrasi, abfraksi, dan fraktur. Rata-rata durasi waktu
terjadinya masalah-masalah gigi yang dialami oleh pecandu sabu-sabu yaitu
berkisar dari 18 bulan (penyakit periodontal) sampai 77 bulan (masalah TMJ)
(Murphy dkk., 2016). Sabu-sabu yang mengandung bahan toksik dan korosif seperti
litium, asam sulfur, asam klorida, asam asetat eter dan fosfor, akan mudah
terakumulasi dan mengiritasi jaringan keras dan jaringan lunak pada rongga mulut
(Patricia dan Elizabeth, 2016).
Kelainan-kelainan yang dapat dijumpai pada pecandu sabu-sabu antara lain
sebagai berikut:
a. Karies
Pola karies yang ditemukan pada gigi geligi pengguna sabu-sabu memiliki
karakteristik khas yang disebut meth mouth. Meth mouth diambil dari bahasa
Inggris sabu-sabu yaitu methamphetamine dan mouth yang berarti rongga mulut.
Karies yang dipicu oleh sabu-sabu terletak secara spesifik pada permukaan halus
bagian bukal gigi posterior dan pada permukaan interproksimal gigi anterior, seperti
yang terlihat pada early childhood caries. Gigi geligi pecandu sabu-sabu dijelaskan
memiliki karakteristik antara lain menghitam, bernoda, membusuk, keropos,
bahkan gigi terlepas dari soketnya. Seringkali gigi geligi pengguna sabu-sabu sudah
dalam keadaan yang sangat parah sehingga tidak tertolong lagi dan harus
11

diekstraksi (Markonahally dkk., 2015). Gejala klinis meth mouth tidak berbeda dari
kerusakan gigi yang terjadi pada orang yang memiliki oral hygiene buruk, hanya
saja karies yang terjadi pada meth mouth timbul lebih cepat dan lebih parah. Salah
satu teori yang mendukung pernyataan tersebut adalah efek korosif dari sabu-sabu
maupun turunannya yang terjadi secara lokal oleh ekskresi sabu-sabu melalui cairan
krevikular (De-Carolis dkk., 2015).
Meth mouth diduga terjadi sebagai akibat dari kombinasi perubahan psikis
dan perubahan fisiologi yang dipicu oleh sabu-sabu. Salah satu perubahan yang
mungkin dialami oleh pengguna sabu-sabu yaitu xerostomia (rongga mulut kering),
oral hygiene buruk dalam waktu yang lama, dan sering mengonsumsi minuman
manis dan bersoda (De-Carolis dkk., 2015). Xerostomia yang terjadi pada pengguna
sabu-sabu merupakan efek sabu-sabu terhadap sistem saraf pusat dengan cara
melepaskan neurotransmitter ke dalam celah sinaps. Sabu-sabu memiliki struktur
kimia yang serupa dengan dopamin dan norepinefrin, serta memiliki durasi kerja
sekitar 8 sampai 12 jam dan dapat meningkat hingga 24 jam jika dihubungkan
dengan intoksikasinya. Selama durasi kerja tersebut, terdapat peningkatan aktivitas
simpatetik yang menyebabkan penghambatan pada reseptor alfa-2 dan
menimbulkan vasokonstriksi pada kapiler-kapiler kelenjar saliva yang berakibat
pada menurunnya laju sekresi saliva. Akibat dari mekanisme tersebut, jumlah saliva
protektif dari pengguna sabu-sabu menurun (Smit dan Sudeshni, 2016).
Kondisi rongga mulut yang kering meningkatkan keinginan pengguna sabu-
sabu untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang tinggi akan kandungan gula
seperti minuman bersoda. Akibat menurunnya jumlah saliva protektif, maka self
cleansing terhadap debris dan asam-asam penyebab karies terganggu dan
menyebabkan kerusakan gigi bahkan gusi. Pengguna sabu-sabu jangka panjang
tidak memperhatikan kesehatan tubuh secara umum maupun kesehatan gigi dan
mulutnya. Perasaan “melayang” yang ditimbulkan sabu-sabu dapat berlangsung
selama beberapa jam, dalam kondisi tersebut pengguna sabu-sabu mungkin tidak
akan menyikat giginya atau melakukan floss untuk membersihkan bakteri plak dan
substansi gula (Markonahally dkk., 2015). Faktor lain yang diduga sebagai
penyebab meth mouth pada pengguna sabu-sabu adalah sifat alamiah sabu-sabu
12

yang mengandung asam dan berkontak langsung dengan gigi pada saat dihisap
melalui rongga mulut yang kemudian menghasilkan aktivitas korosif (De-Carolis
dkk., 2015).
Laporan survei kesehatan gigi dan mulut menunjukkan bahwa karies
merupakan penyakit yang paling banyak ditemukan dalam rongga mulut pengguna
sabu-sabu. Baik prevalensi maupun tingkat keparahan karies pada pengguna sabu-
sabu memperlihatkan jumlah yang lebih tinggi dibandingankan dengan orang yang
tidak menggunakan sabu-sabu (Rommel dkk., 2016; Boyer dkk., 2015). Penelitian
terbaru yang dilakukan di Amerika Serikat memperoleh data bahwa pengguna sabu-
sabu memiliki kecenderungan dua kali lipat lebih banyak untuk tidak merawat
karies dan kecenderungan empat kali lipat untuk memiliki karies jika dibandingkan
dengan orang yang tidak menggunakan sabu-sabu. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa angka gigi karies, angka kehilangan gigi, dan angka gigi yang
ditumpat, dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (Murphy
dkk., 2016).

Gambar 2.1 Gambaran klinis karies pada pecandu sabu-sabu (meth mouth) (Sumber:
Turkyilmaz, 2010)

b. Erosi
Erosi gigi adalah suatu proses kronis hilangnya jaringan keras gigi yang
disebabkan proses kimiawi zat asam yang tidak melibatkan bakteri. Semua zat
asam, baik zat asam intrinsik maupun ekstrinsik mampu mendemineralisasi enamel
gigi dengan menghasilkan suatu pH yang lebih rendah dari pH kritis pada enamel
gigi. Kandungan mineral gigi akan larut pada waktu gigi berkontak dengan senyawa
yang bersifat asam dan menyebabkan lesi erosi. Erosi gigi harus dibedakan dengan
karies gigi walaupun keduanya mempunyai kesamaan yaitu terjadi demineralisasi
13

pada jaringan keras gigi akibat asam. Erosi dan karies gigi sama-sama dari asam
yang merupakan hasil fermentasi karbohidrat sisa-sisa makanan oleh bakteri dalam
tubuh tetapi erosi gigi terjadi karena proses kimia tanpa melibatkan bakteri, hal ini
berbeda dengan karies gigi (Towle dkk., 2018).
Saliva memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya lesi erosi pada gigi
geligi. Erosi pada permukaan enamel dapat terjadi apabila jumlah aliran saliva dan
kapasitas buffer saliva rendah. Kondisi saliva yang demikian ditemukan dalam
rongga mulut pecandu sabu-sabu. Penelitian yang dilakukan oleh Rommel dkk.
(2016) tentang efek simpatomimetik pada pengguna sabu-sabu kronis menyajikan
data jumlah aliran saliva dan kapasitas buffer saliva antara orang yang
mengonsumsi sabu-sabu dan tidak mengonsumsi sabu-sabu. Hasilnya, pengguna
sabu-sabu memiliki jumlah aliran saliva 4 kali lebih rendah dibandingkan orang
yang tidak mengonsumsi sabu-sabu. Tidak hanya itu, mayoritas pengguna sabu-
sabu menunjukkan kapasitas buffer saliva dalam kategori sedang hingga rendah.
Data penelitian tersebut juga mencatat bahwa 72% pengguna sabu-sabu
mengeluhkan kekeringan dalam rongga mulutnya. Mekanisme yang melatar
belakangi kondisi saliva pada pecandu sabu-sabu tersebut belum terklarifikasi
sepenuhnya.
Sabu-sabu atau metamfetamin mengandung zat-zat kimia yang bersifat
alamiah asam. Salah satu zat kimia asam yang terkandung dalam sabu sabu adalah
hydrochloric acid. Hydrochloric acid atau asam klorida (HCl) digunakan dalam
proses pembuatan sabu-sabu digunakan dalam proses pembuatan sabu-sabu. Zat
kimia asam tersebut kemudian berkontak langsung dengan gigi geligi, sehingga
menyebabkan aksi korosif. Penyebab lain yang dapat menjelaskan proses terjadinya
erosi gigi geligi adalah kecenderungan pecandu sabu-sabu untuk mengonsumsi
minuman bersoda. Kecenderungan pengguna sabu-sabu untuk mengonsumsi
minuman bersoda disebabkan oleh keringnya rongga mulut pengguna sabu-sabu
akibat penurunan produksi saliva. Pecandu sabu-sabu kemudian mencari cara untuk
mengatasi keringnya rongga mulut tersebut dengan cara mengonsumsi minuman
bersoda. Minuman bersoda mengandung air karbonat, asam pospat, dan asam sitrat
14

yang tinggi. Zat-zat tersebut dapat berdampak buruk terhadap mineral-mineral


dalam jaringan keras gigi (De-Carolis dkk., 2015).

2.3 Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember


Lembaga pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana sistem
hukuman penjara yang bertugas membina warga binaan pemasyarakatan (WBP)
yang termasuk di dalamnya yaitu narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien
pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan melakukan pembinaan terhadap WBP
dengan tujuan memberikan bekal kepada mereka sehingga mereka dapat berubah
menjadi masyarakat yang lebih baik setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Lembaga pemasyarakatan termasuk dalam salah satu pelaksana teknis
kemasyarakatan yang berada pada jajaran Kementrian Hukum dan HAM yang
menaungi direktorat jenderal pemasyarakatan (Tuharyati, 2011). Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 menyatakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan
lembaga yang menjalankan sistem pemasyaraktan sebagai suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yan
gdibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak kesalahan yang pernah dilakukan, kembali pada lingkungan
masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995).
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kabupaten Jember berada dalam jajaran
kantor Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur, Lapas ini beralamat di Jalan
PB Sudirman No. 3 Jember. Lapas Jember dibangun pada masa pemerintahan
kolonial belanda tahun 1886 dengan luas area 8190 m2, pembangunan Lapas
mengalami renovasi yaitu pada tahun 1984, 1990, dan hingga kini terus melakukan
renovasi untuk meningkatkan kenyamanan dalam beraktivitas baik bagi WBP,
petugas, maupun masyarakat yang berkunjung (Mahfudzo, 2018). Berdasarkan
sistem database pemasyarakatan, jumlah narapidana Lapas Jember per bulan
15

November tahun 2019 adalah 518 orang, namun kapasitas Lapas Jember adalah 390
orang, sehingga Lapas Jember mengalami overkapasitas. 527 dari 518 narapidana
tersebut merupakan pidana khusus dengan rincian 13 orang pidana korupsi, 113
orang pengedar narkoba, 131 pengguna narkoba, dan 1 orang teroris. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Pasal 5 Tahun 1995 tentang Sistem Pembinaan
Pemasyarakatan, maka Lapas Klas IIA Kabupaten Jember melaksanaan Sistem
Pembinaan Pemasyarakatan berdasarkan asas:
1. pengayoman
2. persamaan perlakuan dan pelayanan
3. pendidikan
4. pembimbingan
5. penghormatan harkat dan martabat manusia
6. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
7. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
Lembaga pemasyaraktan kelas IIA Kabupaten Jember merupakan salah satu
Lapas yang melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri dengan penyediaan
klinik dan juga bekerjasama dengan Puskesmas Patrang, Rumah Sakit Paru Jember,
dan Ikatan Dokter Indonesia. Pelayanan kesehatan di Lapas Jember dilakukan oleh
tenaga kesehatan sejumlah 2 orang, yaitu 1 orang berprofesi sebagai dokter gigi dan
1 orang sebagai perawat. Kamar yang disediakan oleh Lapas Jember terdiri dari 4
blok dengan ketentuan Blok A dihuni oleh tahanan (status terdakwa atau tersangka),
Blok B dan Blok C dihuni oleh narapidana, dan Blok D dihuni oleh wanita
(Mahfudzo, 2018).

2.4 Indeks Erosi


Terdapat beberapa indeks yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
keparahan erosi gigi, salah satunya yaitu metode yang dikemukakan oleh Bartlett
dkk. tahun 2008 yaitu Basic Erosive Wear Examination (BEWE) (Vainionpaa dkk.,
2019). Metode ini membagi gigi geligi menjadi 6 sektan, kemudian skor tertinggi
16

dari masing-masing sektan diakumulasikan jumlahnya. Penilaian erosi diberi skor


0-3 berdasarkan level erosinya sebagai berikut:
a. Skor 0 = Tidak terdapat erosi (Gambar 2.2)
b. Skor 1 = Tahap awal kerusakan enamel atau enamel translucency (Gambar
2.3)
c. Skor 2 = Hilangnya struktur jaringan keras < 50% dari permukaan gigi atau
occlusal cupping (Gambar 2.4)
d. Skor 3 = Hilangnya struktur jaringan keras > 50% dari permukaan gigi atau
(Gambar 2.5)

Gambar 2.2 Tidak terdapat erosi (Sumber: Passos dkk., 2019)

Gambar 2.3 Tahap awal kerusakan enamel (Sumber: Passos dkk., 2019)
17

Gambar 2.4 Hilangnya struktur jaringan keras < 50% dari permukaan gigi atau occlussal
cupping (Sumber: Ritcher dan Sifgus, 2017)

Gambar 2.5 Hilangnya struktur jaringan keras > 50% dari permukaan gigi
(Sumber: Passos dkk., 2019)
18

2.5 Indeks Karies


Insidens dan keparahan karies gigi dapat diukur dengan indeks karies. Indeks
karies merupakan angka yang menunjukkan jumlah gigi yang karies pada seseorang
atau kelompok orang (Sibarani, 2014). Istilah indeks karies pertama kali
dikemukakan oleh Bodecker C. F. dan Bodecker H. W. C. pada tahun 1931. Indeks
DMF-T sendiri pertama kali ditemukan oleh Henry Klein, Carrole E. Palmer dan J.
W. Knutson tahun 1938 dan hingga kini digunakan secara universal (Marwah,
2018). Nilai DMF-T adalah angka yang menunjukkan jumlah gigi dengan karies
pada seseorang atau sekelompok orang. Angka D (decay) adalah gigi yang
berlubang karena karies gigi, angka M (missing) adalah gigi yang diekstraksi karena
karies gigi, angka F (filled) adalah gigi yang ditambal karena karies dan dalam
keadaan baik. Instrumen yang dapat digunakan dalam pemeriksaan DMF-T yaitu
kaca mulut, eksplorer, atau CPI Probe. Tujuan dari perhitungan indeks DMF-T
adalah untuk mengetahui pengalaman karies seseorang atau suatu populasi pada
masa lalu atau masa sekarang (World Health Organization, 2013).
Indeks ini hanya berlaku untuk gigi 28 permanen dan tidak dapat digunakan
pada anak-anak karena menjadi tidak akurat. Gigi-gigi yang tidak diperhitungkan
dalam indeks DMF-T ini antara lain 4 molar ketiga permanen, gigi yang diekstraksi
atau ditumpat dengan alasan selain karies misalnya trauma, gigi yang ditumpat
karena alasan kosmetik, gigi yang belum erupsi, dan gigi supernumerari. Gigi
dianggap sudah erupsi apabila permukaan oklusal atau insisalnya telah muncul
dalam rongga mulut. Ketentuan dalam pemeriksaan indeks DMF-T yaitu setiap gigi
hanya dicatat satu kali sebagai karies, hilang, atau ditumpat. Karies yang terdapat
pada gigi yang sebelumnya sudah ditumpat tetap dicatat sebagai karies (Marwah,
2018).
Kondisi gigi yang dicatat dalam kategori D atau karies adalah gigi yang
memiliki diskolorasi, jaringan keras melunak, maupun kavitas pada mahkota, dan
permukaan halus gigi yang terlihat jelas. Pemeriksaan dapat dilakukan
menggunakan instrumen eksplorer dengan cara melakukan eksplorasi pada kavitas
apabila diperlukan. Karies yang hanya dirawat tumpatan sementara dan karies yang
berulang pada gigi yang sudah ditumpat termasuk dalam kategori ini. Kondisi gigi
19

yang dicatat dalam kategori M atau gigi hilang adalah gigi yang hilang atau
diekstraksi karena karies yang sudah tidak bisa dilakukan perawatan. Kondisi gigi
yang dicatat dalam kategori F atau gigi tumpatan adalah gigi yang memiliki
tumpatan permanen tanpa kavitas pada permukaannya. Gigi tiruan cekat atau
mahkota jaket yang bukan disebabkan oleh karies tidak termasuk pada kategori ini
(Hiremath, 2011).
Kekurangan dari indeks DMF-T ini adalah tidak dapat menggambarkan
kondisi karies yang sebenar, karena apabila terdapat karies pada 2 permukaan
dalam 1 gigi, maka hanya dicatat 1 karies. Indeks DMF-T juga tidak membedakan
kedalaman karies, apakah karies tersebut karies superfisialis, karies media, atau
karies profunda. Indeks DMF-T memiliki kelebihan dibandingkan dengan indeks
karies yang lainnya yaitu lebih sederhana, mudah, dan akurat digunakan dalam
penelitian (Balqis, 2014).
20

2.6 Kerangka Konsep

Penyalahgunaan Sabu-sabu

Sistem Saraf Pusat

Penghambatan
Psikostimulan Efek
reseptor alfa-2
simpatomimetik

Pelepasan
Vasokonstriksi
neurotransmiter Penurunan
kapiler kelenjar
dopamin kapasitas buffer
saliva
saliva
Euforia dan
Penurunan laju
relaksasi Eksresi zat kimia
aliran saliva
asam sabu-sabu pada
cairan krevikular
Kurang menjaga Penurunan
kebersihan rongga volume saliva
mulut
Kontak langsung
Xerostomia dengan permukaan
Oral hygiene buruk gigi
dalam jangka waktu Kegagalan mekanisme
panjang self cleansing
Aktivitas korosif

Akumulasi bakteri plak


dan substansi gula Demineralisasi
jaringan keras gigi

Karies dan Erosi Gigi


BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional deskriptif dengan
pendekatan cross-sectional. Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan point time
approach, yaitu pengumpulan datanya dilakukan pada suatu waktu. Setiap sampel
penelitian diamati satu kali serta pengukuran dilakukan terhadap variabel sampel
pada saat pemeriksaan (Notoatmojo, 2012).

3.2 Rancangan Penelitian


3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II- A
Kabupaten Jember.

3.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2019.

3.3 Identifikasi Variabel Penelitian


1. Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penyalahgunaan narkotika jenis
sabu-sabu.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prevalensi karies dan prevalensi
erosi.
3. Variabel Kontrol
Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah kondisi kesehatan umum serta
riwayat lama penyalahgunaan sabu-sabu.
22

3.4 Definisi Operasional


1. Karies
Karies gigi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kavitas yang terdapat
pada permukaan gigi yang apabila dimasukkan ujung sonde/eksplorer akan
tersangkut. Alat yang digunakan untuk memeriksa karies antara lain kaca mulut,
sonde/eksplorer, dan headlamp. Skoring dilakukan terhadap 28 gigi permanen
(tidak termasuk 4 gigi molar ketiga) menggunakan indeks karies DMF-T, dengan
catatan D adalah gigi dengan karies, M adalah gigi yang terindikasi atau telah
diekstraksi karena karies, dan F adalah gigi yang ditumpat karena karies. Skor
DMF-T individu didapatkan dari penjumlahan komponen D, M, dan F individu
tersebut, sedangkan rata-rata DMF-T suatu kelompok didapatkan dari penjumlahan
komponen D, M, dan F kelompok tersebut dibagi dengan jumlah populasi
kelompok tersebut. Rata-rata skor DMF-T tersebut kemudian dikategorikan dari
sangat rendah hingga sangat tinggi. Prevalensi karies didapatkan dari jumlah orang
dengan riwayat karies (skor DMF-T>0) dibagi dengan total jumlah orang pada
kelompok tersebut dan dikalikan dengan 100%.
2. Erosi
Erosi gigi adalah hilangnya substansi jaringan keras gigi yang disebabkan
oleh zat kimia asam dengan karakteristik pengikisan lapisan jaringan keras gigi,
perubahan bentuk, cekungan pada puncak cusp, dan perubahan warna. Alat yang
digunakan dalam pemeriksaan erosi yaitu kaca mulut dan headlamp. Gigi geligi
mula-mula dibagi menjadi 6 sektan yaitu regio rahang atas kanan, regio anterior
rahang atas, regio kiri rahang atas, regio kiri rahang bawah, regio anterior rahang
bawah, dan regio kanan rahang bawah. Setiap gigi diberi skor berdasarkan
keparahan erosinya mulai dari skor 0 yaitu tidak ada erosi, skor 1 yaitu permulaan
erosi, skor 2 yaitu erosi kurang dari 50%, dan skor 3 erosi lebih dari 50%. Skor
erosi individu didapatkan dari penjumlahan skor tertinggi dari setiap sektan
kemudian diakumulasi dan dikategorikan berdasarkan risk level mulai dari sangat
rendah hingga berat. Rerata skor erosi didapatkan dari penjumlahan skor erosi suatu
kelompok dibagi dengan jumlah orang pada kelompok tersebut. Prevalensi erosi
23

didapatkan dari jumlah orang dengan riwayat erosi (skor erosi>2) dibagi dengan
total jumlah orang pada kelompok tersebut dan dikalikan dengan 100%.
3. Pengguna Sabu-sabu
Pengguna sabu-sabu adalah orang yang memakai sabu-sabu tanpa indikasi
medis selama minimal 18 bulan. Penelitian ini menggunakan narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember sebagai responden
penelitian, sehingga pengguna sabu-sabu yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember yang
terjerat kasus penyalahgunaan sabu-sabu dengan riwayat lama konsumsi sabu-sabu
minimal 18 bulan. Riwayat lama konsumsi sabu-sabu tersebut berdasarkan
penelitian Murphy dkk. (2016) yang menyebutkan bahwa rata-rata durasi waktu
terjadinya masalah kesehatan rongga mulut yang dialami pengguna sabu-sabu
berkisar dari 18 bulan hingga 77 bulan. Data jumlah narapidana pengguna sabu-
sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember diperoleh dari
sistem database pemasyarakatan per bulan November 2019, sedangkan riwayat
lama konsumsi sabu-sabu diperoleh dari kuisioner karakteristik narapidana.
4. Karakteristik Narapidana
Karakteristik narapidana adalah hal-hal tertentu yang dimiliki oleh
narapidana yang berkaitan dengan dirinya. Alat yang digunakan untuk memperoleh
data karakteristik narapidana adalah alat tulis dan lembar kuisioner yang memuat
data jenis kelamin, usia, cara konsumsi sabu-sabu, frekuensi menyikat gigi,
frekuensi konsumsi sabu-sabu, dan lama mengonsumsi sabu-sabu. Tim peneliti
akan memberikan pertanyaan kepada narapidana, kemudian narapidana akan
menjawab dengan pernyataan yang paling sesuai dengan karakteristik dirinya.

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian


3.5.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah narapidana binaan Lembaga Pemasyarakatan Klas
II-A di Kabupaten Jember yang terjerat kasus penyalahgunaan narkotika jenis sabu-
sabu berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan per bulan November 2019 yaitu
sejumlah 131 orang.
24

3.5.2 Kriteria Sampel Penelitian


a. Kriteria Inklusi
1) Narapidana bersedia menjadi responden penelitian
2) Narapidana dengan lama pemakaian sabu-sabu minimal 18 bulan.
Kriteria tersebut berdasarkan rata-rata durasi waktu terjadinya masalah
kesehatan gigi dan mulut yang dialami oleh pecandu sabu-sabu yaitu
berkisar dari 18 bulan (penyakit periodontal) sampai 77 bulan (masalah
TMJ) (Murphy dkk., 2016).
3) Narapidana dengan kondisi kesehatan umum baik
b. Kriteria Eksklusi
a) Narapidana dengan gangguan jiwa
b) Narapidana dengan penyakit sistemik

3.5.3 Cara Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel
sebagai sumber data dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu
(Sugiyono, 2016). Teknik sampling tersebut digunakan karena tidak semua
narapidana memiliki durasi pemakaian sabu-sabu yang sama dan adanya penyakit
sistemik dikhawatirkan akan menghasilkan data yang bias. Sampel yang diteliti
dalam penelitian ini adalah narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A
Kabupaten Jember yang terjerat kasus penyalahgunaan sabu-sabu dengan durasi
pemakaian sabu-sabu minimal 18 bulan serta tidak memiliki penyakit sistemik.
Pertimbangan tersebut mengacu dari penelitian yang dilakukan oleh Murphy
dkk. (2016) yang menyebutkan bahwa rata-rata durasi waktu terjadinya masalah
Kesehatan gigi dan mulut yang dialami oleh pecandu sabu-sabu yaitu berkisar dari
18 bulan (penyakit periodontal) sampai 77 bulan (masalah TMJ). Durasi pemakaian
sabu-sabu dapat diketahui melalui lembar kuisioner karakteristik pada saat
pemeriksaan, sedangkan riwayat penyakit sistemik dapat diketahui melalui data
medis yang dikelola petugas kesehatan di Lemabaga Pemasyarakatan Klas II-A
Kabupaten Jember.
25

3.5.4 Jumlah Sampel Penelitian


Jumlah sampel penelitian ini adalah seluruh anggota populasi yang telah
sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sejumlah 58 orang.

3.6 Metode Pengukuran


3.6.1 Indeks Karies DMF-T
Gigi geligi narapidana diamati satu persatu menggunakan kaca mulut dan
eksplorer. Dasar untuk perhitungan DMF-T adalah jumlah komponen D, M, dan F
yang terdapat pada 28 gigi permanen tidak termasuk 4 gigi molar ketiga. Hasil
pencatatan dari komponen D, M, dan F tersebut kemudian diaplikasikan dalam
rumus:

Perhitungan DMF-T untuk individu:


𝐷𝑀𝐹 − 𝑇 = 𝐷𝑒𝑐𝑎𝑦 (𝐷) + 𝑀𝑖𝑠𝑠𝑖𝑛𝑔 (𝑀) + 𝐹𝑖𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 (𝐹)

Perhitungan rerata DMF-T:


𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝑀𝐹 − 𝑇
𝐷𝑀𝐹 − 𝑇 =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎
(Marwah, 2018)

Skor DMF-T yang telah dikalkulasi kemudian dikategorikan sesuai kategori


DMF-T menurut World Health Organization (1986) pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Kategori DMF-T Menurut WHO (1986)


Kategori DMF-T
Sangat Rendah 0,0-1,1
Rendah 1,2-2,6
Sedang 2,7-4,4
Tinggi 4,5-6,6
Sangat Tinggi >6,6
Sumber: WHO, 1986 dalam Moreno dkk., 2018
26

3.6.2 Indeks Erosi Basic Erosive Wear Examination


Gigi geligi mula-mula dibagi menjadi enam sektan tanpa melibatkan gigi
molar ketiga, yaitu:
1. Sektan 1 terdiri dari gigi posterior rahang atas kanan
2. Sektan 2 terdiri dari gigi anterior rahang atas
3. Sektan 3 terdiri dari gigi posterior rahang atas kiri
4. Sektan 4 terdiri dari gigi posterior rahang bawah kiri
5. Sektan 5 terdiri dari gigi anterior rahang bawah
6. Sektan 6 terdiri dari gigi posterior rahang bawah kanan.
Satu per satu gigi dalam setiap sektan diamati skor erosinya menggunakan
kaca mulut. Kriteria skoring untuk masing-masing gigi adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2 Kriteria Skoring Basic Erosive Wear Examination


Skor Kriteria
0 Tidak ada erosi
1 Permulaan hilangnya struktur permukaan gigi
2 Hilangnya struktur jaringan keras < 50% dari permukaan gigi
3 Hilangnya struktur jaringan keras > 50% dari permukaan gigi
Sumber: Bartlett dkk., 2008 dalam Vainionpaa dkk., 2019

Skor tertinggi dari masing-masing sektan diakumulasi, kemudian


dikategorikan berdasarkan risk level. Risk level mengindikasikan risiko kerusakan
gigi individu yang dapat dijadikan acuan pada saat prosedur perawatan. Risk level
dikelompokkan berdasarkan skor kumulatif dari setiap sektan (Tabel 3.3).

Tabel 3.3 Kriteria Skor Kumulatif Basic Erosive Wear Examination


Skor
Risk Level Perawatan
Kumulatif
≤2 Sangat Rendah Pemeliharaan dan observasi rutin
3-8 Rendah Mengatur pola makan
9 - 13 Sedang Menjaga oral hygiene, eliminasi etiologi, dan fluoridasi
≥ 14 Berat Restorasi
Sumber: Bartlett dkk., 2008 dalam Vainionpaa dkk., 2019
27

3.6.3 Karakteristik Narapidana


Narapidana diberikan lembaran kuisioner yang berisi beberapa pertanyaan
terkait karakteristik narapidana tersebut. Pertanyaan dijawab dengan cara
melingkari salah satu pilihan jawaban yang tersedia atau mengisi space kosong
yang telah disediakan. Usia narapidana dikelompokkan berdasarkan kategori usia
oleh Departemen Kesehatan RI (2009) yaitu:

Tabel 3.4 Kategori Usia Menurut Departemen Kesehatan RI (2009)


Kategori Usia Rentang Usia
Balita 0-5 tahun
Anak-anak 5-11 tahun
Remaja awal 12-16 tahun
Remaja akhir 17-25 tahun
Dewasa awal 26-35 tahun
Dewasa akhir 36-45 tahun
Lansia awal 46-55 tahun
Lansia akhir 56-65 tahun
Manula 65 tahun ke atas
Sumber: Depkes RI, 2009 dalam Amin dan Juniati, 2017

3.7 Alat dan Bahan Penelitian


3.7.1 Alat dan Bahan Pemeriksaan Karies dan Erosi
a. 1 set dental kit disposable
b. Headlamp
c. Cotton Pellet
d. Petridish
e. Masker
f. Handscoon

3.7.2 Alat untuk Meneliti Karakteristik Narapidana Pengguna Sabu-sabu


a. Form kuisioner
b. Alat tulis
28

3.8 Prosedur Penelitian


1. Melakukan survei pendahuluan untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan penelitan.
2. Menentukan kriteria sampel dan teknik sampling.
3. Mengurus surat izin penelitian dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Jember, Kantor Wilayah Kementerian Hukum HAM Surabaya, dan Lembaga
Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember
4. Mengurus ethical clearance di Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
5. Mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan pada saat penelitian, antara
lain 120 set dental kit disposable, headlamp, cotton pellete, petridish, masker,
handscoon, form kuisioner karakteristik, form penilaian karies, form
penilaian erosi, dan alat tulis.
6. Penelitian dilakukan selama 2 hari dengan dibantu oleh 9 orang mahasiswa
Universitas Jember, tim peneliti memeriksa 60 responden per harinya.
7. Saat penelitian dilakukan, responden dipersilakan duduk dan mengisi
informed consent sebagai pernyataan tertulis bahwa responden bersedia
menjadi subjek penelitian.
8. Responden selanjutnya diberikan beberapa pertanyaan dari lembar kuisioner
untuk mengetahui karakteristik responden.
9. Responden kemudian diperiksa gigi geliginya menggunakan headlamp, kaca
mulut, dan sonde untuk mengetahui jumlah komponen D, M, dan F.
Komponen D, M, dan F kemudian dicatat pada odontogram.
10. Responden diperiksa gigi geliginya menggunakan headlamp dan kaca mulut
untuk mengetahui skor erosi pada 6 sektan yang telah dibagi sebelumnya.
Skor erosi kemudian dicatat pada odontogram.
11. Setelah penelitian selesai, dilakukan seleksi sampel yang telah sesuai kriteria
lama konsumsi yaitu minimal 18 bulan.
12. Data karakteristik, skor DMF-T dan skor erosi selanjutnya ditabulasi dalam
program Microsoft Excel 2016 untuk mengetahui karakteristik narapidana
dan prevalensi karies serta erosinya.
29

3.9 Alur Penelitian

Melakukan survei pendahuluan

Menentukan kriteria sampel, jumlah sampel, dan teknik sampling

Mengurus surat izin penelitian dan ethical clearence

Pengisian informed consent oleh narapidana

Pengisian kuisioner oleh narapidana dan pemeriksaan intra oral secara klinis

Melakukan seleksi subjek penelitian yang datanya sesuai kriteria sampel

Menganalisis data
30

3.10 Analisis Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang
diperoleh secara langsung melalui pemeriksaan gigi geligi narapidana dan
wawancara kuisioner. Data tersebut kemudian diolah menggunakan teknik analisis
univariat. Analisis univariat dilakukan secara mandiri terhadap masing-masing
variabel tanpa mengaitkan variabel satu dengan variabel lainnya, sehingga dapat
mendeskripsikan variabel-variabel itu sendiri. Persentase dan distribusi frekuensi
masing-masing variabel kemudian ditabulasi dan disajikan dalam tabel dan grafik.
Analisis univariat dilakukan dengan menggunakan rumus prevalensi sebagai
berikut:

(Pitriani dan Herawanto, 2019)


BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Karakteristik Narapidana Pengguna Sabu-sabu
Hasil wawancara yang dilakukan dengan 58 narapidana pengguna sabu-sabu
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember diperoleh data
karakteristik narapidana yaitu jenis kelamin, usia, frekuensi sikat gigi, cara
konsumsi sabu-sabu, frekuensi konsumsi sabu-sabu, dan lama konsumsi sabu-sabu.
Berikut disajikan data karakteristik narapidana pengguna sabu-sabu di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember.
a. Jenis Kelamin
Data distribusi narapidana pengguna sabu-sabu berdasarkan jenis kelamin
diperoleh melalui kuisioner karakterstik yang disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Perempuan 8 13,80
Laki-laki 50 86,20
Total 58 100

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa narapidana pengguna sabu-sabu berjenis


kelamin laki-laki berjumlah 50 orang atau 86,20% dari total jumlah sampel,
sedangkan narapidana pengguna sabu-sabu berjenis kelamin perempuan berjumlah
8 orang atau 13,80% dari total jumlah sampel.

b. Usia
Wawancara yang telah dilakukan dengan narapidana pengguna sabu-sabu
memperoleh hasil bahwa usia narapidana terdiri atas 4 kategori yaitu remaja akhir,
dewasa awal, dewasa akhir, dan lansia awal. Data usia narapidana pengguna sabu-
sabu disajikan dalam Tabel 4.2.
32

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia


Kategori Usia Frekuensi Persentase (%)
Remaja Akhir (17-25 tahun) 5 8,62
Dewasa Awal (26-35 tahun) 24 41,38
Dewasa Akhir (36-45 tahun) 21 36,21
Lansia Awal (46-55 tahun) 8 13,79
Jumlah 58 100
Sumber: Depkes RI, 2009 dalam Amin dan Juniati, 2017

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa terdapat narapidana 5 (8,62%) orang dalam


kategori usia remaja akhir, 24 (41,38%) orang kategori usia dewasa awal, 21
(36,21%) orang kategori usia dewasa akhir, dan 8 (13,97%) orang kategori usia
lansia awal.

c. Frekuensi Menyikat Gigi


Penelitian ini membagi narapidana pengguna sabu-sabu berdasarkan
frekuensi menyikat gigi dalam satu hari. Narapidana dibagi menjadi kelompok tidak
pernah menyikat gigi, menyikat gigi 1 kali sehari, menyikat gigi 2 kali sehari, dan
menyikat gigi lebih dari 2 kali sehari. Data distribusi narapidana berdasarkan
frekuensi sikat gigi dalam sehari disajikan dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Sikat Gigi

Frekuensi Sikat Gigi Frekuensi Persentase (%)


Tidak Pernah 0 0,00
1 kali 28 48,28
2 kali 14 24,14
Lebih dari 2 kali 16 27,59
Total 58 100

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa semua narapidana menyikat giginya setiap


hari, sehingga tidak dijumpai narapidana yang tidak pernah menyikat giginya.
Diketahui 28 (48,28%) narapidana menyikat gigi 1 kali sehari, 14 (24,14%)
menyikat gigi 2 kali sehari, dan 16 (27,59%) menyikat gigi lebih dari 2 kali sehari.
33

d. Cara Konsumsi Sabu-sabu


Telah diketahui bahwa terdapat berbagai macam cara untuk mengonsumsi
sabu-sabu tergantung bentuk sediaannya. Cara tersebut yaitu sabu-sabu dalam
bentuk kristal dibakar dan asapnya dihisap melalui rongga mulut, sabu-sabu dalam
bentuk serbuk dibakar dan dihirup melalui hidung, sabu-sabu dalam bentuk cairan
disuntikkan, dan sabu-sbu dalam bentuk pil/tablet ditelan. Data distribusi
narapidana berdasarkan cara konsumsi sabu-sabu disajikan dalam Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi Responden Pengguna Sabu-sabu Berdasarkan Cara Konsumsi Sabu-
sabu
Cara Konsumsi Frekuensi Persentase (%)
Dihisap 53 91,40
Dihirup 3 5,20
Disuntikkan 2 3,40
Ditelan 0 0,00
Total 58 100

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa 53 (91,40%) narapidana mengonsumsi sabu-


sabu dengan cara menghisap asap pembakarannya, 3 (5,20%) mengonsumsi sabu-
sabu dengan menghirup serbuk sabu-sabu, 2 (3,40%) mengonsumsi sabu-sabu
dengan menyuntikkan cairan sabu-sabu, dan tidak dijumpai narapidana yang
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara menelan pil/tablet sabu-sabu.

e. Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu


Berdasarkan frekuensi konsumsi sabu-sabu, narapidana dibagi menjadi
kelompok frekuensi konsumsi harian hingga mingguan dan kelompok frekuensi
konsumsi bulanan hingga tahunan. Data distribusi narapidana berdasarkan
frekuensi konsumsi sabu-sabu disajikan dalam Tabel 4.5

Tabel 4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu


Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu Frekuensi Persentase (%)
Harian – Mingguan 40 68,97
Bulanan – Tahunan 18 31,03
Total 58 100
34

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa 40 (68,97%) narapidana mengonsumsi sabu-


sabu dengan frekuensi harian hingga mingguan, sedangkan 18 (31,03%) narapidana
mengonsumsi sabu-sabu dengan frekuensi bulanan hingga tahunan.

f. Lama Konsumsi Sabu-sabu


Lama konsumsi sabu-sabu dikelompokkan menjadi 2 yaitu selama < 4 tahun
dan ≥ 4 tahun. Pengelompokan tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Ye dkk. tahun 2018. Data lama konsumsi sabu-sabu yang diperoleh berdasarkan
wawancara kuisioner karakteristik merupakan data dalam satuan bulan, data
tersebut kemudian dikonversi menjadi satuan tahun.

Tabel 4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Konsumsi Sabu-sabu


Lama Konsumsi Frekuensi Persentase (%)
< 4 tahun 10 17,24
≥ 4 tahun 48 82,76
Total 58 100

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa 10 (17,24%) narapidana mengonsumsi sabu-


sabu selama < 4 tahun, sedangkan 48 (82,76%) narapidana mengonsumsi sabu-sabu
selama ≥ 4 tahun.

4.1.2 Indeks Karies Narapidana


Angka karies narapidana pengguna sabu-sabu diukur menggunakan Indeks
Karies DMF-T yang diperoleh melalui pemeriksaan klinis pada gigi geligi
responden. Data distribusi komponen DMF-T disajikan pada Tabel 4.7.
35

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Komponen DMF-T Narapidana


Komponen DMF-T Frekuensi Persentase (%)
D 321 77,27
M 91 21,77
F 4 0,96
Total DMF-T 418
Rerata 7,21
Std. Deviasi 5,48

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa total skor DMF-T seluruh narapidana adalah
418 dan rerata skor DMF-T narapidana adalah 7,21 yang tergolong sangat tinggi.
Sebanyak 52 dari total 58 narapidana yang telah sesuai dengan kriteria sampel
diketahui memiliki pengalaman karies (DMF-T>0), apabila diaplikasikan ke dalam
rumus prevalensi maka didapatkan prevalensi karies sebesar 89,66%. Tabel 4.7
disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 4.1.

350 321
300
250
200 Decay
150 Missing
91 Filling
100
50
4
0
Frekuensi

Gambar 4.1 Distribusi Frekuensi Komponen DMF-T Narapidana


36

4.1.3 Indeks Erosi Narapidana


Skor erosi narapidana diukur menggunakan Basic Erosive Wear
Examination. Permukaan setiap gigi diperiksa secara klinis dan ditentukan skornya
berdasarkan kriteria skor erosi. Skor tertinggi dari setiap sektan kemudian
diakumulasi dan dikategorikan berdasarkan risk level. Data skor erosi narapidana
pengguna sabu-sabu disajikan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Skor Erosi Narapidana


Kategori Erosi Frekuensi Persentase (%)
Sangat Rendah 16 27,60
Rendah 35 60,34
Sedang 6 10,34
Berat 1 1,72
Total 58 100
Rerata 5,29
Std. Deviasi 3,19

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa 16 (27,60%) narapidana memiliki skor erosi


sangat rendah, 35 (60,34%) memiliki skor erosi rendah, 6 (10,34%) memiliki skor
erosi sedang, dan 1 (1,72%) memiliki skor erosi berat. Diketahui 42 dari total 58
narapidana diketahui memiliki erosi dan membutuhkan perawatan (skor erosi
kumulatif > 2), sehingga apabila diaplikasikan dalam rumus angka prevalensi maka
didapatkan prevalensi erosi sebesar 72,41%. Rata-rata skor erosi adalah 5,29. Tabel
4.8 disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 4.2

40 35
35
30
25
20 16
15
10 6
5 1
0
Sangat Rendah Rendah Sedang Berat

Gambar 4.2 Grafik Distribusi Frekuensi Skor Erosi Narapidana


37

4.1.4 Tabulasi Silang Karakteristik Narapidana dengan Skor DMF-T


a. Jenis Kelamin
Hasil analisis tabulasi silang antara jenis kelamin dengan komponen skor
DMF-T narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat
pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Jenis Kelamin dengan Komponen DMF-T

Jenis Komponen DMF-T Rerata Skor Kategori


Kelamin D M F DMF-T DMF-T DMF-T
Perempuan 44 12 0 56 7,00 Sangat tinggi
Laki-laki 279 79 4 362 7,24 Sangat tinggi

Tabulasi silang antara jenis kelamin narapidana dengan komponen DMF-T


(Tabel 4.9) menunjukkan bahwa perempuan maupun laki-laki memiliki rerata skor
DMF-T yang sangat tinggi yaitu perempuan sebesar 7,00 sedangkan laki-laki
sebesar 7,24. Perhitungan rata-rata skor DMF-T didapatkan dari penjumlahan
komponen D, M, dan F pada satu kelompok jenis kelamin dibagi dengan jumlah
narapidana pada kelompok jenis kelamin tersebut.

b. Usia
Hasil analisis tabulasi silang antara usia dengan komponen skor DMF-T
narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat pada
Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Tabulasi Silang Usia dengan Komponen DMF-T

Komponen DMF-T Rerata Kategori


Kategori Usia
D M F DMF-T DMF-T DMF-T
Remaja Akhir (17-25 tahun) 19 2 1 22 4,40 Sedang
Dewasa Awal (26-35 tahun) 134 44 3 181 7,54 Sangat tinggi
Dewasa Akhir (36-45 tahun) 136 23 0 159 7,57 Sangat tinggi
Lansia Awal (46-55 tahun) 34 22 0 56 7,00 Sangat tinggi
Sumber: Depkes RI, 2009 dalam Amin dan Juniati, 2017

Hasil tabulasi silang usia narapidana dengan komponen DMF-T (Tabel 4.10)
menunjukkan bahwa rata-rata skor DMF-T narapidana kategori usia remaja akhir
adalah 4,40 , narapidana kategori usia dewasa awal adalah 7,54, narapidana kategori
38

usia dewasa akhir adalah 7,57, dan narapidana kategori usia lansia awal adalah 7,00.
Kategori DMF-T narapidana usia remaja akhir tergolong rendah, sedangkan
narapidana usia dewasa awal, dewasa akhir, dan lansia awal tergolong sangat tinggi.

c. Frekuensi Menyikat Gigi


Hasil analisis tabulasi silang antara frekuensi sikat gigi dengan komponen
skor DMF-T narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat
dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11 Tabulasi Silang Frekuensi Sikat Gigi dengan Komponen DMF-T
Frekuensi Komponen DMF-T Rerata Kategori
Sikat Gigi D M F DMF-T DMF-T DMF-T
Tidak Pernah 0 0 0 0 0,00 Sangat rendah
1 kali 254 49 1 304 10,86 Sangat tinggi
2 kali 45 30 3 78 5,57 Tinggi
Lebih dari 2 kali 24 12 0 36 2,25 Rendah

Tabulasi silang antara frekuensi menyikat gigi dalam sehari dengan skor
DMF-T narapidana (Tabel 4.11) menunjukkan bahwa rata-rata skor DMF-T
narapidana dengan frekuensi sikat gigi 1 kali sehari adalah 10,86 yang tergolong
sangat tinggi, narapidana dengan frekuensi sikat gigi 2 kali sehari adalah 5,57 yang
tergolong tinggi, dan narapidana dengan frekuensi sikat gigi lebih dari 2 kali sehari
adalah 2,25 yang tergolong rendah.

d. Cara Konsumsi Sabu-sabu


Hasil analisis tabulasi silang antara cara mengonsumsi sabu-sabu dengan
komponen skor DMF-T narapidana disajikan pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12 Tabulasi Silang Cara Konsumsi Sabu-sabu dengan Komponen DMF-T
Komponen DMF-T Rerata Kategori
Cara Konsumsi DMF-T
D M F DMF-T DMF-T
Dihisap 300 89 4 393 7,42 Sangat tinggi
Disuntikkan 12 0 0 12 6,00 Tinggi
Dihirup 11 2 0 13 4,33 Sedang
Ditelan 0 0 0 0 0,00 Sangat rendah
39

Tabulasi silang antara cara narapidana mengonsumsi sabu-sabu dengan


komponen DMF-T (Tabel 4.12) menunjukkan bahwa narapidana yang
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara menghisap asap hasil pembakaran sabu-sabu
memiliki rata-rata skor DMF-T yang lebih tinggi (7,42) dibandingkan dengan rata-
rata skor DMF-T narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara
disuntikkan (6,00), dihirup (4,33), dan ditelan (0,00). Rerata skor DMF-T
narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihisap tergolong sangat
tinggi, dengan cara disuntikkan tergolong tinggi, dan dengan cara dihirup tergolong
sedang.

e. Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu


Hasil analisis tabulasi silang antara frekuensi konsumsi sabu-sabu dengan
komponen DMF-T dapat dilihat pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu dengan Komponen DMF-T
Komponen DMF-T Rerata Kategori
Frekuensi Konsumsi DMF-T
D M F DMF-T DMF-T
Harian-Mingguan 215 65 3 283 7,80 Sangat tinggi
Bulanan-Tahunan 108 26 1 135 7,50 Sangat tinggi

Tabulasi silang antara frekuensi konsumsi sabu-sabu dengan komponen


DMF-T narapidana (Tabel 4.13) menunjukkan bahwa baik frekuensi harian hingga
mingguan maupun bulanan hingga tahunan memiliki rerata skor DMF-T yang
sangat tinggi. Rata-rata skor DMF-T narapidana dengan frekuensi konsumsi sabu-
sabu harian hingga mingguan adalah 7,80 sedangkan rata-rata skor DMF-T
narapidana dengan frekuensi konsumsi sabu-sabu bulanan hingga tahunan adalah
7,50.
40

f. Lama Konsumsi Sabu-sabu


Hasil analisis tabulasi silang antara lama konsumsi sabu-sabu dengan
komponen DMF-T disajikan pada Tabel 4.14.

Tabel 4.14 Tabulasi Silang Lama Konsumsi Sabu-sabu dengan Komponen DMF-T
Komponen DMF-T Rerata Kategori
Lama Konsumsi DMF-T
D M F DMF-T DMF-T
< 4 tahun 24 5 0 29 2,90 Rendah
≥ 4 tahun 299 86 4 389 8,10 Sedang

Tabulasi silang antara frekuensi konsumsi sabu-sabu dengan komponen


DMF-T narapidana (Tabel 4.14) menunjukkan bahwa rata-rata skor DMF-T
narapidana dengan lama konsumsi sabu-sabu < 4 tahun adalah 2,90, sedangkan rata-
rata skor DMF-T narapidana dengan lama konsumsi ≥ 4 tahun sebesar 8,10.
Narapidana yang mengonsumi sabu-sabu selama < 4 tahun memiliki rerata skor
DMF-T yang tergolong sedang, sedangkan rerata skor DMF-T narapidana yang
mengonsumsi sabu-sabu selama ≥ 4 tahun tergolong sangat tinggi.

4.1.5 Tabulasi Silang Karakteristik Narapidana dengan Skor Erosi


a. Jenis Kelamin
Hasil analisis tabulasi silang antara jenis kelamin dengan skor erosi
narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat pada
Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Tabulasi Silang Jenis Kelamin dengan Kategori Skor Erosi
Kategori Skor Erosi
Rerata
Jenis Sangat
Rendah Sedang Berat Skor
Kelamin Rendah
Erosi
n % n % n % n %
Perempuan 3 5,17 5 8,62 0 0,00 0 0,00 4,00
Laki-laki 13 22,41 30 51,72 6 10,34 1 1,72 5,50
Jumlah 16 27,59 35 60,34 6 10,34 1 1,72
Total 58
Persentase (%) 100
41

Tabel 4.15 menunjukkan bahwa pada kelompok narapidana perempuan


dijumpai 3 (5,17%) narapidana dengan skor erosi sangat rendah, 5 (8,62%) skor
erosi rendah, dan tidak terdapat narapidana perempuan dengan skor erosi kategori
sedang maupun kategori berat. Data narapidana laki-laki menunjukkan bahwa pada
kelompok narapidana laki-lai ditemukan 13 (22,41%) narapidana dengan skor erosi
sangat rendah, 35 (51,72%) dengan skor erosi rendah sebanyak, 6 (10,34%) dengan
skor erosi sedang, dan 1 (1,72%) dengan skor erosi berat. Perhitungan rata-rata skor
erosi didapatkan dari penjumlahan skor erosi pada satu kategori dibagi dengan
jumlah narapidana pada kategori tersebut. Rata-rata skor erosi narapidana
perempuan adalah 4,00 sedangkan rata-rata skor erosi narapidana laki-laki adalah
5,50.
b. Usia
Hasil analisis tabulasi silang antara usia dengan skor erosi narapidana
pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16 Tabulasi Silang Usia dengan Kategori Skor Erosi


Erosi
Rerata
Sangat
Kategori Usia Rendah Sedang Berat Skor
Rendah
Erosi
n % n % n % n %
Remaja Akhir (17-25 tahun) 3 5,17 1 1,72 1 1,72 0 0,00 3,60
Dewasa Awal (26-35 tahun) 6 10,34 17 29,31 1 1,72 0 0,00 5,13
Dewasa Akhir (36-45 tahun) 6 10,34 13 22,41 2 3,45 0 0,00 5,05
Lansia Awal (46-55 tahun) 1 1,72 4 6,90 2 3,45 1 1,72 7,50
Jumlah 16 27,59 35 60,34 6 10,34 1 1,72
Total 58
Persentase (%) 100
Sumber: Depkes RI, 2009 dalam Amin dan Juniati, 2017

Tabel 4.16 menunjukkan bahwa pada kelompok narapidana kategori usia


lansia awal dijumpai 1 (1,72%) narapidana dengan skor erosi berat, sedangkan pada
kategori usia remaja akhir, dewasa awal, maupun dewasa akhir tidak ditemukan
narapidana dengan skor erosi berat. Rata-rata skor erosi narapidana kategori usia
remaja akhir adalah 3,60, kategori usia dewasa awal adalah 5,13, kategori usia
dewasa akhir adalah 5,05, dan kategori usia lansia awal adalah 7,50.
42

c. Frekuensi Menyikat Gigi


Hasil analisis tabulasi silang antara frekuensi menyikat gigi dengan skor erosi
narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat pada
Tabel 4.17.

Tabel 4.17 Tabulasi Silang Frekuensi Sikat Gigi dengan Kategori Skor Erosi
Erosi
Rerata
Frekuensi Sangat
Rendah Sedang Berat Skor
Sikat Gigi Rendah
Erosi
n % n % n % n %
Tidak Pernah 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0,00
1 kali 4 6,90 19 32,76 4 6,90 1 1,72 6,68
2 kali 5 8,62 8 13,79 1 1,72 0 0,00 4,50
Lebih dari 2 kali 7 12,07 8 13,79 1 1,72 0 0,00 3,56
Jumlah 16 27,59 35 60,34 6 10,34 1 1,72
Total 58
Persentase (%) 100

Tabel 4.17 menunjukkan bahwa pada kelompok narapidana dengan frekuensi


sikat gigi 1 kali sehari ditemukan 1 (1,72%) narapidana dengan skor erosi kategori
berat. Tidak ditemukan narapidana dengan skor erosi kategori berat pada
narapidana yang menyikat gigi 2 kali sehari maupun yang menyikat gigi lebih dari
2 kali sehari. Rata-rata skor erosi narapidana yang menyikat gigi 1 kali sehari adalah
6,68, rata-rata skor erosi narapidana yang menyikat gigi 2 kali sehari adalah 4,50,
dan rata-rata skor erosi narapidana yang menyikat gigi lebih dari 2 kali sehari adalah
6,68.
43

d. Cara Konsumsi Sabu-sabu


Hasil analisis tabulasi silang antara cara mengonsumsi sabu-sabu dengan skor
erosi narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat
pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18 Tabulasi Silang Cara Konsumsi Sabu-sabu dengan Kategori Skor Erosi
Erosi
Rerata
Cara Sangat
Rendah Sedang Berat Skor
Konsumsi Rendah
Erosi
n % n % n % n %
Dihisap 12 20,69 34 58,62 6 10,34 1 1,72 5,53
Disuntikkan 1 1,72 1 1,72 0 0,00 0 0,00 4,00
Dihirup 3 5,17 0 0,00 0 0,00 0 0,00 2,00
Ditelan 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0,00
Jumlah 16 27,59 35 60,34 6 10,34 1 1,72
Total 58
Persentase (%) 100

Tabel 4.18 menunjukkan bahwa pada kelompok narapidana dengan cara


konsumsi sabu-sabu menghisap asap sabu-sabu ditemukan 1 (1,72%) narapidana
dengan skor erosi kategori berat, sedangkan pada narapidana dengan cara konsumsi
sabu-sabu dengan cara disuntikkan maupun dihirup tidak ditemukan narapidana
dengan skor erosi berat. Rata-rata skor erosi narapidana yang mengonsumsi sabu-
sabu dengan cara dihisap adalah 5,53, rata-rata skor erosi narapidana yang
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara disuntikkan adalah 4,00, rata-rata skor erosi
narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihirup adalah 2,00, dan
rata-rata skor erosi narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara ditelan
adalah 5,53.
44

e. Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu


Hasil analisis tabulasi silang antara frekuensi konsumsi sabu-sabu dengan
skor erosi narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat
pada Tabel 4.19.

Tabel 4.19 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu dengan Kategori Skor Erosi
Erosi
Rerata
Frekuensi Sangat
Rendah Sedang Berat Skor
Konsumsi Rendah Erosi
n % n % n % n %
Harian-Mingguan 9 15,52 25 43,10 5 8,62 1 1,72 5,60
Bulanan-Tahunan 7 12,07 10 17,24 1 1,72 0 0,00 4,61
Jumlah 16 27,59 35 60,34 6 10,34 1 1,72
Total 58
Persentase (%) 100

Tabel 4.19 menunjukkan bahwa pada kelompok narapidana dengan frekuensi


konsumsi sabu-sabu harian hingga mingguan ditemukan 1 (1,72%) narapidana
denga skor erosi berat, sedangkan pada narapidana dengan frekuensi konsumsi
sabu-sabu bulanan hingga tahunan tidak dijumpai narapidana dengan skor erosi
berat. Sebagian besar narapidana dengan frekuensi konsumsi sabu-sabu harian
hingga mingguan maupun bulanan hingga tahunan memiliki skor erosi rendah.
Rata-rata skor erosi narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dalam rentang waktu
harian hingga mingguan adalah 5,60, sedangkan rata-rata skor erosi narapidana
yang mengonsumsi sabu-sabu dalam rentang waktu bulanan hingga tahunan adalah
4,61
45

f. Lama Konsumsi Sabu-sabu


Hasil analisis tabulasi silang antara lama konsumsi sabu-sabu dengan skor
erosi narapidana pengguna sabu-sabu di Lapas Kabupaten Jember dapat dilihat
pada Tabel 4.20.

Tabel 4.20 Tabulasi Silang Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu dengan Kategori Skor Erosi

Erosi
Rerata
Sangat
Lama Konsumsi Rendah Sedang Berat Skor
Rendah
Erosi
n % n % n % n %
< 4 tahun 6 10,34 4 6,90 0 0,00 0 0,00 3,10
≥ 4 tahun 10 17,24 31 53,45 6 10,34 1 1,72 5,75
Jumlah 16 27,58 35 60,35 6 10,34 1 1,72
Total 58
Persentase (%) 100

Tabel 4.20 menunjukkan bahwa pada kelompok narapidana dengan lama


konsumsi sabu-sabu ≥ 4 tahun ditemukan 1 (1,72%) narapidana dengan skor erosi
berat, sedangkan pada kelompok narapidana dengan lama konsumsi sabu-sabu < 4
tahun tidak ditemukan narapidana dengan skor erosi berat. Rata-rata skor erosi
narapidana dengan lama konsumsi sabu-sabu < 4 tahun adalah 3,10, sedangkan rata-
rata skor erosi narapidana dengan lama konsumsi sabu-sabu ≥ 4 tahun sebesar 5,75.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Karakteristik Narapidana Pengguna Sabu-sabu dengan Skor DMF-T dan
Skor Erosi
a. Jenis Kelamin
Data yang diperoleh dalam penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar
pengguna sabu-sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember
berjenis kelamin laki-laki (Tabel 4.1). Dapat diketahui dari data lama konsumsi
sabu-sabu, bahwa rata-rata narapidana mulai mengonsumsi sabu-sabu sejak remaja,
baik usia remaja awal maupun remaja akhir. Masa remaja laki-laki berbeda dengan
masa remaja perempuan. Remaja laki-laki cenderung mengalami perubahan kearah
negatif, dikarenakan orangtua menganggap anak laki-laki lebih mandiri
46

dibandingkan perempuan sehingga mereka diberi kebebasan yang lebih untuk


berinteraksi di luar lingkungan dibandingkan dengan remaja perempuan. Perubahan
negatif yang mungkin dialami seorang remaja laki-laki antara lain merokok, minum
minuman keras, bahkan mengonsumsi narkotika. Faktor lain yang menyebabkan
tingginya jumlah laki-laki yang menggunakan sabu-sabu yaitu Lapas Kabupaten
Jember sendiri memiliki jumlah narapidana laki-laki yang jauh lebih banyak
dibandingkan jumlah narapidana perempuan, sehingga responden dalam penelitian
ini pun lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan.
Substance Abuse and Mental Health Services Administration (2017)
mengatakan bahwa alasan perempuan menyalahgunakan narkotika adalah karena
mereka percaya obat-obatan tersebut dapat meningkatkan energi dan mengurangi
kelelahan akibat pekerjaan, mengurus anak, dan tugas rumah tangga. Hal yang
berbeda ditemukan pada kelompok laki-laki. Alasan menyalahgunakan narkotika
yang paling banyak dijumpai pada laki-laki adalah karena mereka sekedar ingin
merasakan efek euforia dan relaksasi dari narkotika. Alasan terbanyak kedua
adalah karena rasa penasaran serta ajakan teman dekat yang memberikan narkotika
(Substance Abuse and Mental Health Services Administration, 2017). Pengguna
sabu-sabu yang sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sesuai dengan survei yang
dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional pada tahun 2017 tentang prevalensi
penyalahguna narkoba berdasarkan jenis kelamin yang menunjukkan bahwa
mayoritas pengguna sabu-sabu berjenis kelamin laki-laki, yaitu sekitar 72%. Data
yang diperoleh Vainionpaa dkk. (2019) dalam penelitiannya tentang kerusakan gigi
pada narapidana pengguna zat psikoaktif di Lembaga Pemasyarakatan Finlandia,
menemukan bahwa umumnya populasi narapidana perempuan di Lembaga
Pemasyarakatan lebih sedikit jumlahnya dibandingkan populasi narapidana laki-
laki.
b. Usia
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar narapidana pengguna sabu-
sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember berada pada
kategori usia dewasa awal (26-35 tahun). Usia tersebut merupakan usia produktif
dimana seseorang biasanya telah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, namun
47

pada rentang usia ini masalah sehari-hari menjadi lebih kompleks sehingga rentan
terkena stress. Sabu-sabu merupakan jenis narkotika yang mudah ditemukan,
mengingat tingginya tingkat stress orang dewasa yang umumnya telah
berpenghasilan sendiri, beberapa orang dewasa terjerumus untuk mengonsumsi
sabu-sabu.
Sabu-sabu, ganja, dan ekstasi merupakan 3 jenis narkotika yang populer baik
pada kalangan pelajar maupun pekerja (Badan Narkotika Nasional, 2017). Orang
dewasa diketahui memiliki beberapa masalah dalam hidupnya seperti masalah
keuangan, masalah keluarga, dan pekerjaan. Masalah-masalah tersebut
menyebabkan orang dewasa perlu untuk mencari kesenangan, namun sangat
disayangkan beberapa orang dewasa mengonsumsi narkotika sebagai cara untuk
bersenang-senang yang apabila dilakukan di luar kendali dapat menyebabkan
ketergatungan (Substance Abuse and Mental Health Services Administration,
2018). Survei yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional tahun 2017
menemukan bahwa sebagian besar (59%) pengguna narkotika merupakan golongan
pekerja yang merupakan kategori usia produktif. Survei lain yang dilakukan oleh
Substance Abuse and Mental Health Services Administration tahun 2017
menemukan bahwa 13,6 juta orang dewasa berusia 26 tahun ke atas memiliki
masalah kecanduan narkotika. Responden dalam survei tersebut diberikan beberapa
pilihan terkait alasan menggunakan psikostimulan (sabu-sabu). Hasilnya alasan
yang paling banyak dijumpai terkait alasan penyalahgunaan psikostimulan (sabu-
sabu) pada orang dewasa adalah 28,4% agar tetap terjaga, 26,2% untuk menjaga
konsentrasi, dan 22,4% untuk membantu dalam belajar.
c. Frekuensi Menyikat Gigi
Pemeriksaan klinis yang telah pada saat penelitian dilakukan tidak
menjumpai narapidana yang tidak menyikat gigi sama sekali, adapun sebagian
besar narapidana menyikat giginya 1 kali sehari (Tabel 4.3). Beberapa masyarakat
mungkin tidak menyikat gigi dengan frekuensi yang benar dikarenakan kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut, namun pada pengguna sabu-sabu
hal tersebut dapat diperparah dengan efek mabuk yang ditimbulkan sabu-sabu,
sehingga pengguna sabu-sabu tidak menyikat gigi dengan frekuensi yang benar.
48

Pengguna sabu-sabu dapat dikatakan jarang menyikat giginya, hal ini


disebabkan oleh efek psikostimulan yang ditimbulkan oleh sabu-sabu sehingga
menyebabkan penggunanya merasakan euforia seperti orang mabuk dan memiliki
pola atau gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Euforia atau
mabuk yang dirasakan setelah mengonsumsi sabu-sabu menyebabkan pengguna
sabu-sabu sulit untuk beraktivitas dengan normal termasuk menyikat gigi, sehingga
pengguna sabu-sabu cenderung kurang memperhatikan masalah kebersihan dan
kesehatan giginya (Roche dkk., 2015). Hasil wawancara dengan narapidana
diketahui bahwa beberapa narapidana menyikat giginya sebelum sarapan, padahal
waktu yang tepat untuk menyikat gigi adalah setelah sarapan. Tidak menyikat gigi
setelah sarapan menyebabkan plak melekat lebih lama pada permukaan gigi dan
akhirnya meningkatkan risiko terjadinya demineralisasi jaringan keras gigi.
Rahardjo dkk. (2014) mengatakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk
menjaga kesehatan gigi secara individu adalah menyikat gigi 2 kali sehari
menggunakan pasta gigi yang mengandung fluoride. Sikat gigi sebaiknya dilakukan
pagi hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur dengan durasi setiap
menyikat gigi adalah 2-3 menit. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ye dkk.
(2018) tentang efek penyalahgunaan sabu-sabu terhadap angka karies dan penyakit
periodontal, menunjukkan bahwa sebagian besar (71%) pengguna sabu-sabu
menyikat giginya hanya1 kali sehari. Penelitian lain yang dilakukan oleh Smit dan
Sudeshni (2015) tentang efek penggunaan sabu-sabu terhadap kebiasaan menjaga
kebersihan rongga mulut menemukan bahwa sebagian besar responden menyikat
gigi 1-2 kali sehari ketika tidak menggunakan sabu-sabu, sedangkan ketika
mengonsumsi sabu-sabu hampir separuh dari responden menyikat gigi hanya 1 kali
sehari bahkan tidak menyikat gigi.
d. Cara Konsumsi Sabu-sabu
Sebagian besar narapidana diketahui mengonsumsi sabu-sabu dengan cara
membakar kristal sabu-sabu dan menghisap asapnya (Tabel 4.4). Menghisap sabu-
sabu menjadi cara konsumsi yang paling banyak digunakan oleh pengguna sabu-
sabu, sebab kebanyakan sabu-sabu diedarkan dalam bentuk sediaan kristal,
sehingga cara yang digunakan untuk mengonsumsinya adalah dengan membakar
49

sabu-sabu kemudian menghisap asapnya. Terdapat beberapa cara untuk


mengonsumsi sabu-sabu tergantung bentuk sediaannya, namun membakar dan
menghisap asap sabu-sabu merupakan cara yang paling mudah dilakukan karena
hanya memerlukan alat sederhana yaitu tabung pipa kaca dan korek api, selain itu
efek mabuk dari sabu-sabu akan lebih cepat timbul apabila dikonsumsi dengan cara
dihisap seperti halnya merokok.
National Institute on Drug Abuse (2019) menyebutkan bahwa konsumsi sabu-
sabu dengan cara dihisap akan lebih cepat menimbulkan efek mabuk atau euforia
dibandingkan dengan menyuntikkan atau menghirup sabu-sabu. Menghisap asap
sabu-sabu merupakan cara tercepat menghantarkan substansi sabu-sabu ke otak dan
dapat menimbulkan efek euforia secara intens. Seseorang yang mengonsumsi sabu-
sabu dengan cara menghisap dan menyuntikkan sabu-sabu akan merasakan efek
euforia ekstrim yang ditimbulkan sabu-sabu segera setelah sabu-sabu dikonsumsi,
sedangkan mengonsumsi sabu-sabu dengan cara menghirup baru akan merasakan
efek euforia 3 sampai 5 menit setelah sabu-sabu dikonsumsi, adapun waktu paling
lambat timbulnya efek euforia sabu-sabu adalah 15 sampai 20 menit yaitu apabila
sabu-sabu dikonsumsi dalam bentuk pil/tablet dengan cara ditelan. Kristal sabu-
sabu dapat langsung dibakar di dalam tabung pipa (bong) tanpa harus
menambahkan bahan-bahan lainnya, sehingga terkesan lebih mudah dibandingkan
harus menyuntikkan atau menghirupnya. Yazdani dkk. (2018) sebelumnya telah
melakukan penelitian tentang komplikasi dan penyakit mulut yang disebabkan
penggunaan sabu-sabu jangka panjang, hasilnya 70% dari 703 pengguna sabu-sabu
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara menghisap asap pembakaran sabu-sabu,
sedangkan 13% pengguna sabu-sabu lainnya mengonsumsi dengan cara dihirup
melalui hidung. Penelitian lain yang dilakukan oleh Murphy dkk. (2016) tentang
peningkatan masalah kesehatan gigi pada pengguna sabu-sabu menunjukkan bahwa
64,2% responden mengonsumsi sabu-sabu dengan cara menghisap asap
pembakaran sabu-sabu.
e. Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar narapidana mengonsumsi
sabu-sabu dengan frekuensi harian hingga mingguan. Hal ini mungkin disebakan
50

oleh tingginya potensi sabu-sabu untuk menyebabkan kecanduan jika dibandingkan


dengan jenis narkotika lainnya, sehingga sebagian besar pengguna sabu-sabu
cenderung akan mengonsumsi sabu-sabu dengan frekuensi tinggi.
National Institute on Drug Abuse (2019) menyebutkan bahwa sabu-sabu
dapat melepaskan sejumlah besar dopamine dan serotonin dalam sel otak.
Dopamine dan serotonin merupakan neurotransmitter yang dapat menimbulkan
rasa senang berlebihan, sehingga ketika seseorang mengonsumsi sabu-sabu, mereka
akan merasakan euforia dan hiperaktivitas. Setelah efek tersebut hilang, kadar
dopamine dan serotonin sel otak menurun dan pengguna sabu-sabu merasa depresi.
Sabu-sabu seringkali menyebabkan kecanduan atau ketergantungan karena efek
euforianya sangat ekstrim, sedangkan drepresi yang ditimbulkan setelahnya sangat
tidak nyaman, sehingga pecandu sabu-sabu akan terus menerus mengonsumsi sabu-
sabu Hasil wawancara dengan beberapa narapidana yang sebelumnya berprofesi
sebagai supir truk antar kota, diketahui bahwa alasan mereka mengonsumsi sabu-
sabu adalah agar tetap kuat saat bekerja pada malam hari, sehingga ia mengonsumsi
sabu-sabu dengan frekuensi harian hingga mingguan. Beberapa narapidana lainnya
mengonsumsi sabu-sabu ketika merasa tertekan atau hanya ketika sabu-sabu
tersedia dari temannya yang mengedarkan, sehingga ia mengonsumsi sabu-sabu
dengan frekuensi bulanan hingga tahunan. Shetty dkk. (2015) telah melakukan
penelitian tentang pola masalah kesehatan gigi pada pengguna sabu-sabu.
Penelitian tersebut menemukan bahwa dari 546 responden 55,6% di antaranya
merupakan pengguna sabu-sabu dengan frekuensi konsumsi tinggi sedangkan
44,4% di antaranya merupakan pengguna sabu-sabu dengan frekuensi konsumsi
rendah.
f. Lama Konsumsi Sabu-sabu
Data yang diperoleh dari kuisioner karakteristik narapidana menunjukkan
bahwa sebagian besar responden telah mengonsumsi sabu-sabu selama ≥ 4 tahun
(Tabel 4.6). Sabu-sabu yang dikonsumsi di luar kendali dan pengawasan berisiko
besar untuk menyebabkan kecanduan pada penggunanya, sebab sabu-sabu
merupakan jenis narkotika yang berpotensi tinggi untuk menyebabkan kecanduan.
Tidak hanya berpotensi tinggi menyebabkan kecanduan, seseorang yang telah
51

kecanduan sabu-sabu akan sulit untuk berhenti mengonsumsi sabu-sabu, sebab


sabu-sabu bekerja secara psikostimulan dalam saraf pusat (otak) pengguna sabu-
sabu, sehingga sebagian besar pengguna sabu-sabu akan mengonsumsi sabu-sabu
dalam jangka panjang.
National Institute on Drug Abuse (2014) mengatakan berhenti mengonsumsi
narkotika sulit dilakukan, sebab efek jangka pendek dari penggunaan narkotika
cenderung positif antara lain merasa senang, lebih percaya diri, dan lupa akan
masalah hidupnya. Sebaliknya, efek negatif dari penyalahgunaan narkotika jangka
pendek tidak terlihat jelas, sehingga mereka mulai bergantung pada efek positif
yang didapat dari mengonsumsi narkotika. Konsumsi narkotika yang berkelanjutan,
terutama dengan frekuensi tinggi dapat menyebabkan perubahan pada tubuh (fisik)
maupun otak (psikis). Jika seseorang mengalami kecanduan psikis dan berhenti
mengonsumsi narkotika, mereka akan merasakan gejala yang tidak nyaman dari
withdrawl atau sakau. Perubahan pada otak berlangsung dalam jangka panjang,
perubahan inilah yang mungkin menjadi penyebab seseorang terus menerus ingin
mengonsumsi narkotika bahkan kembali mengonsumsi narkotika setelah lama
berhenti mengonsumsinya. Tidak terdapat satu faktor utama yang bisa
menyebabkan seseorang menjadi kecanduan terhadap obat-obatan terlarang.
Seseorang menjadi kecanduan sebab kombinasi dari beberapa faktor antara lain
faktor gen, aktivitas obat dengan otak, faktor lingkungan, masalah kesehatan
mental, masalah hidup, dan faktor agama (National Institute on Drug Abuse, 2014).
Ye dkk. (2018) yang meneliti tentang efek penyalahgunaan sabu-sabu terhadap
karies dan jaringan periodontal menemukan bahwa 76 responden mengonsumsi
sabu-sabu selama < 4 tahun, sedangkan 86 responden lainnya mengonsumsi sabu-
sabu selama ≥ 4 tahun. Penelitian lain yang dilakukan oleh Smit dan Sudeshni
(2015) menemukan bahwa 32% responden merupakan pengguna sabu-sabu dengan
durasi 1-4 tahun, sedangkan 68% responden lainnya merupakan pengguna sabu-
sabu dengan durasi lebih dari 4 tahun.
52

4.2.2 Indeks Karies Narapidana


Pemeriksaan klinis pada rongga mulut narapidana memperoleh data yang
menunjukkan bahwa komponen D (Decay) yang dimiliki narapidana sangat tinggi
sedangkan komponen F (Filling) sangat rendah, serta diketahui rata-rata skor DMF-
T narapidana pengguna sabu-sabu tergolong sangat tinggi (Tabel 4.7). Total jumlah
narapidana dengan pengalaman karies (DMF-T>0) apabila dihitung menggunakan
rumus prevalensi, maka didapatkan hasil bahwa prevalensi karies narapidana
pengguna sabu-sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember
adalah 89,66%. Hal ini disebabkan efek mabuk yang ditimbulkan sabu-sabu
menyebabkan penggunanya kurang memperhatikan kesehatan serta kebersihan
dirinya dan efek simpatomimetik sabu-sabu akan memperburuk kondisi tersebut
dengan cara menurunkan kualitas saliva.
Murphy dkk. (2016) mengatakan tingginya prevalensi karies pada pengguna
sabu-sabu berkaitan dengan penurunan laju aliran saliva yang diakibatkan oleh
aktivitas sabu-sabu pada saraf perifer, sehingga produksi saliva berkurang dan
meningkatkan suasana asam pada permukaan enamel gigi. Berkurangnya produksi
saliva menyebabkan self cleansing dalam rongga mulut menjadi terganggu
(Markonahally dkk., 2015). Pengguna sabu-sabu umumnya kurang memperhatikan
kebersihan gigi dan mulutnya sehingga jumlah plak dan bakteri akan terus
meningkat. Rongga mulut dengan suasana asam dan tidak terjaga kebersihannya
akan meningkatkan risiko terjadinya karies, sehingga karies menjadi salah satu
masalah kesehatan gigi yang banyak dijumpai pada pengguna sabu-sabu (Yazdani
dkk., 2018). Karies yang ditemukan pada pengguna sabu-sabu timbul dengan proses
yang lebih cepat dan terlihat lebih parah. Keparahan karies pada pengguna sabu-
sabu disebabkan efek korosif sabu-sabu serta turunannya dapat terjadi secara lokal
karena terekskresi melalui cairan krevikular gingiva (Brown dkk., 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Murphy dkk. (2016) yang memperoleh data
bahwa pengguna sabu-sabu memiliki kecenderungan 2 kali lebih besar untuk tidak
merawat karies giginya, 4 kali lebih besar memiliki karies, dan 2 kali lebih besar
memiliki gigi hilang karena karies. Rendahnya komponen F (Filling) atau gigi
tumpatan pada narapidana pengguna sabu-sabu menunjukkan bahwa pengguna
53

sabu-sabu cenderung kurang memperhatikan kesehatan rongga mulutnya.


Penelitian lain yang dilakukan Smit dan Sudeshni (2015) menemukan bahwa
98,05% responden memiliki karies dengan rata-rata skor DMF-T 10,00 yang
tergolong sangat tinggi.

4.2.3 Indeks Erosi Narapidana


Pemeriksaan klinis yang telah dilakukan pada rongga mulut narapidana
pengguna sabu-sabu menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki skor
erosi rendah (Tabel 4.8), serta prevalensi erosi gigi sebesar 72,41%. Prevalensi erosi
pada pengguna sabu-sabu tergolong tinggi, namun pada penelitian ini rata-rata skor
erosinya rendah. Hal ini mungkin disebabkan kurang cermatnya peneliti pada saat
melakukan pemeriksaan klinis, sehingga tidak tepat dalam menentukan skor erosi,
selain itu mungkin terdapat perbedaan persepsi dalam menilai tingkat keparahan
erosi antar tim peneliti. Sebagian besar narapidana diketahui mengonsumsi sabu-
sabu dengan cara menghisap asap pembakaran sabu-sabu, hal ini menyebabkan
sabu-sabu berkontak langsung dengan permukaan gigi sehingga meningkatkan
risiko erosi gigi, namun demikian kontak asap sabu-sabu dengan permukaan gigi
tidak berlangsung lama sehingga meskipun prevalensi erosi tinggi tetapi rata-rata
skor erosi rendah.
Sabu-sabu diketahui memiliki sifat korosif karena mengandung bahan utama
Hydrochloric acid (asam klorida) dalam proses pembuatannya, sehingga gigi yang
terpapar sabu-sabu dalam jangka panjang dapat terkena erosi (De-Carolis dkk.,
2015). Faktor lain yang dapat menyebabkan erosi pada gigi geligi pengguna sabu-
sabu adalah efek samping sabu-sabu yang dapat mengurangi laju aliran saliva dan
pH saliva, padahal saliva merupakan cairan protektif yang berperan penting untuk
melawan kerusakan struktur gigi melalui proses remineralisasi oleh kalsium yang
terkandung di dalamnya. Laju aliran saliva dan pH saliva yang menurun
mengakibatkan suasana rongga mulut menjadi asam sehingga meningkatkan risiko
terjadinya erosi gigi (Rommel dkk., 2016).
Belin dkk. (2010) meneliti tentang hubungan penggunaan sabu-sabu dengan
peningkatan masalah kesehatan gigi dan mulut. Penelitian tersebut menemukan
54

bahwa 72,80% pengguna sabu-sabu sedang memiliki masalah erosi pada gigi
geliginya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Vainionpaa dkk. (2019) tentang erosi
gigi pada narapidana pengguna zat psikoaktif di Lembaga Pemasyarakatan
Finlandia mengemukakan bahwa 90% narapidana memiliki gigi erosi dan
membutuhkan upaya pencegahan dan perawatan. Riwayat gaya hidup narapidana
pengguna sabu-sabu sebelum menjadi narapidana seperti pola makan yang tidak
sehat, minum minuman beralkhohol, minuman bersoda, dan merokok merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi tingginya risiko erosi pada gigi geligi pengguna
sabu-sabu (Vainionpaa dkk. 2019).

4.2.4 Tabulasi Silang Karakterisitk Narapidana dengan Skor DMF-T


a. Jenis Kelamin
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki
rerata skor DMF-T yang sangat tinggi, namun rata-rata skor DMF-T laki-laki lebih
tinggi dibandingkan perempuan meskipun tidak signifikan. Perbedaan ini terutama
disebabkan jumlah narapidana laki-laki dalam Lapas Kabupaten Jember jauh lebih
banyak dibandingkan perempuan dan dalam penelitian ini jumlah responden laki-
laki jauh lebih banyak dibandingkan responden perempuan. Lebih tingginya rerata
DMF-T laki-laki dibandingkan perempuan mungkin disebabkan adanya perbedaan
sikap merawat diri antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih peduli
terhadap kesehatan dan penampilan mereka, oleh karena itu perempuan lebih
menerapkan perilaku dan kebiasaan yang dapat meningkatkan kesehatan gigi
mereka.
Mamai-Homata dkk. (2016) mengatakan perempuan diketahui memiliki
pengetahuan kesehatan gigi dan mulut yang lebih baik sehingga frekuensi sikat gigi
perempuan lebih banyak, melakukan kunjungan rutin ke dokter gigi serta segera
merawat gigi yang bermasalah. Seiring bertambahnya usia, perempuan memiliki
standar penilaian diri yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki sehingga mereka
lebih mudah mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan yang bermanfaat untuk
meningkatkan kesehatan gigi dan mulutnya, sebab perempuan menganggap gigi
yang terlihat baik dapat menunjang penampilan dan meningkatkan kepercayaan
55

diri. Penelitian yang dilakukan oleh Reddy dkk. (2017) menemukan bahwa rata-
rata DMF-T laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan meskipun tidak
signifikan. Penelitian tersebut menyajikan data bahwa rata-rata skor DMF-T laki-
laki sebesar 2,11, sedangkan pada perempuan rata-rata skor DMF-T sebesar 1,85.
b. Usia
Penelitian ini memperoleh data yang menunjukkan bahwa narapidana
kategori usia dewasa awal, dewasa akhir, dan lansia awal memiliki rata-rata skor
DMF-T sangat tinggi, sedangkan narapidana kategori usia remaja akhir memiliki
rata-rata skor DMF-T sedang (Tabel 4.10). Hal ini mungkin disebabkan pada
pengguna sabu-sabu, semakin tua usianya, tidak hanya perubahan kualitas saliva
yang disebabkan proses penuaan tetapi kualitas saliva juga diperparah oleh efek
konsumsi sabu-sabu itu sendiri, sehingga saliva tidak dapat melakukan perannya
sebagai cairan antikariogenik.
Yildiz dkk. (2016) menyebutkan bahwa seiring bertambahnya usia, produksi
saliva semakin berkurang, sehingga aktivitas self-cleansing tidak berlangsung
dengan maksimal. Resesi gingiva yang dijumpai pada kelompok usia lanjut
menyebabkan semakin luasnya permukaan mahkota yang tidak diliputi gingiva,
sehingga pada kelompok usia tua sering dijumpai karies akar. Faktor lain yang
mendukung tingginya prevalensi karies seiring bertambahnya usia adalah
perubahan oral hygiene, perubahan mikrobiologi secara kualitatif maupun
kuantitatif, dan penurunan level kapasitas buffer saliva Murphy dkk. (2015)
meneliti tentang pola masalah kesehatan gigi pada pengguna sabu-sabu, hasilnya
pengguna sabu-sabu usia 30 tahun ke atas memiliki skor DMF-T yang lebih tinggi
(13,01) dibandingkan dengan pengguna sabu-sabu usia kurang dari 30 tahun (8,00).
97% pengguna sabu-sabu usia 30 tahun ke atas memiliki karies selama hidupnya
dan 11% memiliki karies pada gigi anterior yang umumnya jarang terjadi karies.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Clague dkk. (2017) memperoleh hasil bahwa
penyalahguna sabu-sabu usia kurang dari sama dengan 35 tahun memiliki rata-rata
skor DMF-T 6,90, usia 36 sampai 54 tahun memiliki rata-rata skor DMF-T 8,03,
dan usia 55 tahun ke atas memiliki rata-rata skor DMF-T 17,01.
56

c. Frekuensi Menyikat Gigi


Tabel 4.11 menunjukkan narapidana yang menyikat gigi 1 kali sehari
dibandingkan dengan rata-rata skor DMF-T narapidana yang menyikat gigi 2 kali
maupun lebih dari 2 kali sehari. Telah diketahui bahwa umumnya menyikat gigi
perlu dilakukan 2 kali sehari untuk membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman
yang dikonsumsi. Sisa-sisa makanan dan minuman tersebut apabila tidak
dibersihkan, akan memicu proses pembentukan karies. Sama halnya dengan
pengguna sabu-sabu, bahkan di samping mengonsumsi makanan dan minuman,
mereka juga mengonsumsi sabu-sabu, sehingga apabila sikat gigi tidak dilakukan
dengan benar, besar kemungkinan proses pembentukan karies akan terjadi. Tidak
seperti kualitas saliva manusia sehat yang mampu melakukan self cleansing,
pengguna sabu-sabu memiliki kualitas saliva yang buruk sebagai efek samping
mengonsumsi sabu-sabu, hal ini akan memperparah risiko terjadinya karies pada
pengguna sabu-sabu.
Clague dkk. (2017) mengatakan bahwa terdapat beberapa kebiasaan yang
dapat mempengaruhi angka karies pengguna sabu-sabu, antara lain frekuensi sikat
gigi, frekuensi kunjungan ke dokter gigi, dan pola makan. Frekuensi sikat gigi
sangat berpengaruh terhadap angka karies pengguna sabu-sabu terutama bagi
mereka yang memiliki masalah xerostomia, sebab pada penderita xerostomia saliva
tidak mampu melakukan self cleansing dan meremineralisasi jaringan keras gigi,
sehingga perlu dilakukan upaya untuk mencegah timbulnya masalah kesehatan gigi
dengan cara menyikat gigi. Perolehan data pada penelitian ini sesuai dengan
penelitian Ye dkk. (2018) tentang efek penyalahgunaan sabu-sabu terhadap angka
karies dan penyakit periodontal. Penelitian tersebut menemukan bahwa pengguna
sabu-sabu yang menyikat giginya lebih dari 2 kali sehari memiliki skor DMF-T
yang lebih rendah (5,55) dibandingkan dengan skor DMF-T pengguna sabu-sabu
yang menyikat gigi 1 kali sehari (6,37). Penelitian lain yang dikakukan oleh
Rahardjo dkk. (2014) menemukan insidensi karies yang lebih tinggi pada
masyarakat yang menyikat gigi 1 kali sehari dibandingkan dengan masyarakat yang
menyikat gigi 2 kali sehari.
57

d. Cara Konsumsi Sabu-sabu


Tabulasi silang cara konsumsi sabu-sabu dengan skor DMF-T (Tabel 4.12)
menunjukkan bahwa narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihisap
memiliki rata-rata skor DMF-T yang paling tinggi. Hal ini mungkin disebabkan
apabila sabu-sabu dikonsumsi dengan cara dihisap, maka asap pembakaran sabu-
sabu akan berkontak langsung dengan permukaan gigi geligi, berbeda dengan cara
konsumsi dihirup, disuntikkan, dan ditelan. Sabu-sabu diketahui mengandung zat
asam dan juga menimbulkan efek samping pada kualitas saliva, sehingga sabu-sabu
yang dikonsumsi dengan cara dihisap kemungkinan menyebabkan resiko karies
yang lebih tinggi pada penggunanya.
De-Carolis dkk., (2015) mengatakan sabu-sabu yang dapat
menurunkan jumlah produksi saliva, pH saliva, dan kapasitas buffer saliva, padahal
saliva berperan penting sebagai self cleansing, membantu remineralisasi dan
menjaga suasana rongga mulut tetap dalam pH yang seimbang. Suasana rongga
mulut yang kering, asam, serta kegagalan mekanisme remineralisasi dan self
cleansing akan meningkatkan retensi plak pada gigi geligi pengguna sabu-sabu.
Retensi plak dan bakteri dalam waktu lama dapat meningkatkan terjadinya risiko
karies pada pengguna sabu-sabu (De-Carolis dkk., 2015). Clague dkk., (2017)
mengatakan selain cara konsumsi sabu-sabu, masalah kesehatan gigi yang dimiliki
pengguna sabu-sabu juga besar kaitannya dengan kebiasaan-kebiasaan tertentu
seperti pola makan tinggi gula, merokok, minum minuman beralkohol dan
kebiasaan yang kurang tepat dalam menjaga kebersihan rongga mulut. Shetty dkk.
(2015) telah melakukan penelitian tentang pola masalah kesehatan gigi pada 571
penggun sabu-sabu. Penelitian tersebut memperoleh data bahwa responden yang
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihisap memiliki rata-rata skor DMF-T 13,10,
responden yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihirup memiliki rata-rata
skor DMF-T 12,40, dan responden yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara
disuntikkan memiliki rata-rata skor DMF-T 11,20.
e. Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu
Baik narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dengan frekuensi harian
hingga mingguan maupun bulanan hingga tahunan menunjukkan rerata skor DMF-
58

T yang sangat tinggi, namun rerata skor DMF-T yang lebih tinggi dijumpai pada
pengguna sabu-sabu dengan frekuensi konsumsi harian hingga mingguan (Tabel
4.13). Hal ini mungkin disebabkan semakin tinggi frekuensi konsumsi sabu-sabu,
maka semakin tinggi pula frekuensi dan durasi orang tersebut untuk merasakan
mabuk, sehingga terjadi kegagalan dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut dalam
jangka panjang. Tingginya frekuensi konsumsi sabu-sabu juga akan memperburuk
kualitas saliva dalam rongga mulut pengguna sabu-sabu. Gigi geligi yang kotor
serta kualitas saliva yang buruk lama kelamaan akan menimbulkan masalah pada
kesehatan gigi yaitu karies.
Telah diketahui bahwa saliva merupakan cairan antikariogenik yang
memberikan efek perlindungan pada gigi dalam mencegah karies. Sabu-sabu dapat
menyebabkan vasokonstriksi pada kelenjar saliva, sehingga menyebabkan
hiposalivasi dan melemahkan kemampuan saliva dalam menetralkan plak yang
terinduksi dari asam maupun meremineralisasi enamel. Penurunan produksi saliva
merupakan masalah serius bagi kesehatan gigi (Sun dkk., 2018). Ditemukan
kesesuaian antara penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Shetty dkk. (2015) tentang pola masalah kesehatan gigi pada
penyalahguna sabu-sabu. Hasilnya, pengguna sabu-sabu dengan frekuensi
konsumsi rendah memiliki rata-rata skor DMF-T yang lebih rendah dibandingkan
dengan rata-rata skor DMF-T pengguna sabu-sabu frekuensi konsumsi tinggi.
Penelitian tersebut menemukan bahwa rata-rata skor DMF-T pengguna sabu-sabu
frekuensi konsumsi rendah adalah 12,2 sedangkan rata-rata skor DMF-T pengguna
sabu-sabu dengan frekuensi tinggi adalah 12,7.
f. Lama Konsumsi Sabu-sabu
Rerata skor DMF-T narapidana dengan lama konsumsi ≥ 4 tahun secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan rerata skor DMF-T narapidana dengan lama
konsumsi < 4 tahun. Narapidana dengan lama konsumsi ≥ 4 tahun memiliki rerata
skor DMF-T kategori sangat tinggi, sedangkan narapidana dengan lama konsumsi
sabu-sabu < 4 tahun memiliki rerata skor DMF-T kategori sedang (Tabel 4.14). Hal
ini mungkin disebabkan, semakin lama pengguna sabu-sabu mengonsumsi sabu-
sabu, maka dampak buruk yang ditimbulkan oleh sabu-sabu akan terakumulasi dan
59

meningkatkan resiko terjadinya masalah kesehatan gigi dan mulut. Sabu-sabu yang
dikonsumsi dalam jangka waktu lama dapat menurunkan kualitas saliva, padahal
saliva berperan penting sebagai cairan protektif untuk gigi geligi melalui
mekanisme remineralisasi dan self cleansing.
Brown dkk. (2013) mengatakan lama konsumsi sabu-sabu merupakan salah
satu faktor yang menentukan keparahan karies pada pengguna sabu-sabu. Hal ini
mungkin berkaitan dengan faktor waktu dan substansi pada patogenesis terjadinya
karies. Semakin lama suatu substansi melekat pada permukaan gigi, semakin tinggi
pula risiko terjadinya karies. Sabusabu yang bekerja pada sistem saraf akan
menghambat sekresi saliva, hal ini juga akan menjadi faktor pendukung yang
mempengaruhi proses pembentukan karies, mengingat pentingnya peran saliva
dalam proses remineralisasi (Mufida dkk., 2019). Penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Ye dkk. (2018) tentang efek penyalahgunaan sabu-sabu terhadap
karies dan penyakit periodontal menemukan bahwa pengguna sabu-sabu dengan
durasi < 4 tahun memiliki komponen D (Decay) dan skor DMF-T yang secara
signifikan lebih kecil (9,54) dibandingkan komponen D dan skor DMF-T pengguna
sabu-sabu dengan durasi ≥ 4 tahun (13,34). Penelitian lain yang dilakukan oleh Smit
dan Sudeshni (2015) menemukan bahwa rata-rata skor DMF-T pengguna sabu-sabu
dengan durasi 1-4 tahun adalah 8,52, sedangkan rata-rata skor DMF-T pengguna
sabu-sabu dengan durasi lebih dari 4 tahun adalah 11,26.

4.2.5 Tabulasi Silang Karakteristik Narapidana dengan Skor Erosi


a. Jenis Kelamin
Tabel 4.15 menunjukkan bahwa skor erosi berat hanya ditemukan pada
kelompok narapidana laki-laki dan rata-rata skor erosi narapidana laki-laki lebih
tinggi dibandingkan dengan rata-rata skor erosi narapidana perempuan. Tingginya
skor erosi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan mungkin disebabkan
oleh gaya hidup, pekerjaan, serta tingkat stress yang dimiliki laki-laki sehingga
cenderung mengonsumsi doping berupa minuman penambah stamina yang tinggi
akan kandungan natrium bikarbonat atau soda yang bersifat asam, sehingga tidak
hanya mengonsumsi sabu-sabu, erosi pada pengguna sabu-sabu dengan jenis
60

kelamin laki-laki mungkin diperparah dengan kebiasaan mengonsumsi minuman


bersoda.
Naz dkk. (2016) menemukan bahwa 89% laki-laki dan 69% perempuan
diketahui memiliki kebiasaan mengonsumsi minuman berkarbon. Minuman
berkarbon memiliki pH asam sekitar 2,7-3,5 karena mengandung senyawa asam
yang ditambahkan untuk menstimulasi rasa dan menetralkan rasa manis. pH asam
tersebut jauh di bawah pH kritis rongga mulut sehingga menyebabkan gigi geligi
rentan mengalami demineralisasi enamel (Naz dkk., 2016). Luanda dkk. (2018)
meneliti tentang prevalensi dan faktor yang berkaitan dengan erosi gigi, hasilnya
kelompok laki-laki memiliki rata-rata skor erosi 3,1, sedangkan rata-rata skor erosi
perempuan 2,05. Penelitian lain yang dilakukan oleh Jarkander dkk. (2018) tentang
prevalensi dan faktor risiko erosi gigi menemukan bahwa erosi lebih banyak
dijumpai pada laki-laki (188) daripada perempuan (148). Perbedaan keparahan lesi
erosi juga ditemukan, berdasarkan foto intraoral 22,30% responden laki-laki
memiliki lesi erosi yang parah, sedangkan pada perempuan hanya ditemukan
14.40% responden dengan lesi erosi parah (Jarkander dkk., 2018).
b. Usia
Data yang didapatkan dari pemeriksaan klinis terhadap narapidana pengguna
sabu-sabu menunjukkan rerata skor erosi narapidana kategori usia lansia awal lebih
tinggi dibandingkan dengan rerata skor erosi narapidana kategori usia remaja akhir,
dewasa awal, maupun dewasa akhir (Tabel 4.16). Erosi merupakan kerusakan
jaringan keras gigi yang diakibatkan zat kimia asam. Telah diketahui bahwa sabu-
sabu mengandung berbagai macam zat kimia yang beberapa diantaranya bersifat
asam seperti asam klorida, asam sulfur, dan asam asetat, sehingga konsumsi sabu-
sabu dapat menyebabkan erosi pada gigi geligi. Pengguna sabu-sabu lansia, apabila
dibandingkan dengan pengguna sabu-sabu berusia muda tentu keterpaparan gigi
geliginya terhadap zat kimia asam akan lebih lama, baik yang disebabkan oleh sabu-
sabu maupun makanan atau minuman. Faktor lain yang dapat menyebabkan
tingginya rerata skor erosi pada pengguna sabu-sabu lansia yaitu lansia mengalami
penurunan produksi saliva sebagai bagian dari proses penuaan dan aktivitas sabu-
61

sabu pada saraf perifer, sehingga saliva pada lansia kurang maksimal untuk
menetralkan zat kimia asam dari sabu-sabu yang terkonsumsi.
Jarkander dkk. (2018) mengemukakan bahwa erosi gigi meningkat seiring
bertambahnya usia dan menjadi semakin parah seiring berjalannya waktu. Santhiya
dkk. (2019) mengatakan lansia memiliki risiko lebih tinggi untuk memiliki erosi
pada giginya, sebab lansia mengalami penurunan jumlah produksi saliva sebagai
bagian dari proses penuaan, akibatnya pH saliva menurun dan rongga mulut
menjadi kering. Perubahan kualitas saliva tersebut menyebabkan saliva tidak bisa
melakukan perannya dalam menetralkan sisa-sisa zat asam pada permukaan gigi,
akibatnya terjadi demineralisasi enamel gigi. Saliva memiliki peran penting dalam
melindungi struktur jaringan keras gigi dengan cara memperbaiki lapisan protektif
gigi, proses ini disebut remineralisasi. Tingginya lesi erosi pada permukaan gigi
lansia mungkin juga disebabkan oleh akumulasi keausan gigi secara alamiah, serta
pada lansia keterpaparan permukaan gigi terhadap zat-zat asam lebih lama
dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih muda (Luanda dkk., 2017). Data
yang diperoleh pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Naz dkk. (2016) tentang prevalensi, etiologi, dan distribusi jenis kelamin dari erosi
palatal. Penelitian tersebut menemukan bahwa seiring bertambahnya usia,
prevalensi erosi palatal semakin meningkat, dalam penelitian tersebut disajikan data
18,30% responden berusia 13-30 tahun memiliki erosi palatal, 27,06% responden
berusia 31-50 tahun memiliki erosi palatal, dan 50% responden berusia 50 tahun ke
atas memiliki erosi palatal.
c. Frekuensi Menyikat Gigi
Tabulasi silang antara frekuensi menyikat gigi dengan skor erosi
menunjukkan bahwa pengguna sabu-sabu yang menyikat gigi 1 kali sehari memiliki
rerata skor erosi yang paling tinggi (Tabel 4.17). Sabu-sabu merupakan narkotika
golongan psikostimulan yang dapat menyebabkan penggunanya mengalami euforia
(mabuk). Ketika mengonsumsi sabu-sabu, seseorang akan kehilangan fokus dan
tidak dapat berpikir jernih, akibatnya pengguna sabu-sabu cenderung kurang
memperhatikan kebersihan dirinya, termasuk salah satunya yaitu menyikat gigi.
Kebiasaan tersebut berlangsung terus menerus dan diikuti dengan penurunan
62

kualitas saliva sebagai efek simpatomimetik dari sabu-sabu, sehingga zat kimia
sabu-sabu akan melekat dalam waktu lama pada permukaan gigi geligi dan
meningkatkan risiko terjadinya erosi.
Pengguna sabu-sabu tidak dapat menjaga kebersihan rongga mulutnya
secara teratur akibat efek mabuk yang ditimbulkan sabu-sabu (Smit dan Sudeshni
2015). Pengguna sabu-sabu juga diketahui memiliki kualitas saliva yang buruk,
padahal kapasitas buffer saliva berperan penting untuk mencegah terjadinya erosi
pada struktur jaringan keras gigi, oleh karena itu sebaiknya pengguna sabu-sabu
menyikat gigi 2 kali sehari dengan sikat gigi berbulu halus dan pasta gigi berfluor,
selain itu penggunaan dental floss secara teratur juga perlu dilakukan untuk
mencapai kebersihan gigi dan mulut yang optimal (Claire dkk., 2016). Cara-cara
tersebut dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan rongga mulut pasien dengan
masalah adiksi, namun yang terpenting adalah edukasi dokter gigi terhadap pasien
agar berhenti mengonsumsi narkotika (Smit dan Sudeshni, 2015). Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Nihtyanova dkk. (2018) tentang hubungan antara kebiasaan
menjaga kebersihan rongga mulut dan kejadian erosi gigi memperoleh hasil bahwa
76% responden dengan frekuensi sikat gigi 1 kali sehari memiliki masalah erosi
pada giginya, 70% responden dengan frekuensi sikat gigi 1-2 kali sehari memiliki
masalah erosi pada giginya, dan 44% responden dengan frekuensi sikat gigi lebih
dari 2 kali sehari memiliki masalah erosi pada giginya.
d. Cara Konsumsi Sabu-sabu
Skor erosi kategori berat hanya dijumpai pada narapidana yang mengonsumsi
sabu-sabu dengan cara dihisap, selain itu rata-rata skor erosi narapidana yang
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihisap lebih tinggi dibandingkan dengan
rata-rata skor erosi narapidana yang mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihirup
maupun disuntikkan (Tabel 4.18). Tingginya rerata skor erosi pada pengguna sabu-
sabu dengan cara konsumsi dihisap dikarenakan penggunaan sabu-sabu dengan cara
dihisap akan menimbulkan terjadinya kontak langsung antara zat kimia sabu-sabu
dengan permukaan gigi geligi. Telah disebutkan bahwa sabu-sabu mengandung
berbagai macam zat kimia asam dimana zat kimia asam memiliki sifat alamiah yaitu
korosif. Sabu-sabu yang dibakar akan menghasilkan asap, asap tersebut dihisap
63

melalui rongga mulut, sehingga timbul efek korosif yang langsung mengenai gigi
geligi.
De-Carolis dkk. (2015) menyebutkan bahwa efek korosif sabu-sabu menjadi
lebih tinggi terhadap rongga mulut terutama apabila dikonsumsi dengan cara
dihisap. Tingginya efek korosif tersebut disebabkan oleh keterpaparan asam klorida
sabu-sabu secara langsung dengan jaringan keras gigi. Terdapat contaminant theory
yang berlaku pada rongga mulut pengguna sabu-sabu. Kontaminant yang dimaksud
pada teori tersebut adalah kandungan asam klorida dalam sabu-sabu yang bersifat
kosorif, sehingga pada saat asap sabu-sabu dihisap akan menyebabkan erosi pada
enamel gigi maupun masalah lain yang mungkin terjadi pada membran mukosa
rongga mulut (De-Carolis dkk., 2015). Tidak hanya menyebabkan masalah
kesehatan gigi dan mulut, mengonsumsi sabu-sabu dengan cara menghisap asap
pembakarannya diketahui dapat menimbulkan potensi ketergantungan yang lebih
besar. Hal ini disebabkan asap sabu-sabu-sabu yang dihisap dapat dengan cepat
mencapai ke otak dibandingkan dengan menghirup atau menyuntikkannya
(National Institute of Drug Abuse, 2019). Penelitian terdahulu yang dilakukan
Yazdani dkk. (2018) tentang komplikasi masalah kesehatan gigi dan mulut akibat
penggunaan sabu-sabu memperoleh hasil bahwa 70% dari 703 responden
mengonsumsi sabu-sabu dengan cara dihisap dan 60% di antaranya memiliki
masalah erosi pada giginya.
e. Frekuensi Konsumsi Sabu-sabu
Skor erosi kategori berat hanya dijumpai pada narapidana dengan frekuensi
konsumsi sabu-sabu harian hingga mingguan, selain itu rata-rata skor erosi
narapidana dengan frekuensi konsumsi sabu-sabu harian hingga mingguan
menunjukkan angka yang lebih tinggi (Tabel 4.19). Hal ini mungkin disebabkan
pada pengguna sabu-sabu frekuensi harian hingga mingguan, keterpaparan asam
kandungan sabu-sabu terhadap permukaan gigi geligi lebih sering terjadi
dibandingkan dengan pengguna sabu-sabu frekuensi bulanan hingga tahunan.
Tingginya frekuensi keterpaparan asam terhadap gigi geligi diperparah dengan
kualitas saliva yang buruk serta kurangnya kesadaran pengguna sabu-sabu untuk
menyikat gigi, sehingga risiko gigi untuk terkena erosi meningkat.
64

Konsumsi sabu-sabu dengan frekuensi tinggi dapat menurunkan pH saliva


dan membuat suasana rongga mulut pengguna sabu-sabu menjadi asam (Sun dkk.,
2018). Penurunan pH saliva tersebut tidak dapat dinetralkan sebab kapasitas buffer
saliva pengguna sabu-sabu cenderung rendah akibat berkurangnya laju aliran
saliva. Berkurangnya laju aliran saliva pada pengguna sabu-sabu merupakan efek
simpatomimetik pada saraf parasimpatetis yang berperan dalam regulasi produksi
saliva (Rommel dkk., 2016). Kondisi asam dalam rongga mulut pengguna sabu-
sabu juga diperparah dengan kandungan hydrochloric acid sabu-sabu yang
memiliki sifat alamiah asam dan apabila terus menerus dikonsumsi dapat
menyebabkan erosi pada jaringan keras gigi (De-Carolis dkk., 2015). Penelitian
yang dilakukan oleh Al-Dlaigan dkk. (2017) tentang pengaruh frekuensi
keterpaparan zat asam terhadap erosi gigi menemukan bahwa 84% responden
dengan frekuensi konsumsi zat asam setiap hari memiliki masalah erosi pada
giginya dan 16% sisanya tidak memiliki masalah erosi, sedangkan responden
dengan frekuensi konsumsi zat asam seminggu sekali 65% di antaranya memiliki
masalah erosi dan 35% sisanya tidak memiliki masalah erosi.
f. Lama Konsumsi Sabu-sabu
Rerata skor erosi narapidana dengan lama konsumsi sabu-sabu ≥ 4 tahun lebih
tinggi dibandingkan rerata skor erosi narapidana dengan lama konsumsi < 4 tahun,
selain itu dijumpai narapidana dengan skor erosi berat pada kelompok narapidana
dengan lama konsumsi ≥ 4 tahun (Tabel 4.20). Konsumsi sabu-sabu jangka panjang
dapat menyebabkan penurunan laju aliran saliva, akibatnya produksi saliva
berkurang dan kapasitas buffer saliva menjadi rendah, padahal sabu-sabu
mengandung berbagai macam zat kimia asam yang perlu dinetralkan untuk
mencegah terjadinya erosi pada gigi geligi. Konsumsi sabu-sabu jangka panjang
menyebabkan besarnya tingkat keterpaparan rongga mulut terhadap berbagai
macam zat kimia yang tidak diimbangi dengan jumlah saliva protektif dan kapasitas
buffer saliva yang baik, sehingga seringkali dijumpai lesi erosi pada pengguna
sabu-sabu jangka panjang.
Rendahnya laju aliran saliva maupun kapasitas buffer saliva merupakan efek
simpatomimetik pada penggunaan sabu-sabu jangka panjang, akibatnya saliva tidak
65

bisa melakukan perannya sebagai agen protektif jaringan keras gigi (Rommel dkk.,
2016). Sabu-sabu sendiri diketahui mengandung asam klorida yang dapat
mendemineralisasi struktur jaringan keras gigi. Asam klorida juga mampu
menurunkan pH dalam rongga mulut pengguna sabu-sabu, sehingga suasana rongga
mulut pengguna sabu-sabu cenderung asam (Wimardhani dkk., 2016). Erpacal dkk.
(2019) mengatakan konsentrasi unsur hidrogen dalam kandungan suatu asam
merupakan faktor utama yang menentukan pembentukan lesi erosi. Besarnya
tingkat keterpaparan rongga mulut terhadap asam klorida tidak diimbangi dengan
jumlah saliva protektif dan kapasitas buffer saliva yang baik, sehingga seringkali
dijumpai lesi erosi pada pengguna sabu-sabu jangka panjang. Manarte dkk. (2010)
telah melakukan penelitian tentang erosi gigi pada pasien penyalahguna narkotika
dengan terapi rehabilitasi. Penelitian tersebut menemukan bahwa kelompok pasien
dengan lama konsumsi narkotika kurang dari atau sama dengan 10 tahun dijumpai
434 responden dengan erosi oklusal, sedangkan pada kelompok pasien dengan lama
konsumsi narkotika lebih dari 10 tahun dijumpai 601 responden dengan erosi
oklusal.
Inti dari penelitian ini adalah suatu gambaran pengguna sabu-sabu khususnya
pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember terkait
kesehatan gigi dan mulutnya, yang mana pada penelitian ini karies dan erosi dipilih
sebagai variabel karena telah banyak penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa pengguna sabu-sabu berisiko tinggi untuk terkena karies dan erosi.
Penelitian ini juga menggambarkan karakteristik pengguna sabu-sabu yang
mungkin berkaitan dengan masalah kesehatan gigi yang timbul pada pengguna
sabu-sabu, seperti frekuensi sikat gigi per hari, cara konsumsi sabu-sabu, frekuensi
konsumsi sabu-sabu, dan lama konsumsi sabu-sabu. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa narapidana pengguna sabu-sabu di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember sebagian besar memiliki masalah
karies dan erosi, dengan karakteristik yang mungkin berkaitan dengan masalah
kesehatan gigi dan mulut antara lain menyikat gigi 1 kali sehari, mengonsumsi
sabu-sabu dengan cara dihisap dengan frekuensi harian hingga mingguan selama 4
tahun atau lebih.
BAB. 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Penelitian prevalensi karies dan erosi gigi pada narapidana pengguna sabu-
sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember memperoleh
kesimpulan bahwa:
a. Prevalensi karies narapidana pengguna sabu-sabu adalah sebesar 89,66%
dengan rerata skor DMF-T 7,21 yang tergolong sangat tinggi.
b. Prevalensi erosi gigi narapidana pengguna sabu-sabu adalah sebesar 72,41%
dengan rerata skor erosi 5,29 yang tergolong rendah.
c. Karakteristik narapidana pengguna sabu-sabu yaitu sebagian besar berjenis
kelamin laki-laki, usia 26-35 tahun, menyikat gigi 1 kali sehari, mengonsumsi
sabu-sabu dengan cara dihisap dengan frekuensi harian hingga mingguan
selama minimal 4 tahun.

5.2 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan penelitian ini yaitu tim meneliti masih awam dalam melakukan
skoring erosi, sehingga terdapat kemungkinan adanya perbedaan persepsi antar tim
peneliti dalam menentukan skor erosi responden.

5.3 Saran
Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten diharapkan dapat melakukan
perawatan pada gigi narapidana pengguna sabu-sabu, mengingat sebagian besar
pengguna sabu-sabu mempunyai karies dan erosi. Masyarakat sebaiknya
memahami bahaya penyalahgunaan sabu-sabu untuk mencegah terus meningkatnya
angka penyakit gigi dan mulut akibat penyalahgunaan sabu-sabu. Peneliti
selanjutnya dapat melakukan penelitian lebih lanjut tentang pH dan laju aliran
saliva pada penyalahguna sabu-sabu terkait masalah kesehatan gigi geligi dengan
jumlah responden yang lebih sesuai untuk mewakili suatu populasi. Pemeriksaan
klinis yang dilakukan untuk menilai skor erosi harus dilakukan dengan cermat agar
didapatkan data yang lebih akurat.
67

DAFTAR PUSTAKA

Al-Amin, M. dan D. Juniati. 2017. Klasifikasi Kelompok Umur Manusia


Berdasarkan Analisis Dimensi Fraktal Box Counting Dari Citra Wajah
Dengan Deteksi Tepi Canny. Jurnal Ilmiah Matematika. 2 (6): 2301-9115

Al-Dlaigan, H., A. A. Laila and A. Sukumaran. 2018. The influence of frequently


consumed beverages and snacks on dental erosion among preschool children
in Saudi Arabia Yousef. Nutrition Journal. 16:80

Arora, A., S. Khattiri, N. M. Ismail, S. K. Nagraj, dan E. Prashanti. 2017. School


dental screening programmes for oral health. Cochrane Database Syst
Rev. 12(12)

Badan Narkotika Nasional. 2017. Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34


Provinsi Tahun 2017. Jakarta : Badan Narkotika Nasional.

Badan Narkotika Nasional. 2018. Jurnal Data Narkoba Dalam Angka-Jurnal Data
Puslitdatin BNN 2018. Jakarta : Badan Narkotika Nasional.

Balqis Ferry Atikah. 2014. Hubungan Pengetahuan Kesehatan Gigi Terhadap


DMF-T & OHI-S pada Anak Usia 10-12 Tahun di Makassar. Skripsi.
Makassar: Universitas Hasanuddin

Baiju, R. M., E. Peter, N. Varghese, dan R. Sivaram. 2017. Oral Health and Quality
of Life: Current Concepts. Journal of Clinical and Diagnostic Research.
11(6) : 21-26.

Belin, T. R., S. Vivek, L. J. Mooney, C. M. Zigler, D. Murphy, dan R. Rawson.


2010. The relationship between methamphetamine use and increased
dental disease. J Am Dent Assoc. 141(3): 307–318

Blerim, K., K. Ferit, B. Agim, K. Jeta, I. Doni, B. Nora, dan K. Lumnije. 2016.
Prevalence of Dental Caries in Kosovar Adult Population. International
Journal of Dentistry. Vol. 2016

Boyer, E. M., N. Thompson, T. Hill, dan M. B, Zimmerman. 2015. The relationship


between methamphetamine use and dental caries and missing teeth. J Dent
Hyg. 89 (2):119–131.

Brown, C., S. Krishnan, K. Hursh, M. Yu, P. Johnson, dan K. Page. 2012. Dental
disease prevalence among methamphetamine and heroin users in an urban
setting: a pilot study. J Am Dent Assoc. 143:992- 1001
68

Brown, R. E., D. E. Morisky, S. J. Silverstein. 2013. Meth mouth severity in


response to drug-use patterns and dental access in methamphetamine users. J
Calif Dent Assoc. 41(6):421-8.

Clague J., T. R, Belin, S. Vivek. 2017. Mechanisms underlying methamphetamine-


related dental disease. J Am Dent Assoc. 148(6): 377–386

De-Carolis, C., G. A. Boyd, L. Mancinelli, S. Pagano, dan S. Eramo. 2015.


Methamphetamine abuse and “meth mouth” in Europe. Med Oral Patol Oral
Cir Bucal. 20(2):205-210.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Klasifikasi Umur Menurut Kategori. Jakarta:


Ditjen Pelayanan Kesehatan

Erpacal, B., B. Emrullah, S. Ezgi. 2019. Dental Erosion and Treatment Methods.
Int. Biol. Biomed. J. Autumn. 4(4): 171-176

Fadhilah, N. 2015. Hubungan Antara Penyalahgunaan Narkoba dengan Fungsi


Kognitif pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas I
Kedungpane Semarang. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Hasselkvist A, A Johansson, A. K. Johansson. 2016. A 4 year prospective


longitudinal study of progression of dental erosion associated to lifestyle in
13–14 year-old Swedish adolescents. J Dent. 47:55–62.

Hiremath, S. S. 2011. Textbook of Preventive and Community Dentistry. New


Delhi: Elsevier.

Jarkander M. S., M. Grindeford, dan K. Carlstedt. 2018. Dental erosion, prevalence


and risk factors among a group of adolescents in Stockholm County.
European Archives of Paediatric Dentistry. 19:23–31

John, R. S.,1 J. L. Elizabeth, F. Eleanor, G. Manika, W. M. Daniel, J. C. Richard,


J. W. Robert, dan L. M. Mary. 2015. Caries Experience Differs between
Females and Males across Age Groups in Northern Appalachia. International
Journal of Dentistry. 2015:8 pages

Julianan, L. dan S. W. Nengah. 2013. Narkoba: Psikotropika dan Gangguan Jiwa


Tinjauan Kesehatan dan Hukum. Yogyakarta: Nuha Medika.

Kelley B.T., A. Berning, A. Ramirez, J. H. Lacey., K. Carr., G. Waehrer, dan R.


Compton. 2017. 2013-2014 National roadside study of alcohol and drug use
by drivers: drug results (Report no. DOT HS 812 411). Washington, D.C.:
National Highway Traffic Safety Administration.
69

Kelsch, N. B. 2011. Methamphetamine Abuse: Oral Implication and Care. A Peer-


Reviewed Publication. RDH. 71-76.

Luanda C. O. L., C. F. Meire, dan A. P. Marco. 2017. Prevalence and factors


associated with dental erosion in individuals aged 12–30 years in a
northeastern Brazilian city. Dovepress Journal Clinical, Cosmetic and
Investigational Dentistry. 9: 85–91

Mahfudzo. 2018. Kebutuhan (Need) Terhadap Pelayanan Kesehatan pada


Penderita Penyakit Scabies di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA
Kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Universitas Jember

Mamai-Homata, E., H. Koletsi-Kounari, dan V. Margaritis. 2016. Gender


differences in oral health status and behavior of Greek dental students: A
meta-analysis of 1981, 2000, and 2010 data. J Int Soc Prevent Communit
Dent. 6(1):60-68

Manarte, P., M. M. Conceição, S. Daniel, F. José, dan G.Susana. 2010. Dental


erosion in alcoholic patients under addiction rehabilitation therapy. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal. 14 (8):377-384.

Markonahally, D., V. Gupta, dan P. Krishnappa. 2015. Meth abuse and oral health.
J Indian Assoc Public Health Dent. 13(1):87-90

Marwah, N. 2018. Textbook of Pediatric Dentistry 4th edition. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers

McClellan, M. L. 2017. Lady Lushes: Gender, Alcoholism, and Medicine in Modern


America 1st. New York : Rutgers University Press

Moreno-Quispe, L.A., L. A. Espinoza-Espinoza, L. S. Bedon-Pajuelo, M. Guzmán-


Avalos. 2018. Dental caries in the peruvian police population. J Clin Exp
Dent. 10(2):134-138.

Mufida L, Setijanto RD, Palupi R, Bramantoro T, Ramadhan C, Ramadhani A.


2019. Caries and dental and oral hygiene profile of drug (narcotics and
dangerous drugs) users at drug rehabilitation centers. J Int Oral Health.
11(1):6-9.

Murphy, D. A., S.Vivek., L. Harrell, J. Clague , B. A. Dye, dan T. R. Belin. 2016.


Methamphetamine users have increased dental disease: a propensity score
analysis. J Dent Res. 95(7):814–821

National Institute on Drug Abuse. 2019. Drug Facts: Methamphetamine. United


States : U.S. Department of Health and Human Services
70

National Institute on Drug Abuse. 2014. Drugs, Brains, and Behavior The Science
of Addiction. United States : U.S. Department of Health and Human Services

Naz, S., B. Ayesha, A. Salman, S. Naureen, M. A. Babra, A. Kashif. 2016.


Prevalence, etiology and gender distribution of palatal erosion: a cross-
sectional study. International Journal of Contemporary Medical Research.
3(7):2023-2027.

Nihtyanova, T., M. Kukleva, T. Miteva-Katrandzhieva, S. Petrova, A. Belcheva-


Krivorova. 2018. Study of the Relationship between Oral-hygiene Habits and
the Presence of Dental Erosion in Preschool and School Children. J of IMAB.
24(3) :2096-2099

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Pabst, A., J. C. C. Duque, A. Mayer, M. Klinghuber, dan


R. Werkmeister. 2017. Meth Mouth—A Growing Epidemic in Dentistry.
Dent. J. 5: 29.

Patricia, A. F. dan M. Elizabeth. 2019. Methamphetamine: Implications for the


Dental Team. https://www.dentalcare.com/en-us/professional-education/ce-
courses/ce332 [Diakses pada 10 Mei 2019]

Passos V. F., Melo M. A. S., Park J., dan Strassler H. E. 2019. Current Concepts
and Best Evidence on Strategies to Prevent Dental Erosion. Compendium of
Continuing Education in Dentistry. https://cced.cdeworld.com/courses/5178-
current-concepts-and-best-evidence-on-strategies-to-prevent-dental-erosion.
[Diakses pada 10 Maret 2020]

Pitriani dan Herawanto. 2019. Epidemiologi Kesehatan Lingkungan. Makassar:


Nas Media Pustaka

Rahardjo A., A. M. Diah, K. Bramma, I. Erik, N. Julie, C. J. Paul, S. Fred. 2014.


Measurement of Tooth Brushing Frequency, Time of Day and Duration of
Adults and Children in Jakarta, Indonesia. Journal of Dentistry Indonesia.
21(3): 85-88

Regina, A. P. V. O. 2013. Tingkat Keparahan Karies Gigi pada Pengguna


Metamfetamin di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Yogyakarta. Masters
thesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Roche, A., A. McEntee, J. Fischer, dan V. Kostadinov. 2015. Methamphetamine


use in Australia. Adelaide, South Australia: National Centre for Education
and Training on Addiction (NCETA), Flinders University
71

Rommel, N., N. H. Rohleder, S. Koerdt, S. Wagenpfeil, R. Härtel-Petri, K. D Wolff,


dan M. R. Kesting. 2016. Sympathomimetic effects of chronic
methamphetamine abuse on oral health: a cross-sectional study. BMC oral
health. 16(1):59.

Schep, L. J., R. J. Slaughter, dan D. M. Beasley. 2010. The Clinical Toxicology of


Methamphetamine. Informa Health Care. 48(7): 675-694.

Shetty, V., H. Lauren, D. A. Murphy, V. Steven, G. Alexis, T. R. Belin, B. A. Dye,


dan W.S. Vladimir. 2015. Dental disease patterns in methamphetamine users:
Findings in a large urban sample. J Am Dent Assoc. 146(12): 875–885.

Sholihah, Q. 2014. Efektivitas Program P4GN Terhadap Pencegahan


Penyalahgunaan NAPZA. Jurnal Universitas Lambung Mangkurat. 9 (1):
153-159.

Sibarani, M. R. 2013. Karies: Etiologi, Karakteristik Klinis dan Tatalaksana.


Majalah Kedokteran UKI. 30 (1)

Smit, D. A. dan N. Sudeshni. 2016. Methamphetamine abuse: Oral symptoms and


dental treatment needs. Saudi Arabia Dental Journal. 71(4): 150-154.

Smit, D. A. dan N. Sudeshni. 2015. Oral health effects, brushing habits and
management of methamphetamine users for the general dental practitioner.
British Dental Journal. 218 (9): 531-536

Substance Abuse and Mental Health Services Administration. 2017. 2016 National
Survey on Drug Use and Health Treatment. Episode Data Set. Rockville:
Center for Behavioral Health Statistics and Quality, Substance Abuse and
Mental Health Services Administration.

Substance Abuse and Mental Health Services Administration. 2018. Key Substance
Use and Mental Health Indicators in the United States: Results from the 2017
National Survey on Drug Use and Health. Rockville: Center for Behavioral
Health Statistics and Quality, Substance Abuse and Mental Health Services
Administration.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Afabeta

Sun, D., Y. Tao, R. Pengcheng, dan Y. Shibin. 2018. Prevalence and etiology of
oral diseases in drug-addicted populations: a systematic review. Int J Clin Exp
Med. 11(7):6521-6531
72

Towle, I., D. J. Irish, M. Elliott, G. De, dan Isabelle. 2018. Root grooves on two
adjacent anterior teeth of Australopithecus africanus. International Journal of
Paleopathology. 22: 163–167.

Tuharyati, Yanny. 2011. Meretas Persoalan Seputar Lembaga Pemasyarakatan Di


Indonesia (Kajian Empiris Model Pembinaan Di Lapas Klas IIA Jember).
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum. 7 (1) : 189-207

Turkyilmaz I. 2010. Oral Manifestations of “Meth Mouth”: A Case Report. J


Contemp Dent Pract. Jan. 11(1):073-080

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Narkotika. 12 Oktober


2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995. Pemasyaraktan. 30


Desember 1995. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995. Nomor
77. Jakarta.

Vainionpaa R., T. Kirsi, P. Paula, L. Marja-Liisa dan A. Vuokko. 2019. Erosive


tooth wear and use of psychoactive substances among Finnish prisoners.
BMC Oral Health. 19:97

Wang, P., C. Xinmei, Z. Liwei, G. Lan, L. Xin, dan S. Shen. 2014. Comprehensive
dental treatment for “meth mouth”: A case report and literature review.
Journal of the Formosan Medical Association. 113:867-871

Wimardhani, Y. S., W. K. Yuniarosa, S. Harum, P. S. Gus, S. S. Afi, A. P. Siti, I.


S. Anandina, R. Febrina, I. W. Indriasti, T. D. P. B. Anzany. 2016. Salivary
Profile Of Recovering Drug Users In Indonesia. J Int Dent Med Res. 9 (1) :
50-54

Yazdani R., H. Hessari, S. Rahmani, dan M. J. K Fard. 2018. Oral and dental
complications caused by methamphetamine use: A review. J Craniomax Res.
5(2) : 61-66

Ye, T., D. Sun, G. Dong. 2018. The effect of methamphetamine abuse on dental
caries and periodontal diseases in an Eastern China city. BMC Oral Health.
18:8

Yildiz, G., R. B. Ermis, N. S. Calapoglu, E. U. Celik, dan G. Y. Turel. 2016. Gene-


environment interactions in the etiology of dental caries. Journal of Dental
Research. 95 (1) :74–79.
73

LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian


74

Lampiran 2. Ethical Clearance


75

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Tindakan

Informed Consent

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama :……………………………………………….
Jenis Kelamin :………………………………………………..
Tempat Tanggal Lahir :……………………………………………….

Dengan ini saya bersedia menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan
oleh,
Nama : Syeifira Salsabila
NIM : 161610101108
Fakultas : Pendidikan Dokter Gigi
Universitas : Universitas Jember
yang berjudul “Prevalensi Karies dan Erosi pada Narapidana Pengguna Narkotika
Jenis Sabu-Sabu di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Kabupaten Jember”.

Saya telah menerima penjelasan tentang apa yang akan dilakukan terhadap saya
sebagai responden dalam penelitian ini. Demikian pernyataan ini saya buat dengan
kesadaran penuh tanpa paksaan dari pihak manapun.

Jember, 28 Desember 2019

( )
76

Lampiran 4. Lembar Kuisioner Karakteristik Narapidana

Kuisioner Karakteristik Narapidana Pengguna Narkotika Jenis Sabu-sabu

Nama :
Jenis Kelamin : Perempuan / Laki-laki (coret yang tidak perlu)
Tanggal Lahir : - -

Petunjuk pengisian :
Jawablah pertanyaan berikut dengan mengisi jawaban atau melingkari () pada
pilihan jawaban yang telah tersedia!

1. Berapa kali anda menggosok gigi dalam sehari?


a. Tidak pernah
b. 1 kali
c. 2 kali
d. Lebih dari 2 kali
2. Bagaimana cara Anda mengonsumsi sabu-sabu?
a. Serbuk dihirup melalui hidung
b. Asap dihisap melalui rongga mulut
c. Cairan disuntikkan pada bagian tubuh
d. Pil / tablet ditelan
3. Kapan Anda mulai mengonsumsi sabu-sabu? Contoh : Februari 2016*)
Jawab :
4. Kapan Anda berhenti mengonsumsi sabu-sabu? Contoh : Februari 2018*)
Jawab :
5. Seberapa sering Anda menggunakan sabu-sabu?
a. Harian hingga Mingguan
b. Bulanan hingga Tahunan

*jawaban dari pertanyaan nomor 3 dan 4 dijumlahkan dalam satuan bulan


77

Lampiran 5. Lembar Penilaian Karies

Penilaian Karies dengan DMF-T

Ket:
D = Decay, yaitu kerusakan gigi permanen karena karies yang masih dapat
ditumpat.

M = Missing, yaitu gigi permanen yang hilang karena karies atau gigi karies
yang mempunyai indikasi untuk dicabut.

F = Filling, yaitu gigi permanen yang telah ditambal karena karies.

Perhitungan DMF-T

D =
M =
F =

Jumlah DMF-T =
78

Lampiran 6. Lembar Penilaian Erosi

Penilaian Erosi dengan BEWE

Ket:

0 = Tidak ada erosi.

1 = Permulaan hilangnya struktur permukaan gigi.

2 = Hilangnya struktur jaringan keras < 50 % dari permukaan gigi.

3 = Hilangnya struktur jaringan keras > 50 % dari permukaan gigi.

Perhitungan Skor BEWE

Skor Tertinggi Sektan 1 =


Skor Tertinggi Sektan 2 =
Skor Tertinggi Sektan 3 =
Skor Tertinggi Sektan 4 =
Skor Tertinggi Sektan 5 =
Skor Tertinggi Sektan 6 =

Skor Kumulatif =
79

Lampiran 7. Data Karakteristik Narapidana


Lama
Frekuensi Cara Frekuensi
Jenis Usia Konsumsi
No Sikat Konsumsi Konsumsi
Kelamin (tahun) Sabu-sabu
Gigi Sabu-sabu Sabu-sabu
(tahun)
1 Laki-laki 25 >2x Asap Harian/Mingguan 5
2 Laki-laki 42 >2x Asap Bulanan/Tahunan 10
3 Laki-laki 29 2x Asap Harian/Mingguan 3
4 Laki-laki 46 >2x Cairan Harian/Mingguan 2
5 Laki-laki 43 >2x Asap Bulanan/Tahunan 17
6 Laki-laki 24 2x Asap Bulanan/Tahunan 2
7 Laki-laki 30 >2x Asap Harian/Mingguan 3
8 Laki-laki 50 1x Asap Harian/Mingguan 31
9 Laki-laki 28 1x Asap Bulanan/Tahunan 9
10 Laki-laki 40 1x Asap Harian/Mingguan 4
11 Perempuan 35 2x Asap Bulanan/Tahunan 5
12 Laki-laki 42 >2x Serbuk Harian/Mingguan 2
13 Laki-laki 28 >2x Asap Harian/Mingguan 11
14 Laki-laki 40 2x Asap Harian/Mingguan 8
15 Laki-laki 33 >2x Asap Harian/Mingguan 16
16 Laki-laki 50 1x Asap Bulanan/Tahunan 14
17 Laki-laki 40 1x Cairan Harian/Mingguan 14
18 Laki-laki 42 1x Asap Harian/Mingguan 8
19 Laki-laki 37 1x Asap Harian/Mingguan 14
20 Laki-laki 33 1x Asap Bulanan/Tahunan 16
21 Laki-laki 37 1x Asap Harian/Mingguan 9
22 Laki-laki 25 1x Asap Bulanan/Tahunan 9
23 Laki-laki 26 1x Asap Harian/Mingguan 10
24 Laki-laki 42 2x Asap Harian/Mingguan 8
25 Laki-laki 51 2x Asap Harian/Mingguan 9
26 Perempuan 32 1x Asap Harian/Mingguan 13
27 Laki-laki 43 1x Asap Harian/Mingguan 19
28 Perempuan 29 1x Asap Bulanan/Tahunan 9
29 Laki-laki 40 1x Asap Harian/Mingguan 14
30 Laki-laki 21 1x Asap Bulanan/Tahunan 5
31 Laki-laki 27 2x Serbuk Bulanan/Tahunan 9
32 Laki-laki 32 1x Asap Bulanan/Tahunan 13
33 Laki-laki 51 >2x Asap Harian/Mingguan 21
34 Laki-laki 30 1x Asap Bulanan/Tahunan 3
35 Perempuan 28 1x Asap Harian/Mingguan 8
36 Laki-laki 32 2x Asap Harian/Mingguan 10
80

37 Perempuan 37 2x Asap Harian/Mingguan 13


38 Laki-laki 31 2x Asap Harian/Mingguan 10
39 Laki-laki 41 1x Asap Harian/Mingguan 6
40 Laki-laki 34 1x Asap Bulanan/Tahunan 12
41 Laki-laki 52 1x Asap Harian/Mingguan 35
42 Laki-laki 35 2x Asap Harian/Mingguan 18
43 Laki-laki 34 1x Asap Harian/Mingguan 2
44 Laki-laki 50 1x Asap Harian/Mingguan 20
45 Laki-laki 28 2x Asap Bulanan/Tahunan 8
46 Laki-laki 51 2x Asap Harian/Mingguan 34
47 Laki-laki 40 1x Asap Harian/Mingguan 18
48 Perempuan 37 2x Serbuk Harian/Mingguan 3
49 Laki-laki 38 >2x Asap Harian/Mingguan 5
50 Laki-laki 25 1x Asap Bulanan/Tahunan 8
51 Perempuan 48 >2x Asap Bulanan/Tahunan 5
52 Laki-laki 41 >2x Asap Harian/Mingguan 20
53 Laki-laki 41 1x Asap Harian/Mingguan 6
54 Laki-laki 33 >2x Asap Harian/Mingguan 12
55 Laki-laki 30 1x Asap Bulanan/Tahunan 3
56 Perempuan 26 >2x Asap Harian/Mingguan 6
57 Laki-laki 32 >2x Asap Harian/Mingguan 5
58 Laki-laki 40 >2x Asap Harian/Mingguan 3
81

Lampiran 8. Data DMF-T dan Erosi Narapidana


No D M F DMF-T Erosi
1 0 0 0 0 9
2 1 0 0 1 5
3 0 0 0 0 1
4 0 0 0 0 2
5 0 0 0 0 6
6 0 0 0 0 1
7 0 0 0 0 6
8 1 1 0 2 17
9 9 0 0 9 6
10 7 5 0 12 7
11 2 3 0 5 2
12 1 0 0 1 2
13 1 2 0 3 2
14 4 1 0 5 5
15 2 2 0 4 6
16 9 2 0 11 6
17 12 0 0 12 6
18 10 0 0 10 6
19 14 0 0 14 7
20 9 5 0 14 8
21 9 0 0 9 9
22 7 2 1 10 6
23 9 0 0 9 6
24 3 3 0 6 3
25 3 3 0 6 3
26 10 2 0 12 6
27 7 2 0 9 7
28 10 0 0 10 6
29 26 1 0 27 7
30 8 0 0 8 1
31 7 0 0 7 2
32 15 10 0 25 7
33 1 6 0 7 3
34 7 1 0 8 6
35 10 1 0 11 6
36 3 4 0 7 6
37 4 3 0 7 6
38 5 5 0 10 6
39 11 3 0 14 11
82

40 8 3 0 11 11
41 7 8 0 15 11
42 3 4 3 10 8
43 7 1 0 8 6
44 10 0 0 10 6
45 5 0 0 5 6
46 3 2 0 5 12
47 10 2 0 12 7
48 3 2 0 5 2
49 3 0 0 3 2
50 4 0 0 4 1
51 3 0 0 3 1
52 2 0 0 2 2
53 4 0 0 4 2
54 3 0 0 3 2
55 4 0 0 4 2
56 2 1 0 3 3
57 3 0 0 3 3
58 2 1 0 3 3
83

Lampiran 9. Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian

Gambar 1. Narapidana pengguna sabu-sabu dikumpulkan oleh petugas Lapas

Gambar 2. Wawancara kuisioner dengan narapidana


84

Gambar 3. Pemeriksaan klinis gigi geligi narapidana

Gambar 4. Kondisi rongga mulut salah satu narapidana


85

Gambar 5. Lesi erosi ditemukan pada regio anterior rahang bawah

Gambar 6. Gigi hilang dan gigi karies pada salah satu narapidana

Anda mungkin juga menyukai