Anda di halaman 1dari 333

TUGAS

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

OLEH :

NAMA : Polnaya Batserin

NPM : 12114201180126

KELAS : D

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

AMBON

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena, atas berkat
dan kemurahannya saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Penyusunan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III.

Saya menyadari sungguh bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk dapat memperbaiki makalah saya ini.

Akhir kata, dengan satu harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Ambon , 05 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

Daftar Tabel

A. ANALISA JURNAL
1. Jurnal 1
2. Jurnal 2
3. Jurnal 3
4. Jurnal 4
5. Jurnal 5
B. PEMBAHASAN TERKAIT HASIL PICO
C. PENUTUP
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jurnal Pertama
Tabel 1.2 Jurnal Kedua
Table 1.3 Jurnal Ketiga
Table 1.4 Jurnal Keempat
Table 1.5 Jurnal Kelima
A. ANALISA JURNAL

JURNAL 1

Judul Jurnal : Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar

NO KRITERIA PEMBENARAN & CRITICAL THINKING


1 P Luka bakar merupakan salah satu insiden
yang sering terjadi di masyarakat. Sekitar 2,5
juta
orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat
setiap tahunnya dari kelompok ini 200.000
pasien
memerlukan penanganan rawat jalan dan
100.000 pasien dirawat di rumah sakit, sekitar
12.000 meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013,
prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%.
Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 1-4
tahun.1,2
Luka bakar merupakan cedera yang cukup
sering dihadapi oleh dokter, biaya yang
dibutuhkan juga cukup mahal untuk
penanganannya. Luka bakar masih menjadi
masalah karena angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi, terutama pada luka bakar derajat II
dan III yang lebih dari 40%, dengan angka
kematian 37,38%.2
Penanganan dalam penyembuhan luka
bakar antara lain mencegah infeksi dan memberi
kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk
berpoliferasi dan menutup permukaan luka.
Penyembuhan luka melewati tiga fase, yaitu fase
inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling.
Faktor yang bisa mengganggu dan menghambat
proses penyembuhan ini adalah infeksi.
I Salah satu tatalaksana luka bakar
adalah pemberian madu topikal.
Madu merupakan cairan manis yang
diproses oleh lebah yang berasal dari
sari pati atau tepung sari bunga, yang
dijadikan lebah sebagai bahan baku
yang disebut nektar, yang didapat pada
sel tumbuhan. Madu dapat membantu
mempercepat penyembuhan luka
bakar dikarenakan efek antibiotika dan
antiviralnya yang menekan
pertumbuhan kuman pada luka.
Terdapat beberapa faktor lain yang
memperkuat efek antibiotika pada
madu , yaitu osmolaritas madu yang
tinggi. Pada beberapa madu
kandungan gulanya bisa mencapai
80% yang terdiri dari glukosa,
fruktosa, maltosa dan sukrosa. Kurang
dari 18% komponennya adalah air
sehingga mempunya osmolaritas yang
tinggi.
Madu juga mampu untuk menghambat
pertumbuhan bakteri sehingga
mempercepat penyembuhan. Selain
itu, madu juga bersifat higroskopik
dan tidak ada mikroba yang dapat
hidup didalamnya.

C Berdasarkan hasil penelitian perbandingan


tingkat kesembuhan luka bakar terhadap
pemberian madu dan gentamisin topikal dapat
disimpulkan bahwa madu dapat dijadikan
sebagai obat alternatif pada luka bakar sebagai
pengganti antibiotik gentamisin topikal, terutama
di daerah terpencil yang sulit untuk mendapatkan
antibiotik gentamisin topikal.
O Arif (2013) melakukan penelitian pada
sampel tikusputih dan didapatkan hasil tingkat
penyembuhan luka bakar hari ke 14. Tikus
dibagi
menjadi 3 kelompok secara random yaitu: K1
(kontrol), K2 (madu 100%), K3 (Gentamisin
Topikal Gel 0,1%×10gr) setelah 14 hari
perlakuan
dilakukan pengamatan. Dari hasil penelitian luka
bakar pada kulit tikus tidak terdapat perbedaan
bermakna antara kelompok K2 dan K3 dengan
nilai p=0,585. Berdasarkan hasil penelitian
perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar
terhadap pemberian madu dan gentamisin
topikal dapat disimpulkan bahwa madu dapat
dijadikan sebagai obat alternatif pada luka bakar
sebagai pengganti antibiotik gentamisin topikal
Jurnal 2

Judul Jurnal : FORMULASI KRIM EKSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR


(Ipomoeae batatas L.) UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR
NO KRITERIA PEMBENARAN & CRITICAL THINKING
2 P Dalam jurnal ini, popilasi atau
problemyang ditemukan yaitu pasien yang
terkena luka bakar
I krim ekstrak etanol daun ubi jalar dapat
digunakan untuk penyembuhan luka bakar. Krim
ekstrak etanol daun ubi jalar dengan
menggunakan basis krim yang mengandung
Virgin Coconut Oil (VCO)mampu memberikan
efektifitas lebih cepat dibandingkan dengan
formula lainnya. Daun ubi jalar yang digunakan
mengandung flavonoid, saponin dan polifenol,
dimana saponin ini mempunyai kemampuan
sebagai pembersih sehingga dapat membantu
mempercepat penyembuhan luka terbuka.
Flavonoid yang terkandung didalam daun ubi
jalar dapat digunakan sebagai pencegahan
terhadap infeksi luka karena mempunyai daya
antiseptic.

C Pada uji efek basis krim dan krim ekstrak


etanol daun ubi jalar dan basis krim yang
mengandung VCO dan yang tidak mengandung
VCO terhadap pengobatan luka bakar, ternyata
memberikan variasi waktu penyembuhan.
Formula yang memberikan waktu penyembuhan
paling cepat adalah formula F1B dimana waktu
yang diperlukan untuk penyembuhan
selama 7 hari, Sedangkan FOA memberikan
waktu penyembuhan selama 11 hari, FOB
memberikan waktu penyembuhan selama 9 hari,
F1A dan
Lanakloid-E memberikan waktu penyembuhan 8
hari. Hal ini menunjukkan bahwa basis krim dan
krim ekstrak etanol daun ubi jalar dapat
digunakan untuk
penyembuhan luka bakar.
O basis krim dan krim ekstrak etanol daun ubi
jalar dapat digunakan untuk penyembuhan luka
bakar. Krim ekstrak etanol daun ubi jalar dengan
menggunakan basis krim yang mengandung
Virgin Coconut Oil (VCO) mampu memberikan
efektifitas lebih cepat dibandingkan dengan
formula lainnya.

Jurnal 3

Judul Jurnal : POTENSI TANAMAN ZIGZAG SEBAGAI PENYEMBUH LUKA


NO KRITERIA PEMBENARAN & CRITICAL THINKING
3 P Angka kejadian luka di dunia sepanjang
tahun semakin meningkat, termasuk luka akut
ataupun luka kronik. Pada tahun 2009 penelitian
yang dilakukan di Amerika menyebutkan bahwa
prevalensi pasien luka adalah 350 per 1000
populasi. Etiologi luka pada pasien bervariasi
dengan data yang didapat yaitu luka bedah 113.3
juta kasus, luka trauma 1.6 juta kasus, luka lecet
20.4 juta kasus, luka bakar 10 juta kasus, dan
ulkus dekubitus 8.5 juta kasus. Sedangkan
penelitian lainnya yang dilakukan oleh
Nussbaum dkk (2018) terhadap pasien yang
menerima pengobatan dilaporkan setidaknya
terdapat 82 juta pasien luka dengan atau tanpa
infeksi (Diligence, 2009).
I Perwatan luka dapat dilakukan dengan
menggunakan selulosa mikrobial, balutan
luka, maupun modifikasi sistem vakum.
Pengembangan formula dari sistem dan
basis yang digunakan juga dilakukan
untuk membantu proses penyembuhan
luka. Zat aktif dari bahan alam pun
gencar dikembangkan sebagai alternative
pengobatan
Tanaman Zig-zag dengan nama latin
Pedilanthus tithymaloides (L.) Poit.
adalah salah satu jenis tanaman terna
yang biasa dipelihara sebagai tanaman
hias atau tanaman pagar. Tanaman ini
dapat dimanfaatkan sebagai obat luar
salah satunya yaitu untuk mempercepat
penyembuhan luka

C Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani


tahun 2010 mengenai efek infusa daun dan
batang zig-zag (Pedilanthus tithymaloides L.
Poit.) terhadap waktu penyembuhan luka insisi
pada mencit selama 7 hari didapatkan hasil
berupa waktu penyembuhan dengan durasi 5.8
hari.
Penelitian lain oleh Sriwiroch dkk tahun 2010
melalui studi histopatologis terhadap 42 mencit
juga didapatkan hasil pada minggu kedua yaitu
adanya sebukan fibroblas homogeny berwarna
merah muda pada jaringan granulasi area luka
kelompok hewan coba yang diberi perlakuan
dibandingkan kelompok kontrol yang masih
terdapat banyak pembuluh darah kecil dan
leukosit.

O efek infusa daun dan batang zig-zag


(Pedilanthus
tithymaloides L. Poit.) terhadap waktu
penyembuhan luka insisi pada mencit selama 7
hari didapatkan hasil berupa waktu
penyembuhan dengan durasi 5.8 hari lebih cepat
dibandingkan kelompok kontrol yaitu 7 hari.

Jurnal 4

Judu Jurnal : Efek Gel Putih Telur terhadap Penyembuhan Luka Bakar
pada Tikus Putih (Rattus novergicus)
NO KRITERIA PEMBENARAN & CRITICAL THINKING
4 P Putih telur secara tradisional dapat digunakan
untuk pengobatan luka bakar.
I Penanganan luka bakar dengan bahan alam
merupakan salah satu cara yang aman untuk
mengobati luka bakar dan sekaligus
menekan biaya pengobatan luka bakar.
Salah satunya dengan menggunakan putih
telur ayam kampung.
Mekanisme putih telur terhdap
penyembuhan
luka yaitu dengan membentuk jaringan sel
baru dan mempercepat pemulihan jaringan
sel tubuh yang rusak.
putih telur efektif pada luka bakar derajat I
dan luka bakar derajat II sebagian dangkal
C Perhitungan rerata jumlah makrofag pada hari
ke-3 menunjukkan bahwa semua kelompok
perlakuan berbeda bermakna. Hasil yang paling
tinggi ada pada kelompok perlakuan putih telur
yaitu 4,07 ± 0,12. Pada hari ke-7 menunjukkan
bahwa kelompok perlakuan perlakuan putih telur
berbeda bermakna dengan kelompok kontrol
negative dan tidak berbeda bermakna dengan
kontrol positif. Perlakuan kontrol positif dan
perlakuan putih telur menyebabkan penurunan
jumlah makrofag pada hari ke-7. Sedangkan
perlakuan kontrol negatif tidak terlihat terjadi
penurunan aktivitas makrofag. Hal ini
menunjukkan bahwa putih telur dapat menurunkan
jumlah makrofag..
O Pengamatan makroskopis luka bakar pada
punggung tikus dapat dilihat Pada kontrol negatif,
hari
ke-4 dan ke-5 tampak luka bakar berwarna merah
menandakan luka memasuki fase proliferasi. Pada
hari
ke-6 dan 7 jaringan kulit kontrol negatif mengalami
nekrosis, sedangkan pada kontrol positif dan
perlakuan
gel putih telur tidak terdapat nekrosis dan luka
tampak berwarna merah. Perbedaan ini disebabkan
karena larutan NaCl 0,9% sebagai kontrol negatif
tidak memiliki kandungan antimikroba sehingga
terjadi infeksi lebih besar dan mengganggu regulasi
proliferasi fibroblas.

Jurnal 5

Judul Jurnal : Pengaruh Perawatan Luka Bakar Derajat II Menggunakan Ekstrak


Etanol Daun Sirih (Piper betle
Linn.) Terhadap Peningkatan Ketebalan Jaringan Granulasi pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar
NO KRITERIA PEMBENARAN & CRITICAL THINKING
5 P Masalah yang terjadi adalah Luka bakar
yang sering terjadi di rumah dan paling banyak
ditemukan adalah luka bakar derajat II. Kelompok
terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-
anak kelompok usia di bawah 6 tahun. Puncak
insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja, yaitu
pada usia 25-35 tahun.
I satu bahan herbal yang digunakan untuk
mengobati luka adalah Piper betle Linn atau sirih.
Daun sirih mengandung molekul-molekul bioaktif
seperti saponin, tannin, minyak atsiri, flavonoid,
dan fenol yang mempunyai kemampuan untuk
membantu proses penyembuhan luka serta nutrisi
yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka seperti
vitamin A dan vitamin C.
Kelompok perlakuan luka dibersihkan terlebih
dahulu menggunakan normal salin kemudian
diolesi ekstrak daun sirih konsentrasi 15 %, 30 %,
dan 45 %. Setelah itu
luka ditutup dengan kassa steril dan diplester.
Kelompok kontrol dibersihkan dengan normal
salin 0,9 % saja lalu ditutup dengan kassa steril.

C Perbandingan berganda rata-rata ketebalan


jaringan
granulasi, didapatkan hasil kelompok control
(normal saline 0,9 %) berbeda signifikan dengan
kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 45 %
dengan p value = 0,037 (α < 0,05).
O Pada kelompok perawatan luka dengan
normal saline 0,9 % didapatkan rata-rata
ketebalan granulasi sebesar 1,1 µm
(standar deviasi ± 0,65 µm).
Pada kelompok perawatan luka dengan
ekstrak daun sirih konsentrasi 15 %
didapatkan rata-rata ketebalan granulasi
sebesar 2,41 µm (standar deviasi ± 1,48
µm)
Pada kelompok perawatan luka dengan
ekstrak
daun sirih konsentrasi 30 % didapatkan
ratarata ketebalan granulasi sebesar 2,47
µm (standar deviasi ± 0,73 µm).
Jaringan granulasi yang terbentuk lebih tebal
dibandingkan dengan kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan ekstrak daun sirih konsentrasi
15 %. Pada kelompok perawatan luka dengan
ekstrak daun sirih konsentrasi 45 % didapatkan
ratarata ketebalan granulasi sebesar 2,84 µm
(standar deviasi ± 1,01 µm). Jaringan granulasi
yang terbentuk merupakan yang paling tebal
dibandingkan semua kelompok lainnya.

B. PEMBAHASAN TERKAIT HASIL PICO


Hasil yang di daptakan yakni adanya perbedaan:
Madu dapat digunakan dalam tatalaksana luka bakar, karena madu memiliki
kandungan
antibakteri dan antiviral serta memiliki nutrisi yang dibutuhkan sehingga dapat
mempercepat penyembuhan luka bakar
Ekstrak etanol daun ubi jalar dan Virgin Coconut Oil (VCO) dapat diformulasi
dalam bentuk krim yang stabil secara fisika dan kimia selama 8 minggu
penyimpanan.
Tanaman Pedilanthus tithymaloides dengan kandungan beta-ssitosterol dan
flavonoidnya memiliki potensi yang baik dalam proses penyembuhan luka. Selain
itu, tanaman ini juga memiliki efek analgesik yang dapat mengurangi rasa nyeri
akibat luka dan efek antimicrobial yang mampu mencegah infeksi pada luka.
Perlu adanya kajian lebih lanjut dari berbagai artikel yang menunjang dari
penelitian ini guna mendapatkan hasil informasi yang lebih luas.
Berdasarkan analisis data maka dapat disimpulkan bahwa pemberian topikal gel
putih telur dapat menurunkan jumlah makrofag dan meningkatkan jumlah
fibroblas. Gel putih telur juga dapat meningkatkan kepadatan deposit kolagen dan
mempercepat waktu penyembuhan luka pada luka bakar derajat II pada tikus
putih jantan.
rata-rata peningkatan ketebalan granulasi pada kelompok yang mendapat
perlakuan ekstrak
daun sirih (Piper betle L.) 15 % sebesar 2,41 µm, 30 % sebesar 2,47 µm, dan 45
% sebesar
2,84 µm. Pada kelompok kontrol dengan normal saline 0,9 %, rata-rata ketebalan
granulasi
sebesar 1,1 µm. Pemberian ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) berpengaruh
terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi pada perawatan luka bakar
derajat II tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Wistar dengan nilai
signifikansi sebesar 0,04 (p < 0,05)

C. PENUTUP
Dari PICO yang dibuat maka mendapatkan hasil bahwa setiap pengobatan alami yang
di lakukan terkait luka bakar dapat di simpulkan bahwa adanya perbedaan dari setiap
pengobatan, bisa di lihat dari derajat lukannya maupun dari kulitnya klien sendiri dan
terkait keunggulan dari masing-masing pengobatan ini berbeda-beda karena untuk
masa penyembuhan dan respon kulit pun berbeda.
Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar

Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar


Arif Mz
Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan, salah satunya akibat suhu tinggi dapat menyebabkan luka
bakar. Penyembuhan luka bakar sangat tergantung dengan manajemen luka yang baik. Terdapat banyak bahan obat-obatan yang
dapat mempercepat kesembuhan luka bakar, antara lain adalah madu. Tujuan penulisan ini adalah meninjau efek pemberian madu
secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar. Madu berperan sebagai antibakteri dan saat ini sudah dimanfaatkan dalam
tatalaksana luka bakar. Madu memiliki beberapa sumber nutrisi yang kaya akan asam amino, karbohidrat, protein, vitamin dan
mineral yang berperan dalam mempercepat penyembuhan kulit. Di dalam madu juga terdapat senyawa organik seperti polypenol
dan glykosida yang bersifat antiviral dan antibakteri yang dapat menekan infeksi yang merupakan salah satu penghambat
penyembuhan luka bakar. Madu terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan
Staphylococcus aureus. Nutrisi yang baik, kandungan antiviral dan antibakteri iniliah yang membuat madu efektif sebagai
tatalaksana masalah kulit, terutama luka bakar.

Kata kunci: luka bakar, madu, topikal.

The Effects of Honey in Skin Burn


Abstract
The skin is one the susceptible body organs, and one of cause high temperatures that can burn the skin resulting the burning
wound. Healing treatment of burns depends on good wound management. There are many components of medicine that can
boost the healing process of burns, among others, it is honey. The purpose of this paper is to review the effect of applying the
topical honey in the healing treatment of burns. Honey act as an antibacterial and now it is used in the management of burns.
Honey has several sources of nutrients rich in amino acids, carbohydrates, protein, vitamins and mineral in order to boost skin
healing. Honey contains also organic compounds such as polyphenols and glycosides that are antiviral and and antibacterial that
can suppress the infection which is one of the inhibitors of healing burns. Honey has been shown to inhibit the growth of
Escherichia coli, Listeria monocytogenes, and Staphylococcus aureus bacteria. Good nutrition, antiviral and antibacterial content
have made honey effective as treatment of skin problems, especially burns.

Keywords: honey, skin burn, topical

Korespondensi : ArifMz, alamat Perumahan Palem Permai III No D1 Gedong Meneng Bandar Lampung, HP 082281652890, email
m.arif770@gmail.com

Pendahuluan berpoliferasi dan menutup permukaan luka.


Luka bakar merupakan salah satu insiden Penyembuhan luka melewati tiga fase, yaitu fase
yang sering terjadi di masyarakat. Sekitar 2,5 juta inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling.
orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat Faktor yang bisa mengganggu dan menghambat
setiap tahunnya dari kelompok ini 200.000 pasien proses penyembuhan ini adalah infeksi.2
memerlukan penanganan rawat jalan dan Pertumbuhan bakteri patogen seperti
100.000 pasien dirawat di rumah sakit, sekitar Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan
12.000 meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan Staphylococcus aureus dapat dihambat oleh
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, pemberian madu. Pemberian madu pada media
prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%. tanam yang telah ditanam bakteri-bakteri
Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 1-4 tahun.1,2 tersebut memperlihatkan zona penghambatan.
Luka bakar merupakan cedera yang cukup Dari segi estetika pemakaian madu memiliki
sering dihadapi oleh dokter, biaya yang kelebihan karena dapat digunakan untuk
dibutuhkan juga cukup mahal untuk menghaluskan kulit, serta pertumbuhan rambut
penanganannya. Luka bakar masih menjadi dibandingkan pemakaian antibiotik. Selainitu,
masalah karena angka morbiditas dan mortalitas madu diduga berperan sebagai antibakteri dan
yang tinggi, terutama pada luka bakar derajat II saat ini sudah dimanfaatkan sebagai penanganan
dan III yang lebih dari 40%, dengan angka korban luka bakar sudah diketahui banyak
kematian 37,38%.2 manfaatnya. Namun belum ada pembuktiannya
Penanganan dalam penyembuhan luka secara ilmiah. Untuk itu, perlu dilakukan
bakar antara lain mencegah infeksi dan memberi penelitian mengenai peran madu sebagai
kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk antibiotika pada luka bakar.3,4,5

Medula|Volume 7 Nomor 5|Desember 2017|71


Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar

Isi dimulainya proses penyembuhan. Penyembuhan


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan seperti ini disebut penyembuhan primer. Apabila
atau kehilangan jaringan yang disebabkan adanya luka yang terjadi cukup parah seperti adanya
kontak dengan sumber panas seperti api, air kerusakan epitel yang menyebabkan kedua tepi
panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Kerusakan luka berjauhan maka disebut penyembuhan
jaringan yang disebabkan api lebih berat sekunder atau penyembuhan dengan granulasi.
dibandingkan air panas. Selain itu lama kontak Mekanisme tubuh akan mengupayakan mengem-
jaringan dengan sumber panas menentukan luas balikan komponen-komponen jaringan yang
dan kedalaman kerusakan jaringan sangat rusak tersebut dengan membentuk struktur baru
menentukan lama proses penyembuhan. dan fungsional sama dengan keadaan sebe-
Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan lumnya. Berdasarkan perubahan morfologik,
dalam kerusakan jaringan yang terjadi.1 terdapat tiga fase persembuhan luka yaitu fase
Luka bakar merupakan respon kulit dan inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi.9,10
jaringan subkutan terhadap trauma suhu/ termal Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi
seperti api, air panas, listrik atau zat-zat yang pada kulit mati yang merupakan medium yang
bersifat membakar seperti asam kuat dan basa baik untuk pertumbuhan kuman akan memper-
kuat. Luka bakar dengan ketebalan parsial mudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena
merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler
kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. yang mengalami trombosis. Padahal pembuluh ini
Luka bakar dengan ketebalan penuh merusak membawa nutrisi dan sistem pertahanan tubuh
semua sumber-sumber pertumbuhan kembali atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada
epitel kulit.6,7 luka bakar selain berasal dari kulit penderita
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan sendiri juga bisa didapat dari kontaminasi saluran
derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka nafas dan kontaminasi kuman di lingkungan
bakar. Beratnya luka tergantung pada dalam, rumah sakit. Infeksi Pseudomonas sp dapat dilihat
luas, dan letak luka. Umur dan kesehatan dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar.
penderita sebelumnya juga mempengaruhi Kuman memproduksi enzim penghancur krusta
prognosis. Kedalaman luka bakar ditentukan oleh yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan
tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu granulasi membentuk nanah. Infeksi ringan dan
tinggi.7.8 noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan krusta
Terdapat 3 derajat pada luka bakar. Luka yang mudah terlepas dengan nanah yang banyak.
bakar derajat I hanya mengenai lapis luar Infeksi yang invasif ditandai dengan krusta yang
epidermis, kulit merah, sedikit edema dan nyeri. kering dengan perubahan jaringan di tepi krusta
Tanpa terapi sembuh dalam 2-7 hari. Luka bakar yang mula-mula sehat menjadi nekrotik,
derajat II mengenai epidermis dan sebagian akibatnya luka bakar yang mula-mula derajat dua
dermis, terbentuk bula, edema nyeri hebat. Bila bisa menjadi derajat tiga.10
bula pecah tampak daerah merah yang Saat ini sedang digalakkan pengobatan
mengandung banyak eksudat. Sembuh dalam 3-4 alami atau natural salah satunya adalah madu.
minggu. Luka bakar derajat III mengenai seluruh Madu merupakan cairan manis yang diproses
lapisan kulit dan kadang-kadang mencapai oleh lebah yang berasal dari sari pati atau tepung
jaringan di bawahnya. Tampak lesi pucat sari bunga dan oleh lebah dijadikan sebagai
kecoklatan dengan permukaan lebih rendah dari bahan baku yang disebut nectar. Nectar didapat
pada bagian yang tidak terbakar. Bila luka akibat pada sel tumbuhan. Lebah madu mengumpulkan
kontak langsung dengan nyala api, terbentuk lesi madu di dalam sarang dengan menyimpan sebuk
yang kering dengan gambaran koagulasi seperti sari bunga (pollen). Sejak ribuan tahun yang lalu
lilin di permukaan kulit, tidak ada rasa nyeri sampai sekarang ini, madu telah dikenal sebagai
(dibuktikan dengan tes pin-prick) dan luka akan salah satu bahan makanan atau minuman alami
sembuh dalam 3-5 bulan dengan sikatrik.7,8 yang mempunyai peranan penting dalam
Persembuhan luka merupakan suatu kehidupan.11,12
proses yang kompleks karena berbagai kegiatan Madu merupakan salah satu sumber
bioseluler dan biokimia terjadi berkesinam- makanan yang baik. Asam amino, karbohidrat,
bungan. Jenis persembuhan yang paling protein, beberapa jenis vitamin serta mineral
sederhana dapat terlihat pada insisi pembedahan adalah zat gizi dalam madu yang mudah diserap
yang tepi lukanya dapat saling didekatkan untuk oleh sel-sel tubuh. Sejumlah mineral yang
Medula|Volume 7 Nomor 5|Desember 2017|72
Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar

terdapat dalam madu seperti magnesium, kalium, Arif (2013) melakukan penelitian pada
potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. sampel tikusputih dan didapatkan hasil tingkat
Madu juga mengandung vitamin, seperti vitamin penyembuhan luka bakar hari ke 14. Tikus dibagi
E dan vitamin C serta vitamin B1, B2 dan B6. menjadi 3 kelompok secara random yaitu: K1
Selainitu, terdapat juga unsur-unsur yang lebih (kontrol), K2 (madu 100%), K3 (Gentamisin
kecil lagi, yaitu: 1) Zat pigmen yang berupa Topikal Gel 0,1%×10gr) setelah 14 hari perlakuan
carotene, klorofil, dan sejumlah unsur-unsur dilakukan pengamatan. Dari hasil penelitian luka
turunan klorofil, dan xantofil; 2) unsur-unsur bakar pada kulit tikus tidak terdapat perbedaan
aroma terkandung adalah triptofan, aldehida, bermakna antara kelompok K2 dan K3 dengan
alkohol, dan ester; 3) senyawa gula alkohol yaitu nilai p=0,585. Berdasarkan hasil penelitian
manitol, dulcitol, tanin dan asetilkolin; 4) enzim- perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar
enzim pada madu yaitu invertase, diastase, terhadap pemberian madu dan gentamisin
glukosa, oksidase, katalase, fosfatase, dan topikal dapat disimpulkan bahwa madu dapat
peroksidase; 5) zat yang bersifat antibiotik dan dijadikan sebagai obat alternatif pada luka bakar
antiviral yaitu polypenol dan glykosid; 6) hormon- sebagai pengganti antibiotik gentamisin topikal,
hormon nabati, hormon-hormon turunan terutama di daerah terpencil yang sulit untuk
esterogen, prostalglandin, unsur-unsur pengaktif mendapatkan antibiotik gentamisin topikal.17
organ-organ reproduksi pada jantan dan betina.11
Keistimewaan madu sendiri antara lain: 1) Ringkasan
bertahan untuk jangka waktu yang panjang yaitu Luka bakar adalah suatu kehilangan
sekitar dua tahun dengan syarat disimpan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber
ditempat yang kelembabannya terkontrol; 2) anti panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik
mikroba sehingga bakteri dan jamur tidak dapet dan radiasi. Salah satu tatalaksana luka bakar
berkembang pada madu dan komposisi gula di adalah pemberian madu topikal.
dalam madu yang mencapai 80% dari komposisi Madu merupakan cairan manis yang
madu itu sendiri; 3) menjaga ketahanan jaringan diproses oleh lebah yang berasal dari sari pati
sel-sel. 11,13 atau tepung sari bunga, yang dijadikan lebah
Hardian (2006) melakukan penelitian sebagai bahan baku yang disebut nektar, yang
pada sampel marmut dan didapatkan didapat pada sel tumbuhan. Madu dapat
penyembuhan luka yang diberikan madu (nektar membantu mempercepat penyembuhan luka
flora) lebih cepat yaitu 9,67 hari, sedangkan pada bakar dikarenakan efek antibiotika dan
kelompok silver sulfadiazine didapat 10 hari, dan antiviralnya yang menekan pertumbuhan kuman
kelompok control negatif selama 19,17 hari. pada luka.4,6,7
Selain itu, hasil penelitian penggunaan madu Kandungan madu Asam amino,
terhadap luka bakar menjadi steril dalam waktu karbohidrat, protein, dan beberapa jenis mineral
2-6 hari untuk kelopok yang diberikan madu, 7 dan vitamin yang terdapat dalam madu seperti
hari untuk kelompok silver sulfadiazine, dan 7-10 magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin,
hari untuk kelompok kontrol.14,15 sulfur, besi dan fosfat. Madu juga mengandung
Terdapat beberapa faktor lain yang vitamin, seperti vitamin E dan vitamin C serta
memperkuat efek antibiotika pada madu , yaitu vitamin B1, B2 dan B6 membantu nutrisi dalam
osmolaritas madu yang tinggi. Pada beberapa proses penyembuhan luka bakar. Madu juga
madu kandungan gulanya bisa mencapai 80% mampu untuk menghambat pertumbuhan
yang terdiri dari glukosa, fruktosa, maltosa dan bakteri sehingga mempercepat penyembuhan.
sukrosa. Kurang dari 18% komponennya adalah Selain itu, madu juga bersifat higroskopik dan
air sehingga mempunya osmolaritas yang tinggi. tidak ada mikroba yang dapat hidup didalamnya.
Kandungan Hidrogen peroksida yang berperan Hal ini didukung oleh osmolaritas madu yang
sebagai glukosa oksidase yang merupakan salah tinggi serta keasaman yang dimiliki madu. Madu
satu enzim yang dikeluarkan oleh lebah kepada juga telah memiliki standarisasi secara nasional,
madu. Enzim ini dapat mengubah senyawa mudah didapat dan dapat bertahan dalam
glukosa dan menghasilkan hidrogen peroksida. penyimpanan untuk waktu yang lebih lama.7,10,11
Madu mempunyai keasaman yang rendah yaitu
pH 3,2-4,5 sehingga mampu untuk menghambat
pertumbuhan bakteri.14,15,16

Medula|Volume 7 Nomor 5|Desember 2017|73


Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar

Simpulan 9. Price AS. McCarty WL. Patofisiologi konsep


Madu dapat digunakan dalam tatalaksana klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC;
luka bakar, karena madu memiliki kandungan 2002.
antibakteri dan antiviral serta memiliki nutrisi 10. Prasetyo AT, Herihadi E. The application of
yang dibutuhkan sehingga dapat mempercepat moist exposed burn ointment. European
penyembuhan luka bakar. Journal of Medical Research. 2006;6:142-25.
11. Saqa M. Pengobatan dengan madu. Jakarta:
Daftar Pustaka Pustaka Al-Kautsar; 2010.
1. Syuhar MN, Windarti I, Kurniawati E. 12. Sulistyorini CA. Inventarisasi tanaman pakan
Perbandingan tingkat kesembuhan luka lebah madu apis cerana di perkebunan teh
bakar derajat 2 antara madu dengan daun Gunung Mas Bogor. Bogor: IPB; 2006.
binahong. Medical Journal of Lampung 13. Suranto A. Terapi madu. Jakarta: Penebar
University. 2008;3(5):103–12. Plus; 2007:27-28.
2. Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi ke-2. Jakarta: 14. Handian FI. Efektivitas perawatan
Balai Penerbit FKUI; 2003. menggunakan madu nektar flora
3. Ratnayani K, Adhi NM, Gita DI. Penentuan dibandingkan dengan silver sulfadiazine
kadar glukosa dan fruktosa madu randu dan terhadap penyembuhan luka bakar derajat 2
madu kelengkeng dengan metode terinfeksi pada marmut [skripsi]. Malang:
kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal Kimia Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya;
2. 2008;2(22):77-86. 2006.
4. Mundo MA, Padilla-Zakour OI, Worobo RW. 15. Kartini M. Efek penggunaan madu dalam
Growth inhibition of food pathogens and manajemen luka bakar. Jurnal Kesehatan.
spoilage organisms by selected raw honey. 2009;2(2):141-20.
International Journal of Food Microbiology. 16. Molan PC. The evidence supporting the use
2004;97(1):1-8. of honey as a wound dressing. International
5. Song C. Penanganan luka bakar terkini. Inc Journal of Lower Extremity Wounds.
Penangan Luka Bakar. 2006: 23-5. 2006;5(1):40-54.
6. Grace PA, Borley NR, Safitri A. At a glance 17. Arif Mz. Perbandingan tingkat kesembuhan
ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga; luka bakar dengan pemberian madu dan
2006. pemberian gentamisin topikal pada tikus
7. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan putih (rattus norvegicus) [skripsi]. Bandar
medik. Jakarta: Bina Rupa Aksara; 2017. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas
8. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku ajar ilmu Lampung; 2013.
bedah. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2005.

Medula|Volume 7 Nomor 5|Desember 2017|74


SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

FORMULASI KRIM EKSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR


(Ipomoeae batatas L.) UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR

Farida Rahim, Mimi Aria, Nurwani Purnama Aji


STIFI Perintis Padang

ABSTRACT

Formulation of cream for treatment of burns has been studied. Cream formula
consisting of 3% ethanolic extract of sweet potato leaves as an active ingredient. Cream
bases used in this study were variated with and without Virgin Coconut Oil (VCO). The
formulas were evaluated for their organoleptic, homogeneity, pH, cream type, particle
size distribution, skin irritation test and effects on burns. The evaluation results showed
that ethanolic extract of sweet potato leaves can be formulated in creams which are
physicaly stable and provide a healing effect on burns, tested on animals. The results
showed that the F1B formula has the fastest healing effect on burns (7 days). From the
statistical calculation using one-way analysis of variant (ANOVA) we found that sweet
potato leaf ethanolic extract-containing cream provide healing on burns, where the value
of F count treatment is smaller than the F table at α 0.05.

Keywords: Ipomoeae batatas, cream, VCO, burns

PENDAHULUAN Virgin coconut oil merupakan


minyak yang berasal dari buah kelapa
Negara Indonesia merupakan (Cocos nucifera) tua segar yang
salah satu negara agraris yang memiliki diperoleh pada suhu rendah (<600C)
potensi untuk mengembangkan buah- yang terbentuk setelah santan didiamkan
buahan tropis, tanaman holtikultural, dalam beberapa hari (Setiaji, 2006)
sayur-sayuran dan tanaman pangan. tanpa proses pemutihan sehingga
Banyak sekali tanaman di Indonesia menghasilkan minyak murni. VCO
yang memiliki potensi besar untuk memiliki sederet manfaat dan khasiat
dikembangkan secara komersil, salah baik untuk medis maupun kosmetika.
satunya digunakan sebagai bahan obat Kandungan dari VCO salah satunya
(Rukman, 1997; Argomedia, 2008). adalah asam lemak rantai tak jenuh yang
dapat menghalangi radikal bebas dan
Salah satu jenis tumbuhan yang mempertahankan sistem kekebalan. Hal
digunakan sebagai obat tradisional ini membuat VCO bermanfaat untuk
adalah ubi jalar (Ipomoea batatas L) mencegah dan mengobati berbagai
dari famili Convolvulaceae. Bagian gangguan kesehatan. VCO juga
tumbuhan ubi jalar yang digunakan memiliki tekstur krim alami, bebas dari
adalah daun yang mengandung beberapa pestisida, dan kontaminan lainnya,
senyawa seperti saponin, flavonoid, susunan molekular kecilnya
polifenol dan umbinya mengandung memudahkan penyerapan serta memberi
beberapa senyawa seperti protein, tekstur yang lembut dan halus pada kulit
lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat (Hadibroto, 2006).
besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2,
vitamin C (Rukmana,1997).

21
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

Dari penjelasan di atas dicoba Tabel I. Formula Basis Krim


membuat formula ekstrak etanol daun
ubi jalar dan Virgin Coconut Oil (VCO) Nama Bahan F0A F0B
dalam bentuk krim untuk pengobatan Asam stearat 14,5 14,5
luka bakar. Krim dipilih karena sediaan Trietanolamin 1,5 1,5
ini mempunyai keuntungan diantaranya adeps lanae 3 3
mudah dioleskan pada kulit, mudah Paraffin liquidum 25 5
dicuci setelah dioleskan, krim dapat Virgin Coconut Oil (VCO) - 20
Nipagin 0,1 0,1
digunakan pada kulit dengan luka yang
Nipasol 0,05 0,05
basah, dan terdistribusi merata.
Aquadest ad 100 100
Selanjutnya digunakan hewan percobaan
untuk menguji aktifitasnya dalam Keterangan :
pengobatan luka bakar. Hewan F0A = Krim tanpa Virgin Coconut Oil
percobaan yang digunakan adalah (VCO)
mencit putih. F0B = Krim dengan Virgin Coconut Oil

Basis krim dibuat dengan cara:


METODE PENELITIAN Semua bahan yang diperlukan
ditimbang, kemudian fase minyak
Bahan yang digunakan adalah dipindahkan dalam cawan penguap,
daun ubi jalar putih, Virgin Coconut Oil dipanaskan diatas waterbath dengan
(VCO), etanol 96%, asam stearat, suhu 70oC sampai lebur. Fase air di
trietanolamin, adeps lanae, paraffin panaskan di atas waterbath pada suhu
liquid, nipagin, nipasol, aquadest. 70oC sampai lebur. Fase minyak
dipindahkan kedalam lumpang dan
Alat yang digunakan adalah ditambahkan fase air (pencampuran
alat-alat gelas standar laboratorium, dilakukan pada suhu 60oC–70oC),
kaca arloji, cawan penguap, botol digerus sampai dingin dan terbentuk
semprot, corong, kertas perkamen, pH masa krim yang homogen.
meter Inolab, timbangan digital, mortir,
stamper, waterbath, oven vakum, lemari Tabel II. Formula Krim Ekstrak Etanol
pendingin, desikator, buret, botol daun ubi jalar
marserasi, rotary evaporator, pipet tetes,
krus porselin, oven, batang pengaduk, Nama Bahan F1A F1B
plat tetes, pinset. Ekstrak etanol daun ubi 3% 3%
jalar
Ekstrak daun ubi jalar dibuat Basis Krim ad 100 100
dengan cara maserasi selama lima hari
menggunakan etanol 96%. Ekstrak Keterangan :
kental yang diperoleh dievaluasi F1A = Krim dengan konsentrasi Ekstrak
organoleptis, kelarutan, penetapan Etanol daun ubi jalar 3% tanpa
kandungan air, kadar abu, pemeriksaan VCO
pH, kandungan kimia. F1B = Krim dengan konsentrasi Ekstrak
Etanol daun ubi jalar 3% dengan
VCO

Krim dibuat dengan cara:


ekstrak etanol daun ubi jalar 3% dan
ditimbang dan digerus dalam lumpang
serta ditambahkan sedikit demi sedikit

22
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

basis krim ad 100 g, digerus pelan-pelan menjadi pucat hilang. Pada pengujian
sampai homogen. efek ini digunakan Lanakeloid-E®
sebagai pembanding.
Evaluasi basis krim dan krim
meliputi pemeriksaan organoleptis, HASIL DAN PEMBAHASAN
homogenitas, tipe krim, pH, distribusi
ukuran partikel, daya tercuci krim dan Ekstrak etanol daun ubi jalar
uji iritasi kulit. dan VCO diformula dalam bentuk krim,
dengan konsentrasi ekstrak 3%. Basis
Uji efek luka bakar dilakukan krim dan krim yang dibuat dievaluasi
dengan menggunakan hewan percobaan meliputi pemeriksaan organoleptis,
masing-masing 3 ekor untuk tiap homogenitas, pemeriksan tipe krim, pH
kelompok formula. Spatel dibakar krim, yang dilakukan setiap minggu
dengan nyala api selama 60 detik, spatel selama 8 minggu.
tersebut ditempelkan selama 5 detik
pada kulit punggung mencit yang sudah Pemeriksaan organoleptis
dirontokkan bulunya. Pada kulit yang terhadap formula basis krim dan krim
melepuh atau mengalami luka bakar ekstrak etanol daun ubi jalar tidak
tersebut dioleskan formula krim secara menunjukkan adanya perubahan bentuk,
tipis dan merata 3 kali sehari untuk warna dan bau. Pada pemeriksaan
masing-masing formula. Kemudian homogenitas basis krim dan krim
dilakukan pengamatan setiap hari untuk ekstrak etanol daun ubi jalar
melihat efeknya sampai terjadi menunjukkan bahwa semua sediaan
penyembuhan total. Parameter yang telah homogen dan terdispersi merata,
diamati adalah hilangnya vesikel dan pemeriksaan ini dilakukan setiap
perubahan warna kulit dari pucat minggu selama 8 minggu pengamatan.

Tabel III. Hasil Pemeriksaan Organoleptis Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L.)
Minggu ke
No Formula Organoleptis
I II III IV V VI VII VIII
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
1. F0A Warna P P P P P P P P
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
2. F0B Warna Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
3. F1A Warna P P P P P P P P
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
4. F1B Warna Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Keterangan : F0A : Basis krim tanpa Virgin Coconut Oil (VCO)
F0B : Basis krim dengan Virgin Coconut Oil (VCO)
FIA : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % tanpa VCO
FIB : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % dengan VCO
Hi : Hijau
P : Putih
SP : Setengah Padat
BK : Bau khas

23
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

Pemeriksaan tipe krim yang Hasil pemeriksaan pH dilakukan


dilakukan dengan menggunakan zat dengan menggunakan alat pH meter
warna yaitu metilen blue inolab, pemeriksaan pH dilakukan
memperlihatkan penyebaran metilen terhadap basis krim dan krim ekstrak
blue yang merata setelah diteteskan pada etanol daun ubi jalar dan hasil
selapis krim diatas kaca objek. pemeriksaan pH krim diperoleh pH
berkisar antara 7,26–8,56.

Tabel IV. Hasil Pemeriksaan pH Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar ( Ipomoea batatas L.)

Minggu ke Rata-
No Formula I II III IV V VI VII VIII rata
1. FOA 7,78 8,56 8,21 8,17 7,98 8,12 8,22 8,19 8,15
2. FOB 7,81 7,74 7,81 7,84 7,57 7,53 7,62 7,69 7,70
3. F1A 8,27 7,92 7,86 8,02 7,48 7,65 7,51 7,53 7,78
4. F1B 8,0 8,06 8,04 7,73 7,26 7,61 7,41 7,45 7,69

Pada pemeriksaan distribusi memberikan variasi waktu


ukuran partikel diperoleh rata-rata penyembuhan. Formula yang
ukuran panjang FOA = 4,8095 µm, FOB memberikan waktu penyembuhan paling
= 4,837 µm, F1A = 6,783 µm, F1B = cepat adalah formula F1B dimana waktu
4,991 µm. Hasil pengamatan distribusi yang diperlukan untuk penyembuhan
ukuran partikel basis krim dan krim selama 7 hari, Sedangkan FOA
ekstrak etanol daun ubi jalar memberikan waktu penyembuhan
menunjukan rata-rata ukuran panjang selama 11 hari, FOB memberikan waktu
kecil dari 10 µm, hasil yang didapat penyembuhan selama 9 hari, F1A dan
masih memenuhi syarat karena dalam Lanakloid-E memberikan waktu
literatur dinyatakan ukuran partikel yang penyembuhan 8 hari.
stabil secara fisik antara 1- 50 µm.
Hal ini menunjukkan bahwa
Hasil pemeriksaan uji iritasi basis krim dan krim ekstrak etanol daun
dilakukan langsung pada manusia ubi jalar dapat digunakan untuk
dengan cara uji tempel tertutup dimana penyembuhan luka bakar. Krim ekstrak
0,1 gr sediaan uji dioleskan pada lengan etanol daun ubi jalar dengan
atas bagian dalam dengan luas 4 cm2 , menggunakan basis krim yang
kemudian ditutup dengan kain kasa. mengandung Virgin Coconut Oil (VCO)
Setelah 24 jam diamati gejala yang mampu memberikan efektifitas lebih
timbul. Pemeriksaan ini dilakukan cepat dibandingkan dengan formula
terhadap 5 orang sukarelawan pada lainnya. Daun ubi jalar yang digunakan
masing-masing formula. Hasil mengandung flavonoid, saponin dan
pemeriksaan uji iritasi pada 5 orang polifenol, dimana saponin ini
sukarelawan menunjukkan tidak ada mempunyai kemampuan sebagai
satupun formula basis krim dan krim pembersih sehingga dapat membantu
ekstrak etanol daun ubi jalar yang mempercepat penyembuhan luka
mengakibatkan iritasi pada kulit panelis. terbuka. Flavonoid yang terkandung
didalam daun ubi jalar dapat digunakan
Pada uji efek basis krim dan sebagai pencegahan terhadap infeksi
krim ekstrak etanol daun ubi jalar dan luka karena mempunyai daya antiseptik
basis krim yang mengandung VCO dan (Harborne, 1987), sedangkan polifenol
yang tidak mengandung VCO terhadap
pengobatan luka bakar, ternyata

24
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

berkhasiat sebagai adstringen jika SARAN


dioleskan pada jaringan hidup, polifenol
dalam pengobatan berkhasiat sebagai Disarankan kepada peneliti
antiseptik yang berfungsi sebagai selanjutnya untuk memformula ekstrak
pelindung pada kulit dan bermanfaat etanol daun ubi jalar dalam bentuk
untuk regenerasi jaringan, VCO yang sediaan dan melakukan uji efektifitas
digunakan mampu mempercepat farmakologi yang lain.
penyembuhan luka bakar karena
merupakan minyak yang mengandung
asam lemak jenuh rantai sedang yang DAFTAR PUSTAKA
mendukung penyembuhan dan
perbaikan jaringan tubuh (Gani et al, Ancel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk
2005). Dari perhitungan uji statistik Sediaan Farmasi, Ed. 4, alih
analisa variasi satu arah (ANOVA) bahasa oleh Farida Ibrahim,
diketahui bahwa krim ekstrak etanol Penerbit Universitas Indonesia.
daun ubi jalar dapat memberikan Jakarta.
penyembuhan terhadap luka bakar, Anief, M., 1990, Ilmu Meracik Obat,
dimana nilai F hitung perlakuan lebih Gaja Mada University Press,
kecil dari pada F tabel pada α 0,05. Yogyakarta.
Anief, M., 1994, Farmasetika, Gajah
KESIMPULAN Mada University Press,
Yogyakarta.
Berdasarkan penelitian yang Argomedia redaksi, 2008, Buku Pintar
telah dilakukan dapat diambil Tanaman Obat, Argomedia
kesimpulan sebagai berikut : Pustaka, Jakarta.
Asrahyuni, H., 2006, Formulasi Gel
1. Ekstrak etanol daun ubi jalar dan Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar.
Virgin Coconut Oil (VCO) dapat (Ipomoea batatas L.), Skripsi,
diformulasi dalam bentuk krim yang Fakultas Farmasi, Sekolah Tinggi
stabil secara fisika dan kimia selama Farmasi Indonesia Yayasan
8 minggu penyimpanan. Perintis, Padang.
Effendi, C., 1998, Parameter Pasien
2. Formula krim ekstrak etanol daun Luka Bakar, Penerbit Buku
ubi jalar (Ipomoea batatas L.) Kedoteran, Yogyakarta.
dengan basis krim yang Gani, Z., Herlinawati, Y., Dede, 2005,
mengandung VCO (F1B) Bebas Segala Penyakit dengan
memberikan efek penyembuhan VCO, Puspa Swara, Jakarta.
luka bakar yang paling cepat yaitu 7 Goodman, L.S., and Gilman, 1991,
hari. Pharmacologycal Basis of
th
Terapheutic, 8 Edition,
3. Dari perhitungan uji statistika Pergamos Press, New York.
analisa variasi satu arah (ANOVA) Hadibroto, C., Waluyo, Srikandi, 2006,
diketahui bahwa krim ekstrak etanol Diet VCO, PT. Gramedia, Jakarta.
daun ubi jalar dapat memberikan Harahap, M., 1990, Penyakit Kulit, PT.
penyembuhan terhadap luka bakar, Gramedia, Jakarta.
dimana nilai F hitung perlakuan Harbone, J.B., 1987, Metoda Fitokimia
lebih kecil dari pada F tabel pada α Penentuan Cara Modern
0,05 Menganalisa Tumbuhan, alih
bahasa oleh Kosasih

25
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

,Padmawinata, Terbitan ITB, Tinggi Farmasi Indonesia


Bandung. Yayasan Perintis. Padang.
Hariana, A., 1995, Tumbuhan Obat dan Rukmana, R., 1997, Ubi Jalar Budi
Khasiatnya, Kanisius, Daya dan Pasca Panen, Kanisius,
Yogyakarta. Yogyakarta.
Jellinek, S.J., Formulation and Serial, F., 2005, Terapi Minyak Nabati
Fundaction of Cosmetics, Willey Keampuhan VCO dan 16 Minyak
Intercienci, New York, London. Ajaib, Cetakkan ke-1, PT
Juanda, D., 2000, Ubi Jalar Budidaya Samindra Utama, Jakarta.
dan Analisis Usaha Tani, Setiaji, B., 2006, Membuat VCO
Kanisius, Yogyakarta. Berkualitas Tinggi, Cetakan ke-2,
Khristianto, 2009, Penebar Swadaya, Jakarta.
http://ekasi.com/indek.php/inf- Syamsuni, H., 2006, Farmasetika
sehat/292-daun-ular-obat-dbd- Dasar dan Hitungan Farmasi,
paling-ampuh-?format=pdf Jakarta.
Lachman. L., H.A. Lieberman and J.L The National Formulary, 2007, USP
Kaning, 1994, Teori dan Praktek 30/ NF 25 Volume III, United
Farmasi Industri II, Ed.3, alih States of America.
bahasa oleh S.Suyami, Penerbit Voight, R., 1995, Buku Pelajaran
Universitas Indonesia, Jakarta. Teknologi Farmasi, Ed.5, alih
Mantagha, W., 1974, The Structure and bahasa oleh S.Noer, Universitas
Fuction of the Skin, New York. Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Martin, H.F., 1998, Fundamental of
Anatomy and Phsiologi, 4th
Edition, Prentice hall
International, Inc.
Martin, A.N. et al., 1962, Physical
pharmacy, 2th Edition, Lea and
Febiger, Philadelphia.
Moenajad, Y., 2001, Luka Bakar
Pengetahuan Klinis Praktis, Ed.
2, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Mursito, B., 2004, Sehat Diusia Lanjut
Dengan Ramuan Tradisional,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Osol, A.H., 1975, Remigton
Pharmaceutical Science, 15th
edition, Mack Publishing Comp,
Easton, Pennsyluania.
Padda, M.S., 2006, Phenolic
Composition And Antioxidant
Activity Of Sweet Potatoes,
http//:etd.Isu.edu/docs/available/e
td-04062006-085455/
unrestricted/padda-dis.Pdf.
Rahim, F., 2006, Formulasi Krim
Minyak Kelapa Murni Untuk
Penyubur Rambut, Laporan
Penelitian Dosen Muda, Sekolah

26
Jurnal Penelitian Perawat Profesional
Volume 2 Nomor 1, Februari 2020
e-ISSN 2715-6885; p-ISSN 2714-9757
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP

POTENSI TANAMAN ZIGZAG SEBAGAI PENYEMBUH LUKA


Milatul Fauziah*, Firinda Soniya
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, Jl. Prof. Dr. Ir. Sumantri Brojonegoro No.1, Gedong Meneng,
Kec. Rajabasa, Kota Bandar Lampung, Lampung, Indonesia 35145
*milatulfauziah03@gmail.com (+6285214940913)

ABSTRAK
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Luka yang tidak mendapatkan
perawatan yang semestinya dapat berakibat fatal. Proses penyembuhan luka terdiri dari hemostasis,
inflamasi, proliferasidanremodelling. Pengobatan alternatif dalam penyembuhan luka secara empiris
dapat menggunakan daun dan batang zigzag (Pedilanthus tithymaloides (L.) Poit.). Tanaman ini
mengandung sejumlah zat aktif seperti beta-sitosterol, flavonoid, fenol, 5-S-
’methylthioadenosindan1,4-dihydroquinone dengan efek antioksidan yang berperan dalam proses
penyembuhan luka. Selain itu, efek analgesiknya juga dapat mengurangi rasa sakit dari luka
tersebut. Pedilanthus tithymaloides juga mampu menginhibisi beberapa jenis bakteri sebagai efek
antimikrobial untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka.

Kata kunci: luka, proses penyembuhan luka, tanaman zigzag

POTENTIALS OF ZIGZAG PLANTS AS WILD HEALERS

ABSTRACT
Injury is the loss or damage of some body tissues. Injuries that do not get proper treatment can be
fatal. The wound healing process consist of hemostasis, inflamation, proliferation, and remodelling.
An alternative medicine in empirically healing wounds can use zigzag leaves and stems
(Pedilanthus tithymaloides (L.) Poit.). This plant contain some active subtances such as beta-
sitosterol, flavonoids, phenol, 5-S-‘methylthioadenosin and 1,4-dihydroquinone that have an
antioxidant effect for a faster wound healing. Besides, this plant has an nalgetic effect that reduce
of pain from the wound. Pedilanthus tithymaloides also can inhibit some kind of bacterials as its
antimicrobial effect to prevent from infection of the wound.

Keyword : wound, wound healing process, zigzag plants

PENDAHULUAN juta kasus, luka lecet 20.4 juta kasus, luka


Angka kejadian luka di dunia sepanjang bakar 10 juta kasus, dan ulkus dekubitus
tahun semakin meningkat, termasuk luka 8.5 juta kasus. Sedangkan penelitian
akut ataupun luka kronik. Pada tahun lainnya yang dilakukan oleh Nussbaum
2009 penelitian yang dilakukan di dkk (2018) terhadap pasien yang
Amerika menyebutkan bahwa prevalensi menerima pengobatan dilaporkan
pasien luka adalah 350 per 1000 populasi. setidaknya terdapat 82 juta pasien luka
Etiologi luka pada pasien bervariasi dengan atau tanpa infeksi (Diligence,
dengan data yang didapat yaitu luka 2009). Prevalensi pasien luka di
bedah 113.3 juta kasus, luka trauma 1.6 Indonesia menurut Departemen

39
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, Volume 2 No 1 Hal 39 - 44, Februari 2020
Global Health Science Group

Kesehatan RI tahun 2013 sebesar 8.2% luas. Selain itu, pengelolaan luka menjadi
dengan angka tertinggi terdapat di salah satu faktor penentu hasil akhir
provinsi Sulawesi Selatan yaitu 12.8% proses penyembuhan luka. Sehingga
dan jenis luka tertinggi yang dialami obat-obatan yang mengandung agen anti
penduduk Indonesia adalah luka lecet inflamasi atau antibiotik penggunaannya
sebesar 70.9%. Etiologi luka terbanyak diperlukan dalam proses pencegahan
adalah jatuh sebanyak 40.9% kemudian infeksi dan mempercepat penyembuhan
disusul kecelakaan motor sebanyak luka. Adapun beberapa tanaman diketahui
40.6% (Riskesdas, 2013). memiliki aktivitas anti inflamasi yang
baik sehingga tidak sedikit yang
Proses penyembuhan luka secara umum menggunakannya untuk mempercepat
merupakan suatu mekanisme seluler yang proses penyembuhan luka. Salah satu
kompleks dan berfokus pada jenis tanaman yang diketahui berpotensi
pengembalian kontinuitas jaringan yang tersebut yaitu tanaman Zigzag atau
rusak. Terdapat empat tahapan penting (Pedilanthus tithymaloides (L). Poit)
yang terjadi secara terus-menerus seperti (Jumain dkk, 2017).
hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan
diferensiasi atau remodelling. Hemostasis METODE
terjadi segera pada awal terjadinya cedera Penelitian ini dilakukan dengan metode
yang bertujuan untuk menghentikan literature review, dimana peneliti
perdarahan dengan adanya agregasi mencari, menggabungkan inti sari, serta
platelet dan vasokonstriksi yang menganalisis fakta dari beberapa sumber
dimediasi trombosit. Pada tahap ilmiah yang akurat dan valid. Studi
inflamasi, sel-sel di sekitar jaringan yang literatur menyajikan ulang materi yang
cedera akan mengaktivasi pelepasan diterbitkan sebelumnya dan melaporkan
sitokin yang menginduksi fagositosis dan fakta atau analisis baru. Tinjauan literatur
memulai perbaikan jaringan yang luka. memberikan ringkasan berupa publikasi
Tahap proliferasi dimulai dengan proses terbaik dan paling relevan, kemudian
epitalisasi dan granulasi yang baru pada membandingkan hasil yang disajikan
permukaan jaringan luka serta dalam makalah.
pembentukan vaskularisasi di sekitar
jaringan yang berguna untuk HASIL
memperbaiki cedera sebelumnya. Tahap Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani
terakhir yaitu diferensiasi atau tahun 2010 mengenai efek infusa daun
remodelling bertanggungjawab untuk dan batang zig-zag (Pedilanthus
menyeimbangkan kembali antara sintesis tithymaloides L. Poit.) terhadap waktu
kolagen yang baru dan proses degradasi penyembuhan luka insisi pada mencit
atau pergantian jaringan yang telah rusak selama 7 hari didapatkan hasil berupa
(Reinke JM & Sorg H, 2012). waktu penyembuhan dengan durasi 5.8
hari lebih cepat dibandingkan kelompok
Meskipun mekanisme ini berlangsung kontrol yaitu 7 hari. Penelitian lain oleh
secara alami, proses penyembuhan pada Sriwiroch dkk tahun 2010 melalui studi
luka serius perlu mendapatkan perawatan histopatologis terhadap 42 mencit juga
dan penanganan yang semestinya untuk didapatkan hasil pada minggu kedua yaitu
mencegah kerusakan jaringan yang lebih adanya sebukan fibroblas homogen

40
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, Volume 2 No 1 Hal 39 - 44, Februari 2020
Global Health Science Group

berwarna merah muda pada jaringan Penyembuhan luka juga dipenngaruhi


granulasi area luka kelompok hewan coba oleh faktor-faktor di dalam tubuh, yaitu
yang diberi perlakuan dibandingkan IL-6, FGF-1, FGF-2, kolagenase, H2O2,
kelompok kontrol yang masih terdapat serta BM-MSCs. Perwatan luka dapat
banyak pembuluh darah kecil dan leukosit dilakukan dengan menggunakan selulosa
(Sriwiroch dkk, 2010). mikrobial, balutan luka, maupun
modifikasi sistem vakum. Pengembangan
PEMBAHASAN formula dari sistem dan basis yang
Luka adalah suatu kondisi rusaknya digunakan juga dilakukan untuk
kontinuitas jaringan, struktur dan fungsi membantu proses penyembuhan luka. Zat
anatomis kulit normal akibat adanya aktif dari bahan alam pun gencar
proses patologis yang berasal dari dikembangkan sebagai alternatif
lingkungan internal ataupun eksternal dan pengobatan (Purnama, 2017).
mengenai organ tertentu. Perawatan dan
pengelolaan terhadap luka dalam hal ini Tanaman Zig-zag dengan nama latin
menjadi salah satu faktor yang Pedilanthus tithymaloides (L.) Poit.
menentukan hasil akhir dari proses adalah salah satu jenis tanaman terna
penyembuhan luka (Lostapa dkk, 2016; yang biasa dipelihara sebagai tanaman
Sinaga, 2012). hias atau tanaman pagar. Tanaman ini
dapat dimanfaatkan sebagai obat luar
Tahapan penyembuhan luka merupakan salah satunya yaitu untuk mempercepat
suatu proses kompleks yang terjadi secara penyembuhan luka (Jumain, 2017).
bertahap yang terdiri dari tahap Pedilanthus tithymaloides (L.) Poit.
hemostasis, inflamasi, proliferasi dan mengandung sejumlah zat aktif seperti
remodelling. Pada awal fase inflamasi, beta-sitosterol, flavonoid, fenol, 5-S-
faktor kemotaktik yang disekresikan akan ’methylthioadenosin dan 1,4-
menarik neutrofil dan makrofag untuk dihydroquinone. Beta-sitosterol dan
menghancurkan jaringan yang rusak flavonoid dalam daun dan batang
dengan bantuan dari proteinase, Reactive tanaman zig-zag berperan sebagai
Oxygen Species (ROS), dan Reactive antioksidan yang dapat mengurangi
Nitrogen Species (RNS). Pada fase tingkat radikal bebas dalam sel serta
proliferasi sejumlah faktor pertumbuhan memiliki kemampuan untuk
akan disekresi dalam jumlah yang banyak meningkatkan konsentrasi matriks
sehingga akan memicu pengeluaran ekstraseluler melalui penghambatan
Matriks Metalloproteinase (MMP). MMP aktivitas Matriks Metallopoteinase
merupakan kelompok endopeptidase yang (MMP). Deposisi matriks ekstraseluler
aktivitasnya dalam jumlah besar mampu kemudian akan mempercepat waktu
mendagradasi matriks ekstraseluler. penyembuhan luka dengan meningkatkan
Selain itu ROS dan RNS yang disekresi kekuatan jaringan sekitar luka. Selain itu
secara berlebih juga dapat menimbulkan 5-S-’methylthioadenosin dan 1,4-
efek toksik berupa kerusakan oksidatif dihydroquinone diketahui juga memiliki
berat pada kulit, termasuk komponen aktivias bakteriosatik dengan
seluler dan ekstraseluler (Shamim IA, mempengaruhi metabolisme beberapa
2016). bakteri (Ghosh S dkk, 2012).

41
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, Volume 2 No 1 Hal 39 - 44, Februari 2020
Global Health Science Group

Penelitian yang ditujukan untuk yang mampu mencegah infeksi pada luka.
mengetahui potensi ekstrak etanol yang Perlu adanya kajian lebih lanjut dari
terkandung dalam tumbuhan Pedilanthus berbagai artikel yang menunjang dari
tithymaloides sebagai penyembuh luka. penelitian ini guna mendapatkan hasil
Sebagai hasilnya, ekstrak 0.5% dari informasi yang lebih luas.
tumbuhan tersebut meemberikan hasil
penyembuhan luka yang lebih baik DAFTAR PUSTAKA
dibandingkan dengan ekstrak 1.5% Diligence M. (2009). Advanced medical
dikarenakan pada eksrak 1.5% memiliki technologies. Diunduh pada 30
tingkat konsentrasi yang terlalu tinggi Desember 2019 dari
sehingga menyebabkan iritasi dan http://mediligence.com
inflamasi yang kemudian penyembuhan
luka terhambat (Srivastava, 2019). Ghosh S, Samantha A, Mandal N,
Penelitian yang dilakukan oleh Jumain Bannerjee S, Chattopadhyay D.
pada tahun 2017 juga menunjukkan (2012). Evaluation of the Wound
bahwa tumbuhan zigzag memiliki efek Healing Activity of Methanol
analgetik yang baik saat diujikan pada Extract of Pedilanthus
mencit. Hal ini kemudian dapat tithymaloides(L.) Poit Leaf and Its
membantu mengurangi rasa nyeri yang Isolated Active Constituents In
ditimbulkan oleh luka. (Jumain, 2017). Topical Formulation. Journal of
Ethnopharmacology. 142:714-722.
Selain membantu penyembuhan luka dari
segi mempercepat prosesnya, tanaman Jumain, Asmawati, Husnina N. (2017).
Pedilanthus tithymaloides juga memiliki Uji Efek Analgetik Ekstrak Etanol
efek antimikorbial yang dapat mencegah Daun Zigzag (Pedilanthus
infeksi pada luka. Kandungan heksan dan tithymaloides(L.) Poit.) terhadap
etanol pada hasil ekstraksi daun Mencit Jantan (Mus musculus).
Pedilanthus tithymaloides dapat secara Jurnal Media Farmasi. 13(2): 7-13.
efektif melawan mikroba Streptococcus
sanguinis dan heksan mampu Lostapa, I.W.F.W., A.A.G.J. Whardita,
menginhibisi Enterococcus faecalis dan I.G.A.G.P. Pemayun, dan L.M.
Candida albicans. Akn tetapi, belum Sudimarini. (2016).
ditemukan hasil inhibisi pada bakteri Kecepatankesembuhanlukainsisi
Staphylococcus aureus, Escherichia coli, yang diberi amoksisilin dan asam
Pseudomonas aeruginosa, atau mefenamat pada tikus putih. Buletin
Salmonella enterica (Matisui, 2017). Veteriner Udayana. 8(2):172-173.

Matisui ES, Perrone LA, Araujo FAM,


SIMPULAN
Mendes AL, Martinez JMV. (2017).
Tanaman Pedilanthus tithymaloides
Pedilanthus tithymaloides (L.) Poit:
dengan kandungan beta-ssitosterol dan
Phytochemical Prospection and
flavonoidnya memiliki potensi yang baik
Antimicrobial Activity. Scientia
dalam proses penyembuhan luka. Selain
Amazonia. 6(3):53-57.
itu, tanaman ini juga memiliki efek
analgesik yang dapat mengurangi rasa
nyeri akibat luka dan efek antimikrobial

42
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, Volume 2 No 1 Hal 39 - 44, Februari 2020
Global Health Science Group

Nussbaum SR, Carter MJ, Fife CE, et al. (2010). The Effect of
(2018). An Economic Evaluation of Pedilanthustithymaloides(L.)Poit
the Impact, Cost, and Medicare Crude Extract on Wound Healing
Policy Implications of Chronic Stimulation in Mice. Kasetsart
Non-Healing Wounds.Value Health Journal. 44: 1121-7.
Journal. 21:27–32.

Oktaviani L. (2010). Efek Infusa Daun


dan Batang Zig-zag (Pedilanthus
tithymaloides L. Poit)
terhadapWaktu Penyembuhan Luka
Insisi pada Mencit Galur Swiss
webster Jantan.

Purnama H, Sriwidodo, dan Mita SR.


(2017). Proses Penyembuhan dan
Perawatan Luka. Farmaka. 15(2).
Doi:10.24198/jf.v15i2.13366.g6184

Reinke JM and Sorg H. (2012). Wound


Repair and Regeneration. European
Surgical Research Journal. 49:35-
43.

Riskesdas. (2013). RisetKesehatanDasar.


Jakarta: DepartemenKesehatan RI.

Shamim IA. (2016). Reactive Oxygen


Species in Biology and Human
Health. United Kingdom: CRC
Press.

Sinaga , M. dan R. Tarigan. (2012).


Penggunaanbahanpadaperawatanluk
a. SalembaMedica. 4(3): 108.

Srivastava, Rajani dan Soni, Neetu.


(2019). An Updated Review on
Phytopharmacological Profile of
Euphorbia tithymaloides (L.) Poit.
The Pharma Innovation. 8(5):109-
15

Sriwiroch W, Chungsamarnyart N,
Chantakru S, Pongket P,
Saengprapaitip K, Pongchairerk U.

43
Jurnal Penelitian Perawat Profesional, Volume 2 No 1 Hal 39 - 44, Februari 2020
Global Health Science Group

44
JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, Oktober 2018, hlm. 231-237 Vol. 16, No. 2
ISSN 1693-1831

Efek Gel Putih Telur terhadap Penyembuhan Luka Bakar


pada Tikus Putih (Rattus novergicus)

(Effect of Egg White Gel againts Burn Healing


on White Rat (Rattus novergicus))

LUCIA HENDRIATI1*, IWAN SAHRIAL HAMID2, TEGUH WIDODO1, CHINTYA


WANDASARI1, PUTU MIRAH RISTA1
1
Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, Jawa Timur, 60112,
Indonesia
2
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, 60112, Indonesia

Diterima 15 Maret 2018, Disetujui 29 Agustus 2018

Abstrak: Putih telur secara tradisional dapat digunakan untuk pengobatan luka bakar. Putih telur
diformulasikan dalam bentuk gel untuk memudahkan pemakaian dan menutupi bau khas putih telur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gel putih telur terhadap penyembuhan
luka bakar derajat II tikus putih (Rattus novergicus) galur Wistar melalui pengamatan jumlah sel
makrofag, fibroblast, kepadatan deposit kolagen dan penyembuhan luka. Subyek penelitian berupa tikus
putih jantan usia 3 bulan. Luka bakar derajat II pada punggung tikus dibuat menggunakan aluminium
panas diameter 2 cm suhu 80 °C selama 20 detik. Tikus putih sebanyak 18 ekor yang dibagi menjadi
3 kelompok perlakuan yaitu, kontrol negatif menggunakan NaCl 0,9%, kontrol positif menggunakan
Bioplacenton® dan perlakuan gel putih telur 40%. Berdasarkan hasil percobaan, pemberian topikal
gel putih telur dapat menurunkan jumlah makrofag, meningkatkan jumlah fibroblas, meningkatkan
kepadatan deposit kolagen dan mempercepat penyembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih jantan.
Pada semua parameter tersebut, gel putih telur memiliki perbedaan signifikan dengan kontrol negatif
NaCl 0,9% dan tidak memiliki perbedaan signifikan dengan kontrol positif Bioplacenton®.

Kata kunci: Gel putih telur, luka bakar, fibroblas, makrofag, kepadatan kolagen, waktu penyembuhan
luka.

Abstract: Egg whites has been traditionally used for the treatment of burns. In this research, egg white
was formulated into gel dosage form for easy to use and covered unpleasant odor. The aim of this study
was to determined effectivity of egg white in gel dosage form against the healing of superficial partial
thickness burns (second degree) on white rats (Rattus novergicus) Wistar strain with parameters were
macrophages, fibroblasts, collagen deposit density and wound healing. Research subject were male
white rats aged 3 months. Second degree burns on the back of rat were made by an aluminium with
diametres 2 cm and temperature 80 °C for 20 seconds. 18 white rats divided into 3 groups of treatment
which is negative control using 0.9% NaCl, positive control using Bioplacenton®, and 40% egg white
gel as treatment. Based on the experimental results, white egg gel given topically decreased the number
of macrophages and increase the number of fibroblasts, increase the density of collagen deposits and
speed up wound healing on second degree burns. White egg gel had significantly difference compared
to negative control of NaCl 0.9% and no significantly difference compared to Bioplacenton® as positive
control.

Keywords: White egg gel, burns, fibroblast, macrophage, collagen density, wound healing time.

* Penulis korespondensi, Hp. 08121714522


e-mail: luciahendriati@gmail.com
232 HENDRIATI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia

PENDAHULUAN akan menarik fibroblas dan merangsang pembentukan


kolagen. Penyembuhan luka juga ditandai dengan
LUKA bakar derajat II sebagian dangkal disebabkan meningkatnya kepadatan deposit kolagen. Kolagen
oleh cairan atau uap panas yang mengakibatkan tipe III dibentuk pada hari pertama sampai ketiga
kerusakan pada sebagian dermis, sedangkan folikel setelah trauma yang akan mencapai puncaknya pada
rambut dan kelenjar tetap keringat utuh. Penampakan minggu pertama. Kolagen tipe III ini akan digantikan
luar pada kulit tampak adanya gelembung berisi cairan, oleh kolagen tipe I yang lebih kuat saat proses
berkeringat, merah, memucat dengan penekanan dan penyembuhan luka memasuki fase maturasi yaitu
adanya rasa nyeri bila terpapar udara dan panas. sekitar minggu ketiga setelah cedera(8).
Waktu penyembuhan luka dangkal sebagian berkisar Sebagian besar orang tidak nyaman pengobatan
antara 7-20 hari dan proses penyembuhan terjadi tanpa dengan putih telur dikarenakan baunya yang kurang
pembentukan jaringan parut(1). sedap.Formulasi putih telur dalam bentuk gel dapat
Penanganan luka bakar dengan bahan alam memudahkan pemakaian dan menutupi bau khas
merupakan salah satu cara yang aman untuk mengobati putih telur. Sediaan gel memiliki kandungan air yang
luka bakar dan sekaligus menekan biaya pengobatan tinggi sehingga meningkatkan hidrasi pada stratum
luka bakar. Salah satunya dengan menggunakan putih korneum sehingga akan memudahkan penetrasi obat
telur ayam kampung. Kandungan putih telur yang melalui kulit. Selain itu, karena gel mengandung air,
utama adalah protein yang terdiri dari ovotransferin, maka gel mudah bercampur dengan sekret kulit yang
lisosim, ovomusin, ovomusid, ovalbumin dan avidin(2). mengalami luka bakar.
Kandungan ovotransferin, lisosim dan ovomusin Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri dan efek efektifitas gel putih telur terhadap luka bakar derajat
antivirus(3). Kandungan putih telur lainnya yaitu II dengan parameter fibroblas, makrofag, kepadatan
ovalbumin juga memiliki potensi untuk digunakan kolagen dan waktu penyembuhan luka bakar.
sebagai pembawa obat dan sebagai sumber dari asam
amino yang diperlukan untuk proses pertumbuhan(4). BAHAN DAN METODE
Mekanisme putih telur terhadap penyembuhan
luka yaitu dengan membentuk jaringan sel baru dan BAHAN. Methocel K4M (Colorcon, USA), gliserin
mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang (Brataco), propilen glikol (Brataco), metil paraben
rusak(2). Akan tetapi, putih telur ayam kampung (Brataco), propil paraben (Brataco). Putih telur
memiliki kekurangan yaitu bau tidak enak sehingga ayam kampung (Kelompok Tani Ternak Giri Marga
perlu diformulasikan dalam sediaan gel untuk Ayu Banjar Pegongan, Desa Taman, Kecamatan
meningkatkan kenyamanan dalam penggunaan. Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali), infus NaCl
Berdasarkan penelitian sebelumnya, putih telur efektif 0,9% (Otsuka), Bioplacenton®.
pada luka bakar derajat I dan luka bakar derajat II Alat. Termometer, gunting, kapas, pinset, perban,
sebagian dangkal(5). Putih telur tidak bisa digunakan mikroskop dan jangka sorong, pH meter, viskometer
untuk luka derajat II sebagian dalam dan luka derajat Brookfield Rotary.
III karena perlu dilakukan eksisi awal dan cangkok Hewan Coba. Tikus putih jantan (Rattus
kulit(6). novergicus) galur Wistar (Fakultas Kedokteran
Ada tiga fase dalam penyembuhan luka yaitu fase Universitas Airlangga) dengan usia 3 bulan dengan
inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi(7). Fase berat sekitar 250-300 g.
inflamasi terjadi beberapa jam setelah cedera dan METODE. Formulasi Sediaan Gel. Susunan
efeknya bertahan hingga 2-3 hari. Pada fase inflamasi formula dari sediaan gel putih telur dapat dilihat pada
diawali dengan vasokonstriksi untuk mencapai Tabel 1.
hemostasis sehingga trombus terbentuk dan rangkaian Pembuatan Gel Putih Telur. Sediaan gel putih
pembentukan darah diaktifkan, sehingga terjadi telur yang dibuat sebanyak 300 g. Methocel K4M
deposisi fibrin. Keping darah melepaskan platelet ditimbang sebanyak 6 g kemudian dibasahi dengan
derived growth factor (PDGF) dan transforming growth gliserin 24 g. Methocel K4M yang sudah dibasahi
factor β (TGF- β) yang menarik sel-sel inflamasi, kemudian ditambahkan air suling 100 mL dan diaduk
terutama makrofag. Setelah hemostasis tercapai, perlahan sampai terbentuk gel. Metil paraben 0,54
terjadi vasodilatasi dan permeabilitas pembuluh darah g dan propil paraben 0,06 g kemudian dilarutkan
meningkat. Jumlah neutrofil memuncak pada 24 jam dalam propilen glikol 6 g. Campuran propilen glikol
dan membantu debridemen. Monosit memasuki luka, dimasukkan ke dalam mortir dan diaduk merata
menjadi makrofag dan jumlahnya memuncak dalam sampai terbentuk masa gel. Gel didiamkan selama
2-3 hari. Makrofag menghasilkan PDGF dan TGF-β, 24 jam agar mengembang dengan sempurna. Telur
Vol 16, 2018 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 233

dipisahkan putih telur dari kuning telurnya, kemudian dari setiap luka bakar pada punggung tikus dengan
putih telur ditimbang sebanyak 120 g lalu masukkan cara eksisi pada bekas luka bakar dengan diameter
ke dalam mortar yang berisi gel dan ditambah air sekitar 2 cm sampai sedalam otot. Jaringan kulit
suling hingga 300 g. Gel diaduk perlahan agar tidak yang diambil dimasukkan ke dalam botol yang berisi
menimbulkan busa dan tercampur hingga homogen. formalin 10% untuk fiksasi jaringan. Pemeriksaan
Evaluasi Sifat Fisik Sediaan Gel Putih Telur. jumlah makrofag dan jumlah fibroblas dilakukan
Pemeriksaan mutu fisik gel putih telur meliputi dengan pewarnaan hematoxylin-eosin.
pemeriksaan organoleptis, pengukuran pH, daya Penetapan Jumlah Makrofag, Fibroblas dan
sebardan viskositas. Kepadatan Deposit Kolagen. Hasil pengamatan
Penyiapan Bahan Kontrol Positif, Kontrol dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran
Negatif dan Perlakuan Gel Putih Telur. Larutan 400 kali dengan menghitung jumlah makrofag
NaCl 0,9% sebagai bahan kontrol negatif (K-), dan fibroblas aktif setiap lapangan pandang dengan
Bioplacenton® digunakan sebagai kontrol positif (K+) mengamati dari sisi paling kiri atas sampai bawah.
dan gel putih telur (P) digunakan sebagai bahan uji. Makrofag pada perbesaran 400 kali akan berbentuk
Pembuatan Luka Bakar Tikus. Tikus terlebih ireguler dan berwarna kebiruan dengan granul hasil
dahulu diadaptasikan selama satu minggu dan fagositosis berwarna kecoklatan sebagai pigmen

Tabel 1. Susunan formula gel putih telur.


Komposisi Fungsi
No Nama Bahan Konsentrasi
1 Putih Telur 40% 120 g Bahan aktif
2 Methocel K4M 2% 6g Pembentuk gel
3 Gliserin 8% 24 g Humektan
4 Propilen Glikol 2% 6g Pelarut
5 Metilparaben 0,18% 0,54 g Pengawet
6 Propilparaben 0,02% 0,06 g Pengawet
7 Air suling hingga 100% 300 g Pelarut

diberikan makanan dan minuman. Masing-masing eksogen di dalam sitoplasma makrofag. Fibroblas
tikus dicukur bulunya pada bagian punggung. umumnya berkelompok membentuk suatu garis
Selanjutnya luka bakar menggunakan aluminium sejajar dengan sitoplasma berwarna kemerahan dan
panas suhu 800 oC dengan diameter 2 cm selama 20 jumlahnya diukur secara manual. Untuk pengukuran
detik. kepadatan kolagen, preparat diletakkan di bawah
Pengelompokan Perlakuan. Sebanyak 18 ekor mikroskop cahaya pembesaran 400 kali kemudian
tikus dibagi menjadi tiga kelompok masing-masing kepadatan deposit kolagen diukur menggunakan
berisi 6 ekor tikus. Kelompok pertama dioles larutan program komputer Adobe Photoshop 6.0.
NaCl 0,9% sebagai kontrol negatif. Kelompok Penilaian Persen Kesembuhan Luka Bakar.
kedua dioles dengan Bioplacenton® sebagai kontrol Penilaian waktu penyembuhan luka bakar dilakukan
positif. Kelompok ketiga dioles gel putih telur 40%. setiap hari dengan mengamati warna pada daerah luka,
Pengolesan gel pada luka bakar sebanyak 350 mg kekeringan dengan meraba daerah luka dan mengukur
setiap 2 kali sehari. Setelah pengolesan masing- diameter luka menggunakan jangka sorong.
masing luka ditutup dengan perban untuk mencegah Perhitungan persentase penyembuhan luka bakar
kontaminasi ke area luka. Tikus dipelihara pada dengan rumus sebagai berikut(9):
kandangnya masing-masing serta diberi makanan dan
minuman dengan jumlah dan jenis yang sama. px =100-(dx/d x 100%)
Pengambilan Jaringan. Pengambilan jaringan
kulit tikus dilakukan pada hari ke-3 (fase inflamasi) px = persentase penyembuhan luka bakar
dan hari ke-7 (fase proliferasi), masing-masing pada hari ke x
dikorbankan 3 ekor tikus pada setiap fase. Tikus d = diameter luka bakar hari pertama
dikorbankan dengan cara dibius dengan eter sampai dx = diameter luka bakar hari ke x
tikus sudah tidak bisa bergerak lagi. Spesimen diambil
234 HENDRIATI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia

Analisis Data. Data hasil pengamatan fibroblas, Penambahan kombinasi pengawet metil paraben dan
makrofag, kepadatan kolagen dan persen kesembuhan propil paraben dapat meningkatan stabilitas sediaan.
dianalisis dengan ANOVA satu arah. Jika terdapat Persyaratan sediaan tidak mengandung aerasi juga
perbedaan yang nyata dilanjutkan uji jarak berganda membantu meningkatkan stabilitas sediaan karena
Duncan dengan taraf kepercayaan 95%. Analisis dapat meminimalkan potensi terjadinya oksidasi.
statistik dengan menggunakan program SPSS for Penetapan Jumlah Makrofag dan Fibroblas.
Windows versi 22. Hasil pengamatan makrofag dan fibroblas dapat dilihat
pada Gambar 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Makrofag mencapai puncak pada hari ke-3

Hasil Formulasi Sediaan Gel Putih Telur. Bentuk


sediaan gel dipilih karena kemampuan penyebarannya
baik pada kulit, memberi rasa dingin melalui penguapan
lambat dari kulit, kemudahan pencuciannya dengan
air baik dan pelepasan obatnya baik(10). Dalam proses
pembuatan, putih telur yang dikocok mudah sekali
berbusa. Adanya busa atau aerasi pada sediaan gel Gambar 1. Hasil pengamatan makrofag dan fibroblas
dengan perbesaran 400x :
akan menghambat proses pelepasan dan absorbsi obat (a) K- (hari ke-3); (b) K+(hari ke-3); (c) P (hari ke-3);
pada kulit. Oleh karena itu pada proses pembuatan gel (d) K- ( hari ke-7); (e) K+(hari ke-7); (f) P(hari ke-7).
putih telur, proses homogenisasi putih telur dengan gel
dilakukan secara perlahan agar tidak menimbulkan
busa. Evaluasi sediaan gel putih telur bertujuan untuk sedangkan fibroblas mencapai puncaknya sekitar
menjamin bahwa gel yang digunakan stabil dan satu minggu setelah trauma dan merupakan sel
memenuhi syarat sediaan gel. Evaluasi sediaan gel dominan pada minggu pertama fase penyembuhan
meliputi uji organoleptis, pH, daya sebar, homogenitas luka(13).
dan viskositas. Hasil evaluasi pengujian sediaan gel Perhitungan rerata jumlah makrofag pada hari ke-3
putih telur dapat dilihat pada Tabel 2. yang disajikan pada Tabel 3. menunjukkan bahwa
Viskositas sediaan gel yang diperoleh adalah semua kelompok perlakuan berbeda bermakna. Hasil
16.670 cps sedangkan daya sebar 5,1 cm. Pada yang paling tinggi ada pada kelompok perlakuan putih
kondisi tersebut, sediaan gel cukup mudah dioleskan telur yaitu 4,07 ± 0,12. Pada hari ke-7 menunjukkan
pada daerah luka dan tetap melekat pada daerah luka. bahwa kelompok perlakuan perlakuan putih telur
Berdasarkan evaluasi mutu fisik sediaan gel putih telur berbeda bermakna dengan kelompok kontrol negatif
meliputi organoleptis, pH, daya sebar dan viskositas dan tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif.
diketahui bahwa gel putih telur secara umum telah Perlakuan kontrol positif dan perlakuan putih telur
memenuhi persyaratan sediaan gel yang baik(11,12). menyebabkan penurunan jumlah makrofag pada
Dalam penyimpanan, evaluasi sediaan setelah hari ke-7. Sedangkan perlakuan kontrol negatif tidak
bulan ke-9 menunjukkan hasil yang sama dengan terlihat terjadi penurunan aktivitas makrofag. Hal ini
sediaan setelah dibuat. Hal ini menunjukkan formula menunjukkan bahwa putih telur dapat menurunkan
sediaan memiliki stabilitas fisika kimia yang baik. jumlah makrofag. Ovomusin, ovotransferin dan

Tabel 2. Hasil evaluasi sediaan gel putih telur.

Pengujian Hasil Persyaratan

Organoleptis
Bentuk Gel Gel
Bau
Warna Bau Khas Bau Khas
Jernih, tanpa aerasi Jernih, tanpa aerasi
pH 7,0 4-7
Homogenitas Homogen Homogen
Daya Sebar 5,1 cm 5-7 cm
Viskositas 16.670 cps 10.000-70.000 cps
Vol 16, 2018 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 235

lisosim di dalam kandungan putih telur bekerja merupakan sel dominan pada minggu pertama fase
meningkatkan aktivitas monosit dan makrofag penyembuhan luka(13). Protein dalam putih telur
dan sitotoksisitas, menstimulasi killer T-cells dan yaitu ovalbumin berperan sangat penting sebagai
meningkatkan aktivitas makrofag secara in vitro(2). sumber asam amino untuk growth factor. Growth
Sehingga pada pengamatan, jumlah makrofag factor ini berkonstribusi dalam penyembuhan luka
pada kelompok perlakuan putih telur lebih banyak dengan menstimulasi fibroblas (connectivetissue
dibanding kelompok kontrol positif maupun negatif cells) untuk memproduksi kolagen lebih banyak
pada hari ke-3 dan menurun dengan cepat pada hari yang akan mengisi daerah luka(14). Semakin tinggi
ke-7. jumlah fibroblas, maka kepadatan kolagen juga besar.
Makrofag mempunyai peran penting dalam respon Jumlah fibroblas mempengaruhi jumlah kolagen
imun. Fungsi utama makrofag dalam imunitas adalah padat sebesar 33,9% sedangkan sisanya dipengaruhi

Tabel 3 . Rerata jumlah makrofag dan fibroblas pada semua kelompok perlakuan.

Rerata jumlah makrofag Rerata jumlah fibroblas


Kelompok
Hari ke- 3 Hari ke-7 Hari ke- 3 Hari ke 7
K (-) 2,47a ± 0,12 3,53a ± 0,30 1,27a ± 0,12 2,07a ± 0,11
K (+) 3,53b ± 0,42 1,80b,c ± 0,20 1,67b,c± 0,12 4,93b,c± 0,80
P 4,07c ± 0,12 1,67c ± 0,23 1,87c ± 0,12 5,53c ± 0,30
a,b,c menunjukkan perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan (p<0,05).
Keterangan : K (-) = kontrol negatif (larutan NaCl 0,9%) ; K (+) = kontrol positif (Bioplacenton®) ; P = perlakuan
dengan gel putih telur.

fagositosis partikel asing yang masuk ke dalam tubuh, oleh faktor lain. Faktor lain adalah ketersediaan asam
makromolekul antigen, sel atau jaringan sendiri yang amino, suplai oksigen, antioksidan dan ketersediaan
mengalami kerusakan atau mati. Makrofag juga zat besi dalam tubuh. Asam amino adalah bahan
akan mengikuti netrofil menuju luka setelah 48-72 pembentuk kolagen, sedangkan oksigen dan zat besi
jam dan menjadi sel predominan setelah hari ke-3 akan meningkatkan produksi kolagen dalam tubuh(2).
setelah cedera. Debris dan bakteri akan difagositosis Kepadatan Deposit Kolagen. Hasil pengamatan
oleh makrofag. Makrofag juga berperan utama makrofag dan fibroblas dapat dilihat pada Gambar 2.
memproduksi berbagai growth factor yang dibutuhkan
dalam produksi matriks ekstra seluler oleh fibroblas
dan pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan
makrofag oleh karenanya sangat penting dalam fase
penyembuhan ini(8).
Berdasarkan perhitungan data rerata jumlah
fibroblas pada hari ke-3 tampak bahwa kelompok
perlakuan putih telur berbeda bermakna dengan
kelompok kontrol negatif, dan tidak beda bermakna
dengan kontrol positif. Hasil yang sama juga Gambar 2. Kepadatan deposit kolagen: (a) K - (hari ke-3),
ditunjukkan pada perlakuan hari ke-7. Pada semua (b) K +(hari ke-3), (c) P (hari ke-3),(d) K - ( hari ke-7),
kelompok perlakuan terjadi peningkatan jumlah (e) K+(hari ke-7), (f) P (hari ke-7)
fibroblas dari hari ke-3 sampai hari ke-7. Peningkatan
yang paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan gel Berdasarkan data pada Tabel 4. dapat disimpulkan
putih telur. Berdasar hasil tersebut putih telur terbukti pada hari ke-3 kelompok kontrol positif, kelompok
dapat meningkatkan aktivitas sel fibroblas. gel putih telur menunjukkan perbedaan bermakna
Fibroblas adalah sel yang mensintesis matriks dengan kelompok kontrol negatif. Sedangkan pada
ekstraseluler dan kolagen yang berperan penting hari ke-7, ketiga kelompok perlakuan menunjukkan
dalam penyembuhan luka. Fibroblas berfungsi hasil yang berbeda bermakna. Rerata kepadatan
mempertahankan integritas struktur jaringan ikat deposit kolagen tertinggi berturut-turut ditunjukkan
dengan memproduksi matriks ekstraseluler. Fibroblas oleh pemberian kontrol positif, gel putih telur dan
terakumulasi di daerah luka melalui angiogenesis kontrol negatif. Kolagen termasuk protein fibrin, yang
antara dua sampai lima hari setelah cedera dan berada di daerah dermis berperan dalam pembentukan
236 HENDRIATI ET AL. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia

struktur sel terbesar pada matriks ekstraseluler yang Data hasil pengukuran diameter luka bakar pada
mempertahankan bentuk jaringan. Secara umum, tikus putih jantan yang diamati dari hari ke-3 hingga
kandungan kolagen dapat berjumlah sekitar 25-35% hari ke-7 dapat dilihat pada Tabel 5.
dari total protein pada tubuh. Kolagen tipe III dibentuk Berdasarkan perhitungan statistik, kelompok
pada hari pertama sampai ketiga setelah trauma yang kontrol positif dan kelompok gel putih telur
akan mencapai puncaknya pada minggu pertama. memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok
Kolagen tipe III ini akan digantikan oleh kolagen kontrol negatif. Kelompok perlakuan kontrol positif

Tabel 4. Hasil Kepadatan deposit kolagen hari ke-3 dan ke-7.

Perlakuan Kepadatan Deposit Kolagen


Hari ke-3 Hari ke-7
K (-) 207,4167a ± 14,33946 219,3833a ± 11,76501
b
K (+) 236,4600b ± 2,44514 239,5368 ± 4,23257
b
P 229,5867 ± 3,83914 223,8000c ± 4,16360

a,b,c menunjukkan perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan (p<0,05).


Keterangan : K (-) = kontrol negatif (larutan NaCl 0,9%) ; K (+) = kontrol positif (Bioplacenton®) ; P =
perlakuan dengan gel putih telur.

tipe I yang lebih kuat saat proses penyembuhan luka


memasuki fase maturasi yaitu sekitar minggu ketiga
setelah cedera(8).
Perbedaan kepadatan deposit kolagen antara
kontol positif dengan perlakuan gel putih telur diduga
disebabkan kandungan yang terdapat pada kontrol
positif yaitu ekstrak plasenta 10%. Ekstrak plasenta
mengandung fibronectin tipe III sebagai biogenik
stimulator yang dapat meningkatkan atau mempercepat
Gambar 3. Pengamatan makroskopis luka bakar hari ke-0,
dan reproduksi sel kulit dan meregenerasi sel yang ke-3, dan ke-7.
rusak(15). Selain itu diduga disebabkan berat molekul
dari kandungan senyawa kontrol positif lebih kecil dari
berat molekul kandungan putih telur sehingga absorbsi tidak berbeda bermakna dengan kelompok kelompok
topikal kontrol positif lebih baik dibandingkan dengan gel putih telur. Hal tersebut menunjukkan bahwa
gel putih telur. Kepadatan deposit kolagen dengan kelompok kontrol positif dan kelompok gel putih
pemberian gel putih telur akan meningkat hingga telur dapat mempercepat penyembuhan luka bakar.
mencapai akhir fase proliferasi. Fase proliferasi ini Data diameter luka dibuat dalam bentuk persen (%)
akan berlangsung hingga hari ke-21(16). untuk mengetahui peningkatan kesembuhan luka
Persen Kesembuhan Luka Bakar. Pengamatan bakar pada tikus putih dapat dilihat pada Gambar 4.
makroskopis luka bakar pada punggung tikus dapat Persentase tertinggi penyembuhan luka berturut-turut
dilihat pada Gambar 3. Pada kontrol negatif, hari adalah pemberian gel putih telur, kontrol positif dan
ke-4 dan ke-5 tampak luka bakar berwarna merah kontrol negatif.
menandakan luka memasuki fase proliferasi. Pada hari
ke-6 dan 7 jaringan kulit kontrol negatif mengalami
nekrosis, sedangkan pada kontrol positif dan perlakuan
gel putih telur tidak terdapat nekrosis dan luka
tampak berwarna merah. Perbedaan ini disebabkan
karena larutan NaCl 0,9% sebagai kontrol negatif
tidak memiliki kandungan antimikroba sehingga
terjadi infeksi lebih besar dan mengganggu regulasi
proliferasi fibroblas. Secara visual, luka pada kontrol
negatif tampak berwarna kehitaman yang disebabkan
Gambar 4. Grafik rerata persen kesembuhan hari ke-3
karena nekrosis, sedangkan pada kontrol positif dan
dan hari ke-7.
kelompok perlakuan luka tetap berwarna merah.
Vol 16, 2018 Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 237

Tabel 5. Hasil perhitungan diameter luka hari ke-3 sampai hari ke-7.

Diameter Luka (cm)


Perlakuan
Hari ke -3 Hari ke -4 Hari ke -5 Hari ke -6 Hari ke -7
a a a a
K (-) 1,95 ± 0,050 1,93 ± 0,029 1,93 ± 0,03 1,92 ± 0,03 1,88a ± 0,03
b b b b
K (+) 1,87b ± 0,03 1,82 ± 0,03 1,78 ± 0,03 1,73 ± 0,08 1,72 ± 0,08
b b b b b
P 1,85 ± 0,00 1,80 ± 0,05 1,77 ± 0,03 1,72 ± 0,03 1,70 ± 0,050
a,b,c menunjukkan perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan (p<0,05).
Keterangan : K (-) = kontrol negatif (larutan NaCl 0,9%) ; K (+) = kontrol positif (Bioplacenton®) ; P = perlakuan dengan
gel putih telur.

SIMPULAN 7. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox


KL. (eds). Ilmu bedah sabiton, Buku Kedokteran
Berdasarkan analisis data maka dapat disimpulkan EGC. 2010.
bahwa pemberian topikal gel putih telur dapat 8. Gurtner GC. Wound healing, normal and abnormal.
In: Thorne CH, Beasly RW, Aston SJ, Bartlett SP,
menurunkan jumlah makrofag dan meningkatkan
Gurtner GC, Spear SL. Grabb and Smith’s Plastic.
jumlah fibroblas. Gel putih telur juga dapat 6th ed. 2007. 15-22.
meningkatkan kepadatan deposit kolagen dan 9. Huseini HF, Rahimzadeh G, Fazeli MR, Mehrazma
mempercepat waktu penyembuhan luka pada luka M, Salehi M.Evaluation of wound healing activities
bakar derajat II pada tikus putih jantan. of kefir products. Burns. 2012. 38. 719 – 23.
10. Allen LV, Popovich NG, Ansel HC. Ansel’s
DAFTAR PUSTAKA pharmaceutical dosage form and drug delivery
systems. Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
1. Noer MS. Penanganan luka bakar akut. In Noer, 11. Garg A, Deepika A, Garg S, Singla AK. Spreading
M.S. (eds) Penanganan luka bakar. 2006. Airlangga of semisolid formulation. USA: Pharmaceutical
University Press. 3-5. Tecnology. 2002. 84-104.
2. Abdou AM, Kim M, Sato K. Functional proteins and 12. Bushe L. Presented at the Advisory Committee
peptides of hen’s egg origin. In Ledesma BH, Hsieh for Pharmceutical Science Meeting on March
CC (eds). Bioactive Food Peptides in Health and 12. 2003. www.fda.gov/ohrms/dockets/ac/03/
Disease. 2013. InTech. 120-36. slides/3926SI_11Buhse.ppt. Diakses pada 30 Agustus,
3. Kratz F. Albumin as a drug carrier: design of prodrugs, 2016.
drug conjugates and nanoparticles. J. Control. 13. Falanga V. The chronic wound: impaired healing
Release. 2008. 132:171–83. and solutions in the context of wound bed
4. Pieroni A, Quave CL, Santoro RF. Folk pharmaceutical preparation. Blood Cells, Molecules, and Diseases.
knowledge in the territory of the dolomiti lucane, Inland 2004. 32 (1): 88–94.
Southern Italy. Journal of Ethnopharmacology.2004. 14. Saeed MA, Ahmad I, Yaqub U, Akbar S, Waheed
95: 373–84. A, Saleem M, Nasirudin. Aloe vera: a plant of vital
5. Rukiana A. Uji efek penyembuhan luka bakar significance. Quarterly Science Vision. 2003. Vol. 9
menggunakan putih telur ayam kampung (albumin) No.1-2 Jul-Dec.
pada kelinci (Oryctolagus cuniculus). Skripsi. Fakultas 15. Biswas TK, Auddy B, Bhattacharya NP, Bhattacharya
Farmasi. Universitas Indonesia Timur, Makassar. S. Mukherjee B. Wound healing activity of human
2011. placental extracts in rats. Acta Pharmacol Sin. 2001.
6. James HH, David MH. Burns, in: Schwartz’s 22:1113-6.
principles of surgery. 18th ed. McGraw-Hill. New 16. Arisanty IP. Konsep dasar manajemen perawatan luka.
York. 2005. p.189-216 2013. EGC.
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

Pengaruh Perawatan Luka Bakar Derajat II Menggunakan Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle
Linn.) Terhadap Peningkatan Ketebalan Jaringan Granulasi pada Tikus Putih
(Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar

Reza Fitra Kusuma Negara*, Retty Ratnawati**, Dina Dewi SLI*

ABSTRAK

Luka bakar sering terjadi di rumah dan paling banyak ditemukan adalah luka bakar derajat II. Daun sirih
(Piper betle Linn.) adalah bahan alam yang memiliki kandungan aktif seperti saponin, tannin, flavonoid, minyak
atsiri dan diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka, khususnya pembentukan jaringan
granulasi. Jaringan granulasi merupakan pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika luka mengalami proses
penyembuhan dan pembentukannya merupakan salah satu komponen penting dalam penyembuhan luka.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perawatan luka bakar derajat II secara topikal menggunakan
ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi pada tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Wistar. Desain penelitian menggunakan true experiment post test dilakukan terhadap
hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar. Sampel diambil dengan teknik rancangan acak
kelompok (RAK) dan dibagi dalam empat kelompok yaitu 3 perlakuan ekstrak daun sirih: konsentrasi 15 %, 30 %,
45 %, dan kelompok kontrol dengan normal saline 0,9 %. Data yang diukur adalah ketebalan jaringan granulasi
pasca perawatan luka bakar selama 14 hari. Analisis data menggunakan uji one way ANOVA dengan p = 0,04 (p
< 0,05). Melalui uji post hoc test didapatkan bahwa perlakuan yang paling signifikan ditunjukkan oleh konsentrasi
daun sirih 45 % dengan p = 0,03 (p < 0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perawatan luka bakar
derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn.) mempengaruhi peningkatan ketebalan
jaringan granulasi.

Kata kunci : Ekstrak daun sirih (Piper betle Linn), Ketebalan jaringan granulasi, Luka bakar derajat II.

Effect of Betel Leaves (Piper Betle Linn.) Extract Topical Treatment to the Thickness of
Granulation Tissue in Male White Rats (Rattus norvegicus) Strain Wistar
with Second Degree Burn

ABSTRACT

Burn most often occurs at home and it was known that second degree burn is the highest case prevalence.
Sirih leaf (Piper betle Linn.) is a natural material which has active compounds such as saponin, tannin, flavonoid,
and essential oil. Those compounds are suspected to accelerate wound healing process, especially in granulation
tissue formation. Granulation tissue is a new growing tissue that occurs when the process of wound healing is in
progress, and its formation is one of the most important components in wound healing. The aim of this study is to
investigate the effect of sirih leaves (Piper betle Linn.) extract topical treatment to the thickness of granulation
tissue in male white rats (Rattus norvegicus) strain Wistar with second degree burn. This study used true
experimental post test design. Samples were selected by randomized block design and divided into four groups,3
groups were treated by using Piper betle Linn. extract with different concentration: 15 %, 30 %, 45 %, and normal
saline 0.9 % was used as control. The thickness of granulation tissues were measured after 14 days treatment.
One way ANOVA test showed there were significant differences of granulation tissue thickness among the groups
with p = 0.04 (p < 0.05). Post hoc test showed that 45 % was the best concentration to optimize granulation tissue
formation with p = 0.03 (p < 0.05). From this study it can be concluded that the second degree burn treatment by
using ethanol extract of sirih leaves (Piper betle Linn.) was able to increase the thickness of granulation tissue.

Keywords : Granulation tissue thickness, Sirih extract (Piper betle Linn.), Second degree burn.

* Program Studi Ilmu Keperawatan, FKUB


** Lab Ilmu Faal, FKUB

86
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

PENDAHULUAN Salah satu bahan herbal yang digunakan


untuk mengobati luka adalah Piper betle Linn.
Luka bakar merupakan luka yang unik atau sirih. Sirih merupakan salah satu tanaman
karena luka tersebut meliputi sejumlah besar yang banyak tumbuh di Indonesia. Secara
jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tradisional sirih dipakai sebagai obat sariawan,
tempatnya untuk jangka waktu yang lama.1 sakit tenggorokan, obat batuk, obat cuci mata,
Luka bakar paling sering terjadi di rumah dan dan perdarahan pada hidung atau mimisan.9
paling banyak ditemukan adalah luka bakar Daun sirih mengandung molekul-molekul
derajat II.2 Kelompok terbesar dengan kasus bioaktif seperti saponin, tannin, minyak atsiri,
luka bakar adalah anak-anak kelompok usia di flavonoid, dan fenol yang mempunyai
bawah 6 tahun. Puncak insiden kedua adalah kemampuan untuk membantu proses
luka bakar akibat kerja, yaitu pada usia 25-35 penyembuhan luka serta nutrisi yang
tahun. Kelompok ini sering kali memerlukan dibutuhkan untuk penyembuhan luka seperti
perawatan pada fasilitas khusus luka bakar.3 vitamin A dan vitamin C.10,11 Tannin membantu
Oleh karena itu, perawatan luka bakar proses penyembuhan luka melalui
memegang peranan penting dalam proses peningkatan jumlah pembentukan pembuluh
penyembuhan luka. darah kapiler dan sel-sel fibroblas.12 Molekul
Penyembuhan luka adalah suatu bentuk bioaktif lain yang mempunyai peran sebagai
proses usaha untuk memperbaiki kerusakan antimikroba adalah minyak atsiri.13,14 Flavonoid
yang terjadi pada kulit. Fisiologi penyembuhan dan fenol berperan sebagai antioksidan yang
luka secara alami akan melewati beberapa berfungsi untuk menunda atau menghambat
fase, yaitu fase haemostasis, fase inflamasi, reaksi oksidasi oleh radikal bebas.15
fase proliferasi, dan fase maturasi.4 Pada fase Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan
proliferasi, terjadi proses kontraksi luka, di atas maka perlu diteliti potensi daun sirih
epitelisasi, dan pembentukan jaringan untuk terapi luka bakar, khususnya dalam
granulasi.5 Jaringan granulasi adalah mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan
pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika granulasi.
luka mengalami proses penyembuhan, terdiri Tujuan dari penelitian ini adalah
atas pembuluh-pembuluh kapiler yang baru mengidentifikasi ketebalan jaringan granulasi
dan sel-sel fibroblas yang mengisi rongga pada perawatan luka bakar derajat II pada
tersebut.6 Pembentukan jaringan granulasi tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
adalah tahap yang penting dalam fase Wistar dengan pemberian ekstrak etanol daun
proliferasi dan penyembuhan luka.7 Jadi, peran sirih. Manfaat penelitian ini bagi akademisi
perawat dalam perawatan luka seperti adalah diharapkan dapat digunakan sebagai
pemilihan balutan hingga pemilihan larutan informasi, referensi, dan kajian bagi para
pembersih luka menjadi sangat penting untuk akademisi keperawatan dalam
mempercepat proses penyembuhan luka. mengembangkan penelitian selanjutnya,
Larutan pembersih luka yang dianjurkan terutama tentang perawatan luka bakar
adalah cairan normal salin. Normal salin dengan daun sirih. Manfaat bagi praktisi
merupakan cairan fisiologis dan tidak akan adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan
membahayakan jaringan luka. Perawat sebagai dasar teori dan bahan kajian yang
menggunakan cairan salin untuk berkaitan dengan perawatan luka bakar
mempertahankan permukaan luka agar tetap derajat II dan jika penelitian terbukti
lembab sehingga dapat meningkatkan memberikan efek terhadap ketebalan
perkembangan dan migrasi jaringan epitel, granulasi, maka dapat menjadi inovasi baru
tetapi penelitian terdahulu menyimpulkan pemanfaatan daun sirih sebagai penyembuh
bahwa normal salin sama sekali tidak luka dan dapat dikembangkan sebagai terapi
mempengaruhi pembentukan jaringan komplementer yang efektif dan efisien.
granulasi. 8

Saat ini, penelitian untuk pengobatan luka


bakar menggunakan bahan-bahan herbal
mulai banyak dilakukan oleh para peneliti.

87
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

BAHAN DAN METODE = massa larutan (mg)


Massa larutan ditetapkan dengan jumlah
Desain Penelitian 50 mg karena jumlah tersebut dapat
Penelitian ini merupakan penelitian true- menutupi luas luka sebesar 2 x 2 cm2
experiment post-test dengan kelompok sesuai studi pendahuluan yang telah
eksperimen dan kontrol. Pengukuran hanya dilakukan peneliti.
dilakukan setelah pemberian perlakuan selesai
.16 Pada rancangan ini terdapat 3 kelompok Pembuatan konsentrasi ekstrak daun sirih
eksperimen dan 1 kelompok kontrol. Kelompok dilakukan dengan menambahkan vaselin
eksperimen diberi perlakuan yaitu dengan sebanyak 50 mg sesuai rumus di atas,
terapi ekstrak daun sirih 15 %, 30 %, dan 45 sehingga didapatkan hasil sebagai berikut:
%. Kelompok kontrol adalah kelompok yang  Konsentrasi 15 %
diberikan normal salin (NaCl) 0,9 % 7,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan
dengan 50 mg vaselin.
Kriteria Sampel  Konsentrasi 30 %
Sampel yang digunakan adalah tikus putih 15 mg ekstrak daun sirih dicampurkan
(Rattus norvegicus) jantan galur Wistar, yang dengan 50 mg vaselin.
berumur 75-90 hari karena proliferasi sel pada  Konsentrasi 45 %
usia pertumbuhan ini cepat sehingga 22,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan
mendukung proses penyembuhan luka. Berat dengan 50 mg vaselin.
badan tikus 150-200 gram.
Pembuatan Luka Bakar Derajat II
Pembuatan Ekstrak Daun Sirih Area kulit yang akan dibuat luka bakar
Daun sirih hijau yang telah tersertifikasi didisinfeksi, ditunggu sampai alkohol kering.
diperoleh dari Balai Materia Medica di kota Anastesi dilakukan pada area kulit yang akan
Batu pada bulan Januari 2013. Daun sirih yang dibuat luka bakar menggunakan lidokain non
diambil adalah daun berwarna hijau muda adrenalin 50 %. Kassa dipasang dan
sampai hijau tua. Sebanyak 100 gram serbuk dibungkuskan pada balok (styrofoam)
daun sirih (Piper betle Linn) direndam dalam berukuran 2 x 2 cm. Balok yang sudah dilapisi
etanol hingga volume 1000 ml, dikocok selama dan dibungkus kassa dicelupkan dengan air
30 menit lalu dibiarkan selama 24 jam sampai panas (suhu 98 oC) selama 3 menit. Balok
mengendap. Hasil rendaman dimasukkan ke yang berbungkus kassa ditempelkan pada
dalam labu evaporasi. Labu evaporasi hewan coba selama 30 detik. Kassa diangkat
dipasang pada evaporator dan isi water bath lalu luka dikompres dengan aquades selama 1
dengan air sampai penuh. Semua rangkaian menit untuk mencegah luka bakar menyebar
alat dipasang, termasuk rotary evaporator, atau bertambah parah.
pemanas water bath (diatur sampai 70-80 °C),
disambungkan dengan aliran listrik. Kemudian Perawatan Luka Bakar Derajat II
ditunggu sampai larutan etanol berhenti Kelompok perlakuan luka dibersihkan
menetes pada labu penampung (± 1,5 sampai terlebih dahulu menggunakan normal salin
2 jam untuk satu labu). Hasil yang diperoleh kemudian diolesi ekstrak daun sirih
kira-kira sepertiga dari bahan alam kering.Hasil konsentrasi 15 %, 30 %, dan 45 %. Setelah itu
ekstraksi dimasukkan dalam botol hasil ekstrak luka ditutup dengan kassa steril dan diplester.
dan disimpan dalam freezer. Kelompok kontrol dibersihkan dengan normal
salin 0,9 % saja lalu ditutup dengan kassa
Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih steril.
Ekstrak daun sirih dicampurkan vaselin
dengan menggunakan rumus: Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan mikroskopis ketebalan
Keterangan:
jaringan granulasi dalam preparat HE jaringan
= konsentrasi larutan (%)
kulit tersebut dianalisa menggunakan program
= massa zat terlarut (mg)

88
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

OlyVIA (viewer for histology examination) dan Analisis Data


AutoCAD 2009 dengan perbesaran 40x. Hasil penelitian dianalisis dengan program
IBM SPSS® Statistics 20 dengan uji
®

Identifikasi Granulasi normalitas data menggunakan uji


Proses identifikasi jaringan granulasi Kolomogorov-Smirnov, uji homogenitas
dengan mengukur ketebalan jaringan granulasi menggunakan test of homogenity of variance,
mulai dari ujung permukaan luka turun ke one-way ANOVA, dan uji post hoc Tukey HSD.
dermis yang lebih rendah di mana proliferasi
sel fibroblas berakhir.17 Pengukuran dilakukan HASIL
pada tiga area yang berbeda, yakni di sisi kiri
dasar luka, pertengahan dari dasar luka, sisi Pada hari ke-15, tikus dimatikan dan
kanan dari dasar luka, kemudian ditarik garis dilakukan pembedahan untuk mengambil
penghitungan sejumlah sembilan garis, lalu jaringan luka yang masih tersisa. Tujuan
diambil nilai rata-rata dari semua garis pengambilan jaringan luka ini untuk
penghitungan. Slide preparat vertikal hasil mendapatkan gambaran luka secara
pewarnaan HE dipindai dan diolah dengan histologis. Pencitraan luka yang diamati adalah
program OlyVIA (viewer for histological panjang jaringan granulasi dengan
examination), kemudian ditentukan perbesaran menggunakan mikroskop Olympus kemudian
40x, dilakukan print screen dan dimasukkan ke dikonversi dengan program OlyVIA (viewer for
dalam proram AutoCAD 2009. histology examination).

A B

C D

Gambar 1. Ketebalan jaringan granulasi dengan pengecatan HE menggunakan mikroskop OLYMPUS


XC10 (40x). Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Keterangan: (A)
Kelompok kontrol (normal saline 0,9 %), (B) Perlakuan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) 15 %, (C) Perlakuan
ekstrak daun sirih (Piper betle L.) 30 %, (D) Perlakuan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) 45 %.

Pada kelompok perawatan luka dengan granulasi yang terbentuk lebih tebal
normal saline 0,9 % didapatkan rata-rata dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada
ketebalan granulasi sebesar 1,1 µm (standar kelompok perawatan luka dengan ekstrak
deviasi ± 0,65 µm). Jaringan granulasi yang daun sirih konsentrasi 30 % didapatkan rata-
terbentuk merupakan yang paling tipis rata ketebalan granulasi sebesar 2,47 µm
dibandingkan dengan semua kelompok perla- (standar deviasi ± 0,73 µm). Jaringan granu-
kuan. Pada kelompok perawatan luka dengan lasi yang terbentuk lebih tebal dibandingkan
ekstrak daun sirih konsentrasi 15 % didapat- dengan kelompok kontrol dan kelompok perla-
kan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 2,41 kuan ekstrak daun sirih konsentrasi 15 %. Pa-
µm (standar deviasi ± 1,48 µm). Jaringan da kelompok perawatan luka dengan ekstrak

89
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

daun sirih konsentrasi 45 % didapatkan rata- Pada penelitian ini digunakan empat ke-
rata ketebalan granulasi sebesar 2,84 µm lompok perlakuan, dengan tiga perlakuan
(standar deviasi ± 1,01 µm). Jaringan granu- menggunakan ekstrak daun sirih dan satu per-
lasi yang terbentuk merupakan yang paling lakuan menggunakan normal salin 0,9 % se-
tebal dibandingkan semua kelompok lainnya. bagai kelompok kontrol. Kelompok perlakuan
Berdasarkan data di atas dapat diambil dengan ekstrak daun sirih (Piper betle L.)
kesimpulan bahwa perawatan luka bakar dera- diberikan dengan tiga konsentrasi berbeda
jat II dengan ekstrak daun sirih dapat mening- yaitu 15 %, 30 %, dan 45 %. Ketebalan jarin-
katkan ketebalan granulasi sebesar 2,41 µm gan granulasi dianalisis pada hari ke-15 kare-
pada konsentrasi 15 %, 2,47 µm pada konsen- na fase proliferasi luka bakar derajat II men-
trasi 30 %, dan 2,84 µm pada konsentrasi 45 capai puncaknya pada hari ke-15.17
%. Dari hasil penelitian didapatkan rerata
ketebalan granulasi yang terbentuk pada ke-
Analisis Data lompok kontrol (normal saline 0,9 %) sebesar
Hasil uji normalitas data setelah dilakukan 1,1 µm dan nilai tersebut merupakan nilai
tes Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai sig- yang paling rendah di antara kelompok
nifikansi sebesar 0,2 (p > 0,05) sehingga H1 lainnya. Hal ini dikarenakan normal salin
diterima dan berarti data ketebalan granulasi merupakan larutan yang bersifat isotonik se-
pada kelompok perlakuan maupun kelompok hingga tidak menyebabkan kerusakan ter-
kontrol berdistribusi normal. Pengujian dapat hadap jaringan baru dan tidak mempengaruhi
dilanjutkan dengan uji homogenitas atau fungsi dari fibroblas dan keratinosit dalam
keragaman data menggunakan test of homo- penyembuhan luka.22 Penelitian lain yang ber-
geneity of variance. Melalui tes ini didapatkan judul The effects of antiseptics on the healing
nilai signifikansi p adalah 0,105 (p > 0,05). Jadi of wounds: a study using the rabbit ear cham-
dapat disimpulkan bahwa data tersebut ber juga menyimpulkan bahwa normal salin
mempunyai ragam yang homogen. tidak mempengaruhi aliran darah dalam pem-
Selanjutnya yaitu pengujian one-way buluh kapiler yang terdapat pada jaringan
ANOVA dengan selang kepercayaan 95 % granulasi.8
atau taraf kesalahan 5 %. Hasil uji one-way Setelah dilakukan uji perbandingan
ANOVA dari ketebalan granulasi pada semua berganda rata-rata ketebalan jaringan
kelompok perlakuan didapatkan nilai signifikasi granulasi, didapatkan hasil kelompok kontrol
sebesar 0,04 (p < 0,05). Dengan demikian (normal saline 0,9 %) berbeda signifikan
dapat disimpulkan bahwa penggunaan ekstrak dengan kelompok perlakuan ekstrak daun sirih
daun sirih (Piper betle L.) pada perawatan luka 45 % dengan p value = 0,037 (α < 0,05). Nilai
bakar derajat II mampu meningkatkan ketebalan jaringan granulasi yang tinggi dapat
ketebalan jaringan granulasi. Hasil uji post hoc terjadi karena pada luka bakar derajat II, fase
test menggunakan uji Tukey HSD didapatkan proliferasi sel mencapai puncaknya pada hari
hasil perbedaan yang signifikan antara ke- ke-15.17
lompok perlakuan ekstrak daun sirih konsen- Jaringan granulasi adalah pertumbuhan
trasi 45 % dengan kelompok kontrol yaitu nor- jaringan baru yang terjadi ketika luka
mal salin 0,9 %. Sementara untuk ekstrak mengalami proses penyembuhan, terdiri atas
daun sirih konsentrasi 15 %, 30 %, dan 45 % pembuluh-pembuluh kapiler yang baru dan sel-
tidak terdapat perbedaan yang signfikan. sel fibroblas yang mengisi rongga tersebut
sehingga ketebalan jaringan granulasi yang
PEMBAHASAN terbentuk bergantung pada angiogenesis
(pembentukan pembuluh darah kapiler) dan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk banyaknya sel-sel fibroblas yang berprolifer-
mengetahui pengaruh perawatan luka bakar asi.6 Salah satu proses penyembuhan luka
derajat II menggunakan ekstrak etanol daun yang baik ditandai dengan kualitas
sirih (Piper betle L.) terhadap ketebalan jarin- pembentukan jaringan granulasi. Semakin
gan granulasi pada tikus putih (Rattus novergi- tebal jaringan granulasi yang terbentuk, proses
cus) jantan galur Wistar. penyembuhan luka yang berlangsung akan

90
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

semakin singkat.18 Peningkatan ketebalan flavonoid yang terdapat dalam ekstrak daun
jaringan granulasi yang terbentuk pada sirih merah mempunyai aktivitas antibakteri
kelompok perlakuan ekstrak daun sirih diduga yang baik. Hasil uji antimikroba menunjukkan
karena efek kandungan senyawa aktif yang bahwa ekstrak etanol 80 %, fraksi n-heksan
berasal dari ekstrak etanol daun sirih. Hasil dan fraksi etilasetat dapat menghambat
ekstraksi etanol daun sirih mengandung pertumbuhan bakteri Escherichia coli,
beberapa kandungan senyawa aktif seperti Staphylococcus aureus, dan jamur Candida
saponin, tannin, flavonoid, fenol, dan minyak albicans. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
atsiri. Kandungan tersebut dapat membantu bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak
proses penyembuhan luka dengan mekanisme yang diberikan maka akan menghasilkan
seluler yang berbeda-beda, yaitu sebagai daerah hambat yang semakin besar. Hal ini
antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan. disebabkan semakin banyak zat aktif yang
terkandung dalam ekstrak maupun fraksi
Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle L.) tersebut.14
sebagai Antiinflamasi
Aktivitas antiinflamasi ekstrak daun sirih Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle L.)
diperkirakan karena adanya senyawa sebagai Antioksidan
golongan flavonoid, saponin, dan tannin. Antioksidan mampu menetralisir radikal
Mekanisme flavonoid dalam menghambat bebas yang dapat menyerang dan
proses terjadinya inflamasi melalui berbagai menyebabkan kerusakan pada sel-sel protein,
cara, yaitu dengan menghambat permeabilitas lipid, dan karbohidrat. Radikal bebas mampu
kapiler, metabolisme asam arakidonat, serta mengganggu integritas, struktur, dan fungsi sel
sekresi enzim lisosom, sel neutrofil dan sel sehingga dibutuhkan antioksidan untuk
endothelial. Mekanisme antiinflamasi saponin menetralisir dampak negatif radikal bebas
adalah dengan menghambat pembentukan tersebut. Daun sirih mempunyai zat yang
eksudat dan menghambat kenaikan bersifat sebagai antioksidan, seperti fenol dan
permeabilitas vaskular. Tannin juga flavonoid. Cara kerja antioksidan adalah
mempunyai aktivitas antiinflamasi, namun dengan memutus reaksi berantai dari radikal
mekanisme kerjanya sebagai antiinflamasi bebas sehingga dapat mencegah kerusakan
belum dijelaskan secara pasti.19 Vagashiya et jaringan. Penelitian yang dilakukan oleh
al (2007) dalam penelitiannya Mun’im et al. (2010) menunjukkan bahwa
mengungkapkan bahwa efek antiinflamasi akut terdapat peningkatan presentase
dan kronis serbuk kasar daun sirih dengan penyembuhan luka yang dilihat dari
dosis 300 mg/kg dan digunakan natrium penyempitan luas area luka pada konsentrasi
diklofenak sebagai kelompok kontrol. Studi ini 20 % dan 40 % jika dibandingkan dengan
menunjukkan bahwa Piper betle L. kelompok kontrol yang menggunakan normal
mempunyai aktivitas antiinflamasi yang efektif saline. Hal tersebut diduga karena infusa daun
dilihat dari penurunan luas edema pada tikus sirih merah dapat menghambat proses
putih pada 1, 2, dan 3 jam pertama. inflamasi melalui penangkapan radikal bebas
oleh antioksidan. Manigahua et al. (2009)
Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle L.) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
sebagai Antimikroba ekstrak etanol daun sirih mempunyai aktivitas
Sirih mengandung senyawa aktif minyak antioksidan yang lebih kuat daripada asam
atsiri dengan komponen fenol alam dari kavikol askorbat, DMSO (dimethyl sulphoxide), dan
(chavicol paraallyphenol), kavibetol, dan BHT (butylated hydroxytoluene). Metode yang
eugenol. Kavikol memberi bau khas pada sirih digunakan dalam penelitian tersebut adalah
dan mempunyai daya antimikroba lima kali DPPH (2,2difenil-1-pikrilhidrazil) sebagai
lebih kuat daripada fenol biasa. Efek sumber radikal bebas.23,10
antimikroba yang dimiliki senyawa aktif minyak Ekstrak etanol daun sirih tidak hanya
atsiri dapat menghambat pertumbuhan memiliki efek sebagai antiinflamasi, antibakteri,
beberapa jenis bakteri.21 Reveny (2011) dan antioksidan, tetapi juga mengandung
mengemukakan bahwa senyawa tannin dan nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan

91
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

luka misalnya vitamin A dan vitamin C. sirih yang optimal dalam hal penyembuhan
Kandungan tersebut diduga bekerja secara luka bakar, khususnya dalam meningkatkan
sinergis sehingga dapat menghasilkan ketebalan jaringan granulasi.
penyembuhan luka secara optimal pada luka Pengeringan daun sirih dengan proses
bakar.10 menggunakan sinar matahari juga
Pada proses penyembuhan luka, vitamin berpengaruh terhadap kandungan daun sirih.
A berperan meningkatkan pembentukan Penelitian yang dilakukan oleh Sutjipto et al.
kolagen, diferensiasi sel epitel, dan (2009) tentang pengaruh cara pengeringan
meningkatkan imunitas. Selain itu, vitamin A terhadap perubahan fisiokimia daun kumis
berperan mempercepat fase inflamasi ke fase kucing (Orthosipon stamineus Benth) dengan
proliferasi dengan meningkatkan monosit dan menggunakan metode diangin-anginkan pada
makrofag ke daerah luka. Makrofag berasal suhu kamar, sinar matahari, oven listrik 50oC,
dari monosit yang berfungsi untuk udara sisa pembakaran bersuhu 60oC, dan
membersihkan bakteria dan debris dari daerah aliran udara panas bersuhu 60oC memberikan
luka. Makrofag menghasilkan faktor hasil metode pengeringan dengan diangin-
pertumbuhan yang diperlukan untuk proliferasi anginkan pada suhu kamar merupakan
sel-sel fibroblas dan angiogenesis. Selain itu, metode terbaik bagi kandungan flavonoid
makrofag berperan dalam regenerasi dermis dalam daun kumis kucing.24
dan proliferasi epidermis. Vitamin C Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
merupakan komponen penting yang diperlukan terdapat pengaruh perawatan luka bakar dera-
untuk proses hidroksilasi prolin dan lisin jat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih
menjadi prokolagen yang penting untuk dalam meningkatkan ketebalan jaringan granu-
sintesis kolagen. Selain berperan dalam lasi pada luka bakar derajat II sehingga dapat
sintesis kolagen, vitamin C juga berperan disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan
meningkatkan fungsi neutrofil dan adalah benar. Selain itu, didapatkan kes-
angiogenesis. Karbohidrat dan protein impulan bahwa penelitian ini memiliki validitas
merupakan sumber energi terpenting yang internal yang tinggi ditandai dengan perbedaan
diperlukan dalam sintesis kolagen. Bahan signifikan antara kelompok perlakuan dan
mineral, yaitu seng berperan dalam sintesis kontrol berdasarkan analisis uji one way ANO-
kolagen dan proses epitelisasi.10 VA, namun masih diperlukan uji lebih lanjut
Pada hari ke-4, jaringan nekrotik pada tiap tentang farmakokinetik, farmakodinamik, tok-
sampel mulai terbentuk. Jaringan nekrotik sisitas, dan efek ekstrak daun sirih ini pada
dapat menghalangi pemberian ekstrak daun hewan coba dan clinical trial pada manusia.
sirih yang diberikan secara topikal sehingga
proses penyembuhan luka yang berlangsung Keterbatasan Penelitian
menjadi kurang optimal. Pada hari ke-12 luas Eksplorasi konsentrasi yang digunakan
area luka pada tiap sampel mulai mengecil. peneliti dalam studi pendahuluan masih ku-
Luas area luka pada kelompok perlakuan rata- rang, yaitu hanya 3 kelompok konsentrasi se-
rata sama besarnya dan tidak menunjukkan hingga belum diketahui potensi konsentrasi
adanya perbedaan bermakna. Luas area luka ekstrak daun sirih yang optimal dalam proses
paling kecil ditunjukkan oleh kelompok kontrol penyembuhan luka bakar, khususnya dalam
(normal saline). Hal ini karena normal saline mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan
merupakan larutan yang bersifat isotonik granulasi.
sehingga hanya mempengaruhi penyembuhan
luka bakar secara superficial.16 Hasil penelitian Implikasi Keperawatan
yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan Untuk dapat diaplikasikan secara klinis,
signifikan antar kelompok daun sirih masih diperlukan penelitian lebih lanjut
disebabkan peneliti kurang dalam hal mengenai standarisasi bahan aktif apa saja
eksplorasi konsentrasi optimal ekstrak daun yang dapat digunakan. Penelitian lebih lanjut
sirih. Konsentrasi yang digunakan hanya tiga, diperlukan untuk mengetahui konsentrasi
yaitu 15 %, 30 %, dan 45 % sehingga belum ekstrak daun sirih (Piper betle L.) yang aman
diketahui potensi konsentrasi ekstrak daun dan tepat untuk agar dapat berfungsi sebagai

92
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

obat luka bakar derajat II sehingga dapat 9/18039/1/Perbedaan-kecepatan


digunakan sebagai pengobatan komplementer penyembuhan-luka-bakar-derajat-II-
maupun alternatif untuk berbagai kalangan antara-perawatan-luka-menggunakan-
masyarakat di Indonesia. virgin coconut-Oil-%28Cocos-
nucifera%29-dan normal-salin-pada-tikus-
KESIMPULAN putih-%28Rattus-norvegicus%29-strain-
wistar.pdf. Diakses 13 Maret 2012)
Berdasarkan hasil penelitian yang telah 3. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FT. Inti-
dilakukan dapat disimpulkan bahwa rata-rata sari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Laniyati
peningkatan ketebalan granulasi pada ke- dkk (Penerjemah). Edisi ke-6. Jakarta:
lompok yang mendapat perlakuan ekstrak EGC. 2000. Terjemahan dari : Principles
daun sirih (Piper betle L.) 15 % sebesar 2,41 of Surgery. Seymour IS (Editor).
µm, 30 % sebesar 2,47 µm, dan 45 % sebesar 4. Majewska I, Gendaszewska-Darmach E.
2,84 µm. Pada kelompok kontrol dengan nor- Proangiogenic Activity of Plant Extracts in
mal saline 0,9 %, rata-rata ketebalan granulasi Accelerating Wound Healing ─ A New
sebesar 1,1 µm. Pemberian ekstrak etanol Face of Old Phytomedicines. Acta Bio-
daun sirih (Piper betle L.) berpengaruh ter- chimica Polonica. 2011; 58(4): 449-460.
hadap peningkatan ketebalan jaringan granu- 5. Rahmawati. Pengaruh Stimulasi Elektrik
lasi pada perawatan luka bakar derajat II tikus terhadap Pengurangan Luas Luka pada
putih (Rattus novergicus) jantan galur Wistar Penyembuhan Luka (Debth Wound).
dengan nilai signifikansi sebesar 0,04 (p < Jurnal Pendidikan Mutiara Ilmu. 2009;
0,05). 4(2):102-107.
6. Tim Widyatama. Kamus Keperawatan.
SARAN
Jakarta : Widyatama. 2010.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai 7. Romo T. Medscape Reference: Drugs,
perbedaan ketebalan granulasi pada jaringan Diseases, & Procedures, Skin Wound
normal dengan jaringan yang mengalami pros- Healing. 2012. (Online),
es penyembuhan luka setelah dirawat http://emedicine.medscape.com/article/88
menggunakan ekstrak daun sirih (Piper betle 4594-overview#aw2aab6b5. Diakses 19
L.). Serta penelitian tentang ekstrak daun sirih November 2011.
sebagai obat perawatan luka bakar derajat II 8. Gannon R. Nursing Times. Fact File:
dalam bentuk sediaan yang lain seperti sedi- Wound Cleansing: Sterile Water or Sa-
aan obat padat atau semi padat (krim atau line?. 2007. (Online).
gel). (http://www.nursingtimes.net/fact-file
wound-cleansing-sterile-water-or-
DAFTAR PUSTAKA saline/201829.article, diakses 21 Novem-
ber 2012).
1. Smeltzer SC, Brenda GB. Buku Ajar 9. Soemiati A, Elya B. Uji Pendahuluan Efek
Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Kombinasi Antijamur Infus Daun Sirih
Suddarth. Waluyo dkk (Penerjemah). Vol (Piper betle L.), Kulit Buah Delima (Punica
3. Edisi ke-8. Jakarta: EGC. 2002. Ter- granatum L.), Dan Rimpang Kunyit (Cur-
jemahan dari: Brunner & Suddarth’s Text- cuma domestica Val.) Terhadap Jamur-
book of Medical-Surgical Nursing. Su- Candida albicans. Makara – Seri Sains.
zanne CS (Editor). 8th Ed. 2002; 6(3): 149-154.
2. Nurdiana, Hariyanto, dan Musrifah. 10. Mun’im A, Azizahwati, Fimani A.
Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Lu- Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih
ka Bakar Derajat II antara Perawatan Luka Merah (Piper cf. fragile, Benth) secara
Menggunakan Virgin Coconut Oil (Cocos Topikal terhadap Penyembuhan Luka Pa-
nucifera) dan Normal Salin pada Tikus da Tikus Putih Diabet. Hibah Awal DRPM
Putih (Rattus novergicus) Strain Wistar. Universitas Indonesia. No Kontrak :
2008. (Online). 2512/H2.R12/PPM.01 Sumber Penda-
(http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/1234568 naan/2010. Depok : UI. 2010.

93
Majalah Kesehatan FKUB Volume 1, Nomer 2, Juni 2014

11. Vikash C, Shalini T, Verma NK, Singh DP, 19. Yaman I, Durmus AS, Ceribasi S, Yaman
Chaudhary SK, Asha R. Piper betel: Phy- M. Effects of Nigella sativa and Silver Sul-
tochemistry, Traditional Use & Pharmaco- fadiazine on Burn Wound Healing Rats.
logical Activity - a Review. International Veterinarni Medicina. 2010; 55(12):619-
Journal of Pharmaceutical Research and 624.
Development (IJPRD). 2012; 4(4):216- 20. Fitriyani A, Winarti L, Muslichah S, Nuri.
223. Uji Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun
12. Li K, Diao Y, Zhang H, Wang S, Zhang Z, Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav)
Yu B, Huang S, Yang H. Tannin Extracts pada Tikus Putih. Majalah Obat Tradision-
from Immature Fruits of Terminalia Chebu- al. 2011; 16(1):34-42.
la Fructus Retz. Promote Cutaneous 21. Vagashiya Y, Nair R, Chanda S. Investiga-
Wound Healing in Rats. BMC Comple- tion of Some Piper Species for Anti-
mentary and Alternative Medicine. 2011; Bacterial and Anti-Inflammatory Property.
11 (86). International Journal of Pharmacology.
13. Arambewela LSR, Arawwawala LDAM, 2007; 3(5):400-405.
Kumaratunga KG, Dissanayake DS, 22. Salami, Ayodeji A., Imosemi, Innocent O.,
Ratnasooriya WD, Kumarasingha SP. In- Owoeye, Olatunde O. Comparison of the
vestigations on Piper betle Grown in Sri Effect of Chlorhexidine, Tap Water, and
Lanka. National Center for Biotechnology Normal Saline on Healing Wounds. Int J
Information, 2011; 5(10):159-163. Morphol. 2006; 24(4):673-676.
(Online). 23. Hendrayani SF. Pengaruh Beberapa
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L) ter-
PMC3263050/. Diakses 9 September hadap Pertumbuhan Candida albicans.
2012). Tesis. Tidak diterbitkan. Bogor : Institut
14. Reveny J. Daya Antimikroba Ekstrak dan Pertanian Bogor. 2005.
Fraksi Daun Sirih Merah (Piper betle 24. Manigauha A, Ali H, Maheshwari MU. An-
Linn.). Jurnal Ilmu Dasar. 2011; 12(1):6- tioxidant Activity of Ethanolic Extract of
12. Piper betel Leaves. Journal of Pharmacy
15. Widyastuti N. Pengukuran Aktivitas Anti- Research. 2009; 2(3):491-494.
oksidan dengan Metode CUPRAC, DPPH, 25. Sutjipto, Wahyu JP, Widiyastuti Y.
dan FRAP serta Korelasinya dengan Pengaruh Cara Pengeringan terhadap Pe-
Fenol dan Flavonoid pada Enam Tana- rubahan Fisikokimia Daun Kumis Kucing
man. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika (Orthosipon stamineus Benth). The Jour-
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Per- nal of Indonesian Medicinal Plant. 2009;
tanian Bogor. 2010. 2(1):24-27.
16. Nursalam. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen
Penelitian Keperawatan. Edisi ke-2. Jakar-
ta: Salemba Medika. 2011.
17. Moenadjat Y. Luka Bakar: Masalah dan
Tatalaksana. Edisi ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2009.
18. Paglinawan R, Colic M, Simon M. A
Comparative Study of the Influence of Dif-
ferent Pressure Levels Combined with
Various Wound Dressings on Negative
Pressure Wound Therapy (NPWT) Driven
Wound Healing. Presented at the Europe-
an Tissue Repair Society. 2008 Septem-
ber 10-12. Republic of Malta.

94
TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
TENTANG EVIDENCE BASED PRACTICE
NYERI PADA PASIEN LUKA BAKAR

DISUSUN OLEH :

NAMA : AARON SEIPALA

NPM : 12114201180135

KELAS :D

PRODI : ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat dan rahmatnya saya
dapat menyelesaikan Tugas ini dengan baik dan tepat waktu.
Adapun mengingat ketidakmampuan saya dalam menyelesaikan Tugas ini maka
kritikan dan saran sangat saya harapkan dari semua pihak agar dalam Tugas selanjutnya dapat
menjadi lebih sempurna
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BAB II PEMBAHASAN
A. PICO
B. PEMBAHASAN TERKAIT HASIL PICO (ANALISA)
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu tenaga
kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru yang
dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan efisien sehingga dapat
memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011). Sedangkan menurut
(Bostwick, 2013) evidence based practice adalah starategi untuk memperolah pengetahuan
dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah laku yang positif sehingga bisa menerapakan EBP
didalam praktik. Dari kedua pengertian EBP tersebut dapat dipahami bahwa evidance based
practice merupakan suatu strategi untuk mendapatkan knowledge atau pengetahuan terbaru
berdasarkan evidence atau bukti yang jelas dan relevan untuk membuat keputusan klinis yang
efektif dan meningkatkan skill dalam praktik klinis guna meningkatkan kualitas kesehatan
pasien.
BAB II
PEMBAHASAN

PENGARUH TERAPI MUROTTAL AL QUR'AN


TERHADAP NYERI PADA PASIEN LUKA BAKAR

Rantiyana, Miranti Florencia, Suratun Program Studi Ilmu


Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah
Palembang e-mail: rantiyana8@gmail.com

Abstact: Objective of the study is to know the effect of Qur’an


murottal therapy toward pain of the burned patients in the surgical
room at RSUD Prabumulih year 2017. The study used pre-
experimental one group pretest-posttest. Population of the study
was all the burned patients grade
96 treated in the surgical room at RSUD Prabumulih. The
researcher used nonprobability sampling method with consecutive
sampling to select 15 respondents. The results showed that the
pain average scale of the patients was 5.73. After getting the
murottal therapy, the pain average scale changed into 3.73. The
result of paired t-test with p-value 0.001 > α = 0.05. There is an
effect of Qur’an murottal therapy toward pain of the burned
patients in the surgical room at RSUD Prabumulih year 2017.

Keywords: murottal therapy, burns pain

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh


terapi murottal terhadap perubahan skala nyeri pada pasien luka
bakar di ruang surgical RSUD Prabumulih Tahun 2017. Penelitian
ini menggunakan metode pre eksperimental one group pretest-
postest. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien luka
bakar derajat II yang di rawat di ruang surgical Rumah Sakit
Umum Daerah Prabumulih. Pengambilan sampel dengan cara
nonprobability sampling dengan cara consecutive sampling
dengan jumlah sampel 15 responden. Rerata skala nyeri
responden sebelum diberikan terapi murottal yaitu sebesar 5,73
sedangkan setelah diberikan terapi murrotal terjadi perubahan
rata-rata
nyeri responden menjadi 3,73. Hasil uji paired t-test diperoleh t
hitung =11,832 > ttabel 2,144 dan nilai p value = 0,001 > α =0,05.
Terapi murrotal mempunyai pengaruh terhadap penurunan skala
nyeri responden.

Kata Kunci : terapi murottal, nyeri luka bakar


.
98 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 13, No. 2, Desember 2017: 167-177
mendengarkan musik dan massage
PENDAHULUAN (pijatan).
Luka bakar merupakan cedera Teknik relaksasi yaitu metode
yang cukup sering dihadapi oleh yang didasarkan kepada keyakinan
dokter, jenis yang berat bahwa tubuh berespon pada ansietas
memperlihatkan morbiditas dan derajat yang merangsang pikiran karena nyeri
cacat yang relatif tinggi dibandingkan atau kondisi penyakit, hal utama yang
dengan cedera oleh sebab lain. Menurut dibutuhkan dalam pelak-sanaan teknik
De-partemen Kesehatan Republik relaksasi adalah klien dengan posisi
Indonesia (2008), prevalensi luka bakar nyaman dan lingkungan yang tenang,
di Indonesia sebesar 2,2% dengan imajinasi terbimbing, umpan balik
prevalensi tertinggi di Provinsi NAD biologis, hipnosis, dan sentuhan
dan Kepulauan Riau (3,8%). terapeutik, selain itu
Di Yogyakarta, berdasarkan data
Di-nas Kesehatan Kabupaten Sleman
(2010), korban pasca erupsi gunung
Merapi terda-pat 277 korban dan 170 di
antaranya me-ninggal dalam keadaan
luka bakar, dan beberapa korban lain
menderita luka bakar yang cukup
serius. Jaringan kulit yang rusak akan
direspon oleh tubuh melalui respon
vas-kuler dan seluler, sehingga terjadi
proses pe-nyembuhan luka. Tubuh akan
menyempur-nakan proses
penyembuhan dengan pem-bentukan
jaringan baru menjadi jaringan pe-
nyembuhan yang kuat dan bermutu
(Rekso-prodjo, 2010).
Tindakan untuk mengatasi nyeri
dapat dibedakan dalam dua kelompok
utama, yaitu tindakan pengobatan
(farmakologi) dan tindakan non
farmakologi (tanpa pengo-batan).
Metode penatalaksanaan non far-
makologis tindakan distraksi dilakukan
de-ngan mengalihkan perhatian pasien
dari rasa nyeri. Teknik distraksi yang
dapat dilaku-kan antara lain: bernapas
dengan lambat dan berirama secara
teratur, menyanyi berirama dan
menghitung ketukannya,
farmakologis be-rupa pemberian terapi
stimulasi kulit dapat memberikan efek obat untuk menekan rasa nyeri hingga
penurunan nyeri yang efektif. Tindakan pada batas yang dapat di-toleransi oleh
ini mengalihkan perhatian klien pasien. Akan tetapi efek obat tersebut
sehingga klien berfokus pada stimulasi habis sebelum jadwal pemberian obat
taktil dan meng-abaikan sensasi nyeri, selanjutnya, sehingga nyeri akan kem-
yang pada akhirnya dapat menurunkan bali timbul dan mengganggu
persepsi nyeri . (Asmadi, 2008, kenyamanan pasien. Apabila pasien
Tamsuri 2012). diberikan obat anal-gesik kembali
Tenik mendengarkan murottal melebihi dosis yang dianjur-
meru-pakan teknik distraksi
mendengarkan musik berupa suara
alunan ayat suci yang memiliki
pengaruh positif bagi pendengarnya
(Wida-yarti, 2011). Terapi murotal
dapat memper-cepat penyembuhan, hal
ini telah dibuktikan oleh berbagai ahli
seperti yang telah dilaku-kan Ahmad
Al Khadi, Direktur Utama Islamic
Medicine Institute for Education and
Research di Florida, Amerika Serikat.
Da-lam Konferensi Tahunan ke-27
Ikatan Dok-ter Amerika, dengan hasil
penelitian bahwa mendengarkan ayat
suci Al-Quran memiliki pengaruh yang
signifikan dalam menurunkan
ketegangan urat saraf reflektif dan hasil
ini tercatat dan terukur secara
kuantitatif dan kualitatif oleh alat
berbasis komputer (Remolda, 2009).
Hasil studi pendahuluan
didapatkan informasi bahwa jumlah
pasien luka bakar pada tahun 2014
sebanyak 53 pasien terdiri dari 34
pasien laki-laki dan 19 pasien pe-
rempuan, tahun 2015 sebanyak 20
pasien terdiri dasri 15 pasien laki-laki
dan 5 pasien perempuan dan pada
tahun 2016 sebanyak 12 orang terdiri
dari 8 orang pasien laki-laki 4 orang.
Rata-rata pasien dengan luka bakar
derajat II mengalami nyeri.
Untuk mengatasi nyeri tersebut
telah dilakukan tindakan terapi
Rantiyana, dkk., Pengaruh Terapi Murottal Al Qur’an
............................................................................. 169

kan, akan menyebabkan efek samping HASIL PENELITIAN


yang buruk terhadap organ tubuh
Tabel 1. Distribusi Rata-Rata
lainnya terutama ginjal, selain itu efek
Menurut Usia Responden
penenang yang ada da-lam obat dapat
menyebabkan efek ketergan-tungan Variabel Min Max Mean SD
obat pada pasien. Usia 24 55 35,73 9,743

METODE PENELITIAN Tabel 2. Distribusi Frekuensi


Desain penelitian yang digunakan Respon-den Berdasarkan
yaitu pre eksperimental one group Jenis Kela-min Responden
pretest-pos-test yaitu suatu penelitian
pre eksperimental dimana peneliti Variabel F (%)
Jenis Kelamin
memberikan perlakuan pada kelompok
Laki-Laki 7 46,7
studi tetapi sebelumnya diukur atau di Perempuan 8 53,3
test dahulu (pretest) selanjutnya sete- Pendidikan
lah perlakuan kelompok studi diukur Pendidikan rendah
(SD- 2 13,3
atau dites kembali (protest) dalam SMP)
penelitian ini tidak dilakukan Pendidikan tinggi
randomisasi dan dilakukan pada satu (SMA – 13 86,7
Perguruan Tinggi)
kelompok studi).
Pekerjaan
Populasi penelitian adalah seluruh Ibu Rumah Tangga 5 33,3
pa-sien luka bakar yang dirawat di PNS 2 13,3
ruang sur-gical RSUD Prabumulih. Swasta 3 20,0
Sampel penelitian ini adalah pasien Wiraswasta 5 33,3
luka bakar sesuai kriteria penelitian Total 15 100
yang berada di ruang surgical RSUD
Prabumulih pada bulan 04 April-03 Berdasarkan tabel 3 diketahui
Mei 2017 sebanyak 15 responden. bahwa rata-rata skala nyeri responden
Pena-rikan sampel dilakukan dengan sebelum
mengguna-kan teknik penarikan
nonprobability
sampling design yaitu dengan menggu-
nakan consecutive sampling.

Tabel 3. Distribusi Rata-Rata Skala Nyeri Responden Sebelum dan Sesudah


diberikan Terapi Murrotal

Variabel Min Max Mean SD SE


Skala Nyeri
4 8 5,73 1,033 0,267
SebelumTerapi
Skala nyeri
2 5 3,73 1,033 0,267
Sesudah Terapi
Tabel 4. Pengaruh Terapi Murottal terhadap Perubahan
Nyeri

Variabel Skala n
Mean SD SE t P Value
Nyeri
Sebelum diberkan 15
5,73 1,033 0,267
terapi Murotal
11,832 0,001
Sesudah diberkan 15
3,73 1,033 0,267
terapi Murotal
170 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 13, No. 2, Desember 2017: 167-177
18 tahun, dewasa usia 19-59 tahun,
diberikan terapi murottal yaitu sebesar lansia usia lebih dari 60 tahun. Usia
5,73 sedangkan setelah diberikan terapi mempunyai peranan yang penting
murottal terjadi perubahan rata-rata dalam mempersep-sikan dan
nyeri responden menjadi 3,73. Beda mengekspresikan rasa nyeri. Dalam
rata-rata skala nyeri se-belum diberikan penelitian ini responden sebagian besar
terapi murottal dan sesudah diberikan dapat digolongkan pada usia dewasa.
terapi murottal sebesar 2,0. Pasien dewasa memiliki respon yang
Dari tabel di atas juga diperoleh berbe-da terhadap nyeri dibandingkan
nilai t pada lansia. Nyeri dianggap sebagai
hitung sebesar 11,832 dimana nilai kondisi yang alami dari proses
tersebut lebih besar dari nilai t tabel penuaan. Cara menafsirkan nyeri
untuk df=14 dengan tingkat signifikan
sebesar 0,05 yaitu
2,144, sehingga terdapat perbedaan
yang signifikan skala nyeri sebelum
dan sesudah diberikan terapi murottal
terhadap nyeri pa-da pasien luka bakar
di ruang surgical RSUD Prabumulih
dapat diterima. Pada penelitian ini juga
diperoleh nilai p value=0,001 dimana
nilai tesebut lebih kecil dari nilai α
=0,05 sehingga hipotesis yang
menyatakan ada pengaruh terapi
murottal terhadap nyeri pada pasien
luka bakar di ruang surgical RSUD
Prabumulih dapat diterima.

PEMBAHASAN
Usia Responden
Tabel 1 menunjukkan besarnya
simpangan baku 9,743. Usia terendah
adalah 24 tahun dan usia tertinggi 55
tahun. Dari tabel tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar responden
berusia dewasa yaitu rata-rata berusia
35,73 tahun.
Menurut Prasetyo (2010), usia
meru-pakan variabel yang paling
penting dalam mempengaruhi nyeri
pada individu. Batasan usia menurut
DepKes RI (2010) yaitu anak-anak
mulai usia 0-12 tahun, remaja usia 13-
orang dewasa kadang melaporkan nyeri
ada dua. Pertama, rasa sakit adalah jika sudah patologis dan mengalami
normal dari proses penuaan. Kedua kerusakan fungsi.
sebagai tanda penuaan. Usia sebagai
Jenis Kelamin Responden
faktor penting dalam pemberian obat.
Hasil penelitian ini menunjukkan
Perubahan metabolik pada orang yang
bahwa jenis kelamin responden yang
lebih tua mempengaruhi respon
terbe-sar dalam penelitian ini yaitu
terhadap analgesik opioid.
perempuan sebanyak 8 responden
Penelitian ini berbeda dengan
(53,3%) sedangkan
pene-litian yang dilakukan oleh
Khasinah (2015), dimana dalam
penelitiannya terdapat dua kelompok
usia yang dominan yaitu respon den
dari kelompok usia remaja akhir (17-
25 tahun) dan responden dari kelompok
usia lansia awal (46-55 tahun) dengan
persentase masing-masing sebesar
40%. Sementara itu sisanya adalah
responden dari kelompok usia dewasa
awal (26-35 tahun) dan respon-den dari
kelompok usia lansia akhir (56-65
tahun) dengan persentase masing-
masing sebesar 10%.
Berdasarkan hasil penelitian, teori
yang ada dan penelitian yang terkait
dengan pene-litian ini maka peneliti
menyimpulkan bahwa faktor usia
sangat mempengaruhi seseorang dalam
merespon nyeri yang dialaminya. Usia
dewasa cendrung memiliki pengalaman
nyeri sebelumnya sehingga dapat
mengontrol nyeri hingga batas yang
dapat ditoleransi. Anak-anak kesulitan
untuk memahami nyeri dan
beranggapan kalau apa yang dilakukan
perawat dapat menyebabkan nyeri.
Anak-anak yang belum mempunyai
kosakata yang banyak, mempunyai
kesulitan mendeskrip-sikan secara
verbal dan mengekspresikan nyeri
kepada orang tua atau perawat. Anak
belum bisa mengungkapkan nyeri,
sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak sedangkan pada
Rantiyana, dkk., Pengaruh Terapi Murottal Al Qur’an
............................................................................. 171
daripada pria. Kondisi nyeri kronis
yang berjenis kelamin laki-laki yang lebih umum pada wanita
sebanyak 7 orang (46,7%). Dengan dibandingkan pria misalnya
demikian maka sebagian besar fibromyalgia, sindrom iritasi usus,
responden dalam penelitian ini berjenis rheumatoid arthritis dan migrain.
kelamin perempuan. Fillingim dan Maixner (2009)
Menurut Prasetyo (2010) secara dalam studinya menjelaskan bahwa
umum pria dan wanita tidak berbeda perempuan memiliki sensitivitas yang
secara signifikan dalam berespon lebih tinggi terha-dap nyeri
terhadap nyeri. Faktor jenis kelamin ini dibandingkan laki-laki meskipun
dalam hubungannya dengan faktor perempuan lebih mampu menahan
yang mempengaruhi nyeri ada-lah sakit daripada laki-laki karena lebih
bahwasannya laki-laki dan wanita tidak akrab dengan
mempunyai perbedaan secara
signifikan me-ngenai respon mereka
terhadap nyeri. Ma-sih diragukan
bahwa jenis kelamin merupa-kan faktor
yang berdiri sendiri dalam eks-presi
nyeri. Misalnya anak laki-laki harus
berani dan tidak boleh menangis
dimana seorang wanita dapat menangis
dalam waktu yang sama.
Penelitian yang dilakukan Burn,
dkk. (1989) dikutip dalam Potter &
Perry, 2010 mempelajari kebutuhan
narkotik post operative pada wanita
lebih banyak diban-dingkan dengan
pria hal ini mengindikasikan bahwa
wanita lebih sulit mentoleransi rasa
nyeri sehingga perlu bantuan obat-
obatan penghilang nyeri.
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Wahyuningsih (2013) yang
menyatakan bahwa pria dan wanita
merasakan nyeri dengan cara berbeda.
Ke-tika pria merasa sakit tekanan darah
naik, sedangkan pada wanita, detak
jantung me-ningkat dan tekanan darah
tetap stabil atau bahkan menurun.
Wanita mengalami nyeri kronis lebih
lama, lebih intens dan lebih sering
koping yang konstruktif dan efektif dari
rasa nyeri akibat pre menstrual pada yang berpendidikan rendah.
syndrome maupun disminore. Pada Berbeda dengan penelitian yang
penelitian Grodof-sky dan Sinha (2014) dila-kukan oleh oleh Ganda (2013)
responden perempuan post ORIF juga dimana hasil penelitiannya
melaporkan skala tingkat nyeri yang menunjukkan bahwa dari nyeri
lebih tinggi daripada responden laki-
responden dari segi pendidikan dibagi
laki post ORIF.
Berdasarkan hasil penelitian, teori da-
yang ada dan penelitian yang terkait
maka peneliti menyimpulkan bahwa
perempuan cenderung lebih banyak
mengalami intensitas nyeri
dibandingkan dengan pria. Ketika pria
me-rasa sakit tekanan darah naik,
sedangkan pada wanita, detak jantung
meningkat dan tekanan darah tetap
stabil atau bahkan me-nurun. Wanita
mengalami nyeri kronis lebih lama,
lebih intens dan lebih sering daripada
pria.

Tingkat Pendidikan Responden


Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan responden
dalam pene-litian ini didasarkan atas
kategori menurut Arikunto (2012).
Responden dengan tingkat pendidikan
tinggi (SMA-Perguruan Tinggi)
sebanyak 13 orang (86,7%).
Kuncoroningrat dalam Nursalam
(2010) mengemukakan bahwa tingkat
pendidikan seseorang akan
mempengaruhi dalam hal menerima
informasi sehingga pengetahuan yang
didapat akan semakin luas. Hal ini akan
mempengaruhi tingkat nyeri yang
dialami oleh pasien. Oleh karena res-
ponden pada penelitian ini berlatar
belakang pendidikan yang tidak sama
maka pola koping dan respon terhadap
nyeri yang dira-sakan juga tidak sama.
Kaitan pendidikan dengan tingkat nyeri
yaitu pendidikan yang tinggi akan lebih
mampu mengatasi dan menggunakan
172 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 13, No. 2, Desember 2017: 167-177
Penelitian yang menyatakan
lam lima kelompok tingkat pendidikan adanya suatu hubungan antara
responden tidak sekolah yaitu kebugaran jasmani dan nyeri tidak
berjumlah 22,2%, selanjutnya 17,8% konsisten. Nyeri lebih sering terjadi
masing-masing untuk tingkat pada orang yang memiliki kekuatan
pendidikan SD dan SMP, sebesar yang kurang dibanding dengan tuntutan
31,1% responden berpendidikan SMA, tugas. Pada beberapa penelitian,
dan sebesar 11,1% berpendidikan
kapasistas konsumsi O2 yang rendah
diploma/sarjana.
belum diketahui memprediksi kejadian
Berdasarkan hasil penelitian, teori
nyeri punggung bawah. Orang-orang
yang ada serta penelitian yang terkait,
dengan kebugaran jas-
peneliti ber-pendapat bahwa tidak
semua responden dengan tingkat
pendidikan rendah maupun tinggi
mengalami nyeri dengan tingkat skala
yang tinggi atau rendah karena semua
itu tergantung kepada kesiapan individu
dalam menghadapi nyeri serta
bagaimana meres-ponnya berdasarkan
kemampuan koping yang dimilikinya.

Pekerjaan Responden
Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa pekerjaan responden
yang terbanyak dalam penelitian ini
yaitu ibu rumah tangga dan wiraswasta
yaitu masing-masing dengan jumlah
responden lima orang (33,3%). Dengan
demikian maka sebagian besar
responden dalam penelitian ini
memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga dan wiraswasta.
Keluhan nyeri jarang ditemukan
pada orang yang dalam kegiatan
kesehariannya memiliki waktu yang
cukup untuk beristira-hat. Sebaliknya
orang yang pekerjaannya memerlukan
pengerahan tenaga besar, namun tidak
memiliki waktu cukup untuk
beristirahat, risiko untuk mengalami
keluhan nyeri terutama nyeri otot akan
meningkat.
diberikan terapi murot-tal adalah 5,73.
mani paling rendah dapat mengalami Hal ini menunjukkan terjadi penurunan
penin-gkatan nyeri yang disebabkan rata-rata skala nyeri responden dalam
oleh cidera (Syahrul, 2012). kategori sedang. Hal ini sejalan dengan
Penelitian ini senada dengan pendapat Andarmoyo (2013), yang
penelitian yang dilakukan oleh Liza menyatakan bahwa intensitas nyeri
(2014) penelitian-nya dengan adalah gambaran tentang seberapa
melakukan pengamatan dari seluruh parah nyeri dirasakan oleh individu.
perempuan yang menjadi responden Pengukuran
penelitian rata-rata sebagai ibu rumah
tang-ga. Selain bekerja mencetak batu
bata, mereka juga mengerjakan
pekerjaan rumah. Hal ini juga yang
menjadi faktor pendukung timbulnya
nyeri, karena kurangnya waktu istirahat
pada responden dan menyebabkan
kurangnya kebugaran jasmani.
Berdasarkan hasil penelitian, teori
yang ada serta penelitian yang terkait,
dapat di-simpulkan bahwa pekerjaan
yang dilakukan dengan intensitas tinggi
tanpa adanya istira-hat dapat
meningkatkan respon nyeri sese-orang
selain disebabkan oleh faktor kebu-
garan jasmani serta kelelahan yang
dialami responden. Seorang ibu rumah
tangga memi-liki pekerjaan yang cukup
berat mulai dari matahari terbit hingga
matahari terbenam aktivitas di rumah
tiada hentinya. Kegiatan inilah yang
menyebabkan kurangnya istirahat dan
tingkat kebugaran seorang ibu rumah
tangga. Sama halnya dengan
wiraswasta yang memiliki pekerjaan
yang tidak tetap seperti pedagang,
penyedia jasa dan lain sebagainya yang
memiliki jam kerja yang terkadang
melebihi batas normal.

Rata-rata Nyeri Sebelum Diberikan


Terapi Murottal
Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh data bahwa distribusi rata-
rata skala nyeri responden sebelum
Rantiyana, dkk., Pengaruh Terapi Murottal Al Qur’an
............................................................................. 173
Hal ini menunjukkan terjadi penurunan
intensitas nyeri bersifat sangat rata-rata skala nyeri responden
subyektif dan nyeri dalam intensitas sebanyak 2 skala dibandingkan
yang sama dirasakan berbeda oleh dua sebelum diberikan terapi murrotal.
orang yang berbeda. Cooke dkk. (2005) dalam risetnya
Sama halnya dengan penelitian menunjukkan bahwa terapi murottal
yang dilakukan oleh Khasinah (2015), Al-Qur’an yang pendek seperti Juz
dimana hasil penelitiannya ‘Amma memberikan dampak yang
menunjukkan bahwa Responden pasien lebih cepat ke otak. Hal ini karena
post ORIF di RS PKU Muhammadiyah surat-surat Juz ‘Amma pendek mudah
Yogyakarta berdasarkan rata-rata hasil dihafal dan familiar bagi pendengaran
pretest sebelum diberikan terapi sehingga dalam 15 menit
murottal Juz ‘Amma hari pertama dan
kedua diketahui sebagian mengalami
nyeri sedang (50%) dan sebagian lagi
mengalami mengalami nyeri berat
(50%).
Berdasarkan hasil penelitian, teori
yang ada dan penelitian yang terkait,
maka peneliti berpendapat bahwa rata-
rata skala nyeri responden yang
dikategorikan pada skala nyeri sedang
yaitu 5,73. Hal ini dikarenakan pada
saat penelitian responden baru menja-
lani keperawatan di ruang surgical
selama ± 12 jam setelah dari UGD.
Kondisi ini mempengaruhi keadaan
umum pasien yang masih mengalami
nyeri dari sedang hingga berat selain itu
faktor luasnya luka bakar serta respon
tubuh masing-masing individu yang
berbeda terhadap efek analgesik yang
diberikan tentunya mempengaruhi
skala nyeri yang dialami tiap individu
berbeda.

Rata-rata Nyeri Sesudah diberikan


Terapi Murrotal
Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh data bahwa distribusi rata-
rata skala nyeri responden sesudah
diberikan terapi murottal adalah 3,73.
kan ketenangan dan menurunkan
mampu memberikan dampak ke otak. ketegangan urat syaraf dan menurunkan
Terapi Murottal yang termasuk hormon-hormon stress, mengaktifkan
dalam hormon endorphin alami,
jenis terapi musik mempunyai tujuan meningkatkan perasaan rileks dan
untuk membantu mengekspresikan mengalihkan perhatian dari rasa takut,
perasaan, membantu rehabilitas fisik, cemas dan tegang, memperbaiki system
memberikan pengaruh positif terhadap kimia tubuh sehingga menurunkan
kondisi suasana hati dan emosi,
meningkatkan memori, serta
menyediakan kesempatan yang unik
untuk berinteraksi dengan sang
pencipta. Terapi murottal ini juga
diharapkan dapat memban-tu mengatasi
stress dan meringankan rasa nyeri
(Purwanto, 2012)
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Sodikin (2012) yang
juga mene-mukan efektivitas bacaaan
murottal Al-Qur’an terhadap rasa nyeri
pasca operasi. Beberapa penelitian lain
juga mengkonfir-masi bahwa bacaan
murottal Al-Qur’an efektif menurunkan
rasa nyeri pada berbagai situasi lain
seperti nyeri persalinan dan nyeri akibat
pemasangan ventilator mekanik (Sokeh
dkk., 2013).
Sama halnya dengan penelitian
yang dilakukan oleh Khasinah (2015),
respon-den pasien post ORIF di RS
PKU Muham-madiyah Yogyakarta
berdasarkan rata-rata hasil post test
terapi murottal Juz ‘Amma hari
pertama dan kedua diketahui sebagian
besar mengalami nyeri sedang (70%)
dan sisanya mengalami mengalami
nyeri ringan (30%).
Berdasarkan hasil penelitian, teori
yang ada dan penelitian yang terkait,
maka peneliti berpendapat bahwa rata-
rata skala nyeri responden yang
dikategorikan pada skala nyeri sedang
yaitu 3,73 disebabkan karena adanya
efek dari terapi murottal. Dengan terapi
murottal ini responden dapat merasa-
174 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 13, No. 2, Desember 2017: 167-177
nyeri. Hal ini berdasarkan penelitian
tekanan darah serta memperlambat yang dilakukan oleh Hidayah (2013)
perna-fasan, denyut jantung, denyut dan (Handayani dkk, 2014)
nadi dan aktivitas gelombang otak. menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
Laju pernafasan yang lebih dalam atau pemberian terapi murotal Al-Qur’an
lebih lambat sangat baik menimbulkan terha-dap tingkat nyeri. Pada penelitian
ketenangan, kendali emosi, pemikiran tersebut kelompok yang diberikan
yang lebih dalam dan metabolism yang terapi murotal Al-Qur’an memiliki
lebih baik. tingkat nyeri yang lebih rendah
dibandingkan kelompok yang tidak
Pengaruh Terapi Murottal
diberikan terapi murotal Al-Qur’an.
terhadap Penurunan Nyeri
Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh bahwa skala nyeri pasien
luka bakar sebe-lum diberikan terapi
murrotal paling rendah adalah skala 4
(nyeri sedang) dan tertinggi dengan
skala 8 (berat) dengan rata-rata skala
nyeri yaitu 5,73. Namun skala nyeri
pada pasien luka bakar setelah
diberikan terapi murottal, skala
terendah menjadi 2 (ringan) dan
tertinggi pada skala 5 (sedang) dengan
rata-rata skala nyeri sebesar 3,73.
Terapi murottal Al-Qur’an dapat
diartikan sebagai rekaman suara Al-
Qur’an yang dilagukan oleh seorang
qari’ (pemba-ca Al-Qur’an) (Purna,
dalam Handayani, 2014). Murottal Al-
Qur’an merupakan salah satu musik
yang memiliki pengaruh positif bagi
pendengarnya (Widayarti dalam
Handayani 2014). Hady (2012)
menjelas-kan terapi murottal Al-Qur’an
adalah terapi bacaan Al-Qur’an yang
merupakan terapi religi dimana
seseorang dibacakan ayat-ayat Al-
Qur’an selama beberapa menit atau jam
sehingga memberikan dampak positif
bagi tubuh seseorang.
Terapi murottal Al-Qur’an
terbukti dapat menurunkan tingkat
Turner, et al (2011), menemukan
Berdasarkan hasil penelitian dan bah-wa mendengarkan Al-Qur’an dapat
teori yang ada serta beberapa penelitian mem-perbaiki sel-sel tubuh, perubahan
yang terkait maka dapat disimpulkan denyut jantung dan pergerakan sel-sel
bahwa pemberian terapi berupa kulit pada post operasi. Menurut
murrotal Al Qur’an dapat Herbert Benson dalam Istiqomah
meningkatkan stimulus dan efek relak- (2013) mengatakan bahwa doa,
sasi serta ketenangan dalam diri membaca Al-Quran, dan mengingat
responden sehingga dapat Allah (dzikir) akan menyebabkan
mempengaruhi persepsi, informasi
respon relaksasi yang menyebabkan
serta emosi dalam diri responden yang
penurunan
berdampak kepada kemampuan be-rupa
adaptasi kognitif yang mampu mengon-
trol rasa nyeri hingga pada batas yang
dapat ditoleransi.
Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa rata-rata skala nyeri
responden sebelum diberikan terapi
murottal yaitu sebesar 5,73 sedangkan
setelah diberikan terapi murottal terjadi
perubahan rata-rata nyeri responden
menjadi 3,73 dengan demikian beda
rata-rata skala nyeri sebelum diberikan
terapi murottal dan sesudah diberikan
terapi murottal sebesar 2,0.
Dari tabel juga diperoleh nilai t
hitung sebesar 11,832 dimana nilai
tersebut lebih
besar dari nilai t tabel untuk df=14
dengan tingkat signifikan sebesar 0,05
yaitu 2,144
sehingga terdapat perbedaan yang
signifikan skala nyeri sebelum dan
sesudah diberikan terapi murottal
terhadap nyeri pada pasien luka bakar
di ruang surgical RSUD Prabu-mulih.
Pada penelitian ini juga diperoleh nilai
p value=0,001 dimana nilai tesebut
lebih kecil dari nilai α =0,05 sehingga
hipotesis yang menyatakan ada
pengaruh terapi murottalterhadap nyeri
pada pasien luka bakar di ruang
surgical RSUD Prabumulih dapat
diterima.
Rantiyana, dkk., Pengaruh Terapi Murottal Al Qur’an
............................................................................. 175
gelombang otak. Laju pernafasan yang
tekanan darah, penurunan oksigen kon- lebih dalam atau lebih lambat
sumsi, penurunan denyut jantung dan menimbulkan ketenangan, kendali
perna-pasan. Keadaan tersebut emosi, pemikiran yang lebih dalam dan
menimbulkan relaksasi ketenangan metabolism yang lebih baik (Mahmudi,
pikiran yang akan me-micu pelepasan 2011).
serotonin, enkephalin, beta-endorphins
dan zat lainnya ke dalam sirku-lasi. Perbedaan nyeri sebelum dan
Dengan demikian terapi Al-Quran sesudah diberikan terapi murrotal pada
dapat lebih banyak diterima oleh pasien pasien luka bakar terjadi karena saat
yang mengalami nyeri sebagaimana seseorang mene-rima stimulus berupa
menurut Supriyadi (2011) irama murottal Al-Qur’an yang
mendengarkan Al-Quran dapat konstan, teratur dan tidak memiliki
mempercepat waktu pemulihan di perubahan irama yang mendadak,
recovery room paska anestesi umum, terjadi proses adaptasi kognator
(persepsi, informasi, emosi) dan
sehingga pemberian murottal dapat
regulator (kimiawi,
diguna-kan sebagai terapi
komplementer paska bedah atau
anestesi umum.
Hasil penelitian Chunaeni (2016)
menunjukkan bahwa penurunan
intensitas nyeri sebelum dan sesudah
terapi murrotal sebesar skala 3, dari
skala nyeri 5,22 men-jadi skala nyeri
2,47. Hal ini disebabkan ka-rena
dengan memperdengarkan murottal
dapat menurunkan tingkat nyeri ibu
bersalin dari tingkat nyeri sedang
menjadi nyeri ringan. Responden dapat
merasakan ketenangan dan
menurunkan ketegangan urat syaraf,
menurunkan hormon-hormon stres,
mengaktifkan hormon endorphin alami,
me-ningkatkan perasaan rileks dan
mengalihkan perhatian dari rasa takut,
cemas dan tegang. Selain itu,
memperbaiki sistem kimia tubuh
sehingga menurunkan tekanan darah
serta memperlambat pernafasan, denyut
jantung, denyut nadi dan aktivitas
SIMPULAN DAN SARAN
saraf, endokrin). Ini mempengaruhi
cerebral cortex dalam aspek kognitif Simpulan
maupun emosi sehingga menghasilkan Terapi murottal berpengaruh
persepsi positif dan peningkatan terhadap penurunan nyeri pada pasien
relaksasi hingga 65% yang se-cara luka bakar di Ruang Surgical RSUD
tidak langsung menjaga keseimbangan Prabumulih.
homeostasis tubuh melalui HPA Axis
(sistem neuroendokrin hipotalamus Saran
yang mengatur reaksi stress), untuk Diharapkan pihak rumah sakit
menghasilkan Cotici-tropin Releasing dapat menerapkan terapi non
Factor (CRF) yang ber-fungsi farmakologi seperti
merangsang kelenjar pituari untuk
menurunkan produksi ACTH (Adreno
Cor-tico Tropin Hormone) yang
menstimulasi produksi endorphine,
khususnya β -endor-phine yang
memiliki efek natural analgesik dan
kemudian menurunkan produksi
kortisol dan hormon-hormon stres
lainnya sehingga nyeri menurun
(Alkahel, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian, teori
yang ada serta penelitian yang terkait,
maka peneliti berpendapat bahwa terapi
murottal Al-Qur’an dapat memberikan
dampak yang lebih cepat ke otak
sehingga dapat merang-sang susunan
saraf pusat yang merupakan pusat
respon nyeri sehingga lebih rileks dan
nyaman. Selanjutnya mengalihkan
respon nyeri yang dirasakan responden.
Energi positif yang dimiliki oleh
lantunan merdu irama murottal yang
dibacakan oleh qori terbaik akan
memberikan efek relaksasi dan dapat
menenangkan dan membuat orang yang
mendengarnya dapat berimajinasi dan
dapat membayangkan dirinya dalam
ling-kungan yang damai, tenang, sehat
dekat de-ngan Sang Pencipta serta
bebas dari sakit.
176 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 13, No. 2, Desember 2017: 167-177
XIX. Intensitas Nyeri pada Ibu
terapi murrotal karena terbukti mampu Bersalin Kala I Fase Aktif.
me-nurunkan rasa nyeri yang timbul Jurnal Kedokteran Vol.28
setelah efek analgesik berkurang dan No.3.
menyediakan fasi-litas dan sarana yang Hady, Nur Afuana, dkk. 2012.
mendukung pelak-sanaan terapi Perbedaan Efektivitas Terapi
tersebut. Musik Klasik dan Terapi Musik
Murottal terha-dap
Perkembangan Kognitif Anak
DAFTAR RUJUKAN Autis di SLB Autis Kota
Alkahel, A. 2011. Al-Quran’s The Surakarta.
Healing. Handayani. 2014. Pengaruh Terapi
Tarbawi Press: Jakarta. Mu-rottal Al-Qur’an terhadap
Arifin. 2012. Efektivitas Terapi Penu-runan Intensitas Nyeri
Murotal dan Terapi Musik Persalinan
Klasik terhadap Penu-runan
Tingkat Kecemasan Pasien Pra
Operasi di Pekalongan. Jurnal
Ilmu Kesehatan Vol. V No. 2
September 2012. STIKES
Muhammadiyah Pekajangan
Pekalongan.
Chunaeni. 2016. Efektifitas Terapi
Murot-tal Terhadap Penurunan
Inten-sitas Nyeri Kala I Fase
Aktif. http:/
/jurnal.unimus.ac.id/ index.php/
psn12012010/article/view/2113.
Diakses tanggal 30 Januari
2017.
Depkes. 2010. Riset Kesehatan Dasar.
Dalam http://depkes.go.id,
diakses tanggal 24 April 2017.
Ekawati, S. 2013. Perbedan nyeri
persa-linan pada kala 1 fase
aktif sebelum dan seesudah
mendengarkan ayat suci Al-
Qur’an. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan.Vol.3
No.
Riyadi S. 2012. Gambaran Penderita
dan Kecemasaan dalam Persa- Lu-ka Bakar yang Dirawat di
linan Primigravida Kala I Fase Bang-sal Bedah RSUD Arifin
Aktif di RSUD Prof. Dr. Achmad Pekanbaru periode
Margono Soekardjo Tahun Januari- De-sember 2006
2014. http://ojs. [skripsi]. Pekanbaru:
akbidylpp.ac.id/index.php/Prada Universitas Riau.
/ article/view/98.
Harnawati. 2008. Nyeri. Artikel online.
https://harnawatiaj.com/2008/05
/ 05/ nyeri/. Diakses tanggal 07
Februari 2017.
Hidayah, T.N., Maliya, A., Nugroho,
A.B. 2013. Pengaruh
Pemberian Mu-rottal Al-Qur’an
terhadap Ting-kat Nyeri Pasien
Post Operasi Fraktur
Ekstremitas. Diakses
tanggal 04 Mei 2017.
Istiqomah. 2013. Efektivitas Senam
Dis-menore dalam Mengurangi Dis-
menore pada Remaja Putri di SMUN 5
Semarang (online)
eprints.undip.ac.id/9253.
Mulyadi, Palandeng 2013. Pengaruh
Musik Klasik terhadap
Penurunan Tekan-an Darah
pada Pasien Pra Hemo-dialisa
di Ruang Dahlia RSUP Prof.
Kandou Manado. Journal Kepe-
rawatan.
Permatasari. 2016. Pengaruh Teknik
Nafas Dalam dan Murrottal
terhadap Skala Nyeri Sesudah
Perawatan Luka pada Pasien
Post Operasi.
Jurnal FKIK UMY.
Remolda, P. 2009. Pengaruh Al-Quran
pada Manusia dalam Perspektif
Fisiologi dan. Psikologi. http://
www.theedc.com. diakses
tanggal 10 Februari 2017.
Rantiyana, dkk., Pengaruh Terapi Murottal Al Qur’an
............................................................................. 177

Supriyadi. 2011. Efek Terapi Bacaan Widayarti. 2011. Pengaruh Bacaan Al-
Al-Qur’an terhadap Waktu Qur’an terhadap Intensitas
Pemulihan Pasien Post Operasi Kece-masan Pasien Sindroma
dengan Gene-ral Anestesi di Koroner Akut di RS Hasan
Sadikin. Unpu-blised thesis.
Recovery Room Ba-dan
Universitas Padjajaran
Pengelola Rumah Sakit Kabu-
Bandung.
paten Pekalongan. Proseding Widhowati, S.S. 2010. Efektivitas
Se-minar Nasional Keperawatan Terapi Murottal Surah Ar-
PPNI Jawa Tengah. Rahman untuk menurunkan
jurnal.unimus.ac id. Diakses Perilaku kekerasan (PK) di
tanggal 18 Februari 2017. RSJD Dr. Amino Gondo-
Turner, et.al 2011. Perioperative Music hutomo. Semarang.
and Effect on Anxiety, http://eprints.
Hemodinamic, and Pain in undip.ac.id/16483. Diakses
Women Undergoing tanggal 20 Februari 2017.
Mastectomi. AANA Journal, 21- Zahrofi, D. N. 2013. Pengaruh
27. Pemberian Terapi Murottal Al-
Wahida, Nooryanto dan Andriani. Qur’an ter-hadap Tingkat
2015. Surat Ar Rahman Kecemasan Pasien
Meningkatkan Kadar Endorphin
Hemodialisa di Rumah Sakit
dan Menurunkan Itensitas Nyeri
PKU Muhammadiyah
pada Ibu Bersalin Kala 1 Fase
Surakarta. Skripsi Strata Satu.
Aktif. Jurnal Kedok-teran
Surakarta: Universitas
Brawijaya Vol.28 No.3
Februari 2015. Muhammadiyah
Wahyuningsih A. 2013. Efektifitas Surakarta.
Kompres Hangat dalam http://eprints.ums.ac.id/ 30904.
Diakses tanggal 20 Februari
Menurunkan Inten-sitas Nyeri
2017.
Dysmenorrhea pada Mahasiswi
Stikes RS Baptis Kediri.
Jurnal STIKES . Vol 6. No: 1
Juli 2013.
PICO
Problem :
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, jenis yang berat
memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera
oleh sebab lain. Menurut De-partemen Kesehatan Republik Indonesia (2008), prevalensi luka
bakar di Indonesia sebesar 2,2% dengan prevalensi tertinggi di Provinsi NAD dan Kepulauan
Riau (3,8%).
Di Yogyakarta, berdasarkan data Di-nas Kesehatan Kabupaten Sleman (2010), korban pasca
erupsi gunung Merapi terda-pat 277 korban dan 170 di antaranya me-ninggal dalam keadaan
luka bakar, dan beberapa korban lain menderita luka bakar yang cukup serius. Jaringan kulit
yang rusak akan direspon oleh tubuh melalui respon vas-kuler dan seluler, sehingga terjadi
proses pe-nyembuhan luka. Tubuh akan menyempur-nakan proses penyembuhan dengan
pem-bentukan jaringan baru menjadi jaringan pe-nyembuhan yang kuat dan bermutu (Rekso-
prodjo, 2010).
Intervention :
Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu tindakan
pengobatan (farmakologi) dan tindakan non farmakologi (tanpa pengo-batan). Metode
penatalaksanaan non far-makologis tindakan distraksi dilakukan de-ngan mengalihkan
perhatian pasien dari rasa nyeri. Teknik distraksi yang dapat dilaku-kan antara lain: bernapas
dengan lambat dan berirama secara teratur, menyanyi berirama dan menghitung ketukannya,
mendengarkan musik dan massage (pijatan).
Teknik relaksasi yaitu metode yang didasarkan kepada keyakinan bahwa tubuh berespon
pada ansietas yang merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi penyakit, hal utama yang
dibutuhkan dalam pelak-sanaan teknik relaksasi adalah klien dengan posisi nyaman dan
lingkungan yang tenang, imajinasi terbimbing, umpan balik biologis, hipnosis, dan sentuhan
terapeutik, selain itu stimulasi kulit dapat memberikan efek penurunan nyeri yang efektif.
Tindakan ini mengalihkan perhatian klien sehingga klien berfokus pada stimulasi taktil dan
meng-abaikan sensasi nyeri, yang pada akhirnya dapat menurunkan persepsi nyeri . (Asmadi,
2008, Tamsuri 2012).
Tenik mendengarkan murottal meru-pakan teknik distraksi mendengarkan musik berupa
suara alunan ayat suci yang memiliki pengaruh positif bagi pendengarnya (Wida-yarti, 2011).
Terapi murotal dapat memper-cepat penyembuhan, hal ini telah dibuktikan oleh berbagai ahli
seperti yang telah dilaku-kan Ahmad Al Khadi, Direktur Utama Islamic Medicine Institute
for Education and Research di Florida, Amerika Serikat. Da-lam Konferensi Tahunan ke-27
Ikatan Dok-ter Amerika, dengan hasil penelitian bahwa mendengarkan ayat suci Al-Quran
memiliki pengaruh yang signifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif dan
hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh alat berbasis komputer
(Remolda, 2009).
Conclussion :
Terapi murottal Al-Qur’an terbukti dapat menurunkan tingkat nyeri. Hal ini berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2013) dan (Handayani dkk, 2014) menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi murotal Al-Qur’an terha-dap tingkat nyeri. Pada
penelitian tersebut kelompok yang diberikan terapi murotal Al-Qur’an memiliki tingkat nyeri
yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak diberikan terapi murotal Al-Qur’an.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada serta beberapa penelitian yang terkait maka
dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi berupa murrotal Al Qur’an dapat meningkatkan
stimulus dan efek relak-sasi serta ketenangan dalam diri responden sehingga dapat
mempengaruhi persepsi, informasi serta emosi dalam diri responden yang berdampak kepada
kemampuan be-rupa adaptasi kognitif yang mampu mengon-trol rasa nyeri hingga pada batas
yang dapat ditoleransi.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata skala nyeri responden sebelum
diberikan terapi murottal yaitu sebesar 5,73 sedangkan setelah diberikan terapi murottal
terjadi perubahan rata-rata nyeri responden menjadi 3,73 dengan demikian beda rata-rata
skala nyeri sebelum diberikan terapi murottal dan sesudah diberikan terapi murottal sebesar
2,0.
Outcome :
Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada serta penelitian yang terkait, maka
peneliti berpendapat bahwa terapi murottal Al-Qur’an dapat memberikan dampak yang lebih
cepat ke otak sehingga dapat merang-sang susunan saraf pusat yang merupakan pusat respon
nyeri sehingga lebih rileks dan nyaman. Selanjutnya mengalihkan respon nyeri yang
dirasakan responden.
Energi positif yang dimiliki oleh lantunan merdu irama murottal yang dibacakan oleh
qori terbaik akan memberikan efek relaksasi dan dapat menenangkan dan membuat orang
yang mendengarnya dapat berimajinasi dan dapat membayangkan dirinya dalam ling-kungan
yang damai, tenang, sehat dekat de-ngan Sang Pencipta serta bebas dari sakit.
Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar

Pengaruh Madu terhadap Luka Bakar


Arif Mz
Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan, salah satunya akibat suhu
tinggi dapat menyebabkan luka bakar. Penyembuhan luka bakar sangat tergantung dengan
manajemen luka yang baik. Terdapat banyak bahan obat-obatan yang dapat mempercepat
kesembuhan luka bakar, antara lain adalah madu. Tujuan penulisan ini adalah meninjau efek
pemberian madu secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar. Madu berperan sebagai
antibakteri dan saat ini sudah dimanfaatkan dalam tatalaksana luka bakar. Madu memiliki beberapa
sumber nutrisi yang kaya akan asam amino, karbohidrat, protein, vitamin dan mineral yang
berperan dalam mempercepat penyembuhan kulit. Di dalam madu juga terdapat senyawa organik
seperti polypenol dan glykosida yang bersifat antiviral dan antibakteri yang dapat menekan infeksi
yang merupakan salah satu penghambat penyembuhan luka bakar. Madu terbukti dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan Staphylococcus
aureus. Nutrisi yang baik, kandungan antiviral dan antibakteri iniliah yang membuat madu efektif
sebagai tatalaksana masalah kulit, terutama luka bakar.

Kata kunci: luka bakar, madu, topikal.

The Effects of Honey in Skin Burn

Abstract
The skin is one the susceptible body organs, and one of cause high temperatures that can burn the
skin resulting the burning wound. Healing treatment of burns depends on good wound management.
There are many components of medicine that can boost the healing process of burns, among others,
it is honey. The purpose of this paper is to review the effect of applying the topical honey in the
healing treatment of burns. Honey act as an antibacterial and now it is used in the management of
burns. Honey has several sources of nutrients rich in amino acids, carbohydrates, protein, vitamins
and mineral in order to boost skin healing. Honey contains also organic compounds such as
polyphenols and glycosides that are antiviral and and antibacterial that can suppress the infection
which is one of the inhibitors of healing burns. Honey has been shown to inhibit the growth of
Escherichia coli, Listeria monocytogenes, and Staphylococcus aureus bacteria. Good nutrition,
antiviral and antibacterial content have made honey effective as treatment of skin problems,
especially burns.

Keywords: honey, skin burn, topical

Korespondensi : ArifMz, alamat Perumahan Palem Permai III No D1 Gedong Meneng Bandar
Lampung, HP 082281652890, email m.arif770@gmail.com
Luka bakar merupakan cedera yang
Pendahuluan cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang
Luka bakar merupakan salah satu dibutuhkan juga cukup mahal untuk
insiden yang sering terjadi di masyarakat. penanganannya. Luka bakar masih menjadi
Sekitar 2,5 juta orang mengalami luka bakar masalah karena angka morbiditas dan
di Amerika Serikat setiap tahunnya dari mortalitas yang tinggi, terutama pada luka
kelompok ini 200.000 pasien memerlukan bakar derajat II dan III yang lebih dari 40%,
penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dengan angka kematian 37,38%.2
dirawat di rumah sakit, sekitar 12.000 Penanganan dalam penyembuhan luka
meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan Riset bakar antara lain mencegah infeksi dan
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk
prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar
0,7%. Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 1-
4 tahun.1,2
penghambatan. Dari segi estetika pemakaian
berpoliferasi dan menutup permukaan luka. madu memiliki kelebihan karena dapat
Penyembuhan luka melewati tiga fase, yaitu digunakan untuk menghaluskan kulit, serta
fase inflamasi, fase proliferasi dan fase pertumbuhan rambut dibandingkan pemakaian
remodeling. Faktor yang bisa mengganggu antibiotik. Selainitu, madu diduga berperan
dan menghambat proses penyembuhan ini sebagai antibakteri dan saat ini sudah
adalah infeksi.2 dimanfaatkan sebagai penanganan korban
Pertumbuhan bakteri patogen seperti luka bakar sudah diketahui banyak
Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan manfaatnya. Namun belum ada
Staphylococcus aureus dapat dihambat oleh pembuktiannya secara ilmiah. Untuk itu, perlu
pemberian madu. Pemberian madu pada dilakukan penelitian mengenai peran madu
media tanam yang telah ditanam bakteri- sebagai antibiotika pada luka bakar.3,4,5
bakteri tersebut memperlihatkan zona
Medula|Volume 7 Nomor 5|Desember
2017|71
Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka paling sederhana dapat terlihat pada insisi
Bakar pembedahan yang tepi lukanya dapat saling
didekatkan untuk
Isi
Luka bakar adalah suatu bentuk
kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan adanya kontak dengan sumber
panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan radiasi. Kerusakan jaringan yang
disebabkan api lebih berat dibandingkan air
panas. Selain itu lama kontak jaringan dengan
sumber panas menentukan luas dan
kedalaman kerusakan jaringan sangat
menentukan lama proses penyembuhan.
Semakin lama waktu kontak, semakin luas
dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi.1
Luka bakar merupakan respon kulit dan
jaringan subkutan terhadap trauma suhu/
termal seperti api, air panas, listrik atau zat-
zat yang bersifat membakar seperti asam kuat
dan basa kuat. Luka bakar dengan ketebalan
parsial merupakan luka bakar yang tidak
merusak epitel kulit maupun hanya merusak
sebagian dari epitel. Luka bakar dengan
ketebalan penuh merusak semua sumber-
sumber pertumbuhan kembali epitel kulit.6,7
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan
derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka
bakar. Beratnya luka tergantung pada dalam,
luas, dan letak luka. Umur dan kesehatan
penderita sebelumnya juga mempengaruhi
prognosis. Kedalaman luka bakar ditentukan
oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan
suhu tinggi.7.8
Terdapat 3 derajat pada luka bakar.
Luka bakar derajat I hanya mengenai lapis
luar epidermis, kulit merah, sedikit edema dan
nyeri. Tanpa terapi sembuh dalam 2-7 hari.
Luka bakar derajat II mengenai epidermis dan
sebagian dermis, terbentuk bula, edema nyeri
hebat. Bila bula pecah tampak daerah merah
yang mengandung banyak eksudat. Sembuh
dalam 3-4 minggu. Luka bakar derajat III
mengenai seluruh lapisan kulit dan kadang-
kadang mencapai jaringan di bawahnya.
Tampak lesi pucat kecoklatan dengan
permukaan lebih rendah dari pada bagian
yang tidak terbakar. Bila luka akibat kontak
langsung dengan nyala api, terbentuk lesi
yang kering dengan gambaran koagulasi
seperti lilin di permukaan kulit, tidak ada rasa
nyeri (dibuktikan dengan tes pin-prick) dan
luka akan sembuh dalam 3-5 bulan dengan
sikatrik.7,8
Persembuhan luka merupakan suatu
proses yang kompleks karena berbagai
kegiatan bioseluler dan biokimia terjadi
berkesinam-bungan. Jenis persembuhan yang
Madu merupakan salah satu sumber
makanan yang baik. Asam amino,
dimulainya proses penyembuhan. karbohidrat, protein, beberapa jenis vitamin
Penyembuhan seperti ini disebut serta mineral adalah zat gizi dalam madu yang
penyembuhan primer. Apabila luka yang mudah diserap oleh sel-sel tubuh. Sejumlah
terjadi cukup parah seperti adanya kerusakan mineral yang
epitel yang menyebabkan kedua tepi luka Medula|Volume 7 Nomor 5|Desember
berjauhan maka disebut penyembuhan 2017|72
sekunder atau penyembuhan dengan
granulasi. Mekanisme tubuh akan
mengupayakan mengem-balikan komponen-
komponen jaringan yang rusak tersebut
dengan membentuk struktur baru dan
fungsional sama dengan keadaan sebe-
lumnya. Berdasarkan perubahan morfologik,
terdapat tiga fase persembuhan luka yaitu fase
inflamasi, fase proliferasi dan fase
maturasi.9,10
Luka bakar sering tidak steril.
Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan
medium yang baik untuk pertumbuhan kuman
akan memper-mudah infeksi. Infeksi ini sulit
diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh
pembuluh kapiler yang mengalami trombosis.
Padahal pembuluh ini membawa nutrisi dan
sistem pertahanan tubuh atau antibiotik.
Kuman penyebab infeksi pada luka bakar
selain berasal dari kulit penderita sendiri juga
bisa didapat dari kontaminasi saluran nafas
dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah
sakit. Infeksi Pseudomonas sp dapat dilihat
dari warna hijau pada kasa penutup luka
bakar. Kuman memproduksi enzim
penghancur krusta yang bersama dengan
eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk
nanah. Infeksi ringan dan noninvasif (tidak
dalam) ditandai dengan krusta yang mudah
terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi
yang invasif ditandai dengan krusta yang
kering dengan perubahan jaringan di tepi
krusta yang mula-mula sehat menjadi
nekrotik, akibatnya luka bakar yang mula-
mula derajat dua bisa menjadi derajat tiga.10
Saat ini sedang digalakkan pengobatan
alami atau natural salah satunya adalah madu.
Madu merupakan cairan manis yang diproses
oleh lebah yang berasal dari sari pati atau
tepung sari bunga dan oleh lebah dijadikan
sebagai bahan baku yang disebut nectar.
Nectar didapat pada sel tumbuhan. Lebah
madu mengumpulkan madu di dalam sarang
dengan menyimpan sebuk sari bunga (pollen).
Sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang
ini, madu telah dikenal sebagai salah satu
bahan makanan atau minuman alami yang
mempunyai peranan penting dalam
kehidupan.11,12
Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka mengubah senyawa glukosa dan
Bakar menghasilkan hidrogen peroksida. Madu
mempunyai keasaman yang rendah yaitu pH
3,2-4,5 sehingga mampu untuk menghambat
terdapat dalam madu seperti magnesium,
pertumbuhan bakteri.14,15,16
kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi
dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin,
seperti vitamin E dan vitamin C serta vitamin
B1, B2 dan B6. Selainitu, terdapat juga unsur-
unsur yang lebih kecil lagi, yaitu: 1) Zat
pigmen yang berupa carotene, klorofil, dan
sejumlah unsur-unsur turunan klorofil, dan
xantofil; 2) unsur-unsur aroma terkandung
adalah triptofan, aldehida, alkohol, dan ester;
3) senyawa gula alkohol yaitu manitol,
dulcitol, tanin dan asetilkolin; 4) enzim-enzim
pada madu yaitu invertase, diastase, glukosa,
oksidase, katalase, fosfatase, dan peroksidase;
5) zat yang bersifat antibiotik dan antiviral
yaitu polypenol dan glykosid; 6) hormon-
hormon nabati, hormon-hormon turunan
esterogen, prostalglandin, unsur-unsur
pengaktif organ-organ reproduksi pada jantan
dan betina.11
Keistimewaan madu sendiri antara lain:
1) bertahan untuk jangka waktu yang panjang
yaitu sekitar dua tahun dengan syarat
disimpan ditempat yang kelembabannya
terkontrol; 2) anti mikroba sehingga bakteri
dan jamur tidak dapet berkembang pada madu
dan komposisi gula di dalam madu yang
mencapai 80% dari komposisi madu itu
sendiri; 3) menjaga ketahanan jaringan sel-
sel. 11,13
Hardian (2006) melakukan penelitian
pada sampel marmut dan didapatkan
penyembuhan luka yang diberikan madu
(nektar flora) lebih cepat yaitu 9,67 hari,
sedangkan pada kelompok silver sulfadiazine
didapat 10 hari, dan kelompok control negatif
selama 19,17 hari. Selain itu, hasil penelitian
penggunaan madu terhadap luka bakar
menjadi steril dalam waktu 2-6 hari untuk
kelopok yang diberikan madu, 7 hari untuk
kelompok silver sulfadiazine, dan 7-10 hari
untuk kelompok kontrol.14,15
Terdapat beberapa faktor lain yang
memperkuat efek antibiotika pada madu ,
yaitu osmolaritas madu yang tinggi. Pada
beberapa madu kandungan gulanya bisa
mencapai 80% yang terdiri dari glukosa,
fruktosa, maltosa dan sukrosa. Kurang dari
18% komponennya adalah air sehingga
mempunya osmolaritas yang tinggi.
Kandungan Hidrogen peroksida yang
berperan sebagai glukosa oksidase yang
merupakan salah satu enzim yang dikeluarkan
oleh lebah kepada madu. Enzim ini dapat
Arif (2013) melakukan penelitian pada
sampel tikusputih dan didapatkan hasil tingkat Medula|Volume 7 Nomor 5|Desember
penyembuhan luka bakar hari ke 14. Tikus 2017|73
dibagi menjadi 3 kelompok secara random
yaitu: K1 (kontrol), K2 (madu 100%), K3
(Gentamisin Topikal Gel 0,1%×10gr) setelah
14 hari perlakuan dilakukan pengamatan. Dari
hasil penelitian luka bakar pada kulit tikus
tidak terdapat perbedaan bermakna antara
kelompok K2 dan K3 dengan nilai p=0,585.
Berdasarkan hasil penelitian perbandingan
tingkat kesembuhan luka bakar terhadap
pemberian madu dan gentamisin topikal dapat
disimpulkan bahwa madu dapat dijadikan
sebagai obat alternatif pada luka bakar
sebagai pengganti antibiotik gentamisin
topikal, terutama di daerah terpencil yang
sulit untuk mendapatkan antibiotik gentamisin
topikal.17

Ringkasan
Luka bakar adalah suatu kehilangan
jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik dan radiasi. Salah satu
tatalaksana luka bakar adalah pemberian
madu topikal.
Madu merupakan cairan manis yang
diproses oleh lebah yang berasal dari sari pati
atau tepung sari bunga, yang dijadikan lebah
sebagai bahan baku yang disebut nektar, yang
didapat pada sel tumbuhan. Madu dapat
membantu mempercepat penyembuhan luka
bakar dikarenakan efek antibiotika dan
antiviralnya yang menekan pertumbuhan
kuman pada luka.4,6,7
Kandungan madu Asam amino,
karbohidrat, protein, dan beberapa jenis
mineral dan vitamin yang terdapat dalam
madu seperti magnesium, kalium, potasium,
sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu
juga mengandung vitamin, seperti vitamin E
dan vitamin C serta vitamin B1, B2 dan B6
membantu nutrisi dalam proses penyembuhan
luka bakar. Madu juga mampu untuk
menghambat pertumbuhan bakteri sehingga
mempercepat penyembuhan. Selain itu, madu
juga bersifat higroskopik dan tidak ada
mikroba yang dapat hidup didalamnya. Hal
ini didukung oleh osmolaritas madu yang
tinggi serta keasaman yang dimiliki madu.
Madu juga telah memiliki standarisasi secara
nasional, mudah didapat dan dapat bertahan
dalam penyimpanan untuk waktu yang lebih
lama.7,10,11
Arif Mz I Pengaruh Madu terhadap Luka
Bakar
99 Price AS. McCarty WL. Patofisiologi
Simpulan konsep klinis proses-proses penyakit.
Madu dapat digunakan dalam Jakarta: EGC; 2002.
tatalaksana luka bakar, karena madu memiliki 100 Prasetyo AT, Herihadi E. The application
kandungan antibakteri dan antiviral serta of moist exposed burn ointment.
memiliki nutrisi yang dibutuhkan sehingga European Journal of Medical Research.
dapat mempercepat penyembuhan luka bakar. 2006;6:142-25.
101 Saqa M. Pengobatan dengan madu.
Daftar Pustaka Jakarta: Pustaka Al-Kautsar; 2010.
97 Syuhar MN, Windarti I, Kurniawati E. 102 Sulistyorini CA. Inventarisasi tanaman
Perbandingan tingkat kesembuhan luka pakan lebah madu apis cerana di
bakar derajat 2 antara madu dengan daun perkebunan teh Gunung Mas Bogor.
binahong. Medical Journal of Lampung Bogor: IPB; 2006.
University. 2008;3(5):103–12. 103 Suranto A. Terapi madu. Jakarta: Penebar
98 Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi ke-2. Plus; 2007:27-28.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. 104 Handian FI. Efektivitas perawatan
99 Ratnayani K, Adhi NM, Gita DI. menggunakan madu nektar flora
Penentuan kadar glukosa dan fruktosa dibandingkan dengan silver sulfadiazine
madu randu dan madu kelengkeng terhadap penyembuhan luka bakar derajat
dengan metode kromatografi cair kinerja 2 terinfeksi pada marmut [skripsi].
tinggi. Jurnal Kimia 2. 2008;2(22):77-86. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya; 2006.
100 Mundo MA, Padilla-Zakour OI, Worobo
RW. Growth inhibition of food pathogens 105 Kartini M. Efek penggunaan madu dalam
and spoilage organisms by selected raw manajemen luka bakar. Jurnal Kesehatan.
honey. International Journal of Food 2009;2(2):141-20.
Microbiology. 2004;97(1):1-8. 106 Molan PC. The evidence supporting the
101 Song C. Penanganan luka bakar terkini. use of honey as a wound dressing.
Inc Penangan Luka Bakar. 2006: 23-5. International Journal of Lower Extremity
Wounds. 2006;5(1):40-54.
102 Grace PA, Borley NR, Safitri A. At a
glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: 107 Arif Mz. Perbandingan tingkat
Erlangga; 2006. kesembuhan luka bakar dengan
103 Purwadianto A, Sampurna B. pemberian madu dan pemberian
Kedaruratan medik. Jakarta: Bina Rupa gentamisin topikal pada tikus putih
Aksara; 2017. (rattus norvegicus) [skripsi]. Bandar
104 Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku ajar ilmu Lampung: Fakultas Kedokteran
bedah. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2005. Universitas Lampung; 2013.
PICOT

Problem :
Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat. Sekitar 2,5 juta
orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya dari kelompok ini 200.000
pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit,
sekitar 12.000 meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013, prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%. Prevalensi tertinggi
terjadi pada usia 1-4 tahun.1,2
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter, biaya yang
dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannya. Luka bakar masih menjadi masalah
karena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, terutama pada luka bakar derajat II dan
III yang lebih dari 40%, dengan angka kematian 37,38%.
Intervention :
Salah satu tatalaksana luka bakar adalah pemberian madu topical.
Conclusion :
Hardian (2006) melakukan penelitian pada sampel marmut dan didapatkan penyembuhan
luka yang diberikan madu (nektar flora) lebih cepat yaitu 9,67 hari, sedangkan pada
kelompok silver sulfadiazine didapat 10 hari, dan kelompok control negatif selama 19,17
hari. Selain itu, hasil penelitian penggunaan madu terhadap luka bakar menjadi steril dalam
waktu 2-6 hari untuk kelopok yang diberikan madu, 7 hari untuk kelompok silver
sulfadiazine, dan 7-10 hari untuk kelompok kontrol.
Terdapat beberapa faktor lain yang memperkuat efek antibiotika pada madu , yaitu
osmolaritas madu yang tinggi. Pada beberapa madu kandungan gulanya bisa mencapai 80%
yang terdiri dari glukosa, fruktosa, maltosa dan sukrosa. Kurang dari 18% komponennya
adalah air sehingga mempunya osmolaritas yang tinggi. Kandungan Hidrogen peroksida yang
berperan sebagai glukosa oksidase yang merupakan salah satu enzim yang dikeluarkan oleh
lebah kepada madu. Enzim ini dapat mengubah senyawa glukosa dan menghasilkan hidrogen
peroksida. Madu mempunyai keasaman yang rendah yaitu pH 3,2-4,5 sehingga mampu untuk
menghambat pertumbuhan bakteri.
Outcome :
Madu merupakan cairan manis yang diproses oleh lebah yang berasal dari sari pati atau
tepung sari bunga, yang dijadikan lebah sebagai bahan baku yang disebut nektar, yang
didapat pada sel tumbuhan. Madu dapat membantu mempercepat penyembuhan luka bakar
dikarenakan efek antibiotika dan antiviralnya yang menekan pertumbuhan kuman pada luka.
Kandungan madu Asam amino, karbohidrat, protein, dan beberapa jenis mineral dan vitamin
yang terdapat dalam madu seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi
dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin, seperti vitamin E dan vitamin C serta vitamin
B1, B2 dan B6 membantu nutrisi dalam proses penyembuhan luka bakar. Madu juga mampu
untuk menghambat pertumbuhan bakteri sehingga mempercepat penyembuhan. Selain itu,
madu juga bersifat higroskopik dan tidak ada mikroba yang dapat hidup didalamnya. Hal ini
didukung oleh osmolaritas madu yang tinggi serta keasaman yang dimiliki madu. Madu juga
telah memiliki standarisasi secara nasional, mudah didapat dan dapat bertahan dalam
penyimpanan untuk waktu yang lebih lama.
41
Muhammadiyah Journal of Nursing
degree on average 17.6 days (7-36 days), the average
grade III 28 , 8 days (20-40 days). Psychological
adaptation response with an acceptance score average
44.5 (40-50) and supported by the results of interviews
all indicate an adaptive response to psychological
adaptation.
Conclusion: Psychological and physiological adaptation
Lucia Anik response following administration of a combination of
Purwaningsih1, Elsye alternative moisture balance dressings and therapies
Maria Rosa2 SEFT are adaptive.
1 Keywords: Alternative moisture balance dressings,
RSUP. DR. Sardjito
SEFT therapy, physiological adap-tation, psychological
Yogyakarta 2Universitas adaptation
Muhammadiyah
Yogyakarta
elanie_la@yahoo.com

ABSTRACT
Background: Burns are the most severe
trauma
impact on both physical and
psychological.
With the limited types of advanced
dressings
are available in some hospitals, many
alternatives were developed based
treatment of burns moist (moisture balance
dressings alternative) to accelerate wound
healing. Non-pharmacological
interventions for the treatment of
psychological stress with SEFT therapy,
the patient›s with SEFT therapy will be
relaxed and the mind becomes calm.
Relaxation created very infl uential in the
healing process. This study aim: To
identify the physiological and
psychological adaptation response of burn
patients were given a combination of
alternative SEFT moisture balance
dressings and therapies. Methods: Action
Research to determine the physiological
and psychological adaptation response of
burn patients were given a combination of
alternative moisture balance and SEFT
therapy The sample is the total population
that met the inclusion criteria. Result :
There were 8 respondents (March - June
2014). Most of the 75% of men, aged
between 17-51 years, extensive of wound
between 6-55% TBSA, 37.5% stage II,
stage III 62.5%.Physiological adaptation
response with an wound healing indicator
average 42.37 (36-49) showed that
physiological adaptation response is
adaptive, long time recovering the second
bulannya terdapat 4-5 pasien baru dengan luka bakar
derajat II – III dan luas antara 20 – 90 % yang dirawat di
unit Luka Bakar membutuhkan lama dirawat /length of
stay (LOS) untuk penyembuhan lukanya rata-

Respon Adaptasi Fisiologis dan


Psikologis Pasien Luka Bakar yang
Diberikan Kombinasi Alternative
Moisture Balance Dressing dan Seft
Terapi di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta

PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan trauma yang
berdampak paling berat terhadap fisik
maupun psikologis, dan mengakibatkan
penderitaan sepanjang hidup seseorang,
dengan angka mortalitas dan morbiditas
yang tinggi (Yefta, 2003). Kegawatan
psikologis tersebut dapat memicu suatu
keadaan stress pasca trauma atau post
traumatic stress disorder (PTSD) (Brunner
dan Suddarth, 2010).
Pada beberapa negara, luka bakar
masih merupakan masalah yang berat,
perawatannya masih sulit, memerlukan
ketekunan dan membutuhkan biaya yang
mahal serta waktu yang lama. Perawatan
yang lama pada luka bakar sering
membuat pasien putus asa dan mengalami
stress, gangguan seperti ini sering menjadi
penyulit terhadap kesembuhan optimal
dari pasien luka bakar. Oleh karena itu
pasien luka bakar memerlukan
penanganan yang serius dari berbagai
multidisiplin ilmu serta sikap dan
pemahaman dari orang-orang sekitar baik
dari keluarga maupun dari tenaga
kesehatan sangat penting bagi support dan
penguatan strategi koping pasien untuk
menerima serta beradaptasi dalam
menjalani perawatan lukanya juga untuk
mengurangi stres psikologis sehingga
mempercepat mempercepat penyembuhan
luka (Maghsoudi, 2010).
RSUP. Dr.Sardjito selama tahun 2012
terdapat 49 pasien luka bakar dengan
angka kematian 34%, rata-rata setiap
42
Muhammadiyah Journal of Nursing

rata 1 bulan, untuk kasus-kasus tertentu bisa alternative moisture balance dressing dan SEFT
sampai sekitar 6 bulan sampai 1 tahun (Register terapi.
Unit Luka Bakar RSUP. Dr.Sardjito, 2012).
Angka kejadian gangguan stres paska trauma di METODE PENELI TI AN
RS Cipto Mangunkusumo adalah 16,2%, paska Desain penelitian ini adalah action research
rawat inap 21,1% dan pada rawat inap 10,7% untuk mengetahui respon adaptasi fisiologis dan
(Yefta 2003). psikologis pasien luka bakar yang diberikan
Dalam proses penyembuhan luka bakar, kombinasi alternative moisture balance dan
perlambatan penyembuhan luka (delayed healing) SEFT terapi. Sampel adalah total populasi dengan
dapat terjadi bila sel inflamasi dan sel imunitas accidental sampling yang memenuhi kriteria
yang diperlukan pada fase inflamasi, proliferasi inklusi.
dan maturasi tidak dapat bekerja secara optimal. Pengambilan data berlangsung dalam 2 tahap,
Respon inflamasi dan imun tersebut dipengaruhi pengambilan data respon adaptasi fisiologis
oleh beberapa faktor, salah satunya stres fungsi proteksi proses penyembuhan luka bakar
psikologis (Yefta, 2003 dan Dealey, 2005). dengan metode observasi menggunakan indikator
Pengaruhstrespsikologisdalampenyembuhan NOC: Wound Healing Secondary Intenttion yang
luka sebagai berikut; stres psikologis yang buruk terdiri dari 10 item meliputi; (1) ukuran luka, (2)
seperti stres, ansietas, dan depresi menunjukkan kedalaman luka, (3) resolusi bullae, (4) resolusi
penurunan efisiensi sistem imun dan berlanjut jaringan nekrotik, (5) tipe eksudat, (6) resolusi
pada terhambatnya penyembuhan luka (Dealey,
eksudat, (7) resolusi eritema,
2005 dan Handayani, 2010).
105 resolusi jaringan edema, (9) granulasi dan
Salah satu terapi nonfarmakologis untuk
penanganan stres psikologis dengan SEFT terapi. (10) epitelisai dengan total nilai skor rentang 10–
SEFT (Spiritual Emotional freedom Technique) 50, skor yang tinggi adalah status penyembuhan
merupakan terapi yang mampu menurunkan stres yang lebih baik menunjukkan respon adaptasi
psikologis seperti ketakutan yang berlebihan fisiologis yang efektif atau adaptif dan dilakukan
secara signifikan pada penderita gangguan fobia selama kurang lebih 4 bulan, dari bulan Maret
spesifik (Zainul, 2011). 2014 sampai dengan Juni 2014 dan data tentang
Dengan SEFT terapi pasien menjadi rileks respon adaptasi psikologis fungsi konsep diri
dan pikiran menjadi lebih tenang. Relaksasi yang physical self dengan metode pengisian kuesioner
diciptakan tersebut dapat menstimulasi berdasarkan indikator acceptance dari NOC yang
hipotalamus untuk menstimulasi kelenjar pituitari terdiri 10 item meliputi; (1) perasaan tenang,
menurunkan sekresi ACTH dan diikuti dengan 108 harga diri positif, (3) menjaga keakraban/
penurunan kadar glukokortikoid dan kortisol yang menjalin hubungan, (4) menyatakan perasaan
berperan dalam mengatur respon inflamasi, tentang kesehatan, (5) menerima realita status
respon imun, dan pengaturan kadar gula darah kesehatan, (6) mencari informasi, (7) koping
yang merupakan faktor-faktor internal ini sangat mengatasi masalah, (8) mengambil keputusan
berpengaruh dalam proses penyembuhan luka terkait kesehatannya, (9) pembaharuan makna
(Kozier, 1995). kesehatan, (10) harapan, dengan total nilai skor
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui rentang 10–50, skor yang tinggi menunjukkan
mengetahui respon adaptasi fisiologis fungsi respon psikologis yang adaptif, dilanjutkan
proteksi proses penyembuhan luka dan respon dengan wawancara terstruktur dilakukan setelah
adaptasi psikologis fungsi konsep diri physical responden mencapai proses penyembuhan dengan
self pada pasien luka bakar yang diberikan jaringan epitelisasi atau granulasi >25%
kombinasi
43
Muhammadiyah Journal of Nursing

TBSA (Total Body Surface Area) yang Usia merupakan faktor yang mempengaruhi
berlangsung dalam periode waktu tersebut. penyembuhan luka, terdapat perbedaan
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari penyembuhan pada tingkat usia anak dan dewasa,
Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Suriadi (2007) menyatakan pada anak-anak
Gadjah Mada dan Universitas Muhammadiyah penyembuhan luka dan kontraksi terjadi dengan
Yogyakarta. cepat dari pada dewasa, pada usia dewasa terjadi
ada suatu penurunan vaskularitas dermal,
HASI L PENELI TI AN DAN penurunan densitas kolagen, elastin, fragmentasi
PEMBAHASAN elastin, dan penurunan jumlah sel mast, akan
171 Karakteristik Responden tetapi tingkatan penyembuhan adalah batas
Didapatkan 8 responden (Maret-Juni 2014). normal (Suriadi, 2007; Bryant, 2006; Carvile,
2007).
Jenis kelamin sebagian besar (75%) laki-laki, usia
rata-rata antara 17- 51 tahun, luas luka antara 6- Dalam penelitian ini untuk menghindari
faktor pengaruh usia terhadap penyembuhan, usia
55% TBSA, derajat II 37,5%, derajat III 62,5%.
sudah terlebih dahulu dikontrol dengan
Luka bakar merupakan salah satu trauma yang
menjadikan usia antara 15 – 55 tahun sebagai
disebabkan akibat kontak langsung ataupun tidak
responden. Pada penelitian ini didapatkan usia
langsung dengan sumber panas yang sering termuda 17 tahun dan usia tertua 51 tahun. Luas
terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang luka pada luka bakar juga merupakan faktor yang
sebagain besar (75%) disebabkan karena mempengaruhi penyembuhan, semakin luas luka
kelalaian atau keteledoran baik dirumah ataupun bakar akan meningkatkan insiden infeksi karena
ditempat kerja, sedangkan luas luka bakar kulit merupakan barier utama tubuh kita sehingga
dipengaruhi oleh penyebab kejadian luka bakar semakin luas luka bakar, imunitas tubuh menjadi
(WHO, 2014). semakin menurun.
Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan Berdasarkan dari hasil temuan dan teori diatas
hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang peneliti sependapat bahwa penyembuhan luka
menemukan usia antara 18 -52 tahun dengan luas pada luka bakar sangat dipengaruhi oleh usia,
luka 15-52% TBSA (Gravante dan Montone, luas luka dan derajat luka.
2010), dan usia terbanyak antara 20 – 40 tahun
61.1% dengan rata-rata luas luka 39%TBSA 26 Respon Adaptasi Fisiologis
Gowri et al., 2012). Respon adaptasi fisiologis fungsi proteksi
Sementara Othman (2010) menemukan luas proses penyembuhan luka sebagai berikut:
luka dalam rentang 10–48%TBSA terdapat pada
responden dalam rentang usia antara 18–45 tahun, 173 Evaluasi Proses Penyembuhan Luka
yang juga terbukti pada hasil penelitian ini. Hasil penelitian berdasarkan pengamatan
Peneliti juga sependapat bahwa luka bakar dengan menggunakan skala indikator NOC:
merupakan trauma yang disebabkan sebagain Wound Healing Secondary Intenttion terdiri dari
besar karena kelalaian di rumah ataupun di 10 item meliputi; (1) ukuran luka, (2) kedalaman
tempat kerja, dapat terjadi pada usia tersebut yang luka, (3) resolusi bullae, (4) resolusi jaringan
tergolong dengan usia produktif, dimana pada nekrotik, (5) tipe eksudat, (6) resolusi eksudat,
usia tersebut fungsi dan peran adalah sebagai 175 resolusi eritema, (8) resolusi jaringan
pekerja, sehingga sangat dimungkinkan kejadian edema,
trauma banyak terjadi saat melakukan aktivitas 177 granulasi dan (10) epitelisai dengan total
dalam bekerja. Luas luka bakar sangat nilai skor rentang 10–50, skor yang tinggi adalah
dipengaruhi oleh penyebab terjadinya luka bakar status
dan situasi saat terjadinya luka bakar.
44
Muhammadiyah Journal of Nursing

penyembuhan yang lebih baik menunjukkan eksudat serous, encer, berair,(6) resolusi eksudat
respon adaptasi fisiologis yang efektif atau sebagian besar 5 responden (62,5%) dengan nilai
adaptif pada siklus 1, siklus 2, siklus 3 sebagai skor 2 artinya sangat sedikit resolusi eksudat, (7)
berikut: resolusi eritema sebagian besar 37,5% dengan
nilai skor 1 artinya tidak ada resolusi eritema
kulit sekitar luka, (8) resolusi jaringan edema
sebanyak 3 responden (37,5%) dengan nilai skor
2 artinya terdapat sedikit resolusi edema ≤ 25%,
(9) granulasi sebagian besar 5 responden (62,5%)
dengan nilai skor 2 artinya terisi jaringan
granulasi ≤ 25% dari luas luka, (10) epitelisasi
sebagian besar
5 responden (62,5%) dengan nilai skor 2 artinya
terisi jaringan epitelisasi ≤ 25% dari luas luka.
Hal ini menunjukkan proses penyembuhan luka
belum efektif, sehingga diperlukan tindak lanjut
Grafik 1. Evaluasi Proses penyembuhan luka tindakan perawatan luka dengan kombinasi
berdasarkan skor Wound Healing NOC pada alternative moisture balance dressing dan SEFT
Siklus 1, Siklus 2, Siklus 3. terapi pada sistem regulator dengan pemberian
topikal terapi sesuai derajat dan warna dasar luka
Grafik 1. Memaparkan hasil evaluasi proses kemudian ditutup kassa steril tebal 5 lapis dan
penyembuhan luka berdasarkan skor wound dilakukan SEFT terapi 2 kali putaran.
healing NOC pada siklus 1, siklus 2 dan siklus 3 Setelah dilakukan tindak lanjut pelaksanaan
sebagai berikut: perawatan luka sesuai dengan status
perkembangan luka dengan pemberian topikal
Siklus 1 terapi sesuai derajat dan warna dasar luka,
Setelah dilakukan perawatan luka bakar kemudian ditutup kassa tebal 5 lapis dan
dengan metode alternative moisture balance dilakukan SEFT terapi 2 kali putaran,
dressing dan sebelumnya dilakukan SEFT terapi menunjukkan skor wound healing NOC
terlebih dahulu 1 kali putaran selama kurang lebih mengalami peningkatan nilai skor, didapatkan
15 menit, berdasarkan nilai skor wound healing hasil rata-rata nilai skor 31,12 dengan nilai skor
NOC didapatkan hasil rata-rata nilai skor 21,22 terrendah 24 dan tertinggi 42. dan dilihat dari 10
dengan nilai skor terendah 13 dan tertinggi 29, item indikator, terdiri dari: (1) ukuran luka
dilihat dari 10 item indikator yang meliputi: (1) sebagian besar 5 responden (62,5%) dengan nilai
ukuran luka sebagian besar 7 responden (87,5%) skor 2 artinya terdapat reduksi luka 1-24% dari
dengan nilai skor 1 artinya luka belum tereduksi, luas luka, (2) kedalaman luka sebagian dengan
(2) kedalaman luka yang bervariasi sebagian nilai skor 4 artinya kedalaman luka derajat II, (3)
besar dengan nilai skor 3 artinya kedalaman luka resolusi bullae sebagian besar 7 responden
derajat II, (3) resolusi bullae sebagian besar 4 (87,5%) dengan nilai skor 4 artinya seluruh bullae
responden (50%) dengan nilai skor 3 artinya pecah, (4) resolusi jaringan nekrotik sebagian
sebagian bullae pecah, (4) resolusi jaringan besar 3 responden (37,5%) dengan nilai skor 4
nekrotik sebagian besar 3 responden (37,5%) artinya resolusi jaringan nekrotik 76-99%, (5) tipe
dengan nilai skor 1 artinya tidak ada resolusi eksudat sebagian besar 6 responden (75%)
jaringan nekrotik, (5) tipe eksudat sebagian besar dengan nilai skor 2 artinya tipe eksudat
6 responden (75%) dengan nilai skor 2 artinya serosangeous, encer, merah pucat atau pink,(6)
tipe resolusi eksudat
45
Muhammadiyah Journal of Nursing

bervariasi sebanyak 3 responden (32,5%) dengan 6 responden (75%) dengan nilai skor 4 artinya
nilai skor 3 artinya sedikit resolusi eksudat, (7) resolusi eksudat sedang, (7) resolusi eritema
resolusi eritema sebagian besar 37,5% dengan keseluruhan 8 responden (100%) dengan nilai
nilai skor 3 artinya sebagian warna kulit normal skor 4 artinya sebagian warna kulit normal antara
antara 26 – 75%, (8) resolusi jaringan edema 76 – 99%, (8) resolusi jaringan edema sebagian
sebanyak 4 responden (37,5%) dengan nilai skor besar 5 responden (62,5%) dengan nilai skor 4
3 artinya terdapat sebagian resolusi edema ≤ artinya terdapat sebagian besar resolusi edema
25%, 76-99%, (9) granulasi sebagian besar 5 responden
(9) granulasi sebagian besar 3 responden (37,5%) (62,5%) dengan nilai skor 4 artinya terisi jaringan
dengan nilai skor 3 artinya sebagian terisi granulasi 76-99% dari luas luka, (10) epitelisasi
jaringan granulasi ≥ 25 - ≤ 75% dari luas luka, sebagian besar 5 responden (62,5%) dengan nilai
(10) epitelisasi skor 4 artinya terisi jaringan epitelisasi 76- 99%
sebagian besar 3 responden (37,5%) dengan nilai dari luas luka.
skor 3 artinya terisi jaringan epitelisasi ≥ 25-≤ Hal ini menunjukkan penyembuhan luka
75% dari luas luka. Hal ini menunjukkan proses efektif, proses penyembuhan berlangsung lebih
penyembuhan luka berlangsung efektif, sehingga baik dengan hasil penyembuhan luka sebagian
pelaksanaan tindakan perawatan luka tetap besar completed, pada derajat II dan derajat III
dilanjutkan dengan pemberian topikal terapi sebagian besar (87,5%) terisi jaringan granulasi
sesuai derajat dan warna dasar luka kemudian dan epitelisasi antara 75 – 100% dari luas luka.
ditutup kassa steril tebal 5 lapis dan dilakukan Pada penelitian ini alternative moisture balance
SEFT terapi 2 kali putaran. dressing pada sistem regulator dengan pemberian
topical terapi sesuai derajat dan warna dasar luka
Siklus 3 serta balutan yang tebal 5 lapis merupakan salah
Setelah dilakukan pelaksanaan tindak lanjut satu upaya untuk menciptakan suasana lembab
perawatan luka sesuai status perkembangan luka pada luka dan mencegah penguapan, dengan
dengan pemberian topikal terapi sesuai derajat suasana lembab membantu peningkatan migrasi
dan warna dasar luka, ditutup kassa tebal 5 lapis dini epitel juga dan meningkatkan akslerasi
dan dilakukan SEFT terapi 2 kali, skor wound angiogenesis serta mencegah degradasi luka,
healing NOC mengalami peningkatan nilai skor, sehingga menciptakan respon adaptasi fisiologis
didapatkan hasil rata-rata nilai skor 42,37 dengan
fungsi proteksi penyembuhan luka yang adaptif.
nilai skor terrendah 36 dan tertinggi 49. Dilihat
dari 10 item indikator, didapatkan: (1) ukuran Hal ini dibuktikan dengan hasil temuan pada
luka sebanyak 4 responden (50%) dengan nilai penelitian ini dimana hasil penyembuhan luka
skor 5 artinya terdapat reduksi luka 76 sebagaian besar completed.
– 100%, (2) kedalaman luka yang bervariasi
sebagian besar 5 responden dengan nilai skor 4 b. Lama waktu proses penyembuhan luka
berdasarkan derajat kedalaman luka
artinya kedalaman luka derajat II, (3) resolusi
bullae sebagian besar 5 responden (62,5%) Lama waktu proses penyembuhan luka bakar
dengan nilai skor 5 artinya menyeluruh bekas derajat II dan derajat III, seperti pada grafik.2
bullae kering, (4) resolusi jaringan nekrotik Pada siklus 3 ini didapatkan lama waktu
sebagian besar5 responden (62,5%) dengan nilai penyembuhan berdasarkan derajat luka, derajat
skor 5 artinya menyeluruh tidak ada jaringan II rata-rata 17,66 hari (tercepat 7 hari dan terlama
nekrotik, 35 hari), lama waktu penyembuhan derjat III rata-
rata 28,6 hari, (tercepat 17 hari dan terlama
(5) tipe eksudat sebagian besar 3 responden
(37,5%) dengan nilai skor 5 artinya tidak ada
eksudat, (6) resolusi eksudat sebagian besar
46
Muhammadiyah Journal of Nursing

40 hari). Hasil penelitian ini berbeda dengan Acceptance (penerimaan diri) (1) perasaan
penelitian Gravente (2010) menemukan lama tenang,
waktu penyembuhan derajat II minimal 5 hari (2) harga diri positif, (3) menjaga keakraban/
maksimal 12 hari sedangkan untuk derajat III menjalin hubungan, (4) menyatakan perasaan
minimal 21 hari, maksimal 29 hari. tentang kesehatan, (5) menerima realita status
kesehatan, (6) mencari informasi, (7) koping
mengatasi masalah, (8) mengambil keputusan
terkait kesehatannya, (9) pembaharuan makna
kesehatan, (10) harapan, dengan total nilai skor
rentang 10–50, skor yang tinggi menunjukkan
respon psikologis yang adaptif, dengan hasil
sebagai berikut:

Grafik 2. Evalusi Lama Waktu Proses


Penyembuhan Luka berdasarkan Derajat

Hal ini dimungkinkan karena dipengaruhi


oleh faktor penyebab terjadinya luka bakar. Hasil
penelitian ini sesuai pendapat Demling & Way
(2001) dimana pada luka bakar derajat II dangkal
dapat sembuh dalam waktu 10–14 hari. Pada luka
bakar derajat II dalam yang mengenai seluruh
ketebalan dermis memerlukan waktu kesembuhan
lebih lama sampai 25–35 hari. Pada luka bakar Grafik 3. Evaluasi Respon Psikologis berdasarkan
Nilai Skor Acceptance
derajat III sembuh lebih lama, lebih dari 35 hari.
Derajat kedalaman luka pada luka bakar juga
merupakan faktor yang mempengaruhi proses Grafik.3 memaparkan hasil evaluasi respon
penyembuhan, semakin dalam derajat luka akan adaptasi psikologis fungsi konsep diri physical
mempengaruhi proses proliferasi pada self setelah dilakukan SEFT terapi menggunakan
pembentukan epitelisasi atau granulasi jaringan indikator NOC: Acceptance (penerimaan diri)
(Yefta, 2003). didapatkan nilai skor rata-rata 44,5 dengan skor
minimal 40 dan skor maksimal 50. Hal ini
Berdasarkan dari hasil temuan dan teori diatas
peneliti sependapat bahwa penyembuhan luka menunjukkan respon psikologis fungsi konsep
pada luka bakar sangat dipengaruhi derajat diri physical self setelah diberikan SEFT terapi
kedalaman luka. yang efektif atau adaptif, dan didukung dari hasil
wawancara diketahui tingkat penerimaan
3. Respon Adaptasi Psikologis (acceptance) terhadap realita dan harapan serta
motivasi sebagai berikut: Perasaan setelah
Respon adaptasi psikologis fungsi konsep
dilakukan SEFT terapi didapatkan seluruh (8)
diri physical self setelah dilakukan SEFT terapi responden mengungkapkan merasa tenang dan
dengan menggunakan indikator NOC:
nyaman, Ikhlas dan pasrah, suka cita dan nyeri
berkurang, Tingkat penerimaan diri (acceptance)
terhadap realita; perasaan responden terhadap
47
Muhammadiyah Journal of Nursing

kondisi fisik didapatkan sebanyak 7 responden harapan positif, menciptakan ketenangan dan
mengungkapkan tidak merasa malu, tidak merasa relaksasi pada diri responden. Pada penelitian ini
rendah diri, ikhlas, tidak merasa terganggu, respon adaptasi psikologis: penerimaan diri yang
sedangkan 1 responden megungkapkan kadang- adaptif, berupa terciptanya ketenangan, relaksasi
kadang merasa malu. Harapan dan motivasi dan harapan positif pada diriresponden. Kondisi
responden terhadap kondisi kesehatan seluruh ini merangsang sistem endokrin untuk menstimuli
(8) responden mengungkapkan berharap cepat penurunan hormon ACTH yang diikuti oleh
sembuh, berkumpul dengan keluarga dan dapat penurunan glukokortikoid dan kortisol.
bekerja lagi. Penurunan kadar glukokortikoid dan kortisol akan
Hal yang sama ditemukan oleh Bakara (2010) merangsang peningkatan respon imun dan respon
menemukan hasil bahwa terdapat perbedaan yang inflamasi yang diperlukan pada penyembuhan
bermakna antara tingkat depresi, kecemasan, dan luka sehingga penyembuhan luka dapat
stres sebelum dan sesudah intervensi SEFT antara berlangsung cepat (Nursalam 2009).
kelompok intervensi dan kelompok kontrol
(p<0,05). Intervensi SEFT membantu SI MPULAN
menurunkan depresi, kecemasan, dan stres pada
pasien SKA. Berdasarkan hasil penelitian tentang
kombinasi alternative moiusture balance dressing
Zainuddin (2009) mengatakan bahwa dalam dan SEFT terapi dalam meningkatkan respon
SEFT membawa subyek pada kondisi tenang dan adaptasi psikologis dan proses penyembuhan luka
relaks, merasakan nafas, menyadari kehadiran bakar di RSUP Dr.Sardjito dan setelah dilakukan
Tuhan dalam diri, serta mengarahkan untuk analisa serta pembahasan, maka dapat
kembali pada diri sejati (fitrah). Saat melakukan dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut
SEFT, subyek dianjurkan melakukannya dalam :
kondisi meditative (yakin, khsyuk, ikhlas, pasrah,
dan syukur). Jika demikian, efek SEFT akan 1. Respon adaptasi fisiologis fungsi proteksi
terasa lebih efektif. proses penyembuhan luka pasien luka bakar
yang diberikan kombinasi alternative
Sementara itu ketukan (tapping) ringan yang moisture balance dressing dan SEFT terapi
dilakukan pada titik-titik energi meridian selain
adalah adaptif. Proses penyembuhan luka
meningkatkan vaskularisasi sesuai dengan teori
berlangsung lebih baik dan efektif dengan
gate control yang dikemukakan oleh Melzack &
hasil penyembuhan luka sebagian besar
Well, 1965 (dalam Rajin, 2012) akan menutup
substansi gelatinosa (SG) pada medulla spinalis complete, pada derajat III dan derajat II
dan menghalangi impuls nyeri menuju otak. sebagian besar (87,5%) terisi jaringan
Ketukan dapat menutup SG karena dihantarkan granulasi dan epitelisasai antara 75 -100 %
melalui serabut syaraf yang memiliki diameter dari luas luka.
lebih besar daripada serabut syaraf nyeri. Jika ada 2. Respon adaptasi psikologis fungsi konsep diri
suatu zat dapat mempengaruhi substansi physical self pasien luka bakar yang diberikan
gelatinosa didalam gate control, zat tersebut SEFT terapi adalah adaptif, sebagai berikut:
dapat digunakan untuk pengobatan nyeri (Koizer a. Perasaan menjadi tenang dan nyaman,
et al 1995 dan Rajin 2012) ikhlas dan pasrah, suka cita dan nyeri
Berdasarkan hasil temuan dan teori diatas berkurang.
peneliti sependapat bahwa terapi SEFT dengan b. Penerimaan terhadap kondisi fisik: tidak
berdoa akan meningkatkan subjective feeling dari merasa malu, tidak merasa rendah diri,
kesejahteraandanrasapeduli,halinimenimbulkan ikhlas, tidak merasa terganggu.
48
Muhammadiyah Journal of Nursing

c. Harapan dan motivasi responden terhadap Padjadjaran. Bandung


kondisi kesehatan berharap cepat sembuh, Bryant, Ruth A. (2006) Acute & Chronic Wounds:
berkumpul dengan keluarga dan dapat Current Management Concepts. Third
bekerja lagi. Edition.Mosby Elsevier. United States of
America
SARAN Brunner & Suddarth. (2010). Textbook of Medical
1. Kombinasi alternative moisture balance Surgical Nursing (12th ed.). USA:
dressing
Lippincott
dan SEFT terapi bisa dijadikan sebagai
Carvile K.(2007). Wound Care Manual (5th
prosedur tetap untuk memberikan respon
ed.). Australia: Silver Chain Nursing
adaptasi fisiologis fungsi proteksi yang adaptif
Association
dalam meningkatkan prosesgranulasi dan
Dealey C. (2005). The care of wound: a guide for
epitelisasi pada penyembuhan luka sehingga
nurse (3th.ed.). Australia: Blackwell
dapat memperpendek LOS.
2. Alternative moisture balance dressing Demling RH & Way. (2001). Burn Modules.
Available in website: Diakses 10
Desember
bisa dijadikan Clinical Pathway dalam
2012 dari http://www.burnsurgery.org
penatalakasanaan luka bakar.
Gravante P, Montone A. (2010). A retrospective
3. SEFT terapi bisa dijadikan sebagai prosedur
anaysis of ambulatory burn patients: focus
tetap non farmakologi untuk meningkatkan
on wound dressing and healing times.
respon psikologis penerimaandiri yang
Ann R Coll Surgical England 92:118-123
adaptif dan membantu memberikan perasaan
doi
10.1308/003588410X12518836439001
nyaman, ketenangan dan menurunkan tingkat
Gowri S, Vijaya NA, Powar R, Honnungar R,
nyeri sehingga dapat meningkatkan mutu
Mallapur MD. (2012). Epidemiologi and
asuhan keperawatan.
Outcame of Burn Injury. J Indian Acad
4. Perlunya pelatihan SEFT terapi bagi perawat
Forensic Med. October-December 2012,
untuk meningkatkan ketrampilan sebagai
Vol.34, No.4
komplementer terapi untuk membantu proses
Falanga V. Wound Bed Preparation. Available
penyembuhan sehingga dapat meningkatkan
cost from : Diakses 10 Desember 2012 dari
effective.
URL:http://www.bu.edu./woundbiotech/
5. Bagi peneliti lain yang ingin melanjutkan
index.html. 2005
penelitian ini bisa dilakukan dengan
Handayani TN. (2010). Pengaruh Pengelolaan
menambah jumlah sampel yang lebih besar
Depresi Dengan Latihan Pernafasan Yoga
atau menggunakan subyek penelitian dengan
(Pranayama) Terhadap Perkembangan
tingkat stress psikologis yang tinggi seperti
Proses Penyembuhan Ulkus Diabetikum
pada penyakit dengan terminal stage seperti
di Rumah Sakit Pemerintah Aceh. Tesis.
pada kanker.
Universitas Indonesia. Jakarta
DAFTAR PUSTAKA Kozier, Erb, Oliveri. (1995). Fundamentals of
Nursing. Concepts, Process and Practice
Bakara MD. (2010). Pengaruh Spiritual Emotional
(8th ed.). California: Addison-Wesley
Freedom Technique (SEFT) terhadap
Publishing Company,Inc
Tingkat Gejala Depresi, Kecemasan, (2010)
Maghsoudi H, Monshizadeh S. .
dan Stres pada Pasien Sindrom Koroner
Comparative Study of the BurnWound
Akut (SKA) Non Percutaneous Coronary
Healing Properties Saline-Soaked
Intervention (PCI). Tesis. Universitas
49
Muhammadiyah Journal of Nursing

Dressing and Silver Sulfadiazine in Rats. Universitas Pesantren Darul Ulum.


Indian J Surg (Januari-February 2011) 73 Jombang
(1):24-27 DOI 10.1007/s12262-010-0169- Suriadi. (2007). Manajemen Luka. Romeo
2 Nursalam. (2009). Model Holistik Berdasar Grafika. Pontianak
Teori WHO Burn Update (2014). Diakses tanggal 6 Juli
Adaptasi Roy dan PNI Sebagai Upaya 2014 dari www.who.int/mediacentre/
Modulasi Respon Imun. Disampaikan factsheets/fs.365/en/
pada Seminar Nasional Keperawatan. Johnson et all. (Eds.). (2000). Nursing Outcames
Surabaya. Classification (NOC) (2nd ed.). St.Louis,
Othman N, Kendrick D. (2010). Epidemiology of Missouri : Mosby
burn injury in the East Mediterronean Yefta, Moenajat. (2003) . Luka Bakar
Region: a Systematic Review. BMC Pengetahuan Klinis Praktis. Edisi Revisi.
Public Health, 1083. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
http:www.biomedicentral. com/1471- Zainul, Anwar. (2011). Model Terapi
2458/10/83 SEFT
Rajin M. (2012).Terapi Spiritual Emotional (Spiritual Emotional Freedom –
Freedom Technique (SEFT) Untuk Technique) Untuk Mengatasi Gangguan
Meningkatkan Kualitas Tidur Pasien Fobia Spesifik.
Pasca Operasi di Rumah Sakit. Skripsi.
PICO

Problem :
Luka bakar merupakan trauma yang berdampak paling berat terhadap fisik maupun psikologis, dan
mengakibatkan penderitaan sepanjang hidup seseorang, dengan angka mortalitas dan morbiditas yang
tinggi (Yefta, 2003). Kegawatan psikologis tersebut dapat memicu suatu keadaan stress pasca trauma
atau post traumatic stress disorder (PTSD) (Brunner dan Suddarth, 2010).
Pada beberapa negara, luka bakar masih merupakan masalah yang berat, perawatannya masih sulit,
memerlukan ketekunan dan membutuhkan biaya yang mahal serta waktu yang lama. Perawatan yang
lama pada luka bakar sering membuat pasien putus asa dan mengalami stress, gangguan seperti ini
sering menjadi penyulit terhadap kesembuhan optimal dari pasien luka bakar. Oleh karena itu pasien
luka bakar memerlukan penanganan yang serius dari berbagai multidisiplin ilmu serta sikap dan
pemahaman dari orang-orang sekitar baik dari keluarga maupun dari tenaga kesehatan sangat penting
bagi support dan penguatan strategi koping pasien untuk menerima serta beradaptasi dalam menjalani
perawatan lukanya juga untuk mengurangi stres psikologis sehingga mempercepat mempercepat
penyembuhan luka (Maghsoudi, 2010).
Intervention :
Pengaruhstrespsikologisdalampenyembuhan luka sebagai berikut; stres psikologis yang buruk seperti
stres, ansietas, dan depresi menunjukkan penurunan efisiensi sistem imun dan berlanjut pada
terhambatnya penyembuhan luka (Dealey, 2005 dan Handayani, 2010).
Salah satu terapi nonfarmakologis untuk penanganan stres psikologis dengan SEFT terapi. SEFT
(Spiritual Emotional freedom Technique) merupakan terapi yang mampu menurunkan stres psikologis
seperti ketakutan yang berlebihan secara signifikan pada penderita gangguan fobia spesifik (Zainul,
2011).
Dengan SEFT terapi pasien menjadi rileks dan pikiran menjadi lebih tenang. Relaksasi yang
diciptakan tersebut dapat menstimulasi hipotalamus untuk menstimulasi kelenjar pituitari menurunkan
sekresi ACTH dan diikuti dengan penurunan kadar glukokortikoid dan kortisol yang berperan dalam
mengatur respon inflamasi, respon imun, dan pengaturan kadar gula darah yang merupakan faktor-
faktor internal ini sangat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka (Kozier, 1995).
Conclussion :
Berdasarkan hasil temuan dan teori diatas peneliti sependapat bahwa terapi SEFT dengan berdoa akan
meningkatkan subjective feeling dari kesejahteraan dan rasa peduli,hal ini menimbulkan harapan
positif, menciptakan ketenangan dan relaksasi pada diri responden. Pada penelitian ini respon adaptasi
psikologis: penerimaan diri yang adaptif, berupa terciptanya ketenangan, relaksasi dan harapan positif
pada diriresponden. Kondisi ini merangsang sistem endokrin untuk menstimuli penurunan hormon
ACTH yang diikuti oleh penurunan glukokortikoid dan kortisol. Penurunan kadar glukokortikoid dan
kortisol akan merangsang peningkatan respon imun dan respon inflamasi yang diperlukan pada
penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka dapat berlangsung cepat (Nursalam 2009).
Outcome :
Respon adaptasi fisiologis fungsi proteksi proses penyembuhan luka pasien luka bakar yang diberikan
kombinasi alternative moisture balance dressing dan SEFT terapi adalah adaptif. Proses penyembuhan
luka berlangsung lebih baik dan efektif dengan hasil penyembuhan luka sebagian besar complete, pada
derajat III dan derajat II sebagian besar (87,5%) terisi jaringan granulasi dan epitelisasai antara 75 -100
% dari luas luka.
PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI PERNAFASAN PADA TERAPI
LATIHAN PASIF MENURUNKAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN
LUKA BAKAR DERAJAT II DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Kadek Agustini Aryani
RSUP Sanglah Denpasar
Program Studi Fisioterapi, Universitas Udayana, Denpasar
Agustinikd_ft@yahoo.com

ABSTRAK

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
kontak dengan sumber panas. Nyeri merupakan salah satu manifestasi klinis pada
luka bakar derajat II. Penelitian ini dilakukan di Unit Luka Bakar RSUP Sanglah
Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian experimental, dengan desain
randomized pre test and post test control group design. Sampel yang didapat sebesar
24 orang yang terdiri dari 12 orang kelompok kontrol dan 12 orang kelompok
perlakuan. Sampel dipilih dengan teknik randomized sampling. Variabel independen
dalam penelitian ini adalah terapi latihan pasif dan teknik relaksasi pernafasan.
Variabel dependennya adalah perubahan intensitas nyeri yang diukur dengan skala
VAS. Data dianalisis dengan uji statistik parametrik dengan uji t. Hasil yang
didapatkan nilai t sebesar 34,51 dengan nilai rata-rata sebesar 50,33, p sebesar 0,00
(p<0,05) hasil tersebut menunjukkan H0 ditolak yang artinya terapi latihan pasif
efektif menurunkan nyeri pada luka bakar derajat II. Pada intervensi teknik relaksasi
pernafasan dan terapi latihan pasif didapatkan nilai t sebesar 63,44, rata-rata sebesar
66,50, p sebesar 0,00 (p<0,05) menunjukkan H0 ditolak yang artinya teknik relaksasi
pernafasan dan terapi latihan pasif efektif menurunkan intensitas nyeri luka bakar
derajat II. Dari hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan pengaruh yang
bermakna dimana intervensi teknik relaksasi pernafasan pada terapi latihan pasif
lebih efektif menurunkan nyeri luka bakar derajat II karean dari hasil penelitian
didapat rata-rata selisih penurunan intensitas nyeri sebesar 66,50 sedangkan pada
intervensi terapi latihan pasif didapat rata-rata selisih penurunan intensitas nyeri
sebesar 50,33.

Kata kunci: teknik relaksasi pernafasan, terapi latihan pasif, intensitas nyeri, luka
bakar derajat II.
GIVING BREATH RELAXATION TECHNIQUES IN PASSIVE
EXERCISE THERAPY REDUCE PAIN INTENSITY IN PATIENTS IN
SECOND DEGREE BURNS SANGLAH HOSPITAL IN DENPASAR
Kadek Agustini Aryani
RSUP Sanglah Denpasar
Program Studi Fisioterapi, Universitas Udayana, Denpasar
Agustinikd_ft@yahoo.com

ABSTRACT

The burn is a form of tissue damage caused by contact with heat sources. Pain
is one of the clinical manifestations in the second degree burns. The research was
conducted in Sanglah Hospital Burn Unit Denpasar. This research is experimental,
randomized design with pre test and post test control group design. The samples
were obtained for 24 people consisting of 12 persons of control group and 12
treatment groups. The sample was selected by randomized sampling technique.
Independent variables in this study is a passive exercise therapy and breathing
relaxation techniques. Dependent variable is the change in pain intensity as measured
by the VAS scale. Data were analyzed with parametric statistical test with t test. The
results obtained t value of 34.51 with an average value of 50.33, p of 0.00 (p <0.05)
results showed that mean H0 rejected passive exercise therapy is effective in reducing
pain in the second degree burns. In the intervention breathing and relaxation
techniques of passive exercise therapy obtained t value of 63.44, an average of 66.50,
p of 0.00 (p <0.05) showed a mean H0 rejected breathing relaxation techniques and
exercise therapy is effective passive reduce pain intensity II degree burns. From the
results showed no significant differences in the influence which intervention
techniques at therapy relaxation breathing exercises reduce pain more effectively
passive degree burns II because results obtained from the average difference in pain
intensity decreased by 66.50 while in passive exercise therapy intervention gained an
average decrease in pain intensity difference of 50.33.

Key words: relaxation breathing techniques, passive exercise therapy, pain intensity,
second-degree burns.

I. Pendahuluan Asosiasi Luka Bakar Indonesia


Luka bakar adalah suatu (ALBI) dari beberapa rumah sakit di
bentuk kerusakan atau kehilangan lima kota besar di Indonesia
jaringan yang disebabkan kontak menunjukkan angka kematian akibat
dengan sumber panas, bahan kimia, luka bakar pada tahun 2002 cukup
listrik dan radiasi (1). tinggi yaitu sebesar 36,25% atau 835
Di Indonesia hingga saat ini jiwa dari 2303 jiwa.
belum ada angka statistik yang Berdasarkan data dua tahun
menyebutkan data korban luka bakar terakhir yang diperoleh dari RSUP
secara akurat. Berdasarkan hasil survei Sanglah Denpasar menunjukan jumlah
pasien luka bakar yang dirawat pada Dari uraian diatas penulis
tahun 2008 sebanyak 66 pasien, tahun tertarik untuk melakukan penelitian
2009 sebayak 70 pasien. Dari jumlah guna mengetahui adanya pengaruh
pasien yang dirawat tersebut sebagian terapi latihan pasif dan penambahan
besar menderita luka bakar derajat II, teknik relaksasi pernafasan pada terapi
tahun 2008 sebanyak 58 pasien, tahun latihan pasif dalam penurunan
2007 sebanyak 54 pasien. intensitas nyeri pada pasien luka bakar
Nyeri merupakan salah satu derajat II. Penelitian ini diharapkan
manifestasi klinis yang serius pada dapat memberikan sumbangan kepada
luka bakar derajat II. Kulit yang fisioterapi dalam upaya meningkatkan
terbakar mengakibatkan cidera mutu pelayanan fisioterapi khususnya
terhadap jaringan tubuh, keadaan dan usaha peningkatan mutu
tersebut akan menimbulkan nyeri pelayanan kesehatan pada umumnya.
karena hampir disemua jaringan tubuh
terdapat ujung-ujung saraf halus yang 106 Materi dan Metode
menyalurkan impuls nyeri. Nyeri Penelitian Subjek pada
digambarkan sebagai sensoris yang penelitian ini
tidak menyenangkan dan pengalaman adalah 24 orang pasien luka bakar
emosional yang berhubungan dengan derajat II yang terdiri dari 12 orang
kerusakan jaringan aktual maupun kelompok kontrol dan 12 orang
potensial (2). kelompok perlakuan. Data identitas
Penatalaksanaan nyeri yang meliputi: nama, umur, jenis kelamin,
efektif tidak hanya mengurangi tinggi badan, berat badan, pekerjaan
kenyamanan fisik tetapi juga dan data intensitas nyeri yang
meningkatkan mobilisasi lebih awal diperoleh dari hasil pengukuran
dan membantu pasien kembali bekerja dengan skala VAS pada masing-
lebih dini, memperpendek masa masing sampel sebelum dan sesudah
hospitalisasi dan mengurangi biaya diberikan terapi. Pengambilan sampel
perawatan kesehatan. Nyeri yang menggunakan metode randomized
berlangsung lama dapat berubah sampling.
menjadi nyeri kronis yang lebih
membahayakan dari sebelumnya (2). 109 Rancangan penelitian
Terapi latihan pasif dan teknik Penelitian ini merupakan
relaksasi pernafasan merupakan salah penelitian experimental,
satu terapi yang digunakan untuk menggunakan desain randomized pre
menurunkan intensitas nyeri. Latihan test and post test control group
pasif pada hakekatnya merupakan cara design.
memelihara ekstensibilitas otot dan
mencegah perlengketan otot sehingga 172 Instrumen penelitian
memperoleh efek relaksasi dan Instrumen penelitian dengan variabel
perlemasan otot (3). Teknik relaksasi yaitu:
dapat mengurangi ketegangan otot, 1) Variabel bebas : terapi latihan
rasa jenuh, kecemasan, menurunkan pasif dan teknik relaksasi
kelelahan sehingga akan pernafasan
meningkatkan kontrol nyeri (4). 2) Variabel terikat : perubahan
Teknik relaksasi ini efektif digunakan intensitas nyeri yang diukur
pada pasien nyeri akut dan tidak dengan VAS
memerlukan biaya. 27 Prosedur penelitian
1. Pengukuran nyeri
Pengukuran nyeri menggunakan
skala VAS yaitu
dengan membuat garis lurus terdistribusi normal. Uji
sepanjang 100 mm. Subyek diberi homogenitas data dengan Leven’s
penjelasan untuk memberi tanda test untuk uji statistik p > 0,05
titik sepanjang garis tersebut di maka data bersifat homogen.
daerah mana gambaran nyeri yang 176 Analisis data dengan
dirasakan. Kemudian jarak diukur statistik parametrik dengan uji t.
dari batas paling kiri sampai pada Tes untuk uji statistik adalah p =
tanda yang diberikan subyek dan 0,05 (5%). Bila p > 0,05 tidak
itulah nilai yang menunjukkan bermakna, bila p < 0,05 (5%)
skor derajat nyeri. Pengukuran bermakna. Proses pengolahan data
dilakukan sebelum dan sesudah menggunakan SPSS 17.
diberikan terapi pada kedua
kelompok. III. Hasil Penelitian
2. Intervensi yang diberikan 178 Keadaan umum proses
Terapi latihan pasif penelitian Pada penelitian ini
diberikan secara manual sesuai dilakukan pengumpulan data
area tubuh yang terkena luka sejumlah 12 responden pada
bakar, dilakukan setiap hari 30-45 kelompok terapi latihan pasif
menit selama tujuh hari. Teknik (kontrol) dan 12 responden pada
relaksasi pernafasan dalam kelompok terapi latihan pasif dan
dilakukan setiap hari 10-15 menit teknik relaksasi pernafasan
selama tujuh hari. (perlakuan).
174 Analisis statistik 179 Umur responden 13 – 54
1) Uji normalitas data dengan tahun dengan nyeri luka bakar
Saphiro Wilk Test untuk uji derajat II.
statistik p > 0,05 maka data 180 Hasil uji normalitas dan
homogenitas data ditampilkan
pada tabel 1.

Tabel. 1.

p (Uji p (Uji
Kelompok n Normalitas) Homogenitas)

Sebelu
m Kontrol 12 0,211

0,72
Perlakuan 12 0,176

Sesudah Kontrol 12 0,253

0,135
Perlakuan 12 0,066

normalitas
terlihat data
Dari hasil uji
terdistribusi
normal dengan
p > 0,05. Sedangkan hasil uji
homogenitas data dengan p >
II dengan intensitas nyeri yang
0,05 yang berarti varian kedua
sama.
kelompok adalah sama yaitu
(3) Sebelum dan sesudah diberikan
dari populasi luka bakar
terapi pada kedua kelompok
derajat diukur nyeri diuji
dulu perbedaannya dan
hasilnya ditampilkan pada
tabel 2 dan 3.
Tabel. 2.
Uji perbedaan sebelum dan sesudah diberikan terapi
pada kelompok kontrol
n Mean SD t p

Sebelu
m 12 79,0000 4,28528
34,51 0,000
Sesudah 12 28,6667 6,08027

Dari hasil uji paired t test diperoleh yang bermakna sebelum dan
nilai t = 34,518 dengan p = sesudah diberikan terapi
0,000 yang berarti bahwa ada latihan pasif.
perbedaan rerata nilai nyeri

Tabel. 3.
Uji perbedaan sebelum dan sesudah diberikan terapi
pada kelompok perlakuan

n Mean SD t p

Sebelum 12 78,5000 4,79583

63,449 0,000
Sesudah 12 12,0000 4,57265

Dari hasil uji paired t test diperoleh sesudah diberikan terapi. Hal
nilai t = 63,449 dengan p = ini menunjukkan bahwa
0,000 yang berarti bahwa ada intervensi teknik relaksasi
perbedaan rerata nilai nyeri pernafasan dan terapi latihan
yang bermakna sebelum dan pasif dapat menurunkan nyeri.

Tabel. 4.
Perbedaan intensitas nyeri setelah diberikan terapi
pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

Kelompo
k n Mean SD t p

50,333 5,0512
Kontrol 12 3 5
-9,003 0,000
66,500 3,6306
Perlakuan 12 0 8
Dari hasil uji
independent t test diperoleh
nilai p = 0,000 yang berarti nilai selisih VAS kelompok
bahwa ada perbedaan rerata kontrol dan rerata nilai selisih
yang bermakna antar rerata VAS kelompok perlakuan.
Hasil uji ini menunjukkan
bahwa penambahan teknik
relaksasi pernafasan pada (10) Saran
terapi latihan pasif lebih efektif
menurunkan nyeri pada pasien Penelitian ini bisa dijadikan
luka bakar derajat II dengan bahan kajian untuk penelitian
penilaian secara VAS sebesar lebih lanjut dengan jumlah
66,5000 poin. sampel yang lebih banyak.
Kelemahan penelitian ini tidak
IV. Pembahasan memperhatikan tingkat
kesamaan responden seperti
Dari hasil penelitian derajat II dengan
didapatkan nilai rata-rata intensitas memperhatikan luas luka
nyeri kelompok kontrol sebelum bakar.
diberikan terapi sebesar 79,00. Setelah Implikasi temuan ada baiknya
diberikan terapi menjadi 28,66. diterapkan di rumah sakit lain
Sedangkan pada kelompok perlakuan dalam memberikan pelayanan
sebelum diberikan terapi nilai rata-rata fisioterapi umumnya dan
sebesar 78,50. Setelah diberikan terapi khususnyadalam
menjadi 12,00. Perubahan intensitas penatalaksanaan nyeri
nyeri yang terjadi setelah diberikan nonfarmakologis.
terapi baik pada kelompok kontrol
maupun kelompok perlakuan adalah Peneliti mengucapkan terima
kearah penurunan. Hal ini akan kasih kepada pasien yang telah
mempercepat mobilisasi lebih awal bersedia untuk menjadi
dan membantu pasien kembali bekerja responden sehingga penelitian
lebih dini, mengurangi kunjungan ini dapat diselesaikan.
klinik, memperpendek masa
hospitalisasi dan mengurangi biaya
perawatan kesehatan.
Daftar Pustaka
V. Simpulan dan Saran 1. Moenadjat, 2003. Luka Bakar,
(10) Simpulan Pengetahuan Klinis Praktis,
Edisi Kedua, Cetakan Kedua.
Terapi latihan pasif efektif Jakarta: Fakultas Kedokteran
menurunkan intensitas nyeri Universitas Indonesia.
pada pasien luka bakar derajat
II 2. Brunner & Suddarth, 2002.
Penambahan teknik relaksasi BukuAjarKeperawatan
pernafasan pada terapi latihan Medikal Bedah, Edisi
pasif efektif menurunkan Kedelapan, Volume Pertama.
intensitas nyeri pada pasien Jakarta: EGC.
luka bakar derajat II.
Penambahan teknik relaksasi 3. Kisner, C. 2007. Therapeutic
pernafasan pada terapi latihan Exercise, Edisi Kelima.
pasif lebih efektif menurunkan Philadelphia: F. A. Davis
intensitas nyeri pada pasien Company.
luka bakar derajat II.
4. Davis, 2000. Panduan
Relaksasi dan Reduksi Stres,
Edisi Ketiga, Cetakan Pertama.
Jakarta: EGC.
77 Nursalam, 2003. Konsep dan
Penerapan Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
CV. Sagung Seto.

78 Pocock, 2008. Clinical Trial a


Practical Aproach. Chichester.
79 Santoso, 2009. Panduan
Lengkap Menguasai Statistik
dengan SPSS 17. Cetakan
Pertama. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.

80 Susan, J. 2003. Handbook of


Physical Medicine and
Rehabilitation, Burns, Edisi
Kedua.Philadelphia:
Lippincoff Williams &
Wilkins.

81 Putra, 2002. Pengaruh Teknik


RelaksasiPernafasan
Terhadap Percepatan
Mobilisasi pada Klien Cedera
Kepala Ringan dan Sedang di
instalasi Rawat Inap RSUP
Sanglah Denpasar, Skripsi
ProgramS1Ilmu
Keperawatan.Surabaya:
Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.

82 Widastra, 2007. Pengaruh


Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Terhadap Persepsi Nyeri Pada
Lansia Dengan Arthritis di
RSTW Wana Seraya Denpasar.
Penelitian Poltekes Denpasar.

83 Yosef Laka, 2004. Pengaruh


Penggunaan Teknik Relaksasi
Pernafasan Terhadap
Penurunan Tingkat Nyeri Pada
Pasien Post Apendiktomi di
RSUD Umbu Rata Mahe
Waingapu. Skripsi Program
Studi S1 Ilmu Keperawatan
FK Universitas Airlangga.
PICO
Problem :
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Di Indonesia hingga saat ini belum ada angka statistik
yang menyebutkan data korban luka bakar secara akurat. Berdasarkan hasil survey Asosiasi Luka
Bakar Indonesia (ALBI) dari beberapa rumah sakit di lima kota besar di Indonesia menunjukkan angka
kematian akibat luka bakar pada tahun 2002 cukup tinggi yaitu sebesar 36,25% atau 835 jiwa dari
2303 jiwa.
Intervention :
Terapi latihan pasif dan teknik relaksasi pernafasan merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk
menurunkan intensitas nyeri. Latihan pasif pada hakekatnya merupakan cara memelihara
ekstensibilitas otot dan mencegah perlengketan otot sehingga memperoleh efek relaksasi dan
perlemasan otot. Teknik relaksasi dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh, kecemasan,
menurunkan kelelahan sehingga akan meningkatkan kontrol nyeri. Teknik relaksasi ini efektif
digunakan pada pasien nyeri akut dan tidak memerlukan biaya.
Conclusion :
Dari hasil uji independent t test diperoleh nilai p = 0,000 yang berarti bahwa ada perbedaan rerata yang
bermakna antar rerata nilai selisih VAS kelompok kontrol dan rerata nilai selisih VAS kelompok
perlakuan. Hasil uji ini menunjukkan bahwa penambahan teknik relaksasi pernafasan pada terapi
latihan pasif lebih efektif menurunkan nyeri pada pasien luka bakar derajat II dengan penilaian secara
VAS sebesar 66,5000 poin.
Outcome :
Perubahan intensitas nyeri yang terjadi setelah diberikan terapi baik pada kelompok kontrol maupun
kelompok perlakuan adalah kearah penurunan. Hal ini akan mempercepat mobilisasi lebih awal dan
membantu pasien kembali bekerja lebih dini, mengurangi kunjungan klinik, memperpendek masa
hospitalisasi dan mengurangi biaya perawatan kesehatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan menggunakan Evidence Based Practice, perawat dapat menambah pengetahuan terkait
dengan penangan nyeri pada klien fraktur. Bukan hanya itu, Hendaknya pelaksanaan distraksi
nyeri pada pasien fraktur yang dilakukan oleh perawat dapat berlanjut dan dikombinasikan dengan
teknik nonfarmakologi lainnya serta ditunjang oleh media-media pendukung untuk pelaksanaan
metode distraksi.
TUGAS
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

OLEH

Nama : Anthonia F Ratlalaan


NPM : 12114201180140

Kelas :D
No Absen : 23

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
AMBON

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunianya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “NYERI PADA KLIEN
DENGAN LUKA BAKAR” dengan baik.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu mata
kuliah “KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III”

Saya tau dalam penulisan makalah ini belum dapat dikatakan sempurna, untuk itu
saya selaku penulis mohon kritik dan saran yang baik agar penulisan makalah ini bisa lebih
baik lagi kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca sekalian.

Ambon, 01 Oktober 2020

Penulis

Anthonia F Ratlalaan

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................i

DAFTAR ISI ....................................................................................ii

DAFTAR TABEL ...........................................................................iii

PICO...............................................................................................1-5

PEMBAHASAN TERKAIT HASIL PICO (ANALISA)...............6-10

PENUTUP.........................................................................................11

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Healing Process Of Burns (Vulnus Combustion) Degrees III Using
Mixsed Leaf (Spondias Dulcis F.) Fres And Dry With Vaselin In Rats
(Rattus Norvegicus)........................................................ 1

Tabel 1.2 Salep Daun Syzygium Samarangense Meningkatkan Proses


Penyembuhan Luka Bakar Berdasarkan Kolagen.............. 2

Tabel 1.3 Gambaran Tingkat Pengetahuan Pedagang Gorengan Tentang


Pencegahan Dan Penanganan Pertama Luka Bakar.......... 3

Tabel 1.4 Efikasi Mentimun (Cucumis Sativus L.) Terhadap Percepatan


Penyembuhan Luka Bakar (Vulnus Combustion) Derajat IIB Pada
Tikus Putih (Rattus Norvegicus)..................................... 4

Tabel 1.5 Pengalaman Hidup Pasien Luka Bakar........................... 5

iii
PICO

PICO Jurnal ke 1

Judul Jurnal
Populasi/ Sampel Intervention Coparation Outcome
Healing Penelitian ini Penelitian yang Hasil Pengamatan Kelembaban
Process Of merupakan telah dilakukan yang dilakukan daerah luka
Burns penelitian sebelumnya oleh secara patologi penting dalam
(Vulnus eksperimental Inayati (2007) anatomi meliputi: proses
Combustion) menggunakan 3 menunjukkan perubahan warna penyembuhan luka
Degrees III kelompok bahwa daun, kulit dan udema, bakar dikarenakan
Using Mixsed perlakuan dan 3 batang, dan kulit pembentukan dapat mempercepat
Leaf kali ulangan. akar kedondong keropeng dan fibrinolisis oleh
(Spondias Masing-masing mengandung terlepasnya neutrofil dan sel
Dulcis F.) perlakuan terdiri senyawa saponin, keropeng yang endotel dalam
Fres And Dry dari 3 ekor tikus. flavonoid, dan diamati setiap hari, suasana lembab
With Vaselin Kelompok (P1) tanin. Saponin dan pengamatan dan mempercepat
In Rats luka bakar dan tannin diduga secara angiogenesis
(Rattus sebagai kontrol sebagai senyawa histopatologi (Mentari dan
Norvegicus). positif luka bakar antibakteri pada dengan melihat Muhartono, 2013).
diberikan vaselin. daun kedondong, reaksi inflamasi Angiogenesis
kelompok (P2) selain itu saponin yang diamati pada adalah proses
diberikan juga memicu hari ke-7, 14 dan pembentukan
campuran pertumbuhan 21 setelah pembuluh darah
gerusan daun jaringan kolagen perlakuan. Dari baru melalui tunas
kedondong segar (Inayati, 2007). Hasil pengamatan sel endotel yang
dengan vaselin. Senyawa- lama terbentuknya berasal dari
Kelompok (P3) senyawa perubahan warna pembuluh darah
diberikan gerusan flavonoid tercepat terjadi yang sudah ada
daun kedondong merupakan pada KI (5.66) atau melalui
kering dengan kelompok yaitu 1,29% lebih subdivisi
vaselin. polifenol terbesar cepat dibandingkan intravaskuler
yang terdapat di KII (7.33) dan (intususepsi)
alam yang 1.26% lebih cepat (Hidayat, 2013).
bersifat sebagai dibandingkan KIII
antioksidan (7.16).
(Frengki, 2007).

1
PICO

PICO Jurnal ke 2
Judul Jurnal

Populasi/ Sampel Intervention Comparation Outcome


Salep Daun Metode yang Daun jambu Hasil dari Pada hasil
Syzygium digunakan adalah semarang pemeriksaan dan penelitian
Samarangense true experimental (Syzygium pengukuran luas didapatkan
Meningkatkan laboratories dengan samarangense) tingkat kecepatan tingkat
Proses post test only yang sudah kesembuhan luka kesembuhan pada
Penyembuhan randomize control dikeringkan dioven dianalisis dengan kelompok yang
Luka Bakar group design. dihaluskan dengan menggunakan uji diberi salep.
Berdasarkan menggunakan Anova, Kelompok kontrol
Kolagen. blender. Sebanyak sedangkan hasil negatif memiliki
800 gram serbuk pemeriksaan tingkat
simplika daun kolagen kesembuhan lebih
jambu semarang dianalisis dengan rendah dibanding
diekstraksi dengan menggunakan uji kelompok
menggunakan Kruskal Wallis. perlakuan salep.
etanol 96% Hal tersebut
dengan dikarenakan tidak
perbandingan 1:5. ada zat yang dapat
Maserat disaring mempercepat
menggunakan proses atau
kertas saring membersihkan
hingga didapatkan luka dari benda
filtrat yang asing yang
diuapkan sampai menempel pada
didapatkan ekstrak kulit.
pekat sebanyak 27
gram.

2
PICO

PICO Jurnal ke 3
Judul Jurnal
Populasi/ Sampel Intervention Comparation Outcome
Gambaran penelitian yang Penelitian ini Penelitian ini Dari penelitian,
Tingkat dilakukan adalah bersifat deskriptif mengambil didapatkan
Pengetahuan deskriptif dengan dengan sampel sebanyak responden dengan
Pedagang pendekatan pendekatan 97 orang kelompok usia
Gorengan potong lintang potong lintang pedagang terbanyak adalah
Tentang dan menggunakan (cross-sectional). gorengan yang kelompok usia 26-
Pencegahan teknik Penelitian telah memenuhi 35 tahun yaitu
Dan consecutive dilakukan pada kriteria inklusi. berjumlah 46 orang
Penanganan sampling. populasi Dari data yang (47,4%). Sementara
Pertama Luka terjangkau yakni didapatkan minoritas responden
Bakar. seluruh pedagang melalui pengisian yakni 5 orang
gorengan yang kuisioner, 97 (5,2%) berada di
berjualan di area responden kelompok usia
Denpasar dengan (100%) diatas 45 tahun.
teknik menjawab pernah Responden lainnya
pengambilan mengalami luka yakni kelompok usia
sampel bakar 16-25 tahun
consecutive sebelumnya. berjumlah 32 orang
sampling dan (33%) dan 36-45
telah memenuhi tahun berjumlah 14
kriteria inklusi orang (14,4%).
yang ditetapkan.
Kriteria inklusi
pada penelitian
ini adalah
pedagang
gorengan yang
berjualan di area
Denpasar dan
bersedia mengisi
kuisioner.

3
PICO

PICO Jurnal ke 4
Judul Jurnal

Populasi/ Sampel Intervention Comparation Outcome


Efikasi Penelitan ini Penelitian ini Parameter Dalam proses
Mentimun bertujuan menggunakan penelitian ini penyembuhan luka
(Cucumis mengetahui efikasi enam ekor tikus adalah melihat bakar dibutuhkan
Sativus L.) mentimun putih berat gambaran beberapa proses
Terhadap (Cucumis sativus badan150-250 g patologi untuk menggantikan
Percepatan L.) terhadap berumur 2-3 bulan anatomis pada jaringan yang telah
Penyembuhan penyembuhan luka dengan jenis proses rusak. Dalam hal ini,
Luka Bakar bakar derajat IIB kelamin jantan, penyembuhan proses epitelisasi
(Vulnus pada tikus putih Kriteria tikus sehat luka bakar terjadi setelah
Combustion) (Rattus ditandai dengan derajat IIB pertumbuhan dari
Derajat IIB norvegicus). gerakan aktif, bulu dengan jaringan granulasi
Pada Tikus bersih, mata jernih mengamati yang terlebih dahulu
Putih (Rattus dan belum pernah diameter luka diawali dengan
Norvegicus) mendapatkan bakar, warna proses inflamasi,
pengobatan kemerahan dan terjadi permeabilitas
sebelumnya. edema, membran sel
Penelitian ini terbentuknya sehingga terjadi
adalah penelitian keropeng, dan kemerahan dan juga
eksperimental epitelisasi. Data peradangan dan
dengan dua yang diperoleh terkadang disertai
perlakuan dan tiga dianalisis dengan edema.
kali ulangan. dengan analisis Proses ini bertujuan
Kelompok 1 (KI) uji t independen agar sel darah putih
diberikan akuades, pada taraf dan trombosit
sedangkan signifikan 0,05. membatasi
kelompok 2 (KII) kerusakan yang lebih
diberi parutan serius sehingga
mentimun. mempercepat
penyembuhan luka
(Hasyim et al.,
2012).

4
PICO

PICO Jurnal ke 5
Judul Jurnal
Populasi/ Sampel Intervention Coparation Outcome
Pengalaman Penelitian ini Desain atau Menurut Sugiyono Penelitian ini
Hidup Pasien menggunakan rancangan penelitian (2009) dalam menemukan
Luka Bakar metode kualitatif adalah keseluruhan pengambilan sebagian besar
dengan pendekatan dari perencanaan sampel partisipan informan
fenomenologi untuk menjawab dilakukan secara mengalami nyeri
untuk pertanyaan purposive, besar hebat saat diganti
mendapatkan data penelitian dan partisipan balutan sejak
pengalaman hidup mengantisipasi ditentukan oleh dirawat di rumah
pasien maksimal beberapa kesulitan pertimbangan sakit sampai
selama satu tahun yang mungkin akan informasi. Dengan dengan perawatan
sejak kejadian. timbul selama proses kata lain yang luka dirumah.
penelitian menjadi
(Notoatmojo, 2005). kepedulian bagi
Peneliti peneliti kualitatif
menggunakan jenis adalah tuntasnya
penelitian kualitatif, perolehan
yaitu suatu informasi dengan
pendekatan untuk keragaman variasi
menyusun yang ada, bukan
pengetahuan yang pada banyaknya
menggunakan partisipan dan
metode riset dengan sumber data.
menekankan
subyektifitas dan arti
pengalaman
individu.

5
PEMBAHASAN TERKAIT HASIL PICO

(ANALISA)

Jurnal ke 1 : Luka bakar merupakan kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan


kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi
(Moenajat, 2003). Kulit yang mengalami luka bakar akan menyebabkan kerusakan
pada bagian epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan. Kecepatan dalam
penyembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-zat anti inflamasi yang terdapat didalam
obat yang akan diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan penyembuhan pada luka bakar tersebut akan merangsang lebih cepat
pertumbuhan sel-sel baru pada kulit (Prasetyo, dan Priosoeryanto 2010). Penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya oleh Inayati (2007) menunjukkan bahwa daun, kulit
batang, dan kulit akar kedondong mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan
tanin.Saponin dan tannin diduga sebagai senyawa antibakteri pada daun kedondong,
selain itu saponin juga memicu pertumbuhan jaringan kolagen (Inayati, 2007).
Senyawa-senyawa flavonoid merupakan kelompok polifenol terbesar yang terdapat di
alam yang bersifat sebagai antioksidan (Frengki, 2007). Pemanfaatan daun kedondong
sebagai obat luka bakar biasanya memerlukan campuran seperti air dan santan
(Hidayat, 2012).Bahan yang dapat digunakan biasanya campuran daun kedondong
dengan minyak kelapa (Rahim, 2011). Selain itu, ada bahan lain yang dapat digunakan
sebagai campuran daun kedondong yaitu menggunakan vaselin flavum. Dalam
industry farmasi vaselin digunakan digunakan sebagai pembuatan bahan dasar salap,
dimana vaselin memiliki sifat yang stabil, tidak mudah mengering, tidak berubah
dalam waktu jangka lama, dan di tujukan untuk memperlama kontak obat dengan kulit
serta berguna sebagai penutup dan bersifat emolien (melindungi kulit) (Yanhendri dan
Yenny, 2012). Data patologi anatomi diamati pada hari ke-1 sampai ke-21, dan hasil
histopatologi yang diperoleh dilaporkan secara deskriptif. Hasil Pengamatan yang
dilakukan secara patologi anatomi meliputi: perubahan warna dan udema,
pembentukan keropeng dan terlepasnya keropeng yang diamati setiap hari, dan
pengamatan secara histopatologi dengan melihat reaksi inflamasi yang diamati pada
hari ke-7, 14 dan 21 setelah perlakuan Dari pembahasan jurnal tersebut dikatakan
bahwa penggunaan campuran gerusan daun kedondong kering dengan vaselin dapat
mempercepat penyembuhan luka bakar pada tikus putih.

6
Jurnal ke 2 : World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 265.000
kematian pada tahun 2014 akibat luka bakar. Luka bakar akan mengakibatkan
kerusakan kulit dan juga masalah komplikasi lainnya seperti dehidrasi, infeksi, dan
kegagalan sistem organ lainnya. Daun Syzygium samarang mangandung flavonoid
dan saponin yang dapat meningkatkan aktivasi makrofag dan TGF-B yang akan
mempercepat proses pembentukan kolagen sehingga proses penyembuhan luka lebih
cepat. Selain itu zat tersebut mempunyai aktivitas sebagai antiseptik dan antibakteri.
Dari paparan tersebut besar kemungkinan bahwa daun jambu semarang memiliki
potensi untuk menjadi bahan baku salep untuk pengobatan luka bakar derajat dua.
(Chandel and and Rastogi, 1979; Harbone, 1987) . Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ekstrak daun Syzygium samarangense terhadap proses
penyembuhan luka bakar berdasarkan kolagen. Penelitian ini menggunakan true
experimental design secara in vivo. Luka bakar dibuat dengan cara menempelkan
koin selama 10 detik yang sebelumnya dioven selama 5 menit dalam suhu 700C.
Pada hasil penelitian didapatkan kecepatan tingkat kesembuhan pada kelompok yang
diberi salep. Kelompok kontrol negatif memiliki tingkat kesembuhan lebih rendah
dibanding kelompok perlakuan salep. Hal tersebut dikarenakan tidak ada zat yang
dapat mempercepat proses atau membersihkan luka dari benda asing yang menempel
pada kulit. Dari jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun air
jambu semarang secara topikal dapat mempercepat proses penyembuhan luka bakar
pada tikus. Perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan pengujian daun air jambu
semarang pada tingkat fraksi.

7
Jurnal ke 3 : Luka bakar adalah kerusakan yang terjadi pada kulit atau jaringan tubuh
lainnya yang disebabkan oleh panas atau radiasi, radioaktivitas, arus listrik, gesekan,
atau kontak dengan senyawa kimia. Data dari Departemen Kesehatan Republik
Indonesia di tahun 2008 menunjukkan prevalensi luka bakar di Indonesia berjumlah
2,2%, sementara data di RSUP Sanglah Denpasar menunjukkan kejadian luka bakar
pada tahun 2010 adalah sebanyak 333 orang. Penyebab tertinggi terjadinya luka bakar
adalah suhu tinggi atau panas (95%), dan terbagi menjadi 3 yaitu melepuh (50%),
kontak langsung dengan api (24%), dan kebakaran (26%). Luka bakar terbagi atas 4
derajat, yaitu derajat 1, 2A, 2B, dan 3 dengan perbedaannya terletak pada kedalaman
dan tingkat keparahan luka bakar. Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif
dengan pendekatan potong lintang dan menggunakan teknik consecutive sampling.
Penelitian dilakukan pada 97 pedagang gorengan di area Denpasar yang bersedia
mengisi kuisioner. Dari penelitian didapatkan hanya 6 orang yang pernah mendapat
informasi tentang pencegahan dan penanganan pertama luka bakar. Hasil penelitian
didapatkan 88,7% responden berpengetahuan kurang dan 11,3% berpengetahuan
cukup dalam melakukan pencegahan dan penanganan pertama luka bakar. Penelitian
ini mengambil sampel pedagang gorengan, di mana didapatkan semua sampel pernah
mengalami luka bakar. Pada penelitian ini didapatkan 6,2% yang pernah mendapat
informasi mengenai pencegahan dan penanganan pertama luka bakar, dimana
rendahnya jumlah responden yang pernah mendapat pengetahuan dalam pencegahan
dan penanganan pertama luka bakar akan berdampak pada tingkat pengetahuan
responden, akibatnya responden memiliki kesadaran rendah untuk melakukan
langkah-langkah pencegahan luka bakar dan memperbesar kemungkinan responden
untuk menggunakan bahan-bahan tradisional dalam penanganan pertama luka bakar
serta tidak mencari penanganan medis lebih lanjut untuk menangani luka bakar yang
terjadi. Penggunaan herbal sampai saat ini masih kontroversial, hal ini disebabkan
karena adanya beberapa studi yang menunjukkan keuntungan penggunaan herbal,
seperti misalnya penggunaan kopi dan madu dalam mempercepat penyembuhan luka
bakar. Akan tetapi, beberapa herbal lainnya seperti aloe vera dan minyak lavender,
masih menimbulkan kontroversi karena meskipun kedua bahan ini memiliki efek anti
bakteri dan analgesik, keduanya tidak memberikan efek signifikan dalam outcome
luka bakar jika digunakan sebagai penanganan pertama. Dari jurnal tersebut dapat
disimpulkan Tingkat pengetahuan pedagang gorengan dalam pencegahan dan
penanganan pertama luka bakar umumnya berpengetahuan kurang (88,7%) dan
sisanya berpengetahuan cukup (11,3%).

8
Jurnal ke 4 : Penelitan ini bertujuan mengetahui efikasi mentimun (Cucumis sativus
L.) terhadap penyembuhan luka bakar derajat IIB pada tikus putih (Rattus
norvegicus). Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak langsung dengan
suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Luka bakar
mengakibatkan tidak hanya kerusakan pada kulit, tetapi juga memengaruhi seluruh
sistem tubuh. Pasien dengan luka bakar luas (mayor) akan menyebabkan
ketidakmampuan tubuh dalam mengompensasi dan menyebabkan berbagai macam
komplikasi sehingga memerlukan penanganan khusus (Moenadjat, 2003). Kulit
dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun
subkutan, tergantung faktor penyebab dan lama kulit kontak dengan sumber panas.
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya paparan pada kulit
(Syamsuhidayat dan Jong, 2005). Tindakan yang sering dilakukan pada luka bakar
adalah dengan memberikan terapi lokal dengan tujuan mendapatkan kesembuhan
secepat mungkin (Anief, 1997). Banyak orang yang menggunakan obat-obatan yang
berasal dari alam atau obat herbal, hal ini disebabkan karena obat alam dapat
diperoleh tanpa resep dokter, dapat diramu sendiri, harga relatif murah, dan tanaman
obat dapat ditanam sendiri oleh pemakainya (Djauhariyah dan Hernani, 2004).
Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan suatu jenis buah dari keluarga labu-labuan
(Cucurbitacae) yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan menyegarkan
sehingga banyak perusahaan kosmetik yang menggunakan mentimun sebagai bagian
penting dalam perawatan kulit, baik untuk mengencangkan kulit, melembabkan kulit,
mengatasi jerawat, dan bahkan untuk menghilangkan bekas luka pada kulit. Mentimun
mengandung vitamin C (Rukmana, 1994) yang berfungsi sebagai sintesis kolagen dan
sebagai anti-oksidan (Hermani dan Raharjo, 2006). Menurut Johan (2005) mentimun
mengandung senyawa flavonoid, saponin, dan polifenol. Mekanisme dalam proses
penyembuhan luka dengan adanya saponin memacu pembentukan kolagen, yaitu
protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Suratman, 1996
disitasi oleh Hihayati, 2009). Menurut Sayekti (2008), saponin berfungsi sebagai
antibakteri dan jika diberikan pada kulit yang luka dapat menghambat pendarahan.
Flavonoid bersifat sebagai anti-inflamasi dan anti-alergi (Septiningsih, 2008),
sedangkan polifenol berfungsi sebagai antimikrob dan antivirus (Robinson, 1995).
Penelitian ini menggunakan enam ekor tikus putih berat badan150-250 g berumur 2-3
bulan dengan jenis kelamin jantan, Kriteria tikus sehat ditandai dengan gerakan aktif,
bulu bersih, mata jernih dan belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan dua perlakuan dan tiga kali
ulangan. Parameter penelitian ini adalah melihat gambaran patologi anatomis pada
proses penyembuhan luka bakar derajat IIB dengan mengamati diameter luka bakar,
warna kemerahan dan edema, terbentuknya keropeng, dan epitelisasi. Data yang
diperoleh dianalisis dengan analisis uji t independen pada taraf signifikan 0,05.

9
Jurnal ke 5 : Luka bakar adalah sebuah trauma hasil dari terpapar zat kimia, api,
radiasi atau karena aliran listrik. Perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh
manusia menimbulkan efek–efek secara fisiologis, bahkan pada beberapa kasus
mengakibatkan kerusakan pada jaringan secara irreversible. Tingkat keparahan luka
bakar bervariasi dari kehilangan bagian kecil dari lapisan kulit paling luar sampai
dengan yang parah melibatkan seluruh sistem tubuh. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk mendapatkan data
pengalaman hidup pasien maksimal selama satu tahun sejak kejadian. Data didapatkan
dengan wawancara mendalam terhadap 7 informan yang terdiri dari 5 laki– laki dan 2
perempuan, usia antara 27 sampai dengan 49 tahun. Analisis data menggunakan
metode Colaizzi. Berdasarkan laporan World Health Organization [WHO] (2004),
jumlah kasus luka bakar diperkirakan lebih dari 7,1 juta dengan angka kejadian 110
per 100.000 setiap tahun. WHO memperkirakan 310.000 orang meninggal di seluruh
dunia, sebagian besar berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan
angka kematian global sebesar 4,8 per 100.000 setiap tahun (Othman & Kendrick,
2010). Riset Kesehatan Dasar (2007) menyatakan bahwa di Indonesia sebesar 60%
luka bakar terjadi karena kecelakaan rumah tangga, 20% kecelakaan kerja dan 20%
sebab-sebab lain. Desain atau rancangan penelitian adalah keseluruhan dari
perencanaan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan mengantisipasi beberapa
kesulitan yang mungkin akan timbul selama proses penelitian (Notoatmojo, 2005).
Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu suatu pendekatan untuk
menyusun pengetahuan yang menggunakan metode riset dengan menekankan
subyektifitas dan arti pengalaman individu. Corry, Pruzinky dan Ramsey (2009)
menyatakan bahwa pasien luka bakar yang lebih memikirkan pada hal perubahan
penampilan akan lebih mempunyai hasil perawatan yangkurang baik dari pada pasien
luka bakar yang tidak menempatkan faktor perubahan penampilan sebagai sesuatu
yang sangat penting dipikirkan. Terdapat hubungan yang signifikan pada resiko
ketidakpuasan terhadap perubahan penampilan terhadap efek negatif pada kualitas
hidup pasien.

10
PENUTUP

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan campuran


gerusan daun kedondong kering dengan vaselin dapat mempercepat
penyembuhan luka bakar pada tikus putih.

Berdasarkan penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa


pemberian ekstrak daun air jambu semarang secara topikal dapat mempercepat
proses penyembuhan luka bakar pada tikus. Perlu dilakukan studi lebih lanjut
dengan pengujian daun air jambu semarang pada tingkat fraksi.

Tingkat pengetahuan pedagang gorengan dalam pencegahan dan


penanganan pertama luka bakar umumnya berpengetahuan kurang (88,7%) dan
sisanya berpengetahuan cukup (11,3%). Dari 97 responden ditemukan 6,2%
pedagang gorengan pernah mendapat informasi mengenai pencegahan dan
penanganan pertama luka bakar, dimana media/sumber informasinya adalah
melalui internet (33,3%), media elektronik (33,3%), dokter/petugas medis
(16,7%), dan surat kabar (16,7%).

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa parutan mentimun tidak


dapat mempercepat penyembuhan luka bakar.

Hasil penelitian ini menemukan hal baru yang jarang ditemukan dari hasil
penelitian sebelumnya. Hal tersebut adalah informan dapat memperoleh
dukungan sosial yang adekuat selama menderitaluka bakar.Dukungan sosial ini
didapatkan dari keluarga dan lingkungan dimana informan tinggal. Dukungan
dari keluarga mudah didapatkan oleh informan dimungkinkan karena sosial
budaya masyarakat Indonesia yang menempatkan keluarga sebagai lembaga
yang sakral dan mempunyai fungsi–fungsi keluarga yang optimal untuk
memenuhi kebutuhan anggotanya. Karakteristik masyarakat Indonesia yang
masih memegang adat ketimuran dan menjunjung tinggi rasa hormat
menghormati dan empati menyebabkan informan juga mudah mendapatkan
dukungan dari lingkungan dimana informan tinggal.

11
Jurnal Medika Veterinaria Februari 2019, 13 (1):114-124
P-ISSN: 0853-1943; E-ISSN: 2503-1600 doi:https://doi.org/10.21157/j.med.vet.v1 1i1.4310

Healing Process Of Burns (Vulnus combustion) Degrees IIB Using Mixed Leaf
(Spondias dulcis F.) Fresh And Dry With Vaselin In Rats (Rattus Norvegicus)

Ummu Balqis1 , Mirna Safrani Fauzi2, Zuhrawati3, Nazaruddin1, Razali Daud3, Abdullah Hamzah3, Darniati4
1
Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Laboratorium Klinik, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
4
Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
E-mail: mirnasafrani.fauzi@yahoo.com

ABSTRACT

The aims of this research was looked to determine the healing process of burns Grade II B using a mixture of
fresh and dried leaf kedondong with vaseline white rats (Rattus norvegicus). Animals used were 18 rats. This study
was designed using three treatment groups namely (KI) vaseline, (KII) mixture of crushed leaves and fresh
kedondong (KIII) mixture of crushed dried leaves kedondong and each two replications. Burns made on the backs of
mice and the treatments are done twice a day for 21 days.Observation research parameter is the description of
macroscopic and microscopic observed at day 7, 14, and 21 in the skin tissue with hematoxylin and eosin staining.
The observation of macroscopic studies showed that the formation of a reddish color, presence of edema, and loss of
the fastest consecutive scab is KI, KIII, and KII, while the formation of a scab fastest respectively KIII, KI and KII.
The observation of histopathology showed on day 7, KI, KII and KIII found inflammatory cell infiltration,
hemorrhage and edema with the spread of many.on the 14th day of KI and KII infiltration of inflammatory cells and
their udema much, whereas KIII inflammatory cell infiltration decreased, and hyperemia increase, on the 21st day
KI, KII and KII inflammatory cell infiltration, hyperemia and hemorrhage spread with a little, but KI and KII
oedemanya still being spread. Based on the results of this study concluded that KIII accelerate the healing process
of burns on rats

Key words : healing, ambarella leaf, burn, vaselin.

PENDAHULUAN berproliferasi sehingga menutup permukaan


luka (Syamsuhidayat, dan Jong, 1997).
Luka bakar merupakan kerusakan Kecepatan dalam penyembuhan luka
jaringan tubuh yang disebabkan kontak dapat dipengaruhi dari zat-zat anti inflamasi
dengan sumber panas seperti api, air panas, yang terdapat didalam obat yang akan
listrik, bahan kimia dan radiasi (Moenajat, diberikan, jika obat tersebut mempunyai
2003). Kulit yang mengalami luka bakar kemampuan untuk meningkatkan
akan menyebabkan kerusakan pada bagian penyembuhan pada luka bakar tersebut akan
epidermis, dermis, maupun jaringan merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-sel
subkutan. Derajat keparahan tergantung baru pada kulit (Prasetyo, dan Priosoeryanto
faktor penyebab dan lamanya kulit kontak 2010).
dengan sumber panas.Luka bakar yang Pengobatan tradisional berbasis alami
dalam dapat menyebabkan kerusakan atau di Indonesia sudah digunakan sejak dahulu,
kematian pada sel kulit. Prinsip penanganan dan telah diterapkan meluas secara
dalam penyembuhan luka bakar antara lain turuntemurun.Salah satu tanaman yang
pencegahan infeksi sekunder, memacu berkhasiat sebagai obat adalah tanaman
pembentukkan jaringan kolagen dan kedondong (Spondias dulcis G.Forst).
mengupayakan agar sisa-sisa sel epitel dapat Tanaman ini menurut pengalaman empiris

114
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

masyarakat memiliki banyak khasiat pada MATERI DAN METODE


bagian buah, daun, kulit batang dan juga
kulit akar. Khasiat dari daun kedondong Metode Penelitian
diantaranya mengobati borok, kulit perih,
luka bakar, disentri dan batuk (Harmanto, Penelitian ini merupakan penelitian
2002). eksperimental menggunakan 3 kelompok
Penelitian yang telah dilakukan perlakuan dan 3 kali ulangan.Masing-
sebelumnya oleh Inayati (2007) masing perlakuan terdiri dari 3 ekor tikus.
menunjukkan bahwa daun, kulit batang, dan Kelompok (P1) luka bakar sebagai kontrol
kulit akar kedondong mengandung senyawa positif luka bakar diberikan
saponin, flavonoid, dan tanin.Saponin dan vaselin.kelompok (P2) diberikan campuran
tannin diduga sebagai senyawa antibakteri gerusan daun kedondong segar dengan
pada daun kedondong, selain itu saponin vaselin. Kelompok (P3) diberikan gerusan
juga memicu pertumbuhan jaringan kolagen daun kedondong kering dengan vaselin.
(Inayati, 2007). Senyawa-senyawa flavonoid
merupakan kelompok polifenol terbesar Prosedur Penelitian
yang terdapat di alam yang bersifat sebagai Persiapan hewan percobaan
antioksidan (Frengki, 2007).
Pemanfaatan daun kedondong sebagai Sebanyak 18 ekor tikus putihdi
obat luka bakar biasanya memerlukan tempatkan dikandang yang sebelumnya
campuran seperti air dan santan (Hidayat, sudah dikeringkan dibawah sinar
2012).Bahan yang dapat digunakan biasanya matahari, lalu diadaptasikan selama 7 hari
campuran daun kedondong dengan minyak dan pada hari ke 8 dimulai untuk
kelapa (Rahim, 2011). Selain itu, ada bahan melakukan perlakuan.Tikus putih diberi
lain yang dapat digunakan sebagai campuran makan 2 kali sehari yakni pagi dan sore,
daun kedondong yaitu menggunakan vaselin serta pemberian minum secara ad libitium.
flavum. Dalam industry farmasi vaselin
digunakan digunakan sebagai pembuatan Persiapan daun kedondong
bahan dasar salap, dimana vaselin memiliki
sifat yang stabil, tidak mudah mengering, Daun kedondong diperoleh disekitar
tidak berubah dalam waktu jangka lama, dan kawasan kampus Darussalam Banda Aceh.
di tujukan untuk memperlama kontak obat Daun yang diambil adalah daun kedondong
dengan kulit serta berguna sebagai penutup yang sudah tua berwarna hijau pekat
dan bersifat emolien (melindungi kulit) (Halimah,2013).Daun kedodong dicuci
(Yanhendri dan Yenny, 2012). bersih, lalu ditiriskan. kemudian daun
Informasi tersebut mendorong peneliti kedondong segar sebanyak 10 gram di gerus
untuk melakukan penelitian dengan dengan menggunakan lumpang sampai
menggunakan daun kedondong dan vaselin berbentuk pasta lalu dicampurkan dengan
yang berguna untuk mempercepat vaselin 30 gr, selanjutnya diambil kembali
penyembuhan luka bakar derajat IIB pada daun kedondong kering sebanyak 10
tikus putih. Hasil penelitian diharapkan akan gramlalu digerus kembali sampai menjadi
memberikan informasi ilmiah untuk serbuk lalu dicampurkan dengan vaselin.
menggunakan daun kedondong dan vaselin
sebagai salah satu alternatif pengobatan luka Pembuatan luka bakar
bakar.

115
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

Sebelum dilakukan luka bakar, bulu di penyembuhan luka bakar derajat IIB dengan
sekitar punggung dicukur 2 cm dan kulit mengamati perubahan warna kemerahan,
diolesi dengan alkohol 70%, kemudian kulit udema, terbentuknya keropeng, dan
diolesi dengan anastesi Emla dan ditunggu terlepasnya keropeng. Pengamatan
selama 2 menit. Luka bakar dibuat histopatologi dengan melihat reaksi
menggunakan solder listrik yang terhubung inflamasimeliputi infiltrasi sel radang,
logam yang berdiameter 1,5 cm. Solder adanya oedema, adanya hiperemi dan
dipanaskan selama 5 menit kemudian adanya hemoragi yang dinilai dengan
ditempelkan pada kulit punggung tikus deskriptif (sedikit, sedang, dan banyak).
selama 5 detik sampai terbentuk luka bakar
derajat II B. Analisis Data

Perawatan luka bakar Data patologi anatomi diamati pada


hari ke-1 sampai ke-21, dan hasil
Tikus yang sudah dilukai bakar pada histopatologi yang diperoleh dilaporkan
bagian pungungnya masing-masing diberi secara deskriptif.
perawatan luka bakar berdasarkan kelompok
perlakuan.Perawatan tersebut dilakukan HASIL DAN PEMBAHASAN
pada hari ke-1 sampai hari ke-21 sebanyak 2
kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Hasil Pengamatan yang dilakukan
Luka bakar dirawat secara terbuka hingga secara patologi anatomi meliputi: perubahan
sembuh yang ditandai dengan merapat dan warna dan udema, pembentukan keropeng
tertutupnya luka hingga diameternya 0 cm. dan terlepasnya keropeng yang diamati
setiap hari, dan pengamatan secara
Pembuatan preparat histopatologi histopatologi dengan melihat reaksi
inflamasi yang diamati pada hari ke-7, 14
Pengambilan sampel kulit dilakukan dan 21 setelah perlakuan.
pada hari ke-7, 14, dan 21, Tikus pada setiap
kelompok dikorbankan dengan Terbentuknya warna kemerahan dan
kloroform.Pada bagian yang diberi luka oedema
bakar dibuat eksisi kira-kira 3 cm dengan
kedalaman sampai subkutis.Selanjutnya Hasil pengamatan lama terbentuknya
jaringan kulit dibuat preparat histopatologi, perubahan warna tercepat terjadi pada KI
diwarnai dengan pewarnaan HE untuk (5.66) yaitu 1,29% lebih cepat dibandingkan
pemeriksaan mikroskopis. KII (7.33) dan 1.26% lebih cepat
dibandingkan KIII (7.16), yang disajikan
Parameter penelitian pada tabel 1

Parameter penelitian ini adalah


melihat gambaran patologi anatomi
Tabel 1. Rata-rata lama warna kemerahan dan udema.

Perlakuan Hari
KI 5.66
KII 7.33
KIII 7.16

116
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

KI=kelompok yang diberi vaselin


KII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong segar dengan vaselin
KII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong kering dengan vaselin

Terbentuknya oedema tercepat terjadi pada KI (2.50) dan KIII (2.83) yaitu 1.40% lebih
cepat dibandingkan KII (3.50) yang disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata lama terbentuknya oedema

Perlakuan Hari
KI 2.50
KII 3.50
KIII 2.83

KI=kelompok yang diberi vaselin


KII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong segar dengan vaselin
KII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong kering dengan vaselin

Pada kelompok terbentuknya cepat terbentuknya warna kemerahan dan


kemerahan dan oedema ini KI yang lebih oedema.
cepat dalam terbentuknya warna kemerahan Warna kemerahan dan oedema pada
dan oedema, hal ini disebabkan karena luka merupakan hasil dari suatu peradangan
vaselin berfungsi sebagai media terhadap luka. Reaksi ini berupa
memperlama kontak obat dengan kulit vasokonstriksi pembuluh darah yang segera
(Yanhendri dan Yenny, 2012). Pada kondisi diikuti oleh vasodilatasi.
KII dan KIII lebih cepat terbentuknya warna Terbentuknya Keropeng
kemerahan, dikarenakan daun kedondong
mengandung steroid, flavonoid, alkaloid, Berdasarkan hasil pengamatan
dan saponin yang berfungi sebagai anti menunjukkan bahwa pembentukan keropeng
inflamasi (Inayati, 2011), dikarenakan tercepat terjadi pada kelompok perlakuan
campuran gerusan daun kedondong segar KIII (5.50) dan KII (5.66) yaitu 1.15% lebih
dan kering tidak mengalami penetrasi yang cepat dibandingkan KI (6.33), Disajikan
lama dengan kulit, maka dengan itu KI lebih pada tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata lama terbentuknya keropeng


Perlakuan Hari

KI 6.33
KII 5.66
KIII 5.50

KI=kelompok yang diberi vaselin


KII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong segar dengan vaselin
KIII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong kering dengan vaselin

117
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

Keropeng dibentuk oleh denaturasi terbentuk diatas permukaan luka mencegah


protein pada lapisan kulit, terdapat pada kontaminasi luka oleh mikroorganisme
zona koagulasi (Orgil, 2009).Cepat
terbentuknya keropeng dikarenakan fungsi Terlepasnya Keropeng
dari kandungan daun kedondong. Flavanoid
berfungsi sebagai vasodilatator dan dapat Berdasarkan hasil pengamatan
dapat memperlancar aliran darah dan tanin menunjukkan bahwa terlepasnya keropeng
yang bersifat antiseptik yang dapat tercepat terjadi pada KI (6.33) yaitu 1.21%
menghambat pertumbuhan bakteri sehingga lebih cepat dibandingkan kelompok
luka cepat kering dan membentuk keropeng perlakuan KIII (7.66), dan 1.42% lebih cepat
serta saponin dapat memicu pembentukkan dari KII (9.00) yang disajikan pada tabel 4.
kolagen (Prihanti, 2008). Keropeng yang

Tabel 4. Rata-rata lama terlepasnya keropeng


Perlakuan Hari

KI 6.33
KII 9.00
KIII 7.66

KI=kelompok yang diberi vaselin


KII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong segar dengan vaselin
KIII=kelompok yang diberi campuran gerusan daun kedondong kering dengan vaselin

Pelepasan keropeng disebabkan oleh Gambaran Histopatologi Penyembuhan


cepatnya proses granulasi, dimana epitel Luka Bakar
yang tipis bermigrasi keatas permukaan luka
sehingga terbentuk kembali permukaan Hasil Pemeriksaan Histopatologis
kulit, pembentukkan jaringan granulasi
didominasi oleh proses angiogenesis yang Berdasarkan pada parameter
berkurang sejak hari ke 10, matriks baru histopatologi yang di amati pada minggu
seperti anyaman silang (serabut kolagen) pertama adalah adanya infiltrasi sel radang,
membantu elastisitas permukaan kulit , dan hiperemi, hemoragi, dan oedema, Kemudian
fibroblas mulai mensintesis kolagen pada hasil pengamatan tiap kelompok perlakuan
hari ke 5-7 setelah trauma. Angiogenesis dihitung, seperti yang disajikan pada tabel 5.
merupakan cirri khas dari fase granulasi
(Ruby, 2012).

Tabel 5. Parameter histopatologi yang diamati pada hari ke-7


Gambaran Histopatologi hari ke-7
Infiltrasi sel Hiperemi Hemoragi Oedema
Perlakuan radang

K1 +++ + + +

K2 ++ - ++ +

118
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

K3 ++ + ++ +

K1 =kelompok dioleskan vaselin


K2 =kelompok dioleskan daun kedondong segar dengan vaselin
K3= keompok dioleskan daun kedondong kering dengan vaselin

c
d
b

Gambar 1. Gambaran histopatologi luka bakar hari ke-7: (A). KI : a. infiltrasi sel radang; b.
hiperemi; c. hemoragi; d. udema (HE, 40x)

Pada hari ke-7 kelompok KI (vaselin) Pada KII (campuran gerusan daun
terlihat infiltrasi sel radang yang menyebar kedondong segar dengan vaselin) hari ke-7
dengan kepadatan rapat, sedangkan terlihat gambaran hemoragi yang menyebar
gambaran hiperemi, serta oedema yang dengan kepadatan sedang, sedangkan
menyebar dengan kepadatan sangat rendah, gambaran hiperemi terlihat menyebar
serta terlihat gambaran hemoragi yang dengan kepadatan sangat rendah, adanya
menyebar dengan kepedatan rendah. rongga-rongga kosong, serta gambaran
Banyaknya sel radang yang terlihat karena udema terlihat menyebar dengan kepadatan
adanya respon inflamasi pada jaringan yang rendah dan infiltrasi sel radang menyebar
mengalami luka.Sel radang dirangsang dengan kepadatan sedang.
menuju luka sehingga masih banyak
terdapat sel radang pada KII.

d
a
b

Gambar 2. Gambaran histopatologi luka bakar pada hari ke-7 KII : a. Infiltrasi sel radang; b.
udema; c.hiperemi; d. hemoragi. (HE, 40x).

119
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

Pada KIII (campuran gerusan daun terlihat gambaran hemoragi yang menyebar
kedondong kering dengan vaselin) terlihat dengan kepadatan sedangkan, hiperemi dan
gambaran infiltrasi sel radang terlihat oedema terlihat menyebar dengan kepadatan
menyebar dengan kepadatan rendah, serta rendah.

a
c

Gambar 3. Gambaran histopatologi luka bakar pada hari ke-7 KIII :a. Infiltrasi sel radang; b.
hemoragi; c.hiperemi, HE, 40x)

Infiltrasi sel radang yang paling sedikit mengandung flavonoid dan tannin
terdapat pada KIII (campuran gerusan daun mempunyai daya antiseptic sehingga dapat
kedondong segar dengan vaselin) karena digunakan sebagai pencegahan terhadap
kandungan air didalam daun kedondong infeksi sekunder.
sudah berkurang, sehingga daun kedondong Hasil pengamatan parameter
yang telah dikeringkan mempercepat proses histopatologi pada hari ke-14,seperti yang
penyembuhan luka bakar derajat IIb, karena disajikan pada tabel 6.
menurut Inayati (2007), daun kedondong

Tabel 6. Parameter histopatologi yang di amati pada hari ke-14

Gambaran Histopatologihari ke-14

Perlakuan Infiltrasi sel


radang Hiperemi Hemoragi Oedema

K1 ++ + + +

K2 ++ ++ _ _

K3 + +++ + +

K1 =kelompok dioleskan vaselin


K2 =kelompok dioleskan daun kedondong segar dengan vaselin
K3= keompok dioleskan daun kedondong kering dengan vaselin

Pada hari ke-14 KI (vaselin) hiperemi dan oedema terlihat sangat rendah
menunjukkan sel radang menyebar dengan namun gambaran hemoragi menyebar
kepadatan sedang, tingkat gambaran dengan kepadatan rendah.

120
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

d
c
b

Gambar 4. Gambaran histopatologi luka bakar hari ke-14: (A). KI : a. infiltrasi sel radang; b.
hiperemi; c. hemoragi; d. udema,(HE, 40x).

Pada KII (campuran gerusan daun dengan kepadatan banyak, sedangkan


kedondong segar dengan vaselin) sel-sel gambaran hemoragi dan oedema terlihat
radang menyebar dengan kepadatan sedang, sangat rendah.
terlihat gambaran hiperemi yang menyebar

b c
Gambar 5. Gambaran histopatologi luka bakar hari ke-14 KII : a. Infiltrasi sel radang; b. udema;
c.hiperemi; d. hemoragi. (HE, 40x)

Pada KIII (campuran gerusan daun terlihat banyak gambaran hiperemi,


kedondong kering dengan vaselin) sel sedangkan gambaran hemoragi dan oedema
radang menyebar dengan kepadatan rendah, terlihat sedikit.
ditemukan banyak pembuluh darah baru dan

b d

a
Gambar 6. Gambaran histopatologi luka bakar hari ke-14 (C).KIII : a. Infiltrasi sel radang; b.
udema; c.folikel rambut; d. fibroblas. (HE, 10x).

121
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

Penurunan jumlah sel radang beberapa senyawa yang terdapat pada


menandakan bahwa penyembuhan telah ekstrak obat-obatan alami antara lain
masuk ketahap berikutnya, sehingga saponin, flavonoid, protein, dan vitamin C.
penyembuhan luka lebih cepat terjadi Hasil pengamatan parameter histopatologi
(pratiwi, 2010). Proses penyembuhan luka pada hari ke-21, seperti yang disajikan pada
bakar derajat IIb sangat dipengaruhi oleh tabel 7.
peranan migrasi pada area perlukaan serta

Tabel 7. Parameter histopatologi yang diamati pada hari ke-21


Gambaran Histopatologi hari ke-21

Perlakuan Infiltrasi sel


radang
Hiperemi Hemoragi Oedema

K1 + + + _

K2 + ++ _ _

K3 + +++ _ _

K1 =kelompok dioleskan vaselin


K2 =kelompok dioleskan daun kedondong segar dengan vaselin
K3= keompok dioleskan daun kedondong kering dengan vaselin

Pada hari ke-21 kelompok K1 serta gambaran hemoragi juga terlihat


(vaselin) terlihat infiltrasi sel radang dengan menyebar dengan kepadatan rendah, serta
kepadatan rendah, gambaran hiperemi gambaran oedema sudah terlihat sedikit lagi
terlihat menyebar dengan kepadatan sedang

a
b
c
d

Gambar 7. Gambaran histopatologi luka bakar hari ke-21 KI: a. infiltrasi sel radang; b.
fibroblas; c. hiperemi; d. hemoragi, (HE, 100)
Pada KII (campuran gerusan daun penyebaran sedang, dan gambaran hemoragi
kedondong segar dengan vaselin) sel radang menyebar dengan kepadatan sedikit dan
masih menyebar dengan kepadatan rendah, oedema terlihat sangat sedikit.
serta gambaran hiperemi terlihat dengan

122
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

b
a

Gambar 8. Gambaran histopatologi luka bakar hari ke-21 KII : a. Infiltrasi sel radang; b.
fibrolas; c.folikel rambut;. (HE, 10x)

Pada KIII (campuran gerusan daun kerapatan rendah, terlihat banyak pembuluh
kedondong kering dengan vaselin) terlihat darah baru dan gambaran hiperemi dengan
proses yang cukup baik yaitu sedikit penyebaran yang banyak. Serta gambaran
terdapat infiltrasi sel radang dengan hemoragi dan oedema terlihat sangat sedikit.

Gambar 9. Gambaran histopatologi luka bakar hari ke-21 KIII : a. Infiltrasi sel radang; b.
hemoragi; c. fibrolas. (HE, 10x)

Kelembaban daerah luka penting KESIMPULAN


dalam proses penyembuhan luka bakar
dikarenakan dapat mempercepat fibrinolisis Dari hasil penelitian dapat
oleh neutrofil dan sel endotel dalam suasana disimpulkan bahwa penggunaan campuran
lembab dan mempercepat angiogenesis gerusan daun kedondong kering dengan
(Mentari dan Muhartono, 2013). vaselin dapat mempercepat penyembuhan
Angiogenesis adalah proses pembentukan luka bakar pada tikus putih.
pembuluh darah baru melalui tunas sel
endotel yang berasal dari pembuluh darah DAFTAR PUSTAKA
yang sudah ada atau melalui subdivisi
intravaskuler (intususepsi) (Hidayat, 2013).
Frengki. 2007. Farmasi dan Ilmu Reseptur. Buku Ajar
Pengobatan menggunakan daun kedondong Farmasi. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas
kering + vaselin (P3) memberikan hasil Syiah Kuala, Banda Aceh.
yang lebih cepat dibandingkan kelompok Harmanto, N. 2002. Sehat dengan ramuan tradisional.
Cetakan keempat. TPT. Agromedia Pustaka,
yang lain. Tangerang.

123
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis, dkk

Hidayat, R. 2012. Gambaran Mikroskopis Penyembuhan Prihanti, A.M.H. 2008. Pengaruh Pemberian Perasan Daun
Luka Bakar yang Diberi Gerusan daun Kedondong Dewa (Gynurs segetum (lour). Merr) Terhadap
(Spondias dulcis Forst) pada Mencit (Mus Bleeding time dan Clotting time pada Tikus Wiatar
musculus L.).Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Jantan. Skripsi. Universitas Jember, Jember.
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Rahim, F. M. Aria, dan N.P. Aji. 2011. Formulasi krim
Inayati, H. 2007. Potensi Antibakteri Ekstrak Daun ekstrak etanol daun ubi jalar (ipomoeae batatas l)
Kedondong Bangkok (Spondias dulcis Forst). untuk pengobatan luka bakar. Jurnal Scientia. 1(1) :
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu 21-26.
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Ruby, R.A. 2012. Peran heparin angiogenesis epitelisasi
Bogor. dan penyembuhan luka bakar.
Moenajat, Y. 2003. Luka Bakar dan Penanganannya. Balai http://journal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas viewfile/J031/1102_umm_scien.
Indonesia, Jakarta. Somantri, I. 2007. Definisi Luka.
Orgil, D.P. 2009. Excision and skin grafting of thermal http://www.irmanthea.blogspot.com/2007/07.
burn. The New England Journal of Medical. html.(12 November 2015)
360:893-901. Syamsuhidayat, R. dan W.D. Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu
Prasetyo, B. F. I. Wientarsih, dan B.P. Priosoeryanto. 2010. Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.
Aktivitas sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Yanhendri dan Yenny, S.Y. 2012.Berbagai bentuk sediaan
ambon dalam proses penyembuhan luka pada topical dalam dermatologi. Ilmu Kesehatan Kulit.
mencit. Jurnal Vet. 11(2) : 70-73. Cermin Dunia Kedokteran. 39(6) : 7-8.

124
Salep Daun Syzygium Samarangense Meningkatkan Proses Penyembuhan Luka Bakar
Berdasarkan Kolagen

Syzygium Samarangense Leaves Ointment Enhances Wound Healing Process Of Skin Burn
Based On Collagen
AinYuanita Insani1, Mega Citra Prameswari1, NovailAlif Muharrom1, Toyibatul
Hidayati1, Arista Prima Nugrahani1, Elly Nurus Sakinah2
1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Jember
2
Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Jember
Jalan Kalimantan No.37 Kampus Tegalboto, Jember 68121
Email korespondensi: primaaristaa@gmail.com

Abstrak

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 265.000 kematian pada tahun 2014 akibat luka bakar.
Luka bakar akan mengakibatkan kerusakan kulit dan juga masalah komplikasi lainnya seperti dehidrasi, infeksi, dan
kegagalan sistem organ lainnya. Daun Syzygium samarangense mangandung flavonoid dan saponin yang dapat
meningkatkan aktivasi makrofag dan TGF-B yang akan mempercepat proses pembentukan kolagen sehingga proses
penyembuhan luka lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun Syzygium
samarangense terhadap proses penyembuhan luka bakar berdasarkan kolagen. Penelitian ini menggunakan true
experimental design secara in vivo. Luka bakar dibuat dengan cara menempelkan koin selama 10 detik yang
sebelumnya dioven selama 5 menit dalam suhu 700C. Rattus Wistar sebagai hewan coba yang dibagi menjadi 6
kelompok (n=4) dengan rincian kelompok A (normal), B (positif), C (negatif). Kelompok D, E, dan F adalah kelompok
yang diberi salep ekstrak masing-masing setiap hari secara topikal dalam dosis 15%, 30%, dan 45%. Terminasi
dilakukan pada hari ke 7. Uji statistika dengan menggunakan Anova dan Kruskal Wallis. Dari penelitian ini
didapatkan pemberian ekstrak daun Syzygium samarangense dapat memperkecil luas luka (p<0,05) dan
meningkatkan jumlah kolagen (p<0,05). Kesimpulan: Salep ekstrak daun Syzygium samarangense dapat
mempercepat proses penyembuhan luka bakar.

Kata kunci : Luka Bakar, Salep Daun Sizygium samarangense, Saponin, Flavonoid, Kolagen

Abstract

Background: The World Health Organization (WHO) estimates the number of death in 2014 caused by burns is
265,000. Burns can caused skin damage as well as other complication problems such as dehydration, infection, and
other multiple organ failures. Syzygium samarangense leaves contain flavonoids and saponins that can increase the
activation of macrophages and TGF-B which is important to accelerate the process of collagen formation and
wound healing process. Objective: Knowing the effect of Syzygium samarangense leaf extract on the healing
process of burn based on collagen. Method: This in vivo study use true experimental design. We made burns by
placing a coin that already heated in oven at 70ºC for 10 seconds. Rattus Wistar as experimental animals divided
into 6 groups (n = 4) with details of Group A (normal), B (positive), C (negative). Groups D, E, and F were the groups
that given ointment extract topically in doses of 15%, 30%, and 45% each day’s. Termination is done on day 7. Test
statistics by using Anova and Kruskal Wallis. Results and discussion: From this research, Syzygium samarangense
leaf extract can reduce the wound area (p <0,05) and increase the amount of collagen (p <0,05). Conclusion:
Syzygium samarangense leaf extract ointment can accelerate the healing process of burns.

Keywords : Burns, Syzygium samarangense Leaves ointment, Saponin, Flavonoid, Collagen

Vol. 3 No. 3 (2017) Journal of Agromedicine and Medical Sciences 30


Pendahuluan dengan metode maserasi. Daun jambu semarang
(Syzygium samarangense) yang sudah dikeringkan
World Health Organization (WHO) memperkirakan
dioven dihaluskan dengan menggunakan blender.
bahwa terdapat 265.000 kematian yang terjadi pada
Sebanyak 800 gram serbuk simplika daun jambu
tahun 2014 akibat luka bakar. Prevalensi luka bakar
semarang diekstraksi dengan menggunakan etanol
pada tahun 2013 di Indonesia adalah sebesar 0.7%
96% dengan perbandingan 1:5. Maserat disaring
dan telah mengalami penurunan sebesar 1.5%
menggunakan kertas saring hingga didapatkan filtrat
dibandingkan pada tahun 2008 (2.2%). Luka bakar
yang diuapkan sampai didapatkan ekstrak pekat
disebabkan oleh kontak dengan sumber panas
sebanyak 27 gram. Ekstrak pekat tersebut dicampur
seperti air, api, bahan kimia, listrik dan radiasi yang
dengan vaselin sesuai dosis konsentrasi salep
mengakibatkan tidak hanya kerusakan kulit tetapi
kemudian diberikan kepada hewan uji untuk
pada pasien dengan luka bakar yang luas (mayor)
penelitian .
tubuh tidak mampu lagi untuk mengkompensasi
sehingga timbul berbagai macam komplikasi yang
memerlukan penanganan khusus (Effendi, 1999; Metode yang digunakan adalah true experimental
Moenadjat, 2003). laboratories dengan post test only randomize control
group design. Hewan coba yang digunakan adalah
Epitel pada luka bakar biasanya habis terbakar, Rattus wistar yang didapat dari peternakan yang ada
sehingga prinsip penanganan utama luka bakar di Malang. Sebayak 96 ekor tikus jantan galur Wistar
ringan adalah mendinginkan luka yang terbakar dengan berat badan 100-150 gram dibagi menjadi 6
dengan air, mencegah infeksi dan memberi kelompok (n=4) dengan rincian A (normal), B
kesempatan sisa-sisa epitel untuk berproliferasi dan (positif), C (negatif), D (salep 15%), E (salep 30%),
menutup permukaan luka. Proses penyembuhan dan F (salep 45%).
luka pada umumnya membutuhkan waktu kurang
lebih 25 hari. Proses tersebut dapat dipercepat Tikus diadaptasi selama 7 hari kemudian diberi luka
dengan memberikan obat. Selama ini obat yang bakar dengan menempelkan koin selama 10 detik
sering digunakan oleh masyarakat dalam menangani yang sudah dioven selama 5 menit. Luka diberi
luka bakar adalah obat-obatan dengan kandungan perlakuan selama 7 hari setiap hari dengan rincian
ekstrak plasenta 10%, neomycin sulfat 0,5% dan kelompok A (tidak diberi perlakuan apapun), B
basis gel, namun pada beberapa kasus terjadi iritasi (pemberian luka bakar derajat dua dan pemberian
yang ditandai bintik-bintik merah pada kulit pada bioplacenton), C (pemberian luka bakar derajat dua
penggunaan secara topikal. dan pemberian aquades), D (pemberian luka bakar
Daun jambu semarang (Syzygium samarangense) derajat dua dan pemberian salep 15%), E
mengandung flavonoid dan saponin yang dapat (pemberian luka bakar derajat dua dan pemberian
memacu aktivasi makrofag dan TGF-B yang dapat salep 30%), dan F (pemberian luka bakar derajat
mempercepat pembentukan kolagen yang berperan dua dan pemberian salep 45%). Pada hari ke-7
dalam proses penyembuhan luka. Selain itu zat dilakukan pengukuran luas tingkat kesembuhan luka
tersebut mempunyai aktivitas sebagai antiseptik dan yang dilakukan dengan menggunakan kertas kalkir
antibakteri. Dari paparan tersebut besar dan millimeter block dilanjutkan terminasi untuk
kemungkinan bahwa daun jambu semarang memiliki mengambil jaringan kulit untuk dijadikan preparat
potensi untuk menjadi bahan baku salep untuk histopatologi dengan pewarnaan metode HE.
pengobatan luka bakar derajat dua. (Chandel and
and Rastogi, 1979; Harbone, 1987) Pengukuran luas tingkat kesembuhan luka dilakukan
dengan Metode Munim 2011 :

Metode Penelitian Persentase Luas Tingkat Kesembuhan luka hari X(%)

Daun jambu semarang (Syzygium samarangense) =Luas area luka hari 0-Luas Luka hari X x100%
didapatkan dari daerah Ponorogo, Indonesia, pada Luas area hari 0
bulan Maret 2017. Tanaman ini dideterminasi oleh
ahli dari Lab. Hama dan Penyakit Tanaman, Program
Pemeriksaan kolagen dilakukan dengan mengetahui
Studi Agroteknologi, Universitas Darussalam Gontor,
tingkat kepadatan kolagen menggunakan mikroskop
Ponorogo, Indonesia. Kemudian dilakukan ekstraksi
dengan perbesaran 400x. Skala yang digunakan

Vol. 3 No. 3 (2017) Journal of Agromedicine and Medical Sciences 31


dalam pemeriksaan kolagen berdasarkan skala Gambar 1. Hasil skoring kepadatan kolagen hari ke-7
Novriansyah 2008:
0: Tidak ditemukan adanya serabut kolagen pada Sedangkan berdasarkan hasil pemeriksaan kolagen
daerah luka dengan melihat kepadatan kolagen dengan metode
1: Kepadatan serabut kolagen rendah (kurang dari Novriansyah didapatkan kecenderungan yang
10% per lapangan pandang) terlihat pada grafik skoring jumlah kolagen (Gambar
2: Kepadatan serabut kolagen sedang (10-50% per 1) bahwa terdapat peningkatan pembentukan
lapangan pandang) kolagen pada kelompok yang diberi salep. Tingkat
3: Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka kepadatan kolagen terbesar pada kelompok F (Salep
rapat (50-90% per lapangan pandang) 45%). Dari uji anova didapatkan nilai p<0,05
4: Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka (p=0,025) pada kelompok F dibanding dengan
sangat rapat (90-100% per lapangan pandang) kelompok C (negatif) yang berarti terdapat
perbedaan yang signifikan dari pemberian salep
ekstrak daun jambu air semarang konsentrasi 45%
Hasil dari pemeriksaan dan pengukuran luas tingkat
terhadap peningkatan kolagen dibanding kelompok
kesembuhan luka dianalisis dengan menggunakan uji
negatif.
Anova, sedangkan hasil pemeriksaan kolagen
dianalisis dengan menggunakan uji Kruskal Wallis.
Hasil Penelitian Pembahasan

Tabel 1. Presentase tingkat kesembuhan luka Pada hasil penelitian didapatkan kecepatan tingkat
kesembuhan pada kelompok yang diberi salep.
Kelompok Persentase tingkat kesembuhan luka
(Mean±Deviasi) Kelompok kontrol negatif memiliki tingkat
B 12,5±18,5, kesembuhan lebih rendah dibanding kelompok
C 7,8±11,7 perlakuan salep. Hal tersebut dikarenakan tidak ada
D 10,2±0,8 zat yang dapat mempercepat proses atau
E 18,7±1,5 membersihkan luka dari benda asing yang
F 21,4±2,5 menempel pada kulit.

Berdasarkan hasil pengukuran luas tingkat Presentase kesembuhan paling tinggi terdapat
kesembuhan luka (Tabel 1) dengan metode Munim dalam kelompok F (salep konsentrasi 45%) disusul
didapatkan kecenderungan yang terlihat pada tabel kelompok E (salep 30%) dan kelompok D (salep
bahwa terdapat peningkatan presentase 15%). Hasil ini diperkuat melalui analisis statistik,
penyembuhan luka pada kelompok yang diberikan dimana didapatkan nilai p<0,05 (p=0,00 terhadap
salep. Presentasi terbesar ada pada kelompok F luas penyembuhan dan p=0,025 pada kepadatan
(salep 45%). Dari uji anova didapatkan nilai p<0,05 kolagen) yang berarti terdapat pengaruh yang
(p=0,00) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan perbedaan kelompok salep 45% terhadap
signifikan dari pemberian ekstrak daun jambu air kelompok negatif. Hal tersebut dikarenakan
semarang terhadap proses penyembuhan luka terdapat kandungan yang ada di dalam daun jambu
bakar. air dan sediaannya yang bersifat lembab yaitu salep.
Terdapat zat flavonoid, tannin, dan saponin yang
mempunyai peranan penting dalam proses
penyembuhan luka yang terkandung di dalam daun
jambu air. Flavonoid merupakan zat anti inflamasi,
sedangkan tanin saponin merupakan zat antibakteri.
Kedua zat ini berperan dalam meningkatkan proses
kesembuhan luka bakar dengan cara meningkatkan
aktivasi makrofag untuk menghasilkan growth factor
dan sitokin seperti EGF, TGF-B, IL-1, IL-4, IL-8, yang
berfungsi untuk induksi proliferasi dan migrasi
fibroblas. Fibroblas ini akan menghasilkan kolagen
sehingga luka akan cepat menutup.

Vol. 3 No. 3 (2017) Journal of Agromedicine and Medical Sciences 32


Gurung Shila et al. 2009. Wound healing properties
of Carica papaya latex: Invivo evaluation in
Kesimpulan
mice burn model. Journal of Ethnofarmacology.
Berdasarkan penelitian dan analisis data dapat 121.338- 341.
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak daun air
Hidayat, TSN.2013. Peran Topikal Ekstrak Gel Aloe
jambu semarang secara topikal dapat mempercepat
Vera Pada Penyembuhan Luka Bakar Derajat
proses penyembuhan luka bakar pada tikus. Perlu
Dua Dalam. Skripsi. Surabaya: Universitas
dilakukan studi lebih lanjut dengan pengujian daun
Airlangga.
air jambu semarang pada tingkat fraksi.
Novriansyah, R. 2008. Perbedaan kepadatan kolagen
disekitar luka insisi tikus wistar yang dibalut
Daftar Pustaka kasa konvensonal dan penutup oklusif
hidrokoloid selama 2 dan 14 hari. Tesis.
Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Semarang:Universitas Diponegoro.
Badan Penelitian danpengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI. Rismana E, dkk. 2013. Efektivitas Khasiat
Pengobatan Luka Bakar Sediaan
GelMengandung Fraksi Ekstrak Pegagan
Eriawan, R. 2013. Efektivitas Khasiat Pengobatan
Berdasarkan Analisis Hidroksiprolindan
Luka Bakar SediaanGel Mengandung Fraksi
Histopatologi pada Kulit Kelinci. Buletin
Ekstrak Pegagan Berdasarkan
Penelitian Kesehatan.41(1): 45 - 60
AnalisisHidroksiprolin dan Histopatologi pada
Kulit Kelinci.Pusat TeknologiFarmasi dan Rismana, E. 2010. Pengembangan Formulasi Sediaan
Medika.Badan Pengkajian dan Penerapan Topikal Wound HealingMenggunakan Bahan
Teknologi. BuletinPenelitian Kesehatan. 41 (1): Aktif Kitosan dan Ekstrak Pegagan. Jakarta:
45 – 60. Pusat TeknologiFarmasi Dan Medika – Deputi
Bidang TAB – BPPT.
Gayaen, PR., et al. 2016. Anthelmintic Activity of
Ethanolic Extract of Syzygiumsamarangense
(Blume) Merril & Perry. Dhaka
Univ.J.Pharm.Sci.15(1):109-111.

Vol. 3 No. 3 (2017) Journal of Agromedicine and Medical Sciences 33


ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.9,SEPTEMBER, 2019

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN PEDAGANG GORENGAN


TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PERTAMA LUKA BAKAR
DI DENPASAR TAHUN 2017

Gabriel Audrey Wijaya1, I Made Suka Adnyana2, I Wayan Subawa2


1
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
2
Bagian Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana
E-mail: gabriel.audrey19@gmail.com

ABSTRAK

Luka bakar adalah kerusakan yang terjadi pada kulit atau jaringan tubuh lainnya yang
disebabkan oleh panas atau radiasi, radioaktivitas, arus listrik, gesekan, atau kontak dengan
senyawa kimia. Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2008 menunjukkan
prevalensi luka bakar di Indonesia berjumlah 2,2%, sementara data di RSUP Sanglah Denpasar
menunjukkan kejadian luka bakar pada tahun 2010 adalah sebanyak 333 orang. Penyebab
tertinggi terjadinya luka bakar adalah suhu tinggi atau panas (95%), dan terbagi menjadi 3 yaitu
melepuh (50%), kontak langsung dengan api (24%), dan kebakaran (26%). Luka bakar terbagi
atas 4 derajat, yaitu derajat 1, 2A, 2B, dan 3 dengan perbedaannya terletak pada kedalaman dan
tingkat keparahan luka bakar. Penanganan pertama sangat penting dalam kejadian luka bakar guna
mengurangi morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh luka bakar, yaitu dengan mengaliri
luka menggunakan air dingin bersuhu 2-15°C dengan durasi 15 menit segera setelah terjadi luka
bakar. Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan pendekatan potong lintang dan
menggunakan teknik consecutive sampling. Penelitian dilakukan pada 97 pedagang gorengan di
area Denpasar yang bersedia mengisi kuisioner. Dari penelitian didapatkan hanya 6 orang yang
pernah mendapat informasi tentang pencegahan dan penanganan pertama luka bakar. Hasil
penelitian didapatkan 88,7% responden berpengetahuan kurang dan 11,3% berpengetahuan cukup
dalam melakukan pencegahan dan penanganan pertama luka bakar.

Kata Kunci: Luka bakar, tingkat pengetahuan, pedagang gorengan

ABSTRACT

Burn is defined as type of injury to skin, or other tissues, caused by heat, cold, electricity,
chemicals, friction, or radiation. Data from Indonesia Department of Health in 2008 shows that
burn prevalence in Indonesia is 2.2%, and data from RSUP Sanglah Denpasar shows that burn
incidence in 2010 is 333 people with 10 people die. The highest cause of burn is by thermal (95%).
Burn prevention is very essential because there are a lot of fatally burned victim that cannot
survive until receiving further medical treatment. Prevention of burn depends on the cause of
burn. Burn treatment is divided into pre-hospital and hospital step, whereas pre-hospital step is
affected by community level of knowledge in first-aid treatment of burn. The right first-aid step
is very important to reduce morbidity and mortality caused by burn. This is a descriptive study
with cross sectional approach with consecutive sampling method. This study is conducted on 97
fried merchants at Denpasar that are willing to fill questionnaire. From the study, only 6.2% have
ever got information about prevention and first-aid of burn. The result of the study is 88.7% of
respondent have low knowledge level and 11.3% have moderate knowledge of burn prevention
and first-aid.

Keywords: Burn, knowledge level, fried merchant

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.9,SEPTEMBER, 2019

PENDAHULUAN terjadinya dehidrasi yang dapat berujung pada


Luka bakar merupakan kerusakan yang kegagalan organ, pemberian obat-obat pereda
terjadi pada kulit atau jaringan tubuh lainnya rasa nyeri; krim atau salep untuk mempercepat
yang disebabkan oleh panas atau radiasi, penyembuhan luka bakar; dan antibiotik jika
radioaktivitas, arus listrik, gesekan, atau kontak terjadi infeksi pada luka bakar, penutupan luka
dengan senyawa kimia. Secara global, estimasi dengan kasa steril untuk mencegah terjadinya
data kematian yang disebabkan oleh luka bakar infeksi, dan operasi seperti mencangkokan kulit
adalah sebesar 265.000 jiwa setiap tahun, dengan atau grafting pada luka bakar derajat 3 ke atas.7
korban terbanyak di negara-negara dengan Penelitian mengenai tingkat pengetahuan
tingkat ekonomi rendah atau menengah.1 tentang pencegahan dan penanganan pertama
Prevalensi luka bakar di Indonesia berjumlah luka bakar telah difokuskan pada kelompok
2,2%, dan data yang didapat di RSUP Sanglah berisiko, seperti anak-anak, orang yang memiliki
Denpasar menunjukkan kejadian luka bakar pada pekerjaan yang meningkatkan eksposur terhadap
tahun 2010 adalah sebanyak 333 orang dengan api, dan orang yang bekerja dengan benda-benda
284 orang mendapatkan tindakan pembedahan kimia mudah terbakar. Pekerjaan sebagai
dan 10 orang meninggal.2 pedagang gorengan meningkatkan eksposur
Pencegahan luka bakar sangat esensial terhadap api, oleh karena itu perlu pengetahuan
terutama karena banyaknya korban luka bakar akan pencegahan dan penanganan pertama luka
fatal yang tidak mampu bertahan hidup sampai bakar untuk mengurangi angka morbiditas dan
mendapat pertolongan medis lebih lanjut.3 Luka mortalitas yang disebabkan oleh luka bakar.
bakar terbagi atas 4 derajat, yaitu derajat 1, 2A,
2B, dan 3. Luka bakar derajat 1 hanya melukai BAHAN DAN METODE
lapisan epidermis dari kulit yang menyebabkan Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
rasa sakit serta rona kemerahan pada kulit, luka pendekatan potong lintang (cross-sectional).
bakar derajat 2 mencederai lapisan dermis dari Penelitian dilakukan pada populasi terjangkau
kulit yang mengakibatkan rasa sakit berikut yakni seluruh pedagang gorengan yang berjualan
kemerahan dan kulit melepuh dimana derajat 2A di area Denpasar dengan teknik pengambilan
melukai sampai lapisan papillary dermis sampel consecutive sampling dan telah
sementara derajat 2B melukai sampai lapisan memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan.
reticular dermis, dan luka bakar derajat 3 Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
merusak lapisan kulit epidermis dan dermis serta pedagang gorengan yang berjualan di area
terjadi juga kerusakan pada tulang, otot, tendon, Denpasar dan bersedia mengisi kuisioner.
bahkan ujung saraf sehingga umumnya rasa sakit Sementara kriteria eksklusi ialah pedagang
tidak dirasakan di daerah yang terbakar.4 gorengan yang tidak bersedia mengisi kuisioner.
Penyebab tertinggi terjadinya luka bakar adalah Besaran sampel adalah 97 orang didapatkan
suhu tinggi atau panas (95%), dimana jenis panas melalui penghitungan dengan rumus. Penelitian
ini dapat dibagi menjadi 3 yaitu melepuh (50%), dilakukan dari bulan September sampai
kontak langsung dengan api (24%), dan November 2017.
kebakaran (26%).5 Penanganan pertama untuk Pengumpulan data dilakukan dengan
luka bakar minor yang paling tepat ialah menggunakan kuisioner, dimana data yang
mengaliri dengan air dingin bersuhu 2-15°C dikumpulkan berupa data primer yang bersumber
dengan durasi 15 menit segera setelah terjadi langsung dari responden dan tidak melalui media
luka bakar.6 Penggunaan air dingin dengan suhu perantara. Kuisioner yang dipakai adalah
2-15°C secara signifikan meningkatkan kuisioner yang telah melalui proses validasi.
kecepatan pembentukan epithel baru, Terdapat 3 bagian dari kuisioner ini, yaitu
mengurangi kedalaman luka bakar dan scarring informed consent, identitas responden, dan
yang terjadi dibandingkan dengan tidak lembar pertanyaan. Informed consent merupakan
memberikan pertolongan pertama sama sekali. lembar persetujuan responden untuk mengisi
Durasi pengaliran selama 15 menit merupakan kuisioner. Identitas responden berisi data diri
waktu optimal untuk mengurangi dampak umum responden. Lembar pertanyaan terdiri atas
histologis 9 hari setelah terjadinya luka bakar. 14 pertanyaan yang terbagi atas 3 bagian, bagian
Sementara untuk luka bakar mayor, penanganan pertama tentang informasi umum yang diketahui
pertamanya adalah melindungi area yang responden, bagian kedua tentang pencegahan
mengalami luka bakar simultan dengan mencari luka bakar, dan bagian ketiga mengenai
pertolongan medis lebih lanjut.6 penanganan pertama yang dilakukan responden
Penanganan lebih lanjut pada luka bakar saat terjadi luka bakar. Data yang telah
terdiri atas pembersihan luka bakar, pemberian terkumpul kemudian diolah dan dianalisis
cairan melalui intravena untuk mencegah menggunakan program komputer.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.9,SEPTEMBER, 2019

HASIL didapatkan 23 responden (23,7%) berjualan


Penelitian ini mengambil sampel gorengan yang termasuk kelompok A (pisang
sebanyak 97 orang pedagang gorengan yang goreng, tempe goreng, tahu goreng, bakwan), 6
telah memenuhi kriteria inklusi. Dari data yang responden (6,2%) berjualan gorengan yang
didapatkan melalui pengisian kuisioner, 97 termasuk kelompok B (onde-onde dan molen),
responden (100%) menjawab pernah mengalami 20 responden (20,6%) berjualan gorengan yang
luka bakar sebelumnya. Hanya 6 responden termasuk kelompok C (ayam fried chicken), 38
(6,2%) yang menjawab sudah pernah mendapat responden (39,2%) berjualan gorengan yang
informasi tentang pencegahan atau penanganan termasuk kelompok D (gabungan dari 2
pertama luka bakar dengan 1 responden kelompok kriteria yang tersedia atau lebih), dan
mendapat informasi bersumber dari 10 responden (10,3%) berjualan gorengan yang
dokter/petugas medis, 2 responden bersumber termasuk kelompok E (lainnya).
dari internet, 1 responden bersumber dari surat Tabel 4. Jenis Gorengan Yang Dijual Pedagang
kabar, dan 2 responden dari media elektronik. Gorengan
Didapatkan juga 11 dari 97 responden (11,3%) Jenis Gorengan N Frekuensi
yang menjawab penggunaan herbal berbahaya (%)
bagi luka bakar. Dari 97 responden, 3 responden A 23 23,7
(3%) mencari pengobatan lebih lanjut untuk B 6 6,2
mengobati luka bakar, dengan 1 responden C 20 20,6
berobat ke dokter dan 2 responden berobat ke
bidan. (Tabel 1) D 38 39,2
Dari penelitian, didapatkan responden E 10 10,3
dengan kelompok usia terbanyak adalah
kelompok usia 26-35 tahun yaitu berjumlah 46 Hasil penelitian dari 97 responden yang
orang (47,4%). Sementara minoritas responden mengisi kuisioner, didapatkan hanya 11
yakni 5 orang (5,2%) berada di kelompok usia responden (11,3%) yang termasuk kategori
diatas 45 tahun. Responden lainnya yakni tingkat pengetahuan cukup dan 86 responden
kelompok usia 16-25 tahun berjumlah 32 orang (88,7%) yang termasuk kategori tingkat
(33%) dan 36-45 tahun berjumlah 14 orang pengetahuan kurang.
(14,4%). Tabel 5. Tingkat Pengetahuan Pedagang
Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Gorengan
Usia Tingkat N Frekuensi
Kelompok Usia N Frekuensi (%) Pengetahuan (%)
16-25 32 33 Baik 0 0
26-35 46 47,4 Cukup 11 11,3
36-45 14 14,4 Kurang 86 88,7
>45 5 5,2 Pertolongan pertama yang dilakukan
Berdasarkan jawaban responden, ketika mengalami luka bakar diantaranya
didapatkan 13 responden (13,4%) tidak sebanyak 63 responden (64,9%) menggunakan
bersekolah, 9 responden (9,3%) tamat SD, 20 pasta gigi, 12 responden (12,4%) menggunakan
responden (20,6%) tamat SMP, dan 55 minyak, 13 responden (13,4%) menggunakan
responden (56,7%) tamat SMA. kopi, 6 responden (6,2%) menggunakan kecap,
Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan dan 71 responden (73,2%) menggunakan garam.
Pendidikan Terakhir Tabel 6. Bahan yang dipakai responden dalam
Pendidikan Terakhir N Frekuensi penanganan pertama luka bakar
(%) Penanganan N Frekuensi
Tidak sekolah 13 13,4 Pertama (%)
Tamat SD 9 9,3 Pasta gigi 63 64,9
Tamat SMP 20 20,6 Minyak 12 12,4
Tamat SMA 55 56,7 Kopi 13 13,4
Tamat PT 0 0 Kecap 6 6,2
Peneliti membagi jenis gorengan yang Garam 71 73,2
dijual responden dalam 5 kelompok, dan

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.9,SEPTEMBER, 2019

Tabel 1. Informasi Umum Pedagang Gorengan


Informasi umum pedagang gorengan N Frekuensi (%)
Pernah mengalami luka bakar 97 100
Pernah mendapat informasi mengenai pencegahan atau 6 6,2
penanganan pertama pada luka bakar
Sumber informasi
Dokter/petugas medis 1 16,7
Pamflet/banner 0 0
Internet 2 33,3
Buku 0 0
Surat Kabar 1 16,7
Media Elektronik 2 33,3
Pengetahuan tentang bahaya penggunaan herbal pada luka bakar 11 11,3
Pengalaman responden dalam pengobatan lanjut luka bakar 3 3
Tempat pengobatan
Dokter 1 33,3
Bidan 2 66,67
Dukun 0 0

PEMBAHASAN keamanan berbagai macam herbal yang sering


Luka bakar lebih rentan terjadi pada orang digunakan. Seluruh pedagang gorengan yang
yang pekerjaannya meningkatkan eksposur menjadi sampel penelitian ini berada dalam usia
terhadap api, hidup di negara berkembang, produktif, dengan tingkat pendidikan terbanyak
merokok, kemiskinan, memiliki kondisi medis adalah tamat SMA. Dari hasil penelitian didapati
seperti epilepsi, dan kurangnya pengamanan hanya 11,3% responden yang memiliki tingkat
benda-benda kimia.1 Penelitian ini mengambil pengetahuan cukup, dimana hal ini senada
sampel pedagang gorengan, di mana didapatkan dengan penelitian sebelumnya mengenai tingkat
semua sampel pernah mengalami luka bakar. pengetahuan dalam pencegahan dan penanganan
Pada penelitian ini didapatkan 6,2% yang pernah pertama luka bakar yang dilakukan terhadap
mendapat informasi mengenai pencegahan dan sampel dengan profesi yang meningkatkan
penanganan pertama luka bakar, dimana eksposur terhadap api, yakni penggoreng
rendahnya jumlah responden yang pernah kerupuk dan pelayan restoran, yang memberikan
mendapat pengetahuan dalam pencegahan dan hasil tingginya jumlah responden dengan tingkat
penanganan pertama luka bakar akan berdampak pengetahuan rendah. Sebuah studi di negara-
pada tingkat pengetahuan responden, akibatnya negara berkembang menunjukkan tingkat
responden memiliki kesadaran rendah untuk pengetahuan rendah ini diakibatkan oleh
melakukan langkah-langkah pencegahan luka kurangnya kesadaran masyarakat akan
bakar dan memperbesar kemungkinan responden pentingnya pencegahan dan penanganan pertama
untuk menggunakan bahan-bahan tradisional luka bakar.9,10 Jenis herbal yang banyak
dalam penanganan pertama luka bakar serta tidak digunakan oleh responden adalah pasta gigi,
mencari penanganan medis lebih lanjut untuk padahal pasta gigi tidak depat digunakan sebagai
menangani luka bakar yang terjadi.8 Penggunaan penanganan pertama, karena adanya kandungan
herbal sampai saat ini masih kontroversial, hal ini mint, pemutih, dan pewarna yang dapat
disebabkan karena adanya beberapa studi yang memperlambat penyembuhan luka, menjadi
menunjukkan keuntungan penggunaan herbal, pemicu terjadinya infeksi, dan dapat berakibat
seperti misalnya penggunaan kopi dan madu kulit yang luka bakar semakin melepuh.8 Hanya
dalam mempercepat penyembuhan luka bakar. penggunaan kopi sebagai penanganan pertama
Akan tetapi, beberapa herbal lainnya seperti aloe luka bakar yang dapat memberikan efek positif,
vera dan minyak lavender, masih menimbulkan di antaranya seperti kecepatan penyembuhan
kontroversi karena meskipun kedua bahan ini luka yang setara dengan penggunaan povidone
memiliki efek anti bakteri dan analgesik, iodine 10%, efek anti mikrobial, dan mampu
keduanya tidak memberikan efek signifikan mengeringkan luka dengan efek penyerapan air
dalam outcome luka bakar jika digunakan yang cepat. Penanganan pertama luka bakar
sebagai penanganan pertama.7 menggunakan bahan-bahan selain air dapat
Penggunaan herbal lainnya dapat memperpanjang waktu penyembuhan luka.
berbahaya disebabkan karena belum adanya Meskipun pemakaiannya akan dirasakan
bukti ilmiah mendalam terkait kandungan serta memberikan efek analgesik, hal ini bersifat

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 8 NO.9,SEPTEMBER, 2019

sementara, dan selanjutnya panas yang 3. Lam N, Li F, Tuan C, Huong H. To Evaluate


terperangkap di antara luka dan bahan yang First Aid Knowledge On Burns
menutupi akan semakin memperparah luka, dan Management Amongst High Risk Groups.
meningkatkan risiko infeksi pada luka bakar.11 Burns Open. 2017;1(1):29-32.
4. Poinern G, Fawcett D, Ng Y, Ali N,
SIMPULAN Brundavanam R, Jiang Z. Nanoengineering
Tingkat pengetahuan pedagang gorengan A Biocompatible Inorganic Scaffold For
dalam pencegahan dan penanganan pertama luka Skin Wound Healing. Journal Of
bakar umumnya berpengetahuan kurang (88,7%) Biomedical Nanotechnology.
dan sisanya berpengetahuan cukup (11,3%). 2010;6(5):497-510.
Dari 97 responden ditemukan 6,2% 5. Taira B, Cassara G, Meng H, Salama M,
pedagang gorengan pernah mendapat informasi Chohan J, Sandoval S Et Al. Predictors Of
mengenai pencegahan dan penanganan pertama Sustaining Burn Injury: Does The Use Of
luka bakar, dimana media/sumber informasinya Common Prevention Strategies Matter?.
adalah melalui internet (33,3%), media Journal Of Burn Care & Research.
elektronik (33,3%), dokter/petugas medis 2011;32(1):20-25.
(16,7%), dan surat kabar (16,7%). 6. Cuttle L, Kimble M. First Aid Treatment Of
Burn Injuries. Wound Practice And
SARAN Research. 2010;18(1):6-10.
Penelitian selanjutnya diharapkan agar 7. Morgan, W. First, Second and Third Degree
menggunakan jumlah sampel yang lebih besar Burns [Internet]. 2014 [Diakses 6 Februari
dengan cakupan area yang lebih luas sehingga 2017]. Tersedia dari:
bisa memberikan pemahaman yang lebih baik http://www.walkermorgan.com /practice-
mengenai tingkat pengetahuan pedagang areas/first-second-third-degree-burns.
gorengan dalam pencegahan dan penanganan 8. Kattan A, Alshomer F, Alhujayri A, Addar
pertama luka bakar. A, Aljerian A. Current Knowledge Of Burn
Rendahnya tingkat pengetahuan pedagang Injury First Aid Practices And Applied
gorengan sebagai populasi yang berisiko Traditional Remedies: A Nationwide
menderita luka bakar dalam pencegahan dan Survey. Burns & Trauma. 2016;4(1):1-7.
penanganan pertama luka bakar menunjukkan 9. Satar, F., Susilo, N., Pengaruh pendidikan
perlu dilakukan edukasi lebih lanjut oleh tenaga kesehatan tentang kegawatdaruratan luka
kesehatan untuk meningkatkan kewaspadaan dan bakar terhadap kesiapsiagaan penanganan
tingkat pengetahuan pedagang gorengan. luka bakar pada pekerja industri kerupuk di
Pemerintah juga perlu turut andil dalam kecamatan kalisat. 2015:4-10.
memperbanyak sumber informasi terkait 10. Fadeyibi I, Ibrahim N, Mustafa I, Ugburo A,
pencegahan dan penanganan pertama luka bakar Adejumo A, Buari A. Practice of First Aid
pada pedagang gorengan karena pedagang in Burn Related Injuries in A Developing
gorengan merupakan populasi berisiko terkena Country. Burns. 2015;41(6):1322-1332.
luka bakar. 11. Ceran F, Basat S, Datli A, Kapi E, Bozkurt
M. Folk Medicine: Is The Solution Or
DAFTAR PUSTAKA Problem?. Archives Of Clinical And
1. Burns [Internet]. World Health Organization Experimental Surgery (Aces). 2017;1(1):1-
Fact Sheets. 2016 [Diakses 4 Februari 6.
2017]. Tersedia dari: http://www.who.int/
news-room/Fact-Sheets/detail/Burns
2. Artawan I. Efek Ekstrak Gel Daun Pegagan
(Centella Asiatica) dalam Mempercepat
Waktu Penyembuhan Luka pada Tikus Putih
(Rattus Norvegicus Strain Wistar). 2013:1-
6.

https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
Jurnal Medika Veterinaria Vol. 10 No. 2, Mei 2016
P-ISSN : 0853-1943; E-ISSN : 2503-1600

EFIKASI MENTIMUN (Cucumis sativus L.) TERHADAP PERCEPATAN


PENYEMBUHAN LUKA BAKAR (Vulnus combustion) DERAJAT IIB
PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
Efficacy of Cucumber (Cucumis sativus L.) on Healing of IIB Degree Burn Wound (Vulnus
combustion) in Rat (Rattus norvegicus)
Ummu Balqis1, Frengky2, Nur Azzahrawani3*, Hamdani1, Dwinna Aliza1, dan T. Armansyah4
1
Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2
Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
3
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
4
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
*Corresponding author: nurazzahrawani@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitan ini bertujuan mengetahui efikasi mentimun (Cucumis sativus L.) terhadap penyembuhan luka bakar derajat IIB pada tikus putih
(Rattus norvegicus). Hewan coba yang digunakan adalah enam ekor tikus jantan umur 2-3 bulan dan berat badan 150-250 g. Tikus dibagi menjadi
dua kelompok perlakuan masing-masing terdiri atas tiga ekor tikus. Luka bakar dibuat pada bagian punggung dengan menempelkan solder yang
telah terhubung dengan logam berdiameter 2 cm yang dipanaskan selama 5 menit dan ditempelkan selama 5 detik untuk tiap ekor tikus sampai
terbentuk luka bakar derajat IIB. Setiap hari luka bakar diamati dan diberi perlakuan sesuai dengan kelompok perlakuan. Kelompok 1 (KI)
sebagai kelompok kontrol negatif diberi akuades sedangkan kelompok 2 (KII) diberi mentimun. Perawatan luka bakar dilakukan dua kali sehari
pagi dan sore hari sampai diameter luka bakar tertutup rapat. Data dianalisis dengan uji t. Rata-rata (hari) lama pengecilan diameter luka bakar;
kemerahan dan edema; terbentuknya keropeng; dan epitelisasi antara KI vs K2 masing-masing adalah 20,33±1,15 vs 20,00±1,00 cm; 6,66±0,57
vs 6,00±1,00; 8,66±1,52 vs 6,66±1,15; 13,33±1,15 vs 13,00±1,00 (P>0,05). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa mentimun tidak dapat
mempercepat penyembuhan luka bakar derajat IIB pada tikus putih.
____________________________________________________________________________________________________________________
Kata kunci: mentimun, luka bakar, tikus putih

ABSTRACT
This research was aimed to determine the efficacy of cucumber (Cucumis sativus L.) on healing of burn wound IIB degree in rat (Rattus
norvegicus). Experimental animal used were 6 male rats, aged 2-3 months with average weight of 150-250 grams. Rats were divided into 2
treatment groups, each group consist of 3 rats. Burn wound was made on the dorsal of the rats using a solder that has been linked with 2 cm
diameter metal and heated for 5 minutes. The metal was placed for 5 seconds on each rat tail to form IIB degree burns. The burn wound were
observed and treated according to the treatment group everyday. Group 1 as a negative control was smeared with aquades and group II was
given the cucumber. Treatment of burn wound was conducted twice daily in the morning and evening until the diameter of the burn wound
closed. Data were analyzed using independent t test. Statistical analysis showed that the healing of burn wound using a cucumber have no
significant effect (P>0.05) on reducing of burn wound diameter, red wound color and edema, scab formation and epithelization. This result can
be concluded that the cucumber could not enhance the healing process of IIB degree wound burn on rats.
____________________________________________________________________________________________________________________
Key words: cucumber, burn wound, rat

PENDAHULUAN 1993). Luka bakar yang tidak dirawat akan


menyebabkan komplikasi, infeksi, dan perdarahan. Oleh
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak karena itu, penanganan dalam penyembuhan luka bakar
langsung dengan suhu tinggi seperti api, air panas, bertujuan mencegah terjadinya infeksi sekunder dan
listrik, bahan kimia, dan radiasi. Luka bakar memberikan kesempatan kepada sisa-sisa sel epitel
mengakibatkan tidak hanya kerusakan pada kulit, tetapi berproliferasi dan menutup permukaan luka bakar
juga memengaruhi seluruh sistem tubuh. Pasien dengan (Septiningsih, 2008).
luka bakar luas (mayor) akan menyebabkan Tindakan yang sering dilakukan pada luka bakar
ketidakmampuan tubuh dalam mengompensasi dan adalah dengan memberikan terapi lokal dengan tujuan
menyebabkan berbagai macam komplikasi sehingga mendapatkan kesembuhan secepat mungkin (Anief,
memerlukan penanganan khusus (Moenadjat, 2003). 1997). Banyak orang yang menggunakan obat-obatan
Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada yang berasal dari alam atau obat herbal, hal ini
epidermis, dermis, maupun subkutan, tergantung faktor disebabkan karena obat alam dapat diperoleh tanpa
penyebab dan lama kulit kontak dengan sumber panas. resep dokter, dapat diramu sendiri, harga relatif murah,
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan tanaman obat dapat ditanam sendiri oleh
dan lamanya paparan pada kulit (Syamsuhidayat dan pemakainya (Djauhariyah dan Hernani, 2004).
Jong, 2005). Proses penyembuhan luka bakar dapat Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan suatu
terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa jenis buah dari keluarga labu-labuan (Cucurbitacae)
bahan obat kimia maupun alami dapat membantu dan yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi dan
mendukung proses penyembuhan (Stott dan Whitney, menyegarkan sehingga banyak perusahaan kosmetik

90
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis , dkk

yang menggunakan mentimun sebagai bagian penting Pengamatan dilakukan selama 21 hari (Moenadjat,
dalam perawatan kulit, baik untuk mengencangkan 2003).
kulit, melembabkan kulit, mengatasi jerawat, dan Parameter penelitian ini adalah melihat gambaran
bahkan untuk menghilangkan bekas luka pada kulit. patologi anatomis pada proses penyembuhan luka bakar
Mentimun mengandung vitamin C (Rukmana, 1994) derajat IIB dengan mengamati diameter luka bakar,
yang berfungsi sebagai sintesis kolagen dan sebagai warna kemerahan dan edema, terbentuknya keropeng,
anti-oksidan (Hermani dan Raharjo, 2006). Menurut dan epitelisasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan
Johan (2005) mentimun mengandung senyawa analisis uji t independen pada taraf signifikan 0,05.
flavonoid, saponin, dan polifenol. Mekanisme dalam
proses penyembuhan luka dengan adanya saponin HASIL DAN PEMBAHASAN
memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur
yang berperan dalam proses penyembuhan luka Waktu penyembuhan luka bakar menggunakan
(Suratman, 1996 disitasi oleh Hihayati, 2009). Menurut mentimun disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan uji
Sayekti (2008), saponin berfungsi sebagai antibakteri statistik, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
dan jika diberikan pada kulit yang luka dapat nyata (P>0,05) antara KI dengan KII, tetapi lama
menghambat pendarahan. Flavonoid bersifat sebagai pengecilan diameter luka bakar tercepat adalah KII
anti-inflamasi dan anti-alergi (Septiningsih, 2008), (20,00±1,00). Kondisi ini kemungkinan karena
sedangkan polifenol berfungsi sebagai antimikrob dan mentimun yang digunakan tidak dibuat ekstrak dalam
antivirus (Robinson, 1995). bentuk sediaan berupa gel, sehingga kurang maksimal
lama kontak obat dengan kulit. Diduga, mentimun yang
MATERI DAN METODE memiliki kandungan seperti saponin (Johan, 2005),
yang diperlukan pada luka bakar, tidak mencukupi
Penelitian ini menggunakan enam ekor tikus putih sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan saponin dalam
berat badan150-250 g berumur 2-3 bulan dengan jenis mempercepat penyembuhan luka bakar. Saponin
kelamin jantan, Kriteria tikus sehat ditandai dengan berfungsi untuk memacu pembentukan kolagen, yaitu
gerakan aktif, bulu bersih, mata jernih dan belum struktur protein yang berperan dalam proses
pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya. penyembuhan luka (Wardani, 2009). Selain itu,
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan mentimun juga mengandung vitamin C (Rukmana,
dua perlakuan dan tiga kali ulangan. Kelompok 1 (KI) 1994) yang mempunyai banyak fungsi di dalam tubuh.
diberikan akuades, sedangkan kelompok 2 (KII) diberi Vitamin C mempunyai kaitan yang sangat penting
parutan mentimun. dalam pembentukan kolagen karena vitamin C
Tikus putih diadaptasikan selama tujuh hari dan diperlukan untuk hidroksilasi prolin dan lisin menjadi
pada hari ke-8 dimulai untuk melakukan perlakuan hidroksiprolin dan hiroksilisin yang merupakan bahan
tikus putih. Tikus putih diberi makan jenis pelet dua penting dalam pembentukan kolagen. Kolagen
kali sehari yakni pagi dan sore, serta pemberian minum merupakan senyawa protein yang memengaruhi
secara ad libitium. Mentimun yang digunakan adalah integritas struktur sel di semua jaringan ikat, seperti
mentimun yang berasal dari kawasan Banda Aceh yaitu pada tulang rawan, matriks tulang, gigi, membran
mentimun dengan warna hijau keputih-putihan dengan kapiler, kulit, dan tendon. Dengan demikian, maka
berat 250-300 g. Mentimun dihaluskan dengan parutan fungsi vitamin C dalam kehidupan sehari-hari berperan
berdiameter 3 mm. dalam penyembuhan luka, patah tulang, perdarahan di
Lokasi pembuatan luka bakar di bagian punggung bawah kulit dan perdarahan gusi. Asam askorbat
tikus, kemudian dicukur 3-5 cm di sekitar kulit yang penting untuk mengaktifkan enzim prolil hidroksilase,
akan dibuat luka bakar, lalu didesinfeksi dengan yang menunjang tahap hidroksilasi dalam pembentukan
alkohol 70%. Selanjutnya, kulit tikus dianestesi dengan hidroksipolin, suatu unsur integral kolagen. Tanpa
salep anestesi lokal, luka bakar dibuat dengan asam askorbat, maka serabut kolagen yang terbentuk di
menggunakan solder listrik yang terhubung dengan semua jaringan tubuh menjadi cacat dan lemah. Oleh
logam yang berdiameter 2 cm. Solder listrik sebab itu, vitamin ini penting untuk pertumbuhan dan
dihubungkan dengan arus listrik selama 5 menit kekurangan serabut di jaringan subkutan, kartilago,
kemudian solder ditempelkan pada punggung tikus tulang, dan gigi (Guyton dan Hall, 1997).
selama 5 detik hingga terbentuk luka bakar derajat IIB,
yang ditandai dengan adanya warna kemerahan dan Tabel 1. Rata-rata (hari) lama pengecilan diameter luka bakar,
terbentuk gelembung air pada kulit tikus (Simanjuntak, kemerahan dan edema, terbentuknya keropeng, dan epitelisasi
2008). Diameter Kemerahan Terbentuk
Perlakuan Epitelisasi
Pengobatan dilakukan segera setelah luka bakar luka dan edema keropeng
dibuat sesuai dengan perlakuan. Masing-masing tikus KI (akuades) 20,33±1,15 6,66±0,57 8,66±1,52 13,33±1,15
KII (mentimun) 20,00±1,00 6,00±1,00 6,66±1,15 13,00±1,00
putih diobati dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore KI= Kelompok yang diberi akuades
hari. Pengobatan dilakukan dengan cara mengalirkan KII= Kelompok yang diberi mentimun
akuades sebagai kontrol dan sebagai perlakuan dengan
mengoleskan secara merata parutan mentimun pada Jumlah kolagen yang meningkat menambah
permukaan kulit yang mengalami luka bakar. kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan

91
Jurnal Medika Veterinaria Vol. 10 No. 2, Mei 2016

luka terbuka (Argamula, 2008). Kolagen berfungsi perbedaan yang nyata (P>0,05) antara KI dengan KII,
untuk membentuk jaringan granulasi bersama fibroblas. tetapi epitelisasi tercepat adalah KII (13,00±1,00).
Fibroblas mensinesis dari permukaan selnya kemudian Epitelisasi merupakan proses perbaikkan sel-sel epitel
menghubungkan tepi luka sehingga luka dapat kulit sehingga luka akan menutup. Penyembuhan luka
menutup. Pertautan tepi luka sangat erat hubungannya sangat dipengaruhi oleh re-epitelisasi, karena semakin
dengan pembentukan fibroblas. Fibroblas dapat cepat proses re-epitelisasi semakin cepat pula luka
dibentuk oleh berbagai jenis sel antara lain fibrosit, sel tertutup sehingga semakin cepat penyembuhan luka.
endotel, sel makrofag, dan limfosit (Reksoprodjo, Semakin cepat terjadinya epitelisasi akan membuat
1995). Fibroblas akan mengalami beberapa perubahan struktur epidermis kulit yang terluka segera mencapai
fenotipe dan menjadi miofibroblas yang berfungsi keadaan normal. Epitelisasi akan terjadi melalui
untuk retraksi luka (Kalangi, 2004). pergerakan sel-sel epitel dari tepi jaringan menuju
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak jaringan (Putriyanda, 2006). Kecepatan dari
ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara KI dengan penyembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-zat yang
KII terhadap terbentuknya warna kemerahan dan terdapat dalam obat yang diberikan, jika obat tersebut
edema, tetapi proses ini tercepat pada KII (6,00±1,00 mempunyai kemampuan unuk meningkatkan
hari). Kemerahan dan edema KI terjadi pada hari ke-1 penyembuhan dengan cara merangsang lebih cepat
sampai 7 sedangkan KII terjadi pada hari ke-1sampai 6. pertumbuhan sel-sel baru (Prasetyo, 2010).
Dalam proses penyembuhan luka bakar dibutuhkan Tubuh akan memberikan respons untuk
beberapa proses untuk menggantikan jaringan yang telah mengembalikan susunan anatomis dan fisiologis
rusak. Dalam hal ini, proses epitelisasi terjadi setelah jaringan yang mengalami kerusakan atau hilang.
pertumbuhan dari jaringan granulasi yang terlebih Menurut Prabakti (2005), interaksi antara faktor
dahulu diawali dengan proses inflamasi, terjadi pertumbuhan dan sel yang terlibat dalam proses
permeabilitas membran sel sehingga terjadi kemerahan perbaikan jaringan memegang peranan penting dalam
dan juga peradangan dan terkadang disertai dengan penyembuhan luka. Peran fibroblas sangat besar pada
edema. Proses ini bertujuan agar sel darah putih dan proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada
trombosit membatasi kerusakan yang lebih serius persiapan menghasilkan produk struktur protein yang
sehingga mempercepat penyembuhan luka (Hasyim et digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.
al., 2012). Warna kemerahan dan edema pada luka Fibroblas berfungsi menghubungkan sel-sel jaringan
merupakan hasil dari suatu peradangan luka karena yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama
meningkatnya aliran darah arteri ke jaringan yang rusak setelah terjadinya luka bakar. Dalam penyembuhan
yang bertujuan menarik protein plasma dan sel-sel luka ada beberapa proses yang mendukung
fagosit ke permukaan luka untuk menghindari infeksi penyembuhan luka seperti regenerasi sel, prolifersi sel,
sekunder yang masuk, serta memacu sel radang terutama dan pembentukan serabut kolagen (Setyoadi dan
sel makrofag mengeluarkan zat yang dapat memicu Sartika, 2010).
timbulnya angioblas dan fibroblas (Vegad, 1995).
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak KESIMPULAN
ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara KI dengan
KII terhadap pembentukan keropeng, tetapi Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa
pembentukan tercepat terjadi pada KII (6,66±1,15 parutan mentimun tidak dapat mempercepat
hari). Kondisi ini karena perbedaan perawatan luka penyembuhan luka bakar.
bakar, yang memengaruhi lama terbentuknya keropeng.
Pada perlakuan ini terbentuknya keropeng KI terjadi DAFTAR PUSTAKA
pada hari ke-7 sampai 15, sedangkan pada KII terjadi
Anief, M. 1997. Formasi Obat Topikal dengan Dasar Penyakit
pada hari ke-7 sampai 13. Kulit. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Menurut Somatri yang disitasi Argamula (2008), Argamula, G. 2008. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon
terbentuknya keropeng merupakan proses awal fase Pisang Ambon (Musa paradisiaca) Var Sapientum dalam Proses
proliferasi pada proses penyembuhan luka. Keropeng Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). Skripsi.
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
terbentuk karena denaturasi protein pada lapisan kulit, Djauhariyah, E. dan Hernani. 2004. Gulma Berkhasit Obat. Seri
terdapat pada zona koagulasi (Orgil, 2009). Keropeng Agrisehat, Jakarta.
yang terbentuk di atas permukaan luka membantu Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
(Diterjemahkan Setiawan, I. dan A. Santoso). Edisi ke-9. EGC.
hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
mikroorganisme. Di bawah keropeng, sel epitel Hasyim, N., L.P. Kristian, J. Iradah, dan K. Ajeng. 2012. Formulasi
berpindah dari luka ke tepi, sel epitel membantu dan uji efektivitas gel luka bakar ekstrak daun cocor bebek.
sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan. Majalah Farmasi dan Farmakologi. 16(2):89-94.
Hermani dan Rahardjo. 2006. Efek Penyembuhan Luka Bakar dalam
Proses penyembuhan luka yang berbeda-beda Sediaan Gel Ekstrak Etanol 70% Daun Lidah Buaya (Aloe Vera
tergantung pada efek sediaan yang telah diformulasi L.) pada Kulit Punggung Kelinci New Zealand. Skripsi.
dan juga keadaan fisiologi hewan uji. Pada proses Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan.
epitelisasi, pada KI berlangsung hari ke-7 sampai hari Hidayati, I.W. 2009. Uji Aktivitas Salep Ekstrak Daun Binahong
(Anredera cordifolia) sebagai Penyembuh Luka Bakar pada
ke-20 sedangkan KII terjadi pada hari ke-19. Kulit Punggung Kelinci. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada Muhammadiyah Surakarta. Indonesia.

92
Jurnal Medika Veterinaria Ummu Balqis , dkk

Johan, A. 2005. Nutrisi dalam Mentimun. http://www.mail-archive.com. Sayekti. 2008. Sifat Saponin. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/
Kalangi, S.J.R. 2004. Peran Kolagen pada Persembuhan Luka. 58_10_Zat;Zat.ToksikAlamiah.pdf/58_10_Zat;ZatToksikAla
http://www.dexamedica.com/test/htdocs/dexamedica/ article_ miah. html.
files/kolagen/pdf. Septiningsih, E. 2008. Efek Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak
Moenadjat, Y. 2003. Luka Bakar Pengetahuan Klinik Praktis. Etanol 70% Daun Pepaya (Carica papaya Linn.) dalam Sediaan
Edisi II. ECG. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Gel pada Kulit Punggung Kelinci New Zealand. Skripsi.
Orgil, D.P. 2009. Excision and skin grafting of thermal burn. New Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
England J. Med. 360:893-901. Setyoadi dan D.D. Sartika. 2010. Efek lumatan daun dewa
Prabakti, Y. 2005. Perbedaan Jumlah Fibroblas di sekitar Luka Insisi (Gynattura segetum) dalam memperpendek waktu penyembuhan
pada Tikus yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri luka bersih pada tikus putih. J. Keperawatan Soedirman.
Levobupivakain dan yang Tidak Diberi Levobupivakain. Tesis. 5(3):127-135.
Magister Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro. Semarang. Simanjuntak, M.R. 2008. Ekstrasi dan Fraksinasi Komponen Ekstrak
Prasetyo, B.F. 2010. Aktivitas sediaan gel batang pohon pisang ambon Daun Tumbuhan Senduduk (Melastoma malabathriucum L.) serta
dalam proses penyembuhan luka pada mencit. J. Vet. 11(2):70-73. Pengujian Efek Sediaan Krim terhadap Penyembuhan Luka Bakar.
Putriyanda, N. 2006. Kajian Patologi Aktivitas Getah Pohon Pisang http://respiratory.usu.ac.id//bitsream,123456789/14472/1/09E
Tanduk (Musa parasidiaca forma typica) dalam Proses 01171.pdf.
Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus). Skripsi. Stott, N.A. and J.D. Whitney. 1993. Wound Healing Critical Care
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nursing. W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Reksoprodjo, N. 1995. Buku Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Syamsuhidayat, R. dan W.D. Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. ECG. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Robinson. 1995. Ekstraksi dan Fraksinasi Komponen Ekstrak Daun Vegad, J.L. 1995. A Textbook of Veterinary General Pathology:
Tumbuhan Senduduk (Melastoma malabathrium L.) serta Healing and Repair. Vikas Publishing House Put, New Delhi.
Pengujian Efek Sediaan Krim terhadap Penyembuhan Luka Wardani, L.P. 2009. Efek Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol
Bakar. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Daun Sirih (Piper betle Linn.) pada Kulit Punggung Mencit.
Rukmana, R. 1994. Budidaya Mentimun. Kanisius, Yogyakarta. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

93
PENGALAMAN HIDUP PASIEN DENGAN LUKA BAKAR

Lived experience of patient with burn injury

1 2 3
Agus Prasetyo ; Kusman Ibrahim ; Irman Somantri
1
Program Studi Keperawatan, STIKES Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap, Indonesia
2,3
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia
Alamat korespondensi : prasetyoagus163@gmail.com

ABSTRAK
Luka bakar merupakan salah satu kejadian yang memberikan trauma terhadap pasien.
Kondisi ini menyebabkan bukan hanya masalah fisik, tetapi juga masalah psikososial dan spiritual.
Perawatan pasien luka bakar telah digambarkan sebagai sesuatu yang mempunyai tantangan dan
situasi yang emosional. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi untuk mendapatkan data pengalaman hidup pasien maksimal selama satu tahun sejak
kejadian. Data didapatkan dengan wawancara mendalam terhadap 7 informan yang terdiri dari 5 laki–
laki dan 2 perempuan, usia antara 27 sampai dengan 49 tahun. Analisis data menggunakan metode
Colaizzi.Tema yang dihasilkan meliputi nyeri akut dan kronis selama perawatan luka bakar,
keterbatasan aktifitas sehari–hari, keterbatasan dalam ritual keagaman, perubahan pemenuhan
kebutuhan seksual, jenuh dengan perawatan luka yang lama, perubahan pada harga diri, perubahan
pada citra tubuh, perubahan pada peran, sumber dukungan dari keluarga dan lingkungan, dukungan
petugas kesehatan, mekanisme koping dengan penguatan spiritual dan motivasi terhadap diri sendiri.
Hal baru yang ditemukan pada penelitian ini adalah informan mudah mendapatkan dukungan dari
keluarga dan lingkungan, dan mekanisme koping yang digunakan informan didasarkan pada
penguatan spiritual.

Kata Kunci : Fisik, Luka Bakar, Pengalaman Hidup, Psikososial, Spiritual

ABSTRACT
Burns is one of the traumatic events to the patient. This condition causes physical,
psychosocial and spiritual problems. Burn treatment has been described as a challenges and
emotional situations. This study used qualitative methods with phenomenological approach to obtain
the data of patients experience maximum for a year since the incident. Data obtained with in-depth
interviews to 7 informants consisting of 5 men and 2 women, aged between 27 to 49 years. Data
analysis using Colaizi method. Themes derived from the lived experience of life of patients with
burns covering acute and chronic pain during burn care, limitations of daily activities, limitations
in the ritual as religious, sexual fulfillment changes, emotional exhaustion of the burn treatment,
changes in self-esteem, changes in body image, changes in the roles, sources of support from family
and environment, health care workers support, coping mechanisms by strengthening the spiritual and
self-motivation. The new insight in this study was tthe informant easy to get support from family and
the environment, and coping mechanisms used by informants based on strengthening the spirituality.

Keywords : Burns, Lived experience, Physical, Psychosocial, Spirituality

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 22


PENDAHULUAN Semua pasien luka bakar harus dibantu
untuk beradaptasi secara utuh terhadap kondisi
Luka bakar adalah sebuah trauma hasil
mereka saat di rawat di rumah sakit. Bantuan
dari terpapar zat kimia, api, radiasi atau karena
tersebut dapat berasal dari tim perawatan pada
aliran listrik. Perpindahan energi dari sumber
unit perawatan luka bakar, keluarga dan teman
panas ke tubuh manusia menimbulkan efek–efek
pasien, serta masyarakat saat pasien dipulangkan.
secara fisiologis, bahkan pada beberapa kasus
Seluruh tim perawatan unit luka bakar harus
mengakibatkan kerusakan pada jaringan secara
bekerja secara integratif untuk dapat memberi
irreversible. Tingkat keparahan luka bakar
dukungan yang optimal pada pasien. Pengetahuan
bervariasi dari kehilangan bagian kecil dari
dan pemahaman yang lebih baik tentang reaksi
lapisan kulit paling luar sampai dengan yang
emosional pasien luka bakar sangat diperlukan
parah melibatkan seluruh sistem tubuh.
untuk tenaga kesehatan memilih pendekatan yang
Perawatan luka bakar juga bervariasi dari mulai
tepat dalam perawatan pasien pada berbagai fase
yang sederhana sampai dengan cara pendekatan
perbaikan psikologis pasien mulai dari masuk
invasive, multi system dan inter disiplin pada
rumah sakit sampai dengan fase rehabilitasi
lingkungan yang aseptik di sebuah unit luka
(Gilboa, 2000).
bakar (LeMone, Burrke, Bauldoff, 2011).
Sejalan dengan kemajuan tekhnologi,
Berdasarkan laporan World Health
banyak pasien luka bakar yang mampu bertahan
Organization [WHO] (2004), jumlah kasus luka
hidup, keadaan ini menuntut kesiapan perawat
bakar diperkirakan lebih dari 7,1 juta dengan
karena akan menghadapi perawatan pasien dengan
angka kejadian 110 per 100.000 setiap tahun.
lebih lama. Perawat memainkan peran utama
WHO memperkirakan 310.000 orang meninggal
dalam memberikan dukungan psikososial pada
di seluruh dunia, sebagian besar berada di negara
pasien. Oleh karena itu pemahaman yang baik
berpenghasilan rendah dan menengah dengan
pada implikasi psikososial pasien luka bakar dapat
angka kematian global sebesar 4,8 per 100.000
memberikan kontribusi untuk tercapainya
setiap tahun (Othman & Kendrick, 2010). Riset
perawatan yang baik pada pasien (Camhi &
Kesehatan Dasar (2007) menyatakan bahwa di
Cohn, 2007)
Indonesia sebesar 60% luka bakar terjadi karena
kecelakaan rumah tangga, 20% kecelakaan kerja Berangkat dari latar belakang diatas, luka

dan 20% sebab-sebab lain. Pasien luka bakar bakar memberikan beberapa keadaan yang harus

yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin dihadapi dalam rentang kehidupan pasien yang

Bandung sepanjang tahun 2013 sebanyak 117 meliputi dampak biopsikososio dan spiritual

kasus dengan berbagai derajat luka bakar yang akibat mengalami luka bakar, dampak terhadap

dialami. peran pasien yang sangat individual sesuai posisi

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 23


pasien didalam keluarga atau masyarakat, proses dari sudut pandang partisipan (Moleong, 2010).
pemulihan, adaptasi dan rehabilitasi pasien yang Pendekatan kualitatif yang digunakan pada
lama dan bervariasi pada masing–masing penelitian ini adalah deskriptif fenomenologi.
individu serta luka bakar yang dapat Deskriptif fenomenologi menuntut pada
mempengaruhi quality of life pada pasien. Oleh gambaran yang di teliti dari pengalaman yang
karena itu peneliti ingin mendapatkan sebuah biasa dialami sehari–hari, gambaran dari berbagai
pandangan yang lebih dalam dan pengertian yang hal sebagaimana yang dialami oleh orang–orang
lebih baik terhadap pengalaman hidup pasien (Polit&Beck,2006). Fenomenologi merupakan
yang menderita luka bakar yang dirawat di RSUP pendekatan dalam penelitian kualitatif yang
Dr. Hasan Sadikin Bandung melalui deskripsi kritis dan dapat menggali fenomena-fenomena
pasien sebagai individu dengan segala yang ada secara sistematis. Pada pendekatan
kompleksitasnya dalam menghadapi kejadian fenomenologi, yang diteliti adalah pengalaman
luka bakar yang dialaminya. manusia melalui deskripsi dari masing–masing
METODE orang yang menjadi partisipan penelitian,

Desain atau rancangan penelitian adalah sehingga peneliti dapat memahami pengalaman

keseluruhan dari perencanaan untuk menjawab hidup partisipan (Saryono & Anggraini, 2010).

pertanyaan penelitian dan mengantisipasi Dimensi penting dalam fenomenologi


beberapa kesulitan yang mungkin akan timbul adalah bahwa setiap pengalaman manusia terdapat
selama proses penelitian (Notoatmojo, 2005). sesuatu yang hakiki, penting dan bermakna,
Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, bahwa pengalaman seseorang harus dimengerti
yaitu suatu pendekatan untuk menyusun dalam konteksnya. Untuk memperoleh esensinya,
pengetahuan yang menggunakan metode riset kita harus mendalami pengalaman itu apa adanya
dengan menekankan subyektifitas dan arti tanpa ada intervensi pandangan, perspektif dari
pengalaman individu. Penelitian kualitatif luar. Fenomena yang diterapkan sebagai metode
merupakan pendekatan induktif untuk penelitian bertujuan untuk mencari hakikat atau
menemukan atau mengembangkan pengetahuan inti dari pengalaman. Sasarannya adalah untuk
dengan menemukan subyektifitas manusia memahami pengalaman sebagaimana disadari
(Brockopp & Tolsma, 2000). Penelitian kualitatif (Semiawan, 2009). Sedangkan Daymond dan
bertolak dari asumsi bahwa kenyataan itu Holloway (2008) mengemukakan bahwa inti dari
berdimensi jarak, interaktif dan suatu pertukaran riset fenomenologi adalah gagasan mengenai
pengalaman sosial yang diinterpretasikan. kehidupan, pemahaman bahwa realitas masing–
Penelitian kualitatif lebih bertujuan untuk masing individu hanya dapat dipahami melalui
memahami berbagai fenomena sosial yang ada pemahaman terhadap dunia kehidupan individu.

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 24


Proses penelitian fenomenologi deskriptif luka bakar yang sudah melewati tiga tahapan
mempunyai 4 tahap, yaitu bracketing, intuiting, dalam kasus luka bakar yaitu fase emergent, fase
analiyzing, dan describing. Keempat langkah akut dan fase rehabilitatif. Wawancara dilakukan
tersebut merupakan satu kesatuan dalam di rumah partisipan untuk mendapatkan suasana
pemahaman arti dan makna menggunakan yang nyaman sehingga partisipan dapat
pendekatan fenomenologi deskriptif dan mengungkapkan pengalamannya dengan lebih
pelaksanaannya dilakukan secara berurutan. Hal terbuka dan leluasa.
ini untuk menghasilkan pemahaman yang lebih Menurut Sugiyono (2009) dalam
baik dan pengertian yang lebih dalam dari pengambilan sampel partisipan dilakukan secara
fenomena yang sedang diteliti. (Wojnar & purposive, besar partisipan ditentukan oleh
Swanson, 2007). pertimbangan informasi. Dengan kata lain yang
Informan dalam penelitian yang termasuk menjadi kepedulian bagi peneliti kualitatif adalah
kriteria inklusi adalah : tuntasnya perolehan informasi dengan keragaman
1. Informan dengan diagnosa medis luka variasi yang ada, bukan pada banyaknya
bakar derajat II sampai dengan derajat IV. partisipan dan sumber data.
2. Total Body Surface Area (TBSA) lebih HASIL
dari 25. Informan yang berpartisipasi pada penelitian
3. Kondisi umum dan keluhan fisik akibat luka ini sebanyak 7 orang. Informan dengan jenis
bakar relatif stabil kelamin lelaki sebanyak 5 orang dan perempuan
4. Mampu berkomunikasi dengan baik dan sebanyak 2 orang. Usia informan berkisar antara
kooperatif. 27 tahun sampai dengan 49 tahun. Tingkat
Adapun Informan dalam penelitian yang pendidikan bervariasi mulai dari SD, SLTP dan
termasuk kriteria eksklusi adalah individu yang SLTA atau sederajat.
termasuk kriteria inklusi namun dengan kondisi Wawancara dilakukan kepada semua
yang tidak memungkinkan dalam proses informan dan setelah data sudah tersaturasi
pengumpulan data dimana pasien mengalami dengan tidak ditemukannya informasi yang baru,
penurunan kondisi kesehatan. Kondisi tersebut maka kemudian data dianalisis menggunakan
antara lain keluhan fisik yang belum stabil dan metode Colaizzi untuk menghasilkan tema.
kondisi psikis cemas atau depresi. Tema–tema tersebut dikelompokan ke dalam
Partisipan yang di wawancarai adalah empat kategori yang meliputi keluhan fisik akibat
partisipan dengan keluhan fisik yang sudah luka yang ada dikulit, perubahan aspek
relatif stabil sehingga memungkinkan untuk psikososial, sumber dukungan bagi pasien dan
dilakukan wawancara. Partisipan adalah pasien mekanisme koping mengatasi kondisi luka bakar.

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 25


Tabel 1 karakteristik Informan Tema yang dihasilkan pada masing–
N Infor Jenis Us Derajat Lengt masing kategori akan dijelaskan berikut ini.
o man Kela ia Persentas h of Penjelasan akan disertai beberapa ungkapan yang
min e Luka Stay
disampaikan oleh ketujuh informan penelitian
bakar (LOS)
yang kami tulis dengan inisial P1, P2, P3, P4, P5,
1 Inform Laki- 44 Grade II 27
an 1 Laki thn AB, 45% Hari P6 dan P7.
2 Inform Perem 43 Grade II 30 Nyeri akut dan kronis selama perawatan luka
an 2 puan thn AB, 26% Hari bakar
3 Inform Laki- 27 Grade II 24 Penelitian ini menemukan sebagian besar
an 3 laki thn AB, 27% Hari informan mengalami nyeri hebat saat diganti
4 Inform Perem 49 Grade II 40
balutan sejak dirawat di rumah sakit sampai
an 4 puan thn AB, 26% Hari
dengan perawatan luka dirumah. Nyeri hebat yang
5 Inform Laki- 47 Grade II 41
an 5 laki thn AB, 39% Hari dirasakan informan digambarkan sangat
6 Inform Laki- 27 Grade II 31 bervariasi seperti yang diungkapkan oleh beberapa
an 6 laki thn AB, 27% Hari informan berikut ini :
7 Inform Laki- 34 Grade II 28
“.... kalau diganti perban teh sakitnya kayak
an 7 laki thn AB, 44% Hari
disayat–sayat, nyeri seperti baru dikuliti gitu,
panas iya, perihnya juga ada....” (P1)

Analisis Tema
“....sakitnya kalau ganti perban teh spontan,
Tema–temayang teridentifikasi dari hasil waduh gitu aja, sakitnya perih ke uluh hati,
jedud gitu, kalau ditahan lebih sakit....” (P5)
penelitian terdiri dari empat kategori tema.
Kategori pertama terdiri dari tema nyeri akut dan “.... kalau ganti balutan itu sakitnya seperti diiris
kronis selama perawatan luka bakar, keterbatasan iris benda yang tajam, panas....” (P4)
Ket: (teh, jedud ; kata ungkapan dalam bahasa
aktifitas sehari–hari, keterbatasan melakukan
sunda : red)
ritual keagamaan dan perubahan dalam
pemenuhan kebutuhan seksual. Kategori kedua Beberapa informan juga menyatakan masih
terdiri dari tema jenuh dengan perawatan luka merasakan nyeri pada tahap rehabilitasi atau
yang lama, perubahan pada harga diri, perubahan setelah pulang dari rumah sakit. Nyeri yang
pada citra tubuh dan perubahan pada peran. dialami dalam skala ringan. Intensitas dan
Kategori ketiga terdiri dari tema dukungan karakteristik nyeri yang dialami oleh beberapa
keluarga dan lingkungan dan dukungan petugas informan bervariasi. Berikut beberapa pernyataan
kesehatan. Kategori keempat terdiri dari tema informan :
penguatan spiritual dan motivasi terhadap diri
sendiri.
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 26
“....sejak pulang dari rumah sakit sampai beberapa informan berikut ini :
sekarang nyeri di kulit masih terasa terutama
kalau sering bergerak dan berdiri agak lama....” “....saya belum solat pak, penginya sih bisa solat
(P7) nomal lagi gitu, berdiri aja masih belum bisa
lama soalnya....” (P3)

“.... keluhanya nyeri dikulit belum bisa hilang


total, masih terasa snut snut tiba tiba aja, “....sejak kena luka bakar kalau sholat cuma
lebih terasa lagi kalau buat jalan agak lama.....” isyarat, kalau nggak bisa wudlu ibu ambil dari
(P5) dinding aja sambil berbaring....” (P4)
Ket : (snut snut ; kata ungkapan sakit dalam Perubahan dalam pemenuhan kebutuhan
seksual
bahasa sunda : red)
Proses perawatan luka bakar dan kondisi
Keterbatasan aktifitas sehari–hari kulit yang belum sembuh mengakibatkan adanya
Kondisi kulit yang dipenuhi banyak luka perubahan dalam pemenuhan kebutuhan seksual
juga menyebabkan kesulitan sebagian besar pada informan. Berikut beberapa pernyataan
informan dalam memenuhi aktivitas sehari–hari informan :
sehingga informan memerlukan bantuan orang “....belum mikir, selama empat bulan stop kami
lain. Aktifitas tersebut meliputi berdiri, bergerak nggak ada hubungan intim....” (P2)

dan berjalan. Kondisi ini menyebabkan informan


“... pas pulang dari hasan sadikin belum bisa
mengalami keterbatasan dalam memenuhi berhubungan intim lah, saat itu ya nggak mikir itu
kebutuhan seperti makan, minum, mandi dan dulu...” (P3)
Jenuh dengan perawatan luka yang lama
berpakaian. Berikut beberapa pernyataan
informan : Informan harus berada didalam ruang
perawatan dalam kurun waktu tertentu tidak
“....lukanya hampir diseluruh tubuh pak jadinya
saya masih susah buat bergerak....” (P1) mengetahui keadaan siang atau malam. Informan
juga berpisah dengan keluarga dan kehidupan
“....lukanya banyak dan masih basah, jadi susah
sosial yang selama ini dijalani. Hal–hal tersebut
bergerak, miring nggak bisa, duduk nggak
bisa....” (P2) yang dapat menimbulkan kejenuhan pada
informan, seperti ungkapan beberapa informan
“....karena semua lukanya belum sembuh benar,
berikut ini :
keluar kamarnya dipapah sama anak – anak,
masih agak puyeng sih, paling jalan merangkak “... pas di rawat teh rasanya jenuh kesel,
sedikit sedikit....” (P4) keselnya teh stres lukanya lama sembuh, sakit
Keterbatasan melakukan ritual keagamaan semua badan saya....” (P3)

Luka yang ada pada kulit informan juga


“.... 40 hari disana perasaan saya jenuh
mengakibatkan keterbatasan pada beberapa walaupun saya apa apa diladenin, tapi sakit ini
aktifitas lain. Aktifitas tersebut meliputi aktifitas bikin saya tertekan, nggak sembuh–sembuh,
cemas gimana nantinya saya dengan luka ini....”
ritual keagamaan, seperti yang diungkapkan (P4)
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 27
“....jenuh pas dirawat di rumah sakit dan lebih “....kulitnya sudah berubah jadi takut kalau orang
jenuh pas pulang dari sana. Kalau jenuh di gimana gimana liatin saya....” (P6)
rumah sakit emang harus dirawat lukanya, tapi
kalau jenuh di rumah karena stres nggak bisa
“....bagaimana nanti kulit saya, pastinya berubah
ngapa-ngapain....” (P6)
nggak bisa seperti dulu lagi....” (P2)
Ket : (teh ; kata ungkapan dalam bahasa sunda :
red)
Perubahan pada peran
Perubahan pada harga diri
Penampilan pada kulit yang berubah Peran informan dalam kehidupan berumah
akibat adanya bekas luka menyebabkan tangga juga terpengaruh akibat kondisi luka bakar.
munculnya perasaan bahwa informan berbeda Peran sebagai pencari nafkah keluarga pada
secara fisik dengan orang lain. Pada akhirnya ada informan lelaki berpindah pada istri atau keluarga.
rasa malu dan minder kepada orang lain seperti Perubahan pada peran diri ini diungkapkan oleh
yang diungkapkan beberapa informan berikut ini: beberapa informan sebagai berikut :
“....perasaaan malu, minder juga ada dengan “....sejak kejadian sampai sekarang istri saya
bekas lukana....” (P2) yang kerja apa aja buat nafkah, saya belum bisa
kerja seperti biasa....” (P1)
“....kalau masalah penampilan, malu mah ada,
minder gitu ada orang “....pada liatin, tapi kesini “....harusnya saya tulang punggung keluarga,
mah biasa, pake celana buat nutupin yang untungnya ya saudara banyak yang kasih buat
dikaki sama pakai jaket nutupin luka yang keperluan hidup saya selama saya sakit, sering
dileher....” (P3) ngasih buat kebutuhan saya.....” (P3)

“....malu ada pak, kulitnya sudah nggak seperti


“....terus karena saya belum bisa bekerja lagi,
waktu sehat aja, makanya kadang saya males
sekarang kalau kebutuhan di rumah ngandelin
mau keluar rumah, kalau ada orang yang liatin
dari temen – temen sama saudara aja....”. (P5)
saya, rasanya saya ini orang aneh....” (P6)
Ket : (mah ; kata ungkapan dalam bahasa sunda :
red) Perubahan pada peran diri juga terjadi
pada informan perempuan. Peran sebagai ibu yang
Perubahan pada citra tubuh
merawat anak – anak dan keluarga berubah
Informan juga merasakan perubahan
dengan adanya proses perawatan luka yang lama
penampilan pada kulitnya. Jaringan parut
seperti yang diungkapkan informan berikut :
hipertropi yang terbentuk semakin menimbulkan
“....pengin cepat sembuh, pengin rawat anak-
perasaan adanya perubahan penampilan pada
anak, masih kecil-kecil, perlu didikan saya dari
tubuh informan. makan dan segalanya....”(P2)

“....yaa gini lukanya membekas, jadi penampilan


berubah, liat orang pada liatin saya mungkin “....saya kasian anak saya yang kecil dirumah,
kasihan mungkin jijik gitu....” (P3) dirawat sama orang lain, karena yang gede
nungguin saya gantian disini....” (P4)

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 28


Dukungan keluarga dan lingkungan Indonesia dan adat ketimuran yang menjunjung

Dukungan keluarga didapatkan oleh tinggi rasa saling hormat menghormati

sebagian besar informan dalam penelitian ini. menyebabkan informan mendapatkan dukungan

Keluarga sangat memberi dukungan sejak sosial yang memadai setelah menderita luka bakar

informan dirawat dirumah sakit maupun setelah selama masa rehabilitasi.

informan pulang ke rumah. Sebagian besar “....tetangga baik pada nengok ngasih semangat
sembuh, banyak yang datang, tapi saya inget
informan mendapatkan dukungan penuh dari
nggak inget gitu siapa saja yang nengok di rumah
keluarga. Negara Indonesia mengakui keluarga sakit....” (P3)
sebagai unit terkecil di masyarakat yang
“....alhamdulillah penuh tetangga pada kesini,
mempunyai status yang terhormat dan memiliki
berkat dorongan mereka juga yang bikin saya
fungsi yang optimal bagi masing–masing semangat.....” (P5)
anggotanya. Dukungan diberikan oleh keluarga
“....tetangga mah banyak yang datang kerumah,
dalam bentuk semangat untuk sembuh, merawat
ngasih lah semangat, ada juga yang ngasih
informan mulai dari rumah sakit sampai bantuan sekedarnya....”(P7)
dengan pulang di rumah dan membantu Ket : (mah ; kata ungkapan dalam bahasa sunda
pemenuhan aktifitas sehari–hari selama informan :red)
dalam tahap rehabilitasi. Berikut beberapa Dukungan petugas kesehatan
ungkapan dari informan : Tenaga kesehatan juga memberi
“....keluarga mah semua bantu saya, anak – anak kontribusi dalam menyediakan dukungan kepada
ikut ngerawat saya, kebutuhan saya informan selama perawatan luka bakar. Dukungan
dibantuin....” (P1)
yang diberikan berupa memberikan perawatan
“....suami menghibur bercanda dengan saya, yang baik kepada informan. Dukungan lain
tertawa bareng gitu....” (P2) berupa semangat untuk sembuh dan pengertian–
pengertian tentang proses perawatan pada kondisi
“..keluarga saya rasakan sangat mendukung
saya, semua ngasih support ke saya, memberi luka bakar. Berikut beberapa ungkapan dari
nasehat yang baik–baik, saya jadi semangat..” informan :
(P6)
“....saya dirawat dengan baik, perawatnya sabar
Ket : (mah ; kata ungkapan dalam bahasa
ngerawat saya....” (P1)
sunda :red)
“....perawatnya baik, orangnya mengerti
Lingkungan sosial dimana informan kesakitan saya, ditanya sakit nggak, adem saya,
tinggal juga memberikan dukungan berupa rasa dibuka pelan pelan. Ada juga dokter rehabilitasi,
dokternya baik, berusaha semaksimal mungkin
simpati menjenguk informan, memberikan biar saya sembuh....” (P2)
semangat untuk sembuh dan menerima kembali
informan di masyarakat. Kultur sosial budaya di
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 29
“....kalau perawat saya rasakan baik, bagus Motivasi terhadap diri sendiri
bagus, memperhatikan lah ke pasien dari segi
Informan pada penelitian ini menggunakan
pola makanan, pengontrolan, perawatan luka.
Memberi semangat, jangan putus asa, jangan motivasi terhadap diri sendiri dalam menerima
takut istilahnya kita harus yakin sembuh, jangan
kondisi sakitnya. Hal tersebut meliputi perasaan
stres, ngasih nasehat ini dan itu ....”(P5)
ingin cepat sembuh dan kembali bekerja seperti
Penguatan spiritual
biasa. Motivasi terhadap diri sendiri juga
Beberapa informan dalam penelitian ini
ditujukan untuk dapat kembali merawat anak–
melakukan upaya dengan meningkatkan nilai-
anak dan keluarga. Motivasi ini semakin kuat
nilai spiritual sebagai upaya untuk menerima
ketika informan menemukan kembali
kondisinya sebagai bagian dari rencana Tuhan.
kebersamaan dengan keluarga setelah pulang dari
Beberapa ungkapan informan adalah sebagai
rumah sakit Berikut beberapa ungkapan informan:
berikut :
“....saya pikir sabar aja, pasrah sama inget Alloh
“.... saya harus kuat menghadapi kejadian ini,
gitu lah dirasain aja....”(P3)
ada anak yang masih kecil, di kasih musibah yang
begini masih butuh biaya, saya harus kuat....”
“....saya yakin Alloh punya rencana lain sama
(P1)
saya, mudah– mudahan ada hikmah dibalik
kejadian ini....” (P6)
“....pengin cepat sembuh, pengin rawat anak-
anak, masih kecil-kecil, perlu didikan saya dari
“....ini sudah pemberian Alloh, saya menerima
makan dan segalanya. Dari situ semangat untuk
yang di kasih Alloh, ini jalan untuk lebih dekat
sembuh ada....” (P2)
lagi sama Alloh, ....” (P7)
“....saya bisa cepat sembuh, cari nafkah buat
Penguatan spiritual juga diakukan oleh
keluarga, karena selama ini keluarga sudah
informan dengan berdoa, ingat kepada Tuhan dan dibikin susah sama saya, jadi saya harus
memberikan sesuatu sama keluarga....” (P6)
melakukan aktifitas spiritual sesuai kemampuan
seperti yang diungkapkan informan berikut :
PEMBAHASAN
“....berdoa aja, pasrah gitu wee, mau gimana
Berikut pembahasan masing–masing tema
lagi, da pengin sembuh. Ini sudah takdir,
mungkin yang terbaik buat saya....”(P5) yang dihasilkan pada pada penelitian ini.
Nyeri akut dan kronis selama perawatan
“....sholat cuma isyarat, kalau bacaan-bacaan
luka bakar
ayat dzikir alhamdulillah dari awal kejadian ibu
lakuin....” (P4)
Summer et al (2007) menyatakan bahwa
“....saya nambah dengan baca–baca doa atau
nyeri pada pasien luka bakar mempunyai
zikir aja, menguatkan hati biar menambah
semangat buat sembuh....” (P2) intensitas dan variabilitas sepanjang masa
perawatan pada masing–masing tahap
Ket :(wee, da; kata ungkapan dalam bahasa
penyembuhan. Nyeri akut pada luka bakar
sunda : red)
merupakan sumber penderitaan bagi pasien dan

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 30


menjadi faktor munculnya nyeri kronis serta dan fungsi fisik. Pasien dengan usia lebih tua
gangguan stres akibat penyakit. Nyeri dengan hanya sedikit lebih terbatas dalam melakukan
skala moderat sampai berat selalu dilaporkan aktifitas fisik.
oleh pasien setelah trauma akibat luka bakar. Keterbatasan melakukan ritual keagamaan
Salah satu alasan terdapatnya intensitas nyeri Beberapa informan dalam penelitian ini
adalah berhubungan dengan perawatan luka dan juga menyatakan belum bisa melakukan aktifitas
terapi rehabilitasi. Sumber utama nyeri hebat spiritual atau ritual keagamaan. Hal ini
pada luka bakar juga sangat beragam di dikarenakan oleh ketidakmampuan fisik untuk
sepanjang tahapan penyembuhan. melakukan aktifitas spiritual dan kurangnya
Keterbatasan aktifitas sehari–hari pengetahuan tentang melakukan peribadatan di
Beberapa informan dalam penelitian ini saat sakit. Edward (2001) menyatakan bahwa luka
menyatakan kehilangan kemampuan dalam bakar selain dapat merusak organ terluas pada
memenuhi aktifitas sehari–hari. Kondisi ini tubuh yaitu kulit, juga dapat memberikan masalah
dirasakan sejak kejadian, saat dirawat di rumah pada fisik, psikologis dan spiritual baik terhadap
sakit sampai beberapa bulan setelah pulang dari pasien maupun keluarganya. Masalah spiritual
rumah sakit. Procter (2010) menyatakan bahwa pada pasien luka bakar juga disebabkan karena
pasien luka bakar sering merasakan kehilangan masih jarang pelayanan kesehatan yang
kemampuan dan peran dalam berpartisipasi memberikan pemenuhan kebutuhan spiritual pada
memenuhi kebutuhan aktifitas sehari–hari. pasien.
Altier (2002) melakukan penelitian pada
49 pasien luka bakar untuk mengukur Perubahan dalam pemenuhan kebutuhan
seksual
kemampuan dalam fungsi fisik menggunakan
instrumen SF-36. Pengukuran fungsi fisik Informan juga melaporkan adanya
meliputi aktifitas seperti olahraga, naik tangga, keterbatasan dalam aktifitas seksual setelah
membawa barang dan berjalan. Aktifitas sehari– kejadian luka bakar. Beberapa bulan setelah luka
hari seperti bekerja, pemenuhan kegiatan di bakar informan lebih cenderung tidak memikirkan
rumah atau bersekolah juga ikut diukur dalam tentang aktifitas seksual. Hal tersebut dikarenakan
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan rasa malu pada pasangan dan kekhawatiran
bahwa terdapat keterbatasan aktifitas fisik pada penurunan fungsi seksual. Park, Choi, Jang dan
pasien luka bakar. Pemenuhan aktifitas sehari– Oh (2008) melakukan penelitian pada 686 pasien
hari juga mengalami penurunan daripada sebelum luka bakar untuk mengisi kuesioner tentang
kejadian luka bakar. Penelitian ini juga masalah psikososial yang mereka hadapi. Hasil
menyatakan adanya korelasi negatif antara usia penelitian menunjukan diantaranya adalah adanya

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 31


gangguan psikososial berupa kesulitan dalam (2003) menyatakan bahwa masalah psikopatologi
fungsi seksual, kesulitan tidur dan kehilangan dan psikososial dapat terjadi pada pasien luka
harga diri setelah menderita luka bakar. Parot bakar. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa hal
(2010) menyatakan bahwa penurunan fungsi pada antara lain karakteristik dari pasien, masalah
sensasi kulit menimbulkan pemikiran tertentu psikis sebelumnya, dan faktor–faktor selama
pada masalah seksual. Pasien lebih memilih terjadinya kejadian trauma. Pengkajian perawat
untuk tidak memikirkan aktifitas seksual. Pasien harus mencapai pada munculnya kecemasan dan
luka bakar dengan jenis kelamin perempuan gangguan perasaan akibat perubahan penampilan
mempunyai tingkat kepuasan terhadap aktifitas pada pasien. Gejala seperti malu dan minder pada
seksualitas yang lebih rendah daripada laki – laki. pasien, masalah citra tubuh, masalah harga diri
Jenuh dengan perawatan luka yang lama rendah mungkin dapat ditemukan pada pasien
Proses hospitalisasi, keluhan fisik yang luka bakar.
menetap lama, tindakan perawatan luka dan Thombs et al (2008) menyatakan bahwa
tahap rehabilitasi dapat menyebabkan kecemasan pasien luka bakar akan banyak mengalami
dan perasaan tertekan pada korban luka bakar. keluhan fisik akibat trauma yang terjadi pada
Kondisi ini akan menyebabkan perasaan jenuh kulit. Keluhan dapat berupa nyeri sampai dengan
pada keadaan sakit yang diderita pasien. Gilboa perubahan penampilan pada organ kulit akibat
(2000) menyatakan bahwa pasien luka bakar luka dan terbentuknya jaringan parut. Kondisi
yang mendapatkan perawatan di rumah sakit akan tersebut dapat memicu terjadinya distres
merasakan keluhan nyeri secara fisik terutama psikologis yang meliputi, depresi, kecemasan,
pada saat ganti balutan dan fisioterapi. Situasi ini marah, gangguan citra tubuh dan harga diri rendah
biasanya akan berlangsung lama dan akan pada pasien.
diikuti oleh perasaan tertekan yang berat yang Perubahan pada citra tubuh
di tambah dengan kecemasan dan marah pada Beberapa informan menyampaikan
keadaan. Kondisi tersebut dapat mengarahkan adanya perubahan pada penampilan tubuh setelah
pada perasaan jenuh terhadap keadaan yang kejadian luka bakar. Perubahan ini menimbulkan
dialami. perasaan tidak puas terhadap penampilan tubuh
Perubahan pada harga diri saat ini. Lawrence, Fauerbach, Heinberg dan
Perubahan pada penampilan tubuh Marion (2004) menyatakan bahwa penerimaan
informan memicu adanya perasaan malu, terhadap perubahan penampilan secara mendadak
minder dan takut untuk bersosialisasi. Hal dan dramatis adalah salah satu tantangan yang
tersebut dapat menimbulkan perubahan pada utama pada penderita luka bakar. Jaringan parut,
harga diri infroman. Van Loey dan Van Son perubahan penampilan, deformitas dan kehilangan

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 32


fungsi yang dihasilkan dari sebuah kejadian luka Dukungan keluarga dan lingkungan
bakar dapat memicu perubahan perseptual yang Dukungan yang diberikan oleh keluarga
signifikan pada citra tubuh. Citra tubuh diartikan sangat membantu pasien melewati tiap tahap
sebagai sebuah konsep yang multi dimensional dalam proses penyembuhan luka bakar. Sikap
yang berhubungan dengan penampilan fisik keluarga yang menerima peran pasien sebagai
seseorang dan fungsi dari persepsi terhadap citra orang yang sedang sakit memberikan perasaan
tubuh (What I think I look like) serta kepuasan nyaman dan terlindungi. Beberapa informan
terhadap citra tubuh (How happy I am with I menyatakan bahwa keluarga ikut membantu
think I look). pasien dalam latihan bergerak, berjalan dan dalam
Perubahan pada peran pemenuhan aktifitas sehari–hari lainnya. Bishop,
Sebagian besar informan mengalami Walker dan Spivak (2013) melakukan penelitian
perubahan pada peran diri. Perubahan tersebut untuk meningkatkan komunikasi, kesiapan pasien
meliputi perubahan sebagai pencari nafkah pada untuk pulang dan kepuasan selama dirawat pada
informan lelaki dan perubahan peran sebagai ibu pasien luka bakar dan keluarganya. Penelitian
pada informan wanita. Perubahan sebagai dilakukan dengan mengikutsertakan keluaga
pencari nafkah terjadi karena kondisi fisik yang pasien selama proses ganti balutan. Efek
masih dalam tahap rehabilitasi. Perubahan merugikan dengan kehadiran keluarga
tersebut juga diakibatkan oleh kondisi trauma diobservasi, pengukuran dari pelaksanaan patient
luka bakar itu sendiri yang meliputi luas luka and family centred care diobservasi sesuai
bakar, derajat luka bakar dan kondisi psikologis standarisasi yang telah ada, kejadian infeksi dan
setelah luka bakar. Dyster-Aas, Kildal dan respon petugas kesehatan juga di ukur. Hasil
Willebrand (2007) melakukan penelitian untuk penelitian menunjukan bahwa tidak ada efek
mengetahui faktor kondisi luka bakar dan merugikan dengan adanya keluarga yang
karakteristik pasien terhadap kembali bekerjanya dilibatkan dalam perawatan pasien, kepuasan
pasien. Sebanyak 48 pasien yang sebelum pasien dalam perawatan meningkat dan rerata
kejadian luka bakar telah bekerja diikutkan infeksi tidak meningkat. Respon petugas
dalam penelitian. Lama waktu setelah kejadian kesehatan positip terhadap pelaksanaan patient
rata–rata 3.8 tahun. Hasil penelitian menunjukan and family centred care.
bahwa 31% pasien tidak kembali bekerja. Keluarga adalah sebuah institusi sakral
Kembali bekerja pada pasien luka bakar yang dihormati dan dijunjung tinggi dalam sosial
berhubungan dengan lama waktu sejak kejadian, budaya masyarakat di Indonesia. Keluarga di
luas dan derajat luka bakar serta karakteristik Indonesia mempunyai struktur dan fungsi yang
personal dari pasien. kuat dalam kehidupan sehari–hari. Perawatan

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 33


yang melibatkan keluarga akan membantu dalam perawatan di rumah sakit. Dukungan yang
semua aspek perawatan pasien, memudahkan diberikan oleh petugas kesehatan sangat
kerjasama antara petugas kesehatan, pasien dan membantu dalam proses pemulihan pasien baik
keluarga serta memberikan kepuasan perawatan secara fisik maupun psikologis. Dukungan fisik
pada pasien dan keluarga. Mitchell et al (2009) dapat berupa perawatan luka, fisioterapi,
mengevaluasi efek dari family centred care dalam pembedahan, dan tindakan lainnya. Sementara itu
membentuk kerjasama antara petugas kesehatan dukungan psikologis dapat berupa memberikan
dan keluarga pasien dalam membangun semangat, pendidikan kesehatan dan dukungan
perawatan yang mendasar bagi pasien. Hasil mental lainnya. Perawat adalah petugas
penelitian menyatakan bahwa bekerjasama kesehatan yang paling lama berhubungan dengan
dengan keluarga pasien meningkatkan rasa pasien setiap harinya sehingga kedudukan
hormat, tingkat kolaborasi, memberikan perawat sangat penring dalam memberi dukungan
dukungan pada proses perawatan dan bagi pasien. Greenfield (2010) menyatakan
meningkatkan secara keseluruhan nilai dalam perawatan pasien luka bakar yang optimal
survey family centred care. membutuhkan pendekatan multidisipliner. Hasil
Lingkungan sosial dan hubungan dengan perawatan pasien yang positip sangat tergantung
masyarakat mempunyai manfaat yang besar bagi dari komposisi tim perawatan luka bakar dan
pemulihan pasien luka bakar. Respon lingkungan kolaborasi yang baik antar tim. Perawat berada di
kepada pasien saat kembali ke rumah pusat kegiatan tim tersebut yang merupakan
memberikan efek yang baik bagi pemulihan koordinator bagi semua aktifitas perawatan
psikososial pasien, sehingga pasien merasa pasien. Kompeksitas dan keterlibatan multisistem
diterima di masyarakat. Badger dan Royse (2010) pada kebutuhan perawatan pasien luka bakar
mengevaluasi peran dari dukungan sosial menuntut perawat mempunyai pengetahuan yang
terhadap 30 pasien luka bakar pada rehabilitasi baik terhadap kegagalan organ yang multisistem,
psikososial. Peneliti menekankan efek positip teknik perawatan kritis, pemeriksaan diagnostik
pada status kesehatan terutama pada persepsi dan ketrampilan dalam memberikan terapi
diterima dan bergabung kembali dengan rehabilitasi dan psikososial. Pada saat yang sama,
masyarakat. Efek tersebut tidak bersifat perawat juga dituntut mempunyai keahlian dalam
situasional akan tetapi dapat memiliki efek perawatan luka baik luka yang spontan ataupun
sepanjang kehidupan pasien. luka grafting, pencegahan infeksi dan pengelolaan
Dukungan petugas kesehatan nyeri.
Pasien luka bakar berhubungan dengan Penguatan spiritual
berbagai macam petugas kesehatan selama Sosial budaya masyarakat Indonesia yang

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 34


religius memberikan efek yang baik pada menjelaskan bahwa spiritualitas adalah kualitas
mekanisme koping ketika seseorang menghadapi atau kehadiran dari proses meresapi atau
masalah. Informan dalam penelitian memaknai, integritas dan proses yang melebihi
menggunakan mekanisme terhadap penguatan keutuhan biopsikososial dimana suatu kualitas
spiritual dalam menghadapi kondisi sakitnya. dari proses menjadi lebih religius, berusaha
Berdoa, pasrah dan menganggap semua kejadian mendapatkan inspirasi, penghormatan, perasaan
sebagai takdir merupakan cara informan dalam kagum, memberi makna dan tujuan yang
menghadapi kejadian luka bakar yang dialami. dilakukan oleh individu yang percaya maupun
Forta dan Zanini (2013) menyatakan bahwa yang tidak percaya kepada Tuhan.
kondisi yang tertekan pada seseorang akan Motivasi terhadap diri sendiri
memicu penggunaan beberapa mekanisme Onyishi and Okongwu (2013) menyatakan
koping sesuai fokus dan metode yang dimiliki bahwa dukungan terhadap proses penyembuhan
oleh individu. Mekanisme koping diartikan tidak hanya bergantung pada pemberi pelayanan
sebagai suatu pendekatan atau koping yang akan tetapi yang lebih penting lagi adalah
berfokus pada pemecahan masalah. Smith, bergantung pada pasien itu sendiri. Pasien harus
Smith, Rainey dan DelGiorno (2006) menyatakan mampu untuk menghilangkan respon dari
bahwa kepribadian dan mekanisme koping pasien lingkungan dan kondisi yang tidak
luka bakar seharusnya menjadi panduan dalam menguntungkan. Hal ini menjelaskan kepribadian
rencana keperawatan. Faktor sosio kultural memainkan peranan penting dalam hal melihat
memainkan peran penting dan mempengaruhi kepuasan hidup dari sudut pandang seseorang.
keputusan pasien dalam memilih mekanisme Beberapa informan tidak menempatkan
koping. perubahan penampilan setelah luka bakar
Budaya masyarakat Indonesia dan sebagai hambatan dalam menjalani hidup.
pendidikan agama secara formal dan informal Mekanisme koping spiritualitas dan motivasi yang
yang didapatkan individu sejak kecil tinggi membuat pasien mengalami peningkatan
menyebabkan aspek spititualitas melekat erat pada berbagai aspek kehidupan sehari–hari mulai
pada individu. Keluarga juga berperan dalam dari pemenuhan aktifitas sehari –hari sampai
mengarahkan mekanisme koping individu sejak dengan ritual keagamaan. Corry, Pruzinky dan
dini dengan aspek spiritualitas. Kekuatan Ramsey (2009) menyatakan bahwa pasien luka
spiritual adalah segala sesuatu yang bakar yang lebih memikirkan pada hal
menyinggung tentang hubungan manusia dengan perubahan penampilan akan lebih mempunyai
sumber kekuatan hidup atau yang maha memiliki hasil perawatan yang kurang baik dari pada pasien
segala kekuatan. Craven dan Himle (2007) juga luka bakar yang tidak menempatkan faktor

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 35


perubahan penampilan sebagai sesuatu yang individu sudah terpapar dengan mekanisme
sangat penting dipikirkan. Terdapat hubungan koping penguatan spiritual dalam menghadapi
yang signifikan pada resiko ketidakpuasan masalah. Hal ini pula yang dimungkinkan dari
terhadap perubahan penampilan terhadap efek sebagian besar informan tidak ditemukan tanda–
negatif pada kualitas hidup pasien. tanda post traumatic stress disorder selama
KESIMPULAN penelitian dan observasi oleh peneliti.
Hasil penelitian ini menemukan hal baru Dukungan yang diberikan oleh perawat
yang jarang ditemukan dari hasil penelitian telah dimulai sejak pasien dirawat di rumah sakit.
sebelumnya. Hal tersebut adalah informan dapat Dukungan tersebut meliputi penanganan nyeri
memperoleh dukungan sosial yang adekuat akibat prosedur perawatan luka antara lain dengan
selama menderita luka bakar. Dukungan sosial ini tekhnik distraksi, relaksasi dan terapi musik.
didapatkan dari keluarga dan lingkungan dimana Perawat juga telah memberikan semangat,
informan tinggal. Dukungan dari keluarga mudah motivasi dan counseling kepada pasien untuk
didapatkan oleh informan dimungkinkan karena memenuhi kebutuhan psikososial pasien selama di
sosial budaya masyarakat Indonesia yang rumah sakit.
menempatkan keluarga sebagai lembaga yang UCAPAN TERIMAKASIH
sakral dan mempunyai fungsi–fungsi keluarga Peneliti mengucapkan terimakasih kepada
yang optimal untuk memenuhi kebutuhan pihak RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung yang
anggotanya. Karakteristik masyarakat Indonesia telah memberikan ijin penelitian ini. Ucapan
yang masih memegang adat ketimuran dan terimakasih juga kami sampaikan kepada STIKES
menjunjung tinggi rasa hormat menghormati dan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap dan Jurnal
empati menyebabkan informan juga mudah Kesehatan Al- Irsyad (JKA) yang telah bersedia
mendapatkan dukungan dari lingkungan dimana memuat hasil penelitian ini.
informan tinggal. RUJUKAN PUSTAKA
Hal baru lain yang ditemukan pada Altier, A, Forget A.M, Choiniea, M. 2002. Long-
term adjustment in burn victims: a
penelitian ini adalah mekanisme koping berupa
matched control study. Psychological
penguatan spiritual yang belum ditemukan pada Medicine, 32, p : 677-685
penelitian–penelitian sebelumnya. Kultur religius
Badger, K., & Royse, D. 2010. Adult burn
yang dimiliki masyarakat Indonesia survivor’s views of peer support: a
qualitative study. Social Work in Health
menyebabkan individu sudah mengenal aspek–
Care, 49, 299- 313.
aspek spiritualitas sejak usia dini. Pengenalan
Bishop, S.M, Walker, M.D, Spivak, M. 2013
aspek ini bisa didapatkan melalui pendidikan–
Family Presence in the Adult Burn
pendidikan formal dan informal sehingga Intensive Care Unit During Dressing
Changes. Crit Care Nurse, 33:14-24.
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 36
Brockopp, D.Y, Tolsma. 2000. Dasar–dasar riset LeMone, P, Burke, K, Bauldoff, G. 2011. Medical
keperawatan. Ed.2. Jakarta. EGC Surgical Nursing. Critical thinking in
patient care. 2011. 5th ed. Pearson. USA.
Camhi, C., Cohn N. 2007. Working with patients
who have big burns: Exploring the Mitchell M, Chaboyer W, Burmeister E, Foster
perspective of senior medical staff of M. Positive effects of nursing
different professional groups. Journal of intervention on family-centered care in
Burn Care and Rehabilitation. adult critical care. Am J Crit Care.
Vol.28.no.1. pp 187 – 94 2009;18:543-552

Corry, N, Pruzinsky T, Rumsey T. 2009. Quality Moleong, L.J. 2010. Metode penelitian
of life and psychosocial adjustment to kualitatif. Ed.Rev. Bandung. PT. Remaja
burn injury: Social functioning, body Rosdakarya.
image, and health policy perspectives.
International Review of Psychiatry ; Notoatmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian
21(6): 539–548 Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Craven R.F, Himle, C.J. 2007. Fundamental of Onyishi, I. E., & Okongwu, O. E. 2013.
Nursing : Human health and function Personality and social support as
(3rd ed). Philadelphia : Lippincott predictors of life satisfaction of Nigerian
prisons officers. The So- cial Sciences, 8,
Daymond, C & Holloway, I. 2008. Metode – 5-12.
metode riset kualitatif dalam public
relations dan marketing communications. Othman, N., Kendrick, D. 2010 Epidemiologi
Yogyakarta. Penerbit Bentang Luka Bakar di Wilayah Mediterania
Timur: review sistematis. Jurnal BM
Dyster-Aas, J.D., Kildal, M. Willebrand, M. Public Health, 10 (83): 85-98.
2007. Return to work and health–related
quality of life after burn injury. J Rehabil Park, S.Y, Choi, K.A, Jang, Y.C, Oh, S.K. 2008.
Med 39: 49–55 The risk factors of psychosocial problems
for burn patients. Burns. Volume 34. Issue
Edward, J. 2001. Managing mino burns 1.p : 24–31
effectively. Practice Nursing. Vol.12.
Issue 9. P : 361 – 265 Parot, Y, Esmail, S. 2010. Burn survivors’
perceptions regarding relevant sexual
Frota,P, Zanini, D.S. 2013. Coping, Personality education strategies. Health Education
Traits and Social Support in Severe Vol. 110 No. 2. p : 84-97
Burn Survivors. Psychology 2013. Vol.4,
No.12, 1059-1063. Polit, D.F & Beck, C.T. 2006. Essenstials of
Nursing Research. Methods, Appraisal
Gilboa, D. L. 2001. Term Psychososial and Utilization. Philadelphia. Lippincott
adjusment after burnt injury. Burns 27. Williams & Wilkins.
335 – 341.
Procter, F. 2010 Rehabilitation of the burn
Lawrence,W. Fauerbach, J A. Heinberg, L; patient. Indian J Plast Surg Supplement 1.
Marion. 2004. Visible vs Hidden Scars Vol 43
and Their Relation to Body Esteem.
Journal of Burn Care & Rehabilitation: Saryono, Anggraini, M.D. 2010. Metode
Volume 25 - Issue 1 - pp 25- 32 penelitian kualitatif dalam bidang
kesehatan. Yogyakarta. Muha Medika.
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 37
Semiawan, C.R. 2009. Metode penelitian
kualitatif. Jakarta PT. Gramedia
Widisarana.

Smith, J. S., Smith, K. R., Rainey, S. L., &


DelGiorno. J. 2006. The psychology of
burn care. Journal of Trauma Nursing,
13, 105-106.

Streubert, HJ, Carpenter DJ. 1999. Qulitative


research in inursing ; Advance the
humanistic Imperative. Philadepia.
Lippincot

Sugiyono. 2009. Metode penelitian kuantitatif


dan kualitatif dan R & D. Bandung. CV
Alfabeta

Summer, G.J, Puntillo, K.A, Miaskowski, C,


Green, P.G, Levine, J.D. 2007. Burn
Injury Pain: The Continuing Challenge.
The Journal of Pain. Volume 8, Issue 7.
P: 533-548

Thombs, B. D., Notes, L. D., Lawrence, J. W.,


Magyar- Russell, G., Bresnick, M. G., &
Fauerbach, J. A. 2008. From survival to
socialization: A longitudinal study of
body image in survivors of severe burn
injury. Journal of Psychosomatic
Research, 64, 205–212.

Van Loey, N.E.E, Van Son, M.J.M. 2003.


Psycopathology and Psychological
Problems in Patients with Burns scar;
Epidemiology and management.
American Journal of Clinial
Dermatology.

Wojnar, D.M, Sqanson, K.M. 2007.


Phenomenology ; An Exploration. J
Holist Nurs; 25; 172

Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. VI, No. 2, September 2014 38


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

OLEH:

NAMA : VALLY BILMASKOSU

KELAS :D

NPM : 12114201180144

PRODI : KEPERAWATAN

FAKULTAS : KESEHATAN

ANGKATAN : 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YANG MAHA ESA atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai.tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu
yang telah memberikan penulis tugas ini untuk menambah pengetahuan penulis

Penulis menyadari bahwa makala ini masih jauh dari sempurna,karena keterbatasan kemampuan
yang ada pada diri penulis.oleh karena itu penulis sanggat mengharapkan saran dan kriktik yang
membangun diri pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pambaca,untuk ke
dapanya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar lebih baik lagi.
DAFTTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................................................

PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………

PICO………………………………………………………………………………………..……

A. Pembahasan hasil terbaik PICO (analisa)…………………………


B. Penutup……………………………………………………………

DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………………

Tabel 1. Analisa PICO jurnal 1…………………………………

Tabel 2. Analisa PICO jurnal 2…………………………………

Tabel 3. Analisa PICO jurnal 3…………………………………

Tabel 4. Analisa PICO jurnal 4…………………………………

Tabel 5. Analisa PICO jurnal 5…………………………….......


JURNAL 1 : FORMULASI KIRM EKSTRAK ENTANOL DAUN UJI JALAR
(IPOMOEAE BATATAS L.) UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR

P : Salah satu jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional adalah ubi jalar (Ipomoea
batatas L) dari famili Convolvulaceae. Bagian tumbuhan ubi jalar yang digunakan adalah daun
yang mengandung beberapa senyawa seperti saponin, flavonoid, polifenol dan umbinya
mengandung beberapa senyawa seperti protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi,
vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin C Virgin coconut oil merupakan minyak yang
berasal dari buah kelapa (Cocos nucifera) tua segar yangdiperoleh pada suhu rendah (<60C)
yang terbentuk setelah santan didiamkan dalam beberapa hari (Setiaji, 2006) tanpa proses
pemutihan sehingga menghasilkan minyak murni.

I : Negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki potensi untuk
mengembangkan buahbuahan tropis, tanaman holtikultural, sayur-sayuran dan tanaman pangan.
Banyak sekali tanaman di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan secara
komersil, salah satunya digunakan sebagai bahan obat

C : daun jalar memiliki,banyak sekali manfaat diantaranya dapat menyembuhan luka dan juga
berbeda dengan daun daun lainya

O : Dari penjelasan di atas dicoba membuat formula ekstrak etanol daun ubi jalar dan Virgin
Coconut Oil (VCO) dalam bentuk krim untuk pengobatan luka bakar. Krim dipilih karena
sediaan ini mempunyai keuntungan diantaranya mudah dioleskan pada kulit, mudah dicuci
setelah dioleskan, krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang asah, dan terdistribusi
merata. Selanjutnya digunakan hewan percobaan untuk menguji aktifitasnya dalam pengobatan
luka bakar. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih.

JURNAL 2 : UJI EFEKTIFITAS SEDIAAN SALEP LUKA BAKAR EKSTRAK


ETANOL KULIT BUAH PISANG
AMBON LUMUT (Musa acuminata Colla) TERHADAP HEWAN UJI KELINCI
(Oryctolagus cuniculus)

P : Seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pengobatan yang aman, efektif, selektif
dan ekonomis, masyarakat mulai beralih kepada pengobatan herbal. Pengobatan herbal ini kini
menjadi salah satu pilihan terapi kesehatan yang populer ditengah kemajuan pengobatan modern.
Masyarakat mulai membudidayakan tanaman obat/herbal, baik dalam skala rumah tangga
ataupun secara massal. Tanaman obat/herbal yang dibudidayakan dalam skala rumah tangga
lebih sering disebut sebagai Tanaman Obat Keluarga

I : pada waktu sekarang banyak obatobatan yang dibuat secara sintetik, tetapi tak boleh kita
abaikan arti tumbuhan sebagai penghasil bahan yang berkhasiat obat, seperti dapat kita liat
sendiri dari banyaknya antibiotika yang diperkenalkan dalam dunia pengobatan, dan boleh
dikatakan semua zat tersebut berasal dari tumbuhan, seperti antara lain: penisilin, streptomosin,
klomisetin, dan lain-lain. Saya yakin, bahwa masih banyak tumbuhan lain
yang sampai sekarang belum dikenal sebagai tumbuhan yang berkhasiat obat.

C : hal ini bgemana dapat membantu masyarakat dalam pengolalaan bahan bahan alamia sebagai
peganti obat di apotik untuk penyembuhan luka yang terkana paparan api

O : dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak etanol kulit buah pisang ambon
lumut memiliki efektivitas luka bakar terhadap Hewan uji Kelinci
JURNAL 3 : Pengaruh Binahong terhadap Luka Bakar Derajat II Ulima Larissa
Anggraini Janar Wulan, Arif Yudho Prabowo

P : Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Derajat luka bakar
terbagi atas 4, yaitu luka bakar derajat I, luka bakar derajat IIa, luka bakar derajat IIb, dan luka
bakar derajat III. Luka bakar yang sering ditemukan adalah luka bakar derajat II. Luka bakar
dipengaruhi oleh luas, dalam, dan daerah yang terlibat. Semakin dalam dan luas lukanya maka
akan meningkatkan resiko infeksi.
I : Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat. Kurang lebih 2,5
juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya dari kelompok ini 200.000
pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit, sekitar
12.000 meninggal setiap tahunnya.

C : daun ini sanggat memiliki manfaat di mana dapat menyembuhkan


Lua bakar, hamper sama seperti dengan daun lainya, akan tetapi daun ini sudah teruji khasiatnya

O : Penanganan dalam penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi dan memberi
kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berpoliferasi dan menutup permukaan luka Penyembuhan
luka melewati tiga fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling.

JURNAL 4 : PENINGKATAN PENGETAHUAN BAHAYA LUKA BAKAR DAN P3K


KEGAWATAN LUKA BAKAR PADA ANGGOTA RANTING AISYIYAH

P : luka bakar merupakan bentuk trauma yang terjadi sebagai akibat dari aktifitas manusia
dalam
rumah tangga, industri, trafic accident, maupun bencana alam. Penderita luka bakar yang paling
rentan adalah
pada wanita karena peran utama mereka dalam keluarga yaitu banyak yang bersinggungan
dengan api dan listrik
seperti memasak dan menyetrika. Penanganan luka bakar yang kurang tepat dapat menimbulkan
dampak yang
akan merugikan penderita.
I : meningkatkan pengetahuan tentang cidera luka bakar, serta pertolongan pertama
kegawatdaruratan yang tepat pada luka bakar pada anggota ranting Aisyiyah Sidabowa,
kecamatan Patikraja.

C : ketika menerapkan hal ini maka pasien yang mengalami luka akan sembuh

O : terdapat peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya luka bakar dan
penanganan P3K luka bakar.

JURNAL 5 : PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN


METODE DEMONSTRASI TERHADAP PRAKTIK
PERTOLONGAN PERTAMA LUKA BAKAR PADA
IBU RUMAH TANGGA DI GAREN RT.01/RW.04
PANDEAN NGEMPLAK BOYOLALI

P : Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi (Hardisman, 2014).
Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut, Kasus luka bakar
merupakan suatu bentuk cedera berat yang memerlukan penatalaksanan sebaikbaiknya sejak
awal.

I : Salah satu cara dalam menangani tingkatkeparahan luka bakar sangat dibutuh kanpenanganan
awal penderita sebelumnya di bawa ke pelayanan kesehatan. Pertolongan pertama adalah
pertolongan yang diberikan saat kejadian tau bencana terjadi di tempat kejadian, sedangkan
tujuan dari pertolongan pertama adalah menyelamatkan kehidupan, mencegah kesakitan makin
parah, dan meningkatkan pemulihan

C : ini sanngat mudah di terapkan di rumah, di mana ketika kita terkena paparan api, maka
lngsung saja kita melakukan tindakan
O : Peran masyarakat yang berhadapan langsung serta pertolongan petugas yang menerima kasus
ini pertama kali sangat menentukan perjalanan penyakit ini selanjutnya

ANALISA JURNAL : jurna yang saya ambil iayalah jurnal ke 4

1. Judul : PENINGKATAN PENGETAHUAN BAHAYA LUKA BAKAR DAN P3K


KEGAWATAN LUKA BAKAR PADA ANGGOTA RANTING AISYIYAH
2. Penulis : Meida Laely Ramdani
3. Pembahasan : jurnal ini sangat menarik untuk di ambil sebagaia asuahan
Keparawatan di mana, dalam jurnal menjelaskan tentang cara praktik dalam
penangulanganwa ketika kita mengalami kebkaran, bahwa agar kita mengalami hak
tersbut tidaklah kita panic, akan tetapi kita dapat melaukan tindakan mandiri,

KESIMPULAN : Kegiatan upaya peningkatan Pengetahuan bahaya luka bakar dan P3K
kegawatan Luka Bakar pada Anggota Ranting Aisyiyah Sidabowa dapat meningkatkan
pengetahuan seputar bahaya luka bakar, meliputi pengetahuan tentang pengertian, agen
penyebab, klasifikasi dan derajat luka bakar,
tanda-tanda luka bakar. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan metode penatalaksanaan
p3k
luka bakar yang tepat. Melihat dukungan dan tanggapan yang baik dari pihak pengurus ranting
Aisyiyah dan anggota, maka perlu diadakannya pendidikan kesehatan lain,yang menyangkut
permasalahan kesehatan yang banyak dialami oleh anggota karena mayoritas anggota adalah usia
lansia.
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

FORMULASI KRIM EKSTRAK ETANOL DAUN UBI JALAR


(Ipomoeae batatas L.) UNTUK PENGOBATAN LUKA BAKAR

Farida Rahim, Mimi Aria, Nurwani Purnama Aji


STIFI Perintis Padang

ABSTRACT

Formulation of cream for treatment of burns has been studied. Cream formula
consisting of 3% ethanolic extract of sweet potato leaves as an active ingredient. Cream
bases used in this study were variated with and without Virgin Coconut Oil (VCO). The
formulas were evaluated for their organoleptic, homogeneity, pH, cream type, particle
size distribution, skin irritation test and effects on burns. The evaluation results showed
that ethanolic extract of sweet potato leaves can be formulated in creams which are
physicaly stable and provide a healing effect on burns, tested on animals. The results
showed that the F1B formula has the fastest healing effect on burns (7 days). From the
statistical calculation using one-way analysis of variant (ANOVA) we found that sweet
potato leaf ethanolic extract-containing cream provide healing on burns, where the value
of F count treatment is smaller than the F table at α 0.05.

Keywords: Ipomoeae batatas, cream, VCO, burns

PENDAHULUAN Virgin coconut oil merupakan


minyak yang berasal dari buah kelapa
Negara Indonesia merupakan (Cocos nucifera) tua segar yang
salah satu negara agraris yang memiliki diperoleh pada suhu rendah (<600C)
potensi untuk mengembangkan buah- yang terbentuk setelah santan didiamkan
buahan tropis, tanaman holtikultural, dalam beberapa hari (Setiaji, 2006)
sayur-sayuran dan tanaman pangan. tanpa proses pemutihan sehingga
Banyak sekali tanaman di Indonesia menghasilkan minyak murni. VCO
yang memiliki potensi besar untuk memiliki sederet manfaat dan khasiat
dikembangkan secara komersil, salah baik untuk medis maupun kosmetika.
satunya digunakan sebagai bahan obat Kandungan dari VCO salah satunya
(Rukman, 1997; Argomedia, 2008). adalah asam lemak rantai tak jenuh yang
dapat menghalangi radikal bebas dan
Salah satu jenis tumbuhan yang mempertahankan sistem kekebalan. Hal
digunakan sebagai obat tradisional ini membuat VCO bermanfaat untuk
adalah ubi jalar (Ipomoea batatas L) mencegah dan mengobati berbagai
dari famili Convolvulaceae. Bagian gangguan kesehatan. VCO juga
tumbuhan ubi jalar yang digunakan memiliki tekstur krim alami, bebas dari
adalah daun yang mengandung beberapa pestisida, dan kontaminan lainnya,
senyawa seperti saponin, flavonoid, susunan molekular kecilnya
polifenol dan umbinya mengandung memudahkan penyerapan serta memberi
beberapa senyawa seperti protein, tekstur yang lembut dan halus pada kulit
lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat (Hadibroto, 2006).
besi, vitamin A, vitamin B1, vitamin B2,
vitamin C (Rukmana,1997).

21
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

Dari penjelasan di atas dicoba Tabel I. Formula Basis Krim


membuat formula ekstrak etanol daun
ubi jalar dan Virgin Coconut Oil (VCO) Nama Bahan F0A F0B
dalam bentuk krim untuk pengobatan Asam stearat 14,5 14,5
luka bakar. Krim dipilih karena sediaan Trietanolamin 1,5 1,5
ini mempunyai keuntungan diantaranya adeps lanae 3 3
mudah dioleskan pada kulit, mudah Paraffin liquidum 25 5
dicuci setelah dioleskan, krim dapat Virgin Coconut Oil (VCO) - 20
Nipagin 0,1 0,1
digunakan pada kulit dengan luka yang
Nipasol 0,05 0,05
basah, dan terdistribusi merata.
Aquadest ad 100 100
Selanjutnya digunakan hewan percobaan
untuk menguji aktifitasnya dalam Keterangan :
pengobatan luka bakar. Hewan F0A = Krim tanpa Virgin Coconut Oil
percobaan yang digunakan adalah (VCO)
mencit putih. F0B = Krim dengan Virgin Coconut Oil

Basis krim dibuat dengan cara:


METODE PENELITIAN Semua bahan yang diperlukan
ditimbang, kemudian fase minyak
Bahan yang digunakan adalah dipindahkan dalam cawan penguap,
daun ubi jalar putih, Virgin Coconut Oil dipanaskan diatas waterbath dengan
(VCO), etanol 96%, asam stearat, suhu 70oC sampai lebur. Fase air di
trietanolamin, adeps lanae, paraffin panaskan di atas waterbath pada suhu
liquid, nipagin, nipasol, aquadest. 70oC sampai lebur. Fase minyak
dipindahkan kedalam lumpang dan
Alat yang digunakan adalah ditambahkan fase air (pencampuran
alat-alat gelas standar laboratorium, dilakukan pada suhu 60oC–70oC),
kaca arloji, cawan penguap, botol digerus sampai dingin dan terbentuk
semprot, corong, kertas perkamen, pH masa krim yang homogen.
meter Inolab, timbangan digital, mortir,
stamper, waterbath, oven vakum, lemari Tabel II. Formula Krim Ekstrak Etanol
pendingin, desikator, buret, botol daun ubi jalar
marserasi, rotary evaporator, pipet tetes,
krus porselin, oven, batang pengaduk, Nama Bahan F1A F1B
plat tetes, pinset. Ekstrak etanol daun ubi 3% 3%
jalar
Ekstrak daun ubi jalar dibuat Basis Krim ad 100 100
dengan cara maserasi selama lima hari
menggunakan etanol 96%. Ekstrak Keterangan :
kental yang diperoleh dievaluasi F1A = Krim dengan konsentrasi Ekstrak
organoleptis, kelarutan, penetapan Etanol daun ubi jalar 3% tanpa
kandungan air, kadar abu, pemeriksaan VCO
pH, kandungan kimia. F1B = Krim dengan konsentrasi Ekstrak
Etanol daun ubi jalar 3% dengan
VCO

Krim dibuat dengan cara:


ekstrak etanol daun ubi jalar 3% dan
ditimbang dan digerus dalam lumpang
serta ditambahkan sedikit demi sedikit

22
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

basis krim ad 100 g, digerus pelan-pelan menjadi pucat hilang. Pada pengujian
sampai homogen. efek ini digunakan Lanakeloid-E®
sebagai pembanding.
Evaluasi basis krim dan krim
meliputi pemeriksaan organoleptis, HASIL DAN PEMBAHASAN
homogenitas, tipe krim, pH, distribusi
ukuran partikel, daya tercuci krim dan Ekstrak etanol daun ubi jalar
uji iritasi kulit. dan VCO diformula dalam bentuk krim,
dengan konsentrasi ekstrak 3%. Basis
Uji efek luka bakar dilakukan krim dan krim yang dibuat dievaluasi
dengan menggunakan hewan percobaan meliputi pemeriksaan organoleptis,
masing-masing 3 ekor untuk tiap homogenitas, pemeriksan tipe krim, pH
kelompok formula. Spatel dibakar krim, yang dilakukan setiap minggu
dengan nyala api selama 60 detik, spatel selama 8 minggu.
tersebut ditempelkan selama 5 detik
pada kulit punggung mencit yang sudah Pemeriksaan organoleptis
dirontokkan bulunya. Pada kulit yang terhadap formula basis krim dan krim
melepuh atau mengalami luka bakar ekstrak etanol daun ubi jalar tidak
tersebut dioleskan formula krim secara menunjukkan adanya perubahan bentuk,
tipis dan merata 3 kali sehari untuk warna dan bau. Pada pemeriksaan
masing-masing formula. Kemudian homogenitas basis krim dan krim
dilakukan pengamatan setiap hari untuk ekstrak etanol daun ubi jalar
melihat efeknya sampai terjadi menunjukkan bahwa semua sediaan
penyembuhan total. Parameter yang telah homogen dan terdispersi merata,
diamati adalah hilangnya vesikel dan pemeriksaan ini dilakukan setiap
perubahan warna kulit dari pucat minggu selama 8 minggu pengamatan.

Tabel III. Hasil Pemeriksaan Organoleptis Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar
(Ipomoea batatas L.)
Minggu ke
No Formula Organoleptis
I II III IV V VI VII VIII
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
1. F0A Warna P P P P P P P P
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
2. F0B Warna Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
3. F1A Warna P P P P P P P P
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Bentuk SP SP SP SP SP SP SP SP
4. F1B Warna Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi Hi
Bau BK BK BK BK BK BK BK BK
Keterangan : F0A : Basis krim tanpa Virgin Coconut Oil (VCO)
F0B : Basis krim dengan Virgin Coconut Oil (VCO)
FIA : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % tanpa VCO
FIB : Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar 3 % dengan VCO
Hi : Hijau
P : Putih
SP : Setengah Padat
BK : Bau khas

23
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

Pemeriksaan tipe krim yang Hasil pemeriksaan pH dilakukan


dilakukan dengan menggunakan zat dengan menggunakan alat pH meter
warna yaitu metilen blue inolab, pemeriksaan pH dilakukan
memperlihatkan penyebaran metilen terhadap basis krim dan krim ekstrak
blue yang merata setelah diteteskan pada etanol daun ubi jalar dan hasil
selapis krim diatas kaca objek. pemeriksaan pH krim diperoleh pH
berkisar antara 7,26–8,56.

Tabel IV. Hasil Pemeriksaan pH Krim Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar ( Ipomoea batatas L.)

Minggu ke Rata-
No Formula I II III IV V VI VII VIII rata
1. FOA 7,78 8,56 8,21 8,17 7,98 8,12 8,22 8,19 8,15
2. FOB 7,81 7,74 7,81 7,84 7,57 7,53 7,62 7,69 7,70
3. F1A 8,27 7,92 7,86 8,02 7,48 7,65 7,51 7,53 7,78
4. F1B 8,0 8,06 8,04 7,73 7,26 7,61 7,41 7,45 7,69

Pada pemeriksaan distribusi memberikan variasi waktu


ukuran partikel diperoleh rata-rata penyembuhan. Formula yang
ukuran panjang FOA = 4,8095 µm, FOB memberikan waktu penyembuhan paling
= 4,837 µm, F1A = 6,783 µm, F1B = cepat adalah formula F1B dimana waktu
4,991 µm. Hasil pengamatan distribusi yang diperlukan untuk penyembuhan
ukuran partikel basis krim dan krim selama 7 hari, Sedangkan FOA
ekstrak etanol daun ubi jalar memberikan waktu penyembuhan
menunjukan rata-rata ukuran panjang selama 11 hari, FOB memberikan waktu
kecil dari 10 µm, hasil yang didapat penyembuhan selama 9 hari, F1A dan
masih memenuhi syarat karena dalam Lanakloid-E memberikan waktu
literatur dinyatakan ukuran partikel yang penyembuhan 8 hari.
stabil secara fisik antara 1- 50 µm.
Hal ini menunjukkan bahwa
Hasil pemeriksaan uji iritasi basis krim dan krim ekstrak etanol daun
dilakukan langsung pada manusia ubi jalar dapat digunakan untuk
dengan cara uji tempel tertutup dimana penyembuhan luka bakar. Krim ekstrak
0,1 gr sediaan uji dioleskan pada lengan etanol daun ubi jalar dengan
atas bagian dalam dengan luas 4 cm2 , menggunakan basis krim yang
kemudian ditutup dengan kain kasa. mengandung Virgin Coconut Oil (VCO)
Setelah 24 jam diamati gejala yang mampu memberikan efektifitas lebih
timbul. Pemeriksaan ini dilakukan cepat dibandingkan dengan formula
terhadap 5 orang sukarelawan pada lainnya. Daun ubi jalar yang digunakan
masing-masing formula. Hasil mengandung flavonoid, saponin dan
pemeriksaan uji iritasi pada 5 orang polifenol, dimana saponin ini
sukarelawan menunjukkan tidak ada mempunyai kemampuan sebagai
satupun formula basis krim dan krim pembersih sehingga dapat membantu
ekstrak etanol daun ubi jalar yang mempercepat penyembuhan luka
mengakibatkan iritasi pada kulit panelis. terbuka. Flavonoid yang terkandung
didalam daun ubi jalar dapat digunakan
Pada uji efek basis krim dan sebagai pencegahan terhadap infeksi
krim ekstrak etanol daun ubi jalar dan luka karena mempunyai daya antiseptik
basis krim yang mengandung VCO dan (Harborne, 1987), sedangkan polifenol
yang tidak mengandung VCO terhadap
pengobatan luka bakar, ternyata

24
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

berkhasiat sebagai adstringen jika SARAN


dioleskan pada jaringan hidup, polifenol
dalam pengobatan berkhasiat sebagai Disarankan kepada peneliti
antiseptik yang berfungsi sebagai selanjutnya untuk memformula ekstrak
pelindung pada kulit dan bermanfaat etanol daun ubi jalar dalam bentuk
untuk regenerasi jaringan, VCO yang sediaan dan melakukan uji efektifitas
digunakan mampu mempercepat farmakologi yang lain.
penyembuhan luka bakar karena
merupakan minyak yang mengandung
asam lemak jenuh rantai sedang yang DAFTAR PUSTAKA
mendukung penyembuhan dan
perbaikan jaringan tubuh (Gani et al, Ancel, H.C., 1989, Pengantar Bentuk
2005). Dari perhitungan uji statistik Sediaan Farmasi, Ed. 4, alih
analisa variasi satu arah (ANOVA) bahasa oleh Farida Ibrahim,
diketahui bahwa krim ekstrak etanol Penerbit Universitas Indonesia.
daun ubi jalar dapat memberikan Jakarta.
penyembuhan terhadap luka bakar, Anief, M., 1990, Ilmu Meracik Obat,
dimana nilai F hitung perlakuan lebih Gaja Mada University Press,
kecil dari pada F tabel pada α 0,05. Yogyakarta.
Anief, M., 1994, Farmasetika, Gajah
KESIMPULAN Mada University Press,
Yogyakarta.
Berdasarkan penelitian yang Argomedia redaksi, 2008, Buku Pintar
telah dilakukan dapat diambil Tanaman Obat, Argomedia
kesimpulan sebagai berikut : Pustaka, Jakarta.
Asrahyuni, H., 2006, Formulasi Gel
1. Ekstrak etanol daun ubi jalar dan Ekstrak Etanol Daun Ubi Jalar.
Virgin Coconut Oil (VCO) dapat (Ipomoea batatas L.), Skripsi,
diformulasi dalam bentuk krim yang Fakultas Farmasi, Sekolah Tinggi
stabil secara fisika dan kimia selama Farmasi Indonesia Yayasan
8 minggu penyimpanan. Perintis, Padang.
Effendi, C., 1998, Parameter Pasien
2. Formula krim ekstrak etanol daun Luka Bakar, Penerbit Buku
ubi jalar (Ipomoea batatas L.) Kedoteran, Yogyakarta.
dengan basis krim yang Gani, Z., Herlinawati, Y., Dede, 2005,
mengandung VCO (F1B) Bebas Segala Penyakit dengan
memberikan efek penyembuhan VCO, Puspa Swara, Jakarta.
luka bakar yang paling cepat yaitu 7 Goodman, L.S., and Gilman, 1991,
hari. Pharmacologycal Basis of
th
Terapheutic, 8 Edition,
3. Dari perhitungan uji statistika Pergamos Press, New York.
analisa variasi satu arah (ANOVA) Hadibroto, C., Waluyo, Srikandi, 2006,
diketahui bahwa krim ekstrak etanol Diet VCO, PT. Gramedia, Jakarta.
daun ubi jalar dapat memberikan Harahap, M., 1990, Penyakit Kulit, PT.
penyembuhan terhadap luka bakar, Gramedia, Jakarta.
dimana nilai F hitung perlakuan Harbone, J.B., 1987, Metoda Fitokimia
lebih kecil dari pada F tabel pada α Penentuan Cara Modern
0,05 Menganalisa Tumbuhan, alih
bahasa oleh Kosasih

25
SCIENTIA VOL. 1 NO. 1, FEBRUARI 2011
ISSN : 2087-5045

,Padmawinata, Terbitan ITB, Tinggi Farmasi Indonesia


Bandung. Yayasan Perintis. Padang.
Hariana, A., 1995, Tumbuhan Obat dan Rukmana, R., 1997, Ubi Jalar Budi
Khasiatnya, Kanisius, Daya dan Pasca Panen, Kanisius,
Yogyakarta. Yogyakarta.
Jellinek, S.J., Formulation and Serial, F., 2005, Terapi Minyak Nabati
Fundaction of Cosmetics, Willey Keampuhan VCO dan 16 Minyak
Intercienci, New York, London. Ajaib, Cetakkan ke-1, PT
Juanda, D., 2000, Ubi Jalar Budidaya Samindra Utama, Jakarta.
dan Analisis Usaha Tani, Setiaji, B., 2006, Membuat VCO
Kanisius, Yogyakarta. Berkualitas Tinggi, Cetakan ke-2,
Khristianto, 2009, Penebar Swadaya, Jakarta.
http://ekasi.com/indek.php/inf- Syamsuni, H., 2006, Farmasetika
sehat/292-daun-ular-obat-dbd- Dasar dan Hitungan Farmasi,
paling-ampuh-?format=pdf Jakarta.
Lachman. L., H.A. Lieberman and J.L The National Formulary, 2007, USP
Kaning, 1994, Teori dan Praktek 30/ NF 25 Volume III, United
Farmasi Industri II, Ed.3, alih States of America.
bahasa oleh S.Suyami, Penerbit Voight, R., 1995, Buku Pelajaran
Universitas Indonesia, Jakarta. Teknologi Farmasi, Ed.5, alih
Mantagha, W., 1974, The Structure and bahasa oleh S.Noer, Universitas
Fuction of the Skin, New York. Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Martin, H.F., 1998, Fundamental of
Anatomy and Phsiologi, 4th
Edition, Prentice hall
International, Inc.
Martin, A.N. et al., 1962, Physical
pharmacy, 2th Edition, Lea and
Febiger, Philadelphia.
Moenajad, Y., 2001, Luka Bakar
Pengetahuan Klinis Praktis, Ed.
2, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Mursito, B., 2004, Sehat Diusia Lanjut
Dengan Ramuan Tradisional,
Penebar Swadaya, Jakarta.
Osol, A.H., 1975, Remigton
Pharmaceutical Science, 15th
edition, Mack Publishing Comp,
Easton, Pennsyluania.
Padda, M.S., 2006, Phenolic
Composition And Antioxidant
Activity Of Sweet Potatoes,
http//:etd.Isu.edu/docs/available/e
td-04062006-085455/
unrestricted/padda-dis.Pdf.
Rahim, F., 2006, Formulasi Krim
Minyak Kelapa Murni Untuk
Penyubur Rambut, Laporan
Penelitian Dosen Muda, Sekolah

26
UJI EFEKTIFITAS SEDIAAN SALEP LUKA BAKAR EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH PISANG
AMBON LUMUT (Musa acuminata Colla) TERHADAP HEWAN UJI KELINCI (Oryctolagus cuniculus)

Arief Azis *), Irawati **)

*)
Akademi Farmasi Yamasi Makkassar
**)
Program Studi Diploma III Farmasi Yamasi

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ekstrak etanol kulit buah pisang ambon lumut
memiliki efek luka bakar terhadap Hewan uji Kelinci (Oryctolagus cuniculus ). Ekstrak dibuat dengan cara
dimaserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Penelitian ini menggunakan Kelinci jantan sebanyak 3 ekor,dan
masing-masing kelinci diberi 4 luka dengan obat yang berbeda pada setiap lukanya yaitu pada luka pertama di
beri salep uji dengan konsentrasi ekstrak uji 10%,luka kedua dengan konsentrasi 20%, luka ketiga dengan
kontrol positif Burnazin krim dan luka ke empat dengan kontrol negatif menggunakan basis krim. Pemberian
salep ekstrak dilakukan sebanyak dua kali sehari selama 10 hari. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Ekstrak
etanol kulit buah pisang dengan konsentrasi 10% dan 20% dan kontrol positif menunjukkan efek penurunan luas
luka bakar dan peningkatan persentase penyembuhan luka bakar yang berbeda signifikan dengan kontrol negatif.
Salep ekstrak etanol kulit buah pisang ambon lumut dapat membantu dalam proses penyembuhan luka bakar.

Kata kunci : Kulit buah pisang ambon lumut, Musa acuminata Colla, Krim, Luka bakar.

PENDAHULUAN
Kulit buah pisang bahkan digunakan untuk
Seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat memurnikan air dan menyaring logam berat,
akan pengobatan yang aman, efektif, selektif dan terutama timbal (Pb) dan tembaga ( Cu )
ekonomis, masyarakat mulai beralih kepada (Sopyan,2012). Hal ini juga didukung oleh
pengobatan herbal. Pengobatan herbal ini kini penelitian Ehiowemwenguan dkk(2014) yang
menjadi salah satu pilihan terapi kesehatan yang menyatakan bahwa kulit buah pisang
populer ditengah kemajuan pengobatan modern. mengandung glikosida, alkaloid, saponin, tanin,
Masyarakat mulai membudidayakan tanaman dan flavonoid. Dimana untuk senyawa flavonoid
obat/herbal, baik dalam skala rumah tangga sendiri Beberapa penelitian sebelumnya telah
ataupun secara massal. Tanaman obat/herbal menunjukkan bahwa flavonoid merupakan
yang dibudidayakan dalam skala rumah tangga senyawa aktif yang dapat berperan dalam proses
lebih sering disebut sebagai Tanaman Obat penyembuhan luka bakar karena dapat
Keluarga (Winkanda Satria Putra, 2015). menghambat pertumbuhan bakteri pada jaringan
Beberapa bahan alam dapat digunakan hidup (Harris, 2011).
sebagai obat luka bakar, salah satunya adalah Meskipun pada waktu sekarang banyak obat-
Kulit buah pisang Ambon lumut (Musa obatan yang dibuat secara sintetik, tetapi tak
acuminata Colla).Pisang jenis ini memiliki boleh kita abaikan arti tumbuhan sebagai
banyak manfaat namun belum banyak penghasil bahan yang berkhasiat obat, seperti
dimanfaatkan oleh masyarakat. Kulit buah pisang dapat kita liat sendiri dari banyaknya antibiotika
dapat meredakan nyeri pada luka bakar, yang diperkenalkan dalam dunia pengobatan, dan
mengatasi gatal pada kulit, mengobati kulit, boleh dikatakan semua zat tersebut berasal dari
mempercepat penyembuhan luka yang sudah tumbuhan, seperti antara lain: penisilin,
mulai kering, dan menyuburkan tanah (sebagai streptomosin, klomisetin, dan lain-lain. Saya
pupuk). yakin, bahwa masih banyak tumbuhan lain
yang
sampai sekarang belum dikenal sebagai
tumbuhan yang berkhasiat obat. Kalau kita Pembuatan Salep Ekstrak Kulit Pisang Ambon
meninjau dari banyaknya tumbuhan yang
bahannya dipakai dalam obat tradisional oleh Tabel.1 Formula Salep dengan konsentrasi 10%
mereka yang tak mengenal ilmu pengobatan
modern, maka rasanya tinggal dilakukannya BAHAN JUMLAH
suatu penyelidikan ilmiah saja, untuk
memperoleh kepastian bahwa penduduk yang Ekstrak kulit buah pisang
mempergunakan macam-macam bahan tumbuhan ambon 10 %
itu memang beralasan, meskipun pemakaian dari
bahan-bahan tersebut tidak memakai dasar-dasar
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan Cera flava 0,25 gram
(Gembong Tjitrosoepomo, 2010). Adapun
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Vaselin flava Ad 10 gram
mengetahui apakah ekstrak etanol kulit buah
pisang ambon lumut memiliki efektivitas luka
bakar terhadap Hewan uji Kelinci (Oryctolagus
cuniculus ). Tabel.2 Formula Salep dengan konsentrasi 20 %

METODE PENELITIAN BAHAN JUMLAH


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini
Ekstrak kulit buah pisang
adalah timbangan analitik, beaker glass, batang
ambon 20 %
pengaduk, lumpang, alu, spatula, aluminium foil,
oven, kandang kelinci beserta tempat makan dan
minum, Lempeng besi, cawan, wadah maserat, Cera flava 0,25 gram
alat cukur, kain flanel, rotavafor, waterbath.
Bahan uji yang diguanakan dalam penelitian Vaselin flava Ad 10 gram
ini adalah Kulit buah pisang ambon lumut (Musa
acuminata Colla),Cera flava,Vaselin alba, Etanol
70%,Etanol 96 %, Kapas.
Pengambilan Sampel Salep dibuat dengan cara : Semua bahan yang
Buah Pisang Ambon lumut (Musa acuminata Colla), diperlukan di timbang terlebih dahulu,Lalu basis
diperoleh dari Kecamatan Pallangga, Kab Gowa. salep yaitu Cera flava dan Vaselin flava
Pengolahan sampel dimasukkan kedalam cawan dan selanjutnya
Kulit buah pisang ambon lumut (Musa acuminata dilebur bersama diatas penangas air. Setelah
Colla) yang telah diperoleh,Selanjutnya disortasi lebur dituang kedalam lumpang dan digerus
basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi perlahan,lalu ditambahkan sedikit demi sedikit
kering dan diangin-anginkan sesuai ketentuan yang ekstrak etanol kulit buah pisang dan digerus
berlaku. hingga homogen.
Pembuatan Ekstrak
Pada pembuatan ekstrak kulit buah pisang Persiapan Hewan Uji
ambon digunakan metode ekstraksi cara dingin Hewan uji yang digunakan adalah Kelinci
dengan maserasi dan menggunakan etanol 96% jantan berumur 3-5 bulan, dengan berat badan
sebagai pelarut. Simplisia kering ditimbang 800 – 1500 gram diadaptasi selama 1 minggu
kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol 96% agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
hingga sampel terendam. Pelarut diganti setiap Selama proses adaptasi, dilakukan pe ngamatan
hari,lalu hasil maserasi disaring sehingga kondisi umum.
diperoleh filtrat. Proses maserasi dilakukan
hingga larutan mendekati tidak Pembuatan Luka Bakar
berwarna.Selanjutnya filtrat yang diperoleh Luka bakar dibuat dibagian punggung kelinci
dipekatkan dengan menggunakan vacuum rotaty yang telah dicukur bulunya terlebih dahulu, Lalu
evaporator sampai diperoleh ekstrak kental yang ditempelkan lempeng besi yang telah dipijarkan.
dihasilkan kemudian ditimbang dan dicatat
beratnya.
HASIL PENELITIAN

Tabel.4 Hasil Pengukuran Pengecilan Luas Luka Bakar ekstrak etanol kulit buah pisang ambon lumut
(Musa acuminata Colla)

Hari Kelinci 1 Kelinci 2 Kelinci 3

Ke Uk1 Uk2 Kp Kn Uk1 Uk2 Kp Kn Uk1 Uk2 Kp Kn

1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

2 2 1,9 2 2 1,9 1,9 2 2 2 2 2 2

3 1,9 1,8 2 2 1,8 1,8 1,9 2 2 1,9 2 2

4 1,8 1,6 1,9 2 1,8 1,6 1,7 2 1,9 1,8 1,9 2

5 1,6 1,5 1,8 1,9 1,6 1,4 1,6 1,9 1,9 1,6 1,8 2

6 1,3 1,2 1,6 1,9 1,4 1,3 1,4 1,8 1,7 1,5 1,7 1,9

7 1,1 1 1,5 1,8 1,2 1,1 1,2 1,8 1,6 1,3 1,5 1,8

8 1 0,9 1,3 1,7 1 0,9 1,1 1,7 1,4 1,1 1,3 1,7

9 0,8 0,8 1,2 1,6 0,8 0,6 1 1,7 1,2 1 1,1 1,6

10 0,8 0,7 1 1,5 0,6 0,5 0,8 1,6 1 0,8 1 1,5

Keterangan :
Uji Konsentrasi 10 % ( Uk1 )
Uji Konsentrasi 20 % ( Uk2 )
Kontrol Positif ( Kp )
Kontrol Negative ( Kn )

PEMBAHASAN

Filtrat hasil maserasi diuapkan daya serap yang baik, Serta salep mudah
menggunakan vacuum rotary evaporator menyebar rata dan sedikit berminyak
dengan tujuan untuk menghilangkan sehingga lebih mudah dibersihkan, salep
pelarut sehingga didapatkan ekstrak dapat digunakan pada luka yang basah.
kental. Ekstrak etanol kulit buah pisang Hewan uji yang dipakai dalam
ambon lumut yang telah didapat, penelitian ini sebanyak 3 ekor kelinci
Kemudian didispersikan dalam basis jantan yang berumur 3-5 bulan. Kelinci
salep yang sesuai untuk diaplikasikan yang digunakan kelinci dengan bobot
pada luka. Adapun sediaan salep yang 800 – 1000 gram. Kelinci betina tidak
dipilih mempunyai beberapa keuntungan digunakan untuk menghindari pengaruh
yaitu sederhana dalam pembuatannya, hormonal dalam penyembuhan luka.
mudah dalam penggunaannya, memiliki Masing-masing Kelinci dicukur bulunya
pada daerah punggung, lalu diberi
perlakuan dengan menempelkan dapat memperkecil luka bakar pada
lempeng besi, setiap kelinci memiliki 4 hewan uji. Pengecilan luas luka
luka pada punggung. bakar
Setiap kelinci diberi pengobatan pada terjadi secara signifikan pada hewan uji
pagi dan sore hari , pengamatan luka yang diberikan salep ekstrak etanol kulit
dilakukan dengan seksama selama 2 hari buah pisang ambon lumut dengan
untuk melihat perubahan fisik yang konsentrasi 10%, 20%, dan kontrol
terjadi pada daerah perlakuan. positif terbukti Efektiv terhadap
Pengamatan luka yang terjadi pada uji penurunan luas luka bakar dan
konsentrasi 10%, uji konsentrasi 20%, peningkatan persentase rata-rata
burnazin krim dan basis krim. Dimana penyembuhan luka bakar, sedangkan
pada uji konsentrasi 10% dan 20% kontrol negatif tidak menunjukkan
terbentuknya keropeng (scrab ) dimulai penurunan luas luka bakar yang
pada hari ke 3 dan lepasnya keropeng signifikan.
(scrab) terjadi rata-rata pada hari 20 dan Mengecilnya luka bakar yang
sudah mengalami reduksi dibandingkan disebabkan adanya kerja dari senyawa
luas luka awal. Sedangkan pada kontrol senyawa flavonoid pada Beberapa
positif yaitu Burnazin krim dalam rentan penelitian sebelumnya telah
terbentuknya keropeng hampir rata-rata menunjukkan bahwa flavonoid
memiliki kesamaan dengan sampel uji merupakan senyawa aktif yang dapat
dan pada kontrol negatif hanya diberikan berperan dalam proses penyembuhan
basis krim yaitu basis krim tidak terlalu luka bakar karena dapat menghambat
berefek seperti sampel uji dan kontrol pertumbuhan bakteri pada jaringan hidup
positif. (Harris, 2011).
Pada proses pemberian obat pada
luka bakar dipunggung kelinci, KESIMPULAN
Menunjukkan beberapa perbedaan antara
lain:Pada hari pertama dan kedua rata- Berdasarkan hasil penelitian uji
rata belum menunjukkan perubahan, efektivitas penyembuhan luka bakar
Selanjutnya di hari ketiga dan keempat ekstrak etanol kulit buah pisang ambon
mulai terlihat perubahan pada luka mulai (Musa acuminata Colla), Pada hewan uji
terlihat perbedaan dari luka basah kelinci jantan diperoleh kesimpulan
menjadi sdikit mengering. Lalu pada bahwa, Ekstrak etanol kulit buah pisang
pada tiga hari selanjutnya terlihat ambon lumut pada uji konsentrasi 10%,
perubahan luka yg telah kering secara 20%, dan kontrol positif terbukti efektiv
keseluruhan pada Salep dengan uji terhadap penurunan luas luka dan
konsentrasi 20 % terlihat perubahan yg peningkatan persentase rata-rata
banyak dibandingkan dengan uji penyembuhan luka bakar, sedangkan
konsentrasi 10 % dan pada kontrol kontrol negatif tidak menunjukkan
positif itu sendiri dan pada kontrol penurunan luas luka bakar yang
negatif dengan menggunakan basis salep signifikan.
terlihat sangat signifikan dengan yang
lainnya. Pada hari ke sepuluh terlihat SARAN
luka pada punggung Kelinci sudah
hampir sembuh secara keseluruhan, Perlu dilakukan penelitian lebih
Seperti yang terlihat pada data yang lanjut dengan konsentrasi ekstrak yang
dihasilkan bahwa rata-rata diameter luka lebih bervariasi untuk mengetahui
pada kelinci dengan pemberian konsentrasi yang optimal yang dapat
konsentrasi 10 % memiliki hasil akhir mempercepat penyembuhan luka bakar,
0,8 cm dari sebelumnya 2 cm ukuran dan perlu dilakukan uji toksisitas
luka,dan konsentrasi 20 % sisa 0,6 cm, terhadap semua sampel uji terutama
Kontrol positif ( Burnazin krim ) 0,9 cm Ekstrak etanol kulit buah pisang ambon
dan kontrol negatif hanya 1,5 cm . untuk mengetahui batasan konsentrasi
Berdasarkan penelitian yang yang aman untuk digunakan
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
ekstrak etanol kulit buah pisang ambon
DAFTAR PUSTAKA Putra Winkanda Satria. 2015. Kitab
HERBAL NUSANTARA“kumpulan
Dalimartha, S., 2003, Atlas Tumbuhan resep& ramuan tanaman obat untuk
Obat Indonesia, Jilid III, 96-107, berbagai gangguan kesehatan”.
Trubus Agriwidya, Jakarta. Yogyakarta.

Anief, M., 1997, Formulasi Obat Tim Penyusun. 2016. Penuntun


Topikal dengan Dasar Penyakit Praktikum Fitokimia. Akademi
Kulit, 31-41, Gadjah Mada FarmasiYamasi Makassar.
University Press, Yogyakarta.
Hustamin, Rudy. Panduan Memelihara
Effendi, C., 1999, Perawatan Pasien Kelinci Hias, : Jakarta.
Luka Bakar, 5-35, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta Penerbit Agro Media Pusaka. 2006 Uji
Efek penyembuhan luka bakar salep
Moenadjat, Y., 2003, Luka Bakar, Edisi ekstrak etanol kulit buah pisang
Kedua, 1-6, 9, Fakultas Kedokteran, (Musa paradisiaca L.) Basis tercuci
Universitas Indonesia Press, Jakarta pada kulit punggung kelinci jantan
new Zealand.
Backer C.A, and van den Brink,
B.R.C., 1968, Flora Of Java Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 2-11,
(Spermatophytes only), Vol III, Departemen Kesehatan Republik
Wolters, N. N.V. Groningen, Indonesia, Jakarta.
Netherlands
Anonim, 1989, Materia medica, Edisi V,
Chabuck, Z., Hindi, N., Al -Charrakh, 217, Departemen Kesehatan
A.H., 2013, Antimicrobial Effect of Republik Indonesia, Jakarta.
Aqueous Banana Extract, Research
Gate: Pharmaceutical Sciences, pp. Voigt, R., 1994, Buku Pelajaran
73-75 Teknologi Farmasi, 551-584,
Diterjemahkan oleh Suwandhi S.N.,
Hustamin, Rudy. Panduan Memelihara Gadjah Mada University Press,
Kelinci Hias, : Jakarta : Penerbit Yogyakarta.
Agro Media Pusaka. 2006 Uji
Efektivitas Gel Ekstrak Etanol Daun Jawetz, dkk, 2007, Mikrobiologi
Alpukat (Persea americana Mill). Kedokteran Edisi 23, EGC : Jakarta
Sebagai Obat Luka Sayat Pada
Kelinci (Orictolagus cuniculus).
Ulima Larissa, Anggraini Janar Wulan, dan Arif Yudho Prabowo| Pengaruh Binahong terhadap Luka Bakar Derajat II

Pengaruh Binahong terhadap Luka Bakar Derajat II


Ulima Larissa1, Anggraini Janar Wulan2, Arif Yudho Prabowo3
1
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
2,3
Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak
Luka bakar merupakan kejadian yang sering terjadi terutama luka bakar derajat II. Penyembuhan luka bakar sangat
tergantung dengan manajemen luka yang baik. Banyak pengobatan yang bisa didapatkan salah satunya adalah dengan cara
tradisional. Obat Tradisional telah dipercaya sejak dahulu selain itu dengan harga lebih murah, bahan yang mudah didapat
serta efek samping yang lebih kecil. Binahong Anredera cordifolia (Ten.) atau Steenis atau disebut juga dheng san chi
dipercayai dapat menyembuhkan berbagai penyakit salah satunya membantu penyembuhan pada luka bakar derajat II.
Bagian tanaman binahong yang bermanfaat sebagai obat pada umumnya adalah daun. Tujuan gagasan terapan ini adalah
untuk mengetahui senyawa-senyawa kimia yang terkandung didalam daun binahong yang dapat mempercepat
penyembuhan luka bakar. Daun Binahong memiliki berbagai kandungan yaitu saponin, flavonoid, alkaloid, polifenol, asam
askorbat, asam oleanolik yang mempunyai sifat anti bakteri dimana infeksi merupakan salah satu penghambat
penyembuhan luka bakar. Beberapa bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Klebsiella spp. Enterococcus spp merupakan kontaminan utama pada luka bakar, selain sebagai anti bakteri kandungan
tersebut juga mempunyai sifat seperti antiinflamasi, analgetik, dan antoksidan. Berbagai kandungan tersebut dapat
mempercepat penyembuhan luka bakar derajat II.

Kata kunci: antibakteri, binahong, luka bakar, obat tradisional.

The Effects of Binahong in Second-Degree Burn Wound


Abstract
Burn often happen in society and the second degree burns is the highest prevalence. Burn healing is dependent on good
woundcare management. There are several way to cure burn, one of those is traditional therapy. Traditional medicine has
been trusted since a long time ago and the price is cheaper, easy to get and the effect is minimal. One of the traditional
plant that can help in the process of healing is Binahong Anredera cordifolia (Ten.)atau Steenis or dheng san chi. Plants
binahong (Anredera cordifolia) is a medicinal plant which can potentially overcome many kinds of diseases, include second
degree burns. Part of binahong’s plant that used as medicine usually is the leaf, binahong’s leafs. The purpose of making
this idea is applied to know the chemical compounds contained in Binahong that help to cure the burn. Binahong’s leaf
have many chemical compounds such as saponin, flavonoid, alkaloid, polifenol, asam askorbat, asam oleanik that have
antibacterial, Infection is one of the cause that inhibit the process of burn healing, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Klebsiella spp., Enterococcus are the main bacteri that usually exist in burn. These
chemical compounds in binahong’s leaf also have anti-inflammatory, analgetic, antioxidant. These chemical compound in
binahong’s leafs can be used to help wound healing process.

Keywords: antibacterial, binahong, burn, traditional medicine

Korespondensi : Ulima Larissa, alamat Jl. Pangeran Emir M.Noer Gg.Camar No 41A, HP 082269233696, e-mail
ulimalsl@gmail.com

Pendahuluan
Luka bakar merupakan salah satu insiden seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan
yang sering terjadi di masyarakat. Kurang lebih radiasi. Derajat luka bakar terbagi atas 4, yaitu
2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika luka bakar derajat I, luka bakar derajat IIa, luka
Serikat setiap tahunnya dari kelompok ini bakar derajat IIb, dan luka bakar derajat III. Luka
200.000 pasien memerlukan penanganan rawat bakar yang sering ditemukan adalah luka bakar
jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit, derajat II. Luka bakar dipengaruhi oleh luas,
sekitar 12.000 meninggal setiap tahunnya. dalam, dan daerah yang terlibat. Semakin dalam
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) dan luas lukanya maka akan meningkatkan
2013, prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar resiko infeksi.3,4,5
0,7%. Prevalensi Tertinggi terjadi pada usia 1-4 Penanganan dalam penyembuhan luka
tahun.1,2 bakar antara lain mencegah infeksi dan memberi
Luka bakar adalah suatu bentuk kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk
kerusakan atau kehilangan jaringan yang berpoliferasi dan menutup permukaan luka
disebabkan kontak dengan sumber panas Penyembuhan luka melewati tiga fase, yaitu fase
Majority| Volume 7 Nomor 1 | November 2017| 130
Ulima Larissa, Anggraini Janar Wulan, dan Arif Yudho Prabowo| Pengaruh Binahong terhadap Luka Bakar Derajat II

inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling. luas, dan letak luka. Umur dan kesehatan
Faktor yang bisa mengganggu dan menghambat penderita sebelumnya juga mempengaruhi
proses penyembuhan ini adalah infeksi. prognosis. Kedalaman luka bakar ditentukan
Beberapa bakteri aerob seperti Pseudomonas oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu
aeruginosa, Staphylococcus aureus, Escherichia tinggi. Terdapat 3 derajat pada luka bakar. Luka
coli, Klebsiella spp., Enterococcus spp diketahui bakar derajat I hanya mengenai lapis luar
sering menjadi kontaminan utama pada luka epidermis, kulit merah, sedikit edema dan nyeri.
bakar. Perawatan dan rehabilitasi luka bakar Tanpa terapi sembuh dalam 2-7 hari. Luka bakar
memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga derajat II mengenai epidermis dan sebagian
terlatih dan terampil. Ada banyak obat untuk dermis, terbentuk bula, edema nyeri hebat. Bila
penatalaksanaan dari luka bakar tersebut bula pecah tampak daerah merah yang
diantaranya adalah hidrogel, silver sulfadiazine, mengandung banyak eksudat. Sembuh dalam 3-
MEBO dan lain-lain. Pengobatan gold standar 4 minggu. Luka bakar derajat III mengenai
yaitu Silver sulfadiazine merupakan terapi seluruh lapisan kulit dan kadang-kadang
topikal dalam bentuk krim 1% untuk luka bakar mencapai jaringan di bawahnya. Tampak lesi
memiliki harga yang relatif mahal. Selain itu, pucat kecoklatan dengan permukaan lebih
dengan menggunakan antibiotik sebagai obat rendah daripada bagian yang tidak terbakar. Bila
luka bakar dapat menimbulkan resistensi obat. akibat kontak langsung dengan nyala api,
Untuk itu diperlukan alternatif lain untuk terbentuk lesi yang kering dengan gambaran
mengobati dan mencegah resistensi yang koagulasi seperti lilin di permukaan kulit. Tidak
memiliki potensi tinggi yang menghambat atau ada rasa nyeri (dibuktikan dengan tes pin-prick).
membunuh bakteri dengan harga yang Akan sembuh dalam 3-5 bulan dengan
terjangkau. Salah satu alternatifnya adalah sikatrik.10,11
memanfaatkan zat aktif yang dapat membunuh Komplikasi yang sering terjadi dari
bakteri yang terkandung dalam tanaman kejadian luka bakar adalah syok neurogenik Luka
obat.1,2,3,5,6,7 bakar dapat menyebabkan gangguan vasomotor
Salah satu tanaman yang sering digunakan akibat maldistribusi aliran darah karena
sebagai obat tradisional adalah Anredera vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang
cordifolia atau yang dikenal oleh masyarakat bersirkulasi tidak adekuat menunjang perfusi
disebut dengan nama Binahong. Binahong jaringan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu
merupakan tanaman obat dari dataran Tiongkok tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
yang dikenal dengan nama asli dheng san chi. darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga
Seluruh bagian tanaman Binahong dapat dapat terjadi anemia. Meningkatnya
dimanfaatkan mulai dari akar (umbi), batang, permeabilitas menyebabkan edema dan
dan daunnya. Daun Binahong dipercaya menimbulkan bula yang mengandung banyak
berkhasiat untuk mencegah infeksi pada luka elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya
bakar sehingga secara tidak langsung dapat volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit
mempercepat proses penyembuhan luka akibat luka bakar menyebabkan kehilangan
bakar.2,8 cairan akibat penguapan yang berlebihan,
masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada
Isi luka bakar derajat dua, dan pengeluaran cairan
Luka bakar merupakan respon kulit dan dari keropeng luka bakar derajat tiga. Bila luas
jaringan subkutan terhadap trauma suhu/termal luka bakar kurang dari 20% akan terjadi syok
seperti api, air panas, listrik atau zat-zat yang hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti
bersifat membakar seperti asam kuat dan basa gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan
kuat. Luka bakar dengan ketebalan parsial cepat, tekanan darah menurun dan produksi
merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-
kulit maupun hanya merusak sebagian dari pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam.11,12
epitel. Luka bakar dengan ketebalan penuh Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi
merusak semua sumber-sumber pertumbuhan pada kulit mati, yang merupakan medium yang
kembali epitel kulit.9,10 baik untuk pertumbuhan kuman, akan
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi
derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
bakar. Beratnya luka tergantung pada dalam, kapiler yang mengalami trombosis. Padahal

Majority| Volume 7 Nomor 1 | November 2017| 131


Ulima Larissa, Anggraini Janar Wulan, dan Arif Yudho Prabowo| Pengaruh Binahong terhadap Luka Bakar Derajat II

pembuluh ini membawa sistem pertahanan usus, sembelit, sesak napas, sariawan berat,
tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi sakit perut, kandungan, maag, asam urat,
pada luka bakar, selain berasal dari kulit meningkatkan vitalitas dan daya tahan tubuh,
penderita sendiri juga, juga bisa didapat dari serta dapat menyembuhkan luka baik karena
kontaminasi saluran nafas dan kontaminasi tergores maupun terbakar. 8,13
kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi Bagian yang dipakai dari Binahong untuk
Pseudomonas sp dapat dilihat dari warna hijau luka bakar adalah daunnya. Kandungan yang
pada kasa penutup luka bakar. Kuman terdapat pada Binahong yaitu saponin,
memproduksi enzim penghancur keropeng yang flavonoid, alkaloid, polifenol, asam askorbat.
bersama dengan eksudasi oleh jaringan Binahong memiliki kandungan flavonoid sebesar
granulasi membentuk nanah. Infeksi ringan dan 11,266 mg/kg (segar) dan 7687 (kering).
noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan Sedangkan ekstrak ethanolic yang dikandung
keropeng yang mudah terlepas dengan nanah Binahong memiliki antioxidant yang totalnya
yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai 4,25 mmol/100g (segar) dan 3,68 mmol/100g
dengan keropeng yang kering dengan (kering).5
perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula- Saponin mempunyai kemampuan sebagai
mula sehat menjadi nekrotik, akibatnya luka pembersih dan mampu memacu pembentukan
bakar yang mula-mula derajat dua bisa menjadi kolagen I. Saponin bekerja sebagai antibakteri
derajat tiga.11 dengan mengganggu stabilitas membran sel
Penggunaan obat medis yang terus- bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis,
menerus akan menimbulkan efek samping jadi mekanisme kerja saponin termasuk dalam
bahkan dapat menimbulkan penyakit baru dan kelompok antibakteri yang mengganggu
alternatif lain untuk mengurangi resiko tersebut permeabilitas membran sel bakteri, yang
adalah dengan cara tradisional. Pengobatan mengakibatkan kerusakan membran sel dan
tradisional menggunakan tanaman telah menyebabkan keluarnya berbagai komponen
berkembang karena besarnya potensi penting dari dalam sel bakteri yaitu protein,
kesembuhan dan beban keuangan yang lebih asam nukleat dan nukleotida. Flavanoid
ringan. Salah satu tanaman yang memiliki merupakan senyawa yang mempunyai
khasiat dalam mengobati luka bakar derajat II bermacam-macam efek yaitu, antiinflamasi,
adalah binahong (Anredera cordifolia (Ten.) analgetik, antiradang, dan antioksidan.
Steenis) (Rohmawati, 2007). Binahong adalah Flavanoid memiliki mekanisme kerja dalam
Binahong adalah tanaman yang berasal dari menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara
daratan Tiongkok (Cina) dan dikenal dengan inaktivasi protein pada membran sel, dapat
nama asli Dheng Shan Chi, memiliki nama lain, menghambat jalur lipoksigenase dan
yaitu: Boussingaultia gracilis Miers, siklooksigenase dalam metabolisme asam
Boussingaultia cordifolia, Boussingaultia arakidonat Seluruh proses ini menyebabkan
baselloides, Cina (teng sar chi), Inggris (madeira penurunan infiltrasi sel-sel radang ke area luka
vine). Klasifikasi ilmiah dari binahong ini yaitu sehingga terjadi penurunan jumlah PMN.
Divisi Magnoliophyta (berbunga), kelas Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan
Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Ordo sekunder yang terbesar. Alkaloid mencakup
Caryophyllales, Familia Basellaceae, Genus senyawa bersifat basa yang mengandung satu
Anredera, Spesies Anredera cordifolia (Ten.) atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam
Steenis.8 gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik.
Daun Binahong merupakan salah satu Alkaloid sering bersifat racun bagi manusia dan
tanaman yang berdaun tunggal, bertangkai banyak mempunyai efek fisiologis yang
sangat pendek, tulangnya menyirip, tersusun menonjol, jadi digunakan secara luas dalam
berseling, warna hijau muda, berbentuk jantung bidang pengobatan. Polifenol memiliki
(cordata), memiliki panjang sekitar 5-10 cm dan kandungan antioksidan diyakini memiliki khasiat
lebar sekitar 3-7 cm, helaian daun tipis lemas, meningkatkan kemampuan anti-inflamasi dan
ujungnya runcing, pangkal berbelah, tepi rata kekebalan tubuh. Asam Askorbat (Vitamin C)
atau bergelombang, permukaan halus dan licin. pada binahong dapat meningkatkan daya tahan
Binahong memiliki berbagai macam manfaat terhadap infeksi, memelihara membran mukosa
yaitu membantu menyembuhkan diabetes, dan mempercepat penyembuhan luka. Daun
pembengkakan jantung, muntah darah, radang binahong juga mempunyai kandungan asam

Majority| Volume 7 Nomor 1 | November 2017| 132


Ulima Larissa, Anggraini Janar Wulan, dan Arif Yudho Prabowo| Pengaruh Binahong terhadap Luka Bakar Derajat II

oleanolik yang mempunyai khasiat anti inflamasi aerob seperti Pseudomonas aeruginosa,
dan bisa mengurangi rasa nyeri pada luka bakar. Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Binahong memiliki efek antibakteri yang Klebsiella spp., Enterococcus spp diketahui
membantu mengurangi resiko infeksi pada luka sering menjadi kontaminan utama pada luka
bakar. Berdasarkan penelitian Chirstiawan, bakar.2,11
2010, Binahong tidak mempunyai efek pada Salah satu tanaman yang memiliki khasiat
Staphylococcus aureus dengan pemberian dalam mengobati luka bakar derajat II adalah
konsentrasi 10% tetapi Binahong dapat Binahong/Anredera cordifolia. Untuk Luka bakar
menghambat pertumbuhan Pseudomonas bagian yang dipakai dari Binahong adalah
aeruginosa yang biasanya ditemukan 20% pada daunnya. Kandungan yang terdapat pada
penderita luka bakar. 1,5,8,13,14 Binahong yaitu saponin, flavonoid, alkaloid,
polifenol, asam askorbat. Saponin merusak
Ringkasan membran sel bakteri sehingga bakteri lisis.
Luka bakar adalah suatu kehilangan Flavanoid merupakan senyawa yang mempunyai
jaringan yang disebabkan kontak dengan bermacam-macam efek yaitu, antiinflamasi,
sumber panas seperti api, air panas, bahan analgetik, antiradang, dan antioksidan. Alkaloid
kimia, listrik dan radiasi. Derajat luka bakar mempunya efek fisiologs yang menonjol.
terbagi atas 4, yaitu luka bakar derajat I, luka Polifenol memiliki kandungan antioksidan yang
bakar derajat IIa, luka bakar derajat IIb, dan luka meningkatkan anti inflamasi dan kekebalan
bakar derajat III. Luka bakar yang sering tubuh. Asam Askorbat dapat meningkatkan daya
ditemukan adalah luka bakar derajat II. tahan terhadap infeksi, memelihara membran
Penyembuhan luka melewati tiga fase, yaitu fase mukosa dan mempercepat penyembuhan. Asam
inflamasi, fase proliferasi dan fase oleanolik yang mempunyai khasiat anti inflamasi
remodeling.3,4,5 dan bisa mengurangi rasa nyeri pada luka bakar.
1,5,8,13,14
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan
derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka
bakar. Beratnya luka tergantung pada dalam, Simpulan
luas, dan letak luka. Umur dan kesehatan Daun Binahong mengandung senyawa
penderita sebelumnya juga mempengaruhi yaitu saponin, flavonoid, alkaloid, polifenol,
prognosis. Luka bakar sering tidak steril. asam askorbat, asam oleanolik yang dapat
Kontaminasi pada kulit mati, merupakan membantu menyembuhkan luka bakar derajat
medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, II.
akan mempermudah infeksi Beberapa bakteri

Daftar Pustaka
1. Syuhar MN , Windarti I, Kurniawati E. The Steenis ) and Hydrogel On White Rats (
Comparison of Second Degree Burns Rattus norvegicus ) Sprague Dawley Strain.
Healing Rate Between The Smear of Honey Jurnal Kedokteran Unila. 2014;2(2) :1–10.
And The Collision of Binahong Leaves In 4. Song C. Penanganan Luka Bakar Terkini. In:
Sprague Dawley Rats Perbandingan Tingkat Penanganan Luka Bakar. 2006.hlm. 23–5.
Kesembuhan Luka Bakar Derajat II Antara 5. Prasetyo AT, Herihadi E. The Application of
Pemberian Madu Dengan Tumbukan Daun Moist Exposed Burn
Binahong Pada Tikus. Journal Ointment.2006.hlm.142–6.
Majority.2015;6(1):103–12. 6. Rohimah S, Kurniasih ELI. Jurnal Kesehatan
2. Christiawan A, Perdanakusuma D. Aktivitas Bakti Tunas Husada Volume 13 Nomor 1
Antimikroba Daun Binahonng terhadap Februari 2015. J Kesehat Bakti Tunas
Pseudomonas Aeruginosa dan Husada. 2015;13(1):213–27.
Staphylococcus Aureus yang Sering Menjadi 7. Sprague G. Perbandingan Tingkat
Penyulit pada Luka Bajar. J Ilmu Bedah Kesembuhan Luka Bakar Derajat II antara
Plast. 2010;1(1):1–6. Pemberian Mahasiswa Fakultas Kedokteran
3. Persada AN, Windarti I, Fiana DN. The Universitas Lampung , 2 ) Staf Pengajar
Second Degree Burns Healing Rate Fakultas Level Comparison of Recovery
Comparison Between Topical Mashed Second Degree Burns Between Giving
Binahong ( Anredera cordifolia (Ten.) Honey Nectar Coffee with Silver

Majority| Volume 7 Nomor 1 | November 2017| 133


Ulima Larissa, Anggraini Janar Wulan, dan Arif Yudho Prabowo| Pengaruh Binahong terhadap Luka Bakar Derajat II

Sulfadiaz.Jurnal kedokteran Unila.2014;2(3) 12. Leksana E. Dehidrasi dan Syok. Cdk-228.


:24–32. 2015;42(5):391–4.
8. Fitriyah N. Obat Herbal Antibakteri Ala 13. Umar A, Krihariyani D, Mutiarawati DT.
Tanaman. KesMaDaSka. 2013. Pengaruh-Pemberian-Ekstrak-Daun-
9. Grace PA, Borley NR. At a Glance Ilmu Binahong.Pdf. 2012.
Bedah. Edisi Ke-3. Safitri A, editor. Erlangga; 14. Ainurrochmah A, Ratnasari E, Lisdiana L.
2006. Efektivitas Ekstrak Daun Binahong
10. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan (Anredera cordifolia) terhadap
Medik. Binarupa Aksara; 2017. Penghambatan Pertumbuhan Bakteri S
11. Sjamsuhidajat R, Jong W de. Buku Ajar Ilmu higella flexneri dengan Metode Sumuran. J
Bedah. Edisi Ke-2. EGC; 2005. LenteraBio. 2013;2(3):233–7.

Majority| Volume 7 Nomor 1 | November 2017| 134


Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

PENINGKATAN PENGETAHUAN BAHAYA LUKA BAKAR DAN P3K


KEGAWATAN LUKA BAKAR PADA ANGGOTA RANTING AISYIYAH

IMPROVING KNOWLEDGE OF BURNS INJURY AND FIRST AID IN BURNS INJURY AMONG
AISYIYAH RANTING MEMBERS

Meida Laely Ramdani


Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Jln. Soepardjo Rustam, KM 7 Soakaraja-Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah 53171
*Email: meidalaely854@gmail.com

ABSTRAK
Latar Belakang: luka bakar merupakan bentuk trauma yang terjadi sebagai akibat dari aktifitas manusia dalam
rumah tangga, industri, trafic accident, maupun bencana alam. Penderita luka bakar yang paling rentan adalah
pada wanita karena peran utama mereka dalam keluarga yaitu banyak yang bersinggungan dengan api dan listrik
seperti memasak dan menyetrika. Penanganan luka bakar yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak yang
akan merugikan penderita.
Tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang cidera luka bakar, serta pertolongan pertama
kegawatdaruratan yang tepat pada luka bakar pada anggota ranting Aisyiyah Sidabowa, kecamatan Patikraja.
Metode: program ini diberikan dengan metode ceramah, dan pemaparan materi menggunakan alat audio visual
laptop dan LCD. Setelah pemaparan materi dilanjutkan dengan pemutaran video edukasi pertolongan pertama
pada cidera luka bakar, setelah pemutaran video dilanjutkan dengan simulasi/ demonstrasi tata cara pertolongan
pertama pada cidera luka bakar termasuk mengenalkan jenis-jenis bahan dan obat yang direkomendasikan untuk
pertolongan pertama luka bakar. Dan yeng terakhir adalah sesi diskusi
Hasil: peserta memahami gambaran umum seputar luka bakar dan bahayanya serta peserta bisa mengerti
penanganan P3K yang tepat. Peserta bisa menjawab pertanyaan pemateri dan berdiskusi terkait materi yang
disampaikan.
Kesimpulan: terdapat peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya luka bakar dan penanganan
P3K luka bakar.

Kata Kunci : Luka bakar, P3K, Peningkatan Pengetahuan

ABSTRACT
Background: Burns are a kind of trauma that occurs as a result of human activities in the household, industry,
traffic accidents, and natural disasters. The most vulnerable burn sufferers are women because of their main
role in the family, many of their activities are contact with fire and electricity such as cooking and ironing.
Improper handling of burns can have an adverse impact on sufferers
The aim of this program was to increase knowledge about burn injuries, as well as proper emergency first aid
treatment of burns to the members of Aisyiyah Sidabowa, Patikraja
Method: this program was provided with the lecture method, and the presentation of material used audio visual
tools, such as laptop and LCD. After giving the material, we continued with educational videos for first aid in
burn injuries, after that we also gave them a simulation / demonstration of procedures for first aid in burn
injuries including introducing the types of materials and drugs recommended for it. The last was a discussion
session.
Results: participants understand about burns and the dangers, as well as participants can understand the
proper handling of burn injury first aid. Participants can answer the speakers' questions and discuss the
material that presented.
Conclusion: there is an increase in knowledge and understanding about burns, partisipants also understand
about appropriate first aid of burn injury.

Keywords: Burns, First Aid, Knowledge enhancement

103
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

PENDAHULUAN
Menurut WHO, secara luas mendefiniskan luka bakar sebagai cidera yang disebabkan oleh
panas (objek panas, gas atau api), bahan kimia, listrik dan petir, gesekan, atau radiasi. Luka bakar
merupakan bentuk trauma yang terjadi sebagai akibat dari aktifitas manusia dalam rumah tangga,
industri, trafic accident, maupun bencana alam. Penderita luka bakar yang paling rentan adalah pada
wanita peran utama mereka dalam keluarga yaitu banyak yang bersinggungan dengan api dan listrik
seperti memasak dan menyetrika (Ahuja & Bhattacharya, 2004). Demikian pula anak kecil (< 10
tahun) dan orang tua (usia >50 tahun) merupakan kriteria tertinggi terhadapa luka bakar berat
(Giovany, Pamungkas & Inayah, 2015).
Di Indonesia angka kematian akibat luka bakar masih tinggi sekitar 40%, terutama diakibatkan
oleh luka bakar berat. Menurut studi analisis yang dilakukan oleh Martina dan Wardhan (2015) di
Unit Luka Bakar RSCM dari Januari 2011-Desember 2012, terdapat 275 pasien luka bakar dan 203
diantaranya adalah dewasa. Dari studi tersebut jumlah kematian akibat luka bakar pada pasien dewasa
yaitu 76 pasien (27,6%). Diantara pasien yang meninggal, 78% disebabkan oleh api, luka bakar listrik
(14%), air panas (4%), kimia (3%) dan metal (1%). Hasil penelitian dari Rybarczyk, et al (2017) dari
melaporkan bahwa kelompok anak anak menjadi yang paling beresiko terhadap cidera luka bakar dan
seseorang yang terkena luka bakar di rumah, cairan panas dan api adalah penyebab yang paling sering
terjadi.
Penanganan luka bakar yang kurang tepat dapat menimbulkan dampak yang akan merugikan
penderita. Baik buruknya perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang
dimiliki. Semakin tinggi pengetahuan maka perilaku seseorang terhadap suatu masalah akan semakin
baik (Mustika, 2015). Sehingga sangat perlu adanya penanganan atau pertolongan pertama pada luka
bakar yang benar. Pertolongan pertama adalah penanganan yang diberikan saat kejadian atau bencana
terjadi di tempat kejadian, sedangkan tujuan dari pertolongan pertama adalah menyelamatkan
kehidupan, mencegah kesakitan makin parah, dan meningkatkan pemulihan (Paula, K., dkk,2009).
Terdapat kebiasaan masyarakat yang kurang tepat, seperti halnya yang dilkaukan oleh beberapa
masyarakat lingkungan Aisyiah Ranting Sidabowa jika mengalami luka bakar. Banyak orang yang
memberikan pertolongan pertama pada kasus luka bakar dengan mengoleskan pasta gigi, mentega,
kecap, minyak, dan masih banyak lagi anggapan dan kepercayaan seseorang yang selama ini diyakini
di masyarakat. Hingga kini masih banyak masyarakat yang percaya dengan hal tesebut. Ada juga yang
mengompres dengan air es atau air dingin. Kebiasan-kebiasan tersebut adalah cara yang tidak
direkomendasikan karena akan menambah keparahan luka bakar dan bisa menyebabkan masalah lebih
lanjut seperi infeksi dan pembengkakan. Penanganan dalam penyembuhan luka bakar antara lain
mencegah infeksi, memacu pembentukan kolagen dan mengupayakan agar sisa-sisa sel epitel dapat
berkembang sehingga dapat menutup permukaan luka (Syamsuhidayat dan Jong, 2004). Hal tersebut
justru akan merusak jaringan kulit lebih dalam (Rionaldo D, 2014).
Perlu diketahui bahwa penyebab angka kematian dan kecacatan akibat kegawat daruratan
adalah tingkat keparahan akibat kecelakaan, kurang memadainya peralatan, sistem pertolongan dan
pengetahuan penanganan korban yang tidak tepat dan prinsip pertolongan awal yang tidak sesuai.
Pengetahuan penanggulangan penderita gawat darurat memegang posisi besar dalam menentukan
keberhasilan pertolongan. Banyak kejadian penderita pertolongan pertama yang justru meninggal
dunia atau mengalami kecacatan akibat kesalahan dalam pemberian pertolongan awal.
Ketergantungan masyarakat kepada tenaga medis untuk melakukan tindakan penyelamatan dasar bagi
korban kecelakaan, sudah waktunya di tinggalkan. Hal ini karena kurangnya kemampuan masyarakat
dalam pertolongan pertama pada kecelakaan (Azhari, 2011). Apabila penanganan luka bakar tidak
benar berdampak timbulnya beberapa macam komplikasi. Luka bakar tidak hanya menimbulkan
kerusakan kulit, tetapi juga mempengaruhi seluruh system tubuh pasien. Pada pasien dengan luka
bakar luas (mayor) tubuh tidak mampu lagi untuk mengkompensasi sehingga timbul berbagai macam
komplikasi yang memerlukan penanganan khusus (Moenadjat, 2009). Dalam meminimalisir angka
kejadian kecacatan dan kematian yang ditimbulkan akibat luka bakar, Dibutuhkan peran aktif
perawat, mahasiswa keperawatan, dan petugas Kesehatan lainya termasuk Dinas Kesehatan dalam
pencegahan kebakaran dan penanganan luka bakar dengan mengajarkan konsep-konsep pencegahan

104
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

dan pertolongan pertama kegawatdaruratan pada luka bakar. Selain itu perlu merubah keyakinan
masyarakat yang masih menggunakan odol dalam penanganan luka bakar dan mengajarkan cara
penanganan luka bakar yang benar.
Dari beberapa pernyataan di atas dapat diketahui bahwa kejadian luka bakar di masyarakat
masih cukup tinggi, khususnya pada kaum wanita dan tingkat pengetahuan masyarakat tentang
pertolongan pertama kegawatdaruratan pada luka bakar masih rendah Pada masyarakat ini juga belum
pernah dilakukan penyuluhan tentang bahaya luka bakar dan pertolongan pertamanya. Untuk itu perlu
dilakukannya upaya peningkatan pengetahuan bahaya luka bakar dan P3K kegawatan Luka Bakar
pada Anggota Ranting Aisyiyah Sidabowa, kecamatan Patikraja. Tujuan dari kegiatan ini adalah
untuk meningkatkan pengetahuan tentang bahaya luka bakar dan kemampuan penatalaksanaan
pertolongan pertama cidera luka bakar.

METODE

Pada program ini, digunakan beberpa metode yang digunakan. Yang pertama adalah
melakukan persiapan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan kesehatan, koordinasi dengan mitra.
Kedua, mengadakan kegiatan pendidikan kesehatan dengan metode ceramah, yaitu digunakan untuk
memaparkan materi yang telah disusun oleh tim pelaksana, pemateri meggunakan media laptop dan
LCD dalam pemaparan materi. Setelah pemaparan materi dilanjutkan dengan pemutaran video
edukasi pertolongan pertama pada cidera luka bakar, setelah pemutaran video dilanjutkan dengan
simulasi/ demonstrasi tata cara pertolongan pertama pada cidera luka bakar termasuk mengenalkan
jenis-jenis bahan dan obat yang direkomendasikan untuk pertolongan pertama luka bakar. Selanjutnya
ada sesi diskusi/ tanya jawab antara pemateri dan peserta yang membaas masalah seputar luka bakar
dan penanganan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pelaksanaan kegiatan ini meliputi kegiatan sosialisasi dan koordinasi program, pengarahan
mengenai pentingnya kegiatan dan pendidikan terkait masalah kegawatdaruratan pada cidera luka
bakar. Team Pelaksana memberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan dilaksanakannya
kegiatan serta manfaat bagi peserta dengan diselenggarakannya kegiatan tersebut.
Pengarahan mengenai pelaksanaan kegiatan ini, secara umum meliputi persiapan, pelaksanaan, dan
evaluasi yang dilaksanakan pada hari Jumat, 22 Februari 2019 dimulai pukul 13.00 di Masjid Al Falah
desa Sidabowa. Pada pelaksanaan pengarahan ini peserta cukup antusias dalam menyimak materi dan
melakukan diskusi.
Terkait dengan pengetahuan luka bakar, pada awal sebelum pemaparan materi peserta masih
banyak yang belum tau masalah seputar luka bakar, seperti penyebab, jenis-jenis luka bakar dan
derajat luka bakar sampai dengan keparahan luka bakar yang bisa sampai menyebabkan kematian.
Begitupun dengan pertolongan pertama pada cidera ini, banyak yang mengatakan tata cara yang
kurang tepat setelah pemapaan materi mereka dari beberapa metode yang akan dijelaskan, peserta
belum ada yang tau tentang pertolongan yang tepat. Setelah pemaparan materi dan penayangan video
selesai, peserta bisa lebih faham mengenai luka bakar dan penanganan P3K yang tepat. Peserta bisa
menjawab pertanyaan pemateri dan berdiskusi terkait materi yang disampaikan. Gambaran evaluasi
kegiatan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

105
Seminar Nasional
Hasil Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IV Tahun 2019
“Pengembangan Sumberdaya menuju Masyarakat Madani Berkearifan Lokal”
LPPM - Universitas Muhammadiyah Purwokerto
ISBN: 978-602-6697-43-1

Tabel 1. Evaluasi Kegiatan

No Kriteria Evaluasi Indikator Tolak Ukur Pelaksanaan


1 Keberhasilan Peserta memahami Peserta memberikan Dilaksanakan
kegiatan upaya gambaran umum respon yang baik selama kegiatan
peningkatan bahaya cidera luka terhadap upaya peningkatan
pengetahuan pada bakar, mengetahui penyelenggaraan pengetahuan pada
anggota ranting agen/ sumber kegiatan penyuluhan. anggota ranting
Aisyiyah Sidabowa penyebab luka bakar, Peserta mau Aisyiyah Sidabowa
terhadap bahaya dan mengetahui mengikuti kegiatan. terhadap bahaya
cidera luka bakar dan pertolongan pertama Peserta mau cidera luka bakar
pertolongan pertama yang tepat pada mendemostrasikan dan pertolongan
kegawatdaruratan cidera luka bakar. penatalaksanaan pertama
pada luka bakar pertolongan pertama kegawatdaruratan
pada cidera luka pada luka bakar
bakar
Peserta aktif pada
sesi tanya jawab.

KESIMPULAN
Kegiatan upaya peningkatan Pengetahuan bahaya luka bakar dan P3K kegawatan Luka Bakar
pada Anggota Ranting Aisyiyah Sidabowa dapat meningkatkan pengetahuan seputar bahaya luka
bakar, meliputi pengetahuan tentang pengertian, agen penyebab, klasifikasi dan derajat luka bakar,
tanda-tanda luka bakar. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan metode penatalaksanaan p3k
luka bakar yang tepat.
Melihat dukungan dan tanggapan yang baik dari pihak pengurus ranting Aisyiyah dan anggota,
maka perlu diadakannya pendidikan kesehatan lain,yang menyangkut permasalahan kesehatan yang
banyak dialami oleh anggota karena mayoritas anggota adalah usia lansia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahuja R, Bhattacharya S. (2004). ABC of burns: burns in the developing world and burn disasters.
BMJ 2004;329:447–9
Giovany, Lisa; Pamungkas, K.A; & Inayah. (2015). Profil Pasien Luka Bakar Berat yang Meninggal
di RSUD Arifin Achmad Profinsi Riau Periode Januari 2011-Desember 2013. Artikel portal
garuda. Diakses tanggal 14 Mei 2018 dari https://media.neliti.com/media/publications/184861-
ID-profil-pasien-luka-bakar-berat-yang-meni.pdf
ICD-10: World Health Organization. (2010) International Statistical Classification of Diesases and
Health Problems 10t Revision for 2010. Di akses pada 14 September 2018. Dari:
http://apps.who.int/classifications/ icd10/browse/2010/en
Martina, NR; Wardhana, A. (2013). Burn: mortality analysis of adult burn patients. Jurnal Plastik
Rekonstruksi.
Rybrarczyk, M.M.; Schafer, J.M.. et al. (2017). A systematic review of burn injuries in low- and
middle-income countries: Epidemiology in the WHO-defined African Region. African Journal
of Emergency Medicine 7 (2017) 30–37. Di akses tanggal 14 September 2018. Dari
file:///E:/jurnal%20gadar%20recent/2017.%20A%20systematic%20review%20of%20burn%20i
njuries%20in%20low-%20and%20middle-income.pdf

106
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Januari 2018

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN


METODE DEMONSTRASI TERHADAP PRAKTIK
PERTOLONGAN PERTAMA LUKA BAKAR PADA
IBU RUMAH TANGGA DI GAREN RT.01/RW.04
PANDEAN NGEMPLAK BOYOLALI
1) 2) 3)
Siwi Indra Sari , Wahyuningsih Safitri , Ratih Dwilestari Puji Utami
1,2,3
Prodi Sarjana Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
siwiindra123@gmail.com

ABSTRAK
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas
seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Hasil studi pendahuluan di desa Garen RT.01/
RW.04 Pandean Ngemplak Boyolali diperoleh data bahwa peristiwa kejadian luka bakar ibu rumah
tangga di daerah tersebut sering terjadi 5-10 kali dalam satu bulan. Luka bakar yang sering terjadi
di lingkungan rumah seperti terkena minyak goreng, air panas, setrika listrik, dan knalpot. Tujuan dari
penelitian mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap praktik
pertolongan pertama luka bakar pada ibu rumah tangga di Garen RT.01/RW.04 Pandean Ngemplak
Boyolali. Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif menggunakan metode quasy experiment pretest
and posttest with control group design. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. Sampel
berjumlah 40 responden ibu rumah tangga yang terbagi menjadi 20 responden kelompok perlakuan
dan 20 responden kelompok kontrol. Penelitian ini menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan antara dua sampel dependen yang berpasangan dan uji Mann withney test untuk
menguji beda mean peringkat dari 2 kelompok independen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan praktik pada kelompok perlakuan yang sebelumnya 7 responden (35%) dalam
kategori cukup, 13 responden (65%) dalam kategori tidak memadai dan setelah diberikan pendidikan
kesehatan menjadi 20 responden (100%) masuk kategori memadai dengan p value=0,000. Hasil
analisis dengan Mann withney test , hasil p value = 0,000<0,05. Kesimpulan terdapat pengaruh yang
signifikan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan pemberian pendidikan kesehatan
dengan metode demonstrasi dan ceramah leaflet.
Kata kunci: pendidikan kesehatan, demonstrasi, luka bakar

ABSTRACT
Burn wound is the damage or loss of tissue due the contact with heat sources such as fire, hot water,
chemicals, electricity, and radiation. The result of the preliminary research shows that in Garen, RT.01/
RW.04 Pandean Ngemplak Boyolali shows that the burn wound incidence at household could happen
5-10 times a month. Burn wounds which are frequently present in the household are those due to hot
cooking oil, hot water, heat of electric iron, and heat of motor vehicle exhaust. The objective this
research is to investigate the effect of the health education with demonstration method on the practice
of the first aid for burn wound of the housewives in Garen RT.01/RW.04 Pandean, Ngemplak, Boyolali.
This research used the quantitative quasi experimental research method with posttest with control group
design. Purposive sampling technique was used to determine its samples. The samples consisted of 40
housewives. They were divided into two groups, 20 as the treatment group and 20 as the control group.

98
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Januari 2018

This test used the Wilcoxon’s Test to investigate whether or not there was a difference between the two
paired-dependent samples and the Mann Withney’s Test to examine the rank mean difference of the two
independent groups. The result of the research shows that there was an increase in the first aid practice
of the treatment group. Prior to the treatment, 7 respondents (35%) had an adequate category of the
first aid practice, and 13 respondents (65%) had an inadequate category of the first aid practice. All of
the respondents, 20 (100%), had an adequate category of the first aid practice as indicated by the result
of the Mann withney’s Test where the p-value was 0.000 which was less than 0.05. Thus, there was
a significant effect of health education with demonstration method and leaflet lecturing on the treatment
and control groups.
Keywords: Health education, demonstration, burn wound

1. PENDAHULUAN wilayah Jawa Tengah mengalami peningkatan


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan 0,1% pada tahun 2007 ke 2013. Di Jawa Tengah
atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak tahun 2013 dari 100.000 penduduk tercatat se-
dengan sumber panas seperti api, air panas, banyak 0,7% dari penduduk di tahun 2007 ter-
bahan kimia, listrik, dan radiasi (Hardisman, catat sebanyak 0,6%sedangkan di kota Boyolali
2014). Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dari 1000 penduduk tidak mengalami perubahan
dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang pada tahun 2013 tercatat sebanyak 0,6%di ta-
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal hun 2007 0,6% yang terkena luka bakar. Tingkat
(fase syok) sampai fase lanjut (Nugroho, 2012). luka bakar tertinggi di negara berkembang terjadi
Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera pada kalangan perempuan sedangkan di negara
berat yang memerlukan penatalaksanan sebaik- maju tertinggi pada kalangan laki-laki (Schrock,
baiknya sejak awal. Peran masyarakat yang 2007). Sebagian besar 80% cidera luka bakar
berhadapan langsung serta pertolongan petugas terjadi di rumah dan 20% terjadi di tempat kerja
yang menerima kasus ini pertama kali sangat (Peck, 2012).
menentukan perjalanan penyakit ini selanjutnya Salah satu cara dalam menangani tingkat
(Moenadjat, 2003). keparahan luka bakar sangat dibutuhkan
Berdasarkan data dari American Burn penanganan awal penderita sebelumnya di bawa
Association (ABA) tahun 2010 ke tahun 2015 ke pelayanan kesehatan. Pertolongan pertama
mengalami peningkatan di Amerika Serikat adalah pertolongan yang diberikan saat kejadian
diperkirakan lebih dari 163.000 kasus pada atau bencana terjadi di tempat kejadian,
tahun 2015 menjadi 558.400 kasus, dimana sedangkan tujuan dari pertolongan pertama adalah
70% pasien adalah laki-laki dengan rata-rata usia menyelamatkan kehidupan, mencegah kesakitan
sekitar 32tahun,18% anak-anak yang berusia makin parah, dan meningkatkan pemulihan
dibawah 5 tahun dan 12% kasus berusia lebih (Paula,K.,dkk, 2009). Semua luka bakar (kecuali
dari 60 tahun. Luka bakar dengan luas 10% luka bakar ringan atau luka bakar derajat 1)
Total Body Surface Area (TBSA) sebesar 7%. dapat menimbulkan komplikasi berupa shock,
Penyebab tertinggi akibat flame burn (44%) dan dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit,
tingkat kejadian paling sering di rumah (68%). infeksi sekunder, dan lain-lain (Rismana, et
al., 2013).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehat-
an RI sepanjang tahun 2012-2014 terdapat 3.518 Pendidikan kesehatan merupakan suatu
kasus luka bakar di indonesia. Angka kejadian usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dan
luka bakar dalam datanya terus meningkat dari sasaran agar seseorang mempunyai pengetahuan,
1.186 kasus pada 2012 menjadi 1.123 kasus di sikap, dan keterampilan yang sesuai dengan
tahun 2013 dan 1.209 kasus di tahun 2014. Di tuntutan nilai-nilai kesehatan (Notoatmodjo,
2007).

99
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Januari 2018

Selain itu perlu merubah keyakinan minimal 20 menit. Hal ini untuk mengurangi
masyarakat yang masih menggunakan yoghurt, bengkak yang dapat terjadi dan mempercepat
pasta gigi, pasta tomat, es, putih telur mentah, proses penyembuhan di kemudian harinya.
atau irisan kentang (Karaoz, 2010) dalam Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh
pertolongan pertama luka bakar dan mengajarkan luka bakar, angka insiden, fenomena pertolongan
cara pertolongan pertama luka bakar yang benar. yang salah akibat luka bakar, studi pendahuluan
Pemberian pendidikan kesehatan yang diberikan yang dilakukan pada daerah tersebut, maka
agar lebih efektif dan sesuai sasaran serta tujuan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
maka diperlukan media yang dapat digunakan tentang “Pengaruh Pendidikan Kesehatan
adalah media demontrasi. Media demontrasi Dengan Metode Demonstrasi Terhadap Praktik
mempertunjukan tentang proses terjadinya suatu Pertolongan Pertama Luka Bakar Pada Ibu
peristiwa atau benda sampai pada penampilan Rumah Tangga Di Garen Rt.01/Rw.04 Pandean
tingkah laku yang dicontohkan agar dapat Ngemplak Boyolali”.
diketahui dan dipahami oleh peserta didik secara
nyata atau tiruannya (Syaiful, 2008). 2. PELAKSANAAN
Penggunaan media demontrasi dapat me- a. Lokasi dan waktu penelitian
ngurangi kesalahan-kesalahan bila dibanding- Penelitian ini dilakukan di Desa Garen Rt.01/
kan dengan hanya membaca atau mendengarkan, Rw.04 Pandean Ngemplak Boyolali. Waktu
karena gerakan dan proses dipertunjukan maka Penelitian penelitian dilaksanakan periode
tidak memerlukan keterangan-keterangan yang tanggal 30 Juli 2017 sampai 6 Agustus 2017.
banyak, beberapa persoalan yang menimbulkan b. Populasi dan sampel penelitian
pertanyaan atau keraguan dapat diperjelas waktu Teknik pengambilan sampel dengan
proses demonstrasi. Informasi akan tersimpan purposive sampling. Dalam penelitian
sebanyak 40% bila disampaikan menggunakan ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu
leaflet sedangkan menggunakan metode demon- kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
strasi tingkat pemahaman akan mencapai 90% Pada penelitian ini jumlah minimal sampel
(Silaban, 2012). yang diperlukan untuk kelompok perlakuan
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada berjumlah 20 responden dan untuk kelompok
tanggal 23 januari 2017 di desa Garen Rt.01/ kontrol 20 responden, sehingga total sampel
Rw.04 Pandean Ngemplak Boyolali dengan berjumlah 40 responden.
melakukan observasi dan wawancara pada 10 ibu
rumah tangga diperoleh data bahwa, peristiwa
3. METODE PENELITIAN
kejadian luka bakar rumah tangga di daerah Jenis penelitian ini yaitu penelitian
tersebut sering terjadi 5-10 kali dalam satu bulan. kuantitatif, eksperimen semu (quasi eksperimen)
Luka bakar yang sering terjadi di lingkungan dengan rancangan Pre and Post test with control
rumah seperti terkena minyak goreng, air panas, group.
setrika listrik, maupun terkena knalpot. Tindakan Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
dalam penanganan luka bakar yang sering
Instrumen yang digunakan untuk pengum-
dilakukan pada warga tersebut masih kurang
pulan data dengan memakai lembar observasi
tepat, dibuktikan dengan hasil wawancara yaitu
yang dibuat sendiri oleh peneliti sesuai refer-
lima orang mengatakan penanganan dini yang
ensi. Lembar observasi diisi oleh peneliti dan alat
sering dilakukan yaitu menggunakan odol/pasta
bantu demonstrasi untuk kelompok perlakuan
gigi, dua orang menggunakan kecap, tiga orang
dan ceramah leaflet untuk kelompok kontrol.
dengan mengipas- ngipas/meniup bagian luka
Pernyataan terdiri dari 7 item dengan pilihan di-
atau mengabaikan luka tersebut. Seharusnya
lakukan dan tidak dilakukan. Jika melakukan tin-
penangan pertama yang dapat dilakukan adalah
dakan dinilai 1 dan jika tidak dinilai 0. Skala
sesegera mungkin mendinginkan area yang
ordinal: nilai memadai: apabila skore 5-7, nilai
terkena dengan air dingin yang mengalir selama
cukup: apabila skore 3-4 dan nilai kurang me-

100
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada- Januari 2018

madai: apabila skore 1-2. Lembar observasi di- artinya pendidikan kesehatan mempengaruhi
lakukan kesepakatan didapat nilai kappa 0,609. praktik. Untuk mengetahui selisih 2 kelompok
Ini berarti terdapat kesepakatan yang baik antar yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
observer 1 dengan observer 2 terhadap penilaian menggunakan uji Mann Withney Test bertujuan
praktik pertolongan pertama luka bakar. Nilai untuk menguji beda mean peringkat (data ordinal)
signifikansi sebesar 0,009<0,05, artinya ada ke- dari 2 kelompok independen (2 kelompok yang
sepakatan yang signfikan antar observer 1 dan berbeda) (Dharma, 2011).
observer 2. Sehingga lembar observasi dapat
digunakan untuk penelitian. Penelitian dilaku- 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
kan dengan cara pre dan post test. Pada semua
a. Usia Responden
kelompok dilakukan pre test dengan cara mem-
praktekan pertolongan pertama luka bakar yang Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan
diukur dengan lembar observasi yang diisi oleh Usia di Desa Garen Padean Ngemplak Boyolali
peneliti. Pada kelompok perlakuan diberikan bulan Agustus (n = 40)
pendidikan kesehatan dengan metode demonstra-
Usia Frekuensi Persentase (%)
si tentang pertolongan pertama luka bakar. Pada
kelompok kontrol diberikan pendidikan kesehat- 17 – 25 3 7,5%
an dengan metode ceramah leaflet tentang perto- 26 - 35 10 25,0%
longan pertama luka bakar. Kemudian dilakukan 36 - 45 18 45,0%
post test pada kedua kelompok dengan cara mem- 46 - 55 9 22,5%
peraktekan pertolongan pertama luka bakar yang Total 40 100%
diukur dengan lembar observasi yang diisi oleh
Hasil penelitian menunjukan bahwa
peneliti.
responden berdasarkan usia yaitu sebagian besar
Analisa Data responden berusia 36-45 tahun yaitu sebanyak
Analisis univariat dengan menggunakan 18 responden (45%). Dikarenakan semakin cukup
perangkat komputer digunakan untuk umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang
menganalisis variabel yang bersifat kategorik akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja
yaitu usia, pendidikan terakhir, pekerjaan dan Menurut Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp
praktik responden. Analisa bivariat digunakan (2007), tingkatan usia dibagi menjadi 2 yaitu
untuk menguji pengaruh pendidikan kesehatan dewasa muda 20-40 tahun dan dewasa menengah
dengan metode demonstrasi terhadap praktik 41-65 tahun. Usia seseorang akan mempengaruhi
penanganan pertama luka bakar. Menganalisis daya tangkap dan pola pikir seseorang terhadap
data secara bivariat dilakukan uji normalitas informasi yang diberikan. Semakin bertambah
data untuk sampel berjumlah kecil menggunakan usia maka daya tangkap dan pola pikir seseorang
Shapiro-Wilk. Data tidak berdistribusi normal semakin berkembang (Notoatmodjo, 2007).
maka menggunakan uji non-parametrik yaitu b. Pendidikan Responden
uji wilcoxon. Uji beda tersebut digunakan
untuk menganalisis hasil eksperimen yang Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan
menggunakan pre-test dan post-test design with Pendidikan di Desa Garen Padean Ngemplak
control group. Uji wilcoxon untuk mengetahui ada Boyolali bulan Agustus ( n = 40)
tidaknya perbedaan antara dua sampel dependen
Klarifikasi
yang berpasangan. Dengan tingkat kepercayaan pendidikan
Frekuensi Persentase (%)
95% / α= 5% dengan ketentuan sebagai berikut:
SD 8 20,0%
Jika P value > α (0,05) maka Ho diterima dan
SMP 12 30,0%
Ha ditolak yang berarti pendidikan kesehatan
SMA/SMK 16 40,0%
tidak dipengaruhi praktik serta jika P value
SARJANA 4 10,0%
≤ α (0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima
Total 40 100%

101
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Januari 2018

Hasil penelitian diketahui bahwa mayoritas metode buku saku terhadap peningkatan pengeta-
responden mempunyai tingkat pendidikan SMA/ huan penggunaan monosodium glutamat (msg) di
SMK, yaitu sebanyak 16 responden (40%). Dusun Soko Desa Gadingsari Kecamatan Sanden
Undang-undang nomor 33 tahun 2003 tentang Kabupaten Bantul. Hasil observasi penelitian ini
sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pekerjaan dapat mempengaruhi tingkat pengeta-
tingkat pendidikan wajib belajar adalah 9 tahun huan seseorang karena setelah menerima pendi-
yang meliputi pendidikan SD selama 6 tahun dikan kesehatan seseorang dapat mengaplikasi-
dan pendidikan SMP selama 3 tahun. Responden kan dalam kehidupan seseorang.
dengan pendidikan SMA sudah dianggap dapat
menerima berbagai informasi pengetahuan tentang d. Praktik Pertolongan Pertama Luka Ba-
pertolongan pertama luka bakar. Adanya informasi kar Kelompok Perlakuan
kesehatan tentang pertolongan pertama luka Tabel 4. Praktik Pertolongan Pertama Luka
bakar dapat menambah pengetahuan responden Bakar Kelompok Perlakuan di Desa Garen
tentang pertolongan pertama luka bakar. Astria Padean Ngemplak Boyolali bulan Agustus
et al. (2009), menyatakan bahwa responden yang (n = 40)
berpendidikan dasar (SD dan SMP) cenderung
lebih banyak mempunyai perilaku yang kurang Pre Test Post Test
daripada ibu yang berpendidikan menengah Kategori Frekunsi Persen- Frekuensi Persen-
tase tase
dan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan
Memadai
seseorang, maka semakin mudah seseorang untuk (5 – 7)
- - 20 100%
menerima informasi, sehingga semakin banyak Cukup
pula pengetahuan yang dimiliki (Notoatmodjo, 7 35% - -
(3 – 4)
2005). Tidak
Memadai 13 65% - -
c. Pekerjaan Responden (1 – 2)
jumlah 20 100% 20 100%
Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan
Pekerjaan di Desa Garen Padean Ngemplak Hasil analisa sebelum dilakukan pendidikan
Boyolali bulan Agustus (n = 40) kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap
Klarifikasi Frekuensi Persentase (%)
praktik pertolongan pertama luka bakar didapat-
Pekerjaan kan data pada kelompok perlakuan terdapat 7
Ibu Rumah Tangga 11 27,5% responden (35%) dalam kategori cukup dan 13
Karyawan Swasta 21 52,5%
responden (65%) dalam kategori kurang mema-
dai. Hasil analisa setelah dilakukan pendidikan
PNS 4 10,0%
kesehatan terhadap praktik pertolongan pertama
Wira Swasta 4 10,0%
luka bakar didapatkan data pada kelompok per-
Total 40 100%
lakuan yaitu 20 responden (100.0%) yang terma-
Hasil penelitian menunjukan bahwa respon- suk dalam kategori memadai sehingga didapatkan
den berdasarkan pekerjaan paling banyak kary- pengaruh pendidikan kesehatan pada kelompok
awan swasta yaitu 21 responden (52,5%). Sima- perlakuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian
mora (2006), menyatakan bahwa ekonomi adalah Yurika (2009) tentang efektifitas pendidikan ke-
kegiatan menghasilkan uang di masyarakat untuk sehatan terhadap pengetahuan, sikap, dan keter-
memenuhi kebutuhan hidup, termasuk dalam ampilan ibu dalam pemantauan perkembangan
pembiayaan perawatan pasien luka bakar selama balita di kelurahan Sukaramai Kecamatan Baitur-
di rumah. Penelitian Wibowo (2013) menjelas- rahman Banda Aceh bahwa ada peningkatan yang
kan sebanyak 17 responden (28,3%) bekerja se- signifikan dari keterampilan ibu sebelum dilaku-
bagai karyawan swasta. Status pekerjaan dapat kan pendidikan kesehatan dan sesudah dilakukan
mempengaruhi pengetahuan setelah menerima pendidikan kesehatan dengan p value 0,019.
promosi kesehatan metode audio visual dan

102
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada- Januari 2018

e. Praktik Pertolongan Pertama Luka Ba- Hasil dari analisa pada kelompok perlakuan
kar Kelompok Kontrol didapatkan nilai p value 0,000 < 0,05, sehingga
ada pengaruh pendidikan kesehatan dengan
Tabel 5. Praktik Pertolongan Pertama Luka metode demonstrasi terhadap praktik pertolongan
Bakar Kelompok Kontrol di Desa Garen Padean pertama luka bakar. sebelum dilakukan
Ngemplak Boyolali bulan Agustus (n = 40) pendidikan kesehatan terdapat 7 responden
Pre Test Post Test (35%) dalam kategori cukup dan 13 responden
Kategori Freku- Persen- Freku- Persen- (65%) dalam kategori kurang memadai. Setelah
ensi tase ensi tase dilakukan pendidikan kesehatan dengan metode
Memadai demonstrasi terhadap praktik pertolongan pertama
(5 – 7) - - - -
luka bakar data posttest kelompok perlakuan
Cukup yaitu 20 responden (100.0%) yang termasuk
(3 – 4) 4 20% 10 50%
dalam kategori memadai. Hasil penelitian ini
Tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Memadai 16 80% 10 50% Widyastuti (2010) yang menyebutkan bahwa ada
(1 – 2)
pengaruh penyuluhan teknik pijat bayi terhadap
jumlah pengetahuan ibu tentang pijat bayi dengan nilai
20 100% 20 100%
pvalue =0,000(p<0,05).
Kelompok kontrol sebelum dilakukan Hasil dari analisa pada kelompok kontrol
pendidikan kesehatan dengan metode ceramah didapatkan nilai p value 0,014 < 0,05, sehingga
leaflet terhadap praktik pertolongan pertama luka ada pengaruh pendidikan kesehatan dengan
bakar terdapat 4 responden (20%) dalam katagori metode ceramah leaflet terhadap praktik
cukup dan Kategori kurang memadai sebelum pertolongan pertama luka bakar. Sebelum
dilakukan pendidikan kesehatan terdapat 16 dilakukan pendidikan kesehatan dalam katagori
responden (80%). Data dari kelompok kontrol cukup terdapat 4 responden (20%) dan setelah
setelah di berikan pendidikan kesehatan menjadi dilakukan pendidikan kesehatan menjadi 10
10 responden (50%) dalam kategori cukup dan 10 responden (50%). Kategori kurang memadai
responden (50%) kategori kurang memadai. Data sebelum dilakukan pendidikan kesehatan terdapat
ini mencermikan responden mampu menerima 16 responden (80%) dan setelah dilakukan
informasi yang diterima melalui pendidikan pendidikan kesehatan menjadi 10 responden
kesehatan. Hal ini dikarenakan pendidikan (50%). Hasil penelitian ini sejalan dengan
kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan, penelitian yang dilakukan oleh Sukirjo (2010)
sikap, dan keterampilan individu atau masyarakat yang menyebutkan edukasi dengan pemberian
dibidang kesehatan (Maulana, 2009). leaflet lebih efektif dibandingkan dengan tanpa
leaflet (p-value = 0,05).
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan
Metode Demonstrasi Terhadap Pertolongan Perbedaan Praktik Pertolongan Pertama
Pertama Luka Bakar pada Kelompok Perlakuan Luka Bakar antara Menggunakan Metode
dan Kelompok Kontrol Demonstrasi dan Metode Ceramah Leaflet

Tabel 6. Uji wilcoxon Tabel 7. Uji Mann Withney Test

Kelompok Kelompok Pendidikan Kesehatan


Perlakuan Kontrol Z -5.888
Pre Test Pre Test Asymp. Sig. (2-tailed) .000
Post Test Post Test
Z -4.072a -2.449a Hasil dari analisa nilai signifikansi setelah
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .014 dilakukan pendidikan kesehatan nilai signifikansi
sebesar 0,000<0,05, artinya ada perbedaan
praktik pertolongan pertama luka bakar antara

103
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Januari 2018

menggunakan metode demonstrasi dan metode menjadi karyawan swasta. Terdapat penga-
ceramah leaflet. ruh pada kelompok perlakuan dan kelompok
Berdasarkan perhitungan tersebut, praktik kontrol dengan pemberian pendidikan kes-
pertolongan pertama luka bakar dengan metode ehatan dengan metode demonstrasi dan cera-
demonstrasi didapat 80,90% responden dapat mah leaflet dengan nilai p value 0,000 dan
melaksanakanpraktik pertolongan pertama luka p value 0,014.
bakar setelah dilakukan pendidikan kesehatan. b. Terdapat perbedaan praktik pertolongan
Praktik pertolongan pertama dengan metode pertama luka bakar dengan menggunakan
ceramah leaflet didapat 26,23% yang bisa metode demonstrasi dan ceramah leaflet
melakukan praktik pertolongan pertama luka dengan nilai p value 0,000, tetapi secara
bakar setelah dilakukan pendidikan kesehatan. persentase selisih antara metode demonstra-
Selisih antara metode demonstrasi dan metode si dan metode ceramah leaflet yaitu 54,67%,
ceramah leaflet yaitu 80,9%-26,23%= 54,67%, sehingga lebih efektif metode demonstrasi
sehingga lebih efektif metode demonstrasi daripada metode ceramah leaflet.
daripada metode ceramah leaflet. Disimpulkan SARAN
bahwa ada beda efektivitas antara metode
a. Masyarakat dapat mengaplikasikan perto-
demonstrasi dan metode ceramah leaflet
longan pertama luka bakar secara benar.
mencerminkan metode demonstrasi lebih efektif
Dengan adanya hasil penelitian ini institusi
dari metode ceramah leaflet.
pendidikan dapat berguna sebagai bahan ba-
Kedua metode tersebut pada akhirnya dapat caan dan acuan belajar di keperawatan kega-
meningkatkan pengetahuan ibu rumah tangga wat daruratan sehingga pertolongan pertama
menjadi lebih baik dan terdapat perbedaan luka bakar dapat diaplikasikan dalam proses
hasil dari kedua metode saat melakukan belajar mengajar di kelas maupun kuliah.
pendidikan kesehatan. Metode demonstrasi dapat b. Peneliti lain hendaknya dapat mengembang-
menghindari verbalisme karena subjek langsung kan penelitian ini dengan metode lain, mis-
memperhatikan bahan pembelajaran yang sedang alnya dengan perbandingan metode demon-
disampaikan dibanding dengan ceramah yang strasi dengan metode yang lain.
komunikasinya hanya searah, sehingga membuat c. Untuk peneliti memperoleh wawasan dan
proses pembelajaran menjadi lebih konkrit dan pengetahuan tentang pengaruh pendidikan
lebih mudah memahami materinya. Informasi kesehatan dengan metode demonstrasi terha-
kesehatanyang menggunakan metode ceramah dap pertolongan pertama luka bakar pada ibu
leaflet tidak dapat menampilkan gerak dalam rumah tangga RT.01/RW.04 Padean Ngem-
media leaflet dan materi yang dikuasai ibu rumah plak Boyolali, sebagai proses belajar untuk
tangga terbatas hanya pada apa yang telah dikuasai mengaplikasikan pembelajaran dikampus
dan disampaikan oleh peneliti. Hasil penelitian dengan pembelajaran dilapangan.
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Olyvia Yulyani (2015) yang menyebutkan 6. UCAPAN TERIMAKASIH
terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua Terimakasih kepada dosen pembimbing dan
obat, dimana bakteri penyebab infeksi sekunder penguji yang telah membantu dalam penyusunan
sudah tidak lagi sensitif terhadap amoksisilin skripsi ini serta responden yang menjadi penelitian
dengan p value 0,008. dan uji kappa yang telah memberikan tempat
dan waktu kepada peneliti untuk melakukan
5. KESIMPULAN penelitian.
a. Karakteristik responden berusia 21-55 ta-
hun, sebagian besar berusia 36-45 tahun se- 7. REFERENSI
banyak 18orang (45%). Pendidikan terakhir Adhy ,A.S. (2014). Manfaat Suplementasi Ekstrak
sebagian besar tingkat SMA/SMK sebanyak Ikan Gabus Terhadap Kadar Albumin, MDA
16 orang (40%) dan lebih banyak bekerja

104
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada - Januari 2018

Pada Luka Bakar Derajat II. Diakses dari Riskes. (2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar
web: http://pasca. unhas.ac.id Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah: Rineka
Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur penelitian Cipta
suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Riyadina, W,.(2008). Pola dan Determinan
Cipta. Cedera di Indonesia. Laporan hasil analisis
Cahya, K.A. (2015). Pengaruh Pendidikan lanjut data Riskesdas, Pusat Penelitian dan
Kesehatan Melalui Media Audiovisual Pengembangan Boimedis dan Farmasi.
Terhadap Keterampilan Penangan Pertama Badan Penelitian dan Pengembangan
Luka Bakar PadaSiswa Sekolah Menengah Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
Pertama Negeri 7 Surakarta. Surakarta: Jakarta.
Rineka Cipta Saryono. (2011). Metodelogi Penelitian
Dedy, S. (2013). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Kesehatan. UPT Percetakan dan Penerbitan
Dengan Metode Demonstrasi Terhadap Unsoed
Kemampuan Merawat Kaki Pada Penderita Silaban, Ramlan. (2012). Pengaruh Penggunaan
Diabetes Melitus. Diakses dari situs web: Macromedia Lash, Prigram Powerpoint dan
http://jurnal.animus.acid Peta Konsep Terhadap Hasil Belajar Kimia
Dharma, Kusuma Kelana (2011). Metodologi Pada Pokok Bahasan Hodrokarbon. Medan:
Penelitian Keperawatan: Panduan Rineka Cipta
Hidayat, Aziz Alimul. (2014). Metode penelitian Stauri, S. (2016). Pengaruh Pendidikan Kesehatan
kebidanan dan teknik analisis data. Edisi 2. Metode Demonstrasi terhadap Tingkat
Jakarta: Salemba Medika. Pengetahuan dan Motivasi Penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD) pada Petani Desa
Notoadmojo,S. (2010). Promosi Penelitian
Wringin Telu Kecamatan Puger Kabupaten
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Jember. Jember: Rineka Cipta
Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi penelitian
Sugiyono.(2015). Metodelogi Penelitian
kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Nursalam. (2015). Metadologi Penelitian Ilmu
Walcott, E. ( 2007). Seni Pengobatan Alterntaif,
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Pengetahuan dan Persepsi Program ACICIS
Riskes. (2007). Laporan Riset Kesehatan Dasar Universitas Muhammadiyah Malang.
Provinsi Jawa Tengah. Jawa Tengah: Rineka
Wahid. ( 2007). Promosi Kesehatan. Yogyakarta:
Cipta
Graha Ilmu.

-oo0oo-

105
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
“Review Jurnal : Terapi Komplementer Untuk
mengatasi Nyeri Luka Bakar ”

Oleh :

Nama : Dila Sintya Unwakoly


NPM : 12114201180157
Kelas/Sem : D/V
Prodi : Keperawatan

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas kasih
dan karunia yang di berikannya sehingga penulis dapat menyelesaikan riview jurnal ini
dengan baik tanpa halangan yang berarti.

Rivew jurnal dengan judul “Terapi Komplementer Untuk Mengatasi Nyeri Luka
Bakar” ini merupakan salah satu tugas KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III yang di
berikan oleh dosen mata kuliah. Riview jurnal ini bertujuan agar mahasiswa dapat memahami
apa saja terapi-terapi yang daoat di lakukan untuk mengatasi nyeri luka bakar pada pasien,
mencari terapi yang efektif untuk mengatasi nyeri luka bakar

Penulis mengcapkan terima kasih yang sebesarya bagi dosen mata kuliah yang telah
memberikan tugas ini sehingga penulis dapat lebih memahami aptentang terapi
komplementer untuk menghilangkan nyeri luka bakar.

Penulis sadar betul bahwa riview jurnal ini jauh dari kata sempurna dan oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir
kata penulis ucapkan terima kasih dan semoga riview jurnal ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis

Ambon, 29 September 2020

ii
DAFTAR ISI

Cover ....................................................................................................................... i

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar Isi ................................................................................................................. iii

Daftar Tabel ............................................................................................................ iv

Riview Jurnal Terapi Komplementer Untuk Mengatasi Nyeri Luka Bakar

(Format Pico) .......................................................................................................... 1

Analisi PICO ........................................................................................................... 4

Penutup ................................................................................................................... 6

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komponen kandungan zat dan fungsinya yang terdapat pada lidah buaya ......... 4

iv
REVIEW JURNAL
Terapi Komplementer Untuk Mengatasi Nyeri Luka Bakar
(Format Pico)

Abstrak
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang rentan terjadi kerusakan, salah satunya
akibat suhu tinggi dapat menyebabkan luka bakar. Penyembuhan luka bakar sangat
tergantung dengan manajemen luka yang baik.
Luka Bakar adalah sejenis cedera pada daging atau kulit yang disebabkan oleh panas,
Listrik, zat kimia, gesekan, atau radiasi. Luka bakar jika berada dalam derajat keparahan
tinggi misalnya derajat dua dan tiga sering kali menyebabkan nyeri luka yang tak tertahankan.
Luka bakar yang parah juga dapat beresiko terjadi kematian, kecacatan, hilangnya
kepercayaan diri dan mengeluarkan biaya yang relatif banyak untuk penyembuhan. Penderita
luka bakar memerlukan pengobatan langsung untuk mengembalikan fungsi kulit normal.
Dalam riview jurnal keperawatan yang di ambil dari 5 jurnal ini membahas tentang cara yang
tepat dalam mengatasi nyeri yang terjadi pada luka bakar.

P (Population)
Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Tikus Putih (Rattus
Norvegicus ) Jenis penelitian adalah True Eksperimen menggunakan rancangan post-test
with control group design. Sampel penelitian adalah 18 tikus putih dibagi menjadi 2
kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol, teknik sampling menggunakan random
sampling, Babi Putih Domestik dan juga Manusia.

I (Intervention)
Dari beberapa jurnal yang di kumpulkan dan di analisis penulis mempereoleh
beberapa terapi yang dapat di lakukan untuk mengatasi Nyeri Luka bakar yaitu, terapi music,
hipnotis, aleovera dan bee polen.
Terapi music bekerja hampir sama dengan terapi hipnotis dimana pasien di alihkn
perhatiannya dari nyeri yang di rasakannya. Sedangkan untuk terapi aleovera dan bee polen

1
memiliki beberapa sumber nutrisi yang kaya akan asam amino, karbohidrat, protein, vitamin
dan mineral yang berperan dalam mempercepat penyembuhan kulit. Selain itu efek sejuk
yang di timbulkan dari kedua bahan ini juga mampu meredakan nyeri Luka bakar.

C (Comparation)
Dalam mengerjakan Review jurnal ini penulis mengambil lima jurnal untuk di
bandingkan dengan satu sama lain. Tindakan ini bertujuan untuk mencari terapi manakah
yang lebih efektif untuk mengatasi nyeri pada luka bakar.
Terapi music memiliki korelasi positif ditemukan antara perawatan termasuk
intervensi musik dan pengurangan nyeri, pereda kecemasan, dan penurunan detak jantung
pada pasien luka bakar. Namun, studi tambahan berkualitas tinggi dengan intervensi musik
yang dipertimbangkan dengan cermat untuk pasien luka bakar masih diperlukan.
Terapi hipnotis mengurangi rasa sakit dibandingkan dengan perawatan standar dan
kelompok kontrol perhatian dan setidaknya sama efektifnya dengan terapi psikologis atau
perilaku tambahan yang sebanding. Selain itu, menerapkan hipnosis dalam beberapa sesi
sebelum hari prosedur menghasilkan persentase hasil yang signifikan tertinggi. Hipnosis
paling efektif dalam prosedur bedah minor. Namun, interpretasi dibatasi oleh risiko bias yang
cukup besar
Salep bee pollen dioleskan untuk pertama kalinya dalam pengobatan luka bakar
topikal. Luka bakar eksperimental terjadi pada dua babi putih domestic. Evaluasi klinis dan
histopatologi menunjukkan bahwa agen apitherapeutic yang diaplikasikan mengurangi waktu
penyembuhan luka bakar dan secara positif mempengaruhi kondisi umum hewan. Selain itu,
sediaan alami yang digunakan terbukti menjadi agen antimikroba yang sangat efektif, yang
tercermin dalam penurunan jumlah mikroorganisme dalam penelitian kuantitatif dan aktivitas
bakterisidal dari strain yang diisolasi. Berdasarkan analisis bakteriologis yang diperoleh,
dapat disimpulkan bahwa salep bee pollen yang dioleskan dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka luka bakar, mencegah infeksi pada jaringan yang baru terbentuk.
Meskipun demikian bee polen tidak cukup efektif dalam mengurangi nyeri. Hal ini di
karenakan tekstur beepolen yang kental mengakibatkan area luka menjadi tertarik dan
menyebabkan nyeri saat di gerakan

2
Pemberian Aleovera terutama lendirnya secara topikal pada luka dapat mempercepat
proses penyembuhan luka karena lendir aliovera mengandung glikoprotein, yang mencegah
inflasi rasa sakit dan mempercepat perbaikan dan glukomanan, yaitu senyawa yang diperkaya
dengan polisakarida yang dapat mempengaruhi faktor pertumbuhan fibroblas dan merangsang
aktivitas dan proliferasi sel dan meningkatkan produksi dan sekresi kolagen sehingga dapat
mempercepat penyembuhan luka dan merangsang pertumbuhan kulit. Selain itu aliovera
memiliki teksture ringan dan lembut juga menyejukan sehingga sangat membantu dalam
meredakan nyeri akibat luka bakar.

O (Outcame)
Dari hasil riview di temukan bahwa penggunaan terapi Hipnotis lebih efektif
dibandingkan terapi music hal di karenakan tidak semua orang memiliki ketertarikan yang
sama terhadap music. Ada sebagian orang yang menginginkan suasaan yang tenag untuk
mengatasi nyeri yang di rasakannya, oleh karena itu terapi hipnotis lebih efektif karena dapat
di kombinasikan dengan berbagai genre misalnya hipnotis music, visual, narasi dan
sebagainya. Hasil dari 29 RCT memenuhi kriteria inklusi menunjukkan bahwa hipnosis
mengurangi rasa sakit dibandingkan dengan perawatan standar dan kelompok kontrol
perhatian dan setidaknya sama efektifnya dengan terapi psikologis atau perilaku tambahan
yang sebanding. Selain itu, menerapkan hipnosis dalam beberapa sesi sebelum hari prosedur
menghasilkan persentase hasil yang signifikan tertinggi. Hipnosis paling efektif dalam
prosedur bedah minor.
Penggunaan aloevera juga sangat membantu dalam mengatasi nyeri luka bakar. aloe
vera berpengaruh terhadap penyembuhan luka bakar derajat pertama dan kedua karena aloe
vera dapat meningkatkan granulasi jaringan, antiseptik dan antiinflamasi. Daun lidah buaya
setiap daunnya terdiri dari tiga lapisan yaitu : sebuah gel yang dibagian dalam mengandung
99% air dan sisanya 75 terbuat dari vitamin, glukomannans, asam amino, lipid, dan sterol.
Bagian dalam lidah buaya mengandung banyak monosakarida dan polisakarida, vitamin B1,
B2, B6, dan C, niacinamide dan kolin, beberapa bahan anorganik, enzim (asam dan alkali
fosfatase, amilase, laktat dehidrogenase, lipase) dan Senyawa organik (aloin, barbaloin, dan
emodin) kandungan-kandungan ini sangat membantu dlaam meredakan nyeri serta
menyembuhkan Luka bakar

3
ANALISI PICO
Terapi Komplementer Untuk Mengatasi Nyeri Luka Bakar

Berdasarkan Review jurnal dengan menggunakan format PICO di atas dapat di


simpulkan bahwa penggunaan terapi hipnotis untuk menghilangkan nyeri akan memiliki
efektifitas yang tinggi bila di jalankan bersama-sama dengan terapi aleovera.
hipnosis secara signifikan menurunkan nyeri dibandingkan dengan kondisi kontrol
yang berbeda dengan karakteristik intervensi yang berbeda (waktu, lama, dosis), dan prosedur
medis. Kemampuan hipnotis dinilai dalam tujuh studi, empat di antaranya melaporkan
hubungan positif yang signifikan antara tingkat kerentanan hipnosis dan hasil terkait nyeri.
Hipnosis memiliki sejarah panjang dalam pengobatan nyeri, dan merupakan salah satu yang
paling teknik manajemen nyeri nonfarmakologis yang diakui. Begitu pula dengan aleovera,
yang memiliki sejarah panjang penggunaannya dan terbukti memiliki efektifitas yang baik
untuk mengatasi nyeri luka bakar. Pada 2000 tahun yang lalu, para ilmuwan Yunani
menganggap lidah buaya sebagai obat mujarab universal dan Lidah buaya (Aloe vera) telah
digunakan sebagai pengobatan di beberapa kebudayaan selama ribuan tahun tertama pada
negara Mesir, India, Meksiko, Jepang dan China. Aloe vera sudah digunakan sejak zaman
dahulu yaitu di Mesir, Ratu Nefertiti dan Cleopatra menggunakan lidah buaya sebagai
kecantikan, sedangkan Alexander Agung, dan Christopher Columbus menggunakannya untuk
mengobati luka prajurit. Aloe vera sudah digunakan sejak zaman dahulu yaitu di Mesir, Ratu
Nefertiti dan Cleopatra menggunakan lidah buaya sebagai kecantikan, sedangkan Alexander
Agung, dan Christopher Columbus menggunakannya untuk mengobati luka prajurit
Berikut ini adalah table 1. yang menunjukan komponen kandungan zat dan fungsinya
yang terdapat pada lidah buaya menurut Rodríguez, Castillo, García dan Sanchez, 2005 yaitu
Senyawa Identifikasi Fungsi
Asam amino Membuat 20 asam amino dan 7 Sebagai dasar untuk
esensial lainnya membangun blok protein dalam
tubuh dan jar
Antrakuin on Membuat Aloe emodin, Aloetic Analgetik dan anti bakteri
acid,alovin, anthracine

4
Enzim Anthranol, barbaloin, Anti jamur dan antivirus tetapi
chrysophanic acid, smodin, beracun apabila konsentrasi
ethereal oil, ester of cinnamonic tinggi
acid, isobarbaloin, resistannol
Hormon Auxins and gibberellins Penyembuha luka dan anti
inflamasi
Minerals Calcium, chromium, copper, Untuk menjaga kesehatan
iron, manganese, potassium, tubuh
sodium and zinc
Asam Salisik Seperti kandunga aspirin Anal getik
Saponins Glikosida Pembersihan dan antiseptik
Steroids Cholesterol, campesterol, Agen antiinflamasi, sedangkan
lupeol, sistosterol lupeol memiliki Sifat antiseptik
dan 76 analgesik
Gula Monosaccharides: Glucose and Anti virus dan stimulasi ssm
Fructose Polysaccharides: imunitas dalam tubuh
Glucomannans/po lymannose
Vitamin A, B, C, E, choline, B12, asam Sebagai Antioksidan (A, C, E),
folat dan menetralisir radikal bebas

Lidah buaya juga dapat berfungsi untuk menghambat jalur siklooksigenase,


mengurangi produksi prostaglandin E2 dari asam arakidonat dan mengandung peptidase
bradikinase yang dapat mengurangi pengeluaran bradikinin sehingga mengurangi proses
antiinflamasi. Kemudian, dalam lidah buaya terdapat Lupeol, merupakan kimia yang paling
aktif mengurangi peradangan dalam dosis tertentu dan sterol juga dapat berkontribusi
terhadap anti-inflamasi. Lidah buaya mengandung sterol termasuk campesterol, β-sitosterol,
dan kolesterol yang dapat mengurangi inflamasi, membantu dalam mengurangi peradangan
rasa sakit dan bertindak sebagai analgesik alami.
Penulis menyarankan penggunaan dua terapi ini bersamaan hal ini dapat memiliki
efektifitas yang tinggi dalam mengatasi nyeri luku bakar, selain itu luka dapat sembuh lebih
cepat sehingga, tidak memerluka waktu perawatan yang lama dan memakan biaya yang besar.

5
PENUTUP
Analisis Jurnal

1. Judul : The effects of music intervention on burn patients during treatment


procedures: a systematic review and meta-analysis of randomized controlled
trials
Penulis : Jinyi Li (Department of Humanities and Social Sciences, The Third Military
Medical University, Chongqing, China),
Liang Zhou (Research Institute of Field Surgery, Daping Hospital, The Third
Military Medical University, Chongqing, China. )
Yungui Wang (The Third Military Medical University, Chongqing 400038,
China)
Penerbit : BMC Complementary and Alternative Medicine
Tahun : 2017
Kelebihan dan Kekurangan :
 Penulis membahas secara terperinci terkait terai music
 Studi literasi yang dilakukan juga banyak dan berfariasi sehingga informasi yang
di perolehpun beragam dan luas
 Peneliti tidak melakukan uji coba secara langsung, dan membutuhkan banyak
penelitian yang lebih lanjut untuk menegakan pendapat yang telah di kemukakan

2. Judul : Pengaruh Pemberian Aloevera pada Pasien Luka Bakar


Penulis : Andri Nugraha (Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Bandung)
Urip Rahayu (Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
Bandung)
Penerbit : -
Tahun :-
Kelebihan dan Kekurangan :

6
 Jurnal membahas secara terperinci terkait aleovera, apa saja kandungan dan
manfaatnya serta cara kerja pada luka bakar
 Leterasi jurnal yang beragam membuat informasi yang di peroleh lengkap
 Bahasa yang digunakan mudah di pahami, sehingga tidak sulit untuk mencerna
dan meneliti kembali isi jurnal
 Informasi terkait jurnal tidak lengkap misalnya pada penerbit jurnal dan tahun
terbit jurnal

3. Judul : Bee Pollen as a Promising Agent in the Burn Wounds Treatment


Penulis : PaweB Olczyk (Departemen Farmasi Komunitas, Sekolah Farmasi dan
Divisi Kedokteran Laboratorium di Sosnowiec, Universitas Kedokteran
Silesia di Katowice, Kasztanowa 3, 41-200 Sosnowiec, Polandia)
Robert Koprowski (Departemen Sistem Komputer Biomedis, Fakultas Ilmu
Komputer dan Ilmu Material, Institut Ilmu Komputer, Universitas Silesia,
Bedzinska 39, 41-200 Sosnowiec, Polandia)
Justyna Kafmierczak, Lukasz Mencner, Krystyna Olczyk, Katarzyna
Komosinska-Vassev (Departemen Kimia Klinis dan Diagnostik
Laboratorium, Sekolah Farmasi dan Divisi Kedokteran Laboratorium di
Sosnowiec, Universitas Kedokteran Silesia di Katowice, Jednosci 8, 41-200
Sosnowiec , Polandia)
Robert Wojtyczka (Departemen dan Institut Mikrobiologi dan Virologi,
Sekolah Farmasi dan Divisi Kedokteran Laboratorium di Sosnowiec,
Universitas Kedokteran Silesia di Katowice, Jagiellonska 4, 41-200
Sosnowiec, Polandia )
Jerzy Stojko (Pusat Pengobatan Eksperimental, Medics 4, Fakultas
Kedokteran di Katowice, Universitas Kedokteran Silesia di Katowice, 40-
752 Katowice, Polandia)
Penerbit : Hindawi Publishing Corporation Pengobatan Pelengkap dan Alternatif
Berbasis Bukti
Tahun : 2016
Kelebihan dan Kekurangan :

7
 Metode penulisan dan penelitian yang dilakukan baik dan memadai sehingga data
yang peroleh lengkap dan mudah di pahami
 Penggunaan table dalam menujukan hasil penelitian dan perkembangan membuat
data lebih mudah di pahimi
 Tidak ada penjelasan lebih lengkap tentang symbol dan hasil penelitian

4. Judul : Hypnosis For Acute Procedural Pain


Penulis : Cassie Kendrick, Jim Sliwinski, Yimin Yu, Aimee Johnson, William Fisher,
Zoltán Kekecs, dan Gary Elkins UniversitasBaylor, Waco, Texas, AS
Penerbit : HHS Public Access, Author manuscript
Tahun : Januari 2017
Kelebihan dan Kekurangan :
 Review artikel yang dilakukan terperinci dan meluas sehingga informasi yang di
peroleh juga lengkap
 Terdapat reviw tentang penelitian-penelitian yang telah di lakukan terkait terapi
hipnotis untuk mengatasi nyeri sehingga memiliki bukti yang kuat untuk
menegakan teori yang di kemukakan
 Penulisan abstrak tidak terlalu lengkap, misalnya tidak terdapat tujuan penelitian

5. Judul : Burns: First Aid


Penulis : Singh Kuldeep (HOD)
D. Pramod, Punia Sudhanshu, Singh Bikramjit (Resident )
Singh Bhupender (Assistant Professor)
Burns and Plastic Surgery, PGIMS, Rohtak, Haryana, India.
Penerbit : International Journal of Health Sciences & Research (www.ijhsr.org) 434
Vol.7; Issue: 8
Tahun : Agustus 2017
Kelebihan dan Kekurangan :
 Jurnal menjelaskan secara terperinci terkait luka bakar, derajat luka dan
penanganan yang tepat

8
 Menjelaskan secara terperinci terkait pertolongan pertama untuk setiap kategori
dan derajat luka bakar
 Abstrak yang di lampirkan lengkap dan memadai
 Di dalam jurnal tidak terdapat penelitian yang menunjang teori-teori yang di
kemukakan di dalam jurnal

9
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158
DOI 10.1186/s12906-017-1669-4

RESEARCH ARTICLE Open Access

The effects of music intervention on burn


patients during treatment procedures: a
systematic review and meta-analysis of
randomized controlled trials
Jinyi Li1, Liang Zhou2 and Yungui Wang3*

Abstract
Background: The treatment of burn patients is very challenging because burn injuries are one of the most severe
traumas that can be experienced. The effect of music therapy on burn patients has been widely reported, but the
results have been inconsistent. Thus, we performed a systematic review and meta-analysis of randomized controlled
trials in burn patients to determine the effect of music during treatments.
Methods: We searched a variety of electronic databases, including MEDLINE (via PubMed), EMBASE, Cochrane Library,
Psychinfo, VIP Database for Chinese Technical Periodicals (VIP) and China National Knowledge Infrastructure (CNKI) for
relevant trials on the basis of predetermined eligibility criteria. from their first available date through February 2016. Our
search focused on two key concepts: music interventions (including music, music therapy and music medicine) and
physical activity outcomes (including pain, anxiety, burn characteristics, dressing changes, wound care, debridement and
rehabilitation). Two reviewers independently screened records and extracted data from all eligible studies. Statistical
heterogeneity was determined using Q-test and the I2 statistic. The endpoints included standardized mean differences
(SMDs) and 95% confidence intervals (CIs). Publication bias was tested by Begg’s funnel plot and Egger’s test.
Results: A total of 17 studies met the inclusion criteria, for a total of 804 patients. A statistically significant difference in
pain relief was demonstrated between music and non-music interventions (SMD = −1.26, 95% CI [−1.83, −0.68]),
indicating that music intervention has a positive effect on pain alleviation for burn patients. The results indicated that
music interventions markedly reduced anxiety in individuals compared to non-music interventions (SMD = −1.22, 95% CI
[−1.75, −0.69]). Correspondingly, heart rate decreases were found after treatments that included music interventions
(SMD = −0.60, 95% CI [−0.84, −0.36]).
Conclusion: In summary, a positive correlation was found between treatments including music interventions and pain
alleviation, anxiety relief, and heart rate reduction in burn patients. However, additional high-quality studies with carefully
considered music interventions for burn patients are still needed.
Keywords: Music intervention, Burn patients, Pain, Anxiety, Meta-analysis, Systematic review

* Correspondence: c_q2014@163.com
3
The Third Military Medical University, Chongqing 400038, China
Full list of author information is available at the end of the article

© The Author(s). 2017 Open Access This article is distributed under the terms of the Creative Commons Attribution 4.0
International License (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/), which permits unrestricted use, distribution, and
reproduction in any medium, provided you give appropriate credit to the original author(s) and the source, provide a link to
the Creative Commons license, and indicate if changes were made. The Creative Commons Public Domain Dedication waiver
(http://creativecommons.org/publicdomain/zero/1.0/) applies to the data made available in this article, unless otherwise stated.
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 2 of 14

Background Music as an intervention has wide applicability during


The treatment of burn patients is very challenging because burn treatment. Particularly as a form of complementary
burn injuries are one of the most severe traumas that can and alternative medicine (CAM), music therapy has
be experienced. As medical technology has advanced, the been widely used in multiple clinical fields due to its
majority of burn patients are now being successfully non-pharmacological, non-invasive and easily accessible
resuscitated and typically undergo early escharotomy, skin features. The study of music interventions for burn pa-
transplantation, and antibiotic administration in addition tients began in the late 1970s. Christenberry published
to receiving nutritional support, which together dramati- the first paper regarding the application of music
cally decrease their mortality rate [1]. However, burn therapy for burn patients and outlined a corresponding
patients must still experience many painful procedures, protocol for the intervention [20].
including skin grafting, escharectomy, debridement, Music intervention is widely used during dressing
dressing changes and physical rehabilitation. Burn patients changes and debridement to help decrease pain and
usually face a series of physiological and psychological anxiety in burn patients. The majority of past studies have
problems during treatment. Pain is a major problem and indicated that music has positive effects with regard to the
occurs during all stages of treatment. The adequate alleviation of pain for burn patients, especially non-severe
management of pain may make recovery more tolerable pain [4, 21–27]. In addition, Robb et al. [28] found that
and affect morbidity by means of prevention of elevated music assisted relaxation and decreased anxiety in burn
metabolism, thereby reducing the chance of malnutrition patients and increased their compliance during debride-
and deterioration of the immune system [2]. And the ment and dressing changes. However, some discrepancies
researchers question the safety of analgaesics and anxio- exist regarding the outcomes produced by the clinical ap-
lytics in patients with major burns because of their plication of music therapy for pain management. Ferguson
requirement for massive fluid resuscitation has the poten- [4] studied the effects of relaxing music on perceived
tial for contributing to hemodynamic instability [3]. More- levels of pain and anxiety during range-of-motion
over, the use of sedation and analgesia must be limited in exercises and found that the music produced no
pediatric burn patients. There is a very close relationship significant effects on pain relief. Furthermore, there were
between anxiety and pain [4], and anxiety is the most no significant differences between pretest and post-test
common emotional issue faced by burn patients, as re- anxiety scores following the music intervention. Another
ported in early studies [5, 6]. As such, the treatment of study published in 2006 showed that the effects of music
burn patients must incorporate a holistic view of pain and interventions on pain and anxiety in pediatric patients
anxiety. Effectively adjusting treatment parameters to during donor-site dressing changes were not conclusive
manage pain and anxiety is necessary for burn patients [29]. Thus, the effects of music intervention remain un-
throughout treatment. clear and require further investigation. In previous studies,
The use of music interventions in the clinic has a long the primary types of music intervention investigated have
history. These interventions have typically been used included music therapy and music medicine. Music ther-
during treatment and rehabilitation. To date, many studies apy is an interpersonal process during which professional
have reported the use of music as an intervention during staff who have completed an approved music therapy
dental procedures, surgery, chemotherapy, and injections program use music and all of its facets—physical,
[7–12]. Music interventions have also been used to emotional, mental, social, aesthetic, and spiritual—to help
manage pain and anxiety in patients during medical pro- clients accomplish individualized goals [30]. Music medi-
cedures for many years. A study reported by Bradt showed cine involves relatively passive listening to pre-recorded
the effects of music interventions on preoperative anxiety music offered by a researcher or clinician without the
in surgical patients [8]. Furthermore, studies conducted by involvement of a music therapist or a defined therapeutic
Chlan et al. have shown that the use of music interven- process.
tions can reduce anxiety in ICU patients on mechanical Few reviews have been reported regarding the use of
ventilation [13, 14]. Other authors have also demonstrated music interventions for burn patients; indeed, only two
anxiety reduction in mechanically ventilated ICU patients studies [31, 32] have reviewed the effects of music therapy
through music interventions [15–17]. Wang et al. [18] has on burn patients, and these two studies were not meta-
indicated that the use of music interventions can signifi- analyses. Other studies have reviewed the effects of non-
cantly improve pain score, anxiety, heart rate, arterial pharmaceutical therapy, which is not restricted to music
pressure, and satisfaction score for patients undergoing a therapy or music medicine on burn patients [3, 33]. No
variety of endoscopic procedures. Notably, Hole et al. [19] review study thus far has conducted a meta-analysis
demonstrated that music can help alleviate postoperative examining the effects of music interventions on burn
pain, anxiety, and analgesia needs in addition to improving patients. The purpose of the current systematic review and
patient satisfaction during recovery. meta-analyses was to evaluate the effects of randomized
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 3 of 14

controlled trials (RCTs) of music interventions for burn excluded. Literature studies written in English and Chinese
patients during treatment procedures and to provide have been included in this manuscript.
recommendations for future research and clinical practice.
Data extraction
Primary outcome measurement in this meta-analysis
Methods
was pain intensity, while anxiety was considered a
Search strategy
secondary outcome measurement. Data were carefully
The study was designed in accordance with the Cochrane
and independently extracted from all eligible studies by
Handbook for Systematic Reviews of Interventions. Our
two investigators (JL, ZL according to the inclusion cri-
results were reported according to the Preferred Reporting
teria mentioned above using a prespecified Microsoft
Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis
Excel spreadsheet. The extracted data included study
statement [34]. We performed a search of all literature
characteristics (e.g., author name, year of publication,
regarding the clinical application of music therapy on
sample size, patient age, total body surface area (TBSA)
burn patients using the following databases: MEDLINE
and type of music), effect measurements (e.g., pain score,
(via PubMed), EMBASE, Cochrane Library, Psychinfo,
level of anxiety, and heart rate), and quality indicators
VIP and CNKI. We searched the databases from their
(e.g., adequate sequence generation, allocation conceal-
earliest available dates through February 2016. Both
ment, and blinding). Disagreement was resolved by
MESH terms and free text words describing ‘the use of
discussion or consulting with a third reviewer (YW).
music interventions (including music therapy and music
medicine)’ and ‘the measurement of physical activity
Risk of bias assessment
outcomes (including pain, anxiety, burn characteristics,
The methodological quality of the studies was
dressing changes, wound care, debridement and
independently evaluated by two investigators (JL, ZL)
rehabilitation) were used in the search. The articles of
according to the Cochrane Risk of Bias tool for RCTs
these two sets were then combined using the Boolean
[35]. Any differences were resolved by consulting with
‘AND’ operator. The search builders were presented as
a third reviewer (YW).
follows: ‘music’ or ‘music intervention’ or ‘music ther-
apy’ or ‘music medicine’ AND ‘burn’ or ‘burn patient*’
Statistical analysis
or ‘burn pain’ or ‘burn anxiety’ or ‘dressing changes’ or
Statistical heterogeneity was determined using Q-test
‘debridement’ or ‘wound care’ or ‘burn rehabilitation
and the I2 statistic. For cases in which P ≤ 0.10 and I2 ≥
(Additional file 1: Table S1). Reference checking and
50%, a random effects model was applied. Otherwise, a
citation tracking of the included articles were manually
fixed effects model was used. The endpoints were SMDs
performed to identify additional studies meeting the
and 95% CIs. Publication bias was assessed using Begg’s
inclusion and exclusion criteria. In addition, we manu-
funnel plot and Egger’s test.
ally searched the Chinese databases of journals, disser-
tations and magazines for related articles as well as the
Results
references to these articles.
Study selection
After performing an extensive electronic search com-
Inclusion and exclusion criteria bined with a manual search, 491 records were identified,
The inclusion criteria were RCTs with a parallel group, resulting in an initial library of 409 references following
crossover or cluster design that included burn patients the removal of 82 duplicates. 354 records were excluded
undergoing various procedures (e.g., dressing changes, on the basis of title or abstract. Fifty-five full-text articles
debridement, range of motion exercises, and surgery). The reviewed to determine its eligibility for inclusion and
subjects in the intervention group received music interven- exclusion criteria. After an independent review of titles
tion before and/or during and/or after procedures, whereas and abstracts, 38 records were excluded for failing to
the subjects in the control group underwent procedures meet the inclusion criteria. A total of 17 RCTs were
without music. The music interventions included music included in the final review (Fig. 1). The following vari-
therapy and music medicine. The music could be live music ables were extracted from the included studies: length of
or recorded music, and the styles of music were not limited. study, size of trial sample, ages and genders of partici-
Studies were excluded if their raw data could not be pants, and procedures and intervention methods used.
extracted or if music was not the main intervention method These data are shown in Table 1.
used during treatment, such as interventions that involved
music combined with massage. Each article should be Study characteristics
scored according to the Cochrane Collaboration’s tool for The current review included 804 burn patients from 17
assessing risk of bias and those less than 2 points should be RCTs comparing patients undergoing treatments with
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 4 of 14

Fig. 1 PRISMA flow diagram: study selection

and without music interventions. Table 1 lists characte- scales (11-LS) [44]. In one study, pain intensity experi-
ristics from all included studies. These trials included enced by pediatric patients was assessed using the
nine studies published in Chinese [22, 27, 36–42] and WBFRS and the NAPI [29] (Table 1). Only six studies
eight studies published in English [4, 24, 25, 28, 29, 43, were included in this meta-analysis; the remaining four
44]. The ages of the included patients ranged between 6 studies were descriptively reviewed because data could
and 86 years old. Five studies reported the average age not be extracted from them.
of their patients. From a total of 17 literatures, two Fifteen studies assessed anxiety descriptors [4, 22–26,
literatures with 92 patients didn’t provide gender 28, 29, 37–43] using the following measurement tools:
information. There is a total of 722 patients in the rest State-Trait Anxiety Inventory forms (STAI) [4, 22, 23,
15 literatures, among them, 67.6% were male patients. 28, 43], the Self-Rating Anxiety Scale (SAS) [37, 40–42],
The types of procedures investigated included dressing the Hamilton Anxiety Scale (HAMA) [39], the Fear
change [22, 29, 37, 43, 44], debridement [24, 26, 36, 39], Thermometer (FT) [29] and the VAS [24–26, 38]
preoperative procedures [28], range of motion rehabilita- (Table 1). However, six studies were excluded due to a
tion [4], cold therapy [23], daily nursing care [40], lack of raw data; therefore, only nine studies were
isolation [42] and hospitalization [25, 37, 38]. included in our analysis of anxiety descriptors (Table 1).
Most of the music used in the intervention was self- Blood pressure was evaluated based on measurements of
selected by the patient [4, 28, 29, 38, 42, 44] or based on systolic blood pressure (SBP) and diastolic blood pressure
a patient’s preferences [22, 24–26, 36]. Recorded music (DBP). Four studies reported the effects of music interven-
was used in 15 studies, and live music was used in three tion on SBP and DBP [22, 25, 28, 41]; of these, three were
studies [24, 26, 29] (Table 1). The main methods used included in the meta-analysis [22, 25, 41].
for music intervention in the included trials were Heart rate, another continuous variable in terms of vital
attention distraction methods such as Muralvision or signs, was extracted in four studies and combined in the
musical alternate engagement (MAE) and relaxation meta-analysis [22, 25, 29, 41]; of these, three studies
methods such as music-assisted relaxation (MAR) and provided only descriptive reviews and were not included
music-based imagery (MBI) (Table 1). in the meta-analysis [26, 28, 37].

Outcome measurements Risk of bias


Pain intensity was assessed in ten studies [4, 22–26, 29, To assess the risk of bias, the patients were randomly
36, 43, 44] using the following measurement tools: the allocated into two groups; however, the majority of
Visual Analogue Scale (VAS) [4, 22–25, 36], the Wong/ included studies did not describe their exact methods of
Baker Faces Rating Scale (WBFRS) [26, 29], the McGill randomization [4, 22–26, 28, 29, 36–39, 43, 44]. Only
Pain Questionnaire (MGPQ) [43], the Nursing Assess- three studies claimed that allocation was based on the
ment of Pain Index (NAPI) [29] and the 11-point Likert generation of a random number table [40, 41] or
Table 1 Characteristics of the included studies
Sample Age Gender TBSA(A) % Procedure Interventions Duration of Measurement
(treatment (male/ (range) music tools(D)
Technique(B) Music Selection Intervention Control Other
/ control) female)
description(C)
Miller et al. 17 (9/8) 40.9/27.8 16 M, 1 F 1–39% Dressing Muralvision Recorded Investigator- ①③ Placebo Medication During MGPQ,
(1992) [43] (mean change music selected music effect procedure STAI
treatment
/control)
Robb et al. 20 (10/10) 8–20 N/A N/A During MAR Recorded Self-selected ①②③④ Usual care Medication Before and STAIC
(1995) [28] preoperative music music during
period procedure
Fratianne et al. 25 7–83 16 M, 9 F 1–43% Debridement MBI & MAE Live music Patient’s ①②③④⑤ Usual care Medication Before, WBFRS,
(2001) [26] preferred music during VAS,
and after TOMRI
procedure
Haythronthwaite 42 43.6 32 M, 10 F 3–65% Dressing Music Recorded Self-selected ①③⑤ Sensory Medication 20 min 11-LS,
et al. (2001) [44] (mean) change distraction music music focusing, before and BDI,
usual during Burn-CSQ
care procedure
Ferguson et al. 11 (5/6) 18–75 8 M, 3 F 7–50% Range of Music Recorded Self-selected ①⑤ Usual care Exercise During VAS, STAIC, H-
(2004) [4] motion relaxation music music procedure PCMS
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158

Chen Shujuan 40 (20/20) 23–54 40 M 12–49% Debridement Music Recorded Investigator- ①③ Usual care No Twice a day HAMA,
et al. (2005) [39] process medicine music selected music for 30 min HRSD
each time;
30 days for
a course of
treatment
Whitehead- 14 (8/6) 6–16 5 M, 9 F N/A Dressing Music Live music Self-selected ①②③④ Verbal No During NAPI,
Pleaux et al. change therapy music interaction procedure WBFRS, FT
(2006) [29]
Lin Huiting et al. 40 (20/20) 20–55 40 M 13–50% Debridement Music Recorded Patient’s ①⑤ Usual care No During VAS
(2007) [36] process medicine music preferred music procedure
Tan et al. 29 8–71 24 M, 5 F 3–40% Debridement MBI & MAE Live music Patients’ music ①②③④⑤ Usual care Medication Before, VAS, MTIS
(2010) [24] process and recorded preferences during and
music after
procedure
Liu Chenyuan 120 (60/ 8–86 69 M, 51 F N/A Dressing Music Recorded Patient’s ①④ Usual care No 20 min VAS, STAI
et al. (2010) [22] 60) change medicine music preferred music before and
during
procedure
Liang Wanling 62 (31/31) 17–50 45 M, 17 F N/A Isolation area Music Recorded Self-selected ①③ Usual care No Patient- SAS, SDS
et al. (2010) [42] medicine music music by selected
patient/ family music
played for
1 h at 7:00
and 17:00
Page 5 of 14
Table 1 Characteristics of the included studies (Continued)
Yang Yong 46 (23/23) 36 (mean) 26 M, 20 F N/A During Music Recorded Self-selected ①③④ Usual care No Twice a day VAS, SDS
(2011) [38] hospitalization medicine music music from list for 20–30
min each
time
Zhang Qian 60 (30/30) 19–50 29 M, 31 F 4–5% Cold therapy Music Recorded Investigator- ①⑤ Usual care Cryotherapy During VAS, STAI
et al. (2012) [23] medicine music selected music procedure
Jiang Mingzhu 64 (32/32) 19–63 43 M, 21 F Ocular During Music Recorded Investigator- ①③ Usual care No At 9:00 and SAS
(2013) [41] hospitalization medicine music selected music 15:00 each
day for 30–
60 min each
time
Ren Yue et al. 72 (36/36) N/A N/A 20–60% Dressing Music Recorded Nurse-selected ①⑤ Usual care Medication 15 min SAS
(2014) [37] change medicine music music before and
during
procedure
Zhou Tao 42 (21/21) 47.2/45.1 23 M, 19 F N/A Daily nursing Music Recorded Investigator- ①③④ Usual care No Before and SAS, SDS
(2014) [40] (mean care medicine music selected music during
treatment/ procedure
control)
Najafi et al. 100 (50/ 31.08/31.18 62 M, 38 F 6–48% During Music Recorded Patient’s ①③⑤ Usual care Medication Music VAS
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158

(2015) [25] 50) (mean hospitalization intervention music preferred music intervention
treatment/ was offered
control) once a day
(20 min) for
3
consecutive
days
Abbreviations: MGPQ McGill Pain Questionnaire (including PPI and PRI; PPI Present pain intensity, PRI Pain rating index), WBFRS Wong/Baker Faces Rating Scale, NAPI The Nursing Assessment of Pain Index, STAI The
Spielberger’s State-Trait Anxiety Inventory, BDI The Beck Depression Inventory, VAS Visual analog scale, HAMA Hamilton Anxiety Scale, HRSD Hamilton Rating Scale for Depression, 11-LS 11-point Likert scales, STAIC The
State-Trait Anxiety Index for Children, FT The Fear Thermometer, TOMRI Trippett Objective Muscle Relaxation Inventory, MTIS The Muscle Tension Inventory Scale, H-PCMS Hewlett-Packard Component Monitoring Sys-
tem, SAS Self-Rating Anxiety Scale, SDS Self-Rating Depression Scale
(A) TBSA: Total body surface area. (B) Techniques. Muralvision: A distraction-relaxation music therapy technique combining video or pictures with music for distraction. MAR (music-assisted relaxation): This method in-
cludes music listening, deep diaphragmatic breathing, progressive muscle relaxation, and imagery. MBI (music-based imagery): The MBI component occurred in the patient’s room for 15 to 30 min before and after the
procedure and provided relaxing and safe experiences to the patient through music listening. MAE (musical alternate engagement): The MAE intervention was used to provide more physically engaging activities and
participatory musical tasks during dressing changes in the treatment area. (C) Intervention description①Music intervention form (music medicine or operational process);②Technique introduction (if the techniques of
music intervention has been introduced or not); ③Procedure description (Start time, End time, operational process); ④Materials and Settings (Instruments, stereo equipment, environment); ⑤Music characteristics
(style, genre, tempo, volume, et al.). (D) Measurement tools
Page 6 of 14
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 7 of 14

random lottery [42]. The blinding of treatment alloca- Four studies were included in descriptive reviews. In
tion was obtained by concealed envelopes in one study Fratinanne et al. [26] study, self-reported pain was
[24]. Because of the nature of music intervention, the improved in the music therapy group by over four
evaluation criteria used for double-blinding were intervals during treatment procedures. The self-
obscure for most studies. Blinded methodology was used reporting of pain was significantly decreased for those
as much as possible in the included studies. In one who received music therapy compared to those who
study, the physicians treating the patients were blinded did not. Liu Chenyuan et al. [22] study reported that
regarding whether the patients were listening to music 98.33% of patients had level 0 or level 1 pain during
prior to treatment [26]. In Najafi et al. study, a blinded dressing changes in the experimental group, while only
co-researcher recorded and measured the experimental 80% of patients in the control group had similar low
data [25]. In another study, to decrease rater bias, the re- pain levels. The majority of patients in the control
search nurses were not assigned to the patients in the group had significantly higher pain levels than those in
research group prior to the study [24]. In addition, two the experimental group during dressing changes.
of the studies did not provide any measurement raw data However, contrary evidence was reported in other
but just final results and therefore demonstrated possible studies. Haythronthwaite et al. found that patients in a
outcome-reporting bias [37, 38] (Fig. 2). sensory focusing group experienced greater pain relief
than those in a music distraction group based on serial
Outcomes of meta-analysis pain ratings [44]. In Ferguson’s study, although there
was a difference between pretest and post-test pain
Primary Outcome across groups, no difference in pain was found between
Pain. The meta-analysis of six trials and 260 burn the groups [4].
patients for measures of pain intensity demonstrated Secondary Outcomes
significant heterogeneity (I2 = 81.6%, P < 0.001). The Anxiety Level. The included anxiety scores
pooled result from the random effects model demonstrated statistically significant heterogeneity
demonstrated significant differences in pain scores (I2 = 87.0%, P < 0.001). The results showed a
between the music intervention group and the non- statistically significant reduction in the anxiety levels
music intervention group (SMD = −1.26, 95% CI of the burn patients (SMD = −1.22, 95% CI [−1.75,
[−1.83, −0.68]) [23–25, 29, 36, 43] (Fig. 3). Music −0.69]) in the intervention group compared to those
intervention was found to reduce the pain experienced in the control group [23–26, 29, 36–39, 41–43]
by burn patients during treatment procedures. (Fig. 4).
Although the study reported by Robb et al. [28] did not
include sufficient data to be included in the meta-analysis,
a significant decrease in anxiety scores was found for the
experimental group compared to the control group.
Zhoutao reported that music intervention had a significant
positive effect on anxiety alleviation; the effective ratio of
the control group was 9.52%, whereas the effective ratio of
the experimental group was 52.38% (P < 0.05) [40].
Although two studies that were conducted in China were
not included in the meta-analysis due to a lack of pretest
raw data, the results of these studies also indicated that
music interventions significantly reduced anxiety for
severe burn patients [38] during hospitalization or during
dressing change when combined with anesthetics [37].
Fratinanne et al. [26] indicated that self-reported anxiety
during medical procedures was reduced by four intervals
in the music therapy group, but no statistical significance
was observed. Moreover, Ferguson and Voll also reported
that no significant reduction in anxiety was found during
therapy including music relaxation [4].
Heart Rate. The effects of music intervention on heart
rate during burn treatment procedures were extracted
from four studies in the meta-analysis [22, 25, 29, 41],
Fig. 2 Results of bias risk assessments
and the statistical heterogeneity for this variable was
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 8 of 14

Fig. 3 Forest plot of music therapy for burn patients during treatment procedures, outcome parameter: pain

significant (I2 = 88.8%, P < 0.001). Compared with the 41] (Figs. 6 and 7). Similarly, Robb et al. [28] study found
usual care group, heart rate was significantly decreased no significant differences in heart rate between the pre-
in the music intervention group (SMD = −0.60, 95% CI and post-test period for either group.
[−0.84, −0.36]) (Fig. 5). Respiration Rate. Two of the four studies that
Three studies that had reported the effects of music included information regarding the effect of music
interventions on heart rate were not included in the meta- therapy on respiration rate showed statistically
analysis due to ineligibility. Robb et al. [28] indicated that significant differences between pre- and post-
music interventions showed no significant effect on heart treatment measurements of respiratory rate across
rate between pre- and post-test periods for either group. the groups [4, 25]. The other two studies showed no
Frantianne et al. [26] reported that music therapy had a significant difference in respiration between groups
slight effect on heart rate, although the difference was not during the preoperative period or during dressing
significant. However, in Renyue et al. [37] study, the post- changes [28, 29].
test results revealed that music interventions decreased
heart rate significantly during dressing changes compared
to the control group. Publication bias
Blood Pressure. Four studies reported on the effects of Publication bias was estimated using Begg’s test (for
music interventions on blood pressure [22, 25, 28, 41]; of pain, z = −1.43, P = 0.202; for anxiety, z = 0.36, P = 0.721)
these, three were included in the meta-analysis. The and Egger’s linear regression test (for pain, z = 1.11, P
random effects pooled result did not demonstrate = 0.266; for anxiety, t = −1.18, P = 0.271). The results
differences between the intervention group and the suggested that there was no significant evidence of publica-
control group with regard to blood pressure during tion bias (Additional file 2: Figure S1). Furthermore, the
treatment procedures (SBP: SMD = −0.37, 95% CI [−1.18, results of sensitivity analysis indicated that the overall
0.45]; DBP: SMD = −0.24, 95% CI [−0.68, 0.20]) [22, 25, results in the meta-analysis were robust and reliable.
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 9 of 14

Fig. 4 Forest plot of music therapy for burn patients during treatment procedures, outcome parameter: anxiety

Discussion had a positive effect on pain relief; the burn patients


The purpose of the current systematic review was to exposed to music typically reported low to moderate
evaluate the effects of music interventions on burn amounts of pain during treatment. This result is consis-
patients undergoing medical procedures. tent with results from studies of the use of music for the
During burn treatment and nursing, many factors relief of chronic, non-severe pain [46]. However, one of
cause patients to experience pain, including the wound the studies included in the current systematic review
itself, dressing changes, bathing, debridement, excision and meta-analysis showed that music therapy not only
and grafting. Furthermore, escharotomy, plastic surgery, reduced chronic pain but also severe pain [24]. A
routine occupational therapy, physical therapy, nursing prospective, randomized crossover clinical trial was
care and rehabilitation therapy also induce pain. In the conducted in an inpatient burn unit using MBI and
current systematic review and meta-analysis, music was MAE. The study indicated that music therapy decreased
used as an intervention in seven different types of proce- pain, anxiety, and muscle tension in burn patients
dures, including dressing change, debridement, range of during acute procedures [24]. So far, Tan’s findings were
motion exercise, preoperative preparations, cold therapy, different than that of Fratianne [26] and Prensner [47].
nursing care and isolation. The effects of music inter- Therefore, larger sample studies regarding the effect and
vention in other clinical fields, including for critically ill application field of MBI & MAE are needed in the
patients receiving mechanical ventilatory support [13] future.
and coma patients [45], has been well studied. These It is well known that the most widely accepted neuro-
studies provide a reference for the application of music logical principle underlying the mechanism for the asso-
therapy for burn patients in the ICU. ciation of music and pain relief is the gate control theory
The current meta-analysis showed a significant decline of pain reported by Melzack and Wall [24, 29, 48]. This
in pain intensity before and after patients received music theory asserts that stimulation by non-noxious input is
interventions. The majority of studies showed that music able to suppress pain. However, a recent study reported
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 10 of 14

Fig. 5 Forest plot of music therapy for burn patients during treatment procedures, outcome parameter: heart rate

that music therapy modulates pain perception through and distraction with music intervention may help
at least two different mechanisms that involve changes patients cope with pain. Although individual studies
in the activity of delta and gamma bands at different have shown that submitting burn patients to music
stages of pain processing [49]. These results provided interventions provides some evidence of decreased pain
novel insights into the neurological principals that intensity and anxiety, there have been no indications
underlie the achievement of pain relief following music that any specific type of music offers more benefits.
therapy. It is necessary to find a solution to resolve the Consistent with previous studies, our study believed that
pain and anxiety felt by burn patients undergoing treat- it is vital to establish appropriate standard protocols of
ment procedures. music therapy during different burn treatment procedures
The use of music as an intervention has shown the [32]. In this study, four kinds of music therapy protocols
potential to reduce pain during burn treatment. Hay- including Muralvision, MAR, MBI and MAE have been
thronthwaite’s study indicated that the effect of music used in these included studies. One literature which was
on pain relief was more obvious in a sensory focusing not included in this Meta-analysis introduced the effect of
group compared with a music distraction group [44]. It other music therapy protocols including Song Phrase
is worth noting that the music intervention methods Cued Response (SPCR)、Adapted Progressive Muscle Re-
used in the music distraction group fell under the laxation (APMR)、MBI and the Relaxation Response
purview of medicine rather than music therapy. Thus, if Elicitation (RRE) during burn treatment. Those different
rigorous music therapy methods were introduced into protocols have been adapted to meet the specific needs of
this research according to treatment target, they may burn patients during specific procedures [47]. However,
produce the same effects as those observed in the further researches are still needed to provide evidence-
sensory focusing group. Tan’s study also proved this based clinical practice of music therapy protocol for
point [24]. More studies are needed to reveal the roles patients with specific needs.
of music intervention, especially music therapy, in severe Furthermore, in most studies, the music was selected
pain control. However, based on the above-referenced by patients from existing music lists or was the patient’s
study by Hauck et al. [49], the combination of relaxation own preferred music. However, in Chinese studies,
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 11 of 14

Fig. 6 Forest plot of music therapy for burn patients during treatment procedures, outcome parameter: SBP

music interventions have mainly relied on music medi- found that the FT could not capture the effects of music
cine. In China, the quality of music intervention still on pain and anxiety on pediatric patients undergoing
needs improvement due to the lack of professional painful procedures due to their limited understanding of
music therapists and standardized training. The im- the terms.
provement of professional music therapy may promote Meanwhile, we found that the application of analgesic
future research into music therapy in China. during burn treatment has received more and more at-
Eleven studies reported significant anxiety relief tentions [24, 26, 47]. One study demonstrated a positive
between the intervention group and the control group. correlation between burn patient increased comfort
Correspondingly, patient satisfaction also improved dur- levels when music therapy was used in conjunction with
ing treatment in three studies [37, 38, 42]. However, the pharmaceutical treatments [32]. However, no data could
results of these trials differed from those in other studies be extracted from the included literatures regarding the
in the review, and they did not provide enough raw data effect of music therapy on analgesic use. Thus, further
on specific indicators to support the meta-analysis or studies are needed to investigate the effect of music
answer our email requests for more detailed data [4, 44]. therapy on pain medication during burn treatment. In
More appropriate measurement scales and methods addition, burn patients not only faced physical pain, but
for relieving pain and anxiety are needed for burn also psychological distress. Therefore, to establish a
patients. In the 17 studies included here, many different physical-psychological intervention program becomes
scales were used to measure pain and anxiety. The VAS, necessary for burn patients. The current systematic
the MGPQ, the WBFRS and the NAPI were used to review and meta-analysis is the first to assess the effect-
measure pain, while the STAI, the VAS, the FT, the iveness of music interventions on burn patients under-
HAMA and the SAS were used to measure anxiety. going treatment. However, the study results should be
However, Tan’s research showed that the graphic rating interpreted in light of its limitations, most of which are
scale, the MGPQ and the STAIR are not suitable for the related to the original trials. First, in the majority of the
study of burn patients since these measurements are all 17 included studies, the risk of bias was moderate. The
subjective self-reports. However, this point of view is still overall trial quality was reduced due to the lack of con-
controversial Furthermore, Whitehead-Pleaux et al. [29] cealed allocation or blinded therapists assessing outcome
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 12 of 14

Fig. 7 Forest plot of music therapy for burn patients during treatment procedures, outcome parameter: DBP

measures. Second, the sample sizes in most of the trials music interventions are recommended to provide more solid
were small. Third, there was heterogeneity in the types evidence on both the short-term and long-term effects of
of patient populations studied, types of music interven- this intervention strategy on burn patients.
tions applied, and types of treatment used. Although
heterogeneity existed among the studies, the standar- Additional files
dized mean differences per group were calculated, and
the results for the pain and anxiety intensity outcomes Additional file 1: Table S1. Search strategy. (DOC 31 kb)
were pooled. In addition, we would have attempted to Additional file 2: Figure S1. Begg’s funnel plot and Egger’s linear
adjust for the heterogeneity by performing a subgroup regression test. (A) Begg’s funnel plot for pain. (B) Begg’s funnel plot for
anxiety. (C) Egger’s linear regression test for pain. (D) Egger’s linear
analysis or a meta-regression analysis, but the number of
regression test for anxiety. (JPG 237 kb)
studies was insufficient to perform these analyses.
Moreover, some of the studies lacked quantitative mea-
Abbreviations
surements of specific indicators, making their inclusion
11-LS: 11-point Likert scales; CAM: Complementary and alternative medicine;
in the meta-analysis risky. However, we included these CIs: Confidence intervals; CNKI: Chinese National Knowledge Infrastructure;
study results in the review to avoid potential bias. CqVip: Chongqing Vip of Chinese Science and Technology Periodical
Database; DBP: Diastolic blood pressure; FT: Fear Thermometer;
HAMA: Hamilton Anxiety Scale; I2: I-square; MAE: Musical alternate
Conclusions engagement; MAR: Music-assisted relaxation; MBI: Music-based imagery;
In conclusion, our study presents limited evidence from 17 MGPQ: McGill Pain Questionnaire; NAPI: Nursing Assessment of Pain Index;
RCTs: Randomized controlled trials; SAS: Self-Rating Anxiety Scale;
individual trials that burn patients may experience cumula-
SBP: Systolic blood pressure; SMDs: Standardized mean differences;
tive benefits from music interventions in terms of decreased STAI: State-Trait Anxiety Inventory forms; TBSA: Total body surface area;
pain and anxiety, leading to better treatment prognosis. VAS: Visual Analogue Scale; WBFRS: Wong/Baker Faces Rating Scale
Music intervention has a positive effect on pain alleviation,
anxiety reduction and heart rate control, which provides evi- Acknowledgments
We are grateful to the contribution of Dr. Jun Wu from burn center of
dence to support the advantages of its use during burn treat- southwest hospital for providing helpful advice and comments on the
ment. Further high-quality studies with carefully considered quality appraisal of the included studies.
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 13 of 14

Funding requirement: a randomized controlled clinical trial. Gynecol Obstet Invest.


This research was supported by 2014 Chongqing Youth Social Science 2014;78(4):244–50.
Projects, Grant Reference Number: 2014QNYS35. 13. Chlan LL, Weinert CR, Heiderscheit A, Tracy MF, Skaar DJ, Guttormson JL, et
al. Effects of patient-directed music intervention on anxiety and sedative
Availability of data and materials exposure in critically ill patients receiving mechanical ventilatory support: a
All the data and materials which supporting this manuscript are authentic. randomized clinical trial. JAMA. 2013;309(22):2335–44.
We would like to share all these data to readers of your journal. 14. Chlan L. Effectiveness of a music therapy intervention on relaxation and
anxiety for patients receiving ventilatory assistance. Heart Lung J Crit Care.
Authors’ contributions 1998;27(3):169–76.
YG W supervised JY L and L Z to perform this review and revised the 15. Lin H, Ji PL, Sit JWH, Chung L, Zuo YJ, Wei GM. Effects of music intervention
manuscript. JY L and L Z conducted the database search, assessed studies on physiological stress response and anxiety level of mechanically
for inclusion, extracted and analyzed the data, and drafted the manuscript. ventilated patients in China: a randomised controlled trial. J Clin Nurs.
YG W assessed studies for inclusion, extracted the data which followed by 2010;19(7–8):978–87.
cross checking with JY L. L Z was responsible for the statistics analysis. JY L 16. Twiss E, Seaver J, Mccaffrey R. The effect of music listening on older adults
amended English writing of this review. YG W and JY L arbitrated any undergoing cardiovascular surgery. Nurs Crit Care. 2006;11(5):224–31.
disagreements. All authors have read and approved the final version of the 17. Wong HLC, Lopez-Nahas V, Molassiotis A. Effects of music therapy on
manuscript. anxiety in ventilator-dependent patients. Heart Lung J Acute Crit Care.
2001;30(5):376–87.
Competing interests 18. Wang MC, Zhang LY, Zhang YL, Zhang YW, Xu XD, Zhang YC. Effect of
The authors declare that they have no competing interests. music in endoscopy procedures: systematic review and meta-analysis of
randomized controlled trials. Pain Med. 2014;15(10):1786–94.
Consent for publication 19. Hole J, Hirsch M, Ball E, Meads C. Music as an aid for postoperative
Not applicable. recovery in adults: a systematic review and meta-analysis. Lancet. 2015;
386(10004):1659–71.
Ethics approval and consent to participate 20. Christenberry EB. The use of music therapy with burn patients. J Music Ther.
Not applicable. All analyses were based on previous published studies, thus 1979;16(3):138–48.
no ethical approval and patient consent are required. 21. Whitehead-Pleaux AM, Zebrowski N, Baryza MJ, Sheridan RL. Exploring
the effects of music therapy on pediatric pain: phase 1. Music Ther.
Publisher’s Note 2007;44(3):217–41.
Springer Nature remains neutral with regard to jurisdictional claims in 22. Liu CY, Yuan QF, Zou F. The effect of music therapy on pain and anxiety
published maps and institutional affiliations. control for burn patient during dressing change. Chin Cosmet Med. 2010;
19(11):1712–3 [Chinese].
Author details 23. Zhang Q, Luan YM, Zou ZQ. A combination of music therapy and cold
1
Department of Humanities and Social Sciences, The Third Military Medical therapy on pain and anxiety control for upper limbs burn patients during
University, Chongqing, China. 2Research Institute of Field Surgery, Daping early stage. Chin Rehabil. 2012;27(6):456–7 [Chinese].
Hospital, The Third Military Medical University, Chongqing, China. 3The Third 24. Tan X, Yowler CJ, Super DM, Fratianne RB. The efficacy of music therapy
Military Medical University, Chongqing 400038, China. protocols for decreasing pain, anxiety, and muscle tension levels during
burn dressing changes: a prospective randomized crossover trial. J Burn
Received: 4 June 2016 Accepted: 7 March 2017 Care Res. 2010;31(4):590–7.
25. Najafi GT, Mohades AF, Rafii F, et al. The Effects of Music Intervention on
Background Pain and Anxiety in Burn Patients: Randomized Controlled
References Clinical Trial.[J]. J Burn Care Res, 2015;37(4):226–34.
1. Lorente JA, Amaya-Villar R. Update in the management of critically ill 26. Fratianne RB, Prensner JD, Huston MJ, Super DM, Yowler CJ, Standley JM.
burned patients. Med Intensiva. 2016;40(1):46–8. The effect of music-based imagery and musical alternate engagement on
2. de Jong AE, Middelkoop E, Faber AW, Van Loey NE. Non-pharmacological the burn debridement process. J Burn Care Rehabil. 2001;22(1):47–53.
nursing interventions for procedural pain relief in adults with burns: a 27. Chen XL, Xie XX, Wu LP, Yang FX, Xie XY. The effect of music interventions
systematic literature review. Burns. 2007;33(7):811–27. on pain for extensive burn patients during dressing change. Chin J Rehabil
3. Summer GJ, Puntillo KA, Miaskowski C, Green PG, Levine JD. Burn injury Theory Pract. 2005;11(10):857–8 [In Chinese].
pain: the continuing challenge. J Pain. 2007;8(7):533–48. 28. Robb SL, Nichols RJ, Rutan RL, Bishop BL, Parker JC. The effects of music
4. Ferguson SL, Voll KV. Burn pain and anxiety: the use of music relaxation assisted relaxation on preoperative anxiety. J Music Ther. 1995;32(1):2–21.
during rehabilitation. J Burn Care Rehabil. 2004;25(1):8–14. 29. Whitehead-Pleaux AM, Baryza MJ, Sheridan RL. The effects of music therapy
5. Robert R, Blakeney P, Villarreal C, Meyer 3rd WJ. Anxiety: current practices in on pediatric patients’ pain and anxiety during donor site dressing change. J
assessment and treatment of anxiety of burn patients. Burns. 2000;26(6):549–52. Music Ther. 2006;43(2):136–53.
6. Carrougher GJ, Ptacek JT, Honari S, Schmidt AE, Tininenko JR, Gibran NS, et 30. Davis WB, Gfeller KE, Thaut MH. An introduction to music therapy:
al. Self-reports of anxiety in burn-injured hospitalized adults during routine theory and practice. Silver Spring: American Music Therapy Association;
wound care. J Burn Care Res. 2006;27(5):676–81. 2008. p. 5–15.
7. Mejia-Rubalcava C, Alanis-Tavira J, Mendieta-Zeron H, Sanchez-Perez L. 31. Protacio J. Patient-directed music therapy as an adjunct during burn wound
Changes induced by music therapy to physiologic parameters in patients care. Crit Care Nurse. 2010;30(2):74–6.
with dental anxiety. Complement Ther Clin Pract. 2015;21(4):282–6. 32. Bingham B. The Effect of Music Therapy on Burn Patients[C]. Thesis for: BSN,
8. Bradt J, Dileo C, Shim M. Music interventions for preoperative anxiety. Advisor: Ms. Joanne Martin, 2014;1-36.
Cochrane Database Syst Rev. 2013;6:D6908. 33. Hanson MD, Gauld M, Wathen CN, MacMillan HL. Nonpharmacological
9. Engwall M, Duppils GS. Music as a nursing intervention for postoperative interventions for acute wound care distress in pediatric patients with burn
pain: a systematic review. J Perianesth Nurs. 2009;24(6):370–83. injury: a systematic review. J Burn Care Res. 2008;29(5):730–41.
10. Lesiuk T. The effect of mindfulness-based music therapy on attention and 34. Moher D, Liberati A, Tetzlaff J, Altman DG, PRISMA Group. Preferred
mood in women receiving adjuvant chemotherapy for breast cancer: a pilot reporting items for systematic reviews and meta-analyses: the PRISMA
study. Oncol Nurs Forum. 2015;42(3):276–82. statement. PLoS Medicine. 2009;6(7):e1000097. doi:10.1371/journal.pmed.
11. Chen X, Seth RK, Rao VS, Huang JJ, Adelman RA. Effects of music therapy on 1000097.
intravitreal injections: a randomized clinical trial. J Ocul Pharmacol Ther. 35. Higgins JP, Altman DG, Gøtzsche PC, et al. The Cochrane Collaboration’s tool
2012;28(4):414–9. for assessing risk of bias in randomised trials. BMJ. 2011;343(2):d5928. 7.
12. Simavli S, Gumus I, Kaygusuz I, Yildirim M, Usluogullari B, Kafali H. Effect of 36. Lin HT, Chen YT. The application of music therapy on 20 burn patients.
music on labor pain relief, anxiety level and postpartum analgesic J Fujian Med. 2007;9(5):157–8 [In Chinese].
Li et al. BMC Complementary and Alternative Medicine (2017) 17:158 Page 14 of 14

37. Ren Y, Liu JJ, Yin J, Sun JH, Liu LH, Wang HT. The clinical effect of
background music used composite anesthesia of burn dressing change.
Chin J Clin Ration Drug Use. 2014;7(4):110–1 [In Chinese].
38. Yong Y. The effect of music therapy on anxiety and depression alleviation
to burn patients. Mod Med Health. 2011;27(6):909–10 [In Chinese].
39. Chen SJ, Xiao XL, Zhang L. The effect of music therapy on anxiety or
depression status of severe male burn patients. J Chin Metallurgical Ind
Med. 2005;3:328–9 [In Chinese].
40. Zhou T. The effect of music therapy on anxiety relieving for severe burn
patients. J Jiling Med. 2014;36:8131–2 [In Chinese].
41. Jiang MZ. The impact of music therapy to physical and psychological status
of chemical eyes burn patients. Mod Hosp. 2013;13(9):90–2 [In Chinese].
42. Liang WL, Zhou X, Wen SH, Li YX, Xie YH, Mo MX. The impact of music
therapy to severe burn patients’ psychological health. Nurs Pract Res. 2010;
07(14):11–3 [In Chinese].
43. Miller AC, Hickman LC, Lemasters GK. A distraction technique for control of
burn pain. J Burn Care Rehabil. 1992;5(13):576–80.
44. Haythronthwaite JA, Lawrence JW, Fauerbach JA. Brief cognitive
interventions for burn pain. Ann Behav Med. 2001;23(1):42–9.
45. Sun J, Chen W. Music therapy for coma patients: preliminary results. Eur Rev
Med Pharmacol Sci. 2015;19(7):1209–18.
46. Standley JM. Music research in medical/dental treatment: meta-analysis and
clinical applications. J Music Ther. 1986;23(2):56–122.
47. Prensner JD, Yowler CJ, Smith LF, et al. Music therapy for assistance with
pain and anxiety management in burn treatment [J]. J Burn Care Res.
2000;22(1):83–8.
48. Melzack R, Wall PD. Pain mechanisms: a new theory [J]. Science. 1967;
150(150):971–9.
49. Hauck M, Metzner S, Rohlffs F, Lorenz J, Engel AK. The influence of music
and music therapy on pain-induced neuronal oscillations measured by
magnetencephalography. Pain. 2013;154(4):539–47.

Submit your next manuscript to BioMed Central


and we will help you at every step:
• We accept pre-submission inquiries
• Our selector tool helps you to find the most relevant journal
• We provide round the clock customer support
• Convenient online submission
• Thorough peer review
• Inclusion in PubMed and all major indexing services
• Maximum visibility for your research

Submit your manuscript at


www.biomedcentral.com/submit
PENGARUH PEMBERIAN ALOE VERA PADA PASIEN LUKA BAKAR
“STUDI LITERATUR”
1
Andri Nugraha, 2 Urip Rahayu

Abstrak

Luka bakar mengakibatkan berbagai masalah yaitu masalah kematian, kecacatan, hilangnya
kepercayaan diri dan mengeluarkan biaya yang relatif banyak untuk penyembuhan. Penderita
luka bakar memerlukan pengobatan langsung untuk mengembalikan fungsi kulit normal.
Oleh karena itu, aloe vera digunakan sebagai terapi alternatif yang efektif serta biaya yang di
keluarkan lebih terjangkau. Penelusuran literatur ini bertujuan untuk menganalisa hasil
penelitian yang berfokus pada efek penggunaan aloe vera terhadap penyembuhan luka bakar
Metode : Penelaahan ini dilakukan dengan metode review literatur dari 9 jurnal yang
didapatkan melalui media elektronik, dengan kata kunci aloe vera, burn injury, management
burn injury, dan therapy. Hasil: aloe vera berbentuk segitiga, daun berdaging dengan tepi
bergerigi, memiliki bunga tubular kuning, mempunyai banyak biji dan memiliki panjang 30 -
50 cm dan luas dasarnya 10 cm. aloe vera diberikan untuk mengobati pasien luka bakar
derajat pertama dan derajat ke dua. Luka bakar yang diberikan aloe vera lebih cepat
mengalami proses penyembuhan dan epitalisasi jaringan kulit karena didalam aloe vera
terdapat kandungan antiseptik, antiinflamasi dan meningkatkan granulasi jairngan.
Kesimpulan: aloe vera berpengaruh terhadap penyembuhan luka bakar derajat pertama dan
kedua karena aloe vera dapat meningkatkan granulasi jaringan, antiseptik dan antiinflamasi.
Kata kunci : Aloe vera, luka bakar, terapi

Abstract

Burn injury give some effects, there are death, disabilities, loss of confidence and the high
cost of healing. Burn injury patient needs treatment conducted directly to return the skin
function. Therefore, aloe vera can be used as an inexpensive alternative treatment. Aims of
the study: This literature search aimed to analyzethe results ofstudythat focuses oneffects
ofthe use ofaloeveraforthe healing of burn injury. Method of the study:This study use
literature review method ofnine electronic journal andthe keywords used are aloe vera, burn
injury, management burn injury and therapy. Result of study:Aloeverahas a shapesuch asa
triangle with tubular yellow flowers, fleshy leaveswithjagged edges, a lot of seeds and has a
length of 30-50 cm and width 10 cm. Aloe vera given to treat first and second degree burn
injury patients. Burn injuries were treated by aloe vera can heal faster and epithelializationof
skin tissue because aloe vera contains antiseptic,anti-inflammatory and increase granulation
tissue. Conclusions: aloe verais possible to heal first and second degree of burn injury
because aloe vera can improve thegranulationtissue, antisepticandanti-inflammatory.
Keyword: Aloe vera, burn injury, therapy

PENDAHULUAN bahan kimia. Smeltzer & Bare, 2010). luka


Luka bakar adalah rusaknya bakar mengakibatkan berbagai masalah
sebagian jaringan tubuh yang disebabkan yaitu masalah kematian, kecacatan,
karena perubahan suhu yang tinggi, hilangnya kepercayaan diri dan
sengatan listrik, ledakan, maupun terkena mengeluarkan biaya yang relatif banyak

72
untuk penyembuhan (Sjamsuhidajat & Vermeulen, 2010). Namun, hal ini
Wim, 2005). membuat perawatan luka bakar
Luka bakar merupakan salah satu mengeluarkan biaya yang mahal sehingga
trauma yang sering terjadi dalam dibutuhkan aloe vera sebagai terapi yang
kehidupan sehari-hari, bahkan sering kali efektif dan biaya yang di keluarkan lebih
pada kecelakaan masal dan paling terjangkau (Shahzad & Ahmed, 2013).
terbanyak ditemukan terjadi di rumah Lidah buaya (Aloe vera) merupakan
adalah luka bakar derajat II (Nurdiana, , tanaman asli Afrika, yang memiliki ciri
Hariyanto, & Musrifah, 2008). Luka fisik daun berdaging tebal, sisi daun
bakar tergolong kasus epidemik yang berduri, panjang mengecil pada ujungnya,
serius dalam setiap tahun. Sebuah berwarna hijau, dan daging daun berlendir
penelitian di Amerika menunjukkan (Yeh, Eisenberg, Kaptchuk and Phillips,
prevalensi pasien dengan luka bakar 2003).
sebanyak 10 juta kasus (Driscoll, Patrick, Tujuan dari literature review ini
2009) dan setiap tahun, sekitar 1 juta orang adalah untuk menganalisa hasil penelitian
menderita luka bakar (Edelman, 2009), yang berfokus pada efek penggunaan Aloe
sedangkan menurut Departemen vera sebagai pengobatan pada pasien luka
Kesehatan Replublik Indonesia (2008) bakar untuk meminimalkan potensi
prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar terjadinya infeksi selama proses
2,2%. perawatan.
Untuk mengatasi luka bakar harus
dilakukan perawatan kompleks yaitu METODE PENELITIAN
mengurangi nyeri pada tubuh, memerlukan Penelusuran ini dilakukan dengan
perawatan di rumah sakit yang lama metode telaah literatur yang didapat
dengan berbagai macam prosedur operasi melalui media elektronik (internet). Kata
dan waktu rehabilitasi yang lama kunci yang digunakan dalam penelusuran
(Khorasani, 2009). Penderita luka bakar literatur adalah aloe vera, burn injury,
memerlukan pengobatan langsung untuk management burn injury, dan therapy.
mengembalikan fungsi kulit normal Literatur didapat dari website EBSCOhost,
(Cuttle et al., 2006). Salah satu terapi luka Proquest dan google scholar. Jurnal yang
bakar saat ini adalah dengan diperoleh berjumlah 23 jurnal dan yang
mengoleskan hidrogel sebagai obat memenuhi kriteria berjumlah 9 jurnal.
topikal (Erizal, 2008) dan silver Penulis dari jurnal yang didapat memiliki
sulphadiazine (Versloot, Vos, Ubbink, & latar belakang tenaga kesehatan dengan

73
spesialisasi di bidang keperawatan, sejak zaman dahulu yaitu di Mesir, Ratu
kedokteran spesialis kecantikan dan Nefertiti dan Cleopatra menggunakan lidah
biologi. Jurnal yang diambil merupakan buaya sebagai kecantikan, sedangkan
original article sehingga data yang Alexander Agung, dan Christopher
disajikan lengkap dan memudahkan dalam Columbus menggunakannya untuk
penelahaan penelitian. mengobati luka prajurit (Marshall, 1990;
Surjushe, A., Vasani, R., & Saple, 2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN Referensi pertama tentang Aloe vera yang
Sejarah Aloe Vera di terjemahkan dalam bahasa Inggris
Lidah buaya atau dikenal juga adalah sebuah terjemahan oleh John
sebagai Aloe barbadensis Mill., Aloe Goodyew pada tahun 1655 dari
indica Royle, Aloe perfoliata L. var. vera Dioscorides De Materia Medic (risalah
dan A. vulgaris Lam merupakan tanaman medis). Aloe vera Pada awal 1800-an telah
milik keluarga Liliaceae, yang ada lebih digunakan sebagai pencahar di Amerika
dari 360 spesies yang diketahui (Dat AD, Serikat, tetapi di pertengahan 1930 terjadi
Poon F, Pham KBT, Doust J, 2011). Nama perubahan penggunaan lidah buaya
tanaman Aloe Vera (lidah buaya) berasal digunakan untuk mengobati dermatitis
dari berbagai bahasa diantaranya yaitu kata kronis dan berat (Surjushe, A., Vasani, R.,
Arab "Alloeh" yang berarti "zat pahit yang & Saple, 2008)
bersinar," sementara "vera" dalam bahasa Anatomi, Fisiologi Dan Kandungan
Latin berarti "benar". Sedangkan, menurut Kimia Pada Aloe Vera
bahasa mesir Aloe yang berarti "tanaman Aloe vera (Lidah buaya) memiliki
keabadian" Surjushe, A., Vasani, R., & bentuk yang khas dibandingkan dengan
Saple, 2008). tanaman yang lainnya yaitu aloe vera
Aloe vera digunakan sebagai obat berbentuk segitiga, daun berdaging dengan
dilakukan sejak dahulu. Pada 2000 tahun tepi bergerigi, memiliki bunga tubular
yang lalu, para ilmuwan Yunani kuning, mempunyai banyak biji dan
menganggap lidah buaya sebagai obat memiliki panjang 30 - 50 cm dan 10 cm
mujarab universal dan Lidah buaya (Aloe luas dasarnya (G. Y. Yeh, D. M.
vera) telah digunakan sebagai pengobatan Eisenberg,T. J. Kaptchuk and R. S.
di beberapa kebudayaan selama ribuan Phillips, 2003; Pankaj, Sahu, 2013). Daun
tahun tertama pada negara Mesir, India, lidah buaya setiap daunnya terdiri dari tiga
Meksiko, Jepang dan China. (Pankaj, lapisan yaitu : sebuah gel yang dibagian
Sahu, 2013). Aloe vera sudah digunakan dalam mengandung 99% air dan sisanya

74
terbuat dari vitamin, glukomannans, asam Bruneton, 1995; Surjushe, A., Vasani, R.,
amino, lipid, dan sterol. (Brown, 1980; T. & Saple, 2008; Pankaj, Sahu, 2013).
Reynolds & A. C. Dweck, 1999; Surjushe, Dibawah ini merupakan komponen
A., Vasani, R., & Saple2008; Pankaj, kandungan zat dan fungsinya yang
Sahu, 2013). Bagian dalam lidah buaya terdapat pada lidah buaya menurut
mengandung banyak monosakarida dan Rodríguez, Castillo, García dan Sanchez,
polisakarida, vitamin B1, B2, B6, dan C, 2005 yaitu
niacinamide dan kolin, beberapa bahan Senyawa Identifikasi Fungsi
Asam Membuat 20 asam Sebagai
anorganik, enzim (asam dan alkali amino amino dan 7 dasar untuk
esensial lainnya membangun
fosfatase, amilase, laktat dehidrogenase, blok protein
dalam tubuh
lipase) dan Senyawa organik (aloin, dan jaringan
barbaloin, dan emodin) (Hayes. 1999; otot
Antrakuin Membuat Aloe Analgetik
Surjushe, A., Vasani, R., & Saple, 2008; on emodin, Aloetic dan anti
acid,alovin, bakteri
Pankaj, Sahu, 2013). anthracine
Enzim Anthranol, Anti jamur
Lapisan tengah aloe vera yang barbaloin, dan antivirus
chrysophanic tetapi
terdiri dari lateks yang merupakan getah
acid, smodin, beracun
kuning terasa pahit dan mengandung ethereal oil, apabila
ester of konsentrasi
antrakuinon dan glikosida (Brown, 1980; cinnamonic acid, tinggi
isobarbaloin,
Surjushe, A., Vasani, R., & Saple, 2008; resistannol
Hormon Auxins and Penyembuha
Pankaj, Sahu, 2013), dan lapisan luar gibberellins n luka dan
yang tebal teridiri dari 15-20 sel yang anti
inflamasi
disebut dengan kulit, memiliki fungsi Minerals Calcium, Untuk
chromium, menjaga
pelindung dan mensintesis karbohidrat dan copper, iron, kesehatan
manganese, tubuh
protein. Dalam kulit lidah buaya terdapat potassium,
sodium and zinc
ikatan pembuluh yang bertanggung jawab Asam Seperti kandunga Anal getik
untuk transportasi zat seperti air (xilem) Salisik aspirin
Saponins Glikosida Pembersihan
dan pati (floem) (Tyler V. 1993; dan
antiseptik
Surjushe, A., Vasani, R., & Saple, 2008).
Lapisan luar ini mengandung turunan dari Senyawa Identifikasi Fungsi
hidroksiantrasena, antrakuinon dan Steroids Cholesterol, Agen anti-
campesterol, inflamasi,
glikosida aloin A dan B hydroxyanthrone, lupeol, sistosterol sedangkan
lupeol
emodin-antron 10-C-glukosida dan memiliki
Sifat
khrones. (Saccu, P. 2001; Bradley, 1992; antiseptik
dan

75
analgesik (Ito et al,1993; Haller. 1990; Pankaj, Sahu,
Gula Monosaccharides: Anti virus 2013). Kemudian, dalam lidah buaya
Glucose and dan stimulasi
Fructose ssm imunitas terdapat Lupeol, merupakan kimia yang
Polysaccharides: dalam tubuh
Glucomannans/po
paling aktif mengurangi peradangan dalam
lymannose dosis tertentu dan sterol juga dapat
Vitamin A, B, C, E, Sebagai
choline, B12, Antioksidan berkontribusi terhadap anti-inflamasi.
asam folat (A, C, E),
dan Lidah buaya mengandung sterol termasuk
menetralisir
radikal bebas campesterol, β-sitosterol, dan kolesterol
yang dapat mengurangi inflamasi,
Fungi Aloe vera membantu dalam mengurangi peradangan
aloe vera memiliki fungsi yang rasa sakit dan bertindak sebagai analgesik
sangat bermanfaat bagi tubuh yaitu alami (Madan, Sharma, Inamdar, Rao &
mempercepat penyembuhan luka, Singh, 2008).
antiinflamasi, efek laksatif, melembabkan Lidah buaya juga mengandung
kulit, antidiabetes, antiseptik dan Antrakuinon yang terdapat dalam lateks
antimikrobial. Penyembuhan luka berfungsi sebagai pencahar yang kuat,
disebabkan oleh glukomanan dan giberelin merangsang sekresi lendir, meningkatkan
berinteraksi dengan reseptor faktor penyerapan dan peristaltik usus (Ishii,
pertumbuhan dari fibrobroblast yang Tanizawa & Takino, 1994; Pankaj, Sahu,
merangsang aktivitas dan proliferasi 2013). Selain itu, mengandung glikosida 8-
sehingga meningkatkan sintesis kolagen, dihydroxyanthracene, aloin A dan B
meningkatkan sintesis dari asam memiliki efek yang sama. Efek pencahar
hyaluronic dan dermatan sulfate sehingga dari Aloe Vera umumnya terjadi sebelum 6
mempercepat granulasi untuk jam setelah diminum dan kadang-kadang
penyembuhan luka (Chithra, G. B. Sajithal tidak sampai 24 jam atau lebih.
and G. Chandrakasan, 1998; Hayes. 1999; (Reynolds. 1993; Che, et al, 1991; Pankaj,
Pankaj, Sahu, 2013). Sahu, 2013).
Lidah buaya juga dapat berfungsi Muco-polisakarida juga terdapat
untuk menghambat jalur siklooksigenase, pada lidah buaya yang memiliki fungsi
mengurangi produksi prostaglandin E2 membantu dalam mengikat kelembaban
dari asam arakidonat dan mengandung kulit dan mengandung asam amino yang
peptidase bradikinase yang dapat menyebabkan sel kulit yang mengeras
mengurangi pengeluaran bradikinin menjadi lembab dan bertindak sebagai zat
sehingga mengurangi proses antiinflamasi. untuk mengencangkan pori-pori,

76
mengurangi munculnya kerut jerawat atau sistem kekebalan tubuh serta antibakteri
penuaan dan penurunan eritema (West and dan anti efek viral (Pankaj, Sahu, 2013).
Y. F. Zhu. 2003; Pankaj, Sahu, 2013). Pembahasan
Lidah buaya digunakan sebagai Aloe vera dapat digunakan untuk
antiseptik karena adanya enam agen mengobati berbagai luka terutama pada
antiseptik yaitu lupeol, asam salisilat, urea luka bakar. Hal ini didukung dengan
nitrogen, asam sinamat, fenol dan penelitian Maenthaisong, et al, 2007
belerang. Senyawa ini memiliki efek menyatakan bahwa aloe vera diberikan
menghambat pertumbuhan jamur, bakteri untuk mengobati pada pasien luka bakar
dan virus (Madan, Sharma, Inamdar, Rao untuk derajat pertama dan derajat ke dua,
& Singh, 2008). bila dibandingkan dengan perawatan luka
Selain itu, Terdapat lima pitosterol konvensional maka aloe vera lebih efektif
dari Aloe vera, lophenol, 24-metil- untuk mempercepat proses penyembuhan
lophenol, 24-etil-fenol, cycloartenol dan dan epitalisasi jaringan kulit.
24-metil siklopentanol menunjukkan efek Efektivitas aloe vera lebih baik
anti-diabetes tipe-2 tikus diabetes (Tanaka, apabila dibandingkan dengan obat lain
et al, 2006). Aloe vera mengandung yang digunakan untuk mengobati luka
polisakarida yang dapat meningkatkan bakar dan biaya yang di keluarkan lebih
insulin dalam tubuh dan menunjukkan terjangkau. Hal ini didukung dalam sebuah
penurunan kadar gula dalam darah (Yagi, penelitian membandingkan lidah buaya
et al, 2006). krim yang mengandung Aloe vera gel
Aloe vera juga mengandung emodin bubuk 0,5% dengan sulfadiazin perak 1%
yang efektif terhadap infektivitas herpes cream. Hasil penelitian menunjukkan dari
simplex virus tipe I dan tipe II dan juga kelompok yang diberikan Aloe vera 30/30
mampu menonaktifkan semua virus, (100%) mencatat luka benar-benar sembuh
termasuk varisela virus zoster, virus pada 19 hari sedangkan dengan dari krim
influenza, dan virus pseudorabies perak sulfadiazine 24/30 (80%) dan tingkat
(Sydiskis, 1991). Selain itu juga, re-epitelisasi dan penyembuhan parsial
mengandung saponin yang berfungsi ketebalan luka bakar secara signifikan
sebagai anti-mikroba terhadap bakteri, lebih cepat diobati dengan lidah buaya
virus, dan jamur (Peter, 2002). daripada di diobati dengan SSD (Silver
Glukomanan dan acemannan telah Sulfadiazine Cream) (15,9 ± 2 vs 18,73 ±
terbukti mempercepat penyembuhan luka, 2,65 hari, masing-masing; P <0,0001)
mengaktifkan makrofag, merangsang (Khorasani, et al, 2009). Sedangkan,

77
menurut Shahzad & Ahmed, (2013) bakar sebanyak 3x dalam sehari
perawatan luka bakar menggunakan aloe (Ramachandra and Rao, 2008).
vera lebih murah biaya yang di keluarkan Aloe vera memiliki kontra indikasi
dan lebih mengurangi nyeri pada pasien di dalam mengobati luka bakar yaitu tidak
bandingkan dengan perawatan luka bakar boleh digunakan pada orang yang
dengan menggunakan SSD. Penelitian lain mengalami alergi terhadap aloe vera
pada 12 ekor tikus putih diberikan luka karena menyebabkan iritasi pada kulit
bakar kemudian diberikan alow vera gel sehingga memperberat penyakit pasien dan
dan diukur hispatologinya. Hasil penelitian disarankan tidak boleh digunakan pada
menunjukan bahwa tikus yang di berikan pasien yang sedang hamil atau ibu
aloe vera gel akan meningkatkan menyusi namun harus di lakukan
pembentukan pembuluh darah, penelitian lebih lanjut (Grundmann, 2012).
meningkatkan kolagenasi dan proliferasi Efek aloe vera terhadap luka bakar
(Hidayat, Noer & Rizaliyana, 2013). yaitu menstimulasi fibroblas dan
aloe vera memiliki kekurangan yaitu makrofag, meningkatkan pembentukan
tidak efektif digunakan untuk mengobati kolagen dan sistesis proteoglikan,
luka bakar parsial, berdasarkan penelitian meningkatkan fungsi hormon faktor
Cuttle, et al (2008) perawatan luka dengan pertumbuhan dan granulasi, antiseptik dan
menggunakan aloe vera sebagai antiinflamasi sehingga mempercepat
pertolongan pertama perawatan luka bakar penyembuhan luka bakar (Rodríguez,
pada binatang babi menunjukan tidak Castillo, García dan Sanchez, 2005; Sahu,
efektif untuk mengurangi pertumbuhan 2013).
bakteri, mencegah terjadinya skar (bekas
luka), mengurangi kedalaman skar dan KESIMPULAN DAN SARAN
kecantikan tampilan skar sehingga tidak di Aloe vera (lidah buaya) terbukti
rekomendasikan aloe vera untuk sebagai pengobatan alternatif yang efektif
pertolongan pertama luka bakar parsial. untuk luka bakar, tetapi tidak boleh
Aloe vera yang di gunakan untuk digunakan pada orang yang alergi. Namun
mengobati luka bakar yaitu dengan aloe perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
vera olahan atau murni yang mengandung mengenai dosis yang digunakan untuk
10-70% gel terutama pada bagian dalam mengobati luka bakar.
aloe vera, kemudian di pasteurisasi pada 1. Mahasiswa Fakultas Keperawatan
0 Universitas Padjadjaran Bandung
suhu 75-80 C selama kurang dari 3 menit
2. Dosen Fakultas Keperawatan
dan setelah itu, dioleskan pada area luka Universitas Padjadjaran Bandung

78
DAFTAR PUSTAKA Etiology. [Online] June 13, 2009.
http://blog.mediligence.com/2009/1
Bradley. (1992). “British Herbal 2/13/inci dence-and-prevalence-of-
Compendium,” British Herbal wounds-byetiology/
Medicine Association, Edelman L S, Cook L, Saffle J R.
Bournemouth,. [14] J. Bruneton, (2009). Using probabilistic
“Pharmacognosy, Phytochemistry, linkage of multiple databases to
Medicinal Plants,” England, describe burn injuries in utah. Burn
Intercept, Hampshire, 1995, pp. 434- Care Research. 30:983
436. Erizal. (2008). Pengaruh pembalut
Brown. (1980). “A Review of the Genetic hidrogel kopolimer
Effects of Natu- rally Occurring polivinilpirrolidon (PVP)-κ -
Flavonoids, Anthraquinones and karaginan hasil iradiasi dan waktu
Related Compounds,” Mutation penyembuhan pada reduksi
Research, Vol. 75, No. 3, , pp. 243- diameter luka bakar tikus putih
277. http://dx.doi.org/10.1016/0165- wistar. Indo Journal Chem. 8(2):
1110(80)90029-9 271 – 278.
Bruneton. (1995). “Pharmacognosy, Haller. (1990).“A Drug for All Seasons,
Phytochemistry, Medicinal Plants,” Medical and Pharmacological
England, Intercept, Hampshire, pp. History of Aloe,”Bulletin of the New
434- 436. York Academy of Medicine, Vol.
Cuttle L, Kempfh M, Phillips G E, Mill J, 66, , pp. 647-659
Hayes M T, Fraser J F, et al. (2006). Hayes. (1999). “Lichen Planus: Report of
A porcine deep dermal partial Successful Treat- ment with Aloe
thickness burn model with vera,” General Dentistry, Vol. 47,
hypertrophic scarring. Burns. 32: No. 3, 1999, pp. 268-272.
806-820 Hidayat, Noer & Rizaliyana. (2013). Role
Chithra, G. B. Sajithal and G. of Topical Extract Aloe Vera gel in
Chandrakasan. (1998). “Influ- ence Deep Burn Wound Healing in Rat.
of Aloe veraon Glycosaminoglycans Media Jurnal Rekonstruksi & Estetik
in the Matrix of Healing Dermal Volume : 2 - No. 2 Terbit : 12-2013
Wounds in Rats,” Journal of Ishii, Tanizawa and Y. Takino. 1994.
Ethanopharmacology, Vol. 59, No. “Studies of Aloe. V. Mechanism of
3, pp. 179-186. http://dx.doi.org/ Cathartic Effect. (4),” Biological &
10.1016/S0378-8741(97)00112-8. Phar- maceutical Bulletin, Vol. 17,
Che, T. Akao, M. Hattori, K. Kobashi and No. 5, pp. 651-653. http://dx.doi.
T. Namba. (1991). “Isolation of org/10.1248/bpb.17.651
Human Intestinal Bacteria Capable Ito, R. Teradaira, H. Beppu, M. Obata, T.
of Transforming Barbaloin to Aloe- Nagatsu and K. Fujit. (1993).
Emodin Anthrone,” Planta Medica, “Properties and Pharmacological
Vol. 57, No. 1, , pp. 15-19 Activity of Carboxypeptidase in
Dat AD, Poon F, Pham KBT, Doust J. Aloe arborescensMill. var. Natalen-
(2011). Aloe vera for treating acute sis Berger,” Phytotherapy Research,
and chronic wounds. Cochrane Vol. 7, No. pp. S26-S29.
Database of Systematic Reviews http://dx.doi.org/10.1002/ptr.265007
2012, Issue 2. Art. No.: CD008762. 0710
DOI: 10.1002/14651858.CD008762. Khorasani, G., S.J. Hosseinimehr, M.
pub2 Azadbakht, A. Zamani and M.R.
Driscoll, Patrick. (2009). Incidence and Mahdavi, (2009). Aloe versus silver
Prevalence of Wounds by sulfadiazine creams for second-

79
degree burns: a randomized Reynolds. (1993).“Martindale, the Extra
controlled study. Surg. Today, 39: Pharmaco-poeia,” 30th Edition,
587-591. Pharmaceutical Press, London,.
Madan, Sharma, Inamdar, Rao & Singh. Saccu, P. (2001). Bogoni and G. Procida,
(2008). Immunomodulatory “Aloe Exudate: Cha- racterization by
Properties of Aloe vera Gel in Reversed Phase HPLC and
Mice,” International Journal of Headspace GC-MS,” Journal of
Green Pharmacy, Vol. 2, No. 3, Agricultural and Food Chemistry,
2008, pp. 152-154. Vol. 49, No. 10, pp. 4526-4530.
Marshall JM. Aloe vera gel: What is http://dx.doi.org/10.1021/jf010179c
the evidence? Pharma Jr. Surjushe, A., Vasani, R., & Saple, D. G.
(1990);24:360–2. (2008). Aloe vera: A Short Review.
Nurdiana, Hariyanto, Musrifah. (2008). Indian Journal of Dermatology,
Perbedaan kecepatan penyembuhan 53(4), 163–166. doi:10.4103/0019-
;luka bakar derajat II antara 5154.44785.
perawatan luka menggunakan virgin Syamsuhidajat R dan Wim D J. (2005).
coconut oil (cocos nucifera) dan Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
normal salin pada tikus putih (rattus EGC. Hlm 72-101.
novergicus) strain wistar. Skripsi. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L.,
Malang: FK UB. Hlm 3. Cheever, K.H. (2010). Medical
Pankaj, Sahu, et al. (2013). Therapeutic surgical Nursing. 12th edition.
And Medicinal Uses Of Aloe Vera: Philadephia: Lippincott William
A Review. Pharmacology & Wilkins.
Pharmacy, 2013, 4, 599-610. Sydiskis, D. G. Owen, J. L. Lohr, K. H.
Peter. (2002). “Aloe vera Myth or Rosler and R. N. Blomster. (1991).
Medicine?” Positive Health “Inactivation of Enveloped Viruses
Publications, by Anthraquinones Extracted from
http://www.positivehealth.com/perm Plants,” Antimicrobial Agents and
it/Articles/Aloe%20Vera/atherton.ht Chemotherapy, Vol. 35, No. 12, pp.
m 2463-2466.
Reynolds and A. C. Dweck. (1999). “Aloe http://dx.doi.org/10.1128/AAC.35.12
veraLeaf Gel: A Review Update,” .2463[125] M. Cheesbrough
Journal of Ethnopharmacology, Vol. “Medical Laboratory Manual for
68, No. 1-3, , pp. 3-37. Trop
http://dx.doi.org/10.1016/S0378- Tyler V. (1993). The honest herbal: A
8741(99)00085-9. sensible guide to the use of
Ramachandra and Rao. (2008). Processing herbs and related remedies. 3rd
of Aloe Vera Leaf Gel: A Review. ed. Binghamton, New York:
Am. J. Agril. & Biol. Sci., 3 (2): Pharmaceutical Products Press.
502-510, 2008. Tanaka, et al. (2006). “Identification of
Rodríguez, D. Hernández-Castillo, R. Five Phytosterols from Aloe veraGel
Rodríguez- García and J. L. Angulo- as Antidiabetic Compounds,” Bio-
Sanchez, (2005). “Antifungal logical and Pharmaceutical Bulletin,
Activity in Vitroof Aloe veraPulp Vol. 29, No. 7,pp. 1418-1422. http://
and Liquid Fraction against Plant dx.doi.org/10.1248/bpb.29.1418
Pathogenic Fungi,” Industrial Crops Versloot, Vos, Ubbink, & Vermeulen.
and Products, Vol. 21, No. 1, pp. 81- (2010). Topical silver for preventing
87. http://dx.doi.org/10.1016/j.ind wound infection. Cochrane Wounds
crop. 2004.01.002. Group. 10.1002/14651858.CD0064
78.pub2.

80
Vogler. (1999). Vogler B, Ernst E. Aloe
vera: a systematic review of its
clinical effectiveness. British Journal
of General Practice 1999;49(447):
823–8.
West and Y. F. Zhu. (2003).“Evaluation of
Aloe veraGel Gloves in the
Treatment of Dry Skin Associated
with Occupational Exposure,” Vol.
31, No. 1, American Jour- nal of
Infection Control, pp. 40-42.
Yeh, Eisenberg,T. Kaptchuk and R. S.
Phillips. (2003). “Systematic Review
of Herbs and Dietary Sup- plements
for Glycemic Control in Diabetes,”
Diabetes Care, Vol. 26, No. 4, 2003,
pp. 1277-1294. http://dx.doi.org/10.
2337/diacare.26.4.1277
Yagi, Y. Sato, Y. Miwa, A. Kabbash, S.
Moustafa, K. Shimomura and A. El-
Bassuony. (2006). “Ribosomal DNA
Sequence Analysis of
DifferentGeographically Distributed
Aloe vera Plants: Comparison with
Clonally Regenerated Plants,” Saudi
Pharmaceutical Journal, Vol. 14, No.
3-4, pp. 208-211

81
Hindawi Publishing Corporation
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine
Volume 2016, Article ID 8473937, 12 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2016/8473937

Research Article
Bee Pollen as a Promising Agent in the Burn Wounds Treatment

PaweB Olczyk,1 Robert Koprowski,2 Justyna Kafmierczak,3 Lukasz Mencner,3


Robert Wojtyczka,4 Jerzy Stojko,5 Krystyna Olczyk,3 and Katarzyna Komosinska-Vassev3
1
Department of Community Pharmacy, School of Pharmacy and Division of Laboratory Medicine in Sosnowiec,
Medical University of Silesia in Katowice, Kasztanowa 3, 41-200 Sosnowiec, Poland
2
Department of Biomedical Computer Systems, Faculty of Computer Science and Materials Science, Institute of Computer Science,
University of Silesia, Bedzinska 39, 41-200 Sosnowiec, Poland
3
Department of Clinical Chemistry and Laboratory Diagnostics, School of Pharmacy and Division of Laboratory Medicine in
Sosnowiec, Medical University of Silesia in Katowice, Jednosci 8, 41-200 Sosnowiec, Poland
4
Department and Institute of Microbiology and Virology, School of Pharmacy and Division of Laboratory Medicine in Sosnowiec,
Medical University of Silesia in Katowice, Jagiellonska 4, 41-200 Sosnowiec, Poland
5
Center of Experimental Medicine, Medics 4, Faculty of Medicine in Katowice, Medical University of Silesia in Katowice,
40-752 Katowice, Poland

Correspondence should be addressed to Paweł Olczyk; polczyk@sum.edu.pl

Received 10 February 2016; Revised 18 April 2016; Accepted 24 April 2016

Academic Editor: José Maurı́cio Sforcin

Copyright © 2016 Paweł Olczyk et al. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License,
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

The aim of the present study was to visualize the benefits and advantages derived from preparations based on extracts of bee pollen
as compared to pharmaceuticals commonly used in the treatment of burns. The bee pollen ointment was applied for the first time
in topical burn treatment. Experimental burn wounds were inflicted on two white, domestic pigs. Clinical, histopathological, and
microbiological assessment of specimens from burn wounds, inflicted on polish domestic pigs, treated with silver sulfadiazine or
bee pollen ointment, was done. The comparative material was constituted by either tissues obtained from wounds treated with
physiological saline or tissues obtained from wounds which were untreated. Clinical and histopathological evaluation showed that
applied apitherapeutic agent reduces the healing time of burn wounds and positively affects the general condition of the animals.
Moreover the used natural preparation proved to be highly effective antimicrobial agent, which was reflected in a reduction of
the number of microorganisms in quantitative research and bactericidal activity of isolated strains. On the basis of the obtained
bacteriological analysis, it may be concluded that the applied bee pollen ointment may affect the wound healing process of burn
wounds, preventing infection of the newly formed tissue.

1. Introduction microbiological contamination, presence of necrotic tissue,


and properly conducted healing management [1, 2, 4, 5].
Wound healing, being the result of dynamic cooperation
between many molecular factors, is a dynamic reaction whose The therapy of burn wounds may be properly conducted
undisturbed course enables restoring the continuity and either by applying surgical methods or by topical application
functionality of damaged skin [1–3]. The process consists of 4 of therapeutic preparations. Besides contemporary, conven-
specific phases which smoothly proceed and change from one tional treatment methods of thermal skin damage, apitherapy,
to the other even coexisting at times. The duration period of which uses the therapeutic effect of standardized, pharma-
particular healing phases may vary depending on the type of cologically active fractions obtained from bee products, is
the damage and possible coexistence of interfering additional becoming more and more noticeable. Apitherapeutic agents
factors, that is, the size and place of the damage, blood supply have a beneficial effect on the skin condition, due to the
of the wound edges, cleanness of the wound, the degree of reduction of water loss, and influence the reconstruction of
2 Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine

the lipid barrier. One of the most frequently used apithera- was a multicolor blend of granules which were ground. 50 g
peutic agents is bee pollen. This is a varied, natural product of the ground pollen was added to 500 mL of 70% ethanol.
which is rich in such biologically active substances as amino The extraction of the solution was conducted for 4 weeks at
acids, fatty acids, phytosterols, phospholipids, nucleic acids, room temperature. After that period, the solution underwent
carbohydrates, vitamins, mineral substances, enzymes, and microfiltration. Next, the ethanol was distilled with vacuum
coenzymes as well as phenolic compounds including pheno- evaporator. The result was dry matter which was used to
lic acids and flavonoids [6–9]. The plethora of biologically prepare the bee pollen formulation (ointment containing
active substances gives this natural raw material significant 5% bee pollen ethanolic extract and 95% of petroleum jelly
biotic properties such as antimicrobial, anti-inflammatory, (according to Polish norm PN-R-78893)). The procedure
immunomodulatory, or antioxidative activity [7, 10]. was performed under general anesthesia according to the
Such a high efficiency of this natural bee product with a dosage regimen: atropine sulfate, 0.05 mg/kg body weight
significantly low risk of adverse reactions makes bee pollen (Polfa Warszawa); ketamine hydrochloride, 3 mg/kg body
a potentially optimal remedial factor in the therapy of local weight (Biovet, Puławy); xylazine hydrochloride, 1 mg/kg
burn wounds [11, 12]. Therefore, the subject of this study was body weight (Sandoz GMBH). Silver sulfadiazine was used
the assessment of efficiency and therapeutic usability of the in order to prolong the analgesic effect, 5 mg/kg body weight
bee pollen which has not been studied before. (Polpharma).
Bee pollen, also flower pollen, is male reproductive
organs produced by flowers of entomophilous plants. It is 2.2. Tissue Material. The study protocol was approved by
collected by worker bees, transported, and stored in beehives. the Ethics Committee of the Medical University of Silesia.
It constitutes a basic ingredient in bee’s nutrition used for Two, 16-week-old, domestic pigs have been chosen as the
current needs or stored for later period [13]. Bee pollen results useful experimental animals for the evaluation of wound
from agglutination of flower pollen, nectar or honey, and bee’s repair because of many similarities of pig skin to human one.
salivary substances [14]. The usage of the limited number of experimental animals
Bee pollen treatment of topical, thermal damage of the was consistent with validated animal model developed by
skin was compared with the commonly applied pharmaceu- Hoekstra et al. [17] in modification of Brans et al. [18]. The
tical preparation such as silver sulfadiazine (SSD), which has last mentioned pig model is based on the application of one
many side effects. experimental animal [18]. Moreover, in accordance with the
guidelines of good laboratory practice for animal testing,
AgSD not only may be responsible for the development
the established principle is to use the minimum number of
of argyria and dysfunctions of liver, spleen, and kidney
animals necessary to arrive at scientifically robust data and to
due to systemic accumulation of silver or determined by
ensure reliable data. Thus, the animals used in our study were
sulphadiazine presence, dermatitis, erythema multiforme
bred and selected for the highest degree of genetic purity. This
rashes, and acute hemolytic anemia but also unfortunately
form of breeding purpose prevents genetic contamination
could be responsible for cytotoxic effect on fibroblasts and
and allows minimizing the number of animals necessary for
keratinocytes [15, 16].
the experiment, with very reliable results to be obtained.
The clinical assessment of the treatment process of burn
Pigs were housed according to G.L.P. standards of Polish
wounds was conducted. It concerned wound pathomorphol-
Veterinary Law. Each animal was inflicted with 18 skin burn
ogy including the extent and depth of the burn, wound
wounds with equal gaps (9 wounds on each side along the line
maceration, occurrence, and character of the exudate as well
of the backbone). The size of each wound was identical, 1.5 cm
as the process of scar formation. The histopathological assess-
× 3 cm. Totally, the wounds took about 2% of the surface of
ment of the burn wound epithelialization of the dynamics was
each animal’s body subject to the experiment.
done together with qualitative and quantitative assessment of
particular microorganisms in tissue samples collected from Burns were classified as 2nd-degree deep partial thickness
beds of experimental burn wounds. burns. Animals were divided into two groups: control (C) and
experimental ones (E). 36 dermal burns were inflicted. The
wounds of animals in the control group were either untreated
2. Material and Methods (subgroup C1) or treated with physiologic saline (subgroup
2.1. Therapeutic Agents. The following therapeutic prepara- C2).
tions were used: 1% silver sulfadiazine (SSD) (Lek, Poland), The postburn wounds of the experimental group were
0.9% NaCl (Polpharma), and bee pollen formulation. The also treated with SSD (subgroup E1) and with the bee pollen
analyzed bee pollen came from the apiary “Barć” in Kami- containing ointment (subgroup E2). The wounds in question
enna. These are clean and ecological regions of Poland. In this were treated with mentioned substances twice a day, starting
apiary the European Dark Bee also known as Western Honey on the first day of the experiment. Three replications of
Bee is bred. The pollen was a composition of many pollens of biopsies were taken from the same wound of each animal,
various plants. Taking into account the location of the apiary, using surgical knife. Occlusive dressings were applied every
the dominating pollens came from such plants as oilseed 12 hours in all animals of all subgroups.
rape (lemon-yellow color), shamrock (brown color), coltsfoot
(bright yellow), common dandelion (bright orange), linden 2.3. Clinical Study. Clinical observation was to assess the
(bright green), or heather (red-yellow). Macroscopically, it extent and depth of the burn, its maceration, and presence
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine 3

of necrotic tissue in it. Macroscopic reading of pathomor- faecalis; Cetrimide Agar, to identify Pseudomonas spp.). The
phological picture of the wound considered occurrence and identification of isolated bacteria species was conducted by
intensification of typical symptoms of burn wounds: ery- microscopic tests, culture tests, and commercial biochemical
thema, swelling, exudate, bleeding, and eschar. The process test API (bioMerieux, France). The growth promotion test
of granulation tissue formation together with the course of was carried out with reference strains. The next stage of the
scar formation, ongoing on the burn wound surface, was also test was to assess the amount of bacteria on 1 cm2 of the burn
assessed. wound surface. Therefore, the material was collected from
1 cm2 of the wound which was then shaken in 10 cm3 of the
2.4. Histopathological Study. The process of granulation, the sterile solution of physiological saline.
type of the granulation tissue, intensification of swelling
around the burn angiogenesis, and possible scarring of 2.6. Data Analysis. In addition to the analytical methods
the wound were assessed. The microscopic picture of skin mentioned above, the automatic measurement of the time
preparations included degree of the damage in the area and constants was proposed. They concern the change rate analy-
near the wound as well as the repair processes in next stages sis of the number of bacteria, fungi, or moulds in the wound.
of the observation. Histopathological studies concerned the Therefore, the electrical-analog method, the inertial first-
samples which were collected from burn wounds and from order object with delay, was suggested. For such a proposed
the adjacent, unchanged tissue in general anesthesia on 0, 3rd, model, the time constants for particular groups C1, C2, E1,
5th, 10th, 15th, and 21st day from the moment of inflicting and E2 were measured.
the burn. After consolidation, tissues samples were collected The microbiological data analysis was performed using
form skin specimen in order to make histopathological Statistica 7.0 package (StatSoft, Cracov, Poland). The normal-
preparations. The basic slides with samples were stained to ity of distribution was verified with Kolmogorov-Smirnov
achieve optical differentiation and verification of the elements test. Statistical differences between variables were verified by
of cell structure. Two different kinds of dyes were used: analysis of variance (ANOVA), followed by post hoc NIR test.
hematoxylin and eosin. Two histopathological preparations,
which resulted from that process, underwent the microscopic 3. Results
assessment.
3.1. Clinical Test Results. The clinical view of the wounds was
2.5. Microbiological Study. Microbiological study was per- compared on 3rd, 5th, 10th, 15th, and 21st day after burn
formed from the material collected from the burn wounds infliction.
on 0, 3rd, 5th, 10th, 15th, and 21st day of the experiment. Differences in the clinical view of healing wounds were
In the case of quantitative study, the material was collected noticed on the 5th day of the observation. In the control
with a sterile swab stick from the burn wound surface of subgroups, untreated wounds (C1), wounds treated with 0.9%
1 cm2 and was subsequently put into the 10 cm3 of a sterile NaCl solution (C2), and the study subgroup (E1) in which the
solution of 0.9% NaCl. This suspension of microorganisms wounds were treated with silver sulfadiazine, the erythema
served as the basis for a series of dilutions. Then, a 1 cm3 was observed to exceed the area of the burn wound. The
of the suspension was collected and spilt on the slide and skin surrounding the wound was very swollen with visible
dissolved in both the Mueller Hinton agar (MH), in order exudate. In the case of the wounds treated with the ointment
to assess the amount of bacteria, and Sabouraud agar, in with a 5% bee pollen, the subgroup (E2), the area of the
order to assess the amount of fungi and mould. The material wound was covered with a thin, flexible eschar accompanied
to microbiological purity test of the skin was simultane- by bleeding. On 10th and 15th day of the experiment, the
ously collected from the places where the burns were not untreated wound, in the control subgroup (C1), was covered
inflicted. In the case of quantitative studies, the material was with a hard, dry, and cracked eschar strongly adhering in the
collected with AMIES transport medium with active carbon center. Under the eschar, there was a pink granulation tissue.
(HAGAMED, Poland), which was stored at 5∘ C up to the During the same days, in the control subgroup, treated with
moment of performing microbiological tests (max. up to 0.9% NaCl solution (C2), the burn wound was covered with
2 hours). Simultaneously, the samples for microbiological a softened eschar with a small amount of serosanguineous
purity test were collected from the skin of animals not exudate. In the experimental subgroup (E1) treated with silver
taking part in the experiment. Microbiological diagnosis was sulfadiazine, the area of the wound was covered with a hard
conducted in accordance with the standards of National eschar and there was an erythema. The burn wounds of
Committee for Clinical and Laboratory Standards [19]. The subgroup (E2), treated with the bee pollen ointment on the
cultures were conducted on the following enrichment and 10th day, were covered with a thin, flexible eschar with a
differential media such as liquid media (Carbohydrate broth, visible granulation, while, on the 15th day, there was a clear
an enrichment medium for aerobic bacteria) and solid media epithelium being formed. The area of the wound decreased.
(blood agar, to enrich aerobic microorganisms and charac- The tissues surrounding the wound were characterized by
terize the type of hemolysis; Mannitol Salt Agar (Chapman), a weak, atrophic inflammatory condition. On the 21st day
to differentiate Staphylococcus spp.; MacConkey Agar, to of the observation, the clinical view was still significantly
differentiate Enterobacteriaceae species; Sabouraud Agar, to differentiated. In subgroup (C1) the untreated wounds were
identify fungi; Agar D-Coccosel, to identify Enterococcus covered with a dry, cracked eschar. In subgroup (C2),
4 Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine

II
I

III
II

III
I

(a) Untreated (C1) (b) NaCl (C2)

I
II

II
III

(c) SSD (E1) (d) Bee pollen (E2)

Figure 1: The picture of microscopic changes of skin samples collected from burn wounds on the 10th day of the experiment: (a) untreated (I:
swollen inflammatory granulation tissue in the area of dermis, II: eschar with a slight bleeding, and III: visible, pink, and swollen granulation
tissue); (b) washed with NaCl (I: petechial hemorrhages, loss of stratified squamous epithelium, II: coagulative necrosis, and III: massive
lymphocytic infiltration); (c) treated with SSD (I: petechial hemorrhages, II: area of aseptic necrosis with many inflammatory infiltrations,
and III: inflammatory infiltrations on the verge of necrosis); (d) treated with bee pollen (I: petechial hemorrhages, II: area of necrosis with
many inflammatory infiltrations).

the wounds, being constantly washed with 0.9% NaCl, were scar formation, and the stratified squamous epithelium was
covered with an irregular eschar tightly adhering to the being created.
wound in its central part. After the eschar was removed On the 15th day of the observation, other changes in
mechanically, a pink granulation tissue without the features the histopathological view were observed. In the control
of epithelialization could be seen. The wound, treated with subgroups C1 and C2 and in the E1 subgroup, a slow wound
silver sulfadiazine (subgroup E1), was covered with a pink healing process in the phase of fibroplasia with the sustaining
epithelium. The tissues surrounding the wound had no inflammation could be observed. In subgroup (E2), in which
significant inflammatory features. The wound area did not the wounds were treated with the ointment with 5% bee
decrease. The wounds, treated with the bee pollen ointment, pollen extract, fibroplasia was significantly proceeding, while
in subgroup E2, were covered with a thick epithelium. The the present granulation tissue was covered with a regenerated
features of the healing process were strongly visible. Within epithelium. In the wound area there were no clear signs of
inflammatory reaction. The regenerated stratified squamous
the surrounding tissue there were not any signs of erythema
epithelium was appearing on the wound edges together with
or the ongoing inflammatory process.
existing inflammatory infiltrations in the histopathological
view on the 21st day of the experiment in the case of the
3.2. Histopathological Test Results. The histological view of untreated wounds (subgroup C1). In case of wounds washed
wound healing of animals from all groups until the 5th day of with 0.9% of NaCl (subgroup C2) as well as in subgroup (E1),
the experiment were identical. Figure 1 shows differentiated in which the wounds were treated with silver sulfadiazine, the
dynamics of repairing processes which occurred on the 10th developed stratified squamous epithelium was covered with
day of the experimental healing process for all analyzed an eschar, under which there was a visible mature granulation
groups. Application of the bee pollen (E2) achieved its ther- tissue with a lot of fibers. In subgroup (E2), in which the
apeutic effect on the 10th day of the experiment. The whole wounds were treated with the bee pollen ointment, the whole
wound surface was filled with collagen fibers, which affected wound surface was filled with a scar together with a thick
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine 5

II
I
I
II

III

(a) Untreated (C1) (b) NaCl (C2)

II
II

III

I
(c) SSD (E1) (d) Bee pollen (E2)

Figure 2: The microscopic changes of skin samples collected from burn wounds on the 21st day of the experiment: (a) untreated (I: regenerated
stratified squamous epithelium on the sample edge, II: vessel-rich and cell-rich granulation tissue); (b) washed with NaCl (I: eschar, II:
regenerated stratified squamous epithelium, and III: vessel-rich and cell-rich inflammatory granulation tissue); (c) treated with SSD (I: a
slightly swollen dermis, II: eschar with petechial hemorrhages, and III: regenerated stratified squamous epithelium); (d) treated with bee
pollen (I: connective tissue scar covered with epithelium and II: inflammatory granulation tissue with predominating collagen fibers).

stratified squamous epithelium. There was no granulation the smallest number of bacteria in relation to the previous
tissue. The E2 subgroup showed a correctly healed burn measurement. A systematic decrease of the number of bac-
wound. The description of histopathological observations on teria in the wounds classifying to control and experimental
21st day of the experiment is shown in Figure 2. groups was confirmed on the 21st day of the experiment
and; what is more, the beds of thermal damage treated with
silver sulfadiazine and with the bee pollen ointment were
3.3. Microbiological Test Results
characterized by the biggest decrease of the bacteria number
3.3.1. Quantitative Study. The Logarithmic CFU (colony (Figures 3 and 4).
forming unit) values of bacteria cultured on particular days Logarithmic CFU (colony forming unit) values of fungi
of the burn wound healing are summarized in Table 1. and mould cultured on particular days of the burn wound
The result of the quantitative study conducted on the 0 healing are summarized in Table 2.
day, immediately after burning, showed no microorganisms The growth of fungi and mould in the wound area of
from none of the experimental groups. The effect of thermal animals, evaluated on 0 and 3rd day of the C1, C2, E1, and E2
feature made the skin sterilized. On the 3rd day of the study, subgroups, resulted in finding no such microorganisms. The
the bacteria were isolated only from the tissue specimens experimental studies conducted on 5th and 10th day showed
collected from the untreated wounds. On the 5th day, the that the number of fungi and moulds increased particularly
microorganisms were present in the tissue material of all in the case of untreated wounds as well as those treated with
studied groups. Further growth of the average number of silver sulfadiazine. Next days showed a decreased general
bacteria in 1 cm2 of the wound was found on the 10th day of number of fungi and mould in untreated wounds and those
the experiment. However, the number of bacteria decreased treated with SSD. The wounds washed with NaCl and those
in wounds washed with 0.9% of NaCl (C2) and in wound exposed to bee pollen ointment were characterized by the
treated with the bee pollen ointment (E2). A further decrease lowest number of fungi and mould on the 21st day of the
of the number of bacteria in most analyzed groups was experiment (Figures 5 and 6).
observed on the 15th day after burning. However, the wounds Variable number of fungi and moulds in time was
treated with the bee pollen ointment were characterized by analytically analyzed. This analysis is to approximate the
6 Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine

C1 C2
4.00 6.00
a a a, b a

3.00
4.00
a, b a, b

log CFU
log CFU

2.00
2.00

1.00
0.00

0.00

0 3 5 10 15 21 0 3 5 10 15 21
(Day) (Day)

E1 E2
4.00 a
5.00
a, b
4.00
3.00
a, b, c a
3.00
a, b
2.00
log CFU

log CFU

2.00
a, b, c
1.00
1.00

0.00 0.00

−1.00 −1.00

0 3 5 10 15 21 0 3 5 10 15 21
(Day) (Day)

Figure 3: Quantitative study: log CFU value of bacteria cultured on particular days of the burn wound healing: C1: tissue material from
untreated wounds; C2: tissue material collected from wounds washed with NaCl; E1: tissue material from wounds treated with silver
sulfadiazine; E2: tissue material from wounds treated with bee pollen ointment. Results are expressed as mean ± standard error of the mean
(SEM) of the assays performed in triplicate. a 𝑝 < 0.05 compared with value determined on 5th day, b 𝑝 < 0.05 compared with value determined
on 10th day, and c 𝑝 < 0.05 compared with value determined on 15th day.

Table 1: log CFU values of bacteria on the following days of the experiment.

0 day 3rd day 5th day 10th day 15th day 21st day
C1 (untreated) — 1.47 2.78 3.57 3.56 3.54
C2 (NaCl) — — 5.18 5.08 3.48 3.46
E1 (SSD) — — 3.43 3.68 3.57 2.53
E2 (bee pollen) — — 5.23 4.24 3.53 2.48

Table 2: log CFU values of fungi and mould on the following days of the experiment.

0 day 3rd day 5th day 10th day 15th day 21st day
C1 (untreated) — — 1.59 1.47 1.19 0.99
C2 (NaCl) — — 1.01 1.01 1.19 0.18
E1 (SSD) — — 1.68 1.60 1.07 1.00
E2 (bee pollen) — — 0.99 0.88 1.16 0.75
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine 7

6.0 Table 3: The error value of matching the inertial first-order object
model with the experimental data (bacteria, fungi, and mould) for
given time constants 𝑇1 .
4.5
C1 C2 E1 E2
log CFU

3.0 𝛿(𝐵) [%] 3 44 5 58


𝑇1 [day] 20 1 18 1
𝛿(𝑅) [%] 25 17 18 17
1.5
𝑇1 [day] 7 20 6 20

0.0
0 3 5 10 15 21 of the response relationship for the multi-inertial object is as
(Day) follows:
𝑘
C1 E1 𝐺 (𝑠) = , (1)
C2 E2 (1 + 𝑠𝑇1 ) (1 + 𝑠𝑇2 ) ⋅ ⋅ ⋅ (1 + 𝑠𝑇𝑛 )

Figure 4: Dynamics of log CFU value of bacteria cultured on where 𝑘 is amplification and 𝑇1 , 𝑇2 , . . . , 𝑇𝑛 is time constant.
particular days of the burn wounds treated with NaCl (C2), silver This was the basis for formulating the error of matching
sulfadiazine (E1), bee pollen ointment (E2), and untreated wounds the model with the source data, for example, for the bacteria
(C1). (superscript) and tissue material from untreated wounds
(subscript) done as follows:
𝐼
100 󵄨 (𝐵) 󵄨
mode of changes in time with a model. A model, being
(𝐵)
𝛿C1 = (𝐵)
∑ 󵄨󵄨󵄨󵄨𝑦C1 (𝐵)
(𝑖) − 𝑦SC1 (𝑖)󵄨󵄨󵄨󵄨 [%] , (2)
the inertial first-order object with delay, has been chosen. 𝐼 ⋅ max𝑖 𝑦C1 (𝑖) 𝑖=1
The very choice of the model results from earlier authors’ where 𝑦C1(𝐵)
(𝑖) is change in the number of bacteria (superscript
experiences concerning the analysis of dynamic changes (e.g., (𝐵)
𝐵) in the next 𝑖-measurements, 𝑦SC1 (𝑖) is simulation of
linked to temperature) occurring in humans and animals.
change in the number of bacteria (superscript 𝐵) in the next
The model enables parameterization of characteristics linked
𝑖-measurements for the model (unit response) described by
to the change rate of the number of fungi and moulds.
transmittance, and 𝐼 is total number of measurements.
These parameters are time constant 𝑇1 and delay. The time Similarly, the error of experimental data match with the
constant enables the determination of the change rate of standard for fungi and mould (superscript 𝑅) and different
the number of fungi and moulds in time. According to the materials is calculated. For such a formulated error the
theory of automatic control (the processes occurring in living method of a tuned model was applied in order to match the
organisms) the steady state takes place after third up to fifth multi-inertial object with the data and to specify the order of
time constants (95% and 99% of the steady state). For the the model. The smallest values of errors, shown in Table 3,
cases in question it means that if the obtained results are were obtained for multi-inertial first-order object.
approximated with this model (the inertial first-order object In Table 3 the calculated error values of the match 𝛿(𝐵)
with delay) it will become possible to determine the time and 𝛿(𝑅) for the materials C1, C2, E1, and E2 were shown. The
after which the decrease in the number of fungi and moulds calculations were done for the inertial first-order object (with
to the values close to 0 (zero) will appear. It will be, for the time constant 𝑇1 ) with delay (5 days) for which the value
example, 3 ∗ 𝑇1 for which only 5% of fungi and mould will of particular errors is smaller. In the graph in Figure 7 the
(𝑅)
remain when related to the maximum value. Similarly for exemplary obtained results are shown, the behaviors of 𝑦C1 (𝑖)
5 ∗ 𝑇1 only 1% of fungi and mould will remain in relation (𝑅)
and 𝑦SC1 (𝑖) for 𝑇1 = 8.
to the maximum value. The approximation of changes of the As it can be concluded from Figure 7, the biggest error
number of fungi and mould in time with the inertial first- values (>44%) occur for materials C2 and E2, which results
order object with delay enables obtaining one more error from the specification of changes in the number of bacteria
parameter of matching 𝛿, which gives the information about in the wound. Due to individual variation of pigs, this
the matching compliance of the model with the obtained specification depends on many factors. The smallest error
experimental data. values and, simultaneously, the best match of the model with
The time change of the average number of bacteria, fungi, experimental data occur for materials C1 and E1. The time
and moulds is a nonlinear relationship. Due to the analogy constants for them are 20 and 18 days. Similar error values
to the control systems, the response of the system (in this were obtained for fungi and mould which fluctuate around
case it is the number of bacteria, moulds, and fungi) may be the value of 18%. The time constants are also different (as in
approximated by the inertial first-order object with delay. It the case of bacteria) for materials C1 and E1 amounting to 6
results from the biological and medical rationale concerning and 7 days, while for materials C2 and E2 they are equal to
the growth rate (development) of the bacteria, fungi, and 20 days. Summing up the obtained results, the time constant
moulds on the healing wound surface (regardless of the fact average value of the growth of bacteria, mould, and fungi in
if it was C1, C2 or E1, E2). The general transmittance form the wound is at the level of 18 up to 20 days.
8 Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine

C1 C2
2.00 a, b
1.20

1.00
1.50
0.80
log CFU

log CFU
a
1.00 0.60

0.40
0.50
0.20

a, b, c
0.00 0.00

0 3 5 10 15 21 0 3 5 10 15 21
(Day) (Day)

E1 E1
2.00 a, b
1.20

1.00
1.50
0.80 a, b, c
a, b
log CFU
log CFU

a, b
1.00 0.60

0.40
0.50
0.20

0.00 0.00

0 3 5 10 15 21 0 3 5 10 15 21
(Day) (Day)

Figure 5: Quantitative study: log CFU value of fungi and mould cultured on particular days of the burn wound healing: C1: tissue material
from untreated wounds; C2: tissue material collected from wounds washed with NaCl; E1: tissue material from wounds treated with silver
sulfadiazine; E2: tissue material from wounds treated with bee pollen ointment. Results are expressed as mean ± standard error of the mean
(SEM) of the assays performed in triplicate. a 𝑝 < 0.05 compared with value determined on 5th day, b 𝑝 < 0.05 compared with value determined
on 10th day, and c 𝑝 < 0.05 compared with value determined on 15th day.

3.3.2. Qualitative Study. In the qualitative study, changes of inflammation. In the subsequent days of the experiment,
microbial species from the swabs of burn wounds treated all burn wounds were characterized by a lower number of
with appropriate experimental agents and of the healthy skin strains. On the 21st day of the study, in subgroups C2, E1, and
surface were evaluated during next days of the experiment. E2, the bacterial flora was reduced to only one environmental
On 0 day, the number of microorganisms, which constitute species, such as Bacillus spp., while in the group of untreated
the physiological flora of the skin and the environment, wounds (C1), only Staphylococcus hyicus was found.
increased in healthy skin (Table 4). However, no bacteria were
cultured from none of the samples collected from the burn 4. Discussion
wounds immediately after burning.
On the 3rd day of the study, the wounds were colonized Wound healing is a dynamic and time-synchronized reaction
with microorganisms from Micrococcus species only in the of the organism connected both with the actions of many
subgroup in which the wounds were untreated (C1). On cells, such as inflammatory cells, vascular cells, connective
the 5th day of the study, the number of isolated microor- tissue cells, and epithelial cells, and with accumulating extra-
ganisms species significantly increased in the animals of all cellular matrix (ECM) components, which leads to creation
subgroups. Besides typical physiological flora of the skin of a new tissue [20]. A significant role in the healing process
and the environment (Micrococcus spp., Bacillus spp.) there is played by ECM components: glycosaminoglycans (GAGs),
were also microorganisms which are characteristic for wound fibronectin, proteoglycans, vitronectin, and collagens [21, 22].
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine 9

Table 4: Changing of species of microflora in burn wounds in the following days of the experiment; N: tissue material from healthy skin not
inflicted with a burn; C1: tissue material from untreated wounds; C2: tissue material from places washed with 0.9% NaCl; E1: tissue material
from places treated with silver sulfadiazine salt; E2: tissue material from places treated with the with bee pollen ointment.

0 day 3rd day 5th day 10th day 15th day 21st day
Micrococcus spp.
Micrococcus spp. Micrococcus spp. Micrococcus spp. Bacillus spp.
Micrococcus spp. Micrococcus spp.
N Bacillus spp. Bacillus spp. Bacillus spp. Aerococcus
Bacillus spp. Bacillus spp.
Staphylococcus Staphylococcus Gemella spp. viridans
Aerococcus viridans Aerococcus viridans
lentus lentus Aerococcus viridans Enterococcus
faecalis
Micrococcus spp.
C1 Staphylococcus Staphylococcus
— Micrococcus spp. Micrococcus spp. Candida spp.
hyicus hyicus
Candida spp.
C2 — — Micrococcus spp. Micrococcus spp. Bacillus spp. Bacillus spp.
Bacillus spp.
Staphylococcus
E1 Bacillus spp.
— — hyicus Bacillus spp. Bacillus spp.
Micrococcus spp.
Enterococcus
faecalis
Bacillus spp.
Staphylococcus Bacillus spp.
E2 — — hyicus Pseudomonas Bacillus spp. Bacillus spp.
Pseudomonas aeruginosa
aeruginosa

1.8 40

35

1.35 30

25
log CFU

, ySC1 (i)

0.9
(R) (R)

20
yC1

15
0.45
10

5
0.0
0 3 5 10 15 21
0
(Day) 0 5 10 15 20 25
t (day)
C1 E1
(R)
C2 E2 yC1 (i)
(R)
Figure 6: Dynamics of log CFU value of fungi and mould cultured ySC1 (i)
on particular days of the burn wounds treated NaCl (C2), silver
Figure 7: The graph of changes in the number of fungi and moulds
sulfadiazine (E1), bee pollen ointment (E2), and untreatedwounds
in time for experimental and simulation data of the material C1.
(C1).

a positive influence of the mentioned apitherapeutic agent on


The therapeutic effect of a natural bee preparation, propolis, the metabolism of ECM components [21–24].
in the treatment of experimental burn wounds was the The aim of the present study was to compare the ther-
subject of our previous experimental studies. They showed apeutic efficiency of another natural agent based on bee
that application of propolis modulated the expression of gly- pollen extract with a commonly used pharmaceutical silver
cosaminoglycans, collagens, noncollagenous glycoproteins, sulfadiazine in treatment of thermal burns.
and free radicals in the burn wound bed, which favors the Although silver sulfadiazine is considered as a gold
intensification of healing process and, therefore, confirmed standard in the topical treatment of burn wounds, this
10 Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine

therapeutic agent is characterized by many side effects such as the course of burn wounds healing. A more beneficial action
the risk of crystalluria, methaemoglobinaemia, neutropenia, of the first from the mentioned preparations was manifested
erythema multiforme, and prolonged reepithelialization and by a significant reduction of microorganisms as well as a more
the impairment of the mechanical strength of newly created effective bactericidal action of the applied apitherapeutic
tissue [25, 26]. Such side effect cannot be found in the case agent. A similar trend in the effects of SSD action and a bee
of bee pollen. This apitherapeutic agent demonstrates strong product in the range of antibacterial action were described by
immune-modulating properties, which accelerate epithelial- Kabała-Dzik et al. [32].
ization and has bacteriostatic, bactericidal, and anesthetic The therapeutic mechanism of bee natural products
properties [9, 27]. Moreover, bee pollen has a strong anti- is based, among others, on antimicrobial activity and on
inflammatory activity, decreases the healing period, and inducing processes of damaged tissues regeneration. These
reduces the duration and intensity of ailments [9, 28]. characteristics proved their usability in wound healing and
The experimental model implemented in the present ulcerations of different etiology [31, 33].
study was based on the tissue material collected from the The results in this study confirmed the beneficial effect of
domestic pig skin. The choice of the animal was made mainly the bee pollen ointment on the burn wound healing process
due to the similarity between pig skin and human one [29]. which could be seen in the decreased number of bacteria in
Clinical and histopathological observation comprising the burn wounds during subsequent days of the experiment.
the assessment of the extent and depth of the burn wounds, Different mechanisms could be responsible for the
wound maceration, presence of necrotic tissue, granulation observed antibacterial effects of bee pollen. The first one
tissue type, and swelling around the burn wound indicated results from the presence of active compounds, such as
that, on the first days of the experiment, the pathomorpho- flavonoids and phenolic acids, whose forming complexes
logical view of the wounds for every group was the same. with bacterial cell walls lead to the disruption of cell wall
It became significantly differentiated on the 5th day of the integrity, blocking ion channels, and inhibiting electron flow
observation. In the case of the wounds treated with the in the electron transport chain [34].
ointment with bee pollen ointment (E2), the wound area was The second mechanism by which bee pollen exerts
covered with a thin, flexible eschar with a slight bleeding. In antibacterial activity might be based on the inhibition of
the wound area there were signs of swelling and reddening. bacterial RNA-polymerase by phenolic compounds such as
On the next days of the observation of the wounds flavanone pinocembrin, flavonol galangin, and caffeic acid
treated with the apitherapeutic agent, a strong granulation phenethyl ester [35].
and, subsequently, epithelium formation with clearly visible Besides high antimicrobial activity, bee pollen ointment
fully healed characteristics were noted. The wound surface was also characterized by a bactericidal effect for isolated
decreased and was the size of 1 cm × 1 cm. In the area of strains.
the tissues surrounding the healing wound there were no Moreover, the study also proved that thermal damage and
signs of swelling or the ongoing inflammatory process. The bacterial infection of the wound favor yeast multiplication
clinical and histopathological assessment led to a conclusion including Candida albicans. The yeast of the Candida species
that the applied apitherapeutic agent ointment reduces the in proper conditions is saprophytes which live in the natural
time of burn wound treatment. Similar results were obtained environment and colonize mucosa and human skin. How-
in our previous studies where the therapeutic usability of ever, they may induce life-threatening candidiases. Burns and
another apitherapeutic agent, propolis, was assessed in the necrotic lesions, which are the gates for fungal infection,
course of regeneration of experimental thermal skin damage. may contribute to sepsis. Bacillus cereus and Bacillus subtilis,
Propolis ointments in comparison with SSD preparation which are usually harmless, may induce infections in the
significantly accelerated the regenerative-reparative process condition of decreased immunity.
of tissue damage not demonstrating any undesirable effects The clinical and histopathological observations per-
at the same time [30]. The beneficial effect of standardized formed in our study led to a conclusion that the bee pollen
propolis formulation on the healing process was also proved exerts a beneficial effect on wound healing cellular events
in Jastrzębska-Stojko et al. experimental studies [31]. The providing reepithelization and wound closure. The micro-
healing process of burn wounds treated with Sepropol was biological studies proved that bee pollen ointment had an
faster as compared to the standard SSD therapy. Moreover, effective antimicrobial activity. The benefits and advantages
histopathological tests showed that the process of scar forma- of the bee pollen ointment in burn wound treatment imply
tion in wounds treated with propolis formulation started con- the usability of the applied apitherapeutic agent preparation
siderably earlier as compared to the control group [31]. The in topical burns therapy.
other part of our studies concerning microbiological exami-
nations during experimental burn wound healing proved that Competing Interests
bee pollen ointment had an effective antimicrobial activity,
reducing both the number of microorganisms and presenting The authors declare that they have no conflict of interests.
bactericidal activity in isolated strains. The antibacterial
properties of another apitherapeutic agent, propolis, were Acknowledgments
already assessed in the study with animal model of burn
wounds. The mentioned study indicated a higher antimicro- This work was supported by a grant from the Medical
bial effectiveness of propolis ointment as compared to SSD in University of Silesia, Poland (KNW-1-018/K/4/0).
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine 11

References in the New Yorkshire pig for the histopathological evaluation


of local therapeutic regimens: silver sulfadiazine cream as a
[1] T. Velnar, T. Bailey, and V. Smrkolj, “The wound healing process: standard,” British Journal of Plastic Surgery, vol. 46, no. 7, pp.
an overview of the cellular and molecular mechanisms,” Journal 585–589, 1993.
of International Medical Research, vol. 37, no. 5, pp. 1528–1542, [18] T. A. Brans, R. P. Dutrieux, M. J. Hoekstra, R. W. Kreis, and J.
2009. S. du Pont, “Histopathological evaluation of scalds and contact
[2] D. D. S. Tavares Pereira, M. H. M. Lima-Ribeiro, N. T. De burns in the pig model,” Burns, vol. 20, no. 1, pp. S48–S51, 1994.
Pontes-Filho, A. M. D. A. Carneiro-Leão, and M. T. D. S.
[19] M. K. York, “Aerobic Bacteriology. Quantitative cultures of
Correia, “Development of animal model for studying deep
wound tissues,” in Clinical Microbiology Procedures Handbook,
second-degree thermal burns,” Journal of Biomedicine and
H. D. Isenberg, Ed., section 3.13.2, ASM Press, Washington, DC,
Biotechnology, vol. 2012, Article ID 460841, 7 pages, 2012.
USA, 2nd edition, 2004.
[3] H. Sinno and S. Prakash, “Complements and the wound healing
[20] I. I. A. Darby, B. Laverdet, F. Bonté, and A. Desmoulière,
cascade: an updated review,” Plastic Surgery International, vol.
“Fibroblasts and myofibroblasts in wound healing,” Clinical,
2013, Article ID 146764, 7 pages, 2013.
Cosmetic and Investigational Dermatology, vol. 7, pp. 301–311,
[4] G. Gethin, “Understanding the inflammatory process in wound 2014.
healing,” British Journal of Community Nursing, vol. 17, no. 3, pp.
S17–S22, 2012. [21] P. Olczyk, K. Komosinska-Vassev, K. Winsz-Szczotka, J. Sto-
jko, K. Klimek, and E. M. Kozma, “Propolis induces chon-
[5] J. M. Reinke and H. Sorg, “Wound repair and regeneration,”
droitin/dermatan sulphate and hyaluronic acid accumulation in
European Surgical Research, vol. 49, no. 1, pp. 35–43, 2012.
the skin of burned wound,” Evidence-Based Complementary and
[6] A. K. Kuropatnicki, E. Szliszka, and W. Krol, “Historical aspects Alternative Medicine, vol. 2013, Article ID 290675, 8 pages, 2013.
of propolis research in modern times,” Evidence-Based Comple-
[22] P. Olczyk, K. Komosinska-Vassev, K. Winsz-Szczotka et al.,
mentary and Alternative Medicine, vol. 2013, Article ID 964149,
“Propolis modulates vitronectin, laminin, and heparan sul-
11 pages, 2013.
fate/heparin expression during experimental burn healing,”
[7] M. R. Campos, S. Bogdanov, L. M. de Almeida-Muradian, T. Journal of Zhejiang University: Science B, vol. 13, no. 11, pp. 932–
Szczesna, Y. Mancebo, and C. Frigerio, “Pollen composition and 941, 2012.
standardisation of analytical methods,” Journal of Apicultural
[23] P. Olczyk, G. Wisowski, K. Komosinska-Vassev et al., “Propolis
Research and Bee World, vol. 47, no. 2, pp. 156–163, 2008.
modifies collagen types I and III accumulation in the matrix
[8] E. Szliszka and W. Krol, “Polyphenols isolated from propolis of burnt tissue,” Evidence-Based Complementary and Alternative
augment TRAIL-induced apoptosis in cancer cells,” Evidence- Medicine, vol. 2013, Article ID 423809, 10 pages, 2013.
Based Complementary and Alternative Medicine, vol. 2013,
Article ID 731940, 10 pages, 2013. [24] P. Olczyk, P. Ramos, K. Komosińska-Vassev, J. Stojko, and
B. Pilawa, “Positive effect of propolis on free radicals in
[9] B. Kedzia, “Chemical composition of Polish propolis. Part I. The
burn wounds,” Evidence-Based Complementary and Alternative
initial period of investigations,” Postepy Fitoterapii, vol. 10, no. 1,
Medicine, vol. 2013, Article ID 356737, pp. 1–12, 2013.
pp. 39–44, 2009.
[25] T. Dai, Y.-Y. Huang, S. K. Sharma, J. T. Hashmi, D. B. Kurup,
[10] A. Rzepecka-Stojko, B. Pilawa, P. Ramos, and J. Stojko, “Antiox-
and M. R. Hamblin, “Topical antimicrobials for burn wound
idative properties of bee pollen extracts examined by EPR
infections,” Recent Patents on Anti-Infective Drug Discovery, vol.
spectroscopy,” Journal of Apicultural Science, vol. 56, no. 1, pp.
5, no. 2, pp. 124–151, 2010.
23–31, 2012.
[11] B. Kedzia and E. Holderna-Kedzia, “Właściwości biolog- [26] F. W. Fuller, “The side effects of silver sulfadiazine,” Journal of
iczne i działanie lecznicze pyłku kwiatowego zbieranego przez Burn Care and Research, vol. 30, no. 3, pp. 464–470, 2009.
pszczoły,” Postepy Fitoterapii, vol. 3, pp. 103–108, 2005. [27] U. Czyewska, J. Konończuk, J. Teul et al., “Verification of chem-
[12] M. Hellner, D. Winter, R. Von Georgi, and K. Münstedt, ical composition of commercially available propolis extracts
“Apitherapy: usage and experience in German beekeepers,” by gas chromatography-mass spectrometry analysis,” Journal of
Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, vol. Medicinal Food, vol. 18, no. 5, pp. 584–591, 2015.
5, no. 4, pp. 475–479, 2008. [28] Y. Nakajima, K. Tsuruma, M. Shimazawa, S. Mishima, and
[13] A. Pietrusa and K. Derbisz, “Produkty pszczele część II: pyłek H. Hara, “Comparison of bee products based on assays of
pszczeli,” Przeglad Urologiczny, vol. 6, no. 94, pp. 48–50, 2015. antioxidant capacities,” BMC Complementary and Alternative
[14] C. Nogueira, A. Iglesias, X. Feás, and L. M. Estevinho, Medicine, vol. 9, article 4, 2009.
“Commercial bee pollen with different geographical origins: [29] V. Jayarama Reddy, S. Radhakrishnan, R. Ravichandran et al.,
a comprehensive approach,” International Journal of Molecular “Nanofibrous structured biomimetic strategies for skin tissue
Sciences, vol. 13, no. 9, pp. 11173–11187, 2012. regeneration,” Wound Repair and Regeneration, vol. 21, no. 1, pp.
[15] O. Brandt, M. Mildner, A. E. Egger et al., “Nanoscalic sil- 1–16, 2013.
ver possesses broad-spectrum antimicrobial activities and [30] P. Olczyk, I. Wróblewska-Adamek, J. Stojko, K. Komosińska-
exhibits fewer toxicological side effects than silver sulfadiazine,” Vassev, and K. Olczyk, “Histopathological evaluation of Propol-
Nanomedicine: Nanotechnology, Biology, and Medicine, vol. 8, T and silver sulfadiazine therapeutic efficacy in burn healing,”
no. 4, pp. 478–488, 2012. Farmacja Polska, vol. 63, no. 24, pp. 1108–1116, 2007.
[16] G. Sandri, M. C. Bonferoni, F. D’Autilia et al., “Wound dressings [31] Ż. Jastrzębska-Stojko, R. Stojko, A. Rzepecka-Stojko, A. Kabała-
based on silver sulfadiazine solid lipid nanoparticles for tissue Dzik, and J. Stojko, “Biological activity of propolis-honey
repairing,” European Journal of Pharmaceutics and Biopharma- balm in the treatment of experimentally-evoked burn wounds,”
ceutics, vol. 84, no. 1, pp. 84–90, 2013. Molecules, vol. 18, no. 11, pp. 14397–14413, 2013.
[17] M. J. Hoekstra, P. Hupkens, R. P. Dutrieux, M. M. C. Bosch, T. [32] A. Kabała-Dzik, E. Szaflarska-Stojko, R. D. Wojtyczka et al.,
A. Brans, and R. W. Kreis, “A comparative burn wound model “Efficiency assessment of antimicrobial activity of honey-balm
12 Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine

on experimental burn wounds,” Bulletin of the Veterinary


Institute in Pulawy, vol. 48, no. 2, pp. 109–112, 2004.
[33] M. Morais, L. Moreira, X. Feás, and L. M. Estevinho, “Honey-
bee-collected pollen from five Portuguese Natural Parks: Paly-
nological origin, phenolic content, antioxidant properties and
antimicrobial activity,” Food and Chemical Toxicology, vol. 49,
no. 5, pp. 1096–1101, 2011.
[34] A. Rzepecka-Stojko, J. Stojko, A. Kurek-Górecka et al., “Poly-
phenols from bee pollen: structure, absorption, metabolism and
biological activity,” Molecules, vol. 20, no. 12, pp. 21732–21749,
2015.
[35] N. B. Takaisi-Kikuni and H. Schilcher, “Electron microscopic
and microcalorimetric investigations of the possible mecha-
nism of the antibacterial action of a defined propolis prove-
nance,” Planta Medica, vol. 60, no. 3, pp. 222–227, 1994.
MEDIATORS of

INFLAMMATION

The Scientific Gastroenterology Journal of


World Journal
Hindawi Publishing Corporation
Research and Practice
Hindawi Publishing Corporation
Hindawi Publishing Corporation
Diabetes Research
Hindawi Publishing Corporation
Disease Markers
Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2014
http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014

Journal of International Journal of


Immunology Research
Hindawi Publishing Corporation
Endocrinology
Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014

Submit your manuscripts at


http://www.hindawi.com

BioMed
PPAR Research
Hindawi Publishing Corporation
Research International
Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014

Journal of
Obesity

Evidence-Based
Journal of Stem Cells Complementary and Journal of
Ophthalmology
Hindawi Publishing Corporation
International
Hindawi Publishing Corporation
Alternative Medicine
Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation
Oncology
Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014

Parkinson’s
Disease

Computational and
Mathematical Methods
in Medicine
Behavioural
Neurology
AIDS
Research and Treatment
Oxidative Medicine and
Cellular Longevity
Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation Hindawi Publishing Corporation
http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014 http://www.hindawi.com Volume 2014
HHS Public Access
Author manuscript
Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Author Manuscript

Published in final edited form as:


Int J Clin Exp Hypn. 2016 ; 64(1): 75–115. doi:10.1080/00207144.2015.1099405.

HYPNOSIS FOR ACUTE PROCEDURAL PAIN: A Critical Review


Cassie Kendrick, Jim Sliwinski, Yimin Yu, Aimee Johnson, William Fisher, Zoltán Kekecs,
and Gary Elkins
Baylor University, Waco, Texas, USA

Abstract
Clinical evidence for the effectiveness of hypnosis in the treatment of acute, procedural pain was
Author Manuscript

critically evaluated based on reports from randomized controlled clinical trials (RCTs). Results
from the 29 RCTs meeting inclusion criteria suggest that hypnosis decreases pain compared to
standard care and attention control groups and that it is at least as effective as comparable adjunct
psychological or behavioral therapies. In addition, applying hypnosis in multiple sessions prior to
the day of the procedure produced the highest percentage of significant results. Hypnosis was most
effective in minor surgical procedures. However, interpretations are limited by considerable risk of
bias. Further studies using minimally effective control conditions and systematic control of
intervention dose and timing are required to strengthen conclusions.

Procedural pain poses a significant and substantial problem. Though it would be impossible
to fully quantify the incidence of painful medical procedures, the scope of the problem is
Author Manuscript

estimable, given the $560–$635 billion in yearly pain-related expenditures in the United
States (Gay, Philippot, & Luminet, 2002). The challenge of achieving adequate pain control
without adverse side effects further compounds the problem and provides rationale for
seeking complementary medicine alternatives (Askay, Patterson, Jensen, & Sharar, 2007;
Fleming, Rabago, Mundt, & Fleming, 2007).

Hypnosis has a long history in the treatment of pain (Elkins, 2014; Gay et al., 2002; Hilgard
& Hilgard, 1994; Liossi & Hatira, 1999; Patterson, 2010; Patterson & Jensen, 2003) and is
one of the most recognized nonpharmacological pain management techniques. Despite the
long legacy of hypnoanalgesia in medicine, mechanisms of hypnotic pain relief are still
debated. One of the two most influential theories proposes dissociational processes and
emphasizes the importance of hypnotic susceptibility and an altered state of consciousness
(Bowers, 1992; Hilgard & Hilgard, 1994), while the other suggests that social and cognitive
Author Manuscript

processes are responsible for hypnosis induced analgesia and highlights the significance of
contextual variables, compliance with instructions, expectancies, cognitive strategies and
role enactment (Chaves, 1993).

A number of previous reviews have examined the effectiveness of hypnosis in addressing


pain (Accardi & Milling, 2009; Cyna, McAuliffe, & Andrew, 2004; Elkins, Jensen, &

Address correspondence to: Gary Elkins, Mind-Body Medicine Research Lab, Department of Psychology and Neuroscience, Baylor
University, One Bear Place #97243, Waco, TX 74798-7243, USA. Gary_Elkins@Baylor.edu.
No conflicts of interest exist.
Kendrick et al. Page 2

Patterson, 2007; Jensen & Patterson, 2005; Montgomery, DuHamel, & Redd, 2000;
Author Manuscript

Patterson & Jensen, 2003; Richardson, Smith, McCall, & Pilkington, 2006); however, the
most recent review involving studies with an adult population on procedural pain was
conducted over 10 years ago. The aim of this review is to provide an updated overview of
the literature incorporating studies conducted since the last comprehensive review on acute,
procedural pain for both adults and children in 2003 (Patterson & Jensen, 2003) and to
assess how procedural, interventional, and methodological factors can affect pain related
outcomes based on the results of the included randomized controlled clinical trials.

Method
The following databases were searched from their inception to November, 2013: MEDLINE,
HealthSource: Nursing/Academic Edition, PsycINFO, PsycARTICLES, PsycCRITIQUES
and the Psychological and Behavioral Sciences. Search terms used were (hypnosis AND
Author Manuscript

pain AND procedure); (hypnotherapy AND pain AND procedure); (hypnosis AND pain
AND surgery); (hypnotherapy AND pain AND surgery); (hypnosis AND pain AND
operation); and (hypnotherapy AND pain AND operation).

Prospective, randomized, controlled trials of hypnosis for acute, procedural pain were
included. Studies were not excluded based upon specifics of the hypnosis or control
interventions. However, studies were excluded if they were case studies or case series, if
they were not clinical trials, if they were not randomized or controlled, or if hypnosis was
poorly defined or was combined with several other treatments as a part of a larger, complex
intervention (in which the effects of hypnosis intervention would be difficult to identify).
Studies were also considered irrelevant if they were not specifically examining the use of
hypnosis for the treatment of procedural pain. For example, studies of hypnoanalgesia in
Author Manuscript

labor were excluded because labor pain cannot be characterized as pain caused by a medical
procedure. Language restrictions were not applied. However, our search resulted only in
English language studies.

All trials meeting the aforementioned criteria were reviewed in full by two independent
reviewers. The reviewers extracted procedure type, study design, whether intention to treat
analysis (ITT) was used, intervention and control regimens (with special attention to timing
and dose of the intervention), sample size by groups, pain related measures used, results on
each measure, methodological quality indicators (randomization, blinding, dropouts),
whether hypnotizability was assessed, used for participant inclusion, or found to be
correlated with any of the outcomes, and the conclusion of the authors on the effectiveness
of hypnosis for acute pain relief. Discrepancies were resolved by discussion between the two
reviewers, ZK and CK, and, if necessary, by seeking guidance from the third reviewer, GE,
Author Manuscript

who also reviewed all ratings of the first two reviewers.

Methodological quality was evaluated by way of a modification of the Oxford, 5-point Jadad
score (Jadad et al., 1996). In order to account for the difficulty in blinding of hypnosis
practitioners, a maximum of 4 points were awarded in the following manner: 1 point for a
study description that indicated the study was randomized; 1 point for use of an appropriate
randomization technique as well as a 1 point penalty deduction for inappropriate

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 3

randomization technique; 1 point for providing explanation of withdrawals and dropouts;


Author Manuscript

and 1 point if the experimental and hospital staff were blinded to treatment assignment.

The effectiveness of hypnosis for controlling acute pain has been examined in a large variety
of medical procedures in both adult and pediatric populations. We have to acknowledge that
there are great differences in the type, location and level of pain experienced in these
procedures; thus, direct pooling or comparison of effect sizes could be misleading. To
overcome this problem, results were simplified to either being significant or non-significant
by measures used. In the assessment of the effects of moderating factors, we used the
measurements as basic units instead of studies to control for the inflated alpha error
probability originating from multiple testing of the same hypothesis. Thus, the indicator of
effectiveness in a given moderator condition (like interventions consisting of one hypnosis
session instead of many) was the percentage of the number of measurements with significant
effects within the total number of measurements in the study pool. In this assessment of
Author Manuscript

moderators, only comparisons of hypnosis vs. attention control, or, if not applicable,
hypnosis vs. usual care were entered.

Results
The initial searches yielded a total of 398 articles. Of these, 155 were duplicates, and of the
remaining 243 articles, 29 randomized, controlled trials (RCTs) met the aforementioned
criteria for inclusion in the review (Enqvist & Fischer, 1997; Everett, Patterson, Burns,
Montgomery, & Heimbach, 1993; Faymonville et al., 1997; Harandi, Esfandani, &
Shakibaei, 2004; Katz, Kellerman, & Ellenberg, 1987; Kuttner, Bowman, & Teasdale, 1988;
Lambert, 1996; Lang et al., 2000; Lang et al., 2006; Lang, Joyce, Spiegel, Hamilton, & Lee,
1996; Liossi & Hatira, 1999, 2003; Liossi, White, & Hatira, 2006, 2009; Mackey, 2009;
Author Manuscript

Marc et al., 2008; Marc et al., 2007; Massarini et al., 2005; Montgomery et al., 2007;
Montgomery, Weltz, Seltz, & Bovbjerg, 2002; Patterson, Everett, Burns, & Marvin, 1992;
Patterson & Ptacek, 1997; Smith, Barabasz, & Barabasz, 1996; Snow et al., 2012; Syrjala,
Cummings, & Donaldson, 1992; Wall & Womack, 1989; Weinstein & Au, 1991; Wright &
Drummond, 2000; Zeltzer & LeBaron, 1982). The PRISMA Flow Diagram in Figure 1
provides details on the inclusion and exclusion process.

The methodological quality of studies varied, (Jadad score range 0–4, M = 2.33). Nine RCTs
provided descriptions for randomization methods, and 11 trials provided adequate detail of
dropouts and withdrawals. One study used a crossover design; all other studies applied a
parallel design. Key data are provided in Table 1.

In the majority of the studies reviewed, more than one measure was used to assess pain. The
Author Manuscript

most frequently used pain related outcome was subjective pain intensity (used in 27 studies),
followed by analgesic use or pain medication stability (15 studies), behavioral signs of pain
(13 studies), anxiety (five studies), pain unpleasantness or an affective component of pain
(three studies), and cardiovascular measures (two studies). Subjective pain intensity was
measured by visual analog scale (VAS) in most instances (12 studies). However, single item
numeric rating scales (nine studies), pictorial rating scales (e.g., using pictures of emotional
faces, five studies), and pain questionnaires (McGill Pain Questionnaire (MPQ), Children’s

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 4

Global Rating Scale (CGRS), two studies) were also applied. Most of the studies compared
Author Manuscript

the effectiveness of hypnosis to standard care (20 studies), while some studies also utilized
attention control (11 studies) or compared the effectiveness of hypnosis to another type of
active treatment, like cognitive behavioral therapy (CBT, three studies), distraction (three
studies), emotional support from the therapist (one study), play therapy (one study) or
relaxing music (one study).

From a total of 45 measurements comparing hypnosis to standard care, the hypnosis group
had significantly lower pain ratings in 28 measurements (62%), while hypnosis decreased
pain compared to attention control in 16 out of 30 measurements (53%). Furthermore, in 16
out of 30 (53%) measurements, hypnosis yielded significantly better results when compared
with other adjunct pain therapies. Specifically, from two measurements, there was no
difference between hypnosis and play therapy; in two out of seven measurements, hypnosis
was significantly better than CBT; in eight out of 15 measurements, hypnosis was superior
Author Manuscript

to distraction1; three out of three measurements confirmed the benefits of hypnosis during
surgery over emotional support; and similarly, three out of three measures yielded
significantly better results for hypnosis combined with relaxing music compared to relaxing
music alone.

In the included studies, hypnosis was used for pain management in bone marrow aspiration
(seven studies), lumbar puncture (five studies), burn debridement or other burn care (five
studies), surgical procedures (eight studies), or other medical procedures (abortion,
venipuncture, radiological procedures, angioplasty; seven studies). Only six studies applied
more than one session of hypnosis, and most of the hypnosis sessions were shorter than 30
minute, or they lasted as long as the procedure itself. Interventions were either administered
days before the medical procedure (eight studies), preoperatively on the day of the procedure
Author Manuscript

(seven studies), both days before the procedure and preoperatively (two studies), during the
procedure (six studies), or both preoperatively and during the procedure (six studies). Table
2 displays an overview of effectiveness by showing the percentage of measures in which
hypnosis significantly decreased pain as compared to different control conditions by
different intervention characteristics (timing, length, dose), and by medical procedures.
Hypnotizability was assessed in seven studies, four of which reported significant positive
association between the level of hypnotic susceptibility and pain-related outcomes.

Discussion
The evidence for the effectiveness of hypnosis as an adjunct therapy for management of
acute pain was evaluated. Overall, results from RCTs identified in the review process
suggest that hypnosis reduces acute pain associated with medical procedures.
Author Manuscript

Pain was most often measured with a single VAS score. Although this scale is easy to
administer and has low time-cost from the respondents, its acceptability and psychometric
properties are questionable when used with in a pediatric or geriatric population (e.g.,

1Although Kuttner, Bowman and Teasdale (1988) showed the superiority of hypnosis compared to distraction in some cases for pain
and anxiety reduction, these results were only significant in a subsample (younger children), thus they were counted as not
significantly better overall.

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 5

Hjermstad et al., 2011; Stinson, Kavanagh, Yamada, Gill, & Stevens, 2006; van Dijk, Koot,
Author Manuscript

Saad, Tibboel, and Passchier, 2002). Furthermore, VAS and the simple numerical rating
scales applied in most studies are one-dimensional and usually only evaluate pain intensity,
which might be problematic because the affective component of pain remains unassessed
this way. Specifically, according to dissociation theories, hypnotic analgesia does not result
in a simple reduction of pain sensation. Rather, it induces dissociation from pain and the
decoupling of pain intensity and pain unpleasantness. For example, according to Rainville,
Carrier, Hofbauer, Bushnell, and Duncan (1999), sensory and affective dimensions of pain
are largely independent in a hypnotic state, and these factors could be differentially
modulated with different hypnotic suggestions. Brain imaging studies also support the
notion that hypnosis can affect subjective pain intensity through the somatosensory cortex
(Hofbauer, Rainville, Duncan, & Bushnell, 2001) and pain unpleasantness through the
anterior cingulate cortex (Rainville, Duncan, Price, Carrier, & Bushnell, 1997) differentially.
Author Manuscript

Thus, suggestions devised to decrease pain unpleasantness may leave pain intensity ratings
unaffected, meaning that the pain scales should be synchronized with the intervention scripts
in all studies, especially if a one-dimensional scale is to be applied as a pain measure.

Evidence supporting the effectiveness of hypnosis is strongest when compared to standard


care control, and beneficial effects are still apparent when hypnosis is contrasted to attention
control. However, the strength of evidence of clinical trials using these two control
conditions have been challenged (Jensen & Patterson, 2005; Patterson & Jensen, 2003). In
spite of the recommendation of Jensen and Patterson (2005), eight out of nine studies
published after this insightful paper still use standard care control or attention control instead
of a “minimally effective treatment.” This makes it more difficult to fully establish the real
efficacy of hypnosis, because of the possible ‘contamination’ by non-specific treatment
effects (i.e. expectancy). It also makes it difficult for researchers to compare the
Author Manuscript

effectiveness of hypnosis to other medical treatments that are usually evaluated with placebo
control. Nevertheless, there are some studies directly contrasting the effectiveness of
hypnosis and other adjunct therapies for pain; expectancy bias is less likely in such
comparisons. Based on the studies in this review, hypnosis seems to be at least as effective as
cognitive behavioral approaches and play therapy, while hypnosis with relaxing music was
more effective than relaxing music alone, intraoperative hypnosis was also more effective
than intraoperative emotional support, and in most instances hypnosis produced better
results than distraction.

Included studies evaluated the effectiveness of hypnosis for pain control during bone marrow
aspiration, lumbar puncture, burn care, surgical procedures and other potentially painful
medical procedures like radiological procedures, abortion, and venipuncture. While there
Author Manuscript

were reports of some beneficial effect for all of these procedures, the highest success rate
was demonstrated in hypnosis for surgical procedures, with 75% of measures showing
significantly beneficial results. This finding is in line with numerous previous reviews
showing that hypnosis is a successful adjunctive treatment for the prevention of surgical
side-effects (Flammer & Bongartz, 2003; Flory, Martinez Salazar, & Lang, 2007; Kekecs,
Nagy, & Varga, in press; Montgomery, David, Winkel, Silverstein, & Bovbjerg, 2002;
Schnur, Kafer, Marcus, & Montgomery, 2008; Tefikow et al., 2013; Wobst, 2007). We have
to note here that most of the studies included in this review assess hypnoanalgesia for minor

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 6

surgical procedures. A recent meta-analysis (Kekecs et al., in press) also showed that
Author Manuscript

hypnosis is likely to reduce postoperative pain for minor procedures, but it failed to find
conclusive evidence to support the effectiveness of postoperative hypnotic analgesia in major
surgeries. The authors of that meta-analysis speculate that hypnoanalgesic effects might not
be sufficient for controlling pain in major surgeries, or, that they may be masked by rigorous
pharmacological pain control regimes used after major procedures. Whichever is the case,
our present review provides additional support for the benefits of perioperative hypnosis in
minor surgeries. On the other hand, our review showed that studies on bone marrow
aspiration and burn care reported the lowest percentage of significant effects from all the
procedure types. Patterson and Jensen (2003) also found inconsistent results on the effects of
hypnosis for burn care. Results of Patterson, Adcock and Bombardier (1997) suggest that
initial levels of burn pain might be a moderator of effectiveness. Specifically, patients with
higher baseline pain levels might be more motivated and more compliant, and additionally
Author Manuscript

more able to dissociate, than patients with low burn pain.

Interventions with more than one hypnosis session reported more significant effects than did
studies involving only one session; studies in which hypnosis was applied at least in part
before the day of the procedure seemed to be more successful than those applying the
intervention on the day of the procedure (either before or during procedure), and hypnosis
interventions shorter than 30 minutes produced the best results. The concordance between
the effectiveness of multiple intervention sessions and presentation before the day of the
procedure is not surprising as, in multi-session interventions, sessions are usually not
administered on the same day. Consequently, starting the preparation of patients early with
several hypnosis sessions seems to be the best approach. However, at this point, we cannot
tell if the earliness of the preparation or the multitude of sessions is the effective component
here. Interpretations are also limited by the fact that most studies did not systematically vary
Author Manuscript

moderating factors like number of hypnosis sessions, intervention length, and intervention
timing. Thus, we can only draw indirect inferences. Systematic contrast of these intervention
characteristics is needed. Future studies should also investigate whether the possibility of
practice at home plays a role in the efficacy of ‘early starting’ interventions.

Several previous studies evaluated the economical properties of hypnosis as an adjunct


treatment for medical procedures (e.g., Disbrow, Bennett, & Owings, 1993; Lang et al.,
2006; Lang & Rosen, 2002; Montgomery et al., 2007). These studies demonstrated that
hypnosis results in a significant cost-offsetting even when the cost of the intervention is
accounted for, mainly due to decreased procedure times, fewer complications, lower chance
of over-sedation, and shorter hospital stay after the procedures. The fact that most of the
studies in the present review achieved beneficial effects with using merely one hypnosis
Author Manuscript

session also suggests cost-effectiveness. However, as stated before, it seems that multiple
sessions may enhance effectiveness. Future studies should evaluate the added benefits of
multiple hypnosis sessions in lite of the increased intervention costs. Our results also showed
that hypnosis sessions were usually shorter than 30 minutes, and that these short
interventions produced the highest percentage of beneficial results.

It is also a question of economic value whether hypnoanalgesia is beneficial only for patients
with high hypnotic susceptibility, or if it can be used with every patient. Earlier studies

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 7

advocated the importance of hypnotizability as a determinant of hypnotically achievable


Author Manuscript

analgesia (e.g., Freeman, Barabasz, Barabasz, & Warner, 2000; Montgomery, DuHamel, &
Redd, 2000). Although this might be true in laboratory settings, a recent meta-analysis
argues that the variance in outcome explained by hypnotic susceptibility is so small (6%)
that it is of little to no clinical importance (Montgomery, Schnur, & David, 2011). In the vast
majority of the studies included in our review, participants were not screened for hypnotic
susceptibility, and none of the seven studies measuring hypnotizability selected participants
based on this score. Four of these seven studies reported significant associations between
outcomes and hypnotizability. However, in spite of the lack of selection for high
hypnotizables during patient enrollment, most of the studies in our review yielded a
significant beneficial effect, which corresponds with the conclusions of previous reviews
indicating that most patients are “hypnotizable enough” to benefit from hypnotic
interventions (Montgomery, David, et al., 2002; Montgomery et al., 2011). Based on our
Author Manuscript

review, we argue that hypnoanalgesia is an effective and treatment for acute procedural pain
which can be applied in a large variety of medical areas and patient populations. Thus
detailed guides of application incorporating recent research findings are needed to make the
technique more generally accessible for clinicians (e.g., Patterson, 2010).

Hypnosis has been defined as a state of consciousness involving focused attention and
reduced peripheral awareness characterized by an enhanced capacity for response to
suggestion (Elkins, Barabasz, Council, & Spiegel, 2015). All of the included studies used
hypnosis in which focused attention, guided imagery and analgesic suggestion are coupled
with relaxation. Relaxational hypnosis is convenient because in most medical procedures
patients are required to lie or sit still and thus relaxation and hypnosis can be continued
during the procedure as well. However according to laboratory studies, hypnoanalgesia can
also be achieved by active alert hypnosis in which hypnosis is performed during intense
Author Manuscript

physical exercise of the subject (Bányai & Hilgard, 1976; Miller, Barabasz, & Barabasz,
1991). This is a feature that is yet to be utilized in medical hypnoanalgesia studies. Good
candidates for using this technique might be radiological procedures requiring physical
exercise as a stress test (e.g., some of the coronary artery imaging techniques).

Limitations
Although 75% of the studies had a methodological quality score of two or higher, only five
papers got the maximal score of four during methodological evaluation. This shows that
although methodological quality of the study pool is not poor, there is still a considerable
chance that results are biased. Even more so, as the Jadad score itself is only sensitive to a
limited set of possible methodological biases (Berger & Alperson, 2009), one of which
Author Manuscript

(blinding of participants) was already ruled out of scoring because of the nature of hypnosis
interventions. Furthermore, the presence of publication bias is also a common risk in the
evaluation of clinical research, although according to Easterbrook, Gopalan, Berlin, and
Matthews (1991), randomized controlled trials are less prone to it. Thus, simple pooling of
effects of trials found during the literature search is likely to result in overestimation of the
real effects. Further bias can be introduced by the pooling of measurements across different
studies, as certain studies with a higher number of measurements can have a greater

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 8

influence on the data. We also have to note that there is a chance that some relevant papers
Author Manuscript

may have been missed during our literature search.

Conclusions
Results from randomized controlled clinical trials suggest that hypnosis decreases acute
procedural pain, and is at least as effective as other complementary therapies. Hypnotic
analgesia seems to be especially effective in minor surgical procedures. Furthermore,
interventions started earlier than the day of the procedure and using more than one hypnosis
sessions were most effective. However, further methodologically rigorous studies applying
minimally effective control conditions and systematic control of intervention dose and
timing are required to decrease risk of bias. Hypnosis interventions may affect subjective
pain intensity and pain unpleasantness differentially. Thus, hypnotic suggestions and pain
measures should be carefully matched. Also, additional research is needed to more fully
Author Manuscript

evaluate the effectiveness of hypnotic interventions in contrast to non-hypnotic therapies,


devise credible placebo control conditions, and determine the effect of potential moderators
such as dose (i.e., number of sessions) and hypnotizability.

Acknowledgments
We would like to acknowledge Vicki Patterson, Savannah Gosnell, Luzie Fofonka-Cunha and Peter Jiang for their
assistance in obtaining articles, preparation of tables and editing references.

Funding

Dr. Elkins was supported by grant # U01AT004634 from the National Center for Complementary and Alternative
Medicine, National Institutes of Health.
Author Manuscript

References
Accardi MC, Milling LS. The effectiveness of hypnosis for reducing procedure-related pain in children
and adolescents: a comprehensive methodological review. Journal of Behavioral Medicine. 2009;
32(4):328–339. [PubMed: 19255840]
Askay SW, Patterson DR, Jensen MP, Sharar SR. A randomized controlled trial of hypnosis for burn
wound care. Rehabilitation Psychology. 2007; 52(3):247–253.
Bányai EI, Hilgard ER. A comparison of active-alert hypnotic induction with traditional relaxation
induction. Journal of Abnormal Psychology. 1976; 85:218–224. [PubMed: 767390]
Berger VW, Alperson SY. A general framework for the evaluation of clinical trial quality. Reviews on
Recent Clinical Trials. 2009; 4(2):79–88. [PubMed: 19463104]
Bowers KS. Imagination and dissociation in hypnotic responding. International Journal of Clinical and
Experimental Hypnosis. 1992; 40:253–275. [PubMed: 1468834]
Chaves, JF. Hypnosis in pain management. In: Lynn, SJ.; Rhue, JW.; Kirsh, I., editors. Handbook of
Clinical Hypnosis. Washington, DC: American Psychological Association; 1993. p. 511-532.
Author Manuscript

Cyna AM, McAuliffe GL, Andrew MI. Hypnosis for pain relief in labour and childbirth: a systematic
review. British Journal of Anaesthesia. 2004; 93(4):505–511. [PubMed: 15277295]
Disbrow E, Bennett H, Owings J. Effect of preoperative suggestion on postoperative gastrointestinal
motility. Western Journal of Medicine. 1993; 158(5):488–492. [PubMed: 8342264]
Easterbrook PJ, Gopalan R, Berlin J, Matthews DR. Publication bias in clinical research. Lancet. 1991;
337(8746):867–872. [PubMed: 1672966]
Elkins, GR. Hypnotic Relaxation Therapy: Principles and Applications. Washington, DC: Springer;
2014.

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 9

Elkins GR, Barabasz AF, Council JR, Spiegel D. Advancing research and practice: The Revised APA
Division 30 Definition Of Hypnosis. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis.
Author Manuscript

2015; 63:1–9. [PubMed: 25365125]


Elkins GR, Jensen MP, Patterson DR. Hypnotherapy for the management of chronic pain. International
Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 2007; 55:275–287. [PubMed: 17558718]
Enqvist B, Fischer K. Preoperative hypnotic techniques reduce consumption of analgesics after
surgical removal of third mandibular molars: a brief communication. International Journal of
Clinical and Experimental Hypnosis. 1997; 45:102–108. [PubMed: 9077048]
Everett JJ, Patterson DR, Burns GL, Montgomery B, Heimbach D. Adjunctive interventions for burn
pain control: comparison of hypnosis and ativan: the 1993 Clinical Research Award. Journal of
Burn Care and Research. 1993; 14(6):676–683.
Faymonville ME, Mambourg P, Joris J, Vrijens B, Fissette J, Albert A, Lamy M. Psychological
approaches during conscious sedation. Hypnosis versus stress reducing strategies: a prospective
randomized study. Pain. 1997; 73:361–367. [PubMed: 9469526]
Flammer E, Bongartz W. On the efficacy of hypnosis: a meta-analytic study. Contemporary Hypnosis.
2003; 20(4):179–197.
Author Manuscript

Fleming S, Rabago DP, Mundt MP, Fleming MF. CAM therapies among primary care patients using
opioid therapy for chronic pain. BMC Complementary and Alternative Medicine. 2007; 7(1):15.
[PubMed: 17506893]
Flory N, Martinez Salazar GM, Lang EV. Hypnosis for acute distress management during medical
procedures. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 2007; 55:303–317.
[PubMed: 17558720]
Freeman R, Barabasz AF, Barabasz M, Warner D. Hypnosis and distraction differ in their effects on
cold pressor pain. American Journal of Clinical Hypnosis. 2000; 43:137–148. [PubMed:
11022363]
Gay MC, Philippot P, Luminet O. Differential effectiveness of psychological interventions for reducing
osteoarthritis pain: a comparison of Erickson hypnosis and Jacobson relaxation. European Journal
of Pain. 2002; 6(1):1–16.
Harandi AA, Esfandani A, Shakibaei F. The effect of hypnotherapy on procedural pain and state
anxiety related to physiotherapy in women hospitalized in a burn unit. Contemporary Hypnosis.
2004; 21(1):28–34.
Author Manuscript

Hilgard, ER.; Hilgard, JR. Hypnosis in the Relief of Pain. Philadelphia, PA: Brunner/Mazel; 1994.
Revised ed
Hjermstad MJ, Fayers PM, Haugen DF, Caraceni A, Hanks GW, Loge JH, Kaasa S. Studies comparing
Numerical Rating Scales, Verbal Rating Scales, and Visual Analogue Scales for assessment of pain
intensity in adults: a systematic literature review. Journal of Pain and Symptom Management.
2011; 41(6):1073–1093. [PubMed: 21621130]
Hofbauer RK, Rainville P, Duncan GH, Bushnell MC. Cortical representation of the sensory dimension
of pain. Journal of Neurophysiology. 2001; 86(1):402–411. [PubMed: 11431520]
Jadad AR, Moore RA, Carroll D, Jenkinson C, Reynolds DJM, Gavaghan DJ, McQuay HJ. Assessing
the quality of reports of randomized clinical trials: is blinding necessary? Controlled Clinical
Trials. 1996; 17(1):1–12. [PubMed: 8721797]
Jensen MP, Patterson DR. Control conditions in hypnotic-analgesia clinical trials: challenges and
recommendations. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 2005; 53:170–
197. [PubMed: 16028332]
Author Manuscript

Katz ER, Kellerman J, Ellenberg L. Hypnosis in the reduction of acute pain and distress in children
with cancer. Journal of Pediatric Psychology. 1987; 12(3):379–394. [PubMed: 3479547]
Kekecs Z, Nagy T, Varga K. The effectiveness of suggestive techniques in reducing post-operative side
effects: a meta-analysis of randomized controlled trials. Anesthesia and Analgesia. in press.
Kuttner L, Bowman M, Teasdale M. Psychological treatment of distress, pain, and anxiety for young
children with cancer. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics. 1988; 9(6):374–381.
[PubMed: 3220958]
Lambert SA. The effects of hypnosis/guided imagery on the postoperative course of children. Journal
of Developmental & Behavioral Pediatrics. 1996; 17(5):307–310. [PubMed: 8897217]

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 10

Lang EV, Benotsch EG, Fick LJ, Lutgendorf S, Berbaum ML, Berbaum KS, Spiegel D. Adjunctive
non-pharmacological analgesia for invasive medical procedures: a randomised trial. Lancet. 2000;
Author Manuscript

355(9214):1486–1490. [PubMed: 10801169]


Lang EV, Berbaum KS, Faintuch S, Hatsiopoulou O, Halsey N, Li X, Baum J. Adjunctive self-
hypnotic relaxation for outpatient medical procedures: a prospective randomized trial with women
undergoing large core breast biopsy. Pain. 2006; 126(1):155–164. [PubMed: 16959427]
Lang EV, Joyce JS, Spiegel D, Hamilton D, Lee KK. Self-hypnotic relaxation during interventional
radiological procedures: Effects on pain perception and intravenous drug use. International Journal
of Clinical and Experimental Hypnosis. 1996; 44:106–119. [PubMed: 8871338]
Lang EV, Rosen MP. Cost Analysis of Adjunct Hypnosis with Sedation during Outpatient
Interventional Radiologic Procedures 1. Radiology. 2002; 222(2):375–382. [PubMed: 11818602]
Liossi C, Hatira P. Clinical hypnosis versus cognitive behavioral training for pain management with
pediatric cancer patients undergoing bone marrow aspirations. International Journal of Clinical and
Experimental Hypnosis. 1999; 47:104–116. [PubMed: 10208073]
Liossi C, Hatira P. Clinical hypnosis in the alleviation of procedure-related pain in pediatric oncology
patients. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 2003; 51:4–28. [PubMed:
Author Manuscript

12825916]
Liossi C, White P, Hatira P. Randomized clinical trial of local anesthetic versus a combination of local
anesthetic with self-hypnosis in the management of pediatric procedure-related pain. Health
Psychology. 2006; 25(3):307–315. [PubMed: 16719602]
Liossi C, White P, Hatira P. A randomized clinical trial of a brief hypnosis intervention to control
venepuncture-related pain of paediatric cancer patients. Pain. 2009; 142(3):255–263. [PubMed:
19231082]
Mackey EF. Effects of hypnosis as an adjunct to intravenous sedation for third molar extraction: A
randomized, blind, controlled study. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis.
2009; 58:21–38.
Marc I, Rainville P, Masse B, Verreault R, Vaillancourt L, Vallée E, Dodin S. Hypnotic analgesia
intervention during first-trimester pregnancy termination: an open randomized trial. American
Journal of Obstetrics and Gynecology. 2008; 199(5):469.e461–469.e469. [PubMed: 18377854]
Marc I, Rainville P, Verreault R, Vaillancourt L, Masse B, Dodin S. The use of hypnosis to improve
pain management during voluntary interruption of pregnancy: an open randomized preliminary
Author Manuscript

study. Contraception. 2007; 75(1):52–58. [PubMed: 17161125]


Massarini M, Rovetto F, Tagliaferri C, Leddi G, Montecorboli U, Orifiammi P, Parvoli G. Preoperative
hypnosis. A controlled study to assess the effects on anxiety and pain in the postoperative period.
European Journal of Clinical Hypnosis. 2005; 6(1):8–15.
Miller MF, Barabasz AF, Barabasz M. Effects of active alert and relaxation hypnotic inductions on
cold pressor pain. Journal of Abnormal Psychology. 1991; 100:223–226. [PubMed: 2040774]
Montgomery GH, Bovbjerg DH, Schnur JB, David D, Goldfarb A, Weltz CR, Price DD. A randomized
clinical trial of a brief hypnosis intervention to control side effects in breast surgery patients.
Journal of the National Cancer Institute. 2007; 99(17):1304–1312. [PubMed: 17728216]
Montgomery GH, David D, Winkel G, Silverstein JH, Bovbjerg DH. The effectiveness of adjunctive
hypnosis with surgical patients: a meta-analysis. Anesthesia and Analgesia. 2002; 94(6):1639–
1645. [PubMed: 12032044]
Montgomery GH, DuHamel KN, Redd WH. A meta-analysis of hypnotically induced analgesia: How
effective is hypnosis? International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 2000; 48:138–
Author Manuscript

153. [PubMed: 10769981]


Montgomery GH, Schnur JB, David D. The impact of hypnotic suggestibility in clinical care settings.
International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 2011; 59:294–309. [PubMed:
21644122]
Montgomery GH, Weltz CR, Seltz M, Bovbjerg DH. Brief presurgery hypnosis reduces distress and
pain in excisional breast biopsy patients. International Journal of Clinical and Experimental
Hypnosis. 2002; 50:17–32. [PubMed: 11778705]
Patterson, DR. Clinical Hypnosis for Pain Control. Washington, DC: American Psychological
Association; 2010.

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 11

Patterson DR, Adcock RJ, Bombardier CH. Factors predicting hypnotic analgesia in clinical burn pain.
International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 1997; 45:377–395. [PubMed:
Author Manuscript

9308266]
Patterson DR, Everett JJ, Burns GL, Marvin JA. Hypnosis for the treatment of burn pain. Journal of
Consulting and Clinical Psychology. 1992; 60:713–717. [PubMed: 1383302]
Patterson DR, Jensen MP. Hypnosis and clinical pain. Psychological Bulletin. 2003; 129:495–521.
[PubMed: 12848218]
Patterson DR, Ptacek J. Baseline pain as a moderator of hypnotic analgesia for burn injury treatment.
Journal of Consulting and Clinical Psychology. 1997; 65:60–67. [PubMed: 9103735]
Rainville P, Carrier Bt, Hofbauer RK, Bushnell MC, Duncan GH. Dissociation of sensory and affective
dimensions of pain using hypnotic modulation. Pain. 1999; 82(2):159–171. [PubMed: 10467921]
Rainville P, Duncan GH, Price DD, Carrier B, Bushnell MC. Pain affect encoded in human anterior
cingulate but not somatosensory cortex. Science. 1997; 277(5328):968–971. [PubMed: 9252330]
Richardson J, Smith JE, McCall G, Pilkington K. Hypnosis for procedure-related pain and distress in
pediatric cancer patients: A systematic review of effectiveness and methodology related to
hypnosis interventions. Journal of Pain and Symptom Management. 2006; 31(1):70–84. [PubMed:
Author Manuscript

16442484]
Schnur JB, Kafer I, Marcus C, Montgomery GH. Hypnosis to manage distress related to medical
procedures: a meta-analysis. Contemporary Hypnosis. 2008; 25(3–4):114–128. [PubMed:
19746190]
Smith JT, Barabasz AF, Barabasz M. Comparison of hypnosis and distraction in severely ill children
undergoing painful medical procedures. Journal of Counseling Psychology. 1996; 43:187.
Snow A, Dorfman D, Warbet R, Cammarata M, Eisenman S, Zilberfein F, Navada S. A randomized
trial of hypnosis for relief of pain and anxiety in adult cancer patients undergoing bone marrow
procedures. Journal of Psychosocial Oncology. 2012; 30(3):281–293. [PubMed: 22571244]
Stinson JN, Kavanagh T, Yamada J, Gill N, Stevens B. Systematic review of the psychometric
properties, interpretability and feasibility of self-report pain intensity measures for use in clinical
trials in children and adolescents. Pain. 2006; 125(1):143–157. [PubMed: 16777328]
Syrjala KL, Cummings C, Donaldson GW. Hypnosis or cognitive behavioral training for the reduction
of pain and nausea during cancer treatment: a controlled clinical trial. Pain. 1992; 48(2):137–146.
Author Manuscript

[PubMed: 1350338]
Tefikow S, Barth J, Maichrowitz S, Beelmann A, Strauss B, Rosendahl J. Efficacy of hypnosis in
adults undergoing surgery or medical procedures: A meta-analysis of randomized controlled trials.
Clinical Psychology Review. 2013; 33:623–636. [PubMed: 23628907]
Van Dijk M, Koot HM, Saad HHA, Tibboel D, Passchier J. Observational visual analog scale in
pediatric pain assessment: useful tool or good riddance? Clinical Journal of Pain. 2002; 18(5):310–
316. [PubMed: 12218502]
Wall VJ, Womack W. Hypnotic versus active cognitive strategies for alleviation of procedural distress
in pediatric oncology patients. American Journal of Clinical Hypnosis. 1989; 31:181–191.
[PubMed: 2919572]
Weinstein EJ, Au PK. Use of hypnosis before and during angioplasty. American Journal of Clinical
Hypnosis. 1991; 34(1):29–37. [PubMed: 1951141]
Wobst AH. Hypnosis and surgery: past, present, and future. Anesthesia and Analgesia. 2007; 104(5):
1199–1208. [PubMed: 17456675]
Wright BR, Drummond PD. Rapid induction analgesia for the alleviation of procedural pain during
Author Manuscript

burn care. Burns. 2000; 26(3):275–282. [PubMed: 10741595]


Zeltzer L, LeBaron S. Hypnosis and nonhypnotic techniques for reduction of pain and anxiety during
painful procedures in children and adolescents with cancer. Journal of Pediatrics. 1982; 101(6):
1032–1035. [PubMed: 7143158]

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Kendrick et al. Page 12
Author Manuscript
Author Manuscript
Author Manuscript

Figure 1.
PRISMA Flow Diagram
Author Manuscript

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

Table 1

Key Data Controlled Trials of Hypnosis for Acute and Procedural Pain

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Kendrick et al.

Treat Analysis
Zeltner, 1982 Parallel design Bone marrow aspirations Patients were helped to Distraction. This 1) pain self-report and 1) Pain self- ‘(…) hypnosis was
1 or lumbar puncture become increasingly involved asking the observer rating aggregated ratings shown to be more
Not reported 33/33 involved in interesting child to focus on (1–5) decreased in effective than non-
and pleasant images. (n objects in the room 2) anxiety self-report and both groups hypnotic techniques
= 16) rather than on fantasy. observer rating aggregated significantly, for reducing
(n = 17) (1–5) but hypnosis procedural distress in
* Both measures collected at was children and
baseline and 1–3 BMAs post- significantly adolescents with
baseline better in pain cancer.’
reduction for
bone marrow
aspiration (p
< .03) and
lumbar
puncture (p<.
02).
2) Anxiety was
also
significantly
more reduced
by hypnosis for
bone marrow
aspiration (p
< .05).

Katz, 1987 Parallel design Bone marrow aspirations Training in hypnosis Play matched for time 1) Pain self-report (0–100 1) Pain self- ‘It appears that
2 or lumbar puncture (in and self-hypnosis (two, and attention to scale) patterned after report scores hypnosis and play are
Not reported some cases) 30 min. interventions hypnosis group thermometer. decreased equally effective in
36/36 prior to each BMA + 20 (n=19) 2) PBRS during procedure significantly reducing subjective
min session preceding * Both measures collected at from baseline pain for BMAs.
each of three BMAs. baseline and 3 BMAs post- at each
(n= 17) baseline subsequent
BMA in both

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
groups (p<.05).
There were no
significant
intergroup
differences in
self-reported
pain.
2) No
significant
intergroup
differences in
observational
ratings.
Page 13
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
Kuttner, 1988 Parallel design Bone marrow aspiration 5–20 minute 1) standard care (n = 1) PBRS during procedure by 1) no ‘(…) distress of
2 48/48 preparation just before 16) 2 observers difference in younger children, 3–6
Not reported procedure and hypnosis 2) 5–20 minute 2) observed anxiety rating the whole years old was best
Kendrick et al.

and guided imagery preparation and scale (1–5), 3) observed pain sample, but alleviated by
facilitating the training in breathing rating scale (1–5) younger hypnotic therapy,
involvement in an technique, and 2) and 3) were the aggregated patients had a imaginative
interesting story during distraction with toys score of physician, nurse, lower PBRS in involvement, whereas
procedure. Additionally during procedure. (n = parent, 2 observers the hypnosis older children’s
participants could turn 16) 4) anxiety self-report group than observed pain and
pain off with a ‘pain (pictorial scale) both other anxiety was reduced
switch’. (n = 16) 5) pain self-report (pictorial groups (ps < . by both distraction
scale) 05). and imaginative
2) observed involvement
anxiety was techniques.’
lower for older
children in the
hypnosis group
and the
distraction
group
compared to
the control (p<.
05), but not
hypnosis vs.
distraction.
While hypnosis
was better at
anxiety
reduction than
distraction for
younger
patients (p<.
05),.
3) no
difference in
the whole
sample,

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
observed pain
was lower in in
older patients
in the hypnosis
group
compared to
the standard
care group.(p<.
05). While for
younger
patients,
hypnosis was
better for pain
reduction.(p<.
05).
Page 14
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
4) no effect on
anxiety self-
report
Kendrick et al.

5) no effect on
pain self-report

Wall, 1989 Parallel design Bone marrow aspirations Hypnosis (two group Active cognitive 1) 10cm VAS2 (procedural 1) Self- ‘(…) both strategies
3 or lumbar puncture training sessions during strategy (two group pain, behavioral observation reported pain were effective in
Not reported 20/201 the week prior to the training sessions and self-reports, three times) decreased in providing pain
procedure, n= 11) during the week prior both groups (p reduction.’
to the procedure, n= 2) MPQ3 (affective and = .003) with no
9) procedural components of significant
pain, one time, subjects above between group
12yo) differences.
3) independent observer blind 2) MPQ
to treatment assignment – present pain
rated procedural pain via 10 index (p<.02)
cm VAS and pain
ratings index
(p<.01)
significantly
decreased in
both groups
with no
significant
between group
differences.
3)
Observational
pain ratings
reflected
decrease in
procedural pain
(p<.009).
Between group
differences
were
insignificant.

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Weinstein, 1991 Parallel design Angioplasty (by Hypnosis (30 min) Standard care (n = 16) 1) Pulse 1) No ‘(…) reduction [of
0 inflating balloons in before the day of the 2) Blood pressure difference in analgesic use] was
Not reported occluded coronary procedure, with 3) Pain medication used pulse significant, and in
arteries) posthypnotic 4) balloon inflation time 2) No line with reports of
32/32 suggestions for difference in less pain medication
relaxation during blood pressure required by burn
angioplasty. (n = 16) 3) Fewer victims who have
patients needed mad hypnotic
additional pain therapy’
medication in
the hypnosis
group (p = .05)
Page 15
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
4) Balloon
could remain
inflated 25%
Kendrick et al.

longer in the
hypnosis group
(not significant,
p = .10)

Patterson, 1992 Parallel design 33/30 Hypnosis (25 min) prior 1) Standard care 1) 10 cm VAS self-report 1a) significant ‘Hypnosis is a viable
3 to debridement + 2) Attention and 2) 10 cm nurse administered within group adjunct treatment for
Not reported standard care information control + VAS difference in burn pain.’
standard care 3) pain medication stability hypnosis group
(p=.0001) not
seen in
controls.
1b) Hypnosis
participants
had
significantly
less post-
treatment pain
than attention
(p=.03) and
standard care
control (p=.01).
2a) significant
within group
pre-post
reduction in
pain among
hypnosis
participants not
seen in
controls.
2b) no
significant
intergroup
differences

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
3) no
significant
intergroup
differences

Syrjala, 1992 Parallel design Bone marrow aspiration 1) Hypnosis (2 pre- 1) Therapist contact 1) VAS self-report of oral 1) Hypnosis ‘Hypnosis was
2 67/45 transplant sessions +10 control (2 pre- pain participants effective in reducing
Not reported booster sessions)+ transplant sessions 2) opioid medication use experienced oral pain for patients
standard medical care +10 booster sessions) less pain than undergoing marrow
2) Cognitive behavioral + standard medical therapist transplantation. The
coping skills training (2 care contact or CBT CBT intervention was
pre-transplant sessions 2) Treatment as usual participants not effective in
+10 booster sessions) + (standard medical (p= .033). reducing symptoms
standard medical care care measured.’
Page 16
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
2) no
significant
differences
Kendrick et al.

between groups

Everett, 1993 Parallel Burn debridement 1) Hypnosis (25 min) 1) standard care 1) VAS self-report 1) No ‘The results are
2 32/32 before debridement 2) hypnosis attention 2) VAS nurse observation significant argued to support the
Not reported +standard care control: time and 3) pain medication stability intergroup or analgesic advantages
2) Hypnosis (25 min) attention (25 min) + within group of early, aggressive
intervention prior to standard care differences opioid use via PCA
debridement + 2) No [patient-controlled
Lorazepam + standard significant analgesia apparatus]
care intergroup or or through careful
within group staff monitoring and
differences titration of pain
3) Pain drugs.’
medication was
equivalent
across four
groups.

Lambert, 1996 Parallel design Variety of elective 1 training session (30 Attention control: 1) pain reported each hour 1) lower pain ‘This study
2 surgical procedures min) 1 week before Equal amount of time after surgery on a numerical ratings in the demonstrates the
Not reported 52/50 surgery, where children spent with a research rating scale (0–10) hypnosis group positive effects of
were taught guided assistant discussing 2) total analgesics used (p<.01) hypnosis/guided
imagery. Posthypnotic surgery and other postoperatively 2) no imagery for the
suggestions for better topics of interest. 3) self-report anxiety significant pediatric surgical
surgical outcome. (n (n=26) (STAIC) difference in patient.’
=26) analgesic use
between groups
3) no
significant
difference in
anxiety
between groups

Lang, 1996 Parallel design Radiological procedures Instruction in self Standard care (n=14) 1) 0–10 numeric rating scale 1) Hypnosis ‘Self-hypnotic
3 30/30 Hypnosis to be used at baseline, at ‘20 min into participants relaxation can reduce

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Not reported during operation + every 40-min interval, and reported drug use and improve
standard care (n=16) before leaving the significantly procedural safety’
intervention table’ less pain than
2) Blood pressure controls (p<.
3) Intravenous PCA4 01)
2) No
significant
intergroup
differences
with regard to
increases in
blood pressure.
3) Controls
self-
administered
Page 17
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
significantly
more
medication
Kendrick et al.

than hypnosis
participants
(p<.01).

Smith, 1996 Crossover-design venipuncture or Training for the child Training for the child 1) Children’s Global Rating 1) CGRS pain ‘Hypnosis was
2 infusaport access and parent to use a and parent to apply Scale (CGRS) of pain by the rating was significantly more
Not reported 36/27 favorite place hypnotic distraction technique patient lower in the effective than
induction where the using a toy during the 2) Children’s Global Rating hypnosis distraction in
parent and child go on medical procedure. Scale (CGRS) of anxiety by condition (p<. reducing perceptions
an imaginary journey to Daily practice for 1 the patient 001), of behavioral distress,
a location of the child’s week before the 3) pain Likert scale by the especially in pain, and anxiety in
choosing during the procedure. (n = 36) parent high hypnotizable
medical procedure. 4) anxiety Likert scale by the hypnotizables. children.’
Daily practice for 1 parent 2) CGRS
week before the 5) Independent observer- anxiety rating
procedure. (n = 36) reported anxiety was lower in
6) Observational Scale of the hypnosis
Behavioral Distress-Revised condition (p<.
(OSBD-R) 001),
especially in
high
hypnotizables.
3), 4) and 5)
parent reported
pain and
anxiety, and
observer
reported
anxiety showed
the same
pattern (ps<.
001).
6) no
significant
main effect of

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
condition
reported for
OSBD-R
scores.

Enqvist, 1997 Parallel design Surgical removal of third 20 min Hypnosis via Standard care (n= 36) postoperative analgesic use Of participants ‘The preoperative use
3 mandibular molars audiotape one week randomized to of a carefully
Not reported 72/69 prior to surgery with hypnosis, 3% designed audiotape is
recommendations for consumed three an economical
daily listening + or more intervention, in this
standard care (n= 33) equipotent instance with the aim
doses of to give the patient
postoperative better control over
analgesics in anxiety and pain. A
Page 18
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
comparison to patient-centered
28% of approach, together
controls. with the use of
Kendrick et al.

hypnotherapeutic
principles, can be a
useful addition to
drug therapy. A
preoperative hypnotic
technique audiotape
can be additionally
helpful because it
also gives the patient
a tool for use in
future stressful
situations.’
Faymonville, 1997 Parallel design Plastic surgery Hypnosis (just Emotional support 1) Intraoperative pain VAS 1) ‘(…) hypnosis
2 60/56 proceeding and during (during surgery) + 2) postoperative pain VAS Intraoperative provides better
Yes surgery) + standard care standard care (n=25) (self-report) was perioperative pain
(n=31) 3) intraoperative pain significantly and anxiety relief,
medication requirements lower among allows for significant
hypnosis reduction in
participants alfentanil and
than controls midazolam
(p<.02). requirements, and
2) Hypnosis improves patient
participants satisfaction and
reported surgical conditions as
significantly compared with
less conventional stress
postoperative reducing strategies
pain than support in patients
controls (p<. receiving conscious
01) sedation for plastic
3) Hypnosis surgery.’
participants
required
significantly

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
less
intraoperative
midazolam
(p<.001) and
alfentanil (p<.
001) than
controls.

Patterson, 1997 Parallel Design Burn debridement 1) hypnosis (25 min) 1) attention and 1) 100 mm VAS self-report 1a) No ‘The findings
4 63/57 prior to debridement information control + 2) 100 VAS nurse observation significant provided further
Not reported +standard care standard care 3) pain medication stability intergroup evidence that
differences in hypnosis can be a
the total useful psychological
sample. intervention for
reducing pain in
Page 19
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
1b) Hypnosis patients who are
participants being treated for a
experienced major burn injury.
Kendrick et al.

less pain (p<. However, the findings


05) among also indicate that this
patients with technique is likely
high baseline more useful for
pain levels patients who are
2a) observer experiencing high
ratings levels of pain.’
indicated less
pain among
hypnosis
participants
than controls
(p<.05)
2b) no
intergroup
differences
among patients
with high
baseline pain
according to
nurses
3) no
significant
intergroup
differences
(comparing all
patients or high
pain patients)

Liossi, 1999 Parallel design Bone marrow aspirations Hypnosis (3, 30 min 1) Standard care (n = 1) PBCL5 (behavioral 1) PBCL ‘Hypnosis and CB
3 30/30 sessions prior to 10) observation, pain, during one indicated were similarly
Not reported procedure, n= 10) 2) Cognitive hypnosis (p=. effective in the relief
behavioral (CB) BMA6 at baseline and during 001) and CB of pain….It is
coping skills (3, 30 BMA after interventions) patients (p = . concluded that
min sessions prior to 2) 6-point faces rating scale 003) were less hypnosis and CB

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
procedure, n= 10) (self-report, pain, during one distressed than coping skills are
BMA at baseline and during controls. effective in preparing
BMA after interventions) Hypnosis pediatric oncology
participants patients for bone
also had less marrow aspiration.’
distress than
CB (p = .025)
participants.
2) Hypnosis
participants (p
= .005) or CB
(p = .008)
reported
decreased pain
Page 20
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
in comparison
to baseline that
was not
Kendrick et al.

observed in
controls. In
addition, self-
reported pain
was less among
hypnosis
participants
(p=.001) and
CB participants
(p=.002) than
controls. There
were no
significant
group
differences of
self-reported
pain between
hypnosis and
CB
participants.

Lang, 2000 Parallel design Percutaneous vascular Guided self- hypnotic 1) Standard care 1) 0–10 verbal scales (pain, 1) Participants ‘Structured attention
3 and renal procedures relaxation during (n=79) before surgery and every 15 experienced a and self-hypnotic
Not reported 241/241 surgery + standard 2) structured attention min during it) linear increase relaxation proved
medical care (n=82) during surgery + 2) Amount of medication in pain beneficial during
standard medical requested during procedure throughout the invasive medical
care(n=80) operation if procedures. Hypnosis
randomized to had more pronounced
attention (p= . effects on pain and
0425) or anxiety reduction,
standard care and is superior, in
(p<.0001). that it also improves
However, hemodynamic
hypnosis stability.’
participants did

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
not experience
a significant
pain increase.
2) Medication
usage was
significantly
greater among
participants
randomized to
standard care
(1.9 units) in
comparison to
hypnosis (0.9
units) or
Page 21
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
structured
attention
participants
Kendrick et al.

(0.8 units).

Wright, 2000 Parallel design Burn debridement Hypnosis (15 min) prior Standard care 1) Self report of sensory and 1a) Significant Hypnosis is ‘a viable
1 30/30 to debridement affective pain during burn pre-post adjunct to narcotic
Not reported procedures + standard care decreases of treatment for pain
care 2) retrospective self-report of sensory (p<. control during burn
pain ratings after burn care 001) and care.’
3) medication consumption affective (p<.
001) pain were
seen among
hypnosis
participants by
end of first
procedure.
1b) Self report
of sensory (p<.
05) and
affective (p<.
05) pain were
lower among
hypnosis
participants
than controls
after the
second
debridement.
3) In the
hypnosis
group,
consumption of
paracetamol
(p<.01) and
codeine (p.=.
01) decreased
but remained

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
unchanged in
controls.

Montgomery, 2002 Parallel design Excisional breast biopsy Hypnosis (10 min Standard-care (n=20) 10cm VAS (pain). Hypnosis ‘The results of the
1 20/20; + 20 healthy hypnotic induction Healthy group (n=20) group present study
Not reported controls before the procedure, demonstrated revealed that a brief
n=20) decreased post- hypnosis intervention
surgery pain in can be an effective
comparison to means to reduce
control (p<. postsurgical pain and
001) distress in women
undergoing
excisional breast
biopsy. Postsurgical
Page 22
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
pain was reduced in
patients receiving
hypnosis relative to a
Kendrick et al.

standard care control


group.’

Liossi, 2003 Parallel design Lumbar punctures (LP) 1) Direct hypnosis (1, 1) Standard care (n= 1) PBCL (behavioral 1) Observed ‘(…) Hypnosis is
2 80/80 40 minute session + 20) observation, pain, at baseline distress in effective in preparing
Not reported administration directly 2) ) Attention control and during 2 LP with hypnosis group pediatric oncology
before and during 2LP (40 minutes session + therapist directed decreased patients for lumbar
+ self-hypnosis standard care, n=20) interventions + 3 LP with significantly puncture, but the
instruction + standard self-hypnosis interventions) during presence of the
care, n=20) 2) 6-point faces rating scale intervention (p therapist may be
2) Indirect hypnosis (1, (self-report, pain, during <.001) and was critical.’
40 minutes session + baseline, 2 consecutive LPs significantly
administration directly with therapist interventions lower than that
before and during 2LP + 3 LPs with self-hypnosis of controls (p<.
+ self- hypnosis only) 001). In
instruction + standard addition,
care, n=20) behavioral
distress was
lower among
treatment
groups during
1st and 3rd LPs
using self-
hypnosis than
among controls
(p<.001 for all
comparisons
between
groups).
However,
distress
increased to
baseline levels
at 6th LP using
self-hypnosis.

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
There were no
significant
intragroup
differences
between the
treatment or
control groups.
2) During the
intervention
phase,
hypnosis
participants
experienced
significantly
Page 23
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
less pain than
attention (p<.
02) and
Kendrick et al.

standard care
(p<.001)
controls. Pain
decreases
continued
during 1st and
3rd LPs using
self-hypnosis
but increased to
levels baseline
levels by the
6th LP with
self-hypnosis.
No significant
intragroup
differences
between the
treatment or
control groups.

Harandi, 2004 Parallel design Physiotherapy for burns Hypnosis once a day Standard-care (n=22) 100mm VAS7 (pain) Hypnosis ‘Hypnosis is
0 44/44 for a period of 4 days, participants recommended as a
Not reported n=22) experienced complementary
less pain method in burns
physiotherapy - physiotherapy.’
related pain in
comparison to
controls (p<.
001)

Massarini, 2005 Parallel design Surgical operation 15 – 30 min of Standard care (n=20) 0–10 numeric rating scale 1a) Hypnosis ‘This controlled
1 42/42 Hypnosis 24 hours prior combined with a scale of participants study showed that
Not reported to operation (n=20) facial expressions (Faces Pain reported less brief hypnotic
Rating Scale) recorded each pain intensity treatment carried out
day postoperatively for 4 on day 1(p = . in the preoperative

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
days to assess affective and 006) and 2 period leads to good
sensory pain (p= .003) results with surgery
following their patients in terms of
operation in reducing anxiety
comparison to levels and pain
controls. perception.’
However, pain
intensity in the
hypnosis group
was
comparable to
that of controls
on day 3 and 4.
Page 24
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
1b) Affective
pain was also
less among
Kendrick et al.

hypnosis
participants in
comparison to
controls on day
1 (p=.010) and
2 (p=.010)
postoperatively,
but was
equivocal on
day 3 (p=.204)
and 4 (p=.702)

Lang, 2006 Parallel design Breast biopsy Hypnosis during 1) Standard care (n = 1) Verbal 0–10 analog scale Intraoperative ‘(…) while both
3 240/236 procedure + empathetic 76) (intraoperative every 10 min) pain increased structured empathy
Not reported attention (n= 78) 2) Structured significantly and hypnosis
emphatic attention for all groups decrease procedural
during procedure (n= (p<.001). pain and anxiety,
82) However, the hypnosis provides
pain increase more powerful
among anxiety relief without
hypnosis undue cost and thus
participants appears attractive for
was less steep outpatient pain
than that of management.’
empathy (p = .
024) or
standard care
(p = .018)
participants.

Liossi, 2006 Parallel design Lumbar punctures 1) EMLA +Hypnosis 1) EMLA =15 1) The Wong–Baker FACES 1) During all 3 ‘(…) self-hypnosis
4 45/45 (approximately 40 min 2) EMLA + Attention Pain Rating Scale (self- measurement might be a time- and
Yes session + self- hypnosis (approximately 40 report) times, hypnosis cost-effective method
training, n= 15) minute session, n= 2) PBCL participants that nevertheless
15) * Measures were collected 3 were found to extends the benefits

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
times - during therapist led report less pain of traditional hetero-
intervention (time 2) – - that the hypnosis.’
during self-hypnosis attention
intervention (time 3 and 4) controls: (p<.
001) for times
2 and 3; (p<.
002) for time 4.
In addition,
hypnosis
participants
experienced
less pain than
EMLA only
controls: (p<.
Page 25
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
001) for times
2, 3, and 4
2) At times 2,
Kendrick et al.

3, and 4,
participants
randomized to
EMLA +
hypnosis
appeared
significantly
less distressed
than those of
the EMLA
group (p<.001)
or the EMLA +
attention group
(p<.001). There
were no
significant
intergroup
differences
between
controls.

Marc, 2007 Parallel design Abortion Hypnosis (20 min Standard-care (n=15) 1) Request for N2O sedation. 1) 36% of ‘(…) hypnosis can be
3 30/29 before and during 2) 11-point verbal numerical hypnosis integrated into
Not reported procedure, n=14) scale used during operation participant standard care and
needed N2O reduces the need for
sedation N2O in patients
compared to undergoing first-
87% of trimester surgical
controls (p<. abortion.’
01).
2) No
significant
differences.
Montgomery, 2007 Parallel design Breast cancer surgery Hypnosis (15 minute, Attention control (15 1) Intraoperative medication 1) Patients ‘Overall, the present

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
4 200/200 pre-surgical minute pre- surgical use randomized to data support the use
Not reported intervention, n= 105) intervention, n= 95) 2) 0–100 VAS pain intensity receive of hypnosis with
and unpleasantness hypnosis breast cancer surgery
required less patients.’
Lidocaine (p<.
001) and
Propofol (p<.
001)
interoperatively
than controls.
Utilization of
Fentanyl and
Midazlam was
not statistically
Page 26
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
different
between
groups, nor
Kendrick et al.

was use of
postoperative
analgesics.
2) Hypnosis
participants
reported also
reported
significantly
less pain
intensity (p<.
001) and pain
unpleasantness
(p<.001) than
controls.

Marc, 2008 Parallel design Abortion Hypnotic analgesia (20 Standard-care (n=175) 1) Use of sedation. 1) Hypnosis ‘Hypnotic
3 350/347 min before and during 2) 0–100 visual numeric participants interventions can be
Not reported procedure, n=172) scales (two separate ratings required less effective as an
during operation) IV analgesia adjunct to
than controls (p pharmacologic
<.0001) 2) management of acute
Hypnosis pain during abortion.’
participants did
not report
significant pain
increase during
suction
evaluation.

Liossi, 2009 Parallel design Venipuncture EMLA8 + hypnosis (15 1) EMLA (n=15) 1) 100 mm VAS 1a) ‘(…) the use of self-
4 45/45 min) prior to first 2) EMLA + attention 2) PBCL (three times Venipuncture hypnosis prior to
Yes venipuncture + self- (15 minutes) prior to following baseline - during 1:Self-reported venipuncture can be
hypnosis instruction first venipuncture (n= preparation, needle insertion, pain was considered a brief,
(n= 15) 15) and post procedure) significantly easily implemented
less in and an effective

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
hypnosis intervention in
participants reducing
than in venipuncture-related
attention pain.’
controls (p<.
001) who
reported
significantly
less pain than
EMLA only
controls (p<.
04)
1b)
Venipuncture
Page 27
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
2&
Venipuncture
3: Self-reported
Kendrick et al.

pain was
significantly
lower among
hypnosis
participants
than attention
(p<.001) or
EMLA only
controls (p<.
001). There
were no
significant
intergroup
differences
between
controls.
2a)
Venipuncture
1: Hypnosis
participants
displayed less
observable
distress than
attention (p<.
001) controls,
who appeared
less distressed
than EMLA
only (p<.001)
controls.
2b)
Venipuncture
2& 3:
Hypnosis
participants

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
again displayed
significantly
less observable
distress than
attention
controls (p <.
001) in both
venipunctures.
Attention
controls also
appeared less
distressed than
EMLA only
controls during
Page 28
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript

First Author, Year Study Design Condition Sample Size Intervention (regimen) Control (regimen) Pain Measurement Methods Main Result Authors’ Conclusion
Quality Score (Randomized/
Intention-to- Analyzed)
Treat Analysis
both
venipuncture 2
(p=.025) and 3
Kendrick et al.

(p = .008).

Mackey, 2010 Parallel design Molar extraction Hypnosis + relaxing Relaxing background 1) postoperative pain - 10cm 1) ‘(…) the use of
4 91/91 background music music during surgery VAS Postoperative hypnosis and
Not reported during surgery + + standard care (n= 2) intraoperative medication pain was therapeutic
standard care (n=46) 54) use significantly suggestion as an
3) postoperative prescription less among adjunct to
analgesic used hypnosis intravenous sedation
participants assists patients
than controls having third molar
(p<.001). removal in an
2) Control outpatient surgical
participants setting.’
required
significantly
more
intraoperative
medication
than hypnosis
participants
(p<.01).
3) The use of
postoperative
analgesics was
significantly
less among
hypnosis
participants
than controls
(p<.01).

Snow, 2012 Parallel design Bone marrow aspirates Hypnosis (15 min Standard-care (n=39) 100mm VAS (pain, anxiety) No significant ‘(…) brief hypnosis
1 and biopsies before and during the between group concurrently
Not reported 80/80 procedure) + standard differences in administered reduces
care (n= 41) pain ratings. patient anxiety during

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
bone marrow
aspirates and biopsies
but may not
Adequately control
pain.’

1
‘Due to changes in medical treatment protocols which eliminated or significantly reduced the number of BMA/LP’s done with patients, only 20 of the original group of 42 subjects who initially
volunteered completed the study.’ Page 183
2
VAS, visual analog scale
3
MPQ, McGill Pain Questionnaire
Page 29
Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript Author Manuscript
4
PCA, Intravenous patient-controlled analgesia
5
PBCL, Procedure Behavior Checklist
6
BMA, Bone marrow aspiration
7
VAS, visual analog scale
8
Kendrick et al.

EMLA, eutectic mixture of local anesthetics

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
Page 30
Kendrick et al. Page 31

Table 2

Effectiveness of hypnosis displayed by various comparison groups and study and intervention characteristics
Author Manuscript

total number of studies total number of measurements sign. effect percentage


control condition
hypnosis is better than standard care control 20 45 62%
hypnosis is better than attention control 11 30 53%
hypnosis is better than other active treatment 9 30 53%
procedure type
bone marrow aspiration 4 10 30%
lumbar puncture 2 5 60%
burn debridement or other burn care 5 12 42%
surgical procedure 6 12 75%
other medical procedures 6 14 69%
Author Manuscript

amount of sessions
more than 1 sessions 3 5 80%
1 sessions 20 50 54%
intervention length
30 minutes or longer 6 16 56%
shorter than 30 minutes 11 25 68%
lasting as long as the procedure 5 14 36%
intervention timing
presentation days before the procedure 6 15 67%
pre-operative presentation 13 34 47%
intra-operative presentation 8 20 45%

Note: sign. effect percentage shows the percentage of measures in which hypnosis groups had significantly lower pain scores than the comparison
Author Manuscript

group in relation to the total number of measures. For the assessment of procedure type, amount of sessions, intervention length and intervention
timing comparison groups were attention control or standard care groups.
Author Manuscript

Int J Clin Exp Hypn. Author manuscript; available in PMC 2017 January 01.
International Journal of Health Sciences and Research
www.ijhsr.org ISSN: 2249-9571

Review Article

Burns: First Aid


Singh Kuldeep1, Punia Sudhanshu2, Singh Bhupender3, D. Pramod2, Singh Bikramjit2
1
HOD, 2Resident, 3Assistant Professor,
Burns and Plastic Surgery, PGIMS, Rohtak, Haryana, India.
Corresponding Author: Dr. Sudhanshu Punia

ABSTRACT

Burns are common occurrence and often the patient is rushed to a nearby medical practitioner or
hospital for first aid. Some patients may receive first aid from their relatives or friends in correct or
incorrect manner. Most of the time the first respondents in case of burns are family members, friends,
by standers. Properly instituted first aid reduces the morbidity and even mortality in burn patients.
Many simple interventions can make a great difference in the course of burns and improve patient
outcome.
This article is aimed to educate primary health care providers, accident and emergency departments,
paramedicals and even the general public so that treatment for burn patients can start early.

Key Words: First aid, Burns, What to do, Immediate treatments

INTRODUCTION 3. Electrical injuries occur due to


Burns are common occurrence and inadvertent coming in contact with the
often the patient is rushed to a nearby electrical cables, most patients are not
medical practitioner or hospital for first aid. electrical workers hence, do not have
Some patients may receive first aid from any protective devices for the same.
their relatives or friends in correct or 4. Chemical burns, mostly in factory
incorrect manner. Therefore it is imperative workers and as in a case of vitriolage.
that the public is made aware of the proper
first aid as it does limit further burn Administration of First Aid:
morbidity. As many of our patients come Most of the time the first
from a rural background, so are initially respondents in case of burns are family
treated by home remedies, some of which members, friends, by standers. They have to
include ink, ash, mud, turmeric and even be made aware about the proper
cow-dung. Use of peacock feathers is also administration of first aid, along with, not to
rampant. The scientific base of these injure themselves while saving the patient.
treatments has eluded the authors and has no
place in first aid or treatment. Thermal burns:
Most common type of burns in which One must always try to put out the
properly administered first aid is useful are - fire first. The stop and drop policy should be
1. Scalds in the pediatric population, followed. Prevent the victim from running
2. Thermal burns in farmers and daily which would only fan the flames and make
wage workers, who still utilize kerosene them burn faster. The victim should be
lamps for illumination or cooking and instructed to lie down on the floor
accidentally get burnt by it. immediately with the burning side

International Journal of Health Sciences & Research (www.ijhsr.org) 434


Vol.7; Issue: 8; August 2017
Singh, Kuldeep et al. Burns: First Aid

uppermost. As the flames always burn develops in the burnt part. Then removal
upwards, lying flat prevents the fire from becomes difficult, painful and it might even
going around the body. Rolling should be result in loss of the digit.
avoided as it would burn the previously Ointments, creams, lotions, powders,
unburnt areas and may result in other grease, ghee, gentian violet, calamine lotion,
injuries. [1] toothpastes, butter, 'local doctor'
To stop the victim from burning he/ formulations etc., should not be applied over
she may be doused with water or covered the burn wound. They make the formal
with a heavy cotton cloth. Use of synthetic assessment of the nature, depth and extent
textiles should be avoided, as that would of the burn wound difficult. Moreover,
ignite and stick to the victim and do more eventual removal of such substances might
harm. Once the fire is extinguished the also be difficult and painful to the patient.
garment should promptly be removed, as it Furthermore, the potential of these
tends to trap heat. If water is not available applicants contaminating the wound always
any clean, packaged drink can be used eg. exists and so, should be avoided. Mud, dirt,
Milk. [2] sand should not be applied either for
Water, which is being used to douse dousing the flames or afterwards. [2]
the patient should be cool (around 15°C) For transport, the burnt part should
and not too cold, running and should be be covered in a clean dry sheet/ cloth. This
used for at least 10 minutes. This should be prevents soiling of the wound, reduces pain
applied as soon as possible after injury. [3] caused by the air draft and reduces
This can be continued longer till the pain infection. Plasticized polyvinyl-chloride
eases. But, care must be taken to prevent (PVC) film available as a food-wrap is a
development of hypothermia, especially in good alternative to cover the burned areas.
children and the elderly. [4] Application of a Being pliable, it molds to the contours of the
clean towel dampened with cool tap water wound and forms an impermeable, non-
should be done afterwards as it helps in adherent barrier. Its application and removal
reducing pain. [5] is easy and painless. Moreover, being
In addition to improved healing, cold transparent, it also permits inspection of the
water also has an excellent analgesic effect. wound. [7]
Modulation of pain related inflammatory Inhalation injury:
mediators may be one mechanism by which If there is a lot of smoke, as in a case
properly administered first aid influences of fire in an enclosed space, the nose and
healing afterwards. [5] Use of ice, very cold mouth should be covered with a wet cloth
water is to be avoided as it may cause and the victim should be removed from
further injury to the already injured tissues, those premises by dragging along the floor,
and if used in large quantities hypothermia if possible, as smoke tends to rise upwards
may also occur. Hence, early appropriate and collect towards the ceiling.
first aid to partial thickness burn wounds Such patients are critical; oxygen
has been shown in an experimental animal should be administered immediately, if
model to be associated with earlier healing possible and must be rushed to the nearest
and eventually less scarring. [3,6] The use of medical facility. These patients may also
raw eggs and flour has also been mentioned. need intubation and ventilatory support.
The proponents of raw eggs claim that the Electrical burns:
proteins in the egg form a layer over the The electric current can injure in
burnt skin and prevent contamination. several ways – current its self, flame burns,
Rings, bracelets, bangles, watches, arc burns, fall resulting in other injuries. [8]
jewelry or other tight items should be These types of burns tend to injure deeper
removed from the burnt parts. This is to be structures more than overlying skin. The
done quickly and gently, before the swelling injury to deeper structures manifests later as

International Journal of Health Sciences & Research (www.ijhsr.org) 435


Vol.7; Issue: 8; August 2017
Singh, Kuldeep et al. Burns: First Aid

necrosis of tissue. When attending to such a  Cool the burn area.


patient make sure the source of current is  Elevate the burn area.
off, check that it is off and then help the  Jewelry, including bracelets, rings and
patient. Avoid using water to douse flames necklaces should be removed.
at the site of injury as the current can flow  Do not try and remove adherent burnt
up to the rescuer also. Use a dry wooden clothing.
stick/ pole/ wooden chair to remove the  In hot liquid burns (scalds) all wet
victim from the site. Edema (swelling) sets clothes are to be removed.
in faster in these injuries so limb elevation  Wrapping the burn wounds with a clean
should be done immediately and cloth is sufficient during transfer to the
maintained. Immediate cardiopulmonary nearest emergency department.
resuscitation may be needed for such
patient; hence, the patient should be rushed After the first medical attention, the
to a tertiary center. following information must be provided to
Chemical burns: the nearest burn unit/ medical facility before
In case of chemical burn, which transfer:
could be alkali or acid burn, first and 1. Age of the patient
foremost reaction should be to remove all 2. Gender
clothing, ornaments immediately and 3. The place and means of injury
rigorous washing continuing for prolonged 4. Burning agent
time. The time period could be up to an hour 5. Time of injury
or two. Chemical burns tend to be common 6. Width and depth of the burn including
in factory workers, laborers or as in a case involved body area
of vitriol age. Acid burns cause less damage 7. Associated injuries
than alkali, which penetrates deeply by 8. Co-morbidities if any
liquifactive necrosis. [9] Common acid burns 9. General medical status of the patient and
are due to sulphuric/ hydrochloric/ nitric any medical interventions performed
acid. Washing with running water is to be
continued till the pH is neutralized as shown CONCLUSION
by litmus paper test. If eyes are involved, as This article is aimed at health care
in facial burns, the eyes should continuously providers, especially those who offer their
irrigated with Ringer Lactate/ normal saline services at the primary level, accident and
in the hospital and the patient should be emergency departments, paramedicals and
reviewed by an ophthalmologist along with even the general public, as proper and
a burns specialist. timely institution of first aid in burns can
In a few cases, solid particles of significantly reduce the subsequent
sodium, potassium, calcium may be present, morbidity and even mortality.
these should be brushed off or picked off, as
these particles react with water, which, can BIBLIOGRAPHY
cause further damage. Once all the particles 1. Andrew MK. First Aid. In: Settle JA, editor.
are removed then washing should be Principles and Practice of Burns
commenced that too with jet/ high flow Management. Edinburg Churchill
systems after taking care of eyes and other Livingstone. 1996; 199-202.
sensitive areas. 2. Shrivastava P, Goel A. Pre-hospital care in
burn injury. Indian J Plast Surg 2010; 43,
Common points in first aid irrespective of Suppl S1: 15-22.
type 3. Australian family physician, Thermal burns,
Assessment and acute management in the
 Stop the burning process, ie. remove the general practice setting. 2012; 41(6): 372-
offending agent. 375.
 Be careful not to injure yourself.

International Journal of Health Sciences & Research (www.ijhsr.org) 436


Vol.7; Issue: 8; August 2017
Singh, Kuldeep et al. Burns: First Aid

4. Knacke P., Hennenberger A. The Severely 7. Wilson G, French G. Plasticise polyvinyl


Burned Child and the Rescue Service. 1998; chloride as a temporary dressing for burns.
21: 938-941. Br Med J (Clin Res Ed). 1987; 294 : 556-
5. Cinat ME, Smith MM. Acute burn 557.
management. In: Sood R, Achauer BM, 8. Metcalf MM. Electrical injuries. In: Wagner
editors. Achauer and Sood's Burn Surgery MW, editor. Care of the burn-injured
Reconstruction and rehabilitation. 1 st ed. patient. London: Croom Helm; 1981: 185-
Philadelphia Saunders Elsevier; 2006. p. 50- 193.
76. 9. Stilwell JH. Chemical burns. In: Settle JA,
6. Cuttle L, Kempf M, Liu P-Y, Kravchuk O, editor. Principles and Practice of Burns
Kimble RM. The optimal duration and delay Management. Edinburg Churchill
of first aid treatment for deep partial Livingstone; 1996. p. 355-368.
thickness burn injuries. Burns; 2010: 36:
673–679.

How to cite this article: Kuldeep S, Sudhanshu P, Bhupender S et al. Burns: first aid. Int J Health
Sci Res. 2017; 7(8):434-437.

***********

International Journal of Health Sciences & Research (www.ijhsr.org) 437


Vol.7; Issue: 8; August 2017
TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
TELAAH JURNAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE PICO

NAMA : Aprilia Maloka

NPM :12114201180160
KELAS :D
PRODI : KEPERAWATAN

NO ABSEN :27

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU


FAKULTAS KESEHATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya naikan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas kasih dan penyertaanNya saya

telah menyelesaikan tugas “KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH III ‘’ dapat di selesaikan tepat pada

waktunya.

Terlepas dari semua itu keterbatasan pengetahuaan maupun penggalaman saya, maka saya

menyadari masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa.

Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari teman-teman dan (para

pembaca semua). Akhir kata saya sangat berharap semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan

bermanfaat bagi kita semua.

Waesamu, 2 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Cover ............................................................................................................................ i
Daftar Isi ....................................................................................................................... ii
Kata Pengantar… ......................................................................................................... iii
A. Daftar Tabel
B. PICO
C .Pembahasan terkait hasil PICO
D. Penutup
A.DAFTAR TABEL

NO. JUDUL JURNAL TANGGAL TERBIT INTERVENSI


1. EVALUASI 2016 Intervensi yang dilakukan untuk
PENGGUNAAN
ALBUMIN PADA menangani pasien dengan
PASIEN LUKA masalah PENGGUNAAN ALBUMIN
BAKAR DI RSUD
DR. SOETOMO PADA PASIEN LUKA BAKAR yaitu
asupan albumin sangat
diperlukan untuk meningkatkan
kadar albumin dalam tubuh
pasien.

2. PENGARUH 2016 Intervensi yang dilakukan untuk


PEMBERIAN ALOE menangani pasien masalah Luka
VERA PADA
Bakar Salah satu terapi luka bakar
PASIEN LUKA
saat ini adalah dengan mengoleskan
BAKAR “STUDI
hidrogel sebagai obat topikal
LITERATUR”

3. EVALUASI 2019 Intervensi yang dilakukan untuk


PENGUNAAN mengatasi masalah gangguan
ANTIBIOTIK integritas jaringan pada pasien
PADA PASIEN luka bakar yaitu dgn Penggunaan
Antibiotik . ATS
LUKA BAKAR
merekomendasikan penggunaan
DENGAN antibiotik antipseudomonal baik
NOSOKOMIAL dalam bentuk tunggal maupun
PNEUMONIA dalam bentuk kombinasi pada
pasien nosokomial pneumonia
dengan faktor resiko terjadinya
multi-drug resistant (MDR)
patogen dan resiko tinggi
terjadinya mortalitas.
4. Evaluasi Kepatuhan 2019 Intrvensi yang dilakukan adalah
Pelaksanaan Standar penggunaan analgesik yang
Prosedur diberikan pada pasien luka bakar
Operasional pada skala nyeri ringan, sedang,
Manajemen dan berat dikelompokan
Nyeri pada Pasien berdasarkan obat yang diberikan
Luka Bakar di RSUP seperti paracetamol,NSAID ,
Dr. Hasan Sadikin opioid lemah, opioid kuat,dan
Bandung kombinasi NSAID ditambah
opioid lemah atau opioid
kuat.terapi farmakologi yang
rasional untuk nyeri ringan
adalah paracetamol atau
NSAID,terapi nyeri sedang
dengan kombinasi opioid lemah
dan paracetamol /NSAID,
sedangkan terapi nyeri berat
dengan kombinasi opioid kuat
dan parasetamol /NSAID
.Didapatkan hasil pemeberian
terapi yang memperlama
perawatan dirumah sakit.

5. Penggunaan krim 2015 Intervensi yang dilakukan dalam


ekstrak batang dan penyembuhan luka bakar antara
daun suruhan lain mencegah infeksi dan
(peperomia memberi kesempatan sisa-sisa sel
epitel untuk berpoliferasi dan
pellucida L.H.B.K)
menutup permukaan luka
dalam proses (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).
penyembuhan luka Penyembuhan luka melewati tiga
bakar pada tikus fase, yaitu fase inflamasi, fase
putih proliferase (fase fibroplasias) dan
fase remodeling (fase
penyudahan). Salah satu
penanganan luka bakar yaitu
menggunakan obat dalam bentuk
sediaan krim yang berefek
antibakteri untuk mencegah
adanya mikroorganisme yang
dapat menyebabkan terjadinya
infeksi (Pujilestari, 2007;
Simanjuntak, 2008; Ardiyanto,
2009), Tetapi saat ini dapat pula
digunakan bahan - bahan herbal
tradisional untuk mengobati luka
bakar.
B. PICO

JURNAL 1
P(Patien,population ,problem)
Diperoleh 26 pasien luka bakar yang menerima terapi albumin, pasien laki-laki 69,2% dan
perempuan 30,8%, serta umur dengan pasien terbanyak adalah 20 sampai 59 tahun (76,9%). Etiologi
luka bakar pasien terbanyak disebabkan oleh sumber termis (81%), listrik (15%), dan bahan kimia
(4%). Albumin yang digunakan albumin 20% 100 mL dengan dosis 20 gram dan diberikan secara
infusi drip. Kenaikan kadar albumin rata-rata adalah 0,83 g/dL. Selain peningkatan, terdapat pula
beberapa pasien yang justru mengalami penurunan kadar albumin setelah pemberian terapi. Dari 26
pasien, terdapat 12 pasien yang mengalami rata-rata penurunan sebesar 0,68 g/dL Selain itu, tidak
ada problem yang terkait penggunaan obat dengan rendahnya kadar albumin.

I(Intervention)
Intervensi yang dilakukan untuk menangani pasien dengan masalah PENGGUNAAN
ALBUMIN PADA PASIEN LUKA BAKAR yaitu asupan albumin sangat diperlukan
untuk meningkatkan kadar albumin dalam tubuh pasien.

C(Comparation)
Kenaikan kadar albumin rata-rata adalah 0,83 g/dL. Selain peningkatan, terdapat pula beberapa
pasien yang justru mengalami penurunan kadar albumin setelah pemberian terapi. Dari 26 pasien,
terdapat 12 pasien yang mengalami rata-rata penurunan sebesar 0,68 g/dL Selain itu, tidak ada problem
yang terkait penggunaan obat dengan rendahnya kadar albumin.

O(Outcome)
Hasil yang diperoleh dari pengamatan terhadap populasi penelitian sudah sesuai dengan
teori, dimana jenis kelamin terbanyak yang menderita kejadian luka bakar adalah laki-laki
(69,2%) pada usia antara 20-59 tahun (76,9%). Jenis jaminan kesehatan yang digunakan oleh
sebagian besar pasien adalah BPJS yaitu sebesar 53,8%.

PICO

JURNAL II
P(Patien,population ,problem)

Luka bakar adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh yang disebabkan karena perubahan suhu yang tinggi,
sengatan listrik, ledakan, maupun terkenabahan kimia. luka bakar mengakibatkan berbagai masalah yaitu
masalah kematian, kecacatan, hilangnya kepercayaan diri dan mengeluarkan biaya yang relatif banyak untuk
penyembuhan.
I(Intervention)
Intervensi yang dilakukan untuk menangani pasien masalah Luka Bakar Salah satu terapi luka bakar saat ini
adalah dengan mengoleskan hidrogel sebagai obat topikal

C(Comparation)
aloe vera diberikan untuk mengobati pasien luka bakar derajat pertama dan derajat ke dua. Luka bakar
yang diberikan aloe vera lebih cepat mengalami proses penyembuhan dan epitalisasi jaringan kulit karena
didalam aloe vera terdapat kandungan antiseptik, antiinflamasi dan meningkatkan granulasi jairngan.
O(Outcome)
aloe vera berbentuk segitiga, daun berdaging dengan tepi bergerigi, memiliki bunga tubular kuning,
mempunyai banyak biji dan memiliki panjang 30 - 50 cm dan luas dasarnya 10 cm

PICO
JURNAL III
P(Patien,population ,problem)
Dari 7 pasien luka bakar yang mengalami nosokomial pneumonia, 6 pasien (86%)
diantaranya HAP dan 1 pasien (14%) mengalami VAP akibat dari pemasangan alat
ventilator.Lama perawatan dari 7 pasien luka bakar dengan nosokomial pneumonia, paling
banyak dirawat lebih dari 21 – 30 har

I(Intervention)
intervensi yg digunakan untuk mengatasi masalah gangguan integritas jaringan pada pasien
luka bakar yaitu dgn Penggunaan Antibiotik . ATS merekomendasikan penggunaan antibiotik
antipseudomonal baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk kombinasi pada pasien
nosokomial pneumonia dengan faktor resiko terjadinya multi-drug resistant (MDR) patogen
dan resiko tinggi terjadinya mortalitas.
C(Comparation)
penanganan luka bakar dengan menggunakan antibiotik diharapkan mampu mengatasi
masalah yg dialami pasien luka bakar
Intervensi pembanding terdapat pada jurnal dgn judul " Pengaruh sinar ultraviolet terhadap
proses penyembuhan luka: literatur review"

O(Outcome)
dari hasil penelitian penggunaan antibiotik pada pasien luka bakar dengan nosokomial
pneumonia secara kualitatif makan di ketahui termasuk dalam kategori cukup tepat (kategori
II-IV) sebesar 85,5% dan 14,5% termasuk dalam kategori tepat. Selain itu, evaluasi secara
kuantitatif tingkat pemakaian antibiotik untuk luka bakar dengan nosokomial pneumonia
masih cukup tinggi.

PICO

JURNAL 4
P(Patien,population ,problem)
Luka bakar merupakan salah satu masalah kesehatan dunia yang menyebabkan sekitar
180.000 kematian setiap tahunnya.Sebagian besar kasus luka bakar terjadi di Negara –negara
berpenghasilan rendah dan menengah dan hampir dua pertinganya terjadi di Negara-negara
Afrika dan Asia Tenggara.Hal tersebut berhubungan dengan kurang pengewasan ,
kewaspadaan , maupun pendidikan tentang keselamatan dasar pencegah resiko cedera luka
bakar diwilaya tersebut.

I(Intervention)
Intrvensi yang dilakukan adalah penggunaan analgesik yang diberikan pada pasien luka
bakar pada skala nyeri ringan, sedang, dan berat dikelompokan berdasarkan obat yang
diberikan seperti paracetamol,NSAID , opioid lemah, opioid kuat,dan kombinasi NSAID
ditambah opioid lemah atau opioid kuat.terapi farmakologi yang rasional untuk nyeri ringan
adalah paracetamol atau NSAID,terapi nyeri sedang dengan kombinasi opioid lemah dan
paracetamol /NSAID, sedangkan terapi nyeri berat dengan kombinasi opioid kuat dan
parasetamol /NSAID .Didapatkan hasil pemeberian terapi yang memperlama perawatan
dirumah sakit.

C(Comparation)
Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar yang dilakukan sesuai dengan SPO sebanyak
71 pasien (72%). Evaluasi ulang setelah tindak lanjut pengkajian nyeri yang sesuai SPO pada
93 pasien (94%). Simpulan, pengkajian nyeri di RSUP Dr

O(Outcome)
Pengkajian nyeri pada seluruh pasien luka bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin tahun 2018
sudah sesuai dengan SPO manajemen nyeri. Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar
dan evaluasi ulang yang dilakukan belum sesuai dengan SPO manajemen nyeri.
PICO

JURNAL 5
P(Patien,population ,problem)

Problem
Luka bakar yang terjadi dapat menimbulkan kondisi kerusakan kulit dan dapat mempengaruhi
berbagai sistem tubuh. karena pada luka bakar sering terdapat keadaan seperti di tempati
kuman dengan patogenesis tinggi, terdapat banyak jaringan mati,mengeluarkan banyak air
dan serum, terbuka untuk waktu yang lama (mudah terinfeksi dan terkena trauma) (Effendi,
1999).

I(Intervention)
Penanganan dalam penyembuhan luka bakar antara lain mencegah infeksi dan memberi
kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berpoliferasi dan menutup permukaan luka
(Syamsuhidayat dan Jong, 1997). Penyembuhan luka melewati tiga fase, yaitu fase inflamasi,
fase proliferase (fase fibroplasias) dan fase remodeling (fase penyudahan). Salah satu
penanganan luka bakar yaitu menggunakan obat dalam bentuk sediaan krim yang berefek
antibakteri untuk mencegah adanya mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya
infeksi (Pujilestari, 2007; Simanjuntak, 2008; Ardiyanto, 2009), Tetapi saat ini dapat pula
digunakan bahan - bahan herbal tradisional untuk mengobati luka bakar

C(Comparation)
kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun suruhan dan kelompok kontrol positif
mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar secara signifikan bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol negatif. Sedangkan, kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun
suruhan tidak memiliki perbedaan pengaruh dalm proses penyembuhan luka bakar yang
signifikan dengan kelompok kontrol positif.

O(Outcome)
Hasil pengujian luka bakar derajat IIb atau luka bakar derajat II dalam pada tikus putih
ditandai dengan kerusakan kulit pada bagian epidermis dan sebagian dermis. Perubahan
diameter rata - rata luka dan jumlah fibroblas menjadi indikator ada tidaknya pengaruh
pemberian krim ekstrak batang dan daun suruhan
C. PEMBAHASAN TERKAIT HASIL PICO/ ANALISA

Intervensi yang tepat bagi diagnose nyeri pada klien dengan luka bakar nyeri yaitu
terdapat pada intervensi ke 4 yakni penggunaan analgesik yang diberikan pada pasien luka
bakar pada skala nyeri ringan, sedang, dan berat dikelompokan berdasarkan obat yang
diberikan seperti paracetamol,NSAID , opioid lemah, opioid kuat,dan kombinasi NSAID
ditambah opioid lemah atau opioid kuat.terapi farmakologi yang rasional untuk nyeri ringan
adalah paracetamol atau NSAID,terapi nyeri sedang dengan kombinasi opioid lemah dan
paracetamol /NSAID, sedangkan terapi nyeri berat dengan kombinasi opioid kuat dan
parasetamol /NSAID .Didapatkan hasil pemeberian terapi yang memperlama perawatan
dirumah sakit. nyeri luka bakar yang sesuai SPO ditemukan sebanyak 71 pasien atau sebesar
71,7% (Tabel 2). Sedangkan Nyeri ringan yang diberikan terapi sesuai SPO manajemen nyeri
(parasetamol atau NSAID) didapatkan sebesar 43 pasien (100%). Untuk nyeri sedang yang
diberikan terapi yang sesuai dengan SPO (parasetamol/NSAID + opioid lemah) sebesar 27
pasien (56%). Nyeri berat yang diberikan terapi sesuai SPO (parasetamol/NSAID + opioid
kuat) sebesar 1 pasien.

D. PENUTUP

➢ KESIMPULAN
Berdasasrkan hasil dari jurnal ke 4 maka penulis mengambil kesimpulan yaitu, pasien
luka bakar biasanya di kelompokan menjadi tiga yaitu, pada skla ringan, sedang, dan
berat maka dosis atau obat yang di berikan juga berbeda-beda. Maka pasien dapat
menggunakan terapi farmakologi yang rasional untuk nyeri ringan adalah paracetamol
atau NSAID,terapi nyeri sedang dengan kombinasi opioid lemah dan paracetamol
/NSAID, sedangkan terapi nyeri berat dengan kombinasi opioid kuat dan parasetamol
/NSAID.
BERIKUT INI 5 JURNAL PENELITIAN YANG BERHUBUNGAN
DENGAN ‘’NYERI PADA KLIEN DENGAN LUKA BAKAR’’

1.)
EVALUASI PENGGUNAAN ALBUMIN PADA PASIEN LUKA
BAKAR DI RSUD DR. SOETOMO

Suharjono1*, Sakinah Annura1, Iswinarno Doso Saputro2, dan Dwi Rahayu Rusiani3
1
Departemen Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2
Departemen Ilmu Bedah Plastik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
3
Instalasi Farmasi RSUD Dr. Soetomo Surabaya

*Corresponding author email: shj_ms_id@yahoo.com

Abstrak
Latar belakang: Luka bakar dapat menyebabkan hilangnya barier kulit, sehingga berakibat hilangnya cairan albumin
yang melewati kulit yang rusak. Hilangnya albumin akan menimbulkan perubahan tekanan onkotik dan mempengaruhi
penyembuhan luka bakar tersebut. Untuk mengatasi kondisi tersebut, asupan albumin sangat diperlukan untuk
meningkatkan kadar albumin dalam tubuh.
Tujuan: Penelitian ini untuk mngevaluasi penggunaan albumin dan mengidentifikasi problem terkait obat pada pasein
luka bakar akibat dari perubahan kadar albumin.
Metode: Metode penelitian observasional secara retrospektif di Ruang Rekam Medik RSUD Dr. Soetomo
menggunakan Rekam Medik pada periode 1 Januari -31 Desember 2014 dengan analisis, pendekatan deskriptif . Hasil
penelitian: Diperoleh 26 pasien luka bakar yang menerima terapi albumin, pasien laki-laki 69,2% dan perempuan
30,8%, serta umur dengan pasien terbanyak adalah 20 sampai 59 tahun (76,9%). Etiologi luka bakar pasien terbanyak
disebabkan oleh sumber termis (81%), listrik (15%), dan bahan kimia (4%). Albumin yang digunakan albumin 20% 100
mL dengan dosis 20 gram dan diberikan secara infusi drip. Kenaikan kadar albumin rata-rata adalah 0,83 g/dL. Selain
peningkatan, terdapat pula beberapa pasien yang justru mengalami penurunan kadar albumin setelah pemberian terapi.
Dari 26 pasien, terdapat 12 pasien yang mengalami rata-rata penurunan sebesar 0,68 g/dL Selain itu, tidak ada problem
yang terkait penggunaan obat dengan rendahnya kadar albumin.
Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan albumin 20 % yang paling banyak digunakan dan tidak ditemukan problem
terkait obat dengan rendahnya kadar albumin sumber panas yang lain seperti sinar UV, laser,
Kata kunci: albumin, luka bakar. dosis regimen, DRP dan lain-lain1. Di Unit Luka Bakar RSUD Dr.
Soetomo Surabaya, jumlah kasus yang dirawat
selama satu tahun (Januari-Desember 2000)
1. PENDAHULUAN adalah sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari
Ditinjau dari penyebabnya, cedera luka seluruh penderita luka bakar yang dirawat (219
bakar disebabkan oleh api 40%, air panas 30%, pasien), jumlah kematian akibat luka bakar
listrik 4%, bahan kimia 3%, dan sisanya oleh sebanyak 28 pasien atau sekitar 26,4 % dari
seluruh penderita luka bakar2. Pasien yang 2.3. Sampel Penelitian
mengalami luka bakar, khususnya luka bakar Sampel penelitian adalah rekam medik
berat/mayor akan kehilangan barier kulit sebagai pasien luka bakar di RSUD dr. Soetomo,
akibat kontak dengan burning agent. Hal ini akan Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi berikut
menyebabkan pasien mengalami kondisi : Pasien yang didiagnosis mengalami luka bakar
inflamasi sehingga meningkatkan resiko pada periode waktu 1 Januari - 31 Desember
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler. 2014 dan yang mendapatkan terapi infus albumin.
Peningkatan permeabilitas kapiler dapat Sedang Kriteria Eksklusinya adalah Rekam
mengakibatkan ekstravasasi cairan atau Medik pasien luka bakar yang juga pasien sirosis
perpindahan protein plasma, air, dan elektrolit hepatik. Rekam Medik pasien luka bakar yang
dari intravaskular menuju interstisial yang terjadi dikontraindikasikan mendapat terapi albumin dan
dalam 24-36 jam pasca trauma3. Perpindahan Data Rekam Medik pasien tidak lengkap.
cairan yang berlangsung terus-menerus ini akan
berdampak pada penurunan volume cairan 2.4. Analisis Data
intravaskular dan albumin intravaskular yang Data yang telah dikumpulkan dianalisa
diikuti dengan penurunan tekanan onkotik. secara deskriptif dalam bentuk tabel, narasi, atau
Berpindahnya cairan dari intravaskular ke grafik meliputi : 1. Profil pasien yang terdiri dari
interstisial dan keseimbangan tekanan onkotik umur, jenis kelamin, diagnosa, data klinik, dan
sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam data laboraturium. 2. Profil atau gambaran pola
plasma. Pada keadaan dimana kadar albumin penggunaan albumin pada pasien luka bakar.
dalam plasma menurun, transfusi albumin Hasil analisis profil penggunaan albumin yang
menjadi salah satu pilihan tatalaksana yang telah meliputi dosis, frekuensi pemberian, dan outcome
dipakai selama lebih dari 60 tahun. Albumin disajikan dalam bentuk tabel, diagram, dan uraian
serum biasanya digunakan sebagai parameter serta DRP.
lama penyembuhan luka sebab kadar albumin di
bawah 3 g/dL mempunyai hubungan secara 3. HASIL PENELITIAN DAN
signifikan dengan lamanya penyembuhan luka, PEMBAHASAN
seperti luka pasca operasi4. Namun albumin Dari penelitian di RSUD Dr. Soetomo
dalam pengaturan klinis terus menjadi Surabaya yang dilakukan pada periode 1 Maret -
pertimbangan disebabkan karena penggunaannya 31 Juli 2015, diperoleh data pasien yang memenuhi
membutuhkan biaya yang relatif tinggi dan kriteria inklusi penelitian berjumlah 26 pasien dari
dilakukan pembatasan penggunaan berdasarkan 94 populasi pasien luka bakar yang menjalani
tingkat keparahan serta rendahnya kadar albumin perawatan di Unit Luka Bakar GBPT(Gedung
pasien5. Penelitian ini dilakukan untuk Bedah Pusat Terpadu) RSUD Dr. Soetomo
mengevaluasi pola pemberian albumin pada Surabaya selama periode 1 Januari – 31 Desember
pasien luka bakar dan Drug Related Problem, 2014. Data distribusi jenis kelamin, usia, dan jenis
sehingga dapat meningkatkan jaminan jaminan kesehatan dibutuhkan untuk menunjang
keberhasilan terapi serta memberikan manfaat teori yang mengatakan bahwa puncak kejadian
untuk pasien, para klinisi, dan pihak rumah sakit. luka bakar terjadi pada usia produktif (25-35
tahun) dan biasanya merupakan luka bakar di
2. BAHAN DAN METODE tempat kerja6. Hasil yang diperoleh dari
2.1. Rancangan Penelitian pengamatan terhadap populasi penelitian sudah
Jenis penelitian ini adalah penelitian sesuai dengan teori, dimana jenis kelamin
observasional deskriptif dengan pengumpulan terbanyak yang menderita kejadian luka bakar
data secara retrospektif. Dalam penelitian ini adalah laki-laki (69,2%) pada usia antara 20-59
peneliti tidak melakukan suatu tindakan atau tahun (76,9%). Jenis jaminan kesehatan yang
perlakuan khusus terhadap pasien. Sudah digunakan oleh sebagian besar pasien adalah BPJS
mendapat persetujuan Komite Etik RSUD Dr yaitu sebesar 53,8%.
Soetomo Surabaya.
2.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian di Ruang Rekam
Medik RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya. Pengambilan data penelitian dilakukan
mulai 1 Maret - 31 Juli 2015.
Data demografi pasien disajikan dalam Tabel 1. terjadi karena penggunaan alat pemanas yang tidak
Berdasarkan penyebab, luka bakar tepat atau dapat terjadi akibat kecelakaan kerja

Tabel 1 Data Demografi Pasien Luka Bakar Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, dan Jenis
Jaminan Kesehatan

Karakteristik Pasien Jumlah Pasien Presentase (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 18 69,2
Perempuan 8 30,8
Total Pasien 26 100
Usia Pasien
Anak (0-19 Tahun) 5 19,2
Dewasa (20-59 Tahun) 20 76,9
Usia Lanjut (>60 Tahun) 1 3,9
Total Pasien 26 100
Jenis Jaminan Kesehatan
BPJS 14 53,8
Non BPJS 12 46,2

Gambar 1. Grafik Data Distribusi Pasien Berdasarkan Etiologi Luka


Bakar

disebabkan oleh kontak dengan sumber panas yang yang berhubungan dengan api6. Pada populasi
terdiri atas Luka Bakar Suhu Tinggi (Thermal penelitian ini, didapatkan penyebab luka bakar
Burn) seperti Api, Gas, Cairan, Bahan padat terbanyak adalah sumber termal yaitu sebesar
(Solid) ; Luka Bakar Bahan Kimia (Chemical 80,8%. Hasil tersebut ditunjukan pada Gambar 1.
Burn) ; Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical
Burn) ; dan Luka Bakar Radiasi (Radiation
Injury)2. Luka bakar akibat sumber termis
merupakan penyebab luka bakar terbesar yang
Pasien luka bakar memiliki interval sampai 2 hari11. Hal ini dikarenakan penggunaan
waktu perawatan yang berbeda-beda. Apabila albumin dalam pengaturan klinis terus menjadi
pasien telah mengalami luka bakar berat, maka pertimbangan disebabkan karena penggunaannya
pasien dapat dirawat mulai dari 1 hingga 6 bulan7. membutuhkan biaya yang relatif tinggi dan
Interval waktu lama perawatan pasien luka bakar dilakukan pembatasan penggunaan berdasarkan
bervariasi antara 7 hari hingga lebih dari 20 hari. tingkat keparahan serta rendahnya kadar albumin
Sebanyak 57,7% populasi penelitian mendapatkan pasien4.
perawatan antara 10 hingga 20 hari di Unit Luka
Bakar GBPT RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Marzoeki, 2008 mengatakan apabila pasien telah
mengalami luka bakar berat, maka lama

Gambar 2. Grafik Data Lama Perawatan Pasien Luka Bakar

Berdasarkan Kepmenkes RI No. 159 digunakan di Unit Luka Bakar GBPT RSUD Dr. tahun 2014
(10), terdapat 3 jenis cairan albumin, Soetomo Surabaya adalah albumin 20% dan yaitu albumin 5%, 20%,
dan 25%. Albumin yang albumin 25% dengan volume masing-masing
perawatannya dapat mencapai 1 hingga 6 bulan.
Hal ini disebabkan karena mudahnya terjadi
komplikasi. Selain itu, luka bakar mempunyai
dampak langsung terhadap perubahan lokal
maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada
kebanyakan luka lain, sehingga luka bakar dapat
menyebabkan keadaan syok, mempengaruhi
respon metabolik dan stres, serta redistribusi
cairan intra maupun ekstraseluler yang
mengakibatkan waktu pemulihan menjadi lebih
lama8,9. Berikut data lama perawatan pasien luka
bakar yang mendapat terapi albumin disajikan
pada Gambar 2.
100 mL. Meskipun demikian, albumin 20%
merupakan jenis albumin terbanyak yang
digunakan, yaitu sebesar 96% ((Gambar 3).
Dosis pemberian albumin yang diterima
pasien adalah 20 gram per botol pada setiap
pemberian. Menurut Keputusan Dirjen Binfar dan
Alkes No. HK.02.03/III/1346/2014 mengenai
pedoman penerapan Formularium Nasional, untuk
albumin 20% maksimal pemberian 100 mL per
hari. Penggunaan albumin dapat diulang setiap 1
Cara pemberian albumin adalah secara geriatri dengan risiko gagal jantung kongestif11,12.
infusi drip. Durasi pemberian albumin tidak boleh Kecepatan drip yang disarankan
lebih dari 4 jam setelah kemasan dibuka12. Durasi
pemberian ini berkaitan dengan stabilitas sediaan
albumin yang mudah terkoagulasi oleh panas12.
Berdasarkan data DMK, tidak terdapat catatan
mengenai kecepatan tetesan pada pemberian
albumin. Namun albumin disarankan untuk
diberikan dengan laju infusi tidak lebih dari 2
mL/menit (100 ml dalam 4 jam) sebab laju yang
lebih cepat dapat menyebabkan penurunan tiba-
tiba pada tekanan darah, utamanya pada pasien
mengatasi penurunan kadar albumin pasien

adalah 20 tetes/menit12.

Gambar 3. Jenis Albumin pada Pasien Luka Bakar


Terapi albumin pada pasien luka luka bakar yang ekstrem, tergantung kondisi
bakar diberikan ketika pasien mengalami klinis dan penyakit penyerta yang dialami
kondisi hipoalbumin, yaitu kondisi dimana pasien. Selain itu, albumin juga dapat
kadar albumin dalam tubuh <2,5 g/Dl12. diberikan sebelum dan/atau sesudah tindakan
Alasan pemberian cairan albumin pada kadar skin grafting. Tindakan ini dikenal sebagai
<2,5 g/dL adalah pada kadar tersebut, kondisi tindakan perioperatif4,7,12.
hipoalbumin dapat menyebabkan perubahan Capaian terapi albumin dapat dilihat dari
nonfisiologis pada tubuh pasien seperti kenaikan kadar albumin serta kondisi luka bakar
kebocoran cairan menuju interstisiil, tiap pasien. Kenaikan kadar albumin dapat
perdisposisi terhadap infeksi dengan diketahui dari selisih kadar albumin pre dan
menurunnya fungsi kekebalan tubuh, fungsi albumin post pemberian pada hasil laboratorium
farmakologi antibiotik khususnya yang masing-masing pasien. Kadar albumin pre adalah
berikatan dengan albumin menjadi tidak kadar albumin terakhir yang diperiksa sebelum
stabil, dan meningkatnya kemungkinan pemberian albumin, sedangkan kadar albumin
terjadi infeksi dan sepsis. Dari hasil post adalah kadar albumin pertama yang diperiksa
penelitian, teori ini kurang sesuai, karena setelah pemberian albumin.
beberapa pasien yang memiliki kadar Berdasarkan data yang telah diperoleh, seluruh
albumin antara 2,5 g/dL sampai 3,0 g/dL juga populasi penelitian mengalami kenaikan kadar
mendapatkan terapi albumin. Kondisi luka albumin setelah mendapatkan terapi albumin.
yang terbuka menyebabkan kadar albumin Kenaikan kadar albumin berbeda-beda pada setiap
akan sangat mudah mengalami penurunan pasien dikarenakan kebutuhan dosis masing-
akibat terjadinya ekstravasasi cairan, masing pasien berbeda, serta disebabkan oleh
sehingga pemberian cairan albumin pada interval waktu pemeriksaan albumin pre dan
kadar antara 2,5 – 3,0 g/dL ditujukan untuk albumin post berbeda-beda pula. Pengecekan
laboratorium kadar albumin pada pasien tidak
semuanya segera dilakukan setelah pemberian
albumin. Hal ini dapat dilakukan 6 jam setelah
pemberian infus albumin. Pada populasi
penelitian ini, rata-rata peningkatan kadar albumin
mencapai 0,83 g/dL.
Selain terjadi peningkatan, pada beberapa
pasien juga terjadi penurunan kadar albumin. Dari
26 pasien, 12 diantaranya sempat mengalami
penurunan kadar albumin secara bermakna setelah
pemberian albumin. Rata-rata penurunan kadar
albumin pada ke-12 pasien tersebut adalah 0,68
g/dL. Terjadinya penurunan kadar albumin setelah
pemberian cairan albumin disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu kondisi klinis
dari setiap pasien luka bakar. Luas area bakar
sangat mempengaruhi ketahanan kadar albumin
pada tubuh pasien. Semakin luas bagian tubuh
yang terbakar, maka akan semakin besar
kemungkinan terjadinya ekstravasasi cairan atau
hilangnya kandungan protein plasma seperti
albumin, air, dan elektrolit dari tubuh. Hal inilah
yang akhirnya menyebabkan kadar albumin dalam
tubuh mengalami penurunan12,13,14. Selain luas
area bakar, sepsis dan jenis resusitasi cairan lain
yang digunakan serta volume resusitasi cairan lain
yang diberikan sangat mempengaruhi outcome
pemberian albumin. Semakin banyak resusitasi
cairan yang masuk dalam tubuh, maka kadar
albumin yang diberikan akan mengalami
pengenceran, sehingga efektifitasnya dalam
menarik cairan berkurang
Dari 26 pasien, 17 pasien dipulangkan
dengan kondisi membaik dan 9
pasien dinyatakan meninggal (Tabel 2). Status
pasien yang dipulangkan dilihat dari kondisi
klinis pasien yang membaik dan luas luka bakar
yang mengalami penurunan.

Tabel 2. Data Status Keluar Rumah Sakit (KRS) Pasien Luka Bakar yang Mendapat Terapi
Albumin

Status KRS Pasien Jumlah Pasien Persentase (%)


Pulang (Membaik) 17 65
Meninggal 9 35
Total 26 100
Capaian terapi juga dapat dilihat dari kondisi pasien yang digolongkan menjadi dua, yaitu
pasien yang kondisinya membaik atau dipulangkan dan pasien yang dinyatakan meninggal. Diantara
keduanya, pasien dengan kondisi yang membaik atau dipulangkan mencapai 69% dari keseluruhan
populasi penelitian (Tabel 2). Pasien-pasien tersebut dinyatakan membaik dilihat dari kondisi klinis
yang stabil dan luas area tubuh yang terbakar mengalami penurunan. Selain mempengaruhi kadar
albumin dalam tubuh, albumin juga digunakan untuk memperbaiki fungsi sel, utamanya sel yang
mengalami kerusakan akibat bahan termis pada kasus luka bakar15. Hal ini disebabkan karena
albumin merupakan salah satu protein yang penting dalam proses penyembuhan luka4,15,16. Oleh
karena itu, pada pasien yang mengalami defisit protein tubuh mempunyai resiko yang lebih besar
terjadinya penyulit penyembuhan luka dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami defisit
protein tubuh 15,17,18.Teori tersebut mendukung hasil pengamatan kondisi pasien luka bakar pada
sampel penelitian dimana seluruh pasien luka bakar pasti mengalami penurunan luas area tubuh yang
terbakar. Penurunan yang dihasilkan dapat disebabkan oleh pemberian terapi termasuk albumin,
pemberian tindakan skin grafting ataupun cuci luka.
Selain mendapatkan terapi albumin, pasien luka bakar di RSUD Dr. Soetomo Surabaya juga
mendapatkan terapi lainnya. Beberapa macam terapi yang diberikan diantaranya yaitu pemberian resusitasi
cairan sebagai salah satu first line therapy, pemberian antibiotik, profilaksis stress ulcer, NSAID, analgesik
opiat maupun non opiat, serta obatobat lainnya seperti anti inflamasi, antiemetik, antidepresan, diuretik, dan
vitamin mineral.
Tidak hanya terapi farmakologi, pasien luka bakar juga menerima terapi non farmakologi. Terapi
non-farmakologi yang diterima pasien antara lain makanan yang memiliki asupan protein tinggi seperti putih
telur, susu, pil ikan kutuk, dan melakukan diet TKTP (Tinggi Kalori dan Tinggi Protein). Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa albumin yang terdapat pada ikan gabus memiliki kualitas jauh lebih baik dari albumin
pada telur yang biasa digunakan dalam penyembuhan pasien pasca bedah. Ikan gabus mengandung protein,
6,2% albumin19, dan mineral Zn, Fe, Cu. Ekstrak ikan gabus dapat difungsikan untuk mempertahankan
kadar albumin19.
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan masalah terkait penggunaan albumin (DRPs).
Seluruh pasien yang membutuhkan terapi albumin sudah mendapatkan albumin sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh pihak rumah sakit maupun pihak jaminan kesehatan pasien.
Infeksi dianggap salah satu komplikasi yang paling penting dan berpotensi serius pada
pasien luka bakar. Sebuah laporan dari National
Burn Respiratory di Amerika Serikat menyebutkan bahwa dalam periode 10 tahun terdapat 19.655
kasus komplikasi pada pasien luka bakar dimana 31% merupakan komplikasi paru, 17% infeksi
luka dan selulitis, dan 15% disebabkan karena septikemia dan komplikasi infeksi lainnya20. Salah
satu jenis antibiotik yang banyak digunakan pada populasi penelitian ini adalah antibiotik golongan
aminoglikosida yaitu amikasin. Antibiotik golongan aminoglikosida merupakan antibiotik yang
memiliki indeks terapi sempit dan bersifat nefrotoksik, sehingga penggunaan pada pasien dengan
kadar albumin dibawah normal (hipoalbumin) perlu perhatian khusus. Hal ini disebabkan pada
kadar albumin yang rendah dalam tubuh, kadar antibiotik dalam bentuk bebas/tak terionkan
mengalami peningkatan, sehingga berpotensi untuk memberikan efek toksik bagi tubuh. Selain
amikasin, antibiotik golongan aminoglikosida lainnya yang diberikan pada pasien luka bakar adalah
gentamisin21,22.

4. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan secara retrospektif pada pasien
luka bakar periode 1 Januari – 31 Desember 2014 adalah sebagai berikut :
a. Jenis albumin yang digunakan terbesar yaitu albumin 20%
b. Pemberian Albumin sudah sesuai ketentuan
Pedoman Rumah Sakit dan Formularium
c. Tidak ditemukan masalah-masalah terkait
penggunaan albumin

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Direktur RSUD Dr Soetomo dan
Kepala SMF/Departemen Ilmu Bedah Plastik Fakultas Kedokteran Unair / RSUD Dr. Soetomo.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller, S. F., Bessey, P., Lentz, C. W., et al.. National Burn Repository 2007 report: A synopsis of the
2007 call for data. Journal of Burn Care & Research, 2008 , 29(6).p.862– 870.
2. Noer, S.M., Saputro, D.I., and Perdanakusuma D.S., 2006.Penanganan Luka Bakar. Surabaya: Airlangga
University Press.
3. Smeltzer, S.,. Brunner Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah :Management of Patients
with Burn Injury. 2001,Volume 2 Edisi 8.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. p 1718-1752.
4. Agung M., Hendro W., 2005. Pengaruh Kadar Albumin Serum Terhadap Lamanya Penyembuhan Luka
Operasi. Dexa Media
No. I vol.18.
5. Boldt, J.. Use of Albumin : an Update. British Journal of Anaesthesia. 2010 , 104 (3): 276–84.
6. Brunicardi, F.C., et al.,. Schwartz's Principles of Surgery. 8th,Edition 2005. New York:Edn. McGraw-
Hill.
7. Moenadjat Y.,. Luka Bakar Masalah dan Tatalaksana. 2009 Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
8. Marzoeki, D/ Buku Ajar Bedah Plastik, 2006, Airlangga University Press.
9. Cucereanu-Badica, L, Luca-Vasiliu L., Grintescu L., Lascar I.. The Correlation Between Burn Size and
Serum Albumin Level in The First 48 Hours After Burn Injury.Jurnal Roman de Anastezie Terapie
Intensiva, 2013,Vol.20 No.1 p.5-9.
10. Kepmenkes, 2014. Formularium Nasional
11. McEvoy, G. M. et al. AHFS Drug Information Essentials. 2011Bethesda: American Society of Health-
System
Pharmacists.
12. PPARSDS,.Pedoman Penggunaan Albumin
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo
Surabaya. 2003. ISBN : 979-8865-11-1.
13. Doweiko J.P., Nompleggi D.J.,. The Role of
Albumin in Human Physiology and
Pathophysiology, Part III: Albumin and Disease States. 1991.Boston :epartment of Medicine, New
England Deaconess Hospital, and Gastroenterology and Hematology Divisions, Brigham and Women’s
Hospital.
14. Johnson M., Parra A., Garcia R., Barthol C.,.Guidelines For Use of Albumin. 2010. University Hospital
Consortium
15. Utariani A.,. Perubahan Profil Albumin, MMP8, dan Kolagen pada Penyebuhan Luka Akibat
Hipoalbumin. 2008, Surabaya : Program Pascasarjana Universitas
Airlangga. p. 5-10.
16. Luis A.M.,. Preoperative Evaluation as a Prognostic Tools for Wound Healing. Acta Artrop Siand
2002, 73: p.25-50.
17. Hirsch S. et al.,. Nutrition Status of Surgical Patients and The Relationship of Nutrition to Post
Operative Outcome. J Am Coll
Nutrition. 1992p. 21.
18. Kaysen G.A et al.,. Longitudinal and Crosssectional Wffect of C-reactive protein, Equalibrated
Normalized Protein Catabolic
Rate, and Serum Bicarbonat on
Creatinineand Albumin Levels in Dialysis

Patients. 2003.Am J Kidney Dis p.12001211.


19. Santoso, Agus H., Astawan M., Wresdiyati
T. Potensi Ekstrak Ikan Gabus
(Channa Striata) sebagai Stabilisator Albumin, SGOT dan SGPT Tikus yang
Diinduksi dengan Parasetamol Dosis Toksis.
Masyarakat. 2008.Supl. 6 Vol. 3, hal. 29 – 35.
20. Hospenthal et al., Burn Wound Infection,
2011.. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/2135 95-medication pada tanggal 1 Agustus 2015
21. Kemenkes RI,.Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik. 2011,Jakarta.
22. Latenser B.A., et al. National Burn Respiratory : A Ten Year Review. USA : . 2007, University of Iowa Hospitals
and
Clinics.

3.)
Pharmauho: Jurnal Farmasi, Sains, dan Kesehatan 2020; 6(1):7-14

pISSN: 2442-9791; eISSN: 2715-4181

Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Luka Bakar dengan


Nosokomial Pneumonia di RSUD Dr. Soetomo pada Tahun 2017-2019
(Evaluation of Antibiotic Use in Burns Patients with Nosocomial Pneumonia in
RSUD Dr. Soetomo in 2017-2019)
Oki Nugraha Putra1, Iswinarno Doso Saputro2, Nurul Fahrur Rozi1, M. Ainun Najib1

1
Program Studi Farmasi, Universitas Hang Tuah, Surabaya
2
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Email : oki.nugraha@hangtuah.ac.id
Abstract
Article Info:
Received: 22 February
Nosocomial pneumonia is a infection that is often found in burn patients with
2020 Accepted: 24 March high levels of morbidity and mortality. The main therapy for nosocomial
2020 DOI:
pneumonia is the administration of antibiotics. The purpose of this study was
10.33772/pharmauho.v6i1.1
to evaluate the use of antibiotics for pneumonia in burn patients with
nosocomial pneumonia qualitatively by the Gyssen method and quantitatively
1095
by a defined daily dose
(DDD). Data was collected retrospectively by medical records of burn patients
with
nosocomial pneumonia at RSUD Dr. Soetomo in 2017-2019. Seven burn patients with nosocomial pneumonia
were obtained in this study. Six patients were classified as hospital acquired pneumonia (HAP), and 1 patient
included ventilator associated pneumonia (VAP). The most antibiotics for nosocomial pneumonia are
meropenem (34%), levofloxacin and amikacin each by 17%. There were 3 patients (42.9%) included in the
IVa category (more effective alternatives), 1 patient (14.2%) included in the IVb category (less toxic
alternative), 1 patient (14.2%) included in the IVd category (more spectrum narrow), 1 patient (14.2%) included
in category IIa (incorrect dosage) and 1 patient (14.2%) did not belong to category I-IV. The total DDD / 100
patients-days score was 161.09. DDD / 100 antibiotic patients-days in this study are levofloxacin (67.50),
amikacin (42.59), meropenem (39.82), and cefoperazon (11.18).
The administration of antibiotics to burn patients with nosocomial pneumonia is classified as irrational (85.5%)
and
14.5% as rational category. In addition, the use of antibiotics is still high
Keywords: Burns, Nosocomial Pneumonia, Antibiotics, Gyssen, Defined Daily Dose

Abstrak

Nosokomial pneumonia merupakan salah satu bentuk infeksi yang seringkali ditemukan pada pasien luka bakar
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Modalitas utama pada nosokomial pneumonia adalah
pemberian antibiotik. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik untuk pneumonia
pada pasien luka bakar dengan nosokomial pneumonia secara kualitatif dengan metode Gyssen dan secara
kuantitatif dengan Defined Daily Dose (DDD). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif melalui data
rekam medik pasien luka bakar dengan nosokomial pneumonia yang di rawat di RSUD Dr. Soetomo pada
tahun 2017-2019. Diperoleh tujuh pasien luka bakar dengan nosokomial pneumonia yang memenuhi kriteria
inklusi. Dari 7 pasien tersebut, enam diantaranya tergolong hospital acquired pneumonia (HAP), dan 1 pasien
termasuk ventilator associated pneumonia (VAP). Antibiotik terbanyak untuk terapi nosokomial pneumonia
yakni meropenem (34%), levofloxacin dan amikasin masing-masing sebesar 17%. Didapatkan 3 pasien
(42,9%) termasuk kategori IVa (altenatif lebih efektif), 1 pasien (14,2%) termasuk kategori IVb (alternatif
lebih tidak toksik), 1 pasien (14,2%) termasuk kategori IVd (spektrum lebih sempit), 1 pasien (14,2%)
termasuk kategori IIa (dosis tidak tepat) dan 1 pasien (14,2%) tidak termasuk kategori IIV. Nilai total DDD
/100 patients-days didapatkan sebesar 161,09. DDD/100 patients-days antibiotik pada penelitian ini didapatkan
levofloxacin (67,50), amikasin (42,59), meropenem (39,82), serta cefoperazon (11,18). Pemberian

antibiotik pada pasien luka bakar dengan nosokomial pneumonia termasuk dalam kategori kurang tepat sebesar
85,5% dan 14,5 % masuk dalam kategori tepat. Selain itu, tingkat pemakaian antibiotik masih cukup tinggi.
Kata Kunci : Luka Bakar, Nosokomial Pneumonia, Antibiotik, Gyssen, Defined Daily Dos

1. Pendahuluan kesehatan global dan kasus trauma yang banyak


Luka bakar merupakan kondisi dimana terjadi terjadi dengan angka morbiditas dan mortalitas
suatu kerusakan jaringan akibat trauma suhu atau yang tinggi dibanding dengan trauma lain. Pasien
termal, terkena cairan panas serta tersengat aliran luka bakar memiliki resiko tinggi mengalami
listrik tegangan tinggi atau electrical injury high infeksi nosokomial yang disebabkan oleh kondisi
voltage [1]. Luka bakar merupakan suatu masalah imunitas yang rendah, penggunaan antibiotik
jangka panjang serta perawatan di rumah sakit memperhatikan penggunaan antibiotik yang
dalam waktu yang panjang [2]. bertujuan untuk tercapainya suatu penggunaan
Menurut American Burn Association (ABA), antibiotik yang rasional dan mencegah timbulnya
selama 10 tahun terakhir komplikasi klinis yang resistensi antibiotik.
sering ditemukan pada pasien luka bakar adalah
pneumonia (3,5%), selulitis (3,0%), dan infeksi 2. Metode Penelitian
saluran kemih (2,6%) [3]. Pneumonia yang Penelitian ini merupakan penelitian analitik
didapatkan di rumah sakit atau health care observasional dengan desain penelitian cross
associated pneumonia merupakan salah satu sectional. Data yang digunakan pada penelitian ini
bentuk infeksi nosokomial, yang mana infeksi ini ialah data sekunder yang diambil secara
sangat rentan terjadi pada pasien yang menjalani retrospektf melalui data rekam medik pasien luka
perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama bakar dengan nosokomial pneumonia, baik
dan disebabkan oleh adanya bakteri patogen yang hospital acquired pneumonia (HAP) maupun
berasal dari lingkungan di rumah sakit [4]. ventilator associated pneumonia (VAP) periode
Dalam mengatasi infeksi nosokomial tahun 2017 hingga 2019. Pengumpulan data
pneumonia, maka modalitas utama ialah dengan dilakukan pada bulan Oktober hingga bulan
pemberian antibiotik. Penggunaan antibiotik yang Desember, 2019 di ruang rekam medik RSUD Dr.
tepat dan sesegera mungkin dapat menurunkan Soetomo, Surabaya. Penelitian ini telah
angka morbiditas atau mortalitas pada pasien mendapatkan persetujuan dari komite etik
pneumonia [5]. Penggunaan terapi antibiotik penelitian kesehatan RSUD Dr. Soetomo dengan
untuk infeksi nosokomial pneumonia perlu nomor
dilakukan suatu evaluasi untuk menentukan 1608/KEPK/X/2019. Kriteria inklusi pada
rasionalitas terapi, baik secara kualitatif maupun penelitian ini ialah pasien luka bakar berusia di
kuantitatif. Metode yang digunakan untuk atas 18 tahun ; pasien yang mendapatkan terapi
mengukur evaluasi penggunaan antibiotik secara antibiotik untuk nosokomial pneumonia ; dan
kualitatif yaitu dengan metode Gyssens, didapatkan pemeriksaan yang mendukung
sedangkan untuk mengukur evaluasi penggunaan diagnosis pneumonia (foto thorax dan
antibiotik secara kuantitatif yaitu dengan Defined pemeriksaan klinis). Kriteria ekslusi pada
Daily Dose (DDD) sebagai standar untuk penelitian ini ialah pasien dengan diagnosis
pengukuran kuantitas penggunaan antibiotik. pneumonia yang terjadi sebelum masuk rumah
Evaluasi secara kuantitatif penggunaan antibiotik sakit, data rekam medik yang tidak lengkap serta
bertujuan untuk mengevaluasi jenis maupun pasien meninggal dunia sebelum pneumonia
antibiotik yang digunakan dinyatakan membaik atau sembuh.
[6]. Data yang diambil pada penelitian ini meliputi
Penelitian yang dilakukan oleh Aisyah et al., data demografi pasien (usia, jenis kelamin,
2018 menyebutkan bahwa evaluasi penggunaan penyebab luka bakar, luas luka bakar, ada atau
antibiotik pada pasien luka bakar menggunakan tidaknya trauma inhalasi), profil antibiotik untuk
metode Gyssens, didapatkan 33,3% berada pada nosokomial pneumonia, lama penggunaan
kategori 0 (rasional) dan 66,7% berada pada antibiotik, lama perawatan di rumah sakit,
kategori tidak rasional yaitu IV A (ada antibiotik frekuensi, dosis, dan rute pemberian. Selain itu
lain yang lebih efektif) [7]. Pemberian antibiotik pula, dilakukan pencatatan data laboratorium yang
yang tidak rasional akan mengakibatkan dampak menunjang diagnosis pneumonia maupun untuk
negatif yaitu muncul dan berkembangnya bakteri evaluasi penggunaan antibiotik yang meliputi
yang resistensi antibiotik, terlebih lagi Multi Drug leukosit, procalcitonin (PCT) serta C-reactive
Resistent (MDR) yang merupakan masalah yang protein (CRP). Masing-masing antibiotik
sulit diatasi [8]. Di Indonesia, belum ada penelitian kemudian akan dikaji berdasarkan alur gyssen,
yang mengevaluasi rasionalitas penggunaan dari kategori 0 hingga kategori VI. Pada kategori
antibiotik pada pasien luka bakar dengan 0, penggunaan antibiotik dikategorikan tepat atau
nosokomial pneumonia. Diharapkan dengan rasional, sedangkan pada kategori I hingga VI,
dilakukannya evaluasi penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik dianggap kurang tepat atau
dapat dijadikan sebagai sarana untuk dapat lebih irasional. Kemudian tiaptiap antibiotik akan diberi
kode menurut klasifikasi Anatomical Therapeutic bakar yang mengalami nosokomial pneumonia, 6
Classification (ATC) dan jumlah pemakaian pasien (86%) diantaranya HAP dan 1 pasien (14%)
antibiotik dihitung dengan DDD/100 pasien-hari. mengalami VAP akibat dari pemasangan alat
DDD ialah perkiraan dosis ratarata per hari ventilator. Data hasil laboratorium (leukosit)
pemakaian antibiotik pada orang dewasa untuk untuk menunjang diagnosis nosokomial
suatu indikasi penyakit infeksi tertentu. DDD/100 pneumonia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2
patient-days dihitung dengan rumus sebagai dan didapatkan hasil leukositosis pada saat
berikut: dinyatakan pneumonia. Untuk nilai Prokalsitonin
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒈𝒓𝒂𝒎 𝑨𝑩 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒈𝒖𝒏𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏 𝟏𝟎𝟎 (PCT) dan C-Reative Protein (CRP) hanya
x dilakukan pada 2 pasien, seperti yang tertera pada
𝑺𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓 𝑾𝑯𝑶 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒈𝒓𝒂𝒎 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑳𝑶𝑺 Tabel 3. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa
terjadi peningkatan nilai PCT dan CRP pada saat
Keterangan :
dinyatakan pneumonia.
LOS : Length of Stay
Tabel 2. Hasil nilai leukosit
3. Hasil dan Pembahasan Variabel (n=7)
Pada penelitian ini didapatkan 12 pasien Nilai leukosit saat dinyatakan pneumonia
luka bakar dengan nosokomial pneumonia yang
memenuhi kriteria inklusi, akan tetapi 5 pasien Rerata ± SD (103/mm3) 15,66 ±
meninggal dunia sebelum masa pengobatan 4,31
antibiotik selesai, sehingga didapatkan 7 pasien Nilai leukosit saat dinyatakan pneumonia
yang dinyatakan data lengkap dan selesai dalam membaik (klinis)
pengobatan antibiotik untuk nosokomial Rerata ± SD (103/mm3) 14,73 ±
pneumonia. Data demografi pasien yang meliputi 4,57
jenis kelamin, umur, luas luka bakar serta ada
tidaknya trauma inhalasi seperti ditunjukan pada
Tabel 3. Hasil nilai PCT dan CRP pada saat
Tabel 1.
dinyatakan pneumonia
Tabel 1. Data demografi pasien Variabel (n=2)
PCT
Variabel (n=7)
Jenis kelamin Rerata ± SD (ng/ml) 32,65 ± 8,47
Perempuan 2 CRP
Laki-laki 5
Rerata ± SD (mg/dl) 116,54 ±
Umur (tahun) 122,67
Rentang 32-73 Dari 7 pasien luka bakar dengan nosokomial
pneumonia yang telah dilakukan kultur, 6 pasien
Rerata ± SD 54,28 ± 16,05 dilakukan kultur darah, 5 pasien dilakukan kultur
Luas luka bakar (%) dahak dan 1 pasien dilakukan kultur urin,
Rentang 20-73 ditemukan berbagai jenis isolat bakteri seperti
Rerata ± SD 24,5 ± 19,73% yang ditunjukan pada Tabel 4. Jenis antibiotik
Trauma Inhalasi yang paling banyak digunakan pada penelitian ini
ialah meropenem (29%) seperti pada Gambar 1.
Ya 3 (43%)
Tidak 4 (57%)
14% 29%
Pada penelitian ini, penyebab terbanyak luka
bakar ialah disebabkan oleh api sebesar 57,0%, 14%
scald sebesar 29,0%, serta electrical injury high
voltage (EIHV) sebesar 14,0%. Dari 7 pasien luka
14% 15% Cefo-sulbactam 3x1 g 6,0 ± 2,1
14%
Lama perawatan dari 7 pasien luka bakar
Meropenem
Levofloxacin amikasin
dengan nosokomial pneumonia, paling banyak
levofloxacin + meropenem dirawat lebih dari 21 – 30 hari, seperti yang
meropenem + Cefoperazon- ditunjukan pada Gambar 2.
sulbactam amikasin +
Cefoperazon-sulbactam 5%
2%
Gambar 1. Profil Penggunaan Antibiotik Untuk
Nosokomial Pneumonia (n=7) 1%
Tabel 4. Hasil isolat
Jenis Isolat Pasien (n=7)
Dahak Jumlah % >15 21 hari>21 30 hari > 40 hari
Staphylococcus 1 25
coagulase negatif
Gambar 2. Lama perawatan pasien luka bakar
Acinetobacter 2 50 dengan nosokomial pneumonia
baumanii
Klebsiella 1 25 Hasil evaluasi secara kualitatif
pneumonia ESBL + penggunaan antibiotik untuk nosokomial
Darah pneumonia dengan metode Gyssen seperti
Klebsiella 2 20 ditunjukan pada Tabel 6.
pneumonia ESBL +
Tabel 6. Kategori Gyssens
Candida 1 10
Kategori Jumlah Persentase
parapsilosis
Gyssens Pasien (%)
Acinetobacter 3 30
IV A 3 42,88
baumanii
Klebsiella ozanae ESBL + 1 10 IV B 1 14,28
IV D 1 14,28
Enterobacter 1 10 II A 1 14,28
cloacae Tidak termasuk 1 14,28
Staphylococcus 1 10 I - IV
haemoliticus Jumlah 7 100
Baccilus circulans 1 10 Hasil evaluasi secara kuantitatif penggunaan
Urin antibiotik yang dihitung menggunakan defined
Acinetobacter 1 100 daily dose (DDD) dengan satuan DDD/100
baumanii patient-days, seperti ditunjukan pada Tabel 7.
Dari 7 pasien luka bakar nosokomial
pneumonia, Meropenem ialah antibiotik yang Tabel 7. Hasil perhitungan kuantitas penggunaan
paling lama diberikan, seperti ditunjukan pada antibiotik pada pasien luka bakar
Tabel 5. dengan nosokomial pneumonia

Jenis Kode DDD Nilai Persentase


Tabel 5. Lama penggunaan antibiotik Definitif DDD/ (%)
Antibiotik ATC
untuk nosokomial pneumonia (mg) 100
Antibiotik Rerata ± SD pasienhari
(hari)
Meropenem 3x1 g 12,5 ± 4,0 Levofloxacin J01MA 500 67,50 41,90
12
Levofloxacin 1 x 750 mg 11,4 ± 1,4 Amikasin J01GB 1000 42,59 26,44
06
Amikasin 1 x 1000 mg 13,0 ± 5,6
Meropenem J01DH 3000 39,82 24,72 menyebutkan bahwa bakteri terbanyak penyebab
02 HAP dan VAP ialah
Cefoperazon J01DD 4000 11,18 6,94 Acinetobacter baumanii sebesar 38,1% dan 32,0%
12 secara berturut-turut. Dalam beberapa tahun
Total DDD/100 161, 07 100 terakhir, Acinetobacter baumannii menjadi salah
pasien-hari sat u organisme dominan penyebab HAP dan VAP.
Xia
et al menyebutkan bahwa sekitar 48% penyebab
nosokomial pneumonia adalah A. baumanni
Telah dilakukan penelitian yang [13]. Selain Acinetobacter baumanii, bakteri lain
mengevaluasi penggunaan antibiotik untuk yang juga ditemukan penyebab nosokomial
pneumonia pada pasien luka bakar dengan pneumonia pada penelitian ini ialah Klebsiella
nosokomial pneumonia. Pada penelitian ini pneumonia ESBL. Kedua jenis bakteri tergolong
didapatkan 3 pasien luka bakar (43%) yang dalam bakteri dengan tingkat multi-drug resistant
disertai dengan trauma inhalasi. Hasil penelitian (MDR) yang tinggi sehingga mortalitas dan
menyebutkan bahwa pada pasien luka bakar morbiditas serta biaya perawatan yang semakin
dengan pneumonia, 56% diantaranya disertai meningkat karena tingkat resistensi
dengan trauma inhalasi, serta resiko terjadinya antibiotik yang besar [14].
pneumonia 3,2 kali lebih besar pada pasien luka Hasil pada penelitian ini seperti yang
bakar dengan trauma inhalasi dibandingkan tanpa ditunjukan pada gambar 1 didapatkan bahwa
trauma inhalasi [9]. Pada penelitian ini, tujuh Meropenem merupakan antibiotik yang paling
pasien luka bakar dengan nosokomial pneumonia, banyak digunakan pada pasien luka bakar dengan
seluruhnya dilakukan foto thoraks dan didapatkan nosokomial pneumonia. ATS merekomendasikan
hasil adanya infiltrat atau perselubungan pada penggunaan antibiotik antipseudomonal baik
paru. Selain itu, didapatkan adanya leukositosis dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk
dan retensi sputum pada tujuh pasien tersebut. Hal kombinasi pada pasien nosokomial pneumonia
ini mengindikasikan bahwa adanya infeksi dengan faktor resiko terjadinya multi-drug
pneumonia [10]. resistant (MDR) patogen dan resiko tinggi
Dari hasil pemeriksaan procalcitonin (PCT) terjadinya mortalitas. ATS merekomendasikan
dan C-reactive protien (CRP) pada saat pasien antibiotik pada pasien nosokomial pneumonia
dinyatakan pneumonia ialah sebesar 23,65 ± 8,47 dengan resiko tinggi mortalitas ataupun sudah
ng/ml dan 116 ± 122,67 mg/L secara berturut- pernah mendapatkan antibiotik pada 90 hari
turut. Penelitian oleh Damayanti et al, sebelumnya yakni piperasilin-tazobactam, atau
menyebutkan bahwa pada pasien luka bakar berat cefepime / ceftazidime, atau levofloxacin /
yang disertai sepsis, nilai PCT lebih besar ciprofloxacin, atau imipenem / meropenem, atau
(18,9±32,9 ng/ml) dibandingkan dengan yang non amikasin /gentamisin /tobramisin, atau aztreonam,
sepsis (0,4±0,8 ng/ml). Hasil yang sama juga plus vancomisin atau linezolid. Untuk pasien HAP
ditunjukkan oleh nilai CRP, yang mana pada yang sedang diberikan terapi antibiotik empiris,
pasien luka bakar berat dengan sepsis, nilai CRP ATS juga tidak merekomendasikan penggunaan
lebih besar (131,6±98,7 mg/L) dibandingkan aminoglikosida tunggal sebagai antibiotik
dengan yang non sepsis (19,1±42,3 mg/L) [11]. antipseudomonas [15].
Penelitian lain oleh Coriejati et al, menyebutkan Untuk pasien HAP maupun VAP yang
bahwa nilai median PCT pada pasien nosokomial diakibatkan oleh spesies Acinetobacter, maka
pneumonia secara signifikan lebih besar (8,32 ATS merekomendasikan penggunaan antibiotik
ng/ml) dibandingkan dengan nilai median PCT carbapenem atau ampisilin-sulbaktam jika
pada pasien community pneumonia (0,88 ng/ml) bakterinya sensitif dengan antibiotik tersebut.
[12]. Pada penelitian ini, berdasarkan pola sensitifitas
Pada penelitian ini didapatkan isolat bakteri antibiotik dari semua pasien luka bakar dengan
Acinetobacter baumanii yang merupakan nosokomial pneumonia, antibiotik yang paling
penyebab terbanyak dari nosokomial pneumonia. sensitif ialah Fosmomycin sebesar 35%. Akan
Hal ini sejalan dengan penelitian yang tetapi menurut ATS antibiotik Fosmomycin tidak
masuk dalam lini pengobatan untuk pasien HAP bahwa pemakaian colistin untuk nosokomial
maupun VAP. pneumonia yang diakibatkan oleh bakteri MDR
Dari 7 pasien didapatkan hasil evaluasi gram negatif memberikan respon terapi yang
kualitatif penggunaan antibiotik dengan metode signifikan, akan tetapi memiliki efek
Gyssens seperti pada tabel 6. Pada kategori IVA nefrotoksisitas yang besar [18].
(ada alternatif lain yang lebih efektif), didapatkan Pada kategori IVb (ada alternatif yang lebih
3 pasien atau sebesar 42,8%. Satu pasien tidak toksik) pada penelitian ini didapatkan 1
mendapatkan antibiotik empirik meropenem, satu pasien atau sebesar 14,22%. Pada kategori ini
pasien diberikan kombinasi meropenem dengan pasien mendapatkan terapi antibiotik levofloxacin
levofloxacin, serta satu pasien mendapatkan 1x750mg. Pada pasien ini mengalami luka bakar
kombinasi meropenem dengan cefoperazon- dengan acute kidney injury (AKI). Pada saat awal
sulbaktam. Pada hasil kultur didapatkan isolat masuk rumah sakit, kadar BUN pasien sebesar 36
bakteri Klebsiella pneumoniae ESBL serta mg/dl dan serum creatinine sebesar 1,6 mg/dl.
Acinetobacter baumanii. Akan tetapi, dari hasil uji Setelah 10 hari penggunaan levofloxacin, nilai
kepekaan antibiotik, ditemukan bahwa BUN dan serum kreatinin pasien kembali
meropenem dan levofloxacin resisten terhadap meningkat menjadi 94 mg/dl dan 24,9 mg/dl secara
kedua jenis bakteri tersebut. Dari hasil uji berturut-turut. PDPI menyatakan bahwa pasien
kepekaan antibiotik, didapatkan bahwa antibiotik nosokomial pneumonia dengan serum kreatinin >
yang sensitif untuk kedua jenis bakteri tersebut 1,5 mg/dl merupakan resiko untuk perburukan
ialah amikasin. ATS menyebutkan bahwa untuk prognosis. Sebaiknya pada pasien ini, dapat
HAP maupun VAP yang diakibatkan oleh bakteri direkomendasikan pemberian antibiotik
ESBL, maka pemilihan antibiotik berupa meropenem yang tidak menginduksi timbulnya
antibiotik definitif (bukan empirik) berdasarkan AKI. Penelitian oleh Pannu et al, menyebutkan
hasil uji kepekaan antibiotik [15]. Pada pasien bahwa meskipun kecil, tetapi penggunaan
yang mendapatkan kombinasi meropenem dan levofloxacin secara secara signifikan
cefoperazone-sulbactam, ditemukan biakan meningkatkan resiko acute kidney injury. Hasil lain
bakteri Acinetobacter baumanii multi drug dari studi tersebut menyatakan bahwa resiko AKI
resistant organisms (MDRO), dan didapatkan meningkat 2 kali lipat pada penggunaan
resisten terhadap semua antibiotik. MDRO fluroquinolon [19].
patogen didefinisikan sebagai bakteri yang Pada penelitian ini didapatkan 1 pasien atau
resisten terhadap setidaknya enam antibiotik, 14,22% masuk dalam kategori IVd (spektrum
yakni meropenem, amikacin, piperacilin- alternatif yang lebih sempit). Pada pasien ini, tidak
tazobactam, ceftazidime, cefepime, aztereonam ditemukan isolat bakteri pada hasil kultur darah dan
dan ciprofloxacin [16]. pasien diberikan terapi amikasin dengan dosis 1 x
ATS merekomendasikan bahwa pada HAP 1000 mg. Pasien tersebut masuk dalam kategori
ataupun VAP yang diakibatkan bakteri yang early onset pneumonia, yaitu pneumonia yang
resisten terhadap carbapenem, maka terjadi kurang dari 5 hari perawatan di rumah sakit.
direkomendasikan penggunaan antibiotik golongan Pasien dengan pneumonia nosokomial onset awal
polimiksin secara intravena (colistin atau tidak berisiko terhadap mikroorganisme resisten
polimiksin B) [15]. Penelitian oleh M.Amin et al, berbagai antibiotik sehingga tidak memerlukan
menyebutkan bahwa pada pasien nosokomial terapi antibiotik spektrum luas. ATS menyebutkan
pneumonia yang diberikan terapi colistin IV, bahwa terapi antibiotik awal secara empirik untuk
ditemukan bakteri Pseudomonas aeruginosa, HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor resiko
Acinetobacter baumanii, serta Klebsiella patogen MDR dan onset dini pneumonia, maka
pneumonia. Hasil lainnya ialah pemberian pemilihan antibiotik berupa golongan betalaktam
kombinasi colistin IV dengan colistin inhalasi plus antibetalaktamase, atau sefalosporin generasi
dibandingkan dengan yang diberikan colistin IV ketiga nonpseudomonal (ceftriaxone, cefotaxim),
saja, tingkat kesembuhan pneumonia secara atau kuinolon respirasi (levofloxacin,
signifikan lebih besar pada pasien yang diberi moxifloxacin). Didapatkan 1 pasien (14,28%)
kombinasi colistin IV dengan colistin inhalasi [17]. masuk dalam kategori IIa (dosis tidak tepat). Pasien
Penelitian lain oleh Cirioni et al, menyebutkan mendapatkan kombinasi antibiotik amikasin
1x1000 mg dan cefoperazone-sulbactam 3x1 gram. tingkat penggunaan antibiotik dalam 100 hari
Pasien ini juga disertai dengan trauma inhalasi rawat inap [21]. Levofloksasin aktif terhadap
yang merupakan faktor resiko mortalitas yang bakteri patogen penyebab infeksi sistem
besar pada pasien luka bakar. ATS menyatakan pernafasan dan memiliki tingkat keberhasilan
bahwa pada pasien nosokomial pneumonia dengan terapi yang baik sehingga dapat digunakan sebagai
faktor resiko tinggi mortalitas, maka disarankan terapi lini pertama untuk pneumonia [22].
penggunaan antibiotik kombinasi Penelitian oleh Herawati et al, menyebutkan
antipseudomonal. Pada pasien ini diberi antibiotik bahwa penggunaan antibiotik pada pasien
amikasin dengan dosis 1x1000 mg selama 9 hari nosokomial pneumonia di RSK.St Vincentius a
serta cefoperazon sulbaktam 3x1 gram selama 7 Paulo, Surabaya pada tahun 2006 didapatkan nilai
hari. Dosis amikasin yang direkomendasikan oleh 80,2 DDD/100 pasien-hari dengan antibiotik
ATS maupun PDPI ialah 20mg/kgBB/hari. Berat terbanyak yang digunakan ialah sefalosporin dan
badan pasien ini ialah 63 kg, sehingga dosis karbapenem sebesar 33,2%, penisilin sebesar
amikasin yang seharusnya diberikan pada pasien 28,1% dan kuinolon sebesar 19,0% [23].
ini ialah 1260 mg per hari [15]. Perbedaan dari nilai DDD dan pola penggunaan
Didapatkan 1 pasien atau 14,28% masuk antibiotik dapat disebabkan karena kemungkinan
dalam kriteria bukan kategori I-IV. Pasien perbedaan etiologi. Hasil kultur dan respon klinis
merupakan pasien luka bakar rujukan yang telah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
dirawat di rumah sakit sebelumnya selama 18 hari menentukan terapi. Penelitian oleh Salukanan et
dan diberikan antibiotik kombinasi meropenem al, menyebutkan bahwa antibiotik yang digunakan
dan amikasin. Pasien yang sebelumnya dirawat di pada infeksi nosokomial pneumonia di RSUP Dr.
rumah sakit dan yang telah mendapatkan antibiotik Hasan Sadikin, Bandung ialah kombinasi
selama 90 hari sebelum MRS, maka digolongkan meropenemlevofloxacin (40%), meropenem
sebagai faktor resiko MDR patogen. Dari tipe (34,3%), serta kombinasi ceftazidim-levofloxacin
pneumonia, maka pasien ini tergolong dalam late (20%) [24].
onset pneumonia, yakni pneumonia yang terjadi Keterbatasan pada penelitian ini yaitu jumlah
lebih dari 5 hari paska perawatan di rumah sakit. sampel yang relatif masih sedikit dan beberapa
ATS menyebutkan bahwa antibiotik meropenem rekam medik tidak tertulis dengan lengkap,
dapat digunakan untuk nosokomial pneumonia sehingga sampel yang didapatkan pada penelitian
dengan faktor resiko MDR patogen. Dosis yang ini belum dapat mewakili populasi pasien luka
diberikan pada pasien ini sudah tepat yakni 3x1 bakar dengan nosokomial pneumonia secara
gram selama 9 hari [15]. keseluruhan.
Dari hasil penelitian ini ditemukan antibiotik
yang banyak digunakan secara kuantitas 4. Kesimpulan
berdasarkan DDD/100 pasien-hari ialah Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien
levofloksasin, meropenem, dan amikasin dengan luka bakar dengan nosokomial pneumonia secara
jumlah penggunaan terbesar yaitu levofloxacin kualitatif termasuk dalam kategori kurang tepat
67,50 DDD/100 pasienhari, yang dapat diartikan (kategori II-IV) sebesar 85,5% dan 14,5%
bahwa dalam 100 hari rawat inap di RSUD Dr. termasuk dalam kategori tepat. Selain itu, evaluasi
Soetomo, terdapat 67-68 pasien pneumonia yang secara kuantitatif tingkat pemakaian antibiotik
mendapatkan terapi Levofloksasin sesuai dosis untuk luka bakar dengan nosokomial pneumonia
harian definitif (750mg) per hari. Hasil penelitian masih cukup tinggi.
ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan
di RS. Dr.Moewardi yang menyebutkan bahwa Ucapan Terima Kasih
pada pasien pneumonia rawat inap, didapatkan Penulis mengucapkan terima kasih kepada
penggunaan terbanyak antibiotik yaitu staf ruang rekam medik RSUD Dr. Soetomo,
levofloxacin sebesar 53,88 DDD/100 pasien-hari Surabaya atas segala bantuan dan kerjasamanya
[20]. Jika dibandingkan di RS. Dr. Moewardi, selama proses pengambilan data
pemakaian antibiotik Levofloxacin pada
penelitian ini lebih besar. Semakin besar nilai total
DDD/100 pasien-hari, mengindikasikan tingginya
Daftar Pustaka deteksi dini sepsis pada luka bakar berat.
Journal of Emergency, 2011, Vol.1 No.1, p.13-
1. Colton B.Nielson, Nicholas C. Duetman, James 18
M.Howard et al. Burns : Pathophysiology of 12. Coriejati, Mohammad Iqbal, Emmy Hermyanti
systemic complications and current Pranggono. Pola bakteri dan usia pasien
management. terhadap prokalsitonin di pneumonia komunitas
J Burn Care Res, 2017,38: 469-481 2. Belba, dan nosokomial. Indonesian journal of clinical
M.K., Petrela, E.Y. and Belba, A.G. Epidemiology pathology and medical laboratory, 2015, Vol. 1
of infections in a burn unit, Albania. Burns, 2013, No.2 , p.153-157
39(7), pp.1456-1467 3. Greenhalgh DG, Saffle JR, 13. Jinjing Xia, Duchao Zhang, Yaping Xu et al. A
Holmes JH et al. American Burn Association Retrospective analysis of carbapenem-resistant
consensus conference to define sepsis and Acinetobacter baumanii-mediated nosocomial
infection in burns. J Burn Care Res. 2007, pneumonia and the in vitro therapeutic benefit
28(6):776–790. of cefoperazon/sulbactam. International
4. Barbier F , Andremont A, Wolff M et al. Journal of Infectious Disease, 2014, 23 : 90-93
Hospital-acquired pneumonia and 14. Yang YS, Lee YT, Huang TW, Sun JR, Kuo SC,
ventilatorassociated pneumonia: recent Yang CH, et al. Acinetobacter baumannii
advances in epidemiology and management. nosocomial pneumonia: is the outcome more
Curr Opin Pulm Med, 2013, 19:216–28 favorable in non-ventilated than ventilated
5. American Thoracic Society and Infectious patients? BMC Infect Dis, 2013 ; 13:142
Diseases Society of America. Guidelines for the 15. Muscedere J, Sweeney DA, Palmer LB, et al.
management of adults with hospital-acquired, Management of adults with hospital acquired
ventilator-associated, and healthcare-associated and ventilator-associated pneumonia: clinical
pneumonia. American journal of respiratory practice guidelines by the infectious disease
and critical care medicine, 2005, 171(4), p.388. society of America and the American Thoracic
6. Pani S, Melisa IB, Eli H, Ivan SP, Nurul A, Society, 2016.
Monitoring Penggunaan Antibiotik dengan 16. Fitri Rahmatika, Ika Puspitasari, Djoko
Metode ATC/DDD dan DU 90%: Studi Wahyono. Identifikasi infeksi multidrug-
Observasional di Seluruh Puskesmas resistant organisms (MDRO) pada pasien yang
Kabupaten Gorontalo Utara, Jurnal Farmasi dirawat di bangsal pediatric intensive care unit
Klinik (PICU), Jurnal Manjemen dan Pelayanan
Indonesia, 2015, 4(4). Farmasi, 2016, Vol.6,
7. Aisyah, S., Yulia, R., Saputro, I.D. and No.1
Herawati, F. Evaluation of antibiotic use and 17. Mohamed Amin, Alas Rashad, Assem Fouad,
bacterial profile in Burn Unit Patients at the dr. Amal Abdel Azeem. Re-emerging of colistin
Soetomo General Hospital. Annals of burns and for treatment of nosocomial pneumonia due to
fire disasters, 2018, 31(3), p.194. gram negative multi-drug resistant pathogens in
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. critically ill patients. Egyptian journal of chest
Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi disease and tuberculosis, 2013, 62 : 447-451
Antibiotik, Jakarta. 2011 18. Cirioni, O, Simonetti O, Pierpaoli, E, Barruca
9. Liodaki E, Kalousis K, Schoop BE et al. A, et al. Colistin enhances therapeutic efficacy
Prophylactic antibiotic therapy after inhalation of damtomycin of teocoplanin in a murine
injury. Burns, 2014, 40(8) : 1476-1480 model of multi resistent Acinetobacter
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: Pedoman baumanii sepsis. Diagnosis Microbiology and
Diagnosis dan Infectious Disease,
Penatalaksanaan 2016, pp. 392
Pneumonia Nosokomial 19. Pannu N, Nadim M.K. An overview of
di Indonesia. Jakarta, druginduced acute kidney injury. Crit Care
2005. Med, 2008, Vol.36, pp.16-23
11. Tanti Damayanti, Iswinarno Doso Saputro.
Nilai uji diagnostik prokalsitonin sebagai
20. Oka Robi Muhammad. Evaluasi penggunaan
antibiotik dengan metode ATC/DDD pada
pasien pneumonia di instalasi rawat inap
RSUD. Dr. Moewardi tahun 2017. Naskah
publikasi.
http://eprints.ums.ac.id/64984/1/NASKAH
PUBLIKASI.pdf. diakses online 20 Februari
2020.
21. Sari A, Safitri I. Studi Penggunaan Antibiotika
Pasien Pneumonia Anak di RS. PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Dengan Metode
Defined Daily Dose (DDD). Jurnal Ilmiah
Ibnu Sina, 2016, 1(2) : 151-162.
22. Noreddin M. dan Elkhatib F.Levofloxacin in
the treatment of community-acquired
pneumonia. Expert review of anti-infective
therapy, 2010, 8 (5), 505.
23. Fauna Herawati. Tinjauan kuantitas
penggunaan antibiotik di RSK St. Vincentius A
Paulo Surabaya dan rasionalitas penggunaan
antibiotik pada pasien pneumonia nosokomial
yang menjalani rawat inap di RSK St.
Vincentius A Paulo Surabaya pada tahun 2006.
Thesis. Program studi magister farmasi klinis,
Universitas Surabaya. 2008
24. Ronald Tikuali Salukanan, Ardi Zulfariansyah,
Ruli Herman Sitanggang. Pola pneumonia
nosokomial di unit perawatan intensif rumah
sakit umum pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung
periode Januari-Desember 2017. Jurnal
Anastesi
Perioperatif, 2018, 6(2) : 126-136.
4.)
Jurnal Anestesi Perioperatif

[JAP. 2019;7(2): 92– 9]

12. Evaluasi Kepatuhan Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional Manajemen


Nyeri pada Pasien Luka Bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Yudhanarko,1 Suwarman,2 Ricky Aditya2
1
Bagian Anestesi Rumah Sakit PMI Bogor, 2Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial. Manajemen nyeri pada luka bakar merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari terapi luka bakar. Nyeri pada luka bakar merupakan nyeri akut, penanganan yang tidak baik akan
menyebabkan komplikasi, salah satunya nyeri kronik. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin
Bandung telah membuat standar prosedur operasional (SPO) manajemen nyeri yang berguna untuk meningkatkan
kepatuhan dalam pelaksanaan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kesesuaian teknik
pengkajian, tindak lanjut dan evaluasi ulang nyeri pada pasien luka bakar dengan SPO manajemen nyeri. Penelitian
menggunakan metode deskriptif observasional retrospektif terhadap 99 rekam medis pasien luka bakar yang
memenuhi kriteria inklusi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2018. Hasil penelitian didapatkankan
bahwa pengkajian nyeri yang dilakukan sesuai dengan SPO menggunakan numeric rating scale atau Wong Baker
faces pain scale ditemukan pada 99 pasien (100%). Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar yang dilakukan
sesuai dengan SPO sebanyak 71 pasien (72%). Evaluasi ulang setelah tindak lanjut pengkajian nyeri yang sesuai
SPO pada 93 pasien (94%). Simpulan, pengkajian nyeri di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung sudah sesuai dengan
SPO manajemen nyeri, namun tindak lanjut dan evaluasi ulang pada nyeri luka bakar belum sesuai dengan SPO
manajemen nyeri.

Kata kunci: Luka bakar, manajemen nyeri, nyeri, standar prosedur operasional

Evaluation of Compliance to Standard Operating Procedures for Pain


Management in Patients with Burns in Dr. Hasan Sadikin General Hospital
Bandung
Abstract

Pain is defined as an unpleasant sensory and emotional experience related to actual or potential tissue damage.
Pain management for burns is an integral part of burn therapy. Pain in burns is an acute pain and poor management
will lead to health complications including chronic pain. Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung has made
a standard operating procedure (SOP) for pain management to improve compliance to pain management standard.
This study aimed to evaluate the compliance to the standards in assessment techniques, follow-up, and re-
evaluation of pain in patients with burn according to the applicable pain management SOP. This was a retrospective
descriptive observational study on 99 medical records of burn patients who met the inclusion criteria in Dr. Hasan
Sadikin General Hospital Bandung in 2018. The results of the study revealed that the pain assessment for these
patient was carried out according to the SOP which refers to the use of a numeric rating scale or Wong Baker face
pain scale in 99 patients (100%). In the follow-up, 71 were performed according to the SOP (72%) while the re-
evaluation was performed in compliance with the SOP in 93 patients (94%). In conclusion, pain assessment in Dr.
Hasan Sadikin General Hospital Bandung is performed in accordance with SOP on pain management but not all
patients receive follow-up and re-evaluation of burn pain in accordance with the SOP on pain management.
Key words: Burns, pain management, pain, standard operating procedures

Korespondensi: Yudhanarko, dr, Bagian Anestesi Rumah Sakit PMI Bogor, Jl. Pajajaran No. 80 Bogor, Tlpn 02518324080,
Email yudha_gudoctor@yahoo.com

92 p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http://doi.org/10.15851/jap.v7n2.1713x.doi.org/ 0.15851/jap.v6n2.1424


12.1. Pendahuluan
Luka bakar merupakan salah satu masalah kesehatan dunia yang menyebabkan sekitar 180.000 kematian
setiap tahunnya. Sebagian besar kasus luka bakar terjadi di negaranegara berpenghasilan rendah dan
menengah dan hampir dua pertiganya terjadi di negaranegara Afrika dan Asia Tenggara. Hal tersebut
berhubungan dengan kurang pengawasan, kewaspadaan, maupun pendidikan tentang keselamatan dasar
pencegahan risiko cedera luka bakar di wilayah tersebut. Luka bakar dapat mengakibatkan morbiditas
ataupun mortalitas yang tinggi, gangguan psikologis, dan gangguan kualitas hidup yang dialami
penderita. Luka bakar sering membutuhkan perawatan jangka panjang dan beberapa prosedur bedah
rekonstruktif di rumah sakit. Seiring peningkatan perkembangan sosial ekonomi dunia, banyak penelitian
dilakukan untuk mengurangi tingkat morbiditas maupun mortalitas akibat luka bakar. Sebuah studi
serupa tentang perkembangan manajemen luka bakar telah dilakukan, tetapi hanya mengevaluasi
populasi Eropa. 1,2
Manajemen nyeri untuk luka bakar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen luka
bakar yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka bakar itu sendiri. Penelitian manajemen nyeri
pernah dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin tahun 2017, menggambarkan efektivitas pemberian
analgetik pada nyeri akut selama tahun 2017 didapatkan angka sebesar 70,3%. Hasil tersebut masih
belum memenuhi target bebas nyeri 100%. Nyeri pada luka bakar merupakan nyeri akut. Nyeri akut yang
tidak teratasi dapat menyebabkan beberapa akibat, yaitu respons nyeri yang tidak hilang atau berkurang,
meningkatkan risiko nyeri kronik, mampu meningkatkan respons inflamasi tambahan, mengganggu
proses penyembuhan luka, meningkatkan waktu perawatan di rumah sakit yang akan berakibat lanjut
peningkatan risiko infeksi nasokomial, bahkan dapat meningkatkan kejadian mortalitas.3–5 Penelitian di
Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2011 sampai dengan 2012
menggambarkan angka mortalitas pada pasien luka bakar masih cukup tinggi, yaitu sebesar 27,6%. Salah
satu upaya menurunkan angka mortalitas yang tinggi tersebut adalah diterapkan manajemen nyeri yang
baik. 6,7
Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan juga emosional yang tidak menyenangkan terkait
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik,
budaya, usia dan jenis kelamin sehingga respons nyeri sangat bervariasi antarindividu.8 Luka bakar adalah luka
yang ditimbulkan akibat paparan air panas, api, cairan kimia pada tubuh sehingga menyebabkan kerusakan pada
kulit maupun jaringan di bawahnya. Selain itu, luka bakar pun dapat terjadi akibat dari trauma listrik dengan
efek yang dapat bersifat akut ataupun kronik dengan morbiditas yang
lebih tinggi.9,10
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung telah membuat standar prosedur operasional
(SPO) berdasar keputusan direktur utama RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan nomor HK.O2.
O3/X.4.1.3/6992/2O18 tentang panduan manajemen nyeri di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Pengkajian nyeri merupakan bagian penting dalam manajemen nyeri yang menentukan pemberian
terapi yang sesuai sehingga pasien terbebas dari rasa nyeri. Manajemen nyeri yang baik menghasilkan
pemulihan luka bakar yang lebih baik pula. Dalam penanganan nyeri pada luka bakar, tindak lanjut hasil
pengkajian tersebut dan evaluasi ulang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penanganan nyeri.11–13
Sampai saat ini belum ada penelitian tentang evaluasi kepatuhan pelaksanaan SPO manajemen nyeri pada
pasien luka bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin, ditinjau dari pengkajian nyeri, tindak lanjut, dan evaluasi ulang
yang dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah memberikan data ilmiah kepatuhan pelaksanaan SPO manajemen
nyeri yang diberikan pada pasien luka bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada tahun 2018. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi perhatian dalam proses terapi luka bakar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
terapi luka bakar itu sendiri.

12.2. Subjek dan Metode


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional. Objek penelitian adalah rekam medis pasien
dengan luka bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah rekam medis
pasien dewasa dengan luka bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2018, baik operasi maupun
tanpa operasi. Kriteria eksklusi meliputi rekam medis pasien luka bakar yang dirawat di ruang intensive care
unit. Kriteria pengeluaran bila lembar pengkajian nyeri di dalam rekam medis rusak atau tulisan tidak terbaca.
Peneliti melakukan pencatatan data rekam medis setelah mendapatkan persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung No:
LB.02.01/X.6.5/36/2019. Data penelitian yang diambil adalah usia, jenis kelamin, luas luka bakar, tingkat
pendidikan, pengkajian nyeri, tindak lanjut (terapi), dan evaluasi ulang nyeri. Pengkajian nyeri sesuai dengan
SPO di RSUP Dr. Hasan Sadikin berdasar waktu dan teknik. Waktu dikaji segera saat pasien tiba di ruang
pemeriksaaan.
Teknik pengkajian dengan skala numeric rating scales untuk dewasa dan wong baker faces pain scale untuk
pasien yang tidak dapat berkomunikasi atau anak. Tindak lanjut sesuai SPO dengan terapi farmakologi. Terapi
farmakologi untuk nyeri ringan adalah dengan pemberian parasetamol atau non steroidal anti inflammatory
drugs (NSAID), untuk nyeri sedang dengan kombiasi opioid lemah dan parasetamol/NSAID, serta untuk nyeri
berat dengan kombinasi opioid kuat dan parasetamol/NSAID. Evaluasi ulang dilakukan tiap 8 jam pada nyeri
ringan, 2 jam pada nyeri sedang, dan 1 jam pada nyeri berat. Data hasil penelitian dianalisis kemudian
dideskripsikan mempergunakan persentase sesuai dengan variabel yang diidentifikasi selama penelitian.13
Tabel 1 Karakteristik Umum Pasien
Variabel n (%)

Usia (tahun)
Mean±Std
43,70±14,619
18–40 37 (37%)
41–60 47 (48%)
>60 15 (15%)
Jenis kelamin
Laki-laki 69 (70%)
Perempuan 30 (30%)

46 (47%)
30 (30%)
9 (9%)
8 (8%)
Luas luka bakar (%) 0 (0%)
6 (6%)
Tingkat pendidikan
SD 3 (3%)
SLTP 1 (1%)
SLTA 74 (75%)
D3 11 (11%)
S1 10 (10%)
Keterangan: data kategorik disajikan dengan jumlah atau frekuensi dan persentase, sedangkan data
numerik disajikan dengan mean, median, st. deviasi, dan range (min.–maks.)

Hasil

Jumlah rekam medis pasien luka bakar yang diteliti pada penelitian ini sebanyak 99 rekam medis.
Sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 69 pasien (70%).

Tabel 2 Pengkajian Nyeri Luka Bakar dan


Tindak Lanjut Pengkajian Nyeri
Luka Bakar berdasar Kesesuaian
SPO
Variabel Jumlah n (%)

Pengkajian nyeri luka bakar


Sesuai SPO 99 (100%) 0
Tidak sesuai SPO (0%)
Tindak lanjut pengkajian nyeri
luka bakar
Sesuai SPO 71 (72%)
Tidak sesuai SPO 28 (28%)
Keterangan: data kategorik, data disajikan dengan jumlah atau frekuensi dan persentase
Tabel 3 Analgesik yang Diberikan pada Pasien Luka Bakar
Parasetamol/NSAID + Parasetamol/NSAID+
Skala Nyeri Parasetamol/NSAID n
Opioid Lemah n Opioid Kuat
Pasien (%)
(%) n (%)
Nyeri ringan 43 (100%) 0 (0%) 0 (0%)
Nyeri sedang 19 (40%) 27 (56%) 2 (4%)
Nyeri berat 3 (38%) 4 (50%) 1 (12%)
Keterangan: data kategorik disajikan dengan jumlah atau frekuensi dan persentase, sedangkan data numerik disajikan
dengan mean, median, standar deviasi, dan range (min.–maks.)
Usia rerata pasien adalah 43,70±14,62 tahun. Luas luka bakar terbanyak adalah ≤10% total body surface
area (47%) dan kedua terbanyak, yaitu 11–20% total body surface area (30%). Latar belakang
pendidikan terbanyak adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), yaitu 75% (Tabel 1).
Nyeri luka bakar yang dikaji sesuai SPO dengan Numeric rating scale (NRS) untuk pasien dewasa
atau dengan Wong Baker faces pain scale untuk dewasa yang tidak dapat berkomunikasi ditemukan pada
99 (100%). Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar yang sesuai SPO ditemukan sebanyak 71
pasien atau sebesar 71,7% (Tabel 2).
Nyeri ringan yang diberikan terapi sesuai SPO manajemen nyeri (parasetamol atau NSAID)
didapatkan sebesar 43 pasien (100%). Untuk nyeri sedang yang diberikan terapi yang sesuai dengan SPO
(parasetamol/NSAID + opioid lemah) sebesar 27 pasien (56%). Nyeri berat yang diberikan terapi sesuai
SPO (parasetamol/NSAID + opioid kuat) sebesar 1 pasien (12%; Tabel 3).
Evaluasi ulang nyeri luka bakar setelah dilakukan tindak lanjut dari pengkajian nyeri yang dilakukan
sesuai SPO pada nyeri berat

Tabel 4 Evaluasi Ulang Nyeri Luka Bakar sebanyak 7 pasien (88%). Evaluasi ulang untuk nyeri
sedang yang dilakukan sesuai SPO ditemukan pada 44 pasien (92%). Untuk evaluasi ulang nyeri ringan
yang dilakukan sesuai SPO ditemukan pada 42 pasien (98%; Tabel 4).

12.3. Pembahasan
Persepsi nyeri yang dialami pasien bersifat subjektif sehingga tidak ada dua orang yang mengalami rasa nyeri
dengan respons dan perasaan yang sama. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi persepsi nyeri pada luka
bakar, yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan luas luka bakar.14

Sesuai SPO n=93 Tidak Sesuai SPO n=6


Nyeri
Berat 1 jam 7 (88%) 1 (12%)
Sedang 2 jam 44 (92%) 4 (8%)
Ringan 8 jam 42 (98%) 1 (2%)
Total 93 (94%) 6 (6%)
Keterangan: data kategorik, data disajikan dengan jumlah atau frekuensi dan persentase
Pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel sebanyak 99 pasien dengan usia rerata 43,70±14,62 tahun.
Penelitian ini mendapatkan usia terbanyak pasien luka bakar adalah pada rentang usia 41 sampai 60 tahun (48%).
Penelitian sebelumnya menemukan rentang usia 20 sampai 40 tahun merupakan usia pasien dengan luka bakar
terbanyak (61,1%). Hal ini menurut pendapat ahli terjadi karena luka bakar merupakan trauma yang sebagian
besar disebabkan oleh kelalaian di rumah ataupun di tempat kerja dan dapat terjadi pada usia produktif yang
pada usia tersebut fungsi dan peran sebagai pekerja sehingga memungkinkan kejadian trauma luka bakar banyak
terjadi pada saat melakukan aktivitas dalam bekerja. Pada penelitian sebelumnya ini menyatakan pula tidak ada
korelasi antara usia dan persepsi nyeri, namun didapatkan bahwa pasien yang lebih muda memiliki skor nyeri
lebih tinggi daripada yang lebih tua. Pengaruh usia pada persepsi nyeri tidak diketahui secara luas. Orang tua
berespons terhadap nyeri berbeda dengan orang yang lebih muda, beberapa faktor yang memengaruhi orang tua
bahwa mereka berpendapat bahwa nyeri yang terjadi merupakan sesuatu yang harus diterima dan kebanyakan
orang tua takut terhadap efek samping obat antinyeri berhubung dengan penyakit penyerta yang ada sehingga
mereka tidak melaporkan derajat nyeri sesuai dari yang seharusnya dirasakan. 15–17
Luas luka bakar terbanyak adalah luka bakar dengan luas luka bakar sebesar ≤10% total body surface area
(47%) dan kedua terbanyak adalah luka bakar dengan luas luka bakar 11−20% total body surface area (30%).
Pengaruh luas luka bakar terhadap persepsi derajat nyeri tidak selalu berbanding lurus, hal ini ditentukan oleh
faktor yang lain seperti kedalaman luka bakar. Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda
dengan penelitian sebelumnya bahwa luas luka bakar yang terbanyak adalah luas luka bakar <20% total body
surface area. 7
Data karakteristik jenis kelamin pasien yang didapat pada penelitian ini adalah pasien lakilaki sebanyak 69
pasien (70%). Pada penelitian yang dilaksanakan sebelumnya didapatkan bahwa laki-laki yang terkena luka
bakar lebih banyak dibanding dengan perempuan (75,9% vs 24,1%). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
lingkungan kerja laki-laki memiliki risiko terkena luka bakar lebih besar dibanding dengan perempuan. Namun,
secara statistik sesudah dilakukan Uji Fisher Exact tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dan terjadinya luka bakar. Perbedaan jenis kelamin telah diidentifikasi dalam hal persepsi nyeri karena laki-laki
memiliki sensitivitas yang lebih rendah dibanding dengan perempuan atau kurang merasakan nyeri. Laki-laki
kurang mengekspresikan nyeri yang dirasakan bila dibanding dengan perempuan. Hasil penelitian yang
sebelumnya mengenai hubungan kebutuhan morfin pascabedah dengan total responden sebesar 2.298 pasien
menunjukkan bahwa wanita kurang mengonsumsi morfin melalui patient controlled analgesia (PCA) daripada
laki-laki pada nyeri pascabedah. 7,17
Latar belakang pendidikan terakhir terbanyak adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar
75%. Pengaruh tingkat pendidikan itu terhadap persepsi nyeri berhubungan dengan komunikasi yang
disampaikan oleh pasien tentang sesuatu yang dirasakannya. Pengkajian nyeri merupakan kajian yang
bersifat subjektif dan komunikatif yang berasal dari pasien. Tingkat pendidikan merupakan salah satu
faktor yang menentukan terhadap perubahan perilaku, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang semakin banyak proses dan pengalaman belajar terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya,
termasuk pula nyeri yang dirasakan. Namun, penelitian yang terkait antara pengaruh tingkat pendidikan
dan nyeri menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna.7,17
Pengkajian nyeri luka bakar yang sesuai dengan SPO sebanyak 99 pasien (100%). Hasil ini didapatkan
karena RSUP Dr. Hasan Sadikin sudah menerapkan lembar pengkajian nyeri yang terintegrasi di dalam
rekam medis pasien baru sehingga petugas medis (baik dokter maupun perawat) dapat mudah melakukan
pengkajian. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa pengkajian nyeri yang segera (early assessment)
dan dilakukan secara tepat dapat meningkatkan keberhasilan manajemen nyeri akut dan juga
meningkatkan keberhasilan pengobatan luka bakar itu sendiri sehubungan dengan penurunan reaksi
inflamasi yang terjadi pada luka bakar.14 Faktor psikologis pasien dapat juga dipengaruhi pengkajian nyeri
yang cepat. Pengkajian nyeri yang cepat dan pengobatan yang tepat sesuai dengan skala nyeri sangat
penting karena dapat mengatasi pengalaman buruk pasien akan nyeri luka bakar sehingga dampak
psikologis pasien dengan luka bakar tersebut tidak terganggu dan tidak terjadi nyeri kronik akibat nyeri
akut yang tidak diatasi dengan baik. Pengkajian nyeri yang tidak benar akan berpengaruh terhadap
ketepatan pemberian terapi sehingga kemungkinan terjadi komplikasi lebih besar, salah satu contoh
adalah nyeri kronik yang
sulit untuk diobati. 18,19
Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar yang sesuai SPO didapatkan pada 71 pasien (72%).
Tindak lanjut pengkajian nyeri dilaksanakan untuk menilai apakah pengobatan nyeri sudah sesuai dengan
skala nyeri sebagaimana telah diatur dalam SPO manajemen nyeri. Hasil ini menjelaskan bahwa
analgesik yang diberikan tidak cukup baik dan terdapat 28% pemberian analgesik tidak sesuai dengan
skala nyeri yang terjadi (atau tidak sesuai dengan SPO manajemen nyeri). Hal ini dapat terjadi karena
beberapa faktor seperti obat yang tidak ada, persediaan obat yang habis, ataupun pengetahuan tentang
manajemen nyeri yang baik masih kurang. Dari segi SPO, hal ini dapat terjadi karena sosialisasi SPO
manajemen nyeri itu sendiri kurang. Dari segi dokter maupun perawat, hal ini mungkin dapat terjadi
karena tidak tersampainya instruksi yang diberikan ataupun instruksi sudah diberikan, namun tidak
dikerjakan sesuai dengan SPO manajemen nyeri. Hal tersebut membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan penyebabnya.
Penggunaan analgesik yang diberikan pada pasien luka bakar pada skala nyeri ringan, sedang, dan
berat dikelompokkan berdasar obat yang diberikan, seperti parasetamol, NSAID, opioid lemah, opioid
kuat, dan kombinasi NSAID ditambah opioid lemah atau opioid kuat. Sesuai dengan buku panduan nyeri
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, terapi farmakologi yang rasional untuk nyeri ringan adalah
parasetamol atau NSAID, terapi nyeri sedang dengan kombinasi opioid lemah dan parasetamol/NSAID,
sedangkan terapi nyeri berat dengan kombinasi opioid kuat dan parasetamol/NSAID. Pada penelitian ini
didapatkan hasil pemberian terapi yang tidak sesuai SOP pada nyeri sedang (8%) dan nyeri berat (12%).
Pemberian analgesik yang tidak sesuai dengan tingkat nyeri akan menimbulkan efek yang tidak
diinginkan, seperti pemberian opioid dapat menimbulkan efek samping depresi pernapasan, mual
muntah, penurunan tingkat kesadaran, serta dapat menurunkan respons simpatis pasien. Sebaliknya,
pemberian obat analgesik yang kurang dari tingkat nyeri baik dosis maupun jenis analgesik dapat
menyebabkan beberapa akibat, yaitu nyeri yang tidak hilang atau berkurang, meningkatkan risiko nyeri
kronik, meningkatkan respons inflamasi tambahan, dan selanjutnya akan meningkatkan kejadian
morbiditas, lama penyembuhan luka juga meningkat, meningkatkan waktu perawatan di rumah sakit yang
akan berakibat lanjut risiko infeksi nasokomial meningkat.3,4
Evaluasi ulang pada nyeri perlu dilakukan sesuai dengan pedoman yang sudah dibuat dan pada pengalaman
penelitian sebelumnya menyatakan bahwa evaluasi ulang nyeri pada terapi nyeri dapat meningkatkan kualitas
manajemen nyeri serta menurunkan respons inflamasi yang dapat merusak seluruh organ tubuh.20 Tujuan
evaluasi ulang nyeri adalah sebagai acuan bagi dokter dan perawat dalam penerapan langkah-langkah
selanjutnya untuk mengidentifikasi rasa nyeri yang dirasakan pasien setelah diberikan terapi.13
Pada pedoman yang sudah dibuat oleh tim manajemen nyeri RSUP Dr. Hasan Sadikin, evaluasi ulang nyeri
dilakukan dengan interval 8 jam untuk nyeri ringan dan tidak nyeri, 2 jam untuk nyeri sedang, serta setiap jam
untuk nyeri berat. Nyeri dapat dinilai segera setelah diberikan intervensi analgesik, seperti contoh pemberian
obat opioid parenteral dapat dinilai ulang nyeri segera setelah diberikan 15 sampai 30 menit dan 1 jam bila
diberikan secara oral. Penilaian ulang segera dan tepat merupakan strategi yang efektif dalam penanganan nyeri
akut, termasuk di dalamnya adalah luka bakar sehingga keberhasilan manajemen pengobatan luka bakar dapat
tercapai. Evaluasi ulang yang tidak sesuai dengan pedoman akan menyebabkan nyeri yang tidak teratasi dan
dapat menimbulkan nyeri kronik, yang dapat memperlama perawatan di rumah sakit. 13,19
Pada penelitian ini terdapat 12% nyeri berat yang dilakukan evaluasi tidak sesuai dengan SPO. Hal ini
mungkin disebabkan oleh keterbatasan jumlah tenaga kesehatan dan pengetahuannya terhadap SPO yang sudah
dibuat. Pada SPO dinyatakan bahwa pada nyeri berat harus dilakukan evaluasi ulang setelah 1 jam diberikan
analgesik. Terutama untuk nyeri berat karena nyeri berat yang tidak dilakukan evaluasi sesuai dengan SPO dapat
mengakibatkan terapi yang salah dan paling besar kemungkinan timbul risiko nyeri kronik. Selain itu,
komplikasi lain yang dapat timbul adalah meningkatkan respons inflamasi tambahan yang selanjutnya akan
meningkatkan morbiditas yang menurunkan proses penyembuhan luka, meningkatkan waktu perawatan di
rumah sakit yang akan berakibat lanjut meningkatkan risiko infeksi nasokomial.3,4

12.4. Simpulan
Pengkajian nyeri pada seluruh pasien luka bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin tahun 2018 sudah sesuai dengan
SPO manajemen nyeri. Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar dan evaluasi ulang yang dilakukan belum
sesuai dengan SPO manajemen nyeri. Daftar Pustaka

1. Braveman FR. A WHO plan for burn prevention and care. 2018 [diunduh 1 Mei 2019]. Tersedia dari:
https://www.who. int/news-room/fact-sheets/detail /burns.

2. Smolle C, Daniel JC, Forbes AA. Recent trends in burn epidemiology worldwide: a systematic review.
PMC. 2017;43(2):249– 57.
3. Beel A, Grantham D. Module 2: pain assessment and management. 2010. [diunduh 14 Juli 2018]. Tersedia
dari: http://www.palliative. info/mpcna/ module2.pdf.
4. Guttormsen AB, Berger MM, Sjoberg F, Heisterkamp H. Burn injury clinical problems. An ESICM. 2012.
[diunduh 14 Juli 2018]. Tersedia dari: http:// pact.esicm.org/media/Burns_Injury_3_ Dec_2012_final.pdf.
5. Prabandari DA, Indriasari, Maskoen TT. Efektivitas analgesik 24 jam pascaoperasi elektif di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung tahun 2017. JAP. 2018;6(2):98−104.
6. Winanda RA, Kusumadewi I, Wardhana A. The association between psychopathology and quality of life
in burn patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. J Plastik Rekonstruksi. 2017; 2:105−12.
7. Febrianto R, Farhanah N, Sari EP. Hubungan luka bakar derajat sedang dan berat menurut kategori american
burn association dan faktor yang mempengaruhi kejadian sepsis di RSUP Dr. Kariadi. J Kedokteran
Diponegoro. 2016;5(4):1526−34.
8. Longnecker DE, Orkin FK. Anesthesia risk. Dalam: Longnecker DE, Mackey SC, Newman MF, Sandberg
WS, Zapol WM, penyunting. Anesthesiology. Edisi ke3. New York: McGraw Hill; 2010. hlm. 291−306.
9. Bittner EA, Martyn JA. Evaluation and anesthetic management of the burn injured patient. Dalam:
Longnecker DE, Mackey SC, Newman MF, Sandberg WS, Zapol WM, penyunting. Anesthesiology. Edisi
ke-3. New York: McGraw Hill; 2010.
hlm. 1251−69.
10. Figy S, McIntyre JK. Burn management. Dalam: Irwin RS, Lilly CM, Mayo PH, Rippe JM, penyunting.
Irwin and Rippe’s intensive care medicine. Edisi ke-8. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
hlm 1728−32.
11. Nair S, Neil MJE. Paediatric pain: physiology, assessment and pharmacology. ATOTW. 2013;289:1−10.
12. Cohen LL, Lemanek K, Blount RL, Dahlquist LM, Lim CS, Palermo TM, dkk. Evidencebased assessment
of pediatric pain. J Pediatr Psychol. 2008;33(9):939−55.
13. Panduan Manajemen Nyeri. Bandung: RSUP Dr. Hasan Sadikin; 2015 [diunduh 14 juli 2018]. Tersedia
dari: http://arsip.rshs. or.id.
14. Abraham J. Burn trauma: an emerging model for acute pain. J Clin Studies. 2016;7(6):34−6.
15. Purwaningsih LA, Rosa EM. Respons adaptasi fisiologis dan psikologis pasien luka bakar yang diberikan
kombinasi alternative moisture balance dressing dan seft terapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. J
Universitas Muhammadiyah. 2014:41−9.
16. Gowri S, Vijaya N, Powar R. Original research paper epidemiology and outcome of burn injuries. J Indian
Acad Forensic Med. 2012;34(4):312−4.

5.)

193 Biopendix, Volume 1, Nomor 2, Maret 2015, hlm. 193-203

PENGGUNAAN KRIM EKSTRAK BATANG DAN DAUN SURUHAN


(Peperomia pellucida L.H.B.K) DALAM PROSES PENYEMBUHAN LUKA
BAKAR PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

Nur Fitri

Alumni Pendidikan Biologi, Jurusan PMIPA Unpatti Ambon E-mail:

fitri_nur@yahoo.co.id

Abstract

Background: Peperomia pellucida L'HBK or known as messengers in the Indonesian plant is a herbaceous plant
that belongs to the family Piperaceae. This study aimed to determine the effect of the stem and leaf extract cream
messengers to the healing process of burns in rats (Rattus norvegicus. Methods: This was an experimental study
using a completely randomized design. Test animals were divided into three groups, each - each group consisted
of 3 rats. The first group is the negative control group (distilled water), the second group is a positive control group
(Bioplacenton®), the third group is the group treated stem and leaf extract cream errand. The diameter of the
wound and fibroblasts observed histopathology and is used as an indicator of the healing process of burns. The
burns were treated and observed the healing effect for 20 days. Data were analyzed statistically wound diameter
using ANOVA followed by LSD test.
Results: The results showed the cream extracts of stems and leaves telling effect on the healing process of burns
on rats.
Conclusion: The results also showed that the treatment group and the leaf stem extract cream messengers and
control groups positively influence the healing process of burns significantly when compared to the negative
control group. Meanwhile, the treatment group stem and leaf extract cream messengers have no preformance
difference influence the healing process of burns a significant positive control group.
Keywords: cream extract, stems and leaves messenger (Peperomia pellucida LHBK), IIb degree burns, the healing
process, fibroblasts.

Abstrak

Latar Belakang: Peperomia pellucida L.H.B.K atau dikenal dengan nama tumbuhan suruhan di Indonesia adalah
tumbuhan herba yang termasuk dalam keluarga piperaceae. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian
krim ekstrak batang dan daun suruhan terhadap proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus
norvegicus).
Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Hewan uji
dibagi dalam tiga kelompok, masing – masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus putih. Kelompok pertama
merupakan kelompok kontrol negatif (aquades), kelompok kedua merupakan kelompok kontrol positif
(Bioplacenton®), kelompok ketiga adalah kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun suruhan. Diameter
luka dan histopatologi fibroblas diamati dan digunakan sebagai indikator adanya proses penyembuhan luka bakar.
Luka bakar diberi perlakuan dan diamati efek penyembuhannya selama 20 hari. Data diameter luka dianalisa secara
statistik menggunakan metode Anova dilanjutkan uji LSD.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan krim ekstrak batang dan daun suruhan berpengaruh terhadap proses
penyembuhan luka bakar pada tikus putih.
Kesimpulan: Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun
suruhan dan kelompok kontrol positif mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar secara signifikan bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Sedangkan, kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun
suruhan tidak memiliki perbedaan pengaruh dalm proses penyembuhan luka bakar yang signifikan dengan
kelompok kontrol positif.

Kata kunci: krim ekstrak, batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K), luka bakar derajat IIb, Proses
penyembuhan, fibroblas.
194 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
13. PENDAHULUAN yaitu menggunakan obat dalam bentuk sediaan
Luka bakar biasanya dinyatakan dengan krim yang berefek antibakteri untuk mencegah
derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka adanya mikroorganisme yang dapat menyebabkan
bakar. Walaupun demikian beratnya luka bakar terjadinya infeksi (Pujilestari, 2007; Simanjuntak,
tergantung pada dalam, luas, dan daerah luka 2008; Ardiyanto, 2009), Tetapi saat ini dapat pula
(Syamsuhidayat dan jong, 1997). Derajat luka digunakan bahan - bahan herbal tradisional untuk
bakar terbagi atas 4, yaitu luka bakar derajat I, luka mengobati luka bakar.
bakar derajat IIa, luka bakar derajat IIb, dan luka Indonesia sebagai negara tropis, memiliki
bakar derajat III. Luka bakar yang terjadi dapat keanekaragaman tanaman berkhasiat obat.
menimbulkan kondisi kerusakan kulit dan dapat Pengalaman masyarakat secara turun temurun
mempengaruhi berbagai sistem tubuh. karena pada dapat dijadikan referensi apa saja jenis tanaman
luka bakar sering terdapat keadaan seperti di yang cocok untuk dijadikan obat sutu penyakit
tempati kuman dengan patogenesis tinggi, terdapat atau gangguan kesehatan (Bakarbessy, Tumbel, &
banyak jaringan mati,mengeluarkan banyak air Rehena, 2009). Salah satu tumbuhan yang sering
dan serum, terbuka untuk waktu yang lama digunakan sebagai obat tradisional adalah
(mudah terinfeksi dan terkena trauma) tumbuhan suruhan (Peperomia pellucida
(Effendi, 1999). L.H.B.K) yang digunakan secara empiris oleh
Penanganan dalam penyembuhan luka bakar masyarakat dalam pengobatan luka bakar (Kinho
antara lain mencegah infeksi dan memberi et al., 2011). Di Maluku, daun suruhan digunakan
kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berpoliferasi oleh masyarakat untuk mengobati luka dengan
dan menutup permukaan luka (Syamsuhidayat dan cara daun dicuci, dibersihkan, ditumbuk halus dan
Jong, 1997). Penyembuhan luka melewati tiga ditempelkan pada luka bakar.
fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferase (fase Berdasarkan hasil skrining fitokimia yang
fibroplasias) dan fase remodeling (fase dilakukan oleh Majumder dan Kumar (2011), daun
penyudahan). Salah satu penanganan luka bakar dan batang suruhan mengandung alkaloid,
flavonoid, steroid, tanin dan triterpenoid. Saponin randomized design). Dalam RAL, pembagian
juga terdapat pada bagian daun namun tidak hewan dalam kelompok dilakukan secara acak.
ditemukan pada bagian Batang. Flavonoid Salah satu kelompok merupakan kelompok
berperan sebagai antioksidan yang dapat perlakuan, sedangkan kelompok lainnya
menangkal radikal bebas saat proses merupakan kelompok kontrol. Eksperimen
penyembuhan luka, dan bersama triterpenoid dilakukan pada hewan dengan 3 perlakuan diulang
memiliki efek astringent. Tanin dan flavonoid sebanyak 3 kali dan data yang diperoleh dianalisa
mempunyai aktivitas antiseptik dan antibakteri statistik dalam bentuk grafik, sehingga jumlah
(Harbone, 1987). Kandungan saponin dapat tikus putih yang digunakan sebanyak 3 perlakuan
memacu pembentukan kolagen yang berperan x 3 ulangan = 9 ekor tikus putih yang masing -
dalam proses penyembuhan luka (Chandel and masing tikus putih diberikan luka bakar dengan
Rastogi, 1979), Selain itu kandungan steroid diameter 2 cm.
sebagai anti radang mampu meredam rasa nyeri
pada luka (Tan & Kirana, 2002 dalam 17. Analisis data
Simanjuntak, 2008). Data presentase penyembuhan luka bakar
Penelitian efektivitas penggunaan ekstrak yang diperoleh melalui pengukuran rata-rata
tumbuhan telah banyak dikembangkan untuk diameter luka bakar dan data jumlah fibroblas
penyembuhan luka bakar. Penelitian oleh Ahmad antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
alwy (2012), membuktikan bahwa penggunaan dianalisis secara deskriptif. Apabila data rata-rata
ekstrak tumbuhan dalam bentuk sediaan krim diameter luka bakar terdistribusi normal dan
mampu menyembuhkan luka bakar pada tikus homogen maka akan dianalisis secara statistik
putih. Krim biasanya digunakan sebagai emolien dengan program SPSS 16.0 menggunakan uji
atau pemakaian obat pada kulit (Ansel, 2008). Tipe ANOVA untuk melihat apakah krim kombinasi
krim lebih diarahkan untuk produk yang terdiri batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida
dari emulsi minyak dalam air atau M/A (Depkes L.H.B.K) yang dibuat memiliki pengaruh dalam
RI, 1995). Peneliti memilih penggunaan batang proses penyembuhan luka bakar. Uji Anova satu
dan daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K) arah dipilih karena hanya ada satu variabel terikat
karena kandungan yang terkandung dalam daun yang akan diteliti, yaitu presentase penyembuhan
dan batang suruhan mampu meyembuhkan luka luka bakar. Uji statistik kemudian dilanjutkan
bakar serta memudahkan pengumpulan bahan menggunakan uji LSD untuk melihat apakah
pembuatan ekstrak. Penggunaan krim dalam terdapat perbedaan bermakna antara kelompok
bentuk sediaan krim tipe M/A karena lebih efektif, perlakuan dan kelompok kontrol.
dan dapat memudahkan penggunaan dan
membantu mempercepat proses penyerapan bahan
obat pada kulit yang terkena luka bakar. 18. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Hasil pengujian luka bakar derajat IIb atau
luka bakar derajat II dalam pada tikus putih
14. METODE Lokasi Penelitian ditandai dengan kerusakan kulit pada bagian
Lokasi yang digunakan untuk penelitian ini epidermis dan sebagian dermis. Perubahan
adalah Laboratorium Penelitian dan diameter rata - rata luka dan jumlah fibroblas
Pengembangan Terpadu Unit IV, Bidang menjadi indikator ada tidaknya pengaruh
Pengembangan Hewan Coba Universitas Gajah pemberian krim ekstrak batang dan daun suruhan
Mada, LPPT Unit IV - UGM.
Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
15. Populasi dan Sampel (Peperomia pellucida L.H.B.K).
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus
putih (Rattus norvegicus), umur 2-3 bulan dengan
berat 200 - 400 gram. Pada penelitian ini, jumlah
sampel sebanyak 9 ekor tikus putih (Rattus
norvegicus) yang terbagi di dalam 3 kelompok,
masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor tikus
putih.

16. Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rancangan eksperimental
dengan rancangan acak lengkap (Completely
19. Hasil Pengukuran Diameter Luka
Bakar Pada Tikus Putih
Diameter luka diukur selama 20 hari
dengan interval waktu pengukuran 5 hari dan
dihitung diameter rata – rata tiap perlakuan. Hasil
pengukuran diameter luka bakar tiap ulangan
perlakuan (Lampiran 1) yang dihitung untuk
mendapatkan diameter rata – rata tiap perlakuan
dan data rata rata diameter luka bakar setiap
perlakuan pada tabel 1 dibuat dalam grafik sebagai
berikut.
Data diameter luka bakar yang diperoleh 0.048 < 0.05, maka diketahui terdapat pengaruh
selanjutnya dianalisis secara statistik dengan dalam proses penyembuhan luka bakar sehingga H1
Tabel 1. Rerata Diameter Luka Bakar Dalam Centimeter Pada Tiap Perlakuan

Hari Ke Hari Ke Hari Ke Hari Ke Hari Ke Hari Ke


Kelompok 10 (cm ) 15 (cm ) 20 (cm )
0 (cm) 1 (cm) 5 (cm)
2.39 2.12 2.01
K- 2 2.72 2.51
K+ 2 2.30 2.07 1.86 1.69 1.54
Kel. T 2 2.28 2.09 1.86 1.72 1.56

software SPSS 16.0 menggunakan analisis diterima yang berarti terdapat pengaruh pemberian
parametrik anova untuk melihat apakah krim krim ekstrak batang dan daun suruhan (Peperomia
ekstrak batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K) dalam proses penyembuhan
pellucida L.H.B.K) yang dibuat memiliki pengaruh luka bakar pada tikus putih. Terdapat perbedaan
dalam proses penyembuhan luka bakar. Data hasil signifikan pada anova, maka dilanjutkan dengan uji
analisa tabel diatas, nilai anova LSD (Least
196 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83

significant different) untuk melihat apakah ekstrak batang dan daun suruhan pada terdapat perbedaan
bermakna atau tidak proses penyembuhan luka bakar. Berikut bermakna antar tiap perlakuan khususnya tabel
hasil uji lanjutan dengan metode LSD. melihat efek penyembuhan luka bakar krim
3

20. Gambar 1. Grafik Diameter Luka Bakar Setiap Perlakuan Dalam Centimeter
Tabel 2. Hasil Perhitungan Menggunakan Metode ANOVA
ANOVA

Diameter_rata_rata

Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .570 2 .285 3.731 0.048
Within Groups 1.146 15 .076

Total 1.717 17

*Terdapat pengaruh dalam proses penyembuhan luka bakar

Tabel 3. Hasil Uji Lanjut LSD

Diameter_rata_rata LSD
(I) Mean 95% Confidence Interval
(J) Kelompok Std. Error Sig.
Kelompok Difference (I-J) Lower Bound Upper Bound
Kontrol Kontrol Positif .38167* .15961 0.030 .0415 .7219
Negatif Kel. T .37333* .15961 0.034 .0331 .7135
Kontrol
Kel. T -.00833 .15961 0.959 -.3485 .3319
Positif
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Tabel diatas menunjukkan bahwa kontrol positif (0.030< 0.05), begitu pula ada perbedaan yang
bermakna atau kontrol negatif dengan kelompok perlakuan signifikan antara kontrol negatif dengan krim
ekstrak batang dan daun suruhan
197 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
(0.034<0.05). Adanya perbedaan bermakna antara ekstrak batang dan daun suruhan memiliki
kelompok kontol negatif dan kelompok perlakuan pengaruh yang lebih baik dalam proses
krim ekstrak batang dan daun suruhan penyembuhan luka bakar dibandingkan kelompok
menujukkan bahwa kelompok perlakuan krim kontrol negatif atau dengan kata lain krim ekstrak
batang dan daun suruhan memiliki efek yang 21. Hasil Penghitungan Jumlah Fibroblas
bermakna dalam proses penyembuhan luka bakar. Data jumlah fibroblas yang diamati saat hari ke
Hasil diatas juga menunjukkan bahwa pada 5 dan ke 20 pada bagian kulit tikus putih yang
perbandingan antara kelompok kontrol positif dan diinduksi luka bakar (lampiran 2) dihitung nilai rata
kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun – ratanya dan data rerata jumlah fibroblas luka bakar

Tabel 4. Hasil Penghitungan Rerata Jumlah Fibroblas Perlapangan Pandang

Hari Ke-5 Hari Ke-20


Kontrol - Kel. T Kontrol + Kel. T
Rerata 19.3 17.6 21 16.3

Gambar 2. Grafik Rerata Jumlah Fibroblas Perlapangan Pandang

22
21 21
20 .3
19
18
17 .6
16 16.3
15
Hari Ke 5 Hari Ke 20
Kontrol - Kel. T
suruhan tidak terdapat perbedaan (0.959>0.05) hari ke 5 dan ke
bermakna efek penyembuhan luka bakar. 20 setiap perlakuan pada tabel 2 dibuat dalam grafik
sebagai berikut dengan hasil sebagai berikut.
menandakan pada hari kelima sampai hari ke 20, luka
Keberadaan fibroblas merupakan salah satu berada dalam proses penyembuhan khususnya fase
indikator sedang berlangsungnya proses proliferase. Jumlah fibroblas hari ke 5 tidak berbeda
penyembuhan luka bakar. signifikan walaupun pada kelompok kontrol negatif
Penumpukan fibroblas dimulai kira-kira hari ke 3- sedikit lebih banyak (19,6) dibanding kelompok krim
4 (Li et al., 2007), peningkatan jumlah fibroblas batang dan daun suruhan (17,6). Hal ini menandakan
terjadi pada hari ke 4 setelah itu mengalami proses penyembuhan luka kelompok krim ekstrak
penurunan (Ambiyani, 2013), dan sekresi kolagen batang dan daun suruhan berjalan normal,
tipe III oleh fibroblas maksimal antara hari ke 5 peningkatan dan penumpukkan fibroblas terjadi
sebelum hari ke 5 yaitu sesuai literatur pada hari ke 4
198 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
dan 7 (Kalangi, 2004). Hasil pengamatan jumlah setelah itu mengalami penurunan (16,3 pada hari ke
fibroblas dilakukan untuk melihat fase 20).
penyembuhan luka manakah yang sedang
berlangsung untuk membandingkan fibroblas
antara kelompok kontrol negatif perlakuan
aquades dan kelompok krim ekstrak batang dan
daun suruhan. Dari tabel 4.4 dan grafik 4.2
diketahui, kelompok kontrol memiliki rata – rata
jumlah fibroblas 19,6 pada hari ke 5 dan
mengalami peningkatan pada hari ke 20 dengan
jumlah fibroblas 21 sedangkan jumlah fibroblas
kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun
suruhan adalah 19, pada hari ke 5 dan mengalami
penurunan pada hari ke 20.
Sejumlah fibroblas yang terlihat pada luka bakar
kedua kelompok pada hari ke 5 dan hari ke 20
Penurunan jumlah fibroblas kelompok Krim
ekstrak batang dan daun suruhan mengindikasikan
proses penyembuhan luka yang semakin maju
pesat (Ambiyani, 2013). Sedangkan pada kontrol
negatif, penumpukan fibroblas yang baru terjadi
pada hari ke 5 (19,6) dan peningkatan jumlah
fibroblas pada hari ke 20 (21) dibanding hari ke 5
menandakan mulainya proses penyembuhan luka
lebih lambat dengan fase inflamasi (lebih dari 3

a b

c d
Gambar 4.3. Gambaran Histopatologi Jumlah Fibroblas: Kelompok Kontrol, a) Hari Ke- 5; b)
Pengamatan Hari Ke-20. Kelompok Perlakuan: Kelompok Perlakuan Krim Ekstrak
Batang dan Daun Suruhan, c) Hari Ke-5; d) Hari Ke-20. Tanda panah merupakan
fibroblast (Pewarnaan HE, pembesaran 400x).

hari), dan proliferasi yang lebih memanjang,


ditandai dengan masih aktifnya fibroblas pada hari
ke 20. Untuk lebih jelasnya, pengamatan
gambaran histopatologi dapat dilihat lebih jelas
pada gambar 3:
22. Pembahasan
Tumbuhan suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K) merupakan herba tahunan yang digunakan secara
empiris untuk menyembuhkan luka bakar. Tumbuhan suruhan dipercaya dapat membantu proses
penyembuhan luka bakar karena daunnya mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, saponin, tanin dan
karbohidrat sedangkan batangnya mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, tanin dan karbohidrat (Majumder
dan Kumar, 2011).
Penelitian proses penyembuhan luka bakar derajat IIb pada tikus putih (Rattus norvegicus) dilakukan
dengan menggunakan tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positf dan kelompok
perlakuan pemberian krim ekstrak 8% batang dan daun suruhan. Kelompok pertama menggunakan air
sebagai kontrol negatif dan Bioplacenton® sebagai kontrol positif. Penelitian ini menggunakan kontrol negatif
untuk melihat bagaimana perbandingan proses penyembuhan luka bakar IIb pada tikus kelompok kontrol negatif
tanpa diberikan kandungan obat dan dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang diberikan krim ekstrak
batang dan daun suruhan.
199 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
Penggunaan air suling untuk membersihkan bagian luar kulit yang terpapar luka bakar. Bioplacenton®
digunakan dalam kelompok kontrol positif sebagai krim pembanding untuk mengetahui apakah ada
kesetaraan efektifitas antara bioplacenton® sebagai obat luka bakar yang memiliki merk dagang resmi dengan
krim ekstrak batang dan daun suruhan. Pemberian perlakuan pada masing - masing kelompok dioleskan 3
kali sehari karena disesuaikan dengan kecepatan absorpsi, dan lamanya kerja obat dalam bentuk sediaan krim
yaitu 3 – 8 jam (Ansel, 1989).
Pengamatan proses penyembuhan luka bakar dilakukan dengan dua parameter yang berbeda yaitu
pengamatan makroskopis dengan mengukur diameter luka bakar dan pengamatan mikroskopis atau
pengamatan histopatologi yaitu dengan melihat keberadaan dan menghitung jumlah fibroblas. Data diameter
luka bakar diukur dalam interval waktu pengukuran 5 hari selama 20 hari dan dihitung rata - rata diameter
luka bakar (gambar 1.) Fibroblas kelompok kontrol negatif dan kelompok krim ekstrak batang dan daun
suruhan dihitung jumlahnya pada hari ke 5 dan ke 20 (gambar 2). Pengamatan hari ke 5 dan ke 20 untuk
melihat fase penyembuhan luka manakah yang sedang berlangsung. Pengamatan hari ke 5 didasarkan atas
laporan yang menyebutkan bahwa sekresi kolagen tipe III oleh fibroblas maksimal antara hari ke 5 dan 7
(Kalangi, 2004).
Hasil pengamatan rata - rata diameter luka bakar dan keberadaan fibroblas menunjukkan krim ekstrak
batang dan daun suruhan mempercepat proses penyembuhan luka khususnya pada fase inflamasi dan
proliferasi dibanding kontrol negatif. Grafik diameter rata – rata luka setiap perlakuan (Gambar 2), terlihat
kontrol negatif memiliki diameter yang paling besar terutama pada hari ke 1 (2.72cm) dibanding dua
kelompok lainnya. Diameter luka bakar kontrol negatif terus menurun dengan lambat dari 2.71cm (hari ke1)
menjadi 2.01 (hari ke 20). Pada kelompok krim ekstrak batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida
L.H.B.K) dan kelompok kontrol positif, diameter luka terlihat tidak berbeda signifikan yaitu pada hari ke 1
masing – masing 2.28 cm dan 2.30 cm terus menurun pada hari ke 20 menjadi 1.56 cm dan 1.54 cm.
Dari grafik rata – rata jumlah fibroblas terlihat kelompok kontrol negatif memiliki rata – rata jumlah
fibroblas yang meningkat dibandingkan kelompok perlakuan yang justru menurun (gambar 4.2). Rata – rata
jumlah fibroblas kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun suruhan menurun dari 19 (hari ke 5) menjadi
16,3 (hari ke 20). Penurunan jumlah fibroblas kelompok Krim ekstrak batang dan daun suruhan mengindikasikan
proses penyembuhan luka yang semakin maju pesat dan berjalan normal (Ambiyani, 2013). Peningkatan dan
penumpukkan fibroblas terjadi sebelum hari ke 5 yaitu sesuai literatur pada hari ke 4 setelah itu mengalami
penurunan. Grafik rata – rata jumlah fibroblas kelompok kontrol negatif terlihat meningkat dari sebelumnya 19,6
(hari ke 5) menjadi 21 (hari ke 20). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelummnya oleh Ambiyani (2013) yang
terjadi peningkatan jumlah fibroblas kelompok kontrol pada pengamatan hari ke 8 dibandingkan hari ke 4.
Keadaan ini menunjukkan bahwa pada kelompok ini, mulainya proses penyembuhan luka lebih lambat dengan
fase inflamasi (lebih dari 3 hari), dan proliferasi yang lebih memanjang, ditandai dengan masih meningkatnya
jumlah fibroblas pada hari ke 20.
Gambaran histopatologi sel - sel fibroblas dapat dilihat pada gambar 3. Dari hasil pengamatan gambar
histopatologi jumlah fibroblas, diketahui terdapat sejumlah fibroblas yang menandakan luka telah memasuki
fase prolifersi. Fibroblas tampak berbentuk fusiformis yang memanjang seperti sel otot polos diantara serabut-
serabut jaringan, tonjolan-tonjolan sitoplasma yang tidak teratur, dan inti bulat telur. Sel – sel fibroblas pada
kontrol negatif (gambar a) terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan gambar b. hal ini berarti sel – sel fibroblas
pada hari ke 5 (gambar a) mengalami peningkatan pada hari ke 20 (gambar b) (gambar 4.3, a dan b). Dengan
melihat perbandingan gambar c dan d, diketahui jumlah fibroblas pada kelompok perlakuan krim ekstrak batang
dan daun suruhan mengalami penurunan (gambar 4.3, c dan d), terlihat sel – sel fibroblas hari ke 5 (gambar c)
lebih banyak dibandingkan hari ke 20 (gambar d).
Data rerata diameter luka bakar (tabel
200 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
4.1) dianalisis dengan uji ANOVA (tabel 2), diketahui nilai anova 0.048 <0.05, sehingga H1 diterima yang
berarti terdapat pengaruh pemberian krim ekstrak batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K)
dalam proses penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus norvegicus). Krim ekstrak batang dan daun
suruhan berpengaruh dalam proses penyembuhan luka bakar karena mengandung senyawa antioksidan yaitu
flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid yang mampu mencegah infeksi dan mempercepat
penyembuhan luka.
Hasil uji lanjutan LSD menunjukkan bioplacenton® tidak memiliki perbedaan bermakna dengan
kelompok perlakuan yang diberikan krim ekstrak batang dan daun suruhan (sig. 0.959>0.05) sehingga dapat
disimpulkan bahwa hampir terdapat kesetaraan efektifitas antara krim ekstrak batang dan daun suruhan dan
bioplacenton®. Bioplacenton® digunakan dalam penelitian ini sebagai kontrol positif memiliki efek
penyembuhan luka bakar karena mengandung placenta extract dan neomycin sulfate. Placenta extract
berperan penting dalam regenerasi sel yang mempercepat proses penyembuhan luka dan neomycin sulfate
berperan sebagai antibiotik yang mampu mencegah adanya infeksi bakteri pada luka bakar.
Penelitian oleh Oloyede (2011), daun suruhan memiliki aktifitas antimikroba yang
mampu menghambat bakteri
Staphylococcus aerus yang sering menginfeksi luka. Kandungan Tanin dan flavonoid dapat menghambat
bahkan membunuh bakteri yang menginfeksi luka. Flavonoid bekerja dengan merusak permeabilitas dinding
sel bakteri, mikrosom dan lisosom sebagai hasil dari interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri,
melepaskan energi tranduksi terhadap membran sitoplasma bakteri serta menghambat motilitas bakteri
(Robinson, 1995 dalam Mappa, 2013). Flavonoid sebagai antioksidan kuat berperan melawan ROS dengan
membuat inaktif radikal bebas dan meningkatkan fungsi dari antioksidan endogen, memperbesar level enzim
antioksidan dalam jaringan granulasi (Thakur et al., 2011). Apabila proses penyembuhan berjalan normal,
makrofag didaerah luka pada fase inflamasi akan menarik fibroblas kedaerah luka dan memulai fase
fibroplasia (fase proliferasi). Keberadaan fibroblas menjadi indikator aktifitas penyembuhan luka bakar
sedang berlangsung. Penumpukan fibroblas dimulai kira-kira hari 3-4 (Li et al. 2007) sama dengan
dimulainya fase proliferase pada hari ke 3. Sekresi kolagen tipe III oleh fibroblas maksimal antara hari ke 5
dan 7 (Kalangi, 2004). Hasil penelitian menunjukkan terdapat fibroblas pada luka dihari ke 5 dan 20 (tabel 4
dan gambar 2) dan diameter luka hari ke 1 berkurang signifikan pada hari ke 5 (tabel 4.1) yang menandakan
penyembuhan luka telah berada dalam fase proliferasi.
Pada fase proliferasi terjadi aktivitas seluler seperti angiogenesis, fibroplasia (deposit kolagen dan
pembentukan jaringan granulasi), epitelisasi, dan kontraksi luka (Nayak et al., 2007). Neovaskularisasi dimulai
hari ke 3-4 setelah terjadi luka (Li et al., 2007). Angiogenesis adalah proses pertumbuhan pembuluh darah baru
yang disebut neovaskularisasi yang dipengaruhi growth factor seperti FGF dan VEGF, terjadi bersamaan dengan
fibroplasia dan saling bergantung satu sama lain karena deposit kolagen dan matriks ekstraselular lainnya oleh
fibroblas harus selalu mendapat oksigen agar proses metabolik dapat berlangsung. Sel endotel akan bermigrasi
ke dasar luka, berproliferasi, dan membentuk pembuluh darah baru. Pertumbuhan kapiler baru pada daerah yang
berdekatan dengan luka berupa tunas - tunas yang terbentuk dari pembuluh darah dan akan berkembang menjadi
percabangan baru pada jaringan luka (Singer & Clark, 1999).
Pada tahap fibroplasia, luka dipenuhi fibroblas, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan
dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Fibroblas dipinggir luka berproliferasi
kira-kira hari ke 4. Fibroblas berfungsi mensintesis matriks ekstraseluler seperti serabut kolagen. Proliferasi
fibroblas diatur dan dirangsang oleh epidermal growth factor (EGF), FGF dan akan berubah fenotipnya secara
bertahap menjadi profibrotic phenotype yang berfungsi untuk sintesa protein. Fibroblas akan mensintesis
kolagen tipe III dan juga berubah fenotipnya menjadi myofibroblast yang berperan pada kontraksi luka karena
kemampuannya untuk meluas dan menarik (Li et al., 2007).
201 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
Pada fase proliferasi juga terjadi proses epitelisasi untuk mengembalikan jaringan kulit yang rusak.
Faktor yang terlibat adalah migrasi keratinosit pada jaringan luka, proliferasi keratinosit menjadi epidermis
yang berlapis-lapis, dan mengembalikan basement membrane zone (BMZ) menjadi utuh yang
menghubungkan epidermis dan dermis (Li et al., 2007), dipengaruhi oleh Epidermal growth factor (EGF),
keratinocyte growth factor (KGF), dan transforming growth factor alpha (TGF-α) (Ambiyani, 2013). Epitel
tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya
kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis (Wijaya, 2013). Fase proliferasi akan
memudar dan kemudian berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.
Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan
berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan (remodelling) untuk penyerapan kembali
jaringan yang berlebih, pengerutan dan pembentukan kembali jaringan yang baru (Wijaya, 2013), dan
menormalkan kembali struktur dan fungsi kulit selama proses penyembuhan.
Secara keseluruhan, Krim ekstrak batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K) memiliki
efek yang baik atau berpengaruh dalam proses penyembuhan luka bakar derajat IIb pada kulit tikus putih
(Rattus norvegicus) dibandingkan kelompok kontrol negatif dan memiliki efektivitas dalam proses
penyembuhan yang hampir setara dengan kontrol positif (bioplacenton®).

23. SIMPULAN
1. Pemberian krim ekstrak batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K) berpengaruh dalam
proses penyembuhan luka bakar derajat IIb pada tikus putih (Rattus norvegicus).
2. Terdapat perbedaan signifikan proses penyembuhan luka bakar antara kontrol negatif dengan kelompok
perlakuan krim ekstrak batang dan daun suruhan begitu pula kontrol negatif dengan kontrol positif.
Kelompok perlakuan krim ekstrak batang dan daun suruhan memiliki proses penyembuhan luka bakar
yang lebih baik dan lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol negatif. Sedangkan antara kelompok
kontrol positif dan kelompok krim ekstrak batang dan daun suruhan (Peperomia pellucida L.H.B.K) tidak
terdapat perbedaan signifikan dalam proses penyembuhan luka bakar.

24. DAFTAR PUSTAKA


Agus, G. 2008. Penggunaan Mencit dan Tikus sebagai Hewan Model Penelitian. Bogor. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Agoes, Goeswin. 2013. Pengembangan Sediaan Farmasi – Edisi Revisi dan Perluasan (2). Bandung: Penerbit
ITB
Alwy, A. 2012. Uji aktifitas penyembuhan luka bakar ekstrak methanol daun kayu colok (Samanea saman)
dalam bentuk sediaan krim. Skripsi. Makassar: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam negeri
alaudin Makassar.
Ambiyani, W. 2013. Pemberian salep ekstrak daun mengkudu (Morinda citrifolia L) meningkatkan proses
regenerasi jaringan luka pada tikus putih galur wistar (Rattus norvegicus) jantan. Tesis. Denpasar:
Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Anief, M. 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Anief, M. 1997a. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Anief, M. 1997b. Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Ansel HC.1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Ardiyanto, D. 2009. Uji Aktifitas Krim Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia) sebagai Penyembuh
Luka Bakar pada
Kulit Punggung Kelinci. Skripsi. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Arrigoniblank MF, Dmitrieva EG, Franzotti EM, Antoiolli AR, Andrade MR, Marchioro M. 2004.
Antiinflammatory and analgesic activity of Peperomia pellucida (L.) HBK (Piperaceae). J
Ethnopharmacol. Vol. 91 No. 215-218.
202 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
Bakarbessy, E., Tumbel, F. T., Rehena, J. 2009. Beberapa Jenis Tanaman Obat Dan Penggunaannya Sebagai
Antimalaria. Simbiosis, Jurnal Biologi Dan Pembelajarannya Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas
Pattimura Ambon. Vol. 6, No. 2.
Baumann, L., Saghari, S. 2009. Basic Science of the Epidermis. In: Baumann, L., Saghari, S., Weisberg, E.,
editors. Cosmetic Dermatology Principles and Practice. Second Edition. USA: The McGraw-Hill
Companies. p. 3-7.
Chandel, R.S., Rastogi. R, P. 1987. Triterpenoid Saponin and Sapogenin Phitochemistry 1979.19: 1889-1908.
Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 4. Jakarta: Puspa Swara. Departemen Kesehatan
RI. 1978. Formularium Nasional edisi II. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Obat Terbatas.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Ditjen POM. 1986. Sediaan Galenik. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
Djauhariya, E., hernani. (2004). Gulma berkasiat obat. Jakarta: penebar swadaya.
Djumidi, H. 1997, Inventaris Tanaman Obat Indonesia IV. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI.
Effendi, C. 1999. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Egwuche, R. U., dkk. 2011. Prelimenary Investigation Into The Chemical Properties Peperomia pellucida L.
Research Journal Of Phytochemistry (5)
1: 48-53
Ghani A. 1998. Medicinal plants of Bangladesh. Bangladesh, Asiatic Society of Bangladesh. No. 77-78.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia. Terjemahan Padmawinata K, Soediro I. Bandung: ITB
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
Hujjatusnaini, N., Tumbel, F. M. 2009. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Ketepeng Cina
(Cassia alata L.) Terhadap
Penghambatan Pertumbuhan
Trichophyton sp. Simbiosis, Jurnal Biologi Dan Pembelajarannya Program Studi Pendidikan Biologi
Universitas Pattimura Ambon. Vol. 6, No. 2.
Kalangi, Sonny JR. Peran Kolagen Pada penyembuhan Luka. Dexa Medica.
2004; (17) 4.
Kinho D, Dkk. 2011. Tumbuhan Obat Tradisonal di Sulawesi Utara Jilid I. Manado: Badan Penelitian Kehutanan
Manado.
Lachman L. Libermen HA., Kaning JL. 1994. Theory and Practice of Industrial Pharmacy. Easton
Pennysylvania: Mack Publishing Company
Leung, W.T.W., Butrum RR, Chang FH, Rao MN, Polachi W. 1972. Food
Composition Table forUse in East Asia. US Department of Health, Education, andWelfare
Publication(NIH) 73-465.
Li, J., Chen, J., Kirsner, R. 2007.
Pathophysiology of acute wound healing. Clinics in Dermatology. Vol: 25.
Majumder, P. 2011. Phytochemical,
Pharmacognostical and Physicochemical Standardization of Peperomia pellucida (L.) HBK. Stem.
Pharmacie Globale International Journal of Comprehensive Pharmacy. Vol 8
(06).
Majumder P., Kumar, K. V. Arun. 2011. Establishment of Quality Parameters and Pharmacognostic Evaluation
of Leaves of Peperomia pellucida (L.) Hbk.
International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. Vol 3, Suppl 5. Kerala: Rajiv Gandhi Institute Of Pharmacy, India.
Majumder, P., Priya, AP., Satya V. 2011. Ethno-medicinal, Phytochemical and Pharmacological review of an
amazing medicinal herb Peperomia pellucida (L.)
203 Biopendix, Volume 1, Nomor 1, Maret 2015, hlm. 83
HBK. Research Journal of
Pharmaceutical, Biological and
Chemical. Vol. 2, No. 358 – 364 Nayak, B.S., Sandiford, S., Maxwell, A.
2007. Evaluation of the Wound-healing Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L.Leaf. Evid
Based
Complement Alternative Medicine; 6 (3).
Oloyede, K. Ganiyat. 2011. Phytochemical,
Toxicity, Antimicrobial And Antioxidant
Screening Of Leaf Extracts Of Peperomia pellucida From Nigeria. Kournal Of Advances In
Environmental
Biology, 5(12. Natural
Products/Medicinal Chemistry Unit, Department Of Chemistry, University Of Ibadan, Nigeria.
Mansjoer, A, dkk, (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas
Indonesia.
Mappa, Tiara., Edy, H. J., Kojong, Novel. 2013. Formulasi Gel Ekstrak Daun Sasaladahan (Peperomia
pellucida (L.) H.B.K) dan Uji Efektivitasnya Terhadap Luka Bakar Pada Kelinci (Oryctolagus
cuniculus). Jurnal Ilmiah Farmasi – Unsrat Vol. 2 No. 02
Moenadjat, Y. 2003. Luka Bakar Masalah dan Tatalaksana. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Putra, W. 2012. Sehat tanpa dokter dengan ramuan herbal. Yogyakarta: Citra media pustaka.
Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch. S. Kumar, C.K.A. 2012. Wound Healing Potential Of Indian
Medicinal Plants. International Journal of Pharmacy Review & Research. Vol: 2. p. 75-78.
Rumayar, I.M. M. Formulasi Dan Uji Krim Ekstrak Umbi Singkong (Manihot esculenta). Terhadap Luka
Bakar Pada Kelinci (Oryctolagus cuniculus). Jurnal Program Studi Farmasi Fmipa Unsrat Manado.
95115
Sadler, D. W. 1999.Wounds II. Lecture Notes. Department of Forensic
Medicine, University of Dundee.
Septiningsih, E. 2008. Efek Penyembuhan luka bakar ekstrak etanol 70% daun pepaya (Carica papaya) dalam
sediaan gel pada kulit punggung kelinci (New Zealand). Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah. Surakarta Shafie, F. M. 2011.”Hubungan Radikal
Bebas dan Antioksidan Terhadap
Penyakit Periodontal”. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatra Utara.
Simanjuntak, M.R. 2008. Ekstraksi dan Fraksinasi Komponen Ekstrak Daun Tumbuhan Senduduk (Melastoma
malabathricum) serta Pengujian Efek Sediaan Krim Terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Skripsi. Medan:
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara..
Singer, A.J. and Clark, R.A.F. 1999. Cutaneus Wound Healing. N England Medicine. 341 (10).
Suhirman, M. S., dkk. 2006. Teknik
Pembuatan Simplisia dan Ekstrak
Purwoceng. Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.
Suyoto A.W. 2012. Pembuatan dan analisis salep obat luka dari ekstrak pegagan (Centella asiatica L).
Rancangan Praktik kimia terpadu. Bogor: Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Industri.
Syamsuhidayat, R., dan Jong, W.D., 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah. Yogyakarta: EGC Press.
Taylor, W., Johnson, R. 2005. Skills for midwifery practice, terjemaham Samba, S. London: Churchill
Livingstone.
Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., Sandhu,
S.S. 2011. Practices in Wound Healing Studies of Plants. Review Article Evidence-Based Complementary
and
Alternative Medicine. p. 1-15.
The SEER Program of the National Cancer Institute (US. GOV). 2008. The SEER Training Modules: Anatomy
of the Skin. Online.
http://training.seer.cancer.gov/melanom a/anatomy/. Diakses 24 November 2013.
Tranggono, R.I., F. Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: Gramedia
Ueno, C., Hunt, T.K., Hopf, H.W. 2006. Using Physiology to Improve Surgical Wound Outcomes. Plastic
Reconstruction Surgery; 117 (supplement): 59S-71S.
Widodo, H. 2013. Ilmu Meracik Obat Untuk Apoteker. Yogyakarta: D-Medika.
Wijaya, R. A. Formulasi Krim Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Sebagai Alternatif Penyembuh Luka Bakar.
Skripsi. Semarang: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai