Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Mengapa pengikut Kartosoewirjo dan Yusuf Tauziri bisa terlibat baku tembak
walaupun Kartosoewirjo adalah murid mengaji Yusuf Tauziri?
Karena Kartosoewirjo dipaksa untuk menerima ajaran Yusuf Tauziri yang
sangat radikal dengan islam dan intoleran.
Pada teks tersebut, terdapat keterangan pada paragraf ketiga yang menjawab
pertanyaan tersebut, yaitu karena anak buah Yusuf Tauziri menolak Darul
Islam yang dicetuskan Kartosoewirjo. Oleh karena itu, jawabannya adalah D.
Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Baku tembak yang terjadi di medan perang antara pengikut Kartosoewirjo dan
Yusuf Tauziri disebabkan oleh adanya ketidaksetujuan pengikut Yusuf Tauziri
terhadap proklamasi Darul Islam.
Pernyataan yang tidak sesuai dengan teks tersebut terdapat pada pilihan E,
yaitu di bagian “ramalan Brawijaya” yang seharusnya ramalan Joyoboyo.
Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Ima Mahdiah, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti.
Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.
Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Pertanyaan pada pilihan A bisa dijawab oleh teks tersebut, yaitu karena dia
masih mempercayai unsur kejawaan yang berbeda dengan Islam seperti
pada paragraf ke-4 dan ke-6. Selain itu, ayahnya yang merupakan seorang
candu Belanda menyebabkan Kartosoewirjo tidak mengikuti Islam secara
penuh dari lahir.
Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.
Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa dengan cara pati
geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40 hari di gua Walet,
di sekitar Gunung Kidul.
Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada keris Ki
Dongkol dan pedang Ki Rompang.
Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun 1936 dari seorang
tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk.
KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggiran celana pria kelahiran Cepu,
Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia
membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada
keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah
dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 4 Juni 1962.
Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.
Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Pilihan B merupakan pilihan yang paling tepat karena sesuai dengan kisah
Kartosoewirjo dan kedua benda pusaka, yaitu Kartosoewirjo mempercayai
akan memperoleh kemenangan jika menggunakan benda mistis (keris Ki
Dongkol dan pedang Ki Rompang). Terlebih, terkadang hal tersebut dianggap
tidak rasional oleh beberapa orang karena sangat kecil kemungkinan keris
dan pedang bisa menang melawan senapan.
Pilihan D kurang tepat karena tidak ada korelasi dengan penjelasan teks.
Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.
Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Anaknya.
Pembantunya.
Sahabatnya.
Ayahnya.
Budaknya.
Jawaban: B. Pembantunya.
Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.
Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Karena dia menghargai pemberian kedua benda pusaka tersebut dari orang
yang terpandang, yaitu Eyang Sinunuk.
Karena dia percaya bahwa kedua benda pusaka tersebut dapat membuat dia
memperoleh kemenangan saat berjuang.Karena dia percaya bahwa kedua
benda pusaka tersebut dapat membuat dia memperoleh kemenangan saat
berjuang.
Karena kedua benda pusaka tersebut memiliki daya mistis Jawa yang sangat
kental sehingga menambah kepercayaan dirinya.
Jawaban: C. Karena dia percaya bahwa kedua benda pusaka tersebut dapat
membuat dia memperoleh kemenangan saat berjuang.
Pilihan A masih kurang tepat untuk dijadikan jawaban karena hanya terbatas
pada latar belakangnya sebagai Islam-Jawa sehingga bukan menjadi alasan
utama dia membawa kedua benda pusaka tersebut.
Pilihan D belum tepat karena adalah hasil dari apa yang dia percaya. Dia
percaya bahwa kedua benda pusaka tersebut dapat membantu dirinya
menang perang yang akhirnya menyebabkan kedua benda pusaka tersebut
menjadi senjata andalannya.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan
tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut,
untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat
membekas di hati dia.
Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada tahun 1928, muncullah seorang
pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang
juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan
sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agus Salim ke
Belanda. Agus Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat
Islam Indonesia di Garut.
Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak
mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-
masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,”
kata Dewi pada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta,
“Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 12; 13; 14; 15-16). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Kata berikut yang memiliki arti yang sama dengan mekar mewangi pada
paragraf keempat adalah ....
remaja
terkenal
aktif
Jawaban: C. remaja
Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa kata “mekar mewangi” pada teks
tersebut memiliki arti yang sama dengan remaja: ‘mulai dewasa’; ‘sudah
sampai umur kawin’.
Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah,
ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di
pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya
dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan
tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut,
untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat
membekas di hati dia.
Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak
mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-
masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,”
kata Dewi pada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta,
“Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 12; 13; 14; 15-16). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
anak bangsawan
Paragraf kedua teks tersebut terdapat kalimat: “Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu.” dan
kalimat paragraf ketiga: “Umumnya yang bersekolah di HIS anak bangsawan,
tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.”. Berdasarkan informasi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Dewi adalah seorang anak dari anak bangsawan
atau ningrat sehingga bisa bersekolah di HIS.
Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah,
ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di
pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya
dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan
tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut,
untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat
membekas di hati dia.
Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada tahun 1928, muncullah seorang
pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang
juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan
sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agus Salim ke
Belanda. Agus Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat
Islam Indonesia di Garut.
Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak
mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-
masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,”
kata Dewi pada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta,
“Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.
Referensi:
Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 12; 13; 14; 15-16). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malang. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malang ketika itu. Dewi sangat
dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan bersama
ibunya belasan kilometer untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda
pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) Met de
Quran Muhammadiyah Malang yang menggunakan bahasa Belanda sebagai
pengantar. Ketika masa remaja Dewi pada tahun 1928, muncullah seorang
pemuda di rumahnya yang pintar berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi.
Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak
pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan
alasannya karena tidak tahu. Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu
berpindah-pindah ikut suami. Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya
meninggal. Tiga anak terakhir lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir
di rumah.
Lahir pada 1913, Devi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Devi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Devi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Devi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Devi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Devi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Devi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Devi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Devi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Dewi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Dewi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Dewi melahirkan 10 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Jawaban: D. Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia
85 tahun. Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri
Ajengan Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu.
Dewi sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Dewi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Untuk menentukan rangkuman yang baik dan benar, setiap unsur dalam teks
harus dibuat secara singkat, padat, dan jelas. Namun, rangkuman harus tetap
sesuai dengan teks sehingga harus memperhatikan unsur sekecil apapun
agar tidak terjadi kesalahan.
is crystallineis crystalline
is a sedimentary rock
pieces
layers
parts
distances
places
“Two such sites are the giant Valles Caldera in New Mexico, where the
obsidian flows …”
Untuk menjawab soal ini, kita juga perlu memahami konteks kalimat
sebelumnya.
It can be inferred from the passage that obsidian would least likely have been
used to make ….
a spear
an arrowhead
a ring
a belt
a dagger
Jangan terkecoh! Yang diminta oleh soal ini adalah barang yang paling tidak
mungkin (least likely) dibuat dari obsidian.
Dari kalimat ini, dapat diketahui bahwa obsidian dapat digunakan untuk
membuat senjata berburu seperti tombak (spear), mata panah (arrowhead),
atau belati (dagger) sehingga opsi A, B, dan E kurang tepat.
The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.
In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.
Bernard’s Star
Planetary Movement
In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.
According to the passage, the distances between the stars and Earth are ….
barely perceptible
negligible
fixed
moderate
huge
Jawaban untuk soal ini terdapat pada kalimat pertama paragraf kedua yang
secara implisit menyebutkan jarak antara bintang dengan bumi:
Kata yang digunakan untuk menerangkan jarak antara bintang dengan bumi
adalah tremendous, yang berarti sangat besar, atau huge. Jawabannya
adalah E.
The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.
In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.
The passage implies that from Earth it appears that the planets ….
travel through the sky considerably more rapidly than the stars
are not visible to the naked eyeare not visible to the naked eye
Jawaban pada soal ini dinyatakan secara implisit pada kalimat terakhir teks.
When the apparently negligible movement of the stars is contrasted with the
movement of the planets, the stars are seemingly unmoving.
Kalimat ini menyebutkan bahwa ketika dilihat dari Bumi, pergerakan bintang
kontras dengan pergerakan planet. Bintang-bintang terlihat seperti tidak
bergerak, dikarenakan planet-planet terlihat bergerak lebih cepat.
Jawabannya adalah D.
The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.
In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.
The large distances between stars and the earth tend to magnify movement to
the eye.
In 200 years, Bernard’s star can move a distance seemingly equal to the
diameter of the Moon.
Opsi B merupakan pernyataan yang kurang tepat, karena jarak yang besar
antara bumi dengan bintang-bintang justru memperkecil pergerakan yang
terlihat, bukan memperbesar (magnify). Jawabannya adalah B.
The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.
In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.
Paragraf satu dengan yang lain pasti memiliki hubungan. Untuk menentukan
topik paragraf selanjutnya, kita perlu melihat akhir dari teks tersebut dan
menentukan kira-kira topik apa yang selanjutnya akan dibahas. Kalimat
terakhir dari paragraf terakhir adalah
“When the apparently negligible movement of the stars is contrasted with the
movement of the planets, the stars are seemingly unmoving.”
p.s. Paragraf aja punya hubungan, kamu sama doi gimana hubungannya?ups
Yuk Daftar Tryout Selanjutnya!
Stay tune di instagram kita @edukasystem!