Anda di halaman 1dari 27

KENDATI

dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa


Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”.
Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu – pangkat yang cukup
tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan
pasangan yang padan.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur


berbahasa Belanda, dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Ketika tinggal di
Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah
ajaran, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa
Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra
belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan
menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya


bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi
Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartoseowirjo di medan
tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat


bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang
jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di
hutan.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Mengapa pengikut Kartosoewirjo dan Yusuf Tauziri bisa terlibat baku tembak
walaupun Kartosoewirjo adalah murid mengaji Yusuf Tauziri?


Karena Kartosoewirjo dipaksa untuk menerima ajaran Yusuf Tauziri yang
sangat radikal dengan islam dan intoleran.

Karena pengikut Yusuf Tauziri sangat membenci pengikut Kartosoewirjo yang


mulai melenceng dari Islam karena tetap menjalankan tradisi Jawa.

Karena pemberontakan yang dicetuskan Kartosoewirjo bersifat politis dan


menggunakan Islam sebagai penarik massa.

Karena adanya penolakan terhadap proklamasi Darul Islam yang dicetuskan


Kartosoewirjo.

Karena Yusuf Tauziri sangat membenci Kartosoewirjo.

Jawaban: D. Karena adanya penolakan terhadap proklamasi Darul Islam


yang dicetuskan Kartosoewirjo.

Pada teks tersebut, terdapat keterangan pada paragraf ketiga yang menjawab
pertanyaan tersebut, yaitu karena anak buah Yusuf Tauziri menolak Darul
Islam yang dicetuskan Kartosoewirjo. Oleh karena itu, jawabannya adalah D.

KENDATI dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa


Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”.
Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu – pangkat yang cukup
tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan
pasangan yang padan.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur


berbahasa Belanda, dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Ketika tinggal di
Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah
ajaran, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa
Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra
belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan
menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya


bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi
Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartoseowirjo di medan
tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat


bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang
jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di
hutan.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Pernyataan berikut sesuai dengan isi teks, kecuali ....

Dengan latar belakang yang Islam-Jawa, Kartosoewirjo tetap menjalankan


agama Islam sekaligus melaksanakan tradisi Jawa. Salah satu tradisi Jawa
yang dijalankan adalah Tapa Geni.

Karena ayahnya adalah seorang Candu, Kartosoewirjo akhirnya menggali


pengetahuan Islam praktis secara otodidak, yaitu dengan cara literatur
bahasa Belanda dan bertemu dengan sejumlah kiai.

Baku tembak yang terjadi di medan perang antara pengikut Kartosoewirjo dan
Yusuf Tauziri disebabkan oleh adanya ketidaksetujuan pengikut Yusuf Tauziri
terhadap proklamasi Darul Islam.

Masyarakat Jawa Barat percaya bahwa siapapun yang dapat menyatukan


dua senjata pusaka, yaitu keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang dapat
menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang.

Masyarakat Jawa Barat percaya bahwa siapapun yang dapat menyatukan


dua senjata pusaka, yaitu keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang dapat
menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang.

Kartosoewirjo mendapatkan julukan yang sesuai dengan ramalan Brawijaya:


Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti sesuai dalam
buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga.
Jawaban: E. Kartosoewirjo mendapatkan julukan yang sesuai dengan
ramalan Brawijaya: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija
Sakti sesuai dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia
jilid ketiga.

Pernyataan yang tidak sesuai dengan teks tersebut terdapat pada pilihan E,
yaitu di bagian “ramalan Brawijaya” yang seharusnya ramalan Joyoboyo.

KENDATI dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa


Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”.
Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu – pangkat yang cukup
tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan
pasangan yang padan.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur


berbahasa Belanda, dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Ketika tinggal di
Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah
ajaran, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa
Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra
belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan
menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya


bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi
Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartoseowirjo di medan
tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat


bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang
jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di
hutan.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Kalimat berikut yang sesuai dengan teks adalah ....


Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Wates, Yogyakarta.

KENDATI dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa


Tengah, 7 Januari 1970, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat


bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang
jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Rompang dan pedang Ki
Dongkol.Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa
Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang
perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Rompang dan
pedang Ki Dongkol.

Ketika tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari


Islam dari sejumlah ajaran, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari
Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari
Wanareja.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Ima Mahdiah, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti.

Ketika tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari


Islam dari sejumlah ajaran, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari
Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari
Wanareja.

Untuk menjawab soal tersebut, harus memperhatikan kalimat secara


mendetail. Pilihan D merupakan pilihan yang tepat karena kalimatnya sesuai
dengan teks.

Pilihan A kurang tepat karena “Gua Wates”, seharusnya Gua Walet.

Pilihan B kurang tepat karena “7 Januari 1970”, seharusnya 7 Januari 1907.

Pilihan C kurang tepat karena “keris Ki Rompang dan pedang Ki Dongkol”,


seharusnya keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang.

Pilihan E kurang tepat karena “Ima Mahdiah”, seharusnya Imam Mahdi.


KENDATI dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa
Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu “islami”.
Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu – pangkat yang cukup
tinggi untuk seorang “inlander” di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan
pasangan yang padan.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur


berbahasa Belanda, dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Ketika tinggal di
Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah
ajaran, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa
Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra
belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan
menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya


bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi
Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartoseowirjo di medan
tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal yang ajaib jika
muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan
tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Yogyakarta. Dia meyakinkan
pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh
wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga,
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo,
raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang
pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat


bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang
jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di
hutan.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 1; 3-5). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Pertanyaan berikut yang bisa dijawab oleh teks adalah ....

Mengapa Kartosoewirjo sebenarnya tidak terlalu “islami”?

Mengapa Kartosoewirjo memilih jalur Darul Islam?

Mengapa Kartosoewirjo lahir di Cepu?


Mengapa Kartosoewirjo memberontak di Jawa Barat?

Mengapa Kartosoewirjo bisa mendapatkan banyak julukan yang sesuai


ramalan Joyoboyo?

Jawaban: A. Mengapa Kartosoewirjo sebenarnya tidak terlalu “islami”?

Pertanyaan pada pilihan A bisa dijawab oleh teks tersebut, yaitu karena dia
masih mempercayai unsur kejawaan yang berbeda dengan Islam seperti
pada paragraf ke-4 dan ke-6. Selain itu, ayahnya yang merupakan seorang
candu Belanda menyebabkan Kartosoewirjo tidak mengikuti Islam secara
penuh dari lahir.

KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan


Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggiran celana pria kelahiran Cepu,
Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia
membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada
keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah
dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 4 Juni 1962.

Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.

Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan


Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo
dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur
Jawa tradisional. Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa
dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40
hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, salah satu bekas panglima


kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam
masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka
itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua
pusaka itu tak pernah terlepas dari badan Kartosoewirjo. “Hanya kadang-
kadang saja dititipkan kepada orang kepercayaan yang bernama Raspati,”
katanya.

Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.


Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Kalimat berikut sesuai dengan teks, kecuali ....

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, salah satu bekas panglima


kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam
masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka
itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan.

Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa dengan cara pati
geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40 hari di gua Walet,
di sekitar Gunung Kidul.

Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada keris Ki
Dongkol dan pedang Ki Rompang.

Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua pusaka


tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang diselenggarakan
Kodam IV Sumedang pada pekan industri di Bandung, Agustus-September
1962.

Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun 1936 dari seorang
tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk.

Jawaban: D. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua


pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam IV Sumedang pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962.

Untuk menjawab soal tersebut, harus memperhatikan kalimat secara


mendetail. Pilihan D merupakan pilihan yang tepat karena kalimatnya tidak
sesuai dengan teks. Pada pilihan tersebut, “... Kodam IV Sumedang ...” kurang
tepat karena seharusnya ... Kodam VI Siliwangi ....


KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggiran celana pria kelahiran Cepu,
Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia
membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada
keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah
dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 4 Juni 1962.

Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.

Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan


Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo
dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur
Jawa tradisional. Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa
dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40
hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, salah satu bekas panglima


kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam
masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka
itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua
pusaka itu tak pernah terlepas dari badan Kartosoewirjo. “Hanya kadang-
kadang saja dititipkan kepada orang kepercayaan yang bernama Raspati,”
katanya.

Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Simpulan yang tepat berdasarkan teks tersebut adalah ....

Keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang yang digunakan Kartsoewirjo


adalah tiruan.

Benda mistis dapat membuat seseorang mempercayai sesuatu yang


terkadang dianggap tidak rasional.
Jika Sekarmadji tidak mengembalikan kedua benda pusaka tersebut kepada
empunya, sang empunya akan mengutuk Sekarmadji.

Jika Sekarmadji lebih mementingkan Islam daripada kejawaannya, pasti dia


akan menang perang.

Sekarmadji selalu membaca kedua benda pusaka tersebut saat bergerilya.

Jawaban: B. Benda mistis dapat membuat seseorang mempercayai sesuatu


yang mungkin tidak rasional.

Dalam membuat kesimpulan, yang harus diperhatikan adalah pendekatan:

· “apakah itu mungkin terjadi?”, atau

· “apakah itu sesuai dengan yang disampaikan?”.

Pilihan B merupakan pilihan yang paling tepat karena sesuai dengan kisah
Kartosoewirjo dan kedua benda pusaka, yaitu Kartosoewirjo mempercayai
akan memperoleh kemenangan jika menggunakan benda mistis (keris Ki
Dongkol dan pedang Ki Rompang). Terlebih, terkadang hal tersebut dianggap
tidak rasional oleh beberapa orang karena sangat kecil kemungkinan keris
dan pedang bisa menang melawan senapan.

Pilihan A kurang tepat karena kemungkinannya kecil mengingat benda


tersebut adalah benda sakral sehingga orang-orang tidak berani dan tidak
diizinkan untuk mereplika benda tersebut.

Pilihan C kurang tepat karena kemungkinan belum tentu terjadinya besar


berhubung tidak adanya penjelasan dalam teks yang berhubungan dengan
pilihan C.

Pilihan D kurang tepat karena tidak ada korelasi dengan penjelasan teks.

Pilihan E kurang tepat karena bukan kesimpulan.

KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan


Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggiran celana pria kelahiran Cepu,
Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia
membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada
keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah
dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 4 Juni 1962.

Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.

Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan


Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo
dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur
Jawa tradisional. Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa
dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40
hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, salah satu bekas panglima


kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam
masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka
itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua
pusaka itu tak pernah terlepas dari badan Kartosoewirjo. “Hanya kadang-
kadang saja dititipkan kepada orang kepercayaan yang bernama Raspati,”
katanya.

Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Berdasarkan teks tersebut, siapakah Bajuri?

Anaknya.

Pembantunya.

Sahabatnya.

Ayahnya.

Budaknya.
Jawaban: B. Pembantunya.

Bajuri adalah pembantu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang membantu


membawakan keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang saat bergerilya.
Penjelasan siapakah Bajuri terdapat pada paragraf pertama teks tersebut.

KEDUA pusaka itu selalu menyertai ke mana pun Sekarmadji Maridjan


Kartosoewirjo pergi. Jika tak terselip di pinggiran celana pria kelahiran Cepu,
Jawa Tengah, 7 Januari 1907 tersebut, Bajuri, pembantunya, selalu setia
membawa. Di mana ada Kartosoewirjo, di situ ada Bajuri dan di situ pula ada
keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu baru terpisah
dari si empunya saat Kartosoewirjo ditangkap pada 4 Juni 1962.

Saat ditangkap, pemimpin Darul Islam ini menyerahkan kembali keris dan
pedang itu kepada keluarga yang memang seharusnya memegang secara
turun-temurun. Kedua pusaka tersebut didapat Kartosoewirjo sekitar tahun
1936 dari seorang tokoh Garut bernama Eyang Sinunuk. Eyang melihat sosok
Kartosoewirjo sebagai pribadi penuh kredibilitas. “Kedua pusaka itu
diserahkan kepada Ibrahim Adji. Kebetulan Eyang Sinunuk adalah leluhur
Pangdam Siliwangi Ibrahim Adji,” kata Sardjono Kartosoewirjo.

Peran keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang selama perjuangan


Kartosoewirjo memimpin pemberontakan DI/TII sangat diakui. Kartosoewirjo
dikenal sebagai orang yang fanatik terhadap Islam tapi kental dengan unsur
Jawa tradisional. Sebagaimana orang Jawa, ia pun gemar melakukan tapa
dengan cara pati geni (tidak makan, tidak tidur, dan tidak minum) selama 40
hari di gua Walet, di sekitar Gunung Kidul.

Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, salah satu bekas panglima


kelompok Kartosoewirjo mengatakan terdapat kepercayaan mistis dalam
masyarakat Jawa Barat bahwa orang yang dapat menyatukan kedua pusaka
itu akan memiliki kemenangan dalam perjuangan. Ia mengatakan kedua
pusaka itu tak pernah terlepas dari badan Kartosoewirjo. “Hanya kadang-
kadang saja dititipkan kepada orang kepercayaan yang bernama Raspati,”
katanya.

Alhasil, kedua pusaka tersebut menjadi daya tarik mistis tersendiri kaum Islam
tradisional. Tingginya kepercayaan itu terlihat saat dipamerkannya kedua
pusaka tersebut di pameran Usaha Pemulihan Keamanan yang
diselenggarakan Kodam VI Siliwangi pada pekan industri di Bandung,
Agustus-September 1962. Hampir semua pengunjung yang datang ke
pameran itu hanya ingin melihat bentuk keris Ki Dongkol dan pedang Ki
Rompang.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 62-63). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

Mengapa Kartosoewirjo selalu membawa kedua benda pusaka ke mana pun


ia pergi?
Karena dia adalah seorang Islam-Jawa.

Karena dia menghargai pemberian kedua benda pusaka tersebut dari orang
yang terpandang, yaitu Eyang Sinunuk.

Karena dia percaya bahwa kedua benda pusaka tersebut dapat membuat dia
memperoleh kemenangan saat berjuang.Karena dia percaya bahwa kedua
benda pusaka tersebut dapat membuat dia memperoleh kemenangan saat
berjuang.

Karena kedua benda pusaka tersebut adalah senjata andalan Sekarmadji


saat bergerilya.

Karena kedua benda pusaka tersebut memiliki daya mistis Jawa yang sangat
kental sehingga menambah kepercayaan dirinya.

Jawaban: C. Karena dia percaya bahwa kedua benda pusaka tersebut dapat
membuat dia memperoleh kemenangan saat berjuang.

Pada teks tersebut, hanya dijelaskan bagaimana kisah Kartosoewirjo dengan


kedua benda pusaka tersebut. Oleh karena itu, untuk menjawab soal ini,
harus mencari kesimpulan yang paling sesuai. Pilihan C merupakan pilihan
yang paling mendekati karena jika dia mempercayai hal mistis tersebut, dia
pastinya akan selalu membawa kedua benda pusaka tersebut saat bergerilya
dengan harapan memperoleh kemenangan.

Pilihan A masih kurang tepat untuk dijadikan jawaban karena hanya terbatas
pada latar belakangnya sebagai Islam-Jawa sehingga bukan menjadi alasan
utama dia membawa kedua benda pusaka tersebut.

Pilihan B juga belum tepat karena tidak disebutkan dalam teks.

Pilihan D belum tepat karena adalah hasil dari apa yang dia percaya. Dia
percaya bahwa kedua benda pusaka tersebut dapat membantu dirinya
menang perang yang akhirnya menyebabkan kedua benda pusaka tersebut
menjadi senjata andalannya.

Pilihan E mendekati jawaban, namun masih kurang tepat karena pilihan E


memfokuskan kepada kedua benda pusaka yang membuat Kartosoewirjo
percaya diri sehingga sama seperti pilihan D, itu adalah hasil dari apa yang
Kartosoewirjo percaya.
Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah,
ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di
pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya
dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan
tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut,
untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat
membekas di hati dia.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) Met de Quran


Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914,
seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajahan Belanda
kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini
menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche
School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di
HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.

Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada tahun 1928, muncullah seorang
pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang
juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan
sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agus Salim ke
Belanda. Agus Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat
Islam Indonesia di Garut.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak
mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-
masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,”
kata Dewi pada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta,
“Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.

Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.


Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah
kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan
dengan rumah tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke
Malangbong. “Saya juga pulang kampung kalau mau melahirkan,” kata Dewi.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 12; 13; 14; 15-16). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.

Kata berikut yang memiliki arti yang sama dengan mekar mewangi pada
paragraf keempat adalah ....

menjadi kembang desa


pubertas

remaja

terkenal

aktif

Jawaban: C. remaja

“Mekar mewangi” sebenarnya tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa


Indonesia (mungkin digunakan oleh beberapa orang tertentu). Namun, jika
membaca teks secara seksama dan melihat keterangan pada teks berupa
usia Dewi (1928-1913= kurang lebih 15 tahun), ungkapan dalam teks tersebut
digunakan untuk mendeskripsikan ‘anak yang mulai memasuki usia mapan’
atau ‘mulai dewasa’. Karena sama seperti bunga yang baru mekar dan
menyebarkan wangi, anak yang mulai dewasa juga baru melepaskan diri dari
“cangkang” lamanya dan mulai mengeksplorasi diri.

Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa kata “mekar mewangi” pada teks
tersebut memiliki arti yang sama dengan remaja: ‘mulai dewasa’; ‘sudah
sampai umur kawin’.

Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah,
ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di
pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya
dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan
tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut,
untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat
membekas di hati dia.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) Met de Quran


Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914,
seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajahan Belanda
kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini
menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche
School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di
HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.
Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada tahun 1928, muncullah seorang
pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang
juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan
sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agus Salim ke
Belanda. Agus Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat
Islam Indonesia di Garut.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak
mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-
masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,”
kata Dewi pada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta,
“Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.

Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.


Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah
kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan
dengan rumah tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke
Malangbong. “Saya juga pulang kampung kalau mau melahirkan,” kata Dewi.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 12; 13; 14; 15-16). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.

Berdasarkan teks tersebut, dapat disimpulkan bahwa Dewi dapat belajar di


HIS karena dia adalah seorang ....

anak tokoh terkemuka

anak pegawai negeri

anak bangsawan

istri S.M. Kartosoewirjo

anak tokoh nasional

Jawaban: C. anak bangsawan


Paragraf kedua teks tersebut terdapat kalimat: “Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu.” dan
kalimat paragraf ketiga: “Umumnya yang bersekolah di HIS anak bangsawan,
tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.”. Berdasarkan informasi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa Dewi adalah seorang anak dari anak bangsawan
atau ningrat sehingga bisa bersekolah di HIS.

Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah,
ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di
pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. “Bapak ingin jenazahnya
dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan
tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut,
untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat
membekas di hati dia.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) Met de Quran


Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914,
seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajahan Belanda
kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini
menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche
School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di
HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.

Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada tahun 1928, muncullah seorang
pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang
juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan
sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agus Salim ke
Belanda. Agus Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat
Islam Indonesia di Garut.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak
mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-
masuk hutan bersama suaminya. “Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu,”
kata Dewi pada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta,
“Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” kata Dewi.

Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.


Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah
kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan
dengan rumah tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke
Malangbong. “Saya juga pulang kampung kalau mau melahirkan,” kata Dewi.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Referensi:

Tempo. 2016. Kartosoewirjo: Mimpi Negara Islam (hlm. 12; 13; 14; 15-16). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.

Rangkuman yang sesuai dengan teks tersebut adalah ....


Lahir pada 1912, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 86 tahun.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 9 tahun. Dewi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Dewi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malang. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malang ketika itu. Dewi sangat
dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan bersama
ibunya belasan kilometer untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda
pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) Met de
Quran Muhammadiyah Malang yang menggunakan bahasa Belanda sebagai
pengantar. Ketika masa remaja Dewi pada tahun 1928, muncullah seorang
pemuda di rumahnya yang pintar berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi.
Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak
pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan
alasannya karena tidak tahu. Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu
berpindah-pindah ikut suami. Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya
meninggal. Tiga anak terakhir lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir
di rumah.

Lahir pada 1913, Devi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Devi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Devi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Devi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Devi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Devi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Devi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Devi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Devi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Dewi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia 85 tahun.
Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Dewi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Dewi melahirkan 10 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Jawaban: D. Lahir pada 1913, Dewi Siti Kalsum wafat tahun 1998 dalam usia
85 tahun. Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri
Ajengan Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu.
Dewi sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya, dia berjalan
bersama ibunya belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok
ayahnya yang ditahan Belanda pada usia 8 tahun. Dewi lulusan Hollandsch
Inlandsche School (HIS) Met de Quran Muhammadiyah Garut yang
menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar. Ketika masa remaja Dewi
pada tahun 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya yang pintar
berbicara dan penuh daya tarik bagi Dewi. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut
bergerilya, namun dia tak mampu menjelaskan alasannya karena tidak tahu.
Sebagai seorang istri pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami.
Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir
lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.

Untuk menentukan rangkuman yang baik dan benar, setiap unsur dalam teks
harus dibuat secara singkat, padat, dan jelas. Namun, rangkuman harus tetap
sesuai dengan teks sehingga harus memperhatikan unsur sekecil apapun
agar tidak terjadi kesalahan.

Pilihan A kurang tepat karena “1912” yang seharusnya 1913.


Pilihan B kurang tepat karena “Malang” yang seharusnya Malangbong.

Pilihan C kurang tepat karena “Devi” yang seharusnya Dewi.

Pilihan E kurang tepat karena “10 anak” yang seharusnya 12 anak.

Obsidian is a distinctive type of igneous rock that forms as a result of the


melting of deep crustal granite rocks into magma. Because of the speed at
which the magma cools, crystallization does not occur, and a solid, shiny,
volcanic, glass-like rock results. Most commonly a solid, shiny black in color,
obsidian can also take on a golden or silvery sheen or be striped in a rainbow
of hues.

Obsidian is generally found in small outcrops, though large masses of it can


be found in a few notable locations. Two such sites are the giant Valles
Caldera in New Mexico, where the obsidian flows are hundreds of feet thick,
and the Glass Buttes in Oregon, which are composed entirely of obsidian.

Because of its properties, obsidian was prized in many ancient cultures.


Obsidian is easily worked into shapes with razor-sharp edges even sharper
than edges formed from flint and was thus used in the production of simple
hunting weapons. It can also be polished to an extremely high luster and was
thus held in a high regard in a number of cultures as a semiprecious stone in
jewelry and other embellishments.

Based on the information provided in the passage, obsidian ….

results from rapidly cooling magma

is crystallineis crystalline

is a sedimentary rock

has a dull finish

has a rough surfacehas a rough surface

Obsidian is a distinctive type of igneous rock that forms as a result of the


melting of deep crustal granite rocks into magma. Because of the speed at
which the magma cools, crystallization does not occur, and a solid, shiny,
volcanic, glass-like rock results. (Paragraf 1)
Dari potongan paragraf di atas, dapat kita ketahui bahwa obsidian berbentuk
batuan beku (igneous rock) bukan batuan sedimen (sedimentary rock),
sehingga opsi C kurang tepat; terbentuk dari magma yang mendingin secara
cepat (opsi A); tidak terjadi kristalisasi, sehingga obsidian tidak berbentuk
kristal (crystalline), maka opsi B kurang tepat; berkilau (shiny), berarti tidak
kusam (dull), sehingga opsi D juga kurang tepat. Teks tidak menjelaskan
keadaan permukaan obsidian baik kasar atau tidak, sehingga opsi E kurang
tepat. Jawabannya adalah A.

Obsidian is a distinctive type of igneous rock that forms as a result of the


melting of deep crustal granite rocks into magma. Because of the speed at
which the magma cools, crystallization does not occur, and a solid, shiny,
volcanic, glass-like rock results. Most commonly a solid, shiny black in color,
obsidian can also take on a golden or silvery sheen or be striped in a rainbow
of hues.

Obsidian is generally found in small outcrops, though large masses of it can


be found in a few notable locations. Two such sites are the giant Valles
Caldera in New Mexico, where the obsidian flows are hundreds of feet thick,
and the Glass Buttes in Oregon, which are composed entirely of obsidian.

Because of its properties, obsidian was prized in many ancient cultures.


Obsidian is easily worked into shapes with razor-sharp edges even sharper
than edges formed from flint and was thus used in the production of simple
hunting weapons. It can also be polished to an extremely high luster and was
thus held in a high regard in a number of cultures as a semiprecious stone in
jewelry and other embellishments.

The word “sites” in paragraph 2 is closest in meaning to ….

pieces

layers

parts

distances

places

Kata sites terdapat pada paragraf kedua:

“Two such sites are the giant Valles Caldera in New Mexico, where the
obsidian flows …”
Untuk menjawab soal ini, kita juga perlu memahami konteks kalimat
sebelumnya.

Kalimat pertama paragraf kedua menyebutkan a few notable locations dan


two such sites di kalimat kedua. Dari konteks tersebut, kita dapat mengetahui
yang dimaksud sites disini adalah location, atau place (tempat).

Obsidian is a distinctive type of igneous rock that forms as a result of the


melting of deep crustal granite rocks into magma. Because of the speed at
which the magma cools, crystallization does not occur, and a solid, shiny,
volcanic, glass-like rock results. Most commonly a solid, shiny black in color,
obsidian can also take on a golden or silvery sheen or be striped in a rainbow
of hues.

Obsidian is generally found in small outcrops, though large masses of it can


be found in a few notable locations. Two such sites are the giant Valles
Caldera in New Mexico, where the obsidian flows are hundreds of feet thick,
and the Glass Buttes in Oregon, which are composed entirely of obsidian.

Because of its properties, obsidian was prized in many ancient cultures.


Obsidian is easily worked into shapes with razor-sharp edges even sharper
than edges formed from flint and was thus used in the production of simple
hunting weapons. It can also be polished to an extremely high luster and was
thus held in a high regard in a number of cultures as a semiprecious stone in
jewelry and other embellishments.

It can be inferred from the passage that obsidian would least likely have been
used to make ….

a spear

an arrowhead

a ring

a belt

a dagger

Jangan terkecoh! Yang diminta oleh soal ini adalah barang yang paling tidak
mungkin (least likely) dibuat dari obsidian.

Pada paragraf ketiga, terdapat kalimat


“Obsidian was … used in the production of simple hunting weapons.”

Dari kalimat ini, dapat diketahui bahwa obsidian dapat digunakan untuk
membuat senjata berburu seperti tombak (spear), mata panah (arrowhead),
atau belati (dagger) sehingga opsi A, B, dan E kurang tepat.

Selain itu, pada kalimat terakhir paragraf disebutkan

“It was … held in a high regard in a number of cultures as a semiprecious


stone in jewelry.”

Sehingga obsidian dapat pula digunakan untuk membuat perhiasan seperti


cincin (ring), sehingga opsi C kurang tepat.

Jawabannya adalah D. a belt (ikat pinggang) karena tidak termasuk ke


senjata berburu maupun perhiasan.

The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.

In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.

Which of the following is the best title for this passage?

What the Eye Can See in the Sky

Bernard’s Star

Planetary Movement

The Evermoving Stars

Immovable Stars in the Sky

Keseluruhan teks ini membahas tentang bintang-bintang yang selalu


bergerak, meskipun dari bumi terlihat diam. Jawabannya adalah D.
The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.

In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.

According to the passage, the distances between the stars and Earth are ….

barely perceptible

negligible

fixed

moderate

huge

Jawaban untuk soal ini terdapat pada kalimat pertama paragraf kedua yang
secara implisit menyebutkan jarak antara bintang dengan bumi:

“… because of the tremendous distances between stars themselves and from


stars to Earth, …”

Kata yang digunakan untuk menerangkan jarak antara bintang dengan bumi
adalah tremendous, yang berarti sangat besar, atau huge. Jawabannya
adalah E.

The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.
In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.

The passage implies that from Earth it appears that the planets ….

are fixed in the sky

move more slowly than the stars

show approximately the same amount of movement as the stars

travel through the sky considerably more rapidly than the stars

are not visible to the naked eyeare not visible to the naked eye

Jangan terkecoh! Yang diminta oleh soal adalah bagaimana penampakan


planet apabila dilihat dari bumi.

Jawaban pada soal ini dinyatakan secara implisit pada kalimat terakhir teks.

When the apparently negligible movement of the stars is contrasted with the
movement of the planets, the stars are seemingly unmoving.

Kalimat ini menyebutkan bahwa ketika dilihat dari Bumi, pergerakan bintang
kontras dengan pergerakan planet. Bintang-bintang terlihat seperti tidak
bergerak, dikarenakan planet-planet terlihat bergerak lebih cepat.
Jawabannya adalah D.

The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.

In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.

Which of the following is NOT true according to the passage?

Stars do not appear to the eye to move.

The large distances between stars and the earth tend to magnify movement to
the eye.

Bernard’s star moves quickly in comparison with other stars.

Although stars move, they seem to be fixed.

In 200 years, Bernard’s star can move a distance seemingly equal to the
diameter of the Moon.

Opsi B merupakan pernyataan yang kurang tepat, karena jarak yang besar
antara bumi dengan bintang-bintang justru memperkecil pergerakan yang
terlihat, bukan memperbesar (magnify). Jawabannya adalah B.

The locations of stars in the sky relative to one another do not appear to the
naked eye to change, and as a result stars are often considered to be fixed in
position. Many unaware stargazers falsely assume that each star has its own
permanent home in the nighttime sky.

In reality, though, stars are always moving, but because of the tremendous
distances between stars themselves and from stars to Earth, the changes are
barely perceptible here. An example of a rather fast-moving star demonstrates
why this misconception prevails; it takes approximately 200 years for a
relatively rapid star like Bernard’s star to move a distance in the skies equal to
the diameter of the earth’s moon. When the apparently negligible movement of
the stars is contrasted with the movement of the planets, the stars are
seemingly unmoving.

The paragraph following the passage most probably discusses ….

the movement of the planets


Bernard’s star

the distance from Earth to the Moon

why stars are always moving

the fault in our stars

Paragraf satu dengan yang lain pasti memiliki hubungan. Untuk menentukan
topik paragraf selanjutnya, kita perlu melihat akhir dari teks tersebut dan
menentukan kira-kira topik apa yang selanjutnya akan dibahas. Kalimat
terakhir dari paragraf terakhir adalah

“When the apparently negligible movement of the stars is contrasted with the
movement of the planets, the stars are seemingly unmoving.”

Kalimat di atas menyebutkan the movement of the planets, sehingga


kemungkinan besar paragraf selanjutnya akan tentang membahas hal
tersebut. Jawabannya adalah A.

p.s. Paragraf aja punya hubungan, kamu sama doi gimana hubungannya?ups


Yuk Daftar Tryout Selanjutnya!
Stay tune di instagram kita @edukasystem!

Anda mungkin juga menyukai