Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH ZAT GIZI MAKRO

HIPERTENSI

Disusun Oleh
Silvia Fakhrunnisa (1806254730)
Syabilila Indraswari (1806254825)

PROGRAM STUDI
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah
menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama
besar di negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu
faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi
dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular.
Hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara-
negara maju serta di beberapa negara-negara berkembang. Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang juga menghadapi masalah ini. Semakin meningkatnya arus
globalisasi di segala bidang, telah membawa banyak perubahan pada perilaku dan gaya
hidup masyarakat di Indonesia, termasuk dalam pola konsumsi makanan keluarga.
Perubahan tersebut tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap meningkatnya
kasus-kasus hipertensi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat
pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent
killer”. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti
jantung, otak ataupun ginjal. (Depkes RI, 2002)
Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES
III); paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya
31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90
mmHg.
Hipertensi dilihat dari segi klinis, merupakan penyakit yang umum, asimptomatis,
mudah dideteksi dan mudah ditangani jika dikenali secara dini. Namun, hipertensi dapat
menyebabkan komplikasi-komplikasi yang mematikan jika tidak ditangani. (Fisher,
2005)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Hipertensi adalah gangguang Regulasi Blood Preassure yang dihasilkan dari
peningkatan curah jantung atau peningkatan resistansi pembuluh darah perifer total.
(Runge, 2010)
Secara umum, seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 yang diukur dengan satuan
millimeter air raksa atau mmHg (Guyton, 2006).
Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan
diagnosis hipertensi. Tekanan darah sistol merupakan tekanan darah terhadap dinding
arteri ketika jantung sedang berkontraksi memompa darah. Angka kedua yang lebih kecil
nilainya, menunjukkan tekanan darah diastol. Tekanan darah diastol merupakan tekanan
darah terhadap dinding arteri ketika jantung sedang berelaksasi di antara dua kontraksi.
Tekanan darah diastol juga menggambarkan keadaan elastisitas dinding arteri
Definisi hipertensi ditetapkan berdasarkan kesepakatan yang mempertimbangkan
risiko komplikasi penyakit kardiovaskular pada beberapa tingkat tekanan darah. Tekanan
darah sistol/diastol sebesar 120/80 ditetapkan sebagai batas tekanan darah yang normal.
Hal ini didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa kenaikan risiko penyakit
kardiovaskular pada orang-orang bertekanan darah di bawah 115/75 mmHg tidak terlalu
signifikan dibandingkan dengan orang-orang bertekanan darah di atas nilai tersebut.
(Bonow,2012)
Terdapat empat sistem yang secara langsung bertanggung jawab pada tekanan darah
yaitu jantung yang memompa tekanan, Blood Vessel Tone yang mementukan resistensi
sistemik, Ginjal yang mengatur volume intravaskuler dan hormon yang memodulasi tida
fungsi sistem lainnya (Lilly, 2011).
Sumber : Lilly, 2011

B. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah


1. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah Jangka Pendek
Mekanisme pengaturan tekanan darah jangka pendek berlangsung dari beberapa
detik hingga beberapa menit. Faktor fisik yang menentukan tekanan darah adalah
curah jantung, elastisitas arteri, dan tahanan perifer. Curah jantung dan tahanan perifer
merupakan sasaran pada pengaturan cepat lewat refleks. Pengukuran ini terjadi
melalui refleks neuronal dengan target organ efektor jantung, pembuluh darah dan
medula adrenal. Sistem refleks neuronal yang mengatur mean arterial blood
pressure bekerja dalam suatu rangkaian umpan balik negatif terdiri dari: detektor,
berupa baroreseptor yaitu suatu reseptor regang yang mampu mendeteksi peregangan
dinding pembuluh darah oleh peningkatan tekanan darah, dan kemoreseptor, yaitu
sensor yang mendeteksi perubahan PO2, PCO2 dan pH darah; jaras neuronal aferen;
pusat kendali di medula oblongata; jaras neuronal eferen yang terdiri dari sistem saraf
otonom; serta efektor, yang terdiri dari alat pemacu dan sel-sel otot jantung, sel-sel
otot polos di arteri, vena dan medula adrenal (Soffer L.S, 1981).
a. Refleks Baroreseptor dan Kemoreseptor
Mekanisme saraf untuk pengaturan tekanan arteri yang paling diketahui
adalah refleks baroreseptor. Baroreseptor terangsang bila ia teregang. Pada
dinding hampir semua arteri besar yang terletak di daerah toraks dan leher dapat
dijumpai beberapa baroreseptor, tetapi dijumpai terutama dalam: dinding arteri
karotis interna yang terletak agak di atas bifurkasio karotis (sinus karotikus), dan
dinding arkus aorta.
Sinus karotikus adalah bagian pembuluh darah yang paling mudah teregang.
Sinyal yang dijalarkan dari setiap sinus karotikus akan melewati saraf hering
yang sangat kecil ke saraf kranial ke-9 (glosofaringeal) dan kemudian ke nukleus
traktus solitarius (NTS) di daerah medula batang otak. Arkus aorta adalah bagian
yang paling kenyal dan teregang setiap kali terjadi ejeksi ventrikel kiri. Sinyal
dari arkus aorta dijalarkan melalui saraf kranial ke-10 (vagus) juga ke dalam area
yang sama di medula oblongata. Pada keadaan normal sinus karotikus lebih
berperan dalam mengendalikan tekanan darah dibanding arkus aorta, dimana
arkus aorta memiliki ambang rangsang aktivasi statik yang lebih tinggi dibanding
sinus karotikus yaitu ~110 mmHg vs ~50 mmHg. Arkus aorta juga memiliki
ambang rangsang dinamik yang lebih tinggi dibanding sinus karotikus, tetapi
tetap berespons saat baroreseptor sinus karotikus telah jenuh.
Baroreseptor, kemoreseptor dalam badan karotid, dan reseptor volume
(stretch) dalam jantung, mengirim impuls lewat saraf-saraf aferen dalam saraf
kranial ke-9  dan ke-10  menuju NTS di batang otak. Proyeksi dari saraf kranial
ke-9 dan ke-10 menuju NTS akan melalui jalur naik (ascending) untuk mencapai
daerah di otak dimana efek otonom dapat dirangsang oleh stimulasi elektrik
langsung. Daerah tersebut termasuk area-area korteks (fronto-occipital, temporal),
girus singuli, amigdala, ganglia basal, dan hipotalamus, juga daerah bawah batang
otak dan korda spinalis. Jalur menurun (descending) dari korteks dan girus singuli
mencapai hipotalamus. Serabut-serabut dari hipotalamus naik ke nukleus batang
otak dan korda spinalis. Korda spinalis mengandung serabut-serabut vasomotor
yang berjalan naik dan berakhir pada neuron pra-ganglion simpatik.
Baroreseptor lebih banyak berespons terhadap tekanan yang berubah cepat
daripada terhadap tekanan yang menetap. Dalam batas kerja tekanan arteri
normal, perubahan tekanan yang kecil saja sudah akan menimbulkan refleks
otonom yang kuat untuk mengatur kembali tekanan arteri tersebut kembali ke
nilai normal. Jadi, mekanisme umpan balik baroreseptor ini akan berfungsi lebih
efektif bila masih dalam batas tekanan yang biasanya diperlukan (Guyton dan
Hall, 2007).
Banyaknya jalur neuronal yang saling berinteraksi untuk mengatur aliran
impuls saraf otonom memberi banyak peluang untuk integrasi berbagai stimulus
yang mempengaruhi tekanan darah, seperti: faktor emosi (takut, marah, cemas),
stres fisik (nyeri, kerja fisik, perubahan suhu), kadar O2 dalam darah, dan
glukosa, juga level  tekanan darah yang di kontrol oleh baroreseptor.
Kendali kemoreseptor pada sistem kardiovaskuler mencakup kemoreseptor
sentral dan perifer. Kemoreseptor sentral di medula oblongata sensitif terhadap
pH otak yang rendah, yang mencerminkan peninggian PCO2di arteri.
Peningkatan PCO2 arteri menstimulasi kemoreseptor sentral untuk menginhibisi
area vasomotor dengan hasil akhir peningkatan keluaran simpatis dan terjadi
vasokonstriksi. Kemoreseptor perifer berperan mengendalikan ventilasi paru dan
terletak dekat baroreseptor, yaitu badan karotis dan badan aorta. Penurunan
PO2 arteri menstimulasi kemoreseptor perifer untuk menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah (Purba, 2006).
BARORECEPTOR
b. Sistem Saraf Simpatik Dan Parasimpatik

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah


terletak di vasomotor, pada medulla diotak. Pusat vasomotor ini bermula jaras
saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna
medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak kebawah melalui
sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Titik neuron preganglion melepaskan
asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh
darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah (Harrison, 2005).
Sistem saraf parasimpatis sangat penting bagi sejumlah fungsi autonom pada
tubuh, namun hanya mempunyai peran kecil dalam pengendalian sirkulasi.
Pengaruh sirkulasi yang penting hanyalah pengaturan frekuensi jantung melalui
serat-serat parasimpatis yang di bawa ke jantung oleh nervus vagus, dari medula
langsung ke jantung. Serabut parasimpatis mempersarafi kelenjar air liur dan
kelenjar gastrointestinal, dan berpengaruh vasodilatasi pada organ erektil di
genitalia eksterna. Serabut postganglion pasasimpatis melepaskan asetilkolin
yang menyebabkan vasodilatasi.
Perangsangan simpatis yang kuat dapat meningkatkan fekuensi denyut
jantung pada manusia dewasa dari 180 menjadi 200 dan, walaupun jarang terjadi,
250 kali denyutan per menit pada orang dewasa muda. Juga, perangsangan
simpatis meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung, oleh karena itu akan
meningkatkan volume darah yang dipompa dan meningkatkan tekanan ejeksi.
Jadi, perangsangan simpatis sering dapat meningkatkan curah jantung sebanyak
dua sampai tiga kali lipat selain peningkatan curahan yang mungkin disebabkan
oleh mekanisme Frank-Starling. Secara singkat, mekanisme Frank-Starling dapat
diartikan sebagai berikut: semakin besar otot jantung diregangkan selama
pengisian, semakin besar kekuatan kontraksi dan semakin besar pula jumlah
darah yang dipompa ke dalam aorta (Guyton dan Hall, 2007).
2. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah Jangka Menengah dan Jangka Panjang
Sebagai pelengkap dari mekanisme neuronal yang bereaksi cepat dalam
mengendalikan resistensi perifer dan curah jantung, kendali jangka menengah dan
jangka panjang melalui sistem humoral bertujuan untuk memelihara homeostasis
sirkulasi. Pada keadaan tertentu, sistem kendali ini beroperasi dalam skala waktu
berjam-jam hingga berhari-hari, jauh lebih lambat dibandingkan dengan refleks
neurotransmiter oleh susunan saraf pusat. Sebagai contoh, saat kehilangan darah
disebabkan perdarahan, kecelakaan, atau mendonorkan sekantung darah, akan
menurunkan tekanan darah dan memicu proses untuk mengembalikan volume darah
kembali normal. Pada keadaan tersebut pengaturan tekanan darah dicapai terutama
dengan meningkatkan volume darah, memelihara keseimbangan cairan tubuh melalui
mekanisme di ginjal dan menstimulasi pemasukan air untuk normalisasi volume darah
dan tekanan darah.
a. Renin
Renin adalah protease asam, merupakan enzim yang mengkatalisis pelepasan
hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari ujung amino terminal angiotensinogen.
Angiotensin I berfungsi semata-mata sebagai prekursor dari angiotensin II. Renin
di simpan dalam sel-sel jukstaglomerular ginjal dan dilepaskan ke dalam
pembuluh darah sebagai respons terhadap berbagai stimulus fisiologis yang
membantu untuk menggabungkan sistem renin-angiotensin menjadi proses yang
kompleks dalam homeostasis sirkulasi. Renin yang aktif mempunyai  waktu
paruh paling  lama 80 menit di dalam sirkulasi. Renin di bantu oleh angiotensin-
converting-enzyme (ACE) membentuk angiotensin II.

b. Angiotensinogen
Angiotensinogen disebut juga substrat renin, di sirkulasi  dijumpai dalam
fraksi a2-globulin plasma. Angiotensinogen disintesa dalam hati, mengandung
sekitar 13% karbohidrat dan di bentuk dari 453 residu asam amino. Kadar
angiotensinogen dalam sirkulasi meningkat oleh glukokortikoid, hormon tiroid,
estrogen, beberapa sitokin, dan angiotensin II.

c. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)
Angiotensin-Converting Enzyme adalah dipeptidil karboksipeptidase yang
membagi histidil-leusin dari angiotensin I inaktif, membentuk angiotensin II
oktapeptida. Lokasi enzim ini di sirkulasi adalah dalam sel-sel endotel. Sebagian
besar konversi angiotensin I menjadi angiotensin II oleh ACE terjadi saat darah
melewati paru-paru. Hal ini mungkin disebabkan luasnya endotel paru, sebagai
lokasi strategis di mana terjadi penerimaan curah jantung dari darah vena, dan
mungkin yang paling penting karena angiotensin II dapat melewati sirkulasi paru
tanpa ekstraksi.

d. Angiotensin II
Angiotensin II adalah hormon peptida yang bekerja di kelenjar adrenal, otot
polos pembuluh darah, dan ginjal. Reseptor untuk angiotensin II berlokasi pada
membran plasma dari sel-sel target  pada jaringan-jaringan tersebut. Angiotensin
II sangat cepat dimetabolisme, waktu paruhnya dalam sirkulasi sekitar 1-2
menit.  Hormon ini dimetabolisme oleh berbagai peptida. Aminopeptida
mengeluarkan residu asam aspartat dari amino terminal peptida ini, menghasilkan
heptapetida  yang disebut angiotensin III. Pengambilan residu amino terminal
yang kedua dari angiotensin III menghasilkan heksapeptida  yang disebut
angiotensin IV. Biasanya peptida-peptida  yang terbentuk ini tidak/kurang  aktif
dibandingkan dengan angiotensin II.
Angiotensin II yang disebut juga hipertensin atau angiotonin, menghasilkan
konstriksi arteri dan peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Di
dalam sel otot polos pembuluh darah, angiotensin II berikatan dengan reseptor G-
protein-coupled AT1A, mengaktifkan fosfolipase C, meningkatkan Ca2+ dan
menyebabkan kontraksi. Hormon ini merupakan salah satu vasokonstriktor kuat,
empat hingga delapan kali lebih aktif daripada norepinefrin pada individu normal,
namun kadar plasma angiotensin II tidak cukup untuk menyebabkan
vasokonstriksi sistemik. Sebaliknya angiotensin II berperan dalam kardovaskuler
bila terjadi kehilangan darah, olahraga dan keadaan serupa yang mengurangi
aliran darah ke ginjal.
Efek penting dari angiotensin II  terhadap pengaturan tekanan darah antara
lain:
 Meningkatkan kontraktilitas jantung
 Mengurangi aliran plasma ke ginjal, dengan demikian meningkatkan
reabsorpsi Na+ di ginjal
 Bersama angiotensin III merangsang korteks adrenal melepaskan aldosteron
 Menstimulasi rasa haus dan memicu pelepasan vasokonstriktor lain yaitu
arginin vasopresin (AVP)
 Memfasilitasi pelepasan norepinefrin dari pasca-ganglion saraf simpatik.

e. Aldosteron
Pengaruh lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu
organ yang terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon
aldosteron bekerja pada tubular distal nefron. (Campbell, et al. 2004). terbebasnya
hormon aldosteron akan merangsang tubular distal ginjal untuk menahan lebih
banyak ion Na+ (ion Natrium). Natrium sendiri bersifat mengikat cairan artinya
ketika jumlah ekskresi (pengeluaran lewat Urin) Natrium di batasi maka sekresi
airpun akan di batasi juga karena sifat natrium yang mengikat cairan. denga
demikian Volume darah akan meningkat dan otomatsi tekanan darah juga akan
meningkat. ini menjadi sebab juga kenapa pada orang hipertensi agar membatasi
atau mengurangi makan makanan yang asin (mengandung lebih banyak Natrium).

Efek peningkatan aktivitas simpatis pada kelenjar adrenal dan tekanan darah.
C. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konnstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis
ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh darah terhadap
rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi
(Corwin,2001)
Pada saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya,
yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II,
suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua factor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi ( Dekker, 1996 )
Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa
oleh jantung ( volume sekuncup ), mengakibatkan penurunan curang jantung dan
peningkatan tahanan perifer ( Brunner & Suddarth, 2002 ).
Berdasarkan penyebabnya, dikenal dua jenis hipertensi yaitu Hipertensi primer
(essensial) dan Hipertensi sekunder. Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu
peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme
kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup
+ 90% dari kasus hipertensi, sedangkan Hipertensi sekunder adalah hipertensi persisten
akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya
diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Wibowo, 1999).

1. Hipertensi Primer
Sekitar 90% pasien hipertensi mengalami peningkatan tekanan darah tanpa
diketahi alasannya, kondisi ini disebut hipertensi primer atau essensial (Lilly, 2011).
Hipertensi Primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak
diketahui secara pasti. Kesulitan dalam menemukan mekanisme yang bertanggung
jawab atas terjadinya hipertensi primer adalah banyaknya sistem yang terlibat dalam
pengaturan tekanan darah. Sistem saraf adrenergik baik sentral maupun perifer, sistem
pengaturan ginjal, sistem pengaturan hormon dan pembuluh darah adalah sistem-
sistem yang mempengaruhi tekanan darah. Sistem-sistem ini saling mempengaruhi
dengan susunan yang kompleks dan dipengaruhi oleh gen-gen tertentu (Fisher, 2005).
Faktor faktor yang diasumsumsikan memiliki pengaruh terhadap hipertensi
primer dibahas sebagai berikut :

a. Natrium dan Kalium


Natrium ialah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel , 35-40% natrium (Na)
ada didalam kerangka tubuh. Fungsi natrium untuk mengatur volume cairan,
mengatur keseimbangan cairan mengatur osmolaritas, dan mengatur tekanan
darah.
Pengaturan keseimbangan air dan garam di tubuh diatur oleh ginjal dan otak.
Hipotalamus mengatur konsentrasi garam di dalam darah, merangsang kelenjar
pituitari mengeluarkan hormon antidiuretika (ADH), Ginjal mengontrol volume
cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol
osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal
mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air
dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan
abnormal dari air dan garam tersebut. (Kumar, 2004)
ADH dikeluarkan bilamana konsentrasi garam tubuh terlalu tinggi, atau bila
volume darah atau tekanan darah terlalu rendah. ADH merangsang ginjal untuk
menahan atau menyerap air kembali dan mengedarkannya kembali kedalam
tubuh. Jadi, semakin banyak air dibutuhkan tubuh, semakin sedikit yang
dikeluarkan. Bila terlalu banyak air keluar dari tubuh, volume darah dan tekanan
darah akan turun. Sel-sel ginjal akan mengeluarkan enzim renin. Renin
mengaktifkan protein di dalam darah yang dinamakan angiotensin kedalam
bentuk aktifnya angiotensin. Angiotensin akan mengecilkan diameter pembuluh
darah sehingga tekanan darah akan naik. Disamping itu angiotensin mengatur
pengeluaran hormon aldosteron dari kelenjar adrenalin. Aldosteron akan
mempengaruhi ginjal untuk menahan natrium dan air. Akibatnya bila dibutuhkan
lebih banyak air, akan lebih sedikit air dikeluarkan tubuh (Kumar, 2004)
Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh Aldosteron.
Peningkatan sekresi aldosteron menyebabkan reabsorpsi natrium (dan air) dan
ekskresi kalium. Sebaliknya penurunan sekresi aldosteron menyebabkan ekskresi
natrium dan air serta penyimpanan kalium. Rangsangan utama bagi sekresi
aldosteron adalah penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium
serum. Hipervolemia, penurunan kalium serum, atau peningkatan natrium serum
menyebabkan penurunan aldosteron. Ekskresi kalium juga dipengaruhi oleh
status asam basa dan kecepatan aliran di tubulus distal. Padam keadaan alkalosis,
ekskresi K+ akan meningkat dan pada keadaan asidosis, akan menurun.

Sumber (ekmekcioglu, 2015)

Pada tubulus distal, ion H+ dan ion K+ bersaing untuk diekskresikan sebagai
pertukaran dengan reabsorpsi Na+ untuk mempertahankan muatan listrik tubuh
yang netral. Jika terjadi keadaan alkalosis metabolik yang disertai dengan
kekurangan ion H+, tubulus akan menukar dengan Na+ dengan K+ demi
mempertahankan ion H+. Asidosis metabolik akan meningkatkan ekskresi H+
dan menurunkan ekskresi K+
b. Lemak
- Lemak Jenuh
Efek biologis lemak jenuh pada tekanan darah dihasilkan dari efek jangka
panjang. Lemak jenuh mempengaruhi kekakuan dari arteri

- Omega 3
Omega 3 mempengaruhi tekanan darah dengan cara menurunkan inflamasi,
menaikkan fungsi endotel dan meningkatkan fungsi vasodilatsi pembuluh
darah.

c. Protein
Studi terpbaru, baik uji coba maupun uji klinis telah menunjukkan bahwa
peningkatan asupan proten terutama dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah
- Histidin
Histidin merupakan prekursor untuk sintesis histamin yang berkontribusi
dalam vasodilatasi pembuluh darah dimana meningkatkan permeabilitas
kapiler.
- Argnin

Arginin adalah prekursor dari dari nitric oxide dimana merubah Nitric oxide
sytase menjadi Nitric oxide . Nitric oxide merupakan vasodilator kuat yang
bekerja pada endothelium

- Taurin
Taurin menurunkan tekanan darah dengan cara penghambatan sistem renin
angiotensin pada ginjal, menjadi agen vasorelaksasi pembuluh darah serta
menurunkan aktifitas simpatik yang pada akhirnya menurunkan tekanan darah

d. Serat

Sumber : (ambika, 2012)


Serat dengan berbagai macam mekanisme diantaraya menunda pengosangan
lambung, menurunkan absorbsi makro nutrient, dapat meningkatkan
metabolisme glukosa yang berhubungan dengan resistensi insulin yang akhirnya
juga menurunkan tekanan darah.

e. Karbohidrat

Hubungan atara karbohidrat dan hiertensi berfokus pada gula sederhana, dengan
toleransi glukosa dan insulin resistance yang dimana akan meningkatkan
Aktifitas SNS yang menyebabkan kenaikan heart rate dan meningkatnya
vasokonstriksi pembuluh darah yang pada akhirnya menyebabkan hipertensi
f. Obesitas
Pada penelitian perbandingan kadar leptin pada orang gemuk (IMT > 27) dan
orang dengan berat badan normal (IMT < 127) didapatkan kadar leptin pada
orang gemuk adalah lebih tinggi dibandingkan orang dengan berat badan normal (
31,3 + 24,1 ng/ml versus 7,5 + 9,3 ng/ml). Hiperleptinemia ini mungkin terjadi
karena adanya resistensi leptin. Beberapa teori menjelaskan resistensi leptin ini
telah dikemukakan, diantaranya adalah karena adanya antibodi terhadap leptin,
peningkatan protein pengikat leptin sehingga leptin yang masuk ke otak
berkurang, adanya kegagalan mekanisme transport pada tingkat reseptor untuk
melewati sawar darah otak dan kegagalan mekanisme signal. Secara klinis efek
resistensi  leptin ini tergantung dari lokasi dan derajat keparahan resistensi
tersebut. Resistensi pada ginjal akan menyebabkan gangguan diuresis dan
natriuresis, menimbulkan retensi natrium dan air serta berakibat meningkatnya
volume plasma dan cardiac output, selain itu adanya vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal perangsangan saraf simpatis akan mengaktivasi jalur RAS dan
menambah retensi natrium dan air. Pada obesitas cenderung terjadi peningkatan
volume plasma akan meningkatkan curah jantung yang berakibat meningkatnya
tekanan darah (Makaritsis)

Sumber : Makaritsis

g. Usia
Karakteristik hemodinamik tekanan darah elevasi pada Hipertensi primer
cenderung berubah seiring waktu. Tekanan sistolik meningkat kehidupan dewasa,
sementara tekanan diastolik meningkat sampai sekitar usia 50 kemudian menurun
sedikit sesudahny. Dengan demikian, hipertensi diastolic lebih sering terjadi pada
usia muda, sementara hipertensi sistolik lebih sering ditemukan pada usia diatas
50 tahun.
Pada orang yang lebih muda dengan hipertensi, meningkat tekanan darah
cenderung didorong oleh Cardiac output yang tinggi sementara Resistensi
vaskuler normal. Dengan bertambahnya usia, Cardiac output menurun, hal ini
mungkin dikarenakan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan akibatnya
mengurangi diastolic filling yang pada gilirannya mengurangi Stroke Volume
dan Cardiac Output. Sebaliknya, resistensi vaskular meningkat seiring
bertambahnya usia karena hipertrofi medial saat pembuluh beradaptasi untuk
tekanan tekanan yang berkepanjangan. Sehingga hipertensi pada usia muda leuh
disebabkan karena cardiac output tinggi, sementara pasien yang lebih tua
cenderung memiliki TPR tinggi (Lilly, 2011).

Sumber : Lilly, 2011.

h. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih
banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29
untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang
cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita.
Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi pada wanita
meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih
meningkat dibandingkan dengan pria yang diakibatkan faktor hormonal.
Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita
(Depkes, 2006b).
Pada wanita menapouse terdapat penurunan kadar esterogen dalam darah.
Padahal estrogen diduga menjadi agen-agen vasoprotektif alami. Reseptor
estrogen telah terdeteksi pada sel-sel otot polos arteri koroner dansel-sel
endometrium.Estrogen menjaga respon vasodilator arteri koroner dengan cara
merangsang Agen vasodilatasi (Nitrogen Oksida dapat menyebabkan relaksasi
otot polos)untuk mencegah terjadinya Arterisklerosis Pada tingkat seluler,
estrogen menghambat apoptosis sel-sel endotelial danmempromosikan aktivitas
angiogenisnya in vitro, sehingga menghindari kenaikan tekanan darah dengan
cara meningkatkan elastisitas dan pelebaran pembuluh darah.

i. Alkohol
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah dikarenakan

j. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan
darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok
dengan adanya artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga
meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot
jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan
risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri (Depkes, 2006b).
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam penelitian
bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya
termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu 1) Nikotin,
merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan
sirkulasi darah dengan adanya penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut
jantung, pengerasan pembuluh darah dan penggumpalan darah. 2) Tar, dapat
mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon
Monoksida (CO) merupakan gas beracun yang dapat menghasilkan berkurangnya
kemampuan darah membawa oksigen (Depkes, 2008b).
Merokok merupakan salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan
merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekana
darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil dalam paru-paru dan
diedarkan oleh pembulu dadarah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin
dengan member sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon
monoksida dalam asap rokokmenggantikan iksigen dalam darah. Hal ini akan
menagakibatkan tekana darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan
oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringan tubuh ( Astawan, 2002 ).

k. Psikososial dan Stress


Tekanan emosi akan meningkatkan aktivasi saraf simpatis dan menyebabkan
naiknya pelepasah katekolamin. Naiknya katekolamin dalam jumlah besar
(epineprin, norepineprin) memicu naiknya heart rate yang berakibat pada naiknya
cardiac output dan tekanan darah. Disamping itu adrenalin dan norepineprin juga
menyebabkan konstriksi pherpheral artery yang mengakibatkan peripheral
resistance yang kemudian menyebabkan naiknya tekanan darah (Battegay,2005).
Proses ini akan berlangsung terus walaupun tekanan emosi telah hilang.
Menurut beberapa peneliti, tekanan emosi dapat mempertahankan kenaikan
tekanan darah terutama pada pasien-pasien yang peka.
l. Olah raga
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi diluar
metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh
dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh.
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner melalui
mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan darah, penurunan tonus simpatis,
meningkatkan diameter arteri koroner, sistem kolateralisasi pembuluh darah,
meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low
Density Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja
secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan jantung
semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu,
penurunan lemak badan dan berat badan serta menurunkan tekanan darah
(Cahyono, 2008). Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan tekanan
darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan. Pada orang tertentu
dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur dapat menurunkan tekanan
darah tanpa perlu sampai berat badan turun (Depkes, 2006b).

2. Hipertensi Sekunder
Seperti telah disebutkan sebelumnya, hipertensi sekunder merupakan hipertensi
dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Walaupun hipertensi sekunder lebih
sedikit, namun penyakit ini perlu mendapat perhatian lebih oleh karena :
(1) Terapi terhadap penyebab dapat menyembuhkan hipertensi
(2) Hipertensi sekunder dapat menjadi penghubung dalam memahami etiologi dari
hipertensi primer.
Penyebab-penyebab dari hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal, kelainan
endokrin, koartasi aorta dan juga obat-obatan (Gambar 13). Penyebab-penyebab
tersebut akan dibicarakan pada bagian berikut.
a. Kelainan Ginjal
Hipertensi yang diakibatkan oleh kelainan ginjal dapat berasal dari perubahan
sekresi zat-zat vasoaktif yang menghasilkan perubahan tonus dinding pembuluh
darah atau berasal dari kekacauan dalam fungsi pengaturan cairan dan natrium
yang mengarah pada meningkatnya volume cairan intravaskular. Pembagian lebih
lanjut dari kelainan ginjal yang menyebabkan hipertensi adalah kelainan
renovaskular dan kelainan parenkim ginjal.
Kelainan renovaskular disebabkan oleh rendahnya perfusi dari jaringan ginjal
oleh karena stenosis yang terjadi pada arteri utama atau cabangnya yang utama.
Hal ini menyebabkan sistem renin-angiotensin teraktivasi. Angiotensin II yang
merupakan produk dari sistem renin-angiotensin, akan secara langsung
menyebabkan vasokonstriksi atau secara tidak langsung melalui aktivasi sistem
saraf adrenergik. Selain itu angiotensin II juga akan merangsang sekresi
aldosteron yang mengakibatkan terjadinya retensi natrium.
Aktivasi sistem renin-angiotensin juga merupakan penjelasan dari hipertensi
yang diakibatkan kelainan parenkim ginjal. Perbedaannya adalah penurunan
perfusi jaringan ginjal pada kelainan parenkim ginjal disebabkan oleh peradangan
dan proses fibrosis yang mempengaruhi banyak pembuluh darah kecil di dalam
ginjal.
Selain itu Polykistik ginjal juga merupakan faktor penyebab hipertensi
sekunder dimana pada ginjal ditemukan tumbuhnya gelembung gelembung yang
berisi cairan yang memyebabkan iskemi segmental atau adanya obstruksi . Untuk
mempertahankan homestatis maka tubuh melakukan kompensasi dengan
mengaktifkan renin yang selanjutnya angiotensin I dan angiotensin II yang
merupakan agen vasokonstriktor

b. Kelainan Endokrin
Kelainan endokrin dapat menyebabkan hipertensi. Hal ini disebabkan banyak
hormon-hormon yang mempengaruhi tekanan darah. Beberapa kelainan endokrin
ini antara lain adalah :
1. Hiperaldosteronism
Hiperaldosteronisme adalah hipersekresi aldosteron mineralokortikoid
oleh korteks adrenal menyebabkan absorpsi natrium dan air secara berlebihan
dan ekskresi kalium oleh ginjal secara berlebihan. Secara garis besar
dibegakan menjadi dua yaitu hiperadosteron primer dan sekunder.
1.1. Hiperaldosteronism Primer
Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh
hipersekresi aldosteron yang terkendali dan umumnya berasal dari
korteks adrenal. Sindrom ini disebut juga sebagai sindrom conn.
Hiperaldosteronisme Primer sebagian besar disebabkan karena
adenoma jinak pada adrenal yang memproduksi aldosteron
menghasilkan hormon aldostreon secara berlebihan. Peningkatan kadar
serum aldosteron akan merangsang penambahan jumlah saluran
Natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari dukstus
kolektikus bagian korteks ginjal. Akibat  penambahan jumlah ini,
reabsobsi natrium mangalami peningkatan. Absorbsi natrium juga
membawa air sehingga tubuh menjadi cenderung hipervolemia. Sejlan
dengan itu, lumen duktus kolektikus ini berubah menjadi bermuatan
lebih negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus
kolektikus masuk ke dalam lumen tubuli melalui saluran kalium.
Akibat peningkatan ekskresi kalium urin, terjadi kadar kalium darah
berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh peningkatan
aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh
kekurangan kalium dan timbul gejala seperti lemas. Hipokalemi yang
terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion H di tubulus
proksimla melalui pompa NH 3+, sehingga reabsorbsi bikarbonat
meningkat di tubulus proksimal dan ekmudian terjadi alkalosis
metabolik. Hipokalemi bersama dengan hiperaldosteron juga akan
merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang mengakibatkan
peningkatan ekskresi ion H, selanjutnya akan memelihara keadaan
alkalosis metabolik pada pasien ini (Battegay,2005).
1.2. Hiperaldosteronism Sekunder
Gangguan ini disebabkan intravaskular yang rendah sehingga
menghasilkan overaktivasi renin angiotensin. Hiperaldosteronisme
sekunder paling sering disebabkan oleh stenosis arteri ginjal, termasuk
lainnya termasuk CFD, CHF, Sirosis, sindrom Nefrotik
(Battegay,2005).

2. Cushing syndrome
Sindrom Cushing adalah gangguan hormonal yang disebabkan kortisol
plasma  berlebihan dalam tubuh (hiperkortisolisme), baik oleh pemberian
glukokortikoid  jangka panjang dalam dosis farmakologik (iatrogen) atau oleh
sekresi kortisol yang  berlebihan akibat gangguan aksis hipotalamus-hipofisis-
adrenal (spontan). Tingginya kortisol menyebabkakan meningkatnya produksi
vasokronstruktor agent diantaranya angiotensin dan menurunkan vasodilator
agent seperti nitric oxide dan prostaglandin, hal ini menyebabkan kenaikan
resistensi perifer yang berarti juga menaikan tekanan darah. Disamping itu,
kortisol juga meningkatkan reabsorbsi Natrium dan H2O yang menyebabkan
naiknya volume plasma dan menaikkan cardiac output yang pada akhirnya
berpengaruh pada tekanan darah. Efek lain dari tingginya kortisol adalah
meningkatnya ekskresi hydrogen dan kalium yang pada akhirnya
menyebabkan tubuk mengalami hipokalemi (Battegay,2005).

3. Pheochromocytoma
Pheochromocytoma adalah tumor langka yang berkembang dalam inti
kelenjar adrenal. Seseorang memiliki dua kelenjar adrenal, satu tepat di atas
masing-masing ginjal.
Pheochromocytoma, suatu penyebab hipertensi sekunder yang jarang
terjadi atau sangat langka, merupakan tumor medullar adrenal atau tumor
rantai simpatis (paraganglioma) yang melepaskan katekolamin dalam jumlah
besar (epineprin, norepineprin) secaraterus-menerus atau dengan jangka
waktu(Battegay,2005).
Naiknya hornon ephineprin atau adrenalin memicu naiknya heart rate
yang berakibat pada naiknya cardiac output dan tekanan darah. Disamping itu
adrenalin dan norepineprin juga menyebabkan konstriksi pherpheral artery
yang mengakibatkan peripheral resistance yang kemudian menyebabkan
naiknya tekanan darah (Battegay,2005).

4. Hipertiroid
Pada kondisi hipertiroid terjadi kenaikan pelepasan tiroid hormon yang
menyebka naiknya sesitivitas katekolamin sehingga memicu naiknya heart rate
yang berakibat pada naiknya cardiac output dan tekanan darah. Disamping itu
juga menyebabkan konstriksi pherpheral artery yang mengakibatkan
peripheral resistance yang kemudian menyebabkan naiknya tekanan darah
(Battegay,2005).

c. Koartasi Aorta
Aorta adalah pembuluh darah besar dari jantung yang bertugas mengalirkan
darah yang kaya akan oksogen ke seluruh tubuh. Koartasi aorta adalah suatu
keadaan dimana terjadi penyempitan aorta sehingga menyebabkan aliran darah
normal ke seluruh tubuh menjadi terhambat termasuk ke ginjal sehingga renin
disekresi yang selanjutnya merangsang angiotensin I dan angiotensin II yang
yang menyebabkan vasokronstriksi pada pembuluh darah yang pada akhirnya
akan menyebabkan kenaikan cardiac output dan tekanan darah. Disamping itu
angiotensin juga menyebabkan naiknya hormon aldosteron yang menyebabkan
naiknya reabsorbsi natrium dan cairan sehingga volume cairan ekstraselular naik
yang pada akhirnya akan menaikkan cardiac output dan tekanan darah

d. Aterosklerosis
Atherosklerosis adalah penyempitan dan penebalan arteri karena penumpukan
plak pada dinding arteri. Penumpukan plak pada dinding arteri menyebabkan
pembuluh darah menyempit sehingga resistensi perifer naik sehingga
menyebabkan naiknya tekanan darah.

D. Tanda , Gejala dan Dampak Hipertensi


Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang
tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat,
penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan edema pupil
(edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara lain sakit kepala
bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing, dada berdebar-debar,
lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-
tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang
khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan
patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam
hari) dan azetoma (peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin). Keterlibatan
pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam
penglihatan (Wijayakusuma,2000 ).
Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami
hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang kadang disertai mual
dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah intracranial, penglihatan kabur
akibat kerusakan retina akibat hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena
kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus, edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
(Corwin, 2005).
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah,
sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain
(Wiryowidagdo,2002)

E. Komplikasi Hipertensi

Apapun penyebab hipertensi, pada akhirnya tetap sama, hipertensi dapat


menyebabkan kerusakan banyak organ seperti yang dijelaskan pada gambar berikut:
Sumber : Lilly, 2011
1. Komplikasi pada Jantung

Sumber : Lilly, 2011

Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak


sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
Penyakit jantung hipertensi merujuk kepada suatu keadaan yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan darah (hipertensi). Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak
terkendali dapat mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi
jantung. Perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit
arteri koroner, gangguan sistem konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik miokard yang
nantinya bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark miokard, aritmia
jantung (terutama fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif.
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) adalah suatu keadaan yang menggambarkan
pertambahan atau penebalan massa pada ventrikel (bilik) kiri jantung. Hipertrofi
ventrikel kiri yang terjadi pada hipertensi mula- mula merupakan proses adaptasi
fisiologis, akan tetapi dengan penambahan beban yang berlangsung terus HVK akan
menjadi proses patologis. Hal ini terjadi bila telah dilampaui suatu masa kritis ventrikel
kiri, sehingga menurunkan kemampuan jantung dan menurunkan cadangan pembuluh
darah koroner.
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan remodeling struktur jantung untuk
menormalisasikan regangan dinding. Hipertrofi miokardium akan menurunkan regangan
dinding agar fungsi jantung tetap normal. Selain pertumbuhan miosit dijumpai juga
penambahan struktur kolagen berupa fibrosis pada jaringan interstisial dan perivaskular
fibrosis reaktif koroner intramiokardial. Respon sel miosit terhadap stimulus tersebut
menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit terjadi sebagai mekanisme
kompensasi peningkatan tekanan afterload. Stimulus mekanis dan neurohormonal yang
menyertai hipertensi akan mengaktivasi pertumbuhan sel miokard, ekspresi gen dan
berujung kepada hipertrofi ventrikel kiri. Selain itu aktivasi sistem renin-angiotensin
akan menyebabkan pertumbuhan intestitium dan komponen sel matriks.
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan sistemik
ditandai dengan penebalan dinding ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel
memburuk, kapasitasnya membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal
jantung. Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi kronis.
Pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala-gejala gagal jantung namun dapat
juga bersifat asimptomatis (tanpa gejala).
Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang disertai
hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan afterload, penyakit
arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi sistolik asimptomatis
biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Setelah beberapa lama, hipertrofi ventrikel kiri
gagal mengkompensasi peningkatan tekanan darah sehingga lumen ventrikel kiri
berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output.
Dalam waktu yang lama, fungsi sistolik ventrikel kiri akan menurun. Penurunan ini
mengaktifkan sistem neurohormonal dan renin-angiontensin, sehingga meretensi garam
dan air dan meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang akhirnya malah memperburuk
keadaan dan menyebabkan disfungsi sistolik.
Pada pasien hipertensi dapat timbul iskemia miokard yang bermanifestasi sebagai
nyeri dada / angina pektoris. Hal ini dikarenakan hipertensi menyebabkan peningkatan
tekanan di ventrikel kiri dan transmural, peningkatan beban kerja yang mengakibatkan
hipertrofi ventrikel kiri. Suplai oksigen yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan otot
jantung yang membesar akan menyebabkan nyeri dada. Hal ini diperparah jika terdapat
penyulit seperti aterosklerosis. Angina pektoris dapat timbul sebagai akibat dari
kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena
penambahan massanya.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel kiri
yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur dari
regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar pada
penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau
irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda
hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi dan infark. Sebagian
besar kematian dengan hipertensi disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Data-data terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih
diperantarai oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan
hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.

2. Komplikasi Pada Otak

Sumber : Lilly, 2011


Komplikasi hipertensi pada otak dapat berupa ensefalopati hipertensi, hipertensi
maligna, stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (iskemik). Penanganan penderita
hipertensi dengan komplikasi otak dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu keadaan bukan
krisis hipertensi yang terjadi pada stroke non hemoragik, dan keadaan krisis hipertensi
yang didapatkan pada ensefalopati hipertensi, stroke hemoragik dan hipertensi maligna.
Pada hipertensi dapat terjadi perubahan patologik pada pembuluh darah otak,
perubahan ini akan mengganggu perfusi darah ke otak, yang pada gilirannya akan
menimbulkan kelainan pada jaringan otak. Manifestasi dari kelainan ini dalam klinik
dikenal sebagai Cerebrovascular Disease (CVD) atau Stroke.
Komplikasi hipertensi pada otak dapat bersifat akut atau kronik. Komplikasi
hipertensi pada otak yang sifatnya akut biasanya karena kenaikan tekanan darah yang
cepat dan mendadak seperti pada ensefalopati hipertensi. Sedangkan komplikasi yang
bersifat kronik berupa kelainan-kelainan pembuluh darah otak berupa:
1. Nodular atherosklerosis (atheroma)
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terpenting untuk terjadinya atheroma
di pembuluh darah otak. Faktor risiko lainnya adalah: diabetes melitus, merokok,
hiperkolesterolemia. Atheroma dapat menyebabkan komplikasi stroke non
hemoragik.
2. Charcot-Bouchard aneurysm
Hipertensi dianggap sebagai satu-satunya faktor utama untuk terjadinya aneurisma
ini. Tekanan darah yang terus menerus tinggi dan sudah disertai komplikasi
aneurisma Charcot-Bouchard dapat mengakibatkan komplikasi stroke hemoragik.
3. Fibrinoid necrosis
Komplikasi lain hipertensi pada pembuluh darah otak adalah terjadinya fibrinoid
necrosis. Kelainan pembuluh darah ini akan bermanifestasi klinis sebagai hipertensi
maligna.

a. Ensefalopati Hipertensi
Hypertensive encephalopathy (HE) atau ensefalopati hipertensi adalah sindrom
klinik akut reversibel yang dipresipitasi oleh kenaikan tekanan darah tiba-tiba sehingga
melampaui batas otoregulasi otak. HE dapat terjadi pada normotensi yang tekanan
darahnya mendadak naik menjadi 160/100 mmHg. Sebaliknya mungkin belum terjadi
pada penderita hipertensi kronik meskipun tekanan arteri rata-rata mencapai 200 atau
225 mmHg.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan
kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan kejang.
Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme arterioler
atau udem serebri. Tanda- tanda fokal neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada,
lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau transient ischemic attack.18,30
Ada 2 teori yang dapat menerangkan patofisiologi HE yaitu :
1. Reaksi otoregulasi yang berlebihan (The overregulation theory of hypertensive
encephalopathy).
Kenaikan tekanan darah yang mendadak menimbulkan reaksi vasospasme
arteriol yang hebat disertai penurunan aliran darah otak dan iskemi. Vasospasme
dan iskemi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis
fibrinoid, dan perdarahan kapiler yang selanjutnya mengakibatkan kegagalan sawar
darah-otak sehingga dapat timbul edema otak.

2. Kegagalan otoregulasi (The breakthrough theory of hypertensive


encephalopathy).
Tekanan darah tinggi yang melampaui batas regulasi dan mendadak
menyebabkan kegagalan otoregulasi sehingga tidak terjadi vasokonstriksi tetapi
justru vasodilatasi. Vasodilatasi awalnya terjadi secara segmental (sausage string
pattern), tetapi akhirnya menjadi difus. Permeabilitas segmen endotel yang dilatasi
terganggu sehingga menyebabkan ekstravasasi komponen plasma yang akhirnya
menimbulkan edema otak.

b. Gangguan Peredaran Darah Otak (Stroke Hemoragik)


Tekanan darah yang sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
peredaran darah otak/stroke hemoragik; yang dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu:
perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral.
1. Perdarahan Subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid, darah keluar dari dinding pembuluh darah menuju
ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan otak (LCS) ke
dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan seringkali berasal dari rupturnya aneurisma
di basal otak (pada sirkulasi Willisi). Umumnya PSA timbul spontan, 10% disebabkan
karena tekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas.
Gejala PSA :
1. Serangan mendadak dengan nyeri kepala hebat didahului suatu perasaan
ringan atau ada sesuatu yang meletus di dalam kepala.
2. Kaku kuduk merupakan gejala spesifik yang timbul beberapa saat kemudian.
3. Kesadaran dan fungsi motorik jarang terganggu.
4. CSS berwarna merah yang menunjukkan perdarahan dengan jumlah eritrosit
lebih dari 1000 /mm3.

2. Perdarahan Intraserebral (PIS)


Istilah perdarahan intraserebral melukiskan perdarahan yang langsung masuk ke
substansi otak. Sekitar 70-90 % kasus PIS disebabkan oleh hipertensi. Perdarahan
akibat pecahnya arteri perforata subkortikal yaitu: a.lentikulostriata dan a.perforata
thalamika (ciri anatomis khas untuk PIS akibat hipertensi).
Patogenesis PIS adalah akibat rusakya struktur vaskuler yang sudah lemah akibat
aneurisma, yang disebabkan oleh kenaikan tekanan darah, atau pecahnya pembuluh
darah otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi. Penyebab PIS adalah
pecahnya mikroaneurisma Charcot-Bouchard akibat kenaikan tekanan darah.
Gejala dan tanda klinis berkaitan dengan lokasi, kecepatan perdarahan dan
besarnya hematom. Serangan selalu terjadi mendadak, saat aktif baik aktivitas fisik
maupun emosi, jarang saat istirahat. Gejala awal merupakan manifestasi kenaikan
tekanan darah seperti : nyeri kepala, mual dan muntah, epistaksis, penurunan daya
ingat. Penurunan kesadaran sampai koma akibat kegagalan otoregulasi atau kenaikan
tekanan intrakranial akibat adanya hematom. Hematom >3 cm dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
Kejang didapatkan pada 7-11% kasus. Kaku kuduk dapat dijumpai jika
perdarahan mencapai ruang subarachnoid. Pada umumnya penderita mengalami
kelemahan/kelumpuhan separuh badan kontralateral terhadap sisi lesi dengan refleks
Babinski positif. Defisit motorik ini berkembang dalam beberapa menit sampai
beberapa jam.
Di sekitar tempat perdarahan biasanya terjadi reaksi spasme pembuluh darah;
penurunan tekanan darah dapat menghilangkan spasme yang bahkan akan
memperbanyak perdarahan. Dalam hal ini sebaiknya tekanan darah diturunkan hati-
hati dengan selalu mengevaluasi keadaan neurologiknya. Prognosis tergantung dari
luas kerusakan jaringan otak dan lokasi perdarahannya.
Pengobatan sebaiknya menggunakan antihipertensi parenteral yang dapat dititrasi
efeknya seperti nitroprusid.

3. Stroke Non Hemoragik (SNH)


Stroke Non Hemoragik (SNH) akibat hipertensi, terjadi akibat proses
tromboemboli sebagai komplikasi arteriosklerosis nodular pembuluh darah otak.
Hipertensi hanya merupakan salah satu faktor risiko arteriosklerosis di samping faktor
risiko lain seperti hiperlipidemi dan diabetes melitus. Hipertensi dapat meningkatkan
risiko aterotrombosis sampai 4 kali. Menurut hipotesis response to injury, aliran darah
dapat menyebabkan denudasi/kerusakan sel endotel di tempat tertentu. Adanya faktor-
faktor sistemik lain seperti dislipidemi, hipertensi, merokok, hiperglikemi dan lain-
lain akan menyebabkan kaskade terjadinya atherosklerosis.
Sekarang diketahui bahwa bukan denudasi endothel melainkan disfungsi
endotellah yang merupakan salah satu manifestasi dini atherosklerosis. Disfungsi
endotel yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko tradisional tersebut dapat terjadi
secara lokal, akut dengan perubahan kronik yang meningkatkan permeabilitas plasma
lipoprotein, pengurangan bioavailabilitas NO, hiperadhesi lekosit, gangguan
keseimbangan zat vasoaktif, zat perangsang dan penghambat pertumbuhan, zat pro
dan antithrombotik. Hal ini merupakan permulaan proses proliferatif di dinding arteri
yang akan berkembang menjadi plak atherosklerosis.

3. Komplikasi pada Ginjal

Sumber : Fredrik Palm dan Lina Nordquist, 2011


Hipertensi dan penuaan, keduanya berdampak pada fungsi ginjal. Pasien tua lebih
mungkin untuk memiliki Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease
(CKD), biasanya ditegaskan berdasarkan pengukuran perkiraan laju filtrasi glomerulus
atau estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR) yaitu ≤ 60 mL / menit per 1,73 m2.
75% dari Populasi CKD adalah ≥ 65 tahun. Systolic Blood Pressure (SBP) atau tekanan
darah sistolik adalah prediktor independen yang kuat dalam penurunan fungsi ginjal pada
pasien yang lebih tua dengan ISH.
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus adalah
lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada penurunan
tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan hematuria mikroskopik
terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian disebabkan oleh hipertensi
akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi terjadi tidak hanya dari lesi pada
ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga sering terjadi pada pasien-pasien ini.

4. Komplikasi pada Mata


Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina dan
sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri dan arteriol
yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan optalmoskopik berulang
memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak hipertensi pada pembuluh darah
retina.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa
retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat pada retina,
edema retina dan perdarahan retina. Retinopati hipertensi merupakan suatu keadaan yang
ditandai dengan kelainan pada vaskuler retina pada penderita tekanan darah tinggi.
Perubahan patofisiologi pembuluh darah retina pada hipertensi, akan mengalami
beberapa tingkat perubahan sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah.
Terdapat teori bahwa akan terjadi spasme arterioles dan kerusakan endotelial pada tahap
akut sementara pada tahap kronis terjadi hialinisasi pembuluh darah yang menyebabkan
berkurangnya elastisitas pembuluh darah.
Sumber : Katsi, Visiliki et al, 2012

Kelainan pembuluh darah juga dapat berupa penyempitan umum atau setempat,
percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh
darah. Retinopati hipertensi dapat berupa perdarahan atau eksudat retina yang pada
daerah makula dapat memberikan gambaran seperti bintang (star figure).
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat penyempitan arterioles retina secara
generalisata. Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan terjadinya
penebalan intima pembuluh darah, hiperplasia dinding tunika media dan degenerasi
hialin. Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih berat dan perubahan
pada persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai ”arteriovenous nicking”. Terjadi juga
perubahan pada refleks cahaya arteriolar yaitu terjadi pelebaran dan aksentuasi dari
refleks cahaya sentral yang dikenal sebagai ”copper wiring”.
Apabila dinding arteriol diinfiltrasi oleh sel lemak dan kolesterol akan menjadi
sklerotik. Dinding pembuluh darah secara bertahap menjadi tidak transparan dan dapat
dilihat, dan refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar. Produk-produk lemak kuning
keabuan yang terdapat pada dinding pembuluh darah bercampur dengan warna merah
darah pada lumen pembuluh darah akan menghasilkan gambaran khas “copper- wire”.
Hal ini menandakan telah terjadi arteriosklerosis tingkat sedang. Apabila sklerosis
berlanjut, refleksi cahaya dinding pembuluh darah berbentuk “ silver-wire”.
Tahap pembentukan eksudat, akan menimbulkan kerusakan pada sawar darah-retina,
nekrosis otot polos dan sel-sel endotel, eksudasi darah dan lipid, dan iskemik retina.
Perubahan-perubahan ini bermanifestasi pada retina sebagai gambaran mikroaneurisma,
hemoragik, hard exudate dan infark pada lapisan serat saraf yang dikenal sebagai cotton-
wool spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini, dan biasanya merupakan
indikasi telah terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat berat.
Hipertensi menyebabkan Edema
Volume yang berkurang dari darah yang dipompa keluar oleh jantung (cardiac output
yang berkurang) bertanggung jawab untuk aliran darah yang berkurang ke ginjal. Sebagai
akibatnya, ginjal merasakan bahwa ada pengurangan dari volume darah dalam tubuh. Hal ini
membuat ginjal merespon kehilangan cairan dengan cara menahan garam dan air.
Peningkatan cairan dapat berakibat pada penumpukan cairan didalam paru-paru, yang
menyebabkan sesak napas. Karena berkurangnya volume darah yang dipompa keluar oleh
jantung (cardiac output yang berkurang), volume darah dalam arteri juga berkurang,
meskipun ada peningkatan yang nyata dalam total volume cairan tubuh.
Peningkatan volume cairan pada pembuluh darah dari paru-paru menyebabkan sesak
napas karena kebocoran pada pembuluh darah paru-paru akhibat cairan yang berlebihan ke
dalam ruang udara (alveoli) dan interstitium pada paru-paru. Akumulasi cairan dalam paru-
paru ini disebut pulmonary edema.

Sumber : Franz et al, 2011

Pada saat yang bersamaan, akumulasi cairan pada kaki (legs) menyebabkan pitting
edema. Edema ini terjadi karena penumpukan dari darah vena di kaki (legs) menyebabkan
kebocoran cairan dari kapialer kaki (pembuluh-pembuluh darah kecil) kedalam ruang-ruang
interstitial.
Sumber : http://epomedicine.com/clinical-medicine/physical-examination-edema/
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Ambika Satija. 2012. Cardiovascular Benefit of Dietary Fiber.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11883-012-0275-7. Acces 26 November 2018
Battegay, EJ. Lip, GYH. Bakris, GL. 2005. Hypertension Principles and Practice. Tailor &
Francis Group. USA
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P. 2012. Braunwald’s Heart Disease A Textbook of
Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.
Cardiovascular Medicine 9th Edition.Elsevier Saunders.USA
Corwin, E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta : 2002.
Depkes RI. 2006a . Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik. Departemen Kesehatan. Jakarta.
Depkes RI. 2006b . Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta.
Depkes RI. 2008a . Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun
2007. Depkes RI. Jakarta.
Depkes RI. 2008b . Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi
Kesehatan Depkes RI. Jakarta.
Ekmekcioglu, C. Elmadfa, I. Meyer, AL. Moeslinger, T. 2015. The Role of dietary
Pottasium in Hypertension and Diabetes.
https://link.springer.com/article/10.1007/s13105-015-0449-1 . Acces 26 November 2018.
Fauci, AS, Kasper Dl, Longo DL, Braunwald E, Hauser Sl, Jameson JL. 2008. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17thEdition. USA:McGraw-Hill.
Fisher NDL, Williams GH. Hypertensive vascular disease. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, et all, editors. Harrison’s principle of internal medicine.
16th edition. New York : McGraw Hill; 2005. p. 1463-80.
Guyton AC, Hall JE. 2006.Textbook of Medical Physiology 11 th Edition. Elsevier Saunders.
USA.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The McGraw – Hill
Companies. 2005.
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2004. Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Diesease.
7th edition. Boston: Elsevier B. V.
Lilly, LS. 2011. Pathophysiology of Heart Disease 5 th Edition. Lippincott William & Wilkins.
USA.
Makaritsis, KP. Manajemen of Hypertension in Obesity and Diabetes.
http://www.hasomed.gr/index.php/hasomed/abstracts/15o-etisio-synedrio/item/176-
management-of-hypertension-in-obesity-and-diabetes. Acces 18 November 2018.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. EGC. Jakarta.
Runge MS, Patterson C, Stouffer GA. 2010. Netter’s Cardiology 2 nd Edition. Saunders,
Elsevier Inc. USA.
William, Gordon. 2005.  Hypertensive Vascular Disease. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S.,
Longo,D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrison’s Principles of
Internal Medicine . 16 th ed. USA: McGraw-Hill

Anda mungkin juga menyukai