Anda di halaman 1dari 14

MATERI

Analisis Teks Sejarah dan Novel Sejarah

Disusun Oleh

1. Ahmad Firza Baihaqi


2. Ichwan Gani
3. Muhammad Farhan Dzaky Haryanto
4. Moh. Faizal Pratama
5. Nicole William
6. Rifqi Arianto Qasid Ahmad

Kelas XII IPS B

Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 78 Jakarta

Jalan Bhakti IV/1 Komplek Pajak Kemanggisan

2020
Daftar Isi

A. Teks Cerita Sejarah dan Strukturnya…………………………………


B. Ringkasan Teks Novel Sejarah dan Strukturnya……………………..
C. Kaidah Kebahasaan Teks Novel Sejarah……………………………..
D. Unsur Intrinsik Teks Novel Sejarah………………………………….
E. Unsur Ekstrinsik Teks Novel Sejarah………………………………..
A. Teks Cerita Sejarah dan Strukturnya

Pertempuran Surabaya
Orientasi

Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran pertama bangsa Indonesia


setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Pertempuran Surabaya
puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Ini merupakan salah satu peristiwa heroik
bagi bangsa Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanan para pahlawan
dan pejuang dalam merebut kemerdekaan. Setiap tanggal 10 November diperingati
sebagai Hari Pahlawan.

Urutan Peristiwa

Sejarah Pertempuran di Surabaya dilatarbelakangi oleh kedatangan pasukan


sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherland East Indies (NICA) pada 25
Oktober 1945 atau dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pasukan sekutu yang
dipimpin oleh Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sother Mallaby langsung masuk ke
Kota Surabaya dan mendirikan pos-pos pertahanan. Dilansir situs resmi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), kedatangan pasukan sekutu awalnya
untuk mengamankan tawanan perang, melucuti senjata Jepang, atau menjaga
ketertiban di berbagai daerah di Indonesia salah satunya Surabaya. Namun,
kenyataannya pasukan sekutu yang kebanyakan pasukan Inggris menyimpang.

Pada 27 Oktober 1945, pasukan sekutu menyerbu penjara membebaskan


tawanan perwira sekutu yang ditahan Indonesia. Pasukan sekutu juga menduduki
tempat-tempat vital. Seperti lapangan terbang, kantor radio, radio Surabaya, gedung
internatio, dan pusat kereta api. Pasukan sekutu menyebarkan famplet yang isinya
agar masyarakat menyerahkan senjata yang dimilikinya. Namun masyarakat Surabaya
menolak, apalagi harus mengangkat tangan.

Pada 28 Oktober 1945, pejuang Indonesia menyerang pos pertahanan.


Aspirasi perlawanan terhadap sekutu dikumandangkan oleh Bung Tomo
menggunakan radio. Dia, dengan berapi-api memberikan semangat kepada
masyarakat untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 28
Oktober 1945, para pemuda Surabaya bersemangat untuk mengusir sekutu dan
mempertahankan kedaulatan. Dengan penuh semangat, akhirnya masyarakat
Surabaya mampu merebut tempat-tempat vital. Sempat ada perundingan antara
Pemerintah Indonesia yang diwakili Preside Soekarno, Moh Hatta dan Amir
Syarifuddin dan sekutu, tapi pertempuran tetap terjadi. Pada 31 Oktober 1945,
Brigader Mallaby tewas dan menyulut kemarahan pihak sekutu. Pihak sekutu
memperingatkan masyarakat Surabaya untuk menyerah, jika tidak akan dihancurkan.
Namun masyarakat Surabaya tidak mau memenuhi tuntutan pihak sekutu.

Puncak pertempuran Surabaya terjadi pada 10 November 1945. Pasukan


sekutu melakukan penyerangan di Kota Surabaya dan pejuang Indonesia tidak gentar
malah bersemangat berjuang. Dalam menghadapi sekutu, senjatan yang dipakai
pejuang tidak hanya senjata tapi juga bambu runcing. Tak sedikit pejuang Indonesia
gugur dalam pertempuran tersebut mencapai 20.000 orang, sementara dari pihak
sekutu mencapai 1.500 orang. Pertempuran terakhir terjadi pada 28 November 1945.

Reorientasi

Semangat para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan membuat


Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Ini ditetapkan
melalui Keppres Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Pertempuran di
Surabaya tersebut berlangsung selama tiga minggu. Kerugian jiwa di pihak Indonesia
cukup banyak dan mencapai ribuan. Penduduk banyak mengungsi meninggalkan
Kota Surabaya. Selain itu banyak bangunan-bangunan rusak dan hancur. Semangat
inilah yang harus diwariskan pada para penerus bangsa sebagai ujung tombak
pembangunan.

B. Ringkasan Teks Novel Sejarah dan Strukturnya


Ringkasan Kutipan Novel Sejarah “Arok Dedes”

Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan.
Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawah masuk ke ruangan besar ini juga.
Ia digeletakan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul
Ametung, berdiri mengawasinya. Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis.
Orang itu tak juga pergi. Dan ia tidak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini.
Begitu matahari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda
brahmana. Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda
brahmana itu telah menikahkannya. Hanya Gede Mirah bertindak sebagai saksi.
Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu. Sejak itu ia
tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini. Semua berlangsung secara rahasia.
Empat puluh hari telah lewat. Sekarang ini Gede Mirah meriasnya. Ia telah sampai
pada riasan terakhir. Dalam empat puluh hari ia telah bermohon pada Mahadewa agar
melepaskannya dari kungkungan ini, mengembalikannya pada ayahnya tercinta di
desa. Semua sia-sia. Hari yang ke empat puluh adalah hari selesainya wadad
pengantin. Ia menggigil membayangkan seorang lelaki sebentar nanti akan
membawanya ke peraduan. Dan ayahnya tak juga datang untuk membenarkan
perkawinan ini. Dedes masih juga belum membuka mulut dalam empat puluh hari ini.
ia tahu Tunggul Ametung hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat untuk
jabatan itu oleh Sri Kretajaya untuk menjamin arus upeti ke Kediri.

Tunggul Ametung Tumapel melambung naik jadi raja kecil, dengan


kekuasaan tanpa batas, hanya takluk pada Kediri. Dua orang pengawal, mendengar
gerincing giring-giring, membuka tabir berat dari potongan rantung bambu petung,
menghentakkan pangkal tangkai tombak sebagai penghormatan, membungkuk tanpa
memandang pada Dedes. Gede Mirah menyerahkannya pada rombongan wanita
pengiring yang langsung menyerahkannya pada Yang Suci Belakangka, Pandita
Negeri Tumapel. Semua menunduk mengikatkan pandang pada lantai. Juga Dedes.
Hanya Sang Suci mengangkat muka, memimpin semua meninggalkan keputrian
menuju ke pendopo pekuwuan.

Di depan sendiri Dedes dalam intan baiduri gemerlapan. Rambutnya


dimahkotai dengan pita emas dengan matahari intan bertaburan pada kening. Di
belakang barisan dara pengiring, berselendang aneka warna, dengan gelang dan
binggal perak. Delapan puluh langkah keluar dari keputrian iringan sampai di
pendopo istana sang Akuwu. Empat orang prajurit berbarengan meniup sangkakala.
Dan keluarlah Tunggul Ametung dengan pakaian kebesaran, menandingi pakaian Sri
Kretajaya. Ia diapit oleh barisan narapraja, kemudian diiringkan oleh pasukan
pengawal, yang mendadak keluar dari samping-menyamping istana, menaikkan
tombak dan menghentakkan pangkalnya ke lantai. Sangkakala berhenti berseru-seru.
Akuwu Tumapel turun dari pendopo menyambut pengantinnya, menggandengnya.
Dua orang prajurut datang mengangkat sembah kemudian mempersembahkan kuda
mereka.

Tunggul Ametung menolong Dedes naik ke atas kuda yang seekor. Ia sendiri
menaikkan yang lain. Dan iringan itu mengikuti dari belakang berjalan kaki,
meninggalkan pekuwuan, langsung menuju ke alun-alun. Janur kuning dan daun
beringin menyambut kedatangan mereka. Dan rakyat yang menonton di sekitar alun-
alun itu hening tanpa sorak-sorai. Para narapraja ikut naik ke panggung. Para
pengiring berbaris bersila di bawah. Yang Suci Belakangka berdiri di hadapan
pengantin, memberi hormat menyingkir ke samping menghadap rakyat. Ia angkat
tongkat sucinya. Keadaan semakin hening. Mendadak menderum genderang dari
belakang para penonton dengan tangan kanan Yang Suci mengangkat giring-giring
emas dan menggerincingkannya tiga kali. Berpuluh pendita dari seluruh negri
Tumampel, berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warna dan destar sesuai
dengan warna jubahnya. Di tangan mereka terangkat umbul-umbul kecil. Waktu
sebarisan kepala desa menyusul, memikul patung dewa yang sedang duduk di atas
punggung garuda seluruhnya terbuat dari anyaman rontal, penonton bersorak-sorai,
kemudian mengangkat sembah. Sesampai di depan panggung semua barisan berjalan
miring menjauh memasuki tenga-tengah alun-alun. Hanya barisan patung di atas
garuda itu tetap berhenti di depan panggung.

Tunggul Ametung berdiri, menggandeng pengantinnya, dan memimpinnya


berlutut kemudian mengangkat sembah. Para narapraja di belakang pengantin agung
juga mengangkat sembah. Yang Suci melihat tangan Dedes gemetar dalam
sembahnya. Dan ia lihat air matanya titik. Kemudian tangan itu jatuh lunglai di atas
pangkuan. Belakangka membantunya mengangkat tangan itu dan memperbaiki
sembahnya. Berbisik menindas : “Dewa Sang Akuwu sekarang juga dewamu.” Tetapi
tak dapat lebih lama Yang Suci menunjang sembah Dedes. Ia harus memimpin
upacara selesai wadad itu. Sembah pengantin itu jatuh lagi di pangkuan. Belakangka
berdiri, mengangkat tongkat sucinya dan giring-giringnya pun gemerincing. Yang
Suci mengucapkan mantra restu, ditutup dengan suara seratus sangkakala.

Upacara penutupan brahmacarya telah selesai. Tunggul Ametung berdiri


berseru kepada rakyatnya: “Demi Hyang Wisynu, pada hari penutupan brahmacarya
ini, kami umumkan pada semua yang mendengar, pengantin kami ini Dedes, kami
angkat jadi Peramesywari, untuk menurunkan anak yang kelak akan menggantikan
kami.” Belakangka mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Terdengar sorak
bersambut-sambutan.

Dengan didahului oleh abu patung dalam bokor di atas talam ditangan seorang
pandita, Akuwu Tumapel dan pengantinnya menurunin panggung, berjalan kaki
menuju ke istananya. Para narapraja tinggal di pendopo, duduk bersimpuh. Akuwu
dan pengantinnya dalam iringan Yang Suci, dan seorang pandita membawa bokor abu
Erlangga menuju ke Bilik Agung yang terletak di balik pendopo. Mereka dapatkan
Gede Mirah menyambut di dalam. Diterimanya bokor emas itu dari tangan pandita
dan menaruhnya di atas meja, kemudian menyembahnya. Dedes berjalan tanpa
kemauan. Ia dengar sekali lagi Yang Suci berbisik menindas: “Basuhlah kaki Yang
Mulia.” Dara itu masih juga tak dapat membendung air matanya dan menangis
tersedan-sedan.

Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang
telah dipaksa berlutut oleh Yang Suci. “Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup
memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam
perkawinan kebesaran ini?” tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki
Tunggul Ametung, ia sandarkan tongkat sucinya pada meja, menangkap tangan
lembut Dedes dan memaksanya membasuh kaki kanan suaminya, kemudian yang
kiri. Dedes tak juga bangkit dari berlutut. Kembali Yang Suci juga yang
memimpinnya berdiri, membisikkan pada ubun-ubunnya, memberkahinya dengan
restu kebahagiaan serta seorang putra calon pemangku Tumapel hendaknya segera
dilahirkannya. Upacara selesai dan malampun jatuh.

Pesta untuk rakyat, juga pesta di pekuwuan telah selesai. Tumapel mulai sunyi
dalam tengah malam. Dan dingin pancaroba membikin orang lari di bawah selimut
masing-masing. Dalam Bilik Agung Dedes berlutut menghadapi peraduan. Air
matanya telah kering. Tapi dalam hatinya masih juga mengucur tiada henti. Gede
Mirah dan Rimang tak mampu menghiburnya. Ia tahu pikirannya tidak kacau.
Menghadapi peraduan begini, dengan Gede Mirah dan Rimang terus juga mencoba
menghiburnya, ia teringat pada suatu cerita pokok tentang perkawinan antara wanita
kasta brahmana dengan seorang pria kasta satria.. ayahnya, Mpu Purwa, yang
menceritakan padanya dalam suatu pelajaran tentang tata tertib triwangsa. Pada suatu
kali ditahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga Jayasaba dari Kediri mangkat. Pertentangan
terjadi dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang Gendis melarikan
diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta pada gadis anak brahmana
Resi Brahmaraja bernama Amisani.

Waktu itu Dedes menerimanya hanya sebagai pelajaran sejarah, sekarang ini
ia baru mengerti, semua itu peringatan pada dirinya untuk tidak menerima lamaran
dan suami seorang dari kasta satria. Ia sesali dirinya sendiri mengapa ia baru sekarang
ini mengerti makna cerita itu. Dan bagaimana cerita itu selanjutnya. Resi Brahmaraja
tidak menyetujui percintaan itu. Amisani ini, kata sang Resi, hanya gadis desa tidak
layak mendampingi Tuan jadi Paramesywari, duduk di ssinggasana dikemudian hari.
Tapi cinta telah membutakan Dandang Gendis : ia menjawab; Jika aku disuruh
memilih antara Amisani dan mahkota sekarang juga aku dapat katakan, aku pilih
Dewi Amisani. Resi Brahmaraja, yang mengenal betul kehidupan istana, meminta
pada Dandang Gendis untuk memikirkannya kembali, jangan sampai hati tertutup
oleh nafsu. Anakku, Tuan, aku tahu, dia lebih berbahagia hidup di Gunung Wilis ini
daripada di istana.

Di istana Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana. Orang pun
memasang racun untuk membunuhnya, Amisani akhirnya mati termakan racun itu.
Dedes terbangun dari renungannya. Ia kini sedang mengulangi kisah hidup Amisani.
Ia mengerti di Tumapel tersedia banyak racun untuk melenyapkannya dari muka
bumi. Aku tidak harus mati karena racun, ia yakinkan drinya sendiri, yang lain bisa,
Dedes tidak! Ia harus hidup.

Kutaraja, Ibukota Tumapel, tenggelam dalam dingin pancaroba. Seluruh negeri baru
tahu dari upacara itu, bahwa Paramesywari Tunggul Ametung adalah anak brahmana
Mpu Parwa dari desa Panawijil. Semua orang tahu brahmana itu tidak mendapatkan
pengakuan dari Yang Suci Belakangka, maka juga tidak dibenarkan menerima
pelajar. Satu-satunya murid resmi adalah anak tunggalnya: Dedes. Barang siapa pada
malam itu belum tidur, dia bertanya-tanya, apa sebabnya perkawinan itu dirahasiakan.

Dan mengapa Tunggul Ametung hanya mengambil gadis desa. Bukankah di


Kutaraja sendiri banyak gadis cantik yang patut di Paramesywarikan? Peristiwa itu
mendesak berita hebat dari hampir dua bulan lalu yang menyebabkan penjagaan
istana Tumapel dan seluruh Kutaraja diperketat. Berita itu adalah tentang Borang,
seorang pemuda berperawakan kukuh, berani atau nekad, tanpa kegentaran. Ia
muncul di tanah lapangan Bantar, setengah hari perjalanan di sebelah barat Kutaraja.
Bantar adalah sebuah dukuh di kaki Gunung Arjuna, di pinggir jalan negeri yang
menghubungkan Tumapel dengan Kediri. Pembangun dukuh adalah Ki Bantar.

Beberapa tahun yang lalu ladang Bantar tidak tanah lapang seperti sekarang,
karena Ki Bantar setiap musim kemarau menanaminya dengan bawang merah.
Seorang narapraja dalam perjalanan ke Kediri telah mengusirnya bersama semua
keluarganya. Di lapangan bantar ini dua bulan yang lalu Borang muncul dalam terang
cahaya bulan. Anak buahnya telah mengerahkan seluruh penduduk untuk berkumpul
dan melingkarinya. “Akulah Borang,” ia memperkenalkan diri. “Mengapa kalian
diam saja waktu Ki Bantar dan keluarganya diusir dari sini? Katakan padaku
sekarang: siapa yang bersuka hati karena kepergiannya?” penduduk yang menjadi
waspada tidak menjawab. Siapa Borang, orang tak tahu. Selama ini banyak
perlawanan terhadap Tunggul Ametung, dan hampir semua telah dipatahkan. Boleh
jadi Borang punggawa Tumapel, boleh jadi juga sebaliknya. Apakah kalian kurang
menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati
kalian?” “Bukankah kami tidak bersalah memuja dan mengkorbaninya, ya, Borang?”
seseorang bertanya. “Pemujaan dan korban kalian tiada arti bila kalian tak dapatkan
keberanian itu dari Hyang Wisynu.”

“Barangkali kau seorang pemuja Hyang Syiwa, Borang. Kalau demikian


janganlah disinggung dengan ucapanmu dengan apa yang kami cintai, sembah dan
korbani.” “Apakah kekurangan Hyang Wisynu maka Ki Bantar sampai terusir dari
desa dan kalian diam saja? “Tidak, Borang, jangan salahkan juga kami. Tumapel
terus-menerus menyalahkan kami. Kalau kau pun demikian apalah gunanya kau
menggiring kami ke tengah tanah lapang ini?” “Kalian memuja Hyang Wisynu hanya
karena Akuwu Tumapel juga melakukannya?”

“Kekuasaan Akuwu Tumapel yang diberkahi oleh Hyang Wisynu telah


membikin kalian mengidap kemiskinan tidak terkira. Dengan apa yang diambil dari
kalian itu juga Sri Baginda Kretajaya di Kediri sana tak lebih baik perbuatannya.
Sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan kemuliaan Hyang Wisynu,” ia diam
untuk memberi kesempatan pada penduduk Bantar untuk mengerti, ia bukan seorang
narapraja, juga bukan penyokong Akuwu Tumapel, bahkan menempatkan diri sebagai
lawannya. “nah, jawab sekarang. Adakah kalian setuju Ki Bantar dan keluarganya
diusir?” Seorang bertubuh tinggi besar, juga berselimut gelap, menghampiri Borang,
menetakkan tanya: “Siapa kau sesungguhnya?” “Jangan perhatikan siapa aku,
dengarkan kata-kataku. Jangan kau kira Borang gentar karena yang datang padaku
berperawakan tinggi dan besar. Kau sudah tak berdaya selama ini. Borang masih
berdaya.” “Siapa kau?” desak orang itu “Kalau kau narapraja dari Tumapel,
kebetulan, biar semua orang lihat dan tahu siapa Borang. Apa maumu?” orang-orang
dukuh Bantar, laki dan perempuan mulai mendesak mendekati. “Katakan berdepan-
depan pada semua orang ini,” si tinggi besar meneruskan, “Kau musuh Tumapel.”
“Aku bukan musuh Tumapel. Aku musuh Akuwu Tunggul Ametung. Apa perlu
kuulangi?” “Katakan kau musuh Sri Baginda Kretajaya.”

Ia masih akan bersimpuh pada kaki ayahnya untuk memohon ampunannya


karena tak mampu membela diri. Ia harus telan semua upacara penghinaan kaum
Wisynu atas dirinya. Ia angkat dagu, dan : “Ayah, sekarang ini sahaya kalah
menyerah. Dengarkan sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada
akhir kelaknya. “

Dedes tak tahu harus berbuat apa. Dua orang wanita itu tiba-tiba bersiap-siap,
mengangkat sembah padanya dan meninggalkan Bilik Agung. Tanpa mengangkat
pandang tanpa berpaling ia mengerti, Sang Akuwu telah meninggalkan pendopo dan
memasuki ruang besar ini. Ia tetap berlutut menghadap ke peraduan. Ia dengar
langkah kaki. Langkah-langkah itu semakin mendekat, menghampirinya. Ia tahu
detik-detik ini adalah upacara menaiki peraduan pengantin. Ia menggigil. Menurut
tata tertib yang diketahuinya, dengan sutra itu ia harus membasuh muka Tunggul
Ametung, badan dan tangan sebagai awal upacara. Tangan Akuwu itu menariknya,
dengan lembut memaksanya berdiri dan memimpinnya ke arah jambang air bunga.
Tekanan paksa dari Belakangka menyebabkan ia mencelupkan sutra itu ke dalam
jambang dan mulai membasuh muka bopeng bekas jerawat besar, kemudian dada dan
dua belah tangannya yang berbulu. Sutra itu jatuh dari tangannya yang menggigil.

Yang Suci mengambil sutra itu dan menggandengkan tangan Tunggul


Ametung pada pengantinnya: “Yang Mulia, bawalah perempuan ini naik ke peraduan.
Para dewa membenarkan. Pimpinlah dalam sanggama untuk mendapatkan
karunianya, mendapatkan calon pemangku Tumapel,” ia bunyikan giring-giringnya,
kemudian meninggalkan Bilik Agung. Berdua mereka berdiri di depan peraduan,
mengawasi lembaran kapas yang tergelar di atas tilam. Tunggul Ametung menoleh
pada dua orang wanita yang duduk bersimpuh di pintu. Mereka mengangkat sembah
dan pergi, hilang di balik tabir berat potongan-potongan ranting bambu petung.
Mendengar denting binggal yang bersintuhan tidak wajar Gede Mirah masuk lagi ke
dalam, mengangkat sembah, dan: “Yang Mulia,” ia mempersembahkan kehadirannya.
Tanpa menunggu perintah, Gede Mirah mengangkatnya ke atas peraduan, tepat di
atas lembaran kapas. Ken Dedes menutup matanya dengan tangan dan menangis
tersengal-sengal, laksana boneka emas di atas lembaran perak. Bertahun ia telah
mengimpikan saat ini, waktu datang ternyata ia takut dan jijik sekaligus. Dan Gede
Mirah memindahkan tangan penutup mata itu ke samping dan memperbaiki rias,
mengeringkan air mata, berbisik: “Bila Hyang Surya besok mengirimkan restunya,
tubuh dan jiwa pengantin ini sudah sudah jadi sepenuh wanita.” Ia tinggalkan Bilik
Agung setelah mengangkat sembah.

C. Kaidah Kebahasaan

a. Banyak Menggunakan Kalimat Bermakna Lampau


1. Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda
brahmana itu telah menikahkannya.
2. Bertahun ia telah mengimpikan saat ini, waktu datang ternyata ia takut dan
jijik sekaligus.
3. “Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup memuliakan kau, Dedes?
Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam perkawinan
kebesaran ini?” tindas Yang Suci.
b. Banyak Menggunakan Konjungsi Kronologis
1. “Bila Hyang Surya besok mengirimkan restunya, tubuh dan jiwa pengantin
ini sudah sudah jadi sepenuh wanita.” Ia tinggalkan Bilik Agung setelah
mengangkat sembah.
2. Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu.
Sejak itu ia tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini.
3. Sejak itu ia tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini. Semua
berlangsung secara rahasia. Empat puluh hari telah lewat.
c. Banyak menggunakan Kata Kerja yang Menggambarkan Tindakan (Kata Kerja
Material)
1. Ia menggigil membayangkan seorang lelaki sebentar nanti akan membawanya
ke peraduan.
2. Dua orang pengawal, mendengar gerincing giring-giring, membuka tabir berat
dari potongan rantung bambu petung, menghentakkan pangkal tangkai tombak
sebagai penghormatan, membungkuk tanpa memandang pada Dedes.
3. Dan rakyat yang menonton di sekitar alun-alun itu hening tanpa sorak-sorai.
d. Banyak menggunakan Kata Kerja Mental
1. Tuan, aku tahu, dia lebih berbahagia hidup di Gunung Wilis ini daripada di
istana.
2. Adakah kalian setuju Ki Bantar dan keluarganya diusir?” Seorang bertubuh
tinggi besar, juga berselimut gelap, menghampiri Borang, menetakkan
tanya: “Siapa kau sesungguhnya?”
3. Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis.
e. Banyak Menggunakan Kete Kerja yang Menunjukkan Kalimat tak Langsung.
1. Mpu Purwa, yang menceritakan padanya dalam suatu pelajaran tentang tata
tertib triwangsa.
2. Menurut tata tertib yang diketahuinya, dengan sutra itu ia harus membasuh
muka Tunggul Ametung, badan dan tangan sebagai awal upacara.
f. Menggunakan Banyak Dialog
1. Basuhlah kaki Yang Mulia.” Dara itu masih juga tak dapat membendung air
matanya dan menangis tersedan-sedan.
2. “Kau musuh Tumapel.” “Aku bukan musuh Tumapel. Aku musuh Akuwu
Tunggul Ametung. Apa perlu kuulangi?” “Katakan kau musuh Sri Baginda
Kretajaya.”
3. “Akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak
Triwangsa, kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!” Dan
Tunggul Ametung hanya seorang jantan yang tahu memaksa, merusak,
memerintah, membinasakan, merampas.

g. Menggunakan Kata-Kata Sifat untuk Menggambarkan Tokoh, Tempat, atau


Suasana

1. Di depan sendiri Dedes dalam intan baiduri gemerlapan. Rambutnya


dimahkotai dengan pita emas dengan matahari intan bertaburan pada kening.
Di belakang barisan dara pengiring, berselendang aneka warna, dengan gelang
dan binggal perak. Delapan puluh langkah keluar dari keputrian iringan
sampai di pendopo istana sang Akuwu
2. Tunggul Ametung dengan pakaian kebesaran, menandingi pakaian Sri
Kretajaya. Ia diapit oleh barisan narapraja, kemudian diiringkan oleh pasukan
pengawal, yang mendadak keluar dari samping-menyamping istana,
menaikkan tombak dan menghentakkan pangkalnya ke lantai. Sangkakala
berhenti berseru-seru.

D. Unsur Intrinsik Teks Novel Sejarah


a. Tema : Pernikahan Paksa
Dalam kutipan Novel Arok Dedes tersebut tema utama adalah pernikahan paksa.
Tunggul Ametung yang sudah berhasil menaklukan Ken Arok demi kecantikan
seorang Dedes memaksanya untuk menikah dengan Tunggul Ametung. Tema secara
implisit diterangkan pada paragraf berikut.

Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang telah
dipaksa berlutut oleh Yang Suci. “Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup
memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam
perkawinan kebesaran ini?” tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki
Tunggul Ametung.

b. Amanat : Amanat yang terkandung dalam cerita drama tersebut adalah pernikahan
adalah sebuah peristiwa sakral yang harus dilandasi suka sama suka dan tanpa
paksaan.

c. Alur : Campuran

Pada kutipan novel di atas, alur yang digunakan adalah alur campuran. Hal ini dapat
diindikasi melalui penceritaan alur yang maju mundur. Contohnya adalah paragraf
berikut.

Pada suatu kali ditahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga Jayasaba dari Kediri mangkat.
Pertentangan terjadi dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang
Gendis melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta pada gadis
anak brahmana Resi Brahmaraja bernama Amisani.

Paragraf tersebut merupakan penceritaan masa lampau yang diutarakan oleh penulis
tatkala Dedes sedang merenungi nasibnya.

d. Tokoh : Gede Mirah, Tunggul Ametung (Akuwu Tumapel), Ken Dedes, Borang
e. Latar;

Tempat : Istana, Pendopo, Bilik Agung

Waktu : Malam, kini, empat puluh hari telah lewat, sejak itu

Suasana : Sedih, berat hati, sunyi, hening,

f. Sudut pandang: pengarang sebagai orang ke 3

Penggunaan sudut pandang orang ke 3 pada kutipan novel dapat diketahui dengan
penggunaan kata ganti orang ketiga. Contohnya sebagai berikut

Tekanan paksa dari Belakangka menyebabkan ia mencelupkan sutra itu ke dalam


jambang dan mulai membasuh muka bopeng bekas jerawat besar..

g. Gaya penulisan : Bahasa yang digunakan ialah bahasa percakapan sehari-hari,


namun terdapat banyak majas yang dipergunakan. Novel ini tidak menggunakan
Bahasa Melayu.
E. Unsur Ekstrinsik Teks Novel Sejarah
a. Nilai Moral

Pada Kutipan Novel Arok Dedes secara eksplisit menunjukan kehormatan dan
kebaktian terhadap orang tua. Dedes yang terpaksa menikahi Tunggul Ametung
meminta nasihat dan menceritakan segala kegundahannya kepada sang Ayah. Hal
tersebut termaktub pada paragraph berikut:

Ia masih akan bersimpuh pada kaki ayahnya untuk memohon ampunannya karena tak
mampu membela diri. Ia harus telan semua upacara penghinaan kaum Wisynu atas
dirinya. Ia angkat dagu, dan : “Ayah, sekarang ini sahaya kalah menyerah. Dengarkan
sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya. “Akhir
kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa, kaum
brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!” Dan Tunggul Ametung hanya
seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan,
merampas.

b. Nilai Adat

Pada Novel ini nilai adat dan budaya masih sangat kental dipegang oleh masyarakat.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berlangsungnya upacara bagi pengantin yang akan
menikah.

Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang telah
dipaksa berlutut oleh Yang Suci. “Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup
memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam
perkawinan kebesaran ini?” tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki
Tunggul Ametung,

Kutipan di atas adalah adat pada masa itu, dimana dalam sebuah pernikahan
mempelai perempuan harus mencuci kaki pengantin pria. Hal ini ditonjolkan pada
Sebagian besar dari kutipan novel tersebut.

c. Nilai Sosial

Nilai sosial yang terkandung di dalam kutipan novel ini adalah menolong dan
membantu pada siapa saja. Hal ini terdapat pada momen Tunggul Ametung
membantu Dedes yang akan menjadi pengantinnya menaiki kuda.
Tunggul Ametung menolong Dedes naik ke atas kuda yang seekor. Ia sendiri
menaikkan yang lain. Dan iringan itu mengikuti dari belakang berjalan kaki,
meninggalkan pekuwuan, langsung menuju ke alun-alun. Janur kuning dan daun
beringin menyambut kedatangan mereka. Dan rakyat yang menonton di sekitar alun-
alun itu hening tanpa sorak-sorai.

d. Nilai Agama
Novel Arok Dedes berlatarkan kerajaan Hindu, oleh karena itu nilai-nilai Agama
hindu sangatlah kental pada setiap peristiwa. Masyarakat pada umumnya
mempartisipasikan dewa-dewi dalam setiap lini kehidupan.

“Akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa,
kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!” Dan Tunggul Ametung hanya
seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan,
merampas.

Dialog di atas diutarakan oleh Dedes kepada ayahnya mengenai pernikahannya


dengan Tunggul Ametung. Termaktub Dedes memuja Dewa Syiwa sebagai dewa
yang disembah oleh masyarakat pada kerajaan tersebut.

e. Nilai Estetis
Di depan sendiri Dedes dalam intan baiduri gemerlapan. Rambutnya dimahkotai
dengan pita emas dengan matahari intan bertaburan pada kening. Di belakang barisan
dara pengiring, berselendang aneka warna, dengan gelang dan binggal perak. Delapan
puluh langkah keluar dari keputrian iringan sampai di pendopo istana sang Akuwu.
Empat orang prajurit berbarengan meniup sangkakala. Dan keluarlah Tunggul
Ametung dengan pakaian kebesaran, menandingi pakaian Sri Kretajaya.

Kutipan di atas terkait dengan penyajian cerita.Penulis menggunakan teknik


deskriptif untuk menggambarkan suasana dan peristiwa yang terjadi dengan indah.
Pembaca seakan dapat menyaksikan dan merasakan sendiri peristiwa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai