Disusun Oleh
2020
Daftar Isi
Pertempuran Surabaya
Orientasi
Urutan Peristiwa
Reorientasi
Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan.
Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawah masuk ke ruangan besar ini juga.
Ia digeletakan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul
Ametung, berdiri mengawasinya. Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis.
Orang itu tak juga pergi. Dan ia tidak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini.
Begitu matahari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda
brahmana. Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda
brahmana itu telah menikahkannya. Hanya Gede Mirah bertindak sebagai saksi.
Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu. Sejak itu ia
tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini. Semua berlangsung secara rahasia.
Empat puluh hari telah lewat. Sekarang ini Gede Mirah meriasnya. Ia telah sampai
pada riasan terakhir. Dalam empat puluh hari ia telah bermohon pada Mahadewa agar
melepaskannya dari kungkungan ini, mengembalikannya pada ayahnya tercinta di
desa. Semua sia-sia. Hari yang ke empat puluh adalah hari selesainya wadad
pengantin. Ia menggigil membayangkan seorang lelaki sebentar nanti akan
membawanya ke peraduan. Dan ayahnya tak juga datang untuk membenarkan
perkawinan ini. Dedes masih juga belum membuka mulut dalam empat puluh hari ini.
ia tahu Tunggul Ametung hanya seorang penjahat dan pendekar yang diangkat untuk
jabatan itu oleh Sri Kretajaya untuk menjamin arus upeti ke Kediri.
Tunggul Ametung menolong Dedes naik ke atas kuda yang seekor. Ia sendiri
menaikkan yang lain. Dan iringan itu mengikuti dari belakang berjalan kaki,
meninggalkan pekuwuan, langsung menuju ke alun-alun. Janur kuning dan daun
beringin menyambut kedatangan mereka. Dan rakyat yang menonton di sekitar alun-
alun itu hening tanpa sorak-sorai. Para narapraja ikut naik ke panggung. Para
pengiring berbaris bersila di bawah. Yang Suci Belakangka berdiri di hadapan
pengantin, memberi hormat menyingkir ke samping menghadap rakyat. Ia angkat
tongkat sucinya. Keadaan semakin hening. Mendadak menderum genderang dari
belakang para penonton dengan tangan kanan Yang Suci mengangkat giring-giring
emas dan menggerincingkannya tiga kali. Berpuluh pendita dari seluruh negri
Tumampel, berbaris seorang-seorang dengan jubah aneka warna dan destar sesuai
dengan warna jubahnya. Di tangan mereka terangkat umbul-umbul kecil. Waktu
sebarisan kepala desa menyusul, memikul patung dewa yang sedang duduk di atas
punggung garuda seluruhnya terbuat dari anyaman rontal, penonton bersorak-sorai,
kemudian mengangkat sembah. Sesampai di depan panggung semua barisan berjalan
miring menjauh memasuki tenga-tengah alun-alun. Hanya barisan patung di atas
garuda itu tetap berhenti di depan panggung.
Dengan didahului oleh abu patung dalam bokor di atas talam ditangan seorang
pandita, Akuwu Tumapel dan pengantinnya menurunin panggung, berjalan kaki
menuju ke istananya. Para narapraja tinggal di pendopo, duduk bersimpuh. Akuwu
dan pengantinnya dalam iringan Yang Suci, dan seorang pandita membawa bokor abu
Erlangga menuju ke Bilik Agung yang terletak di balik pendopo. Mereka dapatkan
Gede Mirah menyambut di dalam. Diterimanya bokor emas itu dari tangan pandita
dan menaruhnya di atas meja, kemudian menyembahnya. Dedes berjalan tanpa
kemauan. Ia dengar sekali lagi Yang Suci berbisik menindas: “Basuhlah kaki Yang
Mulia.” Dara itu masih juga tak dapat membendung air matanya dan menangis
tersedan-sedan.
Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang
telah dipaksa berlutut oleh Yang Suci. “Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup
memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam
perkawinan kebesaran ini?” tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki
Tunggul Ametung, ia sandarkan tongkat sucinya pada meja, menangkap tangan
lembut Dedes dan memaksanya membasuh kaki kanan suaminya, kemudian yang
kiri. Dedes tak juga bangkit dari berlutut. Kembali Yang Suci juga yang
memimpinnya berdiri, membisikkan pada ubun-ubunnya, memberkahinya dengan
restu kebahagiaan serta seorang putra calon pemangku Tumapel hendaknya segera
dilahirkannya. Upacara selesai dan malampun jatuh.
Pesta untuk rakyat, juga pesta di pekuwuan telah selesai. Tumapel mulai sunyi
dalam tengah malam. Dan dingin pancaroba membikin orang lari di bawah selimut
masing-masing. Dalam Bilik Agung Dedes berlutut menghadapi peraduan. Air
matanya telah kering. Tapi dalam hatinya masih juga mengucur tiada henti. Gede
Mirah dan Rimang tak mampu menghiburnya. Ia tahu pikirannya tidak kacau.
Menghadapi peraduan begini, dengan Gede Mirah dan Rimang terus juga mencoba
menghiburnya, ia teringat pada suatu cerita pokok tentang perkawinan antara wanita
kasta brahmana dengan seorang pria kasta satria.. ayahnya, Mpu Purwa, yang
menceritakan padanya dalam suatu pelajaran tentang tata tertib triwangsa. Pada suatu
kali ditahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga Jayasaba dari Kediri mangkat. Pertentangan
terjadi dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang Gendis melarikan
diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta pada gadis anak brahmana
Resi Brahmaraja bernama Amisani.
Waktu itu Dedes menerimanya hanya sebagai pelajaran sejarah, sekarang ini
ia baru mengerti, semua itu peringatan pada dirinya untuk tidak menerima lamaran
dan suami seorang dari kasta satria. Ia sesali dirinya sendiri mengapa ia baru sekarang
ini mengerti makna cerita itu. Dan bagaimana cerita itu selanjutnya. Resi Brahmaraja
tidak menyetujui percintaan itu. Amisani ini, kata sang Resi, hanya gadis desa tidak
layak mendampingi Tuan jadi Paramesywari, duduk di ssinggasana dikemudian hari.
Tapi cinta telah membutakan Dandang Gendis : ia menjawab; Jika aku disuruh
memilih antara Amisani dan mahkota sekarang juga aku dapat katakan, aku pilih
Dewi Amisani. Resi Brahmaraja, yang mengenal betul kehidupan istana, meminta
pada Dandang Gendis untuk memikirkannya kembali, jangan sampai hati tertutup
oleh nafsu. Anakku, Tuan, aku tahu, dia lebih berbahagia hidup di Gunung Wilis ini
daripada di istana.
Di istana Amisani, si anak desa, tidak disukai oleh para putri istana. Orang pun
memasang racun untuk membunuhnya, Amisani akhirnya mati termakan racun itu.
Dedes terbangun dari renungannya. Ia kini sedang mengulangi kisah hidup Amisani.
Ia mengerti di Tumapel tersedia banyak racun untuk melenyapkannya dari muka
bumi. Aku tidak harus mati karena racun, ia yakinkan drinya sendiri, yang lain bisa,
Dedes tidak! Ia harus hidup.
Kutaraja, Ibukota Tumapel, tenggelam dalam dingin pancaroba. Seluruh negeri baru
tahu dari upacara itu, bahwa Paramesywari Tunggul Ametung adalah anak brahmana
Mpu Parwa dari desa Panawijil. Semua orang tahu brahmana itu tidak mendapatkan
pengakuan dari Yang Suci Belakangka, maka juga tidak dibenarkan menerima
pelajar. Satu-satunya murid resmi adalah anak tunggalnya: Dedes. Barang siapa pada
malam itu belum tidur, dia bertanya-tanya, apa sebabnya perkawinan itu dirahasiakan.
Beberapa tahun yang lalu ladang Bantar tidak tanah lapang seperti sekarang,
karena Ki Bantar setiap musim kemarau menanaminya dengan bawang merah.
Seorang narapraja dalam perjalanan ke Kediri telah mengusirnya bersama semua
keluarganya. Di lapangan bantar ini dua bulan yang lalu Borang muncul dalam terang
cahaya bulan. Anak buahnya telah mengerahkan seluruh penduduk untuk berkumpul
dan melingkarinya. “Akulah Borang,” ia memperkenalkan diri. “Mengapa kalian
diam saja waktu Ki Bantar dan keluarganya diusir dari sini? Katakan padaku
sekarang: siapa yang bersuka hati karena kepergiannya?” penduduk yang menjadi
waspada tidak menjawab. Siapa Borang, orang tak tahu. Selama ini banyak
perlawanan terhadap Tunggul Ametung, dan hampir semua telah dipatahkan. Boleh
jadi Borang punggawa Tumapel, boleh jadi juga sebaliknya. Apakah kalian kurang
menyembah dan berkorban pada Hyang Wisynu, maka kurang keberanian dalam hati
kalian?” “Bukankah kami tidak bersalah memuja dan mengkorbaninya, ya, Borang?”
seseorang bertanya. “Pemujaan dan korban kalian tiada arti bila kalian tak dapatkan
keberanian itu dari Hyang Wisynu.”
Dedes tak tahu harus berbuat apa. Dua orang wanita itu tiba-tiba bersiap-siap,
mengangkat sembah padanya dan meninggalkan Bilik Agung. Tanpa mengangkat
pandang tanpa berpaling ia mengerti, Sang Akuwu telah meninggalkan pendopo dan
memasuki ruang besar ini. Ia tetap berlutut menghadap ke peraduan. Ia dengar
langkah kaki. Langkah-langkah itu semakin mendekat, menghampirinya. Ia tahu
detik-detik ini adalah upacara menaiki peraduan pengantin. Ia menggigil. Menurut
tata tertib yang diketahuinya, dengan sutra itu ia harus membasuh muka Tunggul
Ametung, badan dan tangan sebagai awal upacara. Tangan Akuwu itu menariknya,
dengan lembut memaksanya berdiri dan memimpinnya ke arah jambang air bunga.
Tekanan paksa dari Belakangka menyebabkan ia mencelupkan sutra itu ke dalam
jambang dan mulai membasuh muka bopeng bekas jerawat besar, kemudian dada dan
dua belah tangannya yang berbulu. Sutra itu jatuh dari tangannya yang menggigil.
C. Kaidah Kebahasaan
Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang telah
dipaksa berlutut oleh Yang Suci. “Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup
memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam
perkawinan kebesaran ini?” tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki
Tunggul Ametung.
b. Amanat : Amanat yang terkandung dalam cerita drama tersebut adalah pernikahan
adalah sebuah peristiwa sakral yang harus dilandasi suka sama suka dan tanpa
paksaan.
c. Alur : Campuran
Pada kutipan novel di atas, alur yang digunakan adalah alur campuran. Hal ini dapat
diindikasi melalui penceritaan alur yang maju mundur. Contohnya adalah paragraf
berikut.
Pada suatu kali ditahun 1107 Saka Sri Ratu Srengga Jayasaba dari Kediri mangkat.
Pertentangan terjadi dalam istana siapa yang harus dinobatkan. Raden Dandang
Gendis melarikan diri dari istana ke Gunung Wilis. Di sana ia jatuh cinta pada gadis
anak brahmana Resi Brahmaraja bernama Amisani.
Paragraf tersebut merupakan penceritaan masa lampau yang diutarakan oleh penulis
tatkala Dedes sedang merenungi nasibnya.
d. Tokoh : Gede Mirah, Tunggul Ametung (Akuwu Tumapel), Ken Dedes, Borang
e. Latar;
Waktu : Malam, kini, empat puluh hari telah lewat, sejak itu
Penggunaan sudut pandang orang ke 3 pada kutipan novel dapat diketahui dengan
penggunaan kata ganti orang ketiga. Contohnya sebagai berikut
Pada Kutipan Novel Arok Dedes secara eksplisit menunjukan kehormatan dan
kebaktian terhadap orang tua. Dedes yang terpaksa menikahi Tunggul Ametung
meminta nasihat dan menceritakan segala kegundahannya kepada sang Ayah. Hal
tersebut termaktub pada paragraph berikut:
Ia masih akan bersimpuh pada kaki ayahnya untuk memohon ampunannya karena tak
mampu membela diri. Ia harus telan semua upacara penghinaan kaum Wisynu atas
dirinya. Ia angkat dagu, dan : “Ayah, sekarang ini sahaya kalah menyerah. Dengarkan
sumpah sahaya, sahaya akan keluar sebagai pemenang pada akhir kelaknya. “Akhir
kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa, kaum
brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!” Dan Tunggul Ametung hanya
seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan,
merampas.
b. Nilai Adat
Pada Novel ini nilai adat dan budaya masih sangat kental dipegang oleh masyarakat.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berlangsungnya upacara bagi pengantin yang akan
menikah.
Tunggul Ametung dalam berdiri itu mengangkat kaki kanan pada Dedes yang telah
dipaksa berlutut oleh Yang Suci. “Bukankah Yang Mulia Akuwu sudah cukup
memuliakan kau, Dedes? Paramesywari Tumapel? Telah mengangkat naik kau dalam
perkawinan kebesaran ini?” tindas Yang Suci. Melihat Dedes tak juga mencuci kaki
Tunggul Ametung,
Kutipan di atas adalah adat pada masa itu, dimana dalam sebuah pernikahan
mempelai perempuan harus mencuci kaki pengantin pria. Hal ini ditonjolkan pada
Sebagian besar dari kutipan novel tersebut.
c. Nilai Sosial
Nilai sosial yang terkandung di dalam kutipan novel ini adalah menolong dan
membantu pada siapa saja. Hal ini terdapat pada momen Tunggul Ametung
membantu Dedes yang akan menjadi pengantinnya menaiki kuda.
Tunggul Ametung menolong Dedes naik ke atas kuda yang seekor. Ia sendiri
menaikkan yang lain. Dan iringan itu mengikuti dari belakang berjalan kaki,
meninggalkan pekuwuan, langsung menuju ke alun-alun. Janur kuning dan daun
beringin menyambut kedatangan mereka. Dan rakyat yang menonton di sekitar alun-
alun itu hening tanpa sorak-sorai.
d. Nilai Agama
Novel Arok Dedes berlatarkan kerajaan Hindu, oleh karena itu nilai-nilai Agama
hindu sangatlah kental pada setiap peristiwa. Masyarakat pada umumnya
mempartisipasikan dewa-dewi dalam setiap lini kehidupan.
“Akhir kelaknya sahaya yang menang, Ayah, Agunglah kau, puncak Triwangsa,
kaum brahmana. Agunglah Hyang Mahadewa Syiwa!” Dan Tunggul Ametung hanya
seorang jantan yang tahu memaksa, merusak, memerintah, membinasakan,
merampas.
e. Nilai Estetis
Di depan sendiri Dedes dalam intan baiduri gemerlapan. Rambutnya dimahkotai
dengan pita emas dengan matahari intan bertaburan pada kening. Di belakang barisan
dara pengiring, berselendang aneka warna, dengan gelang dan binggal perak. Delapan
puluh langkah keluar dari keputrian iringan sampai di pendopo istana sang Akuwu.
Empat orang prajurit berbarengan meniup sangkakala. Dan keluarlah Tunggul
Ametung dengan pakaian kebesaran, menandingi pakaian Sri Kretajaya.