Anda di halaman 1dari 3

JARINGAN ULAMA DI HARAMAIN ABAD KE-17

Makkah Dan Madinah: Latar Belakang Historis Kebangkitan Jaringan Ulama


Internasional

Makkah dan Madinah sering juga disebut Haramain atau (2 haram), menduduki posisi
sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum muslim. Haramain merupakan tempat Islam
diturunkan kepada Nabi Muhammad. Makkah adalah kiblat ke arah mana para penganut Islam
menghadapkan wajah dalam shalat, dan dimana mereka melakukan ibadah haji. Dengan
signifikansi keagamaan seperti itu, tidak heran jika banyak keutamaan (Fadha’il) dilekatkan
kepada Makkah dan Madinah.

Kombinasi antara Fadha’il Makkah dan Madinah dan ajaran Al-quran dan hadis untuk
untuk menuntut ilmu (tholabul al-ilm), tak ragu lagi meningkatkan nilai pengetahuan yang
diperoleh di kedua kota suci tersebut. Singkatnya, ilmu yang diperoleh di Haramain dipandang
lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat pusat keilmuan lain. Bagi banyak
muslim, khususnya di Nusantara, ulama jebolan Haramain dipandang lebih dihormati daripada
mereka yang memperoleh pendidikan di tempat lain manapun.

Lebih jauh lagi, dengan datang dan perginya jamaah haji setiap tahun, Makkah dan
Madinah menjadi tempat pertemuan terbesar kaum muslim dari berbagai penjuru dunia.
Haramain adalah pusat intelektual dunia muslim di mana ulama, Sufi, filosof, penyair,
pengusaha, dan sejarawan muslim bertemu dan saling menukar informasi. Inilah satu sebab,
mengapa ulama dan penuntut ilmu yang mengajar dan belajar di Makkah dan Madinah pada
umumnya memiliki pandangan keagamaan lebih Cosmopolitan dibandingkan mereka yang
berada di kota-kota muslim lain. Seperti dikemukakan dengan tepat oleh gellens, bagi para
penuntut ilmu, pengalaman di Haramain tidak hanya memperkuat dalam diri mereka ciri-ciri
umum yang universal bagi seluruh muslim, tetapi juga menimpa mereka ke dalam suatu
formulasi perumusan dan vis-a-vis masyarakat muslim mereka sendiri maupun dunia islam lebih
besar.

Kebangkitan jaringan ulama yang mencakup pula makanan Timur tengah di Makkah dan
Madinah, tidaklah independen dari perkembangan-perkembangan lain, baik di halaman sendiri
ataupun dunia muslim secara keseluruhan. Dengan kata lain, kebangkitan jaringan ulama itu
berkaitan dengan beberapa faktor penting, yang tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga
ekonomi, sosial dan politik. Faktor-faktor ini bekerja, baik pada tingkat masyarakat muslim
tertentu maupun pada tingkat dunia muslim.

Dalam pembahasan di muka kita melihat, misalnya bagaimana kontak dan hubungan
antara Muslim di nusantara dan Timur tengah mulai menemukan momentum dengan muncul dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan muslim di nusantara. Intensifikasi perdagangan di lautan India
menimbulkan kontak yang lebih intens tidak hanya di antara para pedagang muslim, tetapi juga
di antara penguasa dan pejabat-pejabat Muslim. Peningkatan kehadiran bangsa Eropa, khususnya
Portugis, di kawasan lautan India juga merupakan faktor penting yang mendorong terciptanya
hubungan politik dan diplomatik yang lebih erat antara nusantara dan Timur tengah. Akselerasi
hubungan-hubungan ini memberikan sumbangan signifikan kepada pertumbuhan jumlah jamaah
haji Melayu Indonesia di Haramain, yang pada gilirannya memacu keterlibatan mereka di dalam
jaringan ulama yang ada.

Dengan mempertimbangkan semua itu, agaknya perlu diingat kembali bahwa dengan
pelucutan dinasti Abbasiyah sejak pada ke sejak abad ke-9 situasi politik di Hijaz, khususnya di
Haramain, memburuk secara drastic. Pada awal abad ke-10, kaum Syiah muncul ke panggung
kekuasaan di hampir seluruh Timur Tengah Dinasti Fatimiyah Malang melintang di Mesir dan
Afrika Utara, sementara dinasti Buwaihiyah menguasai Irak, Iran, dan bahkan mendikte khalifah
Sunni di Baghdad. Meski para penguasa si yg jarang memaksakan pandangan keagamaan
mereka kepada warga sunni mayoritas, tetapi kejayaan politik Syi’i tak ragu lagi, merupakan
pukulan moral bagi kaum Sunni.

Pengalaman hijrah dalam berhadapan dengan kekuatan lain dengan pengalaman Mesir.
Berbeda dengan Syiah fathimiyah yang relatif toleran di Mesir, Hijaz harus berhadapandengan
Syi’ah Qarmathiyah. Penyebaran kelompok sempalan syi’ah ini dari Bahrain ke Arabia Barat
terbukti mendatangkan bencana bagi Hijaz. Pada 317/929, dipimpin Tahir Al-Qarmathi, kaum
Syi’ah Qarmathiyah menyerbu Mekah dan membunuh 30 ribu jamaah haji dan penduduk
setempat. Setelah menjarah Mekah mereka melarikan "batu hitam" (hajar al-aswad) ke Al-Hijr
kubu mereka di Arabia Barat. Batu hitam ini baru mereka kembali kan 22 tahun kemudian,
ketika Mansur Al Alawi, pemimpin Qarmathiyah Afrika Utara, berhasil membujuk mereka agar
mengembalikan ke Ka'bah.
Penjarahan Qarmathiyah jelas menimbulkan dampak-dampak negatif substantial bagi
Haramain. Kedatangan jamaah haji dari Irak, misalnya terhenti sama sekali dan jalur perjalanan
haji dari wilayah-wilayah lain ke Makkah juga sangat terganggu. Sejarawan alfasy
mengemukakan beberapa contoh kafilah haji yang terpaksa kembali ke negeri asal mereka.
Selama beberapa dasawarsa setelah anarki dimulai kaum Qarmathi, penduduk dan jamaah haji di
haram ayu tetap berada dalam situasi yang tidak aman. Lebih celaka lagi pada saat yang sama
para penguasa Haramain, terlibat dalam pertarungan pertarungan kekuasaan di antara mereka
sendiri mereka tidak berada dalam posisi untuk menangkis campur tangan pihak luar dan
akibatnya mereka membiarkan penduduk dan jamaah haji berantakan.

Kekacauan di politik di Hijaz menimbulkan dampak-dampak mendalam atas kehidupan


ekonomi, sosial, dan pendidikan di haramain. Al-Siba’I, misalnya menyatakan bahwa selama
masa kegalauan ini, pasar-pasar di Makkah nyata semuanya tutup. Kebanyakan pedagang yang
biasanya datang berdagang selama musim haji, kini pergi ke tempat-tempat lain. Fungsi
Haramain sebagai pusat pendidikan Islam juga mengalami kemerosotan. Locus (kancah)
pendidikan semakin terbatas pada masjid Al haram di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah.
Lebih jauh, jumlah penuntut ilmu kesehatan menurun drastis antusiasme jamaah haji Non Hijazi
untuk tinggal lebih lama di Haramain seusai musim Haji nampaknya kian berkurang. Al Siba’i
mengakui berlanjutnya kegiatan keilmuan di ke dua masjid suci selama masa-masa sulit ini,
tetapi mereka yang terlibat dalam wacana intelektual keagamaan (religio intellectual discourses)
terbatas pada penduduk local.

Namun situasi mulai berubah menjelang abad ke-11 ketika kaum Sunni meraih kembali
kontrol politik atas kepala kebanyakan wilayah timur penguasa-penguasa.

Anda mungkin juga menyukai