Pendahuluan
Tahun 2019 ini memberikan makna tersendiri bagi umat manusia di dunia, apalagi
bagi umat Indonesia. Kenapa begitu? Karena di tahun 2019 ini merupakan salah satu tahun
di mana kita tidak hanya semakin tua di dalam usia, tetapi juga banyak fenomena yang
perlu dipahami bersama. Kejadian demi kejadian yang telah, sedang, dan akan terjadi
memiliki pemahaman tersendiri untuk dikaji dan disadari dalam diri kita semua. Maka di
sini, akan tepat jika merefleksikan kembali kehidupan kita dalam konteks untuk apa
sebenarnya kita hidup dan bagaimana seharusnya? Sudah ada banyak karya sastra
(khususnya puisi) dapat ditinjau kembali bagaimana memaknai kehidupan. Tetapi banyak
kalangan masih kesulitan dalam memahami setiap kata demi kata pada sastra yang ada
selama ini.
Memahami sulitnya masyarakat dalam memahami detail setiap kata dalam puisi, tentu
semua telaah-telaah sastra selalu merujuk pada bagaimana seseorang menginterpretasikan
sastra tersebut. Secara spesifik, memang di masyarakat tidak memberikan interpretasi
secara langsung, tetapi setiap individu yang membaca ataupun yang mendengar karya
sastra, khususnya puisi, tentu mereka akan bersangkutan dengan karya sastra yang harus
diinterpretasi dan dimaknai. Banyak artikel mengungkapkan bahwa semua kegiatan kajian
sastra, pasti melibatkan peran konsep hermeneutik. Dalam hubungannya dengan sastra
puisi sendiri, tahap pertama perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak
diarahkan pada suatu proses yang hanya sampai pada permukaan karya sastra, tetapi juga
yang mampu "sampai di kedalaman makna" yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
seorang penafsir seyogiannya harus memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang
cukup luas dan mendalam (Muchti, 2016).
Dalam memahami kajian hermeneutik dalam teks puisi, tulisan sederhana ini akan
mencoba menguraikan satu puisi karya KH. Musthofa Bisri yang akrab dipanggil Gus
Mus, yang berjudul “Selamat Tahun Baru, Kawan”. Puisi Gus Mus ini dipilih karena di
dalam setiap sajak puisi beliau merupakan hasil ekspresi diri dan kehidupan yang memiliki
nilai-nilai kemanusiaan, religius, dan bahkan nilai-nilai keadilan sosial. Bahkan di dalam
puisi “Selamat Tahun Baru, Kawan” ini, Gus Mus mencoba mengekspresikan diri dan
beliau masuk di dalam cerminan kehidupan beliau sendiri. Dalam konteks inilah, puisi
Gus Mus ini bagi penulis sangat tepat dalam memaknai tahun baru 2019 ini dalam
kehidupan kita sehari-hari.
Permulaan ungkapan yang sangat menarik, karena terdapat frasa-frasa yang memiliki
kedalaman makna di belakangnya. Penyair menggunakan kata “sudah tahun baru lagi”, hal
ini mengimplikasikan bahwa hari demi hari terus berganti, bulan dan tahun silih berganti.
Lantas ada apa dengan pergantian jam, hari, bulan, sampai tahun di diri seseorang? Setelah
itu muncul frasa selanjutnya, yang memiliki makna dengan berganti waktu, kapan kita
memperbaiki diri. Kapan kita memahami bahwa manusia itu memiliki Tuhan. Kapan kita
menyadari bahwa semua manusia itu pada dasarnya sangat lemah dan perlu tumpuan
hidup yang abadi dari yang Maha Kuat, yaitu Tuhan.
Tidak hanya itu, di dalam frasa terakhir ini penyair mencoba mengungkapkan, sampai
kapan kita terus berbuat kebatilan di muka bumi ini, apakah kita tidak mengimani bahwa
kehidupan saat ini masih panjang dan ada kehidupan baru yang lebih kekal dan lebih
segalanya. Apapun kehidupan manusia pada saatnya akan dimintai pertanggungjawaban
di kehidupan berikutnya, di hari penghisaban.
Kawan siapakah kita ini sebenarnya?
Musliminkah, mukminin, muttaqin,
kholifah Allah, umat Muhammad kah kita?
Khoiro ummatin kah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak perut dan kelamin
Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan
Lebih pipih dari kain rok perempuan
Betapapun tersiksa, kita khusyuk di depan masa
Dan tiba tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersama-Nya
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug, atau pernyataan setia pegawai rendahan saja.
Kosong tak berdaya.
Ungkapan puisi Gus Mus ini memperlihatkan kepada para pendengar dan pembaca
bahwa siapakah kita sebenarnya. Apakah kita manusia yang mengerti betul apa itu
manusia atau sebaliknya. Jika kita tidak memahami bahwa kita adalah manusia, maka
derajat kita sebagai manusia sangatlah rendah. Bahkan secara tersirat, banyak manusia di
luar sana hanya menggunakan diri sebagai manusia untuk dikuasai penuh oleh isi perut
dan hasrat birahi semata. Banyak di luar sana, hanya sibuk mengurusi kehidupan duniawi
yang serba nafsu materialistik, tapi melupakan ketenangan batin. Padahal sebenarnya
kebahagiaan duniawi adalah ketenangan batin itu sendiri.
Penyair mengajak semua pendengar dan pembaca untuk melihat ke diri sendiri,
mengevaluasi diri apakah kita bagian manusia yang ke arah kanan (kebaikan) atau ke arah
kiri (keburukan). Manusia dianugerahi Tuhan dengan kekuatan fisik dan pikiran yang luar
biasa, apakah dengan kekuatan tersebut manusia menggunakannya tidak untuk perbaikan
diri atau justru untuk perusak dirinya sendiri.
Munafik dalam ucapan, sikap, dan hati harus terus belajar dihindari karena di
dalammnya justru dapat membebani diri sendiri yang pada ujungnya memberikan
kemadharatan besar bagi individual dan sosial. Dalam frasa puisi itu terlihat, bagaimana
penyair menginginkan kita semua untuk berpikir ulang untuk menjadi manusia apa
adanya, tanpa ada polesan ‘make up’ yang menutupi diri dalam realitas.
Puasa kita rasanya sekadar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat, tanpa
menggeser acara buat syahwat
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material,
membuang uang kecil dan dosa besar.
Lalu pulang membawa label suci asli made in saudi, "HAJI"
Kawan, lalu bagaimana, bila mana dan berapa lama kita bersama-Nya
Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya,
mensiasati dunia sebagai khalifahnya.
Lebih lanjut dengan frasa-frasa berikutnya, penyair dengan berani mengungkapkan isi
hati dengan terus menggunakan luapan-luapan kata-kata yang menyadarkan kita semua
tentang apa yang selama ini kita lakukan. Apakah sudah benar kebaikan-kebaikan yang
selama ini dilakukan sesuai dengan koridor manusia beriman atau tidak. Ritual sholat
semestinya untuk perbaikan dan muhasabah diri, tetapi justru banyak digunakan sebagai
aktivitas harian yang tidak memiliki implikasi apapun terhadap kehidupan. Bagitu pula
puasa, zakat dan aktivitas keagamaan lainnya. Penyair dengan ‘geram’ mempertanyakan
sudah benarkah semua aktivitas kehidupan kita selama ini. Sudah dapat nilai “A” kah
perbuatan kita di mata Tuhan, atau jangan-jangan kita hanya sibuk menutupi nilai “E”
tanpa berbuat apa-apa untuk memperbaikinya.
Secara eksplisit, frasa ini mengungkapkan makna di belakang simbol kata demi kata.
Dalam frasa ini, menurut penulis, banyak manusia selama ini hiprokit (munafik) dalam
menjalankan kehidupan. Manusia memiliki akal untuk mencerdaskan diri sendiri, tetapi
akal itu tidak digunakan untuk hal-hal positif. Manusia memiliki kekuatan menjadi
khalifah (pemimpin), tetapi justru dengan kekuatan tersebut, manusia terus merusak dan
mengeksploitasi apapun untuk kepentingan pribadi-kelompok duniawinya.
Manusia memiliki pikiran untuk berpikir, tetapi realitasnya digunakan untuk
membiarkan keburukan/ kebatilan, dan bahkan ia sendiri menggunakan pikirannya untuk
melakukan keburukan itu sendiri. Bahkan dengan berbagai macam keburukan itu, manusia
sangat pandai menutupinya. Seakan-akan hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan cepat
tertutupi dengan kebaikan-kebaikan lain. Kemunafikan inilah, bagi penyair, harus
diungkap di dalam kata-kata puisinya. Karena hal tersebut sebagai dasar untuk
menyadarkan kita sebagai manusia untuk menghindari nilai ketidakmanusiaannya itu.
Lalu bagaimana para cendekiawan, seniman, mubaligh dan kiai sebagai penyambung lidah
Nabi
Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kiai sibuk berfatwa dan berdoa
Lalu bagaimana para cendekiawan dan seniman, para mubaligh dan kiai penyambung lidah
Nabi?
Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak ke mana-mana
Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdoa
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka di atas sana
Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri
Frasa terakhir ini sebagai frasa kesimpulan, yakni tidak hanya manusia biasa yang
harus menyadari tentang kehidupan ini, tetapi semua manusia yang memiliki gelar dan
jabatan (dari hasil konstruksi sosialnya) juga perlu menyadari. Penyair sangat menyadari
bahwa manusia memang terbagi menjadi dua golongan, manusia biasa dan manusia ‘di
atas biasa’ (manusia yang bertitel). Penyair mencoba melihat kedua manusia tersebut
secara bersamaan demi perbaikan manusia seutuhnya. Manusia bertitel memiliki kekuatan
yang luar biasa. Dengan kekuatannya, apapun yang dilakukan dan diucapkan mampu
dianut oleh pengikutnya. Manusia bertitel tidak hanya bergelar akademik, tetapi juga gelar
hasil kontruksi sosial masyarakat, bisa saja gelar kiai, ustadz, dan seterusnya. Manusia
bertitel ini sangat berbahaya jika kekuatan titel dan jabatannya itu digunakan untuk
merusak tatanan kehidupan, bukan untuk mengayomi demi kemanusiaan.
Frasa akhir ini merupakan frasa kesimpulan dari makna puisi ini sendiri. Penyair
menginginkan bahwa kita semua adalah manusia. Manusia sama di sisi Tuhannya. Yang
membedakan manusia dengan manusia lainnya, adalah bagaimana manusia itu mengerti
hakikat manusia. Yaitu memanusiakan manusia dan terus menyadari bahwa manusia
adalah makhluk lemah yang tidak punya kekuatan selain diberikan kekuatan oleh Tuhan,
sebagai Sang Maha Segalanya. Karena kehidupan manusia merupakan proses yang sangat
panjang untuk terus memperbaiki diri dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan dalam
satu tujuan, pengabdian diri kepada-Nya secara totalitas.