Anda di halaman 1dari 46

11

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Proses Keperawatan aklien dengan Gangguan Mobilitas Fisik


pada Kasus Pasca Stroke
1. Konsep Dasar Stroke

a. Definisi Stroke

Stroke adalah adalah gangguan atau deficit neurologis fokal dengan

onset akut dari daerah vaskular dengan kejadian klinis, disfungsi fokal dari

sistem saraf yang memungkinkan menjadi sekunder akibat penyakit primer

yang melibatkan pembuluh darah dan sirkulasi. Gangguan pembuluh darah

dan sirkulasi di otak biasanya karena pecahnya pembuluh darah atau

sumbatan oleh gumpalan darah hingga berlakunya perkembangan tanda-

tanda klinis fokal dengan gejala-gejala yang berlaku dalam tempo waktu 24

jam atau lebih dan dapat menyebakan kematian ( World Health

Organization, 2016 ).

Stroke terjadi akibat pembuluh darah dan oksigen ke otak mengalami

penyumbatan dan mengalami ruptur, kekurangan oksigen menyebabkan

fungsi kontrol yang dikendalikan oleh otak tidak berfungsi ( American

Heart Association, 2015 ).


11

Stroke adalah suatu keadaan yang mengakibatkan seseorang mengalami

kelumpuhan atau kematian karena terjadinya gangguan perdarahan di otak

yang menyebakan kematian jaringan otak ( Baticaca Fransisca B, 2009).

b. Etiologi Stroke

Menurut Baticaca, (2009) stroke diakibatkan oleh :

1) Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak.

2) Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh

darah otak.

3) Adanya sumbatan bekuan darah di otak.

Menurut Smetlzer dan bare, (2012) stroke diakibatkan oleh salah satu dar

empat kejadian dibawah ini :

1) Trombosis

Yaitu bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher.

Arteriosklerosis serebral adalah penyebab utama trombosis,

secara umum trombosi tidak terjadi secara tiba-tiba dan

kehilangan bicara sementara, hemipiegia atau paresthesia pada

setengah tubuh dapat mendahului paralisis berat pada beberapa

jam atau hari

2) Embolisme

Yaitu bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari

bagian tubuh yang lain. Embolus biasanya menyumbat arteri


11

sererbral tengah atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi

serebral.

3) Iskemia

Yaitu penurunan aliran darah ke otak iskemia, terutama karena

kontriksi atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.

4) Hemoragik serebral

Yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan ke

dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Pasien dengan

pendarahan dan hemoragi mengalami penuran nyata pada tingkat

kesadaran dan dapat menjadi stupor atau tidak respontif.

c. Klasifikasi Stroke

Secara luas stroke diklasifikasikan kedalam stroke hemoragik dan

non hemoragik/stroke iskemik. Stroke iskemik bertanggung jawab untuk 80-

85% stroke, dibagi lagi menjadi aterombosis arteri besar, emboli otak,

stroke lakunar dan hipoperfusi sitemik. Pendarahan otak bertanggungg

jawab untuk 15-20% sisa stroke, dan dibagi lagi menjadi pendarahan

subaraknoid dan hematoma subdurakl/ekstradural (MD Goldsmitzh Andrian

J & Caplan louis R, 2013).


11

a) Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah tipe yang kurang dialami oleh masyarakat

berbanding dengan stroke iskemik. Sebagai fakta hanya 15 dari semua

stroke yang bersifat hemoragik, namun stroke hemoragik tetap

bertanggung jawab atas 40% dari semua kematian disebabkan penyakit

stroke ( Center For Disease And Presentation, 2017 ). Ini karena

pembuluh darah yang melemah yang pecah dan berdarah di otak

disekitarnya sehingga terjadinya akumulasi darah dan menyebabkan

desakan pada jaringan sekitarnya. Dua jenis darah yang lemah yang

biasanya menyebabkan stroke hemoragik adalah aneurisma dan

malformasi arteriovenosa (AVMs). Stroke hemoragik dibagi dua tipe

yaitu intraserebral dan subarachnoid (American Health Assosiation,

2013).

b) Stroke non hemoragik

Stroke non hemoragik (stroke iskemik) adalah tipe yang paling umum

( 87% ) hasil dari penelitian Center Of Ddisease Control Dan

Prevention (2017). Hal ini sesuai dengan gangguan sementara atau

persistem atau penurunan aliran darah di area fokal otak, biasanya

secara parsial atau total dari arteri serebral. Penyebab biasanya

merupakan sumbatan oleh bekuan darah, penyempita satu atau

beberapa arteri dan mengarah ke otak atau embolus yang terlepas dari

jantung atau arteri ekstrakanial yang menybabkan sumbatan atau oklusi


11

pada beberapa intrakranial. Jika oklusi arteri dibuka kembali lebih

awal, dengan perbaikan selanjutnya atau normalisasi suplai darah. Lesi

jaringan akan kecil atau tidak ada ekspresi klinisnya akan menjadi

serangan iskemik transisen (TIA) ( Stehen L, 2017). TIA didefinisikan

sebagai defisit neurologis lokal dengan gejala dan tanda yang

berlangsung tidak lebih dari 24 jam. TIA adalah sekita 10 % dari semua

stroke (American Health Assosiation, 2013).

d. Patofisiologis

1) Stroke hemoragik

Stroke hemoragik biasanya disebabkan dari ruptur spontan arteri

penetrasi kecil jauh di dalam otak. Daerah yang paling umum adalah

ganglia basal (terutama putamen), thalamus, serebelum, dan pons.

Arteri kecil di daerah ini tampaknya paling rentan terhadap cedera

vaskular akibat hipertensi. Ketika perdarahan terjadi di daerah otak lain

atau pada pasien tidak hipertensi, pertimbangan yang lebih besar harus

diberikan pada penyebab lain seperti gangguan hemoragik, neoplasma,

malformasi vaskular, dan angiopati amiloid sererbral. Perdarahan

mungkin kecil, atau gumpalan besar bisa terbentuk dan kompres

jaringan yang berdekatan menyebabkan herniasi dan kematian. Darah

juga dapat membedah ke dalam ruang ventrikel, yang secara subtansial

meningkatkan morbiditas dan dapat menyebabkan hidrosefalus.

Sebagian besar stroke hemoragik awalnya berkembang selama 30-90


11

menit, sedangkan terapi antikogulan dapat berkembang atau selama 24-

48 jam. Namun, sekarang diketahui bahwa sekitar sepertiga pasien

bahkan tanpa kongulopati mungkin memiliki ekspansi hematoma yang

signifikan dnegan hari pertama. Dalam 48 jam, makrofag mulai

melakukan fatogenesis terhadap perdarahan dipermukaan luarnya

setelah 1-6 bulan, perdarahan umumnya dipecahkan ke rongga oranye

slitlike yang dilapisi dengan bekas luka glial dan makrofag somatosin (

Stephen L, 2017 ).

2) Stroke non hemoragik (stroke iskemik)

Oklusi akut pembuluh darah intrakranial menyebabkan reduksi

aliran darah ke daerah otak yang disuplainya. Besarnya reduksi aliran

darah adalah fungsi dari aliran darah kolateral dan ini tergantung pada

anatomi vaskular individu ( yang dapat diubah oleh penyakit ), lokasi

oklusi dan tekanan darah sistemik. Penurunan dalam darah serebral ke

nol menyebabkan kematian jaringan otak dalam wkatu 4-10 menit.Nilai

<16-18ml/100g jaringan per menit menyebabkan infark dalam satu jam

dan nilai <20 mL/100g jaringan per menit menyebabkan iskemia tanpa

infark kecuali dalam beberapa jam atau beberapa hari. Jika aliran darah

dipulihkan kejaringan iskemia sebelum terjadi perkembangan

signifikan, pasien mungkin hanya mengalami gejala sementara, dan

sindrom klinis disebut TIA. Konsep penting lainnya adalah


11

reversibeldis fungsional yang mengelilingi daerah inti infark. Iskemik

pada akhirnya akan berkembang menjadi infark ( Stephen L, 2017 )

e. Manifestasi Klinis

Menurut, Baticaca Fransisca B, (2008) gejala yang timbul tergantung jenis

stroke.

1) Stroke hemoragik berupa :

a. Defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodromal yang

terjadi pada saat istirahat atau bangun pagi,

b. Kadang tidak terjadi penrunan kesadaran,

c. Terjadi terutama pada usia >50 tahun,

d. Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat

ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya.

2) Stroke non hemoragik berupa :

a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan ( biasanya hemiparesis)

yang timbul mendadak,

b. Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan ( gangguan

hemisensorik ),

c. Perubahan mendadak pada status mental ( konfusi, delirium,

letargi, stupor, atau koma ),

d. Afasia ( tidak lancar atau tidak dapat berbicara ),

e. Disartria ( bicara pelo atau cadel ),

f. Vertigo ( mual dan muntah atau nyeri kepala).


11

f.Faktor Resiko
a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

1) Jenis kelamin

2) Usia

3) Herediter

b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

1) Hipertensi

2) Diabetes militus

3) Merokok

4) Obesitas

5) Penyakit jantung

Gagal jantung didefinisikan sebagai ketidak mampuan

jantung untuk memasuk aliran darah yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung

kronis (CHR) adalah faktor sering yang menyebabkan stroke

iskemik. Alasan yang paling sering dikenali untuk

kardioemboli stroke pada pasien dengan CHR adalah

pembentukan trombus karena Atrial Fibrilasi (AFib) atau

hipokinesia ventrikel kiri. Sebagai konsekuensi dari tivasi

sistem saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron,


11

keadaan hiperkoagulasi, peningkatan agregasi trombosit, dan

fibrinolisis berkurang pada pasien dengan CHF (Bo Norrving,

2014 ).

g. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah rutin

b. Pemeriksaan darah lengkap

Gula darah sewaktu : pada stroke akut terjadi hiperglikemi reaktif

( gula darah mencapai 250 mg kemudian berangsur-angsur turun

kembali ), serta diperlukan untuk menyingkirkan hipoglikemia

sebagai stroke mimic dan ini biasa dilakukan sebagai tes tusukan

di samping tempat tidur. Setelah stroke, tes fungsi tiroid lipid dan

ESR juga merupakan pemeriksaan yang berguna (Smith G,

2014 ).

2) Pemeriksaan neurokardiologi

Tujuan pemeriksaan jantung pada pasien stroke adalah untuk

mengidentifikasi atrial fibrilasi sebagai sumber emboli jantung. Pada

fase akut, pemeriksaan 12 lead EKG bisa dilakukan di sisi tempat

tidur pasien. Seterusnya, pasien dengan emboli stroke akan

memerlukan penyelidikan jantung lebih lanjut untuk membimbing

tindakan pencegahan sekunder (Smith G, 2014).


11

3) Pemeriksaan kardiologi

a. CT scan tetap menjadi gold standar dalam penyelidikan

radiologis akut pada tersangka stroke. Hal ini harus segera

dilakukan, dalam waktu 1 jam, dalam kasus yang

dipertimbangkan untuk trombolisis dan kasus- kasus dengan skor

Glasgow rendah (GCS), tanda-tanda meningisme atau kecurigaan

yang tinggi terhadap perdarahan intraserebral. Semua stroke

dilakukan pencitraan dalam waktu 24 jam. Peran utama CT scan

adalah untuk menyingkirkan danya perdarahan intrkranial.

Perdarahan intracerebral, subarachnoid, subdural dan ekstradural

memiliki ciri khas pada CT scan. Jaringan otak yang infark

tampak tidak berubah pada CT scan dalam beberapa jam

pertama. Perubahan yang terlihat kemudian berkembang di

kisaran 2-3 unit Hounsfield per jam (Smith G, 2014).

b. MRI telah menjadi alat yang berguna dalam diagnosis stroke

dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama disebabkan oleh

penggunaan diffusion weighted imagings (DWI). Infark akut

akan muncul terang di DWI sampai empat belas hari. Gambaran

terperinci yang dihasilkan dengan MRI, serta pencitraan superior

struktur intra-tengkorak posterior membuat modalitas ini

bermanfaat bila dicurigai Posterior Circulation Stroke (PoCS)


11

atau jika daerah diagnosis atau vaskular diragukan. Modalitas

MRI lainnya seperti gradien echo dapat mengidentifikasi

microhaemorrhages (Smith.G, 2014).

h. Komplikasi

1) Gangguan motorik

Defisit motoris setelah stroke ditandai dengan kelemahan otot

atau kelumpuhan, biasanya di satu sisi tubuh. Seringkali orang

tersebut kehilangan gerakan atau perasaan raba di lengan atau kaki

di bagian berlawanan sisi otak yang terkena stroke. Jadi, sekiranya

seseorang itu memiliki stroke di sisi kiri otak, ia mungkin

mengalami kelemahan atau kelumpuhan di lengan dan kaki kanan

nya. Hal ini menyulitkan seseorang atau pasien itu untuk melakukan

aktivitas kehidupan seharian mereka misalnya berpakaian, memberi

makan, mandi atau mengikat sepatu. Efek defisit motoris ini juga

meliputi rasa sakit, kelelahan, perubahan tonus otot serta gangguan

berjalan (Bo Norrving, 2014 ).

2) Gangguan sensoris

Dapat melibatkan semua modalitas sensoris tergantung pada

area otak yang terlibat. Stroke dapat menyebabkan individu menjadi

lebih sensitif (hyperaesthesia) atau kurang (hypoesthesia) sensitif

terhdadap sensasi atau tidak dapat mensintesis sensasi untuk

mengidentifikasi lokasinya sendiri. Kadang-kadang, stroke juga


11

boleh menyebabkan penglihatan terganggu (gangguan visus)

misalnya seseorang mungkin dapat melihat benda hanya di bagian

tertentu dari bidang penglihatannya setelah stroke, gangguan

sensoris juga boleh mengganggu pendengaran ( tinnitius ) (Bo

Norving, 2014 ).

3) Gangguan bicara

Gangguan bicara ditandai dengan kessulitan dalam

memahami atau memproduksi ucapan dengan benar (afasia), ucapan

yang kabur akibat lemahnya otot (disatria) dan kesulitan dalam

memprogram otot mulut untuk produksi bicara (apraxia). Gangguan

ini bervariasi dan tingkat keparahannya bergantung pada luas dan

lokasi kerusakannya. Beberapa individu mungkin mengalami

kesulitan dalam komunikasi sosial, seperti kesulitan bergiliran

dalam percakapan. Selain itu, penderita juga boleh mengalami

masalah tidak dapat menulis (agrafia), tidak dapat berhitung

(aculculia) serta pelupa (dementia) ( Mirjana Vidovic, 2011).

4) Gangguan kognitif

Gangguan kognitif meliputi kesulitan dalam perhatian,

kesedaran, orientasi, pemecahan masalah, memori dan keterampilan

penalaran. Individu yang menderita stroke juga mengalami kesulitan

konsentrasi saat ada gangguan internal dan eksternal. Sebagai

contoh melakukan percakapan di tokoh yang bising,membagi


11

perhatian di antara beberapa tugas atau tuntutan. Gangguan menelan

(disfagia) juga bisa diakibatkan serangan stroke karena kelemahan

atau pengaburan otot di mulut dan tenggorokkan ( Raj.N. Kalaria,

2016 ).

5) Gangguan emosi

Defisit emosional dapat ditandai dengan tampilan emosi yang

tidak tepat dan fluktuasi suasana hati yang ekstrem. Individu yang

terkena mungkin tertawa saat ada sesuatu yang tidak lucu atau

menangis tanpa alasan yang jelas. Perilaku ini sangat umum di awal

proses pemulihan. Seorang penderita stroke mungkin menjadi

sangat frustrasi karena ketidakmampuan untuk berfungsi secara

independen - situasi yang dapat menyebabkan kemarahan dan

depresi (Katherine Salter, 2016.

2. Konsep Dasar Gangguan Mobilitas Fisik

a. Pengertian

Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk

bergerak secara mudah, bebas dan teratur untuk mencapai suatu tujuan,

yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara mandiri maupun

dengan bantuan orang lain dan hanya dengan bantuan alat (Widuri, 2010).

Mobilitas adalah proses yang kompleks yang membutuhkan adanya

koordinasi antara sistem muskuloskeletal dan sistem saraf (P. Potter, 2010).
11

Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat melakukan kegiatan

dengan bebas (Kozier, 2010).

Jadi mobilitas atau mobilisasi adalah kemampuan individu untuk

bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya untuk dapat

melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

Gangguan Mobilitas atau Imobilitas merupakan keadaan di mana

seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang

mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya trauma tulang belakang,

cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya (Widuri,

2010). Imobilitas atau gangguan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh

atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif .A.H.

dan Kusuma. H, 2015).

Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi) didefinisikan oleh North

American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu kedaaan

dimana individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan

gerakan fisik. Individu yang mengalami atau beresiko mengalami

keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit

yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu

yang kehilangan fungsi anatomic akibat perubahan fisiologik (kehilangan

fungsi motorik, klien dengan stroke, klien penggunaa kursi roda),

penggunaan alat eksternal (seperti gips atau traksi), dan pembatasan


11

gerakan volunter, atau gangguan fungsi motorik dan rangka (Kozier, Erb,

& Snyder, 2010).

b. Jenis Mobilitas

1) Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan

menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi

saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh

area tubuh seseorang.

2) Mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena

dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area

tubuhnya. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

a. Mobilitas sebagian temporer merupakan kemampun individu

untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal

tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem

muskuloskeletal, contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan

tulang.

b. Mobilitas sebagian permanen merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal

tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel,


11

contohnya terjadi hemiplegia karena stroke, parapelgia karena

cedera tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem

saraf motorik dan sensorik (Widuri, 2010).

c. Jenis Imobilitas

a. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik

dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi

pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak

mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak

dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.

b.Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang

mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang

mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c. Imobilitas emosional, keadan ketika seseorang mengalami

pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-

tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres berat

dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang

mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu

yang paling dicintai.


11

d. Imobilitas sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam

melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat

memengaruhi perannya dalam kehidupan social (Widuri, 2010).

d. Etiologi

Faktor penyebab terjadinya gangguan mobilitas fisik yaitu :

a). Penurunan kendali otot

b). Penurunan kekuatan otot

c). Kekakuan sendi

d). Kontraktur

e). Gangguan muskuloskletal

f). Gangguan neuromuskular

g). Keengganan melakukan pergerakan

e. Tanda dan Gejala Gangguan Mobilitas Fisik

Adapun tanda gejala pada gangguan mobilitas fisik yaitu :

a) Gejala dan Tanda Mayor

1) Subjektif

 Mengeluh sulit menggerakkan ektremitas

2) Objektif
11

 Kekuatan otot menurun


 Rentang gerak (ROM) menurun.

b) Gejala dan Tanda Minor

1) Subjektif

 Nyeri saat bergerak


 Enggan melakukan pergerakan
 Merasa cemas saat bergerak

2) Objektif

 Sendi kaku 12
 Gerakan tidak terkoordinasi

 Gerak terbatas d) Fisik lemah (Tim Pokja DPP PPNI,

2017).

f. Dampak Gangguan Mobilitas Fisik

Imobilitas dalam tubuh dapat memengaruhi sistem tubuh, seperti

perubahan pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi

gastrointestinal, perubahan sistem pernafasan, perubahan kardiovaskular,

perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi

(buang air besar dan kecil), dan perubahan perilaku (Widuri, 2010).

a) Perubahan Metabolisme
11

Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara

normal, mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya

kecepatan metabolisme dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai

pada menurunnya basal metabolism rate ( BMR ) yang

menyebabkan berkurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh,

sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan

metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses anabolisme

menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat berisiko

meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilitas dapat juga

menyebabkan penurunan ekskresi urine dan pengingkatan nitrogen.

Hal tersebut dapat ditemukan pada pasien yang mengalami

imobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak

perubahan metabolisme, di antaranya adalah pengurangan jumlah

metablisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, deminetralisasi tulang,

gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.

b) Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit

Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai

dampak dari imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein

menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat

mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Di samping itu,

berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke interstisial


11

dapat menyebabkan edema sehingga terjadi ketidakseimbangan

cairan dan elektrolit. Imobilitas juga dapat menyebabkan

demineralisasi tulang akibat menurunnya aktivitas otot, sedangkan

meningkatnya demineralisasi tulang dapat mengakibatkan

reabsorbsi kalium.

c) Gangguan Pengubahan Zat Gizi

Terjadinya gangguan zat gizi disebabkan oleh menurunnya

pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan

zat-zat makanan pada tingkat sel menurun, di mana sel tidak lagi

menerima glukosa, asam amino, lemak, dan oksigen dalam

jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.

d) Gangguan Fungsi Gastrointestinal

Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal.

Hal ini disebabkan karena imobilitas dapat menurunkan hasil

makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang

cukup dapat menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual,

dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses

eliminasi.

e) Perubahan Sistem Pernapasan

Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan.

Akibat imobilitas, kadar haemoglobin menurun, ekspansi paru

menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan


11

proses metabolisme terganggu. Terjadinya 14 penurunan kadar

haemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari

alveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan

ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh

permukaan paru.

f) Perubahan Kardiovaskular

Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas antara lain

dapat berapa hipotensi ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan

terjadinya pembentukan trombus. Terjadinya hipotensi ortostatik

dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan saraf otonom.

Pada posisi yang tetap dan lama, refleks neurovaskular akan

menurun dan menyebabkan vasokontrriksi, kemudian darah

terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke sistem

sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya kerja jantung dapat

disebabkan karena imobilitas dengan posisi horizontal. Dalam

keadaan normal, darah yang terkumpul pada ekstermitas bawah

bergerak dan meningkatkan aliran vena kembali ke jantung dan

akhirnya jantung akan meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus

juga disebabkan oleh vena statsi yang merupakan hasil penurunan

kontrasi muskular sehingga meningkatkan arus balik vena.

g) Perubahan Sistem Muskuloskeletal


11

Perubahan yang terjadi dalam sistem muskuloskeletal sebagai

dampak dari imobilitas adalah sebagai berkut: 1) Gangguan

Muskular Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas

dapat menyebabkan turunya kekuatan otot secara langsung.

Menurunnya fungsi kapasitas otot ditandai dengan menurunnya

stabilitas. Kondisi berkurangnya massa otot dapat menyebabkan

atropi pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah 15

dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain

menunjukkan tanda lemah atau lesu. 2) Gangguan Skeletal Adanya

imobilitas juga dapat menyebabkan gangguan skletal, misalnya

akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis.

Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal dengan kriteria

adanya fleksi dan fiksasi yang disebabkan atropi dan

memendeknya otot. Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan

sendi dalam kedudukan yang tidak berfungsi.

h) Perubahan Eliminasi

Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang

mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan dan penurunan curah

jantung sehingga aliran darah renal dan urine berkurang.

i) Perubahan Perilaku Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas,

antara lain lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas,

emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur dan menurunnya


11

koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut

merupakan dampk imobilitas karena selama proses imobilitas

seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri,

kecemasan, dan lain-lain (Widuri, 2010).

g. Penatalaksanan stroke

a) Penatalaksanaan umum

Penatalaksanaan umum yaitu berupa tindakan darurat sambil berusaha

mencari penyebab dan penatalaksanaan yang sesuai dengan

penyebab. Penatalaksanaan umum ini meliputi memperbaiki jalan

napas dan mempertahankan ventilasi, menenangkan pasien,

menaikkan atau elevasi kepala pasien 30º yang bermanfaat untuk

memperbaiki drainase vena, perfusi serebral dan menurunkan tekanan

intrakranial, atasi syok, mengontrol tekanan rerata arterial,

pengaturan cairan dan elektroklit, monitor tanda-tanda vital, monitor

tekanan tinggi intrakranial, dan melakukan pemeriksaan pencitraan

menggunakan Computerized Tomography untuk mendapatkan

gambaran lesi dan pilihan pengobatan (Affandi & Reggy, 2016). 17

Berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

(PERDOSSI) (2011) penatalaksanaan umum lainnya yang dilakukan

pada pasien stroke yaitu meliputi pemeriksaan fisik umum,


11

pengendalian kejang, pengendalian suhu tubuh, dan melakukan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu

berupa pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan jantung, dan

neurologi. Pengendalian kejang pada pasien stroke dilakukan dengan

memberikan diazepam dan antikonvulsan profilaksi pada stroke

perdarahan intraserebral, dan untuk pengendalian suhu dilakukan

pada pasien stroke yang disertai dengan demam. Pemeriksaan

penunjang untuk pasien stroke yaitu terdiri dari elektrokardiogram,

laboratorium (kimia darah, kadar gula darah, analisis urin, gas darah,

dan lain-lain), dan pemeriksaan radiologi seperti foto rontgen dada

dan CT Scan.

b) Terapi farmakologi

Penatalaksanaan farmakologi yang bisa dilakukan untuk pasien stroke

yaitu pemberian cairan hipertonis jika terjadi peninggian tekanan

intra kranial akut tanpa kerusakan sawar darah otak (Blood-brain

Barrier), diuretika (asetazolamid atau furosemid) yang akan menekan

produksi cairan serebrospinal, dan steroid (deksametason, prednison,

dan metilprednisolon) yang dikatakan dapat mengurangi produksi

cairan serebrospinal dan mempunyai efek langsung pada sel endotel

(Affandi dan Reggy, 2016). Pilihan pengobatan stroke dengan

menggunakan obat yang biasa direkomendasi untuk penderita stroke

iskemik yaitu tissue 18 plasminogen activator (tPA) yang diberikan


11

melalui intravena. Fungsi tPA ini yaitu melarutkan bekuan darah dan

meningkatkan aliran darah ke bagian otak yang kekurangan aliran

darah (National Stroke Association, 2016). Penatalaksanaan

farmakologi lainnnya yang dapat digunakan untuk pasien stroke yaitu

aspirin. Pemberian aspirin telah menunjukkan dapat menurunkan

risiko terjadinya early recurrent ischemic stroke (stroke iskemik

berulang), tidak adanya risiko utama dari komplikasi hemoragik awal,

dan meningkatkan hasil terapi jangka panjang (sampai dengan 6

bulan tindakan lanjutan). Pemberian aspirin harus diberikan paling

cepat 24 jam setelah terapi trombolitik. Pasien yang tidak menerima

trombolisis, penggunaan aspirin harus dimulai dengan segera dalam

48 jam dari onset gejala (National Medicines Information Centre,

2011).

c) Tindakan bedah

Penatalaksanaan stroke yang bisa dilakukan yaitu dengan pengobatan

pembedahan yang tujuan utamanya yaitu memperbaiki aliran darah

serebri contohnya endosterektomi karotis (membentuk kembali arteri

karotis), revaskularisasi, dan ligasi arteri karotis komunis di leher

khususnya pada aneurisma (Muttaqin, 2008). Prosedur carotid

endarterectomy/ endosterektomi karotis pada semua pasien harus

dilakukan segera ketika kondisi pasien stabil dan sesuai untuk

dilakukannya proses pembedahan. Waktu ideal dilakukan tindakan 19


11

pembedahan ini yaitu dalam waktu dua minggu dari kejadian

(Scottich Intercollegiate Guidelines Network, 2008)

h. Kemampuan activity daily living (ADL) pasien stroke

Gangguan akibat stroke sering menimbulkan gejala sisa yang

berupa hemiplegia (kelumpuhan pada setengah anggota tubuh) dan

hemparesis (kelemahan otot) yang dapat menjadi kecacatan menetap

yang selajutnya membatasi fungsi seseorang dalam melakukan ADL.

Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari 17

setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase relabilitasi

(Rosiana, 2009).

Pada saat rehabilitasi pasien dapat dirawat di rumah sakit, pusat

rehabilitasi, maupun rumahnya sendiri bergantung pada beberapa faktor,

termasuk status ketergantungan pasien stroke. Salah satu alat ukur

tingkat ketergantungan pasien stroke adalah Barthel Indeks (BI) yang

dirumuskan oleh Mahoney, F.I. dan Barthel D.W. untuk mengukur

ketergantungan ADL, yang hasil ukurnya yaitu ketergantungan total

(skor 0 – 20), ketergantungan berat (25 – 40), ketergantungan sedang

(skor 45 – 55), ketergantungan ringan (skor 60 – 95), dan mandiri (skor

100) (Syairi, 2013).


11

Pasien stroke yang akan kembali ke rumah seharusnya di motivasi

untuk mengerjakan aktivitas perawatan dirinya sendiri semampunya,

setidaknya klien bisa melakukan ADL dasar yaitu, makan, berpakaian,

mandi, berdandan, toileting, kontrol kontinensia, transfer (berpindah),

dan mobilisasi (Bogousslavsky, 2005). Pasien juga di sarankan

menggunakan kedua sisi tubuh dalam melakukan ADL tersebut,

contohnya apabila sisi kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk

menggunakan tangan kirinya untuk semua aktivitas namun, pastikan

juga tangan yang sakit diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin

cepat dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien

menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang 18 dapat menimbulkan risiko

jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu ditolong oleh

keluarga (Rosiana, 2009).

i. Peran perawat pada pasien stroke .

Menurut Teori Virginia Henderson

1) Bernapas normal

Bantuan yang dapat diberikan kepada klien oleh perawat adalah

membantu memilih tempat tidur, kursi yang cocok, serta

menggunakan bantal, alas dan sejenisnya sabagai alat pembantu


11

agar klien dapat bernafas secara normal dan kemampuan

mendemonstrasikan dan menjelaskan pengaruhnya kepada klien.

2) Makan dan minum dengan cukup

Perawat harus mampu memberikan penjelasan mengenai tinggi

dan berat badan yang normal, kebutuhan nutrisi yang diperlukan.

Pemilihan dan penyediaan makanan, dengan tidak lupa

memperhatikan latar belakang dan social klien.

3) Membuang kotoran tubuh ( eliminasi)

Perawat harus mengetahui semua saluran pengeluaran dan

keadaan normalnya, jarak waktu pengeluaran, dan frekuensi

pengeluaran.

4) Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan

Perawat harus mengetahui tentang prinsip – prinsip keseimbagan

tubuh, miring dan bersandar.

5) Tidur dan istirahat

Perawat harus mengetahui intensitas istirahat tidur pasien yang

baik dan menjaga lingkungan nyaman untuk istirahat.

6) Memilih pakaian yang sesuai

Perawat dasarnya meliputi membantu klien memilihkan pakaian

yang tepat dari pakaian yang tersedia dan membantu untuk

memakainya.

7) Mempertahankan temperature tubuh atau sirkulasi


11

Perawat harus mengetahui physiologi panas dan bisa

mendorong kearah tercapainya keadaan panas maupun dingin

dengan mengubah temperature, kelembapan atau pergerakan

udara, atau dengan memotivasi klien untuk meningkatkan atau

mengurangi aktifitasnya.

8) Kebutuhan akan personal hygiene

Perawat harus mampu untuk memotivasi klien mengenai konsep

konsep kesehatan bahwa walaupun sakit klien tidak perlu untuk

menurunkan standard kesehatannya, dan bisa menjaga tetap

bersih baik fisik maupun jiwanya.

9)  Kebutuhan rasa aman dan nyaman

Perawat mampu melindungi klien dari trauma dan bahaya yang

timbul yang mungkin banyak factor yang membuat klien tidak

merasa nyaman dan aman.

10)  Berkomunikasi

Berkomunikasi dengan orang lain dan mengekspresikan emosi,

keinginan, rasa takut, dan pendapat penterjemah dalam

hubungan klien dengan tim kesehatan lain dalam memajukan

kesehatannya, membuat klien mengerti akan dirinya sendiri

dan menciiptakan lingkungan yang teraupetik.

11) Beribadah sesuai dengan keyakinan seseorang


11

Perawat mampu untuk menghormati klien dalam memenuhi

kebutuhan spiritualnya dan meyakinkan pasien bahwa

kepercayaan, keyakinan dan agama sangat berpengaruh

terhadap upaya penyembuhan.

12) Kebutuhan bekerja

Dalam perawatan dasar maka penilaian terhadap interprestasi

terhadap kebutuhan klien sangat penting, dimana sakit bisa

menjadi lebih ringan apabila seseorang dapat terus bekerja.

13) Bermain

Perawat mampu memkilihkan aktifitas yang cocok sesuai umur,

kecerdasan, pengalaman dan selera klien, kondisi, serta keadaan

penyakitnya.

14) Kebutuhan belajar

Memilih aktifitas yang cocok sesuai umur, kecerdasan,

pengalaman, dan selera klien, kondisi, serta keadaan

penyakiynya.

Menurut Doctherman (2008) dan Irish Heart Fundation (2015)

peran perawat pada pasien stroke terutama dalam pemenuhan ADL

pasien antara lain mengkaji kebutuhan ADL pasien stroke yang

bertujuan untuk mengetahui perkembangan keadaan pasien sehingga


11

dapat untuk menentukan rencana tindak lanjut yang sesuai dengan

keadaan pasien, membantu ADL pasien stroke sehingga pasien dapat

lebih mudah dalam melakukan ADL, serta mengajarkan kepada keluarga

cara merawat dan membantu ADL pasien stroke sehingga keluarga

dapat membantu ADL pasien stroke dan dapat melatih kemandirian

pasien stroke. 3. Activites of Daily Living (ADL) a. Definisi ADL ADL

merupakan aktivitas pokok berupa perawatan diri yang dilakukan setiap

hari untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Smeltzer & Bare,

2012). Istilah ADL mengacu kepada aktivitas harian yang dibutuhkan

dalam kehidupan secara mandiri dan juga berhubungan dengan

manajemen perawatan diri seperti berpakaian, mandi, makan,

menggunakan toilet, manajemen kontinensia, berpindah, dan mobilitas

dasar (Whitehead et al., 2013) Menurut Sugiarto (2005) dan

Hardywinoto & Setiabudi (2005) ADL meliputi 22 berpakaian, makan

& minum, toileting, mandi, berhias, kontinensis buang air besar dan

buang air kecil, dan kemampuan mobilitas. b. Jenis – jenis ADL ADL

dapat diklasifikasikan menjadi Basic Activites Daily Living (BADL)

dan Instrumental Activites Daily Living (IADL). 1) Basic Activites

Daily Living (BADL) BADL terdiri dari kebutuhan dasar seperti

perilaku slefcare yang meliputi mobilisasi, berpakaian, berhias, mandi,

makan, dan toileting. Sugiarto (2005) juga memasukkan kontinensia

buang air besar dan buang air kecil dalam BADL. 2) Instrumental
11

Activites Daily Living (IADL) IADL merupakan aktivitas yang

berhubungan dengan penggunaan alat penunjang dalam melakukan ADL

yang terdiri dari transfer, menggunakan telepon, persiapan makan,

manajemen medikasi, manajemen finansial, melakukan pekerjaan rumah

tangga, mencuci, dan belanja (Sugiarto, 2005). c. Faktor yang

mempengaruhi ADL Pasien Stroke Menurut Junaidi (2011) dan Parekh

(2013) Faktor yang mempengaruhi ADL pada pasien stroke adalah : 1)

Jenis Stroke dan Tingkat Keparahan Stroke Junaidi (2011) menyebutkan

bahwa pasien dengan stroke Infark memiliki prognosis yang lebih baik

dibandingkan pasien yang mengalami stroke Hemoragik. Selain itu,

tingkat keparahan 23 stroke yang dialami pasien menjadi faktor penting

dalam menentukan kemampuan pasien melakukan ADL. Hal tersebut

dikarenakan kondisi stroke yang semakin parah akan menghambat

proses rehabilitasi dalam mengembalikan kemampuan ADL pasien

(Parekh, 2013). 2) Komplikasi Penyakit Sebagian besar pasien yang

angka ketergantungan ADL tinggi merupakan pasien yang memiliki

komplikasi penyakit di bandingkan dengan yang tingkat ketergantungan

ADL sedang sampai ringan (Junaidi, 2011). Komplikasi penyakit yang

terjadi pada pasien adalah hipertensi, diabetes militus dan juga penyakit

jantung coroner yang dikarenakan hipertensi. Hipertensi dapat

menipiskan dinding pembuluh darah dan merusak bagian dalam

pembuluh darah yang mendorong terbentuknya plak arterosklerosis


11

sehingga memudahkan terjadinya penyumbatan atau perdarahan otak

(Junaidi, 2011).

j. Tahapan Asuhan Keperawatan

Secara resmi tahap Asuhan Keperawatan diberlakukan untuk

diterapkan pada seluruh rumah sakit melalui SK Direktur Jenderal Pelayanan

Medik No. YM.00.03.2.6.7637 tahun 1993. Tahapan asuhan keperawatan

meliputi :

1) Pengkajian

Asuhan keperawatan yang sempurna memerlukan data lengkap yang

dikumpulkan secara terus menerus yang berkaitan dnegan keadaan untuk

menentukan kebutuhan asuhan keperawatan. Data yang dikumpulkan

harus bermanfaar bagi semua anggota tim kesehatan. Komponen data

pengkajian keperawatan tersebut meliputi :

a) Pengumpulan data dengan kriteria : menggunakan format yang

baku, sistematis, diisi sesuai dengan item yang tersedia, aktual

dan absah (valid).


11

b) Pengelompokkan data dengan kriteria : data biologis, data

psikologis, data sosial, data spiritual.

Perumusan masalah dengan kriteria : kesenjangan antara status

kesehatan dengan norma dan pola fungsi kehidupan, perumusan

masalah ditunjang oleh data yang telah dikumpulkan.

2) Dignosa keperawatan

a) Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan data status kesehatan

yang dianalisis dan dibandingkan dengan norma fungsi kehidupan

pasien dengan kriteria sebagai berikut:

b) Diagnosa keperawatan dihubungkan dengan penyebab kesenjangan

dan pemenuhan kebutuhan pasien

c) Diagnosa keperawatan dibuat sesuai dengan wewenang perawat

Komponen terdiri dari masalah, penyebab/gejala (PES) atau

terdiri dari masalah dan penyebab (PE), yang bersifat aktual apabila

masalah kesehatan pasien sudah nyata terjadi, bersifat potensial

apabila masalah kesehatan pasien kemungkinan besar akan terjadi,

dapat ditanggulangi oleh perawat.

3) Rencana keperawatan
11

Perencanaan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan

yang meliputi beberapa point seperti :

a) Prioritas asuhan keperawatan dengan kriteria : Spesifik, bisa

diukur, bisa dicapai, realistik, ada batas waktu

b) Tujuan asuhan keperawatan dengan kriteria : spesifik, bisa diukur,

bisa dicapai, realistik, ada batas waktu

c) Rencana tindakan dengan kriteria yang disusun berdasarkan tujuan

asuhan keperawatan, melibatkan paien/keluarga,

mempertimbangkan latar belakang budaya pasien/keluarga,

menentukan alternative tindakan yang tepat, mempertimbangkan

kebijaksaan dan peraturan yang berlaku, lingkungan, sumberdaya,

dan fasilitas yang ada, menjamin rasa aman dan nyaman bagi

pasien, kalimat intruksi, ringkas, tegas dengan bahasanya mudah

dimengerti.

4) Tindakan keperawatan

Tahap implementasi keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan

untuk mencapai tujuan spesifik. Tahap pelaksanan dimulai setelah

rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing order untuk

membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Karena itu rencana


11

tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor

yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.

Tahap implementasi asuhan keperawatan meliputi 3 tahapan, antara lain:

a. Tahap 1 : Persiapan. Tahap ini menuntut perawat untuk

mengevaluasi yang akan di indentifikasi pada tahap perencanaan.

b. Tahap 2 : Intervensi. Tahap ini berfokus pada tindakan

perawatan yaitu kegiatan dan pelaksanaan tindakna dari

perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.

Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan independen,

dependen, dna interdependen.

5) Evaluasi

Evaluasi keperawatan dilakukan secara periodik, sistematis dan

berencana untuk menilai perkembangan pasien dengan kriteria : setiap

tindakan keperawatan dilakukan evaluasi terhadap indikator yang ada

pada rumusan tujuan, yang selanjutnya hasil evaluasi segera dicatat dan

dikomunikasikan, evaluasi melibatkan pasien, keluarga dan tim

kesehatan, evaluasi dilakukan sesuai standar. 

6) Reassesment
11

Reassesment adalah proses kembali mengkaji atau mengumpulkan

dataklien guna keperluan penegakkan diagnosa keperawatan. Jika hasil

evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa

keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan

masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang

(reassesment)

7) Dokumentasi

Setelah proses tahapan awal hingga tahap evaluasi selesai, maka

seluruh tindakan harus didokumentasikan dengan benar dalam

dokumentasi keperawatan. Dokumentasi keperawatan adalah segala

sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dapat diandalkan sebagai

catatan tentang bukti bagi individu yang berwenang (Potter 2010)

B. Aplikasi Model Teori Virginia Henderson Klien dengan


Gangguan Mobilitas Fisik pada Kasus Pasca Stroke
1. Konsep Dasar Teori

Virginia Henderson lahir di Kansas City, Missouri pada 1897. Ia

tertarik dengan keperawatan selama Perang Dunia I karena keinginannya

untuk membantu personel militer yang sakit atau terluka. Pada tahun

1918, ia belajar keperawatan di Sekolah Perawat Militer di Washington,

D.C. dan lulus pada 1921. Kemudian, ia meraih gelar B.S. dan M.A. di

bidang pendidikan keperawatan tahun 1926. Sejak 1953, ia menjadi


11

asosiet riset di Yale University School of Nursing. Ia menerima

gelar Honorary Doctoral dari Catholic University of America, Pace

University, University of Rochester, University of Western Ontario, dan

Yale University. Bukunya yang di publikasikan antara lain The Nature of

Nursing (1960), Basic Principles of Nursing Care (1960), dan The

Principles and Practice of Nursing (1939).

Pada awal 1960-an, ketika profesi keperawatan mulai mencari

identitasnya sendiri. Masalah intinya adalah apakah perawat cukup

berbeda dari profesi lain dalam layanan kesehatan dalam hal kinerja.

Pertanyaan ini merupakan hal yang penting sampai 1950-an, perawat

lebih sering melakuakan instruksi dokter. Virginia Henderson adalah

orang pertama yang mencari fungsi unik dalam keperawatan.

Pada saat ia menulis pada 1960-an ia dipengaruhi oleh aspek

negatif dan positif dari praktik keperawatan pada masa itu. Hal tersebut

meliputi:

 Aut

oritarian dan struktur hierarki di rumah sakit

 Serin

g terdapat fokus satu pihak yaitu pada penyembuhan gangguan

fungsi fisik semata


11

 Fakta

bahwa mempertahankan kontak pribadi dengan pasien

merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan pada masa itu

 Adan

ya keanekaragaman pengalaman yang ia miliki selama karier

keperawatannya di Amerika Serikat di berbagai bidang layanan

kesehatan.

Konstribusi penting oleh Henderson (1966) adalah definisi keperawatan

berikut yang saat ini menjadi definisi yang sudah diterima secara umum

: “Fungsi unik dari keperawatan adalah untuk membantu individu sehat

atau sakit, dalam hal memberikan kesehatan atau pemulihan (kematian

yang damai) yang dapat dilakukan tanpa bantuan jika ia memiliki

kekuatan, kemauan atau pengetahuan. Dan melakukannya dengan cara

tersebut dapat membantunya mendapatkan kemandirian secepat

mungkin”.

Henderson menekankan beberapa aspek dari kosep sosial /

lingkungan. Dia melihat manusia sebagai individu yang berhubungan

dengan keluarga, namun dia hanya menulis sedikit tentang pengaruh

ligkungan dan keluarga terhadap individu. Dalam bukunya yang

ditulis bersama Harmer, Henderson medukung peranan pribadi dan


11

masyarakat dalam menjaga kesehatan. Henderson mengetahui bahwa

masyarakat membutuhkan perawat dalam membantu orang yang tidak

mampu hidup mandiri, dan sebaliknya peraawat juga mengharapkan

masyarakat memberikan sumbangan pendidikan keperawatan.

a. Manusia

Henderson memandang manusia sebagai mahkluk yang utuh,

lengkap, dan mandiri yang memiliki 14 kebutuhan dasar

sebagai berikut ;

1) Bernapas normal

Memilih tempat tidur, kursi yang cocok, meggunakan

bantal, alas sebagai alat pembantu agar klien dapat

bernafas.

2) Makan dan minum dengan cukup

Memberikan penjelasan mengenai tinggi dan berat badan

yang normal, kebutuhan nutrisi yang diperlukan, pemilihan

dan penyediaan makanan.

3) Membuang kotoran tubuh ( eliminasi)

Perawat harus mengetahui semua saluran pengeluaran dan

keadaan normalnya, jarak waktu pengeluaran, dan

frekuensi pengeluaran.

4) Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan


11

Perawat harus mengetahui tentang prinsip – prinsip

keseimbagan tubuh, miring dan bersandar.

5) Tidur dan istirahat

Tentang pergerakan badan yang baik, dan juga

mengajarkan bagaimana cara mengontrol emosi yang baik.

6) Memilih pakaian yang sesuai

Memilihkan pakaian yang tepat dari pakaian yang tersedia

dan membantu untuk memakainya.

7) Menjaga suhu badan tetap dalam batas normal dengan

menyesuiakan pakaian dan mengubah lingkungan

Keadaan panas maupun dingin dengan mengubah

temperature, kelembapan atau pergerakan udara, atau

dengan memotivasi klien untuk meningkatkan atau

mengurangi aktifitasnya.

8) Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat dengan baik dan

melindungi integument

Kebutuhan akan personal hygiene walaupun sakit klien

tidak perlu untuk menurunkan standar keehatannya, dan

bisa menjaga tetap bersih baik fisik maupun jiwanya.

9) Menghindar dari bahaya dalam lingkungan dan yang bisa

melukai
11

Kebutuhan rasa aman dan nyaman melindungi klien dari

trauma dan bahaya yang timbul yang mungkin banyak

faktor yang membuat klien tidak merasa aman dan

nyaman.

10) Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan

emosi, kebutuhan, rasa takut / pendapat

Berkomunikasi dengan orang lain dan mengekspresikan

emosi, keinginan, rasa takut, dan pendapat penterjemah

dalam hubungan klien dengan tim kesehatan lain dalam

memajukan kesehatannya, membuat klien mengerti akan

dirinya sendiri dan menciiptakan lingkungan yang

teraupetik.

11) Beribadah sesuai dengan keyakinan seseorang

Kebutuhan spiritual meyakinkan klien bahwa kepercayaan,

keyakinan dan agama sangat berpengaruh terhadap upaya

penyembuhan dan pemenuhannya.

12) Bekerja dengan sesuatu cara yang mengandung unsur

prestasi

Kebutuhan bekerja interprestasi terhadap kebutuhan klien

sangat penting, diamana sakit bisa menjadi lebih ringan

apabila seseorang dapat terus bekerja.

13) Bermain / terlibat dalam beragam bentuk rekreasi


11

Memilih aktifitas yang cocok sesuai umur, kecerdasan,

pengalaman, dan selera klien, kondisi, serta keadaan

penyakiynya.

14) Belajar, mengetahui atau memuaskan rasa penasaran yang

menuntun pada perkembangan normal dan kesehatan serta

menggunakan fasilitas – fasilitas kesehatan yang tersedia.

Kebutuhan belajar mendorong usaha penyembuhan dan

meningtkan kesehatan, serta memperkuat dan mengikuti

renacan terapi yang diberikan.(Mariner Ann, 1986)

C. Model Konsep Teori

Empat konsep utama yang dikembangkan oleh Henderson (Mariner,

2001) adalah:

a. Individu

Henderson berpendapat bahwa individu / klien harus memiliki

keseibangan fisiologis dan emosional. Henderson beranggapan

bahwa pikiran dan tubuh tidak dapat dipisahkan. Pasien

Memerlukan bantuan untuk mencapai kemandirian. Perawat dan

keluarganya adalah satu kesatuan menurut Henderson. Kebutuhan

– kebutuhan pasien meliputi 14 komponen penanganan perawat.

b. Lingkungan

Henderson mengungkapkan definisi lingkungan dengan

menggunakan Webster’s New Collegiate Dictionary yaitu sebagai


11

kumpulan semua. Kondisi eksternal dan pengaruh – pengaruh yang

berdampak pada kehidupan dan perkembangan organisme, seperti

para perawat sebaiknya memperoleh pendidikan penyelamatan.

Perawat harus mengetahui kebiasan sosial dan praktik ritual

keagamaan untuk memperkirakan adanya bahaya.

c. Kesehatan

Sehat adalah suatu kualitas hidup. Menurut Henderson, sehat dapat

dilihat dari kemaampuan pasien untuk menjalani 14 komponen

kebutuhan dasar manusia tanpa bantuan. Individu akan

memperoleh / memprtahankan kesehatan bila memiliki kekuatan,

kehendak, atau pengetauan yang cukup.

d. Keperawatan

Menurut Henderson, tugas unikperawat adalah membantu

seseorang yang sehat atau sakit baik yang sakit maupun yang sehat

dalam melaksanakan aktivtasnya. Tugas perawat tidak bergantung

dengan dokter, tetapi mangajukan rencananya apabila dokter

dating untuk mengunjungi. Perawat dapat dan harus mediagnosa

dan menangani bila situasi menuntut demikian. Perawat dapat

menilai kebutuhan dasar manusia. 14 komponen telah mmenuhi

kebutuhan pasien dalam penanganan perawatan.

D. Komponen Pengkajian

Yang perlu dikaji adalah :


11

a. Core / inti

Data diri pasien yang terdiri dari : umur, pendidikan, jenis

kelamin, agama, nilai – nilai keyakinan serta riwayat

timbunya penyakit.

b. 14 komponen kebutuhan dasar manusia / pasien meliputi :

1) Pernapasan

2) Kebutuhan makan dan minum

3) Eliminasi

4) Posisioning

5) Kebutuhan tidur dan istirahat

6) Kebutuhan dalam berpakain

7) Cara mempertahankan suhu tubuh dan memodifikasi

lingkungan

8) Kebersihan tubuh

9) Kondisi lingkungan

10) Komunikasi

11) Ibadah dan keyakinan

12) Pekerjaan sehari – hari

13) Kebutuhan bermain dan rekreasi

14) Kebutuhan belajar dan menggunakan fasilitas

kesehatan perawat mengkaji ke 14 komponen dasar,

komponen pertama dinilai secara penuh kemudian


11

menuju pada komponen selanjutnya. Untuk mengkaji

data data dari ke-14 komponen ini, perawat

membutuhkan pengetahuan dari apa yang normal dala

kesehatan, juga pengetahuan tentang apa – apa yang

menyebabkan sakit.

E. Penetapan Masalah

Diagnosa keperawatan menurut Henderson (1960) didalam Asmadi (2008)

dibuat dengan mengenali kemampuan individu dalam memenuhi

kebutuhannya denga atau tanpa bantuan serta dengan mempertimbangkan

kekuatan atau pengetahuan yang dimiliki individu.

F. Rencana Tindakan

Menurut Henderson, meliputi akitfitas penyusunan rencana perawatan

sesuai dengan kebutuhan individu - termasuk didalamnya perbaikan

rencana jika ditemukan adanya perubahan - serta dokumentasi bagaiamna

perawat membantu individu dalam keadaan sakit atau sehat.

Anda mungkin juga menyukai